MODEL KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN AIR
KAWASAN CILEGON BERBASIS
DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU
SUTOYO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Sutoyo. F151020091. Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air Kawasan Cilegon Berbasis Derah Aliran Sungai Cidanau. Dibawah bimbingan M. Yanuar J. Purwanto dan Erizal.
Ringkasan
Air merupakan sumberdaya alam terbaharui, tetapi ketersediaannya tidak selalu sejalan dengan kebutuhannya dalam artian lokasi, jumlah, waktu dan mutu. Ketersediaan air erat kaitannya dengan faktor geografis dan iklim daerah aliran sungai, sedang kebutuhan air kawasan berhubungan langsung dengan pengguna air yaitu penduduk dan juga kebutuhan air untuk industri. Neraca keseimbangan antara ketersediaan (supply) dan kebutuhan (demand) air diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menganalisis dan merencanakan penyediaan kebutuhan air untuk pertanian, domestik/penduduk, industri dan keperluan lainnya. Oleh karena itu pola pengelolaan lahan yang ada perlu ditinjau dengan memperhatikan aspek konservasi untuk melestarikan sumberdaya air. Jumlah kebutuhan akan air untuk keperluan domestik (rumah tangga) dan industri selalu meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk dan peningkatan taraf hidupnya.
Penelitian bertujuan untuk membuat model ketersediaan dan kebutuhan air berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasarkan model yang telah dibangun digunakan untuk mengevaluasi antara ketersediaan dan kebutuhan air dalam suatu kawasan DAS.
Model ketersediaan air dibangun dengan memodifikasi model tangki (model
runoff) dengan masukan data berupa data curah hujan dan evapotranspirasi yang
dikalibrasi dengan beberapa parameter. Pembentukan struktur model tangki merupakan penggambaran proses limpasan yang terjadi yang dibentuk dengan persamaan-persamaan matematis. Masukan model berupa parameter curah hujan dan evapotranspirasi dan menghasilkan keluaran berupa debit simulasi dengan penetapan beberapa parameter kalibrasi mencakup infiltrasi (z), kandungan air tanah (xx) serta kapasitas maksimum simpanan air (dmax).
Model kebutuhan air dimodifikasi berdasarkan kebutuhan air penduduk dan kebutuhan air industri yang dikalibrasi untuk mendapatkan nilai koefisien kebutuhan air. Proses kalibrasi dilakukan dengan metode least square sehingga didapatkan koefisien-koefisien kebutuhan air yang akhirnya akan digunakan dalam pembentukan model kebutuhan air.
Kalibrasi model ketersediaan air menggunakan data aktual tahun 1996 berupa data harian dari data hujan, evapotranspirasi dan debit sungai. Validasi model ketersediaan air menggunakan data aktual tahun 1997 berupa data harian dari data hujan, evapotranspirasi dan debit sungai. Validasi juga dilakukan terhadap data tahun 1999-2001. Validasi model ketersediaan air untuk data tahun 2001 menghasilkan nilai debit maksimum sebesar 39.39 m3/det, debit minimum sebesar 3.49 m3/det dan debit rata-rata sebesar 8.19 m3/det.
Kalibrasi model kebutuhan air dilakukan dengan data aktual tahun 1998-2000 (3 tahun), untuk mencari nilai koefisien kebutuhan air penduduk (Cp) dan juga koefisien kebutuhan air industri (CI). Hasil kalibrasi model untuk kebutuhan air penduduk menghasilkan nilai Cp untuk klas sosial tinggi bernilai 0.5, untuk klas sosial menengah bernilai 0.44 dan untuk klas penduduk rendah bernilai 0.07. Hasil kalibrasi model kebutuhan air untuk kebutuhan air industri menghasilkan nilai CI untuk industri besar bernilai 13.75, untuk industri menengah bernilai 15.17 dan untuk industri kecil bernilai 14.05.
penduduk berjumlah 10 110 m3/hari dan untuk kebutuhan air industri berjumlah 91 445 m3/hari
MODEL KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN AIR
KAWASAN CILEGON BERBASIS
DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU
SUTOYO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT karena berkah dan rahmat-Nya
tesis ini dapat diselesaikan dengan judul “Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air
Kawasan Cilegon Berbasis Daerah Aliran Sungai Cidanau”. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi dalam dunia llmu pengetahuan dan pengembangan
teknologi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto,
MS dan Dr. Ir. Erizal, M.Agr selaku pembimbing serta Dr. Ir. I Wayan Astika, MS
sebagai penguji yang telah banyak memberikan saran dan arahannya. Disamping itu
penghargaan penulis sampaikan juga kepada PT. Krakatau Tirta Industri,
Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB dan juga Bagian
Teknik Tanah dan Air Dept TEP atas bantuan dan dorongan yang telah diberikan
kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda dan
ayahanda, saudara-saudara serta Nirwani dan Fathan atas segala doa, motivasi dan
kasih sayangnya.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
saran dan kritik yang membangun kami harapkan untuk meningkatkan
pemanfaatannya. Semoga sekelumit ilmu yang dikemukakan dalam tulisan ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bagi yang
membutuhkan dan pembacanya.
Bogor, Oktober 2005
Penulis
DAFTAR ISI
RINGKASAN... ii
PRAKATA ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 2
Manfaat ... 2
TINJAUAN PUSTAKA Sumber-sumber Air ... 3
Air Limpasan... 3
Curah Hujan ... 4
Hubungan Curah Hujan dengan Limpasan ... 4
Infiltrasi... 5
Perkolasi... 6
Evapotranspirasi Acuan (ETo) ... 7
Perkembangan Model Hidrologi ... 8
Model Tangki ... 9
Proses Terjadinya Limpasan dalam Model Tangki ... 11
Kebutuhan Air ... 12
Kebutuhan Air Penduduk... 12
Kebutuhan Air Industri ... 13
Kapasitas Sumberdaya Air DAS ... 14
Pengelolaan Sumberdaya Air DAS ... 15
Model Kebutuhan Air ... 16
STELLA ... 16
Pendekatan ETo ... 16
METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian ... 18
Alat dan Bahan ... 18
Penyusunan Model... 20
Model Ketersediaan Air ... 20
Susunan Model Tangki ... 22
Penyusunan Program Komputer ... 24
Kalibrasi dan Validasi Model ... 24
Model Kebutuhan Air ... 25
Kalibrasi dan Validasi Model ... 26
Prediksi Ketersediaan Air di Masa Mendatang... 26
Supply-demand Air Wilayah ... 27
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi DAS Cidanau ... 30
Iklim ... 31
Topografi ... 31
Jenis Tanah dan Tata Guna Lahan... 32
Curah Hujan Wilayah... 32
Infiltrasi ... 33
Model Ketersediaan Air ... 33
Kalibrasi Model ... 33
Validasi Model ... 36
Prediksi Ketersediaan Air di Masa Mendatang... 39
Model Kebutuhan Air ... 40
Kalibrasi Model ... 40
Validasi Model ... 41
Supply-Demand Air untuk Perkembangan Wilayah ... 42
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 47
Saran ... 48
DAFTAR PUSTAKA... 50
DAFTAR TABEL
1. Rata-rata kebutuhan air harian perkapita ... 12
2. Skenario model ketersediaan air... 29
3. Luas sub DAS ... 30
4. Kelas kemiringan lahan DAS Cidanau ... 31
5. Penyebaran jenis tanah DAS Cidanau ... 32
6. Jumlah dan jenis penggunaan lahan... 32
7. Stasiun curah hujan dan persentase bobot ... 33
8. Nilai koefisien z ... 34
9. Hasil kalibrasi nilai koefisien a, xx dan dmax... 36
10. Hasil kalibrasi model kebutuhan air penduduk ... 40
DAFTAR GAMBAR
1. Kurva hubungan antara infiltrasi dan limpasan... 6
2. Struktur model tangki ... 10
3. Diagram aliran limpasan dengan model tangki... 11
4. Susunan model tangki dalam suatu DAS ... 21
5. Skema pembagian wilayah tangki dan hujan wilayah dalam DAS... 22
6. Skema tangki untuk setiap TGL ... 23
7. Kerangka kerja (framework) skema model kebutuhan air ... 26
8. Kerangka kerja (framework) perhitungan Supply-Demand air... 28
9. Grafik hasil kalibarasi data tahun 1996 ... 35
10. Grafik hasil validasi data tahun 1997... 37
11. Grafik hasil validasi data tahun 2001... 38
12. Grafik antara debit model dengan debit aktual validasi data tahun 2001. 39 13. Grafik hasil skenario 1 program STELLA ... 42
14. Grafik hasil skenario 2 program STELLA ... 44
15. Grafik hasil skenario 3 program STELLA ... 45
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lokasi penelitian ... 52
2. Struktur Program Model Ketersediaan Air yang ditulis dengan Bahasa Fortran ... 53
3. Hasil validasi debit model ketersediaan air data tahun 1997 ... 56
4. Perhitungan infiltrasi lokasi 1... 59
5. Perhitungan infiltrasi lokasi 2... 60
6. Perhitungan infiltrasi lokasi 3... 61
7. Diagram alir untuk satu tangki dalam model ketersediaan air ... 62
8. Data pemakaian air industri besar di Cilegon tahun 1999 ... 63
9. Data pemakaian air industri menengah di Cilegon tahun 1999 ... 64
10. Data pemakaian air industri kecil di Cilegon tahun 1999 ... 65
11. Kurva hasil pengukuran infiltrasi, (a) lokasi 1, (b) lokasi 2, (c) lokasi 3... 66
12. Hasil perhitungan Analisis Frekuensi Curah Hujan untuk debit andalan peluang 80% dengan program Rainbow ... 67
13. Hasil perhitungan kebutuhan air skenario 1 program STELLA ... 69
14. Hasil perhitungan kebutuhan air skenario 2 program STELLA ... 70
15. Hasil perhitungan kebutuhan air skenario 3 program STELLA ... 71
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengelolaan sumberdaya air secara optimal, pada dasarnya merupakan
pemanfaatan sumberdaya air secara efisien sesuai dengan peruntukannya. Berbagai
kegiatan yang dalam perencanaannya membutuhkan data sumberdaya air adalah
seperti industri, pertanian dan pemukiman. Kawasan industri, lahan pertanian,
kawasan pemukiman dari tahun ke tahun semakin meningkat, sehingga semakin
besar pula kebutuhan air yang diperlukan.
Sumber-sumber air yang paling utama terdiri dari air permukaan (surface water)
dan air tanah (ground water). Air mempunyai banyak kegunaan, misalnya untuk
irigasi, industri, keperluan rumah tangga (minum, masak, mandi dan mencuci) dan
lain-lainnya. Air yang digunakan untuk kawasan pemukiman, kawasan industri, dan
kegiatan sosial lainnya di wilayah Cilegon pada umumnya berasal dari air permukaan
yang telah diolah menjadi air bersih oleh PT. Krakatau Tirta Industri.
Untuk pemenuhan kebutuhan air di kawasan pemukiman, industri dan kegiatan
sosial lainnya ini, air baku diambil dari sungai Cidanau dengan luas daerah tangkapan
226.2 km2 yang terletak 25 km Barat Daya Cilegon. Sungai Cidanau merupakan kelanjutan aliran dari Rawa Danau yang terbentuk dari danau kawah vulkanik yang
telah dikosongkan untuk kultivasi.
Besarnya debit sungai yang mampu mencapai muara sungai banyak dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang dijumpai selama perjalanannya menuju muara. Faktor-
faktor itu diantaranya; pola pengelolaan lahan yang ada, pola konsumsi air oleh
rumah tangga yang berdiam di sekitar sungai, besarnya curah hujan yang merupakan
sumber utama ketersediaan air dan faktor-faktor lain, seperti jenis tanah, bentuk
penampang dan topografi sungai yang dilalui yang berkaitan dengan kemampuan
Ketersediaan air erat kaitannya dengan faktor geografis dan iklim daerah aliran
sungai, sedang kebutuhan air irigasi berhubungan langsung dengan absorbsi air oleh
tanaman selama perkembangan tanaman. Neraca keseimbangan antara
ketersediaan air (supply) dan kebutuhan air (demand) diharapkan dapat
dimanfaatkan untuk menganalisis dan merencanakan penyediaan kebutuhan air untuk
pertanian, domestik/penduduk, industri dan keperluan lainnya, seefisien mungkin.
Oleh karena itu pola pengelolaan lahan yang ada perlu ditinjau dengan
memperhatikan aspek konservasi untuk melestarikan sumberdaya air.
Tujuan
Penelitian tentang Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air Kawasan
Cilegon Berbasis Daerah Aliran Sungai Cidanau ini bertujuan untuk :
1. Membuat Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air berbasis DAS.
2. Mengevaluasi antara ketersediaan dan kebutuhan air dalam suatu kawasan DAS.
Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Hasil penelitian diharapkan menjadi salah satu dasar dalam kebijakan
pengembangan DAS Cidanau pada masa mendatang.
2. Hasil penelitian diharapkan dapat memperjelas sumberdaya air yang digunakan
oleh suatu kawasan (bagian hilir) dalam pemanfaatannya.
3. Memudahkan suatu kawasan untuk berkontribusi terhadap daerah yang berfungsi
TINJAUAN PUSTAKA
Sumber-sumber Air
Air Limpasan (runoff)
Air limpasan (runoff) adalah bagian dari presipitasi yang mengalir menuju
saluran, danau atau lautan sebagai aliran permukaan dan bawah permukaan
(Schwab et al, 1966). Sebelum terjadi runoff, presipitasi terlebih dahulu memenuhi
kebutuhan untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi dan surface storage. Menurut Schwab
et al (1966), runoff dapat terjadi hanya bila rata-rata curah hujan melampaui rata-rata
jumlah air yang dapat berinfiltrasi ke dalam tanah. Setelah infiltrasi terpenuhi, air akan
mulai mengisi lekukan-lekukan pada permukaan tanah. Setelah semua lekukan terisi
barulah terjadi aliran permukaan. Menurut Ward (1967), sumber dan komponen
utama runoff adalah:
1. Presipitasi langsung (directprecipitation)
Hujan yang langsung masuk ke dalam saluran memiliki persentase yang kecil dari
seluruh volume air yang mengalir. Walaupun daerah luas, tapi akan terevaporasi
pula sehingga sulit untuk diperkirakan besarnya, oleh karena itu biasanya
diabaikan dalam perhitungan.
2. Limpasan permukaan (surface runoff)
Limpasan permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah baik
sebagai aliran tipis di permukaan tanah atau sebagai aliran disaluran.
3. Aliran antara (interflow)
Sebagian hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah akan meyebar dan mengalir
secara lateral. Aliran yang terjadi ini merupakan aliran antara. Kontribusi aliran
antara terhadap total limpasan permukaan (total run off) tergantung dari
karakteristik tanah daerah tangkapan (catchment area).
4. Aliran Dasar (base flow)
Base flow adalah sebagian hujan yang terperkolasi ke dalam menembus lapisan
Curah Hujan
Curah hujan adalah salah satu parameter penting dalam sistem DAS, terutama
sebagai salah satu mata rantai daur hidrologi yang berperan menjadi pembatas
adanya potensi sumberdaya air di dalam suatu DAS. Rata-rata curah hujan sering
dibutuhkan dalam penyelesaian masalah hidrologi, seperti penelusuran masalah
banjir, penentuan ketesediaan air untuk irigasi ataupun untuk mendesain
bangunan-bangunan air. Perhitungan penentuan curah hujan wilayah dapat dilakukan dengan 3
metode yaitu: (1) Metode aritmatik yaitu dengan merata-ratakan kedalaman hujan
yang terjadi di suatu daerah; (2) Metode Isohiet dengan membuat garis pada wilayah
dengan menghubungkan titik-titik dengan curah hujan yang sama; dan (3) Metode
Thiessen.
Salah satu cara penentuan curah hujan rata-rata adalah dengan menggunakan
metode Thiessen. Menurut Linsey et al (1982), metode Thiessen berusaha untuk
mengimbangi tidak meratanya distribusi alat ukur dengan menyediakan suatu faktor
pembobot (weighting factor) bagi masing-masing stasiun curah hujan. Stasiun-stasiun
diplot pada suatu peta dan dibuat garis hubung antar stasiun. Garis-garis bagi tegak
lurus dari garis-garis penghubung ini membentuk poligon-poligon di sekitar
masing-masing stasiun.
Hubungan Curah Hujan dengan Limpasan (run off)
Menurut Seyhan (1977), hubungan antara curah hujan dan limpasan tidaklah
langsung. Diantara keduanya, evaporasi, intersepsi, cadangan depresi, cadangan
salju dan infiltrasi bekerja sebagaimana diatur oleh karakteristik-karakteristik dari
ukuran, kemiringan, bentuk, ketinggian, tata guna lahan, serta geologi daerah aliran
sungai.
Horton (1933) di dalam Seyhan (1977) menerangkan, ada 4 tipe peningkatan
1. I < fc - tidak terdapat limpasan permukaan
P < dlt - semua air yang diinfiltrasikan tetap pada
mintakat tak jenuh
2. I < fc - tidak terdapat limpasan permukaan
P > dlt - pengisian kembali air tanah dengan jumlah yang
sama dengan P
3. I < fc - terdapat limpasan permukaan
P > dlt - tidak terdapat pengisian kembali air tanah
4. I > fc - terdapat limpasan permukaan
P > dlt - pengisian kembali air tanah
Keterangan: I : intensitas curah hujan P : curah hujan
fc : kapasitas infiltrasi dlt : defisiensi lengas tanah
Infiltrasi
Proses masuknya air hujan ke dalam tanah dan turun ke permukaan air tanah
disebut infiltrasi. Proses infiltrasi melibatkan tiga proses yang saling tidak tergantung
yaitu, proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah, tertampungnya
air hujan tersebut di dalam tanah dan proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain.
Selanjutnya menurut Sosrodarsono dan Takeda (1977), dalam beberapa hal
tertentu, infiltrasi itu berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi
setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan
kecepatan absorpsi maksimum setiap tanah bersangkutan.
Asdak (1995) menjelaskan bahwa proses infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor , antara lain, tekstur dan struktur tanah, kandungan air awal (kelembaban
tanah), kegiatan biologi dan unsur organik, jenis dan kedalaman serasah, dan
tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah lainnya.
Ada tiga cara untuk menentukan besarnya infiltrasi (Knapp, 1978 di dalam
1. Menentukan beda volume air hujan buatan dengan volume air larian pada
percobaan laboratorium menggunakan simulasi hujan buatan.
2. Menggunakan alat infiltrometer.
3. Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran air hujan.
Penentuan laju infiltrasi telah dikembangkan dengan berbagai metode seperti
oleh Kostiakov (1932), Lewis (1937), Horton (1939), Holtan (1961) dan Phillips
(1957).
Gambar 1. Kurva hubungan antara infiltrasi dan limpasan (Schwab et al, 1966).
Perkolasi
Perkolasi merupakan pergerakan air bebas ke bawah yang membebaskan air
dari lapisan atas dan bagian atas dari lapisan bawah tanah ke tempat yang lebih
dalam dan merupakan air berlebih (Soepardi, 1979). Begitu air infiltrasi telah
menembus lapisan permukaan, air terus meresap (percolates) ke bawah tanah akibat
pengaruh gaya gravitasi sampai mencapai zona jenuh pada permukaan freatik
(phreatic surface) atau muka air tanah (groundwater table) (Wilson, 1990). Perkolasi
dapat digolongkan atas perkolasi vertikal (gerak ke bawah) dan perkolasi horizontal
(gerak ke samping).
Evapotranspirasi Acuan (ETo)
Waktu (menit)
L
a
ju
C
u
ra
h
h
u
ja
n
,
in
fi
lt
ra
si
d
a
n
Limpasan permukaan
Evapotranspirasi adalah peristiwa menguapnya air dari tanaman dan tanah atau
permukaan air yang menggenang. Dengan kata lain, besarnya evapotranspirasi
adalah jumlah antara evaporasi dan transpirasi. Evapotranspirasi merupakan salah
satu faktor penting yang terjadi dalam siklus hidrologi. Pengaruh evapotranspirasi di
daerah tropis pada umumnya, dapat mempercepat terjadinya kekeringan dan
penyusutan debit sungai pada musim kering (Asdak,1995). Banyak cara untuk
menentukan besarnya nilai evapotranspirasi salah satu metode penghitungan
besarnya evapotranspirasi yaitu menggunakan metode Penman yang dimodifikasi
(Doorenbos dan Pruitt, 1977).
Metode Penman yang dimodifikasi tergantung pada pengukuran meteorologis
dan mungkin merupakan metode yang memberikan perkiraan yang paling
memuaskan tentang kebutuhan air bagi tanaman. Persamaan asli dari Penman
menghasilkan evaporasi dari suatu permukaan air yang terbuka dengan
mempertimbangkan energi radiasi matahari dan aerodinamika (angin dan
kelembaban). Evaporasi dimodifikasi guna menghasilkan evapotranspirasi dari
sebuah permukaan tanah berumput dengan cara mengalikan dengan suatu koefisien
tanaman sebesar kira-kira 0.8. (Wilson, 1990). Maka ditetapkanlah suatu
evapotranspirasi tanaman standar atau acuan (ETo) yang didefinisikan sebagai
kecepatan evapotranspirasi dari sebuah permukaan yang ditutupi rumput hijau
setinggi 8 hingga 15 cm dengan ketinggian yang merata, aktif tumbuh, sepenuhnya
menutupi tanah dan tidak sedikit mengandung air. (Doorenbos dan Pruitt, 1977).
Perkembangan Model Hidrologi
Harto (1993) menyatakan, dalam pengertian umum model hidrologi adalah
simplifikasi proses sebuah sistem hidrologi yang kompleks. Model dapat diartikan
pula sebagai penyederhanaan suatu sistem, sedangkan sistem adalah gambaran
Menurut Linsley (1982), pengertian matematis dari persamaan-persamaan dan
cara-cara untuk melukiskan perilaku "Model Hidrologi" dipakai untuk memberikan
gambaran matematis yang relatif kompleks bagi daur hidrologi yang penyelesaiannya
didesain pada sebuah komputer.
Dalam hidrologi terdapat beberapa macam klasifikasi model yang digunakan
(Dooge, 1968; Clarke, 1973; Nemec, 1973 dalam Harto, 1993) antara lain yaitu (1)
Model fisik (physical model) yaitu model dengan skala tertentu untuk menirukan
prototipenya, (2) Model Analog (analog model) yaitu model yang disusun dengan
menggunakan rangkaian resistor-kapasitor untuk memecahkan
persamaan-persamaan diferensial yang memiliki proses hidrologi, dan (3) Model matematik
(mathematical model) yaitu model yang menyajikan sistem dalam rangkaian
persamaan, dan kadang-kadang dengan ungkapan-ungkapan yang menyajikan
hubungan antar variabel dan parameter. Menurut Harto (1993), di sisi lain model
dapat digolongkan menjadi : (1) Model empirik (empirical model) yaitu model yang
semata-mata mendasarkan pada percobaan dan pengamatan, (2) model konseptual
(conceptual model) yaitu model yang menyajikan proses-proses hidrologi dalam
persamaan matematik dan membedakan antara fungsi produksi (production function)
dan fungsi penelusuran (routing function).
Model hidrologi secara garis besar terbagi menjadi dua bagian besar yaitu model
stokastik dan model deterministik. Model stokastik adalah model yang terdiri dari
satu atau lebih unsur yang penyusunan hubungan antara masukan dan keluarannya
mengikutsertakan “peluang kejadian” dan memperkenalkan konsep probabilitas.
Model deterministik adalah model yang menghilangkan faktor “peluang kejadian”
(Soemarto, 1987)
Linsley et al. (1958) menyatakan bahwa baik model stokastik maupun model
deterministik memberikan andil yang besar pada hidrologi. Model tersebut telah
berguna bagi keperluan penelitian dan dapat dipakai untuk mengembangkan
penyelesaian problem keteknikan dengan suatu detail dan ketelitian yang tidak
mungkin dicapai oleh analisis perhitungan biasa yang lebih konvensional.
Tujuan dari digunakannya model hidrologi antara lain (Harto, 1993):
1). Peramalan (forecasting), termasuk di dalamnya untuk sistem peringatan dan
manajemen, pengertian disini menunjukkan baik besaran maupun waktu
kejadian yang dianalisis berdasarkan cara probabilistik
2). Perkiraan (prediction), pengertian yang tergantung di dalamnya adalah
besarnya kejadian dan waktu hipotetik
3). Sebagai alat "deteksi" dalam masalah pengendalian dengan sistem yang telah
pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan dapat dikontrol dan diatur
4). Sebagai alat pengenal (identification tool) dalam masalah perencanaan
5). Eksploitasi data atau informasi
6). Perkiraan lingkungan akibat tingkat perilaku manusia yang berubah atau
meningkat
7). Penelitian dasar dalam proses hidrologi.
Model Tangki
Menurut Sugawara (1961), model tangki adalah suatu metoda non-linier yang
berdasarkan kepada hipotesis bahwa aliran limpasan dan infiltrasi merupakan fungsi
dari jumlah air yang tersimpan di dalam tanah. Secara skematis, struktur model tangki
dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.
Sebuah tangki dengan saluran pengeluaran disisi mewakili limpasan, saluran
pengeluaran bawah mewakili infiltrasi, dan komponen simpanan dapat mewakili
proses limpasan didalam suatu atau sebagian daerah aliran sungai. Beberapa tangki
serupa yang pararel dapat mewakili suatu daerah aliran sungai yang besar (Linsey et
Infiltrasi Curah hujan Evapo
transp irasi
Perkolasi
Aliran Antara Limpasan Permukaan
Gambar 2. Struktur Model Tangki
Banyak model-model limpasan yang beroperasi dengan konsep dasar yang sama
dengan model tangki seperti DISPRIN yang dibuat oleh “British Water Resource
Board”, IMH2-SVP yang dipakai oleh Institute of Meteorology and Hidrology of
Romania dan Dawdy dan O’Donnel Model (Linsey, et al.1982).
Struktur model tangki cocok dianalogikan sebagai bentuk struktur air bawah
permukaan yang dapat menunjukkan beberapa komponen dari debit sungai/total
limpasan (Sugawara, 1961).
Banyak penelitian telah dilakukan dengan menggunakan model tangki. Selain
oleh Sugawara sendiri sebagai penemunya yang menganalisa limpasan pada
beberapa sungai di Jepang dan berhasil dengan baik, model tangki juga digunakan
luas pada berbagai DAS, seperti DAS Ciliwung (Yoshida, et al.1998), DAS Progo
Proses Terjadinya Limpasan dalam Model Tangki
Curah hujan yang jatuh diatas permukaan bumi akan terinfiltrasi ke dalam tanah.
Selain terinfiltrasi ke dalam tanah, terjadi pula proses evapotranspirasi. Air yang
terinfiltrasi selanjutnya akan mengisi simpanan (storage) didalam tanah.
Gambar 3. Diagram aliran limpasan dengan model tangki. ( Sugawara, 1961 dalam Hiroki, et al, 1996)
Setelah simpanan mencapai maksimum (kejenuhan) terjadilah aliran antara (interflow)
dan air akan terperkolasi hingga akhirnya menjadi aliran dasar (base flow).
Aliran-aliran ini selanjutnya akan terkumpul (total run off) menjadi debit sungai.
Kebutuhan Air
Kebutuhan mengembangkan sumberdaya air timbul dari adanya kebutuhan akan
air untuk suatu tujuan. Kebutuhan air suatu kota besarnya sebanding dengan jumlah
penduduk, dan pola konsumsi perkapita, sehingga perkembangan jumlah penduduk di
kota tersebut sangat menentukan tingkat kebutuhan air di masa mendatang (Pawitan
et al, 1994). Tabel 1 berikut menunjukkan rata-rata kebutuhan air harian per kapita Keterangan :
ET : Evapotranspirasi CH : Curah Hujan Ro : Aliran Permukaan Inf : Infiltrasi Int : Aliran Antara Bf1 : Aliran Dasar P : Perkolasi a,b.z : Koefisien
untuk kota di negara maju. Untuk kota di Indonesia tentunya tingkat kebutuhan air
untuk berbagai penggunaan ini tidak sama dan persentase kehilangan lebih tinggi.
Tabel 1. Rata-rata kebutuhan air harian per kapita
No. Penggunaan Kebutuhan (gcd) Persen total (%)
1 Rumah tangga 60 40
2 Komersial 20 13
3 Industri 45 30
4 Umum 15 10
5 Kehilangan 10 7
Jumlah 150 100
Sumber : Gupta (1989), gcd= galon capita/day
Kebutuhan Air Penduduk
Besarnya kebutuhan air bagi masing-masing orang tidak sama dan sangat
tergantung pada beberapa faktor, diantaranya tingkat sosial, tingkat pendidikan,
kebiasaan penduduk, letak geografis, dan lain-lain. Kebutuhan dasar air bersih tiap
individu digunakan untuk memenuhi keperluan minum, masak, mencuci peralatan
masak, dan lain-lain. Untuk Indonesia besar kebutuhan dasar tersebut adalah
(Puslitbang Fisika Terapan-LIPI, 1990) :
Minum = 2.5 – 5.0 liter/jiwa/hari
Masak = 7.5 – 10.0 liter/jiwa/hari
Cuci (bahan makanan dan lain-lain) = 10.0 – 15.0 liter/jiwa/hari
Jumlah = 20.0 – 30.0 liter/jiwa/hari
Menurut White et al., (1972) konsumsi air bersih untuk daerah perkotaan dan
pedesaan yang menggunakan hidran umum berkisar 10 – 50 liter/orang/hari, untuk
rumah tangga yang menggunakan satu keran saja berkisar 15 – 90 liter/orang/hari,
dan untuk rumah tangga yang memiliki banyak keran berkisar 30 – 300
Menurut Winrock (1992), Ditjen Cipta Karya menetapkan kebutuhan air domestik
untuk masyarakat pedesaaan adalah 45 lcd (liter capita/day) dan untuk masyarakat
kota sebesar 60 lcd.
Faktor utama yang menentukan jumlah kebutuhan air kota adalah jumlah
penduduk, dan ketepatan proyeksi penduduk akan sangat penting untuk menduga
tingkat kebutuhan air di masa mendatang (Pawitan et al, 1994).
Kebutuhan Air Industri
Besarnya kebutuhan air bagi masing-masing industri tidak sama dan sangat
tergantung pada beberapa faktor diantaranya jumlah pegawai, unit kerja, lamanya jam
kerja dan lain-lain.
Untuk menentukan kebutuhan air bersih untuk industri di perkotaan dapat
dikategorikan menjadi tiga jenis berdasarkan banyaknya pemakaian, masing-masing
untuk industri besar berkisar 151 - 350 m3/hari, industri sedang berkisar 51 – 150 m3/hari, dan industri kecil berkisar 5 - 50 m3/hari (Purwanto, 1995).
Kapasitas Sumberdaya Air DAS
Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai areal yang dibatasi oleh
pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang
jatuh diatasnya, baik dalam bentuk aliran permukaan alian bawah tanah dan aliran
bumi ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau laut (Manan, 1979).
Menurut Seyhan (1995) faktor utama di dalam DAS yang sangat
mempengaruhi kapasitas sumberdaya air adalah sebagai berikut :
Vegetasi merupakan pelindung bagi permukaan bumi terhadap hempasan air
hujan, hembusan angin dan teriknya matahari. Fungsi utama dari vegetasi adalah
melindungi tanah.
Perlindungan ini berlangsung dengan cara :
a. Melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh
b. Melindungi tanah terhadap daya merusak aliran air di atas permukaan
tanah
c. Memperbaiki kapasitas infiltrasi dan struktur tanah serta daya
absorbsi/daya simpan air.
2). Tanah
Tanah selain berfungsi sebagai media tempat tumbuhnya vegetasi juga
berfungsi sebagai pengatur tata air. Peranan tanah dalam mengatur tata air
tergantung pada tingkat kemampuan tanah untuk meresapkan air yang
dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah. Makin besar
kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah, makin banyak air yang dapat
diserap dan masuk ke dalam profil tanah persatuan waktu, sehingga dengan
demikian jumlah air yang tersimpan pada DAS menjadi lebih banyak (Arsyad,
1982).
Pengelolaan Sumberdaya Air DAS
Secara umum dapat dikatakan bahwa pengelolaan DAS ialah pengelolaan
sumberdaya alam yang dapat pulih seperti air, tanah dan vegetasi dalam sebuah
daerah aliran sungai dengan tujuan memperbaiki, memelihara dan melindungi
keadaan daerah aliran sungai agar dapat menghasilkan air untuk kepentingan
pertanian, kebutuhan penduduk, industri, tenaga listrik, rekreasi dan sebagainya
(Manan, 1979).
Tujuan dari pengelolaan sumberdaya air pada DAS adalah agar DAS secara
lestari bagi manusia di dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan serta
kesejahteraannya (Soerianegara, 1978).
Bentuk tindakan pengelolaan sumberdaya air pada DAS bermacam-macam,
tergantung dari permasalahan yang dihadapi DAS tersebut. Jika permasalahannya
adalah kurangnya persediaan air – supply lebih kecil dari demand – maka tindakan
yang harus dilakukan adalah mengusahakan penambahan persediaan air tersebut.
Di lain pihak jika permasalahannya adalah berlebihnya persediaan air – supply lebih
besar dari demand – maka tindakan yang harus dilakukan adalah mengupayakan
optimalitas pemanfaatan dari kelebihan persediaan yang ada, atau mengendalikan
kelebihan tersebut agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diiinginkan. Dasar dari
setiap tindakan pengelolaan sumberdaya air adalah menyeimbangkan sisi demand
dan supply (water balance) (Dumairy, 1992).
Lebih lanjut dikatakan oleh Dumairy (1992), bahwa setiap pokok permasalahan
yang dihadapi haruslah dijabarkan dengan terinci, agar bentuk konkrit dari tindakan
yang akan diambil dapat dioperasionalkan. Bila permasalahannya adalah kurangnya
persediaan sumberdaya air, maka haruslah jelas supply dan demand air untuk
keperluan yang apa yang mengalami kesenjangan/ketidakseimbangan tersebut;
apakah untuk irigasi, untuk keperluan industri, atau untuk keperluan domestik.
Selanjutnya perlu diselidiki dan dirinci sebab-sebab tidak mencukupinya supply air
tersebut, apakah karena persediaan alaminya memang tidak mencukupi secara
kuantitatif, atau karena kualitas air yang tersedia tidak memenuhi syarat untuk
dimanfaatkan (Harmailis, 2001).
Model Kebutuhan Air
STELLA
STELLA (Systems Thinking Educational Learning Laboratory with Animation)
kerja (framework) dan mudah dipahami dalam penggunaan untuk pengamatan
interaksi kuantitatif dari setiap variabel dalam suatu sistem. Program dapat digunakan
untuk menjelaskan dan menganalisa sistem yang kompleks dari ilmu fisika, kimia,
biologi dan sosial. (Martin, 1997).
Penggunaan STELLA yang mencakup beberapa bidang ilmu, salah satunya
adalah dapat digunakan untuk menghitung (memodelkan) kebutuhan air baku. Air
baku merupakan kebutuhan penting untuk kebutuhan penduduk dan juga kebutuhan
industri. Pertumbuhan penduduk dan industri yang dinamis seiring dengan
pemenuhan kebutuhan air baku dapat dihitung dengan menggunakan STELLA.
Pendekatan ETo (Evapotranspirasi)
Dasar dalam pembuatan model kebutuhan air dikembangkan dari persamaan
matematis dalam menghitung Kebutuhan Air Tanaman (KAT) menurut Doorenbos dan
Pruitt(1977), sebagai berikut :
Kc ETo
ETc = × (mm/hari) ...(1)
Kc ETo
ETc =0.116× × (ltr/det/ha) ...(2)
dimana :
ETc = Evapotranspirasi tanaman (mm/hari)
ETo = Evapotranpirasi aktual (mm/hari)
Kc = Koefisien tanaman (tergantung pada jenis tanaman, tahap pertumbuhan)
Analogi persamaan matematis diatas, yaitu ETc merupakan evapotranspirasi
(kebutuhan air tanaman) yang terjadi pada suatu luasan areal yang ditumbuhi oleh
tanaman dapat diartikan sebagai kebutuhan air suatu kawasan dengan populasi
penduduk/industri. ETo merupakan evapotranspirasi acuan dapat diartikan sebagai
sebagai koefisien kebutuhan air penduduk/industri, sehingga dapat disusun model
kebutuhan air untuk pemukiman dan industri seperti berikut (Purwanto, 1995):
(
)
∑
=
×
×
×
=
m1 i
penduduk
Pp
P
KAp
Cp
y
...(3)dimana :
y Penduduk = kebutuhan air penduduk (liter/hari)
Pp = persentase klas sosial penduduk (%) P = jumlah penduduk (jiwa)
KAp = kebutuhan air rata-rata tiap klas sosial penduduk (liter/jiwa/hari)
Cp = koefisien kebutuhan air penduduk (tergantung pada klas sosial penduduk, waktu pemakaian air)
m = jumlah persamaan
i = klas sosial (tinggi, menengah, rendah)
(
)
∑
=
×
×
×
=
n1 j
industri
PI
I
KaI
CI
y
...(4)dimana :
yIndustri = kebutuhan air industri (liter/hari)
PI = persentase jumlah tiap jenis industri (%) I = jumlah industri (industri)
KaI = kebutuhan air rata-rata tiap jenis industri (liter/industri/hari)
CI = koefisien kebutuhan air industri
n = jumlah persamaan
METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan mencakup Daerah Aliran Sungai Cidanau
Kabupaten Serang, Kota Cilegon Provinsi Banten dan Lab Teknik Tanah dan Air
Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Waktu penelitian dilaksanakan
dari bulan April 2004 sampai Agustus 2005.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan selama penelitian ini meliputi: seperangkat PC
lengkap dengan sejumlah software pendukung lainnya, scanner, double ring
infiltrometer, mistar, ember, stopwatch, GPS, dan peralatan keperluan
dokumentasi serta tulis menulis. Bahan yang digunakan antara lain: data
curah hujan, data iklim, data debit aktual, peta stasiun pos penakar hujan, peta
jenis tanah, peta topografi, peta tata guna lahan, peta batas administratif, data
penggunaan air penduduk dan industri.
Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data mencakup data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data infiltrasi yang diukur di lapangan dengan menggunakan Double ring
infiltrometer. Pengukuran infiltrasi berdasarkan jenis Tata Guna Lahan (TGL) yang
dibagi atas 3 TGL yaitu; TGL sawah, TGL hutan dan TGL kebun campuran.
Pengukuran infiltrasi dilapang menggunakan double ring infiltrometer, yaitu satu
infiltrometer silinder ditempatkan di dalam infiltrometer silinder lain yang lebih besar.
Infiltrometer silinder yang lebih kecil mempunyai diameter 30 cm dan infiltrometer
yang kecil. Infiltrometer yang besar berfungsi sebagai penyangga yang bersifat
menurunkan efek batas yang timbul oleh adanya silinder. Kedua infiltrometer tersebut
dibenamkan ke dalam tanah dengan kedalaman antara 5 hingga 50 cm. Kemudian air
dimasukkan ke dalam kedua silinder tersebut dengan kedalaman air tertentu dan laju
air yang turun dicatat penurunannya pada suatu waktu tertentu.
Data sekunder meliputi data jumlah penduduk kota Cilegon (BPS 2002),
data jumlah industri di kota Cilegon, data pemakaian kebutuhan air penduduk
dan industri dari PT. Krakatau Tirta Industri, data curah hujan (1995-2001)dari 4
stasiun penakar hujan yang berada pada areal DAS Cidanau yaitu: Stasiun
Cinangka, Stasiun Padarincang, Stasiun Ciomas dan Stasiun Mandalawangi,
data iklim (1993-2002) Stasiun Iklim Serang mencakup temperatur, kelembaban
nisbi, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, data tata guna lahan dan
data debit sungai. Analisis data mencakup: rata-rata curah hujan wilayah,
evapotranspirasi, infiltrasi, debit prediksi, prediksi jumlah penduduk, prediksi
jumlah kebutuhan air pendiuduk, prediksi jumlah pertumbuhan industri dan
kebutuhan airnya.
Tahap-tahap analisis data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Penentuan Curah Hujan Wilayah
Penentuan curah hujan wilayah dilakukan dengan metoda poligon Thiessen.
b. Penentuan Evapotranspirasi
Penentuan Evapotraspirasi dengan menggunakan metode Penman Modifikasi.
Bentuk persamaannya yaitu (Doorenboos and Pruitt,1977) :
(
) ( )(
)
[
W
Rn
W
f
u
ea
ed
]
c
ETo
=
.
+
1
−
−
...(5)dimana:
Eto : nilai evapotraspirasi tanaman acuan (mm/hari)
W : faktor pemberat yang berhubungan dengan temperatur
Rn : radiasi netto dalam ekivalen evaporasi (mm/hari)
(ea-ed) : perbedaan antara tekanan uap jenuh pada suhu udara rata-rata dengan tekanan uap aktual rata-rata udara (mbar)
c : faktor koreksi
c. Analisis kapasitas infiltrasi
Analisis kapasitas infiltrasi dilakukan menurut Holtan (1961), yaitu dengan
persamaan:
fc
GIASa
f
=
1.4+
...(6)Keterangan:
f : kapasitas infiltrasi (mm/jam)
A : kapasitas infiltrasi per jam per (mm)1.4 simpanan air
Sa : simpanan air lapisan permukaan
fc : laju infiltrasi konstan
GI : indeks pertumbuhan tanaman/persen kematangan
Persamaan ini mengasumsikan bahwa kandungan air tanah, porositas dan
kedalaman akar adalah faktor-faktor dominan yang mempengaruhi infiltrasi dan
perhitungan besarnya kapasitas infiltrasi berdasarkan simpanan aktual
kandungan air tanah pada waktu tertentu (Fleming, 1975).
Penyusunan Model
Model Ketersediaan Air
Bejana berhubungan yang mencakup tanah permukaan dan yang di
dalamnya digambarkan sebagai suatu persegi panjang ke dalam tanah dan di
bagi menjadi beberapa lapisan yang mewakili lapisan-lapisan (horizon) tanah.
Suatu bejana dapat merupakan suatu tata guna lahan, seperti dijelaskan dalam
f
p1
p2
p3
ET
S3
S4 S2 S1
IO1
IO3
IO4 IO2
TGL1
TGLn TGL2
SRO
TOTAL LIMPASAN TGL3
P
Keterangan:
P : Presipitasi/Curah hujan ET : Evapotranspirasi F : Infiltrasi p : Perkolasi S : Simpanan (storage) SRO : Surface Run off TGL : Tata Guna Lahan IO : Interflow
Gambar 4. Susunan model tangki dalam suatu DAS
Penyusunan tangki pada DAS Cidanau secara umum yaitu DAS Cidanau dibagi
menjadi empat tangki berdasarkan tata guna lahan. Tangki pertama merupakan Rawa
Danau, tangki kedua merupakan daerah hutan (hulu), tangki ketiga merupakan
daerah perkebunan dan tangki keempat merupakan persawahan. Pembagian wilayah
tangki dan wilayah curah hujan berdasarkan poligon thiessen dapat dilihat pada
Gambar 5. Skema pembagian wilayah tangki dan hujan wilayah dalam DAS
Susunan Model Tangki
Setiap satu unit tangki tersebut terdiri dari 4 buah tangki yang disusun
secara vertikal (seri). Tangki paling atas mempresentasikan neraca air pada
daerah perakaran. Aliran limpasan adalah penjumlahan limpahan dari 3 tangki
teratas. Tangki paling bawah mempresentasikan aliran dasar (base flow).
Skema tangki untuk masing-masing TGL pada setiap Sub DAS disajikan pada
Gambar 6. Skema tangki untuk setiap TGL
Persamaan dasar untuk tangki paling atas dari Gambar 6 adalah :
∂x1(t)/∂t = a1 {x1(t)-ha1} + b {x1(t) – h5} + z1.x1(t)- CH + ETc(t) ...(7)
dan untuk tangki lainnya (i = 2-4, z4 = 0) persamaannya adalah :
∂xi(t)/∂t = ai.{xi(t) – hai} + zi.xi(t) – zi-1.xi-1(t)...(8)
Debit limpasan dari sungai (Q) dihitung dengan menggunakan persamaan Q=
Penyusunan Program Komputer
Program model ketersediaan air merupakan modifikasi model tangki disusun
dengan menggunakan bahasa FORTRAN dan terdiri dari persamaan-persamaan
matematik yang menggambarkan proses komponen limpasan hujan yang jatuh di atas
tanah di suatu DAS. Prosedur pendugaan debit sungai dilakukan dengan bantuan
program komputer. Persamaan-persamaan sesuai Gambar 6 yang merupakan
penggambaran proses limpasan diubah ke dalam bahasa program komputer
sehingga menjadi suatu model untuk menentukan total limpasan yang terjadi untuk
suatu waktu tertentu. Data masukan adalah curah hujan dan evapotranpirasi aktual
harian. Program dijalankan (runing) setelah memasukkan parameter yang dilakukan
secara coba-ulang. Hasil keluaran model adalah nilai harian aliran permukaan
(surface runoff), aliran bawah permukaan (sub surface runoff) dan aliran dasar
(baseflow). Komulatif dari hasil tersebut adalah jumlah limpasan atau debit sungai
dugaan yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
Kalibrasi dan Validasi Model
Kalibrasi model ketersediaan air dilakukan dengan mengunakan data
debit aktual yang diukur dibandingkan dengan debit model di muara Sungai
Cidanau selama periode satu tahun. Tolok ukur uji keabsahan model
didasarkan pada :
a. Penampilan hubungan antara debit model dan debit aktual secara grafik
sehingga dapat ditentukan nilai mutlak (maksimum – minimum) data yang
diperoleh.
b.
Nilai koefisien determinasiHasil proses kalibrasi berupa nilai parameter-parameter model yang telah sesuai
kemudian dilakukaan validasi. Validasi model ketersediaan air dilakukan terhadap
data hujan dan evapotranspirasi harian tahun yang lain.
Model Kebutuhan Air
Hubungan antara persamaan matematis kebutuhan air rata-rata aktual dengan
model kebutuhan air rata-rata dibangun berdasarkan persamaan (3) untuk model
kebutuhan air penduduk dan persamaan (4) untuk model kebutuhan air industri.
Dalam penelitian ini faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi jumlah pemakaian air
dari sungai Cidanau yaitu jumlah penduduk dan industri di wilayah Cilegon dan
sekitarnya. Untuk model matematis kebutuhan air rata-rata penduduk terdiri dari
beberapa parameter yaitu persentase klas sosial penduduk, jumlah penduduk,
kebutuhan air rata-rata penduduk dan konstanta dari masing-masing klas sosial.
Model matematis kebutuhan air rata-rata industri terdiri dari beberapa parameter yaitu
persentase jenis industri, jumlah industri, kebutuhan air rata-rata industri dan
konstanta dari masing-masing jenis industri.
Input untuk model kebutuhan air rata-rata penduduk yaitu persentase klas sosial
penduduk, jumlah penduduk dan kebutuhan air rata-rata penduduk. Begitu pula input
untuk model kebutuhan air rata-rata industri yaitu persentase jenis industri, jumlah
industri, kebutuhan air rata-rata industri.
Perhitungan model kebutuhan air dapat dilakukan dengan menggunakan
STELLA. Model dibangun dengan kerangka kerja (framework) yang saling
berhubungan secara matematis dari parameter-parameter kebutuhan air dan
kemudian dijalankan (disimulasikan) sehingga menghasilkan keluaran berupa
kebutuhan air untuk tahun mendatang. Kerangka kerja (framework) dapat dilihat pada
Gambar 7. Kerangka kerja (framework) skema model kebutuhan air
Kalibrasi dan Validasi Model
Kalibrasi model kebutuhan air dilakukan dengan menggunakan data pemakaian
air wilayah Cilegon yang berasal dari PT. Krakatau Tirta Industri untuk masing-masing
penduduk dan industri selama periode tiga tahun. Kalibrasi model dilakukan untuk
mendapatkan nilai-nilai koefisien kebutuhan air penduduk (CP) dan koefisien
kebutuhan air industri (CI). Koefisien dicari dengan metode least square dengan
bantuan software EUREKA The Solver Ver 1.0.
Validasi model dengan melakukan pendugaan kebutuhan air untuk penduduk
dan industri menggunakan model untuk data tahun tertentu. Validasi model dilakukan
menggunakan nilai koefisien hasil kalibrasi. Hasil validasi model merupakan hasil
prediksi jumlah kebutuhan air yang dibutuhkan.
Prediksi Ketersediaan Air di Masa Mendatang
Prediksi ketersediaan air di masa mendatang dapat dilakukan dengan
mengaplikasikan model ketersediaan air yang telah dikalibrasi. Debit ketersediaan air
evapotranspirasi harian. Prediksi kejadian hujan untuk waktu yang akan datang
adalah sulit ditentukan secara pasti dan tepat. Salah satu cara yang dapat dilakukan
adalah dengan menngunakan peluang kejadian hujan yang akan menghasilkan debit
andalan 80%. Data hujan dengan peluang curah hujan andalan 80% dihitung dari dari
data hujan tahunan di DAS Cidanau selama 10 tahun (1993-2002) dengan bantuan
software Rainbow, kemudian menghasilkan jumlah hujan tahunan. Data hujan harian
dengan jumlah hujan tahunan yang mendekati jumlah data hujan tahunan hasil dari
Rainbow digunakan sebagai masukan dalam model ketersediaan air. Hasil debit
model ketersediaan air kemudian digunakan sebagai masukan dalam program
STELLA untuk megevaluasi ketersediaan dan kebutuhan air wilayah.
Supply-Demand Air Wilayah
Perkembangan komunitas tidak saja berkaitan dengan pertumbuhan penduduk
tetapi juga harus diikuti dengan penyediaan lapangan kerja. Penyediaan lapangan
kerja tersebut sangat bergantung dengan ketersediaan air baku. Air baku sangat
dibutuhkan untuk mengoperasikan sektor lapangan kerja maupun memenuhi
kebutuhan air domestik pada wilayah tersebut. Keberhasilan perkembangan
komunitas disuatu wilayah terjadi apabila air untuk domestik dan penyediaan
lapangan kerja tersedia, sehingga prediksi kebutuhan air baku menjadi sesuatu yang
penting dalam perencanaan perkembangan wilayah.
Prediksi ketersediaan dan kebutuhan air dapat dilakukan dengan menggunakan
STELLA. Model dibangun dengan kerangka kerja (framework) yang saling
berhubungan secara matematis dari model ketersediaan air dan juga model
kebutuhan air kemudian dijalankan (disimulasikan) sehingga menghasilkan keluaran
berupa Supply-Demand air untuk tahun mendatang. Kerangka kerja (framework)
Gambar 8. Kerangka kerja (framework) perhitungan Supply-Demand air.
Prediksi ketersediaan air untuk suatu kawasan digunakan skenario perubahan
tata guna lahan. Harmailis (2001) melakukan beberapa skenario perubahan tata guna
lahan untuk mengetahui mengetahui fluktuasi debit outlet Sungai Cidanau. Untuk DAS
Cidanau akan dilakukan 4 skenario (Tabel 2.) sebagai dasar untuk mensimulasikan
ketersediaan air yang berasal dari DAS Cidanau.
Tabel 2. Skenario model ketersediaan air
Skenario Uraian Perubahan Debit Minimum
Debit Runoff (mm)
1
(kondisi eksisting)
Runoff hasil debit andalan 80% (data hujan 10 tahun) dengan menggunakan software Rainbow
1 020
(Efesiensi Runoff 0.6)
2
(Harmailis, 2001)
Merupakan alternatif 5 dari skenario perubahan tata guna lahan dalam DAS Cidanau dengan ketentuan: 25% luasan yang semula hutan menjadi kebun, 50% luasan yang semula kebun menjadi hutan dan 50% luasan yang semula kebun menjadi sawah
0.4 m 3/det 1 122
(Efesiensi Runoff 0.6)
3
(Harmailis, 2001)
Merupakan alternatif 1 dari skenario perubahan tata guna lahan dalam DAS Cidanau dengan ketentuan: 50% luasan yang semula hutan menjadi kebun, 50% luasan yang semula kebun menjadi hutan dan 50% luasan yang semula kebun menjadi sawah
0.5 m 3/det 1 138
(Efesiensi Runoff 0.6)
4
Merupakan penerapan skenario 3 dengan penambahan perbaikan saluran dengan pipanisasi
1 138
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi DAS Cidanau
Daerah penelitian adalah wilayah DAS Cidanau di Propinsi Banten. Secara
administratif DAS ini mencakup 2 wilayah kabupaten yaitu kabupaten Serang dan
kabupaten Pandeglang. Secara geografis DAS Cidanau berada pada 105o 49’ 17” BT sampai 106o 06’ 03” BT dan 06o 08’ 25” LS sampai 06o 15’ 47” LS. Peta Lokasi disajikan pada Lampiran 1.
Luas wilayah DAS Cidanau seluruhnya 22 620 ha yang terbagi menjadi 6 Sub
DAS yaitu, Cikalumpang, Cisaat, Cisawarna, Cicangkedan, Cikondang dan Cibojong.
Sub DAS Cisaat dan Sub DAS Cisawarna merupakan wilayah hulu DAS Cidanau.
Pada wilayah gabungan dua Sub DAS ini terdapat Rawa Danau. Rawa Danau
merupakan bagian paling hulu dari Sungai Cidanau. Sub DAS Cikalumpang dan Sub
DAS Cibojong merupakan wilayah tengah bagian DAS Cidanau. Sub DAS Cikondang
dan Sub DAS Cicangkedan merupakan wilayah DAS Cidanau bagian hilir dan
berbatasan langsung dengan Selat Sunda, tempat bermuaranya Sungai Cidanau.
Sungai Cidanau sebagai sungai utama terletak di wilayah DAS bagian tengah dan
hilir.
Tabel 3. Luas Sub DAS
Sub DAS Luas (ha) % Wilayah Administrasi
1 Cisawarna 3820 16.89 Kecamatan : Ciomas, Pabuaran, Padarincang
2 Cisaat 6100 26.97 Kecamatan : Ciomas, Pabuaran, Padarincang
3 Cikalumpang 7200 31.83 Kecamatan : Padarincang, Pabuaran, Mandalawangi
4 Cibojong 3000 13.26 Kecamatan : Cinangka, Padarincang, Mandalawangi
5 Cicangkedan 1300 5.75 Kecamatan Cinangka
6 Cikondang 1200 5.31 Kecamatan Cinangka
Iklim
Keadaan iklim kabupaten Serang dipengaruhi oleh dua musim yaitu musim
kemarau dan musim penghujan. Iklim tropis dengan temperatur rata-rata 26.5 oC, temperatur maksimum 31.7 oC dan temperatur minimum 22.5 oC dengan ketinggian 25 – 600 m di atas permukaan laut. Angin barat dan tenggara yang bertiup setiap 6
bulan sekali, baik pada musim hujan atau musim kemarau, curah hujan 2000 – 3000
mm/tahun. Curah Hujan yang cukup tinggi pada bulan-bulan Desember, Januari,
Pebruari dan Maret.
Topografi
Kabupaten Serang merupakan wilayah dengan ketinggian antara 25
sampai dengan lebih dari 1300 m diatas permukaan laut. Berdasarkan ketinggian,
Kabupaten Serang dapat dibagi menjadi dua yaitu: daerah dengan ketinggian 25 m
sampai dengan 600 m dan daerah dengan ketinggian lebih dari 600 m sampai dengan
1300 m. Daerah yang mempunyai ketinggian lebih dari 600 m terdapat diperbukitan
Gunung Karang. Sedangkan yang lainnya kurang dari 600 m dari permukaan laut.
Kemiringan lahan bervariasi mulai dari yang datar hingga bergelombang. Wilayah
yang terbesar yaitu 39.36 % yang merupakan wilayah datar. Wilayah ini tersebar
pada seluruh Sub DAS dengan wilayah terluas di Sub DAS Cikalumpang.
Tabel 4. Kelas kemiringan lahan DAS Cidanau Lereng (%) Sub DAS
0-8 8-15 15-25 25-45 >45 Jumlah (ha) Cisawarna
Cisaat Cikalumpang Cibojong Cicangkedan Cikondang
1929 589 675 672 714 2330 1229 445 484 412 3107 172 2245 1239 1068 924 176 702 733 425 463 743 104 - - 151 520 169 182 18
7831 4900 4579 2960 1040 1310
Jenis Tanah dan Tata guna Lahan
Jenis tanah yang terdapat di DAS Cidanau adalah Latosol, Regosol, Alluvial dan
Andosol. Tanah-tanah tersebut berasal dari batuan induk undefferentiated vulcanic
product seluas 20482 ha (90.55%) dan bahan induk lainnya Miocene Sedimentary
1307 ha (5.78 %) dan Alluvium seluas 831 ha (3.67 %). Penyebaran jenis tanah
dijelaskan pada Tabel 5.
Tabel 5. Penyebaran jenis tanah DAS Cidanau Luas Penyebaran (ha) Sub DAS
Latosol Alluvial Regosol Andosol Jumlah (ha) Cisawarna Cisaat Cikalumpang Cibojong Cicangkedan Cikondang
2852 1657 - 70 2330 1657 194 443 4236 3595 - - 2404 556 - - 583 85 542 - 762 102 176 -
4579 4900 7831 2960 1310 1040
Jumlah 13107 8088 912 513 22620 Persentase 57.94 35.76 4.03 2.27 100
Tata guna lahan yang ada di DAS Cidanau meliputi sebagian besar perkebunan
dan persawahan. Selain itu penggunaan lahan juga untuk tegalan, pemukiman, hutan
rakyat dan hutan rawa, dijelaskan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah dan jenis penggunaan lahan di DAS Cidanau Luas
No. Tata Guna Lahan
(Ha) (%)
1. 2. 3. 4. 5. 6. Sawah Tegalan Perkebunan Pemukiman Hutan Rakyat Hutan Rawa 7748 122 8304 344 4193 1909 34.25 0.54 36.71 1.52 18.54 8.44
Jumlah 22620 100.00
Curah Hujan Wilayah
Hasil analisa curah hujan wilayah dengan menggunakan metode poligon
Thiessen menghasilkan nilai rata-rata Thiessen berdasarkan bobot luas wilayah
Tabel 7. Stasiun curah hujan dan persentase bobot
No Stasiun Luas(ha) Bobot
1 Cinangka 4000 0.177
2 Padarincang 13420 0.593
3 Ciomas 3600 0.159
4 Pandeglang 1600 0.071
Jumlah 22620 1.000
Infiltrasi
Pengukuran dan analisa infiltrasi menggunakan persamaan (7) didapat nilai
kapasitas infiltrasi yang merupakan nilai rata-rata selama 24 jam (1 hari) untuk lokasi
1 (sawah) yaitu sebesar 3.01 mm/jam, untuk lokasi 2 (kebun campuran) sebesar 2.06
mm/jam dan lokasi 3 (hutan) sebesar 1.65 mm/jam. Hasil infiltrasi di tiga titik
pengukuran di wilayah dapat pada Lampiran 11.
Dari hasil infiltrasi, maka nilai rata-rata kapasitas infiltrasi akan digunakan
sebagai salah satu koefisien yang digunakan dalam model tangki yaitu koefisien
infiltrasi tangki, yang merupakan salah satu parameter di tanki yang paling atas.
Parameter ini akan menentukan besarnya koefisien lubang tangki kearah bawah atau
nilai z pada daerah tertentu sesuai dengan kapasitas infiltrasi tersebut.
Model Ketersediaan Air
Kalibrasi Model
Kalibrasi model ketersediaan air menggunakan data aktual tahun 1996 berupa
data hujan harian, data evapotranspirasi harian dan data debit harian. Hasil kalibrasi
model mencakup nilai-nilai parameter model ketersediaan air. Kalibrasi model
dilakukan dengan menggunakan data curah hujan dan evapotranpirasi tahun 1996
harian. Setelah didapat hasil berupa debit simulasi, kemudian dilakukan secara coba
ulang parameter-parameter kalibrasi. Nilai-nilai koefisien diubah-ubah hingga nilai
Kalibrasi model dilakukan parameter mencakup besarnya nilai perkolasi (z), besarnya
nilai lubang sisi samping tangki (a) yang menjadi aliran antara/aliran dasar, besarnya
nilai kandungan air tanah (xx) serta besarnya simpanan maksimum dalam tanah
(dmax) untuk setiap tingkat tangki.
Penentuan nilai z pada tangki di tingkat pertama di dasarkan pada kapasitas
infiltrasi pada daerah tertentu. Nilai kapasitas infiltrasi dikalikan dengan lama hujan
maksimum yang diasumsikan terjadi selama 3 jam dan besarnya nilai curah hujan
maksimum sebesar 50 mm (Sutoyo, 1999), penentuan nilai z untuk tingkat
selanjutnya berdasarkan proporsi besarnya air yang masuk ke dalam tanah yang
akan semakin berkurang sesuai dengan kedalaman tanah. Nilai koefisien kalibrasi z
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai Koefisien z
Rawa Hutan Kebun Sawah
Tingkat 1 0.1803 0.0991 0.1236 0.1803 Tingkat 2 0.0800 0.0350 0.0550 0.0900 Tingkat 3 0.0180 0.0100 0.0100 0.0280 Tingkat 4 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Penentuan nilai koefisien a, xx dan dmax dilakukan secara coba ulang hingga
mendapatkan nilai tepat yang menghasilkan keluaran debit simulasi dengan nilai
mendekati dengan nilai aktual data pengukuran. Penentuan nilai dmax ditentukan
dengan mengasumsikan bahwa nilai dmax tidak melebihi simpanan maksimum yang
merupakan pengurangan antara total curah hujan yang terjadi dengan total
evapotranspirasi yang terjadi. Hasil Kalibrasi parameter dijelaskan pada Tabel 9.
TANGKI Tingkat a xx dmax
1 0.08000 70 250
2 0.01000 25 300
3 0.00700 120 350
Rawa
4 0.00280 550 500
1 0.08000 5 150
2 0.01000 10 350
3 0.00100 120 380
Hutan
4 0.00085 500 500
1 0.07000 5 170
2 0.00500 10 250
3 0.00050 80 270
Kebun
4 0.00035 155 500
1 0.08000 25 200
2 0.01000 25 380
3 0.00080 120 350
Sawah
4 0.00055 255 500
Validasi Model
Validasi model ketersediaan air menggunakan data aktual tahun 1997 berupa
data hujan harian, data evapotranspirasi harian dan data debit harian. Validasi model
dilakukan unuk mendapatkan debit model hasil simulasi. Nilai debit simulasi dikatakan
telah mendekati nilai yang aktual diketahui dengan penghitungan koefisien
menggambarkan kebenaran lebih dari 50% terhadap data aktual. Proses kalibrasi
dengan data tahun 1996 didapatkan nilai koefisien determinasi sebesar 0.6 sehingga
model sudah layak digunakan. Validasi model dengan menggunakan data tahun 1997
mendapatkan hasil nilai koefisien determinasi sebesar 0.78. Pengujian model juga
dilakukan dengan penampakan grafik antara debit aktual dengan debit simulasi.
Grafik penampakan debit hasil validasi tahun 1997 dapat ditunjukkan dengan Gambar
Hasil validasi terhadap data tahun 1997 dapat di lihat bahwa debit hasil simulasi
menunjukkan nilai yang responsif seiring dengan peningkatan atau penurunan curah
hujan yang terjadi. Validasi juga dilakukan untuk data tahun 2001 dengan grafik hasil
validasi data tahun 2001 disajikan pada Gambar 11 dan hubungan antara data debit
aktual dan model digambar kan pada Gambar 12.
Gambar 12. Grafik antara debit model dan debit aktual validasi data tahun 2001
Prediksi Ketersediaan Air di Masa Mendatang
Untuk menduga debit tahun yang akan datang berdasarkan analisa curah
hujan tahunan selama 10 tahun. Hasil prediksi dengan peluang kejadian hujan 80%
0 5 10 15 20 25
0 5 10 15 20 25
Debit Aktual (mm/hari)
D
e
b
it
M
o
d
e
l (
m
m
/h
a
ri
)
R2=0.86
didapat angka hujan tahunan sebesar 2 517 mm/tahun. Tahun dengan hujan yang
mendekati peluang tersebut adalah data hujan tahun 1998, sehingga prediksi debit
ketersediaan air untuk tahun yang akan datang menggunakan data tersebut. Data
harian tahun 1998 yang berupa data curah hujan dan data evapotranspirasi
digunakan sebagai masukan model ketersediaan air sehingga didapat hasil volume
tahunan debit sebesar 1 020 mm dengan debit maksimum sebesar 22.01 m3/det, debit minimum sebesar 3.44 m3/det dan debit rata-rata sebesar 6.75 m3/det.
Model Kebutuhan Air
Kalibrasi Model
Kalibrasi dilakukan dengan data aktual tahun 1998-2000 (3 tahun), untuk mencari
nilai koefisien koefisien kebutuhan air penduduk (Cp) dan juga koefisien kebutuhan air
industri (CI). Data tiga tahun akan menghasilkan tiga persamaan untuk kebutuhan air
penduduk dan juga tiga persamaan untuk kebutuhan air industri. Kalibrasi dilakukan
dengan metode least square dengan bantuan software EUREKA The Solver Ver 1.0.
Hasil kalibrasi model kebutuhan air untuk kebutuhan air penduduk menghasilkan
nilai koefisien Cp untuk klas sosial tinggi bernilai 0.5, untuk koefisien Cp klas sosial
menengah bernilai 0.44 dan untuk koefisien Cp klas penduduk rendah bernilai 0.07.
Hasil kalibrasi model kebutuhan air untuk kebutuhan air industri menghasilkan nilai
koefisien CI untuk industri besar bernilai 13.75, koefisien CI untuk industri menengah
bernilai 15.17 dan untuk koefisien CI industri kecil bernilai 14.05.
Tabel 10. Hasil kalibrasi model kebutuhan air penduduk
Tahun Cptinggi Cptengah Cprendah
KA aktual (liter/hari)
KA model
(liter/hari) Eff 1998 0.5 0.44 0.07 7 315 074 7 817 931 0.994
1999 0.5 0.44 0.07 8 127 860 8 686 590
2000 0.5 0.44 0.07 9 483 118 10 934 014
Tahun CI besar
CI menengah
CI kecil
KA aktual
(liter/hari) KA model (liter/hari) Eff 1998 13.75 15.17 14.05 76 973 683 88 810 462 0.940 1999 13.75 15.17 14.05 97 502 923 99 848 740
2000 13.75 15.17 14.05 91 324 381 93 153 625
Setelah nilai koefisien didapat, selanjutnya dilakukan perubahan pada
persamaan model kebutuhan air mencakup kebutuhan air penduduk dan juga
kebutuhan air industri. Model kebutuhan air dengan mengasumsikan bahwa nilai
kebutuhan air dasar penduduk sebesar 50 liter/hari (White, et al 1972), maka untuk
menghitung kebutuhan air penduduk dengan memodifikasi persamaan (3) menjadi:
Ypenduduk tinggi = 0.5 KAPo Pt ………(10)
Dimana: Ypenduduk tinggi = Jumlah kebutuhan air penduduk klas sosial tinggi (liter/hari)
Pt = Jumlah penduduk klas sosial tinggi (jiwa)
KAPo = Kebutuhan air dasar untuk penduduk (l/hari/jiwa)
Ypenduduk menengah = 0.44 KAPo Pm ………(11)
Dimana: Ypenduduk menegah= Jumlah kebutuhan air penduduk klas sosial menengah (liter/hari)
Pm = Jumlah penduduk klas sosial menengah (jiwa)
KAPo = Kebutuhan air dasar untuk penduduk (l/hari/jiwa)
Ypenduduk rendah = 0.07 KAPo Pr ………(12)
Dimana: Ypenduduk rendah = Jumlah kebutuhan air penduduk klas sosial rendah (liter/hari)
Pr = Jumlah penduduk klas sosial rendah(jiwa)
KAPo = Kebutuhan air dasar untuk penduduk (l/hari)
Model kebutuhan air dengan mengasumsikan bahwa nilai kebutuhan air dasar
untuk industri sebesar 100 000 liter/hari (Purwanto, 1995), maka untuk menghitung
kebutuhan air industri dengan memodifikasi persamaan (4) menjadi:
Yindustri besar = 34.38 KAIo Ib ………(13)
Dimana: Yindustri besar = Jumlah kebutuhan air industri besar (liter/hari)
Ib = Jumlah industri besar
KAIo = Kebutuhan air dasar untuk industri (