• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. - Tinjauan Yuridis Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Korban dan Pelaku Kejahatan Didasarkan Atas Asas Equality Before The Law

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. - Tinjauan Yuridis Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Korban dan Pelaku Kejahatan Didasarkan Atas Asas Equality Before The Law"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Manusia sebagai pribadi akan memiliki arti serta dapat mengembangkan

hidupnya sendiri apabila ia ada bersama-sama dengan manusia lainnya sehingga tidak

berlebihan apabila dikatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk

yang sosial, tentu seseorang itu tidak dapat melepaskan dirinya dalam pergaulan

kemasyarakatan tersebut.2 Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tentunya

membawa konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara

manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan

melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa diantara mereka

terkandung adanya hak dan kewajiban.3

Karena itu, keberadaan manusia yang memiliki hak dan kewajibannya

masing-masing tidak dapat dipandang sebagai individu yang berdaulat sehingga dapat

mempertahankan hak serta kewajiban secara mutlak, melainkan haruslah dipandang

sebagai personal sosial, yaitu suatu oknum pribadi sosial yang dibina oleh

masyarakat, serta mengendalikan hak asasi dan hak-hak lain dimana hak itu timbul

karena hak hidupnya dalam masyarakat dan penggunaannya harus diselaraskan

dengan kepentingan masyarakat pula.

2

Chainur Arrasjid, Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminil,(Medan : Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1999), hlm 28.

3

(2)

Manusia dilahirkan kemuka bumi dengan membawa hak-hak dasar yang

diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa atau lazim disebut dengan hak asasi manusia.

Hak Asasi Manusia diberikan kepada setiap individu didunia tanpa pandang bulu dan

tanpa memandang adanya perbedaan diantara manusia itu. Hak ini tidak akan pernah

lepas dan akan tetap melekat pada diri pribadi manusia itu sendiri.

Demikian pentingnya hak asasi itu bagi manusia sehingga eksistensinya harus

senantiasa diakui, dihargai, dilindungi, diantaranya melalui produk

perundang-undangan. Adanya pengakuan terhadap eksistensi hak asasi manusia tentu membawa

konsekuensi pada perlunya diupayakan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dari

kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan manusia itu

sendiri, baik dilakukan oleh manusia lainnya atau oleh pemerintah.

Atas dasar pemikiran bahwa Hak Asasi Manusia merupakan pemberian

ataupun anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak seorangpun atau lembaga

apapun yang dapat mencabut atau mengurangi hak asasi seseorang kecuali ada

alasan yang dapat dibenarkan misalnya undang-undang mengatur atau

memerintahkan.

Demikian juga masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya

dengan penegakan hukum pidana memang bukan pekerjaan yang sederhana untuk

direalisasikan. Meskipun sudah diatur dalam ketentuan undang-undang, selalu saja

dari berbagai media ada dibahas ketidakadilan yang muncul dalam proses penegakan

hukum khususnya hukum pidana. Dalam Hukum Pidana ini sendiri dikenal dengan

adanya asas-asas yang berlaku spesifik, seperti asas fair trial atau asas peradilan

(3)

equality before the law yang merupakan asas hukum umum dan dasar dari prinsip

keseimbangan antara hak-hak seorang tersangka, terdakwa dan terpidana untuk

membela dirinya dengan hak-hak yang dimiliki oleh korban dari suatu kejahatan.4

Pelayanan keadilan terhadap para pencari keadilan di peradilan pidana,

khususnya pihak korban tindak pidana hingga saat ini belum memuaskan5. Korban

kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu

tindak pidana justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh

Undang- Undang kepada pelaku kejahatan. Selain itu, hukum pidana yang sekarang

berlaku, seperti mengasumsikan bahwa pihak korban telah memperoleh kepuasan

keadilan dengan dipidananya pelaku kejahatan, karena pelaku kejahatan dalam hal ini

telah merasakan juga penderitaan sebagaimana yang dialami/diderita oleh korban.

Asumsi ini barangkali hanya berada dalam lingkup kepuasan moril, akan tetapi jika

dihubungkan dengan keadaan korban yang menderita luka fisik, terutama bagi korban

yang tidak mampu secara finansial, maka dengan pemenuhan aspek kepuasan moril

saja belum dapat dikatakan sebagai adanya suatu keseimbangan perlakuan antara

pelaku dan korban.6

Sejak diundangkannya Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kedudukan terhadap pelaku kejahatan sebagai

individu yang mempunyai hak asasi manusia semakin memperoleh perhatian utama.

4

M. Sofyan Lubis, Prinsip“Miranda Rule” Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan,

(Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010), hlm 105.

5

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta : Universitas Trisakti, 2009), hlm 216.

6http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=105

(4)

Ironisnya, dengan banyaknya materi KUHAP yang mengatur tentang perlindungan

pelaku kejahatan mengakibatkan porsi perlindungan yang diberikan kepada korban

kejahatan terkesan menjadi tidak memadai bahkan terabaikan. Padahal sejatinya

perlindungan yang diberikan kepada korban kejahatan dan pelaku kejahatan adalah

seimbang dan tidak dapat dibeda-bedakan sebagaimana asas setiap orang bersamaan

kedudukannya didalam hukum.

Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan

pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap

warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan,

sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan

konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku

kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah

perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak

sepenuhnya benar.7

Kurangnya perlindungan yang diberikan kepada saksi dan atau korban

mendorong lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban sehingga seorang saksi dan korban mendapat keyakinan akan perlindungan

yang diberikan kepada ia ketika ia diperhadapkan didepan persidangan. Seorang

korban diberikan jaminan ketika ia memberi kesaksiannya didepan persidangan baik

ia sebagai korban dalam suatu peristiwa pidana maupun yang sudah berstatus

tersangka akan tetapi ia didudukkan sebagai saksi dalam kasus yang sama tapi berkas

terpisah. Perlindungan hukum kepada korban sebelum UU Nomor 13 Tahun 2006 ini

(5)

sudah ada diberikan pada undang-undang nasional yang sudah lahir sebelumnya

seperti contoh UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme. Perlindungan korban dalam undang-undang ini bisa kita lihat dari

ketentuan pasal 32 ayat (2). Disebutkan bahwa “dalam penyidikan dan pemeriksaan

disidang pengadilan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana

terorisme dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang

memberikan kemungkinan diketahuinya identitas pelapor”.8

Perlindungan yang

diberikan dalam beberapa undang-undang sebelum UU Nomor 13 Tahun 2006 sudah

cukup melegakan pihak korban karena atas diri mereka sudah diberikan perlindungan.

Dan UU Nomor 13 tahun 2006 lahir semakin mempertegas perlindungan tersebut

dengan adanya lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani pemberian

perlindungan dan bantuan pada korban dan atau saksi yang dinamakan dengan LPSK

(Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

Namun dengan lahirnya Undang-Undang ini dalam penyelesaian perkara

pidana masih banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan

hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya materiil maupun immaterial.

Contoh korban kekerasan seksual. Korban kejahatan seksual belum sepenuhnya

mendapat perlindungan dari kemungkinan publikasi identitas dan hak-hak privasi

lainnya. Masih banyak media yang mencantumkan identitas dan foto korban

kejahatan seksual khususnya perempuan. Akibatnya, privasi para korban tak

terlindungi meskipun ada payung hukum perlindungan bagi mereka. Hal ini

8

(6)

terungkap dalam diskusi Etika Perlindungan Privasi dalam Peliputan Kejahatan

Seksual” di kantor Komnas Perempuan, pada 1 November 2011. Diskusi ini digelar

seiring maraknya kasus kejahatan seksual belakangan, termasuk pemerkosaan di

dalam angkutan umum.

Penderitaan korban kejahatan seksual acapkali bertambah karena peran media

yang mengungkap secara jelas identitas korban. Bahkan ada media yang memuat foto

korban dengan hanya menghitamkan bagian mata. Aliansi Jurnalis Indonesia melihat

tanggung jawab besar media dalam upaya perlindungan kejahatan seksual. Jurnalis

yang menulis kasus kejahatan seksual juga perlu menyadari publikasi harus diarahkan

untuk mengurangi jumlah kasus atau memberikan pencegahan tindakan kejahatan

seksual. Jika identitas korban kejahatan seksual diungkap, trauma korban berpotensi

semakin besar karena masyarakat mengetahui masalah yang dihadapi korban.9 Hal ini

bisa mengakibatkan psikis dari korban terganggu.

Dan terhadap pelaku kejahatan juga kecenderungan hak-hak pelaku

sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang sangat jauh dari yang

diharapkan. Banyak terjadi pelanggaran- pelanggaran hukum atas diri si pelaku ketika

ia diperhadapkan pada serentetan prosedur hukum sesuai dengan yang ditentukan

oleh Undang-Undang. Pelanggaran atas hak-hak dari si pelaku kejahatan ini sendiri

dapat kita temukan pada tingkat penyidikan oleh Polisi, ditingkat Kejaksaan dan juga

tingkat Pengadilan. Contoh dalam kasus Prita Mulyasari vs RS. Omni Tangerang

terkait dengan tulisan yang dibuat oleh Prita atas kekecewaannya terhadap pelayanan

9

(7)

kesehatan oleh RS. Omni. Dalam kasus ini dakwaan yang dibuat oleh jaksa tidak

sesuai dengan BAP dari penyidik. Jaksa meminta penyidik menambahkan pasal 27

ayat (3) dan pasal 45 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE) ke dalam berkas. Pada pasal 27 UU ini mengatur

tentang perbuatan yang dilarang. Pasal 27 ayat (3) sendiri berbunyi “ Setiap orang

dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau

membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang

memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik” dan pasal 45 sendiri

mengatur tentang ketentuan pidananya. Berbekal permintaan jaksa itu, penyidik

akhirnya menambahkan jerat tambahan yang diminta. Menurut Jaksa Agung, dari

hasil eksaminasi terlihat kinerja jaksa yang menangani kasus Prita tidak profesional.

Permintaan jerat tambahan jaksa hanya dicantumkan di atas sampul berkas. Mestinya,

jerat tambahan itu dimuat dalam berita acara resmi.10 Namun hal inilah yang

membuat majelis hakim memutus bebas Prita walaupun masih ada upaya hukum yang

dilakukan oleh Kejaksaan. Realita pemberlakuan hukum yang seperti ini

menimbulkan gesekan-gesekan yang tentu saja akan memiliki pengaruh yang sangat

besar bagi berlangsungnya kehidupan bernegara.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, maka penulis terinspirasi untuk

mengangkat masalah ini dalam tulisan skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS

PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN

10

(8)

PELAKU KEJAHATAN DIDASARKAN ATAS ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW”

B. Permasalahan

Banyaknya perbedaan-perbedaan perlindungan yang diberikan baik kepada

korban maupun kepada pelaku kejahatan menimbulkan kontroversi dalam

masyarakat. Maka untuk lebih dapat dipahami bagaimana sebenarnya perlindungan

korban kejahatan dan pelaku kejahatan itu dalam perundang-undangan penulis

menarik permasalahan sebagai berikut;

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban kejahatan menurut UU No 13

Tahun 2006 ?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pelaku kejahatan menurut KUHAP?

3. Bagaimana perbandingan perlindunganhukum terhadap korban dan pelaku

kejahatan didasarkan pada asas equality before the law?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada korban

kejahatan sebelum dan sesudah lahirnya UU Nomor 13 tahun 2006.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada pelaku

kejahatan menurut KUHAP.

3. Untuk mengetahui perbandingan perlindungan korban dan pelaku kejahatan

didasarkan atas asas equality before the law.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(9)

Adapun manfaat dari karya tulis ini adalah untuk memperkaya

literatur-literatur yang ada sebelumnya, khususnya mengenai perlindungan terhadap

korban dan pelaku kejahatan pada lapangan hukum. Karya tulisan ini

diharapkan menjadi acuan untuk penelitian yang lebih mendalam lagi.

2. Manfaat Praktis

Dengan karya tulisan ini diharapkan pelaksanaan daripada perlindungan

korban dan pelaku kejahatan dilapangan hukum pidana dapat berjalan sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku.

D. Keaslian Penulisan

Adapun karya tulis dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PERBANDINGAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU

KEJAHATAN DIDASARKAN ATAS ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW

dibuat dengan sebenarnya oleh penulis dengan dibantu oleh buku-buku dari

kepustakaan yang ada. Keaslian Penulisan ini juga bisa dibuktikan dengan adanya

surat Keterangan Lulus Perpustakaaan yang ditetapkan oleh Kepala Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tertanggal 29 September 2011. Dan

apabila ternyata dikemudian hari ada masalah berkenaan dengan karya tulis ini maka

penulis akan bersedia mempertanggungjawabkannya.

E. Tinjauan Pustaka Pengertian-pengertian:

1. Perlindungan hukum

Perlindungan berasal dari kata lindung yang artinya menempatkan diri

(10)

suatu perbuatan maksudnya melindungi; memberi pertolongan.11 Kata hukum berasal

dari bahasa Arab dan merupakan bentuk kata tunggal. Kata jamaknya adalah Alkas

yang selanjutnya diambil alih kedalam bahasa Indonesia menjadi hukum. Didalam

pengertian hukum terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat

melakukan paksaan. Istilah hukum ini sendiri ada bermacam-macam. Recht yang

berasal dari kata Rechtum yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan atau

pemerintahan. Kata ius ini berasal dari kata Iubre yang artinya mengatur atau

memerintah. Perkataan mengatur atau memerintah itu mengandung dan berpangkal

pada kewibawaan.

Bellefroid mengatakan bahwa hukum yang berlaku dimasyarakat yang

mengatur tata tertib masyarakat. Itu didasarkan atas kekuasaan yang ada dalam

masyarakat. Utrecht memberikan rumusan bahwa hukuman itu adalah himpunan

petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib

suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan.

Selanjutnya Prof. Mr. Paul Scholten dalam bukunya Algemene Deel, 1934 hal 16,

hukum itu adalah suatu petunjuk tentang apa yang layak dikerjakan apa yang tidak,

jadi hukum itu adalah suatu Pemerintah. Van Vollehoven dalam bukunya het adapt

recht Van Nederland Indie, hukum itu adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup

yang bergolak terus menerus dalam keadaan bentur-membentur tanpa hentinya

dengan gejala-gejala yang lainnya.

11

(11)

Sebagai kesimpulan dari rumusan sarjana tentang hukum, hukum adalah

himpunan dari semua peraturan-peraturan yang hidup bersifat memaksa, beriskan

petunjuk baik, merupakan perintah dan larangan-larangan berbuat sesuatu atau tidak

berbuat sesuatu dengan maksud mengatur tata tertib dalam pergaulan atau kehidupan

masyarakat. Peraturan-peraturan yang hidup maksudnya meliputi peraturan-peraturan

yang tidak tertulis yang terdapat dalam kebiasaan dan adat istiadat. Peraturan yang

bersifat memaksa berarti melanggar perintah dan larangan berakibat akan mendapat

sanksi/reaksi dari organ pemerintah seperti juru sita, jaksa, polisi dan sebagainya juga

dari masyarakat. Jadi pengertian dari perlindungan hukum adalah segala daya upaya

yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintahan, swasta

yang bertujuan untuk mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan

kesejahteraaan hidup sesuai dengan hak-hak-hak asasi yang ada.

2. Pengertian korban (Victims) dan Perlindungan terhadap korban tindak pidana

menurut UU Nomor 13 Tahun 2006

Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang

perorangan, tetapi biasa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan

hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu korbannya bisa juga berasal dari bentuk

kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan, ataupun ekosistem. Korban semacam ini

lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan.12

Berbagai pengertian korban banyak ditemukan baik oleh para ahli maupun

bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas tentang korban

kejahatan, sebagaian diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Arief Gosita

12

(12)

Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohaniah

sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan

diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak

asasi pihak yang dirugikan.13

b. Muladi

Korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun

kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental,

emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang

fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum

pidana dimasing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan

c. UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga14

Menurut Undang-Undang ini yang dimaksud dengan korban adalah orang

yang mengalami kekerasan dalam lingkup rumah tangga.15

d. UU Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Menurut Undang-Undang ini yang dimaksud dengan korban adalah orang

perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik

fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami

pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai

13

Arif Gosita, op.cit, hlm 90.

14

UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

(13)

akibat pelanggaran hak asasi yang berat, termasuk korban adalah ahli

warisnya.16

e. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara

Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi

Manusia yang Berat.

Menurut Undang-Undang ini Korban adalah orang perseorangan atau

kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran

hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan

mental dari anacaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.17

f. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban.

Menurut Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Korban adalah

seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian

ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.18

Pengertian Korban menurut UU nomor 13 Tahun 2006 ini sama dengan

pengertian korban menurut UU nomor 44 Tahun 2008 tentang pemberian

Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan korban.

Dan menurut kamus Crime Dictionary korban atau Victim adalah “orang

yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda

16

UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

17

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat.

18

(14)

atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan

oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”.19

Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban diatas, dapat dilihat

bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang

secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan

kerugian/ penderitaan bagi diri sendiri/ kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi

termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan

orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi

penderitaanya atau untuk mencegah viktimasi.

Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian korban

yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi

korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang

ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan.

3. Pengertian pelaku tindak pidana

Pengertian pelaku menurut KUHP dirumuskan dalam pasal 55 ayat (1) yaitu

dipidana sebagai tindak pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan,

yang turut serta melakukan, dan mereka yang sengaja menganjurkan orang lain

supaya melakukan perbuatan. Terhadap kalimat “dipidana sebagai pelaku” itu

timbullah perbedaan pendapat dikalangan para penulis hukum pidana, yaitu apakah

yang disebut pasal 55 ayat (1) KUHP itu adalah pelaku (dader) atau hanya disamakan

sebagai pelaku (alls dader). Dalam hal ini ada 2 (dua) pendapat, yaitu :

a. Pendapat yang luas (ekstentif)

19

(15)

Pendapat ini memandang sebagai pelaku (dader) adalah setiap setiap orang

yang menimbulkan akibat yang memenuhi rumusan tindak pidana, artinya

mereka yang melakukan yang memenuhi syarat bagi yang terwujudnya akibat

yang berupa tindak pidana. Jadi menurut pendapat ini, mereka semua yang

disebut dalam pasal 55 ayat 1 KUHP itu adalah pelaku (dader). Penganutnya

adalah M.v. T, Pompe, Hazewinkel suringa, Van Hanttum, dan Moeljatno.

b. Pendapat yang sempit ( resktriktif)

Pendapat ini memandang (dader) adalah hanyalah orang yang melakukan

sendiri rumusan tindak pidana. Jadi menurut pendapat ini, si pelaku (dader)

itu hanyalah yang disebut pertama (mereka yangmelakukan perbuatan) pasal

55 ayat (1) KUHP, yaitu yang personal (persoonlijk) dan materiil melakukan

tindak pidana, dan mereka yang disebut pasal 55 ayat (1) KUHP bukan pelaku

(dader), melainkan hanya disamakan saja (ask dader). Penganutnya adalah

H.R. Simons, Van Hamel, dan Jonkers.

Mereka yang melakukan tindak pidana (zij die het feit plegeen) terhadap

perkataan ini terdapat beberapa pendapat :

1) Simons, mengartikan bahwa yang dimaksudkan dengan (zij die het feit

plegeen) ialah apabila seseorang melakukan sendiri suatu tindak pidana,

artinya tidak ada temannya (alleendaderschaft)

2) Noyon, mengartikan bahwa yang dimaksud dengan zij die het feit plegeen

ialah apabila beberapaorang (lebih dari seorang) bersama-sama melakukan

(16)

Sarjana lain menyatakan bahwa sebenarnya dengan dicantumkannya

perumusan zij die het feitplgeen itu dalam pasal 55 KUHP adalah overbody atau

berkelebihan, sebab jika sekiranya perumusan itu tidak dicantumkan dalam pasal

tersebut, maka akan dapat ditemukan siapa pelakunya, yaitu:

1) Dalam delik formal, pelakunya ialah setiap orang yang melakukan

perbuatan yang memenuhi rumusan delik.

2) Dalam delik materil, pelakunya ialah setiap orang yang menimbulkan

akibat yang dilarang oleh undang-undang. dalam delik yang memenuhi

unsur kedudukan (kualitas), pelakunya adalah setiap orang yang memiliki

unsur kedudukan (kualitas) sebagaimana dilakukan dalam delik.

Misalnya, dalam delik-delik jabatan, yang dapat melakukannya adalah

pegawai negeri. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaku

adalah setiap orang yang memenuhi semua unsur yang terdapat dalam

perumusan tindak pidana.

4. Pengertian kejahatan

Pengertian kejahatan (crime) sangatlah beragam, tidak ada defenisi baku yang

didalamnya mencakup semua aspek kejahatan secra komprehensif. Ada yang

memberikan pengertian kejahatan dari aspek yuridis, sosiologis, maupun

kriminologis.

Berbicara tentang kejahatan kita harus lebih dulu melihat dari sudut mana

pengertian kejahatan itu ditinjau. Secara umum pada dasarnya kejahatan ini diberikan

(17)

perbuatan jahat.20 Munculnya perbedaan dalam mengartikan kejahatan dikarenakan

perspektif orang dalam memandang kejahatan sangatlah beragam, disamping

tentunya perumusan kejahatan akan sangat dipengaruhi oleh jenis kejahatan yang

akan dirumuskan.21

Kejahatan dalam bahasa Belanda “misdaad” yang berarti kelakuan atau

perilaku kejahatan dan atau perbuatan kejahatan. Secara etimologi kejahatan adalah

bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan. Kejahatan

merupakan suatu perbuatan atau tingkah laku yang sangat ditentang oleh masyarakat

dan paling tidak disukai oleh rakyat.22 Kejahatan adalah suatu hasil interaksi karena

adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Kejahatan

secara luas juga bisa diartikan sebagai suatu tindakan-tindakan yang menimbulkan

penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap jahat. Kejahatan adalah

perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan

oleh hukum tertulis atau hukum positif.23 Van Bammelen merumuskan kejahatan

adalah tiap kelakuan yang tidak bersifat susila dan merugikan, yang menimbulkan

begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu sehingga masyarakat

itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakan atas kelakuan itu dalam

bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.

Jika dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, perumusan kejahatan dalam hal ini adalah semua

(18)

bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana. Kalau melihat secara sosiologis, kejahatan merupakan suatu

perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat.24 Walaupun masyarakat

mempunyai berbagai macam perilaku yang berbeda-beda, akan tetapi didalamnya

bagian-bagian tertentu yang memiliki pola yang sama. Keadaan ini mungkin oleh

karena adanya sistem keadaan dalam masyarakat yang berbeda dan pluralistik.

Pengertian kejahatan secara sosiologis ini juga menurut W.A.Bonger adalah

suatu kelakuan yang asosial dan yang amoral yang tidak dikehendaki oleh kelompok

pergaulan dan secara sadar ditentang oleh pemerintah.25 Dari segi hukum, kejahatan

merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan barang siapa yang

melakukan suatu perbuatan bertentangan dengan undang-undang tersebut maka akan

dihukum. Dipandang dari segi kejiwaan (psikologis), setiap perbuatan manusia adalah

dicerminkan oleh kejiwaan dari manusia yang bersangkutan, yang dalam tindakannya

sampai dimana manusia tersebut dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma yang

terdapat dalam masyarakatnya. Jadi dapat dikatakan bahwa perbuatan jahat

(kejahatan) yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat tersebut tertentu

yang oleh karena itu pula perbuatan itu dapat dikatakan adalah titik normal

(abnormal). Masalah kejahatan harus kita lihat dengan memperhatikan hubungan

antara semua fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Jadi mereka yang terlibat

dalam terjadinya suatu kejahatan antara lain adalah26 :

(19)

a. Pihak-pihak pelaku kejahatan, korban kejahatan;

b. Pembuat Undang-Undang Pidana yang merumuskan, menentukan macam

perbuatan apa saja yang merupakan suatu kejahatan;

c. Kepolisian yang mengusut, mulai menguatkan adanya kejahatan;

d. Kejaksaan yang menuntut, menguatkan dan berusaha membuktikan terjadinya

kejahatan (antara lain dengan memamfaatkan pihak korban sebagai saksi);

e. Kehakiman yang memutuskan ada atau tidaknya suatu kejahatan;

f. Petugas pembinaan dan pelaksana hukuman terhadap pelaku kejahatan;

g. Pengamat atau penyaksi yang mengamati dan menyaksikan terjadinya

kejahatan, yang pada hakekatnya juga mempunyai peranan dalm terjadinya

atau tidak terjadinya suatu kejahatan karena tindakan penyaksi bersifat

mencegah atau membiarkan kelangsungan kejahatan tersebut.

Pada awalnya, kejahatan hanyalah merupakan “cap” yang diberikan

masyarakat pada perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak layak atau bertentangan

dengan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Dengan

demikian, ukuran untuk menentukan apakah suatu perbuatan merupakan kejahatan

adalah “apakah masyarakat secara umum akan menderita kerugian secara ekonomis

serta perbuatan tersebut secara psikologis merugikan sehingga dimasyarakat muncul

rasa tidak aman dan melukai masyarakat.

Karena ukuran pertama dalam menentukan apakah suatu perbuatan

merupakan kejahatan atau bukan adalah norma-norma yang hidup dan dianut dalam

masyarakat setempat, tentunya sukar untuk menggolongkan jenis-jenis perbuatan

(20)

adanya keberagaman suku dan budaya. Bagi suatu daerah suatu perbuatan mungkin

merupakan suatu kejahatan, tetapi didaerah lain perbuatan tersebut bisa saja bukan

merupakan suatu kejahatan. Namun kita tidak boleh digiring kearah pendikotomian

antara budaya dan masyarakat. Kejahatan tetaplah kejahatan, tidak boleh dilegalkan

dengan mengatasnamakan adat dan budaya karena kejahatan tetap saja merupakan

suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

5. Pengertian Asas Equality Before The Law

Asas ini menentang keberpihakan didepan hukum. Untuk itulah maka dituntut

untuk menyamakan derajat setiap orang didepan hukum.27 Asas ini merupakan salah

satu manifestasi dari Negara hukum (rechtstaat) sehingga harus ada perlakuan yang

sama bagi setiap orang dihadapan hukum (gelijkheid van iedeer voor de wet). Dengan

demikian elemen yang melekat mengandung makna perlindungan yang sama didepan

hukum (equal protection on the law) dan mendapatkan keadilan yang sama didepan

hukum (equal justice under the law). Tegasnya hukum acara pidana tidak mengenal

adanya perlakuan yang berbeda terhadap orang yang terkait dengan peradilan baik

sebagai tersangka, saksi, maupun korban sebagaimana ditentukan pasal 5 ayat (1) UU

nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum KUHAP

dan karena itu pulalah untuk menjaga kewibawaan pengadilan, maka segala

intervensi terhadap pengadilan dilarang kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.

F. Metode Penulisan

1. Jenis penulisan

27

(21)

Penulisan dalam skripsi ini merupakan penulisan hukum normative (yuridis

normative) dimana penulisan yang dilakukan dan ditujukan terhadap peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan korban dan pelaku

kejahatan serta berbagai literatur yang terkait dengan permasalahan didalam skripsi

ini.

2. Jenis dan sumber data

Data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder.

Data sekunder diperoleh dari:

a) Bahan hukum primer

Yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh

pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah

dan lain-lain,

b) Bahan hukum sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau merupakan hasil kajian

dari berbagai media seperti Koran, majalah, artikel-artikel yang dimuat

diberbagai website internet.

c) Bahan hukum tersier

Yaitu semua dokumen yang berisikan konsep-konsep dan keterangan yang

mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus

dan ensiklopedia.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data didalam memecahkan permasalahan skripsi

(22)

dilaksanakan dengan cara menelaah buku-buku karangan ilmiah, dan peraturan

perundang-undangan yang ada hubungannya dengan permasalahan pada skripsi ini.

Selain itu studi juga diarahkan terhadap artikel-artikel ilmiah yang dimuat dikoran

maupun di majalah baik itu yang dimuat di berbagai media massa maupun dibuat di

website internet.

4. Analisis Data

Dalam penulisan skripsi ini, segala data yang diperoleh penulis kemudian

dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menjawab segala permasalahan didalam

skripsi ini, yang kemudian analisis deskriptif tersebut akan membantu penulis

membuat suatu kesimpulan yang benar.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut

dengan BAB, dimana masing-masing BAB diuraikan masalahnya tersendiri, namun

masih dalam konteks yang berkaitan satu dengan yang lain. Secara sistematis

penulisan ini menempatkan materi pembahasan secara keseluruhannya kedalam 4 bab

yang terperinci sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Dalam bab ini berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian

dan sistematika penulisan.

BAB II Perlindungan Hukum Korban Kejahatan menurut UU Nomor 13 Tahun

(23)

Dalam bab ini akan dibahas apa yang menjadi pengertian korban

kejahatan, hak-hak korban, jenis-jenis korban, perlindungan saksi dan

korban dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia

sebelum lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2006, dan perlindungan hukum

terhadap korban menurut ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2006.

BAB III Perlindungan Hukum Pelaku Kejahatan Menurut KUHAP

Dalam Bab ini akan dibahas pengertian pelaku kejahatan, perlindungan

hukum terhadap pelaku kejahatan mulai dari berstatus tersangka, sampai

dengan berstatus narapidana menurut ketentuan KUHAP

BAB IV Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Korban dan Pelaku

Kejahatan Didasarkan Atas Asas Equality Before The Law

Dalam bab ini akan dibahas hubungan korban dengan pelaku kejahatan,

perbandingan perlindungan korban dan pelaku kejahatan dan beberapa

bentuk pelanggaran perlindungan atas diri korban dan pelaku kejahatan

dilapangan.

BAB V Kesimpulan dan Saran

Dalam bab ini akan dibahas kesimpulan dan saran dari apa yang sudah

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga dapat kita simpulkan bahwa Hak Asasi Manusia itu merupakan suatu hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang