• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi, Peran Dan Aspirasi Karyawan Perempuan : ( Analisis Gender Terhadap Fenomena Banyaknya Perempuan Di PT Duta Ayumas Persada Medan )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Posisi, Peran Dan Aspirasi Karyawan Perempuan : ( Analisis Gender Terhadap Fenomena Banyaknya Perempuan Di PT Duta Ayumas Persada Medan )"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

POSISI, PERAN DAN ASPIRASI KARYAWAN

PEREMPUAN :

( Analisis Gender Terhadap Fenomena Banyaknya Perempuan

Di PT Duta Ayumas Persada Medan )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Antropologi

O

L

E

H

BOY FREEDOM SEMBIRING

030905017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

MEDAN

(2)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “ POSISI,PERAN DAN ASPIRASI KARYAWAN PEREMPUAN : ( Analisis Gender Terhadap Fenomena Banyaknya Perempuan Di PT Duta Ayumas Persada Medan )”. Penelitian ini dilaksanakan di pabrik PT Duta Ayumas Persada Medan yang berlokasi Jl Besar Namorambe Gedung Johor Medan. Skripsi ini terdiri dari 6 Bab, dan 94 halaman. Skripsi ini dilengkapi lampiran berupa daftar tabel, surat izin penelitian dari FISIP USU, serta surat izin penelitian dari PT DAP.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban tentang kondisi perlakuan yang diterima perempuan serta bagaimana aspirasi mereka tentang perlakuan tersebut apakah hal tersebut merupakan fenomena kesetaraan atau bukan. Penelitan ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan sumber data yang diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam ( Dept Interview ). Konsep kesetaraan yang digunakan adalah kesetaraan berdasarkan keharmonisan.

(3)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdullillahi Robbil Alamin penulis panjatkan kehadiran Allah

SWT karena atas rahmat dan karuniaNya maka penulis mampu mengikuti proses

perkuliahan dengan lancar hingga sampai pada berhasil terciptanya skripsi ini.

Kemudian dalam proses pembuatan skripsi ini penulis juga banyak

mendapat masukan dan bantuan dari berbagai pihak yang benar – benar

membantu mempersiapkan segala sesuatu dalam penyelesaian skripsi ini.

Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya juga menyampaikan rasa

terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Dr Arief Nasution selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs Zulkifly Lubis,M.Si selaku Ketua Departemen Antropologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra Sri Emiyanti, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang

telah membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis.

4. Bapak Drs Zulkifly, M.A selaku Dosen Pembimbing Akademik

penulis.

5. Bapak Henry Djuandi selaku Manajer Personalia dan mewakili

perusahaan PT.Duta Ayumas Persada Medan yang merupakan lokasi

penelitian penulis.

6. Ibu Rumaini selaku Koordinator Administrasi yang telah membantu

kelengkapan administrasi dan informasi kepada penulis dalam

(4)

7. Saudari Ikva selaku asisten dari Bapak Henry Djuandi yang

merupakan pembimbing lapangan penulis saat melakukan penelitian.

8. Ayahanda tercinta Almarhum Cepat Sembiring Pelawi dan Ibunda N.

Br Tarigan yang tercinta yang selalu memberikan dorongan dan

nasehatnya.

9. Teman – teman yang selalu membantu saya yaitu Annis Amalia,

Roynaldi Ginting, Nanik Kartika, Martha Ulina, Darius Ginting Yudita

Theresia L Tobing, Rukun S Hia, Luna Adhisty serta rekan – rekan

lain yang selalu memerikan masukan pada saya.

10. Rekan – rekan stambuk 2003 dan adik – adik stambuk ( 2004, 2005,

2006, 2007 ) yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sepenuhnya sempurna dan

masih terdapat kekurangan di sana – sini. Oleh karena itu penulis mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.

Medan, April 2008

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

Abstrak ... iii

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... ix

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 12

1.3 Alasan Pemilihan Judul ... 12

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

1.4.1 Tujuan Penelitian... 13

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 13

1.5 Tinjauan Pustaka ... 13

1.5.1 Konsep Kesetaraan Gender 50/50 ... 19

1.5.2 Konsep Kesetaraan Dalam Keragaman ... 22

1.5.2.1 Kesatuan Harmonis ... 24

1.5.2.2 Signifikansi Keberadaan Struktur Hierarkis... 27

1.6 Metode Penelitian ... 30

1.6.1 Teknik Observasi... 31

(6)

1.6.3 Penentuan Informan... 31

1.7 Analisis Data ... 32

BAB II GAMBARAN DAN LOKASI PENELITIAN. 2.1 Sejarah Berdirinya Pabrik... 33

2.1.1 Tujuan Umum Pabrik ... 34

2.1.2 Tujuan Khusus Pabrik ... 35

2.1.3 Lokasi Pabrik ... 35

2.2 Struktur Organisasi ... 36

2.2.1 Direktur ... 38

2.2.2 Manager ... 38

2.2.3 Sekretaris ... 38

2.2.4 Bagian Pemasaran ... 38

2.2.5 Bagian Pembelian ... 38

2.2.6 Bagian Keuangan ... 39

2.2.7 Personalia ... 39

2.2.8 Produksi ... 39

2.3 Struktur Penggajian ... 39

2.3.1 Gaji Pokok ... 39

2.3.2 Tunjangan Jabatan ... 40

2.3.3 Tunjangan Insentif ... 40

2.3.4 Tunjangan Lembur ... 40

2.3.5 Tunjangan Cuti ... 40

(7)

2.4 Jumlah Karyawan ... 41

2.5 Ruang Lingkup Bidang Usaha ... 42

2.5.1 Daerah Pemasaran ... 43

2.5.2 Fasilitas yang Dimiliki... 44

BAB III PERAN DAN FUNGSI KARYAWAN PEREMPUAN. 3.1 Posisi dan Peran Karyawan Perempuan ... 47

3.1.1 Posisi Karyawan Perempuan ... 47

3.1.1.1 Bagian Administrasi ... 48

3.1.1.2 Bagian Produksi ... 49

3.1.2 Peran Karyawan Perempuan ... 51

3.2 Aspirasi Karyawan Perempuan ... 51

3.2.1 Kesesuaian Tempat Kerja ... 52

3.2.2 Pandangan Keluarga ... 54

3.2.3 Kondisi Ekonomi ... 57

3.2.3.1 Sebelum Bekerja ... 57

3.2.3.2 Setelah Bekerja ... 58

3.2.4 Keadaan Kerja ... 59

3.2.4.1 Perlakuan Yang Diterima Dari Pemilik Pabrik ... 59

3.2.4.2 Pekerjaan Yang Dikerjakan Perempuan... 63

3.2.4.3 Upah/Gaji ... 63

3.2.4.4 Jam Kerja... 64

(8)

BAB IV LATAR BELAKANG KEHIDUPAN KARYAWAN PEREMPUAN.

4.1 Informan Pertama ... 67

4.1.1 Sejarah Hidup ... 67

4.1.2 Proses Pengambilan Keputusan ... 68

4.1.3 Keadaan Aktual ... 69

4.2 Informan Kedua ... 70

4.2.1 Sejarah Hidup ... 70

4.2.2 Proses Pengambilan Keputusan ... 71

4.2.3 Keadaan Aktual ... 72

4.3 Informan Ketiga ... 72

4.3.1 Sejarah Hidup ... 72

4.3.2 Proses Pengambilan Keputusan ... 73

4.3.3 Keadaan Aktual ... 73

4.4 Informan Keempat ... 73

4.4.1 Sejarah Hidup ... 74

4.4.2 Proses Pengambilan Keputusan ... 74

4.4.3 Keadaan Aktual ... 75

BAB V REALITA KONDISI KARYAWAN PEREMPUAN DALAM ANALISIS KESETARAAN GENDER 5.1 Analisis Kondisi Karyawan Perempuan ... 77

5.1.1 Posisi Yang Dipegang Oleh Karyawan Perempuan ... 77

5.1.2 Posisi Pengambilan Keputusan ... 78

5.1.3 Perwujudan Keharmonisan ... 78

(9)

5.1.4.1 Kebijakan Mengenai Gaji Karyawan ... 79

5.1.4.2 Kebijakan Mengenai Target Produksi barang ... 80

5.2 Analisis Latar Belakang Kehidupan Karyawan Perempuan ... 81

BAB VI PENUTUP.

6.1 Kesimpulan ... 83

6.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 ... 10

Tabel 1.2 ... 10

Tabel 1.3 ... 11

Tabel 1.4 ... 11

Tabel 2.1 ... 37

Tabel 2.2 ... 41

Tabel 2.3 ... 44

(11)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “ POSISI,PERAN DAN ASPIRASI KARYAWAN PEREMPUAN : ( Analisis Gender Terhadap Fenomena Banyaknya Perempuan Di PT Duta Ayumas Persada Medan )”. Penelitian ini dilaksanakan di pabrik PT Duta Ayumas Persada Medan yang berlokasi Jl Besar Namorambe Gedung Johor Medan. Skripsi ini terdiri dari 6 Bab, dan 94 halaman. Skripsi ini dilengkapi lampiran berupa daftar tabel, surat izin penelitian dari FISIP USU, serta surat izin penelitian dari PT DAP.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban tentang kondisi perlakuan yang diterima perempuan serta bagaimana aspirasi mereka tentang perlakuan tersebut apakah hal tersebut merupakan fenomena kesetaraan atau bukan. Penelitan ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan sumber data yang diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam ( Dept Interview ). Konsep kesetaraan yang digunakan adalah kesetaraan berdasarkan keharmonisan.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kajian mengenai perempuan akhir – akhir ini semakin banyak dilakukan.

Dalam kepustakaan sosiologi dan antropologi budaya tercatat semakin banyak

karya yang menyoroti peranan dan kedudukan perempuan dalam berbagai

konteks kebudayaan. Sebagian lagi terdorong oleh gerakan peningkatan

kedudukan perempuan yang sekarang telah menjadi gejala dan meliputi seluruh

dunia. Kajian – kajian tersebut ingin mengetahui apakah memang peranan

perempuan dibatasi oleh sifat – sifat biologis yang berarti peranan itu akan

berubah.

Melalui penelitian komparatif, Rosaldo dan Lamphere (1974) menjelaskan

memang banyak kecenderungan bahwa peranan perempuan terbatas kepada hal –

hal tertentu yang ada hubungannya dengan fungsi melahirkan, tetapi hal itu tidak

mutlak, karena cukup banyak masyarakat yang memberi peranan kepada

perempuan, fungsi - fungsi yang sering dianggap khas fungsi laki - laki seperti :

mengepalai kerajaan, menjadi pemimpin agama, pemimpin peperangan dan

politik ( Nasution, 1994 :10-11).

Pada zaman dahulu pekerjaan laki – laki dan perempuan dibedakan

berdasarkan jenis kelamin ( warisan biologis ), seperti di beberapa tempat di New

Guinea, perempuan menanam ubi jalar, dan laki – laki menanam Yams. Yams

(13)

yang lainnya misalnya perempuan sebagai peladang/petani dan laki - laki sebagai

pemburu. Walaupun para perempuan yang mensuplai makanan, namun hasil

buruan dianggap makanan yang mempunyai nilai yang lebih tinggi, seperti

masyarakat Aborigin di Australia, hanya daging yang didistribusi laki – laki yang

dianggap sebagai makanan yang tepat seperti yang diungkapkan oleh Kaberry

dalam buku ( Rasaldo, 1974, Bangun, 1997 ).

Ternyata kejadian di atas terdapat pula di daerah - daerah lain di dunia,

misalnya kebanyakan masyarakat di dunia memberi sambutan yang berbeda atas

kelahiran anak laki – laki dan anak perempuan. Di kalangan suku Turkana di

Kenya bagian Utara, kaum perempuan berkumpul bersama dalam menyambut

kelahiran seorang anak. Jika bayi itu laki – laki, tali pusarnya dipotong dengan

sebilah tombak, dan pesta diselenggarakan dengan penyembelihan empat ekor

kambing bagi perempuan yang melahirkan anak bayi itu maupun suaminya.

Ketika perempuan itu bangun dan keluar dari rumahnya empat hari setelah

persalinannya, tombak itu diambil dulu dan digunakan untuk memenggal seekor

lembu jantan, kemudian perempuan itu maupun suaminya memakan daging lembu

sembelihan sebagai tanda bahwa sang suami kini telah memiliki seorang untuk

membantunya mengurus ternak. Akan tetapi jika bayinya perempuan, digunakan

pisau untuk memotong tali pusar, cuma seekor kambing yang disembelih, dan

tidak ada pesta ( Mosse, 1999 : 1-2 ).

Di seluruh dunia, kerja perempuan dinilai rendah. Jika petugas sensus

diinstruksikan untuk tidak memasukkan kerja rumah tangga perempuan dalam

formulir sensusnya, pesannya jelas “ jangan menghitung kerja perempuan karena

(14)

kedalam angka – angka bagi GNP global, diperkirakan bahwa angka GNP global

akan meningkat setidak – tidaknya sepertiga. Kerja perempuan kadang – kadang

dilukiskan sebagai “tidak tampak” karena kerja itu tidak terekam secara statistik

( Mosse, 1999 : 58 – 59 ).

Di Yunani dan Rusia menjadi ibu dianggap sebagai penebus dosa karena ia

telah terlahir sebagai perempuan ( Mosse, 1999 : 39 ).

Di Indonesia pada saat ini perempuan dapat digambarkan sebagai manusia

yang harus hidup dalam situasi yang dilematis. Di satu sisi perempuan Indonesia

dituntut untuk berperan dalam sektor domestik, tetapi disisi lain muncul pula

tuntutan lain agar perempuan Indonesia berkarier. Di satu sisi perempuan karier

merasa terpanggil untuk mendarmabaktikan bakat dan keahliannya bagi

perkembangan bangsa dan negara mereka; disisi lain mereka dihantui oleh opini

dalam masyarakat yang melihat bahwa perempuan karier/ibu karier sebagai salah

satu sumber ketidakberhasilan pendidikan anak – anak mereka. Yang sangat

memprihatinkan adalah adanya opini di kalangan masyarakat yang melihat

perempuan karier adalah “ pengganggu suami orang lain “ (Soetrisno, 1997 : 61 –

62 ).

Menurut Dzuyahatin (1997) konsep kekuasaan pada budaya patriarchi

adalah ekspresi kelaki – lakian dari “ sang penentu “. Sehingga setiap laki – laki

merefleksikan kekuasaan tersebut kepada masyarakat yang lain, seperti ayah

terhadap anak, suami terhadap istri, kakak laki – laki terhadap adik, dan yang

tertinggi raja terhadap rakyatnya.

Selanjutnya dan masih di Indonesia, perempuan telah diberi peluang yang

(15)

terhadap perempuan tidak mengalami perubahan yang berarti. Masih kuatnya

anggapan bahwa pendidikan pada perempuan tujuannya adalah agar ia lebih

mampu mendidik anak – anaknya. Perempuan tetap saja dianggap the second sex.

Perempuan direndahkan ketika ia hanya dirumah dan dieksploitasi ketika mereka

berada di tempat kerja. Persepsi demikian tidak hanya dianut dikalangan awam,

juga cendikiawan, dan yang lebih memprihatinkan pemerintah juga menjustifikasi

persepsi tersebut dalam kebijakan pembangunan, yang diungkapkan dalam panca

tugas perempuan: sebagai istri dan pendamping suami, sebagai pendidik anak dan

pembina generasi muda, sebagai pekerja yang menambah penghasilan negara dan

sebagai anggota organisasi sosial masyarakat khususnya organisasi sosial dan

organisasi perempuan ( Dzuhayatin, 1997 ).

Hal diatas juga terdapat dalam hubungan kerabat dalam sitem kekerabatan

orang Bali. Menurut desain hidup dalam kebudayaan Bali, perhitungan garis

keturunan adalah suatu hal yang maha penting. Nilai utamanya ialah gagasan

bahwa hanya anak laki – laki yang diakui sebagai penghubung dalam garis

keturunan. Hal ini menghasilkan norma sosial, yaitu seseorang memperhitungkan

garis keturunannya melalui ayah sehingga dapat di konstruksikan ( menjadi suatu

konstruksi konseptual ) suatu garis keturunan yang berkesinambungan, yang

menghubungkan para laki – laki sebagai penghubung - penghubung garis

keturunan. Norma sosial mengenai garis keturunan itu berhubungan dengan

norma sosial lainnya dalam kaitannya dengan pengaturan soal – soal yang

berkenaan dengan kekerabatan, seperti norma sosial bahwa seorang istri harus

(16)

bahwa waktu sudah meninggal, harta dari seorang ayah diwariskan kepada

anaknya yang laki – laki ( Ihromi, 2000 : 4-5 ).

Dari data – data yang ada menunjukkan bahwa kondisi perempuan di

Indonesia masih banyak memerlukan perhatian. Di bidang pendidikan perempuan

masih tertinggal dibandingkan mitra laki-laki sementara bahan ajar yang

digunakan serta proses pengelolaan pendidikan masih bias gender, sebagai akibat

dominasi laki-laki sebagai penentuan kebijakan pendidikan. Di bidang ekonomi

kemampuan perempuan untuk memeproleh peluang kerja dan berusaha masih

rendah. Demikian pula halnya akses terhadap sumber daya ekonomi, seperti

teknologi, informasi, pasar, kredit dan modal kerja. Tingkat pengangguran pada

perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Besarnya upah yang diterima

perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Dengan tingkat pendidikan yang

sama, pekerja perempuan hanya menerima 50 persen sampai 80 persen upah yang

diterima laki-laki. Selain itu banyak perempuan yang bekerja pada pekerjaan

marginal sebagai buruh lepas atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau

dengan upah rendah. Mereka tidak memperoleh perlindungan hukum dan

kesejahteraan. Dengan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan perempuan

dan anak-anak memperoleh kelompok yang paling rentan kena dampak

(Soemartoyo 2002). Di bidang pengambilan keputusan politik perempuan hanya

diwakili oleh 8,8 persen dari seluruh jumlah anggota DPR jumlah perempuan

yang menjabat sebagai hakim agung di Mahkamah Agung hanya 13 persen.

Jumlah Pegawai Negeri Sipil perempuan 36,9 persen dan jumlah tersebut hanya

(17)

dibayangkan bahwa peran perempuan sebagai pengambil keputusan atau

kebijakan relatif kecil dibanding laki-laki.

Dalam kegitan fisik pada produksi pertanian ternyata dibagi menurut garis

gender, walaupun dalam kondisi terdapat keragaman yang berkaitan dengan

norma-norma lokal (Suradisastro, 1998) misalnya Koentjaraningrat (1967)

mengemukakan bahwa dikalangan masyarakat jawa seorang suami adalah kepala

keluarga, namun tidak berarti bahwa istri memiliki status lebih rendah karena ia

bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga. Akan tetapi seorang

anak laki-laki umumnya memiliki peran yang lebih kuat dan jelas sebagaimana

yang ditunjukan dalam pengalihan tanggung jawab dari ayah kepada anak

laki-laki yang dilaporkan oleh Stevens (1974) yang mengamati etnis Sunda, yang

merupakan masyarakat patrilineal dengan hierarki kuat di daerah Bugis di

Sulawesi Selatan ternyata terdapat norma yang cukup kuat bahwa perempuan

sama sekali tidak diperbolehkan bekerja di sawah kecuali mengawasi pada saat

panen. Sedang di daerah Sumbar yang menganut budaya Matriarkat dimana

perempuan sebagai penguasa dan kepala atas keluarga, ternyata terdapat norma “

pria sebagai kepala keluarga dan pengurus rumah tangga, sedang perempuan

sebagai pelaksana”.

Kenyataan secara fisik perempuan di daerah ini melakukan hampir semua

kegiatan usaha tani, bahkan banyak perempuan yang melakukan kegiatan

mencangkul yang secara umum merupakan peran gender laki –laki. Selain itu

terdapat norma “ tinggi lantai dari palupuah” yang berarti bahwa istri tidak dapat

memerintah suami. Di daerah itu pada umumnya laki – laki menguasai tanaman

(18)

yang mengelola pendapatan rumah tangga, sehingga kalau istri memerlukan

kebutuhan rumah tangga harus meminta ijin pada suami. Di daerah istimewa

Yogyakarta terdapat norma yang mengatakan “Ngono yo ngono, ning ojo ngono”

hal ini berati perempuan boleh saja bekerja di bidang apapun, tapi jangan sampai

melanggar batas-batas norma yang tidak pantas dilakukan (Hastuti, 1998).

Misalnya kegiatan mencangkul secara normatif bukan pekerjaan perempuan dan

kegiatan pemasaran hasil pertanian bukan pekerjaan laki – laki. Di daerah

Boyolali laki – laki yang menjual hasil taninya disebut “Cupar” yang merupakan

sindiran yang sangat memalukan. Di dalam kegiatan agrobisnis pada umumnya

perempuan mempunyai peran yang relatif besar pada bidang pemasaran dari

laki-laki (Irawan, 2001). Dari sini terlihat sering peran gender tradisional perempuan di

nilai lebih rendah di banding peran gender laki-laki (Fakih, 1996).

Pada bangsa yang sudah sangat terindustrialisasi seperti Amerika Serikat,

peran perempuan kurang diperhitungkan dan kurang dianalisis. Karya Rachel

Rosenfeld (1985) mengenai perempuan tanah pertanian mengungkapkan bahwa

60 persen perempuan yang tinggal di tanah pertanian menggambarkan pekerjaan –

pekerjaan mereka sebagai “ istri, ibu, nyonya rumah atau ibu rumah tangga “,

hanya 5 persen mengatakan sebagai istri petani, dan kurang dari 4 persen

menegaskan titel pekerjaan petani, pengusaha peternakan atau produsen ( Moore,

1996 : 116 ).

Berbagai bias gender yang terjadi di seluruh dunia sebagaimana yang

telah dijelaskan diatas tadi pada akhirnya memunculkan reaksi menentang dari

pihak perempuan. Salah satu aliran yang paling terkenal dalam usaha tersebut

(19)

gender harus diwujudkan yaitu perempuan harus memiliki hak yang sama dengan

laki – laki di segala bidang tanpa adanya diskriminasi dalam bentuk apapun

( Moore, 1996 ).

Menurut aliran feminisme kesetaraan gender secara kuantitatif harus

diwujudkan yaitu laki - laki dan perempuan harus sama – sama ( fifty – fifty )

berperan baik di luar maupun di dalam rumah. Lebih jauh mereka mengatakan

bahwa konsep gender adalah konstruksi sosial, sehingga perbedaan jenis kelamin

tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran dan prilaku gender dalam tatapan

sosial karenanya segala jenis pekerjaan yang berbau gender, misalnya perempuan

cocok untuk melakukan pekerjaan pengasuh anak dan pria sebagai pencari nafkah

keluarga, harus dihilangkan dalam kehidupan sosial kalau tidak, akan sulit

menghilangkan kondisi ketidaksetaraan ( Megawangi,1999: 20 ).

Gerakan feminis tersebut pada akhirnya mendapat dukungan dari pihak –

pihak lain bahkan hingga saat ini. Salah satu yang cukup terkenal saat ini adalah

Ratna Megawangi. Namun Megawangi ternyata tidak sepenuhnya setuju dengan

apa yang diinginkan oleh aliran feminis. Ada beberapa bagian yang tidak ia

setujui. Hal tersebut adalah mengenai penghapusan nature ( sifat alamiah ) dan

nurture ( sosialisasi dan perubahan kultur ) yang dituntut oleh aliran feminis.

Secara lebih terperinci ada 2 hal mendasar yang di tentang oleh Megawangi yaitu :

1. Menghilangkan female modesty yaitu menghilangkan sifat – sifat

feminim perempuan ( secara extrim diilustrasikan dengan cara

berlari telanjang bersama – sama laki - laki, dan menghilangkan

(20)

2. Menggunakan instrumen instistusi sosial untuk mendukung usaha

pertama. Instrumen sosial yang digunakan adalah perubahan

lingkungan sosial yang kondusif untuk menghilangkan stereotif

gender. Misalnya dengan menciptakan undang – undang dimana

negara harus menyediakan tempat pengasuhan anak, membenarkan

adanya kehancuran keluarga atau melegalkan aborsi bahkan kalau

perlu dengan pembunuhan bayi ( Socrates dalam Megawangi,1999

: 113 ).

Menurut Megawangi sangat sulit untuk mewujudkan 2 hal diatas. Hal ini

terjadi karena ada satu hal yang paling sulit dalam menerapkan konsep kesetaraan

dalam praktiknya yaitu kenyataan bahwa manusia itu selalu tidak sama, baik

dalam kapasitas, kesenangan, maupun kebutuhan ( Megawangi,1999 : 45 ).

Alasan lain adalah adanya penolakan dari pihak perempuan sendiri, terhadap

keinginan kaum feminis yang karena merasa terganggu kebiasaan yang telah

dijalaninya dengan senang. Misalnya di daerah Jawa dimana terdapat kelompok

perempuan yang mempunyai suami dengan penghasilan yang tinggi bersedia

dirumah mengasuh anak dan menolak bila ditawari pekerjaan diluar rumah

walaupun itu dapat memberinya karier dan penghasilan besar. ( Megawangi,1999

: 48 ).

Sejalan dengan itu Megawangi,(1999:228) memaparkan bahwa

kesetaraan yang baik yaitu terjadi struktur yang akan melengkapi satu dengan

yang lainnya. Kalau dalam suatu struktur diperlukan satu peran direktur, peran

(21)

misalnya maka mau tidak mau harus ada struktur organisasi dimana ada segmen

yang pandai otaknya, yang sedang, dan kurang pandai.

Pertanyaan yang muncul apakah kesetaraan seperti yang diutarakan oleh

Megawangi telah terealisasi dengan baik di perusahaan – perusahaan. Pertanyaan

ini muncul di benak peneliti karena peneliti melihat saat ini perempuan

mendominasi jumlah karyawan di Indonesia khususnya di Sumatera Utara.

Di beberapa perusahaan di Sumatera Utara terlihat perempuan

mendominasi jumlah karyawan. Berikut beberapa contohnya :

Tabel 1.1

Nama Perusahaan Jumlah Karyawan Laki – laki / Org

Jumlah Karyawan

Perempuan/Org Total/Org

PT. Duta Ayumas

Persada

25 145 170

Sumber data : Personalia PT.Duta Ayumas Persada.

Pada PT. DAP dari 175 jumlah karyawan yang ada 145 diantaranya merupakan

perempuan dan 25 orang laki – laki.

Tabel 1.2

Nama Perusahaan Jumlah Karyawan Laki – laki / Org

Jumlah Karyawan

Perempuan/Org Total/Org

Agung Supermarket 10 40 50

Sumber data : Personalia Agung Supermarket.

Pada Agung Supermarket terdapat 50 karyawan. Jumlah karyawan laki – laki

(22)

Tabel 1.3

Nama Perusahaan Jumlah Karyawan Laki – laki / Org

Sumber data : Personalia Pabrik Sarung Tangan SHAMROCK.

Pada perusahaan diatas terdapat 320 karyawan dengan karyawan laki – laki

sebanyak 95 orang dan karyawan perempuan sebanyak 225 orang.

Tabel 1.4

Nama perusahaan Jumlah Karyawan Laki – laki / Org

Sumber data : Personalia Pabrik Jagung Padang Bulan.

Pada perusahaan pabrik jagung diatas terlihat hal yang sama dimana jumlah

kuantitas perempuan mendominasi jumlah laki – laki.

Dari data di atas terlihat bahwa secara kuantitas perempuan telah

mendominasi jumlah karyawaan di berbagai perusahaan, namun apakah ini

sejalan dengan kualitasnya.

Harkrisnowo ( 2003 ) dalam penelitiannya menemukan banyak

ketimpangan terjadi yaitu upah perempuan dibayar dibawah dari upah buruh laki –

(23)

Hal ini jugalah yang menarik keinginan peneliti untuk melakukan

penelitian terhadap buruh wanita yang ada di PT. Duta Ayumas Persada.

1.2 Perumusan Masalah

Ketika melihat fenomena banyaknya perempuan mendominasi jumlah

karyawan di perusahaan – perusahaan, sepertinya perjuangan penghapusan bias

gender telah terwujud. Namun ternyata banyak terjadi kejadian menyimpang yang

masih dialami oleh perempuan dalam posisinya sebagai karyawan. Satu contoh

yaitu seringya gaji perempuan dibuat lebih rendah dari laki – laki. Berdasarkan hal

itu peneliti ingin melihat apakah perempuan pada pabrik ini telah mendapat

kesetaraan dalam posisinya sebagai karyawan.

Maka perumusan masalah penelitian ini adalah :

1. Apakah fenomena banyak karyawan perempuan menjadi penegasan

terhadap kesetaraan gender ?

2. Apakah fenomena banyak karyawan perempuan ini malah menjadi

bukti bahwa belum terealisasinya kesetaraan gender ?

1.3 Alasan Pemilihan Lokasi

Penelitian saya pusatkan di pabrik milik PT Duta Ayumas Persada yang

terletak di jalan besar Namorambe Pasar 4 Gedung Johor Medan. Pabrik ini

merupakan pabrik yang bergerak dalam produksi susu kedelai. Lokasi ini saya

pilih sebagai lokasi penelitian karena sekilas saya lihat jumlah karyawan

perempuan lebih banyak dari karyawan laki – laki. Lokasi penelitian mudah

(24)

informan pangkal yang saya gunakan adalah salah seorang karyawan administrasi

di kantor tersebut yang merupakan saudara saya dan salah satu hal yang penting

adalah materi yang saya keluarkan akan lebih irit.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

1. Menggambarkan bagaimana perasaan karyawan perempuan di pabrik

tersebut terhadap kondisi yang mereka terima.

2. Menggambarkan apa posisi dan peran karyawan perempuan di pabrik

tersebut.

3. Menjawab apakah perempuan telah mendapatkan kesetaraan dalam

posisinya sebagai karyawan di PT DAP.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Selain sebagai tujuan penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat

menambah masukan bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti dan mengkaji

secara lebih mendalam mengenai gender dikaitkan dengan kedudukan perempuan

dalam sektor publik. Lebih dari itu dengan adanya penelitian ini maka semakin

banyak diperoleh masukan untuk penyelesaian kasus gender.

1.5 Tinjauan Pustaka

Perubahan sistem pembagian kerja seksual sebagai akibat dari

pembangunan selalu diperdebatkan dewasa ini khususnya masalah perempuan

dalam kaitannya dengan laki - laki, baik dalam sektor ekonomi, sosial, politik

maupun budaya. Ada asumsi bahwa permasalahan perempuan berawal pada

(25)

laki – laki. Ada juga anggapan bahwa keadaan perempuan yang teramat lemah

membuat mereka memang ditakdirkan untuk selalu berada di bawah bayang –

bayang laki – laki. Sejalan dengan itu kita harus melihat perbedaan – perbedaan

itu dengan melihat “ gender “. Untuk memahami masalah dalam hubungannya

dengan pekerjaan antara laki – laki dan perempuan, terlebih dahulu kita harus

memahami apa yang dimaksud dengan gender.

Gender adalah seperangkat peran yang, seperti halnya kostum dan topeng

di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau

maskulin ( Mosse, 1999 : 3 ).

Pendapat lain mengatakan gender merupakan perbedaan antara laki – laki

dan perempuan. Ada dua asumsi yang mengungkapkan asal mula gender. Asumsi

yang pertama mengatakan bahwa gender muncul akibat sifat alami yang dimiliki

oleh laki – laki dan perempuan. Asumsi kedua mengatakan bahwa gender muncul

karena ia dikonstruksi oleh budaya. Kedua asumsi ini masih menjadi perdebatan

bahkan hingga saat ini ( Berger : 1984 )

Sedangkan konsep lainnya yakni gender adalah suatu sifat yang melekat

pada kaum laki – laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun

kultural, misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut cantik, emosional, atau

keibuan sementara laki – laki dianggap : kuat, rasional, jantan, perkasa

( Fakih,1996 : 8 ).

Menurut Megawangi ( 1999 : 94 – 102 ) gender adalah perbedaan peran

antara laki – laki dan perempuan yang disebabkan adanya perbedaan sifat alamiah

(26)

Sejarah perbedaan gender ( gender differences ) antara manusia jenis laki –

laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

terbentuknya perbedaan – perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal,

diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara

sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses

panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan

seolah – olah bersifat biologis yang tidak bisa dirubah lagi sehingga perbedaan –

perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki – laki dan kodrat

perempuan ( Fakih, 1996 : 9 ).

Gender berasal dari kamus bahasa inggris yang berarti jenis kelamin.

Kalau dilihat dari kamus tidak dibedakan secara jelas kata sex dan gender. Untuk

memahami konsep gender harus dibedakan kata sex dan gender. Pengertian sex

merupakan persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan

secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya laki – laki

memiliki penis, jatkala atau kalamenjing dan memproduksi sperma. Perempuan

memiliki vagina dan alat menyusui. Alat – alat tersebut tidak bisa dipertukarkan

pada manusia laki – laki dan perempuan karena bersifat tetap yang disebut

ketentuan Tuhan ( Fakih, 2001 ).

Menurut Najlah ( 2005 ) isu gender di era global adalah masalah

penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga,

masyarakat dan negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan

perempuan dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang

saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya

(27)

Perbedaan gender melahirkan ketidakadilan ( gender inequalities ) terutama bagi

kaum perempuan. Hal ini dapat terlihat dari manifestasi ketidakadilan yang ada

diantaranya yaitu

1. Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi. Gelombang

perdagangan bebas dikendalikan oleh pemilik modal yang serakah.

Marginalisasi dan penindasan bagi kaum kecil yang dieksploitasi.

2. Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik.

Perampasan daya sosial mencakup perampasan akses seperti informasi,

pengetahuan, pengembangan keterampilan dan potensi kolektif, serta

partisipasi dalam organisasi dan sumber – sumber keuangan.

Perampasan daya politik meliputi perampasan akses individu pada

pengambilan keputusan politik, termasuk kemampuan memilih dan

menyuarakan aspirasi serta bertindak kolektif. Tekanan ini lebih

merupakan akibat dari operasi watak otoritarian rezim dan pendukung

koersifnya. Kebisuan ini yang harus dibongkar. Perampasan daya

psikologis mencakup tekanan eksternal yang menyebabkan hilangnya

perasaan individual mengenai potensi dirinya dalam kancah sosial

politik, sehingga individu itu tidak punya peluang untuk berpikir kritis.

3. Tekanan eksternal itu diinternalisasi simiskin menjadi kesadaran palsu.

Mereka percaya bahwa mereka miskin dan bodoh, tidak bisa apa – apa,

selain mengendalikan orang lain untuk mengubah keadaannya.

4. Pembentukan sterotipe atau pelabelan negatif. Sterotipe yang

dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak

(28)

umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu sterotipe yang

berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap

salah satu jenis kelamin yaitu perempuan. Hal ini mengakibatkan

terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan

kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang

tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan

dengan pekerjaan domestik atau kerumahtanggaan. Konsep gender

ialah suatu sifat laki – laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh

masyarakat baik secara kultural maupun sistematik. Misalnya

perempuan secara kultural dikenal lemah lembut, cantik, emosional,

atau keibuan, sedangkan laki – laki dikenal kuat, rasional jantan dan

perkasa. Sifat – sifat tersebut dapat dipertukarkan dan berubah dari

waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Hal ini tidak hanya

terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja

dan masyarakat, bahkan di tingkat pemerintahan dan negara.

5. Kekerasan ( violence ). Kekerasan tidak hanya menyangkut serangan

fisik saja seperi pemerkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga

yang bersifat non fisik, seperti pelecehan seksual sehingga secara

emosional terusik. Pelaku kekerasan bermacam – macam ada yang

bersifat individu, baik dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat

umum, ada juga didalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami

sendiri, ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki – laki,

(29)

6. Beban kerja yang panjang dan lebih banyak ( burden ). Bentuk lain

dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang

harus dilakukan terutama bagi perempuan. Berbagai observasi,

menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90 persen dari

perkerjaan rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain

bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah

tangga.

7. Sosialisasi ideologi nilai peran gender. Yusuf Supriandi membeberkan

bagaimana ketidaksetaraan gender memberi pengaruh yang cukup

besar terhadap kemiskinan. Misalnya, investasi terhadap SDM,

khususnya anak – anak dan perempuan dalam pendidikan dan

kesehatan. Perempuan yang berpendidikan dan mempunyai kesehatan

yang baik akan mempunyai kesempatan untuk aktif bekerja secara

produktif pada sektor – sektor formal serta akan menikmati pendapatan

yang baik dibanding dengan perempuan yang tidak punya pendidikan

dan sakit sakitan. Selain itu perempuan yang punya pendidikan akan

memberikan perhatian yang lebih besar pada anak – anaknya yang

merupakan investasi bagi anak – anaknya.

Belum selesai mengenai perdebatan tentang gender maka muncul

perdebatan baru tentang apa yang dimaksud dengan kesetaraan gender. Konsep

kesetaraan gender juga memiliki dua asumsi yang muncul. Asumsi pertama

dikenal dengan konsep kesetaraan 50/50 yang didukung oleh aliran yang sangat

(30)

dalam keragaman. Kedua aliran diatas memiliki alasan teori yang bisa digunakan

untuk mendukung asumsi mereka masing – masing ( Berger : 1984 )

1.5.1 Konsep Kesetaraan Gender 50/50

Sejak tahun 1990, UNDP ( United Nations Development Program )

melalui laporan berkalanya “Human Development Report” ( HDR ) telah

memperkenalkan sebuah tambahan indikator baru dalam menilai keberhasilan

pembangunan suatu negara yang sebelumnya hanya diukur dengan pertumbuhan

GDP ( Growht Domestic Product ). Ukuran tambahan ini adalah indikator

pembangunan manusia ( Human Development Index ). Pengenalan konsep HDI

tersebut melalui pengukuran tiga aspek yaitu usia harapan hidup, angka kematian

bayi, dan kecukupan pangan. Hal ini telah memberikan pengaruh besar dalam arah

kebijakan pembangunan ekonomi di berbagai negara. Pertumbuhan ekonomi

adalah penting, tetapi tidak selalu menggambarkan keberhasilan pembangunan

kualitas manusia. Melalui HDI pertumbuhan ekonomi harus diterjemahkan dalam

konteks peningkatan kualitas manusia melalui iklim dan kebijaksanaan yang tepat.

Pembangunan manusia diartikan sebagai usaha untuk memberi kesempatan

sebesar – besarnya kepada seluruh strata masyarakat secara merata dan

berkesinambungan sampai generasi berikutnya, yang tujuannya adalah

memberdayakan masyarakat agar mereka dapat berpartisipasi dalam dan dapat

mengecap hasil proses pembangunan ( Human Development Report, 1995 )

Konsep HDI telah memberikan inspirasi yang besar pada penentuan arah

dan kebijakan pembangunan di negara berkembang, sehingga pembangunan

sumber daya manusia telah memperlihatkan kemajuan yang positif. Pembangunan

(31)

yang melibatkan peran serta seluruh masyarakat. Setelah lima tahun konsep HDI

diperkenalkan UNDP merinci lebih lanjut tentang arti pemberdayaan masyarakat

ini bahwa bukan saja diberikan kepada seluruh strata masyarakat, melainkan yang

terpenting adalah kepada segmen masyarakat wanita. Maka konsep HDI sejak

1995 diberi tambahan lagi yaitu konsep kesetaraan gender ( gender equality )

( Human Development Report, 1995 )

Faktor kesetaraan gender harus selalu diikutsertakan dalam mengevaluasi

keberhasilan pembangunan nasional. Perhitungan yang dipakai adalah GDI

( Gender Development Index ) yaitu kesetaraan antara laki – laki dan perempuan

dalam usia harapan hidup, pendidikan, pendapatan serta kesetaraan dalam bidang

politik dan beberapa sektor lainnya. Ukuran ini bertitik tolak pada konsep

kesetaraan samarata. Misalnya apabila rata – rata laki – laki dan perempuan sama

– sama berpenghasilan 2 juta rupiah menerima pendidikan sama – sama sepuluh

tahun atau proporsi yang aktif dalam politik sama – sama 20 persen maka angka

GDI dan GEM adalah 1 atau terjadi “ perfect equality” ( Megawangi, 1999 :23 –

24 ).

Dengan aturan UNDP di atas yang didukung dengan data statistik dapat

dengan jelas memberikan gambaran bahwa kaum perempuan adalah sosok yang

selalu dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Karenanya ketimpangan dalam

data statistik sering diidentikan dengan adanya diskriminasi. Dengan adanya hal

itu maka tuntutan akan adanya kesetaraan yang sama rata ( 50/50 ) antara laki –

laki dan perempuan terutama dari kaum feminis semakin kencang berkumandang.

Namun banyak kelemahan yang terdapat pada konsep kesetaraan 50/50.

(32)

implikasi perbedaan biologis laki – laki dan perempuan. Namun sudah dipastikan

bahwa secara de facto hormon perempuan dan laki – laki berbeda dimana hormon

ini dapat mempengaruhi perbedaan sifat dan tingkah laku. Perbedaan de facto ini

tampaknya berlaku secara universal dan dapat dijumpai setiap saat di setiap

tempat ( Megawangi, 1999 : 28 ).]

Kelemahan lain ialah bahwa kondisi yang samarata belum tentu baik untuk

setiap orang. Satu ilustrasi yang mudah untuk dilihat ialah pembagian kue pada

keluarga yang terdiri dari lima orang anggota. Secara ideal mungkin kue tersebut

harus dibagi menjadi lima bagian yang sama besar. Namun bila kita kaji secara

lebih mendalam bahwa dari lima anggota keluarga tersebut ada satu anak gadis

yang berdiet dan sang ayah harus mengurangi kolesterol tinggi di dalam tubuhnya.

Apabila kue tadi dipaksa kepada anak gadis dan sang ayah untuk dimakan maka

hal tersebut tidak baik kepada mereka. Ini mencerminkan bahwa tidak selamanya

sesuatu yang samarata itu baik untuk diterapkan.

Satu hal lagi yang penting adalah bahwa secara nyata masyarakat didunia

pada umumnya masih munjunjung tinggi nilai kebudayaan mereka. Karena itu

kesetaraan 50/50 mungkin hanya cocok untuk masyarakat yang sangat

individualistis.

1.5.2 Konsep Kesetaraan Dalam Keragaman.

Kesetaraan ini bukan dengan memberi perlakuan sama kepada setiap

individu yang mempunyai aspirasi dan kebutuhan berbeda, melainkan dengan

memberikan perhatian sama kepada setiap individu agar kebutuhannya yang

spesifik, dapat terpenuhi. Kesetaraan adalah bukan kesamaan (sameness) yang

(33)

adil yang sesuai dengan konteks masing-masing individu. Konsep keadilan

mempunyai arti yang lebih abstrak dan relatif, sehingga pengukurannya tidak

dapat dibatasi dengan angka-angka yang ukurannya terbatas ( Megawangi, 1999

:225 ).

Sejalan dengan hal di atas, Vandana Shiva ( dalam Megawangi,1999 : 226

), seorang tokoh ekofeminis, juga mempunyai konsep yang mirip dengan konsep

kesetaraan kontekstual yang menghormati keragaman individu. Ia berpendapat

bahwa diferensiasi peran tradisional antara pria dan wanita harus dilihat sebagai

dua peran sama pentingnya, walaupun dalam bentuk dan aktivitas yang berbeda.

Diferensiasi peran ini disebut equality in diversity (kesetaraan dalam

keragaman). Menurut Shiva kesatuan dalam keragaman (Bhineka Tunggal Ika)

atau kesaling melengkapi peran pria/wanita, telah dirusak image-nya baik pada

tataran konsep maupun praktik oleh Western Technological Man. Inilah

paradigma pembangunan yang memakai teknologi Barat, yang mengukur segala

kemajuan secara linier progresif dan materialistis; berapa kenaikan GNP, berapa

senjata yang dimiliki, dan sebagainya, yang akhirnya membawa kerusakan alam.

Para feminis mainstream juga terjebak pada pola ini yang memakai standar

keberhasilan wanita dengan standar ukuran Barat. Mereka menuntut perbuatan

perubahan pada para wanita terutama di dunia ketiga, yang menganggap diri lebih

superior ketika mendekati dan menganalisis masyarakat-masyarakat (para wanita)

non Barat ( Vandana Shiva dalam Megawangi, 1999 : 227 )

Apabila kesetaraan dalam keragaman (equality in diversity) ingin

diciptakan, tentu diperlukan sebuah struktur masyarakat yang melandasinya.

(34)

berstruktur. Kalau memang peran direktur, peran sekretaris, atau peran penyapu

jalan diperlukan dalam sebuah sistem organisasi misalnya, maka mau tidak mau

harus ada struktur organisasi dimana ada segmen yang pandai otaknya, yang

sedang, atau yang kurang pandai, agar peran-peran tersebut dapat terisi. Secara

esensi kemanusiaan, adanya segmen-segmen ini tidak berarti seorang direktur

harus lebih baik daripada seorang penyapu jalan, namun keduanya mempunyai

peran yang berbeda dalam menjalankan roda kehidupan berorganisasi, dimana

peran berbeda ini timbul akibat adanya keragaman kemampuan atau kapasitas

dalam masyarakat. Masalah-masalah adalah masyarakat berstruktur atau hierarkis

sudah terlanjur diartikan negatif, apabila oleh para egalitis, termasuk feminis yang

memang anti masyarakat dan anti hierarkis ( Megawangi, 1999 :228 ).

Berdasarkan asumsi diatas maka untuk membuktikan apakah kondisi

harmonis atau kesetaraan dalam keragaman dapat terwujud dalam struktur

hierarkis, maka perlu dibahas secara panjang lebar untuk menjawab apakah

struktur hierarkis akan selalu opresif, juga mengingat struktur ini keberadaannya

universal adalah segala kehidupan sosial, apakah signifikansi keberadaan struktur

ini? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab, karena kalau kesatuan harmonis

ingin diwujudkan, berarti struktur yang melandasinya (hierarkis), secara

konseptual perlu dibuktikan bahwa struktur ini memang dapat mewujudkan

hubungan yang harmonis. Namun sebelumnya, perlu dibahas terlebih dahulu

dalam kondisi seperti apa kesatuan harmonis tersebut dapat tercipta.

1.5.2.1 Kesatuan Harmonis

Kosmologi Cina menggambarkan seluruh alam semesta dalam

(35)

prinsip-prinsip eksistensi yang bersifat aktif (yang) dan reseptif (yin), kuat dan lemah,

atau laki – laki dan perempuan. Pemikiran Cina sangat menekankan konsep

harmoni dan keseimbangan, dan ini disimbolkan antara keduanya yang saling

merangkul dalam kesetaraan dan keterpaduan. Jika harmoni antara keduanya

hilang, maka alam semesta akan berhenti mengalir dan segala sesuatu akan kacau.

Dikatakan kesatuan wajah yin dan yang tidak lain adalah Tao, yaitu kualitas

paling promordial. Kesatuan Tao ini memanifestasikan dirinya pada setiap ciptaan

secara unik, sehingga terjadi diferensiasi dengan kualitasnya masing-masing.

Namun semua kualitas selalu terkait dengan yang dua (yin/yang) dan yang satu

(Tao).

Sebetulnya kosmologi Cina ada kemiripan dengan kosmologi Islam, tetapi

hal ini belum banyak dikenal. Sachiko Murata ( dalam Megawangi,1999

:229-230), seorang wanita Jepang yang mendalami filsafat Islam, melihat analogi

filsafat Cina dan Islam, menuangkannya dalam bukunya The Tao of Islam.

Ternyata prinsip-prinsip yin dan yang yang menggambarkan pola relasi patriarkat,

terdapat juga dalam Islam. Namun Murata tidak melihat patriarkat sebagai suatu

yang negatif karena Tuhan, melalui nama-nama-Nya adalah juga bersifat

patriarkat, yaitu Agung, Kuasa, Menghukum, dan sebagainya. Sifat Tuhan yang

patriarkat ini juga tecermin dalam segala sesuatu di alam semesta, karena kosmos

adalah lokus di mana semua sifat-sifat Tuhan termanifestasi. Sifat patriarkat ini

selalu bersifat aktif. Sehingga segala sesuatu yang aktif melimpahkan, berkuasa,

adalah sifat maskulin. Seperti langit yang melimpahkan hujan, jenis kelamin pria

membuahkan telur, dan sebagainya. Di balik sifat patriarkat ini Tuhan juga

(36)

teologis, termasuk Islam mengakui adanya lawan kebalikan dari segala sesuatu,

seperti nama-nama Tuhan Jamal/Jalal (Keindahan/Keagungan) atau Luf/Qahr

(kelembutan/kekerasan), atau Rahma/Ghadab (Pengasih/Kemurkaan), termasuk

ciptaan-ciptaannya langit/bumi, atas/bawah, raja/abdi, cahaya/gelap, nyata/ghaib,

feminin/maskulin, termasuk patriarkat/matriarkat. Karena curahan hujan dari

langit memerlukan bumi yang menerima curahan, maka langit ditegaskan sebagai

maskulin karena adanya bumi. Dualitas ini selalu ada baik dalam tataran ilahiah,

tataran kosmos, maupun tataran manusia, yang semuanya menuntut keseimbangan

di antara keduanya. Tuhan adalah keseimbangan antara nama-namanya yang Jalal

(patriarkat) dan Jamal (matriarkat). Inti dari penciptaan kosmos adalah bagaimana

kesatuan harmonis ini dapat terwujud dalam kosmos, karena kesatuan ini

menegaskan Tuhan yang satu.

Pergeseran keseimbangan harmonis yin/yang pada tataran kehidupan sosial

juga tampak dalam segala segi kehidupan, terutama dalam peradaban modern

yang lebih menekankan kepada pengutamaan aspek yang atau kekuasaan. Hal ini

terlihat dari berlomba-lombanya manusia meraih power, baik itu dalam hal materi,

ketenaran maupun pengaruh. Sifat yang yang dominan, dapat menggeser

keseimbangan ke arah negatif, dan ini hal yang menarik ia kemukakan adalah

bahwa patriarkat (yang) dan matriarkat (yin) pada tataran manusia masing-masing

mempunyai sisi positif dan negatif, yang keduanya saling melengkapi.

Kalau menurut Johan Jacob Bachofen ( dalam Megawangi,1999 : 231),

sisi matriarkat yang disimbolkan oleh kelekatan manusia dengan figur ibu,

mempunyai sisi negatif dan positif. Sisi positif adalah manusia akan mempunyai

(37)

tanpa pandang bulu. Kalau kualitas matriarkat ini terlalu berlebihan, maka yang

terjadi akan terlalu toleran terhadap apa saja, termasuk yang melanggar

norma-norma baik dan buruk, tidak disiplin, tidak memperhatikan hukum-hukum, dan

hilanglah individualitas manusia. Sedangkan sisi patriarkat disimbolkan dengan

figur ayah adalah kehidupan manusia yang direpresentasikan dengan sikap

keagungan, kekuasaan, hukum-hukum kewajiban, dan hierarkis. Sisi positif dari

aspek patriarkat ini adalah disiplin, ketaatan pada hukum, serta berkembangnya

individualitas dan rasionalitas manusia. Namun sisi negatif dari aspek ini adalah

otoriter, penindasan, dan hubungan manusia yang serba instrumental.

Oleh karena itu, kedua aspek patriarkat dan matriarkat pada segala aspek

kehidupan manusia harus diseimbangkan, sehingga terjadilah kesatuan harmonis.

Tujuan penciptaan adalah penegasan Allah yang Satu, atau Tao dalam filsafat

Taoisme, melalui keseimbangan dan kesatuan Jamal (feminitas) dan Jalal

(maskulinitas) baik secara internal maupun eksternal. Dengan kata lain, esensi

tujuan kehidupan manusia baik pria maupun wanita adalah untuk menjadi insan

kamil, yaitu manusia yang dapat menyatukan sisi ilmiah Jamal (Yin-kelembutan)

dan Jalal (Yang-kekuasaan) menjadi kamal (kesatuan yin/yang sempurna), atau

insan kamil. Inilah sebuah manifestasi dari wujud manusia yang mempunyai

keseimbangan harmonis dalam aspek Jalal/Jamal atau yang/yin-nya.

Apa pun yang telah dilakukan dalam kondisi seperti ini, dambaan kaum

feminis untuk mengubah lingkungan sosial yang lebih egaliter akan sulit sekali,

kalau individu-individu manusianya masih tetap mempunyai sifat-sifat negatif.

Maka mungkin benar apa yang dikatakan Murata bahwa “Our problem today is

(38)

true women left in the world”. (Masalah kita sekarang adalah bukan pria dan

perempuan tidak setara, tetapi hanya sedikit sekali pria sejati yang tinggal di dunia

ini.)

Terwujudnya keharmonisan sosial perlu didekati dengan penyadaran pada

tingkat individu terlebih dahulu. Setiap individu, baik laki -laki maupun

perempuan, perlu mengadakan introspeksi ke dalam untuk mentransformasikan

batinnya agar manusia yang lebih sempurna dan seterusnya menjadi insan kamil.

Manusia yang mempunyai keunggulan batin ini, tentu akan penuh kedamaian, dan

akan menghormati dan memenuhi hak setiap mahluk hidup di luar dirinya.

Keadaan ini tentu akan terefleksi juga dalam setiap relasi sosial yang diwarnai

dengan keharmonisan, walaupun penuh dengan keragaman ( Megawangi, 1999 :

237 ).

1.5.2.2 Signifikansi Keberadaan Struktur Hierarkis

Supaya konsep equality in diversity dan kesatuan yang/yin dalam

paradigma inklusif dapat diterima, maka ini harus ditunjang oleh suatu

pembenaran teoritis, bahwa hubungan harmonis yin/yang memang dapat tumbuh

subur dalam struktur hierarkis. Karena bagi kaum kiri radikal atau mereka yang

ingin mengadakan perubahan struktural, struktur hierarkis dianggap struktur yang

menindas yang tidak mungkin menciptakan relasi sosial yang harmonis. Namun

pada kenyataannya struktur ini adalah bersifat generik (universal), yang dapat

ditemui dalam segala macam bentuk kehidupan masyarakat, bahkan dalam pola

relasi segala sesuatu dalam alam semesta. Struktur hierarkis ini adalah struktur

patriarkat yang berakar dari sifat kodrati maskulin (yang). Para egalitis (kaum

(39)

horizontal ini berakar dari sifat kodrati feminin (yin), yaitu sifat saling peduli,

ingin berkorban, memelihara, sehingga tidak ada lagi strata-strata kehidupan

sosial. Sistem matriarkat ini, walaupun tidak ada dalam tataran sosial (kegagalan

sistem komunis adalah bukti nyata bahwa struktur sosial horizontal samarata

adalah tidak dapat terwujud dalam tataran sosial), pada kenyataannya banyak

ditemui dalam struktur hierarkis, dimana masyarakatnya penuh dengan

kepedulian, dan kebersamaan ( Megawangi, 1999 : 237 ).

Adanya struktur hierarkis ini memungkinkan orang untuk dapat mengenal

baik dan buruk, karena baik itu akan termanifestasi kalau ada yang buruk.

Bagaimana kata baik bisa ada kalau semuanya samarata? Struktur ini dapat

mengasah diri manusia untuk dapat peduli kepada orang-orang di bawahnya,

karena melihat adanya kemiskinan. Seseorang akan belajar bahwa ada orang yang

kurang beruntung yang harus ditolong. Apabila orang-orang yang kurang

beruntung, miskin, atau tidak mampu mendapatkan perhatian dan rasa kepedulian

yang besar dari orang-orang yang berada di atasnya, maka yang terjadi adalah

suatu keseimbangan yang harmonis, dimana keadaan dan rasa kasih sayang akan

mewarnai kehidupan masyarakat ( Megawangi,1999 : 238 ).

Selain itu struktur hierarkis harus ada dalam tatanan sosial, karena ini

merupakan simbol-simbol, yang nantinya akan menyadarkan manusia bahwa ada

satu realitas tinggi, Tuhan. Oleh sebab itu, struktur hierarkis adalah kebutuhan

mendasar manusia, agar manusia belajar untuk dapat mengabdi dan menghormati

figur-figur diatasnya. Suatu penghormatan atau pengabdian yang diberikan oleh

seseorang, bukan untuk diberikan kepada individu, atau kekuasaan yang

(40)

realitas abstrak yang jauh berada diatas seluruh manusia, yang harus diekspresikan

oleh manusia dalam bentuk tanggung jawab atau obligasi yang harus dilakukan

kepada sesama manusia. Struktur ini juga menyimbolkan bahwa manusia

memerlukan adanya figur yang dianggap lebih kuat dari dirinya, di mana ia dapat

berlindung dan bergantung kepada-Nya (the powerful other). Tentunya, seorang

individu perlu diberikan struktur untuk menunjang ini.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa segala bentuk keragaman pada

tataran sosial atau eksternal akan selalu ada. Adapun hilangnya perbedaan antar

manusia atau terciptanya kondisi kesetaraan dalam arti sebenarnya, hanya ada

dalam pengertian hakiki, dimana manusia-manusia yang telah mempunyai

tingkatan normal sosialis sejati akan mewujudkannya dalam relasi sosial,

misalnya, seorang yang mempunyai kesadaran moral tinggi akan selalu

memperlakukan manusia lainnya dengan penuh hormat dan adil karena hakiki

kemanusiaannya, walaupun kondisi eksternalnya beragam; pria/wanita, kulit

hitam/putih, kaya/miskin. Namun sekali lagi perlu ditekankan bahwa kondisi

samarata hanya ada dalam tataran batin, internal, atau esensi. Adapun manifestasi

kesadaran moral ini (atau terjadinya kesatuan yin/yang), adalah kondisi dimana

pola relasi antar individu, antar golongan, antar kelas, sosial-ekonomi, adalah

dalam suasana damai, yaitu suasana yang tidak ada pertentangan dan konflik.

Dengan perkataan lain, apabila manusia telah menginternalisasikan dalam dirinya

kesatuan yin/yang, maka akan tercipta kehidupan sosial yang harmonis, walaupun

kondisi eksternal yang berbeda. Implisit dari pernyataan ini adalah tatanan

masyarakat yang sosialis (harmonis), hanya dapat dicapai oleh para

(41)

telah mencapai nilai kemanusian tertinggi, atau nafs muthma’innah telah

( Megawangi, 1999 :249-250).

Dengan melihat beberapan teori yang telah dipaparkan diatas maka

penelitian ini akan menggunakan konsep Megawangi yang mengungkapkan

kesetaraan adalah pemberian keadilan, kemudian konsep yang mengungkapkan

penghormatan terhadap perbedaan peran serta Sachiko Murata yang menggunakan

konsep keseimbangan yin/yang.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif yang bersifat deskriptif. Dalam penelitian ini peneliti akan mencoba

memberi gambaran tentang kegiatan yang dilakukan perempuan dalam tugasnya

sebagai karyawan.

Teknik penelitian yang digunakan dalam pencarian data di lapangan antara

lain :

1.6.1 Teknik Observasi ( pengamatan )

Observasi yang dilakukan ialah mengamati kegiatan – kegiatan yang

dikerjakan oleh perempuan di dalam pabrik serta melihat fasilitas yang

disediakan oleh pabrik untuk menjaga dan membantu proses bekerja karyawan.

1.6.1 Teknik Wawancara

Wawancara dilakukan untuk memperoleh data primer. Wawancara

dilakukan dengan memilih informan dengan menggunakan metode snow ball

sampling yaitu memilih informan secara berjenjang. Wawancara dimulai dengan

(42)

Setelah tercipta suasana dan keadaan yang nyaman dan bersahabat dengan

informan barulah peneliti melakukan wawancara mendalam (Dept Interview).

Hal pertama yang dilakukan oleh peneliti yaitu mengenai riwayat hidup dari

informan. Kemudian peneliti akan menanyakan kenapa dia sampai bekerja pada

pabrik tersebut lalu sudah berapa lama, lalu apakah ini merupakan pekerjaan

utama, dilanjutkan dengan pertanyaan apakah ada hal – hal yang mengganggu

ataupun perlakuan diskriminasi dari pihak perusahaan yang dianggap merugikan

dirinya.

1.6.2 Penentuan Informan

Informan pangkal dalam penelitian ini adalah salah seorang karyawan

administrasi pabrik tersebut. Dari informan pangkal akan diperoleh tata cara

aturan yang tepat untuk bisa melakukan serta memilih waktu untuk melakukan

wawancara. Selain itu dari informan pangkal ini peneliti akan memperoleh data

tentang statistik karyawan yang merupakan data awal. Selanjutnya menentukan

informan inti. Informan inti difokuskan pada wanita yang telah bekerja di pabrik

tersebut dalam waktu yang lama yaitu 4 orang yang mempunyai masa bekerja 5

tahun, karena dia kemungkinan telah mengenal perusahaan dengan baik.

1.7 Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Proses analisa data

pada penelitian ini dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh dari

observasi dan wawancara yang seterusnya disusun secara sistematis agar lebih

mudah dipahami. Pada akhirnya peneliti akan menemukan dan mengelompokkan

hal – hal menonjol yang bisa menyimpulkan apakah kesetaraan telah tercapai atau

(43)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Sejarah Berdirinya Pabrik

PT Duta Ayumas Persada Medan didirikan pada tanggal 14 juli 1985.

Lokasi ini terletak di jalan Raya Namorambe, Gedung Johor, Deli Serdang dan

berkantor pusat di jalan Timor Baru II No. 22/79 Medan. PT Duta Ayumas

Persada adalah perusahaan yang bergerak di bidang barang – barang konsumen

( consumer goods ). Barang – barang konsumen yang dihasilkan meliputi, tepung,

susu, dan saos dengan ruang lingkup yang cukup luas.

Sebelum resmi berdiri menjadi PT DAP, perusahaan ini merupakan toko

kecil yang menjual bahan – bahan perlengkapan sehari – hari dan menerima

pesanan pembuatan atau pengolahan tepung, bumbu dan penyedap makanan yang

lain dan sangat terbatas pada pesanan konsumen tertentu.

Tahun berganti tahun dan hasil pengolahan dari toko tersebut semakin baik

dan memuaskan konsumen, maka pesanan dari konsumen semakin banyak dan

terus meningkat, sehingga pengolahan secara manual tidak dapat lagi memenuhi

pesanan dari konsumen. Akhirnya dengan pertimbangan atas produk – produk

yang dihasilkan, banyaknya konsumen dan luasnya daerah pemasaran serta

persaingan, maka timbullah suatu ide untuk membeli peralatan yan lebih baik

yang tidak lagi hanya mengolah pesanan dari pelanggan, tetapi sudah dapat

memproduksi secara kecil – kecilan beberapa jenis bahan perlengkapan untuk

(44)

Akhirnya jumlah produk – produk yang diproduksi semakin banyak dan

ruang pemasaran produk – produk semakin luas, maka PT Duta Ayumas Persada

tidak lagi menerima order dari pelanggan, tetapi sudah memproduksi sendiri.

Dengan tekad untuk semakin meningkatkan mutu dan mencapai kemajuan yang

lebih tinggi serta didukung oleh peralatan – peralatan yang lebih canggih, maka

pada tahun 1989 status dari toko berubah menjadi PT Duta Ayumas Persada.

Ruang pemasaran PT Duta Ayumas Persada Medan saat ini sudah sangat

luas dan tidak hanya bersifat lokal tetapi sudah mencapai propinsi – propinsi yang

lain di Indonesia.

2.1.1 Tujuan Umum Pabrik

PT Duta Ayumas Persada dalam kegiatannya mempunyai beberapa tujuan

umum yaitu :

 Untuk menampung tenaga kerja, sehingga dapat membantu mengurangi masalah pengangguran.

 Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan – bahan makanan atau pelengkap bahan makanan.

 Agar dapat membantu usaha pemerintah dalam mensukseskan program pembangunan nasional terutama dalam hal pangan.

(45)

2.1.2 Tujuan Khusus Pabrik

 Untuk memperoleh laba atau keuntungan yang layak bagi pemilik perusahaan guna menunjang kelangsngan hidup perusahaan.

 Untuk memperluas usaha dengan cara mengadakan sarana – sarana atau fasilitas yang mendukung sehingga omzet dari

perusahaan semakin besar.

2.1.3 Lokasi Pabrik

PT. Duta Ayumas Persada dalam menentukan letak lokasi perusahaan

membagi unit kegiatan usahanya menjadi 2 (dua) bagian, yang antara bagian yang

satu dengan bagian yang berlainan tempat. Pusat PT. Duta Ayumas Persada yang

menangani administrasi bertempat di Jalan Timor Baru II No. 22/79 Medan,

sedangkan unit industri ( Pabrik ) PT. Duta Ayumas Persada yang menempati

tanah seluas1,5 hektar yang berlokasi di Jalan Raya Namorambe, Gedung Johor,

Deli Serdang Medan atau lebih kurang sepuluh kilometer arah selatan dari pusat

kota Medan.

Untuk mencapai lokasi penelitian ada beberapa angkutan kota yang dapat

dipergunakan. Angkutan kota yang pertama yaitu KPUM NITRA dengan nomor

trayek P25 dan angkutan ini dapat digunakan untuk penumpang yang berasal dari

daerah Simalingkar, Simpang Selayang dan Binjai. Angkutan kota yang kedua

yaitu KPUM NITRA dengan nomor trayek P95 dan angkutan ini dapat digunakan

oleh penumpang yang berasal dari daerah Jl Brigjen Katamso,

Jl Sisingamangaraja dan Jl Delitua serta Terminal Amplas.

(46)

1. Dekatnya perusahaan dengan sumber bahan mentah, yaitu:

beras, pulut, dan gula pasir.

2. Dekatnya perusahaan dengan pasar yang dituju, jalur

perdagangan yagn strategis seperti: Berastagi, Kabanjahe, Aceh,

Lhoksumawe, Sibolga, Medan, Belawan, Rantau Prapat dan

Pekan Baru.

3. Transportasi

PT. Duta Ayumas Persada yang terletak dipinggir jalan raya,

mempermudah pengangkutan bahan baku maupun hasil

produksi.

4. Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang mudah didapati di sekitar kawasan Raya

Namorambe, Deli Serdang.

2.2 Stuktur Organisasi

Organisasi adalah merupakan suatu penetapan dan pembagian tugas yang

dilaksanakan, pembatas tugas, tanggung jawab, serta wewenang dan penetapan

hubungan antara unsur – unsur organisasi sehingga individu – individu yang

terlibat dapat bekerja seefektif mungkin, sehingga tujuan yang telah ditetapkan

dapat dicapai dengan baik.

Struktur organisasi merupakan kerangka yang menunjukkan bagian –

bagian tugas dan tanggung jawab di dalam suatu perusahaan yang saling bekerja

sama untuk mencapai tujuan perusahaan.

Secara umum struktur organisasi PT. Duta Ayumas Persada dapat

(47)

Tabel 2.1

Bagan Struktur Organsasi PT. Duta Ayumas Persada Medan

Sumber : Personalia PT. Duta Ayu Mas Persada.

Stuktur organisasi PT. Duta Ayumas Persada merupakan suatu struktur

yang berbentuk hierarki karena tiap subset memiliki tingkatan yang lebih rendah

daripada subset diri sendiri. Dalam stuktur organisasi yang berbentuk hierarki,

menajemen puncak berada paling atas dalam bagan, manajemen menengah berada

(48)

di tengah, dan manajemen bawahan berada di tempat yang paling bawah. Bagan

hierarki berbentuk seperti piramida karena manajemen puncak jumlahnya relatif

sedikit dibandingkan dengan menajemen yang ada di bawahnya.

Dengan adanya pembagian organisasi yang jelas, maka setiap organisasi

atau departemen mempunyai wewenang dan tugas yang berbeda, sehingga

menimbulkan spesialisasi. Misalnya akuntan dalam fungsi perangkuman

mengkhususkan diri dalam perangkuman. Petugas pemasaran mengkhususkan diri

dalam pemasaran. Spesialisasi dapat berlanjut sedemikian sehingga dalam sebuah

fungsi terdapat para spesialisasi masing – masing divisi yaitu:

2.2.1 Direktur

• Memimpin rapat direksi dan rapat anggaran belanja.

• Mengkoordinir seluruh aktivitas perusahaan.

2.2.2 Manajer

• Mengawasi bagian – bagian dalam pelaksana.

• Memberi laporan kemajuan perusahaan.

2.2.3 Sekretaris

• Mempersiapkan surat – surat yang berasal dari dalam maupun dari luar

perusahaan.

• Mempersiapkan pekerjaan bila ada tamu perusahaan.

2.2.4 Bagian Pemasaran

• Membawahi para salesman dan supervisor.

• Merencanakan dan mempersiapkan pasar yang akan dimasuki.

2.2.5 Bagian Pembelian

(49)

• Mengadakan pembelian spare part.

• Mengadakan pengawasan mutu bahan baku.

2.2.6 Bagian Keuangan

• Mengurusi keuangan perusahaan.

• Mempersiapkan gaji karyawan.

• Menghitung pemasukan dan pengeluran perusahaan.

2.2.7 Bagian Personalia

• Mengurusi penerimaan karyawan.

• Melayani tamu perusahaan dan memberi informasi tentang kondisi

perusahaan.

2.2.8 Bagian Produksi

• Mengawasi kualitas hasil produksi.

• Merencanakan dan mengurusi secara efisien semua aktivitas yang

menyangkut bagian produksi.

• Merencanakan dan membuat sendiri perlengkapan – perlengkapan

produksi demi menghemat biaya perusahaan.

2.3 Struktur Penggajian

Penggajian di PT Duta Ayumas Persada Medan terdiri dari beberapa

komponen yang dipadukan.

2.3.1 Gaji Pokok

Besarnya gaji pokok karyawan PT Duta Ayumas Persada adalah sama

(50)

Rp 30.000/ hari atau berkisar antara Rp 900.000/ sebulan. Gaji karyawan dapat

mengalami pemotongan jika karyawan tidak hadir tanpa adanya izin dari

perusahaan

2.3.2 Tunjangan Jabatan

Tunjangan jabatan diberikan pada seluruh karyawan tanpa terkecuali yang

telah mengabdi pada perusahaan untuk jangka waktu tertentu berdasarkan

persetujuan direktur. Besarnya tunjangan jabatan ditentukan oleh jabatan

karyawan tersebut.

2.3.3 Tunjangan Insentif

PT Duta Ayumas Persada akan memberikan insentif kepada seluruh

karyawan yang tidak kehilangan jam kerja dalam satu bulan takwim.

2.3.4 Tunjangan Lembur

PT Duta Ayumas Persada tidak membatasi jumlah jam kerja lembur dalam

sebulan. Upah yang diterima untuk lembur akan sama dengan jumlah gaji yang

diterima dalam sehari dengan jangka waktu yang lebih singkat.

2.3.5 Tunjangan Cuti

PT Duta Ayumas Persada membrikan tunjangan cuti bulanan selama1 hari

dan cuti haid selama 2 hari. Cuti tersebut harus diajukan ke personalia sebelum

pelaksanaannya.

2.3.6 Tunjangan Hari Besar Keagamaan

PT Duta Ayumas Persada memberikan tunjangan Hari Raya ( THR ) dan

tunjangan hari Natal yaitu sebanyak satu bulan gaji dan itu diberikan kepada

karyawan yang telah memenuhi syarat dan telah tercantum sebagai karayawan

Gambar

Tabel 1.Nama Perusahaan Jumlah Karyawan 1 Jumlah Karyawan
Tabel 1.3
Tabel 2.1 Bagan Struktur Organsasi
Tabel 2.2 Jumlah Karyawan PT Duta Ayumas Persada
+4

Referensi

Dokumen terkait

Larutan baku nitrit konsentrasi 1,4 ppm diambil 10 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi Griess selanjutnya dibaca absorbansinya

size = ukuran dari textbox dalam karakter, default 20 maxsize = maksimal banyaknya karakter yang dapat diterima name = nama dari variabel yang dikirim ke suatu aplikasi value

Sestama dan Karo Hukum dan Kepegawaian menerima, memberikan arahan, koreksi, meminta telaah dari Pejabat Eselon I lainnya, menyetujui, dan menyampaikan Perka

Nurul Dzawil Albab S.Pd Demak 12 08 1982 L Mas'udah 3144 760662200003 S1 15/07/2001 GTY Guru Kelas MI Jauharotul Ulum Candisari Jl.Ry.Gading Candisari Mranggen Demak

Berdirinya program air minum yang dilaksanakan oleh Yayasan Waha Mitra Indonesia menjadi salah satu pihak yang diharapkan dapat memberikan pelayanan yang maksimal dan mampu

Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan media baru smartphone

Tutkimuksen tehtävänä on selvittää toisen vuosiluokan oppilaiden kokemuksia siitä, miten he kokevat luonnon/maaston oppimisympäristönä. Tarkoituksena on

Jika sudah terkumpul baru mulai beraksi mencari target pasar yag sesuai dengan kriteria-kriteria yang kita cari dari akun profile pesaing, fanpage pesaing dan dari grup pesaing