• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

KEARIFAN LOKAL

DALAM PENGELOLAAN HUTAN DI DESA SERDANG

KECAMATAN BARUSJAHE, KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Karmila Br Ginting 101201015/Manajemen Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

(2)

ABSTRAK

KARMILA BR GINTING. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo. Dibimbing oleh AGUS PURWOKO dan JUNJUNGAN SIMANJUNTAK.

Masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang lebih tinggi sehingga ketergantungan tersebut mendorong kepedulian masyarakat terhadap hutan semakin tinggi dan harus dibatasi dengan norma-norma atau aturan adat. Pengelolaan sumberdaya hutan sangat dipengaruhi oleh kearifanlokal yang dimiliki masyarakat tersebut untuk mencegah berbagai pengaruh buruk terhadap hutan. Penelitian ini dilakukan untuk menginventarisasi sejauh mana kearifan lokal yang dimiliki masyarakat dapat mendukung pengelolaan hutan. Penelitian ini dilakukan di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo pada bulan Juni samapai dengan Juli 2014. Metode yang digunakan adalah survei melalui wawancara terhadap responden dengan menggunakan kuisioner serta observasi langsung kemudian data diolah dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa sejauh ini kearifan lokal yang dimiliki masyarakat telah mengurangi dampak kerusakan hutan,meskipun kerusakan hutan masih tetap terjadi. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan juga mampu mendorong masyarakat untuk tetap menjaga dan melestarikan hutan. Dalam penelitian ini juga diketahui bentuk-bentuk kearifan lokal lokal yang dapat mendukung pengelolaan hutan seperti Kepercayaan dan/atau pantangan yang ada berupa pelaksanaan upacara adat seperti, Upacara kerja tahun, upacara mbesur-mbesuri,upacara ndungi adat, upacara mbengket rumah mbaru, upacara rebu-rebu, Etika dan aturan penggunaan lahan berupa larangan untuk melakukan penebangan dari hutan lindung, larangan menangkap ikan dengan meggunakan racun dan bom, larangan mengenai perburuan hewan yang dilindungi, Teknik dan teknologi berupa pembuatan sekat bakar untuk membakar sisa-sisa pertanian, memperhatikan arah angin sebelum melakukan pembakaran, tidak melakukan pembakaran pada saat musim kemarau, Praktek dan teknik penggunaan lahan berupa Pembagian suatu areal menjadi beberapa luasan lahan untuk ditanami dengan komoditi pertanian yang berbeda,menerapkan teknik tumpang sari dalam kegiatan pertanian, penggunaan pupuk kompos serta humus untuk tetap menjaga kesuburan tanah, pengetahuan mengenai siklus tanaman , pemilihan komoditi pertanian yang sesuai dengan pengetahuan dan kondisi lokasi penanaman, serta memanfaatkan tumbuhan hutan sebagai tanaman obat. Penelitian ini juga memberikan masukan bagi pemerintah agar tetap melakukan pendampingan serta penyuluhan bagi masyarakat agar kearifan lokal yang dimiliki masyarakat tetap berkembang.

(3)

ABSTRACT

KARMILA BR GINTING. Local Wisdom on Forest Management in Serdang, Rural District of Barusjahe, Karo District. Supervised by AGUS PURWOKO and JUNJUNGAN SIMANJUNTAK.

People living and live in the forest have a higher dependency so that the dependence encourage public awareness of the high forest and should be restricted to the norms or customs rules. Management of forest resources is strongly influenced by the community-owned kearifanlokal to prevent the adverse effects on forests. This study was conducted to inventory the extent of local knowledge of the communities can support forest management. This research was conducted in the village of Serdang District of Barusjahe, Karo in June to July 2014 samapai method used was a survey through interviews with respondents using questionnaires and direct observation and then the data is processed by descriptive qualitative method. The results showed that so far local knowledge of the communities has reduced the impact of forest destruction, although deforestation still going on. Community dependence on forests is also able to encourage people to keep and preserve forests. In this study, also known forms of local knowledge that can support local forest management such as Trust and / or restrictions that exist in the form of traditional ceremonies such implementation, working in Ceremony, mbesur-mbesuri ceremony, ceremony ndungi customs, ceremonies mbengket mbaru home, ceremony rebu -rebu, Ethics and land-use regulations such as prohibitions on logging of protected forests, a ban on catching the fish is by using poison and bombs, the prohibition on hunting protected animals, technique and technology in the form of making firebreaks to burn the remains of the farm, pay attention to the wind direction before burning, no burning during the dry season, land use practices and techniques in the form of division of an area into a number of land area to be planted with different agricultural commodities, applying intercropping techniques in agricultural activities, the use of compost and humus to maintain fertility ground, knowledge of the crop cycle, the selection of agricultural commodities in accordance with the knowledge and conditions of the planting site, and utilizing forest plants as a medicinal plant. This study also provides input for the government to continue to provide guidance and counseling for the community that local knowledge possessed people still evolving.

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Salit, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo

pada tanggal 28 Maret 1992 dari Bapak Riadi Ginting dan Ibu Perhatian Br

Sembiring. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara yakni Helida Br

Ginting, Henaria Br Ginting, Nikke Prastika Br Ginting, Elia Alexandria Br

Ginting.

Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tigapanah dan pada tahun

yang sama penulis lulus masuk melalui jalur pemanduan minat dan prestasi

(PMP). Penulis masuk di Program Studi Manajemen Hutan, Departemen

Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Penulis melakukan kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH)

di Kawasan Tahura Bukit Barisan dan Hutan Pendidikan USU/Tongkoh pada

tanggal 7-16 Juli 2012. Selama Perkuliahan Penulis mengikuti kegiatan

Organisasi Himpunan Mahasiswa Sylva (Himas), Ikatan Mahasiswa Karo

(IMKA), dan Kors Rimbawan Menulis (KORIM).

Penulis melaksanakan praktik Kerja Lapangan (PKL) di Taman Nasional

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. skripsi ini

berjudul “ Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan di Desa Serdang Kecamatan

Barusjahe, Kabupaten Karo”.

Pada Kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada orang tua

Bapak Riadi Ginting dan Ibu Perhatian Br Sembiring dan semua keluarga yang

telah memberi dukungan dan doa kepada penulis. Dosen Pembimbing Bapak

Dr. Agus Purwoko S.Hut.,M.Si dan Bapak Drs. Junjungan Simanjuntak, SBP

S.,M.Si yang telah memberi arahan dan bimbingan kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi ini. Masyarakat Desa Serdang yang telah banyak membantu

serta kepada teman-teman atas partisipasinya selama kegiatan penelitian dan

penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih banyak

kesalahan baik dalam penulisan maupun penyajiannya. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan

skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.

Medan, September 2014

(6)

DAFTAR ISI

Manfaat Penelitian... 6

Batasan Penelitian... 6

TINJAUAN PUSTAKA Hubungan Masyarakat Lokal dengan Kearifan Lokal... . 7

Ruang Lingkup Kearifan Lokal... 9

Pengetahuan Lokal Sebagai Bagian dari Kearifan Lokal... 11

Pengetahuan Masyarakat Mengenai Tanaman Obat... 13

Teknik dan Praktek oleh Masyarakat Lokal... 14

Bentuk-bentuk Kearifan Lokal dalam Masyarakat Lokal... 15

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian... 16

Alat dan Bahan... 16

Teknik dan Tahapan Pengumpulan Data... 16

Populasi dan Sampel... 17

Analisis Data... 17

Bagan Penelitian... ... 18

(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian... 20

Letak Geografis dan Kondisi Iklim... 20

Komposisi penduduk... ... 20

Sarana dan Prsarana... ... 21

Sejarah Desa... ... 22

Bentuk Kearifan Lokal... ... 25

Kepercayaan dan/atau pantangan... 25

1. Tradisi dan Kepercayaan Masyarakat ... 25

2. Ketergantungan Masyarakat Terhadap Hutan... . 26

Etika dan aturan... . 29

Praktek Penggunaan Lahan Terhadap Pengelolaan Hutan... .... 29

Teknik dan teknologi... . 31

Praktek dan Teknik Penggunaan Lahan... .. 31

1. Praktek penggunaan lahan... . 32

2. Kearifan lokal penggunaan api untuk persiapan lahan... 33

Praktek dan tradisi pengelolaan hutan/lahan... ... 34

Pengetahuan Lokal Masyarakat Mengenai Tanaman Obat... .. 34

Dampak Penerapan Pengetahuan Lokal... . 40

Aspek ekonomi... 40

Aspek sosial... 41

Aspek lingkungan... 43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 47

Saran... 48

DAFTAR PUSTAKA... ... 49

(8)

DAFTAR TABEL

1. Beberapa contoh dari bentuk-bentuk kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hutan secara

lestari... .... 13

2. Matriks metodologi... .. 19

3. Upacara adat yang masih dijalankan masyarakat... 23

4. Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat... 36

(9)

DAFTAR GAMBAR

1. Bagan Penelitian... ... .. 18

2. a. Teknik penggunaan api... 33

b. Teknik pembakaran kawasan hutan untuk membuka lahan baru... 33

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Lokasi penelitian... 49

2. Karakteristik responden Desa Serdang... 50

3. Karakteristik pemanfaatan lingkungan alam oleh masyarakat... 51

4. Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Serdang... 52

5. Komoditi pertanian yang ditanam di Desa Serdang... 53

(11)

ABSTRAK

KARMILA BR GINTING. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo. Dibimbing oleh AGUS PURWOKO dan JUNJUNGAN SIMANJUNTAK.

Masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang lebih tinggi sehingga ketergantungan tersebut mendorong kepedulian masyarakat terhadap hutan semakin tinggi dan harus dibatasi dengan norma-norma atau aturan adat. Pengelolaan sumberdaya hutan sangat dipengaruhi oleh kearifanlokal yang dimiliki masyarakat tersebut untuk mencegah berbagai pengaruh buruk terhadap hutan. Penelitian ini dilakukan untuk menginventarisasi sejauh mana kearifan lokal yang dimiliki masyarakat dapat mendukung pengelolaan hutan. Penelitian ini dilakukan di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo pada bulan Juni samapai dengan Juli 2014. Metode yang digunakan adalah survei melalui wawancara terhadap responden dengan menggunakan kuisioner serta observasi langsung kemudian data diolah dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa sejauh ini kearifan lokal yang dimiliki masyarakat telah mengurangi dampak kerusakan hutan,meskipun kerusakan hutan masih tetap terjadi. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan juga mampu mendorong masyarakat untuk tetap menjaga dan melestarikan hutan. Dalam penelitian ini juga diketahui bentuk-bentuk kearifan lokal lokal yang dapat mendukung pengelolaan hutan seperti Kepercayaan dan/atau pantangan yang ada berupa pelaksanaan upacara adat seperti, Upacara kerja tahun, upacara mbesur-mbesuri,upacara ndungi adat, upacara mbengket rumah mbaru, upacara rebu-rebu, Etika dan aturan penggunaan lahan berupa larangan untuk melakukan penebangan dari hutan lindung, larangan menangkap ikan dengan meggunakan racun dan bom, larangan mengenai perburuan hewan yang dilindungi, Teknik dan teknologi berupa pembuatan sekat bakar untuk membakar sisa-sisa pertanian, memperhatikan arah angin sebelum melakukan pembakaran, tidak melakukan pembakaran pada saat musim kemarau, Praktek dan teknik penggunaan lahan berupa Pembagian suatu areal menjadi beberapa luasan lahan untuk ditanami dengan komoditi pertanian yang berbeda,menerapkan teknik tumpang sari dalam kegiatan pertanian, penggunaan pupuk kompos serta humus untuk tetap menjaga kesuburan tanah, pengetahuan mengenai siklus tanaman , pemilihan komoditi pertanian yang sesuai dengan pengetahuan dan kondisi lokasi penanaman, serta memanfaatkan tumbuhan hutan sebagai tanaman obat. Penelitian ini juga memberikan masukan bagi pemerintah agar tetap melakukan pendampingan serta penyuluhan bagi masyarakat agar kearifan lokal yang dimiliki masyarakat tetap berkembang.

(12)

ABSTRACT

KARMILA BR GINTING. Local Wisdom on Forest Management in Serdang, Rural District of Barusjahe, Karo District. Supervised by AGUS PURWOKO and JUNJUNGAN SIMANJUNTAK.

People living and live in the forest have a higher dependency so that the dependence encourage public awareness of the high forest and should be restricted to the norms or customs rules. Management of forest resources is strongly influenced by the community-owned kearifanlokal to prevent the adverse effects on forests. This study was conducted to inventory the extent of local knowledge of the communities can support forest management. This research was conducted in the village of Serdang District of Barusjahe, Karo in June to July 2014 samapai method used was a survey through interviews with respondents using questionnaires and direct observation and then the data is processed by descriptive qualitative method. The results showed that so far local knowledge of the communities has reduced the impact of forest destruction, although deforestation still going on. Community dependence on forests is also able to encourage people to keep and preserve forests. In this study, also known forms of local knowledge that can support local forest management such as Trust and / or restrictions that exist in the form of traditional ceremonies such implementation, working in Ceremony, mbesur-mbesuri ceremony, ceremony ndungi customs, ceremonies mbengket mbaru home, ceremony rebu -rebu, Ethics and land-use regulations such as prohibitions on logging of protected forests, a ban on catching the fish is by using poison and bombs, the prohibition on hunting protected animals, technique and technology in the form of making firebreaks to burn the remains of the farm, pay attention to the wind direction before burning, no burning during the dry season, land use practices and techniques in the form of division of an area into a number of land area to be planted with different agricultural commodities, applying intercropping techniques in agricultural activities, the use of compost and humus to maintain fertility ground, knowledge of the crop cycle, the selection of agricultural commodities in accordance with the knowledge and conditions of the planting site, and utilizing forest plants as a medicinal plant. This study also provides input for the government to continue to provide guidance and counseling for the community that local knowledge possessed people still evolving.

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan baik dari segi

ekologi, lingkungan, sosial maupun segi ekonomi. Hutan memiliki fungsi ganda

khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan karena mereka terlibat

langsung dengan hutan tersebut. Pada umumnya masyarakat yang hidup di sekitar

hutan akan memiliki ketergantungan yang lebih tinggi, oleh sebab itu masyarakat

sekitar atau juga disebut masyarakat lokal tersebut akan tetap berusaha menjaga

dan mengelola hutan tersebut meskipun akan ada sebagian orang yang tidak

perduli akan fungsi hutan tersebut bagi kehidupan mereka.

Masyarakat sekitar hutan memiliki cara-cara tersendiri baik dalam

mengelola maupun dalam memanfaatkan hasil hutan. Masyarakat sekitar hutan

menggunakan norma adat maupun budaya mereka dalam mengelola hutan.

Budaya tersebut telah secara turun temurun digunakan dan dilaksanakan oleh

nenek moyang mereka dalam menjaga lingkungan mereka yang disebut dengan

kearifan lokal. Kearifan lokal, berarti kearifan setempat (local wisdom) yang

dapat dipahami sebagai budaya-budaya lokal yang bersifat bijaksana, penuh

kearifan, bernilai, dan diikuti oleh warga masyarakatnya serta yang akan menjadi

acuan bagi masyarakat dalam bertindak sehari-hari.

Desa Serdang merupakan sebuah desa yang letaknya sangat dekat dengan

hutan yaitu hanya sekitar 300 meter dari hutan. Letak desa yang begitu dekat

dengan hutan membuat interaksi masyarakat tidak dapat dipisahkan dari hutan.

(14)

Ganjang, Deleng Lau mbiring, dan Deleng Lau Simbelin. Hutan Badigulan

merupakan sebuah hutan yang memiliki mata air, dimana mata air tersebut

merupakan sumber air bersih yang digunakan oleh masyarakat Desa Serdang dan

masyarakat Desa Barusjahe. Selain sumber air bersih Deleng Badigulan

merupakan hutan dimana masyarakat paling banyak melakukan interaksi seperti

pengambilan humus, bambu, serta tanaman obat.

Desa Serdang yang telah terbentuk sejak ratusan lalu memiliki beragam

budaya, yang baik masih dipertahankan atau tidak lagi hingga sekarang. Budaya

yang dimiliki masyarakat khususnya masyarakat desa Serdang yang tinggal

disekitar hutan memiliki peraturan-peraturan yang terkait dengan

larangan-larangan serta kepercayaan-kepercayaan masyarakat terhadap hutan.

Larangan-larangan tersebut misalnya kepercayaan terhadap kayu-kayu besar, batu-batu

besar,sungai-sungai atau berbagai aturan lainnya. Namun terkait dengan

pertumbuhan penduduk yang berkembang dengan pesat serta masuknya berbagai

teknologi membuat kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Desa Serdang

memungkinkan mengalami penurunan.

Kearifan lokal merupakan tata nilai kehidupan yang terwarisi dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Kearifan lokal yang berbentuk religi, budaya

ataupun adat istiadat yang umumnya dalam bentuk lisan dalam suatu bentuk

sistem sosial suatu masyarakat. Keberadaan kearifan lokal dalam masyarakat

merupakan hasil dari proses adaptasi turun menurun dalam periode waktu yang

sangat lama terhadap suatu lingkungan yang biasanya didiami ataupun lingkungan

(15)

Masyarakat Desa Serdang merupakan Desa yang didominasi oleh Suku

Karo. Suku Karo merupakan suku yang sangat kental dengan berbagai adat seperti

aturan-aturan seperti perayaan adat yang diadakan setiap tahun,

pantangan-pantangan atau larangan seperti larangan membuang air besar atau kecil di

sembarang tempat. Etika seperti menghormati tempat yang dikeramatkan oleh

masyarakat desa, serta kepercayaan terhadap sesuatu seperti kepercayaan terhadap

roh nenek moyang. Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat karo yang

tinggal di Desa Serdang masih mempertahankan beberapa budaya yang telah

diwariskan nenek moyang secara turun menurun.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007

tata hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, mencakup

kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan

potensi yang terkandung di dalamnya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat

yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari. Serta pemanfaatan hutan

adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa

lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut

hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan

masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.

Dalam kaitanya dengan pengelolaan lingkungan, peran masyarakat diatur

dalam Peraturan Perundang-undangan Nomor 32 Tahun 2009 tentang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Artinya hak informasi

lingkungan hidup adalah konsekuensi logis dari hak yang berperan dalam

pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan asas keterbukaan. Hak terhadap

(16)

masyarakat dalam mengaktualisasikan haknya atas lingkungan yang baik dan

sehat.

Di era globalisasi saat ini, telah banyak ditemui berbagai krisis ekologi

yang muncul akibat terganggunya keseimbangan alam. Tanpa kita sadari berbagai

tindakan dan sikap kita telah merusak ekologi. Penggunaan teknologi yang tidak

tepat guna atau berlebihan salah satu contoh yang dapat mengganggu

keseimbangan alam seperti perubahan iklim, krisis air bersih, pencemaran udara,

dan berbagai krisis ekologi lainnya. Oleh sebab itu, kita perlu kembali

mengembangkan dan melestarikan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat

pedesaan.

Perumusan Masalah

Kearifan lokal membuktikan bahwa kelestarian suatu hutan dapat terjaga karena masyarakat yang tinggal di sekitar hutan masih melestarikan

kebudayaan-kebudayaan yang telah diturunkan secara turun menurun. Kearifan Lokal juga

menunjukan efektivitasnya dalam menyelamatkan hutan. Namun akibat

moderenisasi yang berkembang dengan pesat mengakibatkan nilai kearifan lokal

tersebut semakin terkikis. Karena sebagian masyarakat belum menyadari akan

pentingnya keberadaan hutan bagi kehidupan mereka maka tidak jarang

masyarakat melakukan eksploitasi terhadap hutan. Kegiatan eksploitasi dilakukan

untuk membuka lahan baru untuk kemudian dijadikan sebagai lahan pertanian.

Hal tersebut tentu menjadi suatu tantangan yang berat dalam rangka melestarikan

sumberdaya hutan. Selain kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh masyarakat,

kurangnya perhatian dari pemerintah juga menyebabkan keadaan hutan yang

(17)

Salah satu cara yang dapat menyelamatkan hutan tersebut adalah dengan

mengkaji kembali kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat yang tinggal di

sekitar hutan. Karena masyarakat sekitar hutan memegang peranan penting dalam

upaya penyelamatan sumberdaya alam. Bagaimana kearifan lokal yang dimiliki

dan dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan serta pemanfaatan

sumberdaya alam perlu dikaji kembali. Selain itu ketergantungan masyarakat

terhadap hutan juga diperlukan untuk melihat sejauh mana masyarakat

memandang pentingnya keberadaan hutan bagi kehidupannya. Pengetahuan dan

praktek-praktek kearifan lingkungan akan berguna untuk menentukan upaya

pengelolaan dan pemanfaatan hutan agar meningkatkan pemeliharaan, pelestarian,

dan kualitas lingkungan hidup dalam jangka panjang dan berkesinambungan.

Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan untuk menginventarisasi kearifan lokal yang terkait

dengan kepercayaan atau/dan pantangan, etika dan aturan, teknik dan teknologi,

serta praktek dan tradisi pengelolaan hutan/lahan yang dilakukan oleh masyarakat

dalam membangun dan mengelola lingkungan hutan di Desa Serdang, Kecamatan

Barusjahe, Kabupaten Karo.

Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi:

1. Akademis, sebagai bahan masukan bagi penelitian selanjutnya.

2. Pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan

kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya hutan kawasan Desa Serdang,

(18)

3. Membantu dalam proses berkembangnya pengelolaan sumberdaya hutan oleh

masyarakat sekitar hutan yang diharapkan menambah kajian ilmu sosial

masyarakat serta pengetahuan dan wawasan mengenai peran kearifan lokal

dalam pengelolaan hutan terhadap pelestarian hutan.

4. Masyarakat, untuk membantu masyarakat agar memiliki pemahaman

mengenai pentingnya pengelolaan hutan serta pentingnya menjaga kelestarian

lingkungan.

Batasan Penelitian

Penelitian ini hanya dilakukan sebagai berikut :

1. Penelitian ini dilakukan khusus hanya untuk masyarakat Desa Serdang,

Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo yang merupakan masyarakat asli atau

pendatang dengan melihat bagaimana praktek kearifan lokal yang dimiliki

oleh masyarakat tersebut terkait dengan pengelolaan hutan.

2. Penelitian ini dilakukan hanya untuk melihat praktek daripada kearifan lokal

yang terkait dengan kepercayaan dan/atau pantangan, etika dan aturan, teknik

dan teknologi serta praktek dan tradisi pengelolaan hutan/lahan yang

diterapkan dan dilaksanakan oleh masyarakat lokal Desa Serdang, Kecamatan

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Hubungan Masyarakat Lokal dengan Kearifan Lokal

Kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan

menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek,

atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu hal tersebut dijelaskan oleh

Ridwan (2007). Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang muncul dari periode

panjang yang berevolusi bersama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem

lokal yang sudah dialami berama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan

melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi

potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama

secara dinamis dan damai.

Menurut Djatmiko (1999) masyarakat lokal di sekitar hutan (local

communities) ialah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan memanfaatkan

hutan, namun tidak memiliki atau menguasai kawasan hutan. Menurut beberapa

ahli yang mengamati hubungan antar masyarakat lokal dengan sumberdaya alam

khususnya hutan di sekitarnya, bahwa kearifan lokal identik dengan pengetahuan

tradisional yang merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu

masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang

berkenaan dengan model-model pengelolaan sumberdaya alam secara lestari

(Zakaria,1994).

Suhartini (2009) juga menyatakan bahwa kondisi terkini kearifan

tradisional dan nilai-nilai budaya lokal tidak bisa dipisahkan dari kondisi pemilik

dan pengguna utamanya, yaitu masyarakat adat. Masyarakat adat merupakan

(20)

pembangunan lingkungan di Indonesia terkait dengan bagaimana cara pengelolaan

sumber daya alam yang ada. Cara pengelolan sumberdaya alam dan lingkungan

oleh mayarakat adat telah terbukti memperkaya keanekaragaman sumberdaya

alam dan keberlanjutan. Masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam

struktur negara Indonesia dan sangat berperan dalam pembangunan berkelanjutan.

Keberhasilan pengelolaan hutan sebagai sumber daya milik bersama,

sangat ditentukan oleh aspek kelembagaan karena kelembagaan berfungsi

mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi

(North 1990; Rodgers 1994). Kelembagaan juga dapat menghambat munculnya

perilaku oportunistik dan saling merugikan sehingga perilaku manusia dalam

memaksimumkan kesejahteraannya lebih dapat diprediksi (Kasper & Streit 1998).

Masyarakat adat dengan segala kearifan lokal yang dimilikinya tentu saja

akan mengalami perubahan layaknya kebudayaan. Hal ini mengingat bahwa

kearifan lokal merupakan salah satu wujud dari kebudayaan masyarakat. Sartini

(2004), menjelaskan bahwa kebudayaan akan berubah dengan dipengaruhi oleh

berbagi faktor. Dimana kebudayaan akan berubah dengan dipengaruhi oleh

pertumbuhan penduduk, perpindahan atau masuknya penduduk lain pada suatu

komunitas tertentu, masuknya peralatan baru sebagai produk moderenisasi, dan

kemudahan akses masuk ke dalam atau ke luar suatu komunitas. Hubungan antar

individu atau kelompok yang juga akan berpengaruh terhadap kebudayaan.

Kriteria masyarakat hukum adat berdasarkan definisi dalam Undang

Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

(21)

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terdiri dari beberapa komponen

antara lain:

1) Kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah

geografis tertentu;

2) Adanya ikatan pada asal usul leluhur;

3) Adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup;

4) Adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan

hukum adat.

Hutan dan fungsi hutan tidak dilepaskan dari pengaruh manusia dalam

memanipulasi penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan

kehidupan dan lingkungan. Dengan diterimanya posisi masyarakat sebagai pelaku

utama dalam pembangunan sumberdaya hutan di semua fungsi hutan ( produksi,

lindung, dan konservasi), maka semangat dan kesadaran msyarakat dapat

didorong untuk membangun, memelihara, dan memanfaatkan suberdaya hutan

secara lestari. Ketergantungan antara hutan dan masyarakat dapat dilihat dari

ketergantungan masyarakat teradap produksi dan jasa hasil hutan. Hutan sebagai

sumberdaya juga memerlukan masyarakat untuk pengelolaannya ( Awang,2004).

Ruang Lingkup Kearifan Lokal

Dalam pengertian kebahasaan kearifan lokal, berarti kearifan setempat

(local wisdom) yang dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang

bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai yang tertanam dan diikuti oleh

warga masyarakatnya. Menurut Sahlan (2009) hutan memiliki fungsi-fungsi

penting bagi kehidupan warga masyarakat sekitarnya, khususnya di hutan

(22)

masyarakat setempat tanpa menggangu fungsi pokoknya. Dalam konsep

antropologi, kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat

(indigenous or local knowledge), atau kecerdasan setempat (local genius),

yang menjadi dasar identitas kebudayaan (cultural identity)

(Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, 2011).

Kearifan tradisional yang bersifat lokal sesuai dengan daerahnya

masing-masing merupakan salah satu warisan budaya yang ada di masyarakat dan secara

turun-temurun dilaksanakan oleh kelompok masyarakat bersangkutan. Lampe

(2009) menjelaskan bahwa dari sisi lingkungan hidup keberadaan kearifan lokal

tradisional sangat menguntungkan karena secara langsung ataupun tidak langsung

dalam memelihara lingkungan serta mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.

Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif,

Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh

ruang. Kearifan tradisional dan kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal.

Kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut

sehingga tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari

generasi ke generasi. Kearifan lokal bisa merupakan kearifan yang belum lama

muncul dalam suatu komunitas sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungan

alam dan interaksinya dengan masyarakat serta budaya lain. Oleh karena itu,

kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional karena dia dapat mencakup kearifan

masa kini dan karena itu pula lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional.

Dilihat dari keasliannya, kearifan lokal bisa dalam bentuk aslinya maupun

dalam bentuk reka cipta ulang (institutional). Esensi kemajuan yang dicapai

(23)

bangsa tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya yang selaras dengan karakteristik

masyarakat bangsa itu sendiri. Budaya yang digali dari kearifan lokal bukanlah

penghambat kemajuan dalam era global, namun justru menjadi penyaring budaya

dan kekuatan transformasional yang luar biasa dalam meraih kejayaan bangsa.

Oleh karena itu, menggali nilai-nilai kearifan lokal merupakan upaya strategis

dalam membangun karakter bangsa di era global.

Kearifan lokal dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai

kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local

knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Ketiganya merujuk pada

bentuk pandangan hidup, ilmu pengetahuan,dan berbagai strategi kehidupan yang

berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab

berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Konsepsi yang

disebutkan terakhir adalah bahasan yang paling sering dijumpai dan dikupas saat

ini.

Pengetahuan Lokal Sebagai Bagian Dari Kearifan Lokal

Nygren (1999) mengemukakan pengetahuan lokal merupakan istilah yang

problematik. Pengetahuan lokal dianggap tidak ilmiah, sehingga pengetahuan

lokal tersebut dibedakan dengan pengetahuan ilmiah yang dikenalkan oleh dunia

barat. Titik temu antara pengetahuan lokal yang tidak ilmiah dan yang ilmiah

tersebut keduanya berada pada bagaimana cara memahami dunia mereka sendiri.

Pengetahuan lokal dapat ditelusuri dalam bentuk pragmatis maupun supranatural.

Pengetahuan dalam bentuk pragmatis menyangkut pengetahuan tentang kaitan

pemanfaatan sumberdaya alam dan dalam bentuk supranatural, ketika

(24)

pragmatis ini, pengetahuannya berubah, karena berhubungan dengan pihak lain

dari wilayahnya. Pengetahuan lokal selalu dianggap sebagai lawan dari

pengetahuan barat yang bersifat ilmiah, universal, memiliki metodologi dan dapat

diverifikasi. Pengetahuan lokal dianggap bersifat lokal, terbatas dan tidak

memiliki metodologi dan sebagainya. Pembedaan ini secara tidak sadar

memelihara perbedaan antara pengetahuan ilmiah negara barat dan pengetahuan

lokal (Negara Timur), yang pada akhirnya memelihara pandangan kolonialisme

antara Barat dan Timur.

Menurut beberapa ahli yang mengamati hubungan antara masyarakat lokal

dengan sumberdaya alam bahwa “kearifan lokal” identik dengan pengetahuan

tradisional (traditional knowladge). Kearifan tradisional merupakan pengetahuan

kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup

sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model

pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Pengetahuan dimaksud merupakan

citra lingkungan tradisional yang didasarkan pada sistem religi, yang bercorak

cosmismagis dan memandang manusia adalah bagian dari alam lingkungan itu

sendiri diamana terdapat roh-roh yang bertugas menjaga keseimbangannya. Oleh

karenanya untuk menghindarkan bencana atau malapetaka yang bisa mengancam

kehidupannya, manusia wajib menjaga hubungannya dengan alam semesta.

Termasuk dalam pemanfaatannya harus bijaksana dan bertanggung jawab

(Muspida,2008).

Pada dasarnya, pengetahuan tradisional terkait dengan Sumber Daya

Genetik yang merupakan bagian dari kearifan lokal yang bersifat teknis

(25)

dalam hidup keseharian masyarakat hukum adat dan masyarakat terkait lainnya.

Asaad (2011) menyebutkan berbeda dengan karakter dasar dari obyek-obyek hak

kekayaan intelektual konvensional, beberapa karakteristik kearifan lokal atau

pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat, antara lain:

1. Adanya keterkaitan dengan budaya atau masyarakat tertentu;

2. Jangka waktu penciptaan dan pengembangan yang cukup lama, biasanya

melalui tradisi lisan;

3. Bersifat dinamis (dynamic) dan senantiasa berubah seiring waktu dan

perubahan kondisi alam;

4. Terdapat dalam bentuk yang terulis/terkodifikasi maupun tidak

tertulis/tidakterkodifikasi seperti bentuk tutur kata, mitos dan bentuk lainnya

(folklore);

5. Disampaikan secara turun temurun dari generasi ke generasi (

inter-generation) Bersifat lokal dan seringkali diungkapkan dalam bahasa

setempat;

6. Diciptakan melalui proses yang unik dan kreatif seperti lahir dari mimpi,

Pengetahuan Masyarakat Mengenai Tanaman Obat

Potensi tanaman obat yang ada di hutan dan kebun/pekarangan sangat

besar, baik industri obat tradisional ataupun fitofarmaka memanfaatkannya

sebagai penyedia bahan baku obat. Dilihat dari segi habitusnya, spesies-spesies

tumbuhan obat yang terdapat di berbagai formasi hutan Indonesia dapat dapat

dikelompokkan ke dalam tujuh macam yaitu : habitus bambu, herba, liana

(26)

obat yang termasuk ke dalam habitus pohon mempunyai jumlah spesies dan

persentase yang lebih tinggi dibandingkan habitus lainnya ( Zuhud, 2008).

Pemanfaatan tanaman obat atau bahan obat alam pada umumnya bukanlah

merupakan hal yang baru. Upaya pengobatan tradisional merupakan hal yang

baru. Upaya pengobatan tradisional dengan obat-obat tradisional merupakan salah

satu bentuk peran serta masyarakat dan sekaligus merupakan merupakan

teknologi tepat guna yang potensial untuk menunjang pembangunan kesehatan

(Tukiman, 2004).

Teknik dan Praktek oleh Masyarakat Lokal

Kebakaran selalu berawal dari kejadian api kecil yang menyebar secara

liar. Timbulnya api-api kecil yang bersifat setempat umumnya berasal dari

sumber-sumber api pemicu yang bersifat rutin pada ladang didesa-desa sekitar

hutan. Hal-hal yang sering menjadi pertanyaan adalah apakah kejadian kebakaran

ini ada hubungannya dengan menurunnya nilai kearifan lokal tentang penggunaan

api di lahan untuk berladang masih ada pada sebagian penduduk sekitar hutan.

Keyakinan-keyakinan tradisional mengandung sejumlah besar data empiris

potensial yang berhubungan dengan fenomena, proses, sejarah perubahan

lingkungan (Adimihardja, 1998).

Pada dasarnya kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh multi-faktor

yang sangat kompleks mencakup aspek fisik yaitu bahan bakar,iklim, ekologi,

sosial ekonomi dan budaya antropologis masyarakat, teknologi dan sistem

kelembagaan serta intensitas pengelolaan hutan dan lahan termasuk aspek

(27)

kecil dengan sumber-sumber pemicu di masyarakat, sehingga nilai-nilai kearifan

lokal menjadi sangat penting untuk dikaji (Akbar,2011).

Bentuk pemanfaatan hutan rakyat adat yang berada di luar kawasan hutan

larangan biasanya dimanfaatkan untuk usaha tani, perkebunan kelapa sawit dan

karet. Sedangkan hutan larangan adat merupakan kawasan yang tidak

dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Pemanfaatan jenis tumbuhan di

hutan larangan adat antara lain pengambilan kayu bakar, bahan makanan, bahan

obat-obatan, dan rotan (Nurhayati, 2005).

Bentuk- Bentuk Kearifan Lokal Dalam Masyarakat Lokal

Tabel 1. Beberapa contoh dari bentuk-bentuk kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari

No Bentuk Kearifan Lokal Contoh

1 Kepercayaan dan/atau pantangan

• Manusia berkaitan erat dari unsur ( tumbuhan, binatang, faktor non-hayati lainnya) dan proses alam sehingga harus memelihara keseimbangan lingkungan

• Keberhasilan Penanaman ( misalnya padi, rotan ) berkaitan dengan gejala lingkungan seperti tumbuhan, ataupun bulan; • Pantangan untuk menebang pohon buah atau pohon madu

yang masih produktif, binatang yang sedang bunting, atau memotong rotan terlampau rendah ;

2 Etika dan aturan • Menebang pohon hanya sesuai dengankebutuhan dan wajib melakukan penanamannya kembali ;

• Tidak melakukan perladangan pada lahan yang sama secara terus-menerus (biasanya hanya satu hinggan dua kali panen); • Tidak boleh menangkap ikan dengan meracuni (tuba)

dan/atau menggunakan bom ;

• Mengutamakan berburu binatang-binatang yang menjadi ladang.

3 Teknik dan teknologi • Membuat ‘sekat bakar’ dan memperhatikan arah angin pada saat berladang agar api tidak menjalar dan/atau menghanguskan kebun/tanaman petani lainnya ;

• Menentukan kesuburan tanah dengan menancapkan bambu atau parang (untuk melihat kekeringan tanah), kegelapan warna tanah diameter pohon dan kehijauan warna tumbuhannya;

• Membuat berbagai perlengkapan/alat rumah tangga, pertanian, berburu binatang dari bagian kayu/bambu/rotan/getah/zat warna dan lain-lain.

4 Praktek dan tradisi pengelolaan

hutan/lahan

• Menetapakan sebagian areal hutan sebagai hutan lindung untuk kepentingan bersama ( komunal);

• Melakukan ‘koleksi’ berbagai jenis tanaman hutan berharga pada lahan-lahan perladangan dan pemukiman ( konservasi ek-situ)

• Mengembangkan dan/atau membudidayakan jenis tanaman /hasil hutan yang berharga.

(28)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di desa Serdang, Kecamatan Barusjahe,

Kabupaten Karo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2014.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemera digital, komputer

dan alat tulis sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuisioner.

Teknik dan Tahapan Pengumpulan Data

Penelitian ini bersifat eksploratif yaitu dengan pengambilan data dilakukan

dengan pengkombinasian antara metode telaahan dokumentasi dari berbagai

sumber data sekunder dan metode langsung yaitu pengumpulan data primer di

lapangan dengan wawancara dan observasi. Tahapan dalam pengumpulan data

adalah sebagai berikut :

1. Pengumpulan Data Primer Penelitian

a. Wawancara, dilakukan baik dengan masyarakat biasa maupun dengan

tokoh-tokoh kunci (ketua adat dan kepala desa). Wawancara dengan masyarakat

biasa dilakukan untuk menggali perilaku masyarakat sehari-hari dalam

pengelolaan hutan dan mengetahui pengaruh sosiokultural terhadap

kelestarian hutan,

b. Obsevasi, observasi digunakan pada saat informasi yang diinginkan belum

(29)

mengetahui kondisi masyarakat. Pengamatan fisik digunakan untuk

melengkapi uji sahih dari data yang dikumpulkan melalui wawancara.

2. Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder diperoleh dari studi- studi pustaka atau

publikasi yang dibuat oleh suatu instansi. Informasi yang diperoleh dari

pengumpulan data sekunder antara lain kondisi umum lokasi penelitian dan

informasi lain yang mendukung penelitian.

Populasi dan Sampel

Populasi yang diambil menjadi objek penelitian yaitu seluruh masyarakat

yang bertempat tinggal atau telah menetap ( setidaknya satu tahun menetap) di

Desa Serdang, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo. Berdasarkan data terbaru

dari Kantor Kepala Desa Serdang (2013) yang berjumlah sebanyak 877 jiwa dan

sebanyak 243 kepala keluarga (KK). Metode penentuan sampel sebagai

responden yang digunakan pada populasi masyarakat yang tinggal di Desa

Serdang berdasarkan rumus Arikunto (2006), dimana jika jumlah subjek

masyarakat yang ingin diwawancarai kurang dari 100 orang maka diambil semua

sebagai penelitian populasi, kemudian apabila jumlah populasinya lebih dari 100

orang maka diambil 10%-15% atau 20%-25% atau lebih tergantung pada

pertimbangan peneliti. Maka sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah

sebanyak 10% dari jumlah total kepala keluarga (KK) Desa Serdang yaitu

sebanyak 24 sampel warga sebagai objek penelitian.

Analisis Data

Data-data primer maupun sekunder yang telah dikumpulkan kemudian

(30)

tujuan penelitian yang dilakukan. Data- data yang diperoleh secara observasi,

waawancara, ataupun data-data pelengkap dikumpulkan dan diklasifikasikan

sesuai dengan tema kajian permsalahan kemudian dilakukanan analisis berupa

interpretasi data dengan bantuan data.

Bagan Penelitian

Gambar 1. Bagan Penelitian

Kearifan lokal yang akan dilihat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

1. Kepercayaan dan/ atau pantangan yang terkait dengan apa-apa saja jenis dan

kepercayaan yang dianut serta pantangan-pantangan apa saja yang masih

dijalankan oleh masyarakat Desa Serdang.

2. Etika dan aturan yang terkait dengan bagaimana etika yang dimiliki

masyarakat serta apa-apa saja aturan-aturan yang masih berlaku di Desa

Serdang. Misalnya larangan membuang air besar atau kecil di tempat-tempat

tertentu.

Masyarakat Desa Serdang

Kearifan Lokal Masyarakat

Asli

Masyarakat Pendatang

kepercayaan dan/atau pantangan

Etika dan aturan

Teknik dan teknologi

(31)

3. Teknik dan teknologi yang terkait dengan pengetahuan masyarakat mengenai

teknik penggunaan api serta teknologi yang digunakan masyarakat dalam

mengelola lahan.

4. Praktek dan tradisi pengelolaan hutan/lahan yang terkait dengan pengetahuan

masyarakat mengenai tanaman obat serta upaya yang digunakan masyarakat

untuk mengoleksi tanaman obat tersebut.

Matriks Penelitian Tabel 2. Matriks metodologi

Tujuan Studi Pokok Bahasan Data Kunci Sumber dan

metode

Hasil yang diharapkan

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Serdang adalah sebuah desa yang berada di

jumlah penduduk 17.777 jiwa, dan kepadatan penduduk 139 jiwa/km2.

Kecamatan Barusjahe beribukotakan Desa Barusjahe. Kecamatan Barusjahe

menaungi 20 desa, yaitu desa Barusjahe, Tigajumpa, Sukajulu, Paribun, Serdang,

Penampen, Gurisen, Siberteng, Tanjung Barus, Barusjulu, Rumahrih, Ujung

Bandar, Sukanalu, Rumamis, Sinaman, Bulanjahe, Bulanjulu, Semangat,

Talimbaru, dan Tangkidik.

Letak geografis dan kondisi iklim

Luas administratif Desa Serdang adalah 7,38 km. Batas-batas Desa Serdang

Kecamatan Barusjahe adalah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa penampen

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pertumbuken

c. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Barusjahe

d. Sebelah Timur berbatasan dengan Deli Serdang.

Komposisi penduduk

Penduduk yang tinggal di Desa Serdang terdiri dari suku yang homogen

yaitu Suku Karo dan terdapat beberapa suku yang berbeda yang terdiri dari 877

jiwa dan 243 kepala keluarga (kk). Jumlah Penduduk Laki-laki terdiri dari 433

(33)

Serdang memeluk agama yang berbeda-beda. Agama yang mayoritas dianut

penduduk Desa Serdang adalah Kristen Protestan.

Sarana dan prasarana

Sarana pelayanan kesehatan yang tersedia di Desa Serdang terdiri dari 1

unit puskesmas. Pada umumnya masyarakat yang datang ke tempat ini adalah

masyarakat yang mengalami sakit ringan seperti flu, demam, batuk, dan sakit

perut ringan dan apabila masyarakat mengalami penyakit berat dan bersifat serius

maka lebih memilih untuk berobat ke kota Berastagi atau Kabanjahe.

Sarana ibadah yang terdapat di Desa Serdang adalah 1 bangunan Masjid

untuk peribadatan umat Muslim, 2 bangunan gereja untuk peribadatan agama

Kristen Protestan yaitu Gereja Batak Karo Protetan (GBKP) dan Gereja

Pantekosta di Indonesia(GPdI), 1 Bangunan gereja Khatolik untuk peribadatan

agama Khatolik, 1 bangunan gereja Advent untuk sarana peribadatan umat

Advent.

Sarana pendidikan yang terdapat di desa Serdang yaitu 1 bangunan

sekolah taman kanak-kanak dan pendidikan anak usia dini (PAUD) dan 1

bangunan sekolah dasar (SD). Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah

menengah pertama (SMP) harus keluar desa yaitu SMP yang ada di desa

Penampen atau SMP yang ada di desa Tiga Jumpa. Untuk melanjutkan pendidikan

sekolah menengah atas (SMA) harus keluar yaitu SMA yang ada di desa Tiga

(34)

Sejarah desa

Desa Serdang telah berdiri beratus-ratus tahun yang lalu. Hal tersebut

berarti bahwa penduduknya sudah terdiri dari puluhan bahkan memungkinkan

ratusan keturunan. Tidak semua keturunan tersebut tinggal di Desa Serdang.

Sebagian ada yang berpindah tempat tinggal untuk mencari kehidupan yang lebih

layak dan pada akhirnya banyak yang tidak mengetahui lagi bahwa Desa Serdang

sebagai desa nenek moyangnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden tidak banyak yang

mengetahui sejarah terbentuknya Desa Serdang. Namun berdasarkan pendapat

orang tua dan orang yang telah berusia 80 tahunan dapat dipastikan bahawa nama

desa tersebut diambil karena desa tersebut letaknya sangat berdekatan dengan

Kabupaten Deli Serdang.

Berdasarkan sejarah terbentuknya kecamatan Barusjahe, maka pendiri

Kecamatan tersebut adalah marga Barus. Hal ini sesuai dengan marga yang

menjadi pemantek di Desa Serdang yaitu marga Barus. Profilnya dapat dilihat

sebagai berikut: Simantek kuta: Barus, Aberu kuta: Silangit, Senina: Sitepu

Terpuk kuta : Barus Rumah Mecu, Barus Rumah Barus, Barus Rumah Tanduk,

Barus Rumah Mbaru, Terpuk Rumah Langit, Terpuk Rumah Bulan.

Kesain-Kesain: Kesain Rumah Gara (Barus Rumah Mecu), Kesain Rumah

Jandi, Kesain Rumah Mecu, Kesain Rumah Barus, Kesain Rumah Tengah

(Kesain Mbelang), Kesain Rumah Galuh (Kesain Mbelang), Kesain Rumah

Mbelin, kesain Rumah Tersek (Rumah Anjung), Kesain Rumah Dapur, Kesain

Rumah Mbaru, Kesain Rumah Tanduk (Lesung), Kesain Rumah Langit, Kesain

(35)

Bentuk Kearian Lokal

Kepercayaan dan/atau pantangan 1. Tradisi dan Kepercayaan Masyarakat

Masyarakat yang tinggal di Desa Serdang mayoritas Suku Karo yang

merupakan suku asli masyarakat yang mendiami daerah ini dan desa-desa lainnya

yang ada di Kabupaten Karo sedangkan beberapa suku lain seperti Suku Toba,

Jawa, Simalungun, Pak-pak dan berbagai suku pendatang lainnya. Jadi tradisi dan

kepercayaan yang ada di Desa tersebut merupakan tradisi dan kepercayaan karo.

Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku dan sikap masyarakat Desa Serdang

dengan Berbahasa Karo dalam kehidupan sehari-hari serta adat istiadat yang di

terapakan.

Agama yang dianut masyarakat adalah Kristen Protestan, Kristen

Khatolik, dan Islam. Tradisi yang masih dijalankan masyarakat Desa Serdang

sampai saat yaitu berupa upacara-upacara adat tertentu yang masih dilakukan pada

waktu atau periode tertentu dengan tujuan tertentu. Beberapa upacara adat yang

masih dilaksanakan di Desa Serdang sampai saat ini disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Upacara adat yang masih dijalankan masyarakat No Upacara Adat Keterlibatan

Masyarakat

Waktu Tujuan

1 Kerja Tahun Semua masyarakat

Setelah panen Suatu upacara yang dilaksanakan masyarakat dengan harapan mempererat

hubungan silaturahmi antar keluarga.

2 Mbesur-mbesuri Keluarga dekat

Saat kandungan seorang wanita berumur 7 bulan

Agar anak yang dilahirkan kelak dapat sehat-sehat.

Saat wanita dan laki-laki menempuh hidup baru

Suatu upacara adat untuk membayar utang adat kepada kalimbubu

4 Mbengket rumah

Suatu upacara yang diharapkan agar penghuni rumah yang kelak memasuki

rumah sehat-sehat dan murah rejeki. 5 Rebu-rebu Semua

masyarakat

Mendekati waktu penanaman

(36)

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa masih ada 5 upacara adat yang masih

dilaksanakan oleh masyarakat yang ada di Desa Serdang yaitu upacara kerja

tahun, mbesur-mbesuri, kerja-kerja ndungi adat, mbengket rumah mbaru, dan

rebu-rebu.

Upacara kerja tahun atau yang lebih sering disebut dengan upacara pesta

tahunan merupakan upacara adat yang dilaksanakan masyarakat Desa Serdang

yang dilakukan setelah selesai musim panen. Tujuan dari upacara tersebut adalah

untuk mempererat hubungan kekeluargaan/silaturahmi antar keluarga. Upacara

Kerja Tahun pada awalnya dilakukan untuk merayakan jerih payah dalam bekerja,

serta salah satu bentuk ucapan syukur yang diberikan masyarakat terhadap sang

pencipta.

Upacara mbesur-mbesuri merupakan sebuah upacara adat yang masih

dilaksanakan hingga sekarang. Upacara tersebut dipercaya akan menjauhkan

seorang wanita yang sedang mengandung dari segala hal yang bersifat tidak baik

serta anak yang dikandung akan dilahirkan dengan selamat. Upacara

mbesur-mbesuri merupakan sebuah kepercayaan kuno yang masih dilaksanakan hingga

sekarang oleh masyarakat karo pada umumnya, khususnya masyarakat Desa

Serdang.

Kerja-kerja ndungi adat merupakan upacara adat yang masih dilaksanakan

oleh masyarakat karo pada umumnya dimana upacara tersebut melibatkan seluruh

masyarakat desa dan kerabat terdekat. Keterlibatan masyarakat merupakan sebuah

cermin yang menyatakan bahwa sifat masyarakat yang tidak dapat bisa lepas satu

dengan yang lain. Masih tingginya tingkat ketergantungan masyarakat satu

(37)

royong atau kebersamaan masih ada meskipun sudah tidak seerat pada zaman

nenek moyang. Kerja-kerja ndungi adat merupakan sebuah upacara adat yang

dilaksanakan untuk merayakan perkawinan antara wanita dan laki-laki serta

membayar utang adat kepada kalimbubu.

Mbengket rumah mbaru merupakan sebuah upacara adat yang sudah

jarang dilaksanakan karena faktor ekonomi, namun masih ada beberapa

masyarakat yang melakasanakan. Pada umumnya masyarakat yang masih

merayakan pesta adat mbengket rumah mbaru merupakan masyarakat yang

memiliki ekonomi menengah keatas. Mbengket rumah mbaru dilaksanakan saat

hendak memasuki rumah baru tujuan daripada upacara adat tersebut adalah agar

terhindar dari segala marabahaya saat memasuki rumah mbaru. Diharapkan agar

kelak semua penghuni rumah akan sehat-sehat serta mendapat rejeki dari yang

Mahakuasa. Dalam upacara mbengket rumah hampir sama jenis upacara adat yang

dilaksanakan dengan kerja-kerja ndungi adat letak perbedaannya hanya pada saat

membayar utang serta adanya gula tualah saat diadakannya pesta.

Rebu-rebu merupakan sebuah upacara adat yang dilakukan menjelang

waktu penanaman. Upacara rebu-rebu memiliki kesamaan dengan upacara kerja

tahun bedanya hanya saja upacara ini hanya dilaksanakan oleh warga desa saja

tanpa mengudang kerabat. Perayaan upacara ini hanya dilaksanakan oleh

masyarakat desa sebagai bentuk permohonan agar hasil panen kelak dapat

(38)

2. Ketergantungan Masyarakat Terhadap Hutan

Mengingat jarak desa dengan hutan yang begitu dekat yaitu hanya sekitar

300 meter membuat masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar hutan memiliki

ketergantungan hidup yang lebih tinggi terhadap hutan. Hampir setiap hari

masyarakat berinteraksi dengan hutan karena pekerjaan masyarakat yang

sebagian besar adalah bertani. Hal tersebut membuat masyarakat Desa Serdang

sangat bergantung terhadap hasil hutan non kayu untuk menunjang kebutuhan

dalam usaha mengembangkan pertanian dan meningkatkan hasil panen mereka.

Karena ketergantungan masyarakat Desa Serdang yang sangat tinggi terhadap

hutan maka masyarakat juga harus tetap memperhatikan aspek kelestarian hutan

Untuk dapat terus memperoleh hasil hutan non kayu mereka harus tetap menjaga

dan merawat hutan tersebut agar tetap berfungsi baik untuk kehidupan sekarang

dan kehidupan dimasa mendatang.

Pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat Desa Serdang telah dilakukan

sejak turun turun temurun bahkan bila dibandingkan pemanfaatan sebelumnya

sudah sangat berkurang. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengakuan masyarakat

Desa Serdang yang telah lanjut usia yang mengaku bahwa papan atau broti yang

mereka gunakan untuk membangun rumah atau pondok di kebun mereka peroleh

dari hutan. Pada dasarnya masyarakat sekitar hutan dapat atau diperbolehkan

mengambil kayu dari hutan dengan syarat tidak mengambil dari hutan lindung,

Pemerintah juga menyediakan hutan rakyat. Hutan rakyat tersebut untuk

memenuhi keperluan masyarakat yang tinggal disekitar hutan. Tujuan dari

penyediaan hutan rakyat tersebut yaitu, apabila masyarakat membutuhkan sesuatu

(39)

Adanya hutan rakyat yang disediakan oleh pemerintah bukan berarti

masyarakat dapat dengan bebas melakukan penebangan kayu. Masyarakat yang

membutuhkan kayu harus meminta ijin kepada pihak pemerintah terkait dengan

jumlah kayu yang akan ditebang. Selain itu juga masyarakat juga harus

melakukan tebang pilih dimana kayu yang akan di tebang bukan kayu yang masih

produktif.

Hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat Desa Serdang yaitu berupa

humus, tumbuhan obat, kayu bakar, babi hutan, bambu, rotan dan beberapa

masyarakat yang masih mengambil kayu. Jenis hasil hutan yang paling banyak

diambil masyarakat Desa Serdang adalah humus, tumbuhan obat dan bambu. Hal

ini disebabkan banyaknya masyarakat Desa Serdang yang mayoritas bekerja

sebagai petani namun humus yang diambil hanya dimanfaatkan sendiri tidak

untuk dijual. Selain humus masyarakat juga banyak mengambil bambu dari hutan

hal ini disebabkan banyaknya masyarakat yang juga bekerja membuat keranjang

dan sunun sebagai mata pencaharian utama maupun pekerjaan sampingan yang

bahan utamanya adalah bambu. Selain humus dan bambu masyarakat Desa

Serdang juga ada yang bekerja sebagai pembuat obat tradisional sehingga mereka

harus sering masuk dan mencari tumbuhan obat kedalam hutan. Masyarakat Desa

Serdang memiliki hak yang sama untuk mengambil hasil hutan serta tidak adanya

larangan untuk memasuki kawasan hutan pada waktu tertentu saja, misalnya

pengambilan humus yang dilakukan oleh masyarakat dapat diambil bilamana

mereka butuh.

Jumlah masyarakat yang paling banyak masuk kedalam kawasan hutan

(40)

desa mengambil bambu. Bambu yang diambil bukan digunakan untuk membuat

kerajinan seperti keranjang melainkan digunakan sebagai pembungkus untuk

membuat lemang. Lemang merupakan salah satu jenis makanan khas Karo yang

terbuat dari beras ketan serta berbagai rempah seperti lada, kunyit, santan dan lain

sebagainya. Ketan yang digunakan adalah beras yang telah ditanam masyarakat

selama 7 bulan dan akan digunakan pada saat pesta tahunan, dan bambu

digunakan sebagai pembungkus untuk membakar lemang. Karang taruna juga

menggunakan bambu untuk keperluan tertentu karena biasanya pada saat upacara

pesta tahunan anak-anak muda juga akan mengadakan acara keyboard yang bisa

disebut dengan acara “Gendang guro-guro aron”.

Selain hasil hutan yang telah dijelaskan diatas manfaat yang paling besar

yang diperoleh masyarakat Desa Serdang dari hutan adalah manfaat ekologis

yaitu sumber air bersih yang berasal dari hutan. Selain masyarakat Desa Serdang

mata air yang berasal dari salah satu deleng yang berada di desa ini masyarakat

Desa Barusjahe juga memperoleh air bersih dari deleng teresbut.

Ketergantungan dan interaksi masyarakat desa terhadap hutan

mengakibatkan adanya beberapa kawasan hutan yang rusak karena pemanfaatan

yang berlebihan tanpa memperhatiakn aspek kelestarian hutan. Namun sejauh ini

belum ada konflik yang terjadi antar masyarakat dengan pihak pemerintah.

Akibat tuntutan ekonomi yang semakin tinggi masih ada beberapa masyarakat

yang sengaja mengambil lahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Hal ini

dapat dilihat dari banyaknya lahan pertanian yang berada di dalam kawasan hutan.

Menurut pengakuan beberapa responden di daerah ini masih terjadi sistem

(41)

melakukan observasi lapangan juga ditemukan adanya kawasan hutan yang

terbakar dimana menurut salah satu masyrakat Desa Serdang menyatakan bahwa

kawasan tersebut memang sengaja dibakar agar dijadikan menjadi lahan

pertanian.

Tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan dapat dilihat

dari aspek pemanfaatan hasil hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pemanfaatan hasil hutan tersebut akan terus berlanjut dan tidak akan dapat

dipisahkan dari kehidupan masyarakat Desa Serdang.

Etika dan aturan

Praktek Pengetahuan Lokal Terhadap Pengelolaan Hutan

Kelestarian suatu hutan sangat beergantung terhadap masyarakat yang

hidup dan tinggal di sekitar hutan. Tingkat ketergantungan masyarakat sekitar

hutan sangat tinggi terhadap kehidupannya baik dari segi ekonomi maupun

ekologis. Hal tersebut jelas akan mendorong masyarakat desa untuk tetap menjaga

hutan hingga turun menurun kelak. Berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat

Desa Serdang yang hidup dan tinggal di sekitar hutan menyatakan bahwa adanya

larangan untuk menebang pohon yang dikeluarkan oleh pihak Dinas Kehutanan

(DISHUT). Tidak adanya larangan adat tidak membuat masyarakat dapat berbuat

semaunya tapi peraturan dari DISHUT sangat ditaati oleh masyarakat. Masyarakat

Desa Serdang juga sangat menyadari bahwa kegiatan penebangan pohon akan

merusak lingkungan. Merusak hutan bukan hanya akan merusak lingkungan

namun akan sangat mempengaruhi keadaan ekonomi dimana sebagian pekerjaan

masyarakat. Masyarakat Desa Serdang umumnya hanya dapat memanfaatkan

(42)

Karena letak desa sangat dekat dengan hutan maka sebagian masyarakat

masih melakukan kegiatan berburu di hutan. Kegiatan berburu sudah dilakukan

sejak ratusan tahun dan sudah dilakukan secara turun menurun. Kegiatan berburu

merupakan sebuah kegiatan yang sudah tak dapat dipisahkan dari kehidupan

masyarakat sekitar hutan khususnya masyarakat Desa Serdang. Kegiatan berburu

masih dilakukan di kawasan hutan, namun masyarakat masih memperhatikan

etika lingkungan yang berlaku. Etika yang berlaku yakni tidak memburu semua

jenis binatang yang ada di hutan namun hewan utama yang diburu adalah hewan

yang menjadi hama bagi pertanian. Dimana apabila hewan tersebut dibiarkan

maka perkembangannya akan cepat berkembang dan akan sangat merugikan bagi

petani. Hewan yang menjadi hama utama bagi pertanian adalah babi hutan dan

monyet.

Meskipun belum ada larangan yang jelas mengenai hewan yang bisa

diburu, namun berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa tidak semua jenis

hewan yang ada di hutan mereka buru. Pada umumnya masyarakat belum

menyadari akan pentingnya hewan langka sebagai kekeayaan sumberdaya alam

hutan yang harus dijaga keberadaannya. Masyarakat Desa serdang menyadari

bahwa menangkap ikan dengan cara meracun atau menggunakan bom bukanlah

cara yang tepat. Masyarakat menyadari bahwa hal tersebut akan merusak

lingkungan dan akan merugikan bagi kehidupan mereka pada jangka waktu yang

panjang. Mereka menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara meracuni atau

bom akan menyebabkan ikan-ikan mati dan akan mencemari air. Air yang mereka

gunakan sehari-hari tidak berasal dari sungai melainkan dari mata air yang

(43)

tersebut mereka gunakan untuk keperluan pertanian. Karena pada umumnya

masyarakat memiliki sawah selain kebun sehingga mereka selalu membutuhkan

air untuk bercocok tanam pada areal sawah. Karena apabila sawah-sawah kering

maka akan sangat mempengaruhi hasil panen mereka yang akan mengalami

penurunan.

Pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat Desa Serdang secara tidak

langsung memberi dampak poitif terhadap keberadaan hutan serta lingkungan

mereka. Sebagian masyarakat belum mengetahui adanya peraturan mengenai

hewan yang bisa atau yang tidak diperbolehkan untuk diburu namun masyarakat

tetap tidak memburu semua jenis hewan yang ada dihutan. Hewan yang diburu

adalah hewan yang menjadi hama bagi pertanian misalnya babi hutan. Sardjono

(2004) menyatakan bahwa dengan mempelajari kearifan lokal dapat memberi

pemahaman kepada kita mengenai bagaimana masyarakat adat yang hidup dan

tinggal di sekitar kawasan hutan memperlakukan sumberdaya hutan yang tersedia

dan mampu bertindak seuai dengan pengetahuan lokal yang mereka miliki

sehingga kelestarian hutan dapat terus dimanfaatkan sampai generasi di masa

mendatang.

Teknik dan teknologi

Praktek dan Teknik Penggunaan Lahan

Masyarakat desa Serdang pada umumnya mayoritas bekerja sebagai

petani. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Desa Serdang serta hasil

observasi di lapangan, masyarakat desa Serdang sebagai petani sayur-sayuran,

(44)

1. Praktek penggunaan lahan

Berdasarkan hasil wawancara dan hasil observasi di lapangan praktek

penggunaan lahan yang diterapkan oleh masyarakat desa Serdang adalah praktek

tumpang sari dan praktek pembagian lahan. Praktek tumpang sari adalah praktek

yang menggabungkan berbagai jenis komoditi pertanian dalam satu lahan.

Sedangkan praktek pembagian lahan yaitu suatu teknik dengan membagi suatu

lahan menjadi beberapa areal serta menanaminya dengan komoditi pertanian yang

berbeda.

Tujuan daripada penggunaan kedua teknik tersebut adalah untuk mengatur

rotasi penanaman untuk menghindari serangan hama serta proses penanaman

selanjutnya dapat berjalan dengan baik. Pemanfaatan lahan yang digunakan lebih

efisien dimana proses pemanenan juga akan berotasi dengan baik. Teknik

pertanian dengan metode tumpang sari telah digunakan masyarakat sejak turun

temurun dengan tujuan tertentu. Dengan lahan yang tidak terlalu luas namun

masyarakat masih dapat memanen beberapa komoditi pertanian yang berbebeda

sehingga lahan yang tidak terlalu luas tersebut dapat dimanfaatkan secara

maksimal. Teknik tersebut juga tidak terlepas dari masalah teknis seperti harus

dilakukan perawatan yang lebih intensif seperti pemupukan yang teratur,

pemberian humus atau kompos secara rutin, serta pengendalian gulma.

Suatu lahan yang cukup luas masyarakat menggunakan teknik pembagian

lahan menjadi beberapa areal untuk ditanami komoditi pertanian yang berbeda.

Pembagian lahan menjadi beberapa areal pertanian dilakukan oleh masyarakat

(45)

apabila harga suatu komoditi pertanian relatif rendah atau menurun maka kerugian

dapat ditekan dengan harga komoditi pertanian lainnya yang berbeda.

2. Kearifan lokal penggunaan api untuk persiapan lahan

Sebelum memulai proses penanaman maka petani biasanya melakukan

pembersihan lahan terlebih dahulu, penggemburan tanah, dan tak jarang juga

melakukan pembakaran terhadap sisa-sisa gulma atau sisa-sisa panen sebelumnya.

Sebagian besar masyarakat Desa Serdang memiliki lahan pertanian yang

berbatasan dengan kawasan hutan, sehingga sangat dikhawatirkan terjadinya

pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat dapat membahayakan kawasan

hutan yang dekat dengan kawasan hutan tersebut.

(a) (b)

Gambar 2. Teknik penggunaan api (a), Teknik pembakaran kawasan hutan untuk membuka lahan baru (b).

Masyarakat Desa Serdang umumnya sudah menyadari akan bahaya

pembakaran yang mereka lakukan. Masyarakat tidak dapat terpisah dari kegiatan

teknik pembakaran lahan yang telah di terapkan oleh nenek moyang mereka sejak

(46)

teknik-teknik tertentu agar api tidak menjalar ke kawasan hutan atau menjalar ke

lahan yang lain. Pada umumnya masyarakat masih memperhatikan teknik-teknik

pembakaran seperti memperhatikan arah angin saat melakukan pembakaran,

membuat sekat bakar dengan membersihkan sekeliling lokasi pembakaran

kemudian dikumpulkan untuk dibakar agar tidak menjalar serta tidak melakukan

pembakaran pada saat musim kemarau. Namun karena masih kurangnya

kesadaran akan pentingnya fungsi hutan serta tuntutan ekonomi yang semakin

tinggi maka masih ada masyarakat yang masih sengaja melakukan pembakaran

hutan untuk membuka lahan baru. Kebakaran kawasan hutan di Desa Serdang

masih sangat sering terjadi baik kebakaran yang sengaja dilakukan maupun tidak.

Praktek dan tradisi pengelolaan hutan/lahan

Pengetahuan Lokal Mayarakat Mengenai Tanaman Obat

Pada umumnya masyarakat yang tinggal dekat dengan kawasan hutan atau

bahkan masyarakat yang tinggal di desa masih menggunakan tanaman obat

sebagai obat alternative untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu. Tanaman

obat merupakan tumbuhan yang memiliki khasiat untuk menyembuhkan penyakit

apabila digunakan dan diolah dengan benar. Tanaman obat telah digunakan

secara turun menurun dan mungkin sudah digunakan sejak ribuan tahun yang lalu.

Karena tidak memiliki efek samping terhadap kesehatan maka hingga saat ini

tanaman obat masih digunakan bahkan tak jarang orang lebih memilih tanaman

obat ebagai alternative untuk mengobati suatu penyakit. Hutan merupakan tempat

utama untuk mendapatkan tanaman obat pada awalnya, dimana jumlah

(47)

beragam. Meskipun sudah banyak diketahui manfaat dari tanaman hutan yang

dapat dijadikan sebagai tanaman obat namun tidak semua jenis tanaman tersebut

dibudidayakan oleh masyarakat.

Masyarakat Desa Serdang adalah masyarakat yang sangat bergantung dan

selalu berinteraksi dengan hutan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sebagai salah satu contoh ketergantungan masyarakat terhadap hutan ditunjukkan

dengan pemanfaatan tanaman obat oleh masyarakat yang umumnya hanya dapat

diperoleh dari hutan. Pengetahuan mengenai tanaman obat umumnya telah

diketahui secra turun menurun oleh nenek moyang. Tanaman obat tersebut juga

memiliki khasiat yang dianggap sangat manjur sehingga sampai saat ini

masyarakat Desa Serdang masih memilih menggunakan tanaman obat. Karena

jenis tanaman obat yang masih bisa diolah sendiri apabila penyakit yang mereka

derita masih penyakit ringan seperti demam, batuk, sakit perut, masuk angin, sakit

pinggang dan lain sebagainya.

Selain diperoleh dari hutan tanaman obat juga dapat didapat dari

pekarangan rumah. Beberapa jenis tertentu yang ada di pekarangan seperti

kembang sepatu, lancing rumah, bulung sibarani,terbangun dan masih banyak

jenis lainnya. Selain diperoleh dari pekarangan juga dapat diperoleh dari kebun

seperti pepaga, sangkai simpilet, binahung, dapuk-depuk, ciak-ciak, pinang dan

lain-lain. Tukiman (2004) menyatakan bahwa pemanfaatan tanaman obat atau

bahan obat alam pada umumnya bukanlah hal yang baru namun merupakan salah

satu bentuk peran serta masyarakat dimana pengobatan tradisional merupakan

salah satu bentuk teknologi tepat guna yang potensial untuk menunjang

Gambar

Tabel 1. Beberapa contoh dari bentuk-bentuk kearifan lokal yang terkait dengan
Gambar 1. Bagan Penelitian
Tabel 2. Matriks metodologi
Tabel 3. Upacara adat yang masih dijalankan masyarakat
+5

Referensi

Dokumen terkait

1. Kepercayaan atau pantangan berupa : a) pelaksanaan upacara adat/selamatan kampung/pesta laut dan selamatan pada saat pertama kali mennggunakan perahu dan mesin

Oleh karena itu, inventarisasi kearifan lokal dan pemanfaatan pengetahuan tradisional dibukukan khususnya terkait Sumber Daya Genetik (SDG). Pengetahuan tradisional

Hasil penelitian menjelaskan bahwa bentuk kearifan lokal pada masyarakat Wangongira yang berhubungan dengan perlindungan sumberdaya air adalah berupa larangan dan pantangan untuk

Hasil wawancara yang dilakukan kepada kepala desa membuktikan bahwa di desa Cilandak terdapat Tim pengembang kebijakan pengelolaan desa berbasis kearifan lokal. Bukti

‘ Eksistensi kearifan lokal pada petani tepian hutan dalam memelihara kelestarian ekosistem sumber daya hutan ’ Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Eksistensi kearifan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk kearifan lokal dan mendeskripsikan bagaimana kearifan lokal yang berada di masyarakat dalam menjaga

Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bentuk- bentuk kearifan lokal yang terdiri dari nilai, norma, etika, kepercayaan, adat- istiadat, hukum adat

Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Menjaga Kelestarian Hutan… | 51 Ignasius Suban Angin, Sunimbar Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Menjaga Kelestarian Hutan Dan Mengelola Mata Air di