• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air Kawasan Cilegon Berbasis Daerah Aliran Sungai Cidanau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air Kawasan Cilegon Berbasis Daerah Aliran Sungai Cidanau"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN AIR

KAWASAN CILEGON BERBASIS

DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU

SUTOYO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Sutoyo. F151020091. Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air Kawasan Cilegon Berbasis Derah Aliran Sungai Cidanau. Dibawah bimbingan M. Yanuar J. Purwanto dan Erizal.

Ringkasan

Air merupakan sumberdaya alam terbaharui, tetapi ketersediaannya tidak selalu sejalan dengan kebutuhannya dalam artian lokasi, jumlah, waktu dan mutu. Ketersediaan air erat kaitannya dengan faktor geografis dan iklim daerah aliran sungai, sedang kebutuhan air kawasan berhubungan langsung dengan pengguna air yaitu penduduk dan juga kebutuhan air untuk industri. Neraca keseimbangan antara ketersediaan (supply) dan kebutuhan (demand) air diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menganalisis dan merencanakan penyediaan kebutuhan air untuk pertanian, domestik/penduduk, industri dan keperluan lainnya. Oleh karena itu pola pengelolaan lahan yang ada perlu ditinjau dengan memperhatikan aspek konservasi untuk melestarikan sumberdaya air. Jumlah kebutuhan akan air untuk keperluan domestik (rumah tangga) dan industri selalu meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk dan peningkatan taraf hidupnya.

Penelitian bertujuan untuk membuat model ketersediaan dan kebutuhan air berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasarkan model yang telah dibangun digunakan untuk mengevaluasi antara ketersediaan dan kebutuhan air dalam suatu kawasan DAS.

Model ketersediaan air dibangun dengan memodifikasi model tangki (model

runoff) dengan masukan data berupa data curah hujan dan evapotranspirasi yang

dikalibrasi dengan beberapa parameter. Pembentukan struktur model tangki merupakan penggambaran proses limpasan yang terjadi yang dibentuk dengan persamaan-persamaan matematis. Masukan model berupa parameter curah hujan dan evapotranspirasi dan menghasilkan keluaran berupa debit simulasi dengan penetapan beberapa parameter kalibrasi mencakup infiltrasi (z), kandungan air tanah (xx) serta kapasitas maksimum simpanan air (dmax).

Model kebutuhan air dimodifikasi berdasarkan kebutuhan air penduduk dan kebutuhan air industri yang dikalibrasi untuk mendapatkan nilai koefisien kebutuhan air. Proses kalibrasi dilakukan dengan metode least square sehingga didapatkan koefisien-koefisien kebutuhan air yang akhirnya akan digunakan dalam pembentukan model kebutuhan air.

Kalibrasi model ketersediaan air menggunakan data aktual tahun 1996 berupa data harian dari data hujan, evapotranspirasi dan debit sungai. Validasi model ketersediaan air menggunakan data aktual tahun 1997 berupa data harian dari data hujan, evapotranspirasi dan debit sungai. Validasi juga dilakukan terhadap data tahun 1999-2001. Validasi model ketersediaan air untuk data tahun 2001 menghasilkan nilai debit maksimum sebesar 39.39 m3/det, debit minimum sebesar 3.49 m3/det dan debit rata-rata sebesar 8.19 m3/det.

Kalibrasi model kebutuhan air dilakukan dengan data aktual tahun 1998-2000 (3 tahun), untuk mencari nilai koefisien kebutuhan air penduduk (Cp) dan juga koefisien kebutuhan air industri (CI). Hasil kalibrasi model untuk kebutuhan air penduduk menghasilkan nilai Cp untuk klas sosial tinggi bernilai 0.5, untuk klas sosial menengah bernilai 0.44 dan untuk klas penduduk rendah bernilai 0.07. Hasil kalibrasi model kebutuhan air untuk kebutuhan air industri menghasilkan nilai CI untuk industri besar bernilai 13.75, untuk industri menengah bernilai 15.17 dan untuk industri kecil bernilai 14.05.

(3)

penduduk berjumlah 10 110 m3/hari dan untuk kebutuhan air industri berjumlah 91 445 m3/hari

(4)

MODEL KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN AIR

KAWASAN CILEGON BERBASIS

DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU

SUTOYO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)
(6)

PRAKATA

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT karena berkah dan rahmat-Nya

tesis ini dapat diselesaikan dengan judul “Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air

Kawasan Cilegon Berbasis Daerah Aliran Sungai Cidanau”. Penelitian ini diharapkan

dapat memberikan kontribusi dalam dunia llmu pengetahuan dan pengembangan

teknologi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto,

MS dan Dr. Ir. Erizal, M.Agr selaku pembimbing serta Dr. Ir. I Wayan Astika, MS

sebagai penguji yang telah banyak memberikan saran dan arahannya. Disamping itu

penghargaan penulis sampaikan juga kepada PT. Krakatau Tirta Industri,

Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB dan juga Bagian

Teknik Tanah dan Air Dept TEP atas bantuan dan dorongan yang telah diberikan

kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda dan

ayahanda, saudara-saudara serta Nirwani dan Fathan atas segala doa, motivasi dan

kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

saran dan kritik yang membangun kami harapkan untuk meningkatkan

pemanfaatannya. Semoga sekelumit ilmu yang dikemukakan dalam tulisan ini dapat

bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bagi yang

membutuhkan dan pembacanya.

Bogor, Oktober 2005

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

RINGKASAN... ii

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Sumber-sumber Air ... 3

Air Limpasan... 3

Curah Hujan ... 4

Hubungan Curah Hujan dengan Limpasan ... 4

Infiltrasi... 5

Perkolasi... 6

Evapotranspirasi Acuan (ETo) ... 7

Perkembangan Model Hidrologi ... 8

Model Tangki ... 9

Proses Terjadinya Limpasan dalam Model Tangki ... 11

Kebutuhan Air ... 12

Kebutuhan Air Penduduk... 12

Kebutuhan Air Industri ... 13

Kapasitas Sumberdaya Air DAS ... 14

Pengelolaan Sumberdaya Air DAS ... 15

Model Kebutuhan Air ... 16

STELLA ... 16

Pendekatan ETo ... 16

METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

Alat dan Bahan ... 18

(8)

Penyusunan Model... 20

Model Ketersediaan Air ... 20

Susunan Model Tangki ... 22

Penyusunan Program Komputer ... 24

Kalibrasi dan Validasi Model ... 24

Model Kebutuhan Air ... 25

Kalibrasi dan Validasi Model ... 26

Prediksi Ketersediaan Air di Masa Mendatang... 26

Supply-demand Air Wilayah ... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi DAS Cidanau ... 30

Iklim ... 31

Topografi ... 31

Jenis Tanah dan Tata Guna Lahan... 32

Curah Hujan Wilayah... 32

Infiltrasi ... 33

Model Ketersediaan Air ... 33

Kalibrasi Model ... 33

Validasi Model ... 36

Prediksi Ketersediaan Air di Masa Mendatang... 39

Model Kebutuhan Air ... 40

Kalibrasi Model ... 40

Validasi Model ... 41

Supply-Demand Air untuk Perkembangan Wilayah ... 42

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 47

Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA... 50

(9)

DAFTAR TABEL

1. Rata-rata kebutuhan air harian perkapita ... 12

2. Skenario model ketersediaan air... 29

3. Luas sub DAS ... 30

4. Kelas kemiringan lahan DAS Cidanau ... 31

5. Penyebaran jenis tanah DAS Cidanau ... 32

6. Jumlah dan jenis penggunaan lahan... 32

7. Stasiun curah hujan dan persentase bobot ... 33

8. Nilai koefisien z ... 34

9. Hasil kalibrasi nilai koefisien a, xx dan dmax... 36

10. Hasil kalibrasi model kebutuhan air penduduk ... 40

(10)

DAFTAR GAMBAR

1. Kurva hubungan antara infiltrasi dan limpasan... 6

2. Struktur model tangki ... 10

3. Diagram aliran limpasan dengan model tangki... 11

4. Susunan model tangki dalam suatu DAS ... 21

5. Skema pembagian wilayah tangki dan hujan wilayah dalam DAS... 22

6. Skema tangki untuk setiap TGL ... 23

7. Kerangka kerja (framework) skema model kebutuhan air ... 26

8. Kerangka kerja (framework) perhitungan Supply-Demand air... 28

9. Grafik hasil kalibarasi data tahun 1996 ... 35

10. Grafik hasil validasi data tahun 1997... 37

11. Grafik hasil validasi data tahun 2001... 38

12. Grafik antara debit model dengan debit aktual validasi data tahun 2001. 39 13. Grafik hasil skenario 1 program STELLA ... 42

14. Grafik hasil skenario 2 program STELLA ... 44

15. Grafik hasil skenario 3 program STELLA ... 45

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lokasi penelitian ... 52

2. Struktur Program Model Ketersediaan Air yang ditulis dengan Bahasa Fortran ... 53

3. Hasil validasi debit model ketersediaan air data tahun 1997 ... 56

4. Perhitungan infiltrasi lokasi 1... 59

5. Perhitungan infiltrasi lokasi 2... 60

6. Perhitungan infiltrasi lokasi 3... 61

7. Diagram alir untuk satu tangki dalam model ketersediaan air ... 62

8. Data pemakaian air industri besar di Cilegon tahun 1999 ... 63

9. Data pemakaian air industri menengah di Cilegon tahun 1999 ... 64

10. Data pemakaian air industri kecil di Cilegon tahun 1999 ... 65

11. Kurva hasil pengukuran infiltrasi, (a) lokasi 1, (b) lokasi 2, (c) lokasi 3... 66

12. Hasil perhitungan Analisis Frekuensi Curah Hujan untuk debit andalan peluang 80% dengan program Rainbow ... 67

13. Hasil perhitungan kebutuhan air skenario 1 program STELLA ... 69

14. Hasil perhitungan kebutuhan air skenario 2 program STELLA ... 70

15. Hasil perhitungan kebutuhan air skenario 3 program STELLA ... 71

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan sumberdaya air secara optimal, pada dasarnya merupakan

pemanfaatan sumberdaya air secara efisien sesuai dengan peruntukannya. Berbagai

kegiatan yang dalam perencanaannya membutuhkan data sumberdaya air adalah

seperti industri, pertanian dan pemukiman. Kawasan industri, lahan pertanian,

kawasan pemukiman dari tahun ke tahun semakin meningkat, sehingga semakin

besar pula kebutuhan air yang diperlukan.

Sumber-sumber air yang paling utama terdiri dari air permukaan (surface water)

dan air tanah (ground water). Air mempunyai banyak kegunaan, misalnya untuk

irigasi, industri, keperluan rumah tangga (minum, masak, mandi dan mencuci) dan

lain-lainnya. Air yang digunakan untuk kawasan pemukiman, kawasan industri, dan

kegiatan sosial lainnya di wilayah Cilegon pada umumnya berasal dari air permukaan

yang telah diolah menjadi air bersih oleh PT. Krakatau Tirta Industri.

Untuk pemenuhan kebutuhan air di kawasan pemukiman, industri dan kegiatan

sosial lainnya ini, air baku diambil dari sungai Cidanau dengan luas daerah tangkapan

226.2 km2 yang terletak 25 km Barat Daya Cilegon. Sungai Cidanau merupakan kelanjutan aliran dari Rawa Danau yang terbentuk dari danau kawah vulkanik yang

telah dikosongkan untuk kultivasi.

Besarnya debit sungai yang mampu mencapai muara sungai banyak dipengaruhi

oleh berbagai faktor yang dijumpai selama perjalanannya menuju muara. Faktor-

faktor itu diantaranya; pola pengelolaan lahan yang ada, pola konsumsi air oleh

rumah tangga yang berdiam di sekitar sungai, besarnya curah hujan yang merupakan

sumber utama ketersediaan air dan faktor-faktor lain, seperti jenis tanah, bentuk

penampang dan topografi sungai yang dilalui yang berkaitan dengan kemampuan

(13)

Ketersediaan air erat kaitannya dengan faktor geografis dan iklim daerah aliran

sungai, sedang kebutuhan air irigasi berhubungan langsung dengan absorbsi air oleh

tanaman selama perkembangan tanaman. Neraca keseimbangan antara

ketersediaan air (supply) dan kebutuhan air (demand) diharapkan dapat

dimanfaatkan untuk menganalisis dan merencanakan penyediaan kebutuhan air untuk

pertanian, domestik/penduduk, industri dan keperluan lainnya, seefisien mungkin.

Oleh karena itu pola pengelolaan lahan yang ada perlu ditinjau dengan

memperhatikan aspek konservasi untuk melestarikan sumberdaya air.

Tujuan

Penelitian tentang Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air Kawasan

Cilegon Berbasis Daerah Aliran Sungai Cidanau ini bertujuan untuk :

1. Membuat Model Ketersediaan dan Kebutuhan Air berbasis DAS.

2. Mengevaluasi antara ketersediaan dan kebutuhan air dalam suatu kawasan DAS.

Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian diharapkan menjadi salah satu dasar dalam kebijakan

pengembangan DAS Cidanau pada masa mendatang.

2. Hasil penelitian diharapkan dapat memperjelas sumberdaya air yang digunakan

oleh suatu kawasan (bagian hilir) dalam pemanfaatannya.

3. Memudahkan suatu kawasan untuk berkontribusi terhadap daerah yang berfungsi

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Sumber-sumber Air

Air Limpasan (runoff)

Air limpasan (runoff) adalah bagian dari presipitasi yang mengalir menuju

saluran, danau atau lautan sebagai aliran permukaan dan bawah permukaan

(Schwab et al, 1966). Sebelum terjadi runoff, presipitasi terlebih dahulu memenuhi

kebutuhan untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi dan surface storage. Menurut Schwab

et al (1966), runoff dapat terjadi hanya bila rata-rata curah hujan melampaui rata-rata

jumlah air yang dapat berinfiltrasi ke dalam tanah. Setelah infiltrasi terpenuhi, air akan

mulai mengisi lekukan-lekukan pada permukaan tanah. Setelah semua lekukan terisi

barulah terjadi aliran permukaan. Menurut Ward (1967), sumber dan komponen

utama runoff adalah:

1. Presipitasi langsung (directprecipitation)

Hujan yang langsung masuk ke dalam saluran memiliki persentase yang kecil dari

seluruh volume air yang mengalir. Walaupun daerah luas, tapi akan terevaporasi

pula sehingga sulit untuk diperkirakan besarnya, oleh karena itu biasanya

diabaikan dalam perhitungan.

2. Limpasan permukaan (surface runoff)

Limpasan permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah baik

sebagai aliran tipis di permukaan tanah atau sebagai aliran disaluran.

3. Aliran antara (interflow)

Sebagian hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah akan meyebar dan mengalir

secara lateral. Aliran yang terjadi ini merupakan aliran antara. Kontribusi aliran

antara terhadap total limpasan permukaan (total run off) tergantung dari

karakteristik tanah daerah tangkapan (catchment area).

4. Aliran Dasar (base flow)

Base flow adalah sebagian hujan yang terperkolasi ke dalam menembus lapisan

(15)

Curah Hujan

Curah hujan adalah salah satu parameter penting dalam sistem DAS, terutama

sebagai salah satu mata rantai daur hidrologi yang berperan menjadi pembatas

adanya potensi sumberdaya air di dalam suatu DAS. Rata-rata curah hujan sering

dibutuhkan dalam penyelesaian masalah hidrologi, seperti penelusuran masalah

banjir, penentuan ketesediaan air untuk irigasi ataupun untuk mendesain

bangunan-bangunan air. Perhitungan penentuan curah hujan wilayah dapat dilakukan dengan 3

metode yaitu: (1) Metode aritmatik yaitu dengan merata-ratakan kedalaman hujan

yang terjadi di suatu daerah; (2) Metode Isohiet dengan membuat garis pada wilayah

dengan menghubungkan titik-titik dengan curah hujan yang sama; dan (3) Metode

Thiessen.

Salah satu cara penentuan curah hujan rata-rata adalah dengan menggunakan

metode Thiessen. Menurut Linsey et al (1982), metode Thiessen berusaha untuk

mengimbangi tidak meratanya distribusi alat ukur dengan menyediakan suatu faktor

pembobot (weighting factor) bagi masing-masing stasiun curah hujan. Stasiun-stasiun

diplot pada suatu peta dan dibuat garis hubung antar stasiun. Garis-garis bagi tegak

lurus dari garis-garis penghubung ini membentuk poligon-poligon di sekitar

masing-masing stasiun.

Hubungan Curah Hujan dengan Limpasan (run off)

Menurut Seyhan (1977), hubungan antara curah hujan dan limpasan tidaklah

langsung. Diantara keduanya, evaporasi, intersepsi, cadangan depresi, cadangan

salju dan infiltrasi bekerja sebagaimana diatur oleh karakteristik-karakteristik dari

ukuran, kemiringan, bentuk, ketinggian, tata guna lahan, serta geologi daerah aliran

sungai.

Horton (1933) di dalam Seyhan (1977) menerangkan, ada 4 tipe peningkatan

(16)

1. I < fc - tidak terdapat limpasan permukaan

P < dlt - semua air yang diinfiltrasikan tetap pada

mintakat tak jenuh

2. I < fc - tidak terdapat limpasan permukaan

P > dlt - pengisian kembali air tanah dengan jumlah yang

sama dengan P

3. I < fc - terdapat limpasan permukaan

P > dlt - tidak terdapat pengisian kembali air tanah

4. I > fc - terdapat limpasan permukaan

P > dlt - pengisian kembali air tanah

Keterangan: I : intensitas curah hujan P : curah hujan

fc : kapasitas infiltrasi dlt : defisiensi lengas tanah

Infiltrasi

Proses masuknya air hujan ke dalam tanah dan turun ke permukaan air tanah

disebut infiltrasi. Proses infiltrasi melibatkan tiga proses yang saling tidak tergantung

yaitu, proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah, tertampungnya

air hujan tersebut di dalam tanah dan proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain.

Selanjutnya menurut Sosrodarsono dan Takeda (1977), dalam beberapa hal

tertentu, infiltrasi itu berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi

setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan

kecepatan absorpsi maksimum setiap tanah bersangkutan.

Asdak (1995) menjelaskan bahwa proses infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa

faktor , antara lain, tekstur dan struktur tanah, kandungan air awal (kelembaban

tanah), kegiatan biologi dan unsur organik, jenis dan kedalaman serasah, dan

tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah lainnya.

Ada tiga cara untuk menentukan besarnya infiltrasi (Knapp, 1978 di dalam

(17)

1. Menentukan beda volume air hujan buatan dengan volume air larian pada

percobaan laboratorium menggunakan simulasi hujan buatan.

2. Menggunakan alat infiltrometer.

3. Teknik pemisahan hidrograf aliran dari data aliran air hujan.

Penentuan laju infiltrasi telah dikembangkan dengan berbagai metode seperti

oleh Kostiakov (1932), Lewis (1937), Horton (1939), Holtan (1961) dan Phillips

(1957).

Gambar 1. Kurva hubungan antara infiltrasi dan limpasan (Schwab et al, 1966).

Perkolasi

Perkolasi merupakan pergerakan air bebas ke bawah yang membebaskan air

dari lapisan atas dan bagian atas dari lapisan bawah tanah ke tempat yang lebih

dalam dan merupakan air berlebih (Soepardi, 1979). Begitu air infiltrasi telah

menembus lapisan permukaan, air terus meresap (percolates) ke bawah tanah akibat

pengaruh gaya gravitasi sampai mencapai zona jenuh pada permukaan freatik

(phreatic surface) atau muka air tanah (groundwater table) (Wilson, 1990). Perkolasi

dapat digolongkan atas perkolasi vertikal (gerak ke bawah) dan perkolasi horizontal

(gerak ke samping).

Evapotranspirasi Acuan (ETo)

Waktu (menit)

L

a

ju

C

u

ra

h

h

u

ja

n

,

in

fi

lt

ra

si

d

a

n

Limpasan permukaan

(18)

Evapotranspirasi adalah peristiwa menguapnya air dari tanaman dan tanah atau

permukaan air yang menggenang. Dengan kata lain, besarnya evapotranspirasi

adalah jumlah antara evaporasi dan transpirasi. Evapotranspirasi merupakan salah

satu faktor penting yang terjadi dalam siklus hidrologi. Pengaruh evapotranspirasi di

daerah tropis pada umumnya, dapat mempercepat terjadinya kekeringan dan

penyusutan debit sungai pada musim kering (Asdak,1995). Banyak cara untuk

menentukan besarnya nilai evapotranspirasi salah satu metode penghitungan

besarnya evapotranspirasi yaitu menggunakan metode Penman yang dimodifikasi

(Doorenbos dan Pruitt, 1977).

Metode Penman yang dimodifikasi tergantung pada pengukuran meteorologis

dan mungkin merupakan metode yang memberikan perkiraan yang paling

memuaskan tentang kebutuhan air bagi tanaman. Persamaan asli dari Penman

menghasilkan evaporasi dari suatu permukaan air yang terbuka dengan

mempertimbangkan energi radiasi matahari dan aerodinamika (angin dan

kelembaban). Evaporasi dimodifikasi guna menghasilkan evapotranspirasi dari

sebuah permukaan tanah berumput dengan cara mengalikan dengan suatu koefisien

tanaman sebesar kira-kira 0.8. (Wilson, 1990). Maka ditetapkanlah suatu

evapotranspirasi tanaman standar atau acuan (ETo) yang didefinisikan sebagai

kecepatan evapotranspirasi dari sebuah permukaan yang ditutupi rumput hijau

setinggi 8 hingga 15 cm dengan ketinggian yang merata, aktif tumbuh, sepenuhnya

menutupi tanah dan tidak sedikit mengandung air. (Doorenbos dan Pruitt, 1977).

Perkembangan Model Hidrologi

Harto (1993) menyatakan, dalam pengertian umum model hidrologi adalah

simplifikasi proses sebuah sistem hidrologi yang kompleks. Model dapat diartikan

pula sebagai penyederhanaan suatu sistem, sedangkan sistem adalah gambaran

(19)

Menurut Linsley (1982), pengertian matematis dari persamaan-persamaan dan

cara-cara untuk melukiskan perilaku "Model Hidrologi" dipakai untuk memberikan

gambaran matematis yang relatif kompleks bagi daur hidrologi yang penyelesaiannya

didesain pada sebuah komputer.

Dalam hidrologi terdapat beberapa macam klasifikasi model yang digunakan

(Dooge, 1968; Clarke, 1973; Nemec, 1973 dalam Harto, 1993) antara lain yaitu (1)

Model fisik (physical model) yaitu model dengan skala tertentu untuk menirukan

prototipenya, (2) Model Analog (analog model) yaitu model yang disusun dengan

menggunakan rangkaian resistor-kapasitor untuk memecahkan

persamaan-persamaan diferensial yang memiliki proses hidrologi, dan (3) Model matematik

(mathematical model) yaitu model yang menyajikan sistem dalam rangkaian

persamaan, dan kadang-kadang dengan ungkapan-ungkapan yang menyajikan

hubungan antar variabel dan parameter. Menurut Harto (1993), di sisi lain model

dapat digolongkan menjadi : (1) Model empirik (empirical model) yaitu model yang

semata-mata mendasarkan pada percobaan dan pengamatan, (2) model konseptual

(conceptual model) yaitu model yang menyajikan proses-proses hidrologi dalam

persamaan matematik dan membedakan antara fungsi produksi (production function)

dan fungsi penelusuran (routing function).

Model hidrologi secara garis besar terbagi menjadi dua bagian besar yaitu model

stokastik dan model deterministik. Model stokastik adalah model yang terdiri dari

satu atau lebih unsur yang penyusunan hubungan antara masukan dan keluarannya

mengikutsertakan “peluang kejadian” dan memperkenalkan konsep probabilitas.

Model deterministik adalah model yang menghilangkan faktor “peluang kejadian”

(Soemarto, 1987)

Linsley et al. (1958) menyatakan bahwa baik model stokastik maupun model

deterministik memberikan andil yang besar pada hidrologi. Model tersebut telah

(20)

berguna bagi keperluan penelitian dan dapat dipakai untuk mengembangkan

penyelesaian problem keteknikan dengan suatu detail dan ketelitian yang tidak

mungkin dicapai oleh analisis perhitungan biasa yang lebih konvensional.

Tujuan dari digunakannya model hidrologi antara lain (Harto, 1993):

1). Peramalan (forecasting), termasuk di dalamnya untuk sistem peringatan dan

manajemen, pengertian disini menunjukkan baik besaran maupun waktu

kejadian yang dianalisis berdasarkan cara probabilistik

2). Perkiraan (prediction), pengertian yang tergantung di dalamnya adalah

besarnya kejadian dan waktu hipotetik

3). Sebagai alat "deteksi" dalam masalah pengendalian dengan sistem yang telah

pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan dapat dikontrol dan diatur

4). Sebagai alat pengenal (identification tool) dalam masalah perencanaan

5). Eksploitasi data atau informasi

6). Perkiraan lingkungan akibat tingkat perilaku manusia yang berubah atau

meningkat

7). Penelitian dasar dalam proses hidrologi.

Model Tangki

Menurut Sugawara (1961), model tangki adalah suatu metoda non-linier yang

berdasarkan kepada hipotesis bahwa aliran limpasan dan infiltrasi merupakan fungsi

dari jumlah air yang tersimpan di dalam tanah. Secara skematis, struktur model tangki

dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.

Sebuah tangki dengan saluran pengeluaran disisi mewakili limpasan, saluran

pengeluaran bawah mewakili infiltrasi, dan komponen simpanan dapat mewakili

proses limpasan didalam suatu atau sebagian daerah aliran sungai. Beberapa tangki

serupa yang pararel dapat mewakili suatu daerah aliran sungai yang besar (Linsey et

(21)

Infiltrasi Curah hujan Evapo

transp irasi

Perkolasi

Aliran Antara Limpasan Permukaan

Gambar 2. Struktur Model Tangki

Banyak model-model limpasan yang beroperasi dengan konsep dasar yang sama

dengan model tangki seperti DISPRIN yang dibuat oleh “British Water Resource

Board”, IMH2-SVP yang dipakai oleh Institute of Meteorology and Hidrology of

Romania dan Dawdy dan O’Donnel Model (Linsey, et al.1982).

Struktur model tangki cocok dianalogikan sebagai bentuk struktur air bawah

permukaan yang dapat menunjukkan beberapa komponen dari debit sungai/total

limpasan (Sugawara, 1961).

Banyak penelitian telah dilakukan dengan menggunakan model tangki. Selain

oleh Sugawara sendiri sebagai penemunya yang menganalisa limpasan pada

beberapa sungai di Jepang dan berhasil dengan baik, model tangki juga digunakan

luas pada berbagai DAS, seperti DAS Ciliwung (Yoshida, et al.1998), DAS Progo

(22)

Proses Terjadinya Limpasan dalam Model Tangki

Curah hujan yang jatuh diatas permukaan bumi akan terinfiltrasi ke dalam tanah.

Selain terinfiltrasi ke dalam tanah, terjadi pula proses evapotranspirasi. Air yang

terinfiltrasi selanjutnya akan mengisi simpanan (storage) didalam tanah.

Gambar 3. Diagram aliran limpasan dengan model tangki. ( Sugawara, 1961 dalam Hiroki, et al, 1996)

Setelah simpanan mencapai maksimum (kejenuhan) terjadilah aliran antara (interflow)

dan air akan terperkolasi hingga akhirnya menjadi aliran dasar (base flow).

Aliran-aliran ini selanjutnya akan terkumpul (total run off) menjadi debit sungai.

Kebutuhan Air

Kebutuhan mengembangkan sumberdaya air timbul dari adanya kebutuhan akan

air untuk suatu tujuan. Kebutuhan air suatu kota besarnya sebanding dengan jumlah

penduduk, dan pola konsumsi perkapita, sehingga perkembangan jumlah penduduk di

kota tersebut sangat menentukan tingkat kebutuhan air di masa mendatang (Pawitan

et al, 1994). Tabel 1 berikut menunjukkan rata-rata kebutuhan air harian per kapita Keterangan :

ET : Evapotranspirasi CH : Curah Hujan Ro : Aliran Permukaan Inf : Infiltrasi Int : Aliran Antara Bf1 : Aliran Dasar P : Perkolasi a,b.z : Koefisien

(23)

untuk kota di negara maju. Untuk kota di Indonesia tentunya tingkat kebutuhan air

untuk berbagai penggunaan ini tidak sama dan persentase kehilangan lebih tinggi.

Tabel 1. Rata-rata kebutuhan air harian per kapita

No. Penggunaan Kebutuhan (gcd) Persen total (%)

1 Rumah tangga 60 40

2 Komersial 20 13

3 Industri 45 30

4 Umum 15 10

5 Kehilangan 10 7

Jumlah 150 100

Sumber : Gupta (1989), gcd= galon capita/day

Kebutuhan Air Penduduk

Besarnya kebutuhan air bagi masing-masing orang tidak sama dan sangat

tergantung pada beberapa faktor, diantaranya tingkat sosial, tingkat pendidikan,

kebiasaan penduduk, letak geografis, dan lain-lain. Kebutuhan dasar air bersih tiap

individu digunakan untuk memenuhi keperluan minum, masak, mencuci peralatan

masak, dan lain-lain. Untuk Indonesia besar kebutuhan dasar tersebut adalah

(Puslitbang Fisika Terapan-LIPI, 1990) :

Minum = 2.5 – 5.0 liter/jiwa/hari

Masak = 7.5 – 10.0 liter/jiwa/hari

Cuci (bahan makanan dan lain-lain) = 10.0 – 15.0 liter/jiwa/hari

Jumlah = 20.0 – 30.0 liter/jiwa/hari

Menurut White et al., (1972) konsumsi air bersih untuk daerah perkotaan dan

pedesaan yang menggunakan hidran umum berkisar 10 – 50 liter/orang/hari, untuk

rumah tangga yang menggunakan satu keran saja berkisar 15 – 90 liter/orang/hari,

dan untuk rumah tangga yang memiliki banyak keran berkisar 30 – 300

(24)

Menurut Winrock (1992), Ditjen Cipta Karya menetapkan kebutuhan air domestik

untuk masyarakat pedesaaan adalah 45 lcd (liter capita/day) dan untuk masyarakat

kota sebesar 60 lcd.

Faktor utama yang menentukan jumlah kebutuhan air kota adalah jumlah

penduduk, dan ketepatan proyeksi penduduk akan sangat penting untuk menduga

tingkat kebutuhan air di masa mendatang (Pawitan et al, 1994).

Kebutuhan Air Industri

Besarnya kebutuhan air bagi masing-masing industri tidak sama dan sangat

tergantung pada beberapa faktor diantaranya jumlah pegawai, unit kerja, lamanya jam

kerja dan lain-lain.

Untuk menentukan kebutuhan air bersih untuk industri di perkotaan dapat

dikategorikan menjadi tiga jenis berdasarkan banyaknya pemakaian, masing-masing

untuk industri besar berkisar 151 - 350 m3/hari, industri sedang berkisar 51 – 150 m3/hari, dan industri kecil berkisar 5 - 50 m3/hari (Purwanto, 1995).

Kapasitas Sumberdaya Air DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai areal yang dibatasi oleh

pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang

jatuh diatasnya, baik dalam bentuk aliran permukaan alian bawah tanah dan aliran

bumi ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau laut (Manan, 1979).

Menurut Seyhan (1995) faktor utama di dalam DAS yang sangat

mempengaruhi kapasitas sumberdaya air adalah sebagai berikut :

(25)

Vegetasi merupakan pelindung bagi permukaan bumi terhadap hempasan air

hujan, hembusan angin dan teriknya matahari. Fungsi utama dari vegetasi adalah

melindungi tanah.

Perlindungan ini berlangsung dengan cara :

a. Melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh

b. Melindungi tanah terhadap daya merusak aliran air di atas permukaan

tanah

c. Memperbaiki kapasitas infiltrasi dan struktur tanah serta daya

absorbsi/daya simpan air.

2). Tanah

Tanah selain berfungsi sebagai media tempat tumbuhnya vegetasi juga

berfungsi sebagai pengatur tata air. Peranan tanah dalam mengatur tata air

tergantung pada tingkat kemampuan tanah untuk meresapkan air yang

dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah. Makin besar

kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah, makin banyak air yang dapat

diserap dan masuk ke dalam profil tanah persatuan waktu, sehingga dengan

demikian jumlah air yang tersimpan pada DAS menjadi lebih banyak (Arsyad,

1982).

Pengelolaan Sumberdaya Air DAS

Secara umum dapat dikatakan bahwa pengelolaan DAS ialah pengelolaan

sumberdaya alam yang dapat pulih seperti air, tanah dan vegetasi dalam sebuah

daerah aliran sungai dengan tujuan memperbaiki, memelihara dan melindungi

keadaan daerah aliran sungai agar dapat menghasilkan air untuk kepentingan

pertanian, kebutuhan penduduk, industri, tenaga listrik, rekreasi dan sebagainya

(Manan, 1979).

Tujuan dari pengelolaan sumberdaya air pada DAS adalah agar DAS secara

(26)

lestari bagi manusia di dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan serta

kesejahteraannya (Soerianegara, 1978).

Bentuk tindakan pengelolaan sumberdaya air pada DAS bermacam-macam,

tergantung dari permasalahan yang dihadapi DAS tersebut. Jika permasalahannya

adalah kurangnya persediaan air – supply lebih kecil dari demand – maka tindakan

yang harus dilakukan adalah mengusahakan penambahan persediaan air tersebut.

Di lain pihak jika permasalahannya adalah berlebihnya persediaan air – supply lebih

besar dari demand – maka tindakan yang harus dilakukan adalah mengupayakan

optimalitas pemanfaatan dari kelebihan persediaan yang ada, atau mengendalikan

kelebihan tersebut agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diiinginkan. Dasar dari

setiap tindakan pengelolaan sumberdaya air adalah menyeimbangkan sisi demand

dan supply (water balance) (Dumairy, 1992).

Lebih lanjut dikatakan oleh Dumairy (1992), bahwa setiap pokok permasalahan

yang dihadapi haruslah dijabarkan dengan terinci, agar bentuk konkrit dari tindakan

yang akan diambil dapat dioperasionalkan. Bila permasalahannya adalah kurangnya

persediaan sumberdaya air, maka haruslah jelas supply dan demand air untuk

keperluan yang apa yang mengalami kesenjangan/ketidakseimbangan tersebut;

apakah untuk irigasi, untuk keperluan industri, atau untuk keperluan domestik.

Selanjutnya perlu diselidiki dan dirinci sebab-sebab tidak mencukupinya supply air

tersebut, apakah karena persediaan alaminya memang tidak mencukupi secara

kuantitatif, atau karena kualitas air yang tersedia tidak memenuhi syarat untuk

dimanfaatkan (Harmailis, 2001).

Model Kebutuhan Air

STELLA

STELLA (Systems Thinking Educational Learning Laboratory with Animation)

(27)

kerja (framework) dan mudah dipahami dalam penggunaan untuk pengamatan

interaksi kuantitatif dari setiap variabel dalam suatu sistem. Program dapat digunakan

untuk menjelaskan dan menganalisa sistem yang kompleks dari ilmu fisika, kimia,

biologi dan sosial. (Martin, 1997).

Penggunaan STELLA yang mencakup beberapa bidang ilmu, salah satunya

adalah dapat digunakan untuk menghitung (memodelkan) kebutuhan air baku. Air

baku merupakan kebutuhan penting untuk kebutuhan penduduk dan juga kebutuhan

industri. Pertumbuhan penduduk dan industri yang dinamis seiring dengan

pemenuhan kebutuhan air baku dapat dihitung dengan menggunakan STELLA.

Pendekatan ETo (Evapotranspirasi)

Dasar dalam pembuatan model kebutuhan air dikembangkan dari persamaan

matematis dalam menghitung Kebutuhan Air Tanaman (KAT) menurut Doorenbos dan

Pruitt(1977), sebagai berikut :

Kc ETo

ETc = × (mm/hari) ...(1)

Kc ETo

ETc =0.116× × (ltr/det/ha) ...(2)

dimana :

ETc = Evapotranspirasi tanaman (mm/hari)

ETo = Evapotranpirasi aktual (mm/hari)

Kc = Koefisien tanaman (tergantung pada jenis tanaman, tahap pertumbuhan)

Analogi persamaan matematis diatas, yaitu ETc merupakan evapotranspirasi

(kebutuhan air tanaman) yang terjadi pada suatu luasan areal yang ditumbuhi oleh

tanaman dapat diartikan sebagai kebutuhan air suatu kawasan dengan populasi

penduduk/industri. ETo merupakan evapotranspirasi acuan dapat diartikan sebagai

(28)

sebagai koefisien kebutuhan air penduduk/industri, sehingga dapat disusun model

kebutuhan air untuk pemukiman dan industri seperti berikut (Purwanto, 1995):

(

)

=

×

×

×

=

m

1 i

penduduk

Pp

P

KAp

Cp

y

...(3)

dimana :

y Penduduk = kebutuhan air penduduk (liter/hari)

Pp = persentase klas sosial penduduk (%) P = jumlah penduduk (jiwa)

KAp = kebutuhan air rata-rata tiap klas sosial penduduk (liter/jiwa/hari)

Cp = koefisien kebutuhan air penduduk (tergantung pada klas sosial penduduk, waktu pemakaian air)

m = jumlah persamaan

i = klas sosial (tinggi, menengah, rendah)

(

)

=

×

×

×

=

n

1 j

industri

PI

I

KaI

CI

y

...(4)

dimana :

yIndustri = kebutuhan air industri (liter/hari)

PI = persentase jumlah tiap jenis industri (%) I = jumlah industri (industri)

KaI = kebutuhan air rata-rata tiap jenis industri (liter/industri/hari)

CI = koefisien kebutuhan air industri

n = jumlah persamaan

(29)

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan mencakup Daerah Aliran Sungai Cidanau

Kabupaten Serang, Kota Cilegon Provinsi Banten dan Lab Teknik Tanah dan Air

Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Waktu penelitian dilaksanakan

dari bulan April 2004 sampai Agustus 2005.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan selama penelitian ini meliputi: seperangkat PC

lengkap dengan sejumlah software pendukung lainnya, scanner, double ring

infiltrometer, mistar, ember, stopwatch, GPS, dan peralatan keperluan

dokumentasi serta tulis menulis. Bahan yang digunakan antara lain: data

curah hujan, data iklim, data debit aktual, peta stasiun pos penakar hujan, peta

jenis tanah, peta topografi, peta tata guna lahan, peta batas administratif, data

penggunaan air penduduk dan industri.

Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data mencakup data primer dan data sekunder. Data primer

adalah data infiltrasi yang diukur di lapangan dengan menggunakan Double ring

infiltrometer. Pengukuran infiltrasi berdasarkan jenis Tata Guna Lahan (TGL) yang

dibagi atas 3 TGL yaitu; TGL sawah, TGL hutan dan TGL kebun campuran.

Pengukuran infiltrasi dilapang menggunakan double ring infiltrometer, yaitu satu

infiltrometer silinder ditempatkan di dalam infiltrometer silinder lain yang lebih besar.

Infiltrometer silinder yang lebih kecil mempunyai diameter 30 cm dan infiltrometer

(30)

yang kecil. Infiltrometer yang besar berfungsi sebagai penyangga yang bersifat

menurunkan efek batas yang timbul oleh adanya silinder. Kedua infiltrometer tersebut

dibenamkan ke dalam tanah dengan kedalaman antara 5 hingga 50 cm. Kemudian air

dimasukkan ke dalam kedua silinder tersebut dengan kedalaman air tertentu dan laju

air yang turun dicatat penurunannya pada suatu waktu tertentu.

Data sekunder meliputi data jumlah penduduk kota Cilegon (BPS 2002),

data jumlah industri di kota Cilegon, data pemakaian kebutuhan air penduduk

dan industri dari PT. Krakatau Tirta Industri, data curah hujan (1995-2001)dari 4

stasiun penakar hujan yang berada pada areal DAS Cidanau yaitu: Stasiun

Cinangka, Stasiun Padarincang, Stasiun Ciomas dan Stasiun Mandalawangi,

data iklim (1993-2002) Stasiun Iklim Serang mencakup temperatur, kelembaban

nisbi, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, data tata guna lahan dan

data debit sungai. Analisis data mencakup: rata-rata curah hujan wilayah,

evapotranspirasi, infiltrasi, debit prediksi, prediksi jumlah penduduk, prediksi

jumlah kebutuhan air pendiuduk, prediksi jumlah pertumbuhan industri dan

kebutuhan airnya.

Tahap-tahap analisis data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Penentuan Curah Hujan Wilayah

Penentuan curah hujan wilayah dilakukan dengan metoda poligon Thiessen.

b. Penentuan Evapotranspirasi

Penentuan Evapotraspirasi dengan menggunakan metode Penman Modifikasi.

Bentuk persamaannya yaitu (Doorenboos and Pruitt,1977) :

(

) ( )(

)

[

W

Rn

W

f

u

ea

ed

]

c

ETo

=

.

+

1

...(5)

dimana:

Eto : nilai evapotraspirasi tanaman acuan (mm/hari)

W : faktor pemberat yang berhubungan dengan temperatur

Rn : radiasi netto dalam ekivalen evaporasi (mm/hari)

(31)

(ea-ed) : perbedaan antara tekanan uap jenuh pada suhu udara rata-rata dengan tekanan uap aktual rata-rata udara (mbar)

c : faktor koreksi

c. Analisis kapasitas infiltrasi

Analisis kapasitas infiltrasi dilakukan menurut Holtan (1961), yaitu dengan

persamaan:

fc

GIASa

f

=

1.4

+

...(6)

Keterangan:

f : kapasitas infiltrasi (mm/jam)

A : kapasitas infiltrasi per jam per (mm)1.4 simpanan air

Sa : simpanan air lapisan permukaan

fc : laju infiltrasi konstan

GI : indeks pertumbuhan tanaman/persen kematangan

Persamaan ini mengasumsikan bahwa kandungan air tanah, porositas dan

kedalaman akar adalah faktor-faktor dominan yang mempengaruhi infiltrasi dan

perhitungan besarnya kapasitas infiltrasi berdasarkan simpanan aktual

kandungan air tanah pada waktu tertentu (Fleming, 1975).

Penyusunan Model

Model Ketersediaan Air

Bejana berhubungan yang mencakup tanah permukaan dan yang di

dalamnya digambarkan sebagai suatu persegi panjang ke dalam tanah dan di

bagi menjadi beberapa lapisan yang mewakili lapisan-lapisan (horizon) tanah.

Suatu bejana dapat merupakan suatu tata guna lahan, seperti dijelaskan dalam

(32)

f

p1

p2

p3

ET

S3

S4 S2 S1

IO1

IO3

IO4 IO2

TGL1

TGLn TGL2

SRO

TOTAL LIMPASAN TGL3

P

Keterangan:

P : Presipitasi/Curah hujan ET : Evapotranspirasi F : Infiltrasi p : Perkolasi S : Simpanan (storage) SRO : Surface Run off TGL : Tata Guna Lahan IO : Interflow

Gambar 4. Susunan model tangki dalam suatu DAS

Penyusunan tangki pada DAS Cidanau secara umum yaitu DAS Cidanau dibagi

menjadi empat tangki berdasarkan tata guna lahan. Tangki pertama merupakan Rawa

Danau, tangki kedua merupakan daerah hutan (hulu), tangki ketiga merupakan

daerah perkebunan dan tangki keempat merupakan persawahan. Pembagian wilayah

tangki dan wilayah curah hujan berdasarkan poligon thiessen dapat dilihat pada

(33)

Gambar 5. Skema pembagian wilayah tangki dan hujan wilayah dalam DAS

Susunan Model Tangki

Setiap satu unit tangki tersebut terdiri dari 4 buah tangki yang disusun

secara vertikal (seri). Tangki paling atas mempresentasikan neraca air pada

daerah perakaran. Aliran limpasan adalah penjumlahan limpahan dari 3 tangki

teratas. Tangki paling bawah mempresentasikan aliran dasar (base flow).

Skema tangki untuk masing-masing TGL pada setiap Sub DAS disajikan pada

(34)

Gambar 6. Skema tangki untuk setiap TGL

Persamaan dasar untuk tangki paling atas dari Gambar 6 adalah :

∂x1(t)/∂t = a1 {x1(t)-ha1} + b {x1(t) – h5} + z1.x1(t)- CH + ETc(t) ...(7)

dan untuk tangki lainnya (i = 2-4, z4 = 0) persamaannya adalah :

∂xi(t)/∂t = ai.{xi(t) – hai} + zi.xi(t) – zi-1.xi-1(t)...(8)

Debit limpasan dari sungai (Q) dihitung dengan menggunakan persamaan Q=

(35)

Penyusunan Program Komputer

Program model ketersediaan air merupakan modifikasi model tangki disusun

dengan menggunakan bahasa FORTRAN dan terdiri dari persamaan-persamaan

matematik yang menggambarkan proses komponen limpasan hujan yang jatuh di atas

tanah di suatu DAS. Prosedur pendugaan debit sungai dilakukan dengan bantuan

program komputer. Persamaan-persamaan sesuai Gambar 6 yang merupakan

penggambaran proses limpasan diubah ke dalam bahasa program komputer

sehingga menjadi suatu model untuk menentukan total limpasan yang terjadi untuk

suatu waktu tertentu. Data masukan adalah curah hujan dan evapotranpirasi aktual

harian. Program dijalankan (runing) setelah memasukkan parameter yang dilakukan

secara coba-ulang. Hasil keluaran model adalah nilai harian aliran permukaan

(surface runoff), aliran bawah permukaan (sub surface runoff) dan aliran dasar

(baseflow). Komulatif dari hasil tersebut adalah jumlah limpasan atau debit sungai

dugaan yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

Kalibrasi dan Validasi Model

Kalibrasi model ketersediaan air dilakukan dengan mengunakan data

debit aktual yang diukur dibandingkan dengan debit model di muara Sungai

Cidanau selama periode satu tahun. Tolok ukur uji keabsahan model

didasarkan pada :

a. Penampilan hubungan antara debit model dan debit aktual secara grafik

sehingga dapat ditentukan nilai mutlak (maksimum – minimum) data yang

diperoleh.

b.

Nilai koefisien determinasi

Hasil proses kalibrasi berupa nilai parameter-parameter model yang telah sesuai

(36)

kemudian dilakukaan validasi. Validasi model ketersediaan air dilakukan terhadap

data hujan dan evapotranspirasi harian tahun yang lain.

Model Kebutuhan Air

Hubungan antara persamaan matematis kebutuhan air rata-rata aktual dengan

model kebutuhan air rata-rata dibangun berdasarkan persamaan (3) untuk model

kebutuhan air penduduk dan persamaan (4) untuk model kebutuhan air industri.

Dalam penelitian ini faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi jumlah pemakaian air

dari sungai Cidanau yaitu jumlah penduduk dan industri di wilayah Cilegon dan

sekitarnya. Untuk model matematis kebutuhan air rata-rata penduduk terdiri dari

beberapa parameter yaitu persentase klas sosial penduduk, jumlah penduduk,

kebutuhan air rata-rata penduduk dan konstanta dari masing-masing klas sosial.

Model matematis kebutuhan air rata-rata industri terdiri dari beberapa parameter yaitu

persentase jenis industri, jumlah industri, kebutuhan air rata-rata industri dan

konstanta dari masing-masing jenis industri.

Input untuk model kebutuhan air rata-rata penduduk yaitu persentase klas sosial

penduduk, jumlah penduduk dan kebutuhan air rata-rata penduduk. Begitu pula input

untuk model kebutuhan air rata-rata industri yaitu persentase jenis industri, jumlah

industri, kebutuhan air rata-rata industri.

Perhitungan model kebutuhan air dapat dilakukan dengan menggunakan

STELLA. Model dibangun dengan kerangka kerja (framework) yang saling

berhubungan secara matematis dari parameter-parameter kebutuhan air dan

kemudian dijalankan (disimulasikan) sehingga menghasilkan keluaran berupa

kebutuhan air untuk tahun mendatang. Kerangka kerja (framework) dapat dilihat pada

(37)

Gambar 7. Kerangka kerja (framework) skema model kebutuhan air

Kalibrasi dan Validasi Model

Kalibrasi model kebutuhan air dilakukan dengan menggunakan data pemakaian

air wilayah Cilegon yang berasal dari PT. Krakatau Tirta Industri untuk masing-masing

penduduk dan industri selama periode tiga tahun. Kalibrasi model dilakukan untuk

mendapatkan nilai-nilai koefisien kebutuhan air penduduk (CP) dan koefisien

kebutuhan air industri (CI). Koefisien dicari dengan metode least square dengan

bantuan software EUREKA The Solver Ver 1.0.

Validasi model dengan melakukan pendugaan kebutuhan air untuk penduduk

dan industri menggunakan model untuk data tahun tertentu. Validasi model dilakukan

menggunakan nilai koefisien hasil kalibrasi. Hasil validasi model merupakan hasil

prediksi jumlah kebutuhan air yang dibutuhkan.

Prediksi Ketersediaan Air di Masa Mendatang

Prediksi ketersediaan air di masa mendatang dapat dilakukan dengan

mengaplikasikan model ketersediaan air yang telah dikalibrasi. Debit ketersediaan air

(38)

evapotranspirasi harian. Prediksi kejadian hujan untuk waktu yang akan datang

adalah sulit ditentukan secara pasti dan tepat. Salah satu cara yang dapat dilakukan

adalah dengan menngunakan peluang kejadian hujan yang akan menghasilkan debit

andalan 80%. Data hujan dengan peluang curah hujan andalan 80% dihitung dari dari

data hujan tahunan di DAS Cidanau selama 10 tahun (1993-2002) dengan bantuan

software Rainbow, kemudian menghasilkan jumlah hujan tahunan. Data hujan harian

dengan jumlah hujan tahunan yang mendekati jumlah data hujan tahunan hasil dari

Rainbow digunakan sebagai masukan dalam model ketersediaan air. Hasil debit

model ketersediaan air kemudian digunakan sebagai masukan dalam program

STELLA untuk megevaluasi ketersediaan dan kebutuhan air wilayah.

Supply-Demand Air Wilayah

Perkembangan komunitas tidak saja berkaitan dengan pertumbuhan penduduk

tetapi juga harus diikuti dengan penyediaan lapangan kerja. Penyediaan lapangan

kerja tersebut sangat bergantung dengan ketersediaan air baku. Air baku sangat

dibutuhkan untuk mengoperasikan sektor lapangan kerja maupun memenuhi

kebutuhan air domestik pada wilayah tersebut. Keberhasilan perkembangan

komunitas disuatu wilayah terjadi apabila air untuk domestik dan penyediaan

lapangan kerja tersedia, sehingga prediksi kebutuhan air baku menjadi sesuatu yang

penting dalam perencanaan perkembangan wilayah.

Prediksi ketersediaan dan kebutuhan air dapat dilakukan dengan menggunakan

STELLA. Model dibangun dengan kerangka kerja (framework) yang saling

berhubungan secara matematis dari model ketersediaan air dan juga model

kebutuhan air kemudian dijalankan (disimulasikan) sehingga menghasilkan keluaran

berupa Supply-Demand air untuk tahun mendatang. Kerangka kerja (framework)

(39)

Gambar 8. Kerangka kerja (framework) perhitungan Supply-Demand air.

Prediksi ketersediaan air untuk suatu kawasan digunakan skenario perubahan

tata guna lahan. Harmailis (2001) melakukan beberapa skenario perubahan tata guna

lahan untuk mengetahui mengetahui fluktuasi debit outlet Sungai Cidanau. Untuk DAS

Cidanau akan dilakukan 4 skenario (Tabel 2.) sebagai dasar untuk mensimulasikan

ketersediaan air yang berasal dari DAS Cidanau.

Tabel 2. Skenario model ketersediaan air

(40)

Skenario Uraian Perubahan Debit Minimum

Debit Runoff (mm)

1

(kondisi eksisting)

Runoff hasil debit andalan 80% (data hujan 10 tahun) dengan menggunakan software Rainbow

1 020

(Efesiensi Runoff 0.6)

2

(Harmailis, 2001)

Merupakan alternatif 5 dari skenario perubahan tata guna lahan dalam DAS Cidanau dengan ketentuan: 25% luasan yang semula hutan menjadi kebun, 50% luasan yang semula kebun menjadi hutan dan 50% luasan yang semula kebun menjadi sawah

0.4 m 3/det 1 122

(Efesiensi Runoff 0.6)

3

(Harmailis, 2001)

Merupakan alternatif 1 dari skenario perubahan tata guna lahan dalam DAS Cidanau dengan ketentuan: 50% luasan yang semula hutan menjadi kebun, 50% luasan yang semula kebun menjadi hutan dan 50% luasan yang semula kebun menjadi sawah

0.5 m 3/det 1 138

(Efesiensi Runoff 0.6)

4

Merupakan penerapan skenario 3 dengan penambahan perbaikan saluran dengan pipanisasi

1 138

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi DAS Cidanau

Daerah penelitian adalah wilayah DAS Cidanau di Propinsi Banten. Secara

administratif DAS ini mencakup 2 wilayah kabupaten yaitu kabupaten Serang dan

kabupaten Pandeglang. Secara geografis DAS Cidanau berada pada 105o 49’ 17” BT sampai 106o 06’ 03” BT dan 06o 08’ 25” LS sampai 06o 15’ 47” LS. Peta Lokasi disajikan pada Lampiran 1.

Luas wilayah DAS Cidanau seluruhnya 22 620 ha yang terbagi menjadi 6 Sub

DAS yaitu, Cikalumpang, Cisaat, Cisawarna, Cicangkedan, Cikondang dan Cibojong.

Sub DAS Cisaat dan Sub DAS Cisawarna merupakan wilayah hulu DAS Cidanau.

Pada wilayah gabungan dua Sub DAS ini terdapat Rawa Danau. Rawa Danau

merupakan bagian paling hulu dari Sungai Cidanau. Sub DAS Cikalumpang dan Sub

DAS Cibojong merupakan wilayah tengah bagian DAS Cidanau. Sub DAS Cikondang

dan Sub DAS Cicangkedan merupakan wilayah DAS Cidanau bagian hilir dan

berbatasan langsung dengan Selat Sunda, tempat bermuaranya Sungai Cidanau.

Sungai Cidanau sebagai sungai utama terletak di wilayah DAS bagian tengah dan

hilir.

Tabel 3. Luas Sub DAS

Sub DAS Luas (ha) % Wilayah Administrasi

1 Cisawarna 3820 16.89 Kecamatan : Ciomas, Pabuaran, Padarincang

2 Cisaat 6100 26.97 Kecamatan : Ciomas, Pabuaran, Padarincang

3 Cikalumpang 7200 31.83 Kecamatan : Padarincang, Pabuaran, Mandalawangi

4 Cibojong 3000 13.26 Kecamatan : Cinangka, Padarincang, Mandalawangi

5 Cicangkedan 1300 5.75 Kecamatan Cinangka

6 Cikondang 1200 5.31 Kecamatan Cinangka

(42)

Iklim

Keadaan iklim kabupaten Serang dipengaruhi oleh dua musim yaitu musim

kemarau dan musim penghujan. Iklim tropis dengan temperatur rata-rata 26.5 oC, temperatur maksimum 31.7 oC dan temperatur minimum 22.5 oC dengan ketinggian 25 – 600 m di atas permukaan laut. Angin barat dan tenggara yang bertiup setiap 6

bulan sekali, baik pada musim hujan atau musim kemarau, curah hujan 2000 – 3000

mm/tahun. Curah Hujan yang cukup tinggi pada bulan-bulan Desember, Januari,

Pebruari dan Maret.

Topografi

Kabupaten Serang merupakan wilayah dengan ketinggian antara 25

sampai dengan lebih dari 1300 m diatas permukaan laut. Berdasarkan ketinggian,

Kabupaten Serang dapat dibagi menjadi dua yaitu: daerah dengan ketinggian 25 m

sampai dengan 600 m dan daerah dengan ketinggian lebih dari 600 m sampai dengan

1300 m. Daerah yang mempunyai ketinggian lebih dari 600 m terdapat diperbukitan

Gunung Karang. Sedangkan yang lainnya kurang dari 600 m dari permukaan laut.

Kemiringan lahan bervariasi mulai dari yang datar hingga bergelombang. Wilayah

yang terbesar yaitu 39.36 % yang merupakan wilayah datar. Wilayah ini tersebar

pada seluruh Sub DAS dengan wilayah terluas di Sub DAS Cikalumpang.

Tabel 4. Kelas kemiringan lahan DAS Cidanau Lereng (%) Sub DAS

0-8 8-15 15-25 25-45 >45 Jumlah (ha) Cisawarna

Cisaat Cikalumpang Cibojong Cicangkedan Cikondang

1929 589 675 672 714 2330 1229 445 484 412 3107 172 2245 1239 1068 924 176 702 733 425 463 743 104 - - 151 520 169 182 18

7831 4900 4579 2960 1040 1310

(43)

Jenis Tanah dan Tata guna Lahan

Jenis tanah yang terdapat di DAS Cidanau adalah Latosol, Regosol, Alluvial dan

Andosol. Tanah-tanah tersebut berasal dari batuan induk undefferentiated vulcanic

product seluas 20482 ha (90.55%) dan bahan induk lainnya Miocene Sedimentary

1307 ha (5.78 %) dan Alluvium seluas 831 ha (3.67 %). Penyebaran jenis tanah

dijelaskan pada Tabel 5.

Tabel 5. Penyebaran jenis tanah DAS Cidanau Luas Penyebaran (ha) Sub DAS

Latosol Alluvial Regosol Andosol Jumlah (ha) Cisawarna Cisaat Cikalumpang Cibojong Cicangkedan Cikondang

2852 1657 - 70 2330 1657 194 443 4236 3595 - - 2404 556 - - 583 85 542 - 762 102 176 -

4579 4900 7831 2960 1310 1040

Jumlah 13107 8088 912 513 22620 Persentase 57.94 35.76 4.03 2.27 100

Tata guna lahan yang ada di DAS Cidanau meliputi sebagian besar perkebunan

dan persawahan. Selain itu penggunaan lahan juga untuk tegalan, pemukiman, hutan

rakyat dan hutan rawa, dijelaskan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah dan jenis penggunaan lahan di DAS Cidanau Luas

No. Tata Guna Lahan

(Ha) (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6. Sawah Tegalan Perkebunan Pemukiman Hutan Rakyat Hutan Rawa 7748 122 8304 344 4193 1909 34.25 0.54 36.71 1.52 18.54 8.44

Jumlah 22620 100.00

Curah Hujan Wilayah

Hasil analisa curah hujan wilayah dengan menggunakan metode poligon

Thiessen menghasilkan nilai rata-rata Thiessen berdasarkan bobot luas wilayah

(44)

Tabel 7. Stasiun curah hujan dan persentase bobot

No Stasiun Luas(ha) Bobot

1 Cinangka 4000 0.177

2 Padarincang 13420 0.593

3 Ciomas 3600 0.159

4 Pandeglang 1600 0.071

Jumlah 22620 1.000

Infiltrasi

Pengukuran dan analisa infiltrasi menggunakan persamaan (7) didapat nilai

kapasitas infiltrasi yang merupakan nilai rata-rata selama 24 jam (1 hari) untuk lokasi

1 (sawah) yaitu sebesar 3.01 mm/jam, untuk lokasi 2 (kebun campuran) sebesar 2.06

mm/jam dan lokasi 3 (hutan) sebesar 1.65 mm/jam. Hasil infiltrasi di tiga titik

pengukuran di wilayah dapat pada Lampiran 11.

Dari hasil infiltrasi, maka nilai rata-rata kapasitas infiltrasi akan digunakan

sebagai salah satu koefisien yang digunakan dalam model tangki yaitu koefisien

infiltrasi tangki, yang merupakan salah satu parameter di tanki yang paling atas.

Parameter ini akan menentukan besarnya koefisien lubang tangki kearah bawah atau

nilai z pada daerah tertentu sesuai dengan kapasitas infiltrasi tersebut.

Model Ketersediaan Air

Kalibrasi Model

Kalibrasi model ketersediaan air menggunakan data aktual tahun 1996 berupa

data hujan harian, data evapotranspirasi harian dan data debit harian. Hasil kalibrasi

model mencakup nilai-nilai parameter model ketersediaan air. Kalibrasi model

dilakukan dengan menggunakan data curah hujan dan evapotranpirasi tahun 1996

harian. Setelah didapat hasil berupa debit simulasi, kemudian dilakukan secara coba

ulang parameter-parameter kalibrasi. Nilai-nilai koefisien diubah-ubah hingga nilai

(45)

Kalibrasi model dilakukan parameter mencakup besarnya nilai perkolasi (z), besarnya

nilai lubang sisi samping tangki (a) yang menjadi aliran antara/aliran dasar, besarnya

nilai kandungan air tanah (xx) serta besarnya simpanan maksimum dalam tanah

(dmax) untuk setiap tingkat tangki.

Penentuan nilai z pada tangki di tingkat pertama di dasarkan pada kapasitas

infiltrasi pada daerah tertentu. Nilai kapasitas infiltrasi dikalikan dengan lama hujan

maksimum yang diasumsikan terjadi selama 3 jam dan besarnya nilai curah hujan

maksimum sebesar 50 mm (Sutoyo, 1999), penentuan nilai z untuk tingkat

selanjutnya berdasarkan proporsi besarnya air yang masuk ke dalam tanah yang

akan semakin berkurang sesuai dengan kedalaman tanah. Nilai koefisien kalibrasi z

dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai Koefisien z

Rawa Hutan Kebun Sawah

Tingkat 1 0.1803 0.0991 0.1236 0.1803 Tingkat 2 0.0800 0.0350 0.0550 0.0900 Tingkat 3 0.0180 0.0100 0.0100 0.0280 Tingkat 4 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

Penentuan nilai koefisien a, xx dan dmax dilakukan secara coba ulang hingga

mendapatkan nilai tepat yang menghasilkan keluaran debit simulasi dengan nilai

mendekati dengan nilai aktual data pengukuran. Penentuan nilai dmax ditentukan

dengan mengasumsikan bahwa nilai dmax tidak melebihi simpanan maksimum yang

merupakan pengurangan antara total curah hujan yang terjadi dengan total

evapotranspirasi yang terjadi. Hasil Kalibrasi parameter dijelaskan pada Tabel 9.

(46)
(47)

TANGKI Tingkat a xx dmax

1 0.08000 70 250

2 0.01000 25 300

3 0.00700 120 350

Rawa

4 0.00280 550 500

1 0.08000 5 150

2 0.01000 10 350

3 0.00100 120 380

Hutan

4 0.00085 500 500

1 0.07000 5 170

2 0.00500 10 250

3 0.00050 80 270

Kebun

4 0.00035 155 500

1 0.08000 25 200

2 0.01000 25 380

3 0.00080 120 350

Sawah

4 0.00055 255 500

Validasi Model

Validasi model ketersediaan air menggunakan data aktual tahun 1997 berupa

data hujan harian, data evapotranspirasi harian dan data debit harian. Validasi model

dilakukan unuk mendapatkan debit model hasil simulasi. Nilai debit simulasi dikatakan

telah mendekati nilai yang aktual diketahui dengan penghitungan koefisien

(48)

menggambarkan kebenaran lebih dari 50% terhadap data aktual. Proses kalibrasi

dengan data tahun 1996 didapatkan nilai koefisien determinasi sebesar 0.6 sehingga

model sudah layak digunakan. Validasi model dengan menggunakan data tahun 1997

mendapatkan hasil nilai koefisien determinasi sebesar 0.78. Pengujian model juga

dilakukan dengan penampakan grafik antara debit aktual dengan debit simulasi.

Grafik penampakan debit hasil validasi tahun 1997 dapat ditunjukkan dengan Gambar

(49)
(50)

Hasil validasi terhadap data tahun 1997 dapat di lihat bahwa debit hasil simulasi

menunjukkan nilai yang responsif seiring dengan peningkatan atau penurunan curah

hujan yang terjadi. Validasi juga dilakukan untuk data tahun 2001 dengan grafik hasil

validasi data tahun 2001 disajikan pada Gambar 11 dan hubungan antara data debit

aktual dan model digambar kan pada Gambar 12.

Gambar 12. Grafik antara debit model dan debit aktual validasi data tahun 2001

Prediksi Ketersediaan Air di Masa Mendatang

Untuk menduga debit tahun yang akan datang berdasarkan analisa curah

hujan tahunan selama 10 tahun. Hasil prediksi dengan peluang kejadian hujan 80%

0 5 10 15 20 25

0 5 10 15 20 25

Debit Aktual (mm/hari)

D

e

b

it

M

o

d

e

l (

m

m

/h

a

ri

)

R2=0.86

(51)

didapat angka hujan tahunan sebesar 2 517 mm/tahun. Tahun dengan hujan yang

mendekati peluang tersebut adalah data hujan tahun 1998, sehingga prediksi debit

ketersediaan air untuk tahun yang akan datang menggunakan data tersebut. Data

harian tahun 1998 yang berupa data curah hujan dan data evapotranspirasi

digunakan sebagai masukan model ketersediaan air sehingga didapat hasil volume

tahunan debit sebesar 1 020 mm dengan debit maksimum sebesar 22.01 m3/det, debit minimum sebesar 3.44 m3/det dan debit rata-rata sebesar 6.75 m3/det.

Model Kebutuhan Air

Kalibrasi Model

Kalibrasi dilakukan dengan data aktual tahun 1998-2000 (3 tahun), untuk mencari

nilai koefisien koefisien kebutuhan air penduduk (Cp) dan juga koefisien kebutuhan air

industri (CI). Data tiga tahun akan menghasilkan tiga persamaan untuk kebutuhan air

penduduk dan juga tiga persamaan untuk kebutuhan air industri. Kalibrasi dilakukan

dengan metode least square dengan bantuan software EUREKA The Solver Ver 1.0.

Hasil kalibrasi model kebutuhan air untuk kebutuhan air penduduk menghasilkan

nilai koefisien Cp untuk klas sosial tinggi bernilai 0.5, untuk koefisien Cp klas sosial

menengah bernilai 0.44 dan untuk koefisien Cp klas penduduk rendah bernilai 0.07.

Hasil kalibrasi model kebutuhan air untuk kebutuhan air industri menghasilkan nilai

koefisien CI untuk industri besar bernilai 13.75, koefisien CI untuk industri menengah

bernilai 15.17 dan untuk koefisien CI industri kecil bernilai 14.05.

Tabel 10. Hasil kalibrasi model kebutuhan air penduduk

Tahun Cptinggi Cptengah Cprendah

KA aktual (liter/hari)

KA model

(liter/hari) Eff 1998 0.5 0.44 0.07 7 315 074 7 817 931 0.994

1999 0.5 0.44 0.07 8 127 860 8 686 590

2000 0.5 0.44 0.07 9 483 118 10 934 014

(52)

Tahun CI besar

CI menengah

CI kecil

KA aktual

(liter/hari) KA model (liter/hari) Eff 1998 13.75 15.17 14.05 76 973 683 88 810 462 0.940 1999 13.75 15.17 14.05 97 502 923 99 848 740

2000 13.75 15.17 14.05 91 324 381 93 153 625

Setelah nilai koefisien didapat, selanjutnya dilakukan perubahan pada

persamaan model kebutuhan air mencakup kebutuhan air penduduk dan juga

kebutuhan air industri. Model kebutuhan air dengan mengasumsikan bahwa nilai

kebutuhan air dasar penduduk sebesar 50 liter/hari (White, et al 1972), maka untuk

menghitung kebutuhan air penduduk dengan memodifikasi persamaan (3) menjadi:

Ypenduduk tinggi = 0.5 KAPo Pt ………(10)

Dimana: Ypenduduk tinggi = Jumlah kebutuhan air penduduk klas sosial tinggi (liter/hari)

Pt = Jumlah penduduk klas sosial tinggi (jiwa)

KAPo = Kebutuhan air dasar untuk penduduk (l/hari/jiwa)

Ypenduduk menengah = 0.44 KAPo Pm ………(11)

Dimana: Ypenduduk menegah= Jumlah kebutuhan air penduduk klas sosial menengah (liter/hari)

Pm = Jumlah penduduk klas sosial menengah (jiwa)

KAPo = Kebutuhan air dasar untuk penduduk (l/hari/jiwa)

Ypenduduk rendah = 0.07 KAPo Pr ………(12)

Dimana: Ypenduduk rendah = Jumlah kebutuhan air penduduk klas sosial rendah (liter/hari)

Pr = Jumlah penduduk klas sosial rendah(jiwa)

KAPo = Kebutuhan air dasar untuk penduduk (l/hari)

Model kebutuhan air dengan mengasumsikan bahwa nilai kebutuhan air dasar

untuk industri sebesar 100 000 liter/hari (Purwanto, 1995), maka untuk menghitung

kebutuhan air industri dengan memodifikasi persamaan (4) menjadi:

Yindustri besar = 34.38 KAIo Ib ………(13)

Dimana: Yindustri besar = Jumlah kebutuhan air industri besar (liter/hari)

Ib = Jumlah industri besar

KAIo = Kebutuhan air dasar untuk industri (

Gambar

Gambar 1. Kurva hubungan antara infiltrasi dan limpasan (Schwab et al, 1966).
Gambar 2. Struktur Model Tangki
Gambar  3.  Diagram  aliran  limpasan  dengan  model  tangki.  (  Sugawara,  1961  dalam  Hiroki, et al, 1996)
Gambar 4. Susunan model tangki dalam suatu DAS
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa (1) ada hubungan positif dan signifikan antara kemampuan

Pada sidang pertama jika kedua belah pihak hadir maka pengadilan berusaha mendamaikan mereka melalui mediasi (Pasal 130 HIR / Pasal 154 RBg jo Pasal 82 UU PA, jo PERMA no. 1 tahun

kemungkinan dari hukum yang kita hasil- kan dari sebuah teks tunggal sudah dibatasi oleh suatu keadaan tertentu, sedangkan kita tidak mengetahuinya, 2) Ada kemungkinan

Pada usia ini, anak-anak berada pada tahap cooperative play atau bermain bersama yang ditandai dengan adanya kerjasama atau pembagian tugas dan pembagian peran

Berdasarkan hasil dari olahan data software Res2dinv, mineral bentonit digambarkan dengan warna Biru tua, terlihat bahwa bagian tersebut memiliki nilai resitivitas

Solusi pada pelayanan di RSUD Panembahan Senopati Bantul terutama pada pasien rawat jalan peserta BPJS yaitu memberikan ruangan yang lebih luas terutama pada poli

Iklim yang sesuai untuk pembentukan endapan laterit adalah iklim tropis dan sub tropis, di mana curah hujan dan sinar matahari memegang peranan  penting dalam

Pengguna minyak tanah saat ini masih sangat banyak karena persentase masyarakat ekonomi kelas menengah kebawah lebih banyak daripada masyarakat ekonomi kelas atas.