• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kapasitas Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Kapasitas Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan di Kabupaten Bogor"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN

CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA

(KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR

SKRIPSI

DIAH AYU KARTIKA

F24080080

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

A STUDY OF PUSKESMAS CAPABILITY IN TAKING SAMPLE OF FOOD

FOR FOOD POISONING OUTBREAKS IN BOGOR REGENCY

Diah Ayu Kartika and Muhammad Arpah

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220

Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 852 165 713 50, e-mail: diahayu.k26@gmail.com

ABSTRACT

Food poisoning outbreak is one of the food safety issues that must be handled seriously. Most of the cases of food poisoning in Indonesia are not reported yet or they are reported but unknown causes. One attempt to solve the problem is through a good food handling by taking samples of food, tested them in the laboratory, then reported the cause of food poisoning outbreaks to the related agencies, such as puskesmas. The aim of this study is to assess the readiness of puskesmas in handling the outbreak of food poisoning in Bogor district based on the capacity of puskesmas to reduce the food poisoning outbreaks, such as its human resources, tools and available materials as well as types of puskesmas. The method used in this study is the primary data collection which is obtained from direct interview to respondens and guided by questionnaires. In addition, secondary data the number of puskesmas that have experienced food poisoning outbreak in Bogor district is gathered from the Dinas Kesehatan and food poisoning outbreak data is obtained from BPOM RI. Based on the result, 44 % of puskesmas have number human resources around 20 to 30. The tools and materials owned by the puskesmas did not reach 100%. Type of puskesmas influence the readiness of the puskesmas in handling and taking sample of food poisoning outbreak. Around 39.13 % of non rawat-inap type of puskesmas were categorized ready and only 13.04 % of rawat-inap type of puskesmas were categorized ready.

(3)

DIAH AYU KARTIKA. F24080080. Kajian Kapasitas Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan di Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan Muhammad Arpah dan AA. Nyoman Merta Negara. 2012

RINGKASAN

Kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan merupakan masalah kesehatan nasional yang terjadi di berbagai negara baik negara berkembang maupun negara maju. Kasus keracunan pangan di Indonesia sebagian besar belum dilaporkan atau dilaporkan namun tidak diketahui penyebabnya. Masalah utamanya adalah sebagian besar sampel umumnya tidak ada atau tidak layak untuk dianalisis karena kesalahan penanganan sampel yang mencakup pengamanan, pengambilan, penyimpanan, dan pengiriman sampel sehingga agen penyebab keracunan tidak diketahui dalam laporan KLB keracunan pangan. Selain itu, kesalahan yang sering terjadi adalah banyaknya petugas yang menangani KLB keracunan pangan tidak memahami langkah-langkah atau prosedur yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya. Salah satu upaya untuk menyikapi masalah tersebut yaitu menangani contoh makanan yang baik dengan mengambil contoh makanan, menguji di laboratorium, kemudian melaporkan penyebab KLB keracunan pangan ke instansi terkait, contohnya puskesmas. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai kesiapan puskesmas dalam menangani dan mengambil contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor untuk mengurangi kasus KLB keracunan pangan.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pengumpulan data primer yang diperoleh dari wawancara langsung kepada responden dan dipandu dengan kuesioner. Selain itu, dikumpulkan pula data sekunder berupa data jumlah puskesmas yang pernah mengalami KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor yang diperoleh dari dinas kesehatan dan data KLB keracunan pangan yang diperoleh dari BPOM RI.

Kesiapan puskesmas dalam menangani KLB keracunan pangan dapat dilihat dari kapasitas puskesmas tersebut, baik dari segi sumberdaya manusia, fasilitas, dan jenis puksemas. Berdasarkan peraturan kepala BPOM tahun 2009 tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan, Pengujian Laboratorium Dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan, dijelaskan mengenai tata cara pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan, seperti alat dan bahan yang digunakan, identifikasi contoh makanan, jumlah contoh makanan yang diambil, memberi label pada setiap contoh makanan yang sudah dikemas, menyimpan contoh makanan dalam boks pendingin, dan mengirimnya ke laboratorium untuk diuji lebih lanjut.

(4)

mengenai tata cara pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan dimiliki oleh 52 % puskesmas. Sebesar 78 % puskesmas mengirim contoh makanan KLB keracunan pangan ke laboratorium untuk diuji dan waktu yang dibutuhkan puskesmas untuk mengirim contoh makanan adalah 3 jam (30.43 % puskesmas).

(5)

KAJIAN KAPASITAS PUSKESMAS DALAM PENGAMBILAN

CONTOH MAKANAN PENYEBAB KEJADIAN LUAR BIASA

(KLB) KERACUNAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

DIAH AYU KARTIKA

F24080080

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Kajian Kapasitas Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan di Kabupaten Bogor

Nama : Diah Ayu Kartika

NIM : F24080080

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Ir. M. Arpah, M.Si) (Drh. AA. Nyoman Merta Negara)

NIP. 19600608.198603.1.002 NIP. 19611231.198903.1.003

Mengetahui :

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

( Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc) NIP 19680526.199303.1.004

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Kapasitas Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan di Kabupaten Bogor adalah hasil karya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012 Yang membuat pernyataan

(8)

© Hak cipta milik Diah Ayu Kartika, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(9)

BIODATA PENULIS

Diah Ayu Kartika. Lahir di Pekanbaru, 26 September 1990 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan bapak Hersi Topan dan ibu Sutirah. Jenjang pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah SD S YPPI Tualang (1996-2002), DMP Padang Panjang (2002-2005), SMA N 1 Tualang (2005-2008), dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) IPB dari Kabupaten Siak. Penulis diterima sebagai mahasiswi Progam Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil „alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Kajian Kapasitas Puskesmas Dalam Pengambilan Contoh Makanan Penyebab KLB Keracunan Pangan Di

Kabupaten Bogor”.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas akhir ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Bapak, Ibu, Bayu, Raras dan Ririh yang senantiasa selalu memberikan doa, kasih sayang, cinta, dukungan fisik maupun moril kepada penulis.

2. Dr. Ir. M. Arpah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi selama penulis menjalankan studi dan menyelesaikan tugas akhir.

3. Drs. Halim Nababan, MM selaku Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan yang telah memberikan dukungan dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan kegiatan magang di BPOM RI Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.

4. Drh. AA. Nyoman Merta Negara selaku pembimbing lapang yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulis melakukan tugas akhir.

5. Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan kepada penulis.

6. Ibu Ruki, Ibu Kamayanti, Pak Nugroho dan seluruh pegawai BPOM RI, khususnya Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan.

7. Seluruh dosen ITP yang telah memberikan ilmu dan nasihat selama perkuliahan. 8. Mas Muhamad Yulianto atas waktu, bantuan, perhatian, dan dukungannya. 9. Sahabat-sabahat seperjuangan tugas akhir di BPOM: Hesty, Anggi, dan Rendy.

10.Sahabat-sahabat di ITP 45: Elva, Riyah, Priska, Fathin, Latifah, mbak Opi, Mutia, Ari, Mustain, Ahmadun, Vitor, Zico, Obit, Mizu dan seluruh keluarga ITP 45 yang dibanggakan dan akan diingat selalu.

11.Keluarga Wisma Flora yang selalu menemani, menghibur, dan memberi semangat: mbak Epi, mbak Widi, Diza, mbak Ika, mbak Wani, Indi, Mepi, Chika, Kiki, bang Rudi, bang Eja, Firman, Evan, dan Aris.

12.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki segala kekurangan tersebut. Penulis juga berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Bogor, November 2012

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

II. KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG ... 4

2.1 Sejarah dan Perkembangan BPOM RI ... 4

2.2 Lokasi dan Tata Letak BPOM RI ... 4

2.3 Visi dan Misi BPOM RI ... 4

2.3.1 Visi BPOM ... 4

2.3.2 Misi BPOM ... 4

2.4 Fungsi BPOM RI ... 5

2.5 Struktur Organisasi BPOM RI ... 5

2.6 Deputi Bidang Pengawasan dan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya ... 5

2.6.1 Tugas ... 5

2.6.2 Fungsi ... 6

2.6.3 Tujuan ... 6

2.6.4 Struktur Organisasi ... 6

2.7 Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan ... 7

2.7.1 Tugas ... 7

2.7.2 Fungsi ... 7

2.7.3 Struktur Organisasi ... 7

2.8 Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan ... 8

2.8.1 Tugas ... 8

2.8.2 Fungsi ... 8

III. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 9

3.2 Keamanan Pangan ... 11

3.3 Keracunan Pangan ... 12

3.4 Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan ... 12

3.5 KLB Keracunan Pangan di Indonesia ... 15

(12)

xii

3.7 Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan ... 16

3.8 Kendala-Kendala dalam Penyelidikan KLB Keracunan Pangan ... 18

3.9 Puskesmas ... 19

3.10 Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan ... 20

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

4.1 Tempat dan Waktu Magang ... 21

4.2 Alat dan Bahan ... 21

4.3 Metode Penelitian ... 21

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

5.1 Profil Puskesmas ... 24

5.2 Sumberdaya Manusia (SDM) di Puskesmas ... 26

5.3 Isi Kuesioner Keterangan Mengenai Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan ... 28

5.3.1 Pengetahuan Responden tentang Definisi KLB keracunan Pangan ... 28

5.3.2 Penanganan KLB Keracunan Pangan ... 28

5.3.3 Tim Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan ... 29

5.3.4 Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan ... 29

5.3.5 Petugas Pengambil Contoh Makanan ... 30

5.3.6 Pelatihan tentang Pengambilan Contoh Makanan ... 31

5.3.7 Alat dan Bahan ... 32

5.3.8 Jumlah Contoh Makanan yang Diambil ... 34

5.3.9 Identifikasi Jenis Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan... 34

5.3.10 SOP tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan ... 35

5.3.11 Pengiriman Contoh Makanan ke Laboratorium Rujukan ... 35

5.3.12 Durasi Waktu yang Dibutuhkan untuk Pengiriman Contoh Makanan ... 36

5.3.13 Ketersediaan Lemari Pendingin Contoh Makanan ... 37

5.3.14 Prosedur Pengambilan Contoh Makanan ... 37

5.4 Pengaruh Jenis Puskesmas Terhadap Kesiapan Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan ... 38

5.5 Pengaruh Jumlah SDM Terhadap Kesiapan Puskesmas dalam Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan ... 39

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 41

6.1 Simpulan ... 41

6.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Data jumlah penderita, kematian, CFR dan lokasi pada KLB keracunan pangan di

Kabupaten Bogor tahun 2007-2011 ... 10

Tabel 2. Jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan berdasarkan laporan Balai Besar/ Balai POM Tahun 2001 – 2011 ... 13

Tabel 3. Pangan penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001 – 2011... 14

Tabel 4. Agen penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001 – 2011 ... 14

Tabel 5. Nama dan alamat puskesmas terpilih di Kabupaten Bogor ... 22

Tabel 6. Profil puskesmas ... 25

Tabel 7. Hasil puskesmas yang menangani KLB keracunan pangan di wilayah kerjanya ... 29

Tabel 8. Hasil puskesmas yang memiliki Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan ... 29

Tabel 9. Hasil puskesmas yang melakukan pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan ... 30

Tabel 10. Hasil puskesmas yang memiliki petugas khusus ... 31

Tabel 11. Bidang atau bagian kerja petugas khusus ... 31

Tabel 12. Pelatihan khusus bagi SDM puskesmas tentang pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan ... 32

Tabel 13. Nama pelatihan khusus bagi SDM ... 32

Tabel 14. Persentase kelengkapan alat dan bahan yang digunakan oleh puskesmas ... 33

Tabel 15. Jumlah contoh makanan yang diambil ... 34

Tabel 16. Identifikasi jenis contoh makanan penyebab keracunan pangan ... 35

Tabel 17. Jumlah puskesmas yang memiliki SOP cara pengambilan contoh makanan ... 35

Tabel 18. Mengirim contoh makanan ke laboratorium untuk diuji ... 35

Tabel 19. Data laboratorium rujukan yang digunakan ... 36

Tabel 20. Data waktu yang dibutuhkan puskesmas untuk mengirimkan contoh makanan ke laboratorium ... 36

Tabel 21. Lemari pendingin khusus untuk menyimpan contoh makanan ... 37

Tabel 22. Hasil kesiapan puskesmas berdasarkan jenis puskesmas... 38

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Peta Kabupaten Bogor ... 9

Gambar 2. Persentase puskesmas berdasarkan jenis ... 24

Gambar 3. Persentase sebaran SDM puskesmas. ... 26

Gambar 4. Jumlah SDM puskesmas berdasarkan tingkat pendidikan terakhir ... 27

Gambar 5. Persentase puskesmas yang menggunakan alat dan bahan dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan ... 33

Gambar 6. Pengaruh jenis puskesmas terhadap kesiapan puskesmas dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan ... 39

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Struktur organisasi BPOM RI ... 46

Lampiran 2. Struktur organisasi Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan BPOM RI ... 47

Lampiran 3. Prosedur pengambilan contoh makanan ... 48

Lampiran 4. Kuesiner survei kapasitas puskesmas ... 68

Lampiran 5. Profil puskesmas (lengkap) ... 73

Lampiran 6. Hasil uraian singkat definisi KLB keracunan pangan menurut petugas Puskesmas ... 75

Lampiran 7. Susunan Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan di Puskesmas ... 77

Lampiran 8. Mekanisme pelaksanaan pengambilan contoh makanan di puskesmas ... 78

(16)

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Masalah keamanan pangan (food safety) merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh masyarakat selain masalah gizi pangan. Hal ini harus diberi perhatian khusus untuk menghindari adanya efek samping yang ditimbulkan dari kontaminasi, penyalahgunaan bahan pangan, hingga keracunan pangan. Salah satu masalah utama yang menarik dari keamanan pangan di Indonesia yang telah diidentifikasi oleh Fardiaz (2001) adalah kasus keracunan pangan yang sebagian besar belum dilaporkan atau dilaporkan namun tidak diketahui penyebabnya. Gaman dan Sherington (1996) mengatakan bahwa keracunan pangan adalah gejala yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang beracun atau terkontaminasi bakteri atau mikroorganisme.

Pada rantai pangan dari hulu ke hilir membutuhkan pengawasan yang sangat kompleks dan melibatkan banyak lembaga terkait untuk ikut serta menentukan keamanan pangan. Hal ini menyebabkan sulitnya menciptakan keamanan pangan yang memadai. Beberapa subsistem rantai pangan ditangani oleh beberapa lembaga (overlapping) tetapi ada beberapa subsistem yang ditangani secara samar atau bahkan belum ditangani oleh satu lembaga, misalnya pengawasan keamanan pangan segar (Sparringa, 2002).

Makanan yang sudah tercemar biasanya secara visual tidak terlihat membahayakan, akan tetapi memiliki penampakan yang normal serta tidak menunjukkan tanda kerusakan baik dari segi rasa, warna, dan aroma. Oleh karena itu, masyarakat yang belum mengerti akan mudah terkecoh dan mengonsumsi makanan tersebut tanpa ada sedikit rasa curiga. Hal ini menyebabkan masih banyaknya kasus keracunan pangan yang terjadi di Indonesia (BPOM, 2007). Penyakit akibat pangan (foodborne diseases) oleh WHO didefinisikan sebagai penyakit-penyakit infeksi atau toksin yang disebabkan mengkonsumsi pangan termasuk air yang telah terkontaminasi (Sharp dan Reilly, 2000). Menurut

laporan WHO (2007), secara global terjadi 1.5 milyar gangguan kesehatan karena makanan (foodborne disease), 3 juta di antaranya meninggal tiap tahun dengan jumlah yang cenderung meningkat.

Kejadian luar biasa (KLB) yang sering terjadi adalah KLB keracunan pangan. KLB keracunan pangan merupakan masalah kesehatan nasional, terjadi di berbagai negara baik negara berkembang seperti Indonesia maupun di negara maju seperti Amerika Serikat yang selalu dianggap memiliki tingkat kesehatan yang lebih tinggi. Diperkirakan satu dari tiga orang penduduk di negara maju mengalami KLB keracunan makanan setiap tahunnya (Jenie dan Rahayu, 2002). Di Eropa, keracunan pangan merupakan penyebab kematian kedua terbesar setelah infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) (Sharp dan Reilly, 2000).

(17)

2

Data KLB keracunan pangan oleh BPOM (2012), menunjukkan bahwa telah terjadi 128 KLB keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2011. Sebanyak 38 (29.69 %) KLB keracunan pangan tersebut diakibatkan oleh cemaran mikroba, 19 (14.84 %) akibat keracunan cemaran kimia dan 71 (55.47 %) tidak diketahui penyebabnya. Selain itu, dari data tersebut menunjukkan bahwa kasus keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2011 disebabkan oleh masakan rumah tangga 58 KLB (45.31 %), pangan olahan 16 KLB (12.50 %), pangan jasa boga 30 KLB (23.4 %), pangan jajanan 16 KLB (12.50 %), dan lain-lain 8 KLB (6.25 %). Dari berbagai kasus keracunan tersebut, ternyata yang menjadi penyebabnya adalah rendahnya kebersihan individu maupun sanitasi lingkungan (Yuliarti, 2007).

Dari contoh data di atas menunjukkan bahwa laporan KLB keracunan pangan di Indonesia masih jauh dari realita. Diperkirakan di negara maju yang mempunyai sistem surveilan bagus sekalipun hanya melaporkan 10% kasus penyakit akibat pangan yang sebenarnya. WHO (2007) menduga bahwa sekitar 30% penduduk di negara industri menderita penyakit akibat pangan setiap tahunnya. Di Amerika Serikat terdapat 76 juta kasus penyakit akibat pangan yang menyebabkan 325,000 penderita masuk rumah sakit dan 5,000 orang meninggal dunia.

Pada umumnya, agen penyebab keracunan (etiologic agent) tidak diketahui dalam laporan KLB keracunan pangan karena sebagian besar sampel umumnya tidak ada atau tidak layak untuk dianalisis. Analisis sampel di laboratorium hanya bersifat kualitatif yaitu menentukan hasil “positif”

atau “negatif” saja, tanpa dilengkapi dengan analisis yang dinyatakan dalam jumlah atau konsentrasi

tertentu. Analisis secara kuantitatif sangat sulit dilakukan karena keterbatasan sarana, sumberdaya manusia, dan metode analisis. Akan tetapi, analisis secara kualitatif saja tidak cukup untuk menyatakan suatu agen sebagai penyebab keracunan pangan karena setiap agen memiliki dosis dan respon (dose response) yang berbeda terhadap keracunan.

Banyak petugas yang menangani KLB keracunan pangan tidak memahami langkah-langkah atau prosedur yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya. Kesalahan yang sering terjadi adalah kesalahan penanganan sampel yang mencakup pengamanan, pengambilan, penyimpanan, dan pengiriman sampel sehingga sampel tidak layak untuk dianalisis. Hal tersebut menyebabkan tidak teridentifikasinya makanan penyebab KLB keracunan pangan yang terjadi (Krisnovitha, 2004).

Masalah-masalah di atas merupakan sebagian kecil dari buruknya manajemen penanganan KLB keracunan pangan di Indonesia. Salah satu upaya untuk menyikapi masalah tersebut yaitu menangani contoh makanan yang baik dengan mengambil contoh makanan, menguji di laboratorium, kemudian melaporkan penyebab KLB keracunan pangan ke instansi terkait, contohnya puskesmas. Pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan mengacu pada Peraturan Kepala BPOM RI No HK.00.06.1.54.2797 tahun 2009 Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “Pengambilan contoh makanan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan makanan dilakukan oleh Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat provinsi atau kabupaten kota segera setelah mendapat laporan dari orang yang

mengetahui adanya keracunan makanan”. Pada ayat (2) menyatakan bahwa “Unit Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) terdiri atas: puskesmas, poliklinik, rumah sakit pemerintah atau swasta, dan unit pelayanan kesehatan lainnya”.

(18)

3

pengujian yang akan dilakukan selanjutnya guna mengetahui apakah makanan tersebut benar-benar penyebab KLB keracunan pangan yang terjadi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kesiapan dan tata cara yang digunakan puskesmas dalam mengambil contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan agar diketahui penyebabnya.

1.2

Tujuan

Tujuan umum:

Memperluas wawasan, melatih sikap dan kemampuan teknis mahasiswa serta mengaplikasikan ilmu selama magang di bidang surveilan dan penanggulangan keamanan pangan di BPOM RI.

Tujuan khusus:

1. Menilai kesiapan puskesmas dalam menangani KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor berdasarkan kapasitas puskesmas, seperti sumberdaya manusia, alat dan bahan yang digunakan, dan jenis puskesmas untuk mengurangi KLB keracunan pangan.

(19)

II.

KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG

2.1

Sejarah dan Perkembangan BPOM RI

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bertugas untuk mengawasi obat dan makanan sehingga dapat melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan produk obat dan makanan. Pengawasan ini sebelumnya ditangani oleh Departemen Kesehatan, tetapi karena bertambah kompleksnya permasalahan yang ada dan kebijakan-kebijakan yang harus diambil maka tugas ini perlu ditangani secara khusus. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 166 tahun 2000, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bertanggung jawab kepada Presiden dan dikoordinasikan dengan Kementerian Kesehatan.

Untuk melaksanakan tugasnya, BPOM RI diberi kewenangan untuk menyusun rencana nasional dan kebijakan nasional secara makro di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan standar penggunaan bahan tambahan tertentu untuk makanan dan pedoman untuk mengawasinya, memberi ijin peredaran obat dan makanan serta mengawasi industri-industri farmasi, dan menetapkan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan, dan pengawasan tanaman obat.

2.2

Lokasi dan Tata Letak BPOM RI

BPOM RI terletak di Jalan Percetakan Negara No. 23, Jakarta Pusat. Instansi ini mempunyai beberapa gedung sebagi pusat kegiatan sehari-hari, yaitu gedung A-F. Pusat aktivitas Deputi I, Deputi II dan Deputi III beserta segenap perangkatnya berada di gedung A-F. Namun, ketika kegiatan magang berlangsung, sedang ada pembangunan gedung F, sehingga kegiatan magang dilakukan di aula gedung PPOMN (Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional) karena untuk sementara waktu aula gedung PPOMN digunakan sebagai kantor bagi Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.

2.3

Visi dan Misi BPOM RI

2.3.1 Visi BPOM RI

Visi dari BPOM RI adalah menjadi Institusi Pengawas Obat dan Makanan yang inovatif, kredibel dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat.

2.3.2 Misi BPOM RI

1. Melakukan pengawasan pre-market berstandar Internasional. 2. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu secara konsisten.

3. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan diberbagai lini. 4. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan

(20)

5

2.4

Fungsi BPOM RI

1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan. 2. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan.

3. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM.

4. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan.

5. Penyelenggara pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, perlengkapan dan rumah tangga.

2.5

Struktur Organisasi BPOM RI

BPOM RI ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No.166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 173 tahun 2000. Pembentukan BPOM RI ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02001/SK/KBPOM RI, tanggal 26 Februari tahun 2001, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Negera Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 34/M.PAN/2/2001 tanggal 1 Februari 2001. Berikut ini adalah struktur organisasi BPOM RI:

1. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2. Sekretariat Utama.

3. Inspektorat.

4. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA).

5. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen. 6. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.

7. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional. 8. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan. 9. Pusat Riset Obat dan Makanan. 10.Pusat Informasi Obat dan Makanan. 11.Unit Pelaksana Teknis BPOM.

Struktur organisasi dalam bentuk skema dapat dilihat pada Lampiran 1.

2.6

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya

2.6.1 Tugas

(21)

6

2.6.2 Fungsi

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya memiliki fungsi dalam Kebijakan Peningkatan Keamanan Pangan, yaitu :

1. Meningkatkan kemampuan BPOM RI dalam melakukan berbagai kegiatan yang terkait dengan risk asessment, risk management, dan risk communication.

2. Meningkatkan networking antar lembaga secara tepadu dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan keamanan pangan baik di dalam maupun di luar negeri.

3. Meningkatkan kesadaran produsen, khususnya industri rumah tangga akan pentingnya keamanan pangan bagi perlindungan konsumen dan peningkatan daya saing industri pangan secara lokal, regional, maupun global.

4. Meningkatkan kesadaran konsumen akan pentingnya keamanan pangan bagi kesehatan masyarakat dan memberdayakan untuk ikut mengawasi keamanan pangan yang dikonsumsinya.

5. Meningkatkan tindakan secara hukum (enforcement) bagi mereka yang melanggar peraturan perundang-undangan pangan.

2.6.3 Tujuan

Dalam undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 3, tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah :

1. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia.

2. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab.

3. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

2.6.4 Struktur Organisasi

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya dibantu oleh lima direktorat, yaitu:

1. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan. 2. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan. 3. Direktorat Standardisasi Produk Pangan.

4. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. 5. Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya.

(22)

7

Keamanan pangan dipengaruhi oleh setiap tahapan proses yang dilaluinya, sejak dari bahan mentah sampai ke produk jadi di tangan konsumen. Untuk memberikan jaminan keamanan pangan maka perlu dilakukan cara-cara pengendalian pada setiap mata rantai proses penanganan dan pengolahan pangan, mulai dari lapangan (sawah, kebun, kolam, serta praktek-praktek pertanian yang baik), proses pengolahan, penggudangan dan penyimpanan, distribusi dan pemasaran, sampai kepada konsumsi oleh konsumen.

2.7

Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan

2.7.1 Tugas

Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan.

2.7.2 Fungsi

Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan

prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang surveilan dan penanggulangan keamanan pangan.

2. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang promosi keamanan pangan.

3. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang penyuluhan makanan siap saji dan industri rumah tangga.

4. Penyusunan rencana dan program surveilan dan penyuluhan keamanan pangan.

5. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan.

6. Evaluasi dan penyusunan laporan surveilan dan penyuluhan keamanan pangan.

7. Pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.

2.7.3 Struktur Organisasi

Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan terdiri dari : 1. Subdirektorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan.

2. Subdirektorat Promosi Keamanan Pangan.

3. Subdirektorat Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga.

(23)

8

2.8

Sub Direktorat Surveilan Dan Penanggulangan Keamanan Pangan

2.8.1 Tugas

Tugas pokoknya adalah melaksanakan penyiapan bahan perumusan, evaluasi dan pelaksanaan surveilan dan penanggulangan keamanan pangan. Subdit ini mengkoordinasikan tiga seksi, yaitu Seksi Surveilan Keamanan Pangan, Seksi Penanggulangan Keamanan Pangan, dan Seksi Tata Operasional. Seksi Surveilan Keamanan Pangan mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan surveilan keamanan pangan. Seksi Penanggulangan Keamanan Pangan mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis penyusunan rencana dan program penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan penanggulangan keamanan pangan. Seksi Tata Operasional memiliki tugas pokok melakukan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.

2.8.2 Fungsi

Fungsi Sub Direktorat dan Penanggulangan Keamanan Pangan adalah : 1. Penyusunan rencana dan program surveilan dan penanggulangan keamanan pangan. 2. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman,

(24)

III.

TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Bogor terletak di Provinsi Jawa Barat. Kota ini terletak 54 km sebelah selatan Jakarta dengan luas sekitar 3,440.71 km2. Secara geografis Kabupaten Bogor terletak diantara 6.190 -6.470 LS dan 1060-1070 BT. Perbatasan wilayahnya adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Depok, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak, sebelah barat daya berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, sebelah timur Kabupaten Karawang, sebelah timur daya berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi, sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan dan 139 pedesaan, dimana jumlah tersebut adalah hasil pemekaran 5 kecamatan di tahun 2005 (BPS, 2011). Kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran Kecamatan Leuwiliang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran Kecamatan Bojong Gede), dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran Kecamatan Ciampea).

Jumlah penduduk pada tahun 2011 adalah 4,966,621 jiwa yang terdiri dari 2,573,929 jiwa laki-laki dan 2,392,692 jiwa perempuan (BPS, 2012). Setiap tahun rata-rata penduduk Kabupaten Bogor bertambah 3.16 % atau meningkat hingga 140 ribu jiwa. Di Kabupaten Bogor terdapat 104 unit puskesmas. Peta wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Kabupaten Bogor

(25)

10

Tabel 1. Data jumlah penderita, kematian, CFR dan lokasi pada KLB keracunan pangan di

Kabupaten Bogor tahun 2007-2011

Tahun Jumlah

Penderita

Jumlah

Kematian CFR (%) Lokasi

2007 114 0 0

- Desa Cisalada Kecamatan Cigombong (acara syukuran)

- Desa Kemuning Kecamatan Bojong gede (SDN Kedung Waringin IV) - Desa Puraseda Kecamatan Leuwiliang

(Mts. Al Fallahiyah)

2008 635 0 0

- PT. Lutfin Indonesia Desa Cijujung Kecamatan Sukaraja

- Desa Wirajaya Kecamatan Jasinga - Desa Karang Asem Barat Kecamatan

Citeurup

- Desa Sukaraja Kecamatan Sukaraja - Desa Kotamekar Kecamatan Cariu - Desa Tegal Kecamatan Kemang - PT. Indo Karo Kecamatan Cibinong - PT. Natra Raya Desa. Pasir Angin

Kecamatan Cileungsi

2009 379 0 0

- Desa Ciomas Kecamatan Ciomas - Kp. Cijulang Ds Kopo Kecamatan

Cisarua

- Desa Bunar Kecamatan Cigudeg - Desa Leuwiliang Kecamatan Citeureup

2010 379 0 0

- Desa Cinagara, Desa Pasir Buncir Kecamatan Caringin

- Desa Tanjung sari, Desa Cibadak Kecamatan Tanjung sari

- Desa Citayam Kecamatan Tajur Halang

- Desa Pabuaran Kecamatan Gunung Sindur

- Desa Tapos II Kecamatan Tenjolaya - Desa Puraseda, Desa Purasari

Kecamatan Leuwiliang

- Desa Cibatuga, Kecamatan Cariu SDN Kp Sawah II Kecamatan Rumpin

2011 207 0 0

- Desa Kutamekar, Cikutamahi dan Cibatu 3, Kecamatan Cariu

- Desa Pasil Laja Kecamatan Sukaraja Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor (2011)

Keterangan:

(26)

11

3.2

Keamanan Pangan

Pangan mempunyai arti yang luas. Menurut UU RI No. 7 tahun 1996, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

Ada 4 masalah utama keamanan pangan di Indonesia yang telah diidentifikasi oleh Fardiaz (2001), yaitu: (i) pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan; (ii) kasus keracunan pangan yang sebagian besar belum dilaporkan atau dilaporkan namun tidak diketahui penyebabnya; (iii) masih rendahnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan; serta (iv) masih rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan.

Keamanan pangan (food safety) merupakan unsur penting ketahanan pangan (food security) yang tidak boleh diabaikan begitu saja dengan alasan apapun (Sulaeman dan Syarief, 2007). Dalam UU No 7 tahun 1996, disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan demikian keamanan pangan merupakan hak dan sekaligus kewajiban azasi manusia yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh suatu pemerintahan (Sulaeman dan Syarief, 2007). Keamanan pangan bukan hanya melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya kesehatan, tetapi juga mendorong tercapainya perekonomian yang lebih baik karena nilai ekonomis pangan aman yang dihasilkan. Pencapaian keamanan pangan bukan hal yang mudah yang secara instan dapat dicapai dalam waktu yang singkat, namun harus diupayakan secara terus menerus (Rahayu dan Nababan, 2011).

Ada beberapa masalah keamanan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini antara lain adalah: 1. Pangan yang tidak memenuhi standar yang disyaratkan;

2. Kasus KLB keracunan pangan yang tidak terlaporkan dan tidak diketahui penyebabnya;

3. Terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan terutama dari skala kecil terhadap mutu dan keamanan pangan; dan

4. Rendahnya pengetahuan konsumen pangan dan keterbatasan akses untuk mendapatkan pangan yang bermutu tinggi dan aman (Rahayu dan Nababan, 2011).

(27)

12

3.3

Keracunan Pangan

Salah satu dampak dari pangan yang tidak aman adalah timbulnya penyakit akibat makanan yang dikenal dengan foodborne disease atau kadang disebut kasus keracunan pangan (Sulaeman dan Syarief, 2007). Penyakit akibat pangan (foodborne disease) oleh WHO didefinisikan sebagai penyakit-penyakit infeksi atau toksin yang disebabkan mengonsumsi pangan termasuk air yang telah terkontaminasi (Sharp dan Reilly, 2000). Secara global terjadi 1.8 milyar gangguan kesehatan karena makanan (foodborne disease), 3 juta di antaranya meninggal tiap tahun dengan jumlah yang cenderung meningkat (WHO, 2007).

Makanan yang sudah terlanjur tertelan sulit kembali lagi, artinya apabila makanan tersebut memiliki nilai gizi dan daya cerna yang tinggi maka proses pencernaan akan berlangsung normal, sebaliknya bila makanan tersebut sudah dicemari dan mengandung racun, maka akan terjadi gangguan pencernaan dan akibatnya bisa fatal (Winarno, 2004b). Bila ditinjau dari jenis bahayanya, maka pangan yang tercemar secara fisik, biologis, dan kimia dapat membahayakan kesehatan. Bila ditinjau dari prosesnya, keracunan dapat berasal dari bahan baku, proses penanganan, penyiapan, saat penyajiannya (Rahayu, 2011). Terjadinya keracunan pangan dari salah satu anggota keluarga di rumah akan menyebabkan keresahan dan kepanikan. Apalagi jika keracunan pangan tersebut terjadi pada sebagian besar atau seluruh anggota keluarga. Dari berbagai jenis kasus terjadinya keracunan, sebagian besar disebabkan karena ketidaktahuan terhadap penyebab awal bagaimana keracunan pangan itu dapat terjadi (Winarno, 2004a).

3.4

Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/MENKES/SK/VIII/2004 (Menkes, 2004), kejadian luar biasa atau dikenal dengan istilah outbreak adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Selain itu KLB sering diartikan sebagai suatu fenomena yang berbeda dari biasanya atau menyimpang dari keadaan normal. Contohnya, demam berdarah merupakan penyakit yang selalu muncul setiap tahun. Akan tetapi, pada Januari-Mei 2004 terjadi peningkatan frekuensi kejadian demam berdarah di beberapa wilayah di Indonesia yang menelan ratusan korban, baik sakit ataupun meninggal. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan demam berdarah sebagai suatu KLB. Banyak jenis lain KLB yang dikenal seperti KLB diare, KLB malaria, KLB keracunan pangan, dan lain-lain.

KLB keracunan pangan yang disebabkan oleh mikroba patogen yang mengakibatkan gangguan kesehatan yang akut, yang disebut gastroenteritis, biasanya karena mengonsumsi pangan yang terkontaminasi bakteri patogen atau racun yang diproduksinya (Winarno, 2007). Ada beberapa kriteria kerja KLB yaitu timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal, peningkatan kejadian penyakit atau kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu), peningkatan kejadian penyakit atau kematian 2 kali atau lebih dibanding dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun), jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya, angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih dibanding dengan angka rata-rata perbulan dari tahun sebelumnya (Sutarman, 2008).

(28)

13

yang sama atau hampir sama setelah mengonsumsi sesuatu dan berdasarkan analisis epidemiologi, makanan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan.

Berdasarkan data BPOM (2012) menunjukkan bahwa jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan pada tahun 2001-2011 sebanyak 1392 kejadian di 30 provinsi. Jumlah korban yang meninggal dunia adalah 407 orang. KLB keracunan pangan terbanyak di provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 216 kejadian (15.52 %). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan berdasarkan laporan Balai Besar/Balai POM Tahun 2001 – 2011

Balai total %

Banda Aceh 45 3.23

Pekanbaru 31 2.23

Jambi 57 4.09

Palembang 27 1.94

Medan 17 1.22

Padang 73 5.24

Lampung 40 2.87

Bengkulu 39 2.80

Jakarta 55 3.95

Bandung 216 15.52

Semarang 143 10.27

Yogyakarta 101 7.26

Surabaya 64 4.60

Denpasar 83 5.96

Kendari 35 2.51

Makasar 80 5.75

Manado 20 1.44

Palu 7 0.50

Pontianak 37 2.66

Palangkaraya 30 2.16

Samarinda 31 2.23

Kupang 42 3.02

Mataram 48 3.45

Banjarmasin 28 2.01

Ambon 19 1.36

Jayapura 12 0.86

Gorontalo 3 0.22

Banten 5 0.36

Batam 3 0.22

Pangkal Pinang 1 0.07

Total 1392 100.00

Sumber: BPOM (2012)

(29)

14

Tabel 3. Pangan penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001 – 2011

Jenis Pangan Total %

Masakan rumah tangga 620 44.54

Pangan Olahan 221 15.88

Pangan Jasa Boga 301 21.62

Pangan Jajanan 202 14.51

Lain-lain 23 1.65

Tidak dilaporkan 25 1.80

Total 1392 100.00

Sumber: BPOM (2012)

Ada beberapa agen penyebab KLB keracunan pangan berdasarkan laporan BPOM (2012), yaitu mikroba, kimia, dan tidak diketahui. Sebesar 57.60 % penyebab KLB tidak diketahui (Tabel 4).

Tabel 4. Agen penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001 – 2011

Penyebab Total %

Mikroba 275 19.76

Kimia 176 12.64

Tidak diketahui 941 67.60

Total 1392 100.00

Sumber: BPOM (2012)

Berdasarkan jenis penyebabnya, KLB keracunan pangan dapat dibagi menjadi 2, yaitu keracunan pangan karena infeksi dan intoksikasi. Keracunan pangan karena infeksi disebabkan karena masuknya kuman penyakit (mikroorganisme patogen) ke dalam tubuh bersama pangan, sehingga menimbulkan reaksi tubuh terhadap kuman tersebut (Imari, 2002) Contohnya: V. parahaemolyticus,

Salmonella, E. coli pathogen dan C. perfringen tergolong dalam jenis infeksi (Winarno, 2007). Keracunan pangan intoksikasi disebabkan karena memakan bahan beracun yang terdapat pada jaringan tumbuh-tumbuhan atau hewan, yang diproduksi oleh kuman (virus, bakteri, parasit) atau terpapar racun lain yang sengaja atau tidak sengaja terdapat dalam pangan atau sumber pencemar lain (Imari, 2002). Contohnya: keracunan pangan oleh Staphylococcus dan C.botulinum (Winarno, 2007). Lebih lanjut, untuk menghindari keracunan makanan akibat pencemaran mikroorganisme, kita diharapkan mengonsumi makanan yang telah dimasak atau diolah secara sempurna. Pemasakan secara sempurna mampu mengatasi terjadinya kontaminasi bakteri ataupun toksin di atas (Yuliarti, 2007).

Menurut Jenie dan Rahayu (2002), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan pelaporan kejadian keracunan pangan di dunia diduga disebabkan oleh kombinasi faktor berikut : 1. Perubahan dalam praktik pertanian, seperti pertanian intensif, dimana praktek pembudidayaan dan

peternakan menyebabkan penyebaran yang cepat patogen manusia dan hewan melalui ternak dan unggas di berbagai negara. Contoh-contoh penyebaran tersebut adalah Salmonella enteritidis PT4 dalam unggas dan S. typhimurium DT 104 dalam sapi.

2. Integrasi vertikal proses produksi hewan dan praktek terkait, misalnya daur ulang produk limbah rumah potong hewan kembali ke dalam rantai pangan hewan, melalui pakan ternak, yang mengakibatkan menumpuknya agen-agen seperti salmonella dalam unggas dan prion penyebab BSE (bovine spongiform encephalopathy) dalam ternak sapi.

(30)

15

4. Perubahan demografi, yang menyebabkan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi pada kelompok populasi seperti bayi dan anak-anak, orang tua, orang sakit, dan orang dengan kekebalan terbatas (immunocompromised).

5. Malnutrisi di negara dunia ketiga, menyebabkan meningkatnya kepekaan terhadap penyakit. Situasi ini diperburuk dengan banyaknya orang yang mengungsi ke daerah lain dan terpapar dengan kondisi ekstrim, yang mempercepat penyebaran penyakit asal pangan dan air seperti kolera dan disentri.

6. Globalisasi suplai pangan dunia, yang memperpanjang rantai suplai (lebih banyak orang dan prosedur penanganan pangan yang terlibat dalam peningkatan risiko potensial). Peningkatan perdagangan dunia dalam bidang pangan dan bahan baku pangan merupakan salah satu hal yang perlu mendapat perhatian pula. Contoh produk mentah yang menimbulkan penyakit adalah selada yang dieksport dari Spanyol ke Norwegia, Swedia dan Inggris menyebabkan disentri basiler.

Faktor-faktor lain yang dinyatakan sebagai penyebab meningkatnya insiden penyakit asal pangan termasuk pemanasan global (global warming), berkurangnya penggunaan aditif, seperti nitrit, pada makanan yang diawetkan, serta meningkatnya pemasaran pangan yang sedikit diawetkan, pengolahan kurang, seperti daging masak dingin yang dikemas dengan atmosfir termodifikasi serta pangan yang sedikit dipanaskan dan dikemas dengan proses “sous vide cuisine”.

3.5

KLB Keracunan Pangan di Indonesia

Menurut Sparringa dan Rahayu (2011a), kuantitas laporan KLB keracunan pangan di Indonesia masih tergolong rendah, dan umumnya tidak menyertakan penyebabnya, sehingga besaran masalah KLB keracunan pangan tidak dapat diketahui secara pasti. Selain itu, dampak masalah kesehatan dan ekonomi biasanya cenderung terabaikan, ditambah lagi koordinasi antar lembaga yang masih lemah serta belum jelasnya mekanisme penyidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan ikut memperparah kondisi ini. Umumnya, penyebab tidak ditemukannya agen penyebab KLB keracunan pangan dapat dikarenakan oleh tidak adanya sampel, atau keterbatasan akses ke laboratorium rujukan. Oleh karena itu, perlu ditinjau atau diteliti bagaimana penanganan sampel penyebab KLB keracunan pangan di puskesmas sebagai Unit Pelayanan Terpadu kesehatan yang dekat dengan masyarakat (Sparringa dan Rahayu, 2011b).

Pada dasarnya, program penanggulangan KLB keracunan pangan dapat dijabarkan menjadi tiga bagian, yaitu melalui kegiatan kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Kegiatan kajian risiko yang perlu dilakukan antara lain meningkatkan kegiatan surveilan KLB keracunan pangan dan mengkaji penyebabnya di laboratorium. Kegiatan manajemen risiko dilakukan dengan cara melakukan pengembangan mekanisme dan SOP KLB keracunan pangan, pilot project KLB keracunan pangan, pelatihan SDM penanggulangan KLB keracunan pangan, pengembangan Jejaring Intelijen Pangan (JIP), dan membentuk pusat kewaspadaan dan penanggulangan KLB keracunan pangan. Sedangkan dalam komunikasi risiko yang perlu dilakukan adalah kegiatan informasi pencegahan KLB keracunan pangan yang lebih intensif (Sparringa dan Rahayu, 2011a).

(31)

16

Upaya pengembangan mekanisme dan SOP KLB keracunan pangan yang terdiri dari penyempurnaan draf mekanisme dan SOP, pembuatan surat keputusan untuk pelaksanaannya, desain kontainer untuk sampling KLB keracunan pangan, dan penyiapan modul sampling, semuanya telah dilakukan. Petugas Balai Besar POM dan Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota pun telah dilatih agar mempunyai kompetensi yang memadai dalam melakukan penelusuran KLB keracunan pangan (Sparringa dan Rahayu, 2011a).

3.6

Permasalahan Dalam Penanganan KLB Keracunan Pangan

Menurut Sparringa dan Rahayu (2011b), ada beberapa kendala yang ditemui dalam penanganan KLB keracunan pangan, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Sampel yang diduga sebagai penyebab keracunan sering terlambat atau tidak dapat diperoleh, sehingga tidak dapat dilakukan analisis penyebab keracunan.

2. Koordinasi dan kerjasama dengan lembaga terkait setempat belum optimal, terutama dengan dihapusnya lembaga Kanwil sebagai penanggung jawab Tim Penanggulangan Keracunan Pangan di provinsi.

3. Terbatasnya kemampuan karyawan dalam bidang epidemiologi dan laboratorium khususnya mikrobiologi.

4. Akses yang terbatas terhadap laboratorium rujukan yang memadai dalam identifikasi patogen atau bahan berbahaya penyebab keracunan pangan.

5. Seringkali instansi mendapat sampel dari pihak lain yang umumnya tidak mengetahui syarat metode sampling yang benar.

6. Dana untuk investigasi kurang memadai.

7. Prosedur pelaporan maupun penanganan keracunan pangan yang belum dipahami sepenuhnya oleh petugas lapangan.

8. Ketidakjelasan mekanisme dan kewenangan dalam investigasi dan penanggulangannya.

Masalah utama di atas sebenarnya disebabkan oleh belum mantapnya manajemen investigasi KLB keracunan pangan di Indonesia, tidak adanya pedoman investigasi beserta standard operating procedure (SOP) atau prosedur tetap (protap) yang bisa dirujuk oleh lembaga terkait, khususnya pemerintah daerah sebagai penanggung jawab utama investigasi KLB keracunan pangan.

3.7

Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Keracunan Pangan

Pemerintah telah berupaya untuk menangani KLB keracunan pangan, diantaranya dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor: HK.00.SJ.SE.D.0147 pada tanggal 29

Januari 1999 tentang “Prosedur Tetap Penanggulangan Terpadu KLB Keracunan Makanan”. Surat

(32)

17

Laboratorium Dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan” dan di dalam

peraturan tersebut dijelaskan prosedur tetapnya.

Penyelidikan KLB keracunan pangan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis terhadap KLB keracunan pangan berdasarkan cara-cara epidemiologi untuk mengetahui penyebab, sumber, dan cara keracunan serta distribusi KLB menurut variabel epidemiologi (tempat, orang, dan waktu) (Imari, 2002). Manajemen penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan terdiri dari dua kegiatan pokok, yaitu penyelidikan dan penanggulangan. Kedua hal tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pelaporan KLB keracunan pangan harus tuntas, menyeluruh dan lengkap. Tanpa informasi yang benar dan lengkap, maka kecenderungan faktor-faktor penyebab atau faktor yang berkontribusi terhadap KLB keracunan pangan tersebut akan sangat sulit untuk dideteksi (Sharp dan Reilly, 2000).

Menurut Sparringa dan Rahayu (2011a), secara umum, penyelidikan KLB keracunan pangan bertujuan untuk memberikan dukungan upaya penanggulangan KLB keracunan serta mendapat informasi epidemiologi dari suatu kejadian KLB keracunan pangan. Sedangkan secara khusus, kegiatan ini memiliki beberapa tujuan yaitu:

1. Mengidentifikasi kasus dan menanggulangi korban. 2. Mengidentifikasi pangan berisiko tinggi.

3. Mengidentifikasi faktor risiko terjadinya KLB. 4. Menarik produk pangan yang telah terkontaminasi. 5. Menghentikan penyebarluasan penyakit.

6. Membuat rekomendasi agar terhindar dari KLB serupa dimasa yang akan datang.

Tahapan penyelidikan penanggulangan KLB keracunan pangan dapat dilakukan dengan sembilan langkah yaitu:

1. Mengidentifikasi terjadinya KLB keracunan pangan. 2. Menetapkan formulasi hipotesis awal.

3. Merencanakan investigasi.

4. Melaksanakan investigasi dan konfirmasi hipotesis. 5. Menganalisis dan menginterpretasi data.

6. Menentukan faktor-faktor yang berkontribusi.

7. Mengidentifikasi dan melaksanakan penanggulangan serta pencegahan keracunan. 8. Menghitung dampak ekonomi.

9. Membuat laporan.

Uji laboratorium dalam penanggulangan KLB merupakan hal penting yang perlu mendapat perhatian. Laboratorium harus mendapatkan informasi epidemiologi sebelum melakukan analisis pangan. Beberapa patogen yang mempunyai dosis infeksi tinggi harus diuji secara kuantitatif. Misalnya, untuk S. Aureus positif yang memiliki konsentrasi ≥ 105per gram pangan, maka perlu dilakukan uji enterotoksin. Begitu juga jika B. cereuspositif dan memiliki konsentrasi ≥ 106 per gram pangan disertai gejala pertama mual/ muntah maka perlu dilakukan pengujian toksinnya. Konfirmasi hasil laboratorium harus memperhatikan beberapa kriteria seperti pangan penyebab dan gejala agar hasil yang diperoleh valid dengan input biaya yang tidak besar (Sparringa dan Rahayu, 2011a).

(33)

18

Menurut Arnold dan Munce (2000) diacu dalam Krisnovitha (2004), epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyebaran kejadian penyakit pada populasi penduduk dan faktor-faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan penyebaran penyakit tersebut. Analisis epidemiologi didasarkan pada tiga variabel, yaitu tempat, waktu, dan orang (jenis kelamin, umur, dll.). Tujuan utama analisis epidemiologi adalah untuk mengetahui agen penyebab keracunan. Semula epidemiologi berasal dari berbagai pengalaman yang berhubungan dengan kejadian wabah penyakit yang besar, tetapi kemudian diterapkan juga pada berbagai penyakit dan masalah kesehatan lainnya, termasuk keracunan pangan (Imari, 2002).

Kegiatan yang berfungsi mengumpulkan informasi yang lengkap dalam penyelidikan KLB keracunan pangan adalah surveilan. Surveilan merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi tersebut kepada pihak-pihak terkait yang membutuhkan untuk kemudian ditindaklanjuti (Sparringa, 2002). Kegiatan yang dilakukan bersifat komprehensif, sehingga diharapkan dapat menyediakan segala informasi yang diperlukan dalam menghadapi suatu masalah keamanan pangan (Rahayu, 2011). Tujuan surveilan keamanan pangan secara umum adalah mendeteksi masalah keamanan pangan, termasuk KLB, faktor-faktor risiko keracunan pangan, dan memantau kecenderungan masalah pangan, agar dapat mengambil suatu tindakan atau mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan (Sparringa, 2002).

Secara lebih spesifik, tujuan surveilan KLB keracunan pangan, yaitu: (1) menentukan besarnya masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh KLB keracunan pangan, (2) memantau kecenderungannya, (3) mengidentifikasi KLB sedini mungkin agar dapat menetapkan tindakan tepat pada waktunya, (4) menentukan sejauh mana makanan berperan sebagai pembawa patogen tertentu, (5) mengidentifikasi makanan berisiko, populasi yang rentan, (6) mengkaji efektivitas program peningkatan keamanan pangan yang ada, dan (7) memberikan informasi untuk menyusun formulasi kebijakan kesehatan tentang keracunan pangan (BPOM, 2001).

Kegiatan surveilan harus dilakukan terus menerus dan berkesinambungan dengan tujuan untuk mengetahui tren, tindak lanjut kebijakan, dan evaluasi kebijakan sehingga dengan demikian dapat dilakukan tindakan pencegahan maupun penanggulangan KLB yang tepat. Sumber informasi penting dalam surveilan keamanan pangan berasal dari surveilan KLB keracunan pangan dan surveilan pada rantai pangan (Rahayu dan Sparringa, 2011).

Hasil kegiatan surveilan dituliskan dalam sebuah laporan yang merupakan data KLB keracunan pangan. Data ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam membuat dan menetapkan suatu kebijakan tentang keamanan pangan. Data ilmiah tersebut sangat tergantung pada keberhasilan menghimpun informasi dari hasil surveilan KLB keracunan pangan. Menurut Arnold dan Munce (2000) diacu dalam Krisnovitha (2004), keberhasilan surveilan KLB keracunan pangan sangat ditentukan oleh 3 hal, yaitu: ketepatan waktu, kesiapan sumberdaya, dan koordinasi antara semua pihak yang terlibat.

3.8

Kendala-Kendala dalam Penyelidikan KLB Keracunan Pangan

(34)

19

Kesalahan yang sering terjadi adalah keterlambatan pengamanan dan ketidaktepatan sampel yang dicurigai sebagai penyebab keracunan pangan. Selama ini, umumnya sampel yang diterima oleh laboratorium kurang memadai, akibatnya laboratorium tidak mampu menganalisis dengan baik. Hal ini sangat berkaitan dengan penanganan sampel saat di lapangan, sehingga pengambilan sampel harus diperhatikan. Sampel yang tidak memadai diantaranya, yaitu sebagai berikut: (1) sampel tidak cukup mewakili (representatif), (2) jumlah sampel, (3) kondisi sampel tidak sesuai untuk dianalisis, (4) pengiriman sampel sering terlambat dan dalam kondisi yang tidak tepat, (5) informasi sampel dan penderita keracunan tidak ada, (6) sarana pengujian laboratorium tidak lengkap (Tahir et al., 2002).

Kendala lain dalam penyelidikan KLB keracunan pangan adalah kurangnya kesadaran pemerintah daerah terhadap tanggung jawabnya menangani KLB keracunan pangan. Dalam era otonomi daerah, pihak yang bertanggung jawab melaksanakan penyelidikan dan penanggulangan KLB keracunan pangan di wilayah kabupaten atau kota yang bersangkutan adalah pemerintah daerah

kabupaten atau kota. Menurut Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1991, tentang “Penanggulangan Wabah Penyakit Menular”, bupati atau walikota adalah penanggung jawab operasional pelaksanaan penanggulangan wabah, termasuk KLB keracunan pangan (Depkes, 2003). Begitu pula dengan sumberdaya dan dana untuk penyelidikan dan penanggulangan yang juga merupakan tanggung jawab kepala daerah setempat. Salah satu unit kesehatan yang ditanggung oleh tiap daerah adalah puskesmas. Oleh karena itu, setiap puskesmas di daerah berhak mendapatkan alokasi dana yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Hal ini telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 008/ MENKES/ SK/I/ 2012 (Menkes, 2012).

3.9 Puskesmas

Konsep dasar puskesmas dijelaskan dalam Kepmenkes RI No 128/ MENKES/ SK/ II/ 2004 (Menkes, 2004), salah satunya berisi tentang pengertian puskesmas. Ada beberapa hal yang dijelaskan dalam pengertian puskesmas tersebut, antara lain unit pelaksana teknis, pembangunan kesehatan, penanggungjawab penyelenggaraan, dan wilayah kerja. Pengertian puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pengembangan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit pelaksanan teknis (UPTD) dinas kesehatan kabupaten atau kota, puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional dinas kesehatan kabupaten atau kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Penanggung jawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan kesehatan di wilayah kabupaten atau kota adalah dinas kesehatan kabupaten atau kota, sedangkan puskesmas bertanggung jawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh dinas kesehatan kabupaten atau kota sesuai dengan kemampuannya.

(35)

20

Menurut Menkes (2004), peran puskesmas dalam kajian epidemiologi ancaman KLB adalah menyelenggarakan kegiatan seperti: a. melaksanakan pengumpulan dan pengolahan data dan kondisi rentan KLB di daerah puskesmas; b. melakukan kajian epidemiologi terus menerus secara sistematis terhadap perkembangan penyakit berpotensi KLB dan faktor-faktor risikonya, sehingga dapat mengidentifikasi adanya ancaman KLB di daerah puskesmas; c. melaksanakan penyelidikan lebih luas terhadap kondisi rentan KLB.

Menkes (2004) juga menyatakan bahwa fungsi puskesmas dalam peringatan kewaspadaan dini KLB adalah apabila teridentifikasi adanya ancaman KLB yang sangat penting dan mendesak, maka dalam waktu secepat-cepatnya, puskesmas memberikan peringatan kewaspadaan dini KLB kepada program terkait di lingkungan puskesmas, dan sektor terkait wilayah puskesmas, termasuk rumah sakit, klinik dan masyarakat, serta melaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten atau kota.

Puskesmas melaksanakan kegiatan untuk peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB, seperti peningkatan kegiatan surveilan, dan penyelidikan lebih luas terhadap kondisi rentan KLB dan mendorong upaya-upaya pencegahan KLB. Kegiatan surveilan yang dimaksud adalah pelaksanaan pemantauan wilayah setempat kondisi rentan KLB di wilayah puskesmas (Menkes, 2004).

3.10 Pengambilan Contoh Makanan KLB Keracunan Pangan

(36)

21

IV.

METODOLOGI PENELITIAN

4.1

Waktu dan Tempat Magang

Kegiatan magang di BPOM RI, Jakarta berlangsung selama ± 4 bulan (14 Februari–14 Juni 2012). Akan tetapi, secara khusus, pengambilan data dilakukan di puskesmas yang berada di Kabupaten Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Juni 2012.

4.2

Alat dan Bahan

Pada penelitian ini digunakan kuesioner sebagai alat untuk mengumpulkan data primer yang dibutuhkan saat melakukan wawancara terhadap responden sebagai bentuk pendekatan kepada target responden yang dituju. Kuesioner yg digunakan merupakan adaptasi dari kuesioner yang dibuat oleh BPOM RI yang berjudul “Kuesioner Laboratorium Pengujian Keamanan Pangan” tahun 2008.

4.3

Metode Penelitian

Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung kepada responden yang dipandu dengan kuesioner. Sementara itu, data sekunder berupa data jumlah puskesmas yang pernah mengalami KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor yang diperoleh dari Dinas Kesehatan.

Metode yang akan diterapkan sebagai usaha untuk menghasilkan data dan analisis yang tepat dalam penelitian mengenai kapasitas puskesmas dalam pengambilan contoh makanan KLB keracunan pangan di Kabupaten Bogor, antara lain terdiri dari empat tahapan yaitu sebagai berikut:

1. Penentuan Jumlah Sampel

(37)
[image:37.595.111.454.99.539.2]

22

Tabel 5. Nama dan alamat puskesmas terpilih di Kabupaten Bogor

No Nama Puskesmas Alamat

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 UPF Ciasmara UPT Leuwiliang UPF Puraseda UPT Ciomas UPF Cilebut UPT Bojong Gede UPT Tenjolaya UPT Rumpin UPT Cigudeg UPT Gunung sindur UPT Cileungsi UPT Cigombong UPT Tajur Halang UPT Jampang UPF Leuwilinutug UPT Cinagara UPT Cariu UPT Tanjungsari UPT Jasinga UPT Cimandala UPF Cibinong UPF Cibulan UPF Curug

Jl. KH. Abd. Hamid km.15 Jl. Moch. Noh Nur Jl. Moch. Noh Nur Jl. Raya Kreteg Jl. Raya Cilebut Timur

Jl. Kp. Bambu kuning RT 04/ RW 06 Jl. R. Abdul Fatah

Jl. Praja Samlawi No.6 Jl. Raya Jasinga-Bogor Km.34 Jl. Pemuda No. 37 Gn Sindur Jl. Camat Enjan No I Jl. Raya Cigombong No 650

Jl. Cendrawasih No.11 RT 01/RW 05 Ds. Tegal RT 05/ RW 04

Jl. Jolok Setu

Jl. Cinagara Simpang III No 42 Jl. Brigjen Dharsono No.13 Jl. H. Abdul Halim

Jl. Letnan Sayuti Jl. Raya Jakarta Bogor Jl. Raya Bogor km 47,5 Jl. Raya Puncak km.81 Kp. Barangbang Desa Curug

2. Penyusunan Kuesiner

Kuesioner merupakan serangkaian pertanyaan dan pernyataan penjabaran dari tujuan penelitian yang diajukan kepada responden. Kuesioner digunakan sebagai panduan dalam melakukan wawancara, pengambilan data atau sebagai alat pengumpulan data. Wawancara dilakukan dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti sehingga mempermudah responden untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner ada yang bersifat tertutup dan ada yang bersifat terbuka yang tidak terstruktur. Pertanyaan dalam kuesioner ini disusun sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat digunakan untuk mengamati kesiapan puskesmas dalam menangani pengambilan contoh makanan penyebab KLB keracunan pangan yang meliputi sumberdaya manusia dan fasilitas yang berkaitan dengan pengambilan contoh makanan tersebut.

(38)

23

sebanyak 26 pertanyaan, masing-masing empat pertanyaan pada bagian pertama, dua pertanyaan pada bagian kedua dan 20 pertanyaan pada bagian ketiga. Kuesioner ini dapat dilihat pada Lampiran 4.

3. Pemilihan Responden

Pada penelitian ini, responden yang dipilih adalah petugas puskesmas yang bertugas menangani atau mengerti mengenai kasus KLB keracunan pangan seperti bagian surveilan, kesehatan lingkungan, atau kepala puskesmas. Setiap puskesmas diberi satu berkas kuesioner. Pengisian kuesioner dilakukan dengan wawancara langsung.

4. Turun Lapang dan Penyebaran Kuesioner

Kegiatan turun lapang dilakukan dengan mendatangi langsung puskesmas terpilih untuk mengetahui keadaan puskesmas tersebut sekaligus menyebarkan kuesioner dan bertemu dengan respoden yang dianggap memiliki kemampuan untuk mengisi kuesioner. Penyebaran kuesioner di puskesmas sesuai dengan teknik sampling bertujuan yang terpilih. Proses penyebaran kuesioner membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya, seperti letak puskesmas yang cukup jauh, kesibukan petugas puskesmas dalam mengerjakan tugasnya, keterbatasan jam kerja puskesmas, ketersediaan transportasi, dan lain-lain.

4.4

Pengolahan dan Analisis Data

(39)

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1

Profil Puskemas

Lokasi puskesmas yang menjadi bahan penelitian berada di Kabupaten Bogor dan tersebar di kecamatan yang berbeda-beda, yaitu Kecamatan Pamijahan, Leuwiliang, Ciomas, Sukaraja, Bojong gede, Tenjolaya, Rumpin, Gunung Sindur, Cileungsi, Cigombong, Tajur halang, Kemang, Citereup, Caringin, Cariu, Cigudeg, Tanjungsari, Jasinga, Cibinong, dan Cisarua.

Berdasarkan fungsinya, puskesmas terdiri dari dua jenis yaitu puskesmas perawatan (inap) dan puskesmas non perawatan(non inap). Perbedaan antara puskesmas perawatan dan puskesmas non perawatan adalah ketersediaan tempat dan fasilitas untuk menerima pasien yang membutuhkan rawat inap. Puskesmas rawat inap adalah puskesmas dengan fasilitas tempat perawatan dan ruang tambahan untuk menolong penderita gawat darurat baik berupa tindakan operatif terbatas maupun perawatan

sementara. Fungsinya sebagai “Pusat Rujukan Antara” yang melayani penderita gawat darurat

sebelum dapat dirujuk ke rumah sakit. Kriteria yang harus dipenuhi puskesmas rawat inap adalah sebagai berikut:

1. Puskesmas harus terletak kira-kira 20 km dari rumah sakit.

2. Mudah dicapai dengan kendaraan bermotor dari puskesmas sekitarnya. 3. Dipimpin oleh seorang dokter disertai tenaga kesehatan yang memadai. 4. Jumlah kunjungan minimal 100 orang per hari.

5. Penduduk wilayah puskesmas dan penduduk 3 puskesmas sekitarnya minimal 20,000 per puskesmas.

6. Pemerintah daerah bersedia menyediakan anggaran rutin yang mencukupi.

Berdasarkan hasil survei, hanya sebesar 30.43 % puskesmas yang termasuk jenis puskesmas perawatan dan 69.57 % puskesmas yang merupakan puskesmas non perawatan (Gambar 2). Da

Gambar

Tabel 5. Nama dan alamat puskesmas terpilih di Kabupaten Bogor
Tabel 6. Profil puskesmas
Gambar 4. Jumlah SDM puskesmas berdasarkan tingkat pendidikan terakhir
Tabel 8. Hasil puskesmas yang memiliki Tim Penyelidik dan Penanggulangan KLB keracunan pangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam upacara Peusijuek di Kecamatan Labuhan Haji Timur, Kabupaten Aceh Selatan dapat terlihat dengan adanya unsur

Uuden rippikoulusuunnitelman (RKS 2017) mukai- sesta musiikkikasvatuksesta ei ole vielä tehty tutkimusta, joten tällä tutkimuksella avataan ensi kertaa myös tutkimuksellinen

Berbeda dengan kemandirian menyikat gigi sebelum perlakuan, kemandirian menyikat gigi setelah perlakukan dilakukan pelayanan asuhan keperawatan gigi dan mulut dengan

masyarakat dan juga lingkungan mereka, sehingga dalam pelaksanaan atau perwujudannyapun masih kurang. Dapat dilihat dari kehidupan keseharian masyarakat dalam

“Secara akademik kami akan menerjunkan tim kami, kami juga punya pakar lingkungan, kesehatan masyarakat, sosial politik, kesemuanya saya berharap bisa melakukan kajian ini

Cikgu Khairul Anuar, SMK Seri Mahkota, Kuantan 8 3.2 Daya ke atas konduktor pembawa arus dalam suatu medan magnet.. Apa yang berlaku

menyaji secara efekt ji secara efektif, if, kreati kreatif, f, produkt produktif, kriti if, kritis, mandiri s, mandiri, kolabora , kolaboratif, tif, komunik komunikatif, da atif,

Maluku Tenggara Barat 13210456910222 ESTER RESIMANUK SMP NEGERI 1 WERMAKTIAN Seni Musik Non Klasik 5 SENI MUSIK MENGULANG KE-2 OBJEKTIF.