• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pemersatu Bangsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pemersatu Bangsa"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

1BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Untuk dunia yang begitu dinamis dan modern. Tak pernah terbayangkan negara - negara di setiap detail belahannya memiliki rakyat dengan kultur, bahasa, dan keyakinan yang ragam. Pun secara politik dan ekonomi dengan kepentingan yang berbeda - beda, kemajuan suatu negara memiliki pencapaian masing - masing. Entah sudah berapa kali dunia ini mengalami pergantian zaman. Dari pra aksara jadi aksara, Dari kerajaan menjadi republik dan republik menjadi global. Sekat setiap zaman memiliki ceritera tersendiri. Ada yang mengalami pencapaian sangat maju, ada pula sebaliknya. Padahal umur bumi ini sama bagi seluruh negara.

Bedanya terletak pada mekanisme. Duverger menyebutkan bahwa Negara maju tidak suatu negara terletak pada teknologi sebagai determinisme awal, perekonomian, kemudian social budaya yang mengalami kemajuan, selaras dengan pengurangan konfllik dalam msyarakat di suatu negara.1 Sudah dapat

dipastikan tak seluruhnya negara mencapai kemajuan yang sama. Para pakar dunia membagi pakar dunia ke dalam sebutan dunia pertama, dunia kedua, dan dunia ketiga. Di lantai pertama terdapat negara maju, kaya dan memiliki penyelesaian lagi yang sudah tuntas, sebut saja AS dan Cina. Lantai kedua dihuni oleh negara - negara sedang dengan pendapatan perkapita yang juga sedang. Adapun di lantai dunia yang terakhir, dunia ketiga. Diisi oleh negara - negara berkapita rata rata rendah, disparitas

1 The Study of Politic 1982, page 80

2 dalam jarah sejarah, ketika itu Indonesia dihadapkan pada zaman kolonial.

(2)

teknologi, dan rentan terhadap konflik. Pencapaian yang memang tidak pernah sama di setiap dunia, tiap negara, beserta kondisi rakyatnya. Inilah yang dimaksud Pramoedya Ananta Toer sebagai jarak sejarah (dalam “Semua Anak Bangsa, 2010)2

Tampaknya memang sedang dialami Indonesia sebagai dunia ketiga.

Ketika itu tahun 1950-an. Dunia berada dalam transisi zaman. Sebutan itu di masing - masing negara pun telah terbit. Itulah abad ke 20 mengalami sesuatu yang 2baru dalam sejarah.

Munculnya gerakan - gerakan keras ideologis yang mau menghapus bersih tatanan tradisional masyarakat, untuk diatas reruntuhannya membangun suatu tatanan baru total, murni atas dasar ideologi masing masing. Apakah ideologi - ideologi itu berada fasis, komunis, ataupun liberal, tidak mengubah prinsip yang mereka pakai : masyarakat harus ditata baru dari dasar – dasarnya karena kamilah yang memiliki ajaran benar tentang masyarakat. Tak ada kompromi antara kebenaran dan kepalsuan, tatanan baru itu seperlunya harus dipaksakan, atas nama mereka yang tidak mau. Namun fasis hancur, tinggalah komunis dan liberal yang diwakili oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat. Tepat seperti perkataan Daniel Estulin bahwa ketika ada dua raksasa dunia menghendaki A dan B, maka manusia yang lebih kecil turut terbelah ke dalam A dan B. Tak peduli seberapa rumit kondisi internal manusia (Baca: social dan ekonomi). Legitimasi dua raksasa itu terus bergerak massif 3

Sehingga apa dampaknya? Elite - elite dari berbagai pelosok dunia tanpa memperhitungkan korban rakyatnya untuk membangun negara demi terciptanya ‘masyarakat sempurna’. Merupakan salah satu pandangan mengerikan di abad 20.

23Daniel Estulin, “The Bilderberg Group”, bagian Dua : The Council on Foreign

Relations (CFR), 2009 : hlm. 99

4 lihat Syauhadi dalam “Konflik dan konsesus”, cetakan Uniiversitas Gadjah

(3)

Indonesia bagaimana? Tak luput. Negara Kesatuan Republik Indonesia saat itu adalah bangsa pluralistrik yang baru saja mengalami kemerdekaan. Awal kepemimpinan Presiden Soekarno menegakkan Indonesia pada National Building. Sebuah Negara kebangsaan dengan falsafah ideologi Pancasila ditengah bangsa yang bhinneka. Bagaimanapun caranya Indonesia harus menerapkan Demokrasi. Perpolitikan nasional ketika itu sungguh tak lepas dari pengaruh komunis ataupun liberal. Sehingga ketika Presiden Soekarno memproklamasikan demokrasi terpimpin dan mendukung Partai Komunis Indonesia masyarakat tidak mempunyai peluang mewujudkan aspirasinya, demokrasi terpimpin menjadi nama lain dari otoritarianisme. Pengaruh Ideologis antar dua negara raksasa itu rupanya masih berjalan. Kehadiran Jenderal Soeharto dengan Orde Baru, syarat dengan dominasi tentara / militer dalam kehidupan politik nasional, membawa dampak yang sangat luas bagi disintegrasi bangsa di masa depan.4

3Bayangkan saja Indonesia masa Orde baru. Rakyat terngiang - ngiang dengan kata sentralistik, lembaga - lembaga formalitas dan pers yang ‘Bungkam’. Karena hal tersebut membuat rakyat hanya menjadi penonton. Pemerintah berlomba - lomba membangun Negara untuk citra di mata dunia tanpa melihat penderitaan rakyat mereka. Secara singkat, terjadilah (1) disparitas pembangunan , yang saat itu lebih terpusat di kota kota besar, dan Jawanisasi, perasaan - perasaan masyarakat yang merasa dikucilkan, dan nantinya menjadi konflik berkepanjangan di masa depan. (2) Pemimpin kepala daerah bukanlah amanat rakyat, di periode ini jabatan - jabatan penting diisi oleh militer tanpa memperhatiikan sipil. (3) Rakyat tanpa aspirasi akibat seluruh kegiatan rakyat saat itu dimonitori oleh pemerintah, mereka semakin asing akan ‘kreativitas’ dan

(4)

pemanfaatan daerah terbengkalai, ditambah lagi DPRD dan pers sebagai penyambung lidah rakyat bungkam, maka kepenatan rakyat semakin bertambah.5

Akibat dari semua itu, masyarakat mengalami proses alienasi, yang kemudiah membawa implikasi yang sangat jauh, yaitu terbentuknya sentiment kedaerahan yang berlebihan, sebagaimana dialami sekarang dalam pemerintahan daerah di Indonesia.

Sekedar beristirahat sejenak dari ‘Kepenatan’ yang terjadi di Indonesia di abad 20an. Kini dunia tengah memasuki era globalisasi, zaman dimana komunisme telah runtuh, teknologi berjalan kian canggih, dan disini masyarakat berbasis pengetahuan (Knowledge Based Society). Suatu bentuk tatanan masyarakat ‘cerdas’ akan IPTEK yang menuntut pencapaian tinggi, bargaining position yang menguntungkan dari setiap negara dan budaya global. Manusia yang saling ketergantungan (interdependency) satu sama lain, dan kerap mengalami perubahan. Tak salah kemudian negara - negara dunia ketiga ‘mau tak mau harus mengikuti arus’ termasuk Indonesia. Masyarakat Indonesia yang saling ketergantungan (interpendency) satu sama lain dan kerap mengalami perubahan. Meski telah melewati masa – masa yang melelahkan dari transisi Orba menuju reformasi, Indonesia tetaplah negara multikulturalistik, dikenal sebagai negara bersemboyan ‘berbeda – beda tapi tetap satu (Bhinneka Tunggal Ika)’ berdasar Pancasila sebagai paham dengan wawasan nusantara sebagai ketahanan

4nasional tentu harus dipahami oleh setiap warga negara

Indonesia untuk tetap melestarikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(5)

Predikatnya sebagai negara pluralistik bermusabab oleh ragamnya suku, bahasa, agama, dan budaya. Gugusan kepulauan yang membentuk suatu konfigurasi territorial sebagai Nusantara. Indonesia yang berjajar dari Sabang hingga Merauke, dengan ragam budaya terdiri dari 2500 suku bangsa dan 500 bahasa daerah yang tersebar di Archipelago State menjadi saksi kuatnya kemajemukan bangsa.6 Bahkan jika hal ini ditarik hingga

garis historisnya, masyarakat Indonesia telah lama hidup berdampingan dengan kekhasan, keragaman, dan keberbedaan (diversity) masing – masing.

Ironis, Indonesia sempat tertatih – tatih di abad 20, akibat benturan ideologis, dan politis notabene memperlambat kemajuan bangsa. Seperti yang sudah – sudah pada penjelasan sebelumnya, hal ini menjadi keterpurukan yang tak pernah usai. Pun ketika Indonesia dihadapkan pada masa transisi reformasi, otonomi daerah (desentralisasi) yang diselenggarakan berdasar UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, masih mendapatkan pemahaman yang “keliru” bahwa otonomi adalah segala – galanya, yang menyeragamkan masyarakat lain yang berbeda, etnosentrisme berlebihan yang merasa kelompoknya adalah yang paling benar, serta kebebasan kekuasaan oleh raja – raja kecil (baca : kepala daerah). Hingga hari ini, konflik – konflik yang terjadi tak pernah lepas dari penderitaan rakyat di masa lalu.

(6)

bahwa peran dominan nilai – nilai perelasasian diri dan kesejahteraan materiil yang berkaitan dengannya (globalisasi) di satu pihak mengakibatkan berkurangnya makna bentuk – bentuk sosial – tradisional dengan simbol – simbol relijius. Di pihak lainnya, memajukan otonomi manusia (HAM, demokrasi, pluralism), namun dampaknya ada 5pada krisis identitas.

Kelompok relijius – tradisonal harus dan mau menjadi follower kelompok global. Akibatnya, kelas – kelas bawah mengikuti dan dengan menanggapi konflik kekerasan. Seakan menemui faktanya, hal ini terjadi selama hampir Indonesia berdiri diatas panji Reformasi, sebelum itu nampaknya bangsa tertumpah pada satu tujuan sama ditengah keperbedaan. Masih ingatkah saat para pemuda terdahulu notabene berasal dari ragam suku bersatu membentuk Sumpah Pemuda tertanggal 28 Oktober 1928. Mereka tidak lagi melihat bangsa Jawa, bangsa Sunda, ataupun bangsa Batak, yang ada hanya bangsa Indonesia. Iniah kebhinekaan sesungguhnya. Sangat disayangkan beberapa kepemimpinan hingga hari ini, iklim pluralistik masyarakat menunjukkan angka kerawanan yang cukup tinggi, terdapat 143 daerah menjadi daerah rawan konflik social.7

Konflik antar etnis yang terjadi di tanah Papua akibat diskriminasi, akibat tidak menyamakan hak dan kewajiban warga dengan saudara – saudara mereka yang ada di tanah Jawa, otomatis masalah keterbelakangan tak mendapat jawaban, dan pertumpahan darah berkepanjangan terjadi hingga hari ini.8

Perseteruan antar golongan agama, sebagai konflik keagamaan radikalistik juga kian mendapat tempat, seperti yang terjadi pada kasus GKI Yasmin. Konflik kepentingan yang berlangsung secara vertikal antara pihak berwenang ataupun berwajib melawan kegrariaan. Dalam keadaan seperti ini, ada segmen mayoritas

(7)

meminggirkan minoritas, umat tidak seagama, tidak sesuku dianggap orang asing yang harus dihapuskan. Memang begini adanya, konflik ideologi baik secara terbuka ataupun tertutup ingin mencederai makna keluhuran Ideologi Pancasila, dan kerekatan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dua pilar penting negara.

Jika hal tersebut benar adanya terjadi, sebagai akibat masa lalu dan dampak tak langsung globalisasi, maka pluralistik bangsa tinggalah kenangan. Keberbedaan semacam ini menuntut perpisahan, harusnya keragaman (pluralis) mendapat penghormatan. Memang Indonesia rupanya masih berada diambang usia muda demokratisasi, tak menutup kemungkinan besar didera oleh konflik berkepanjangan, namun pilar kebangsaan harus tetap berdiri. Benang merahnya, sektarianisme diatas keperbedaan harus teralienasi dari seluruh pihak.

Yang harus dilakukan oleh banyak pihak adalah kesadaran baru yang progresif, bahwa bangsa ini dibangun diatas pilar Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa ini wajibnya dapat mengingat setiap saat, dimana saja, secara benar bahwa diversity adalah kekayaan, pluralistik menjadi simbol kemajemukan bangsa, berbeda – beda namun tetap satu jua menjadi semangat untuk menjunjung tinggi keragaman demi kesatuan bangsa.

1.2 Uraian Singkat Gagasan

(8)

mulai ‘lupa’ akan adanya keberbedaan (diversity) diantara orang – orang Indonesia. Realitas seperti ini akan menjadi bumerang bagi kehancuran negeri sendiri. Maka Indonesia membutuhkan pengingat, yang sewaktu – waktu dapat menjadi kepercayaan (believe) saat konflik mendera. Pengingat yang nantinya juga dapat menjadi katalisator keharmonisan diantara keberbedaan yang harusnya saling menghormati (respect) keragaman (heterogen). Seluruh lapisan masyarakat akan mengerti, bahkan menghormati antar sesama manusia yang berbeda suku, ras, agama, golongan, meski berada di tempat dan keadaan yang berbeda. Ini hanyalah ragam. Revitalisasi Etos Bhinneka Tunggal Ika sebagai Perekat Integrasi Bangsa, adalah solusi dari akar permasalahan bangsa. Inilah kreativitas sesungguhnya yang akan muncul dalam suatu bangsa, dan menjadi tepat pada waktunya.

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana keadaan bangsa ditengah problematika berkaitan dengan eksistensi semboyan Bhinneka Tunggal Ika?

2. Bagaimana upaya untuk mengejawantahkan etos Bhinneka Tunggal Ika dalam praksis kehidupan berbangsa di Indonesia?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

(9)

2. Karya ilmiah ini disusun sbeaik mungkin untuk memenuhi tantangan kemajuan jaman yang berdampak pada rentannya sakralisasi eksistensi pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

3. Karya ilmiah dibuat bertujuan agar Bhinneka Tunggal Ika senantiasa menjadi etos bagi segenap elemen bangsa bahwa keberbedaan (diversity) tetaplah menjadi satu kesatuan (integrasi).

1.4.2 Manfaat Penelitian

1. Karya ilmiah berjudul “Revitalisasi Etos Bhinneka Tunggal Ika sebagai Perekat Integrasi Bangsa” diharapkan dapat memberikan sumbangan oemikiran dan perenungan dalam setiap langkah bangsa Indonesia dalam mengatasi berbagai konflik dewasa ini.

2. Karya ilmiah ini diharapkan mampu memberikan penjelasan secara konseptual dan implementatif tentang pentingnya Revitalisasi Etos Bhinneka Tunggal Ika sebagai Perekat Integrasi Bangsa.

3. Karya ilmiah berjudul “Revitalisasi Etos Bhinneka Tunggal Ika sebagai Perekat Integrasi Bangsa” dapat dijadikan sebgaai bahan masukkan bagi penelitian – penelitian selanjutnya.

1.5 Kemutakhiran Substansi

(10)

disegani oleh bangsa lain. Kita bertanya kepada negara – negara lain bagaimana pengelolaan negaranya sebagai akibat rasa tidak percaya diri bangsa akan kemampuan mengelola negaranya sendiri.

Tidakkah kita sadar bahwa keterpurukan bangsa dewasa ini merupakan akibat dari berpalingnya kita dari semangat sesanti Bhinneka Tunggal Ika? Bagaimana jika sesanti leluhur bangsa ini diberi cukup semangat baru sesuai dengan perkembangan jaman? Kiranya pasti cukup mutalhir mengatasiegoisme masyarakat Indonesia kini. Sebabnya, mereka membutuhkan ‘alarm’ yang tetap mampu mengingatkan bangsa ini lahir diatas kebhinekaan. Revitalisasi Etos Bhinneka Tunggal Ika sebagai Perekat Integrasi Bangsa bergerak secara horisontal selaras dengan pluralitas. Bangsa Indonesia, sebagai sesuatu yang “satu” kendati “berbeda – beda” .

6BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Bangsa Indonesia

69 Wayan Suwira Satria, “Bhinneka Tunggal Ika dan Multikulturalisme di Era

Globalisasi

(11)

Thomas Friedman dalam tulisannya “The Lexus and The Olie Tree”, mengatakan bahwa globalisasi akan sangat bergantung dari bagaimana cara pandang kita. Jika kita merasa dipinggirkan oleh globalisasi, maka hancurlah suatu bangsa.9

Pernyataan ini memang jika kita ingin memutar arus pandang kearah modern (global). Budaya regional dan lokal yang menjadi bagian dari kemajemukan bangsa pun tak mau ketinggalan. Apa akibat? Sekali lagi bangsa didera ancaman disintegrasi. Alih – alih ingin mempertahankan rasa kebangsaan (nationality), namun terjadi sukuisme yang kebablasan (lagi).

Hakiki “bangsa” rupanya sedang terkikis. Mengingat rasa kebhinekaan dan we feeling menjadi kosakata asing bagi bangsa Indonesia kini. Tentu tak ada salah jika “bangsa” memiliki hakikat yang relatif stabil agar mampu memberikan etos menuju integrasi bangsa. Ilmu politik (politic science) telah menimbun analisa yang panjang lebar mengenai apakah bangsa itu. Ahli – ahli ilmu politik melihat konsep bangsa (nation) merupakan konsep yang lahir sesudah Revolusi Perancis. Kohn membedakan antara dua konsep nasionalisme. Pertama, nasionalisme sebagai konsep politik atau suatu yang secara sukarela (volunteer) seseorang menjadi anggotanya. Kedua, konsep nasionalisme sebagai organik atau irasional.10 Dapat diterjemahkan bahwa

setiap individu mempunyai kesejarahan hidup, saat dia menjadi seseorang atau sebagai bagian dari kesatuan wilayahnya serta mempunyai kesatuan wilayahnya serta memiliki kemantapan hidup diperoleh dari komunitasnya, yakni sejarah, agama, bahasa, dan adat istiadat.

(12)

imagined communities menemukan kembali sejarahnya yang mengikat berbagai suku bangsa (unity) dalam satu kesatuan. Inilah yang akan mewujudkan integrasi bangsa ditengah kemajemukan (plural).

Teori tersebut seakan tampak realitasnya saat diskursus mengenai bangsa lebih diitik beratkan pada hakekat bangsa kini. Suatu tulisan menarik dari Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar berjudul “Integrasi Nasional Indonesia” diterbitkan oleh Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (BAKOM – PKB Pusat) pada tahun 1994. Dalam tulisannya, secara gamblang menguraikan mengenai apakah sebenarnya nasionalisme Indonesia dan bangsa Indonesia, bahwa seorang merupakan bangsa 7Indonesia

jika dirinya menganggap bagian dari nation Indonesia yaitu satu kesatuan solidaritas seseorang terhadap tujuan bersama masyarakat Indonesia. Kesatuan diatas kemajemukan bangsa seperti ini berasal dari nation – nation yang sudah ada di Kepulauan Nusantara seperti ; bangsa Jawa, bangsa Minang, bangsa Minahasa, bangsa – bangsa Papua. Demikian pula suku – suku keturunan Cina, arab, dan bangsa lainnya yang telah menganggap kepulauan Nusantara ini sebagai tanah airnya. Tumbuhnya nation Indonesia kita lihat bermdual dari kebangkitan nasional dnegan lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908, dan terbentuk sebuah bangsa (nation) Indonsia dalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Historis ini adalah kebangsaan yang tak boleh kehilanagn kadarnya. Sebabnya, bangsa ini telah lama memiliki sahnya dalam Bhinneka Tunggal Ika (berbeda – beda tapi tetap satu) dalam Proklamasi kemerdekaan RI dalam integrasi bangsa.

2.2 Bhinneka Tunggal Ika

711lihat Abdurachman. Pancasila : Beberapa Catatan Mengenai Pancasila dan

(13)

Bhinneka Tunggal ika menjadi sesanti yang dimiliki Indonesia untuk menjembatani kemajemukan bangsa. Prof. Dr. Udin S. Winataputra (2009) menyebutkan, Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto negara, yang diangkat dari penggalan kakawin Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman keprabonan Majapahit (abad – 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu. Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosio – kultural dibangun diatas keanekaragaman. Hal ini serupa disampaikan oleh Abdurachman (1979 : 62) dalam bukunya “Pancasila”, kemungkinan timbul pertanyaan, mengapa Ramayana dapat diterima oleh rakyat Indonesia kala itu, khususnya penduduk Jawa?11 Padahal terdapat dua aliran agama

saat itu. Maka timbulah filsafat : momot, momong, memangkat, nglurung tanpa wadya, menang tanpa ngasoroke, yang artinya bersedia untuk saling menghargai, mengisi, dan menghormati kepercayaan lain. Tidak mungin meleburkan kedua – duanya, sehingga timbulah semboyan “berbeda – beda tetapi sesungguhnya satu:, dan pada abad ke XIV Empu Tantular dalam kitabnya Sutasoma menulis Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangrwa.

(14)

kemasyarakatan meliputi ; tatanan ekonomi, sosial, budaya, politik, dan penegakkan hukum.

Betapa hebatnya filsafat dan ideologi para pendiri NKRI, sepakat mempergunakan kalimat sesanti “Bhinneka Tunggal Ika” dari Empu Tantular untuk menangkal aspek negatif dari multikultur ini. Namun sangat disayangkan, akhir – akhir ini pemahaman dan penghayatan dari sesanti itu oleh sebagian besar masyarakat kita mulai menyimpang dari apa yang dimaksudkan para pendiri negara ini. Dari sisi keragaman suku maupun dari sesi keragaman agama. Dimana letak salahnya? Apakah pada pemahamannya? Apakah kita sudah kurang “pas” lagi untuk memelihara persatuan ini?

Swami Vivekanda dalam pidato beliau tanggal 26 September 1983 di depan Sidang Parlemen Agama – Agama Dunia di Chicago, Amerika Serikat menguatkan kembali tesis Empu Tantular tentang Bhinneka Tunggal Ika, dimana Vivekanda mengatakan bahwa : “agama hindu tidak dapat hidup tanpa agama budha, demikian pula sebaliknya agama budha tidak bisa hidup tanpa agama hindu. Kemudian menyadari apa yang diperlihatkan oleh perpisahan ini kepada kita adalah bahwa

8orang – orang budha tak tahan tanpa otak dan filsafat orang

hindu, sebaliknya orang – orang hindu tidak bisa hidup tanpa hati nurani orang – orang budha. Perpisahan antara orang – orang hindu dengan orang – orang budha adalah penyebab kehancuran India”.12

Jadi, penngingkaran terdhadap “keragaman” membawa konsekuensi melemahnya perekat kesatuan kita sebagai bangsa dan persatuan kita sebagai penghuni “bumi yang satu ini”, yang

812Swami Vivekanda : 1993, terj. Hlm 51

13Wayan Suwira, “Bhinneka Tunggal Ika dan Multikultural di Era Globalisasi” :

(15)

bermuara pada disintegrasi, kehancuran bangsa. Bhinneka Tunggal Ika kayaknya “hati”, didalamnya ada etos yang tak bisa ditinggalkan begitu saja oleh Indonesia demi integrasi bangsa.13

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian merupakan proses yang dilakukan secara bertahap, yakni perencanaan dan perancangan penelitian, menentukan fokus penelitian, waktu penelitian, pengumpulan data, analisis dan penyajian hasil penelitian. Menurut Indriantoro dan Supomo (2002 : 25), berdasarkan karakteristik masalah yang diteliti, penelitian dapat diklasifikasikan kedalam enam kategori, yaitu (1) penelitian historis, (2) penelitian deskriptif, (3) studi kasus atau lapangan, (4) penelitian korelasional, (5) penelitian kausal komparatif, dan (6) penelitian eksperimen.

(16)

fenomena yang dimiliki dalam sasaran penelitian yang nantinya diharapkan dapat mempermudah pembaca untuk memahami hasil dari penelitian ini.

Kemudian, didukung dengan studi literatur yang berbasiskan pendalaman kajian pustaka, baik berupa data maupun angka, metodologi penelitian ini diharapkan dapat mengarahkan segala prosedurnya pada pendekatan latar dari objek yang diteliti secara utuh.

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian menurut Triyuwono (2006 : 280), pada dasarnya adalah cara seorang peneliti (dari pengumpulan data sampai pada analisis data) dalam upaya memberikan jawaban atas permasalahan teoritis atau praksis yang sedang dihadapinya. Secara umum terdapat dua jenis metode peneltian yang digunakan dalam sebuah penelitian, yakni metode penelitian kualitatif dan metode penelitian kuantitatif. Dalam Indriantoro dan Supomo (2002 : 12) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan metode penelitian kualitatif ialah metode yang sangat identik dengan :

(17)

“...pendekatan konstruktivis, naturalis, atau interpretatif (constructivist, naturalistic or intrepretative approach), atau perspektif postmodern. Paradigma kuantitatif merupakan penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalah – masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realistis atau natural setting yang holistis, kompleks, dan rinci...”

Dalam mengajukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif sebagai basis data penelitiannya. Hal ini dikarenakan, karakteristik penulisan kualitatif yang dapat membantu penulis dalam memahami realitas dari keberadaan subjek yang diteliti secara lebih utuh, rinci dan kompleks.

3.3 Teknik Analisis Data

Penelitian karya ilmiah ini menggunakan analisis logika untuk membentuk struktur bahasa dan kesimpulan yang tepat. Logika sebagai teori penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang dinyatakan dalam bentuk kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk himpunan sehingga setiap konsep mempunyai himpunan, mempunyai keluasan. Dengan dasar himpunan karena semua unsur penalaran dalam logika pembuktiannya menggunakan diagram himpunan, dan ini merupakan pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan diagram himpunan sah dan tetap karena sah serta tepat pula penalaran tersebut.

(18)

akal jika telah runtut dan sesuai dengan pertimbangan akal yang dapat dibuktikan tidak ada kesimpulan lain karena proses penyimpulannya adalah tepat dan sah. Logika deduktif karena berbicara tentang hubungan bentuk – bentuk pernyataan saja yang utama terlepas isi apa yang diuraikan karena logika deduktif disebut pula logika formal.

(19)

9BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Masalah yang Tak Kunjung Selesai (Problematika “Abadi”)

Perjalanan panjang bangsa melewati cakra manggilingnya “Ibn Khaldun” dari pra hingga aksara, kerajaan ke republik, sampai republic menuju global. Apapun yang terjadi di setiap sekat zaman, memiliki ceritera tersendiri. Tentu benar para “bapak” masa lalu bangsa yang menyematkan politik “persatuan” di jaman raja, sebut saja Mahapatih Gajah Mada. Memasuki masa ketika orang – orang kulit putih ingin mempertontonkan prinsip “gold, glory, gospel”, atau teori – teori tentang imperialisme, antara penghisap dan yang dihisap, Indonesia secara kontinyu dipimpin oleh “bapak imperialism dan kolonialisme”.

Agak modern. Saat gerbang abad – 21 mulai terbuka untuk dunia, bangsa ini juga tak boleh tertinggal ataupun ‘tersandung’

(20)

ke dalam babak yang masih ‘lalu’. Bagaimanapun jalan dan caranya, the founding fathers Indonesia seperti halnya the founding fathers Amerika, tak ingin negaranya ‘terjebak’ ke dalam ‘jarak sejarah’. Lantas, beragam jalan, terutama jalan tengah (The Middle Way) adalah pilihan terbaik para elit kita untuk menata, mengatur, dengan supremasi hukum berdasar pada sejarah konstitusionalisme, dan pilar – pilar demokrasi yang ‘coba’ ditegakkan di tengah bangsa heterogen ini. Anthony Giddens dalam bukunya “The Middle Way”, menjabarkan bahwa ditengah antagonisme ideologi, negara – negara dunia ketiga haruslah memilih jalan tengah yang sesuai dengan kondisi masing – masing negara sebagai alternative. Tidak kekiri (komunis), tidak juga terlalu kekanan (liberal).14 Nampak sekali

pendapat ini difungsikan secara gamblang oleh para pimpinan bangsa.

Layaknya warna putih yang memiliki sisi gelap, yakni hitam, dan pucatnya warna hitam yang berarti putih. Akhirnya, adalah warna kabur. Saat Indonesia dihadap – 10hadapkan pada

Blok Barat dan Blok Timur di dekadee 1950-an, dipilihlah Non – Blok.15 Begitu juga soal – soal mengenai ideologi. Dunia

menawarkan dua pilihan, antara komunis atau liberal, bangsa ini memilih Pancasila sebagai ideologi dasar negara. Begitulah seterusnya, memasuki ranah kebijakan publik (public polecy) hingga ejawantahnya kepada rakyat, ‘ending’ yang diharapkan selalu terlihat ‘kabur’. Tentu saja ‘kekaburan’ ini bukan tanpa dampak. Ketidaktegasan melahirkan beragam konflik. Amati saja akhir – akhir ini yang tak lepas dari sejarahnya, heterogenitas cenderung berkawan dengan konflik, dan belum menemukan penyelesaian. Ikat dan ikrar sesanti “Bhinneka Tunggal Ika”

1015Gerakan Non Blok yang dulu sama sekali tidak ingin memihak dua raksasa

(21)

seakan digoyahkan agar hancur tak berbekas. Kesenjangan multidimensional yang berdampak pada krisis identitas menjadi akibat. Jika bangsa ini terus berharap, maka problematika tak boleh jadi abadi dibanding Bhinneka Tunggal Ika

4.1.1 Kesenjangan Multidimensional

Kesenjangan multidimensional ditengarahi sebagai kausalitas controversial berkurangnya etos untuk bersatu ditengah keberagaman, bukan keseragaman. Kesenjangan multidimensional mencakup ; kesenjangan kemasyarakatan, kesenjangan sosio – grafis, kesenjangan material, kesenjangan sosio – kultural, dan kesenjangan sosio – struktural. Harapan bangsa, kesenjangan mencakup beberapa indikator tersebut dapat menjadi “obat” atau sekedar “mnemonic” agar mau belajar dari realitas yang terjadi. Bahwa inilah tantangan sesanti Bhinneka Tunggal Ika.

1. Kesenjangan Kemasyarakatan

Kesenjangan pertama yang mencolok sebagai tantangan sekaligus problematika bagi masyarakat Indonesia adalah kesenjangan dalam apa yang dalam antropologi disebut sebagai aspek kemasyarakatan. Dalam realisasinya, aspek kemasyarakatan itu mencakup penyelenggaraan organisasi sosial, sistem politik, dan sistem hukum. Dalam 11masyarakat –

masyarakat yang modern, dalam arti sudah memasuki atau berada dalam tahap negara kebangsaan, realisasi aspek kemasyarakatan itu terutama terselenggara melalui proses pembuatan keptusan politik yang dilembagakan. Proses pembuatan keputusan politik itulah yang sejak zaman Penjajahan Belanda, zaman Orde Lama, Orde Baru, maupun zaman

1116Lihat Budi Kusumohamidjojo dalam “Kebhinekaan Masyarakat Indonesia”,

(22)

reformasi merupakan masalah yang tak kunjung tuntas. Padahal suatu masyarakat modern dicirikan terutama oleh faktor, seberapa jauh proses pembuatan keputusan politik itu melibatkan partisipasi rakyat. Dalam sejarah Indonesia sebelum maupun sesudah merdeka, proses pembuatan keputusan politik ternyata tidak pernah melibatkan partisipasi rakyat : “..baik Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru tetap menganut struktur sebelum perang. Setidak – tidaknya di segi ini, Indoneisa yang merdeka tidak saja serupa melainkan sama dengan di masa sebelum perang”.16

Dalam sejarah Indonesia merdeka partisipasi rakyat itu memang dilembagakan melalui konstitusi, tetapi tidak dilaksanakan secara nyata. Hasilnya adalah keterpisahan yang nyata juga antara mereka yang memerintah dan mereka yang diperintah. Namun, kenyataan itu juga sudah diawali di zaman penjajahan Belanda , yang menyandarkan system politik hukum yang ironisnya didasarkan pada pengakuan mereka akan hukum adat. Masalahnya adalah : “The legal system they created, with is emphasis on separateness, inequality and strong central control, passed more or less unchanged into the hands of the newly independent government.” Hukum memang adalah lapisan yang kaya untuk digali, karena hukum mencatat (secara harfiah) struktur negara dan memberi gambaran (tanpa tedeng aling – aling) pembagian keuntungan politik, social, dan ekonomi”. Dan pembagian keuntungan itu dalam konteks masyarakat Indonesia adalah berat keatas, sebagaimana oleh Vatikiotis khusus dalam Orde Baru : “Wisdom is the monopoly of the rulers, ignorance ia a burden the people must bear relieved only by the generosity and charity of the wise and powerful. Corruption is regarded as a preogrative of the elite”.

(23)

12Kesenjangan besar yang kedua adalah kesenjangan sosio – geografis antara Pulau Jawa dan pulau – pulau Indonesia lainnya, kecuali mungkin sekali Pulau Bali. Bahkan Pulau Madura yang oleh Belanda tidak dimasukkan kedalam Buitengewesten,17memperlihatkan adanya kesenjangan sosio –

geografis dengan Jawa Timur. Kesenjangan sosio – geografis antara Pulau Jawa dan pulau – pulau Indonesia lainnya dapat dipahami sebagai kesenjangan dalam hal kepadatan penduduk, kemajuan pendidikan dan tingkat kemakmuran. Serta disparitas teknologi antara kota dengan desa, masih belum dapat teratasi secara total sepanjang tahun 2012.

3. Kesenjangan Material

Kesenjangan yang ketiga berkaitan denagn aspek material, meliputi upaya manusia dan karyanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang multikompleks. Basic need manusia yang utama dalah memng pangan (dan pengobatan) untuk dapat survive secara fisik. Tetapi sejarah kebudayaan manusia memperlihatkan bahwa basic need manusia terus berkembang menjadi basic need yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia lainnya. Mula – mula dapat disebut kebutuhan untuk berpakaian dan memiliki hunian (rumah dalam arti sempit, dan hunian dalam arti luas). Selanjutnya adalah kebutuhan untuk menjalin komunikasi, dengan manca masyarakat. Penyelenggaraan dari basic drives itu pada akhirnya dapat dibaca sebagai kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia.

Penyelenggaraan ekonomi masyarakat Indonesia itulah yang mengalami perubahan structural selama Orde Baru. Orde baru tampil dengan kebijakan baru : “ekonomi dulu, politik menyusul kemudian”. Dalam tataran realitas, penyelenggaraan

(24)

ekonomi sebagai primat dalam kehidupan bernegara itu telah mengubah struktur masyarakat Indonesia menjadi suatu masyarakat yang lebih urban. Sensus penduduk tahun 2000, memperlihatkan bahwa hampir sepertiga dari penduduk Indonesia hidup di kota.18 Masalahnya adalah, industrialisasi itu

terutama terjadi di Pulau Jawa dengan 13alasan yang dapat

dikembalikan kepadaan tersediannya infrastruktur yang lebih maju bila dibandingkan dengan daerah – daerah lainnya. Namun, industrialisasi yang terkonsentrasi di Pulau Jawa itu membawa konsekuensi besar dan jauh dari membesarkan hati. Terjadi kesenjangan antara Jawa dengan luar jawa. Mentri Otda menyampaikan “Ayolah, masa orang – orang pintar harus terpusat di Jakarta, bagaimana dengan daerah – daerah lain.19

Tentu hal ini jika tak segera diatasi, keretakan bhinneka tunggal ika akan lebih mengancam lagi.

4. Kesenjangan sosio – struktural

Kesenjangan yang keempat berkaitam langsung dengan manusia sendiri sebagai faktor utama dalam kebudayaan. Sturktur sosio – cultural seperti sekarang yang sedang diamati pada masyarakat Indonesia adalah suatu struktur yang boleh dianggap sebagai warisan dari masa penjajahan Belanda. Struktur itu mencerminkan suatu dikotomi mayoritas – minoritas sosio – cultural yang untuk sebagian besar berlanjut ke zaman kemerdekaan. sebenarnya, dikotomi itu merupakan suatu gejala yang dapat diamati pada hampir semua masyarakat di dunia. Karena itu, upaya untuk membahas dikotomi mayoritas – minoritas sosio – cultural sebaiknya tidak dipandang sebagai upaya untuk mempertajam persoalan yang ditimbulkannya. Upaya itu malahan harus lebih banyak dipandang sebagai manifestasi dari maksud untuk memahami substansi

(25)

persoalannya dan sebisa mungkin meminimalkan atau kalu bisa menetralisasikan dimensi konfliknya. Dikotomi itu mungkin tidak dikenal hanya pada sejumlah submasyarakat yang terbatas seperti pada orang Eskimo yang hidup di pantai – pantai utara Kanada atau orang – orang Bedouin yang hidup di padang – padang pasir sumenanjung Arabia. Karena itu, dikotomi mayoritas – minoritas dalam konteks sosio – cultural untuk banyak masyarakat mancanegara bisa dipandang sebagai persoalan yang bisa diselesaikan. Namun persoalannya adalah, di Indonesia dikotomi mayoritas – minoritas sosio – cultural itu tidak bisa diabaikan bergitu saja karena dua alasan utama. Pertama, dikotomi mayoritas – minoritas itu dapat diamati pada tiga sector kemasyarakatan utama : sector etnik, sector religi dan sector kekuatan ekonomi. Kedua, dan kurang beruntungnya adalah, bahwa dikotomi mayoritas – minoritas dalam masyarakat Indonesia itu berlangsung sejajar dan tidak “cross – sectional”, sangat sulit sekali untuk mampu terselesaikan.

5. Kesenjangan sosio – struktural

(26)

berbagai bidang (dokter, pengacara, guru, insinyur, pedagang menengah, dan lain sebagainya), sedangkan lapisan akar rumput itu pada umumnya meliputi petani penduduk pedesaan maupun buruh industry penduduk kota.

(27)

stakeholders yang dikategorikan sebagai kalangan yang bergerak pada sector sukarela, antara lain meliputi : lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan, kelompok kepentingan, kelompok professional, dan koperasi. Mereka bisa menjadi agen perubahan (agent of change) sekaligus melakukan fungsi kontrol terhadap kinerja pemerintah, komunitas politik, dan pelaku bisnis.

(28)

Hanya sayangnya, daerah yang telah mampu menumbuhkan prinsip check and balances semacam itu masih belum banyak. Sebagian besar daerah dalam era otonomi daerah ini masih belum mampu menciptakan situasi ayng kondusif bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat. Daerah – daerah semacam ini ditandai oleh hubungan yang kurang harmonis antara pihak eksekutif dengan legislative, lembaga swadaya masyarakat, pers, dan pelaku bisnis. Masing – masing stakeholders berjalan menurut konstruksi pikir yang dikembangkannya sendiri. hubungan antara kekuatan – kekuatan politik juga kerap diwarnai konflik, tanpa ada alternative solusi yang efektif. Pemilihan bupati dan walikota di daerah – daerah semacam itu seringkali juga diwarnai money politic, karena itu yang terpilih sebagai kepala daerah bukan orang yang memiliki kompetensi, visi, dan komitmen tetapi adalah mereka yang memiliki uang. Mereka yang dalam era reformasi ini seharusnya memberantas kolusi, korupsi, dan nepotisme tetapi dalam kenyataannya malah terlibat.

(29)

juga tidak berkepentingan mengayomi atau menyantuni masyarakat karena merasa bisa berjalan sendiri tanpa harus menyentuh kepentingan masyarakat. Sementara itu, kalangan pelaku bisnis tidak merasa harus mengikuti aturan main yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan memberi santunan kepada masyarakat karena bagi mereka, 14pemerintah adalah institusi

penuh korupsi sehingga harus dipecundangi dengan berbagai cara. Bagi kalangan pelaku bisnis, masyarakat adalah lahan yang bisa dieksploitasi dengan cara bersekongkol dengan pemerintah. Situasinya menjadi semakin parah ketika kalangan sektor sukarela tidak mampu melakukan fungsi kontrol, tetapi justru terjebak pada konflik yang tidak perlu.

Di berbagai daerah yang mengalami distorsi semacam itu, masyarakat juga terlibat melakukan berbagai perlawanan baik kepada pemerintah maupun pelaku bisnis. Perlawanan itu bagian dari respons masyarakat terhadap penindasan yang dilakukan oleh mereka. Karena itu, daerah – daerah tersebut bentuk perlawanan itu tidak kalah seru dengan bentuk penindasan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pelaku bisnis. Bentuk perlawanan mereka dijiwai oleh spirit antagonistis, sehingga tidak mengherankan apabila yang nampak kemudian adalah sebuah gerakan yang tidak menjunjung tinggi peradaban, dan menempatkan pemerintah serta pelaku bisnis pada titik yang tidak layak untuk dihormati. Gerakan itu nampak kasar, kadangkala merusak, disamping tidak menentu arah, dan tidak jelas apa yang menjadi targetnya. Apabila gerakan masyarakat masih seperti ini, maka sangat sulit diciptakan dialog dan itu berarti bahwa proses demokratisasi di daerah – daerah itu menjadi stagnan, terutama karena elemen – elemen demokrasi seperti prinsip kompetisi yang sehat, transparansi, dan

1420 Woshinskky, Oliver H., Culture and Politics, Prentice Hall, Englewood Cliffs,

(30)

partisipasi mereka menjadi tidak berkembang sama sekali. Sebagai imbasnya, bhinneka tunggal ika demi tercapainya persatuan akan sangat sulit diwujudkan.

Lalu bagaimana supaya hal ini tidak terjadi? Tidak mudah mengatakannya. Satu hal yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana mengembangkan kultur polyarchal.20 di daerah, yaitu

sebuah kultur yang disana memungkinkan segenap stakeholders melembagakan trust (saling percaya), memiliki toleransi terhadap perbedaan, serta memberi kesempatan masing – masing kalangan untuk mengekspresikan pandangannya untuk kepentingan bersama. Dalam konteks ini perbedaan pandangan / konflik seharusnya tidak dipahami sebagai upaya saling mengerdilkan, tetapi perlu diletakkan sebagai upaya penting dari meluruskan kembali konsesus – konsesus yang selama ini berkembang di daerah. Kerena itu, perbedaan pandangan / konflik itu perlu dikelola dengan kearifan.

4.1.2 Diskursus Krisis Identitas

(31)

harus menemui tanda tanya. Memang hal ini tak pelak terbantahkan secara radikalis.

Indonesia. Sekali lagi sebuah negara, negara dengan keberagaman (plural) yang tak dapat menuntut keseragaman. Berbeda adalah hal biasa dalam wawasan negara – bangsa ini. Ironisnya, mozaik kekacauan mulai ‘bertingkah’ dalam kehidupan bumi pertiwi, bahkan semakin menjadi. Tak terbantahkan secara radikalis memang jika negeri ini sedang ‘kacau’, lagi – lagi karena soal sektarianisme, dan sukuisme. Nuansa disintegrasi dan tribal mulai dirasakan bangsa ini. Tentu masih lekat di pikiran masyarakat soal – soal mengenai kekerasan yang setiap hari menjadi tayangan wajib di berbagai media, cetak ataupun siaran televisi. Berbagai elemen masyarakat dari kaum marhen, intelektual, hingga elit secara vertikal memiliki problematika yang tak jauh berbeda untuk membuat krisis identitas semakin menjadi, rasa kebhinekaan pun kian merosot.

Ibaratkan sebuah gedung bertingkat yang masing – masing tingkat memiliki penghuni. Di lantai atas, ada kaum elit yang setiap harinya mampu ‘menyimpan’ milyaran atau triliunan rupiah, barangkali untuk proyek – proyek seperti Banggar, sekedar menutupi ‘Century’, ataupun menebar citra saat kelalaian terbongkar di depan publik. Di lantai dua terdapat para pebisnis berjumlah 40 juta lebih penghuni yang 15dapat

memfasilitasi anak – anaknya sekedar bersekolah di tingkat tinggi, dan terkadang lebih memilih tak peduli pada konflik – konflik yang sedang berlaku. Adapun di lantai terbawah, dihuni oleh ‘masyarakat’. Mereka bukan orang – orang ‘gagal’ dan ‘putus asa’, melainkan para penanggung “ekonomi rakyat” : para pengolah tanah, penangkap ikan, pekerja di perkebunan dan di

1521 F.M. Suseno,”Berebut Jiwa Bangsa”, 2006 : hlm. 145 22 Tv.one, 10 Juli 2012

(32)

pabrik – pabrik, para pegawai bawah dan pengusaha di kaki lima.21

Disinilah para penghuni lantai tiga dapat menyuarakan reaksi dengan seruan – seruan ideologis praktis yang radikal terhadap elit, ketika negara sedang tak berpihak pada rakyat mudah saja bagi mereka untuk memilih kekerasan sebagai jalan keluar. Bahkan saat gaung globalisasi semakin ‘menggerus’ kedamaian para kaum tradionalis – relijius.

Dalam artian bahwa tak mungkin sebagian besar rakyat di wilayah – wilayah pedalaman indonesia akan mampu menukarkan cara – cara tradisional mereka di berbagai bidang : ekonomi, sosial – budaya, dan kultur untuk membayar tuntutan dunia global, maka disinilah akan terjadi berbagai konflik. Masalah – masalah kontemporer (akhir – akhir ini) yang belum mendapat penyelesaian : konflik antar suku Papua22, konflik

agraria (mesuji), konflik fundamentalisme keagamaan, bahkan degradasi moral generasi, yakni tawuran antar pelajar yang siang hari tadi diberitakan ada dan marak terjadi23. Satu hal yang

akan menjadi pertanyaan besar adalah dimana identitas bangsa ini, sudah lenyapkah di tengah dentuman keras globalisasi? Apakah ini yang dinamakan krisis identitas?

Pertanyaan keras diatas seakan semakin memperkuat bahwa problematika bangsa semakin radix (mengakar), dan terjadi bukan karena sebab, ada api ada asap. Jika saat ini konflik menjadi causalitas internal, maka ada ‘globalisasi’ sebagai pihak eksternal yang turut menjadi indikator tersulutnya berbagai konflik yang mengemuka di Indonesia. Globalisasi bahkan tak hanya sekedar artian politis, namun juga mempengaruhi gaya pikir sosial, menyangkut nilai dan pola hidup kita, melalui jalan ini, 16gagasan – gagasan seperti : hak asasi manusia, demokrasi, 1624David Hurvey, “Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis”, 2010 : 1 25 Kayan Swastika dalam Jurnal Hitorica : Global Paradoks, Negara Kebangsaan

(33)

ekonomi pasar, pola – pola konsumsi, kemudian disebarkan dan diminati dimana – mana. Ini hanyalah ‘bualan’ lain tentang kebebasan.24

Jika tak mampu memfilter, maka identitas bangsa akan mengalami kebingungan. Rasa ke-kitaan dan ke-kamian yang berlebihan karena adanya desentralisasi politis, banyak dari generasi kini bangga akan merek – merek luar negeri menjadi penyebab sifat konsumerisme tingkat tinggi, lalu tekanan dari pihak elit untuk menstadarkan perekonomian lokal dengan internasional agar terhindar dari resesi ekonomi macam Yunani membuat rakyat jelata serba kesusahan. Ditambah lagi struktur sosial tradisional yang mulai berbenturan keras dengan dunia global, mengharuskan mereka bertahan (survive) tanpa lelah, agar komunitas miliknya tak hilang tertelan ruang publik negara yang kian kasar, gersang, dan hambar.25

Krisis identitas harusnya tak menjadi disukursus lagi. Ada Bhinneka Tunggal Ika sebagai perekat, the way of life bagi keragaman bangsa, sesanti tiada tara untuk mengatasi berbagai konflik akibat prasangka. Apabila benar – benar direvitalisasi etosnya, maka identitas Indonesia akan stabil, meski terdapat berbagai pengaruh dari yang tak sejalan dengan pandangan hidup bangsa. Meminjam istilah Benedict Anderson tentang ‘imagined communnity’ (1993), yakni seorang individual yang merasa suatu bagian dari komunitas bangsanya. Hal serupa terjadi kala seorang Indonesia memiliki rasa ‘we feeling’ dan ‘kebhinekaan’ terhadap negara – bangsanya sendiri, maka disitulah bangsa yang bermula dari ‘seorang’ akan menggambarkan adanya suatu imaged communities, dan menemukan kembali sejarahnya yang mengikat berbagai suku bangsa di dalam satu kesatuan (integrasi bangsa).

(34)

Betapa bangsa ini sudah berpanjang – panjang secara teoritis mengenai persatuan. Pun melalui tataran konflik yang sudah begitu radix (mengakar) hingga sulit menemukan selesainya. Sejak Proklamasi 1945 diikrarkan, mau tidak mau, suka tidak 17suka, masyarakat Indonesia dengan ragam yang

sudah – sudah harus bersatu. Unity in diversity, without uniformity. Inilah slogan – slogan paling mutakhir yang senantiasa tertempel di spanduk – spanduk jalanan (gambar terlampir), kaos anak – anak muda, serta dirasa sudah tervitualisasi dalam kemasan budaya modern, Jember Fasihion Carnival salah satunya. Baik elit hingga grassroots sesungguhnya sadar bahwa pentingnya ‘persatuan’ bangsa adalah demi kemajuan bangsa itu sendiri. terlampau sulit memang mewujudkab integrasi tersebut ditengah bangsa heterogen dibanding bangsa yang homogeny. Karena Indonesia menurut Prof. Ayu Sutarto adalah taman budaya yang paling indah di dunia.26

Ironis, dalam taman indah terdapat penghuni dengan beragam public polecy (kebijakan public) yang tak jarang merugikan rakyat, persoalan justice of law juga patut dipertanyakan kepada elit – elit lain, para penyangga hukum. Di sisi satunya, elit lain di bidang perekonomian, yakni para pebisnis yang ‘lupa’ akan kesejahteraan rakyat, akibat tak terjalin komunikasi yang baik antara ‘raja kecil (baca : pemimpin daerah)’ dengan dirinya. Apa akibat? Eksploitasi lahan terjadi dimana – mana. Otomatis konflik semakin berjalan tanpa penyelesaian tepat. Siapa yang patut disalahkan? Ini tanggung jawab masyarakat Indonesia. Ujar – ujar dibalik makna bersatu dalam keberagaman atau Bhinneka Tunggal Ika, bukan lagi tanpa

1726Ayu Sutarto dalam Universitas Jember Menggagas Indonesia yang

(35)

arti, bukan hanya diucap, melainkan menjadi pekerjaan besar bagi bangsa ini untuk tetap survive (bertahan) terhadap tantangan keberagaman (heterogen). Kita tidak boleh ‘gandrung’ akan keseragaman, karena Bhinneka Tunggal Ika adalah ‘nafas’ yang memberikan etos kepada integrasi bangsa.

4.2.1 Reintrepretasi dan Revitalisasi Etos Bhinneka Tunggal Ika

Bila dalam pemahaman setiap warga Negara tentang Sasanti “Bhinneka Tunggal Ika” adalah berbeda – beda tapi tetap satu jua, namun menurut sejumlah pakar tanpa bermaksud meremehkan pemahaman dari saudara – saudara yang lain, tidaklah begitu jelas pemahamannya seperti yang dimaksud oleh semangat pencetusnya secara intrinsic, apalagi penghayatan oleh semua warga Negara kita. Yang tergambar dalam pikiran kita adalah perbedaan dalam suku bangsa tertampung dalam wadah tunggal Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa kita pernah mencari makna terdalamnya. Pemahaman dan penghayatan yang kurang sempurna inilah, merupakan faktor penyebab dari keterpurukan kita sebagai bangsa dewasa ini.

(36)

“berbeda” dengan saudaranya yang lain, oleh karena itu hanya dirinya saja dapat mencapai kebenaran dan saudaranya yang lain tidak. Hal yang sama juga dapat terjadi dalam tataran berwacana, berdiskusi, berdialog. Dialog harus dimaknai sebagai wujud komunikasi yang setara, sama tinggi, dan tak ada dominasi antaa yang satu dengan yang lain. Bila ini terjadi maka dialog akan berubah menadi monolog dengan prinsip menang – kalah. Dalam tataran aksi, secara adil mendistribusikan kesempatan dan kesejahteraan sehingga secara bersama – sama anak bangsa ini menjadi lebih maju dan berkualitas hidupnya. Tapi ini tak berarti bahwa kita harus seragam dalam segala sesuatu tanpa mempertimbangkan keragaman kita.

Frithjof Schuon dengan tesisnya yang memberikan inspirasi untuk mengintrepretasi ulang sesanti “Bhinneka Tunggal Ika”. Adapun tesisnya sebagai berikut : kemampuan manusia beerkembang secara beragam. Perkembangan kemampuan yang beragam itu dapat diuraikan dari yang terendah sampai tertinggi, dari yang kongkrit hingga abstrak, dari yang jamak hingga yang tunggal, dari yang sementara sampai yang kekal, dari fenomena – fenomena sampai yang hakiki, dari perwujudan sampai hakekat. Semua dua kutub kemampuan manusia yang selalu ada pada setiap orang harus dikelola secara harmonis (Lihat diagram tesis F. Schuon)

Via Media : Frithjof Schuon

Eksoteris /

partikular Imanen

Isoteris / Universal

(37)

Hindu Budha Konghucu Katolik Kristen Islam

Walaupun masing – masing kita berbeda secara ras, suku bangsa, agama, budaya, ini merupakan perwujudan yang menurut Schuin masih berada pada tataran eksoteris yang melihat secara kongkrit kekehususan – kekhususan yang tentunya sangat berbeda antara ras yang satu dengan yang lainnya, antara suku bangsa satu dengan lain, dan agama satu dengan yang lain. Apabila kesadaran kita sebagai anak bangsa semakin dpata kita tingkatkan keatas seperti apa yang dimaksud oleh Schuan menuju kearah tataran eksoteris, maka masing – masing kita akan menyadari bahwa jurang perbedaan diantara kita terjembatani, semakin mengecilkan, bahkan menyatu pada satu titik dimana perbedaan diantara kita sudah tidak ada lagi. Suku – suku bangsa Jawa, Batak, padang, Makassar, Sunda, Aceh, Bali, Cina secara bersama – sama berjalan dari perbedaan yang sangat besar menuju ke tataran yang lebih tinggi yang akhirnya berkulminasi pada satu titik persamaan yaitu kita sebagai rakyat Indonesia dalam kerangka atau bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai umat – umat beragama, umat agama Islam, Kristen, katolik, hindu, Budha, Kong Hu Cu, secara bersama – sama berjalan dari perbedaan yang sangat besar dalam ritus dan upacara menuju ketataran yang lebih tinggi berkulminasi pada titik yang sama yaitu hakekat Tuhan Yang Maha Esa yang transenden.

18Bila meminjam istilah para ahli multikulturalisme, apa

yang disebut sebagai Metoda Crossing Over dan Coming Back 27

1827 Budhi Munawar Rahman, Islam Pluralis, 2004 : Hlm. 126

28 Peter Evans, Dependent Development, dalam Miriam Budiardjo “Dasar –

(38)

atau “fusion of horizons” dari Hans Georg Gadamer, dapat menjadi referensi untuk merajut kembali keretakan – keretakan diantara kita sebagai anak bangsa. Metoda ini mengajar kita untuk keluar dari adat istiadat, suku, atau ibadah agama tersebut yang selanjutnya dimatangkan kembali dengan suatu bekal “insight” yang baru. Hal ini akan asing lagi, sebab masyarakat sudah mulai mengadakan dialog antaragama, antarsuku, dengan etnis dalam bingkai integrasi bangsa. Inilah revitalisasi etos Bhinneka Tunggal Ika yang patut mendapat tataran implementatif secara totalitas.

4.2.2 Peran Besar Elit dan Masyarakat

Bagaikan sebongkah “batu besar” ketika masing – masing dari kita mencoba merealisasikan etos sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Ditambah, zaman yang kian mengglobal menunut etosnya untuk segera direvitalisasi. Apa alasan? Perhatikan saja ketika dunia memasuki orde global, dengan masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) sebagai bagian, dan sifat ketergantingan di bagian lain. Masing – masing di berbagai belahan dunia, tak peduli warna kulit, ras, ataupun agama berbeda, menuntut persatuan dan kerjasama yang baik antar negara, hingga tak ada sekat lagi. Seperti apa yang diungkapkan oleh Andre Gunder Frank di tahun 1960-an, mengenai Depedency Theory (teori ketergantungan) bahwa negara – negara maju memang sudah melepaskan tanah jajahannya, tapi tidak dengan neloberalisme. Negera – negara yang baru berkembang / kurang maju / atau Dunia Ketiga hampir selalu berkaitan dengan Western Hemispire (Dunia Barat).28 Indonesia,

(39)

“merugikan” atau “menguntungkan” bagi rakyat ini, tentu elit (mencakup stakeholders pemerintah) tak boleh gegabah menghadapi kedua raksasa tersebut. Inilah sebab mengapa, seperti 19penjelasan yang sudah – sudah, Indonesia selalu

memilih “The Middle Way” – nya Anthony Giddens. Sebuah jalan tengah yang tidak kekiri, tidak pula kekanan. Pun jika melihat pemberitaan di media massa (mass media) akhir – akhir ini, Indonesia akan cenderung “netral” terhadap berbagai keputusan dunia. Simak saat China dan Rusia bolak – balik memveto keputusan DK PBB mengenai Perdamaian di Suriah yang dinakhodai oleh Kofi Annan29, namun akhirnya mendapati

kegagalan dengan mundurnya Kofi Annan akibat anggota – anggota tetap Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) (sebut saja : China, Rusia, Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat) kerap bertikai akhir bulan juli lalu. Mass media notabene sebagai corong aspirasi masyarakat, mulai mempertanyakan sikap pemerintah mewakili Indonesia sebagai negara yang harus tepat bargaining position – nya dalam permasalahan tersebut. Apa jawab? Indonesia bersikap netral. Begitu juga saat duta besar Amerika Serikat (AS) tak akan mendikte Indonesia soal Korut (Korea Utara), alasannya, AS tetap berseberangan dengan Korut masalah uji nuklir hingga hari ini.30 Nyatanya, Indonesia tetap

juga bersikap netral, alih – alih ‘takut’ dengan negara ‘adikuasa’ yang menguasai hampir 40% lebih saham di berbagai daerah di Indonesia.

Memang hal tersebut terlihat ‘pudar’ di mata masyarakat. Baiknya bersikap jalan tengah (netral) adalah aman, dan buruknya, identitas negara ini tak akan menonjol. Jika tak menonjol, maka kehidupan masyarakat Indonesia hanya akan

(40)

berkisar pada prosentase itu – itu saja. Bolehlah The Middle Way dipakai agar posisi tawa (bargaining position) kita aman tak tersentuh kekerasan dua raksasa besar / negara – negara dunia kesatu. Tetapi permasalahannya adalah seberapa mampu masyarakat Indonesia yang rata – rata berada di lantai ketiga (golongan bawah) ini menukarkan tradisionalitas mereka dengan kecanggihan global? Atau sekedar beradaptasi dengan ‘jarak sejarah’ negara – negara dunia kesatu dan kedua? Apakah tidak mungkin nantinya jika masyarakat kita akan hanya menjadi korban eksploitasi dari bangsa yang lebih ‘pandai’, persis seperti zaman Belanda. Bedanya, penghisap rakyat kini juga kulit berwarna, bangsa setanah air pula. Benar rupanya pandangan Mulder yang menyatakan bahwa alam kemerdekaan, bahkan pasca reformasi, Cuma memindahkan rakyat Indonesia dari domain kekuasaan “bos putih” ke “bos coklat”.

(41)

Namun tetap saja garis besarnya bertumpu pada patron – klien, raja – abdi dalem, ya, garis besar Jaman Budo. Memasuki gerbang kolonialisme dan imperialism, bapakisme berubah menjadi warna putih dengan esensi yang tetap sama bahkan berlebih. Lalu banyak bangsa di dunia ketiga mulai merdeka, tak terkecuali Indonesia. Dimulai dari masalah penataan struktur masyarakat yang heterogen, siapa – siapa yang harus dan ada dalam struktur birokrasi pemerintahan, ideology sebagai pandangan bangsa, serta sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang mulai disematkan Bung Karno sebagai wadah dan ejawantah integrasi bangsa. Notabene, semua penataan tersebut dikonstruksikan sekuat mungkin untuk pelaksanaan demokratisasi. Konon, dengan mencoba mengesampingkan latar sejarah bapakisme – feodalisme.

(42)

kekuasaan dan kharismanya ia membalik gelombang demokrasi liberal dan mencanangkan apa yang disebut sebagai Demokrasi Terpimpin. Tak ubahnya otoritarianisme. Hasilnya nyata : ditopang oleh budaya bapakisme – feodalisme, yang masih kental, kekuasaan menjadi terlalu terpusat kepadanya, dan akibatnya, langkah – langkah politik Beliau dicap oleh lawan – lawannya sebagai anti demokrasi. Bukan hanya itu. Ia juga “kehilangan” Bung Hatta, hingga keretakan ideologis “ideological rupture” terjadi di kalangan elit politik.

Ketika Bung Karno diturunkan dan Pak Harto naik, gelombang demokrasi mulai bergerak lagi, tetapi sangat pelan. Pak Harto memperkenalkan suatu corak demokrasi yang disebut Demokrasi Pancasila dengan implementasi merujuk pada musyawarah untuk mufakat. Tetapi lagi – lagi pimpinan terlalu kuat dan rakyat terlalu lemah (weakness). Apa akibat? Semua power blocks menjadi tak berdaya. Dalam pandangan budaya Jawa, Pak Harto adalah sosok ‘gung Binathara’ yang memiliki idu geni, “ludah api”. Senyum Pak Harto memiliki makna yang harus dibedah ; anggukannya belum berarti sikap setuju, dan sikap diamnya memiliki misteri yang harus diterjemahkan dengan benar oleh orang – orang dekatnya. Tentu saja, oleh lawan politiknya, performance politik semacam itu juga dituduh sebagai a demokratis, apalagi dalam era Pak Harto, eksekutif menjadi lebih perkasa daripada legislative. Bahkan, lembaga yudikatif yang seharusnya independen turut juga menjadi sasaran eksekutif. Akibatnya, state building lebih mengemuka daripada nation building. A system of checks and balances tidak berajalan seperti seharusnya. Selama bertahun – tahun gelombang demokrasi hampir tidak bergerak.

(43)

“bos putih” ke “bos coklat”, juga secara pengertian biologis cenderung bersifat parasitisme bagi kehidupan bangsa. Apa sebab? Lagi – lagi demokratisasi berjalan ‘tertatih’, mungkin karena masih “baru”, dan bukan “karya asli” Indonesia, melainkan Amerika. Serta berdampak tegas akan disintegrasi bangsa di masa depan. Bhinneka tunggal ika pun terancam. Hal ini tetap terlihat ketika era reformasi mulai menapak, gelombang demokrasi memuncak lagi. Hubungan elit dan masyarakat semakin teruji. Suatu perubahan politik / budaya yang drastis seringkali membuat rakyat terkaget – kaget (shocked) atau terjangkit demokrasi yang dating “lagi” dan “tiba – tiba”. Sementara sebagian (besar) rakyat yang tadinya merasa sangat ‘sumpek’ dan tertekan, kemudian terlalu ‘bersemangat’ untuk merubah tatanan dan mengimpikan perubahan budaya berpolitik yang “sak dek dak nyet”, seketika. Bahkan beberapa komponen bangsa seolah – olah mengartikan demokrasi sebagai bebas melakukan apa saja. Konflik kepentingan terjadi dimana – mana. Stabilitas politik dan ekonomi memburuk, di sisi lain legislative menjadi lebih perkasa daripada eksekutif. Lagi – lagi a system of checks and balances tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ketidaksiapan secara budaya ini membuat transformasi social politik, dan ekonomi kita kelimpungan. Bangsa ini mengalami keretakan ideologis (ideological rupture) dan kemburadulan politik (political turmoil) (Ayu Sutarto, 2006).

(44)

latar depan (Kohar, 2008). Para elit dan masyarakat harus optimis, work together, serta memahami sejarahnya untuk integrasi bangsa. Lagipula ada beberapa alternative paling mutakhir untuk segera mengejawantahkan semangat baru Bhinneka Tunggal Ika, tentu berkat belajar dari masa lalu.

1. Peran Partai Politik (Parpol)

(45)

Para pimpinan melalui teori – teorinya para pemikir lalu sadar bahwa keberadaan rakyat patut diperhitungkan.

Berawal dari inisiatif warga di belahan bumi barat abad – 18an tepatnya di Perancis, muncullah sejenis wadah untuk mobilisasi rakyat agar mampu menyentuh kebijakan public, apalagi jika bukan partai politik. Memang, diawal kelahirannya masih cenderung berpihak pada elit, namun lama – kelamaan rakyat mendapat perhatian lebih. Bahkan jika kita berpikir bahwa konsep pokok kekuasaan seorang pimpinan, 20sebagaimana

ulasan Robert Dahl (sarjana ilmu politik terkemuka) menyatakan : “A mempunyai kekuasaan atas B sejauh ia dapat menyebabkan B untuk berbuat sesuatu yang sebenarnya tidak akan B lakukan (A has a power over B to the extent that he can get B to do something that be Would’nt otherwise do), maka rakyat “berhak” dan “dapat” menyuarakannya kepada partai politik.

Lalu jika muncul pertanyaan “apakah sama hasil kerja partai politik di semua negara? Apakah bisa mengintegrasikan bangsa yang bhinneka tunggal ika? Jawabannya adalah “tidak” dan “bisa”. Partai politik definitifnya menurut Carl J. Friedrich menuliskan : “Partai poltiik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan pernguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya beedasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat riil serta materiil (A political, party is a group of human beings, stably organized with the objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages).31 Siamund Neumann dalam buku karyanya, Modern

Political Parties, mengemukakan definisi “Partai politik adalah

2031Friedrich, Constitutional Government and Democracy dalam Miriam

(46)

organisasi dari aktivitas – aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda (A political party is the articulate organization of society’s active political agents ; those who are concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with the other groups holding divergent views)

Banyak definisi lain dari para ahli lain tergantung pada zaman dan di negara mana dia berada. Sehingga fungsi partai politik di berbagai negara cenderung berbeda, tergantung di lantai mana kita tinggal. Jika ada di Dunia Ke I, di negara – negara yang sudah maju dan merdeka berates tahun lebih dulu, maka kehadiran partai politik (parpol) sangat memainkan perannya, dari masalah social, hingga pemerintahan. Apabila warga kesulitan untuk beraspirasi melalui parpol, mereka akan menciptakan suatu organisasi yang lebih simpel dan fleksibel seperti lembaga swadaya masyarakat. Tentu karena faktor ideologis warga negara di Dunia Kesatu telah terselesaikan, corak masyarakat juga homogeny, jadilah peran maksimal parpol untuk publik. Bagai langit dan bumi jika menoleh pada dunia ketiga, atau negara – negara berkembang. Rupanya, partai poltik harus berhadap – hadapan dengan masalah seperti kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, pembagian pendapatan yang timpang serta tingkat pendidikan yang rendah. Seakan beban yang diletakkan diatas pundak partai sering terlalu berat dan harapan – harapan yang ditujukan kepada partai sering terlalu tinggi.

(47)

partai politik, harusnya antara elit dan masyarakat bekerja sama dengan baik. Sejak pemilu pertama di tahun 1955, negara ini menganut multipartai dengan alasan bahwa “ragam” – nya ras, suku, bahasa, dan agama, menuntut aspirasi yang tentu juga berbeda – beda, maka tak ada pilihan lain untuk tidak memilih multi partai. Memang banyak sekali peristiwa yang kita sesalkan ketika melihat pemberitaan – pemberitaan di media massa, banyaknya partai politik yang tak professional. Dari masalah – masalah internal seperti : korupsi, skandal, menjadi dalang kekerasan yang terjadi antar warga, kecurangan pemilihan umum, sampai keterlibatan dalam eksploitasi daerah. Tak peduli partai – partai besar ataupun kecil, jika tak profesional, otomatis terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Dalam jajak pendapat Kompas berjudul “Koalisi Politik Setengah Hati”, sebesar 66,9% rakyat tidak percaya bahwa kerjasama partai (koalisi) menjamin terciptanya stabilitas politik dan pemenuhan kepentingan masyarakat. Lebih lanjut, ¾ bagian responden (79,3%) melihat pola koalisi masih bergerak dalam tataran memenuhi kebutuhan kepentingan elit, khususnya menggapai kursi kekuasaan (Kompas, 30 Juli 2012, terlampir).

Kebobrokan – kebobrokan partai politik diatas memang terlihat sangat nyata bagi Indonesia. Masyarakat Indonesia benar – benar sudah mengalami krisis kepercayaan. Namun tak ada jalan yang lebih baik selain optimis. Sebabnya, partai politik didirikan di 21Indonesia karena satu hal, kebhinekaan. Dari zaman

pembentukan negara pun, saat elit hanya segelintir, dan rakyat banyak yang buta huruf, mereka mampu mendirikan partai – partai politik sesuai nafas bangsa. Ada yang benar – benar sekuler (seperti : PDIP), agamis (seperti : PPP), dan partai – partai lain yang tujuan awalnya memang ingin menyuarakan aspirasi

(48)

masyarakat heterogen. Taufik Kiemas mengatakan bahwa bangsa Indonesia yang mengerti kebhinekaan sudah mencapai 90%, meski yang benar – benar meyakini kebhinekaan hanya 30%.32

Namun jika partai politik benar – benar melaksanakan tugasnya sebagai pilar penting demokrasi, maka Bhinneka Tunggal Ika semakin hidup, hingga semangatnya mampu direvitalisasi untuk menghindarkan bangsa dari disintegrasi.

2. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat

(49)

ika, dimana pengurangan konflik diharuskan, terbentuklah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

3. Peran Pers

Belum lagi bangsa ini terbebas dari beragam kekerasan akibat konflik, rupa – rupanya harus juga berhadapan dengan kapitalistik perekonomian. Pasalnya, hampir sepanjang tahun 2012, atau bisa lebih lama dari itu, meningkatnya perekonomian kelas menengah tak dirasakan kelas bawah, bahkan semakin ‘mencekik’. Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universita Gadjah Mada, Mudrajad Kuncoro menyatakan, pertumbuhan ekonomi meningkat dan pendapatan perkapita mencapai 3540 dollar AS pertahun. Namun, indikasi ketimpangan terlihat sebagai hasil proses pembangunan nasional saat ini. Pertumbuhan ekonomi lebih dinikmati kelas menengah. “Ironisnya, penurunan kue nasional yang dinikmati kelompok 40% penduduk termiskin justru diikuti oleh kenaikan kue nasional yang dinikmati 20% kelompok terkaya, ujar Mudrajad (Kompas, 9 Agustus 2012).

(50)

Referensi

Dokumen terkait

Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang syarat dengan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural, nilai-nilai budaya bangsa sebagai keutuhan,

Indonesia merupakan merupakan negara yang masyarakatnya majemuk, terdiri dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan, kelompok dan agama. Kondisi tersebut

Sementara itu pengukuran lengkung gigi rahang bawah pada ras Deutro-Melayu yaitu suku Aceh (kecuali Gayo), Jawa, Minangkabau, Bali, Sunda, Palembang dan Makassar di FKG USU

Bahasa daerah banyak digunakan untuk percakapan atau berhubungan sesama suku bangsa yang tinggal di daerah. Bahasa daerah yang kita kenal antara lain bahasa Aceh, bahasa Batak,