MOCHAMAD ISKANDARSYAH
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Menggunakan Metode Parabolic Equation di Wilayah Perairan Selat Lombok. Dibimbing oleh SRI PUJIYATI dan INDRA JAYA.
Dalam melakukan perambatan di dalam air, gelombang suara dipengaruhi oleh karakteristik oseanografi seperti salinitas, suhu, dan tekanan dimana ketiga hal ini mempengaruhi kecepatan gelombang suara dalam air. Saat melakukan perambatan, gelombang suara membentuk suatu pola tertentu yang dapat dipengaruhi oleh frekuensi, posisi sumber suara dan posisi penerima. Dalam melakukan penyusupan, kapal selam kerap kali menggunakan shadow zone yang merupakan zona dimana hampir tidak terjadi perambatan gelombang suara, sehingga kapal selam tersebut dapat terhindar dari SONAR (Sound Navigation and Ranging) pihak lawan.
Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan shadow zone akustik berdasarkan kondisi oseanografi pada perairan Selat Lombok dengan
memanfaatkan data hasil rekaman mooring buoy dari program INSTANT. Data yang digunakan berupa data suhu, salinitas, dan kedalaman selama bulan Juli 2005 di Utara Perairan Selat Lombok, pada koordinat 080 26’ 2322” LS dan 1150 45’ 331” BT. Salah satu cara untuk memetakan shadow zone adalah dengan melakukan simulasi komputer tentang perambatan gelombang suara di laut. Penelitian ini menggunakan empat buah frekuensi yang berbeda (100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz) dengan menggunakan tiga kedalaman sumber suara yang berbeda ( 30 m, 110 m, dan 300 m).
Secara umum pada kedalaman sumber suara 30 m, 110 m, dan 300 m frekuensi 100 Hz mengalami kehilangan suara yang paling besar sehingga banyak terbentuk shadow zone di kolom perairan karena pada frekuensi 100 Hz,
gelombang suara memiliki panjang gelombang yang paling panjang sehingga mampu melakukan penetrasi kedalam sedimen yang menyebabkan nilai TL bertambah dan memunculkan lebih banyak shadow zone. Frekuensi 50.000 Hz
MOCHAMAD ISKANDARSYAH C54061833
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
i
Judul Penelitian : PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN MENGGUNAKAN METODE PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK
Nama : Mochamad Iskandarsyah
NRP : C54061833
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr.Ir.Sri Pujiyati, M.Si Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP : 19671021 199203 2 002 NIP : 1961041 198601 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. H. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003
PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN MENGGUNAKAN METODE PARABOLiC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
©
Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber
a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 26 Januari 1989 dari ayah yang
bernama Drs. Mochamad Chandra Widjaja, MM dan ibu bernama
Hermiati, Bsc. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara. Tahun 2006 penulis menamatkan pendidikan
menengah di SMA Al-Izhar Pondok Labu, Jakarta. Pada tahun
2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan , Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB)
Penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan di kampus dan organisasi
seperti Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai
anggota Departemen Penelitian dan Kebijakan (LITJAK) periode 2007/2008, sebagai
Kepala Departemen LITJAK periode 2008/2009 dan sebagai Dewan Penasehat
HIMITEKA periode 2009/2010. Di tingkat Fakultas, penulis pernah aktif di Badan
Esekutif Mahasiswa (BEM) FPIK sebagai anggota Departemen Pengembangan
Sumber Daya Manusia (PSDM) periode 2007/2008. Penulis pernah menjadi delegasi
HIMITEKA IPB dalam rangka MUKERNAS Himpunan Mahasiswa Ilmu dan
Teknologi Kelautan Nasional (HIMITEKINDO) di Surabaya tahun 2008 dan
MUNAS HIMITEKINDO di Pekanbaru tahun 2010.
Pengalaman kerja penulis antara lain sebagai asisten mata kuliah Dasar-dasar
Instrumentasi Kelautan tahun 2008/2009, asisten mata kuliah Ekologi Laut Tropis
periode 2009/2010 sampai 2010/2011, asisten lapang mata kuliah Biologi Laut
periode 2010/2011, dan magang di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo
selama 1 bulan pada tahun 2009. Penulis berkesempatan mengikuti pelayaran Kapal
Riset Baruna Jaya III BPPT ke Ambon dalam rangka kegiatan Sail Banda 2010.
Dalam rangka menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan
penelitian dengan judul
“Pemetaan
Shadow Zone
Akustik dengan Menggunakan
Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan karunia yang telah
diberikanNya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi
dengan judul PEMETAAN SHADOW ZONE AKUSTIK DENGAN METODE PARABOLIC EQUATION DI WILAYAH PERAIRAN SELAT LOMBOK
diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
Penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Orang tua, Adik, dan keluarga besar yang selalu mendukung doa dan materi,
2. Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc selaku dosen
pembimbing,
3. Dr.Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc dan Dr. Ir. Nyoman M. Natih, M.Sc selaku
dosen penguji dan perwakilan komisi pendidikan sarjana
4. Dr.Ir.Djisman Manurung, M.Sc selaku pembimbing akademik
5. Staf pengajar dan para pegawai di lingkungan Departemen ITK
6. Apriliana Utami Hapsari, SE atas dorongan dan semangatnya selama ini
7. Muhammad Iqbal, S.Pi , Hendri Dayu, S.Pi, Arief Wicaksana, S.Pi, Asep
Ma’mun, S.Pi, Asmadin, S.Pi, M.Si, Cristiadi Triyatna, S.IK, Rizki Rizaldi
Hidayat, S.IK, Hengky Wibowo, Githa Prima Putra, S.IK, Masagus Zulhafiz,
Herbeth Marpaung, S.IK, Erik Munandar dan segenap keluarga besar
Workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan yang telah meluangkan waktu
untuk membantu penulis.
8. Steven Syahrinaldi, S.IK sebagai kakak asuh
Putri, Hawara Sebastian Sitompul, SE, dan Christina Ratih), Wisma Galih
(Ahmad Rifai, Dori Irianto, S.IK, Enda, S.IK, Erlan Nurcahya Putra, dan Moh.
Zainul Rijal) dan Asrama TPB C3 Lorong 5 tahun 2006/2007
12. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu penulis membutuhkan saran dan kritik untuk perbaikan di masa depan.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, Amin.
Bogor, Juli 2011
i
DAFTAR ISI
... i
DAFTAR GAMBAR
... ii
DAFTAR LAMPIRAN
... iii
1. PENDAHULUAN
... 1
1.1.
Latar belakang ... 1
1.2.
Tujuan ... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA
... 3
2.1.
Perambatan Gelombang Suara Dalam Air ... 3
2.2.
Profil Kolom Perairan ... 6
2.2.1.
Suhu ... 6
2.2.2.
Salinitas ... 7
2.2.3.
Lapisan Termoklin ... 8
2.2.4.
Kedalaman dan Dasar Perairan ... 9
2.3.
Shadow Zone Akustik ... 10
2.4.
Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) ... 11
2.5.
Kondisi Umum dan Geografis Selat Lombok ... 12
2.6.
INSTANT ... 14
2.7.
Model Persamaan Parabolik ... 14
3.
BAHAN DAN METODE
... 18
3.1.
Lokasi dan Waktu penelitian ... 18
3.2.
Perangkat dan Peralatan ... 19
3.3.
Pengambilan Data ... 20
3.4.
Simulasi Data ... 21
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
... 24
ii
4.1.2
Profil Vertikal Suhu ... 27
4.2.
Simulasi Nilai Kehilangan Transmisi terhadap Kedalaman
dan Jarak ... 28
4.2.1.
Kedalaman Sumber 25 m dan Kedalaman Penerima 30 m ... 29
4.2.2.
Kedalaman Sumber 110 m dan Kedalaman Penerima 115 m ... 34
4.2.3.
Kedalaman Sumber 300 m dan Kedalaman Penerima 310 m ... 42
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
... 53
5.1.
Kesimpulan ... 53
5.2.
Saran ... 54
DAFTAR PUSTAKA
... 55
iii
1.
Shadow Zone Akustik ... 10
2.
Peta Arlindo ... 12
3.
Peta Lokasi Penelitian ... 18
4.
Diagram Alir Pengolahan Data ... 23
5.
Hubungan Kecepatan Suara dan Kedalaman Secara Vertikal ... 25
6.
Hubungan Salinitas dan Kedalaman Secara Vertikal ... 26
7.
Hubungan Suhu dan Kedalaman Secara Vertikal ... 28
8.
Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman
Sumber Suara 25 m, Kedalaman Penerima 30 m, dan Frekuensi
Yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz ... 35
9.
Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi
100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz ... 36
10.
Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi
100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz Setelah Running Average ... 37
11.
Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman
Sumber Suara 110 m, Kedalaman Penerima 115 m, dan Frekuensi
Yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz ... 43
12.
Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi
100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz ... 44
13.
Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi
100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz Setelah Running Average ... 45
14.
Hasil Simulasi Perambatan Gelombang Suara dengan Kedalaman
Sumber Suara 300 m, Kedalaman Penerima 310 m, dan Frekuensi
Yang Digunakan 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz ... 50
15.
Grafik Hubungan Transmission Loss dengan Jarak pada Frekuensi
100, 1.000, 10.000. dan 50.000 Hz ... 51
iv
1.
Tutorial Pengolahan ... 57
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini banyak terjadi ancaman terhadap keamanan dan kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI) baik dari darat maupun dari laut.
Di laut sendiri banyak terjadi pelanggaran kedaulatan oleh kapal asing dengan
berbagai macam cara mulai dari pencurian ikan tanpa izin, klaim suatu wilayah
NKRI secara sepihak oleh negara tetangga sampai melakukan operasi militer
seperti kapal selam asing melakukan penyusupan di wilayah laut teritorial NKRI.
Menurut Konvensi Hukum Laut Internasional / United Nations Convention on the
Law of the Sea ( UNCLOS ) PBB tahun 1982 yang diratifikasi oleh Indonesia
yaitu pada artikel 49 dengan tegas menyatakan status legal negara kepulauan (
Indonesia ) berkedaulatan penuh atas perairan dan landas kontinen di bawah serta
udara di atasnya.
Dalam menjaga kedaulatan NKRI terutama dari ancaman yang berada di
laut perlu dilakukan pembangunan pertahanan secara terpadu. Selain pengadaaan
Alat Utama Sistem Pertahanan (ALUTSISTA) juga diperlukan penguasaan
teknologi pemantauan anti kapal selam, yang dapat dipergunakan untuk melacak
kapal selam yang menyusup ke wilayah teritorial Indonesia.
Penyusupan kapal selam kerap menggunakan “daerah kedap” gelombang suara (shadow zone). Daerah ini merupakan zona aman dimana suhu dan salinitas
air laut pada zona tersebut membelokkan gelombang suara yang datang sehingga
kapal selam tersebut terhindar dari ( Sound Navigation and Ranging) SONAR
Salah satu cara untuk mengantisipasi yang dilakukan adalah melalui
simulasi komputer mengenai pola perambatan gelombang suara di laut untuk
mengetahui pola perambatan gelombang suara tersebut sehingga dapat di tentukan
Shadow Zone akustik. Cara lainnya adalah dengan memasang receiver di wilayah
perairan yang rawan untuk dilalui oleh kapal selam seperti Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI).
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan shadow zone berdasarkan
3
2.1. Perambatan Gelombang Suara Dalam Air
Kecepatan suara dalam air laut merupakan variabel oseanografik yang
menentukan pola pemancaran suara di dalam medium (Kadarwati, 1999).
Kecepatan suara bervariasi terhadap kedalaman, musim, posisi geografis dan
waktu pada lokasi tertentu. Di perairan dangkal dekat pantai, profil kecepatan
suara cenderung tidak teratur dan sulit di prediksi. Faktor fisik air laut yang
paling menentukan dalam mempengaruhi kecepatan suara di dalam air laut adalah
suhu, salinitas, dan tekanan (Urick, 1983).
Di dalam air laut, kecepatan gelombang suara mendekati 1.500 m/ detik
(umumnya berkisar 1.450 m/detik sampai dengan 1.550 m/detik, tergantung suhu,
salinitas, dan tekanan) (Lurton, 2002). Beberapa peneliti merumuskan persamaan
kecepatan gelombang suara dalam air laut yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas,
dan tekanan, diantaranya Medwin dan Clarence (1998)
2 3
1.449, 2 4, 67 0, 055 0, 00029 (1, 34 0, 01 )( 35) 0, 016
c T T T T S z...(1)
dimana:
kecepatan suara (m/s)
suhu (derajat celcius)
salinitas (psu) kedalaman (m) c T S z
Menurut Lurton (2002) secara sederhana pola perambatan gelombang
suara di dalam laut yang dibagi secara vertikal adalah sebagai berikut:
a. Lapisan tercampur, dimana kecepatan suara relatif konstan, biasanya
b. Surface channel, kecepatan suara meningkat jika dibandingkan pada
saat berada di lapisan tercampur.
c. Termoklin, pada lapisan ini kecepatan suara akan menurun dengan
bertambahnya kedalaman, karena biasanya suhu menurun secara drastis
dalam kedalaman yang relatif dangkal pada lapisan ini. Termoklin dapat
muncul secara musiman (jika dekat dengan permukaan) atau permanen.
d. Deep channel, kecepatan suara pada lapisan ini mendekati minimum.
Rata-rata kedalaman lapisan ini mulai dari beberapa ratus meter sampai
2000 m
e. Lapisan isothermal, pada lapisan ini suhu relatif konstan, kecepatan
suara bertambah secara linear seiring bertambahnya kedalaman karena
pengaruh tekanan hidrostatis.
Namun secara nyata di alam, kecepatan suara di dalam laut masih
dipengaruhi oleh beberapa hal seperti arus, pertukaran massa air, masukan air
tawar dari sungai (dekat dengan daerah estuari, posisi lintang, pasang surut dan
internal wave).
Dalam melakukan perambatan di dalam air, gelombang suara mengalami
kehilangan energi transmisi yang merupakan akumulasi penurunan energi
intensitas akustik ketika tekanan akustik berpropagasi. Kehilangan energi ini
dapat terjadi karena penyebaran gelombang akustik, penyerapan energi, dan
pemantulan yang terjadi di dasar atau permukaan perairan. Intensitas gelombang
akustik akan semakin berkurang dengan bertambahnya jarak dari sumber bunyi.
Pada perairan dangkal, transmisi suara memiliki karateristik suara yang
frekuensi tersebut akibat kompetisi perambatan dan mekanisme atenuasi pada
frekuensi tinggi dan rendah. Pada frekuensi tinggi, kehilangan akibat
penghamburan dan volume semakin meningkat dengan meningkatnya frekuensi
(Jensen et al, 1994).
Sebuah sumber akustik di air yang memancarkan gelombang akustik
dengan intensitas energi tertentu akan mengalami penurunan intensitas bunyi
bersamaan dengan bertambahnya jarak propagasi dari sumbernya. Hal ini terjadi
karena sumber akustik memiliki intensitas yang tetap, sedangkan luas permukaan
bidang yang dilingkupi akan semakin besar dengan bertambahnya jarak dari
sumber bunyi. Penyebaran gelombang akustik dibatasi oleh permukaan laut dan
dasar suatu perairan.
Gelombang suara yang sedang berpropagasi akan mengalami penyerapan
energi akustik oleh medium sekitar daerah propagasi. Secara umum, penyerapan
suara merupakan salah satu bentuk kehilangan energi yang melibatkan proses
konversi energi akustik menjadi energi panas, sehingga energi gelombang suara
yang merambat mengalami penurunan intensitas (atenuasi) (Pongoet, 2008).
Secara umum, formula untuk mencari koefisien atenuasi menurut Jensen et all,
(1994) adalah
2 2
2
2 2
0,11 44
0, 033 0, 0003
1 4100
f f
f
f f
………(2)
dimana:
= koefisien atenuasi (dB/km)
Kehilangan energi akibat pemantulan terjadi pada saat gelombang akustik
berpropagasi melewati dua medium yang memiliki perbedaan indeks bias cukup
besar. Perbedaan yang cukup besar ini mengakibatkan gelombang suara
dipantulkan oleh perbatasan antar kedua medium tersebut (Pongoet, 2008).
2.2. Profil Kolom Perairan 2.2.1. Suhu
Suhu merupakan salah satu karakter fisik dari air laut yang penting. Di
wilayah lintang sedang dan rendah (dekat dengan wilayah tropis), suhu
merupakan faktor penting yang mempengaruhi densitas dan kecepatan suara di
dalam air. Suhu di daerah tropis pada wilayah permukaan laut berkisar 26-29 oC
yang dipengaruhi oleh musim (Pickard dan Emery, 1990).
Distribusi suhu permukaan dibagi menjadi beberapa zona yang
dipengaruhi oleh posisi lintang. Suhu tinggi di dapat di zona ekuator dimana
cahaya matahari cenderung banyak berada pada zona ini, sedangkan daerah suhu
rendah berada di dekat wilayah kutub (Stewart, 2008). Pada daerah non kutub,
sifat-sifat air pada lapisan isotermal yang dipengaruhi oleh angin sehingga
menyebabkan adanya pengadukan menyebabkan lapisan ini memiliki temperatur
yang cenderung konstan. Oleh karena itu, pada lapisan isothermal memiliki
bentuk profil suara yang bertambah sejalan dengan kedalaman laut yang
disebabkan pengaruh gradien tekanan (Jensen et al, 1994).
Pada kondisi perairan laut yang mempunyai suhu berbeda-beda
menimbulkan variasi kecepatan suara yang menyebabkan refraksi atau
pada lapisan termoklin menyebabkan pembelokan gelombang suara yang tajam
dan pada lapisan ini bertindak sebagai bidang pantul.
2.2.2. Salinitas
Menurut Sanusi (2006) salinitas adalah jumlah zat-zat terlarut dalam 1 kg
air laut, dimana semua karbonat telah diubah menjadi oksida, bromide dan iodide
diganti oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi sempurna. Pada
umumnya perairan laut lepas memiliki kadar salinitas 35 psu; yang berarti dalam
1 kg air laut mengandung elemen-elemen kimia terlarut seberat 35 gram. Dimana
komposisi air laut tersebut terdiri atas 3,5% elemen-elemen kimia terlarut dan
96,5% kandungan airnya.
Di perairan estuari dimana aliran sungai bermuara, kadar salinitasnya
relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan perairan laut lepas. Hal ini
disebabkan oleh adanya percampuran massa air laut dengan massa air sungai yang
memliki salinitas rendah (Sanusi, 2006).
Salinitas dapat mempengaruhi kecepatan suara di dalam air, teutama di
wilayah lintang tinggi (dekat kutub) dimana suhu mendekati titik beku, salinitas
merupakan salah satu paling faktor penting yang mempengaruhi kecepatan
gelombang suara di dalam air. Distribusi vertikal salinitas pada wilayah tropis,
ekuator, dan sub tropis mengalami nilai yang paling kecil pada kedalaman
600-1000 m (34-35 pratical salinity unit/psu). Di wilayah tropis nilai salinitas pada
permukaan berkisar 36-37 psu. Salinitas maksimun pada wilayah perairan tropis
terjadi pada kedalaman 100-200 m dekat dengan lapisan termoklin dimana kadar
relatif seragam dengan nilai 34,6-34,9 psu (Pickard dan Emery, 1990). Salinitas
di samudera seperti Atlantik, Pasifik, dan Hindia rata-rata 35 psu, di wilayah laut
yang tertutup, nilai salitas rata-rata tidak jauh dari kisaran 35 psu tergantung dari
penguapan yang terjadi (Lurton, 2002).
2.2.3. Lapisan Termoklin
Lapisan termoklin merupakan lapisan yang berada dalam kolom perairan
di laut yang dimana pada lapisan ini mengalami perubahan suhu yang drastis
dengan lapisan yang berada dan di bawah lapisan termoklin. Di laut, termoklin
seperti lapisan yang membagi antara lapisan pencampuran (mixing layer) dan
lapisan dalam (deep layer). Tergantung musim, garis lintang dan pengadukan
oleh angin, lapisan ini bersifat semi permanen. Faktor yang menentukan
ketebalan lapisan ini di dalam suatu perairan seperti variasi cuaca musiman,
lintang, kondisi lingkungan suatu tempat ( pasang surut dan arus).
Secara umum terbentuknya lapisan termoklin dikarenakan penyerapan
sinar matahari pada siang hari oleh permukaan laut ( karena energi panas
diradiasikan ke atmosfer). Panas yang berada di permukaan air laut ini di
distribusikan ke bagian dalam sampai kedalaman 100-200 m (yang disebut
lapisan tercampur) sehingga suhu pada zona ini relatif homogen. Di bawah zona
pencampuran dimana tidak ada peristiwa pengadukan maka suhunya menjadi
turun dengan cepat mendekati suhu pada lapisan dalam. Penurunan suhu
berbanding lurus dengan penambahan kedalaman dan salinitas. Pada daerah
dimana terjadi penurunan suhu secara cepat inilah dinamakan lapisan termoklin.
dimana dapat memantulkan gelombang suara. Secara teknik lapisan ini
membendung dari impendansi akustik yang terputus-putus (diskontinu) yang
tercipta dari perubahan densitas secara mendadak. Karateristik yang unik inilah
yang membuat pentingnya lapisan termoklin untuk diketahui, terutama dibidang
pertahanan dan keamanan (kapal selam). Pada wilayah tropis, rata-rata lapisan
termoklin berada pada kedalaman 200-400 m (Pickard dan Emery, 1990).
2.2.4. Kedalaman dan Dasar Perairan
Kedalaman mempengaruhi cepat rambat suara di dalam air laut.
Bertambahnya kedalaman, maka kecepatan suara akan bertambah karena adanya
tekanan hidrostatis yang semakin besar dengan bertambahnya kedalaman.
Rata-rata terjadi peningkatan kecepatan suara sebesar 0, 017 m/detik setiap kedalaman
bertambah 1 meter. (Lurton, 2002).
Permukaan laut merupakan pemantul dan penghambur suara yang
mempunyai efek yang sangat besar dalam perambatan suara ketika sumber atau
penerima berada di perairan dangkal. Jika permukaan halus sempurna, maka ia
akan menjadi pemantul suara yang nyaris sempurna. Sebaliknya jika permukaan
laut kasar kehilangan akibat pantulan mendekati nol (Kadarwati, 1999).
Perairan Indonesia memiliki gambaran relief dasar laut yang unik, semua
tipe relief dasar laut bisa diketemukan seperti paparan yang dangkal, depresi
dalam dengan berbagai bentuk, berbagai bentuk elevasi berbentuk gunung bawah
air, terumbu karang, dan sebagainya.
Dasar laut memiliki karateristik yang dapat memantulkan dan
lapisan yang berlapis-lapis dengan densitas dan kecepatan suara yang berubah
secara bertahap atau acak terhadap kedalaman. Selain itu komposisi di dasar laut
bervariatif mulai dari batuan yang keras sampai lumpur yang lunak ( Kadarwati,
1999).
2.3. Shadow Zone Akustik
Shadow Zone adalah suatu wilayah dimana gelombang suara tidak dapat
merambat atau lemah sehingga hampir tidak dapat merambat dalam suatu
medium. Menurut Urick (1983) di kolom perairan terjadi pembelokan
gelombang suara (refraksi) yang terjadi karena perbedaan kedalaman, salinitas
dan suhu ait laut. Pengaruh yang paling nyata terlihat jika terjadi kenaikan suhu
air laut sebesar 1 C0 akan menyebabkan meningkatnya kecepatan suara sebesar
1m/detik. Akibatnya jika suhu meningkat menurut kedalaman maka gelombang
suara yang dipancarkan akan cenderung dibelokan ke arah permukaan air.
Sumber: http://www.dosits.org
Sebaliknya jika suhu menurun karena kedalaman maka gelombang suara
akan cenderung dibelokan ke dasar perairan. Karena terjadi pembelokan
gelombang suara ke permukaan dan ke dasar perairan, maka terdapat wilayah
yang tidak terjadi perambatan gelombang suara yang disebut shadow zone. Jarak
dari sumber suara ke shadow zone ditentukan oleh laju perubahan suhu terhadap
kedalaman, kedalaman sumber suara, dan kedalaman penerima suara.
2.4. Arus Lintas Indonesia (ARLINDO)
Wilayah perairan Indonesia dialiri oleh dua sistem arus, yaitu Arus
Monsun Indonesia (ARMONDO) dan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO).
ARMONDO mengalir secara rata-rata dari Laut Cina Selatan masuk ke Laut
Jawa lewat Laut Natuna dan Selat Karimata. Kemudian dari Laut Jawa,
ARMONDO meneruskan alirann ya ke laut-laut jeluk, yaitu Laut Flores dan
Laut Banda.
ARLINDO adalah aliran massa air yang berbentuk arus laut dari
Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia dan mengalir di bagian laut jeluk di
kawasan timur kepulauan Indonesia. ARLINDO ini melewati hamparan pulau
besar dan kecil di wilayah perairan Indonesia Timur yang memiliki struktur
batimetri yang menunjukan adanya palung yang jeluk, basin laut, dan kepulauan
karang, sehingga ARLINDO memiliki dinamika dan pergerakan massa air yang
kompleks di kawasan tersebut (Pranowo et al, 2006 dalam Kharishma, 2009).
ARLINDO merupakan bagian tak terpisahkan dari system termohaline circulation
dunia dan berpengaruh besar pada dinamika yang terjadi baik di Samudera Pasifik
ARLINDO sendiri memasuki perairan Indonesia dari Samudera Pasifik melalui
lapisan termoklin (Hautala, 1996 dalam Abdul Rauf, 2007). Berikut adalah
gambaran sistematik mengenai ARLINDO di Indonesia (Gambar 1).
.
Sumber:http://www.ldeo.columbia.edu
Gambar 2. Peta Arlindo
2.5. Kondisi Umum dan Kondisi Geografis Selat Lombok Selat Lombok terletak diantara Pulau Bali dan Pulau Lombok,
menghubungkan Laut Flores dengan Samudera Hindia. Selat Lombok memiliki
panjang sekitar 60 km dengan lebar 30 km di sebelah utara dan 18 km di sebelah
selatan. Kedalaman Selat Lombok bagian utara lebih dari 1000 m dan menjadi
250 m di daerah ambang dibagian selatan (Arief, 1997 dalam Kharishma, 2009).
Menurut Arief (1997) dalam Kharishma (2009), Selat Lombok dibagi
menjadi tiga zona berdasarkan profil rata-rata suhu dan salinitas, yaitu :
Lapisan permukaan memiliki kisaran suhu musiman hingga 2,00 C.
Ketebalannya bervariasi dengan waktu dan lokasi. Ketebalan lapisan
isothermal permukaan mempunyai kisaran antara 2 m di bagian selatan
Selat Lombok hingga 70 m di bagian utara.
b. Lapisan termoklin
Lapisan ini terletak di antara lapisan permukaan hingga kedalaman
300-400 m dengan gradien suhu 0,020 C/m. Suhu air laut berkisar 280C
di bagian atas dan 70 C di bagian bawah.
c. Lapisan di bawah lapisan termoklin
Suhu air laut menurun secara lambat dengan bertambahnya kedalaman air
pada lapisan ini. Pada kedalaman 500 m suhu air laut mencapai 7-80 C.
Terdapat 4 zona salinitas di Selat Lombok (Arief 1997 dalam Kharishma
2009), yaitu :
a. Lapisan permukaan
Lapisan permukaan merupakan lapisan yang berada di permukaan
hingga kedalaman 50-100 m dengan nilai salinitas yang relatif rendah di
bawah 33,5 psu. Lapisan ini mempunyai variabilitas musiman yang
tinggi karena terkait dengan asal sumber massa air.
b. Lapisan salinitas maksimum
Lapisan salinitas maksimum berada pada kedalaman 75-175 m.
Umumnya nilai salinitas di atas 34,6 psu.
c. Lapisan salinitas minimum
Lapisan ini berada pada kedalaman 250-350 m dengan nilai salinitas
d. Lapisan di lebih dalam dari 400 m
Lapisan ini ditandai dengan salinitas yang bertambah secara perlahan
hingga 34,54-34,58 psu pada kedalaman 500 m. Di selatan ambang Selat
Lombok, di bagian Samudera Hindia ditemukan massa air dengan salinitas
maksimum dengan nilai mencapai 34,8 psu pada kedalaman 550 m.
Massa air ini menyebabkan terjadinya suhu maksimum relatif.
Selat Lombok dihubungkan dengan Selat Makassar oleh alur berkedalaman
600-1000 m sepanjang timur Paparan Sunda. Kondisi topografi ini
memungkinkan Selat Lombok berfungsi sebagai saluran langsung massa air
Pasifik bagian barat ke Lautan Hindia (Arief, 1997 dalam Kharishma, 2009).
2.6. INSTANT
Ekspedisi INSTANT (International Nusantara Stratification and
Transport) merupakan program kerjasama antara Indonesia, Amerika Serikat,
Austaralia, Belanda, dan Perancis dengan tujuan untuk menguak ARLINDO
(Arus Lintas Indonesia). Ekspedisi ini dilaksanakan pada tahun 2003 hingga
2005 dengan wilayah penelitian meliputi Selat Makassar, Selat Lifamatola, Selat
Lombok, Selat Ombai, dan Selat Timor (Sprintall et al, 2004 dalam Kharishma,
2009).
2.7. Model Persamaan Parabolik
Metode Persamaan Parabolik merupakan merupakan metode yang efektif
dalam mengatasi masalah ketergantungan jarak dalam akustik kelautan. Metode
menemukan solusi numerik pada transformasi fourrier. Sejak saat itu metode ini
menjadi populer dalam menyelesaikan masalah perambatan suara dalam akustik
kelautan (Jensen et al, 1994).
Secara matematis, model perambatan suara dengan menggunakan teori
persamaan parabolik dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut.
Pertama-tama, persamaan gelombang suara ditransformasikan dari domain waktu ke
domain frekuensi. Dari Transformasi ini dihasilkan persamaan Helmholtz sebagai
berikut:
2 20
1 1
0
p p
r z k n p
r r r z z z
...(3)
dimana p r z
, adalah tekanan akustik,
z adalah densitas air laut, k0adalahbilangan gelombang acuan,
k0
/c0
, ( , )n r z adalah indeks refraksi0
(nc / )c ,
adalah frekuensi sudut, c adalah kecepatan suara dalam air dan radalah jarak sumber ke penerima.
Bentuk penyelesaian persamaan (4) adalah berupa fungsi Hankel:
(1) 0 0
( , ) ( , ) ( )
p r z r z H k r ...(4)
Dengan mensubsitusikan penyelesaian ini kedalam persamaan Helmholtz akan
dihasilkan persamaan berikut :
2 2
2 2
0 0
2 2ik 2 k n( 1)
r r z
...(5)
Bila didefinisikan suatu operator :
P r
dan
2 2 2 2 0 1 Q n k z
……... ..….(6)
2 2 2
0 0
2 ( 1) 0
P ik P k Q
...(7)
Selanjutnya, persamaan yang berbentuk parabolik ini dapat diurai menjadi
dua komponen, yakni untuk gelombang yang menjauhi sumber (outgoing wave)
dan yang mendekati sumber (incoming wave)
P ik 0ik Q P ik0
( 0ik Q0 )
ik P Q0
,
0...(8)Bila diasumsikan energi dari gelombang yang mendekati sumber sangat
kecil dibanding dengan gelombang yang menjauhi sumber sehingga hanya
gelombang yang menjauhi sumber saja yang dominan maka akan diperoleh
bentuk persamaan berikut:
0( 1)
P ik Q ...(9)
Atau
2 2
0 2 2
0
1
1
ik n
r k z
...(10)
Kemudian, jika didefinisikan :
2 1, n 2 2 2 0 1 k z
dan q
…...…….(11)Maka operator Q dapat dinyatakan sebagai Q 1q. Dengan demikian,
persamaan (12) dapat ditulis sebagai:
0 1 1
ik q r
...(12)
Persamaan (13) inilah yang disebut persamaan parabolik (PP). Pada
persamaan (13), perluasan suku dapat dilakukan antara lain, misalnya dengan
, 2 1
1 ,
1 1
1 m
j m m
j j m
a q
q O q
b q
...(13)Dimana madalah jumlah suku yang digunakan dalam perluasan dan
2 ,
2
sin ,
2 1 2 1
j m j a m m 2 , cos 2 1 j m j b m
...(14)
Hasil perluasan dengan deret Pade ini digunakan untuk menyelesaikan
persamaan (13) di atas secara numerik. Penggunaan perluasan dengan deret Pade
ini sering dipilih karena memungkinkan sudut perambatan yang lebih besar dan
dapat menangani variasi kedalaman yang besar.
Keuntungan yang paling mendasar dari penggunaan Persamaan Parabolik
untuk menyelesaikan persamaan Hemholtz adalah karena Persamaan Parabolik
merupakan persamaan gelombang satu arah yang dapat diselesaikan dengan
teknik penyelesaian yang dapat terus bergerak maju dengan bertambahnya jarak
(range-marching solution technique). Teknik penyelesaian tersebut
membutuhkan sfesifikasi kondisi awal dan kondisi batas lingkungan laut.
18 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini mempergunakan data hasil rekaman mooring buoy yang di
tempatkan di perairan Selat Lombok. Pengambilan data tersebut dilakukan
bertempat di perairan Selat Lombok (Gambar 2) dengan koordinat 080 26’ 2322”
LS dan 1150 45’ 331” BT dalam rangka program International Nusantara
Stratification and Transport (INSTANT). Pengolahan serta analisis data di
lakukan di Workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan (ITK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan ( FPIK), Institut
[image:31.612.114.494.368.638.2]Pertanian Bogor (IPB).
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian P. Bali
3.2. Perangkat dan Peralatan
Data ini diperoleh dengan mempergunakan instrumen pengukur suhu,
salinitas, dan kedalaman yang di pasang oleh Tim INSTANT pada perairan Selat
Lombok. Adapun peralatan dan bahan yang digunakan dalam pengambilan data
adalah sebagai berikut:
a. Conductivity Temperature Depth (CTD)
CTD merupakan instrumen yang digunakan untuk mengambil data sifat fisik
air laut berupa suhu, salinitas, dan densitas. CTD dapat ditambatkan di dalam
laut jika digunakan untuk mengambil data dalam jangka waktu yang lama.
CTD yang digunakan oleh Tim INSTANT adalah SBE-39 Microcat buatan
Seabird electronic yang dapat mengambil data sampai kedalaman sekitar
10.000 m
b. Peralatan pendukung teknik tambatan CTD
Komponen pendukungnya, antara lain kabel baja, pelampung (buoy),
beacon/argos dan jangkar.
Adapun alat yang dipergunakan untuk pengolahan data adalah sebagai
berikut:
1. Perangkat Keras (Hardware)
Personal Komputer (PC), Pencetak (printer), dan lain-lain.
2. Perangkat Lunak (Software)
3.3. Pengambilan Data
Metode pengambilan data yang dilakukan oleh Tim INSTANT
menggunakan teknik tambatan tali. Pelaksanaan pengambilan data ini melalui
beberapa tahapan, yaitu pemasangan rangkaian, pelepasan, dan pengambilan
kembali rangkaian.
Instrumen-instrumen pengukur parameter oseanografi, salah satunya CTD,
di pasang dalam satu untaian tambatan pada posisi dan kedalaman yang
ditentukan. Tahapan kegiatan dalam pemasangan tambatan adalah (Pranowo et
al, 2006 dalam Kharishma 2009):
1. Persiapan kabel tambatan
2. Kalibrasi dan Inisialisasi peralatan
3. Persiapan penempatan peralatan tambatan di dek kapal bagian belakang
dengan menempatkan semua peralatan pada posisinya masing-masing.
4. Ground track survey, untuk mengetahui profil batimetri di lokasi rencana
peletakan tambatan sehingga diperoleh tempat yang sesuai untuk
pemasangan.
5. Penurunan rangkaian tambatan dengan menurunkan satu persatu
komponen tambatan ke laut pada posisi yang ditentukan
6. Pencatatan koordinat lokasi, waktu, nama alat, dan urutan dilakukan setiap
kali komponen tambatan diturunkan ke laut.
7. Penurunan komponen terakhir, yaitu jangkar.
8. Pencocokan kembali posisi akhir tambatan yang telah terpasang dengan
posisi awal saat jangkar dilepaskan dengan posisi awal saat jangkar
Tahapan kegiatan dalam pengambilan rangkaian komponen peralatan, yaitu:
1. Acoustic release, yaitu pelepasan rangkaian-rangkaian peralatan tambatan
jangkar
2. Pemunculan buoy dari kolom perairan dimana beberapa komponen
diletakan, salah satunya CTD.
3. Pengangkatan komponen ke atas dek kapal, pembersihan komponen, dan
pencatatan informasi yang dibutuhkan.
4. Download Data, yaitu proses pemindahan data dari setiap komponen ke
dalam komputer untuk pemrosesan lebih lanjut.
3.4. Simulasi Data
Data suhu, salinitas, dan kedalaman yang diambil dari CTD dikoreksi
secara manual kemudian disimpan dalam file berekstensi .txt. Data tersebut
kemudian diubah menjadi data kecepatan suara sehingga dapat digunakan untuk
simulasi komputer. Untuk mensimulasikan perambatan gelombang suara di
dalam air, digunakan toolbox AcTUP V 2.2L yang dijalankan dari perangkat lunak
Matlab 2010a. Penjelasan mengenai pengolahan data dapat dilihat di Gambar 3.
Dalam mensimulasikan perambatan gelombang suara diperlukan data
seperti data suhu, salinitas, dan tekanan yang selanjutnya akan di konversi
menjadi data kecepatan suara. Sebelum dilakukan konversi, data harus dilakukan
penapisan untuk menghilangkan nilai yang error. Setelah dilakukan penapisan
data maka dilakukan perata-rataan data karena data yang digunakan selama 30
hari. Lalu dilakukan konversi data dimana dari data kedalaman yang di konversi
dapat dengan mengkonversi data suhu, salinitas, dan tekanan melalui persamaan
1. Selanjutnya data kecepatan suara ini digunakan dalam pembuatan profil
environment (lingkungan) yang mendekati kondisi lingkungan laut yang
sebenarnya. Data yang diperlukan pada tahap ini adalah data kecepatan suara,
kedalaman, dan koefisien atenuasi yang telah di dapat dari persamaan 3. Hal
terpenting pada tahap ini adalah dalam memasukan nilai kecepatan suara harus
sesuai dengan kedalaman yang telah di tentukan.
Parameter independent di definisikan sebagai parameter yang tidak
dipengaruhi oleh lingkungan sehingga dapat di tentukan sendiri. Nilai yang
diperlukan untuk parameter ini adalah nilai frekuensi, kedalaman sumber,
kedalaman penerima, jarak minimum dan maksimum propagasi. Parameter
dependent merupakan parameter yang dipengaruhi oleh lingkungan yang telah ada
sebelumnya. Pada parameter inidiperlukan nilai seperti Maximum depth for TL
grid output, Relative depth resolution, dll.
Setelah semua parameter dependent, independent dan environment telah
di definisikan, maka tahap selanjutnya adalah menjalankan simulasi dengan
menggunakan kode propagasi RamGeo. RamGeo merupakan kode propagasi
yang mensimulasikan perambatan gelombang suara dengan menggunakan metode
persamaan parabolik. Setelah hasil simulasi selesai maka dapat ditampilkan
dalam bentuk gambar grafik sehingga dapat dilakukan analisis hasil simulasi
untuk dapat melakukan penarikan kesimpulan. Untuk keterangan yang lebih jelas
Gambar 4. Diagram Alir Pengolahan Data
Memasukan code independent dan
code dependent
Jalankan Simulasi Memplotkan Hasil
Simulasi
Pembuatan
Environment
(lingkungan)
Perata-rataan Data
Mulai Pengumpulan
Data
Penapisan
Data Konversi Data
Analisis Data Plot Hasil Simulasi
24
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Profil Vertikal Kecepatan Suara, Suhu, dan Salinitas 4.1.1. Profil Vertikal Kecepatan Suara
Sebaran vertikal kecepatan suara hasil pengukuran pada daerah permukaan
relatif seragam, namun pada saat kedalaman mendekati kedalaman 100 m- 200 m
kecepatan suara menurun secara tajam lalu berkurang mengikuti kedalaman
perairan sampai di kedalaman 700 m. Pada kedalaman kurang dari 60 m
kecepatan suara cenderung konstan, karena pada kedalaman ini merupakan
lapisan tercampur dimana masih ada penetrasi dari sinar matahari dan terjadi
percampuran massa air yang disebabkan adanya pengadukan oleh angin sehingga
suhu cenderung seragam akibatnya kecepatan suara yang di dapat akan relatif
konstan.
Di bawah lapisan tercampur, kecepatan suara mengalami penurunan yang
relatif tajam pada kedalaman yang relatif singkat karena adanya lapisan termoklin
dimana pada saat bersamaan terjadi peningkatan nilai salinitas. Di bawah
kedalaman 700 m kecepatan suara akan bertambah seiring dengan bertambahnya
kedalaman, dimana kedalaman (tekanan) merupakan faktor yang menentukan di
daerah ini karena penurunan suhu dan peningkatan salinitas berjalan dengan
sangat berlahan. Berdasarkan persamaan 1, suhu, salinitas, dan kedalaman
mempengaruhi kecepatan suara dalam kolom air, sedangkan energi rambat suara
diantaranya dipengaruhi oleh refraksi dan sifat-sifat kimia air laut yang
mengakibatkan adanya perubahan energi menjadi kalor. Menurut Waite (2002),
waktu, dan cuaca. Keempat faktor ini mempengaruhi karateristik suatu perairan
yang dimana akan mempengaruhi kecepatan suara. Data yang digunakan
merupakan data yang direkam pada bulan Juli 2005 dimana pada bulan Agustus
[image:38.612.144.477.204.497.2]merupakan Musim Timur dimana curah hujan relatif berkurang.
Gambar 5. Grafik Hubungan Kecepatan Suara dan Kedalaman Secara Vertikal
4.1.2. Profil Vertikal Salinitas
Profil vertikal salinitas hingga kedalaman 960 m dapat terlihat pada
Gambar 6. Nilai vertikal salinitas di permukaan relatif lebih kecil, kurang dari
34,3 psu, lalu bertambah secara tajam pada saat kedalaman mendekati 100 m.
Nilai salinitas tertinggi berada pada kisaran kedalaman 100-200 m dekat dengan
Selat Lombok dipengaruhi oleh masukan massa air dari Samudera Pasifik yang
terbawa oleh ARLINDO. Salinitas dipengaruhi oleh beberapa hal seperti musim,
lintang, dan karateristik suatu perairan. Perekaman data dilakukan pada bulan Juli
2005 yang merupakan Musim Timur dimana wilayah Indonesia relatif mengalami
Musim Kemarau akibat berkurangnya curah hujan karena adanya pengaruh dari
[image:39.612.116.495.247.570.2]angin Musim Timur.
Gambar 6. Grafik Hubungan Salinitas dan Kedalaman Secara Vertikal
Menurut Pickard dan Emery (1990), salinitas maksimun pada wilayah
Setelah melewati kedalaman 300 m, kadar salinitas menurun seiring dengan
bertambahnya kedalaman.
4.1.3. Profil Vertikal Suhu
Profil vertikal suhu hingga kedalaman 960 m dapat terlihat pada Gambar
7. Berdasarkan hasil yang di dapat, suhu cenderung mengalami penurunan seiring
dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini di sebabkan penetrasi sinar matahari di
laut dapat mencapai kedalaman 150 m. Suhu maksimum berada di sekitar
permukaan laut (lapisan tercampur) yakni berada pada kisaran 29 0C dimana pada
daerah permukaan masih terjadi penetrasi matahari dan dipengaruhi oleh adanya
pengadukan massa air oleh angin yang menyebabkan terjadinya pergerakan massa
air secara vertikal pada kedalaman yang relatif dangkal, sehingga suhu relatif
masih sama nilainya hingga kedalaman 60 m-70 m. Pada kedalaman mendekati
100 m sampai 200 m, suhu mengalami penurunan yang cukup tajam pada
kedalaman yang cukup sempit dan dapat di duga pada kedalaman ini merupakan
lapisan termoklin. Setelah kedalaman 200 m, suhu mengalami penurunan yang
relatif konstan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Perekaman data
dilakukan pada Musim Timur dimana sinar matahari lebih banyak sehingga suhu
Gambar 7. Grafik Hubungan Suhu dan Kedalaman Secara Vertikal
Kecepatan suara akan meningkat seiring bertambahnya suhu dan
kedalaman (tekanan). Saat air laut di permukaan yang bersuhu relatif lebih hangat
dari pada lapisan air di bawahnya, akan muncul dua kecenderungan yang bertolak
belakang yakni kecepatan suara relatif akan berkurang saat suhu menurun dan
kecepatan suara akan relatif bertambah seiring dengan bertambahnya
kedalaman/tekanan (Waite, 2005).
4.2. Simulasi Nilai Kehilangan Transmisi terhadap Kedalaman dan Jarak Simulasi perambatan gelombang suara dengan memberi batasan
lingkungan berupa jarak yang sama yakni 20.000 m, kedalaman perairan 650 m,
suara dan penerima yang berada di kedalaman 25 m, 110 m, dan 300 m untuk
sumber suara dan untuk penerima berada pada kedalaman 30 m, 115 m, dan 310
m. Pemilihan kedalaman ini berdasarkan 3 kedalaman yang biasa digunakan
kapal selam dalam beraktifitas di laut. Ketiga kedalaman tersebut secara
berturut-turut mewakili kedalaman kapal selam saat berada pada kedalaman periskop
(periscope depth), kedalaman jelajah rata-rata kapal selam (cruise depth) dan
kedalaman maksimum rata-rata kapal selam (maximum depth). Frekuensi yang
digunakan memiliki nilai yang sama yakni 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz.
Pemilihan frekuensi ini untuk mengetahui pola perambatan gelombang suara
dengan berbagai macam variasi frekuensi yang berbeda.
4.2.1. Kedalaman Sumber Suara 25 m dan Kedalaman penerima 30 m Simulasi letak sumber suara pada kedalaman 25 m dari permukaan laut
dan penerima diletakan pada kedalaman 30 m dari permukaan laut. Hal ini agar
dapat diketahui pola perambatan gelombang suara saat posisi sumber dan
penerima berada pada kedalaman yang relatif dangkal. Kedalaman ini adalah
kedalaman yang biasanya digunakan oleh kapal selam untuk menggunakan
periskopnya ( periscope depth ) untuk melakukan pengintaian di permukaan laut
atau untuk menembakan torpedo terhadap kapal yang ada di permukaan.
Kedalaman ini merupakan kedalaman yang berbahaya pada kapal selam karena
kapal selam mudah sekali untuk dilacak oleh kapal musuh sehingga kapal perang
musuh dapat melepaskan depth bomb (bom laut) untuk menghancurkan kapal
meskipun jarak ledakan dan kapal selam mencapai 100 m, efek dekstrutif yang
dihasilkan cukup besar.
Gambar 8 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman sumber
25 m, kedalaman penerima 35 m, jarak 20.000 m, kedalaman 360 m dan
frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Hasil yang diperoleh secara umum
dari 4 frekuensi yang berbeda di dapat nilai kehilangan transmisi (Transmision
Loss / TL) mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak (menjauhi sumber
suara). Berdasarkan hasil simulasi, pada frekuensi 100 Hz gelombang suara
membentuk pola perambatan yang fluktuatif dimana setelah dipancarkan
gelombang suara memancar turun lalu dipantulkan kembali ke permukaan dan
seterusnya. Gelombang suara pada frekuensi ini mengalami nilai kehilangan
transmisi yang cukup besar jika dibandingkan dengan frekuensi yang lain. Pada
frekuensi ini, jarak tempuh gelombang suara dalam kolom air lebih pendek
akibat adanya penyerapan oleh sedimen dan medium air laut. Pada jarak 6.000 m,
perambatan gelombang suara sudah mulai melemah, hal ini terlihat dari nilai
Transmission Loss ( TL) yang semakin besar mendekati 60 dB. Shadow Zone
(lingkaran kuning) terbentuk pada jarak 2.000 m, 10.000 m, dan 14.000 m dari
sumber di kedalaman dekat dengan permukaan air laut dimana nilai TL sekitar 80
dB dan pada jarak 14.000 m-20.000 m di kedalaman 350 m dengan nilai TL
mendekati 80 dB.
Frekuensi 1.000 Hz, gelombang suara mampu merambat ke jarak 20.000
m, namun pada pola perambatannya cenderung berbeda jika di bandingkan pada
frekuensi 100 Hz . Frekuensi ini, pola perambatan gelombang suara yang
secara fluktuatif di daerah dekat dengan permukaan air dan pola kedua gelombang
suara merambat secara fluktuatif dimana setelah dipancarkan gelombang suara
memancar turun lalu dipantulkan kembali ke permukaan dan seterusnya,
meskipun terlihat gelombang suara juga dipantulkan dan dibiaskan pada
kedalaman kurang dari 200 m dimana dekat dengan lapisan termoklin.
Gelombang suara mampu merambat sampai jarak 20.000 m dengan cukup jelas di
pola perambatan pertama, karena gelombang suara berada pada wilayah buluh
permukaan (surface duct), dimana pada wilayah buluh permukaan gelombang
suara seolah-olah seperti terperangkap sehingga gelombang suara mampu
merambat lebih jauh (terfokus). Shadow zone di frekuensi ini pada umumnya
terbentuk pada jarak 14.000 m- 20.000 m di kedalaman antara 100 m dan 200 m.
Pada frekuensi 10.000 Hz, pola perambatan suara yang di dapat hampir
sama dengan pola perambatan gelombang suara pada frekuensi 1.000 Hz.
Frekuensi 10.000 Hz pola perambatan gelombang suara mengalami
penghamburan pada lapisan termoklin dan di bawah lapisan termoklin sehingga
pola perambatannya menjadi tidak terfokus akibatnya pada jarak 10.000 m nilai
TL mendekati 70 dB meskipun pada wilayah buluh permukaan gelombang suara
masih mampu merambat hingga jarak 20.000 m. Shadow zone pada frekuensi
10.000 Hz terbentuk pada jarak sekitar 8.000 m dari gelombang suara pada
kedalaman lebih dari 250 m.
Frekuensi 50.000 Hz tidak jauh beda dengan pola perambatan pada
frekuensi 10.000 Hz, namun pada frekuensi ini terlihat pola rambat yang lebih
fokus ketimbang frekuensi 10.000 Hz. Pada buluh permukaan, gelombang suara
12.000 m dari sumber suara dengan kedalaman berkisar 200 m dari permukaan air
dimana TL mendekati 80 dB.
Buluh permukaan merupakan lapisan isothermal yang secara akustik
sebagai pemandu gelombang karena ada peningkatan kecepatan suara terhadap
kedalaman. Akibatnya sebagian energi akustik yang dipancarkan oleh sumber
yang berada pada lapisan tercampur akan terjebak dalam buluh permukaan.
Umumnya buluh permukaan yang terletak dipermukaan dangkal (kurang dari 50
m) merupakan buluh yang paling umum ditemui, tetapi buluh ini baru efektif
sebagai pemandu gelombang pada frekuensi tinggi dimana kehilangan akibat
penghamburan menjadi penting. Sebaliknya buluh yang lebih dalam (lebih dari
100 m) merupakan pemandu gelombang yang efektif untuk frekuensi rendah
(Jensen et al, 1994).
Menurut Urick (1983), beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi
gelombang suara di dalam suatu kolom perairan adalah jarak sumber suara
kedalaman perairan, dan frekuensi sumber suara. Semakin jauh gelombang suara,
semakin besar frekuensi yang digunakan merambat dari suatu sumber, maka
semakin tinggi nilai atenuasi () yang terjadi di dalam kolom perairan. Koefisien
atenuasi ini akan mempengaruhi nilai TL yang dimana berdasarkan hasil simulasi
nilai TL apabila jarak semakin jauh, maka nilai TL akan semakin besar.
Gambar 9 pada frekuensi 100 Hz, nilai TL yang didapat cenderung
fluktuatif sepanjang jarak 20.000 m. Pada jarak kurang dari 1.000 m, nilai TL
mengalami kenaikan yang cukup besar hingga mendekati 70 dB. Nilai TL
terbesar berada pada jarak sekitar 7.000-an m dari sumber suara ketika nilai TL
dB, yakni pada jarak sekitar 3.000, 6.000, 9.000, dan 13.000-an m dari sumber
suara. Daerah pada jarak diatas dapat diduga merupakan wilayah dan jarak
munculnya shadow zone.
Frekuensi 1.000 Hz, nilai TL yang di dapat fluktuatif dengan
kecenderungan semakin meningkat jika menjauhi sumber suara. Nilai TL terbesar
terletak pada jarak 8.000 m dimana nilai TL mendekati 100 dB. Selain itu banyak
terdapat nilai TL yang mendekati 80 dB pada frekuensi ini hampir di semua jarak.
Frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz cenderung mempunyai kemiripan
dimana kedua frekuensi ini pola perambatan gelombang suara cenderung
fluktuatif dengan kecenderungan mengalami peningkatan TL. Frekuensi
10.000 Hz, nilai TL terbesar terdapat pada jarak 7.000-an m dimana nilai TL
mendekati 100 dB. Sedangkan pada frekuensi 50.000 Hz, nilai TL terbesar
terdapat pada jarak 8.000 m dimana nilai TL mencapai lebih dari 100 dB. Kedua
frekuensi ini terdapat banyak wilayah yang mengalami peningkatan nilai TL yang
mencapai 80 dB dimana dapat di duga wilayah pada jarak tersebut merupakan
shadow zone jika berdasarkan nilai TL yang meningkat
Gambar 10 merupakan gambar yang menampilkan grafik Transmission
Loss dengan jarak pada kelima frekuensi yang digunakan setelah dilakukan
running average. Running average ini bertujuan untuk menampilkan grafik yang
lebih halus (smooth) sehingga jika keempat frekuensi ditampilkan dalam satu
grafik akan terlihat dengan cukup jelas perbedaanya. Pada kedalaman sumber
suara 25 m, frekuensi 100 Hz mempunyai nilai TL yang mengalami kenaikan
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan 3 frekuensi lainnya. Hal ini
dasar laut dan dapat berpenetrasi gelombang suara ke dalam sedimen. Selain itu,
pada kedalaman ini adalah wilayah lapisan tercampur yang merupakan lapisan
subur dimana didalamnya banyak partikel terlarut. Frekuensi 100 Hz tersebut
banyak membentur partikel tersebut sehingga memiliki nilai kehilangan lebih
besar. Nilai TL tertinggi terdapat di frekuensi 100 Hz dengan nilai TL hampir
mencapai 100 dB pada jarak mendekati 14.000 m.
Ketiga frekuensi lain secara umum berdasarkan Gambar 10 memiliki
nilai TL yang hampir sama dan tidak berbeda jauh ketiganya yakni berkisar antara
70 dB sampai 80 dB. Frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz (frekuensi tinggi),
gelombang suara yang hilang lebih dikarenakan adanya penghamburan yang
terjadi oleh kolom perairan (Kadarwati, 1999).
4.2.2. Kedalaman Sumber Suara 110 m dan Kedalaman penerima 115 m Sumber suara diletakan pada kedalaman 110 m dari permukaan laut dan
penerima diletakan pada kedalaman 115 m dari permukaan laut. Hal ini
dimadsudkan agar dapat diketahui pola perambatan gelombang suara saat posisi
sumber dan penerima berada pada kedalaman yang terdapat lapisan termoklin.
Kedalaman ini merupakan kedalaman yang biasanya digunakan oleh kapal selam
untuk menjelajah (cruise depth). Kedalaman ini kapal selam militer rata-rata
melakukan penjelajahan (cruise) agar tidak dapat terdeteksi oleh musuh yang
menyebar alat deteksi di permukaan laut atau untuk menghindari ranjau yang
dipasang oleh musuh. Selain itu, kapal selam juga menggunakan karateristik
Di laut terbuka, lapisan termoklin berkarakter sebagai gradien kecepatan
suara negatif dimana dapat memantulkan gelombang suara. Secara teknik lapisan
ini membendung dari impendansi akustik yang terputus-putus (diskontinu) yang
tercipta dari perubahan densitas secara mendadak.
Gambar 11 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman sumber
110 m, kedalaman penerima 115 m, jarak 20.000 m, kedalaman 650 m dan
frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Hasil yang diperoleh secara umum
dari 4 frekuensi yang berbeda di dapat nilai kehilangan transmisi (Transmision
Loss / TL) mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak (menjauhi sumber
suara). Berdasarkan hasil simulasi, keempat frekuensi mampu merambat hingga
jarak 20.000 m, hal ini terlihat dari pola perambatan gelombang suara yang
berbentuk fluktuatif ( naik turun) saat di pancarkan dari sumber lalu turun ke dasar
perairan dan dipantulkan kembali menuju ke atas di kedalaman 110 m dan begitu
seterusnya hingga jarak 20.000 m. Berdasarkan Gambar 11, pada kedalaman 110
m merupakan lapisan termoklin, dimana suhu menurun dengan cepat pada
kedalaman yang relatif dekat. Lapisan termoklin mempunyai karateristik mampu
memantulkan dan membelokan gelombang suara yang datang.
Berdasarkan hasil simulasi, pada frekuensi 100 Hz gelombang suara
membentuk pola perambatan yang fluktuatif dimana setelah dipancarkan
gelombang suara memancar turun lalu dipantulkan kembali ke permukaan dan
seterusnya. Gelombang suara pada frekuensi ini mengalami nilai kehilangan
transmisi yang cukup besar jika dibandingkan dengan frekuensi yang lain. Pada
frekuensi ini, jarak tempuh gelombang suara dalam kolom air lebih pendek
perambatan gelombang suara sudah mulai melemah, hal ini terlihat dari nilai
Transmission Loss ( TL) yang semakin besar mendekati 70 dB-80 dB. Shadow
Zone (lingkaran kuning) terbentuk pada jarak 2.000 m, 10.000 m, dan 14.000 m
dari sumber di kedalaman dekat dengan permukaan air laut dimana nilai TL
sekitar 80 dB dan pada jarak 10.000 m-20.000 m di kedalaman 250 m dengan
nilai TL mendekati 80 dB. Frekuensi ini gelombang suara yang dipantulkan
kembali seolah terperangkap dalam lapisan termoklin sehingga tidak dapat
mencapai permukaan laut kembali. Hal ini terlihat dari banyak wilayah shadow
zone yang berada pada permukaan air laut.
Frekuensi 1.000 Hz, gelombang suara mampu merambat ke jarak 20.000
m, namun pada pola perambatanya cenderung berbeda jika di bandingkan pada
frekuensi 100 Hz. Pola perambatan gelombang suara frekuensi 1.000 Hz
membentuk menjadi dua bagian, gelombang suara yang pertama merambat secara
fluktuatif di daerah permukaan hingga dekat dengan lapisan termoklin. Pola
perambatan yang pertama, gelombang suara mampu merambat sampai jarak
20.000 m dengan cukup jelas. Gelombang suara yang kedua merambat secara
fluktuatif setelah dipancarkan dari sumber suara. Gelombang suara memancar
turun lalu dipantulkan dan dibiaskan kembali ke lapisan termoklin dan
seterusnya. Shadow Zone pada frekuensi ini pada umumnya terbentuk pada jarak
14.000 m- 20.000 m dengan kedalaman antara 150 m dan 200 m.
Pada frekuensi 10.000 Hz, pola perambatan suara yang di dapat hampir
sama dengan pola perambatan gelombang suara pada frekuensi 1.000 Hz.
Frekuensi 10.000 Hz pola perambatan gelombang suara mengalami
pola perambatannya menjadi tidak terfokus sehingga pada jarak 10.000 m nilai TL
mendekati 70 dB. Wilayah shadow zone pada frekuensi 10.000 Hz terbentuk pada
jarak sekitar 8.000 m dari gelombang suara pada kedalaman lebih dari 250 m-650
m yang berada di bawah lapisan termoklin. Selain itu, shadow zone juga di
temukan pada lapisan di atas lapisan termoklin dimana wilayah shadow zone ini
terjadi karena terjadi penghamburan dan pemantulan gelombang suara sehingga
gelombang suara yang berasal dari bawah tidak mampu ke daerah permukaan air.
Nilai TL pada wilayah diatas lapisan temoklin berkisar 70 dB pada jarak sekitar
12.000 sampai 14.000 m dari sumber suara.
Frekuensi 50.000 Hz tidak jauh berbeda dengan pola perambatan pada
frekuensi 10.000 Hz, namun pada frekuensi ini terlihat pola rambat yang lebih
fokus ketimbang frekuensi 10.000 Hz. Shadow zone terletak pada jarak 12.000 m
dari sumber suara dengan kedalaman berkisar 200 m dari permukaan air dimana
TL mendekati 80 dB. Selain itu, shadow zone juga di temukan pada lapisan di
atas lapisan termoklin dimana shadow zone ini terjadi karena terjadi
penghamburan dan pemantulan gelombang suara sehingga gelombang suara yang
berasal dari bawah tidak mampu ke daerah permukaan air. Nilai TL pada wilayah
diatas lapisan temoklin berkisar 70 dB pada jarak sekitar 12.000 sampai 14.000 m
dari sumber suara
Gambar 12 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman
sumber 110 m, kedalaman penerima 115 m, jarak 20.000 m, kedalaman 650 m
dan frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Pada frekuensi 100 Hz, nilai
TL yang di dapat cenderung fluktuatif sepanjang jarak 20.000 m. Pada jarak
mendekati 70 dB. Nilai TL terbesar di dapat pada jarak sekitar 12.000-an m dari
sumber suara dimana nilai TL mencapai 90 dB. Selain itu terdapat wilayah
dimana nilai TL mendekati 90 dB, yakni pada jarak sekitar 13.000-an m dari
sumber suara. Bisa di duga bahwa daerah pada jarak diatas merupakan
wilayah/jarak munculnya shadow zone.
Frekuensi 1.000 Hz, nilai TL yang di dapat fluktuatif dengan
kecenderungan semakin meningkat jika menjauhi sumber suara. Nilai TL terbesar
terletak pada jarak 18.000 m dimana nilai TL melewati 100 dB. Selain itu banyak
terdapat nilai TL yang mendekati 80-90 dB pada frekuensi ini hampir di semua
jarak.
Frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz cenderung mempunyai kemiripan
dimana kedua frekuensi ini pola perambatan gelombang suara cenderung
fluktuatif dengan kecenderungan mengalami peningkatan TL. Pada frekuensi
10.000 Hz, nilai TL terbesar terdapat pada jarak 12.000-an m dimana nilai TL
melewati 100 dB. Sedangkan pada frekuensi 50.000 Hz, nilai TL terbesar
terdapat pada jarak 1.500 m dan 16.000 m dimana nilai TL mencapai lebih dari
100 dB. Pada kedua frekuensi ini terdapat banyak wilayah yang mengalami
peningkatan nilai TL yang mencapai 80 dB dimana dapat di duga wilayah pada
jarak tersbut merupakan wilayah shadow zone jika berdasarkan nilai TL yang
meningkat.
Gambar 13 merupakan gambar yang menampilkan grafik Transmission
Loss dengan jarak pada kelima frekuensi yang digunakan setelah dilakukan
running average. Running average ini digunakan untuk menampilkan grafik
satu grafik akan terlihat dengan cukup jelas perbedaanya. Pada kedalaman
sumber suara 110 m, frekuensi 100 Hz mempunyai nilai TL yang mengalami
kenaikan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tiga frekuensi lainnya. Hal
ini dikarenakan karena berbagai faktor seperti terserapnya gelombang suara oleh
sedimen di dasar laut dan gelombang suara dapat berpenetrasi ke dalam sedimen.
Secara umum, keempat frekuensi mempunyai nilai TL yang hampir sama yakni
sebesar 60 dB hingga jarak sekitar 3.000 m, lalu setelah jarak 3.000 m, nilai TL
pada frekuensi 100 Hz mengalami peningkatan jika dibandingkan nilai TL dari
ketiga frekuensi lainnya. Nilai TL tertinggi terdapat di frekuensi 100 Hz dengan
nilai TL hampir mencapai 80 dB pada jarak mendekati 20.000 m.
Ketiga frekuensi lain secara umum berdasarkan Gambar 12 memiliki
nilai TL yang hampir sama dan tidak berbeda jauh ketiganya yakni berkisar antara
60 dB sampai 70 dB. Pada frekuensi 10.000 Hz dan 50.000 Hz (frekuensi tinggi),
gelombang suara yang hilang lebih dikarenakan adanya penghamburan yang
terjadi oleh kolom perairan (Kadarwati, 1999). Pada kedalaman ini merupakan
kedalaman termoklin yang dimana gelombang suara mengalami pembelokan
akibat perbedaan suhu yang menurun dengan cukup drastis pada kedalaman yang
relatif tidak terlalu dalam.
4.2.3. Kedalaman Sumber Suara 250 m dan Kedalaman penerima 260 m Sumber suara diletakan pada kedalaman 300 m dari permukaan laut dan
penerima diletakan pada kedalaman 310 m dari permukaan laut. Hal ini agar
dapat diketahui pola perambatan gelombang suara saat posisi sumber dan
kedalaman yang biasanya digunakan oleh kapal selam saat melakukan
penyelaman mendekati kedalaman maksimum ( maximum depth). Pada
kedalaman ini kapal selam militer rata-rata melakukan penyelaman secara
maksimum agar tidak dapat terdeteksi oleh musuh yang menyebar alat deteksi di
permukaan laut atau untuk menghindari bom laut dalam ( deep bomb ) yang di
lepas oleh kapal perusak musuh ( destroyer) terutama kapal selam militer
berpenggerak diesel-elektrik meskipun beberapa kapal selam berpenggerak energi
nuklir mampu menyelam hingga kedalaman 400 m.
Gambar 14 merupakan hasil simulasi komputer dengan kedalaman sumber
300 m, kedalaman penerima 310 m, jarak 20.000 m, kedalaman 650 m dan
frekuensi 100, 1.000, 10.000, dan 50.000 Hz. Berdasarkan hasil simulasi, pada
frekuensi 100 Hz gelombang suara membentuk pola perambatan yang fluktuatif
dimana setelah dipancarkan gelombang suara memancar turun lalu dipantulkan
kembali ke permukaan dan seterusnya. Gelombang suara pada frekuensi ini
mengalami nilai kehilangan transmisi yang cukup besar jika dibandingkan dengan
frekuensi yang lain. Pada frekuensi ini, jarak tempuh gelombang suara dalam
kolom air lebih pendek akibat adanya penyerapan oleh sedimen dan medium air.
Pada jarak 8.000 m, perambatan gelombang suara sudah mulai melemah, hal ini
terlihat dari nilai Transmission Loss ( TL) yang semakin besar mendekati 80 dB.
Shadow Zone (lingkaran kuning) terbentuk jarak sekitar 2.000 m dari sumber di
kedalaman dekat dengan permukaan air laut dimana nilai TL sekitar 80 dB dan
pada jarak 12.000 m-16.000 m di kedalaman 250 m dengan nilai TL mendekati 80
dB. Pada frekuensi ini gelombang suara yang dipantulkan kembali seolah
laut kembali. Hal ini terlihat dari banyak shadow zone yang berada pada
permukaan air laut.
Frekuensi 1.000 Hz pola perambatan gelombang suara mampu merambat
sampai jarak 20.000 m dengan cukup jelas meskipun pada kedalaman dekat
dengan sumber suara di jarak 8.000 m, gelombang suara sudah mulai hilang,
meskipun ada beberapa gelombang suara yang masih dapat sampai ke permukaan
air. Shadow zone pada frekuensi ini pada umumnya terbentuk pada jarak 10.000
m- 20.000 m dengan kedalaman antara 0 m dan 300 m dan berada pada jarak
12.000 m sampai 20.000 m di kedalaman sekitar 600 m.
Frekuensi 10.000 Hz, pola perambatan suara yang di dapat hampir sama
dengan pola perambatan gelombang suara pada frekuensi 1.000 Hz. Frekuensi
10.000 Hz pola perambatan gelombang suara mengalami penghamburan pada
lapisan termoklin dan di bawah lapisan termoklin sehingga pola perambatannya
menjadi tidak terfokus sehingga pada jarak 10.000 m ni