ABSTRAK
PENGARUH PENAMBAHAN ABU AMPAS TEBU SEBAGAI BAHAN STABILISATOR PADA TANAH ORGANIK
Oleh DEDI IRAWAN
Tanah sangat berkaitan dalam pekerjaan konstruksi, karena tanah berfungsi sebagai pondasi pendukung suatu konstruksi. Suatu konstruksi atau bangunan sangat berhubungan dengan keadaan kondisi fisik dan mekanis tanah. Untuk memperbaiki sifat tanah kurang baik yang dapat mengakibatkan daya dukung menjadi rendah, maka diperlukan perbaikan tanah yang salah satunya adalah menggunakan metode stabilisasi. Usaha stabilisasi yang banyak dilakukan adalah stabilisasi dengan menggunakan bahan additive. Dalam penelitian ini akan digunakan bahan additive alternatif untuk stabilisasi tanah yaitu pemanfaatan abu ampas tebu yang berasal dari limbah padat pabrik gula yang kurang dimanfaatkan dengan baik.
Sampel tanah yang diuji pada penelitian ini yaitu tanah organik yang berasal dari daerah Rawa Seragi, Lampung Timur. Variasi kadar abu ampas tebu yang digunakan yaitu 5%, 10% dan 15%. Pada tiap kadar campuran dilakukan waktu pemeraman yang sama selama 7 hari dan perendaman selama 4 hari. Penelitian ini menggunakan standar ASTM.
Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahan stabilisasi menggunakan abu ampas tebu dapat memperbaiki sifat fisik dan mekanik tanah organik. Pada pengujian fisik seperti berat jenis dan kadar air optimum mengalami kenaikan serta indeks plastisitas mengalami penurunan setelah distabilisasi. Sementara pengujian mekanik, pada kondisi rendaman dan tanpa rendaman nilai CBR maksimum terjadi pada campuran 15%, yaitu sebesar 6,2 % dan 9,8%. Dari hasil CBR, tanah yang distabilisasi dengan abu ampas tebu dapat digunakan sebagai tanah dasar pada konstruksi jalan karena nilai CBR ≥ 6 %.
ABSTRACT
EFFECT OF THE ADDITION OF BAGASSE ASH AS A SOIL STABILIZER ON ORGANIC SOIL
By
DEDI IRAWAN
Soil is related to the construction work, because soil serves as a foundation to support a construction. A construction or building is concerned in physical condition and soil mechanism. Stabilization method is one of methods to improve adverse soil properties that maybe caused by lower soil bearing capacity. Most of stabilization effort is using additive material. In this research will be use as alternative additive material to soil stabilization is beneficially of bagasse ash wich come from solid waste of sugar factory that unusefull well.
Soil sample that being test in this research is organic soil from Rawa Sragi, Lampung Timur. Variation of solution concentration used in bagasse ash is 5%, 10% and 15%. Each of samples are cured in 14 days and soaked in 4 days. This research use standard of ASTM.
As a results of laboratory research showed using bagasse ash as stabilizing agent can improve the physical and mechanical properties of organic soil. On phisically test are like specific gravity, optimum water content are increase and plasticity index are decrease after being stabilized. While on mechanically tested, on soaked and unsoaked condition, maximum CBR value were for 15 % mix concentration which is 6,2 % and 9,8 %. From CBR tested result, soil that has been stabilized with baggase ash can be used as a subgrade on road construction due to CBR value ≥ 6 %.
(BAGASSE ASH) SEBAGAI BAHAN STABILISATOR
PADA TANAH ORGANIK
Oleh
DEDI IRAWAN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNIK
Pada
Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Lampung
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR NOTASI ... vii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Batasan Masalah ... 3
D. Tujuan Penelitian ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah ... 5
B. Klasifikasi Tanah ... 7
1. Sistem Klasifikasi AASTHO ... 9
2. Sistem Klasifikasi Tanah Unified ... 10
C. Tanah Organik ... 14
1. Proses Terjadinya Tanah Organik ... 14
2. Sifat Tanah Organik ... 14
3. Identifikasi Organik ... 17
D. Abu Ampas Tebu ... 17
E. Stabilisasi Tanah ... 19
F. California Bearing Ratio (CBR) ... 20
G. Batas-batas Konsistensi ... 25
H Pemadatan Tanah ... 27
III.METODOLOGI PENELITIAN
A. Pekerjaan Lapangan ... 31
B. Peralatan ... 31
C. Bahan Uji... 32
D. Metode Pencampuran Sampel Tanah dengan Abu Ampas Tebu ... 32
E. Pelaksanaan Pengujian ... 33
B. Hasil Pengujian Kandungan Unsur Kimia pada Tanah ... 54
1. Kadar Serat ... 54
2. Kadar abu ... 55
3. Kandungan Unsur Kimia ... 55
C. Klasifikasi Sampel Tanah Asli ... 56
D. Hasil Pengujian Sample Tanah + Abu Ampas Tebu Dengan Berbagai Kadar Campuran ... 57
E. Analisa Hasil Pengujian Campuran Tanah + Abu Ampas Tebu ... 68
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Proses Penggilingan Tebu ... 18
Gambar 2. Batas Konsistensi Tanah ... 25
Gambar 3. Bagan Alir Penelitian ... 46
Gambar 4. Grafik Analisa Saringan ... 49
Gambar 5. Hubungan Berat Volume Kering Dengan Kadar Air Optimum 52 Gambar 6. Diagram Plastisitas ... 57
Gambar 7. Hubungan Antara Nilai Kadar Air Optimum Dengan Kadar Abu Ampas Tebu ... 58
Gambar 8. Hubungan Antara Nilai Berat Volume Kering Dengan Kadar Abu Ampas Tebu ... 59
Gambar 9. Hubungan Nilai CBR Rendaman Dan Tanpa Rendaman Terhadap Kadar Abu Ampas Tebu ... 61
Gambar 10. Hubungan Berat Jenis Dengan Kadar Abu Ampas Tebu ... 63
Gambar 11. Hubungan Antara Kadar Campuran Abu Ampas Tebu Dengan Nilai Batas Cair ... 64
Gambar 13. Hubungan Antara Kadar Campuran Abu Ampas Tebu
Dengan Nilai Indeks Plastisitas ... 67
Gambar 14. Grafik Nilai CBR Pemeraman 7 Hari Dengan Jenis Tanah
Yang Berbeda ... 71 Gambar 15. Grafik Nilai CBR Perendaman 4 Hari Dengan Jenis Tanah
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Klasifikasi Tanah Berdasarkan AASTHO ... 10
Tabel 2. Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Bowles, 1991) ... 12
Tabel 3. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Sistem unified ... 13
Tabel 4. Penggolongan Tanah berdasarkan Kandungan Organik ... 17
Tabel 5. Beban Penetrasi Bahan Standar ... 24
Tabel 6. Elemen-Elemen Uji Pemadatan di Laboratorium (Das, 1988) .. 28
Tabel 7. Hasil Pengujian CBR Tiap Kadar (Zulya Safitri, 2012) ... 29
Tabel 8. Hasil Uji CBR Campuran Sekam Padi + Semen (Andri Frandustie, 2010) ... 30
Tabel 9. Hasil Pengujian Kadar Air Tanah Asli ... 48
Tabel 10. Hasil Pengujian Analisa Saringan ... 49
Tabel 11. Hasil Pengujian Berat Jenis (Gs) Tanah Asli ... 50
Tabel 12. Hasil Pengujian Sampel Tanah Asli ... 54
Tabel 13. Hasil Penelitian Kandungan Unsur Kimia Tanah ... 55
Tabel 14. Haasil Pengujian Kadar Air Optimum dan Berat Volume Kering Tiap Kadar Campuran ... 58
Tabel 15. Hasil Pengujian CBR Tiap Kadar Campuran ... 60
Tabel 16. Hasil Pengujian Berat Jenis Tiap Kadar Campuran ... 62
Tabel 18. Hasil Pengujian Batas Plastis Tiap Kadar Campuran ... 65
DAFTAR NOTASI
ω = Kadar Air
Gs = Berat Jenis
LL = Batas Cair
PI = Indeks Plastisitas
PL = Batas Plastis
q = Persentase Berat Tanah yang Lolos Saringan
Ww = Berat Air
Wc = Berat Container
Wcs = Berat Container + Sampel Tanah Sebelum dioven Wds = Berat Container + Sampel Tanah Setelah dioven Wn = Kadar Air Pada Ketukan ke-n
W1 = Berat Picnometer
W2 = Berat Picnometer + Tanah Kering
W3 = Berat Picnometer + Tanah Kering + Air
W4 = Berat Picnometer + Air
Wci = Berat Saringan
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekuatan bangunan suatu konstruksi baik berupa jalan, jembatan dan bangunan sangat berkaitan dengan keadaan kondisi fisik dan mekanis tanah
pada konstruksi tersebut berada. Hal ini disebabkan karena, tanah berfungsi sebagai pondasi pendukung suatu bangunan pada pekerjaan konstruksi Teknik Sipil. Oleh karena itu perlu adanya penguasaan yang lebih mendalam
mengenai sifat-sifat tanah (sifat fisik dan sifat mekanis), baik itu secara teoritis, praktek dan penelitian.
Sebagian besar wilayah di Indonesia diliputi oleh tanah organik yang belum termanfaatkan. Tanah organik pada umumnya terbentuk dari campuran material organik yang berasal dari tumbuhan-tumbuhan yang telah berubah
sifatnya secara kimiawi dan telah membusuk. Sifat teknis yang umum dari tanah organik adalah mempunyai kandungan air (kadar air) yang cukup tinggi
dan daya dukung yang rendah. Karena sifat tersebut, maka tanah organik merupakan tanah yang buruk untuk dijadikan sebagai subgrade (tanah dasar).
Untuk mengantisipasi sifat tanah yang buruk untuk suatu konstruksi, sejak
moderen. Metode tradisional seperti tanah ditumbuk secara konvensional, menambahkan pada tanah rusak tersebut tanah yang baik, batu, pasir, atau
pun kayu seadanya pada permukaan secara vertikal. Metode moderen seperti melakukan perbaikan tanah dengan cara mekanis, dengan perkuatan, secara hidrolis, dan dengan menambahkan bahan kimia.
Stabilisasi tanah dapat dilakukan dengan menambahkan suatu bahan tambahan tertentu pada tanah yang kondisinya tidak baik. Beberapa bahan
campuran yang sudah digunakan secara luas meliputi kapur, semen portland, dan bahan additive lainnya seperti Ionic Soil Stabilizer 2500 (ISS 2500), TRX 300, bahan kimia asam fosfat, dan lain-lain. Pada tugas akhir ini digunakan
abu ampas tebu sebagai alternatif lain bahan pencampur pada tanah yang diharapkan mampu meningkatkan mutu tanah tersebut.
Abu ampas tebu merupakan hasil pembakaran dari sisa-sisa penggilingan ampas tebu. Selama ini limbah abu ampas tebu biasanya digunakan sebagai campuran pupuk, dan bahkan dibuang begitu saja. Abu ampas tebu ini sangat
kaya akan silica (Si) yang merupakan salah satu unsur kimia pembentuk semen. Seperti yang kita tahu bahwa semen adalah stabilisator yang sangat
baik untuk peningkatan daya dukung tanah. Selain digunakan sebagai bahan aditif, penggunaan abu ampas tebu ini akan mengurangi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh sukarnya membuang limbah abu ampas
Pada penelitian ini akan digunakan abu ampas tebu (bagasse ash) sebagai bahan pencampur pada tanah organik yang diharapkan mampu meningkatkan
daya dukung tanah tersebut.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah melihat pengaruh pencampuran abu ampas tebu yang dianggap sebagai bahan aditif untuk
menstabilisasi tanah organik dengan kadar campuran antara tanah organik dan abu ampas tebu yang berbeda-beda. Dengan pencampuran tersebut, dapat
diamati adanya perubahan yang dialami oleh tanah melingkupi perubahan nilai batas-batas konsistensi serta nilai kuat dukung tanah asli dengan tanah yang telah dicampur atau distabilisasi dengan abu ampas tebu sebagai bahan
aditif yang digunakan sehingga dapat disimpulkan bahwa abu ampas tebu dapat digunakan sebagai bahan stabilisasi tanah.
C. Batasan Masalah
Masalah pada penelitian ini dibatasi pada sifat dan karakteristik campuran
tanah organik dengan abu ampas tebu dengan melakukan pengujian di Laboratorium. Ruang lingkup dan batasan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Sampel tanah yang digunakan adalah sampel tanah terganggu (disturbed) dengan menggunakan jenis tanah organik yang berasal dari Rawa Seragi, Lampung Timur.
3. Pengujian tanah asli dan tanah yang distabilisasi dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah Jurusan Teknik Sipil, Universitas
Lampung.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui peningkatan daya dukung tanah organik yang telah distabilisasi dengan abu ampas tebu dengan melakukan tes CBR.
2. Untuk mengetahui pengaruh batas-batas konsistensi tanah dengan variasi
pencampuran abu ampas tebu pada tanah organik.
3. Untuk mengetahui hasil karakteristik fisik sampel tanah sebelum dan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanah
Tanah adalah material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral
padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara
partikel-partikel padat tersebut (Das, 1988). Selain itu dalam arti lain tanah merupakan akumulasi partikel mineral atau ikatan antar partikelnya, yang terbentuk
karena pelapukan dari batuan (Craig,1991).
Tanah juga merupakan kumpulan-kumpulan dari bagian-bagian yang padat dan tidak terikat antara satu dengan yang lain (diantaranya mungkin material organik) rongga-rongga diantara material tersebut berisi udara dan air
(Verhoef,1994). Sedangkan Tanah (soil) menurut teknik sipil dapat didefinisikan sebagai sisa atau produk yang dibawa dari pelapukan batuan
dalam proses geologi yang dapat digali tanpa peledakan dan dapat ditembus dengan peralatan pengambilan contoh (sampling) pada saat pemboran. (Hendarsin, 2000)
dari batuan. Diantara partikel-partikel tanah terdapat ruang kosong yang
disebut pori-pori yang berisi air dan udara. Ikatan yang lemah antara partikel-partikel tanah disebabkan oleh pengaruh karbonat atau oksida yang
tersenyawa diantara partikel-partikel tersebut, atau dapat juga disebabkan oleh adanya material organik bila hasil dari pelapukan tersebut di atas tetap berada pada tempat semula maka bagian ini disebut tanah sisa (residu soil).
Hasil pelapukan terangkut ke tempat lain dan mengendap di beberapa tempat yang berlainan disebut tanah bawaan (transportation soil). Media
pengangkutan tanah berupa gravitasi, angin, air dan gletsyer. Pada saat akan berpindah tempat, ukuran dan bentuk partikel-partikel dapat berubah dan terbagi dalam beberapa rentang ukuran.
Tanah menurut Bowles (1989) adalah campuran partikel-partikel yang terdiri dari salah satu atau seluruh jenis berikut :
1. Berangkal (boulders), merupakan potongan batu yang besar, biasanya lebih besar dari 250 mm sampai 300 mm. Untuk kisaran antara 150 mm sampai 250 mm, fragmen batuan ini disebut kerakal (cobbles).
2. Kerikil (gravel), partikel batuan yang berukuran 5 mm sampai 150 mm. 3. Pasir (sand), partikel batuan yang berukuran 0,074 mm sampai 5 mm,
berkisar dari kasar (3-5 mm) sampai halus (kurang dari 1 mm).
4. Lanau (silt), partikel batuan berukuran dari 0,002 mm sampai 0,074 mm. Lanau dan lempung dalam jumlah besar ditemukan dalam deposit yang
5. Lempung (clay), partikel mineral berukuran lebih kecil dari 0,002 mm.
Partikel-partikel ini merupakan sumber utama dari kohesi pada tanah yang kohesif.
6. Koloid (colloids), partikel mineral yang “diam” yang berukuran lebih kecil dari 0,001 mm.
Istilah tanah dalam bidang mekanika tanah dapat digunakan mencakup semua
bahan seperti lempung, pasir, kerikil dan batu-batu besar. Metode yang dipakai dalam teknik sipil untuk membedakan dan menyatakan berbagai
tanah, sebenarnya sangat berbeda dibandingkan dengan metode yang dipakai dalam bidang geologi atau ilmu tanah. Sistem klasifikasi yang digunakan dalam mekanika tanah dimaksudkan untuk memberikan keterangan mengenai
sifat-sifat teknis dari bahan-bahan itu dengan cara yang sama, seperti halnya pernyatan-pernyataan secara geologis dimaksudkan untuk memberi
keterangan mengenai asal geologis dari tanah.
B. Klasifikasi Tanah
Maksud klasifikasi tanah secara umum adalah pengelompokkan berbagai jenis tanah ke dalam kelompok yang sesuai dengan sifat teknik dan
karakteristiknya.
Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem yang mengatur jenis-jenis tanah yang berbeda-beda, tetapi mempunyai sifat-sifat yang serupa kedalam
kelompok - kelompok dan subkelompok berdasarkan pemakaiannya. Dengan adanya sistem klasifikasi ini akan menjelaskan secara singkat sifat-sifat
ini pada umumnya di dasarkan sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti
distribusi ukuran butiran dan plastisitas. Namun semuanya tidak memberikan penjelasan yang tegas tentang kemungkinan pemakaiannya.
Sistem klasifikasi tanah dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Klasifikasi berdasarkan tekstur dan ukuran
Sistem klasifikasi ini di dasarkan pada keadaan permukaan tanah yang
bersangkutan, sehingga dipengaruhi oleh ukuran butiran tanah dalam tanah. Klasifikasi ini sangat sederhana di dasarkan pada distribusi ukuran tanah saja. Pada klasifikasi ini tanah dibagi menjadi kerikil (gevel), pasir
(sand), lanau (silt) dan lempung (clay) (Das,1993).
b. Klasifikasi berdasarkan pemakaian
Pada sistem klasifikasi ini memperhitungkan sifat plastisitas tanah dan
menunjukkan sifat-sifat tanah yang penting. Pada saat ini terdapat dua sistem klasifikasi tanah yang sering dipakai dalam bidang teknik. Kedua sistem klasifikasi itu memperhitungkan distribusi ukuran butir dan
batas-batas Atterberg.
Klasifikasi tanah diperlukan antara lain untuk hal-hal sebagai berikut :
a. Perkiraan hasil eksplorasi tanah (perkiraan log bor tanah, peta tanah, dan
lain-lain).
b. Perkiraan standar kemiringan lereng penggalian tanah dan tebing.
c. Perkiraan pemilihan bahan (penentuan tanah yang harus disingkirkan, pemilihan tanah dasar, bahan tanah timbunan, dan lain-lain).
e. Pemilihan jenis konstruksi dan peralatan untuk konstruksi (pemilihan cara
penggalian dan rancangan penggalian). f. Perkiraan kemampuan alat untuk konstruksi.
g. Rencana pekerjaan/pembuatan lereng dan tembok penahan tanah (perhitungan tekanan tanah dan pemilihan jenis konstruksi).
Ada beberapa macam sistem klasifikasi tanah sebagai hasil pengembangan
dari sistem klasifikasi yang sudah ada. Tetapi yang paling umum digunakan adalah:
1. Sistem klasifikasi AASHTO.
Sistem klasifikasi ini mengklasifikasikan tanah ke dalam delapan
kelompok, A1-A8. Tanah yang masuk dalam golongan 1 , 2, dan A-3 masuk kedalam tanah berbutir dimana A-35% atau kurang dari jumlah butiran tanah yang lolos ayakan No.200, sedangkan tanah yang masuk
dalam golongan A-4, A-5, A-6 dan A-7 adalah tanah lanau atau lempung. A-8 adalah kelompok tanah organik yang bersifat tidak stabil sebagai
bahan lapisan struktur jalan raya, maka revisi terakhir oleh AASHTO diabaikan (Sukirman, 1992). Percobaan yang dibutuhkan untuk mendapatkan data yang diperlukan adalah analisis saringan, batas cair, dan
Tabel 1. Klasifikasi Tanah Berdasarkan AASHTO
Klasifikasi umum Tanah berbutir
(35% atau kurang dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200
Klasifikasi kelompok A-1 A-3 A-2
Kerikil dan pasir yang berlanau atau berlempung
Penilaian sebagai bahan
tanah dasar Baik sekali sampai baik
Klasifikasi umum Tanah berbutir
(Lebih dari 35% dari seluruh contoh tanah lolos ayakan No.200
Klasifikasi kelompok A-4 A-5 A-6 A-7 Indeks Plastisitas (PI)
Maks 40
paling dominan Tanah berlanau Tanah Berlempung
Penilaian sebagai bahan
tanah dasar Biasa sampai jelek
2. Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Unified Soil Classification System/ USCS).
Sistem ini diusulkan oleh Prof. Arthur Cassagrande pada tahun 1942 untuk mengelompokkan tanah berdasarkan sifat teksturnya. Menurut sistem ini
a. Tanah berbutir kasar, yaitu tanah yang mempunyai prosentase lolos
ayakan No.200 < 50 %.
Klasifikasi tanah berbutir kasar terutama tergantung pada analisa
ukuran butiran dan distribusi ukuran partikel. Tanah berbutir kasar dapat berupa salah satu dari hal di bawah ini :
1) Kerikil (G) apabila lebih dari setengah fraksi kasar tertahan pada
saringan No. 4
2) Pasir (S) apabila lebih dari setengah fraksi kasar berada diantara
ukuran saringan No. 4 dan No. 200
b. Tanah berbutir halus, adalah tanah dengan persentase lolos ayakan No. 200 > 50 %.
Tanah berbutir ini dibagi menjadi lanau (M). Lempung Anorganik (C) dan Tanah Organik (O) tergantung bagaimana tanah itu terletak pada grafik plastisitas.
c. Tanah organis
Tanah ini tidak dibagi lagi tetapi diklasifikasikan dalam satu kelompok Pt. Biasanya jenis ini sangat mudah ditekan dan tidak mempunyai sifat
sebagai bahan bangunan yang diinginkan.
Tanah khusus dari kelompok ini adalah peat, humus, tanah lumpur dengan tekstur organis yang tinggi. Komponen umum dari tanah ini
Tabel 2. Sistem Klasifikasi Tanah Unified (Bowles, 1991) Jenis Tanah Simbol Sub Kelompok Simbol
Kerikil P = Poorly Graded (tanah dengan gradasi buruk),
Tabel 3. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Sistem Unified
Divisi Utama Simbol Nama Umum Kriteria Klasifikasi
T
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk GW
s GM Kerikil berlanau, campuran
kerikil-pasir-lanau GC Kerikil berlempung, campuran
kerikil-pasir-lempung
Tidak memenuhi kedua kriteria untuk SW
SM Pasir berlanau, campuran pasir-lanau SC Pasir berlempung, campuran
pasir-lempung sekali, serbuk batuan, pasir halus berlanau atau berlempung
Diagram Plastisitas:
Untuk mengklasifikasi kadar butiran halus yang terkandung dalam tanah berbutir halus dan kasar. Batas Atterberg yang termasuk dalam daerah yang di arsir berarti batasan klasifikasinya menggunakan dua simbol.
Lanau anorganik atau pasir halus diatomae, atau lanau diatomae, kandungan organik sangat tinggi
PT
Peat (gambut), muck, dan tanah-tanah lain dengan kandungan organik tinggi
Manual untuk identifikasi secara visual dapat dilihat di ASTM Designation D-2488 Sumber : Hary Christady, 1996.
C. Tanah Organik
1. Proses Terjadinya Tanah Organik
Tanah organik terbentuk karena pengaruh iklim dan curah hujan tinggi yang sebenarnya cukup merata sepanjang tahun dengan topografi tidak rata, sehingga memungkinkan terbentuknya depresi-depresi. Sebagai
akibat tipe iklim serupa itu, tidak terjadi perbedaan menyolok pada musim hujan dan kemarau. Vegetasi hutan berdaun lebar dapat tumbuh dengan
baik sehingga menghalangi insolasi dan kelembaban yang tinggi dapat dipertahankan di lingkungan tersebut. Pada daerah cekungan dengan genangan air terjadi akumulasi bahan organik. Hal ini disebabkan suasana
anaerob menghambat oksidasi bahan organik oleh jasad renik, sehingga proses humifikasi akan terjadi lebih nyata dari proses mineralisasi.
Penguraian bahan organik hanya dilakukan oleh bakteri anaerob, cendawan dan ganggang. Kecepatan dekomposisi ini dipengaruhi oleh jenis dan jumlah bakteri anaerob, sifat vegetasi, iklim, topografi dan sifat
kimia airnya.
2. Sifat Tanah Organik
Sifat dan ciri tanah organik dapat ditentukan dengan berdasarkan sifat fisik
dan kimianya. Adapun sifat dan ciri tersebut antara lain: a. Warna
kemerah-merahan, tetapi setelah mengalami dekomposisi muncul
senyawa-senyawa humik berwarna gelap. Pada umumnya, perubahan yang dialami bahan organik kelihatannya sama yang dialami oleh sisa
organik tanah mineral, walaupun pada tanah organik aerasi terbatas. b. Berat isi
Dalam keadaan kering tanah organik sangat kering, berat isi tanah
organik bila dibandingkan dengan tanah mineral adalah rendah, yaitu 0,2 - 0,3 merupakan nilai umum bagi tanah organik yang telah
mengalami dekomposisi lanjut. Suatu lapisan tanah mineral yang telah diolah berat isinya berkisar 1,25 - 1,45.
c. Kapasitas menahan air
Tanah Organik mempunyai kapasitas menahan air yang tinggi. Mineral kering dapat menahan air 1/5 – 2,5 dari bobotnya, sedangkan tanah
organik dapat 2 – 4 kali dari bobot keringnya. Gambut lumut yang belum terkomposisi sedikit leih banyak dalam menahan air, sekitar 12 atau 15 bahkan 20 kali dari bobotnya sendiri.
d. Struktur
Ciri tanah organik yang lain adalah strukturnya yang mudah
dihancurkan apabila dalam keadaan kering. Bahan organik yang telah terdekomposisi sebagian bersifat koloidal dan mempunyai kohesi dan plastisitasnya rendah. Suatu tanah berbahan organik yang baik adalah
poroeus atau mudah dilewati air, terbuka dan mudah diolah. Ciri-ciri ini sangat diinginkan oleh pertanian tetapi tidak baik untuk bahan
Sebagai akibat dari kemampuan yang besar untuk menahan air, maka
apabila terjadi perbaikan drainase dimana dengan adanya pengurangan kadar air akan terjadi pemadatan struktur tanah organik, hal ini akan
menurunkan muka tanah dan kalau ada tumbuhan akarnya akan muncul di atas permukaan tanah.
e. Reaksi masam
Pada tanah organik, dekomposisi bahan organik akan menghasilkan asam-asam organik yang terakumulasi pada tubuh tanah, sehingga
akan meningkatkan keasaman tanah organik. Dengan demikian tanah organik akan cenderung lebih masam dari tanah mineral pada kejenuhan basah yang sama.
f. Sifat koloidal
Sifat ini mempunyai kapasitas tukar kationnya lebih besar, serta sifat
ini lebih jelas diperlihatkan oleh tanah organik daripada tanah mineral. Luas permukaan dua hingga empat kali daripada tanah mineral.
g. Sifat penyangga
Pada tanah organik lebih banyak diperlukan belerang atau kapur yang digunakan untuk perubahan pH pada tingkat nilai yang sama dengan
tanah mineral. Hal ini disebabkan karena sifat penyangga tanah ditentukan oleh besar kapasitas tukar kation, dengan demikian tanah organik umumnya memperlihatkan gaya resistensi yang nyata terhadap
3. Identifikasi Organik
Terdapat dua sistem penggolongan utama yang dilakukan, yakni sistem penanggulangan AASHTO (metode AASHTO M 145 atau penandaan ASTM D-3282) dan sistem penggolongan tanah bersatu (penandaan
ASTM D-2487). Dalam metode AASHTO, tidak tercantum untuk gambut dan tanah yang organik, sehingga ASTM D-2487 harus digunakan sebagai
langkah pertama pada pengidentifikasian gambut.
Tabel 4. Penggolongan tanah berdasarkan kandungan organik
KANDUNGAN ORGANIK KELOMPOK TANAH
> 75 % GAMBUT
25 % - 75 % TANAH ORGANIK
< 25 %
TANAH DENGAN KANDUNGAN
ORGANIK RENDAH
(SUMBER : PEDOMAN KONSTRUKSI JALAN DI ATAS TANAH GAMBUT DAN ORGANIK, 1996)
D. Abu Ampas Tebu
Abu ampas tebu merupakan limbah hasil pembakaran ampas tebu. Ampas tebu merupakan suatu residu dari proses penggilingan tanaman tebu setelah
diekstrak atau dikeluarkan niranya pada industri pemurnian gula sehingga hasil samping sejumlah limbah berserat yang dikenal sebagai ampas tebu (baggasse).
Pada proses penggilingan tebu, terdapat lima kali proses penggilingan dari
kedua dihasilkan nira mentah yang berwarna kuning kecoklatan. Kemudian
pada proses penggilingan ketiga, keempat dan kelima dihasilkan nira dengan volume yang tidak sama. Setelah proses penggilingan awal, yaitu
penggilingan pertama dan kedua dihasilkan ampas tebu basah. Untuk mendapatkan nira yang optimal, pada penggilingan ampas hasil gilingan kedua harus ditambahkan susu kapur 3Be yang berfungsi sebagai senyawa
yang mampu menyerap nira dari serat ampas tebu sehingga pada penggilingan ketiga nira masih dapat diserap meskipun volumenya lebih
sedikit dari hasil gilingan kedua. Pada penggilingan seterusnya hingga penggilingan kelima ditambahkan susu kapur 3Be dengan volume yang berbeda-beda tergantung sedikit banyaknya nira yang masih dapat dihasilkan.
Penggilingan I Penggilingan III Penggilingan V
Penggilingan II Penggilingan IV
Ampas Ampas Ampas Ampas Ampas Gilingan I Gilingan II Gilingan III Gilingan IV Gilingan V
Tebu
Susu Kapur Susu Kapur Susu Kapur 3Be 3Be 3Be
Gambar 1. Proses Penggilingan Tebu
boiler dan blotong (filter cake). Ampas tebu merupakan limbah padat yang
berasal dari perasan batang tebu ini banyak mengandung serat dan gabus. Pembuangan ampas tebu dapat membawa masalah sebab ampas bersifat
meruah sehingga menyimpannya perlu area yang luas. Ampas mudah terbakar sebab didalamnya banyak mengandung air, gula, serat, dan mikroba sehingga bila tertumpuk akan termentasi dan melepaskan panas. Untuk
mengatasi kelebihan ampas tebu adalah dengan membakarnya untuk mengurangi jumlah ampas tebu. Pembakaran ampas tebu inilah yang
menghasilkan abu ampas tebu.
Abu ampas tebu (baggase ash) merupakan hasil perubahan kimiawi dari pembakaran ampas tebu murni yang terdiri dari garam-garam anorganik.
Hasil pengujian yang dilakukakan di laboratorium Instrumen Jurusan Kimia
fakultas MIPA Unila,diantaranya adalah silika (SiO2) yang terkandung di
dalam abu ampas tebu mencapai 44,87% dan alumunia (Al2O3) sebesar
21,94%.
E. Stabilisasi Tanah
Stabilisasi tanah adalah suatu proses untuk memperbaiki sifat-sifat tanah dengan menambahkan sesuatu pada tanah tersebut, agar dapat menaikkan kekuatan tanah dan mempertahankan kekuatan geser. Stabilisasi berhubungan
dengan pencampuran atau penambahan campuran bahan tertentu. Tujuan stabilisasi tanah adalah untuk mendapatkan kondisi tanah yang memenuhi
material yang ada sehingga membentuk struktur jalan atau pondasi jalan yang
padat. Menurut Ingels dan Metcalf (1972), sifat-sifat tanah yang diperbaiki dengan stabilisasi dapat meliputi : kestabilan volume, kekuatan/daya dukung,
permeabilitas, dan kekekalan atau keawetan.
Menurut Bowless (1989), dalam bukunya Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis (Mekanika Tanah) stabilisasi tanah dalam realisasinya tediri dari salah satu
atau gabungan pekerjaan-pekerjaan berikut:
1. Mekanis, yaitu pemadatan dengan berbagai jenis pemadatan mekanis,
seperti mesin gilas, benda berat yang dijatuhkan (pounder), pemanasan, peledakan dengan alat peledak, tekanan statis, pembekuan, dan lain-lain.
2. Bahan pencampur (addtive) adalah penambahan bahan lain pada tanah.
Bahan additive yang digunakan dapat berupa bahan kimiawi, seperti semen, abu batubara, aspal, sodium, kalsium klorida, atau limbah parbrik
kertas dan lain-lain sedangkan bahan nonkimia yang biasa digunakan antara lain gamping atau kerikil. Metode ini sangat bergantung pada lama waktu pemeraman, hal ini disebabkan karena proses perbaikan sifat-sifat
tanah terjadi proses kimia yang memerlukan waktu untuk zat kimia yang ada didalam additive tersebut untuk bereaksi.
F. California Bearing Ratio (CBR)
Metode perencanaan perkerasan jalan yang umum digunakan yaitu dengan
cara-cara empiris, yang biasa dikenal adalah cara CBR (California Bearing
Departement sebagai cara untuk menilai kekuatan tanah dasar jalan
(subgrade). Istilah CBR menunjukkan suatu perbandingan (ratio) antara beban yang diperlukan untuk menekan piston logam (luas penampang 3
sqinch) ke dalam tanah untuk mencapai penurunan (penetrasi) tertentu dengan beban yang diperlukan pada penekanan piston terhadap material batu pecah di California pada penetrasi yang sama (Canonica, 1991).
Menurut AASHTO T-193-74 dan ASTM D-1883-73, California Bearing
Ratio adalah perbandingan antara beban penetrasi suatu beban terhadap beban
standar dengan kedalaman dan kecepatan penetrasi yang sama.
Nilai CBR akan digunakan untuk menentukan tebal lapisan perkerasan. Harga CBR itu sendiri adalah nilai yang menyatakan kualitas tanah dasar
dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai CBR sebesar 100% dalam memikul beban. Untuk menentukan tebal lapis
perkerasan dari nilai CBR digunakan grafik-grafik yang dikembangkan untuk berbagai muatan roda kendaraan dengan intensitas lalu lintas.
Menurut Soedarmo dan Purnomo (1997), berdasarkan cara mendapatkan
contoh tanah, CBR dapat dibagi atas :
1. CBR lapangan (CBR inplace atau field CBR).
CBR lapangan memiliki kegunaan sebagai berikut:
a. Untuk mendapatkan nilai CBR asli di lapangan sesuai dengan kondisi tanah pada saat itu. Umumnya digunakan untuk perencanaan tebal
b. Untuk mengontrol kepadatan yang diperoleh sehingga sesuai dengan
yang diinginkan. Pemeriksaan ini tidak umum digunakan.
Metode pemeriksaan CBR lapangan dilakukan dengan meletakkan piston
pada kedalaman dimana nilai CBR akan ditentukan lalu dipenetrasi dengan menggunakan beban yang dilimpahkan melalui gardan truk.
2. CBR lapangan rendaman (undisturbed soaked CBR).
CBR lapangan rendaman ini berguna untuk mendapatkan nilai CBR asli di lapangan pada keadaan tanah jenuh air, dan tanah mengalami
pengembangan (swelling) maksimum. Pemeriksaan ini dilaksanakan pada musim kemarau dan kondisi tanah dasar tidak dalam keadaan jenuh air. Dan digunakan pada badan jalan yang sering terendam air pada musim
hujan.
Pemeriksaan CBR lapangan rendaman dilakukan dengan mengambil
contoh tanah dalam tabung (mold) yang ditekan masuk ke dalam tanah mencapai kedalaman tanah yang diinginkan. Mold yang berisi contoh tanah yang dikeluarkan dan direndam dalam air selama 4 hari sambil
diukur pengembangannya (swelling). Setelah pengembangan tidak terjadi lagi maka dilaksanakan pemeriksaan CBR.
3. CBR laboratorium (laboratory CBR).
CBR laboratorium dapat disebut juga CBR rencana titik. Tanah dasar yang diperiksa merupakan jalan baru yang berasal dari tanah asli, tanah
merupakan kemampuan lapisan tanah yang memikul beban setelah tanah
itu dipadatkan. Oleh karena itu, nilai CBR laboratorium adalah nilai CBR yang diperoleh dari contoh tanah yang dibuat dan mewakili keadaan
tanah tersebut setelah dipadatkan.
Pemeriksaan CBR laboratorium dilaksanakan dengan dua macam metode yaitu CBR laboratorium rendaman (soaked design CBR) dan CBR
laboratorium tanpa rendaman (unsoaked design CBR) (Sukirman, 1992). Hal yang membedakan pada dua macam metode tersebut adalah contoh
tanah atau benda uji sebelum dilakukan pemeriksaan CBR.
Untuk uji CBR metode rendaman adalah untuk mengasumsikan keadaan hujan atau saat kondisi terjelek di lapangan yang akan
memberikan pengaruh penambahan air pada tanah yang telah berkurang airnya, sehingga akan mengakibatkan pengembangan
(swelling) dan penurunan kuat dukung tanah.
Untuk metode CBR rendaman, contoh tanah di dalam cetakan direndam dalam air sehingga air dapat meresap dari atas maupun dari bawah dan
permukaan air selama perendaman harus tetap kemudian benda uji yang direndam telah siap untuk diperiksa. Dan untuk metode CBR tanpa
rendaman, contoh tanah dapat langsung diperiksa tanpa dilakukan perendaman (ASTM D-1883-87).
Pengujian kekuatan CBR dilakukan dengan alat yang mempunyai piston
pada penetrasi tertentu yang diukur dengan arloji pengukur (dial). Penentuan
nilai CBR yang biasa digunakan untuk menghitung kekuatan pondasi jalan adalah penetrasi 0,1” dan penetrasi 0,2” dengan rumus sebagai berikut:
Nilai CBR pada penetrsai 0,1” =
Nilai CBR pada penetrsai 0,2” =
Dimana :
A = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,1” B = pembacaan dial pada saat penetrasi 0,2”
Nilai CBR yang didapat adalah nilai yang terkecil diantara hasil perhitungan kedua nilai CBR.
Berikut ini adalah tabel beban yang digunakan untuk melakukan penetrasi bahan standar.
Tabel 5. Beban penetrasi bahan standar
G. Batas-batas Konsistensi
Batas-batas konsistensi atau disebut juga batas-batas Atterberg (yang diambil dari nama peneliti pertamanya yaitu Atterberg pada tahun 1911) adalah batas kadar air yang mengakibatkan perubahan kondisi dan bentuk tanah.
Kadar air yang terkandung dalam tanah berbeda-beda pada setiap kondisi. Kadar air tersebut bergantung pada interaksi antara partikel mineral lempung,
bila kandungan air berkurang maka ketebalan lapisan kation akan berkurang pula yang mengakibatkan bertambahnya gaya-gaya tarik antara partikel-partikel. Sedangkan jika kadar airnya sangat tinggi, campuran tanah dan air
akan menjadi sangat lembek seperti cairan. Oleh karena itu, berdasarkan kadar air yang dikandung tanah, tanah dapat dibedakan ke dalam empat (4)
keadaan dasar, yaitu : padat (solid), semi padat (semi solid), plastis (plastic), dan cair (liquid), seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Batas Konsistensi Tanah
Adapun yang termasuk ke dalam batas-batas Atterberg antara lain:
1. Batas cair (Liquid Limit).
Batas cair (LL) adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan
keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah plastis. 2. Batas plastis (Plastic Limit).
Batas plastis (PL) adalah kadar air pada kedudukan antara daerah plastis
dan semi plastis, yaitu persentase kadar air dimana tanah dengan diameter silinder 3 mm mulai retak-ratak ketika digulung.
3. Batas susut (Shrinkage Limit).
Batas susut (SL) adalah kadar air yang didefinisikan pada derajat kejenuhan 100%, dimana untuk nilai-nilai dibawahnya tidak akan
terdapat perubahan volume tanah apabila dikeringkan terus. Harus diketahui bahwa batas susut makin kecil maka tanah akan lebih mudah
mengalami perubahan volume. 4. Indeks plastisitas (Plasticity Index).
Indeks plastisitas (PI) adalah selisih antara batas cair dan batas plastis.
Indeks plastisitas merupakan interval kadar air tanah yang masih bersifat plastis.
5. Berat spesifik (Specific Gravity).
H. Pemadatan Tanah
Pemadatan tanah adalah suatu proses memadatnya partikel tanah sehingga terjadi pengurangan volume udara dan volume air dengan memakai cara mekanis. Kepadatan tanah tergantung pada nilai kadar air, jika kadar air tanah
sedikit maka tanah akan keras begitu pula sebaliknya, bila kadar air banyak maka tanah akan menjadi lunak atau cair. Pemadatan yang dilakukan pada
saat kadar air lebih tinggi daripada kadar air optimumnya akan memberikan pengaruh terhadap sifat tanah.
Manfaat dari pemadatan tanah adalah memperbaiki beberapa sifat teknik
tanah, antara lain:
1. Memperbaiki kuat geser tanah yaitu menaikkan nilai θ dan C (memperkuat tanah).
2. Mengurangi kompresibilitas yaitu mengurangi penurunan oleh beban. 3. Mengurangi permeabilitas yaitu mengurangi nilai k.
4. Mengurangi sifat kembang susut tanah (lempung).
Pemadatan tanah dapat dilakukan di lapangan maupun di laboratorium. Di
lapangan biasanya tanah akan digilas dengan mesin penggilas yang didalamnya terdapat alat penggetar, getaran tersebut akan menggetarkan tanah sehingga terjadi pemadatan. Sedangkan di laboratorium menggunakan
pengujian standar yang disebut dengan uji proctor, dengan cara suatu palu dijatuhkan dari ketinggian tertentu beberapa lapisan tanah di dalam sebuah
terdapat hubungan antara kadar air dengan berat volume. Berdasarkan tenaga
pemadatan yang diberikan, pengujian proctor dibedakan menjadi 2 macam:
1. Proktor Standar.
2. Proktor Modifikasi.
Rincian mengenai persamaan ataupun perbedaan dari kedua proctor tersebut, diperlihatkan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Elemen-elemen uji pemadatan di laboratorium (Das, 1988)
Proctor Standar (ASTM D-698)
Proctor Modifikasi (ASTM D-1557)
Berat palu 24,5 N (5,5 lb) 44,5 N (10 lb)
Tinggi jatuh palu 305 mm (12 in) 457 mm (18 in)
Jumlah lapisan 3 5
Jumlah tumbukan/lapisan 25 25
Volume cetakan 1/30 ft3
Tanah saringan (-) No. 4
Energi pemadatan 595 kJ/m3 2698 kJ/m3
I. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian laboratorium yang menjadi bahan pertimbangan dan
acuan penelitian ini dikarenakan adanya kesamaan metode dan sampel tanah yang digunakan, akan tetapi untuk bahan aditif dan variasi campuran serta
1. Stabilisasi pada tanah lempung lunak menggunakan Abu Ampas Tebu
Penelitian yang dilakukan oleh Zulya Safitri pada tahun 2012 adalah mengenai “Pengaruh Penambahan Abu Ampas Tebu (Bagasse Ash)
Sebagai Bahan Stabilisator Pada Tanah Lempung Lunak” mengatakan bahwa penggunaan bahan campuran Abu Ampas Tebu sebagai bahan stabilisasi pada tanah lempung lunak Rawa Sragi dengan perlakuan
pemeraman selama 7 hari serta rendaman selama 4 hari mampu
meningkatkan kekuatan daya dukungnya.
Tabel 7. Hasil pengujian CBR tiap kadar campuran (Zulya Safitri, 2012)
Kadar abu ampas tebu CBR
(Tanpa Rendaman)
CBR (Rendaman)
5% 9,2% 5,4%
10% 10,7% 6,7%
15% 12,6% 8%
2. Stabilisasi tanah Organik dengan semen dan sekam padi
Penelitian stabilisasi tanah dengan semen dan sekam padi oleh Andri Frandustie pada tahun 2010 dengan judul “Pemanfaatan Sekam Padi Pada Stabilisasi Tanah Organik Dengan Menggunakan Semen”. Hasil
pengujian nilai CBR sampel tanah asli dengan penambahan campuran sekam padi + semen masing-masing 6 %, 9 % dan 12 % dengan
Tabel 8. Hasil uji CBR campuran sekam padi + semen (Andri Frandustie,
sekam padi berpengaruh terhadap kekuatan campuran tersebut, hal ini dapat dilihat dari nilai CBR yang dihasilkan. Semakin besar kadar semen
dan sekam padi yang ditambahkan dalam setiap campuran, maka nilai CBR tanah campuran tersebut juga semakin meningkat. Dari Tabel 8 juga dapat dilihat bahwa nilai dari CBR rendaman lebih kecil
dibandingkan dengan nilai CBR tanpa rendaman. Hal ini disebabkan oleh pengaruh dari perendaman yang mampu menurunkan nilai CBR,
III. METODE PENELITIAN
A. Pekerjaan Lapangan
Lokasi pengambilan sampel tanah organik ini berada di Rawa Seragi, Lampung Timur. Pengambilan sampel tanah menggunakan tabung pipa paralon sebanyak tiga buah untuk mendapatkan data-data primer. Pipa
ditekan perlahan-lahan sampai kedalaman 50 cm, kemudian diangkat ke permukaan sehingga terisi penuh oleh tanah dan ditutup dengan plastik agar
terjaga kadar air aslinya. Sampel yang sudah diambil ini selanjutnya digunakan sebagai sampel untuk pengujian awal, dimana sampel ini disebut tanah tidak terganggu. Sedangkan pengambilan sampel untuk tanah
terganggu, dilakukan dengan cara penggalian dengan menggunakan cangkul kemudian dimasukkan ke dalam karung plastik.
B. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat untuk uji
batas-batas konsistensi, uji berat jenis, uji pemadatan (proctor modified), uji CBR dan peralatan pendukung lainnya yang ada di Laboratorium Mekanika Tanah
C. Bahan Uji
Bahan uji yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sampel tanah yang di uji pada penelitian ini yaitu tanah organik dari daerah Rawa Seragi, Lampung Timur.
2. Abu ampas tebu yang digunakan merupakan sisa pembakaran ampas tebu di pabrik gula Bunga Mayang, Lampung Utara.
3. Air yang berasal dari Laboratorium Mekanika Tanah Jurusan Teknik Sipil, Universitas Lampung.
D. Metode Pencampuran Sampel Tanah dengan Abu Ampas Tebu
Metode pencampuran masing-masing kadar abu ampas tebu adalah :
1. Abu ampas tebu dicampur dengan sampel tanah yang telah ditumbuk (butir aslinya tidak pecah) dan lolos saringan No. 4 (4,75 mm) dengan variasi prosentasi abu antara lain adalah 5%, 10%, dan 15%.
2. Sampel tanah yang telah tercampur abu ampas tebu siap untuk dipadatkan, lalu peram selama 7 hari dan setelah itu dapat dilakukan pengujian CBR.
Setelah pengujian CBR, dilakukan perendaman selama 4 hari lalu dilakukan pengujian CBR, batas atterberg dan berat jenis. Alasan sampel tanah diperam selama 7 hari adalah mengasumsikan pencampuran tanah
dengan abu ampas tebu sudah homogen dan terhidrasi sempurna yaitu tanah, abu ampas tebu, dan semen telah bercampur dan menyatu secara
kondisi tersebut air sudah dalam keadaan jenuh dan tidak dapat menyerap
ke dalam rongga-rongga tanah lagi.
3. Variasi campuran ini digunakan dengan meninjau penelitian sebelumnya.
Penelitian oleh Zulya Safitri 2012 dengan menggunakan variasi campuran kadar abu ampas tebu 5%, 10%, 15% memperoleh hasil pengujian CBR tanah lempung lunak yang mengalami peningkatan terjadi pada variasi
campuran 15% dengan waktu pemeraman 7 hari dan perendaman 4 hari. Pada penelitian ini ditinjau pengaruh penambahan abu ampas tebu dengan
persentase yang sama yaitu 5%, 10% dan 15%.
4. Pencampuran sampel dengan cara mengaduk tanah dengan abu ampas tebu dalam wadah dengan memberi penambahan air. Sampel tanah memiliki
komulatif berat 100%, maka variasi campuran kadar abu 5% terdiri dari 95% tanah dan 5% abu ampas tebu.
E. Pelaksanaan Pengujian
Pelaksanaan pengujian dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah Jurusan
Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Lampung. Pengujian yang dilakukan terdiri dari 2 bagian yaitu pengujian untuk tanah asli dan pengujian
untuk tanah yang telah distabilisasi menggunakan abu ampas tebu, adapun pengujian-pengujian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pengujian Sampel Tanah Asli
a. Pengujian Analisis Ukuran Butiran Tanah b. Pengujian Berat Jenis
d. Pengujian Batas Atterberg
e. Pengujian Pemadatan Tanah f. Pengujian CBR
2. Pengujian pada tanah yang telah distabilisasi abu ampas tebu a. Pengujian Pemadatan Tanah
b. Pengujian CBR
c. Pengujian Batas Atterberg
d. Pengujian Berat Jenis
Pada pengujian tanah stabilisasi, setiap sampel tanah dibuat campuran dengan kadar persentasi abu ampas tebu yaitu 5%, 10% dan 15% dengan dilakukan masa pemeraman yang sama yaitu selama 7 hari, serta pemeraman 7 hari lalu
perendaman selama 4 hari sebelum dilakukan pengujian CBR dan pengujian yang lainnya.
1. Uji Kadar Air
Pengujian ini digunakan untuk mengetahui kadar air suatu sampel tanah
yaitu perbandingan antara berat air dengan berat tanah kering. Cara Kerja berdasarkan ASTM D-2216 :
a. Menimbang cawan yang akan digunakan dan memasukkan benda uji kedalam cawan dan menimbangnya.
b. Memasukkan cawan yang berisi sampel ke dalam oven dengan suhu
c. Menimbang cawan berisi tanah yang sudah di oven dan menghitung
prosentase kadar air.
2. Uji Analisa Saringan
Analisis saringan adalah mengayak atau menggetarkan contoh tanah
melalui satu set ayakan di mana lubang-lubang ayakan tersebut makin kecil secara berurutan. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui
prosentase ukuran butir sampel tanah yang dipakai. Pengujian ini menggunakan standar ASTM D-422, AASHTO T88 (Bowles, 1991). Langkah Kerja :
a. Mengambil sampel tanah sebanyak 500 gram, memeriksa kadar airnya.
b. Meletakkan susunan saringan diatas mesin penggetar dan memasukkan sampel tanah pada susunan yang paling atas kemudian menutup rapat. c. Mengencangkan penjepit mesin dan menghidupkan mesin penggetar
selama kira-kira 15 menit.
d. Menimbang masing-masing saringan beserta sampel tanah yang
tertahan di atasnya. Perhitungan :
a. Berat masing-masing saringan (Wci)
b. Berat masing-masing saringan beserta sampel tanah yang tertahan di atas saringan (Wbi)
c. Berat tanah yang tertahan (Wai) = Wbi – Wci
d. Jumlah seluruh berat tanah yang tertahan di atas saringan ( Wai
e. Persentase berat tanah yang tertahan di atas masing-masing saringan
(Pi)
f. Persentase berat tanah yang lolos masing-masing saringan (q) : qi 100% pi%
q
11 qip
i1 Dimana : i = l (saringan yang dipakai dari saringan dengan diameter maksimum sampai saringan No. 2003. Uji Pemadatan Tanah Modified
Tujuannya adalah untuk menentukan kepadatan maksimum tanah dengan
cara tumbukan yaitu dengan mengeahui hubungan antara kadar air dengan kepadatan tanah.
Cara kerja berdasarkan ASTM D 698-78 :
Penambahan air :
a. Mengambil tanah sebanyak 12,5 kg dengan menggunakan karung goni
lalu dijemur.
b. Setelah kering tanah yang masih menggumpal dihancurkan dengan tangan.
c. Butiran tanah yang telah terpisah diayak dengan saringan No. 4.
d. Butiran tanah yang lolos saringan No. 4 dipindahkan atas 5 bagian,
masing-masing 2,5 kg, masukkan masing-masing bagian kedalam plastik dan ikat rapat-rapat.
e. Mengambil sebagian butiran tanah yang mewakili sampel tanah untuk menentukan kadar air awal.
f. Mengambil tanah seberat 2,5 kg, menambahkan air sedikit demi sedikit
sambil diaduk dengan tanah sampai merata. Bila tanah yang diaduk telah merata, dikepalkan dengan tangan. Bila tangan dibuka, tanah tidak
hancur dan tidak loengket ditangan.
g. Setelah dapat campuran tanah, mencatat berapa cc air yang ditambahkan untuk setiap 2,5 kg tanah, penambahan air dilakukan
dengan selisih 3 %.
h. Penambahan air untuk setiap sampel tanah dalam plastik dapat dihitung
dengan rumus :
Wwb = wb . W 1 + wb
W = Berat tanah
Wb = Kadar air yang dibutuhkan
Penambahan air : Ww = Wwb – Wwa
i. Sesuai perhitungan, lalu melakukan penambahan air setiap 2,5 kg sampel diatas pan dan mengaduknya sampai rata dengan tembok
pengaduk.
Pemadatan tanah
b. Memasang coller pada mold, lalu meletakkannya di atas papan.
c. Mengambil salah satu sampel yang telah ditambahkan air sesuai dengan penambahannya.
d. Dengan modified proctor, tanah dibagi kedalam 5 bagian. Bagian pertama dimasukkan kedalam mold, ditumbuk 25 kali sampai merata. Dengan cara yang sama dilakukan pula untuk bagian kedua, ketiga,
keempat dan kelima sehingga bagian kelima.
e. Melepaskan collar dan meratakan permukaan tanah pada mold dengan
menggunakan pisau pemotong.
f. Menimbang mold berikut alas dan tanah didalamnya.
g. Mengeluarkan tanah dari mold dengan extruder, ambil bagian tanah
dengan menggunakan container untuk pemeriksaan kadar air (w). h. Mengulangi langkah kerja a sampai g untuk sampel tanah lainnya, maka
akan didapatkan 5 data pemadatan tanah.
Perhitungan kadar air :
1) Berat cawan + berat tanah basah = W1 (gr)
2) Berat cawan + berat tanah kering = W2 (gr) 3) Berat air = W1 – W2 (gr)
4) Berat cawan = Wc (gr)
5) Berat tanah kering = W2 – Wc (gr) 6) Kadar air (w) = _W1 – W2 (%)
W2 – Wc
2) Berat mold + sampel = Wms (gr)
3) Berat tanah (W) = Wms – Wm (gr) 4) Volume mold = V (cm3)
5) Berat volume = W/V (gr/cm3) 6) Kadar air (w)
7) Berat volume kering :
γd = γ x 100 (gr/cm3) 100 + w
8) Berat volume zero air void ( γz ) γz = Gs x γw (gr/cm3)
1. + Gs . w
4. Uji CBR (California Bearing Ratio)
Tujuannya adalah untuk menentukan nilai CBR dengan mengetahui kuat
hambatan campuran tanah dengan abu ampas tebu terhadap penetrasi kadar air optimum. Adapun langkah kerjanya adalah sebagai berikut : a. Menyiapkan 3 sampel tanah yang lolos saringan No. 4 masing-masing
sebanyak 5 kg ditambah sedikit untuk mengetahui kadar airnya.
b. Mencampur tanah dengan abu ampas tebu sesuai dengan kadar yang
telah ditentukan.
c. Menentukan penambahan air dengan rumus : Penambahan Air : (Berat sampel x (OMC - MC))
100
dimana :
d. Menambahkan air yang telah didapat pada campuran dan diaduk
hingga merata.
e. Memasukkan sampel kedalam mold lalu menumbuk secara merata.
Melakukan penumbukan sampel dalam mold dengan 5 lapisan dan banyak tumbukan pada masing-masing sampel adalah :
Sampel 1 : Setiap lapisan ditumbuk 10 kali
Sampel 2 : Setiap lapisan ditumbuk 25 kali Sampel 3 : Setiap lapisan ditumbuk 55 kali
f. Melepaskan collar dan meratakan sampel pada mold lalu menimbang
mold berikut sampel tersebut.
g. Mengambil sebagian sampel yang tidak terpakai untuk memeriksa
kadar air.
h. Melembabkan sampel dan setelah itu merendam sampel di dalam bak
3. Berat sampel (Ws) = Wms – Wm (gram)
4. Volume mold = V
5. Berat Volume = Ws / V (gr/cm3) 6. Kadar air = ω
k. Dari ketiga sampel didapat nilai CBR yaitu untuk penumbukan 10 kali, 25 kali dan 55 kali.
5. Uji Berat Jenis
Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan berat jenis tanah yang lolos saringan No. 200 dengan menggunakan labu ukur.
Cara kerja berdasarkan ASTM D -854
a. Menyiapkan benda uji secukupnya dan mengoven pada suhu 60oC sampai dapat digemburkan atau dengan pengeringan matahari.
b. Mendinginkan tanah dengan Desikator lalu menyaring dengan saringan No. 200 dan apabila tanah menggumpal ditumbuk lebih dahulu.
c. Mencuci labu ukur dengan air suling dan mengeringkannya. d. Menimbang labu tersebut dalam keadaan kosong.
e. Mengambil sampel tanah antara 25 – 30 gram.
f. Memasukkan sampel tanah kedalam labu ukur dan menambahkan air suling sampai menyentuh garis batas labu ukur.
h. Mengeringkan bagian luar labu ukur, menimbang dan mencatat
hasilnya dalam temperatur tertentu.
6. Uji Batas Atterberg
a. Batas Cair (liquid limit)
Tujuan pengujian ini adalah untuk menentukan kadar air suatu jenis
tanah pada batas antara keadaan plastis dan keadaan cair. Cara kerja berdasarkan ASTM D 4318 :
1) Mengayak sampel tanah yang sudah dihancurkan dengan menggunakan saringan no. 40.
2) Mengatur tinggi jatuh mangkuk Casagrande setinggi 10 mm.
3) Mengambil sampel tanah yang lolos saringan no. 40 sebanyak 150 gram, kemudian diberi air sedikit demi sedikit dan aduk hingga
merata, kemudian dimasukkan kedalam mangkuk casagrande dan meratakan permukaan adonan sehingga sejajar dengan alas.
4) Membuat alur tepat ditengah-tengah dengan membagi benda uji
dalam mangkuk cassagrande tersebut dengan menggunakan grooving tool
5) Memutar tuas pemutar sampai kedua sisi tanah bertemu sepanjang 13 mm sambil menghitung jumlah ketukan dengan jumlah ketukan harus berada diantara 10 – 40 kali.
6) Mengambil sebagian benda uji di bagian tengah mangkuk untuk pemeriksaan kadar air dan melakukan langkah kerja yang sama
sehingga diperoleh 4 macam benda uji dengan jumlah ketukan
yang berbeda yaitu 2 buah dibaah 25 ketukan dan 2 buah di atas 25 ketukan.
Perhitungan :
1) Menghitung kadar air masing-masing sampel tanah sesuai jumlah pukulan.
2) Membuat hubungan antara kadar air dan jumlah ketukan pada grafik semi logritma, yaitu sumbu x sebagai jumlah pukulan dan sumbu y sebagai kadar air.
3) Menarik garis lurus dari keempat titik yang tergambar. 4) Menentukan nilai batas cair pada jumlah pukulan ke 25.
b. Batas plastis (plastic limit)
Tujuannya adalah untuk menentukan kadar air suatu jenis tanah pada keadaan batas antara keadaan plastis dan keadaan semi padat.
Cara kerja berdasarkan ASTM D 4318 :
1) Mengayak sampel tanah yang telah dihancurkan dengan saringan no. 40.
2) Mengambil sampel tanah kira-kira sebesar ibu jari kemudian digulung-gulung di atas plat kaca hingga mencapai diameter 3 mm sampai retak-retak atau putus-putus.
Perhitungan :
1) Nilai batas plastis (PL) adalah kadar air benda uji diameter silinder
± 3 mm.
2) Indeks Plastisitas (PI) adalah harga rata-rata dari ketiga sampel tanah yang diuji, dengan rumus : PI = LL – PL
F. Urutan Prosedur Penelitian
1. Dari hasil pengujian percobaan analisis saringan dan batas atterberg untuk tanah asli (0%) digunakan untuk mengklasifikasikan tanah berdasarkan klasifikasi tanah USCS.
2. Dari data hasil pengujian pemadatan tanah untuk sampel tanah asli dan tanah dicampur abu ampas tebu, grafik hubungan berat volume kering dan
kadar air untuk mendapatkan nilai kadar air kondisi optimum yang akan digunakan untuk membuat sampel pada uji CBR tiap-tiap kadar campuran abu ampas tebu.
3. Data pengujian pemadatan berupa grafik hubungan berat volume kering dan kadar air untuk mendapatkan kadar air kondisi optimum untuk sampel
tanah asli yang distabilisasi abu ampas tebu dengan variasi kadar campuran 5%, 10% dan 15%.
4. Melakukan pencampuran sampel tanah asli dan abu ampas tebu dengan
5. Sampel di peram selama 7 hari dan setelah itu dapat dilakukan pengujian
Gambar 3. Bagan Alir Penelitian (Tanah Asli + Abu Ampas Tebu)
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap sampel tanah lunak yang distabilisasi menggunakan Abu Ampas Tebu
(bagasse ash), maka diperoleh beberapa kesimpulan :
1. Sampel tanah yang digunakan berasal dari daerah Rawa Seragi, Kabupaten
Lampung Timur, menurut sistem klasifikasi USCS digolongkan sebagai tanah berbutir halus dan termasuk kedalam kelompok OH yaitu tanah yang
mengandung kandungan organik dengan plastisitas sedang sampai dengan tinggi.Sampel tanah mempunyai kadar abu sebesar 44,84 % dan kadar serat sebesar 4,92 %. Dilihat dari kandungan organik yang terkandung
pada tanah ini sebesar 60,303 % maka tanah ini dapat digolongkan sebagai tanah organik tinggi yang memiliki kadar organik berkisar antara 25-75%.
2. Penggunaan abu ampas tebu sebagai bahan stabilisasi pada tanah organik Rawa Seragi mampu meningkatkan kekuatan daya dukungnya, hal ini dapat dilihat pada :
Peningkatan CBR terjadi pada tiap kadar perentase abu ampas tebu,
yaitu sebesar 5.3 %, 7.4 % dan 9.8 %.
b. Hasil pengujian untuk CBR Rendaman dengan waktu perendaman
selama 4 hari mengalami peningkatan, yaitu sebesar 2.9 %, 4.5% dan 6.2 %.
3. Penambahan 10% dan 15% kadar campuran abu ampas tebu dengan
perilaku tanpa rendaman serta penambahan 15 % kadar campuran abu ampas tebu dengan perilaku rendaman memenuhi persyaratan nilai CBR
sebagai tanah timbunan lapisan subgrade pada konstruksi jalan minimal yang disyaratkan oleh spesifikasi Bina Marga, yaitu ≥ 6%.
4. Perilaku rendaman yang dilakukan pada campuran abu ampas tebu dan
semen cenderung menurunkan kekuatan nilai CBR bila dibandingkan dengan yang tidak mengalami perilaku rendaman.
5. Penambahan campuran abu ampas tebu berpengaruh pada sifat fisik tanah organik, yaitu dapat menurunkan indeks plastisitasnya serta menaikkan kadar air optimum pada tanah campuran, nilai berat jenis serta nilai berat
volume kering tanah.
B. Saran
Untuk penelitian selanjutnya mengenai stabilisasi tanah dengan menggunakan abu ampas tebu (bagasse ash), disarankan beberapa hal dibawah ini untuk
dipertimbangkan :
1. Untuk mengetahui efektif atau tidaknya campuran abu ampas tebu perlu
campuran yang sama atau berbeda, sehingga akan diketahui nilai nyata
terjadinya perubahan akibat pengaruh penambahaan abu ampas tebu.
2. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sifat campuran abu ampas tebu dengan perilaku dan perlakuan yang berbeda.
3. Perlunya penelitian lebih lanjut pada sampel tanah organik dengan
campuran kadar larutan abu ampas tebu yang lebih bervariasi.
4. Sebaiknya dilakukan pembersihan alat/mesin sebelum melakukan pengujian-pengujian di laboratorium, hal ini dikarenakan akan
mempengaruhi hasil yang akan didapat.
5. Penelitian yang lebih luas dan komprehensif masih diperlukan, khususnya untuk meningkatkan jaminan stabilitas tanah organik terhadap efek jangka
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Unila Offset. Bandar Lampung.
Bowles, E.J. Johan K. Helnim. 1991. Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika Tanah). PT. Erlangga. Jakarta.
Craig, R.F. 1991. Mekanika Tanah. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Das, Braja. M. 1995. Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid I . Erlangga. Jakarta.
Frandustie, Andri. 2010. Pemanfaatan Sekam Padi Pada Stabilisasi Tanah
Organik Dengan Menggunakan Semen.Skripsi Universitas Lampung.
Lampung.
Hardiyatmo, Hary Christady. 1992. Mekanika Tanah I. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hardiyatmo, Hary Christady. 2002. Mekanika Tanah II. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hendarsin, Shirley L. 2000. Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya. Politeknik Negeri Bandung. Bandung.
Kawulusan, Ave. 2009. Studi Penurunan Tanah Gambut Mengunakan Bahan Ijuk
Pada Kondisi Single Drain Dengan Pembebanan Bertahap. Skripsi
Universitas Lampung. Lampung.
Mekanika Tanah, Laboratorium. 2006. Buku Petunjuk Praktikum Mekanika Tanah I & II. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Safitri, Zulya. 2012. Pengaruh Penambahan Abu Ampas Tebu (Bagasse Ash)
Sebagai Bahan Stabilisator Pada Tanah Lempung Lunak. Skripsi
Universitas Lampung. Bandar Lampung.