• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakter Morfofisiologi Tanaman dan Fisikokimia Beras dengan Berbagai Dosis Pemupukan Organik dan Hayati pada Budidaya Padi Organik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakter Morfofisiologi Tanaman dan Fisikokimia Beras dengan Berbagai Dosis Pemupukan Organik dan Hayati pada Budidaya Padi Organik"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTER MORFOFISIOLOGI TANAMAN

DAN FISIKOKIMIA BERAS DENGAN BERBAGAI DOSIS

PEMUPUKAN ORGANIK DAN HAYATI

PADA BUDIDAYA PADI ORGANIK

ISNA TUSTIYANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakter Morfofisiologi

Tanaman dan Fisikokimia Beras dengan Berbagai Dosis Pemupukan Organik dan

Hayati pada Budidaya Padi Organik adalah benar karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Isna Tustiyani

(3)

RINGKASAN

ISNA TUSTIYANI. Karakter Morfofisiologi Tanaman dan Fisikokimia Beras dengan Berbagai Pemupukan Organik dan Hayati pada Budidaya Padi Organik. Dibimbing oleh SUGIYANTA dan MAYA MELATI.

Adanya kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif dari pertanian konvensional telah mendorong keinginan untuk beralih dari pertanian konvensional menuju pertanian organik (organik farming), yang mampu menciptakan pertanian yang ramah lingkungan dan produk organik. Salah satu komponen budidaya organik adalah pupuk organik dan hayati. Penggunaan pupuk organik menguntungkan karena mampu meningkatkan kesuburan fisik, biologi, dan kimia tanah serta menghasilkan produk pangan yang aman dikonsumsi dan aman bagi lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat morfofisiologi dan fisikokimia beras berdasarkan pemupukan organik dan hayati.

Percobaan lapangan dilaksanakan pada bulan Mei 2012 sampai Januari 2013 di Karawang, Jawa Barat. Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 12 perlakuan dan tiga ulangan. Terdapat 12 perlakuan terdiri atas 6 perlakuan pertama adalah 0, 2, 4, 6, 8, 10 ton pupuk organik ha-1, sedangkan 6 perlakuan yang lain adalah 0, 2, 4, 6, 8, 10 ton pupuk organik ha-1 yang masing-masing ditambah dengan 2 L pupuk hayati ha-1. Perlakuan pembanding adalah pupuk anorganik 400 kg NPK (30-6-8) ha-1. Petakan yang digunakan berukuran 15 m x 10 m, dengan jarak tanam legowo 2:1 (25 cm x 15 cm x 50 cm).

Hasil menunjukkan bahwa karakter morfofisiologi seperti warna daun, bobot 1000 butir, kadar P daun dan P gabah meningkat dengan meningkatnya dosis pupuk organik baik tanpa maupun ditambah pupuk hayati, sedangkan karakter yang lain seperti tinggi tanaman, jumlah anakan, kadar N, K daun dan gabah, LAB, LPR, luas daun, nisbah tajuk akar, serapan hara, bobot biomasa, panjang daun, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, persen gabah hampa, persen gabah terserang OPT, serta hasil tanaman padi sawah tidak dipengaruhi oleh perlakuan pupuk organik tanpa maupun ditambah pupuk hayati. Karakter fisikokimia beras seperti kadar amilosa beras menurun akibat aplikasi pupuk organik tanpa maupun ditambah pupuk hayati, sedangkan karakter fisikokimia yang lain seperti bentuk beras, rendemen beras giling, rendemen beras kepala, nisbah penyerapan air nasi, umur simpan nasi, dan skor organoleptik tidak dipengaruhi oleh pemupukan organik tanpa maupun ditambah pupuk hayati. Karakter morfofisiologi seperti skor warna daun pada aplikasi pupuk anorganik lebih tinggi daripada aplikasi pupuk organik, sedangkan karakter morfofisiologi yang lain dan karakter fisikokimia beras pada perlakuan pupuk organik tanpa maupun ditambah pupuk hayati tidak berbeda dengan perlakuan pupuk anorganik.

(4)
(5)

SUMMARY

ISNA TUSTIYANI. The Morphophysiological and Physicochemical Characters of Rice with Various Rates of Organic and Biological Fertilizer under Organic Farming System. Supervised by SUGIYANTA and MAYA MELATI.

The public awareness on the negative impacts of conventional agriculture have prompted a desire to switch from conventional farming cultivation to organic farming, which is capable of creating environmentally friendly agriculture and organic product. One component of organic farming is organic and biological fertilizers. The use of organic fertilizer can improve the physical, biological, and chemical properties of soil and produce food products that are safe to eat and safe for the environment. The objective of the research was to investigate the morphophysiological and physicochemical characters of rice with various rates of organic and biological fertilizer.

The experiment was conducted at rice field in Karawang and Bogor, West Java, from May 2012 to January 2013. The experiment used one factor in randomized block design consisted of 12 treatments and three replications. The first 6 treatments were 0, 2, 4, 6, 8, 10 ton organic fertilizer ha-1, and the other 6 treatments were 0, 2, 4, 6, 8, 10 ton organic fertilizer ha-1 combined with 2 L biological fertilizer ha-1. As control treatment was the application of anorganic fertilizer with the rate of 400 kg NPK (30-6-8) ha-1. Plot size was 15 m x 10 m, with a double row spacing (legowo 2:1) (25 cm x 15 cm x 50 cm).

The results showed that the morphophysiological character such as that the leaf color, 1000 grains weight, P content in leaf and grain increased with increasing rates of organic fertilizer either without or with biological fertilizer, while other characters such as the plant height, number of tillers, N and K content in leaf and grain, net assimilation rate, relative growth rate, leaf area, roots shoot ratio, nutrient uptake, biomass weight, leaf length, number of productive tillers, panicle length, number of grains per panicle, empty grain percentage, percentage of grain attacked by the pest, and yield was not affected by the treatments. Physicochemical character such as amylose content decresed with increasing rates of organic fertilizer either without or with biological fertilizer, while others physicochemical character such as rice shape, milled rice, head rice, water absorption ratio, rice shelf life and organoleptic scores was not influenced by organic fertilizer either without or with biological fertilizer. Morphophysiological character such as score of leaf color in inorganic fertilized higher than organic fertilized, while the other morphophysiological characters and the physicochemical character was not different between organic and inorganic fertilized.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

KARAKTER MORFOFISIOLOGI TANAMAN

DAN FISIKOKIMIA BERAS DENGAN BERBAGAI DOSIS

PEMUPUKAN ORGANIK DAN HAYATI

PADA BUDIDAYA PADI ORGANIK

ISNA TUSTIYANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Karakter Morfofisiologi Tanaman dan Fisikokimia Beras dengan Berbagai Dosis Pemupukan Organik dan Hayati pada Budidaya Padi Organik

Nama : Isna Tustiyani NIM : A252110061

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Sugiyanta, MSi Ketua

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 sampai Januari 2013 adalah Karakter Morfofisiologi Tanaman dan Fisikokimia Beras dengan Berbagai Dosis Pemupukan Organik dan Hayati pada Budidaya padi Organik.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Sugiyanta, MSi dan Dr Ir Maya Melati, MS, MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi, arahan kepada penulis selama menjalani penelitian dan perbaikan tesis ini. Terimakasih kepada Prof Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS dan Dr Ani Kurniawati, SP, MSi sebagai penguji luar komisi. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada semua dosen dan staf Departemen Agronomi daan Hortikultura yang telah banyak membantu sehingga penelitian dan tesis ini dapat diselesaikan.

Ungkapan rasa hormat dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibunda

Masfu’ah, Bapak Prodjo (Alm), Adik Rahmi Nuraini dan Setiyo Wahyono atas doa, kasih sayang, perhatian dan dukungannya baik moril dan materil selama perkuliahan, penelitian dan penulisan tesis ini. Penulis menyampaikan terimakasih kepada Dirjen Dikti atas program Beasiswa Unggulan 2011 sehingga penulis dapat melanjutkan perkuliahan di program pascasarjana IPB. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Pascasarjana program studi Agronomi dan Hortikultura 2011, teman-teman Agronomi 40 Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bapak Entis sekeluarga, petani di Karawang, staf BB Padi Muara, serta kepada semua pihak yang telah membantu namun tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua dengan yang lebih baik, aamiin. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Juni 2014

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Pupuk Organik 3

Pupuk Hayati 3

Budidaya Padi Organik 4

Karakter Morfofisiologi Tanaman Padi Sawah 6

Sifat Fisikokimia Beras 6

3 METODE 7

Waktu dan Tempat Penelitian 7

Bahan dan Alat 7

Metode Pelaksanaan 7

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Karakter Morfofisiologi 18

Hasil 28

Fisikokimia Beras 32

Pembahasan 35

5 SIMPULAN 39

Simpulan 39

DAFTAR PUSTAKA 39

LAMPIRAN 45

(13)

DAFTAR TABEL

1 Skor suhu gelatinisasi pada beras 11

2 Hasil tanaman padi sawah pada perlakuan pupuk 30

3 Sumbangan hara dari perlakuan pupuk 37

4 Serapan hara pada perlakuan pupuk 38

DAFTAR GAMBAR

1 Curah hujan rata-rata di Kabupaten Karawang 11 2 Nilai pH tanah pada awal dan akhir percobaan serta perbedaan

pH dengan yang mendapat pupuk anorganik

12 3 Kadar C-organik tanah (%) pada awal dan akhir percobaan serta

perbedaan kadar C-organik tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik

13

4 Kadar N tanah awal dan akhir percobaan (%)serta perbedaan kadar N tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik

14 5 Rasio C/N tanah awal dan akhir percobaan serta perbedaan rasio

C/N tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik

15 6 Kadar P tanah awal dan akhir percobaan (ppm) serta perbedaan

kadar P tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik

16 tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik

18

9 Tinggi tanaman pada perlakuan pupuk (cm) serta perbedaan tinggi tanaman dengan yang mendapat pupuk anorganik

19 10 Jumlah anakan pada perlakuan pupuk serta perbedaan jumlah

anakan dengan yang mendapat pupuk anorganik2

20 11 Skor warna daun pada perlakuan pupuk serta perbedaan skor

warna daun dengan yang mendapat pupuk anorganik

21 12 Panjang tiga daun teratas pada perlakuan pupuk (cm) serta

perbedaan panjang tiga daun teratas dengan yang mendapat pupuk anorganik

22

13 Bobot biomasa (g) dan nisbah tajuk akar pada perlakuan pupuk 23 14 Luas daun (cm2) pada perlakuan pupuk serta perbedaan luas

daun dengan yang mendapat pupuk anorganik

(14)

15 Nilai LPR (g hari-1) dan nilai LAB (mg cm-2 hari-1) perlakuan pupuk

25 16 Kadar N,P, dan K daun (%) pada perlakuan pupuk serta

perbedaan kadar N, P, dan K daun dengan yang mendapat pupuk anorganik

26

17 Kadar N, P, dan K gabah (%) pada perlakuan pupuk serta perbedaan kadar N, P, dan K gabah dengan yang mendapat pupuk anorganik

27

18 Serapan hara N, P, dan K (g tanaman-1) pada tanaman 28 19 Gabah hampa (%) dan gabah terserang OPT (%) serta jumlah

gabah per malai (butir)

29 20 Bobot 1000 butir (g), panjang malai (cm), jumlah anakan

produktif pada perlakuan pupuk serta serta perbedaan bobot 1000 butir, panjang malai dan jumlah anakan produktif dengan yang mendapat pupuk anorganik

30

21 Hubungan perlakuan pupuk dengan hasil basah tiap rumpun 31 22 Hubungan perlakuan pupuk dengan dugaan hasil ha-1 32 23 Persen beras kepala (%) dan rendemen (%) pada perlakuan

pupuk serta perbedaan beras kepala dan rendemen dengan yang mendapat pupuk anorganik

32

24 Skor organoleptik dan rasio panjang dan lebar beras pada perlakuan pupuk serta perbedaan skor organoleptik dan rasio panjang lebar beras dengan yang mendapat pupuk anorganik

33

25 Nisbah penyerapan air (%) pada perlakuan pupuk serta perbedaan nisbah penyerapan air dengan yang mendapat pupuk anorganik

34

26 Kadar amilosa (%) dan umur simpan nasi pada perlakuan pupuk serta perbedaan kadar amilosa dan umur simpan nasi dengan yang mendapat pupuk anorganik

35

DAFTAR LAMPIRAN

1 Komposisi pupuk organik padat 45

2 Komposisi pupuk hayati 45

(15)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi merupakan komoditas strategis yang tetap mendapat prioritas penanganannya dalam pembangunan pertanian Indonesia. Produktivitas padi pada tahun 2012 sebesar 51.36 kwintal ha-1 dan pada tahun 2013 meningkat menjadi sebesar 51.50 kwintal ha-1 (BPS 2013). Menurut Swastika et al. (2007) beras yang berasal dari tanaman padi merupakan bahan pangan pokok bagi 95% penduduk Indonesia. Permintaan terhadap beras sebagai makanan utama sebagian besar penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahun seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan konsumsi beras ini tidak dibarengi dengan pengingkatan luas lahan sawah, sehingga hal ini harus segera diatasi dengan peningkatan produktivitas padi.

Petani selama ini telah terbiasa memupuk tanaman padi sesuai dengan rekomendasi pemupukan yang berlaku umum. Namun akhir-akhir ini petani di daerah tertentu bahkan menggunakan pupuk dengan takaran yang melebihi dosis rekomendasi. Penggunaan pupuk anorganik secara berlebihan tidak hanya berdampak terhadap peningkatan biaya produksi dan subsidi pemerintah untuk pupuk, tetapi juga menyebabkan tanah menjadi lebih masam dan keras akibat kerusakan-kerusakan struktur dan tidak berkembangnya mikroorganisme tanah. Tanah pada kondisi tersebut tidak responsif lagi terhadap pemupukan, sehingga produksi pertanian sulit ditingkatkan (leveling off) (Suwardi 2004). Pemupukan berlebih juga menyebabkan tercemarnya lingkungan oleh unsur nitrat, nitrit, dan gas N2O, tanaman mudah terserang hama dan penyakit, mudah rebah, perkembangan gulma lebih cepat (Puslitbangtan 2006).

Adanya kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif dari pertanian konvensional telah mendorong keinginan untuk beralih dari pertanian konvensional menuju pertanian organik (organik farming), yang mampu menciptakan pertanian yang ramah lingkungan dan menghasilkan produk bahan pangan yang bermutu dan sehat untuk dikonsumsi (Ade et al. 2006; Santoso 2011; Prihtanti et al. 2013). Salah satu komponen pertanian organik adalah pupuk organik dan hayati. Suwarno dan Sutandi (2008) menjelaskan bahwa kelebihan pupuk organik antara lain menambah unsur hara N, P, K, dan hara mikro, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan KTK tanah, menambah kapasitas menahan air, serta meningkatkan aktivitas biologi tanah. Menurut Suriadikarta dan Simanungkalit (2006), peranan pupuk hayati antara lain dapat meningkatkan serapan hara, juga dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit terbawa tanah, meningkatkan toleransi tanaman terhadap kekeringan, menstabilkan agregat tanah, namun peranan sebagai penyedia hara lebih menonjol daripada peranan-peranan lain. Salah satu keuntungan pupuk hayati yaitu mampu meningkatkan serapan hara, sehingga pupuk ini dikombinasikan dengan pupuk organik diharapkan dapat mengurangi dosis pupuk organik. Ditambah lagi menurut Bertham (2002)pupuk hayati memiliki potensi yang sama besar dengan pupuk anorganik.

(16)

2

perkembangan akar sangat dipengaruhi oleh tersedianya N. Pertumbuhan akar hanya terjadi secara aktif bila kadar N pada batang lebih dari 1%. Kadar nitrogen daun di atas 3.5 % sudah cukup untuk merangsang pembentukan anakan, sedangkan kadar nitrogen daun 2.5% pembentukan anakan akan terhenti, dan apabila kadar N daun kurang dari 1.5% anakan-anakan akan mati. Jika fosfat pada batang utama kurang dari 0.25% maka pembentukan anakan akan terhenti (Murata dan Matsushima 1978).

Sebagian besar penggilingan padi di beberapa provinsi pulau Jawa dan Bali lebih menyukai beras yang memiliki rendemen giling dan rendemen beras kepala tinggi, pulen dan beraroma wangi (Wibowo et al. 2008). Varietas beras aromatik memiliki rendemen beras giling relatif baik (70%) dengan kisaran presentase beras kepala cukup tinggi (62-88%), tingkat kepulenan nasi termasuk klasifikasi sedang sampai tinggi dengan kadar amilosa 18-24%, memiliki tekstur nasi lunak, rasio penyerapan air 2.1-2.8 kali (Wibowo et al. 2009). Sifat fisikokimia beras ini bisa dipengaruhi oleh hara misalnya kadar protein beras dipengaruhi oleh nitrogen (Setyono et al. 2007).

Hasil percobaan Nurrizki (2012) pada padi di musim pertama (November

2011 - Maret 2012) menghasilkan gabah tertinggi pada perlakuan 4-6 ton pupuk

organik ha-1 ditambah pupuk hayati. Berdasarkan penelitian tersebut perlu dikaji produksi padi di lahan yang sama pada musim tanam ke-2 dan diharapkan dapat memberikan hasil yang sama atau lebih baik jika dibandingkan dengan percobaan musim pertama. Selain menyebabkan karakter perbedaan karakter morfofisiologi tanaman, pemupukan organik, hayati, maupun anorganik diduga juga dapat menyebabkan perbedaan karakter fisikokimia beras, misalnya rasa dan kepulenan nasi. Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Banjarnegara (2014) padi organik selain lebih sehat, juga memiliki rasa yang lebih enak dan pulen. Diharapkan percobaan ini dapat mempelajari karakter morfofisiologi padi sawah dan fisikokimia beras dengan pemupukan organik dan atau hayati.

Perumusan Masalah

Penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jangka panjang dapat menurunkan kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga berpotensi menurunkan produktivitas tanaman padi sawah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengaplikasikan sistem pertanian organik melalui penggunaan berbagai pupuk organik yang ramah lingkungan. Berbagai penelitian membuktikan bahwa pupuk organik mampu meningkatkan kesuburan fisik, biologi, dan kimia tanah, serta meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Produk yang dihasilkan dari pertanian organik diyakini lebih sehat dan aman dikonsumsi karena sedikit mengandung residu pestisida.

(17)

3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perbedaan karakter morfofisiologi tanaman padi sawah, karakter fisikokimia beras pada budidaya padi organik.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini yaitu ada pengaruh pemupukan organik dan hayati terhadap karakter morfofisiologi tanaman padi sawah dan karakter fisikokimia beras.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pupuk Organik

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 70 tahun 2011, pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan/atau bagian hewan dan/atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair, dapat diperkaya dengan bahan mineral dan/atau mikrobaaaa, yang bermanfaat untuk meningkatkan kandungan hara dan bahan organik tanah serta memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, sedangkan Pupuk hayati adalah produk biologi aktif terdiri atas mikrobaaaa yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan, dan kesehatan tanah (PERMENTAN 2011). Menurut Suwarno dan Sutandi (2008) kelebihan pupuk organik antara lain menambah unsur hara N, P, S, dan hara mikro, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan KTK tanah, menambah kapasitas menahan air, serta meningkatkan aktivitas biologi tanah.

Sejak revolusi hijau, petani mengaplikasikan pupuk anorganik dosis tinggi karena peningkatan produktivitas padi lebih terlihat jelas; namun pemberian pupuk anorganik juga dapat memberikan dampak negatif antara lain dapat merusak lingkungan karena emisi gas NO2 dan penurunan kesuburan tanah yang berakibat pada semakin menurunnya produktivitas. Penurunan produktivitas tanah sawah disebabkan oleh kuantitas dan kualitas bahan organik tanah menurun, kelambanan penyediaan hara N, P, dan K ke dalam bentuk tersedia, terjadi penimbunan senyawa toksik bagi tanaman serta kesediaan hara di tanah menurun (Makarim dan Suhartatik 2006). Penurunan bahan organik tanah ini harus segera ditanggulangi karena menurut Adiningsih dan Rochayati (1998) pemberian bahan organik mampu meningkatkan hasil gabah secara nyata dan merupakan tindakan meningkatkan efisiensi pemupukan. Bahan organik selain dapat meningkatkan kandungan C-organik tanah, juga merupakan sumber hara (Wihardjaka et al. 1999).

Pupuk Hayati

(18)

4

hara tertentu atau memfasilitasi tersedianya hara dalam tanah bagi tanaman. (Suriadikarta dan Simanungkalit 2006). Pupuk hayati adalah pupuk yang mengandung mikroba di antaranya Bacillus, Pseudomonas, Rhizobium, Azosprillum, Azotobacter, Mikoriza, dan Trichoderma. Keberadaan mikroba tersebut bisa tunggal ataupun berupa gabungan beberapa jenis mikroba. Mikroba yang digunakan sebagai pupuk hayati mampu memacu pertumbuhan tanaman, menambat nitrogen, melarutkan fosfat dan menghambat pertumbuhan penyakit tanaman (Yuliar 2009).

Pupuk hayati adalah pupuk yang mengandung mikroorganisme hidup yang diberikan ke dalam tanah sebagai inokulan untuk membantu menyediakan unsur hara tertentu bagi tanaman (Mas’ud 1992). Prihatini et al. (1996) mengemukakan bahwa pupuk hayati merupakan organisme-organisme unggul berupa sel hidup dari mikroba penambat nitrogen (N), mikroba pelarut fosfor (P) atau mikrobaaaa perombak selulosa yang diberikan pada tanah atau tempat pengomposan yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah mikroba tanah dan mempercepat proses tersedianya unsur hara tanaman.

Mikroba menjadi komponen utama dalam pupuk hayati. Pada mulanya hanya dikenal inokulan yang hanya mengandung satu kelompok mikroba fungsional (pupuk hayati tunggal), tetapi perkembangan teknologi inokulan telah memungkinkan memproduksi inokulan yang mengandung lebih dari satu kelompok mikroba fungsional/majemuk. Setiap mikroba pada pupuk hayati membutuhkan media hidup yang berbeda, karena itu tiap mikroba dan media hidupnya diolah dulu dalam bentuk granul, kemudian granul-granul disatukan. Keberadaan mikroba tersebut bisa tunggal ataupun berupa gabungan beberapa jenis mikroba (Suriadikarta dan Simanungkalit 2006). Pupuk hayati majemuk komersial tidak hanya mengandung mikroba pupuk hayati saja tetapi juga mengandung bahan tambahan (suplemen) seperti hara mineral dan asam amino. Banyaknya suplemen hara mineral dalam inokulan sebaiknya tidak dalam jumlah yang tidak menekan pertumbuhan mikroba (Simanungkalit et al. 2006).

Budidaya Padi Organik

Sistem pertanian organik adalah sistem produksi holistik dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro ekosistem secara alami serta mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan. Dalam prakteknya, pertanian organik dilakukan dengan cara, antara lain: (1) Menghindari penggunaan bibit/benih hasil rekayasa genetika, (2) Menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis (3) Pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman, (4) Menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh dan pupuk kimia sintetis, (5) Kesuburan dan produktivitas tanah ditingkatkan dan dipelihara dengan mengembalikan residu tanaman, pupuk kandang, dan batuan mineral alami, serta penanaman legum dan rotasi tanaman (Deptan 2002).

(19)

5 keunggulan sistim pertanian organik. Pada dasarnya pertanian organik bertujuan untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya dan lingkungan, peningkatan nilai tambah ekonomi produk pertanian danpendapatan petani. Penggunaan pupuk hijau, pupuk hayati, peningkatan biomasa, penyiapan kompos yang diperkaya dan pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit secara hayati diharapkan mampu memperbaiki kesehatan tanah sehingga hasil tanaman dapat ditingkatkan, tetapi aman dan menyehatkan manusia yang mengkonsumsi (Sutanto 2002). Pertanian organik mengacu pada bentuk-bentuk pertanian dengan berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya 1okal yang ada dan mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usahatani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar (Reijntjes et al. 1999).

Dalam prakteknya pertanian organik mempunyai beberapa keuntungan yaitu: 1) Pupuk organik dapat disediakan ataupun dibuat petani dengan harga murah, bahkan memanfaatkan limbah peternakan dan pertanian yang dimiliki ataupun didapatkan di sekitarnya; 2) Penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan kesuburan fisik, kimiawi dan biologi tanah dan tidak merusak tanah; 3) Jaminan ketersediaan pupuk organik dapat diatur sendiri oleh petani, sehingga agenda budidaya tanaman tidak terpengaruh dengan kasus kelangkaan pupuk yang sering terjadi; 4) Produk pertanian organik lebih aman dan sehat bagi konsumen (Prasetyo et al. 2005). Arafah dan Sirappa (2003) menambahkan bahwa penggunaan bahan organik seperti sisa –sisa tanaman yang melapuk, kompos, pupuk kandang atau pupuk organik cair dapat meningkatkan produktivitas tanah dan efisiensi pemupukan serta mengurangi kebutuhan pupuk anorganik terutama pupuk K.

Selama beberapa periode terakhir, desakan pemasyarakatan penggunaan pupuk organik semakin meningkat dengan munculnya berbagai kekurangan/kelemahan yang berkaitan dengan penggunaan pupuk anorganik untuk pertanian. Kekurangan tersebut antara lain adanya gejala kejenuhan dalam peningkatan produktivitas pertanian terutama pangan atau levelling off di beberapa daerah terkait dengan pemborosan penggunaan pupuk dan pestisida anorganik. Selain itu dengan meningkatnya kesadaran manusia akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup sehingga memunculkan berbagai desakan untuk mengoreksi berbagai praktek yang tidak ramah lingkungan. Disamping itu semakin luasnya penyebaran lahan kritis dan semi kritis yang dapat menjadi ancaman bagi kehidupan manusia di masa depan serta adanya trend global untuk kembali ke alam atau back to nature yang berasal dari negara-negara maju. Tren tersebut akan mempengaruhi pola dan praktek usaha tani di lapangan serta pemilihan produk pangan yang lebih alami. Kelangkaan gas alam sebagai bahan baku pembuatan pupuk anorganik khususnya pupuk urea juga dapat memacu pengurangan pupuk anorganik. Kelangkaan ini tahun demi tahun akan semakin berat karena harus bersaing dengan kebutuhan energi industri yang mampu membayar harga gas lebih tinggi sehingga banyak pabrik urea bekerja tidak optimal atau bahkan tutup karena tidak mendapat pasokan gas. Menyikapi beberapa issue strategis tersebut maka anjuran peningkatan penggunaan pupuk organik sebagai komplementer pupuk anorganik diharapkan dapat direspon masyarakat luas dalam waktu yang tidak terlalu lama (Apriantono 2008).

(20)

6

dan memiliki nilai jual yang tinggi; 2) Menghasilkan pangan yang cukup aman berkualitas sehingga meningkatkan kesehatan masyarakat dan sekaligus daya saing produk agribisnis; 3) Menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani; 4) Mengurangi semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian; 5) Meningkatkan dan menjaga produktifitas lahan pertanian dalam jangka panjang serta memelihara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan; serta 6) Menciptakan lapangan kerja baru dan keharmonisan sosial di pedesaan. Menurut Suhartini et al. 2006 pertanian organik menghasilkan produksi dan produktivitas tanaman padi yang lebih tinggi dibandingkan pertanian anorganik di Kabupaten Sragen.

Karakter Morfofisiologi Tanaman Padi Sawah

Karakter morfofisiologi tanaman dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh seperti kesuburan tanah dan pemupukan. Misalnya perkembangan akar dan anakan padi sawah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan N. Pertumbuhan akar hanya terjadi secara aktif bila kadar N pada batang lebih dari 1% (Murata dan Matsushima 1978; Yoshida 1981). Menurut Murata dan Matsushima (1978) kadar nitrogen daun di atas 3.5 % sudah cukup untuk merangsang pembentukan anakan, sedangkan kadar N daun 2.5% pembentukan anakan akan terhenti, dan apabila kadar N daun kurang dari 1.5% anakan-anakan akan mati. Fosfat pada batang utama jika kurang dari 0.25% maka pembentukan anakan akan terhenti.

Sifat-sifat daun merupakan salah satu sifat morfologi yang berkaitan erat dengan produktivitas tanaman. Bertambah luasnya daun pada tanaman disebabkan oleh dua faktor, yakni:1) meningkatnya jumlah anakan, dan 2) meningkatnya luas tiap daun. Peningkatan indeks luas daun bagi varietas-varietas beranak banyak, didominasi oleh faktor pertama, sedangkan dalam varietas beranak sedikit, faktor ke-dua yang lebih menonjol (Murata dan Matsushima 1978). Menurut Makarim dan Suhartatik (2009) sifat-sifat daun yang dikehendaki adalah daun yang tumbuhnya tegak, tebal, kecil, dan pendek, sedangkan anakan padi merupakan indikator pertumbuhan tanaman padi yang sehat atau sakit. Yoshida (1981) menyatakan bahwa tanaman bertipe anakan banyak, cocok untuk berbagai keragaman jarak tanam, mampu mengompensasi rumpun-rumpun yang mati dan mencapai luas daun yang cepat.

Sifat Fisikokimia Beras

Karakteristik fisikokimia beras berperan terhadap mutu tanak (cooking quality) dan mutu rasa (eating quality) nasi (Wibowo et al. 2009). Sifat-sifat fisikokimia beras sangat menentukan mutu tanak dan mutu rasa nasi yang dihasilkan. Sifat-sifat tersebut antara lain kandungan amilosa, amilopektin, protein, suhu gelatinasi, pengembangan volume, nisbah penyerapan air, viskositas pasta dan konsistensi gel pati. Beras kualitas premium yang beredar di Indonesia digambarkan sebagai beras yang memiliki penampilan fisik butiran utuh, putih bening, mengkilat serta memiliki ukuran dan bentuk panjang dan ramping, karakter tekstur yang lunak, pulen, dan mengandung zat gizi yang memadai (Setyono dan Wibowo 2008).

(21)

7 sosoh, (3) keterawangan, (4) kebersihan dan kemurnian, (5) kepulenan dan aroma. Menurut Wibowo et al. (2008) varietas beras aromatik memiliki rendemen beras giling relatif baik (70%) dengan kisaran presentase beras kepala cukup tinggi (62-88%), tingkat kepulenan nasi termasuk klasifikasi sedang sampai tinggi dengan kadar amilosa 18-24%, memiliki tekstur nasi lunak, rasio penyerapan air 2.1-2.8 kali, waktu tanak 17-20 menit. Wibowo et al. (2009) menyatakan bahwa kriteria mutu beras yang dianggap baik dan memiliki harga jual tinggi, menurut pemilik penggilingan padi, adalah derajat sosoh/putih, persentase beras kepala, kepulenan nasi, dan subyektifitas nama varietas. Preferensi konsumen terhadap beras pada kelas mutu tertentu juga dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain penampilan fisik beras, kepulenan nasi, budaya, dan tingkat sosial-ekonomi konsumen. Komponen karakteristik fisik dan fisikokimia beras diamati berdasarkan ukuran dan bentuk, serta semua kriteria mutu fisik yang tercantum dalam persyaratan kualitas beras (Bulog 2005), yaitu kadar air, derajat sosoh/derajat putih, persentase beras kepala, beras pecah, beras menir, butir kuning-rusak, butir mengapur, butir merah, dan butir gabah.

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Pengujian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2012 – Januari 2013 di Karawang Wetan, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Lahan sawah irigasi yang digunakan adalah lahan musim tanam ke-dua pada budidaya padi organik. Lahan terletak pada ketinggian sekitar 15 m dpl. Analisis tanah dan jaringan tanaman dilakukan di Laboratorium Tanah dan Sumber daya Lahan, IPB dan analisis fisikokimia beras dilakukan di Balai Penelitian Muara, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam pengujian ini adalah benih padi varietas Mentik Wangi, pupuk anorganik (NPK), pupuk organik padat (berbahan 90% kotoran sapi dan jerami), dan pupuk hayati. Alat-alat yang digunakan antara lain alat-alat budidaya, timbangan digital dan bagan warna daun. Alat yang digunakan untuk mengolah data yaitu program analisis statistik SAS.

Metode Pelaksanaan

Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 13 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari:

(22)

8

g. 0ton pupuk organik ha-1 + 2 L pupukhayati ha-1 h. 2ton pupuk organik ha-1 + 2 L pupukhayati ha-1 i. 4 ton pupuk organik ha-1 + 2 L pupukhayati ha-1 j. 6 ton pupuk organik ha-1 + 2 L pupukhayati ha-1 k. 8 ton pupuk organik ha-1 + 2 L pupukhayati ha-1 l. 10 ton pupuk organik ha-1 + 2 L pupukhayati ha-1

m. Pupuk anorganik (400 kg NPK (30:6:8) ha-1) sebagai pembanding. Benih padi disemai pada lahan pesemaian yang telah disiapkan. Bibit padi dipindahkan pada umur 10 hari. Petakan lahan dibuat berukuran 15 m x 10 m dengan masing-masing petak memiliki saluran masuk dan saluran pembuangan sendiri-sendiri. Lahan diolah sempurna, dengan dua kali pencangkulan secara basah sehingga lahan melumpur sempurna, kemudian dilakukan perataan tanah sehingga permukaan sawah rata. Sebelum dilakukan penanaman, lahan pada kondisi air macak-macak dan dilakukan aplikasi pupuk sesuai dengan perlakuan.

Analisis tanah lengkap dilakukan untuk mengetahui kandungan C-Organik, pH, dan kandungan hara tanah. Analisis pupuk organik dan pupuk hayati dilakukan untuk mengetahui kandungan hara makro dan mikro serta mikrobaaaa yang terkandung. Analisis NPK daun dan gabah padi dilakukan pada saat panen yang dilakukan pada setiap unit percobaan.

Pengolahan tanah dilakukan sebulan sebelum penanaman. Lahan diolah sempurna, dengan dua kali pencangkulan secara basah sehingga lahan melumpur sempurna, kemudian dilakukan perataan tanah sehingga permukaan sawah rata. Sebelum dilakukan penanaman lahan pada kondisi air macak-macak dan dilakukan aplikasi pupuk organik padat sesuai dengan perlakuan.

Penyemaian benih padi dilakukan 10 hari sebelum tanam. Lahan yang digunakan untuk persemaian berbeda dengan lahan perlakuan. Sebelum disemai, benih direndam dalam air semalam untuk memisahkan antara benih padi yang berkualitas baik (tenggelam) dan yang berkualitas buruk atau hampa (terapung).

Penanaman dilakukan dengan menggunakan jarak tanam legowo 2:1 (15 cm x 25 cm x 50 cm). Jumlah bibit yang digunakan untuk setiap titik tanam adalah dua bibit. Penyulaman dilakukan terhadap bibit tanaman yang mati dan memiliki kualitas yang kurang baik. Penyulaman dilakukan 1-2 minggu setelah tanam (MST).

Pemberian pupuk organik padat dilakukan saat olah tanah dengan dosis sesuai perlakuan. Pupuk NPK diberikan saat tanam sebesar 400 kg ha-1. Pupuk hayati diberikan saat 4 dan 6 MST dengan cara penyemprotan yang sebelumnya dilarutkan dalam air sesuai dosis perlakuan.

Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang telah tumbuh. Pengendalian OPT dilakukan jika populasi OPT telah mencapai ambang batas ekonomi.

(23)

9 Pengamatan morfologi

Tinggi tanaman yang dihitung dari permukaan tanah hingga daun tertinggi dan diamati saat 3, 5 dan 7 MST.

Jumlah anakan yang dihitung dari jumlah anakan per rumpun dan diamati saat 3, 5 dan 7 MST.

Bobot basah dan kering tajuk dan akar yang ditimbang pada 7 MST. Jumlah anakan produktif dari setiap rumpun tanaman contoh.

Panjang malai yang diukur dari 3 malai dari setiap rumpun tanaman contoh.

Jumlah gabah per malai yang dihitung dari 3 malai dari setiap rumpun tanaman contoh.

Bobot basah dan kering gabah/tanaman yang ditimbang dari tanaman contoh.

Persentase gabah hampa yang dihitung dari 100 g gabah tanaman contoh.

Bobot 1000 butir gabah yang ditimbang dari tanaman contoh.

Dugaan hasil per hektar (kg ha-1) : (hasil ubinan (kg) (2.5 m x 2.5 m) x 10.000 m2 ) /6.25 m2.

Kesuburan tanah

Analisis kesuburan kimia tanah: pH, KTK, C-organik, kandungan N, P, dan K tanah yang dianalisis saat awal percobaan dan akhir percobaan.

Pengamatan fisiologi

Warna daun yang dihitung menggunakan skala bagan warna daun dan diamati saat 3, 5 dan 7 MST.

Analisis kadar N, P, K pada daun yang dianalisis pada 3 daun teratas pada saat 8 MST.

Analisis kadar N, P, K pada gabah.

Laju Pertumbuhan Relatif (LPR) yang dihitung pada 3, 5, dan 7 MST. LPR = (ln W2- ln W1)

t2-t1 Keterangan:

LPR = laju pertumbuhan relatif (g hari -1) W = bobot kering tanaman (g)

(24)

10

Laju Asimilasi Bersih (LAB) yang dihitung pada 3, 5, dan 7 MST. LAB = W2-W1 + ln L2- ln L1

L2-L1 t2-t1 Keterangan:

LAB = Laju asimilasi bersih (mg cm-2 hari -1) W = bobot kering daun (mg)

t = waktu (hari)

L = luas daun (cm2), dimana: L = Wx x Ly

Wy Keterangan:

L = luas daun (cm2)

Wx = bobot kering total daun tanaman (g) Wy = bobot kering potongan daun tanaman (g) Ly = luas potongan daun tanaman (cm2) Pengamatan fisiokimia yang terdiri dari:

Rendemen beras giling (BG) adalah berat beras giling yang dihasilkan dari proses penggilingan gabah. Penentuan rendemen BG dilakukan secara manual (penimbangan), yaitu perbandingan antara berat BG yang diperoleh dengan berat gabah yang digiling.

Rendemen beras kepala adalah perolehan banyaknya beras kepala yang dihasilkan dari pemisahan BG dengan menggunakan alat Rice Grader atau manual (pengayakan). Beras kepala adalah beras yang utuh, tidak patah (menir). Penentuan persentase Beras Kepala dilakukan dengan penimbangan, yaitu perbandingan berat Beras Kepala yang diperoleh dengan berat Beras Giling.

Kadar Amilosa. Kadar amilosa dalam beras memiliki hubungan atau terkait dengan tingkat kepulenan nasi. Semakin tinggi kadar amilosa, maka makin rendah tingkat kepulenan nasinya. Penentuan kadar amilosa dilakukan dengan metode kolorimeter Iodida (Juliano 1971). Sebanyak 100 mg beras putih dari tiap sampel dimasukkan dalam labu ukur 100 mL, ditambah 1 mL alkohol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan selanjutnya didiamkan pada suhu ruang selama 23 jam, kemudian diberi air destilata sampai tanda tera, lalu dikocok. Larutan diambil 5 mL kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL yang telah diisi 85 mL air destilata dan diberi 1 mL asetat 1 N dan 2 mL KI 2 % lalu diencerkan sampai tanda tera. Nilai penyerapan cahaya dari larutan ini diukur dengan spektofotometer dengan panjang gelombang 625 nm.

(25)

11 gelatinisasi beras dilakukan dengan metode perendaman beras dalam larutan alkali, kemudian diukur tingkat kerusakannya dengan pemberian nilai/skor kerusakan (skor 1 – 7) (Suismono et al. 2003).

Tabel 1 Skor suhu gelatinisasi pada beras

Nilai/ Skor Klasifikasi Suhu

1-3 Tinggi >74 0C

4-5 Sedang 70 - 74 0C

6-7 Rendah 70 0C

Lama waktu layak makan dihitung dari lamanya waktu nasi sampai basi/busuk. Nasi yang sudah matang, dibiarkan dalam suhu ruang sampai nasi menjadi basi.

Nisbah penyerapan air nasi (WUR/water uptake rasio) adalah perbandingan berat nasi dengan berat beras yang dimasak. Cara penghitungannya adalah dengan 2 gram beras dimasak dalam 100 ml air dalam alat pemasak. Nasi yang telah masak kemudian ditimbang.

Rumus nisbah penyerapan air = berat nasi-berat beras x 100% berat beras

Uji Organoleptik. Diambil sampel 20 responden, dengan meminta responden mengamati tingkat kesukaan mereka terhadap penampilan dan rasa nasi dari semua perlakuan. Tingkat kesukaan diberi skor 1-2 untuk krieria sangat pulen, 3-4 untuk kriteria pulen, dan 4-6 untuk kriteria tidak pulen.

Data dianalisis secara statistik menggunakan sidik ragam dan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 %. Uji t digunakan untuk membandingkan perlakuan dengan pupuk anorganik pada taraf 5 %.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, percobaan padi organik dilaksanakan pada bulan kering (curah hujan < 100 mm per bulan), kecuali bulan pertama yang merupakan bulan lembab dengan curah hujan 100-200 mm per bulan (Gambar 1).

Gambar 1 Curah hujan rata-rata tahun 2012 di Kabupaten Karawang

(26)

12

5.20-6.3. Kandungan C-organik tergolong rendah (1.28-1.64%) dan kandungan N-total di dalam tanah termasuk rendah yaitu 0.13-0.16%. Ketersediaan P di dalam tanah bervariasi dari 0 ppm pada perlakuan 10 ton pupuk organik ha-1 + 2 L pupuk hayati ha-1 (sangat rendah) hingga 78 ppm pada perlakuan tanpa pupuk yang tergolong sangat tinggi. Unsur hara makro K termasuk kategori sangat rendah yakni berkisar 47-151 ppm.

Analisis tanah yang dilakukan setelah panen menunjukkan adanya penurunan pH kecuali pada perlakuan pupuk organik 10 ton ha-1 + pupuk hayati 2 L ha-1 dari agak masam (5.6-6.3) dan masam (5.2-5.5) menjadi masam (< 5.5) (Gambar 2). Penurunan pH tanah dapat terjadi karena dekomposisi bahan organik yang diberikan pada tanah dapat menghasilkan asam-asam organik (Sugito 1995).

2A 2B

Gambar 2 Nilai pH tanah pada awal dan akhir percobaan (2A) serta perbedaan pH dengan yang mendapat pupuk anorganik (2B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1

Gambar 3 menunjukkan hasil analisis kandungan C-organik awal dan akhir percobaan pada setiap perlakuan. Kadar C-organik tanah sebelum percobaan yaitu 1.28-1.64 % (kriteria rendah) dan kadar C -organik akhir percobaan berkisar antara 1.61-2.0 % (kriteria rendah) dan 2.1-2.76 % (kriteria sedang). Secara umum terjadi peningkatan kadar C-organik akibat pemberian pupuk organik.

0 1 2 3 4 5 6 7

0 ton haˉ¹ POP 2 ton haˉ¹ POP 4 ton haˉ¹ POP 6 ton haˉ¹ POP 8 ton haˉ¹ POP 10 ton haˉ¹ POP 0 ton haˉ¹ POP+PH 2 ton haˉ¹ POP+PH 4 ton haˉ¹ POP+PH 6 ton haˉ¹ POP+PH 8 ton haˉ¹ POP+PH 10 ton haˉ¹ POP+PH

Pupuk Anorganik

-1 0 1

(27)

13

3A 3B

Gambar 3 Kadar C-organik tanah (%) pada awal dan akhir percobaan (3A) serta perbedaan kadar C-organik tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik (3B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1

Gambar 4 menunjukkan hasil analisis kadar N tanah awal dan akhir pada setiap perlakuan. Bila dibandingkan dengan kandungan N tanah sebelum percobaan yaitu 0.13-0.18 (kriteria rendah), maka pemupukan organik tanpa ditambah pupuk hayati dapat meningkatkan kandungan N tanah. Kandungan N tanah selain berasal dari pemupukan juga dapat bersumber dari air hujan, air irigasi, maupun bahan organik tanah yang telah ada dan mengalami proses dekomposisi. Gambar 3B menunjukkan bahwa secara umum pada akhir percobaan kadar N lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar N pada perlakuan pupuk anorganik. Hal ini diduga karena perlakuan pupuk organik lebih lambat menyediakan hara bila dibandingkan dengan pupuk anorganik.

0 0.5 1 1.5 2

0 ton haˉ¹ POP 2 ton haˉ¹ POP 4 ton haˉ¹ POP 6 ton haˉ¹ POP 8 ton haˉ¹ POP 10 ton haˉ¹ POP 0 ton haˉ¹ POP+PH 2 ton haˉ¹ POP+PH 4 ton haˉ¹ POP+PH 6 ton haˉ¹ POP+PH 8 ton haˉ¹ POP+PH 10 ton haˉ¹ POP+PH

Pupuk Anorganik

-1 -0.5 0 0.5 1

(28)

14

4A 4B

Gambar 4 Kadar N tanah awal dan akhir percobaan (%) (4A) serta perbedaan kadar N tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik (4B). POP: pupuk organik padat, PH: 2 L pupuk hayati ha-1

Gambar 5 menunjukkan hasil analisis C/N tanah awal dan akhir pada setiap perlakuan. Bila dibandingkan dengan C/N tanah sebelum percobaan yaitu 8.5-10.7 (kriteria rendah-sedang), maka pemupukan organik tanpa ditambah pupuk hayati dapat meningkatkan C/N tanah. Gambar 5B menunjukkan bahwa C/N akhir pada perlakuan organic lebih tinggi daripada perlakuan anorganik. Hal ini menunjukkan bahwa tanah bila dipupuk organik lebih subur daripada dipupuk anorganik.

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.

0 ton haˉ¹ POP 2 ton haˉ¹ POP 4 ton haˉ¹ POP 6 ton haˉ¹ POP 8 ton haˉ¹ POP 10 ton haˉ¹ POP 0 ton haˉ¹ POP+PH 2 ton haˉ¹ POP+PH 4 ton haˉ¹ POP+PH 6 ton haˉ¹ POP+PH 8 ton haˉ¹ POP+PH 10 ton haˉ¹ POP+PH

Pupuk Anorganik

-0.1 0 0.1

N akhir

(29)

15

5A 5B

Gambar 5 Rasio C/N tanah awal dan akhir percobaan (5A) serta perbedaan rasio C/N tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik (5B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1

Secara umum terjadi penurunan kadar P tanah pada akhir percobaan, kecuali perlakuan 4-6 ton pupuk organik ha-1 dan 10 ton pupuk organik ha-1 ditambah pupuk hayati mengalami peningkatan kadar P tanah (Gambar 6) . Kadar P tanah pada awal percobaan berkisar antara 0 ppm (kriteria sangat rendah) dan 34-78 ppm (criteria sangat tinggi) sedangkan kadar P tanah pada akhir percobaan berkisar antara 6-9 ppm (kriteria sangat rendah) dan 11-13 ppm (kriteria rendah). Penurunan kadar P tanah diduga karena terjadi penurunan nilai pH pada akhir percobaan.

0 2 4 6 8 10 12

0 ton haˉ¹ POP 2 ton haˉ¹ POP 4 ton haˉ¹ POP 6 ton haˉ¹ POP 8 ton haˉ¹ POP 10 ton haˉ¹ POP 0 ton haˉ¹ POP+PH 2 ton haˉ¹ POP+PH 4 ton haˉ¹ POP+PH 6 ton haˉ¹ POP+PH 8 ton haˉ¹ POP+PH 10 ton haˉ¹ POP+PH Pupuk Anorganik

-2 0 2

C/N akhir

(30)

16

6A 6B

Gambar 6 Kadar P tanah awal dan akhir percobaan (ppm) (6A) serta perbedaan kadar P tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik (6B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1 Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar K tanah pada akhir percobaan. Kadar k tanah pada awal percobaan berkisar antara 47-151 ppm (kriteria sangat rendah) sedangkan kadar K tanah pada akhir percobaan berkisar antara 82.18-151.75 ppm (kriteria sangat rendah). Kadar K akhir ini dipengaruhi oleh perlakuan pupuk organik tanpa maupun dengan ditambah pupuk hayati, dengan kadar K tertinggi pada perlakuan 10 ton pupuk organik ha-1 ditambah pupuk hayati (Gambar 7). Secara umum kadar K pada akhir percobaan lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan anorganik. Perlakuan 4 dan 10 ton pupuk organik ha-1 ditambah pupuk hayati nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan anorganik.

0 20 40 60 80

0 ton haˉ¹ POP 2 ton haˉ¹ POP 4 ton haˉ¹ POP 6 ton haˉ¹ POP 8 ton haˉ¹ POP 10 ton haˉ¹ POP 0 ton haˉ¹ POP+PH 2 ton haˉ¹ POP+PH 4 ton haˉ¹ POP+PH 6 ton haˉ¹ POP+PH 8 ton haˉ¹ POP+PH 10 ton haˉ¹ POP+PH

Pupuk Anorganik

-50 0 50

P Akhir

(31)

17

7A 7B

Gambar 7 Kadar K tanah pada awal dan akhir percobaan (ppm) (7A) serta perbedaan kadar K tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik (7B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan yang nyata menurut uji DMRT

pada α = 5%. Angka yang diikuti oleh tanda (+) menunjukkan

berbeda nyata antara perlakuan dan pembanding (perlakuan

pupuk anorganik) pada α = 5% berdasarkan uji t-Dunnet

Menurut Pusat Penelitian Tanah (2008), KTK tanah menunjukkan kriteria yang rendah sampai sedang yakni berkisar 16-20 me/100 g. Nilai KTK pada perlakuan organik berkisar antara 16.33-19.79 (kriteria rendah) dan 20.16-21.07 (kriteria sedang). Secara umum, hampir seluruh perlakuan memiliki nilai KTK yang lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan anorganik.

0 50 100 150

0 ton haˉ¹ POP 2 ton haˉ¹ POP 4 ton haˉ¹ POP 6 ton haˉ¹ POP 8 ton haˉ¹ POP 10 ton haˉ¹ POP 0 ton haˉ¹ POP+PH 2 ton haˉ¹ POP+PH 4 ton haˉ¹ POP+PH 6 ton haˉ¹ POP+PH 8 ton haˉ¹ POP+PH 10 ton haˉ¹ POP+PH

Pupuk Anorganik

a+

abc

abc

ab +

c

c

c

abc

abc

abc

abc bc

-50 0 50 100

K Akhir

(32)

18

8A 8B

Gambar 8 Nilai KTK tanah pada akhir percobaan (me/100 g) (8A) serta perbedaan nilai KTK tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik (8B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1 Karakter Morfofisiologi

Secara umum perlakuan pupuk organik dan atau hayati tidak mempengaruhi karakter tinggi tanaman pada 3, 5, dan 7 MST (Gambar 9). Tinggi tanaman pada saat 3 MST berkisar antara 38-42 cm, pada saat 5 MST berkisar antara 54-59 cm dan pada saat 7 MST berkisar antara 79-89 cm. Gambar 8B menunjukkan bahwa hampir seluruh perlakuan organik (kecuali perlakuan 0 ton pupuk organik ha-1 dan 4 ton pupuk organik ha-1 ditambah pupuk hayati) memiliki tinggi tanaman yang nyata lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan pupuk anorganik.

0 5 10 15 20

0 ton haˉ¹ POP 2 ton haˉ¹ POP 4 ton haˉ¹ POP 6 ton haˉ¹ POP 8 ton haˉ¹ POP 10 ton haˉ¹ POP 0 ton haˉ¹ POP+PH 2 ton haˉ¹ POP+PH 4 ton haˉ¹ POP+PH 6 ton haˉ¹ POP+PH 8 ton haˉ¹ POP+PH 10 ton haˉ¹ POP+PH

Pupuk Anorganik

(33)

19

9A 9B

Gambar 9 Tinggi tanaman pada perlakuan pupuk (cm) (9A) serta perbedaan tinggi tanaman dengan yang mendapat pupuk anorganik (9B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1. Angka yang diikuti oleh tanda (+) menunjukkan berbeda nyata antara perlakuan dan pembanding (perlakuan pupuk

anorganik) pada α = 5% berdasarkan uji t-Dunnet

Secara umum perlakuan pupuk tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan (Gambar 10). Jumlah anakan pada saat 3 MST berkisar antara 8-13 anakan, pada saat 5 MST berkisar antara 19-33 anakan dan pada saat 7 MST berkisar antara 19-24 anakan. Gambar 10B menunjukkan bahwa pada saat 7 MST perlakuan organik memiliki rata-rata jumlah anakan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan anorganik, meskipun tidak nyata secara statistik.

0 20 40 60 80 100

0 ton haˉ¹ POP 2 ton haˉ¹ POP 4 ton haˉ¹ POP 6 ton haˉ¹ POP 8 ton haˉ¹ POP 10 ton haˉ¹ POP 0 ton haˉ¹ POP+PH 2 ton haˉ¹ POP+PH 4 ton haˉ¹ POP+PH 6 ton haˉ¹ POP+PH 8 ton haˉ¹ POP+PH 10 ton haˉ¹ POP+PH

Pupuk Anorganik

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

-20 -10 0 10

(34)

20

10A 10B

Gambar 10 Jumlah anakan pada perlakuan pupuk (10A) serta perbedaan jumlah anakan dengan yang mendapat pupuk anorganik (10B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1

Pupuk organik tanpa atau dengan pupuk hayati berpengaruh nyata terhadap warna daun pada saat 3 MST. Gambar 11 menunjukkan adanya pemberian pupuk organik mempengaruhi warna daun. Secara umum semakin tinggi dosis pupuk organik semakin tinggi pula skor warna daun tanaman padi sawah. Bila dibandingkan dengan tanaman yang diberi pupuk anorganik, maka pemberian pupuk organik tidak dapat menyamai warna kehijauan daun akibat pemberian pupuk anorganik (Gambar 11B). Warna daun pada tanaman dengan pemberian pupuk organik tanpa maupun dengan penambahan pupuk hayati nyata lebih kecil bila dibandingkan dengan tanaman dengan pemberian pupuk anorganik. Pemberian pupuk organik dan hayati diduga belum dapat menyediakan unsur hara N secara cukup bagi tanaman dikarenakan sifat bahan organik yang lambat menyediakan unsur hara (Suharno et al. 2010) sedangkan sifat dari pupuk anorganik adalah memiliki handungan hara yang tinggi dan cepat tersedia bagi tanaman. Warna daun menunjukkan indentifikasi kandungan nitrogen melalui penilaian warna hijau pada daun (Gani 2006).

0 10 20 30

0 ton haˉ¹ POP 2 ton haˉ¹ POP 4 ton haˉ¹ POP 6 ton haˉ¹ POP 8 ton haˉ¹ POP 10 ton haˉ¹ POP 0 ton haˉ¹ POP+PH 2 ton haˉ¹ POP+PH 4 ton haˉ¹ POP+PH 6 ton haˉ¹ POP+PH 8 ton haˉ¹ POP+PH 10 ton haˉ¹ POP+PH

Pupuk Anorganik

-20 0 20

7 MST

5 MST

(35)

21

11A 11B

Gambar 11 Skor warna daun pada perlakuan pupuk (11A) serta perbedaan skor warna daun dengan yang mendapat pupuk anorganik (11B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan

perlakuan yang nyata menurut uji DMRT pada α = 5%. Angka

yang diikuti oleh tanda (+) menunjukkan berbeda nyata antara perlakuan dan pembanding (perlakuan pupuk anorganik) pada α = 5% berdasarkan uji t-Dunnet

Karakter panjang daun bagian atas pada setiap perlakuan pupuk tidak menunjukkan menujukkan perbedaan secara statistik (Gambar 12). Varietas mentik wangi memiliki panjang daun bendera, daun kedua dan ketiga yang pendek (28.9 cm - 38.71 cm). Panjang dan lebar daun adalah faktor yang berhubungan dengan struktur kanopi dan indeks luas daun. Bentuk kanopi yang dihasilkan akan berperan penting untuk menangkap radiasi matahari. Sesuai dengan pernyataan Lu et al. (2010) pengaruh tipe tanaman terhadap hasil sangat tergantung pada strukturkanopi. Gambar 11 menunjukkan tanaman yang diberi pupuk organik tanpa maupun dengan penambahan pupuk hayati memiliki panjang daun bendera yang sesuai dengan ciri khas varietas mentik wangi yakni 30.8 cm (Lampiran 4). Menurut Wahyuti (2012) daun bendera berperan sebagai penghasil asimilat utama selama prosespengisian biji.

(36)

22

12A 12B

Gambar 12 Panjang tiga daun teratas pada perlakuan pupuk (cm) (12A) serta perbedaan panjang tiga daun teratas dengan yang mendapat pupuk anorganik (12B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1

Gambar 13 menunjukkan bahwa perlakuan pupuk organik tanpa atau ditambah pupuk hayati tidak memberikan perbedaan yang nyata secara statistik pada peubah bobot kering/rumpun dan nisbah tajuk akar. Nisbah tajuk akar mengalami peningkatan selama tahap pertumbuhan dan tidak menunjukkan perbedaan pada setiap perlakuan pada saat 3, 5, dan 7 MST. Saat 5 dan 7 MST, nisbah tajuk akar pada perlakuan 0 ton pupuk organik ha-1 lebih rendah daripada perlakuan pupuk organik yang lain. Ini disebabkan oleh berkurangnya peningkatan pertumbuhan akar dan meningkatnya pertumbuhan tajuk pada perlakuan tanpa pupuk. Nisbah tajuk-akar mempunyai kepentingan fisiologis karena dapat menggambarkan salah satu tipe toleransi terhadap kekeringan. Nisbah ini dikendalikan secara genetik dan juga dipengaruhi oleh lingkungan (Gardner et al. 1991).

0 10 20 30 40 50

0 ton haˉ¹ POP 2 ton haˉ¹ POP 4 ton haˉ¹ POP 6 ton haˉ¹ POP 8 ton haˉ¹ POP 10 ton haˉ¹ POP 0 ton haˉ¹ POP+PH 2 ton haˉ¹ POP+PH 4 ton haˉ¹ POP+PH 6 ton haˉ¹ POP+PH 8 ton haˉ¹ POP+PH 10 ton haˉ¹ POP+PH

Pupuk Anorganik

-10 0 10 20

Daun ke tiga

Daun ke dua

(37)

23

13A 13B

Gambar 13 Bobot biomasa (g) (13A) dan nisbah tajuk akar (13B) pada perlakuan pupuk. POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1

Gambar 14 menunjukkan bahwa perlakuan pupuk tidak mempengaruhi luas daun pada 3, 5 dan 7 MST. Luas daun bertambah seiring dengan pertambahan waktu. Gambar 13B menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan pupuk organik tanpa maupun ditambah pupuk hayati lebih kecil bila dibandingan dengan perlakuan pupuk anorganik, meskipun tidak nyata secara statistik. Hal ini diduga bahwa pemupukan organik belum diserap secara optimal dibandingkan dengan pemupukan anorganik

0 5 10 15

0 ton haˉ¹ POP 2 ton haˉ¹ POP 4 ton haˉ¹ POP 6 ton haˉ¹ POP 8 ton haˉ¹ POP 10 ton haˉ¹ POP 0 ton haˉ¹ POP+PH 2 ton haˉ¹ POP+PH 4 ton haˉ¹ POP+PH 6 ton haˉ¹ POP+PH 8 ton haˉ¹ POP+PH 10 ton haˉ¹ POP+PH

Pupuk Anorganik

0 2

7MST

5 MST

(38)

24

14A 14B

Gambar 14 Luas daun (cm2) pada perlakuan pupuk (14A) serta perbedaan luas daun dengan yang mendapat pupuk anorganik (14B). POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1

Laju pertumbuhan relatif (LPR) menunjukkan besarnya pertambahan bahan kering tanaman. Gambar 15A menunjukkan pola LPR mengalami penurunan setelah tanaman berumur 5 MST. Hasil percobaan menunjukkan bahwa laju pertumbuhan tanaman padi (berdasarkan nilai LAB dan LTR) saat 3-5 MST lebih besar daripada saat 5-7 MST. Menurut Francescangeli et al. (2006) peningkatan derajat penutupan daun dan rasio luas daun tanaman menyebabkan penurunan LAB tanaman akibat semakin banyaknya daun yang saling menutupi. Penutupan daun ini mengakibatkan daun yang berada di bagian bawah tidak dapat menghasilkan asimilat atau berfotosintesis secara maksimal sehingga berpotensi menurunkan produktivitas tanaman. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa penurunan nilai LAB juga disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan bagi tanaman dan adanya kompetisi antar tanaman dalam memperebutkan hara. Tanaman muda memiliki nilai LAB lebih besar daripada tanaman tua karena sebagian besar daunnya terpapar cahaya matahari. Seperti pada LAB, Sugito et al. (2006) menyatakan bahwa LTR tanaman cukup tinggi pada awal pertumbuhan dan menurun seiring dengan bertambahnya umur tanaman.

0 1000 2000

0 ton haˉ¹ POP 2 ton haˉ¹ POP 4 ton haˉ¹ POP 6 ton haˉ¹ POP 8 ton haˉ¹ POP 10 ton haˉ¹ POP 0 ton haˉ¹ POP+PH 2 ton haˉ¹ POP+PH 4 ton haˉ¹ POP+PH 6 ton haˉ¹ POP+PH 8 ton haˉ¹ POP+PH 10 ton haˉ¹ POP+PH

Pupuk Anorganik

-2000 -1000 0 1000

7 MST

5 MST

(39)

25

15A 15B

Gambar 15 Nilai LPR (g hari-1) (15A) dan nilai LAB (mg cm-2 hari-1) (15B) perlakuan pupuk. POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1

Secara umum kadar P daun memiliki perbedaan yang nyata antar perlakuan pupuk. Kadar P pada perlakuan berkisar antara 0.2-0.3 % (kriteria optimum). Kadar P daun paling rendah terjadi pada tanaman yang tidak diberi pupuk organik (perlakuan 0 ton pupuk organik ha-1). Gambar 16A menunjukkan ada kecenderungan semakin tinggi dosis pupuk organik akan meningkatkan kadar P daun. Gambar 16B menunjukkan bahwa kadar P daun perlakuan pupuk organik lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan anorganik. Hasil penelitian menunjukkan pemupukan organik tanpa atau dengan penambahan pupuk hayati tidak dapat meningkatkan kadar N daun saat 8 MST dibandingkan dengan perlakuan pupuk anorganik (Gambar 16B). Menurut Doberman and Fairhurst (2000) tingkat kritis untuk defisiensi N pada tahap anakan sampai inisiasi malai apabila kadar N daun < 2.5%. Hanada (1995) menyatakan secara aktif kadar N tanaman di atas 3.5 % akan merangsang pembentukan anakan dan pada kadar N tanaman 2.5% akan menghambat, pada kadar yang kurang dari 1.5 % akan menurunkan jumlah anakan. Menurut Doberman and Fairhurst (2000) pada tahap pembungaan kadar N optimum pada daun bendera adalah 2.2% – 3%, dan kadar N daun < 2% berada pada tingkat defisiensi. Kadar K daun berkisar antara 1.4-1.6 % atau kriteria optimum.

0 0.05 0.1 0.15

0 ton haˉ¹ POP 2 ton haˉ¹ POP4 ton haˉ¹ POP 6 ton haˉ¹ POP 8 ton haˉ¹ POP 10 ton haˉ¹ POP 0 ton haˉ¹ POP+PH 2 ton haˉ¹ POP+PH 4 ton haˉ¹ POP+PH 6 ton haˉ¹ POP+PH 8 ton haˉ¹ POP+PH10 ton haˉ¹ …

Pupuk Anorganik

LPR 5-7 MST LPR 3-5 MST

0 0.05 0.1 0.15

LAB 5-7 MST

(40)

26

16A 16B

Gambar 16 Kadar N,P, dan K daun (%) pada perlakuan pupuk (16A) serta perbedaan kadar N, P, dan K daun dengan yang mendapat pupuk anorganik (16B). POP: pupuk organik padat, PH: 2 L pupuk hayati ha-1. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan yang nyata menurut

uji DMRT pada α = 5%. Angka yang diikuti oleh tanda (+)

menunjukkan berbeda nyata antara perlakuan dan pembanding

(perlakuan pupuk anorganik) pada α = 5% berdasarkan uji t-Dunnet

Kadar P gabah juga dipengaruhi oleh penambahan pupuk organik (Gambar 17). Kadar P gabah pada perlakuan berkisar antara 0.3-0.4 % (kriteria berlebih). Kadar N gabah berkisar antara 1.1-1.3 % atau kriteria terbatas, kadar K gabah berkisar antara 0.2-0.4 % atau kriteria sangat terbatas. Gambar 17B menunjukkan bahwa kadar P gabah pada perlakuan 0 dan 8 ton pupuk organik ha-1 nyata lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan pupuk anorganik.

Hasil analisis kadar nitrogen pada gabah menunjukkan bahwa perlakuan pupuk organik tanpa atau dengan pupuk hayati tidak memiliki perbedaan yang nyata. Kadar N gabah berkisar 1.11-1.24 %, perlakuan tanpa pupuk berkisar 1.19% dan perlakuan pupuk organik berkisar 1.31 %. Kadar ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Doberman and Fairhurst (2000) yaitu kadar nitrogen rata-rata pada varietas modern pada jerami (0.63%) dan gabah (1.06%).

(41)

27 vegetatif. Dengan demikian penambahan pupuk akan meningkatkan kadar N tajuk maupun N malai saat panen. Pengaruh perlakuan pupuk organik tanpa maupun ditambah pupuk hayati terhadap kadar NPK gabah dapat dilihat pada Gambar 17.

17A 17B

Gambar 17 Kadar N, P, dan K gabah (%) pada perlakuan pupuk (17A) serta perbedaan kadar N, P, dan K gabah dengan yang mendapat pupuk anorganik (17B). POP: pupuk organik padat , PH: 2 L pupuk hayati ha-1. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan yang nyata menurut

uji DMRT pada α = 5%

Serapan hara dihitung dari kadar hara tanaman dikalikan dengan bobot kering tanaman. Gambar 18 menunjukkan bahwa serapan hara N, P, dan K terendah pada perlakuan pupuk hayati saja, hal ini diduga karena walaupun pupuk hayati memiliki kandungan mikrobaaaa yang dapat memperbanyak absorbsi hara ke jaringan tanaman namun lingkungan tempat tinggal mikrobaaaa tersebut sedikit menyediakan hara untuk dapat diabsorbsi tanaman. Serapan hara (N, P, dan K) tertinggi di antara perlakuan organik dan hayati adalah perlakuan 8 ton pupuk organik ha-1 namun serapan N, P, K tersebut lebih rendah daripada dengan perlakuan pupuk anorganik. Hal ini disebabkan pupuk anorganik memiliki hara yang bersifat mudah tersedia bagi tanaman sedangkan pupuk organik memiliki sifat lambat tersedia bagi tanaman (Suharno et al. 2010).

(42)

28

Gambar 18 Serapan hara N, P, dan K (g tanaman-1) pada tanaman. POP: pupuk organik padat , PH: 2 L pupuk hayati ha-1

Hasil

Secara umum perlakuan pupuk organik tanpa maupun ditambah pupuk hayati tidak mempengaruhi komponen hasil padi sawah (Gambar 19 dan 20). Hasil penelitian menunjukkan perlakuan pupuk tidak memberikan perbedaan umur tanaman berbunga. Secara umum tanaman padi sawah varietas Menthik Wangi berbunga saat 8.6-8.8 MST. Perlakuan pupuk organik tanpa maupun ditambah pupuk hayati juga menghasilkan jumlah anakan produktif dan panjang malai yang tidak berbeda secara statistik dengan perlakuan tanpa pupuk maupun pupuk anorganik.

Pemberian pupuk organik tanpa atau dengan pupuk hayati mampu mengurangi persentase gabah hampa, walaupun tidak berbeda secara statistik. Persentase gabah terserang penyakit tidak dipengaruhi oleh perlakuan pupuk organik tanpa atau dengan pupuk hayati maupun pupuk anorganik (Gambar 19A). Persen gabah hampa tidak dipengaruhi oleh perlakuan pupuk diduga karena faktor yang lain seperti temperatur. Basyir et al. (1995) temperatur maksimum untuk tanaman padi pada stadia pemasakan biji temperatur maksimum 30oC.

(43)

29 Varietas Menthik Wangi termasuk malai yang sedang karena panjang malai 20-30 cm (Gambar 20). Pupuk organik tanpa maupun ditambah pupuk hayati tidak berpengaruh nyata terhadap panjang malai. Perlakuan pupuk organik tanpa atau dengan pupuk hayati mempengaruhi peubah bobot 1000 butir. Gambar 20 memperlihatkan kecenderungan bobot 1000 butir bertambah seiring dengan pertambahan jumlah dosis pupuk organik, dengan bobot 1000 butir tertinggi pada perlakuan 8 ton pupuk organik ha-1 + pupuk hayati. Hasil penelitian Pramono (2010), Wangiyana et al. (2010), Soplanit dan Nukuhaly (2012), dan Siregar et al. (2013) serta juga menunjukkan bahwa pemberian pupuk berpengaruh meningkatkan bobot 1000 butir.

(44)

30

20A 20B

Gambar 20 Bobot 1000 butir (g), panjang malai (cm), jumlah anakan produktif pada perlakuan pupuk (20A) serta serta perbedaan bobo 1000 butir, panjang malai dan jumlah anakan produktif dengan yang mendapat pupuk anorganik (20B). POP: pupuk organik padat, PH: 2 L pupuk hayati ha-1. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan yang nyata menurut uji DMRT pada α = 5%

Tabel 2 Hasil tanaman padi sawah pada perlakuan pupuk Perlakuana

POP: pupuk organik, PH: 2 L pupuk hayati ha-1

(45)

31 Gambar 21 terlihat bahwa hasil gabah per rumpun meningkat seiring dengan peningkatan dosis pupuk organik sampai dengan dosis 8 ton pupuk organik ha-1 dan menurun pada saat dosis 10 ton pupuk organik ha-1. Kecenderungan pola yang sama juga terlihat pada pemberian pupuk organik ditambah pupuk hayati. Pemberian 8 ton pupuk organik ha-1 ditambah pupuk hayati dapat meningkatkan hasil tanaman sebesar 51.03% bila dibandingkan dengan pemberian 0 ton pupuk organik ha-1 ditambah pupuk hayati.

Gambar 21 Hubungan perlakuan pupuk dengan hasil basah tiap rumpun. PH: 2 L pupuk hayati ha-1; GKP: gabah kering panen

Gambar 22 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pupuk organik akan meningkatkan dugaan hasil ha-1 sampai titik optimum pada dosis 8 ton pupuk organik ha-1, kemudian hasil akan menurun jika lebih dari dosis tersebut. Hal ini berlaku baik tanpa maupun dengan penambahan pupuk hayati. Pemberian pupuk anorganik memberikan dugaan hasil yang lebih tinggi daripada perlakuan organik tanpa atau dengan pupuk hayati. Perlakuan pupuk organik baik tanpa maupun ditambah pupuk hayati tidak berpengaruh terhadap hasil padi sawah.

Gambar 22 terlihat bahwa sampai dengan dosis 8 ton pupuk organik ha-1, semakin tinggi dosis pupuk organik semakin tinggi pula dugaan hasil ha-1 dan menurun pada dosis 10 ton pupuk organik ha-1. Pemberian pupuk organik ditambah pupuk hayati memperlihatkan kecenderungan bahwa sampai dengan dosis 6 ton pupuk organik ha-1, semakin tinggi dosis pupuk organik akan meningkatkan dugaan hasil ha-1, kemudian menurun seiring bertambahnya dosis pupuk organik. Pemberian 6 ton pupuk organik ha-1 ditambah pupuk hayati. (7205.3kg) mampu meningkatkan dugaan hasil 17.17% bila dibandingkan dengan pemberian pupuk hayati saja (6149.3 kg).

Gambar 21 dan 22 juga menunjukkan bahwa perlakuan pupuk organik tanpa atau dengan penambahan pupuk hayati setara dengan pemberian pupuk anorganik saja. Hasil tanaman padi sawah tidak dipengaruhi pemupukan organik tanpa atau dengan pemberian pupuk hayati maupun pupuk anorganik saja dikarenakan belum tercukupinya kebutuhan hara. Hal ini ditunjukkan oleh nilai bagan warna daun yang di bawah nilai kritis. Ketidakcukupan hara juga dapat dilihat dari kadar N daun yang menunjukkan defisiensi N (Gambar 16). Dobermann dan Fairhust (2000) menyatakan nitrogen berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan dan hasil tanaman.

y = -0,266x2+ 2,932x + 32,88

Dosis pupuk organik (ton ha-1)

tanpa PH dengan PH

Gambar

Gambar 2 Nilai pH tanah pada awal dan akhir percobaan (2A) serta
Gambar 3 Kadar C-organik tanah (%) pada awal dan akhir percobaan (3A) serta perbedaan  kadar C-organik tanah dengan yang mendapat pupuk anorganik (3B)
Gambar 4 Kadar N tanah awal dan akhir  percobaan (%) (4A) serta
Gambar 5 Rasio C/N tanah awal dan akhir percobaan (5A) serta perbedaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apoteker merupakan tenaga kesehatan yang memiliki peran penting dalam melakukan pelayanan kefarmasian di rumah sakit dengan standar pelayanan kefarmasian yang telah

Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan vaksinasi AI yang tidak bersamaan dengan vaksin ND ini yang dilakukan saat ayam masih memiliki maternal antibodi yang tinggi (ayam berumur &lt;

Berdasarkan penjelasan tersebut, tulisan ini akan mengkaji lebih lanjut mengenai pesoalan perdagangan manusia atau human trafficking dalam perspektif psikologis dalam rangka

• On an unlimited (infinite) number of outcomes i.e. For example, time, weight, distance, rate of return etc. The range of possible outcomes of a continuous random variable is

Variabel dalam penelitian ini pelayanan customer service terhadap kepuasan pelanggan Secara simultan Uji bersama yang menunjukkan pengaruh nyata (signifikansi)

Partisipan dalam penelitian ini merupakan dua orang perempuan lajang dengan rentang usia 35-45 tahun; memiliki skor harga diri yang tergolong cukup, rendah, dan sangat

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis merupakan suatu kemampuan yang dimiliki siswa dalam mengekspresikan ide-ide

Berdasarkan hasil kerja subjek penelitian dan wawancara, ditemukan bahwa pada awalnya subjek berkemampuan tinggi tidak dapat menggunakan analogi dengan tepat dalam