• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Religiusitas dengan Penyesuaian Perkawinan pada Dewasa Dini Muslim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Religiusitas dengan Penyesuaian Perkawinan pada Dewasa Dini Muslim"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA DEWASA DINI

SKRIPSI

OLEH: Fitri Yunita Sari

031301032

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “ Hubungan antara Religiusitas dengan Penyesuaian Perkawinan pada Dewasa Dini “, adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Januari 2008

(3)

ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Januari 2008

Fitri Yunita Sari : 031301032

Hubungan Religiusitas dengan Penyesuaian Perkawinan pada Dewasa Dini Muslim

Xi + hal + Tabel + Gambar + Lampiran Bibliografi (1964-2006)

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan religiusitas dengan penyesuaian perkawinan pada dewasa dini muslim. Berdasarkan fenomena yang ada, bahwa angka perceraian yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Secara konseptual religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut seseorang sedangkan penyesuaian perkawinan adalah proses membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda sebagai hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami istri.

Subjek penelitian ini berjumlah 95 orang dewasa dini yang berusia 18-40 tahun, telah menikah selama minimal 4 bulan hingga maksimal 2 tahun, belum memiliki anak dan beragama Islam. Tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah incidental sampling. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan analisa korelasi pearson product moment untuk melihat hubungan religiusitas (independent variable) dengan penyesuaian perkawinan (dependent variable) pada dewasa dini muslim. Alat ukur yang digunakan adalah skala religiusitas yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan dimensi-dimensi religiusitas Islam yang dikemukakan oleh Suroso (2005) dan skala penyesuaian perkawinan yang disusun oleh peneliti berdasarkan kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan yang dikemukakan oleh Hurlock (1999).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang positif dengan nilai korelasi (rxy)sebesar 0,421 dengan p = 0,00 yang artinya semakin tinggi religiusitas maka semakin baik penyesuaian perkawinan pada dewasa dini muslim. Sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin buruk penyesuaian perkawinan pada dewasa dini muslim. Kontribusi religiusitas terhadap penyesuaian perkawinan pada dewasa dini muslim adalah sebesar 18%. Hal ini terlihat dari nilai R-Square yang diperoleh dari hubungan religiusitas dengan penyesuaian perkawinan sebesar 0,18.

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala rahmat dan petunjukNya, akhirnya penyusunan skripsi yang berjudul “ Hubungan antara Religiusitas dengan Penyesuaian Perkawinan pada Dewasa Dini Muslim “ ini dapat diselesaikan. Tak lupa shalawat beriring salam penulis haturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW sebagai suri teladan.

Kepada keluargaku tercinta, khususnya kedua orang tua saya yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil, perhatian, dukungan dan kasih sayangnya selama ini sehingga penulis dapat tetap semangat dalam mengerjakan SKRIPSI ini. TERIMA KASIH atas semuanya.... KALIAN yang TERBAIK..

Penyusunan skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak dr. Chairul Yoel, Sp. A (K), sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Meidriani Ayu, M.kes, selaku dosen pembimbing, yang telah bersedia meluangkan waktu disela-sela kesibukan yang padat, untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas masukan, arahan, kritik dan saran yang telah diberikan. Terima kasih atas semuanya....

(5)

4. Ibu Lili Garliah, Msi, Ibu Etty Rahmati, Msi dan Ibu Sukaesih Marianti Msi, terima kasih atas kesediaannya memberikan bimbingan dan diskusi untuk penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas keramahan dan kesediaannya untuk diskusi.

5. Seluruh staf pengajar Psikologi USU, yang telah mengajarkan dan memberikan pengetahuannya mengenai psikologi kepada seluruh mahasiswa psikologi.

6. Seluruh pegawai yang ada di Psikologi USU, terutama buat Pak Aswan, Pak Iskandar, yang telah banyak memberikan dukungan kepada mahasiswa dan juga kemudahan dalam masalah administrasi.

7. Buat kakakku satu-satunya, Irmayani S,pd yang selalu membantu peneliti mulai dari awal menyusun skripsi. Terima kasih udah mau jadi tempat marah-marah, tempat pelampiasan stress gara-gara skripsi ini. Terima kasih atas semua yang telah dilakukan.

8. Sahabat-sahabatku yang ada di Psikologi : Lia, Finanda, Dyna (Alex), Sari (iyem), Dwi, Dewi dan Ulan. Terima kasih atas persahabatannya, supportnya, dan mau jadi tempat keluh kesah penulis selama ini. Thanks

ya fren,,, FRIENDSHIP FOREVER....

(6)

10. Teman-temanku yang ada di psikologi, buat Yeni dan Nina (makasih ya, udah semangatin buat ngerjain skripsi), juga buat Devi (semangat ya, dev..!!), Meilosa, Fitri V, Ika, Oya dan semua teman-teman angkatan 2003 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya. Kalian telah mengisi hari-hariku di Psikologi.

11. Buat temen-temen yang juga lagi nyusun skripsi, yang sering berbagi pengalamannya tentang kesibukan skripsi (saat lagi pusing, marah, kesel, stress, sedih, nangis, ketawa dan semuanya). Ingat fren,,,, BADAI PASTI

BERLALU....

12. Buat semua yang udah membantu penulis untuk nyebarin skala, sepupu-sepupuku (mas yono, K’irda, yuli and uci) dan yang lainnya.. Makasih ya,,, bantuan kalian sangat besar dalam skripsi ini.. sekali lagi MAKASIH....

13. Buat tetangga-tetanggaku yang sering nanyain...(kapan wisudanya...??), kalian udah memotivasi penulis secara ga langsung.. Buat rini,, (makasih ya, sering denger curhatku,,,), buat b’Adrie (terima kasih atas persahabatannya yang singkat...!!!). TERIMA KASIH BANYAK..

14. Buat seluruh respondent yang telah meluangkan waktunya untuk mengisi skala penelitian,,, TERIMA KASIH,,,bantuan kalian sangat berharga... 15. Buat semua pihak yang telah membantu penulis yang mungkin tidak bisa

disebutkan SATU PERSATU. MAKASIH BANYAK....

(7)

guna menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya, kepada Allah SWT penulis berserah diri, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan menambah wacana dan referensi bagi para pembacanya. AMIN.

Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih. Wassalam

Medan, 2007

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………... i

KATA PENGANTAR………... ii

DAFTAR ISI……… vi

DAFTAR TABEL……….... x

DAFTAR GAMBAR……… xi

DAFTAR LAMPIRAN……… xii

BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah ……… 1

I.B. Tujuan Penelitian ……….. 9

I.C. Manfaat Penelitian ………. 10

I.D. Sistematika Penelitian ………. 10

BAB II LANDASAN TEORI II.A. Religiusitas II.B.1. Definisi religiusitas ………... 12

II.B.2. Fungsi agama ……… 13

II.B.3. Dimensi-dimensi religiusitas……….. 15

II.B. Penyesuaian Perkawinan II.B.1. Definisi perkawinan ………... 20

II.B.2. Perkawinan dalam Islam ……….... 21

II.B.3. Tahapan perkawinan …….. ………... 23

(9)

II.B.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan….……… 27 II.B.6. Kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan………….. 29 II.C. Dewasa Dini

II.C.1. Definisi dewasa dini……….. 31 II.C.2. Tugas-tugas perkembangan masa dewasa dini…………. 32 II. D. Hubungan antara religiusitas dengan penyesuaian perkawinan

pada dewasa dini muslim………. 33 II.E. Hipotesa Penelitian ………... 37 BAB III METODE PENELITIAN

III. A. Identifikasi variabel……… 39 III.B. Definisi operasional variabel

III.B. 1. Religiusitas ……….. 39 III.B.2. Penyesuaian perkawinan ……….. 40 III.C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel

III.C.1. Populasi dan sampel ………. 40 III. C.2. Metode pengambilan sampel ……….. 42 III.C.3. Jumlah subjek penelitian………... 42 III.D. Metode Pengumpulan Data

III.D.1. Skala religiusitas ... 43 III.D.2. Skala penyesuaian perkawinan ……… 45 III.E. Validitas dan reliabilitas alat ukur

(10)

III.E.2. Reliabilitas alat ukur………... 48 III.E.3. Hasil ujicoba alat ukur penelitian

III.E.3.a. Hasil ujicoba alat ukur religiusitas……… 48 III.E.3.b. Hasil ujicoba alat ukur penyesuaian perkawinan... 51 III. F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

III.F.1. Tahap persiapan ……… 53 III.F.2. Tahap pelaksanaan ………... 55 III.G. Metode analisa data ……… 55 BAB IV : ANALISA DAN INTERPRETASI DATA

IV.A. Gambaran Subjek Penelitian

IV.A.1. Berdasarkan jenis kelamin………... 57 IV.A.2. Berdasarkan penghasilan………... 58 IV.B. Hasil Penelitian………... 58

IV.B.1. Hasil uji asumsi penelitian

IV.B.1.a. Uji normalitas sebaran……….. . 59 IV.B.1.b. Uji linieritas hubungan………... 60

IV.B.2. Kategorisasi Data Penelitian

IV.B.2.a. Kategorisasi Skor Religiusitas……….. 62 IV.B.2.b. Kategorisasi Skor Penyesuaian Perkawinan…… . 63 IV.B.3. Hasil uji hipotesa………... 64 IV.C. Hasil Tambahan Penelitian

(11)

BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

V.A. Kesimpulan……….. 67

V.B. Diskusi……….. 68

V.C. Saran V.C.1. Saran Metodologis………... 74

V.C.2. Saran Praktis………. 74

DAFTAR PUSTAKA………. 76

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Bobot nilai pernyataan skala religiusitas………. .... 44

Tabel 2.Blue print skala religiusitas I sebelum Ujicoba………. 44

Tabel 3.Blue print skala Religiusitas II sebelum Ujicoba……… 45

Tabel 4.Bobot nilai pernyataan skala penyesuaian perkawinan………… 46

Tabel 5.Blue print skala penyesuaian perkawinan sebelum Ujicoba…… 46

Tabel 6.Blue print skala religiusitas I setelah Ujicoba……….. 49

Tabel 7.Blue print Skala religiusitas I untuk penelitian……… 50

Tabel 8.Blue print Skala religiusitas II setelah uji coba………. 50

Tabel 9.Blue print Skala religiusitas II untuk penelitian……… 51

Tabel 10. Blue print Skala penyesuaian perkawinan setelah uji coba…… 52

Tabel 11.Blue print Skala penyesuaian perkawinan untuk penelitian…… 52

Tabel 12.Penyebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin……… 57

Tabel 13. Penyebaran Subjek Berdasarkan penghasilan……… 58

Tabel 14. Hasil Uji Normalitas………... 60

Tabel 15. Deskripsi skor Skala Religiusitas………... 62

Tabel 19. Kategorisasi Variabel Religiusitas………... 62

Tabel 20. Deskripsi skor Skala penyesuaian perkawinan………. 63

Tabel 21. Kategorisasi Variabel Penyesuaian Perkawinan……… 63

Tabel Hubungan antara religiusitas dengan penyesuaian perkawinan.... 65

Tabel 22. Penyesuaian perkawinan ditinjau dari jenis kelamin……… 65

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Scatterplot hubungan religiusitas dengan

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A ... 79

Lampiran B ... 110

Lampiran C ... 133

Lampiran D ... 136

(15)

ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Januari 2008

Fitri Yunita Sari : 031301032

Hubungan Religiusitas dengan Penyesuaian Perkawinan pada Dewasa Dini Muslim

Xi + hal + Tabel + Gambar + Lampiran Bibliografi (1964-2006)

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan religiusitas dengan penyesuaian perkawinan pada dewasa dini muslim. Berdasarkan fenomena yang ada, bahwa angka perceraian yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Secara konseptual religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut seseorang sedangkan penyesuaian perkawinan adalah proses membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda sebagai hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami istri.

Subjek penelitian ini berjumlah 95 orang dewasa dini yang berusia 18-40 tahun, telah menikah selama minimal 4 bulan hingga maksimal 2 tahun, belum memiliki anak dan beragama Islam. Tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah incidental sampling. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan analisa korelasi pearson product moment untuk melihat hubungan religiusitas (independent variable) dengan penyesuaian perkawinan (dependent variable) pada dewasa dini muslim. Alat ukur yang digunakan adalah skala religiusitas yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan dimensi-dimensi religiusitas Islam yang dikemukakan oleh Suroso (2005) dan skala penyesuaian perkawinan yang disusun oleh peneliti berdasarkan kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan yang dikemukakan oleh Hurlock (1999).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang positif dengan nilai korelasi (rxy)sebesar 0,421 dengan p = 0,00 yang artinya semakin tinggi religiusitas maka semakin baik penyesuaian perkawinan pada dewasa dini muslim. Sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin buruk penyesuaian perkawinan pada dewasa dini muslim. Kontribusi religiusitas terhadap penyesuaian perkawinan pada dewasa dini muslim adalah sebesar 18%. Hal ini terlihat dari nilai R-Square yang diperoleh dari hubungan religiusitas dengan penyesuaian perkawinan sebesar 0,18.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A.Latar Belakang Masalah

Perkawinan selalu dianggap sebagai hal yang memuaskan dan berharga,

namun dalam sebuah hubungan baik itu perkawinan maupun hubungan

interpersonal lainnya, masalah tidak dapat dihindarkan karena pada dasarnya

sebuah perkawinan terdiri dari dua orang yang mempunyai kepribadian, sifat dan

karakter yang berbeda (Rini, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Parrot dan

Parrot (dalam Beroncal, 2003) menunjukkan bahwa sekitar 49% pasangan

mengalami masalah dalam perkawinannya. Pasangan yang merasa tidak dapat

mengatasi masalah yang terjadi dalam perkawinannya akan memilih jalan keluar,

yang salah satunya adalah bercerai.

Dari waktu ke waktu, kasus perceraian tampaknya terus meningkat.

Maraknya tayangan infotainment di televisi yang menyiarkan parade artis dan

public figure yang mengakhiri perkawinan mereka melalui meja pengadilan,

seakan mengesahkan bahwa perceraian merupakan trend. Fenomena perceraian

marak terjadi bukan hanya di kalangan artis atau public figure saja. Di dalam

keluarga sederhana, bahkan di dalam lingkungan pendidik, lingkungan yang

tampak religius, perceraian juga banyak terjadi (dalam “Derita Anak Korban

Perceraian”).

Meningkatnya angka perceraian dari pasangan orang-orang yang telah

(17)

pasangan muda (dalam ”mengapa harus bercerai?”). Angka perceraian dari tahun

ke tahun semakin meningkat. Di kota Medan, pada tahun 2002 ditemukan

sebanyak 933 kasus perceraian, tahun 2003 ditemukan sebanyak 967 kasus

perceraian dan tahun 2004 ada sebanyak 1035 kasus perceraian yang terjadi

(dalam ”selingkuh dominasi perceraian di Medan”). Kenyataan menunjukkan

kemungkinan besar perceraian terjadi pada tahun pertama perkawinan, dengan

puncaknya antara dua dan empat tahun awal perkawinan

(Newman & Newman, 2006).

Perceraian banyak yang terjadi pada pasangan usia dewasa dini. Biasanya

usianya berkisar antara 20 hingga 30 tahun. Namun, kebanyakan yang usia

perkawinannya masih baru, misalnya baru berjalan dua tahun (dalam ”selingkuh

Dominasi Perceraian di Medan”). Bahkan ada yang usia perkawinannya belum

genap satu tahun (dalam ” Saat-saat kritis Perkawinan”).

Dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola

kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa dini diharapkan

memainkan peran baru seperti peran suami/istri, orang tua dan pencari nafkah dan

mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai

dengan tugas-tugas baru ini (Hurlock,1999).

Pada masa dewasa dini gaya hidup baru yang paling menonjol adalah di

bidang perkawinan dan peran orang tua (Hurlock, 1999).

Menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 1 menyatakan

(18)

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001).

Kehidupan sebagai seorang istri atau suami dikukuhkan oleh suatu

pelantikan yang dinamakan “perkawinan”, maka begitu perkawinan mensyahkan

mereka sebagai suami dan istri, secepat itu pula mereka harus belajar menjadi

teman hidup. Mereka harus belajar bagaimana hidup bersama, mengatur hidup

bersama dalam ikatan sebagai laki-laki dan seorang perempuan (Rifai, 1993).

Dalam kehidupan perkawinan itu harus memberdayakan diri untuk

menerima kelebihan sekaligus kekurangan pasangan (Hassan, 2005).

Masing-masing individu perlu menyesuaikan diri pada pasangannya dan mengubah diri

agar bisa menyesuaikan diri (Munandar, 2001). Landis (dalam Ricardo, 2005)

menyatakan bahwa permulaan dari konflik dan masalah-masalah penyesuaian

adalah empat bulan pertama perkawinan. Pada tahun pertama dan kedua,

pasangan suami istri biasanya harus melakukan penyesuaian perkawinan satu

sama lain (Hurlock, 1999).

Masa awal perkawinan merupakan yang paling kompleks, sulit dan

merupakan masa penyesuaian atau masa adaptasi (Munandar, 2001). Hal ini dapat

dilihat dari penuturan seorang ibu rumah tangga, sebagai berikut :

”Tahun-tahun pertama perkawinan kami, saya rasakan sangat sulit. Ada kebahagiaan tetapi lebih banyak ributnya...”(dalam Budiman, 2000).

Menurut Clinebell dan Clinebell (2005) mengatakan bahwa krisis muncul

saat pertama kali memasuki perkawinan. Biasanya tahap berlangsung selama dua

sampai lima tahun. Kedua pasangan harus banyak belajar tentang pasangan

(19)

pertama perkawinan biasanya pengalaman bersama belum banyak sehingga

diperlukan proses penyesuaian diri tidak hanya dengan pasangan hidup tapi juga

dengan kerabat-kerabat yang ada.

Sadli (dalam wahyuningsih, 2002) juga menyatakan bahwa perkawinan

menuntut pasangan suami istri untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya.

Penyesuaian diri dengan pasangan diperlukan agar tercapai keharmonisan

perkawinan. Jika seseorang tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik maka

kehidupan perkawinannya akan buruk dan berakhir dengan perceraian. Hal ini

juga sesuai dengan yang telah dikemukakan oleh Hurlock (1999) yang

menyatakan bahwa perceraian bisa diakibatkan karena kegagalan penyesuaian

perkawinan sehingga terjadi ketidakpuasan dalam perkawinan itu sendiri.

Penyesuaian diri dalam perkawinan itu memiliki beberapa bentuk. Dari

sekian banyak masalah penyesuaian, empat pokok yang paling umum dan paling

penting bagi kebahagiaan perkawinan, yaitu penyesuaian dengan pasangan,

penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan keluarga

dari pihak masing-masing pasangan. Penyesuaian diri yang sehat akan membawa

pada suatu kondisi perkawinan yang bahagia begitu juga sebaliknya, individu

yang gagal dalam menyesuaikan diri akan mengalami kemelut dalam perkawinan

mereka (Hurlock, 1999).

Banyak literatur mengenai penyesuaian perkawinan dikaitkan dengan

kebahagiaan perkawinan atau kepuasan perkawinan. Orang yang bahagia atau

puas dengan perkawinannya dikatakan memiliki penyesuaian perkawinan yang

(20)

dikatakan memiliki penyesuaian perkawinan yang buruk (Dyer dalam

Wahyuningsih, 2002).

Penyesuaian perkawinan bukan merupakan sesuatu yang mudah. Sulitnya

penyesuaian dalam perkawinan dikarenakan kedua individu yang menikah

memiliki latar belakang yang berbeda seperti nilai, sifat, karakter atau

kepribadian, agama, suku bangsa serta kelebihan dan kelemahan. Semua aspek

tersebut akan mempengaruhi dalam berfikir, bersikap atau bertindak

(Hurlock, 1999).

Penyesuaian seperti ini biasanya terjadi sangat lama dan dipengaruhi oleh

berbagai faktor psikologis, tetapi dapat dipastikan bahwa wanita mengalami

banyak kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri. Sementara laki-laki lebih

mampu menyesuaikan diri dibandingkan wanita dikarenakan kemampuan mereka

yang cenderung lebih rasional dalam menyelesaikan masalah (Ibrahim, 2002).

Sedangkan berdasarkan kelas sosial, Le Master (dalam Dyer,1983)

menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan dan stabilitas perkawinan akan lebih

baik pada kelas sosial menengah atas. Perkawinan pada kelas sosial rendah rentan

terhadap stres dan tekanan yang berkaitan dengan pekerjaan, pendapatan rendah,

pengangguran, perumahan yang buruk, masalah kesehatan dan lain-lain.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan. Salah

satu faktornya adalah karakteristik demografi yang dimiliki suami/istri yang

meliputi agama.

Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem yang

(21)

bersikap dan bertingkah laku, agar sejalan dengan keyakinan agama yang

dianutnya (Jalaluddin, 2004).

Seligman dan Csikszentmihalyi menjelaskan bahwa nilai-nilai yang

terkandung dalam ajaran agama penting untuk mengatasi berbagai masalah

psikologis, yaitu dengan cara membangun emosi positif (Jufri, 2004). Kehidupan

keagamaan memberikan kekuatan jiwa bagi seseorang untuk menghadapi

tantangan dan cobaan hidup, memberikan bantuan moral dalam menghadapi krisis

serta menimbulkan sikap rela menerima kenyataan sebagaimana yang telah

ditakdirkan Tuhan (Meichati dalam Jufri, 2004). Selain itu hidup beragama yang

baik akan memberikan ketenangan jiwa yang sangat dalam dan akan memberikan

kemmapuan diri menghadapi setiap permasalahan dengan baik (Basri, 1999).

Shadily (1989) menyatakan ada tiga istilah yang merujuk pada agama,

yaitu agama itu sendiri, religi dan din. Berdasarkan pada istilah agama dan religi

muncul istilah religiusitas. Dimana religiusitas mengacu pada aspek religi yang

dihayati oleh individu di dalam hati (Mangunwijaya, 1982).

Religiusitas memiliki peranan dalam penyesuaian diri. Penelitian oleh

Bergins, Masters dan Richards (dalam Astuti, 1999) yang hasilnya bahwa individu

yang religius (dalam arti benar-benar menginternalisasikan

kepercayaan-kepercayaan agama mereka dan hidup dengan aturan agama itu secara tulus dan

ikhlas), dapat menyesuaikan diri dengan baik dan jarang mengalami kecemasan.

Locke (dalam Dyer, 1983) melakukan penelitian dengan membandingkan

200 pasangan yang bercerai dan 200 pasangan yang berbahagia, ditemukan bahwa

(22)

Landis dan Landis (dalam Wahyuningsih, 2002) mengemukakan bahwa

religiusitas memiliki peranan dalam perkawinan, termasuk dalam penyesuaian

perkawinan. Hal ini dikarenakan religiusitas dapat mempengaruhi pola pikir dan

perilaku dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalani kehidupan

perkawinan.

Schneider (1964) juga mengemukakan bahwa kehancuran moral dan

kehilangan keyakinan beragama dan praktiknya sering menjadi awal kekacauan

dalam rumah tangga. Kekacauan yang terjadi dalam rumah tangga

mengindikasikan penyesuaian perkawinan yang buruk.

Agama berisikan aturan-aturan dan kewajiban yang harus dilaksanakan

berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang

dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia serta alam sekitarnya. Dan

orang-orang yang religius akan menjalankan aturan-aturan agamanya dengan

patuh (Astuti, 1999). Dalam setiap agama, terdapat hukum dan nilai-nilai yang

mengatur tentang perkawinan. Nilai-nilai yang terdapat pada ajaran agama

tersebut yang akan menuntun bagaimana setiap individu menjalankan kehidupan

perkawinannya

Dengan demikian orang yang religius akan menjalankan kehidupan

perkawinannya berdasarkan nilai-nilai dan aturan agamanya, sehingga akan lebih

mudah dalam menjalani kehidupan perkawinan karena telah memiliki aturan

(23)

kebahagiaan dalam rumah tangga yang merupakan kriteria keberhasilan

penyesuaian perkawinan.

Islam merupakan salah satu bentuk agama yang diakui di Indonesia dan

mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Didalam ajaran agama Islam

juga menjelaskan mengenai perkawinan (dalam ”nasihat perkawinan”).

Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an

dan As-Sunnah. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali,

sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin

Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi

wa sallam :

"Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi". (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).

Berdasarkan hadis di atas jelaslah bahwa perkawinan itu menjadi pokok

pembahasan yang besar di dalam Islam. Islam sangat menganjurkan pemeluknya

untuk melakukan perkawinan. Oleh karena itu, di dalam Alquran dan hadis,

perkawinan itu sangat ditekankan.

Perkawinan bagi seorang laki-laki menuntutnya untuk bersedia

menyandang peran baru selaku seorang suami sekaligus kepala rumah tangga

dengan segala konsekuensi yang harus diembannya. Dan bagi seorang perempuan

perkawinan yang dialaminya mengharuskan baginya untuk menerima peran

sebagai seorang istri yang juga harus mengemban segala konsekuensinya.

Kesemua peran baru tersebut haruslah sesuai dengan aturan dan syariat yang telah

(24)

Ketika suami dan istri telah menjalankan perannya masing-masing sesuai

dengan kewajibannya yang telah diatur dalam agama, maka akan menciptakan

kebahagiaan antara suami dan istri dimana hal ini merupakan salah satu kriteria

keberhasilan penyesuaian perkawinan.

Shalih (2005) juga menjelaskan bahwa unsur utama kebahagiaan rumah

tangga adalah cinta dan ketaatan suami istri kepada Allah, sebab hanya Allah yang

dapat mengharmoniskan, memberkahi dan mengakrabkan hati suami istri. Jadi

kian teguh komitmen terhadap ajaran Allah, kian dalam juga kebahagiaan di

dunia dan akhirat. Membangun rumah tangga muslim berdasarkan pemilihan

pasangan yang baik, dan dasar-dasar yang kuat pasti akan memberikan

kebahagiaan rumah tangga.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat sejauhmana

hubungan antara religiusitas dengan penyesuaian perkawinan pada dewasa dini

muslim.

I.B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauhmana hubungan antara

religiusitas dengan penyesuaian perkawinan pada dewasa dini.

I.C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

(25)

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pada Psikologi

khususnya pada bidang Psikologi Perkembangan, untuk mengetahui

sejauhmana hubungan antara religiusitas dan penyesuaian perkawinan

pada dewasa dini muslim.

2. Manfaat praktis

 Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dari

pembacanya khususnya pasangan yang telah menikah tentang

bagaimana penyesuaian dalam kehidupan perkawinan bila

dikaitkan dengan religiusitas dari pasangan hidup baik itu suami

atau istri.

 Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi

pasangan-pasangan yang akan menikah dalam melakukan

penyesuaian perkawinan.

 Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi

praktisi psikologi khususnya bagi psikolog perkawinan.

I.D. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Bab I berisi uraian latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat

(26)

BAB II : Landasan Teori

Bab II menguraikan mengenai landasan teori yang mendasari masalah

objek penelitian. Landasan teori yang digunakan adalah mengenai

religiusitas, penyesuaian perkawinan, dewasa dini, hubungan antara

religiusitas dengan penyesuaian perkawinan, dan hipotesa penelitian.

BAB III : Metode Penelitian

Bab III berisi uraian mengenai identifikasi variabel penelitian, defenisi

operasional variabel penelitian, populasi, sampel dan metode pengambilan

sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur,

prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisa data yang digunakan

untuk mengolah hasil data penelitian.

BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data

Bab IV berisi uraian mengenai gambaran subjek penelitian, hasil

penelitian dan deskripsi data penelitian.

BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan saran

Bab V berisi uraian mengenai kesimpulan hasil penelitian, hasil diskusi

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Religiusitas

II.A.1. Definisi religiusitas

Harun nasution (dalam Jalaluddin, 2004) membedakan pengertian agama

berdasarkan asal kata, yaitu al-din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-din

berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini

mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, dan kebiasaan. Sedangkan dari

kata religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan atau membaca. Kemudian

religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a= tidak ; gam = pergi,

mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun temurun.

Nasution (1986) menyatakan bahwa agama mengandung arti ikatan yang

harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari salah

satu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia sebagai kekuatan gaib yang

tidak dapat ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang

besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari.

Menurut Uyun (1998) agama sangat mendorong pemeluknya untuk

berperilaku baik dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya serta giat

berusaha untuk memperbaiki diri agar menjadi lebih baik.

Berdasarkan pada istilah agama dan religi muncul istilah religiusitas.

Dalam psikologi konsep ini sering disebut sebagai religiusitas. Hal ini perlu

(28)

kelembagaan yang bergerak dalam aspek-aspek yuridis, aturan dan hukuman

sedangkan religiusitas lebih pada aspek ‘lubuk hati’ dan personalisasi dari

kelembagaan tersebut (Shadily, 1989).

Mangunwijaya (1982) juga membedakan istilah religi atau agama dengan

istilah religiusitas. Agama menunjuk aspek formal yang berkaitan dengan

aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban sedangkan religiusitas mengacu pada

aspek religi yang dihayati oleh individu di dalam hati.

Pengertian religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukan oleh

Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan,

seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa

dalam penghayatan agama yang dianut seseorang.

Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

religiusitas merupakan suatu keyakinan dan penghayatan akan ajaran agama yang

mengarahkan perilaku seseorang sesuai dengan ajaran yang dianutnya.

II.A.2. Fungsi agama

Menurut Jalaluddin (2004) agama memiliki beberapa fungsi dalam

kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut :

a. Fungsi edukatif

Ajaran agama memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Dalam hal ini

bersifat menyuruh dan melarang agar pribadi penganutnya menjadi baik dan

(29)

b. Fungsi penyelamat

Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah

keselamatan yang meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat.

c. Fungsi perdamaian

Melalui agama, seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai

kedamaian batin melalui tuntunan agama.

d. Fungsi pengawasan sosial

Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal

ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun

kelompok.

e. Fungsi pemupuk rasa solidaritas

Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki

kesamaan dalam kesatuan ; iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan

membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan

kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh.

f. Fungsi transformatif

Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau

kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang

dianutnya, kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang

dipeluk kadangkala mampu merubah kesetiaannya kepada adat atau norma

(30)

g. Fungsi kreatif

Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja

produktif bukan saja untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk

kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara

rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan

inovasi dan penemuan baru.

h. Fungsi sublimatif

Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat

agama ukhrawi melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia

selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama bila dilakukan atas

niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi agama bagi

manusia yaitu fungsi edukatif, fungsi penyelamat, fungsi perdamaian, fungsi

pengawasan sosial, fungsi pemupuk solidaritas, fungsi transformatif, fungsi

kreatif dan fungsi sublimatif.

II.A.3. Dimensi-dimensi religiusitas

Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005), ada 5 dimensi religiusitas

(keagamaan) yaitu :

a. Dimensi keyakinan / ideologik

Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius

(31)

kebenaran doktrin tersebut. Misalnya keyakinan akan adanya malaikat,

surga dan neraka.

b. Dimensi praktik agama / peribadatan

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus formal

keagamaan, ketaan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan

komitmen terhadap agama yang dianutnya.

Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu :

1. Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal

dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk

melaksanakannya.

2. Ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas

publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat

tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan,

informal dan khas pribadi.

c. Dimensi pengalaman

Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi

dan sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu

kelompok keagamaan (atau masyarakat) yang melihat komunikasi,

walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan yaitu dengan Tuhan,

(32)

d. Dimensi Pengetahuan Agama

Dimensi ini mengacu pada harapan bagi orang-orang yang beragama

paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai

dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.

e. Dimensi Konsekuensi

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan

keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke

hari. Dengan kata lain, sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi

perilakunya.

Perspektif Islam tentang religiusitas dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah :

(208), yang artinya :

Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syeitan. Sesungguhnya syeitan itu musuh nyata bagimu” (Albaqarah :208).

Islam menyuruh umatnya untuk beragama secara menyeluruh, tidak hanya

pada satu aspek saja melainkan terjalin secara harmonis dan berkesinambungan.

Isalam sebagai suatu sistem yang menyeluruh terdiri dari beberapa aspek atau

dimensi. Setiap muslim baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak harus

didasarkan pada Islam.

Esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang

mengaskan Allah Yang Maha Esa, pencipta yang mutlak dan transeden, penguasa

segala yang ada. Searah dengan pandangan Islam, Glock dan Stark

(dalam Ancok dan Suroso, 2005) menilai bahwa kepercayaan keagamaan adalah

(33)

Suroso (2005) menyatakan bahwa rumusan Glock dan Stark yang

membagi keberagaman menjadi lima dimensi dalam tingkat tertentu mempunyai

kesesuaian dengan Islam. Keberagaman dalam Islam bukan hanya diwujudkan

dalam bentuk ibadah ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya.

Sebagai suatu sistem Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara

menyeluruh pula.

Menurut Suroso (2005) dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan

akidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah dan dimensi

pengamalan dengan akhlak, dimensi pengetahuan dengan Ilmu dan dimensi

pengalaman dengan ihsan (penghayatan).

Dimensi keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada seberapa tingkat

keyakinan Muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap

ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam keberislaman, isi

dimensi ini menyangkut keyakinan tentang allah, para malaikat, Nabi dan Rasul,

kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar.

Dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah menunjuk pada

seberapa tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual

sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam keberislaman,

dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat,puasa, zakat, haji, membaca

Alquran, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di masjid pada bulan puasa dan

sebagainya.

Dimensi pengamalan atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan

(34)

individu berelasi dengan dunianya terutama dengan manusia lainnya. Dalam

keberislaman, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama,

berderma, menyejahtrakan dan menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan

keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup,

menjaga amanat,tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak

meminum minuman yang memabukkan, mematuhi norma Islam dalam perilaku

seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam dan sebagainya.

Dimensi pengetahuan atau Ilmu menunjuk pada seberapa tingkat

pengetahuan dan pemahaman Muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama

mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, terutama mengenai ajaran pokok

dari agamanya sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dalam keberislaman,

dimensi ini mneyangkut tentang pengetahuan tentang isi Alquran, pokok-pokok

ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Iman dan rukun Islam),

hukum-hukum Islam, Sejarah Islam dan sebagainya.

Dimensi pengalaman atau penghayatan menunjuk pada seberapa jauh

tingkat Muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan

pengalaman-pengalaman religius. Dalam keberislaman, dimensi ini terwujud

dalam perasaan dekat dengan Allah, perasaan doa-doanya sering terkabul,

perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakal

(pasrah diri secara positif) kepada Allah, perasaan khusuk ketika melaksanakan

shalat dan doa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat alquran,

perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan

(35)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

dimensi-dimensi religiusitas dalam Islam yaitu dimensi keyakinan atau akidah

Islam, dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah, dimensi pengamalan

atau akhlak, dimensi pengetahuan atau Ilmu dan dimensi pengalaman atau

penghayatan.

II.B. Penyesuaian Perkawinan

II.B.1. Defenisi perkawinan

Perkawinan meskipun seringkali dibedakan dengan kata pernikahan,

sebenarnya kedua kata ini memiliki makna yang sama (dalam ”pernikahan”).

Menurut Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974 menyatakan perkawinan

adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan

istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001).

Perkawinan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang

didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang,

pemenuhan hasrat seksual dan menjadi lebih matang (Papalia & Olds, 1998).

Herning (dalam Munandar, 2001) menyatakan bahwa perkawinan adalah

suatu ikatan antara pria dan wanita yang kurang lebih permanen ditentukan oleh

kebudayaan dengan tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan, keterikatan ini

bersifat persahabatan, ditandai oleh perasaan bersatu dan saling memiliki.

Menurut Duval dan Miller (dalam Munandar, 2001) perkawinan adalah

(36)

hubungan seksual dan adanya kesempatan mendapatkan keturunan. Pria dan

wanita ini bertanggung jawab atas pengasuhan anak mereka dan pasangan ini

juga selama menikah memantapkan pembagian kerja antar mereka.

Sedangkan menurut Azar (dalam Walgito, 1984) perkawinan atau nikah

artinya melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara

seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara

kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk

mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang

dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai Allah. Perkawinan bukan

semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologis, melainkan untuk memenuhi kebutuhan

afeksional, yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman

dan terlindungi, dihargai dan diperhatikan oleh pasangannya.

Berdasarkan defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan

merupakan ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita sebagai sepasang suami

dan istri untuk membentuk keluarga yang sah, bahagia dan kekal guna memenuhi

kebutuhan biologis, afeksional dan adanya pembagian peran diantara keduanya.

II.B.2. Perkawinan dalam Islam

Islam adalah agama yang universal. Di dalam Islam juga membahas

mengenai perkawinan. Dalam hal perkawinan, Islam memberikan perhatian yang

cukup besar. Tidak sedikit Firman Allah yang membicarakan masalah

(37)

Selain itu para sahabat nabi, Imam-imam, tokoh-tokoh besar dalam Islam juga

banyak membahas mengenai perkawinan (dalam ”nasihat perkawinan”).

Akbar (dalam Munandar, 2001) menyatakan bahwa perkawinan

disyaratkan oleh Islam agar manusia membentuk keluarga yang hidup dalam

rumah tangga dan mendapatkan sakinah dalam hidupnya sampai akhir hayatnya

yakni ketenangan dan kebahagiaan yang kekal. Keluarga yang sakinah mawaddah

wa rahmah atau keluarga yang tentram, penuh cinta kasih, dan mendapatkan

rahmat Allah adalah wujud keluarga yang memang diamanatkan oleh Allah

tentunya menjadi dambaan setiap muslim ( Halim, 2005).

Perkawinan dalam Islam tidak semata-mata hanya untuk memuaskan

hasrat biologis masing-masing atau juga hanya untuk mendapatkan keturunan

semata-mata. Islam menginginkan agar pemeluknya melakukan perkawinan

hingga mendapatkan keturunan yang sah serta sehat jasmani, rohani dan sosial

sehingga hal itu akan mempererat serta membangun hari depan individu, keluarga

dan masyarakat yang lebih baik (Abdullah, 2004).

Syuqoh (dalam Wahyuningsih, 2002) menyatakan dalam hukum Islam,

ketika seseorang telah melakukan perkawinan maka akan terikat dengan tanggung

jawab untuk menunaikan kewajibannya agar perkawinannya bahagia. Untuk

menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut suami-istri perlu bekerja sama.

Hukum Islam menjelaskan bahwa jika akad nikah telah selesai diucapkan,

maka akad tersebut akan menimbulkan kewajiban dan hak suami-istri

(Sabiq dalam Wahyuningsih, 2002). Kewajiban merupakan konsekuensi logis dari

(38)

seorang istri. Dengan dilaksanakannya kewajiban, maka hak pasangannya akan

terpenuhi. Jika masing-masing telah mendapatkan haknya maka tercipta hubungan

yang saling menguntungkan (Wahyuningsih, 2002). Dalam menjalankan peran

sebagai suami dan istri tersebut haruslah sesuai dengan aturan dan syariat yang

telah jelas ditetapkan oleh Allah SWT beserta Rasulnya, Muhammad SAW

(Abdullah, 2004).

II.B. 3. Tahapan perkawinan

Dalam setiap perkawinan, setiap pasangan akan melewati urutan

perubahan dalam komposisi, peran, dan hubungan dari saat pasangan menikah

hingga mereka meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle

(Hill & Rodgers dalam Sigelman &Rider, 2003).

Secara umum, Anderson, Russel & Schumn (dalam Hoyer &Roodin,

2003) membagi tahapan perkawinan menjadi tahap sebelum kehadiran anak

pertama, kehadiran anak dan setelah keluarnya anak dari rumah. Sementara Cole

(dalam Lefrancois, 1993) membagi tahapan perkawinan menjadi awal

perkawinan, kelahiran dan mengasuh anak dan emptynest sampai usia tua.

1. Tahap I : Married Couple

Berdasarkan Family Life Cycle, tahap ini berlangsung selama kurang lebih

2 tahun dimulai dari pasangan menikah dan berakhir ketika anak pertama

lahir. Menurut Hurlock (1999) selama tahun pertama dan kedua

perkawinan pasangan suami istri biasanya harus melalui beberapa

(39)

a. Penyesuaian dengan pasangan

Merupakan penyesuaian yang paling pokok dan pertama kali dihadapi oleh

keluarga baru. Tidak mudah menyatukan dua orang yang berlainan jenis,

kepribadian, sifat dan juga kebiasaan-kebiasaan. Dalam penyesuaian

perkawinan yang jauh lebih penting adalah kesanggupan dan kemampuan

suami istri untuk berrhubungan dengan mesra, saling memberi dan

menerima cinta.

b. Penyesuaian seksual

Masalah ini merupakan saah satu penyesuaian yang mengakibatkan

pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan apabila kesepakan tidak

dapat dicapai dan memuaskan. Penyesuaian seksual bagi wanita cenderung

lebih sulit untuk mengakhirinya secara memuaskan dikarenakan wanita

sejak masa bayi disosialisasikan untuk menutupi dan menekan gejolak

seksualnya dan tidak dapat dengan segera berubah untuk tidak malu-malu

menunjukkan rasa nikmat seperti perubahan sikap yang disarankan oleh

budaya suami (Rubin, dalam Hurlock 1999).

c. Penyesuaian keuangan

Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap

penyesuaian diri orang dewasa dengan perkawinannya. Suami dan istri

harus mampu menyesuaikan pemasukan dan pengeluaran dengan

kebiasan-kebiasaan karena sering kali permasalahan keuangan menjadi

(40)

d. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

Melalui perkawinan setiap orang dewasa akan secara otomatis

memperoleh sekelompok keluarga yaitu anggota keluarga pasngan dengan

usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga nenek/ kakek yang kerap kali

mempunyai minat dan nilai yang berbeda bahkan sering sekali sangat

berbeda, dari segi pendidikan, budaya dan latar belakang sosialnya. Suami

istri harus mempelajari dan menyesuaiakan diri bila tidak menginginkan

hubungan yang tegang dengan sanak saudara mereka.

2. Tahap II : Mengasuh anak (Chilrearing)

Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20

tahun. Umumnya tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun

(Duvall dalam Lefrancois, 1993).

Seiring bertambahnya usia anak maka orang tua perlu mengadakan

penyesuaian-penyesuaian sebagai mana dikatakan oleh Crnic &Booth

(dalam Sigelman &Rider,2003) bahwa stress dan ketegangan merawat

anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua

akan menambah tingkat stress orang tua (O’Brien dalam Sigelman &Rider

,2003).

3. Tahap III : Emptynest

Istilah Emptynest sendiri berarti suatu keadaan atau kondisi keluarga

setelah keluarnya anak terakhir dari rumah. Tahap ini dimulai dengan

launching anak terakhir dan berlangsung selama lebih kurang 15 tahun

(41)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan perkawinan

yaitu : tahap I disebut Married Couple, tahap II yaitu Mengasuh anak

(Chilrearing) dan tahap III yaitu tahap Emptynest.

II.B.4. Definisi penyesuaian perkawinan

Menurut Schneider (1964) menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan

adalah suatu seni dalam hidup yang terbingkai dalam kerangka tanggung jawab

dan harapan yang merupakan hal-hal yang mendasar dalam perkawinan.

Sedangkan Duval dan Miller (1985) mengatakan bahwa penyesuaian

perkawinan itu adalah proses membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda

sebagai hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima

tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami istri. Penyesuaian

perkawinan ini juga dianggap sebagai persoalan utama dalam hubungan suami

istri.

Laswell dan Laswell (1987) mengatakan konsep dari penyesuaian

perkawinan adalah dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan

kebutuhan, keinginan dan harapan. Laswell dan Laswell

(dalam wahyuningsih, 2002) juga menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan

adalah sebuah proses yang panjang karena setiap orang dapat berubah sehingga

setiap waktu masing-masing pasangan harus melakukan penyesuaian perkawinan.

Sebagai sebuah proses, penyesuaian perkawinan dilihat oleh Burgess dan

Cottrell sebagai suatu proses akomodasi dan asimilasi. Penyesuaian perkawinan

(42)

masing-masing pasangan mengubah dirinya untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya

sedangkan poses asimilasi berarti mengubah pasangannya agar sesuai dengan

dirinya (Wahyuningsih, 2002).

Menurut Hoult (dalam Wahyuningsih, 2002) penyesuaian perkawinan

merupakan perubahan sikap dan tingkah laku pada masing-masing pasangan

suami istri yang menguntungkan untuk memenuhi harapan atau tujuan

perkawinan.

Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

penyesuaian perkawinan merupakan proses membiasakan diri (beradaptasi)

dengan situasi baru sebagai suami istri untuk memenuhi harapan atau tujuan

perkawinan dan memecahkan konflik yang muncul dalam perkawinan.

II.B.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan

Schneiders (1964) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a. Penyesuaian sebelum menikah

Pada faktor ini individu yang akan menikah terlebih dahulu harus

mencapai kematangan sosial, kematangan emosional dan kematangan

seksual. Sehingga bila gagal mencapai kematangan tersebut penyesuaian

perkawinan akan sulit dilakukan.

b. Sikap terhadap perkawinan

Jika sikap pasangan terhadap perkawinan adalah sebuah ikatan yang tidak

(43)

ikatan perkawinan dan melakukan penyesuaian perkawinan yang lebih

baik.

c. Motivasi yang mendasari perkawinan

Banyak alasan seseorang itu menikah. Jika motivasi menikah hanya untuk

memenuhi kebutuhan biologis maka penyesuaian perkawinan tidak akan

terjadi. Sebaliknya jika motivasi perkawinan karena perasaan cinta,

keinginan memiliki keluarga dan anak maka penyesuaian perkawinan akan

terjadi karena dilandasi adanya tanggung jawab.

d. Pemilihan pasangan

Dalam pemilihan pasangan, kita akan memilih seseorang yang memiliki

perhatian kepada keluarganya, memiliki kematangan emosional dan

melihat kesadarannya akan tanggung jawab dalam perkawinan.

e. Karakteristik demografi yang dimiliki suami atau istri

Karakteristik yang memiliki hubungan yang signifikan dengan

penyesuaian perkawinan antara lain adalah pendapatan keluarga,

pekerjaan, urutan kelahiran, jumlah saudara yang berlainan jenis kelamin,

popularitas semasa remaja, perbedaan umur antara suami dan istri, usia

perkawinan, agama dan tingkat pendidikan suami/ istri.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi penyesuaian perkawinan yaitu penyesuaian sebelum menikah,

sikap terhadap perkawinan, motivasi yang mendasari perkawinan, pemilihan

(44)

II.B.6. Kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan

Menurut Hurlock (1999) beberapa kriteria keberhasilan dalam

penyesuaian perkawinan, yaitu :

a. Kebahagiaan suami istri

Suami istri yang bahagia yang memperoleh kebahagiaan bersama akan

membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan

bersama. Mereka juga mempunyai cinta yang matang dan mantap satu

dengan lainnya. Mereka juga dapat melakukan penyesuaian seksual

dengan baik serta dapat menerima peran sebagai orang tua.

b. Hubungan yang baik antara anak dan orang tua

Hubungan yang baik antara anak dengan orang tuanya mencereminkan

keberhasilan penyesuaian perkawinan terhadap masalah tersebut. Jika

hubungan antara anak dengan orang tuanya buruk, maka suasana rumah

tangga akan diwarnai oleh perselisihan yang menyebabkan penyesuaian

perkawinan menjadi sulit.

c. Penyesuaian yang baik dari anak-anak

apabila anak dapat menyesuaikan dirinya dengan baik dengan

teman-temannya, maka ia akan sangat disenangi oleh teman sebayanya, ia kan

berhasil dalam belajar dan merasa bahagia di sekolah. Itu semua

merupakan bukti nyata keberhasilan proses penyesuaian kedua orang

(45)

d. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat

Perbedaan pendapat diantara anggota keluarga yang tidak dapat

dielakkan, biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan,

yaitu: adanya ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi

perdamaian atau masing-masing anggota keluarga mencoba untuk saling

mengerti pandangan dan pendapat orang lain. Dalam jangka panjang

hanya kemungkinan ketiga yang dapat menimbulkan kepuasan dalam

penyesuaian perkawinan, walaupun kemungkinan pertama dan kedua

dapat juga mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perselisihan

yang meningkat.

e. Kebersamaan

Jika penyesuaian perkawinan dapat berhasil maka keluarga dapat

menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila

hubungan keluarga telah dibentuk dengan baik pada awal-awal tahun

perkawinan maka keduanya dapat mengikatkan tali persahabatan lebih

erat lagi setelah mereka dewasa, menikah dan membangun rumah atas

usahanya sendiri.

f. Penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan

Dalam keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan

kejengkelan adalah sekitar masalah keuangan. Bagaimanapun besarnya

pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan

pendapatannya sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu

(46)

usahanya dengan cara yang sebaik-baiknya, daripada menjadi seorang

istri yang selalu mengeluh karena pendapatan suaminya tidak memadai.

Bisa juga dia bekerja untuk membantu pendapatan suaminya demi

pemenuhan kebutuhan keluarga.

g. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan

Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak

keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan,

kecil kemungkinannya untuk terjadi percekcokan dan ketegangan

hubungan dengan mereka.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kriteria keberhasilan

penyesuaian perkawinan adalah kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk

memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang

baik dalam masalah keuangan dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga

pasangan.

II.C. Dewasa Dini

II.C.1. Definisi dewasa dini

Menurut Hurlock (1999) dewasa dini dimulai pada umur 18 tahun sampai

kira-kira umur 40 tahun, saat-saat perubahan fisik dan psikologis yang menyertai

berkurangnya kemampuan reproduktif.

Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong

(47)

Vaillant (dalam papalia dkk, 1998) membagi tiga masa dewasa dini yaitu

masa pembentukan, masa konsolidasi dan masa transisi. Masa pembentukan

dimulai pada usia 20 hingga 30 tahun dengan tugas perkembangan mulai

memisahkan diri dari orang tua, membentuk keluarga baru dengan pernikahan dan

mengembangkan persahabatan. Masa konsolidasi (usia 30-40 tahun) merupakan

masa konsolidasi karir dan memperkuat ikatan perkawinan, sedangkan masa

transisi sekitar 40 tahun merupakan masa meninggalkan kesibukan pekerjaan dan

melakukan evaluasi terhadap hal yang telah diperoleh.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dewasa dini

merupakan individu yang berusia antara 18-40 tahun yang telah siap menerima

peran baru dalam masyarakat.

II.C.2. Tugas-tugas perkembangan masa dewasa dini

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), tugas-tugas perkembangan

pada masa dewasa dini adalah :

1. Mulai bekerja

2. Memilih pasangan

3. Belajar hidup dengan tunangan

4. Mulai membina keluarga

5. Mengasuh anak

6. Mengelola rumah tangga

7. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara

(48)

II. D. Hubungan antara religiusitas dengan penyesuaian perkawinan pada

dewasa dini muslim

Masa dewasa dini merupakan periode yang paling banyak mengalami

perubahan. Pada masa dewasa dini gaya hidup baru yang paling menonjol adalah

di bidang perkawinan dan peran orang tua (Hurlock, 1999). Perkawinan

merupakan transisi kehidupan dewasa, yang melibatkan penerimaan peran baru

(sebagai suami atau istri) dan penyesuaian sebagai pasangan (Sigelman, 2003).

Pergantian peran ini memerlukan penyesuaian. Penyesuaian peran baru ini akan

mempengaruhi berbagai aspek kehidupan rumah tangga baik aspek fisik yaitu

peran sebagai pengurus rumah tangga, mengasuh anak dan peran tanggung jawab

penuh terhadap ekonomi keluarga maupun aspek psikis yaitu kepentingan bagi

masing-masing pasangan (Hurlock, 1999).

Dalam kehidupan Perkawinan, masing-masing individu perlu

menyesuaikan diri pada pasangannya dan mengubah diri agar sesuai

(Munandar, 2001). Hal ini disebut sebagai penyesuaian perkawinan.

Le Masters (dalam Wahyuningsih,2002) menyatakan bahwa penyesuaian

perkawinan dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan

penyesuaian atau kemampuan beradaptasi dan kemampuan memecahkan problem

yang muncul dalam perkawinan.

Penyesuaian perkawinan bukan merupakan hal yang mudah, karena

dipengaruhi oleh berbagai faktor yang salah satunya adalah faktor demografi yang

dimiliki suami atau istri. Didalam faktor demografi tersebut salah satunya

(49)

Agama merupakan sistem nilai yang akan mempengaruhi cara berfikir,

bersikap, bereaksi serta berperilaku. Dengan demikian agama berperan penting

dalam kehidupan manusia (Darajat dalam Jufri, 2004). Agama mengarahkan pada

keyakinan akan Tuhan, sikap beramal dan rendah hati, keyakinan akan

pengampunan dan doa-doa didalam kehidupan perkawinan dan keyakinan bahwa

suami atau istri akan menyediakan dirinya bagi pasangannya serta

mensejahterakan anak-anaknya, sehingga agama memiliki peranan dalam

kebahagiaan perkawinan (Schneider, 1964).

Dasar dari perkawinan adalah ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan adanya

kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tercermin dalam agama yang

dianutnya, akan memberikan tuntunan atau bimbingan kepada orang yang

memeluknya. Agama akan menuntun ke hal-hal yang baik, sehingga dengan

demikian dapat dikemukan bahwa makin kuat seseorang menganut agamanya,

maka akan mempunyai sikap yang mengarah ke hal-hal yang baik. Demikian pula

jika hal ini dikaitkan dengan perkawinan, maka agama yang dianut

masing-masing akan memberikan tuntunan atau bimbingan bagaimana bertindak

secara baik (Walgito, 1984).

Islam merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Islam adalah

agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Begitu juga mengenai perkawinan.

Islam memberikan perhatian yang cukup besar mengenai perkawinan. Tidak

sedikit Firman Allah yang membicarakan masalah perkawinan, begitu juga

dengan hadis yang merupakan sabda Rasulullah SAW.

(50)

juga menjadikan rasa kasih sayang di antara kamu. Sungguh dalam hal itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Ar-Rum :21).

" Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi". (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).

Kawin adalah sunnahku, maka barang siapa yang tidak suka sunahku, berarti bahwa ia kelak tidak suka padaku”. (Hadist Riwayat Abu Ya’la ).

“Barang siapa telah mempunyai kemampuan untuk menikah, kemudian

dia tidak menikah maka dia bukan termasuk umatku“ (Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi).

“Sejelek-jeleknya kalian adalah yang tidak menikah. Dan sehina-hina

mayat kalian adalah mayat orang yang tidak menikah” (Hadits Riwayat Bukhari).

Berdasarkan beberapa hadis di atas jelaslah bahwa perkawinan itu menjadi

pokok pembahasan yang besar di dalam Islam. Islam sangat menganjurkan

pemeluknya untuk melakukan perkawinan. Oleh karena itu, di dalam Alquran dan

hadis, perkawinan itu sangat ditekankan.

Didalam perkawinan, ketika individu memasuki perkawinan maka akan

disertai dengan adanya hak kewajiban dari suami ataupun istri sebagai

konsekuensi dari peran baru mereka. Kewajiban merupakan konsekuensi logis

dari berubahnya peran seseorang dari bujangan menjadi seorang suami atau

seorang istri. Dengan dilaksanakannya kewajiban, maka hak pasangannya akan

terpenuhi (Wahyuningsih, 2002).

Seorang suami mempunyai beberapa kewajiban terhadap istrinya, yang

meliputi hal-hal sebagai berikut : mengadakan walimah perkawinan, memberikan

nafkah, bersabar hati, berhias, bergaul, bercanda, menghibur, memimpin,

(51)

pertengkaran dan mendidik di waktu terjadinya penyelewengan, cemburu,

persetubuhan, berbuat adil ketika terjadi poligami, kelahiran anak dan perceraian

(Abdullah, 2004).

Sedangkan seorang istri wajib taat dan memenuhi hak-hak suaminya

selama ketaatannya tersebut dalam hal yang bukan maksiat dan tidak

menimbulkan bahaya serta yang terutama tidak dalam jalan untuk mendurhakai

Allah SWT. Adapun hak-hak suami pada istrinya, yaitu : tidak menolak jika

suami menginginkan ‘bersetubuh’, tidak memberikan sesuatu tanpa seijin suami,

tidak melakukan Ibadah sunnah jika suami bersamanya, tidak keluar rumah tanpa

ijin suaminya, tidak boleh membiarkan orang yang tidak disukai oleh suaminya

untuk tidur di tempat mereka (Abdullah, 2004).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa agama telah mengatur

mengenai kewajiban dan hak dari seorang suami dan istri. Ketika suami dan istri

menjalankan kewajibannya masing-masing dan saling mendukung maka akan

tercipta keluarga yang bahagia. Hal ini dikarenakan perkawinan yang sukses dan

bahagia adalah suami istri yang saling memahami dan menjalankan perannya

dengan baik dan mendukung peran pasangannya (Shalih, 2005).

Agama memberikan pengaruh terhadap individu dalam bentuk sistem

nilai, motivasi maupun pedoman hidup (Ahmad, 2007). Dalam agama berisi

tentang aturan-aturan dan kewajiban yang harus dilaksanakan berfungsi untuk

mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam

hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia serta alam sekitarnya. Dan

(52)

(Astuti, 1999). Hal ini dikarenakan religiusitas mengacu pada aspek religi (agama)

yang dihayati oleh individu di dalam hati (Mangunwijaya, 1982).

Ketika suami dan istri menjalankan perannya masing-masing sesuai

dengan kewajibannya yang telah diatur dalam ajaran agamanya, maka akan

menciptakan kebahagiaan antara suami dan istri dimana hal tersebut merupakan

salah satu kriteria keberhasilan dalam penyesuaian perkawinan.

Landis dan Landis (dalam Wahyuningsih, 2002) juga mengemukakan

bahwa religiusitas memiliki peranan dalam perkawinan, termasuk dalam

penyesuaian perkawinan. Hal ini dikarenakan religiusitas dapat mempengaruhi

pola pikir dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menjalani

kehidupan perkawinan. Kehancuran moral dan kehilangan keyakinan beragama

dan praktiknya sering menjadi awal kekacauan dalam rumah tangga

(Schneider, 1964).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika seorang muslim

menginternalisasikan ajaran agama Islam dalam kehidupan perkawinannya,

dimana hal ini tampak dari sikap dan perilaku masing-masing suami atau istri

dalam melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan istri maka akan

menciptakan kebahagiaan dalam kehidupan perkawinannya, dimana hal itu

mengindikasikan adanya penyesuaian yang baik dalam kehidupan perkawinannya.

II.E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas, maka hipotesa yang

(53)

dengan penyesuaian perkawinan pada dewasa dini muslim”. Semakin tinggi

religiusitas pada seseorang maka semakin baik penyesuaian perkawinan seseorang

atau sebaliknya semakin rendah religiusitas pada seseorang maka semakin buruk

(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional

yaitu metode yang bertujuan untuk melihat hubungan antara satu variabel dengan

variabel yang lain (Hadi, 2000). Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui

sejauhmana hubungan antara religiusitas dengan penyesuaian perkawinan pada

dewasa dini muslim.

III.A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

 Variabel X : Religiusitas

 Variabel Y : Penyesuaian Perkawinan

III.B. Defenisi Operasional Variabel penelitian

1. Religiusitas

Merupakan suatu keyakinan dan penghayatan akan ajaran agama yang

mengarahkan perilaku seseorang sesuai dengan ajaran yang dianutnya.

Religiusitas diukur dengan menggunakan skala religiusitas yang dirancang

sendiri oleh peneliti berdasarkan dimensi-dimensi religiusitas yang

dikemukakan oleh Suroso (2005), yaitu : dimensi keyakinan atau akidah

Islam, dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah, dimensi

(55)

pengalaman atau penghayatan. Semakin tinggi skor yang diperoleh dari

skala religiusitas ini maka semakin tinggi religiusitas subjek. Semakin

rendah skor yang diperoleh dari skala religiusitas maka semakin rendah

religiusitas subjek.

2. Penyesuaian perkawinan

Merupakan proses membiasakan diri (beradaptasi) dengan situasi baru

sebagai suami istri untuk memenuhi harapan atau tujuan perkawinan dan

memecahkan konflik yang muncul dalam perkawinan. Penyesuaian

perkawinan diukur dengan skala yang dirancang sendiri oleh peneliti

berdasarkan lima kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan yang

dikemukakan oleh Hurlock (1999), yaitu : Kebahagiaan suami istri,

kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat,

kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan, dan

penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan. Semakin tinggi skor

yang diperoleh subjek dari skala maka semakin baik penyesuaian

perkawinan subjek. Semakin rendah skor yang diperoleh subjek dari skala

maka semakin burukpenyesuaian perkawinan subjek.

III.C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel

III.C.1. Populasi dan sampel

Populasi adalah seluruh objek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi

dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individ

Gambar

Tabel 1 Bobot nilai pernyataan skala religiusitas
Tabel 3
Tabel 5 Blue print skala penyesuaian perkawinan sebelum Ujicoba
Tabel 6 Blue print skala religiusitas I setelah Ujicoba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sementara tujuan umum partai politik lokal sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh pasal 78 yang berbunyi: “

S2 1005 Teknologi Hasil Hutan / Keteknikan Pertanian (Minat Rekayasa Proses Pangan) Universitas Brawijaya / Malang S2 1006 Manajemen Bisnis Pangan / Minat Sistem Manufaktur /

Dari berbagai pendapat tentang pengertian belajar di atas maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang disengaja dan bertujuan sehingga

Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang daya dukung habitat gajah sumatera berdasarkan faktor biologis habitat yang meliputi intake (jumlah kebutuhan makanan) dan

Sebelum secara resmi disahkan pada tahun 1945 sebagai dasar filsafat negara, unsur-unsur Pancasila telah dimiliki dan telah melekat pada bangsa Indonesia sebagai asas

,entuk !ereaksi Grignard melalui reaksi "alida alkil atau Aril dengan magnesium logam Reaksi dilakukan dengan menambahkan "alida organik ke sus!ensi dari magnesium

Hasil penelitian menunjukkan: 1) Kepuasan konsumen berpengaruh positif signifikan terhadap keputusan pembelian konsumen, artinya semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen

` Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi petugas kes- ehatan terutama bidan dalam menurunkan risiko terjadinya malnutrisi pada balita dengan diharapkan