• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konservasi sumberdaya alam di Taman Nasional Gunung Merapi: analisis ekologi politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konservasi sumberdaya alam di Taman Nasional Gunung Merapi: analisis ekologi politik"

Copied!
270
0
0

Teks penuh

(1)

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI:

ANALISIS EKOLOGP POLlTlK

ELISABET REPELITA KUSWIJAYAh'TI

SEKOLAN PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INPORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis "KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM Dl TAMAN NASIONAL GUNUNG MERASI: ANALISIS EKOLOGI POLITIK" adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal danlatau d i i t i p dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2007

(3)

ABSTRAK

ELISABET REPELITA KUSWIJAYANTI. Konservasi Sumberdaya Alam di Taman Nasional Gunung Merapi: Analisis Ekologi Politik. Di bawah biibingan

ARYA HAD1 DHARh4AWAN dan H A W 1 KARTODIHARDJO.

Gunung Merapi terletak di Pulau Jawa bagian tengah, secara admistratif berada di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Propinsi Jawa Tengah. Semenjak tanggal 4 Mei 2004 melaiG SK Menhut 13412004, kawasan ini telah ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Pro-kontra terhadap penetapan TNGM muncul sebelum keluarnya SK penetapan, bahkan pro-kontra tersebut masih terus berlangsung sampai sekarang. Penelitian ini dilakukan di tiga kawasan yaitu. 1) Ds. Ngargomulyo, Dukun, Magelang, Jawa Tengah, 2) Kawasan Tambang Pasir Jumngjero, Ds. Ngargosoka, S m b u n g , Magelang, Jawa Tengah; 3) Kawasan Wisata Kaliurang, Ds. Hargobinangun, Pakem, Sleman, DIY pada bulan Juli 2005 dilanjutkan dengan pada bulan h i - Juli 2006. Penelitian ini bertujuan untuk 1) memetakan mekanisme akses dan hak dan 2) menganalisis konfli antara Organisasi Non-pemerintah di bidang iingkungan (Omop-L) clan Pemerintah. Hasil analisis dengan menggunakan perspektif ekologi politik menunjukkan bahwa penetapan TNGM hanya menguntungkan mereka yang tinggal di kawasan tambang pasir dan kawasan wisata dam, tetapi memberikan ketidakpastian pada mereka yang tinggal di kawasan pemukiman penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani-petemak. Penelitian ini juga mengidentifikasi bahwa konflik yang te rjadi antara Pemerintah dan Ornop-L adalah konflik wacana. Strategi untuk pengelolaan TNGM di masa depan diwankan sebagai berikut: 1) Pemerintah hendaknya memahami bagaimana mekauisme akses sumberdaya dam yang selama ini bekeja di kawasan Merapi; dan 2) Pemerintah hendaknya bekerjasama dengan organismi akar nunput untuk menerapkan kebijakan di tingkat lapangan dan bekejasama dengan Omop-L untuk mengembangkan wacana konsewasi di Indonesia.

(4)

ABSTRACT

1

ELISABET REPELlTA KUSWIJAYANTI. The Natural ~eAource Conservation in Gunuag Merapi National Park: A Political Ecology ~nalbsis. Supervised By ARYA HAD1 DHARMAWAN and HARIADI KARTODIHA&DJO.

Gunung Merapi is located in the center of ~ s v a i Island under the administration of Yogyakarta Special Province and Central Jkva Province. Since May 4", 2004, Gunung Merapi has been declared as G u n y g Merapi National Park under the decree of Minister of Forestry Number 13412004. Polemic over the declaration has been emerged before the decree issued and skll continuing after. This research has been conducted in 1) Ngargomulyo village! Dukun, Magelang, Ccntral Java Province, 2) Jurangjero sand mining area in Ngdgosoka, Srumbung, Magelang, Central Java Province and 3) Kaliurang tourism 1 destination area in Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta Special province on July 2005 and June-July 2006. This research aimed to 1) mapping natural &sources rights and access mechanism and 2) adysing conflict between ~kvironmental Non- Government Organizations (ENGOs) and Government. usidg political ecology analysis, the research S ~ ~ O W S that the declaration of Gunung M!erapi National Park

only benefiting people living in tourism destination and sadd mining area, but giving uncertainty for village's farmers. The research also (identified that the conflict between government and ENGOs is the conflift of conservation discourses. The strategy for the future development of G u n y g Merapi National Park is suggested as follows: 1) government should understand the natural resource access mechanism which has been worked in ~ u n ? n ~ Merapi and 2) government should work together with the grassroot organidtions to implement policies in the field level and with the ENGOs to develod natural resources conservation discourses.

(5)

OHak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

(6)

KONSERVASI SUMBERDAYA

ALAM

DI

TAMAN NASEQNAL GUNUNG MERAPI:

ANALISIS EKOLOGI POLITIK

ELISABET REPELITA KUSWIJAYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat

untuk

memperoleh gelar

Magister Sain pada

Program

Studi

Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAN PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis

.

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DI TAMAN

NASIONAL GUNUNG MERAPI: ANALISIS

EKOLOGI POLITIK

Nama Mahasiswa : Elisabet Repelita Kuswijayanti

N R P : PO52040321

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hariadi Kartodihardio M.S A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam Lingkungan

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.

(8)

Keagungan Tuhan Yang Maha Esa sangatlah besar dan nyata dalam kehidupan yang diciptakanNya dengan sangat sempurna Oleh karena ity puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, karunia dan pertolongan-Nya, penelitian dengan judul KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI: ANALISIS EKOLOGI POLITIK, dapat terselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsewasi sumberdaya dam di Taman Nasional Gunung Merapi dari perspektif ekologi politik: yakni dengan melakukan pemetaan mekanisme akses dan hak terhadap sumberdaya alam di kawasan Merapi sebelum dan sesudah menjadi Taman Nasional Gunung Merapi dan melakukan analisis konflik pro-kontra terhadap penetapan status Taman Nasional Gunung Merapi

Penulis menyadari penelitian ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya

bantuan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima

kasih kepada yang terhormat:

1) Dr. Ir. Sujono H. Sutjahjo, MS., selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan serta seluruh staf atas kemudahan yang diberikan dalam penyelesaian studi di IPB.

2) Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr., selaku Ketua Komisi Pembimbmg yang telah memberikan arahan penelitian dan pembahasan berbagai aspek pada proses penulisan tesis.

3) Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS., selaku Anggota Komisi Pembirnbing

yang telah memberikan masukan dan koreksi yang mendalam terhadap hasil penelitian dan proses penulisan tesis.

4) Dr. Ir. Soejo Adiwibowo, MS, selaku Penguji Luar yang telah memberikan

masukan demi penyempurnaan tesis.

5)

Dr.

Ir.

Djojo Winoto M. Sc. yang telah banyak membantu penulis selama mengikuti pendidikan di h t i t u t Pertanian Bogor, pada program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

6 ) Badan Kesatuan Bangsa

dan

Perlimdungan Masyamkat Provinsi Jawa Barat,

Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Jawa Tengah dan Badan Perencanaan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman yang telah memberikan izin untuk melakukan kegiatan penelitian.

7) Balai Konsewasi Sumber Daya Alam Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

yang memberikan kesempatan pada peneliti untuk mengakses informasi mengenai k o d i k pro-kontra Taman Nasional Gunung Merapi seoptimal mungkin.

8) Kesatuan Pemangku Hutan Perhutani Wilayah Kedu Utara yang berkedudukan di Magelang beserta segenap jajaran staf. Terima kasih atas penerimaannya selama peneliti melakukan penelitian.

9) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Y~gyakarta.

10) Dinas Pertambangan dan Energi Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang 11) Balai Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Pemerintah

(9)

12) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman 13) Balai Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Pernerintah

Daerah Kabupaten Slernan yang rnemberikan data penunjang penelitian.

14) Romo V. Kirdjito, Pr., para suster, staf Paroki Gereja Surnber, Kec. Dukun.

Terima kasih atas dukungan moril dan fasilitas akornodasi.

15) Kawan-kawan dari Organisasi Non-Pernerintah dan Organisasi Kemasyarakatan: Walhi Pusat, Walhi DIY, Lessan, Yawama, Kappala Indonesia, Pasag Merapi, GMCA, Perdikan, dan GORO. Terima kasih atas informasi clan pendampingan di lapangan.

16) Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto, selaku Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Kraton Yogyakarta. Terirna kasih atas penerimaan dan informasi yang diberikan.

17) Masyarakat desa Ngargomulyo, desa Ngargosoka, dan desa Hargobinangun. Terirna kasih atas kesediaan rnenerima penulis dengan tulus.

18) Osi, Tini, Chana, dan sernua ternan-teman PSL angkatan 2004.

Penulis mempersernbahkan tesis ini untuk keluarga tercinta: Romy dan Bintang yang memberikan perhatian dan kasih selama penulis menempuh pendidikan di IPB.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis rnengharapkan berbagai masukan d a l m 3paya penyempurnaan tesis ini. Sekian dan terirna kasih.

(10)

Penulis dilahirkan di Yogyakarta, pada tanggal 6 Februari 1969 dari ayah bernama Yohanes Babtista Soenarjono (alm.) dan ibu bernama Theresia Soekartinah. Penulis merupakan putri keempat dari empat bersaudara.

Tahun 1993, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu Hubungan Intemasional, Universitas Gadjah Mada yang berlokasi di Yogyakarta

Tahun 1994-1998, penulis bekerja sebagai Redaktur di Majalah Eksekutif- majalah yang mengupas dunia bisnis dan manajemen, berlokasi di Jakarta. Pada tahun 1995-1997 penulis mendapatkan pelatihan Leadership for Environment and Development dari Lead International yang bekerjasama dengan Rockefeller Foundation. Pelatihan diadakan di Jakarta dan di Costa Rica (Amerika Tengah), Okinawa (Jepang), dan Zimbabwe (Afrika Selatan).

Tahun 1998-2000, penulis bekerja sebagai Redaktur di Majalah Indikator, majalah yang mengupas dunia ekonomi politik, berlokasi di Jakarta. Di samping itu pada tahun 1997-1998 penulis bekerja sebagai staf paruh waktu pada Yayasan Syarifa yang bergerak di bidang Komunikasi Lingkungan Hidup, berlokasi di Jakarta.

Tahun 2000-2002, penulis bekerja sebagai Staf pada Marketing and Communication Group, Kantor Pusat LippoBank, berlokasi di Lippo Karawaci, Tangerang.

Penulis menikah dengan Ronny Agustinus pada bulan September 2001, dan kini memiliki satu orang putera bernama Maro Bintang Timurlangit (4 th.)

(11)

DAFTAR

IS1

Haiaman

DAFTAR IS1

...

DAFTAR TABEL

...

DAFTAR GAMBAR

...

I. PENDAHULUAN

1 .l. Latar Belakang

. .

... ...

.

1.2. Kemgka Pem~kuan

...

...

1.3. Perumusan Masalah

. .

...

...

.

1.4. Tujuan Penelitian

...

... ...

1.5. Manfaat Penelitian

...

11.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konservasi dalam Perspektif Biofisik dan Ekonomi

...

11

2.2. Globalisasi Wacana Pengelolaan Sumberdaya Alam clan Keanekaragaman l~ayati

...

15

2.3. Konservasi dalam Perspektif Pergerakan Sosial di Negara Dunia 111

...

18

2.4. Ekologi Politik Kawasan Konservasi

...

23

2.5. Teori Akses

... ...

32

2.6. Teori Konflik Sumberdaya Alam

...

34

111. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

...

39

3.2. Rancangan Penelitian

...

40

3.2.1. Metode Pengumpulan Data

...

40 3.2.2. Metode Analisis Data

...

...

. . .

4 1

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sejarah Pemanfaatan, Pengelolaan, dan Konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Merapi

...

4.1.1. Sejarah Pola Pemanfaatan Kawasan Merapi oleh

Masyarakat Lokal

..

..

. .

.

.

.

.

.

. .

.

. . .

. .

.

. .

. . .

.

. .

.

. . ...

4.1.2. Sejarah Pemikiran Perubahan Pola Pengelolaan dan

Pemanfaatan Gunung Merapi Sampai Dengan

Munculnya SK Penetapan TNGM

.

.

.

. . .

. .

. . .

4.1.3. Sejarah Konflik Sumberdaya Alam di Kawasan

Merapi

...

.. . . .. . .

.

.

..

..

.

.

. . . . .. . .

....

. . .

. ..

. .. . .

.

. . . ... . ..

. .

.. . .

.

..

4.2. Identifikasi Aktor, Peran, dan Kepentingannya

...

4.2.1. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Daerah Istimewa

Yogyakarta

...

...

....

...

4.2.2. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa

Yogyakarta

... ...

...

...

.

...

...

(12)

4.2.4. Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman

...

4.2.5. Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang

...

4.2.6. Masyarakat di Kawasan Penyangga TNGM

...

4.2.7. Organisasi Non-Pemerintah untuk Lingkungan

...

4.2.8. Organisasi Akar Rurnput

...

4.2.9. Organisasi Kemasyarakatan

...

4.3. Dinamika Politik Organisasi Gerakan Lingkungan dan

Kernasyarakatan

...

...

4.3.1. Organisasi Non-Pemerintah untuk Lingkungan

...

4.3.2. Organisasi k a r Rurnput

...

4.3.3. Organisasi Kernasyarakatan

4.3.4. Pola Interaksi Organisasional Penyelamatan

...

Lingkungan TNGM

...

4.4. Analisis Akses dan Hak Sumberdaya Alam di TNGM

...

4.4.1. Akses Sumberdaya Alam di Tiga Kawasan Studi 4.4.2. Dominasi Akses Sumberdaya Alam di Tiga

...

Kawasan Studi

...

4.4.3. Keadilan Akses di Tiga Desa

4.4.4. Ikhtisar

...

4.5. Analisis Konflik Sumberdaya Alam di TNGM

4.5.1. Dimensi Konflik Pro-kontra TNGM di Tiga Kawasan

...

Studi

4.5.2. Penahapan Konflik Pro-kontra TNGM

...

4.5.3. Pemetaan Konflik Pro-Kontra TNGM

...

4.5.4. Ikhtisar

...

V

.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

...

5.2. Saran

...

(13)

DAFTAR TABEL

...

Pengelolaan kawasan di Merapi sebelum TNGM

Perbandingan luas tanah Sultan Ground/Pakualam Ground di lima Kabupaten di DIY

...

Wacana konservasi sumberdaya alam

...

...

Kepentingan dan ideologi politik aktor di Dunia IIL Daftar responden

...

Unsur-unsw dalam pembiayaan retribusi penambangan pasir di Kabupaten Magelang

...

Besarnya pajak yang hams ditanggung pengusaha

pertambangan pasir

...

Besarnya pendapatan Pemda Kab. Magelang dari penarikan pajak pertambangan BGG- C

...

Karakteristik ekologi politik tiga kawasan studi

Profil orgilnisasi akar nunput dan organisasi Kemasyarakatan di TNGM

...

Aktor dan wacana konsewasi

...

Kerugian atau biaya langsung yang dibayar pemerintah di kawasan pertambangan Merapi di Kabupaten Magelang

...

Fendapatan Pemda Kabupaten Sleman dari pengelolaan gerbang pintu masuk kawasan Kaliurang

...

Pendapatan Pemda Kabupaten Sleman dari pengelolaan

fasilitas wisata di kawasan Kaliurang melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

...

Pendapatan Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY dari pengelolaan retribusi di TWA Plawangan Turgo

...

Pendapatan PD Anindya dari pengelolaan fasilitas wisata di Kaliurang dan Tlogo Putri

...

Pendapatan PD Anindya dari pengelolaan parkir dan penarikan ongkos trayek angkutan umum Kaliurang Yogyakarta

...

Pendapatan PD Anindya dari penjualan air minum di
(14)

24 Relasi kekuasaan antar aktor di TNGM

...

25 Relasi kekuasaan antar aktor Ds. Ngargomulyo, Kec. Dukun dan Ds. Ngargosoka, Kec. Srumbung, Kab. Magelang, Prop. Jateng

. . .

.

. . .

.

. . .

.

. .

. . .

.

. . .

.

. . .

.

. . .

. 26 Relasi kekuasaan antar aktor di kawasan wisata Kdiurang, Ds.
(15)

DAPTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran

...

8

. .

2 Lokasi Penel~t~an

...

39

3 Penahapan Konflik Pro-kontra TNGM

...

95 4 Pemetaan Konflik Pro-kontra TNGM

...

110

...

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kawasan hutan Gunung Merapi merupakan salah satu ekosistem pegunungan di Pulau Jawa bagian tengah yang mempunyai nilai tinggi bagi kehidupan manusia di sekitar kawasan ini baik dari kajian ekologis, ekonomis, sosial dan budaya. Dari kajian ekologis, komponen biologis ekosistem hutan Gunung Merapi mempunyai keanekaragaman yang tinggi. Di samping itu, gunung ini telah menciptakan ekosistem yang spesifik yaitu hutan tropika pegunungan dan pola suksesi vegetasi yang berkembang secara dinamis. Dari kajian ekonomis, sumberdaya dam Gunung Merapi telah lama dimanfaatkan masyarakat baik berupa material maupun jasa lingkungan. Material yang dimanfaatkan masyarakat antara lain pasir dan batu, hijauan pakan ternak, kayu bakar. Jasa lingkungan yang dinikmati masyarakat sekitarnya adalah keindahan alam yang dikelola sebagai bisnis pariwisata, tata air yang menyediakan air bersih dan air pertanian sepanjang tahun melalui sejumlah mata air yang berada di kawasan ini. Dari kajian sosial budaya, masyarakat di lereng-lereng kawasan hutan Gunung Merapi telah berinteraksi dalam jangka waklu ratusan tahun, interaksi-interaksi tersebut memunculkan beragam budaya hasil dari olah rasa antara manusia dan alam sekitarnya. Interaksi ini telah menciptakan sistem sosial dan budaya yang khas. Masyarakat di sekitar Gunung Merapi temtama bagian selatan (Yogyakarta dan sekitarnya) berpandangan, Gunung Merapi dan dinamikanya sangat terkait dengan misterilkeajaiban dan supranatural. Semua dinamika Gunung Merapi selalu membawa berkah, termasuk guguran lava-nya. Tanda-tanda alam tersebut telah menyikapi kehidupan masyarakat terhadap aktivitas Gunung Merapi, sehingga menciptakan berbagai bentuk interaksi manusia dan alam lingkungannya yang hannonis sebagai pandangan hidup dan budaya yang luhur bagi masyarakat di sekitarnya (BKSDA dan Fakultas Kehutanan UGM 2003).

(17)

Taman Wisata Alam, dan Hutan Lindung. Status taman nasional dianggap Pernda DIY dan Jateng mampu mengakomodir kebutuhan akan dana pengelolaan kawasan konservasi yang terbatas dan manajemen kawasan konservasi di bawah satu payung.(Pemda DIY dan Jateng 2002). Sebelumnya, kawasan Gunung Merapi yang terletak di dua Provinsi yaitu DIY dan Jateng ini dikelola oleh beberapa instansi yang berbeda yaitu: BKSDA DIY, Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY, Perum Ecrkrltani Wilayah I Surakarta Prop. Jateng, dan Perum Perhutani Wilayah Kedu Utara Prop. Jateng (lihat tabel 1 .)

Tabel 1. Pengelolaan kawasan di Merapi sebelum TNGM

No Fungsi Kawasan lnstitusi Luas (Ha)

1 Cagar Alam Plawangan Turgo, BKSDADIY 164,75

Sleman, DIY

2 Taman Wisata Alam Pla~vangan Dinas Kehutanan & 1 1 7,50

Turgo, Sleman, DIY Perkebunan DIY

3 Hutan Lindung, Sleman, DIY Dinas Kehutanan & 1.146,13 Perkebunan DIY

4 Hutan Lindung, Klaten, Jateng Wilayah kerja KPH Surakarta Peru~n Perhutani

Unit I Jateng 2645,51

5 Hutan Lindung, Boyolali, Jateng Wilayah kerja KPI-I Perum Perhutani Unit I Jateng

6 Hutan Lindung, Magelang, kteng Wilayah kerja KPH Kedu 2480,5 Utara Perum Perhutani

Unit 1 Jateng

Sumber: Dishutbun DIY, BKSDA DJY & Perum Perhutani Unit 1 Jateng 2006 . Diolah.

(18)

No. SK.481Menhut-IU2004 tersebut di atas (Dinas Kebutanan dan Perkebunan 2004). Sementara itu, kekecewaan masyarakat serta Omop-L (Organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang Lingkungan) bergulir dan membesar karena merasa tidak mendapat tanggapan dari pemerintah sebagaimana yang diharapkan. WLH yang mempakan konsorsium dari 33 Omop-L di DIY mendesak pemerintah untuk mencabut kembali sehelum kesepakatan mengenai bentuk konservasi kawasan Merapi :~icapai. Kritik terbadap SK tersebut ada!ah minimnya partisipasi masyarakat dalam peQetapan TNGM serta manajemen taman nasional di Indonesia yang dirasakan belurn berjalan dengan baik sehingga dikhawatirkan TNGM juga akan mengalami ha1 sempa. Omop-L juga mencurigai adanya agenda tersembunyi dari pemerintah berkenaan dengan pemhahan status kawasan ini (Nugroho 2004, Hartono 2005). Sebagaimana diketahui, dengan status taman nasional, kepentingan yang akan ada di sana bukan saja dari tingkat lokal, ataupun nasional melainkan juga pada tingkat global.

Menurut sejarah pengelolaan kawasan Gunung Merapi, pengelolaan kawasan Merapi dimulai pertama kali semenjak tahun 1912. Pengelolaan ini merupakan kebijakan resmi yang pertama dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengatur kawasan Merapi dan masyarakatnya. Kebijakan pengelolaan kawasan ini lebih pada pertimbangan lereng Merapi sebagai daerah rawan bencana (akibat letusan Gunung Merapi). Pada tahun 193 1, Pemerintah Kolonial Belanda menetapkan kawasan Merapi dengan status hutan lindung seluas

*

8.752,83 Ha yang meliputi

*

1.791,03 Ha di Provinsi DIY dan seluas i 6.961,8
(19)

untuk kemudian mengajukan usulan perubahan status kawasan menjadi taman nasional (Sulistyo 2002).

Runutan pengelolaan terhadap kawasan Merapi memperlihatkan adanya dinamika akses masyarakat terhadap sumberdaya dam, ini nanlpak pada perubahan status fungsi lahan dari yang semula milik pribadi (privale property) menjadi hutan lindung (public properly). Ini berarti ada penghilangan alas hak- hak yang semnla dinikmati oleh masyarakat seperti hak menentukan bentuk manajemen pengelolaan sumberdaya dam, hak menetapkan siapa yang dapat ikut serta memanfaatkan sumberdaya alam, dan hak memperjual belikan atau mengubah fungsi peruntukan sumberdaya dam (Kartodihardjo 2006). Ketiga hak tersebut kini diatur oleh lembaga publik yaitu negara yang dalam pelaksanaannya dijalankan oleh Pemerintah Daerah dan Departemen Kehutanan. Satu-satunya hak yang dimiliki oleh masyarakat adalah memasuki dan memanfaatkan sumberdaya dam yang dalam ha1 ini adalah mencari rumput dan renceklranting kecil. Meski begitu, didapati adanya penduduk desa yang melakukan bndidaya palawija dan singkong di kawasan lindung dan melakukan aktivitas tambang pasir secara ilegal (BKSDA dan Pusat Studi Agroekologi 2004).

Terbitnya SK Menhut 13412002 tidak hanya merubah fimgsi hutan lindung namun sekaligus mempersempit akses masyarakat terhadap sumberdaya alam. Ini diperlihatkan dari adanya Zona Tanaman Rumput Bawah Tegakan seluas total 486,5 hektar'. Sementara pelaku bisnis seperti penambang pasir relatif tidak mengalami banyak persoalan karena TNGM memberikan tempat berupa Zona Pemanfaatan Pasir seluas 146,87 hektar. Pelaku bisnis yang bergerak di bidang pariwisata memperoleh akses terbanyak yang tersebar di 5 zona yaitu Zona Wisata Alam (WA) Turgo-Plawangan (141,69 ha), WA New Selo (27,03 ha), WA Deles (27,43 ha), WA Musuk (18,7 ha), WA Tambang Pasir Srumbung (14,39 ha).

Dalam upaya konsemasi keanekaragaman hayati di kawasan Merapi ini, terdapat dimensi politis ekologis (agraria) yang khas yaitu keberadaan Keraton

I

(20)

Yogyakarla dan Pura Paku Alaman yang memiliki hak atas sen'ua tanah di wilayah Yogyakarta yang disebut sebagai Sultan Ground (SG) dan Paku Alaman Ground (PAG)~. Hingga sekarang luas tanah SG dan PAG belum diketahui secara pasti. Menurut prakiraan BPN dari hasil pendataan semenjak tahun 2002, luas SG dan PAG hanya tinggal 1,1% (3.562 hektar) dari total luas wilayah DIY (318.580 hektar). Luas Tanah SG dan PAG bisa dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Perbandinean luas tanah Sultan Groundmakualam Ground di lima ~ a b u p a t e n d i DIY

Kabupaten Luas Kab.1 Sultan Ground/

Kota (Ha) Paku Alam Ground ([Ha)

Kota Yogyakarta 3.250 43

Sleman Kulon Progo

Bantul

Gunung Kidul 148.536 60 1

Sumber: SKH Kompas Ydgyakarta, 2 8 Januari 2005

Berdasar data tersebut nampak bahwa peran Sultan Hamengku Buwono X

yang kini juga menjabat sebagai Gubemur Provinsi DIY bisa jadi sangat menentukan upaya konservasi di TNGM yang sebagian wilayahnya masuk Kabupaten Sleman.

Perubahan tata kepernerintahan dari Pemerintah Kolonial Belanda ke Pemerintah Republik Indonesia turut berpengaruh terhadap status kepemilikan dan fungsi lahan SG di kawasan Merapi. Sama seperti adanya perubahan hak atas lahan privat (SG) menjadi milik publik (hutan lindung) seperti yang dialami masyarakat kawasan Merapi, hak akses Sultan sebagai pemilik lahan terhadap sumberdaya di Merapi juga rnengecil. Posisi Sultan sebagai GubemurIKepala

Menmut Perjanjian Giyanti 1755, selllruh wilayah DIY sebenamya adalah tanah swapraja (milik Keraton Yogyakarta). Namun, karena pergolakan sejarah, perubahan tata negara, dan lain hal, tanah swapraja tadi berubah kepemilikannya. Peraturan yang menunjuk Keraton sebagai pengelola belum ada. Secara yuridis status tanah diatur dalam Rijkblad 1918 dan UU No.3 tahun i950 tentang Pembentukan DIY. Status tanah tidak bisa dialihkan menjadi hak milik perorangan maupun tanah negara. Rijkblad 1918 pasal 1 menyebutkan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak milik oleh pihak lain adalah tanah Keraton Yogyakarta. Berdasar aturan tersebut, menurut BPN, pada:dasarnya tidak ada tanah negara di DIY kecuali wedhi kengse: (lahan pada sempadan sungai yang terbentuk secara alami akibat pengendapan pasir yang terbawa aliran sungai). Sedangkan pada W,! No.3 tahun 1950 Bab II. pasal4 (1) disebutkan bahwa urusan asaria merupakan urusan rumah tangga DIY sebagai daerah istimewa. Tanah SG dan PAG bisa

(21)

Daerah Provinsi DIY bisa jadi mengaburkan status sumberdaya dam di kawasan Merapi apakah sebagai properti privat atau properti publik.

Keberadaan TNGM mengubah hak akses Sultan sebagai GubernurIKepala Daerah I'rovinsi DIY terhadap sumberdaya alam di kawasan Merapi, karena pengelolaannya kini bqrada di tangan Pemerintah Pusat. Meski begitu, untuk menghorrnati keberadaan Keraton, TNGM menyisihkan lahan seluas 15,82 hektar sebagai Zona Budaya ~abllhzn~. Sebagai representasi kehadiran Kraton, Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah menunjuk seorang Abdi Dalem Keraton yang bertindak sebagai Juru Kunci Merapi di sana4.

Perkembangan terakhir dari pro-kontra upaya konservasi di kawasan Merapi dari pihak pemerintah adalah melakukan sosialisasi dan pemantapan rencana pengelolaan TNGM. Sementara dari pihak Omop-L dan masyarakat di kawasan Merapi yang tidak setuju, upaya yang dilakukan adalah penguatan jaringan setelah upaya penolakan rnelalui jalur hukum yang pertama gaga1 (PTUN tanggal 24 Januari 2005). Mereka terus mendesak agar SK Menhut No.13412004 dicabut, tidak tertutup kemungkinan mereka akan melalui jalw hukum kembali. Kondisi konflik yang berlarut ini akan berpotensi menghambat dan mengganggu konservasi sumberdaya alam di kawasan Merapi.

1.2. Kerangka Pemikiran

Kawasan Gunung Merapi adalah kawasan yang dimiliki oleh para pihak yaitu Negara, Kraton Yogyakarta, masyarakat, Omop-LIOAR (Organisasi Akar Rumput) dan bisnis. Paia pihak tersebut secara garis besar memiliki kesamaan kepentingan yaitu pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di kawasan Gunung Merapi. Upaya konservasi disepakati sebagai cara untuk menjaga pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya dam secara berkelanjutan. Namun, bagaimana mekanisme konservasi yang sesuai di kawasan Gunung

3

Zona Budaya Labuhan adalah zona khusus yang merupakan bagian dari Zona Pemanfaatan. Zona khusus ini merupakan kawasan untuk melaksanakan upacara labuhan di bulan Suro (Muharram) sebagai bentuk ekspresi proses simbolik filosofik Laut Selatan dan Gunung Merapi (BKSDA dan Pusal Studi Agroekologi 2004).

(22)

Merapi menjadi suatu perdebatan tersendiri dan r~emunculkan dua perspektif dalam memandang konsep konservasi.

Kedua perspektif tersebut adalah pertanlo, biofisik dan ekonomi yang meinandang konservasi untuk pelestarian sumberdaya alam sekaligus untuk memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya alam. Kedua, perspektif pergerakan sosial yang memandang keberadaan sumberdaya alam tak dapat dipisahkan dengan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut Mereka menjadi satu kesatuan ekologi yang saling mempengaruhi, sehingga upaya konservasi terhadap sumberdaya alarn di kawasan tersebut seharusnya mempertimbangkan keberadaan masyarakat berikut tradisi mereka. Perspektif ini menganggap manajemen pengelola& konservasi yang dilakukan pemerintah seperti halnya mekanisme taman nasiozal banyak didominasi pengaruh global dan merugikan masyarakat di kawasan konservasi.

(23)

!

Pemanfaatan SDA

1

1

I

1

Konservasi

a

Negara

Perspektif Pergerakan Sosial

Pro-Kontra Perspektif

Teori Konflik Teori Akses

Kenton

Rekomendasi

Kebijakan Pengelolaan

*

Masyarakat

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

[image:23.541.57.461.39.607.2]
(24)

1.3. Perurnusan Masalah

Konflik pertentangan antara Omop-L dan masyarakat di kawasan Merapi yang menolak TNGM dengan pemerintah sebenarnya mempakan masalah pengelolaan common pool resources. Pemerintah menyikapi pennasalahan dengan pendekatan sentralistik melalui penetapan bentuk taman nasional sebagai upaya konservasi. Sementara Ornop-L dan masyarakat di kawasan Merapi yang menolak TNGM menginginkan pendekatan komunitas (community based management)

dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terhadap pengelolaan common pool resources. Untuk menganalisa konflik ini digunakan pendekatan teori kontlik dari Malik et al. (2003) agar diperoleh gambaran tentang dinamika konflik. Pendekatan ini mengasumsikan konflik sumberdaya alam sama seperti karakteristik konflik secara m u m . Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu: (1) hubungan antar manusia, (2) kepentingan, (3)

kerbedaan] data, (4) perbedm nilai, dan (5) struktural.

Pengelolaan kawasan Merapi juga adalah masalah pengelolaan akses masyarakat terhadap sumberdaya dam. Oleh karena itu, dalam menganalisa fenomena di kawasan Merapi ini digunakan pula pendekatan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) yang mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari segala hal (ability to derive benefirs from things).

Gagasan ini merujuk pada adanya ikatan kekuasaan (bundle of powers) dan bukannya pada ikatan hak (bundle of rights). Rumusan ini adalah tentang bagaimana aktor bisa memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya melalui suatu hubungan sosial yang luas dan bukannya pada hubungan properti semata. Pendekatan ini digunakan untuk memahami mengapa ada seseorang atau beberapa orang ataupun lembaga yang bisa memperoleh keuntungan dari memanfaatkan sumberdaya, tidak peduli apakah memiliki hak atas sumberdaya tersebut atau tidak.

Berdasarkan pen&usan pennasalahan yang dikemukakan dan pendekatan yang digunakan, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:

- Siapa saja aktor yang ierlibat?

(25)

- Bagaimana hubungan antar para aktor yang berkepentingan tersebut? - Seperti apa rnekanisme yang digunakan para aktor untuk mencapai tujuan,

mengendalikan akses, dan mempertahankan alur keuntungan dan sekaligus mendistribusikannya?

- Siapa yang paling mendapatkan keuntungan, dan siapa yang dirugikan?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Memetakan kep~ntingan dan relasi kekuasaan para aktor dalam konsemasi sumberdaya alam di Taman Nasional Gunung Merapi.

2. Menganalisis konflik kepentingan dan relasi kekuasaan para aktor dalam konservasi sumberdaya alam di Taman Nasional Gunung Merapi.

3. Mengidentifikasi dan memetakan mekanisme perolehan, pemeliharaan, dan pengendalian akses sumberdaya dam di Taman Nasional Gunung Merapi.

1.5. Manfaat Penelitian

(26)

11. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Konservasi datam Perspektif Biofisik dan Ekonomi

Konsep-konsep konsewasi kini mengalami perluasan definisi. Menurul MacKinnon dalam Alikodra (2005), konsep konsewasi yang modem adalah suatu pemeliharaan sekaligus juga pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana Konsep ini berdasar!:an 2dclanj.a duz kebutuhm; pertama, kebutuhan untuk merencanakan sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat.

Kedua, kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya tidak habis.

Paradigma ini menggeser paradigma lama yang selama ini memahami konservasi sebagai pelestarian demi pelestarian itu sendiri dalam zrtian tertutup bagi upaya pemanfaatan dan anti pembangunan. Paradigma ymg baru memberikan saran bahwa jika suatu kawasan konsewasi dilindungi, dirancang, dan dikelola secara tepat, akan dapat memberi keuntungan yang lestari bagi masyarakat. Dengan demikian pelestarian itu sendiri akan penting artinya dalam pembangunan sosial dan ekonomi di pedesaan dan turut mengembangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi pusat-pusat perkotaan, serta meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Penetapan dan pengelolaan kawasan dilindungi merupakan suatu cara penting untuk dapat menjamin agar sumberdaya alam dapat dilestarikan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan umat manusia sekarang dan di masa mendatang. Hal ini perlu dilakukan mengingat pertumbuhan dan kegiatan manusia yang semakin merusak sumberdaya alam dan lingkungannya (Alikodra 2005).

Menurut Ehrlich dan Wilson dalam Alikodra (2005), manusia seharusnya mengkhawatirkan fenomena berkmangnya keanekaragaman hayati karena tiga alasan: Pertama, manusia sebagai homo sapiens yang merupakan spesies dominan di bumi ini, sehingga sudah seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi semuanya yang telah tumt menemani tinggal di alam semesta. Kedua,

manusia menerima keuntungan ekonomi secara langsung dalam bentuk makanan, obat-obatan, dan produk industri, dan berpotensi untuk menerima lebih lagi.

(27)

seperti penleliharaan kornposisi gas-gas di atn~osfer, proses fotosintesa yang membuat bumi mengalami kecukupan oksigen.

Effendi (2001) rnenganlati terdapatnya miskonsepsi dalam pemahaman terhadap kawasan konsemasi. Ia mengatakan bahwa miskonsepsi itu dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa kawasan konservasi merupakan sumberdaya dam yang "hilang" dalam mendukung kepentingan pembangunan ekonomi. Kesalahpahaman itu diperkuat ketika pmI~rintah menunjuk suatu areal sebagai kawasan konservasi dan kemudian membatasi kegiatan manusia dalam kawasan tersebut, sehingga masyarakat berpendapat bahwa kawasan konsemasi tersebut hanya sedikit saja memberi manfaat uang yang mengalir pada masyarakat lokal atau negara. Penilaian ekonomi sumberdaya (resources valuation) dapat digunakan sebagai peralatan kebijakan untuk membantu para perencana pemerintahan untuk memperkuat pengelolaan kawasan konservasi dengan mempertimbangkan nilai ekonomi dari berbagai altematif pilihan penggunaan lahan, termasuk kawasan konsemasi.

(28)

kendala adanya kelompok pendompleng Cfree rider), tak mematuhi F2raturan (shirk), atau oportunis.

Semenjak tanggal 4 Mei 2004. kawasan Merapi teiah berubah menjadi Taman Nasional Gunung Merapi melalui SK MenHut No.134/2004. Keputusan ini mencerminkan sistem sentralisasi pengelolaan sumberdaya yang dianut pemerintah. Kebijakan ini mengundang kontroversi dari masyarakat dan lembaga legislatif daerah. Pemerintah menyikapi kontroversi tersebut dengan merevisi SK MenHut No.7012001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Pembahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan dengan SK MenHut No. 04812004 tanggal 23 Januari 2004. Revisi SK ini mengisyaratkan tidak diperlukannya lagi izin DPRD dalam proses pembahan status kawasan Merapi oleh Pemerintah Pusat. Uniknya, SK MenHut No. 13412004 sendiri masih mencanturnkan SK MenHut No.7012001 sebagai salah satu SK yang menjadi salah satu dasar keputusan. Mengapa pemerintah terkesan memaksakan din dalam menetapkan keputusan pembahan status kawasan Merapi?

(29)

iokai un~uk nlemoniror konaisi sumkraaya aan n~erencanaican aturan yang optimal dalam penggunaan dan distribusi sumberdaya (Van Vugt 2002).

Kenyataannya memang, hampir semua pengelolaan taman nasional di Indonesia mengalami permasalahan baik sod pendanaan maupun dalam menghadapi ilegal logging maupun perambahan waayah. Menurut lbyanto (2005), beberapa kendala dalam pengelolaan kawasan konsewasi di Indonesia adalah:

1. Kurangnya sumberdaya manusia yang profesional di bidang konservasi sumberdaya alam;

2. Kondisi lapangan yang berat sehingga terjadi kesulitan membangun infrastruktur untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan kawasan suaka dam dan pelestarian alam;

3. Pendanaan dalam bidang pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam masih minim, sehingga perlu adanya dukungan dana untuk mendukung program tersebut.

4. Peran serta masyarakat di dalam bidang konsewasi sumberdaya alam hayati masih rendah.

Menurut Sumardja (2004), kebanyakan kawasan konsewasi di Indonesia lnemang sangat minim sumberdaya, beberapa di antaranya bahkan tidak menenma bujet reguler sama sekali, dan hanya bergantung pada pendanaan dari lembaga donor suplementer, yang memberikan dana untuk proyek yang terbatas durasinya. Pemerintah Indonesia selama ini berupaya mencari alternatif pencarian dana melalui program mekanisme peningkatan pendapatan konsewasi yang disebut

Integrated Consetvation and Development Project (ICDP) yang didukung oleh

Bank Dunia.

Jika memang, kondisi pengelolaan tarnan nasional di tanah air tidak terlalu baik, bukankah keputusan menetapkan Taman Nasional Gunung Merapi justru menambah panjang daftar permasalahan yang akan dihadapi pcmerintah dalam ha1 pengelolaan kawasan konservasi? Apakah dana pengelolaan kawasan konservasi akan dapat berkelanjutan jika ketergantungan terhadap lembaga donor begitu besar? Bagaimana melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan taman

(30)

2.2. Globalisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Keanekaragarnan IIayati

Sebagai negara anggota CBDIConvention on Biological Diversig~, kebijakan penetapan Taman Nasional merupakan salah satu kewajiban Indonesia. Konvensi keanekaragaman hayati ini telah ditandatangani oleh 157 kepala negara danlatau kepala pemcrintahan atau wakil negara pada waktu naskah Konvensi diresmikan di Rio de Janeiro, Brazil. Penandatanganan ini terlaksana selama penyelenggaraan United Nations Conference and Developnzent (UNCED) tanggal 3-14 Juni 1992. Indonesia merupakan negara ke delapan yang menandatangani Konvcnsi di Rio de Janeiro, Brazil, 5 Juni 1992 (Penjelasan UU RI No.511994, IB). Selanjutnya pemerintah Indonesia mengamandemen Konvensi tersebut dan menerbitkan UU No. 511995 Tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity. Dilihat dari perspektif Globalocentric, kebijakan pemerintah

ini mengartikan bahwa wacana keanekaragaman hayati yang selama ini diakui Indonesia mempakan pemahaman sebagaimana telah disebarluaskan oleh institusi-institusi global. Oleh karenanya pengelolaan terhadap keanekaragaman hayati pun dilakukan dengan menganut mekanisme yang disepakati bersama.

(31)

7engelolaa.n ini didiseminasikan melalui serangkaian kegiatan seputar CBD, termasuk kegiatan lanjutan yang diberinama Confirences of the Parties (COP). CBD merupakan organisasi peletak arstitektur dasar bagi kerangka kerja keanekaragaman hayati.

Menurut Duarte (2001), di era globalisasi terdapat dua perspektif dalam memandang pengelolaan sumberdaya dam, pertama adalah perspektif Globalisasi Ekosentrisme (1960an-1970an) yang melinat bumi sebagai ekosistem raksasa (biosphere). Kedua, perspektif Globalisasi Instrumen (1980an-sekarang), dengan cara mempromosikan gagasan-gagasan seperti pengelolaan, pengawasan, dan perencanaan sumberdaya dam untuk menjamin kelangsungan pasokan bahan mentah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan produksi bagi dunia industri. Salah satu instrumen global yang penting di abad 20 adalah United Nations Conference on Hunzan Environment (UNCHE). Melalui UNCHE, perhatian terhadap bumi hukan lagi berdasar pada etika ekosentrisme belaka, tetapi berdasarkan pada pertimbangan positif anilai moneter sumberdaya planet, dan bagaimana sumberdaya tersebut dimanfaatkan secara efektif demi pertumbuhan ekonomi. Dominasi globalisasi kelembagaan ini memarjinalkan globalisasi ekosentrisme sehingga filosofi ekosentrisme seolah menjadi filosofi underground. Daiam perkembangannya, sebagian para penganut ekosentrisme akhimya mengakui perspektif bumi sebagai suatu sistem sumberdaya. Elemen-elemen ekosentrisme kemudian terkooptasi dalam bentuk-hentuk kelembagaan mengenai wacana liigkungan yang disebarluaskan sebagai agen "lingkungan dan pembangunan" seperti antara lain United Nations Environment Programnze (UNEP), World Commission for the Environment and Development (WCED) dan World Conservation Union (IUCN).

(32)

masyarakat lokal terhadap wacana global tersebut? Bagaimana peran pemerintah selama proses adopsi tersebut berlangsung?

Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan pentingnya konservasi kawasan Merapi karena kawasan ini merupakan kawasan penyangga kehidupan bagi kawasan sekitamya yang dalan batasan administrasi pemerintahan adalah wilayah Kabupaten Sleman, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Klaten. Namun, pengelolaan kawasan Merapi menghadapi kendala berupa dana dan kurangnya koordinasi dari institusi terkait (Pemda DIY dan Jareng 2002). Kawasan Merapi baik dari segi biofisik, geohidrologi, maupun sosial budaya selama ini berfungsi untuk memenubi kebutuhan masyarakat di sekitarnya ataupun paw wisatawan. Setumt hirarki kebutuhan manusia yang digambarkan oleh ~ b i a h a m Maslow dalam Roberts (2004) manusia pada dasarnya memiliki lima kebutuhan dasar yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), k e a m a m (securify), kasih sayang (love and belonging), penghargaan (esteem), aktualisasi diri (selfactualisation). Terpenuhinya kebutuhan dasar akan mendorong manusia untuk mencari kebutuhan yang lebih tinggi seturut tingkat hirarki. Menurut Roberts (2004), ketika manusia sudah mampu memenuhi kebutuhannya hingga ke tingkat tertinggi, ia cenderung akan memanfaatkar~ jasa- jasa lingkungan secara berlebihan. Kebutuhan manusia pada tingkat tinggi secara

(33)

sudah menjadi 'aganla' mereka (v.K.', tokoh penggerak masyarakat Desa Dukun, 8 Agustus 2005, Kolnunikasi Pribadi). Mencari rumput yang oleh sebagian orang dianggap sebagai kebutuhan untuk pertahanan diri, ternyata juga menjadi kebutuhan untuk aktualisasi diri. Pertanyaannya kemudian, apakah kebijakan penetapan status Taman Nasional mampu lnengakomodii semua kebutuhan para aktor di sana?

2.3. Konsewasi dalam Perspektif Pergerakan Sosial di Negara Dunia I11

Konservasi keanekaragaman hayati, menurut Escobar (1998), tidak saja perlu dipahami dalam artian biofisik dan ekonomi, melainkan juga dari perspektif pergerakan sosiai, suatu pergerakan yang secara eksplisit mengkonstruksi strategi politik demi pertahanan teritori, budaya, dan identitas yang terkait dengan tempat- tempat dan teritori tertentu. Pergerakan ini menggunakan politik budaya dengan pertimbangan-pertimbdgan ekologis. W a m a ini membuka suatu ruang bagi bentuk-bentuk pembangunan yang berbasis budaya yang maiipu mengkounter kecenderungan-kecenderungan etnosentris dan ekstraktivis. Perjuangan mereka adalah pertahanan terhadap keseluruhan proyek kehidupan, bukan sekadar "sumberdaya" atau keanekaragaman hayati. Fenomena haru ini menumt Escobar terbagi dalam dua domain yaitu ekologi politik dan pemahaman terhadap pergerakan sosial dalam wilayah yang kaya keanekaragaman hayati. Cara ini merevisi paradigma lama yang selama ini digunakan dimana pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan secara ekologi dan budaya. Revisi terhadap paradigma ini menghendaki adanya upaya untuk mengkonstruksi suatu pandangan terhadap praktik-praktik pembangunan dan kemasyarakatan melalui suatu strategi penyadaran diri dan politik yang lebih bersifat kedaerahan

(a self-conscious and Iocalizedpolitical strategy).

i

Perspektif pergerakan sosial yang ditunjukkan Escobar membantu memahami fenomena lingkungan yang dipolitisir dengan konsep kekuasaan antar aktor yang berbeda. Adanya kekuasaan yang tidak sama ini juga melahiikan kelompok marjinal yang mengalami kerugian terbesar dari adanya pembahan lingkungan (Bryant dan Bailey 2000). Ekologi politik memahami konsep

(34)

ketidaksetaraan kekuasaan ini sehubungan dengan kemampuan aktor untuk menguasai interaksi dengan lingkungan dan interaksi dengan aktor lain dalam lingkungan, atau bisa dikatakan sebagai kendali yang dimiliki oleh satu kelompok atas lingkungan melebihi aktor lainnya. Dalam terminologi ini, para ilmuwan ekologi politik melihat bahwa Dunia 111 memiliki fenomena yang berbeda dibandingkan dengan di Dunia I. Pertama, pernasalahan lingkungan yang dihadapi oleh D.mia IJI bukan merupakan refleksi dari kegagalan kebijakan pasar, tetapi merupakan manifestasi dari kekuatan politik dan ekonomi yang lebih luas yang terkait dengan penyebarluasan kapitalisme, terutarna sejak abad 19 (penebangan hutan, pertambangan, industrialisasi, urbanisasi, dl].). Kedua, terdapat campur tangan negara dalam aktivitas perekonomian yang mendorong ke arah kehancuran lingkungan. Pada beberapa kasus, campur tangan ini sejalan dengan ekspansi kapitalis, tetapi pada beberapa keiembagaan pemerintah, pernasalahan ini mencerminkan adanya kepentingan penguasa dalam perebutan kekuasaan, keamanan nasional ataupun pengkayaan diri sendiri. Kompleksnya pernasalahan lingkungan di Dunia I11 membutuhkan tidak sekadar kebijakan yang bersifat teknis, melainkan juga perubahan mendasar dillam proses politik ekonomi di tingkat lokal, regional dan global (Bryant dan Bailey 2000).

Bagaimana cara para aktor di Dunia I11 nlenguasai lingkungan? Pertama. satu aktor berusaha menguasai sumberdaya alam dengan tujuan untuk melakukan monopoli dan mendapatkan keuntungan dengan melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Cara ini biasanya dilakukan oleh negara penjajah terhadap negara jajahannya yang pada umumnya memiliki sumberdaya alam yang kaya. Pemerintah negara jajahan biasanya mengeluarkan suatu kebijakan tertentu untuk membatasi akses ke sumberdaya alam. Pelajaran yang diambil oleh negara terjajah setelah lepas dari penjajahnya adalah bahwa negara mampu menggunakan kekuasaannya dalam rangka menentukan siapa yang berhak mengeksploitasi sumberdaya dam, kondisi sumberdaya dam yang seperti apa yang bisa dieksploitasi dan untuk keperluan apa eksploitasi sumberdaya alam tersebut.

(35)

mengelak, atau setidaknya meminimalkan biaya-biaya yang terkaii dengan proses industri. Dalam skala global, kondisi ini diilustrasikan deng& dibangunnya industri-industri potensi, polutan (misalnya industri kimia) milik negara maju di negara Dunia Ke 111. Persepsi yang kelirn mengenai sektor industri sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan memperbesar kemungkinan meluasnya fenomena ini. Kasus meledaknya pabrik Union Carbide milik Arnerika di Bhopal, India pada tahun 1984. adalah akibat a6mya peluang negara maju menguasai lingkungan terhadap negara Dunia ke 111.

Ketiga, satu aktor dapat menguasai lingkungannya melalui pemilahan prioritas proyek-proyek dan pennasalahan lingkungan. Dalam suatu negara, terdapat aktor di luar dan di dalam yang mampu mempengaruhi prioritas pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh agen-agen pemerintah terhadap alokasi dana dan sumberdaya manusia pada proyek-proyek dan permasalahan lingkungan tertentu, melebihi proyek dan permasalahan lainnya. lntinya adalah tentang kekuasaan untuk mengalokasikan dana pemerintahan sedernikian rupa sehingga lebih sebagai' suatu jenis interaksi antara manusia dan lingkungan ketimbang upaya perbaikan pennasalahan lingkungan atau dukungan terhadap proyek lingkungan.

Keenzpat, saiu aktor dapat menguasai lingkungannya dalam perilaku tidak

langsung yang dilakukannya dengan cara mengajukan suatu wacana. Kekuasaan tidak saja berkaitan dengan praktik-praktik material, tetapi juga upaya mengelola gagasan. Gagasan-gagasan tersebut tidak pernah bisa disalahkan tetapi menantang tatanan sosial dan ekonomi yang sudah eksis.

(36)

dan pemanfaatan sumberdaya dam di kawasan Merapi. Pertanyay yang diajukan adalah aktor mana yang paling mendapatkan keuntungan dan siapa yang pzling dirugikan? Aktor mana yang paling berpengamh dalam proses pembahan tersebut dan bagaimana cara aktor tersebut memperjuangkan kepentingannya? Adakah aktor baru, apa kepentingannya, dan sejauh mana aktor tersebut mampu mempengaruhi lingkungan?

Menurut Wittmer dan Bimer (2005), organisasi-organisasi yang berperan dalam konsewasi sumberdaya alam seperti Omop-L, sektor swasta, maupun pemerintah m e m i l i wacana yang berbeda terhadap konsewasi itu sendiri. Inilah yang menjadi penyebab munculnya konflik kepentingan. Wacana-wacana tersebut adalah konsewasionisme, eko-populis, dan developmentalisme. Wittmer dan Bimer menganalisa kasus berkaitan dengan konsewasi sumberdaya dam di Thailand dan di Tarnaq Nasional Lore Lindu, Indonesia dengan menggunakan konsep sistem kepercayaan, story-lines (alur wacana), d m koalisi wacana. Wasil kajian Wittmer dan Bimer menunjukkan bahwa penganut konservasionisme dan developmentalisme mampu membentuk koalisi yang ditentang oleh proponen wacana eko-populis (Lihat Tabel 3).

Sejauh mana jar& kedekatan antara Omop-L dan pemerintah? Young (2000) membuat kajian terhadap jar& kedekatan antara Omop dengan pemerintah berdasarkan aspek politik ekonomi dan menemukan terdapat tiga jenis sifat Omop yaitu:

a. Supplenzentay '

LSM dipandang sebagai pengisi kebutuhan barang publik yang tidak manlpu dilakukan oleh pemerintah. Dukungan keuangan untuk pengadaan barang publik berasal dari lembaga donor. Aktivitas LSM ini mengurangi tanggung jawab pemerintah terhadap pengadaan kebutuhan barang publik. b. Cornplernentary

Omop dipandang sebagai mitra pemerintah yang membantu mendistribusikan barang publik dengan dana dari pemerintah. Pada perspektif ini, pengeluaran Omop dan pemerintah memiliki hubungan langsung satu sama lain.

(37)

Ornop mendesak pemerintah untuk melakukan perubahan dalam kebijakan

publik dan memelihara akuntabilitas publik. Sebaliknya, pemerintah

bemsaha mempengaruhi perilaku Omop dengan mengatur layanan publik.

Pandangan adversarial tidak meletakkan posisi hubungan secara khusus

dengan pemeri~tah dalarn beraktivitas. Misalnya, Omop manlpu

mengadvokasi praktik operasi pemerintah menjadi lebih kecil dan efisien

atau mereka bisa mengadvokasi program-program dan peraman baru yang

bisa meningkatkan kegiatan pemerintah.

Tabel 3. Wacana Konsewasi Sumberdaya Alam

Konservasionisme Eko-populis Developmentalisme Proponen tipikal - Omop-L konservasi - Ornop-L advokasi - Organisasi

(organisasi dan - ilmuwan hiologi,

-

ilmuwan pemhangunan disiplin ilmu ekologi antropologi budaya (negara, Ornop,

lemhaga donor). Argumen - Perlu melakukan - Komunitas - Peningkatan

penyisihan lahan lokalltradisional jumlah untuk preservasi adalah penjaga sejati penduduk dan dengan tujuan lingkungan. Mereka kemiskinan menghindari telah terhukti mampu merupakan penurunan spesies melakukan preservasi penyebab utama dan niempertahankan sumberdaya hutan deforestasi dan keseimbangan lehih baik dari penurunan kehati; ekologi termasuk pemerintah. Pengurangan

fungsi hidrologi kemiskinan adalah

hutan. ha1 yang penting

untuk

menyelaniatkan lingkungan. PrioritasIMisi - Konservasi alam,

-.

Membiarkan - Penghapusan

perlinpungan spesies penduduk lokal kemiskinan.

langka mempertahankan

gaya hidup

tradisional mereka.

Posisi proponen - Pembela alam dan - Pembela hak - Pembela kaum (Perwujudan diri) spesies langka komunitas lokall miskin.

tradisional.

Posisi terliadap i - Negara dan sektor - Penganut eko-

lawan swasta dianggap populis dianggap

(Perwujudan diri mengabaikan memperalat

terhadap yang komunitas lokal- penduduk lokal.

lain) Penganut aliran - Penganut

konse~asi dianggap konservasi dianggap tidak mengindahkan tidak mengindabkan liak-hak manusia. kebutuhan akan

[image:37.547.67.474.215.716.2]
(38)

Konservasionisme Eko-populis Developmentalisme Nubungan - Menghasilkan ilrnu- - Aliran kritik - Bersandar pada dengan ilmu ilmu pengetahuan postmodem terhadap disiplin ilmu teknis pengetahuan alarn (konservasi, ilmu pengetahuan (pertanian, mesin,

biologi, ekologi, - Bersalidar pada dsb) dan kajian hidrologi, dsb) kajian kualitatif ilmu sosial-ekonomi sebagai basis sosial.

argulnentasi - Penghargaan yang tinggi terhadap IieGjfan lokal: Sumber: Wittmer dan Birner, 2003

2.4. Ekologi Politik Kawasan Konsewasi

Ekologi politik merupakan ilmu yang menggabungkan ekonomi politik dan ekologi sebagaimana dikemukaka oleh Blaikie dan Brookfield (1987), Greenherg dan Park (1994), Peet dan Watts (1996), dan Hempel (1996) dalam Robbins (2004). Menurdt Watts (2000) dalam Robbins (2004), ekologi politik digunakan untuk memahami hubungan yang kompleks antara d a m dan masyarakat melalui analisis yang cermat terhadap ekses dan kendali atas sumberdaya dan implikasinya bagi kesehatan lingkungan dan matapencaharian yang berkelanjutan. Pemahaman terhadap fenomena ini mampu menjelaskan konflik Iingkungan terutama yang terkait dengan terminologi perjuangan masyarakat atas "pengetahuan, kekuasaan dan praktik-praktik" dan "politik, keadilan dan tata pemerintahan"

Menurut Forsyth (2003), analisis menggunakan ekologi politik perlu mengeksplorasi sejauh mana keterkaitan antara kapitalisme dan kerusakan lingkungan. Forsyth menyebutnya sebagai ekologi politik "kritis" yang berupaya agar ekologi politik memberikan perhatian kembali pada analisis terhadap kapitalisme sebagai sumber kerusakan lingkungan, kajian ini mengarah pada pemahamanan politis dalam memberikan penjelasan lingkungan di luar kritik terhadap kapitalisme.

(39)

dan kepentingan pemermtah untuk mengawetkan "lingkungan" justxu mematikan sistem matapencaharian lokal, produksi, dan organisasi sosial politik. Berbagai penelitian tentang ha1 ini memperlihatkan di tempat-tempat dimana praktik- praktik produksi lokal dulunya pemah berjalan produktif dan relatif baik, malah menjadi tidak berkelanjutan akibat pemerintah atau aktor lain bempaya untuk mengontrol sumberdaya. Salah satu hasil penelitian yang memberikan penjelasan sekaligus kritik tajam tentang sejarah konservasi hutan di Pulau Jawa, Indonesia adalah karya Peluso (2002) berjudul Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Hasil penelitian Peluso menunjukkan bahwa konservasi tidak hanya sekadar perlindungan dan penanaman pohon melainkan juga tentang perjuangan dan pertahanan kekuatan politik.

Menurut Bryant dan Bailey (2000), konservasi lingkungan jarang dilihat sebagai upaya konservasi itu sendii melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi aan politiic. lndikasi ini terlihat dari pertambahan jumlah taman nasional di seluruh dunia terutama di Dunia I11 sejalan dengan meningkatnya industri ekowisata. Para pemimpin negara Dunia 111 mengklaim pencapaiannya dalam memperluas kawasan taman nasional sebagai bagian dari promosi ekowisata.

(40)

(World Herita,?e Sites), taman nasional dan kawasan lindung lainnya (Paul et al.

2002) Tren ini akan terus berlangsung dan para pengelola kawasan taman nasional di seluruh penjuru dunia seharusnya mempersiapkan kedatangan para wisatawan ini.

Schroeder (1995) dalam Bryant dan Bailey (2000), menyebut upaya ini sebagai bentuk kapitalisme hijau di Dunia 111 berupa komersialisasi hutan dan ekowisata. Upaya ini sebenamya merupakan respon para pzmimpin negara Dunia

111 terhadap paradigrna pembangunan berkelanjutan dengan memperkenalkan bentuk-bentuk akumulasi kapital yang "ramah lingkungan" yang mengarahkan sejumlah negara pada 'Ijatur komoditas untuk stabilisasi lingkungan".

Alasan lain yang dikelnukakan ketika negara DUN^ 111 melakukan upaya konservasi adalah untuk pertahanan dan kontrol sosial. Gagasan konservasi dengan demikian menjadi alat bagi negara untuk menerapkan kewenangannya terhadap rakyat dan lingkungan. Negara merasa perlu memperkuat posisinya untuk menegaskan hubungannya dengan aktor lain. Salah satu upaya untuk mewujudkan gagasan konservasi tersebut adalah melalui penciptaan taman nasional (Bryant dan Bailey 2000). Di India, misalnya, upaya pemerintah untuk melindungi harimau, gajah, dan beberapa jenis binatang lain yang dianggap berharga adalah dengan.cara merelokasi penduduk yang dianggap "memiliki cara hidup yang bisa membahayakan kehidupan binatang-binatang tersebut" (Kothari et al., 1995 dala~n Bryant dan Bailey 2000). Studi Kasus tentang Perjuangan Petani Dongi-Dongi di Taman Nasional Lore Lindu merupakan kebijakan konservasi penerintah ,yang sarat muatan politis dan melibatkan aktor pada tingkatan lokal, nasional, dan global (Lihat Boks 1). Pennasalahan Taman Nasional Lore Lindu muncul ketika pemerintah lebih memfokuskan pada konservasi keanekaragaman hayati dan merelokasi para penduduk sekaligus menutup akses ke sumberdaya (Adiwibowo 2005).

Upaya perlawanan terhadap kebijakan konservasi di Negara Dunia 111

(41)

Amerika Latin (Lihal Boks 2). Pergerakan PCN berhasil mengartikulasikan suatu bentuk perlawanan baru komunitas warga kulit hitam di kawasan hutan huja~l Pasifik di Kolombia terhadap pembangunan, kapitalisme, dan modeinitas yang mengancam keanekaragaman hayati. Artikulasi ini merupakan salah satu alternatif kerangka berpikir ekologi politik untuk mendiskusikan wacana keanekaragaman hayati. Escobar mengajak kita untuk memikirkan kenlbali wacana konservasi dan keanekaragaman bayati dari perspektif pergerakan sosial. Meskipun konsep keanekaragaman hayati memiliki nlakna biofisik, wacana ini mendorong munculnya suatu jaringan beragam aktor yang konlpleks mulai dari organisasi internasional dan Ornop-L hingga komunitas lokal dan pergerakan sosial. Jaringan yang kompleks ini menghasilkan ernpat pandangan baru mengenai keanekaragaman hayati yakni pengelolaan sumberdaya secara global, kedaulatan, biodemokrasi, dan otonomi budaya yang dimunculkan oieh pergerakan sosial.

(42)

Menurut Long (2001) dalant Adiwibowo (2005), terdapat beberapa pijakan yang hams dipahami jika menggunakan pendekatan aktor, yaitu bahwa:

1. Kehidupan sosial itu heterogen. Meskipun kelihatannya homogen,

kehidupan sosial terdiri dari berbagai bentuk sosial dan tradisi budaya. 2. Sangatlah penting untuk mempelajari bagaimana perbedaan-perbedaan

itu diproduksi, direproduksi, dikonsolidasi, dan ditransformasi, dan untuk mengidentifikasi bagaimana proses sosial terlibat, tidak hanya pada keluaran-keluaran yang sifatnya struktural.

3. Tindakan sosial tidak pernah bempa tujuan yang egosentris individual. Tindakan sosial terdapat dalam jaringan yang menghubungkan (melibatkan komponen manusia dan non-manusia), dipertajam oleh praktik-praktik organisasi yang rutin dan mendalam, serta terikat oleh hubungan kekuasaan, nilai-nilai, dan konvensi sosial.

4. Tindakan dan interpertasi sosial tergantung pada konteksnya. Penanda batas aksi sosial hanya berlaku pada wilayah, arena dan lapangan tertentu dan karenanya tidak sehamsnya dianalisis begitu saja.

5. Interpretasi, nilai, dan pemahaman yang secara terkonstruksi secara budaya tetapi diterapkan secara berbeda dan diinterpretasikan dalam kaitannya dengan kemungkinan perilaku yang telah ada sebelumnya atau lingkungan yang berubah, terkadang memunculkan "standar-standar budaya baru".

6. Perspektif aktbr bertujuan untuk memperjelas tatanan seperangkat hubungan yang sudah baku, proyek-proyek aktor dan praktik-praktik sosial mengkombinasikan beragam simbol dan ruang sosial. "Lokal" tidak terbentuk dari "global" atau "global" bukanlah pembesaran dari "lokal". Namun, lebih pada tatanan interaksi "skala mikro" dan arena yang terlokalisir terkait dengan fenomena "skala makro" yang lebih luas dan demikian juga sebaliknya yang te jadi.

(43)

memusatkan perhatian pada masyarakat yang tinggal di kawasan konsewasi melalui peningkatan partisipasi. Sebelumnya pemerinkh Nepal melalui UU Taman Nasional dan Konsewasi Hidupan Liar tahun 1973 mendefinisikan taman nasional sebagai "suatu kawasan yang disisihkan demi pengelolaan dam dan konsewasi flora, fauna, dan landsekap". Kebijakan ini tidak berpihak pada masyarakat yang tinggal di kawasan konsewasi sehingga acap bemjung konflik. Pertumbuhan penduduk dan keterbatasan !~han yang ada memicu masyarakat sekitar kawasan untuk melakukan perambahan di kawasan taman nasional (Gurung 1995). ACAP menjadi satu pengalaman bahwa taman nasional tidak selamanya bisa dijadikan pilihan untuk pengelolaan suatu kawasan konsewasi.

Ketiga studi kasus memperlihatkan adanya interaksi antara dam dan manusia. Menurut Conelly dan Smith (2003), manusia memiliki tugas terhadap alam karena dua alasan: (1) manusia memiliki kekuasaan untuk berinteraksi dengan dam dan (2) manusia mampu membuat keputusan untuk memperbaiki alam yang telah diruLaknya sendiri. Pada pembuatan keputusan mengenai kawasan konsewasi, pemerintah nampaknya menganut ideologi utilitarianisme dimana tujuan utama yang ingin diraih adalah memaksimalkan kesejahteraan dalam masyarakat melalui perhitungan tindakan-tindakan yang akan menghasilkan keuntungnn atau yang menurut Jeremy Bentham disebut sebagai "the peatest happiness of the greatest number". Pertanyaan yang bisa dikemukakan kemudian adalah siapa yang termasuk dalam "the greatest number". Jika Peter Singer (1975) dalam Conelly dan Smith (2003) kemudian mempertanyakan hak binatang dalam pembagian "kebahagiaan" tersebut, maka dalam konteks ekologi politik kawasan konsewasi dapat pula diajukan pertanyaan siapa saja para aktor yang berhak mendapatkan "kebahagiaan" dalam pengelolaan kawasan konsewasi? Para aktor yang perlu diidentifikasi dalam konteks ekologi politik kawasan k o n s e w ~ i adalah seper6 terlihat dalam tabel berikut:

Tabel 4. Kepentingan dan Ideologi Politik AMor di Dunia III

No Aktor Ideologi Politik Kepentingan

1 Negara

-

Aut:~oritarianisme Paradoks: membuat kebijakan tentang penyelamatan lingkungan namun juga turut mendukung sistem kapitalis yang menyebabkan
(44)

No Aktor Ideologi Politik Kepentingan

2 Lembaga Authoritarianisme Menyampaikan kepentingan Dunia I

tnultilateral kepada Dunia Ill tentang isu-isu

pembangunan dan lingkungan.

3 Bisnis Liberalisme Akumulasi kapital rnelalui

eksplorasi sumberdaya alam 4 Omop-L Marxisme dan sosialisme (I) Intervensi kebijakan pemerintah

dan lembaga multilateral untuk mendukung proyek pembangunan dan lingkungan yang dilakukan aktor akar rumput; (2)

penyebarluasan isu lingkungan. 5 Akar rumput Marxisme dan sosialisme Keberlangsungan mata pencaharian

(akses SDA). Sumber: Bryant dan Bailey (2000) dan Conelly dan Smith (1999).

Boks 1. Studi Kasus Perjuangan Petani Dongi-dongi, d i Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah

Kasus Dongi-dongi mempakan upaya perjuangan para petani dari desa Kamarora A, Kamarora B, Kadidia, dan Rahmat untuk mendapatkan akses sumberdaya kembali. Para petani ini menuntut agar diperbolehkan melakukan pembukaan lahan di kawasan Dongi-dongi yang telah beralih fungsi sebagai zona inti Taman Nasional Lore Lindu, sementara lahan yang diberikan pemerintah kepada para petani dari program relokasi ini sudah tidak bisa digarap lagi.

Permasalahan dimulai ketika proses zonasi dilakukan. Proses zonasi ini memiliki keiemahan: 1) Draft zonasi seharusnya dilakukan TNC dan Central Sulawesi Ii~tegrated Area Development and Conservation Project (CSIADCP). Kenyataannya akibat persoalan t e h i s , desain zonasi hanya dike jakan oleh TNC. 2) Draft zonasi dibuat hanya berdasarkan data yang memuat infomasi mengenai kekayaan keanekaragaman hayati namun kekurangan informasi sosial, ekonomi, dan budaya. 3) Pembuatan draft zonasi dilakukan dalam waktu yang relatif singkat terkait dengan kontrak antara TNC dan NRM IIAJSAID. Munculnya kasus Dongi-dongi pada 19 Jnni 2001 mendorong TNC untuk segera menuntaskan pembuatan draft zonasi untuk mendapatkan posisi yang kuat saat merespon para petani.4) Draft zonasi menuai kritik karena minim partisipasi masyarakat. Kawasan Dongiidongi sebelumnya ditempati oleh PT Kebun Sari yang memegang hak konsesi hutan pada tahun 1976 sementara para petani menanam kopi, coklat, jagung, singkong, padi, dan mencari rotan di hutan. Penetapan zonasi mengakibatkan relokasi dan terputusnya akses masyarakat ke hutan. Pemerintah juga tak menepati janji dalam memberi ganti rugi iuasan lahan yang seharusnya 2 hektar kenyataannya menjadi hanya 0,8 hektar. Kekecewaan para petani benvujud pada tindakan perambahan wilayah dan okupasi lahan di kawasan Dongi-dongi oleh para petani. Masyarakat yang tertangkap karena mengambil rotan dimasukkan ke penjara sementara rotan yang telah dikumpulkan dengan susah payah dimusnahkan oleh aparat. Upaya pemerintah merelokasi masyarakat ke daerah yang baru tak membuahkan hasil karena masyarakat kembali lagi ke daerah asal dengan alasan tak ada hansportasi di daerah yang baru. Masyarakat pun kembali melakukan upaya agar memperoleh akses ke kawasan Dongi-dongi.

(45)

Analisis:

Kasus ini merupakan manifestasi dari gagalnya globalisasi wacana konservasi

keanekaragarnan hayati yang ditunjukkan dengan peran institusi lokal (Central

Sulawesi Integrated Area Development and Conservation ProjectICSIADCP)

yang tidak optimal dan ketidakpahaman terhadap dimensi sosial ekonomi budaya

lokal.

Boks 2. Studi Kasus Pergerakan Sosial di Kolombia, Amerika Latin

Pergerakan sosial masyarakat kulit hitam Kolombia yang dipimpin oleh

Proceso de Comurridades Negras, PCN (Process of Black Comntunitites, yang merupakan jaringan dari lebih dari 140 organisasi lokal) untuk perjuangan hak atas teritori dan budaya di Kolombia sejak akhir 1980-an telah membuahkan hasil b e ~ p a pengesahan UU yang diberinama Ley 70 pada tahun 1993. UU ini mengakui masyarakat kulit hitam Kolombia sebagai kelompok etnis yang memiliki hak atas identitas dan pendidikan yang sesuai dengan budaya mereka, serta meminta pemerintah untuk mengembangkan kebijakan sosial ekonomi sejalan dengan budaya kulit hitam. Pergerakan PCN merupakan respon terhadap pennasalahan di Kolombia yaitu: Pertanla, arus migrasi yang tinggi dari kaum tani, proletar, dan pengusaha ke Pasifik yang menimbulkan dampak sosial dan ekologi akibat persinggungan budaya.

Kedua, pemerintah terus bemsaha menerapkan rencana pembangunan konvensional dengan menciptakan infrastruktur bagi bisnis skala besar. Ketiga, kebijakan pemerintah untuk perlindungan sumberdaya alam berkisar dari soal perluasan wilayah taman nasional atau program-program sumberdaya kehutanan dengan sedikit atau bahkan tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Keenlpat, kartel-kartel obat bius juga masuk ke wilayah ini dalam rupa perusahaan pertambangan besar, agroindustri, dan proyek-proyek pariwisata. Pennasalahan ini makin diperbumk dengan adanya kolusi antara pejabat pemerintahan dengan para pengusaha untuk menekan organisasi pergerakan.

Dalam perjuangannya, para aktivis PCN memperkenalkan suatu inovasi konseptual yang penting dalam wacana keanekaragaman hayati. Pertarnu, definisi keanekaragaman hayati sebagai suatu 'teritori plus budaya'. Suatu pandangan terhadap keseluruhan kawasan hutan hujan Pasifik sebagai suatu teritori kewilayahan dari kelompok-kelompok etnis yang merupakan suatu unit budaya dan ekoiogi yang terkonstruksi melalui praktik ekonomi dan budaya komunitas sehari-hari. Kedua,

teritori kewilayahan sebagai 'koridor kehidupan', suatu moda artikulasi antar bentuk- bentuk budaya kemasyarakatan dalam pemanfaatan dan lingkungan alam secara fisik misalnya koridor kehidupan yang terhubung ke ekosistem mangrove, ke sebagiau sungai, ke dalam hulan, dsb. Pada konteks ini, para aktivis PCN telah mengembangkan suatu kerangka pikir ekologi politik yang menggabungkan konsep- konsep teritori, keanekaragaman hayati, koridor kehidupan, ekonomi daerah dan wilayah pemerintahan, serta altematif pembangunan.

Sumber: Escobar, 1998

Analisis: Keberhasilan pergeiakan PCN dipengaruhi oleh beberapa

Gambar

Gambar * 1. Kerangka Pemikiran
Tabel 3. Wacana Konsewasi Sumberdaya Alam
Gambar 2. Lokasi Penelitian Sumber: BKSDA DJY 2005
Tabel 5. Daftar Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melihat perawat yang bekerja di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang masih banyak lulusan D3, dengan beban kerja yang ada, serta melihat beberapa fenomena yang

Berdasarkan temuan dan simpulan penelitian tentang implementasi program Manajemen Berbasis Sekolah Pada Satuan Pendidikan Tingkat SLTP di Wilayah Perbatasan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji kinerja keruangan perusahaan pembiayaan listing di Bursa Efek Indonesia dalam menggunakan modal kerja dan piutang, dan juga

Dalam hal terjadi pembubaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 51, maka penyelesaian kewajiban perseroan kepada anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi, pegawai dan/atau

Aplikasi ini menyediakan fitur yang membantu pegawai dalam mengelola kegiatan yang ada di CV.KUPJ TRAVEL mulai dari pemesanan, pengelolaan pegawai, pengelolaan

Tulisan ini juga menyajikan enam permasalahan dari pengingat konvensional yang dapat diselesaikan dengan RinfoCal seperti melakukan reminder hanya satu kali saja

Kajian ini penulis bertujuan untuk membuat perancangan website Sistem informasi pengaduan kecelakaan berkendara, merupakan sebuah website yang digunakan untuk

Tidak keterlaluan jika dikatakan bahawa tulisan Jawi telah diterima oleh masyarakat Melayu serentak dengan mereka menerima agama Islam dan mereka hanya mengambil sedikit masa untuk