• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perubahan Sosial Ekonomi dan Budaya Peserta Hutan Kemasyarakatan di Desa Gudang Garam, Kec. Bintang Bayu, Kab. Serdang Bedagai.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Perubahan Sosial Ekonomi dan Budaya Peserta Hutan Kemasyarakatan di Desa Gudang Garam, Kec. Bintang Bayu, Kab. Serdang Bedagai."

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA

PESERTA HUTAN KEMASYARAKATAN DI DESA GUDANG

GARAM, KEC. BINTANG BAYU, KAB. SERDANG BEDAGAI

SKRIPSI

Oleh :

FEBI OKTARINA SORAYA LIDA

060304048

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

ANALISIS PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA

PESERTA HUTAN KEMASYARAKATAN DI DESA GUDANG

GARAM, KEC. BINTANG BAYU, KAB. SERDANG BEDAGAI

SKRIPSI

Oleh :

FEBI OKTARINA SORAYA LIDA

060304048/AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara

Diketahui Oleh, Komisi Pembimbing

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

(Ir. Luhut Sihombing, MP) (Ir. Garendel Siboro, M.Si NIP. 1965 1008 199203 1001 NIP. 1959 0929 198901 1001

)

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

RINGKASAN

FEBI OKTARINA SORAYA LIDA (060304048/AGRIBISNIS) dengan judul skripsi “Analisis Perubahan Sosial Ekonomi dan Budaya Peserta Hutan Kemasyarakatan di Desa Gudang Garam, Kec. Bintang Bayu, Kab. Serdang Bedagai”. Penelitian ini dibimbing oleh Ir. Luhut Sihombing, MP sebagai ketua komisi pembimbing dan Ir. Garendel Siboro, MSi sebagai anggota komisi pembimbing. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2010.

Penelitian bertujuan untuk menganalisis perbedaan pendapatan total, pengeluaran usaha tani dan curahan tenaga kerja sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan dan menganalisis perbedaan partisipasi masyarakat, keterlibatan lembaga dan kemandirian masyarakat sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan. Metode penelitian yang digunakan adalah secara purposive yaitu di Desa Gudang Garam, Kec. Bintang Bayu, Kab. Serdang Bedagai dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan kawasan program Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang masih aktif dan dapat dijangkau oleh peneliti.

Pengambilan sampel petani peserta hutan kemasyarakatan dilakukan secara purposive berdasarkan tahun terlama peserta bergabung dengan program hutan kemasyarakatan agar diperoleh hasil yang homogen. Perubahan-perubahan sosial ekonomi dianalisis dengan metode uji beda dua rata-rata sampel berpasangan/Paired Sample T-test dan perubahan sosial budaya dianalisis dengan metode Wilcoxon Signed Rank Test.

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan : ada perbedaan pendapatan total, pengeluaran usaha tani dan curahan tenaga kerja sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan. Ada perbedaan partisipasi masyarakat, keterlibatan lembaga dan kemandirian masyarakat sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan.

(4)

RIWAYAT HIDUP

FEBI OKTARINA SORAYA LIDA, lahir tanggal 18 Oktober 1987 di Medan, anak kedua dari tiga bersaudara dari Ayahanda Drs. Ibrahim Lida dan Ibunda Dra. Rosmawaty, Apt.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut: pada tahun 1993 masuk sekolah dasar di SD Negeri 060883 Medan dan tamat tahun 1999. Tahun 1999 masuk sekolah lanjutan tingkat pertama di SMP Negeri 7 Medan dan tamat tahun 2002. Tahun 2002 masuk sekolah menengah atas di SMA Negeri 4 Medan dan tamat tahun 2005.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Analisis Perubahan Sosial Ekonomi dan Budaya Peserta Hutan Kemasyarakatan di Desa Gudang Garam, Kec. Bintang Bayu, Kab. Serdang Bedagai”. Tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

• Ir. Luhut Sihombing, MP selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah

meluangkan waktunya untuk mengajar dan membimbing serta memberikan masukan yang berharga dalam menyelesaikan skripsi ini.

• Ir. Garendel Siboro, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah

banyak membukakan wawasan secara detail, yang mengayomi dan memberikan masukan yang sangat berarti kepada penulis.

• Dr. Ir. Salmiah, MS selaku Ketua Departemen Agribisnis, FP- USU dan

Dr. Ir. Satia Negara, M.Ec selaku Sekretaris Departemen Agribisnis, FP-USU yang telah memberikan kemudahan dalam hal perkuliahan.

• Bu Aprilia dan Mbak Retno dari Kantor BPDAS Sumatera Utara yang telah

memberikan bimbingan dan masukan terhadap skripsi ini.

• Seluruh staf pengajar dan pegawai di Departemen SEP, FP- USU khususnya

(6)

• Rekan-rekan mahasiswa stambuk 2006 Departemen Agribisnis, serta

teman-teman saya yang paling teristimewa khususnya Rusdiana, Dian, Iqbal, Yuri, Indra, Irene, Icha, Citra, Meli, Mena, dan Ayu.

• Terima Kasih khusus buat ”Muammar Nouval” yang telah membantu dan

mendukung saya dalam penyelesaian skripsi saya.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Purwono Kepala Desa Gudang Garam, Bapak Sugiono Ketua Kelompok Tani HKm, Bapak Kardisyah Peserta Program HKm serta pihak-pihak instansi yang telah membantu penulis dalam memberikan data dan informasi dalam penelitian ini.

Segala hormat dan terima kasih secara khusus penulis ucapkan kepada Ayahanda Drs. Ibrahim Lida dan Ibunda Dra. Rosmawaty, Apt. atas kasih sayang, dan dukungan baik secara materi, moril maupun doa yang diberikan kepada penulis selama menjalani kuliah, tak lupa kepada kakanda Vika Amalia Oktavia Lida, ST, abangda Alfi Yahdi, SE dan adinda Hafiz Maulana Lida serta keponakanku Assyifa Latisha Yahdi atas doa dan semangat yang diberikan.

Medan, Februari 2011

(7)

DAFTAR ISI

1.2. Identifikasi Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Kegunaan Penelitian ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN... 8

2.1. Tinjauan Pustaka... 8

2.1.1. Sejarah Hutan Kemasyarakatan ... 8

2.1.2. Konsep Hutan Kemasyarakatan ... 11

2.2. Landasan Teori ... 17

2.2.1. Teori Fungsi Produksi ... 20

2.2.2. Fungsi Biaya ... 21

2.2.3. Indeks Harga ... 22

2.2.4. Teori Partisipasi ... 24

2.3. Kerangka Pemikiran ... 27

2.4. Hipotesis Penelitian ... 30

BAB III. METODE PENELITIAN ... 31

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 31

3.2. Metode Penentuan Sampel ... 31

3.3. Metode Pengambilan Data ... 32

3.4. Metode Analisis Data ... 32

3.5. Definisi dan Batasan Operasional... 36

BAB IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN ... 38

4.1. Luas dan Kondisi Geografis Desa Gudang Garam ... 38

4.2. Keadaan Penduduk dan Tata Guna Lahan ... 38

(8)

4.4. Keadaan Umum Lokasi Hutan Kemasyarakatan ... 42

4.5. Karakteristik Responden Penelitian ... 45

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 50

5.1. Keadaan Ekonomi Petani Sampel... 50

5.1.1. Perubahan Pendapatan Total ... 50

5.1.2. Perubahan Pengeluaran Usaha Tani ... 57

5.1.3. Perubahan Curahan Tenaga Kerja ... 59

5.2. Keadaan Sosial Budaya Petani Sampel... 62

5.2.1. Perubahan Partisipasi Masyarakat ... 62

5.2.2. Perubahan Keterlibatan Lembaga ... 65

5.2.3. Perubahan Kemandirian Masyarakat ... 68

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

6.1. Kesimpulan... 71

6.2. Saran ... 73

(9)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Jumlah peserta program HKm berdasarkan tahun bergabung ... 32

2. Distribusi penduduk menurut jenis kelamin di Desa Gudang Garam tahun 2010 ... 38

3. Distribusi penduduk menurut suku bangsa di Desa Gudang Garam tahun 2010 ... 39

4. Distribusi penduduk menurut pekerjaan di Desa Gudang Garam tahun 2008 ... 40

5. Distribusi penggunaan lahan di Desa Gudang Garam tahun 2008 ... 41

6. Distribusi responden berdasarkan kelompok umur ... 45

7. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan... 46

8. Distribusi responden berdasarkan luas lahan HKm dan luas lahan Non HKm yang dimiliki ... 47

9. Pendapatan Total Responden Sebelum dan Sesudah Bergabung dengan Hutan Kemasyarakatan (HKm)... 55

10. Pengeluaran Usaha Tani Responden Sebelum dan Sesudah bergabung dengan Hutan Kemasyarakatan (HKm)... 58

11. Curahan Tenaga Kerja Total pada Responden Sebelum HKm, HKm, dan Usaha Tani Lainnya (HKP/tahun) ... 60

12. Perubahan Tingkat Partisipasi Masyarakat Sebelum dan Sesudah Kehadiran Hutan Kemasyarakatan (HKm) ... 64

13. Perubahan Tingkat Keterlibatan Lembaga Sebelum dan Sesudah Kehadiran Hutan Kemasyarakatan (HKm) ... 66

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Diagram Aliran Pelaku Kegiatan Ekonomi ... 19 2. Skema Kerangka Pemikiran ... 29 3. Penyeberangan dengan Rakit Bambu dan kondisi jalan setapak

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Karakteristik Responden Peserta Hutan Kemasyarakatan (HKm) ... 77

2. Karakteristik Responden Peserta Hutan Kemasyarakatan (Lanjutan) ... 78

3. Pendapatan Petani Sebelum Bergabung dengan Hutan Kemasyarakatan .... 79

4. Pendapatan Petani Sesudah Bergabung dengan Hutan Kemasyarakatan .... 80

5. Pengeluaran Usaha Tani untuk Perawatan Tanaman per Bulan Sebelum Bergabung dengan HKm... 81

6. Pengeluaran Usaha Tani untuk Perawatan Tanaman per Bulan Sesudah Bergabung dengan HKm ... 82

7. Curahan Tenaga Kerja untuk HKm ... 83

8. Curahan Tenaga Kerja untuk Non HKm ... 84

9. Curahan Tenaga Kerja untuk Sebelum HKm ... 85

10. Produksi, Produktivitas, Umur Tanaman, Jarak Tanam, Harga Jual dan Luas Lahan untuk HKm dan Non HKm ... 87

11. Kebutuhan Pupuk dan Pestisida untuk HKm dan Non HKm ... 89

12. Harga Pupuk dan Pestisida untuk HKm dan Non HKm ... 90

13. Produksi,Produktivitas, Luas Lahan Umur Tanaman, Jarak Tanam, Harga Jual, Kebutuhan Pupuk dan Pestisida, Harga Pupuk dan Pestisida sebelum HKm ... 91

14. Penilaian Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Sebelum Mengikuti HKm ... 94

15. Penilaian Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Sesudah Mengikuti HKm ... 95

16. Hasil Output Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah HKm ... 96

17. Hasil Output Pengeluaran Usaha Tani Sebelum dan Sesudah HKm ... 97

(12)

19. Hasil Output Tingkat Partisipasi Masyarakat Sebelum dan

Sesudah HKm ... 99

20. Hasil Output Tingkat Keterlibatan Lembaga Sebelum dan Sesudah HKm ... 100

21. Hasil Output Tingkat Kemandirian Masyarakat Sebelum dan Sesudah HKm ... 101

22. Daftar Nama Peserta Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) ... 102

23. Biaya Penyusutan HKm ... 104

24. Biaya Penyusutan Non HKm - Karet ... 105

25. Biaya Penyusutan Non HKm - Sawit ... 106

26. Biaya Penyusutan Non HKm - Coklat dan Jagung ... 107

27. Biaya Penyusutan Sebelum Bergabung dengan HKm ... 108

28. Upah Tenaga Kerja dan PBB... 109

29. Contoh Perhitungan Pendapatan dan Pengeluaran Usaha Tani pada Petani Responden Sebelum dan Sesudah HKm ... 110

30. Parameter Sosial Budaya Sebelum dan Sesudah Bergabung dengan Hutan Kemasyarakatan (HKm) ... 117

31. Permenhut. No: P.37/Menhut-II/2007 ... 119

32. Permenhut. No: P. 18/Menhut-II/2009... 130

33. Permenhut. No: P. 13/Menhut-II/2010... 132

(13)

RINGKASAN

FEBI OKTARINA SORAYA LIDA (060304048/AGRIBISNIS) dengan judul skripsi “Analisis Perubahan Sosial Ekonomi dan Budaya Peserta Hutan Kemasyarakatan di Desa Gudang Garam, Kec. Bintang Bayu, Kab. Serdang Bedagai”. Penelitian ini dibimbing oleh Ir. Luhut Sihombing, MP sebagai ketua komisi pembimbing dan Ir. Garendel Siboro, MSi sebagai anggota komisi pembimbing. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2010.

Penelitian bertujuan untuk menganalisis perbedaan pendapatan total, pengeluaran usaha tani dan curahan tenaga kerja sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan dan menganalisis perbedaan partisipasi masyarakat, keterlibatan lembaga dan kemandirian masyarakat sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan. Metode penelitian yang digunakan adalah secara purposive yaitu di Desa Gudang Garam, Kec. Bintang Bayu, Kab. Serdang Bedagai dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan kawasan program Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang masih aktif dan dapat dijangkau oleh peneliti.

Pengambilan sampel petani peserta hutan kemasyarakatan dilakukan secara purposive berdasarkan tahun terlama peserta bergabung dengan program hutan kemasyarakatan agar diperoleh hasil yang homogen. Perubahan-perubahan sosial ekonomi dianalisis dengan metode uji beda dua rata-rata sampel berpasangan/Paired Sample T-test dan perubahan sosial budaya dianalisis dengan metode Wilcoxon Signed Rank Test.

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan : ada perbedaan pendapatan total, pengeluaran usaha tani dan curahan tenaga kerja sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan. Ada perbedaan partisipasi masyarakat, keterlibatan lembaga dan kemandirian masyarakat sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh-tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di bumi ini (Arief, 2001). Menurut UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

(15)

Salah satu upaya pokok pembangunan kehutanan yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam pembangunan kehutanan melalui perhutanan sosial, khususnya di dalam kawasan hutan, berupa kegiatan hutan kemasyarakatan. Hutan kemasyarakatan adalah suatu sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat desa hutan yang ditujukan untuk mendukung kehidupan dan kesejahteraan dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan (Wardoyo, 1997).

Maksud dari pelaksanaan hutan kemasyarakatan adalah pemberdayaan masyarakat dan pemberian kepercayaan kepada masyarakat setempat yang tinggal di dalam sekitar kawasan hutan untuk mengusahakan hutan negara sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan pengetahuan sehingga kelestarian sumberdaya hutan dapat dipertahankan (Dephutbun, 1999).

Menurut Dephutbun (1999), pembangunan hutan kemasyarakatan bertujuan untuk:

1) Meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas ekonomi dan sosial masyarakat.

2) Meningkatkan ikatan komunitas masyarakat pengusaha hutan.

3) Mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi dan manfaat hutan.

4) Meningkatkan mutu, produktivitas dan keamanan hutan.

5) Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat.

(16)

Model hutan kemasyarakatan sebenarnya hanya sesuai ditetapkan dalam pengelolaan dan sekaligus pelestarian areal-areal hutan yang berukuran kecil, dan kebanyakan berada pada lokasi-lokasi terpencil, baik di dalam maupun di luar kawasan yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan negara (kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan kawasan pelestarian alam pada zonasi pemanfaatan taman hutan raya dan wisata). Luas kawasan hutan yang cocok untuk model hutan kemasyarakatan adalah antara 40-10.000 Ha (Dephutbun, 1999).

Pemberdayaan masyarakat melalui hutan kemasyarakatan dan hutan desa dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, di antaranya kemiskinan masyarakat Indonesia. Di mana, 34,96 juta jiwa tergolong dalam kategori miskin (BPS, 2008) dan 48,8 juta jiwa (22%) tinggal dalam dan sekitar hutan, 10,2 juta jiwa di antaranya tergolong miskin (CIFOR, 2005). Selain itu, perubahan paradigma pengelolaan hutan dari “timber base management” kepada “community base

forest management” yang disertai perubahan kebijakan yang lebih berpihak

kepada masyarakat, dimana pemanfaatan hutan kemasyarakatan ini diatur sesuai dengan Permenhut No: P. 37/Menhut-II/2007, kemudian untuk pemanfaatan hutan desa diatur sesuai dengan Permenhut No: P.49/Menhut-II/2008 (Anonim, 2009).

(17)

umumnya adalah masyarakat yang berasal dari desa tetangga atau pihak pengusaha. Melihat kondisi yang demikian, masyarakat di desa Gudang Garam mengusulkan kepada pemerintah setempat untuk memperoleh hak pengelolaan

hutan di kawasan hutan tersebut berdasarkan Permenhut No: P. 37/Menhut-II/2007 dan mengajukan perizinan pengelolaan hutan

kemasyarakatan kepada bupati. Sebelum adanya program hutan kemasyarakatan, hanya sebagian kecil masyarakat di desa tersebut yang memiliki lahan untuk usaha tani. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki pekerjaan yang tetap seperti buruh lepas, buruh bangunan dan pedagang. Hal ini juga yang melatarbelakangi terbentuknya program hutan kemasyarakatan selain ketersedian sumber daya alam.

(18)

mengandalkan swadaya masyarakat. Kemudian, pada tahun 2009 sudah mulai kembali ada perhatian pemerintah terhadap hutan kemasyarakatan di desa tersebut seperti pemberian bibit baru seperti manglit, kulit manis, dan sebagainya. Khususnya setelah pemekaran kabupaten dimana Desa Gudang Garam termasuk wilayah Kabupaten Serdang Bedagai.

Dari sisi ekonomi, hutan kemasyarakatan dirasakan masyarakat dapat memberikan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian dan lapangan pekerjaan tambahan bagi masyarakat yang ingin menambah penghasilannya. Sekitar 20%-30% KK di Desa Gudang Garam menggantungkan hidupnya pada hasil hutan kemasyarakatan. Masyarakat yang menjadi peserta hutan kemasyarakatan diberikan hak pengusahaan areal hutan seluas 2-4 Ha. Melihat luasnya areal yang dikelola otomatis banyak tenaga kerja di sekitar desa ikut terserap dalam mengelola hutan kemasyarakatan tersebut. Hutan kemasyarakatan dinyatakan masyarakat memberikan kontribusi besar bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan.

(19)

Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) telah berjalan lebih dari 10 tahun. Namun belum ada data pasti mengenai keberhasilan program ini dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan belum terlihat secara signifikan seberapa besar kontribusi hutan kemasyarakatan dalam mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat di sekitarnya.

1.2. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang sudah diuraikan, maka masalah-masalah yang akan diteliti sebagai berikut :

1) Apakah ada perbedaan pendapatan total, pengeluaran usaha tani dan curahan tenaga kerja sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan? 2) Apakah ada perbedaan partisipasi masyarakat, keterlibatan lembaga dan

kemandirian masyarakat sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk menganalisis perbedaan pendapatan total, pengeluaran usaha tani dan curahan tenaga kerja sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan.

(20)

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini di kemudian hari dapat dipergunakan untuk:

1) Penelitian dan penulisan ini dilakukan sebagai masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN

DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Sejarah Hutan Kemasyarakatan

Kerusakan hutan hujan tropis di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan kehutanan Indonesia yang menjadikan hutan sebagai objek paling dragmatis memberikan keuntungan dalam jangka waktu yang pendek. Hutan dijadikan komoditi yang paling mudah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi dijadikan alasan guna melakukan eksploitasi hutan tanpa memperhitungkan daya dukung, keberlanjutan dan kelestarian hutan (Koesmono, 1999).

(22)

Persoalan penting lainnya yang dihadapi oleh kehutanan Indonesia adalah konflik dengan masyarakat setempat pada semua fungsi hutan. Konflik ini terjadi karena adanya penggusuran secara besar-besaran terhadap hak kepemilikan atau karena adanya masyarakat setempat yang tidak memiliki akses terhadap lahan pertanian (Raja, 2003).

Seiring dengan berhembusnya reformasi, terjadi perubahan/pergeseran orientasi pengelolaan hutan yang lebih meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan. Dalam kaitannya dengan hal ini, Departemen Kehutanan mulai memberikan perhatian yang semakin besar kepada program-program hutan kemasyarakatan (Koesmono, 1999).

Ide pembangunan kehutanan dengan pola hutan kemasyarakatan sebenarnya mulai dirintis sejak tahun 1995, dengan ditetapkannya SK Menhut No. 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan. Namun pelaksanaannya sendiri kurang berjalan dengan baik karena masih kurang tersosialisasinya program tersebut di masyarakat dan belum adanya petunjuk teknis dan pelaksanaannya. Untuk mengatasinya, ditetapkan Permenhut No: P. 37/Menhut-II/2007 tentang penyelenggaraan hutan kemasyarakatan.

(23)

based management ditinggalkan. Langkah yang benar adalahparadigma kehutanan

sosial tidak sepenuhnya meninggalkan timber based management tersebut, terutama pada tingkat manajemen hutannya (Awang, 2005).

Di Sumatera Utara, program Hutan Kemasyarakatan mulai dilaksanakan pada tahun anggaran 1996/1997 di Desa Siujan-ujan dan Tolong Buho. Berdasarkan hal tersebut, Desa Gudang Garam kemudian mengajukan usul ke BRLKT (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) pada tahun 1998 untuk menjadikan desa ini termasuk ke dalam program hutan kemasyarakatan. Berdasarkan usulan tersebut, kemudian BRLKT melakukan peninjauan, pemplotan dan pengukuran lahan. Setelah dianggap layak, maka kemudian dilaksanakan program hutan kemasyarakatan di Desa Gudang Garam.

Lokasi hutan kemasyarakatan di Desa Gudang Garam terletak di kawasan Register 3 SG Silinda yang merupakan kawasan hutan negara. Adapun tujuan pelaksanaan kegiatan kehutanan sosial di kawasan hutan negara menurut Awang (2002) adalah:

1) Menjamin izin menduduk i lahan secara tetap dan temporal.

2) Pengembangan sistem pengelolaan yang disesuaikan, dimana penekanan lebih diberikan kepada produksi hasil hutan non kayu (NTFP) untuk digunakan penduduk lokal. Contoh: taungya atau sistem agroforestry.

3) Keterlibatan penduduk lokal ditingkatkan dalam industri prosessing kayu dan juga meningkatkan fasilitas pemasaran.

(24)

5) Mendirikan dan membangun kesejahteraan sosial di desa-desa hutan, seperti: suplai air bersih, membangun jalan dan sebagainya.

2.1.2. Konsep Hutan Kemasyarakatan

Saat ini, strategi pembangunan nasional mengacu pada Triple Track Strategy, yang meliputi: pro job, pro growth and pro poor strategy. Strategi tersebut dapat dijabarkan menjadi:

1) ekonomi harus tumbuh dengan meningkatkan ekspor dan investasi, pro growth; 2) lapangan kerja harus terciptakan atau pengangguran terkurangi dengan cara

membangkitkan, memperluas, menghidupkan sektor riil dunia usaha, to create

employment, pro jobs;

3) mengingat masih tingginya angka kemiskinan, terutama mereka yang berada di pedesaan dan sektor pertanian, perikanan, kehutanan, dan pembangunan perdesaan untuk mengurangi kemiskinan, pro poor.

Untuk mensinergikan kebijakan nasional tersebut, Departemen Kehutanan telah melakukan revitalisasi kebijakan kehutanan. Salah satunya adalah program Hutan Kemasyarakatan (HKm), yang merupakan program reboisasi kehutanan sekaligus memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sekitar hutan.

(25)

masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup (Departemen Kehutanan, 2007).

Reformasi dalam bidang kehutanan menyempurnakan konsepsi tentang hutan kemasyarakatan dengan memfokuskan kegiatan pada kawasan hutan negara

(bukan hutan rakyat). Hutan kemasyarakatan dirumuskan berdasarkan Permenhut No: P. 37/Menhut-II/2007 sebagai hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan

oleh menteri untuk dikelola oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan pada kepentingan menyejahterakan masyarakat. Prinsip-prinsip hutan kemasyarakatan yang dikembangkan lebih berpihak kepada masyarakat menurut Departemen Kehutanan (2007), yakni:

a) tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan;

b) pemanfaatan hasil hutan non kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan penanaman;

c) menumbuhkembangkan keanekeragaman hayati dan keankeragaman budaya; d) menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa;

e) meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan; f) memerankan masyarakat sebagai pelaku utama

g) adanya kepastian hukum;

(26)

Hutan kemasyarakatan sebagai sebuah konsepsi yang mempertemukan semua kepentingan (kesejahteraan masyarakat, produktivitas sumber daya hutan, dan kelestarian fungsi hutan) merupakan pendekatan yang diharapkan mampu menjadi alternatif solusi dalam kegiatan pengelolaan hutan. Melaui konsep ini bisa lebih luas dijabarkan dalm pola-pola manajemen lahan hutan yang mampu secara efektif melibatkan masyarakat secara langsung dalam sistem pengelolaan hutan, memberikan kontribusi secara real bagi kesejahteraan masyarakat, secara teknis mampu meningkatkan sumber daya hutan dan secara ekologis mampu menjamin kelestarian hutan (Purwoko, 2002).

Pada tahun 2008, penelitian tentang hutan kemasyarakatan juga dilaksanakan di Desa Gudang Garam yang bertujuan melihat kajian sosial program Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan kontribusinya terhadap pendapatan masyarakat. Hasil penelitian menyimpulkan program hutan kemasyarakatan membawa perubahan bagi penguasaan lahan pertanian, status penguasaan lahan dan pola usaha tani/jenis tanaman yang ditanam, pola hubungan keluarga masyarakat peserta hutan kemasyarakatan dan kelembagaan yang ada di program hutan kemasyarakatan. Dan hutan kemasyarakatan memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan total masyarakat peserta hutan kemasyarakatan yaitu sebesar Rp. 1.821.538/bulan atau sebesar 71,84% dari total pendapatan masyarakat peserta hutan kemasyarakatan (Sitorus, 2008).

(27)

kemasyarakatan terhadap kondisi hutan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pelaksanaan hutan kemasyarakatan di kawasan hutan lindung memberi dampak pada kondisi vegetasi yang ada sehinga kondisi hutan di Register 28 Pematang Nebak sudah beralih fungsi menjadi ”Ekosistem hutan-kebun”. Elemen dasar kegiatan sosial ekonomi masyarakat petani hutan kemasyarakatan (HKm) bertumpu pada usahatani yang telah memberikan kontribusi pendapatan sangat nyata dan terus-menerus. (Sanjaya dkk, 2007)

2.1.3. Bentuk Kegiatan Hutan Kemasyarakatan

Berdasarkan bentuk kegiatan, hutan kemasyarakatan menurut Wardoyo (1997) dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

a) Aneka Usaha Kehutanan

Merupakan suatu bentuk kegiatan hutan kemasyarakatan, dengan memanfaatkan ruang tumbuh atau bagian dari tumbuh-tumbuhan hutan. Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam aneka usaha kehutanan antara lain budidaya rotan, pemungutan getah-getahan, minyak-minyakan, buah-buahan/biji-bijian, budidaya lebah madu, jamur dan obat-obatan.

(28)

b) Agroforestry

Agroforestry merupakan suatu bentuk hutan kemasyarakatan yang memanfaatkan

lahan secara optimal dalam suatu hamparan, yang menggunakan produksi berdaur panjang dan berdaur pendek, baik secara bersamaan maupun berurutan. Sistem

agroforestry yang dilakukan di lahan hutan kemasyarakatan disebut Taungya

System.

Petani diperbolehkan mengelola lahan pemerintah untuk sementara waktu dan menanam jenis tanaman yang telah ditentukan. Ketika tanaman masih muda dan belum membentuk naungan (kanopi), petani diperbolehkan menanam tanaman pangan dan memperoleh hasil dan keuntungan untuk mereka sendiri. Setelah beberapa tahun, dan tanaman membentuk naungan antara satu dengan yang lain, petani harus memikirkan untuk menanam tanaman yang tahan terhadap naungan. Tanaman jenis Leguminose dan jenis tanaman seperti: jahe, kunyit, merica, coklat dan lainnya tahan terhadap naungan (Bandyopadhyay, 1997).

Agroforestry merupakan komoditas tanaman yang kompleks, yang didominasi

oleh pepohonan dan menyediakan hampir semua hasil dan fasilitas hutan alam.

Agroforestry dapat dilaksanakan dalam beberapa model, antara lain: tumpang sari

(cara bercocok tanam antara tanaman pokok dengan tanaman semusim),

silvopasture (campuran kegiatan kehutanan, penanaman rumput dan peternakan),

silvofishery (campuran kegiatan pertanian dengan usaha perikanan), dan

(29)

Tahap-tahap pelaksanaan hutan kemasyarakatan:

1) Pencadangan areal hutan kemasyarakatan. Dapat dicadangkan pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan pada pelestarian alam pada zona pemanfaatan.

2) Penyiapan kondisi masyarakat. Merupakan kegiatan awal yang penting dilaksanakan sebelum pemberian Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan. 3) Terbentuknya kelembagaan masyarakat berdasarkan aspirasi dan inisiatif

masyarakat itu sendiri dalam mengelola hutan secara lestari. Penyiapan kondisi masyarakat dilakukan melalui penyebarluasan informasi tentang kebijakan dan peraturan hutan kemasyarakatan.

4) Perencanaan. Rencana pengembangan hutan kemasyarakatan diawali dengan diperolehnya hak pengusahaan hutan kemasyarakatan, koperasi masyarakat lokal wajib menyusun Rencana Induk Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (RPHKM), Rencana Lima Tahunan Hutan Kemasyarakatan (RKLHKM). 5) Pelaksanaan. Hutan kemasyarakatan dikelola oleh koperasi masyarakat lokal

sebagai pemegang hak pengusahaan hutan kemasyarakatan.

6) Pemantauan dan evaluasi di lapangan. Sebagai pemegang hak pengusahaan hutan kemasyarakatan, koperasi memantau sendiri kegiatan pengelolaan hutan kemasyarakatan.

(30)

penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

2.2. Landasan Teori

Dalam pengelolaan usaha tani ada 4 faktor produksi yaitu: alam, tenaga kerja, modal dan manajemen. Dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan, faktor produksi alam merupakan faktor produksi yang paling penting terutama lahan yang digunakan sebagai lokasi hutan kemasyarakatan. Dimana pada lahan tersebut diberikan hak pengelolaan lahan kepada masyarakat sampai jangka waktu tertentu. Demikian pula dengan faktor produksi tenaga kerja, kegiatan hutan kemasyarakatan dapat menyerap sejumlah tenaga kerja di lokasi hutan kemasyarakatan.

Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah pemukiman, jalan untuk transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sitorus (2001) mendefinsikan sumberdaya lahan (land

resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan

(31)

Luas penguasaan lahan pertanian merupakan suatu yang sangat penting dalam proses produksi maupun usahatani dan usaha pertanian. Dalam usaha tani, misalnya pemilikan atau penguasaan lahan sempit sudah pasti kurang efisien dibanding dengan lahan yang lebih luas. Semakin sempit lahan usaha, semakin tidak efisien usahatani yang dilakukan kecuali bila usahatani dijalankan dengan tertib. Luas pemilikan atau penguasaan berhubungan dengan efisiensi usaha tani. Penggunakan masukan (input) akan semakin efisien bila luas lahan yang dikuasai semakin besar.

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang cukup penting dalam suatu usaha. Tenaga kerja dalam usaha tani meliputi petani, anggota keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Penggunaan tenaga kerja dinyatakan sebagai besaran curahan tenaga kerja efektif dari jenis-jenis pekerjaan yang ada dalam fase kegiatan usaha.

Potensi pemakaian tenaga kerja dalam usaha tani adalah sebagai berikut: 1) Tenaga laki-laki dewasa (≥ 15 tahun) = 1 HKP

2) Tenaga perempuan dewasa (≥ 15 tahun) = 0,8 HKP 3) Tenaga anak laki-laki (10 – 14 tahun) = 0,5 HKP 4) Tenaga anak perempuan (10 – 14 tahun) = 0,4 HKP

(32)

Sektor

Gambar 1. Diagram Aliran Pelaku Kegiatan Ekonomi

Pelaku-pelaku kegiatan ekonomi menurut Sukirno (2005) dibedakan menjadi 3 golongan yaitu:

1) Rumah tangga/household

Rumah tangga adalah pemilik berbagai faktor produksi yang tersedia dalam perekonomian. Sektor ini menyediakan tenaga kerja dan tenaga usahawan. Selain itu, sektor ini memiliki faktor-faktor produksi lain, yaitu barang-barang modal, kekayaan alam, harta tetap seperti tanah dan bangunan. Mereka akan menawarkan faktor-faktor produksi ini kepada sektor perusahaan. Sebagai balas jasa terhadap penggunaan berbagai jenis faktor produksi ini maka sektor perusahaan akan memberikan berbagai jenis pendapatan kepada sektor rumah tangga.

2) Pemerintah/government

(33)

merugikan masyarakat secara keseluruhan. Di samping mengatur dan mengawasi kegitan-kegiatn ekonomi rumah tangga dan perusahaan, pemerintah juga melakukan sendiri beberapa kegiatan ekonomi seperti pembanguan prasarana ekonomi (jalan, jembatan, dll) dan kebijakan perekonomian (quota ekspor-impor, dumping, dll). Dari kegiatan-kegiatan tersebut, pemerintah memperoleh balas jasa dari sektor rumah tangga dan sektor perusahaan berupa pajak/tax.

3) Perusahaan

Perusahaan adalah organisasi yang dikembangkan oleh seseorang atau sekumpulan orang dengan tujuan untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Kegiatan perusahaan dalam perekonomian ialah mengorganisasi faktor-faktor produksi secara sedemikian rupa sehingga tercipta berbagai jenis barang dan jasa. Tujuan utama perusahaan adalah memperoleh keuntungan dari usaha mereka.

2.2.1 Teori Fungsi Produksi

Fungsi produksi yaitu suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antar hasil produksi fisik (output) dan faktor-faktor produksi (input). Menurut Mubyarto (1989), persamaan fungsi produksi dapat dituliskan dalam bentuk persamaan matematika sederhana sebagai berikut:

Y = f ( X1, X2, ……….., Xn Keterangan:

)

(34)

Dalam operasi usaha tani, petani akan menerima penerimaaan dan pendapatan usaha taninya. Penerimaan usaha tani adalah perkalian antara produksi dengan harga. Pendapatan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Dalam menghitung penerimaan perlu diperhatikan keseragaman pemanenan, frekuensi penjualan dan harga jual serta ukuran waktu penerimaan petani (Soekartawi dkk, 1993).

Pendapatan usaha tani dapat dirumuskan sebagai berikut: Pd = TR – TC

Keterangan:

Pd = Pendapatan usaha tani TR = Total penerimaan TC = Total biaya

2.2.2. Fungsi Biaya

(35)

Biaya total adalah keseluruhan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan. Menurut Sukirno (2005), konsep biaya total dibedakan kepada tiga pengertian yaitu:

1) Biaya total (TC) yaitu keseluruhan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan. Biaya produksi total atau biaya total didapat dari menjumlahkan biaya tetap total (TFC) dan biaya variabel (TVC). Dengan demikian biaya total dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

TC = TFC + TVC

2) Biaya tetap total (TFC) yaitu keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi (input) yang tidak dapat diubah jumlahnya. Membeli mesin, mendirikan bangunan pabrik merupakan contoh biaya tetap. 3) Biaya variabel total (TVC) yaitu keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk

memperoleh faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya. Bahan-bahan mentah merupakan variabel yang berubah jumlah dan nilainya dalam proses produksi.

2.2.3. Indeks Harga

(36)

Consumer Price Index (CPI) yaitu indeks harga dari barang-barang yang selalu

digunakanpara konsumen (Sukirno, 2004).

Untuk membentuk indeks harga, tiga langkah yang perlu dilakukan: (i) memilih tahun dasar, yaitu tahun yang menjadi titik tolak dalam membandingkan perubahan harga, (ii) menentukan jenis-jenis barang yang perubahan harga-harganya akan diamati untuk membentuk indeks harga, dan (iii) menghitung indeks harga (Sukirno, 2004).

Dengan memperoleh indeks harga, kita dapat menghitung nilai riil uang. Nilai riil uang merupakan nilai uang yang dapat ditukarkan dengan barang dan jasa. Perhitungan perubahan sosial ekonomi memerlukan suatu parameter yang mengeneralisasikan nilai uang pada masa lampau dengan masa sekarang. Artinya dengan nilai uang pada tahun tersebut berapa banyak barang dan jasa yang dapat ditukarkan. Diperlukan suatu rumus untuk menentukan nilai riil dari mata uang dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) yaitu:

nilai riil = nilai nominal IHK∗

Keterangan:

Nilai riil = nilai mata uang sebenarnya

Nilai nominal = nilai yang tertera dalam mata uang

(37)

2.2.4. Teori Partisipasi

Di dalam pembangunan pertanian juga ada suatu struktur kelembagaan, yaitu: 1) petani/kelompok tani yang bertugas memproduksi,

2) toko sarana produksi, bank, dan lain-lain yang menyediakan sarana produksi, 3) Badan Penelitian dan Pengembangan yang menghasilkan teknologi,

4) lembaga penyuluhan dan

5) lembaga yang membuat kebijakan.

Agar tujuan pembangunan pertanian terwujud, walaupun masing-masing lembaga mempunyai tugas masing-masing tetapi kelembagaan tersebut harus bekerja sama. Namun sering dijumpai petani tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh pelayanan dari kelembagaan terkait sesuai dengan yang diperlukan. Maka petugas pembangunan diharapkan membantu menjembatani petani memperoleh pelayanan dari lembaga yang diperlukan sesuai dengan fungsinya (Wahyuni, 2009).

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan perlu memperhatikan sedikitnya enam tolok ukur di bawah ini. Keenam tolok ukur ini menjadi prasyarat agar suatu partisipasi dapat disebut “partisipasi yang sesungguhnya” atau partisipasi tertinggi. Keenam tolok ukur tersebut menurut Nanang dan Devung (2004) adalah:

1) Adanya akses dan kontrol (penguasaan) atas lahan dan sumberdaya hutan oleh warga.

2) Adanya keseimbangan kesempatan dalam menikmati hasil-hasil dari hutan. 3) Adanya komunikasi (tukar wacana) yang baik dan hubungan yang konstruktif

(38)

4) Adanya keputusan desa yang dibuat oleh warga desa tanpa tekanan dari luar (masyarakat tidak didikte saja oleh pihak luar) dan prakarsa-prakarsa dilakukan sendiri oleh warga desa tanpa tekanan pihak manapun.

5) Adanya pengaturan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan kepentingan yang berkaitan dengan sumberdaya hutan, dengan cara yang mengarah pada penghindaran terjadinya perselisihan dan pengadaan penyelesaian perselisihan secara adil.

6) Adanya kemampuan teknis warga desa dalam mengelola hutan.

Tingkat-tingkat Partisipasi dalam Pembangunan menurut Nanang dan Devung (2004) adalah :

Tingkat 6: Mobilisasi dengan kemauan sendiri (self-mobilization): masyarakat mengambil inisiatip sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan pemanfaatan sumber daya; pihak luar memfasilitasi mereka.

Tingkat 5. Kemitraan (partnership): masyarakat mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi kelayakan, perencanaan, implementasi, evaluasi, dll. Partisipasi merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai sesuatu. Ini disebut “partisipasi interaktif.” Tingkat 4. Plakasi/konsiliasi (Placation/Conciliation): masyarakat ikut dalam proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting. Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang, dll.

(39)

Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan.

Tingkat 2. Pengumpulan informasi (information gathering): masyarakat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi searah dari masyarakat ke luar.

Tingkat 1. Pemberitahuan (informing): hasil yang diputuskan oleh orang luar (pakar, pejabat, dll.) diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat.

(40)

2.3. Kerangka Pemikiran

Hutan merupakan salah satu sumber kekayaan alam kita yang mempunyai makna dan kepentingan tinggi bagi seluruh lapisan rakyat Indonesia. Pengusahaan hutan di Indonesia dimulai sekitar tahun 70-an sesuai UU No. 5 Tahun 1967 yang masih didominasi oleh pengusaha swasta yang mengantongi izin HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dari pemerintah. Namun sayangnya, pengusahaan hutan oleh pihak swasta ini menimbulkan dampak yang buruk bagi kondisi hutan di Indonesia karena hutan terus dieksploitasi secara terus-menerus tanpa memperhatikan kelestarian hutan itu sendiri. Selain itu, pengusahaan hutan dari sosial ekonomi tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan perekonomian masyarakat di sekitar hutan. Masyarakat hanya diikutsertakan dalam kegiatan tertentu yang tidak memberikan kontribusi yang berarti dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Karena keadaan yang demikian, maka pemerintah mulai melibatkan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan kehutanan melalui UU No.41 Tahun 1999. Niat baik pemerintah ini kemudian diwujudkan dengan digulirkannya Program Hutan Kemasyarakatan melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Melalui program ini diharapkan msayarakat dapat menjadi pelaku utama dalam pengelolaan hutan mulai dari segi pengambilan keputusan sampai dengan menikmati hasil pembangunan sektor kehutanan.

(41)

sosial dan perubahan tradisi ini menggambarkan penyesuaian terhadap kondisi, dimana kelompok manusia itu telah hidup turun-temurun.

Dalam suatu proyek pembangunan harus diusahakan agar supaya dampak pembangunan ekonomi memberikan efek positif atau merupakan pendongkrak kemajuan masyarakat melalui suatu proses spread effect (menyebar luas), sentrifugal tertentu berupa momentum ekspansioner yang memancar dari pusat-pusat ekspansi ekonomi ke daerah-daerah sekitarnya atau ke daerah-daerah lainnya. Dengan kata lain, pusat-pusat kegiatan ekonomi harus mampu menjadi sebagai wadah kegiatan penampungan kesempatan kerja bagi masyarakat di sekelilingnya, baik dalam bentuk penyerapan tenaga kerja maupun dalam bentuk kegiatan ekonomi lainnya yang merupakan kegiatan supply untuk barang-barang kebutuhan proyek ekonomi tersebut.

Pembangunan itu, dampak mengakibatkan dampak primer, biofisik atau sosial-ekonomi-budaya. Dampak primer ini akan mempengaruhi sasaran kesejahteraan yang ingin dicapai. Dapat juga terjadi dampak primer yang menimbulkan dampak sekunder, tersier dan seterusnya yang masing-masing dapat bersifat biofisik atau sosial-ekonomi-budaya (Soemarwoto, 2005).

(42)

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Masyarakat

Perubahan Sosial Ekonomi dan Budaya Pemberian hak

pengelolaan lahan oleh pemerintah

Sosial Ekonomi Sosial Budaya

Sebelum Mengikuti HKm

Sesudah Mengikuti HKm

Pendapatan Total

Pengeluaran Usaha Tani

Curahan TK

Partisipasi Masyarakat

Keterlibatan Lembaga

(43)

2.4. Hipotesis Penelitian

Dari landasan teori yang sudah diuraikan, maka dikemukakan sejumlah hipotesis penelitian sebagai berikut:

1) Ada perbedaan pendapatan total, pengeluaran usaha tani dan curahan tenaga kerja sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan.

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Gudang Garam, Kecamatan Bintang Bayu, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara. Daerah penelitian dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan kawasan program Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang masih aktif dan dapat dijangkau oleh peneliti. Selain itu, program Hutan Kemasyarakatan (HKm) di desa tersebut dinilai telah berhasil.

3.2. Metode Penentuan Sampel

(45)

Tabel 1. Jumlah Peserta Program HKm Berdasarkan Tahun Bergabung No. Tahun Bergabung Jumlah Peserta Tambahan

(orang)

Kumulatif (orang)

1 1997 33 33

2 2000 4 37

3 2004 2 39

4 2006 1 40

5 2007 1 41

6 2008 4 45

Jumlah 45

Sumber : Data diolah dari lampiran 22

3.3. Metode Pengambilan Data

Berdasarkan sumbernya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung, observasi lapangan dan pembagian kuesioner. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti Kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Serdang Bedagai, Kantor Kepala Desa Gudang Garam serta instansi terkait lainnya. Data sekunder yang diperoleh berupa data kependudukan misalnya jumlah penduduk berdasarkan umur, jenis kelamin, dan suku serta data distribusi penggunaan lahan di Desa Gudang Garam.

3.4. Metode Analisis Data

(46)

Jika:

H0: μ1 = μ2 atau μ1 – μ2 H

= 0

1: μ1 ≠ μ2atau μ1 – μ2

Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah tingkat 95% dengan selang kepercayaan 0,05.

≠ 0

Rumus yang digunakan untuk menghitung beda dua rata-rata sampel berpasangan (Paired Sample T-Test) menurut Nurgiyantoro, dkk (2003) adalah:

t = ∑D

Untuk pengujian dengan SPSS :

diterima

: tidak terdapat perbedaan (pendapatan total, pengeluaran usaha tani, dan curahan tenaga kerja) sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan.

(47)

Keterangan:

�� = rata-rata hitung perbedaan semua pasangan ΣD = jumlah perbedaan antara setiap pasangan (X1 – X2

S

= D)

D

N = jumlah responden

= simpangan baku perbedaan dua pasangan

Hipotesis 2 dianalisis dengan menggunakan analisis statistik model Wilcoxon

Signed Rank Test untuk melihat perubahan kondisi sosial budaya masyarakat yang

terlibat dalam kegiatan hutan kemasyarakatan. Pengujian dengan menggunakan statistik model Wilcoxon Signed Rank Test membutuhkan kriteria penilaian dalam mengubah data yang bersifat kualitatif menjadi data yang bersifat kuantitatif (Supangat, 2008).

Pengujian dengan uji Wilcoxon ini digunakan untuk menguji hipotesis perbedaan dua sampel yang berpasangan bila datanya berskala ordinal atau jika asumsi untuk menggunakan uji parametrik tidak dipenuhi (Supriana dan Barus, 2010).

Adapun perubahan keadaan sosial budaya yang diteliti mencakup; keterlibatan lembaga, kemandirian masyarakat dan partisipasi masyarakat di desa. Penilaian perubahan keadaan sosial budaya ini dilakukan berdasarkan penilaian kualitatif dengan kriteria sebagai berikut:

1 = sangat buruk, 2 = buruk,

(48)

Jika:

H0 : Me1 = Me H

2

1 : Me1 ≠ Me

Rumus yang digunakan dalam uji jenjang-bertanda Wilcoxon menurut Supriana dan Barus (2010) adalah: Untuk pengujian dengan SPSS :

diterima

H0

H

diterima jika nilai signifikansi ≥ α

1

Dimana :

diterima jika nilai signifikansi < α

H0

H

: tidak terdapat perbedaan (partisipasi masyarakat, keterlibatan lembaga, dan kemandirian masyarakat di desa) sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan.

1

Keterangan:

: terdapat perbedaan (partisipasi masyarakat, keterlibatan lembaga, dan kemandirian masyarakat di desa) sebelum dan sesudah kehadiran program hutan kemasyarakatan.

(49)

Me1 Me

= nilai median variabel I (sebelum kegiatan hutan kemasyarakatan)

2 = nilai median variabel II (sesudah kegiatan hutan kemasyarakatan)

3.5. Definisi dan Batasan Operasional

Defenisi dan batasan operasional dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman istilah-istilah yang terdapat dalam skripsi ini.

Definisi

1. Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat.

2. Perubahan ekonomi adalah pengaruh yang ditimbulkan dari suatu kegiatan terhadap aspek perekonomian baik secara makro maupun mikro.

3. Perubahan sosial budaya adalah pengaruh yang ditimbulkan dari suatu kegiatan terhadap seberapa besar perubahan perilaku dan sistem nilai di suatu masyarakat.

4. Pendapatan total adalah jumlah pendapatan bersih usaha tani seluruh anggota keluarga yang bekerja selama satu tahun yaitu nilai penerimaan dan tenaga kerja dalam keluarga dikurangi ongkos produksi dan tenaga kerja luar keluarga yang dihitung dalam satuan rupiah baik yang berasal dari usaha tani (HKm dan Non HKm) maupun di luar usaha tani.

5. Pengeluaran usaha tani adalah pengeluaran untuk kegiatan usaha tani yang dihitung dalam rupiah berupa biaya pemeliharaan tanaman setelah penanaman dilakukan.

(50)

7. Partisipasi masyarakat adalah suatu sistem yang mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pembangunan.

8. Keterlibatan lembaga adalah pengaruh dan peran lembaga masyarakat dalam kegiatan hutan kemasyarakatan (kelompok tani, koperasi, dan lain-lain). 9. Kemandirian masyarakat adalah bentuk ketergantungan masyarakat dalam

mengelola sumber daya hutan yang dilihat dalam hal kemandirian material, intelektual, dan pembinaan masyarakat.

10. Sebelum adalah kondisi sebelum sampel bergabung dengan hutan kemasyarakatan.

11. Sesudah adalah kondisi setelah sampel bergabung dengan hutan kemasyarakatan. Perubahan yang terjadi dari sebelum dan sesudah hutan kemasyarakatan dikarenakan keberadaan hutan kemasyarakatan.

Batasan Operasional

Adapun batasan operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Lokasi penelitian adalah hutan Register 3SG Silinda, Desa Gudang Garam, Kecamatan Bintang Bayu, Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Pelaksanaan penelitian pada tahun 2010.

(51)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

4.1. Luas dan Kondisi Geografis Desa Gudang Garam

Desa Gudang Garam termasuk ke dalam Kecamatan Bintang Bayu, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara, dengan luas wilayah 355 Ha. Secara administratif, Desa Gudang Garam berbatasan dengan:

1. Sebelah utara berbatasan dengan Perkebunan Bandar Pinang 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bandar Negeri 3. Sebelah barat berbatasan dengan Perkebunan Bandar Pinang 4. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Pergajahan Hulu

Desa Gudang Garam terbagi atas tiga dusun, yakni Dusun I, Dusun II, dan Dusun III. Desa Gudang Garam terletak di ketinggian 187-225 mdpl, dengan kemiringan 0-8% (datar) dan 15-25% (landai) dengan penduduk sebanyak 815 jiwa per Maret 2010.

4.2. Keadaan Penduduk dan Tata Guna Lahan

Penduduk Desa Gudang Garam sebesar 815 jiwa yang terdiri dari 411 jiwa laki-laki dan 404 jiwa perempuan. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Distribusi penduduk menurut jenis kelamin di Desa Gudang Garam tahun 2010

Dusun Jumlah KK Laki-laki Perempuan Jumlah

I 90 160 147 307

II 81 128 149 277

III 59 123 108 231

Jumlah 230 411 404 815

(52)

Adapun distribusi penduduk menurut suku bangsa di Desa Gudang Garam dapat diuraikan seperti yang tertera pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Distribusi penduduk menurut suku bangsa di Desa Gudang Garam tahun 2010

Dusun Jawa Batak Banjar Mandailing Karo Lain-lain

I 283 11 0 5 1 7

II 272 4 0 1 0 0

III 220 6 2 0 1 2

Jumlah 775 21 2 6 2 9

Sumber : Data monografi Desa Gudang Garam per Maret 2010

Sebagian besar masyarakat di Desa Gudang Garam bersuku Jawa, sekitar 94,55% dari total keseluruhan penduduk. Jika dilihat menurut agama sebahagian besar masyarakat di desa tersebut memeluk agama Islam (99,87%) dan sisanya sebesar 0,13% memeluk agama Kristen.

(53)

Penduduk Desa Gudang Garam mayoritas bekerja di sektor pertanian yaitu sebagai petani dan buruh. Penduduk desa yang berprofesi sebagai petani yakni sebanyak 180 orang dimana mayoritas petani terbanyak berada di Dusun I (65 orang). Sedangkan penduduk desa yang berprofesi sebagai buruh berjumlah 28 orang. Mereka bekerja sebagai buruh di perkebunan yang terletak di sekitar Desa Gudang Garam. Adapun penduduk desa yang berprofesi sebagai pedagang dan pegawai dengan jumlah masing-masing 19 orang dan 5 orang.

Adapun distribusi penduduk menurut pekerjaan di Desa Gudang Garam dapat diuraikan seperti yang tertera pada Tabel 4.

Tabel 4. Distribusi penduduk menurut pekerjaan di Desa Gudang Garam tahun 2008

Dusun Pegawai Buruh Petani Pedagang

I 2 11 65 6

II 2 8 61 7

III 1 9 54 6

Jumlah 5 28 180 19

Sumber : Data monografi Desa Gudang Garam 2008

(54)

Tabel 5. Distribusi penggunaan lahan di Desa Gudang Garam tahun 2008

Sumber : Data monografi Desa Gudang Garam 2008

4.3. Keadaan Fisik

1) Kondisi Jalan

Jalan yang terdapat di Desa Gudang Garam seluruhnya berupa jalan tanah dan jalan aspal. Panjang jalan tanah yang ada yaitu 3,6 km, sedangkan panjang jalan aspal yang ada yaitu 0,9 km. Kondisi jalan tanah yang ada pada saat musim hujan tiba, menjadi basah dan sedikit licin.

2) Prasarana Umum

Pada setiap dusun sudah terdapat jaringan PLN, jadi tidak ada satupun rumah yang tidak memiliki instalasi listrik. Sedangkan untuk sarana ibadah hanya terdapat 1 unit Mesjid yang terletak pada Dusun III. Sarana pendidikan yang tersedia adalah 1 unit Sekolah Dasar (SD) yang terletak di Dusun I. Sehingga untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi lagi masyarakat harus melanjutkan ke sekolah-sekolah yang terletak di luar desa. Sarana kesehatan yang ada di desa ini yaitu 1 unit Puskesmas Pembantu (Pustu) yang terletak di depan Kantor Kepala Desa Gudang Garam.

(55)

beroperasi satu kali sehari. Masyarakat sendiri menggunakan sepeda motor dan sepeda sebagai sarana angkutan di dalam desa.

Sumber air bersih yang terdapat di desa sebanyak 3 unit yang dibangun oleh pemerintah daerah setempat. Sumber air bersih tersebut berupa sumur bor yang tersebar di 3 titik yaitu belakang Balai Desa, Dusun I dan Dusun III. Sumber air bersih tersebut dapat dialirkan ke masing-masing rumah warga dengan menggunakan selang dan ditampung dalam bak yang besar di dalam rumah warga.

4.4. Keadaan Umum Lokasi Hutan Kemasyarakatan

1) Letak dan Luas

Lokasi Hutan Kemasyarakatan (HKm) terletak di kawasan hutan Register 3 SG Silinda yang secara administratif sebenarnya lokasi ini berada di luar areal Desa Gudang Garam. Namun, masyarakat yang menggarap hutan kemasyarakatan tersebut sebagian besar berasal dari Desa Gudang Garam. Hutan kemasyarakatan memiliki batas-batas adminsitratif sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan kawasan hutan

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Simalungun 3. Sebelah Barat berbatasan dengan kawasan hutan

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Gudang Garam

(56)

2) Payung Hukum

Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan ini telah memiliki landasan hukum yang kuat yaitu Permenhut RI Nomor : P.37/Menhut-II/2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan, Permenhut RI Nomor : P.18/Menhut-II/2009 Tentang Perubahan Atas Permenhut Nomor P.37/Menhut-II/2007 Tahun 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan dan Permenhut RI Nomor : P. 13/Menhut-II/2010 Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 37/Menhut-II/2007. Pemanfaatan lahan hutan oleh peserta program hutan kemasyarakatan hanya berupa hak pengelolaan hutan atau izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKm) tanpa disebutkan hingga sampai berapa tahun izin pemanfaatan hutan register tersebut. Dalam waktu dekat ini pemerintah daerah sedang mengusahakan perizinan pengelolaan hutan kemasyarakatan mulai dari tingkat gubernur hingga keluar SK Menteri mengenai jangka waktu izin pengelolaan hutan kemasyarakatan.

3) Sarana dan Prasarana

(57)

masyarakat sebagai pos peristirahatan dan penyimpanan alat-alat keperluan hutan kemasyarakatan.

Gambar 3. Penyeberangan dengan Rakit Bambu dan kondisi jalan setapak menuju lokasi HKm.

(58)

4.5. Karakteristik Responden Penelitian

Responden dalam penelitian ini adalah petani peserta hutan kemasyarakatan. Karakteristik petani dalam penelitian ini terdiri dari umur, pendidikan dan luas lahan.

1) Umur

Keadaan umur responden dalam penelitian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Distribusi responden berdasarkan kelompok umur

No. Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 0 – 9 0 0

2 10 – 39 8 24,24

3 40 – 59 21 63,64

4 ≥ 60 4 12,12

Jumlah 33 100

Sumber : Data diolah dari lampiran 1

(59)

2) Pendidikan

Keadaan pendidikan responden dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Tidak tamat SD 3 9,09

2 SD 19 57,58

3 SMP 9 27,27

4 SMA/STM/SMK 2 6,06

Jumlah 33 100

Sumber : Data diolah dari lampiran 1

Tabel 7 memperlihatkan bahwa pendidikan petani pada umumnya adalah SD yaitu sebanyak 19 jiwa atau 57,58%. Sedangkan petani dengan tingkat pendidikan tidak tamat SD menempati angka terendah yakni sebanyak 3 jiwa atau 9,09% dari keseluruhan responden.

(60)

3) Luas Lahan

Keadaan luas lahan HKm dan Non HKm responden dalam penelitian dapat disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Distribusi responden berdasarkan luas lahan HKm dan luas lahan Non HKm yang dimiliki.

No. Luas Lahan (Ha) Lahan HKm Lahan Non HKm

Jumlah (org) Jumlah (org)

1 < 0,1 0 0

Sumber : Data diolah dari lampiran 1

Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar petani responden mengelola lahan HKm dengan luas lahan antara 2,00 – 2,99 Ha yakni sebanyak 21 orang atau 63,64% dari total keseluruhan. Sedangkan petani dengan luas lahan HKm 1,00 – 1,99 Ha dan ≥ 3,00 Ha menempati urutan terendah yakni masing-masing sebanyak 6 orang atau 18,18% dari total keseluruhan. Petani yang menjadi responden juga memiliki lahan di luar HKm, terdapat 18 orang atau 54,55% dari total peserta program hutan kemasyarakatan yang memiliki lahan di luar lahan HKm-nya. Sebahagian besar dari mereka memiliki lahan dengan luas antara 1,00 – 1,99 Ha yakni sebanyak 9 orang (50%) dan sebanyak 1 orang responden (5,56%) yang memiliki lahan dengan luas terendah yaitu 0,10 – 0,24 Ha.

(61)
(62)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Keadaan Ekonomi Petani Sampel

Dalam penelitian ini, parameter yang dilihat untuk menunjukkan suatu perubahan keadaan sosial ekonomi petani peserta Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah pendapatan total keluarga, pengeluaran usaha tani dan total curahan tenaga kerja. Parameter tersebut diambil dalam waktu yang berbeda sebelum dan sesudah petani mengikuti hutan kemasyarakatan (tergantung tahun petani masuk menjadi peserta hutan kemasyarakatan).

Nilai-nilai parameter untuk masing-masing kurun waktu dideflasikan sesuai dengan nilai Index Harga Konsumen (IHK) yang dirata-ratakan per tahunnya. Indeks Harga yang digunakan merupakan Indeks Umum/General Indeks. Indeks Harga Konsumen (IHK) digunakan untuk mendeflasikan nilai pendapatan keluarga dan pengeluaran usaha tani, serta nilainya tergantung pada tahun sebelum dan sesudah petani mengikuti hutan kemasyarakatan.

5.1.1. Perubahan Pendapatan Total

(63)

Menurut Sukirno (2005) pelaku kegiatan ekonomi adalah rumah tangga, pemerintah dan perusahaan. Dalam konteks hutan kemasyarakatan, sektor rumah tangga, pemerintah dan perusahaan sama-sama terlibat. Dimana masyarakat yang menjadi peserta program hutan kemasyarakatan sebagai sektor rumah tangga yang menyediakan berbagai faktor produksi berupa tenaga kerja dan modal. Sedangkan pemerintah memberikan kebijakan mengenai hak pemanfaatan hutan dan pemberian bibit kepada masyarakat. Adapun hutan yang dijadikan sebagai lahan hutan kemasyarakatan yaitu kawasan hutan Register 3SG Silinda. Selain memberikan hak pemanfaatan lahan, pemerintah juga memberikan pembinaan dan pengawasan serta membuat undang-undang yang berkaitan dengan hutan kemasyarakatan. Dengan mengelola faktor produksi berupa lahan hutan kemasyarakatan, masyarakat mendapat balas jasa berupa pendapatan/income yang dapat meningkatkan pendapatan asli daerah/PDRB. Sektor perusahaan yang terlibat dalam program hutan kemasyarakatan yaitu pihak-pihak yang menampung hasil panen petani hutan kemasyarakatan berupa karet dengan harga beli sesuai dengan harga pasar yang berlaku baik dan perusahaan PT. INHUTANI yang merupakan perusahaan pendamping pemerintah dalam program hutan kemasyrakatan. Adapun peran perusahaan ini hanya di awal program saja dan membantu pemerintah mulai dari pembinaan pembinaan, pembangunan jalan, pelatihan hingga penyuplai bibit. Sehingga masyarakat memperoleh bantuan dan pembinaan keahlian dalam mengelola hutan kemasyarakatan.

(64)

jual produk dikurangi dengan jumlah pengeluaran tunai untuk masukan cabang usaha tani yang bersangkutan. Perubahan pendapatan ini sebelum dan sesudah HKm dipengaruhi juga oleh perubahan luas areal usaha tani, cara bercocok tanam yang tepat dan pendapatan non usaha tani.

Pada Lampiran 29, terdapat contoh perhitungan pengeluaran dan penerimaan petani dari sektor HKm maupun non HKm. Ada beberapa petani yang melakukan bagi hasil di lahan hutan kemasyarakatannya. Bagi hasil sebesar 50% diberikan petani penggarap kepada petani pemegang hak pengelolaan lahan. Bagi hasil tersebut merupakan bagi hasil bersih penerimaan dari penjualan hasil hutan kemasyarakatan di luar biaya produksi. Biaya produksi biasanya ditanggung oleh pihak pemegang hak pengelola atau pun dibagi dua dengan petani penggarap.

Hasil karet yang dijual biasanya dijual dalam bentuk yang sudah kering ataupun yang masih basah. Setiap petani menjual karetnya dengan kisaran Rp 7.000 – Rp 8.500/kg. Pada umumnya, petani tidak mencari pihak yang menampung hasil karetnya, melainkan ada orang yang datang ke desa untuk menampung hasil karet mereka.

(65)

masyarakat di desa dengan tujuan meningkatkan perekonomian keluarga. Setiap peserta program Hutan Kemasyarakatan memperoleh lahan yang akan dikelolanya dengan bergabung dengan kelompok tani. Kemudian masyarakat menentukan batas-batas wilayah yang akan digunakan sebagai lahan hutan kemasyarakatan pada lokasi yang disediakan. Setelah menetukan lokasi yang sesuai, maka masing-masing peserta program hutan kemasyarakatan menentukan sendiri lokasi yang akan dikelolanya berdasarkan kesanggupan mereka dalam mengelolanya. Sehingga luas lahan antara satu peserta dengan peserta yang lain bisa berbeda-beda. Pada awalnya, Pak Kardisyah mengelola lahan hutan kemasyarakatannya sendiri dengan dibantu anak-anaknya. Dari menekuni program hutan kemasyarakatan, Pak Kardisyah mampu membeli lahan di luar hutan kemasyarakatannya untuk menunjang perekonomian keluarga. Kini Pak Kardisyah masih melanjutkan kegiatan hutan kemasyarakatannya, tetapi pengelolaannya diserahkan atau dikerjakan oleh orang lain dengan sistem bagi hasil karena beliau memiliki sebidang lahan lain di luar program hutan kemasyarakatan yang harus dikelolanya sendiri.

(66)

Gambar 5. Karet merupakan komoditas utama di hutan kemasyarakatan

Di samping lahan pada hutan kemasyarakatan, responden juga mempunyai lahan usaha tani sendiri yang sudah menghasilkan. Lampiran 1 memperlihatkan bahwa sebanyak 18 dari 33 responden memiliki lahan usaha tani di luar hutan kemasyarakatan. Di lahan usaha tani mereka sendiri di luar program HKm, mereka menanam karet, sawit, coklat dan jagung untuh menambah pendapatan keluarga. Dan sekitar 4 orang dari keseluruhan responden yang memiliki usaha sampingan di luar usahataninya yaitu sebagai pedagang dan pengrajin gula merah (Lampiran 2).

Solusi bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan di luar lahan hutan kemasyarakatan dan ingin meningkatkan pendapatan adalah dengan jalan melakukan diversifikasi tanaman dengan sistem tumpangsari. Adapun jenis tumpangsari yang dapat dilakukan di lahan hutan kemasyarakatan adalah:

(67)

2. Tanaman karet dapat ditumpangsarikan dengan jenis pohon buah-buahan: nangka, cempedak, durian, langsat/ duku, pekawai, jengkol, dan petai.

3. Tanaman karet dapat ditumpangsarikan dengan jenis Jenis pohon penghasil kayu, resin, atau rotan: gaharu, tengkawang, meranti, merkuyung, keladan, omang, nyatoh, tembesu, dan pulai.

4. Setelah tanaman di lahan hutan kemasyarakatan mencapai tinggi dari lebih 2 m. Hanya tanaman tertentu yang dapat ditanam dan tahan di bawah naungan, terutama jenis kacang-kacangan (leguminose) yang toleran terhadap naungan seperti: kacang koro, kacang tanah; dan jenis tanaman seperti : jahe, kunyit, merica, kakao dan sebagainya.

Kondisi sebelum adanya program hutan kemasyarakatan yaitu kondisi perekonomian sebelum terjadi krisis ekonomi Indonesia tahun 1998. Dimana, nilai mata uang rupiah jauh bernilai lebih tinggi dibandingkan nilai mata uang rupiah pada saat ini. Karena terjadinya perubahan nilai mata uang sebelum dan sesudah masyarakat terlibat dengan kegiatan hutan kemasyarakatan, sehingga diperlukan suatu alat/rumus untuk menyesuaikan nilai mata uang tersebut. Untuk itu, dipergunakan rumus nilai riil suatu mata uang sebagai berikut:

nilai riil = nilai nominal IHK∗

Keterangan:

Nilai riil = nilai mata uang sebenarnya

Nilai nominal = nilai yang tertera dalam mata uang

(68)

Tabel 9. Pendapatan total responden sebelum dan sesudah bergabung dengan Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Sebelum Deflasi (Rp/Bulan) Sesudah Deflasi (Rp/Bulan) UT. Utama UT. Lain Non UT UT. Utama UT. Lain Non UT

Sebelum 2.780.081,35 46.762,50 16.379.377,50 14.217,46 239,15 83.764,84

Sesudah 53.009.691,88 20.152.594,69 8.150.000,00 442.782,85 168.320,52 68.071,25

Perubahan (%) 1.806,77 42.995,63 -50,24 3.014,36 70.282,82 -18,74

Sumber : Data diolah dari lampiran 3 dan 4

Tabel 9 menunjukkan tingkat pendapatan masyarakat sebelum dan sesudah bergabung dengan hutan kemasyarakatan. Jika dilihat secara keseluruhan, terjadi peningkatan total pendapatan responden per bulan sesudah bergabung dengan hutan kemasyarakatan. Sebelum bergabung dengan hutan kemasyarakatan, pendapatan total masyarakat yaitu sebesar Rp 19.206.221,35 dan sesudah

bergabung dengan hutan kemasyarakatan mengalami kenaikan menjadi Rp 81.312.286,57. Pendapatan dari usaha tani non HKm juga mengalami

peningkatan yang tinggi karena disebabkan semakin luasnya lahan yang digarap responden untuk memperluas usaha taninya. Sedangkan pendapatan non usaha tani mengalami penurunan sebesar 50,24% yang disebabkan karena responden mulai beralih profesi menekuni kegiatan usaha tani mereka di lahan hutan kemasyarakatan dan lahan usaha tani lainnya. Sehingga pekerjaan responden sebelumnya ditingggalkan untuk menekuni kegiatan hutan kemasyarakatan ini. Untuk non usaha tani, pekerjaan yang masih tetap dipertahankan para responden adalah buruh, pedagang dan pengrajin gula merah, karena ketiga jenis pekerjaan ini masih menjanjikan dalam hal peningkatan pendapatan responden.

(69)

mengikuti hutan kemasyarakatan mengalami peningkatan mencapai Rp 53.009.691,88 untuk sektor hutan kemasyarakatan dan Rp 20.152.594,69

untuk sektor sektor usaha tani di luar program hutan kemasyarakatan. Ini berarti keberadaan hutan kemasyarakatan mendorong perekonomian masyarakat dengan peningkatan pendapatan total masyarakat terutama dalam sektor usaha tani.

Pada Lampiran 3, nilai pendapatan sebelum bergabung dengan hutan kemasyarakatan dihitung nilai riilnya menurut tahun bergabung responden dengan program hutan kemasyarakatan. Nilai IHK yang digunakan merupakan nilai IHK umum tahunan. Sebenarnya nilai riil digunakan untuk menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat dengan nominal uang yang tersedia. Tetapi, dalam konteks ini, nilai riil digunakan untuk melihat nilai mata uang di tahun sebelumnya dinilai pada tahun sekarang.

Gambar

Gambar 1. Diagram Aliran Pelaku Kegiatan Ekonomi
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
Tabel 1. Jumlah Peserta Program HKm Berdasarkan Tahun Bergabung  No. Tahun Bergabung Jumlah Peserta Tambahan Kumulatif
Tabel 2. Distribusi penduduk menurut jenis kelamin di Desa Gudang Garam  tahun 2010 Dusun Jumlah KK Laki-laki Perempuan Jumlah
+7

Referensi

Dokumen terkait

a) Susunlah dalam kolom 1, tentukan faktor-faktor strategis eksternal yang menjadi peluang dan ancaman serta faktor- faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan. b) Beri

Rasio kas pada tahun 2012 mendapat skor 7.50 dengan bobot skor persentase 0 sampai 10 sehingga dapat dikatagorikan Cukup Likuid, dan pada tahun 2013 masih dengan skor

Metode simulasi merupakan induk dari metode soiodrama, bermain peran ( role playing ), psikodrama, dan permainan. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan

Berdasarkan hasil analisis data dan simulasi kerja koordinasi proteksi dengan menggunakan software ETAP pada jaringan distribusi di Gardu Induk Majenang 150 kV yang

Untuk penciptaan karya seni lukis kinetik dengan gagasan permasalahan dalam lukisan pemandangan Indonesia maka tujuan penciptaan dapat dibuat sebagai berikut:?. Untuk

Corak dari gaya seni lukis kita masih suatu corak dalam keadaan pseudo-morphose, sebab oleh karena keadaan kultur Barat yang tebal melengket pada kita, kita tidak mempunyai

Dalam uraian analisis data diatas dan dengan berbagai metode yang dijelaskan dalam bab 3 dapat diketahui bahwa investor sudah mempunyai pengetahuan tentang

Resiko audit merupakan resiko yang dapat terjadi pada auditor yang tanpa. disadari tidak memodifikasi pendapatnya atas laporan keuangan