• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Penggunaan Pesawat Militer Sebagai Pesawat Sipil Untuk Transportasi Penduduk Sipil Ditinjau Dari Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Hukum Penggunaan Pesawat Militer Sebagai Pesawat Sipil Untuk Transportasi Penduduk Sipil Ditinjau Dari Hukum Internasional"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

1

DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

090200369

MUHAMMAD THESYA P

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

ASPEK HUKUM PENGGUNAAN PESAWAT MILITER SEBAGAI PESAWAT SIPIL UNTUK TRANSPORTASI PENDUDUK SIPIL

DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

Oleh

090200369

MUHAMMAD THESYA P

Disetujui Oleh

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

NIP. 195612101986012001 Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M. Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M. Hum

NIP. 195612101986012001 NIP. 195610109831003 Dr. Sutiarnoto, SH., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)
(4)

ABSTRAK *Muhammad Thesya P

** Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M. Hum *** Dr. Sutiarnoto, SH., M.Hum

Hercules adalah pesawat militer yang paling banyak melaksanakan misi udara. Pesawat tersebut bukan sekedar digunakan untuk latihan saja, melainkan untuk menjalankan misi yang sesungguhnya, baik itu berupa operasi militer maupun operasi militer non-tempur, serta operasi kemanusiaan. Setiap saat atau setiap hari dapat dipastikan ada saja Hercules yang terbang di seluruh pelosok dunia.

Adapun yang diangkat menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah pesawat militer sebagai pesawat sipil untuk transportasi sipil. Penerbangan militer diatur dalam hukum internasional dan perlindungan hukum terhadap penumpang pesawat militer jika terjadi kecelakaan dalam perspektif Hukum Internasional

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Pesawat militer sebagai pesawat sipil untuk transportasi sipil Dasar ketentuan yang mengatur moda angkutan udara adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dimana Penerbangan didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Moda Udara yang dinyatakan sebagai pesawat udara didefinikan sebagai setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. Penerbangan militer diatur dalam hukum internasional diatur dalam Konvensi Chicago 1944, Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang UNCLOS. Prinsip presumption of liability menyatakan bahwa “pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang atau pengirim/penerima barang, dengan tekanan kata dianggap”. Pada keadaan normal pihak penumpang atau pengirim/penerima barang yang menderita kerugian tidak perlu membuktikan haknya atas ganti rugi, asalkan dipenuhi dengan syarat-syarat tertentu, yaitu untuk penumpang apabila “kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat udara atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik dan turun dari pesawat udara”.

Kata Kunci : Penggunaan Pesawat Militer, Transportasi Penduduk Sipil

*Mahasiswa

(5)

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisn Skripsi yang berjudul ”Aspek Hukum Penggunaan Pesawat Militer Sebagai Pesawat Sipil Untuk Transportasi Penduduk Sipil Ditinjau Dari Hukum Internasional”.

Skripsi merupakan karya ilmiah yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sekaligus merupakan pembelajaran bagi mahasiswa. Penulisan skripsi bertujuan untuk melatih mahasiswa untuk berpikir kritis dan mampu menuangkan berbagai ide dan pemikirannya secara terstruktur.

Guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi S-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan Skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat menjadi perbaikan di masa akan datang.

Dalam penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu dalam membimbing penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Bapak Dr. Sutiarnoto, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu dalam membimbing penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada kedua orang tua ayahanda Papa H. Syahrul Effendi dan Mama Hj. Tetty Shahriah, Kakak Indri Wirdia Effendi SH., M.Hum. dan abang Kresna Affandi SH, terimakasih atas doa, dukungan, nasehat dan kasih sayang selama ini yang tak pernah putus sampai sekarang.

9. Kepada seluruh teman-teman ILSA 2009, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10. Buat sahabat-sahabat penulis,Anak-anak Give Me Five, Teman-teman klinis Fanny, vynna, Dewi, Ade Kumala, Rizky Tambunan, Randa, Ibal Harahap. terimakasih buat dukungannya.

(7)

Penulis berharap semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, Mei 2015 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PESAWAT MILITER SEBAGAI PESAWAT SIPIL UNTUK TRANSPORTASI SIPIL ... 19

A. Sejarah Penerbangan Sipil dalam Hukum Internasional ... 19

B. Pengaturan Penerbangan Sipil Hukum Internasional ... 22

C. Penggunaan Pesawat Militer sebagai Pesawat Sipil Untuk Transportasi Penduduk Sipil ... 41

BAB III PENERBANGAN MILITER DIATUR DALAM HUKUM INTERNASIONAL ... 54

A. Sejarah Penerbangan Militer dalam Hukum Internasional ... 54

B. Tanggungjawab terhadap penumpang akibat kecelakaan Dalam pesawat Militer ... 57

(9)

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG PESAWAT MILITER JIKA TERJADI KECELAKAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

A. Aspek Hukum Penggunaan Pesawat Militer senagai

Pesawat Transportasi ... 65

B. Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pesawat Militer Jika Terjadi Kecelakaan ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

(10)

ABSTRAK *Muhammad Thesya P

** Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M. Hum *** Dr. Sutiarnoto, SH., M.Hum

Hercules adalah pesawat militer yang paling banyak melaksanakan misi udara. Pesawat tersebut bukan sekedar digunakan untuk latihan saja, melainkan untuk menjalankan misi yang sesungguhnya, baik itu berupa operasi militer maupun operasi militer non-tempur, serta operasi kemanusiaan. Setiap saat atau setiap hari dapat dipastikan ada saja Hercules yang terbang di seluruh pelosok dunia.

Adapun yang diangkat menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah pesawat militer sebagai pesawat sipil untuk transportasi sipil. Penerbangan militer diatur dalam hukum internasional dan perlindungan hukum terhadap penumpang pesawat militer jika terjadi kecelakaan dalam perspektif Hukum Internasional

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Pesawat militer sebagai pesawat sipil untuk transportasi sipil Dasar ketentuan yang mengatur moda angkutan udara adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dimana Penerbangan didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. Moda Udara yang dinyatakan sebagai pesawat udara didefinikan sebagai setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. Penerbangan militer diatur dalam hukum internasional diatur dalam Konvensi Chicago 1944, Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang UNCLOS. Prinsip presumption of liability menyatakan bahwa “pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang atau pengirim/penerima barang, dengan tekanan kata dianggap”. Pada keadaan normal pihak penumpang atau pengirim/penerima barang yang menderita kerugian tidak perlu membuktikan haknya atas ganti rugi, asalkan dipenuhi dengan syarat-syarat tertentu, yaitu untuk penumpang apabila “kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat udara atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik dan turun dari pesawat udara”.

Kata Kunci : Penggunaan Pesawat Militer, Transportasi Penduduk Sipil

*Mahasiswa

(11)

BAB I PENDAHULUAN

H. Latar Belakang

Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam rangka memperlancar perekonomian, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta mempererat hubungan bangsa. Pentingnya transportasi tersebut tercermin dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa transportasi untuk mobilitas orang serta barang dari dan/ atau ke seluruh wilayah baik dalam negeri maupun luar negeri. Dahulu, transportasi masih sulit dilakukan sebab sarana dan prasarana yang masih digunakan untuk melakukan transportasi tersebut masih sangat sederhana. Pada saat itu, untuk transportasi hanya menggunakan hewan atau dengan berjalan kaki karena keadaan masih terbatas. Dengan adanya berbagai penemuan mesin oleh para ahli sebagai tenaga penggerak sehingga sampai saat ini dapat dibuat berbagai peralatan transportasi dan menggunakan tenaga mesin.

(12)

mereka ke bentuk pesawat terbang yang memakai sayap yang seperti sekarang kita kenal. Walaupun mereka bukan orang yang pertama membuat pesawat percobaan atau experiment, Wright bersaudara adalah orang yang pertama menemukan kendali pesawat sehingga pesawat terbang dengan sayap yang terpasang kaku bisa dikendalikan.

Sebagaimana transportasi pada umumnya, transportasi udara

mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai unsur penunjang sericing sektor dan

unsur pendorong promoting sektor. Peran transportasi udara sebagai unsur

penunjang dapat dilihat dari kemampuannya menyediakan jasa transportasi yang

efisien untuk memenuhi kebutuhan sektor lain, sekaligus juga berperan dalam

menggerakan dinamika pembangunan.

Salah satu transportasi dengan menggunakan tenaga mesin adalah pesawat udara. Pesawat udara saat ini merupakan salah satu alat pengangkutan modern yang menggunakan teknologi canggih. Secara yuridis, pesawat udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.1

1

Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

(13)

tersedia dalam pesawat udara guna upaya menghindari dan menjauhi segala musibah, masih ditentukan juga oleh faktor manusia yang berada dibelakangnya.

Angkutan udara, sebagai salah satu komponen sistem transportasi nasional, pada hakekatnya mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyediaan jasa layanan angkutan dalam negeri maupun di luar negeri. Terutama dalam rangka menghubungkan daerah-daerah yang sulit dijangkau dengan moda angkutan lain secara cepat dan efisien untuk jarak tertentu.2

Hercules adalah pesawat militer yang paling banyak melaksanakan misi udara. Pesawat tersebut bukan sekedar digunakan untuk latihan saja, melainkan untuk menjalankan misi yang sesungguhnya, baik itu berupa operasi militer maupun operasi militer non-tempur, serta operasi kemanusiaan. Setiap saat atau setiap hari dapat dipastikan ada saja Hercules yang terbang di seluruh pelosok dunia. Bukan sekedar isapan jempol belaka, melainkan USAF pun sebagai pengguna terbanyak armada Hercules pun mengakui hal ini.

Dengan adanya transportasi udara mempermudah masyarakat dalam menjalankan kegiatannya dalam hal penggunaan atau pengiriman barang.

3

Pesawat-pesawat tempur macam Lockheed Martin F-16 Fighting Falcon atau F-22 Raptor boleh saja memiliki sosok sangar dan dilengkapi dengan persenjataan canggih dan mematikan. Namun, mereka hanya diterjunkan manakala sebuah operasi tempur dilakukan. Sementara pembom-pembom bertubuh gambot serta berbanderol mahal seperti Boeing B-1B Lancer atau pembom siluman B-2 Spirit, lebih jarang keluar untuk beraksi dalam medan

2 Ibid 3

(14)

tempur sesungguhnya. Selain itu, kalaupun harus terbang, itu tidak lebih dari sekedar memenuhi jadwal latihan.

Pesawat angkut Hercules Lockheed C-130 Hercules lebih kerap beraksi lantaran memiliki tingkat fleksibilitas yang cukup tinggi. Bagian dalam yang cukup besar membuatnya mampu melakukan segala jenis misi dan operasi militer. Serta dapat diandalkan, mulai dari dapat dipakai sebagai pesawat angkut militer, tanker, evakuasi medis udara, pemadam kebakaran hutan, bahkan, sampai hal-hal yang diluar batas kewajaran, yakni digunakan sebagai pesawat pembom. Untuk yang satu ini, USAF sendiri sempat menjalaninya, Hercules digunakan sebagai pesawat angkut untuk bom jenis BLU-82 yang memiliki bobot hampir 7 ton, bahkan ide yang lebih gila lagi muncul dari AU Pakistan yang juga memiliki armada pesawat angkut C-130 Hercules.

Status pesawat militer merupakan pesawat yang keseluruhan operasinya adalah dilakukan oleh pihak militer. Dalam status hukum internasional mendefinisikan pesawat militer adalah military aircraft to include all aircraft operated by commissioned units of the armed forces of a nation bearing the military marking of that nation, commanded by a member of armed forces, and manned by a crew subject to regular armed force discipline. Yang terjemahanya bahwa pesawat militer dan termasuk semua pesawat yang dioperasikan oleh unit yang bertugas dalam angkatan bersenjata nasional dan menpunyai tanda dari negara tersebut, dikomando oleh anggota dari angkatan bersenjata.

(15)

mengatur bahwa pesawat udara negara (state aircraft) adalah pesawat udara yang digunakan untuk militer, polisi, dan bea cukai, sedangkan yang dimaksudkan dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) adalah pesawat udara selain pesawat udara negara (state aircraft). Pesawat udara negara tidak mempunyai hak melakukan penerbangan di atas negara anggota lainnya, sedangkan pesawat udara sipil yang melakukan penerbangan tidak berjadwal dapat melakukan penerbangan di atas negara anggota lainnya

Jelas bahwa segala yang berkaitan dengan pesawat udara militer telah dikuasai dan dijalankan oleh angkatan bersenjata. Segala penggunaan dari alutsista yang dimiliki oleh angkatan bersenjata haruslah mempunyai tolok ukur untuk dapat digunakan. Dalam hal ini telah timbul issue hukum bahwa pesawat udara militer digunakan dalam hal untuk mendapatkan keuntungan dan ditumpangi oleh sejumlah warga sipil. Dalam penggunaan pesawat militer yang ditumpangi oleh warga sipil, pasti akan timbul bentuk pertanggung jawaban apabila terjadi kecelakaan yang menimpa angkutan udara tersebut

Berdasarkan latar belakang di atas maka merasa tertarik memilih judul Aspek Hukum Penggunaan Pesawat Militer Sebagai Pesawat Sipil Untuk Transportasi Penduduk Sipil ditinjau dari Hukum Internasional.

I. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas usulan penelitian ini dapat merumuskan tiga permasalahan pokok sebagai berikut:

(16)

2. Bagaimana penerbangan militer diatur dalam hukum internasional ? 3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap penumpang pesawat militer jika

terjadi kecelakaan dalam perspektif Hukum Internasional?

J. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Secara singkat dapat ditegaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk: a. Untuk mengetahui pesawat militer sebagai pesawat sipil untuk

transportasi sipil

b. Untuk mengetahui penerbangan militer diatur dalam hukum internasional

c. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap penumpang pesawat militer jika terjadi kecelakaan perspektif Hukum Internasional.

2. Manfaat penelitian a. Secara teoritis.

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi teoristik dan pengembangan konsep dasar dan teori hukum internasional, khususnya dalam bidang penggunaan pesawat militer sebagai pesawat sipil untuk transportasi penduduk sipil ditinjau dari hukum internasional

b. Secara praktis.

(17)

K. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang Aspek Hukum Penggunaan Pesawat Militer Sebagai Pesawat Sipil Untuk Transportasi Penduduk Sipil Ditinjau Dari Hukum Internasional. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tulisan ini adalah asli karya ilmiah penulis.

L. Tinjauan Pustaka 1. Pesawat udara

Pesawat udara sendiri sendiri telah muncul pada tanggal 17 Desember 1903, dimana Wright bersaudara 17 melakukan penerbangan yang pertama, dengan menggunakan pesawat bermesin yang dapat dikendalikan. Jarak penerbangan yang ditempuh untuk pertama kalinya, dari tinggal-landas sampai mendarat lagi, hanya 40 meter dengan keberhasilan mengudara sekitar 12 detik. Wright Bersaudara yang terdiri dari dua orang adik beradik, Orville Wright (19 Agustus 1871 -30 Januari 1948) dan Wilbur Wright (16 April 1867 -30 Mei 1912), secara umum dihargai atas desain dan perancangan pesawat terbang efektif pertama, dan membuat penerbangan terkendali pertama menggunakan pesawat terbang bermesin yang lebih berat daripada udara, bersama dengan pendirian tonggak sejarah lainnya dalam bidang era dirgantara.4

4

(18)

Pesawat udara adalah suatu mesin yang bisa mendapatkan dorongan dalam atmosfer dari reaksi-reaksi dari udara selain dari pada reaksi-reaksi udara terhadap permukaan bumi. Unsur yang dapat dipetik dari defenisi di atas adalah bahwa harus adaudara dalam ruang tersebut karena udara itulah yang akan memberi reaksi kepada pesawat udara untuk mendapatkan daya angkat. Dari pengertian umum di atas, juga terdapat beberapa macam pengertian pesawat udara yang lebih khusus. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, diantaranya adalah sabagai berikut :

a. Pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang mempunyai tanda pendaftaran Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia.

b. Pesawat udara negara adalah pesawat udara yang digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, kepabeanan, dan instansi pemerintah lainnya untuk menjalankan fungsi dan kewenangan penegakan hukum serta tugas lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

c. Pesawat udara sipil adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga.

d. Pesawat udara sipil asing adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan negara asing”

(19)

milik atau ada dibawah pengawasan tiap-tiap negara di dunia, cenderung meningkat dengan kecepatan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara adalah merupakan sesuatu yang sudah dengan sendirinya, bahwa peningkatan jumlah pesawat dalam arti besarnya armada, serta kemampuan kinerjanya, memerlukan pegaturan masing-masing negara dan juga pengaturan secara internasional

2. Pesawat Militer

Pesawat terbang militer adalah pesawat terbang yang dipakai khusus untuk angkatan bersenjata. Beberapa pesawat terbang militer dibuat dari pesawat yang dipesan pada pabrik pembuatannya dengan modifikasi khusus. 5

3. Penerbangan

Pesawat militer merupakan pesawat yang berfungsi untuk berbagai keperluan militer.

Penerbangan dimulai pada abad ke-19 oleh peneliti yang paling menonjol di zamannya, yakni Sir George Cayley. Sir George Cayley adalah seorang perintis dalam dunia penerbangan, yang memahami benar berbagai persyaratan utama yang harus dipenuhi bagi penerbangan pesawat. Dia juga menyadari akan keperluan agar pesawat itu dapat terbang stabil, dan menemukan prinsip dihedral, atau pengaturan tata letak pesawat.6

Sejak tahun 1908, angkatan darat Amerika Serikat telah memesan armada pesawatnya dari Wright bersaudara. Waktu perang dunia I berakhir, angkatan darat dan angkatan laut Amerika Serikat mewarisi lebih dari 6.000 pesawat Namun perlu diketahui pada penerbangan ini belum menggunakan mesin sebagai alat dalam penerbangan pesawat udara.

5

Mei 2015)

6

(20)

beserta para penerbangnnya. Sehingga tahun 20-an dimasuki oleh kegairahan masyarakat yang meluap-luap pada penerbangan. Perkembangan ini kemudian mulai digunakan oleh para penyedia jasa, dalam hal ini Departemen Pos Amerika Serikat meresmikan pelayanan pos udaranya yang pertama antara New York dan Washington.7

Namun pada praktek Internasional pemanfaatan ruang udara suatu negara berkaitan erat dengan manajemen keselamatan penerbangan, bahwa Flight Information Region (FIR) suatu ruang udara yang ditetapkan dimensinya diberikan Flight Information Service dan Alerting Service. Flight Information Service adalah pelayanan yang dibentuk dan dipersiapkan untuk memberikan Penerbangan sendiri memiliki dua golongan dasar, yakni penerbangan sipil dan militer (negara). Penerbangan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait. Pada definisi ini terlihat keamanan dan keselamatan penerbangan merupakan salah satu yang terpenting dari penerbangan.

Penerbangan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan adalah suatu kesatuan sistem yang terdiri atas manfaat wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan , keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya

7

(21)

saran dan informasi secara penuh untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan. Ketika suatu negara sudah memutuskan untuk memberikan pelayanan lalu lintas penerbangan, maka negara tersebut harus menunjuk suatu badan yang berwenang untuk memberikan pelayanan. Badan yang dimaksud adalah Air Traffic Service (ATS) Provider, berupa otoritas penerbangan Negara itu sendiri atau dilimpahkan kepada badan lain (misalnya Aerothai di Thailand, Airservice di Australia, dan Airnav di Canada).

4. Penerbangan Sipil Internasional

Menurut Pasal 30 Konvensi Paris 1919 pesawat udara negara (state aircraft) adalah pesawat udara yang digunakan oleh militer yang semata-mata untuk pelayanan publik (public services) seperti pesawat udara polisi dan bea cukai, sedangkan yang dimaksudkan dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) adalah pesawat udara selain pesawat udara negara (state aircraft). Selanjutnya, menurut Pasal 32 Konvensi Paris 1919 pesawat udara negara (state aircraft) tidak mempunyai hak untuk melakukan penerbangan di atas wilayah negara anggota lainnya, sedangkan pesawat udara sipil (civil aircraft) di waktu damai dapat melakukan penerbangan lintas damai (innocent passage) di atas wilayah negara anggota lainnya.

(22)

mempunyai hak melakukan penerbangan di atas negara anggota lainnya, sedangkan pesawat udara sipil yang melakukan penerbangan tidak berjadwal dapat melakukan penerbangan di atas negara anggota lainya. Pesawat udara negara (state aircraft) tidak mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan (nationality and registration mark), walaupun pesawat udara negara tersebut terdiri dari pesawat terbang (aeroplane) dan helikopter.

Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berhak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya, baik untuk operasi penerbangan nasional maupun internasional yang berasal atau ke negara tersebut. Namun demikian, peraturan tersebut harus berlaku terhadap semua pesawat udara nasional maupun internasional. Bila negara tersebut mengeluarkan peraturan harus mempertimbangkan keselamatan penerbangan sipil. Hukum dan regulasi penerbangan yang berlaku adalah hukum nasional negara tersebut, kecuali pesawat udara yang terbang di atas laut lepas akan berlaku hukum internasional sebagaimana diatur dalam Konvensi Chicago 1944 beserta peraturan pelaksanaannya.8

Dalam konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional, terdapat Pasal yang mengadakan klasifikasi pesawat udara. Pasal 3 konvensi Chicago 1944 menyatakan:9

8 K. Martono, Hukum udara, angkutan udara, dan hukum angkasa, Jakarta: Mandar Maju, 1995, hal. 26

9

(23)

a. This convention shall be applicable only to civil aircaft, and shall not be applicable to state aircraft. (Konvensi ini berlaku hanya untuk pesawat sipil, dan tidak berlaku untuk pesawat negara)

b. Aircraft used in military, costums and police services shall be deemed to be state aircraft. (Pesawat yang digunakan dalam militer, costums dan kepolisian harus dianggap pesawat negara).

c. No state aircraft of a contracting state shall fly over the territory of another state or land thereon without authorization by special agreement or otherwise, and in accordance with the terms thereof. (idak ada pesawat negara dari negara tertular akan terbang di atas wilayah negara atau negeri lain diatasnya tanpa otorisasi dengan perjanjian khusus atau sebaliknya , dan sesuai dengan ketentuan tersebut).

d. The contracting state undertake, when issuing regulations for their state aircraft, that they will have due regart for the safety of navigation oaf civil aircraft. (Negara kontraktor melakukan , ketika mengeluarkan peraturan untuk pesawat negara mereka, bahwa mereka akan memiliki regart karena untuk keselamatan navigasi bebal pesawat sipil).

(24)

tentunya merupakan pesawat udara negara, maka dari itu Pasal 3 konvensi Chicago 1944 perlu ditinjau kembali degan mengambil beberapa patokan, yaitu:10 a. Status pesawat udara, yakni apakah dimiliki oleh negara,perorangan atau

badan swasta;

b. Tujuan penggunaan atau bentuk kegiatan pesawat udara itu sendiri;

c. Kepentingan kegiatannya, yakni apakah digunakan untuk kepentingan suatu organisasi internasional;

d. Kemudian perlu diteliti pula apakah penggunaan tersebut bersangput paut dengan kepentingan perdamaian atau kepentingan diluar itu

Patokan ini merupakan bagian yang sangat esensial dalam menentukan klisifikasi pesawat udara sehingga tidak menimbulkan salah pengertian dari negara dalam melakukan penerbangan. Penerbangan sipil dibagi menjadi dua kategori, yakni penerbangan yang dikelola oleh perusahaan penerbang (airlines), dan semua kegiatan penerbangan lainnya, yang dikelompokkan dalam penerbangan umum atau general aviation. Penerbangan sipil merupakan sebuah sumber pendapatan yang sangat besar bagi pelaku penerbangan dan pengelolah perusahaan penerbangan. Namun penerbangan juga sangat bermanfaat bagi para penumpang untuk sampai pada tujuan mereka dengan cepat dan aman. Penerbangan memutus jarak dan mengefisienkan waktu tempuh bila seseorang ingin pergi ke tempat yang cukup jauh yang ingin didatanginya. Indonesia sebagai negara kepulauan yang dulunya hanya mengandalkan transportasi laut bila ingin ke daerah lain yang banyak menghabiskan waktu untuk perjalanan, kini dengan

10

(25)

adanya pesawat terbang mengefisienkan waktu jarak tempuh tersebut. Dengan kata lain penerbangan nasional atau internasional, transportasi penerbangan sangat membantu manusia.

Hal yang menanik perhatian dalam Konvensi Chicago ialah terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa pesawat udara, lain daripada pesawat yang melakukan penerbangan teratur, diperbolehkan melintasi wilayah udara negara lain. Penerbangan semacam itu tidak merupakan penerbangan teratur (non-scheduled flight), sehingga oleh karena itu tidak diharuskan meminta izin terlebih dahulu untuk lewat di wilayah udara negara lain. Dengan kata lain Konvensi Chicago sama sekali tidak menggambarkan adanya hak dari”scheduled international air services”. Namun demikian suatu usaha ke arah penjelasan tentang adanya hak dari ”scheduled flight ” itu dirumuskan dalam dua macam persetujuan. Kedua persetujuan tersebut adalah “International Air Sevice, Transit Agreement dan “International Air Transport Agreement”, di Chicago tahun 1944.11

M. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan,12

11

Ibid., hal 65

12

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013, hal 14.

(26)

dengan Aspek Hukum Penggunaan Pesawat Militer Sebagai Pesawat Sipil Untuk Transportasi Penduduk Sipil ditinjau dari Hukum Internasional.

Penelitian hukum normatif (Legal Research) terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan hukum in concreto. Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penelitian adalah penemuan hukum in concreto. Dalam penelitian ini, norma-norma hukum in abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (Legal facts) dipakai sebagai premisa minor. Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah konklusi, yaitu hukum in concreto, yang dimaksud.13

2. Pengumpulan data

Adapun sifat penulisan ini adalah deskriptif analitis, yaitu untuk mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti.

Pengumpulan data dilakukan secara studi kepustakaan, maka pembahasan dilakukan berdasarkan data sekunder, berupa:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: peraturan perundangan nasional maupun terkait penerbangan sipil internasional yang melintasi antar negara.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.

13

(27)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia.14

3. Analisis data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hal-hal yang sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data ini dianalisa secara kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan yang ada dalam skripsi ini, serta penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan deduktif-induktif.

Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.

N. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini agar permasalahan yang diangkat dengan pembahasan skripsi sesuai, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang saling berkaitan satu sama lain. Tiap bab terdiri dari setiap sub

14

(28)

bab dengan maksud untuk mempermudah dalam hal-hal yang dibahas dalam skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan dan metode penelitian serta sistematika penulisan

BAB II PESAWAT MILITER SEBAGAI PESAWAT SIPIL UNTUK TRANSPORTASI SIPIL

Bab ini berisikan Sejarah Penerbangan Sipil dalam Hukum Internasional, Pengaturan Penerbangan Sipil Hukum Internasional, Penggunaan Pesawat Militer sebagai Pesawat Sipil Untuk Transportasi Penduduk Sipil

BAB III PENERBANGAN MILITER DIATUR DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Bab ini berisikan Sejarah Penerbangan Militer dalam Hukum Internasional, Tanggungjawab terhadap penumpang akibat kecelakaan Dalam pesawat Militer dan Penerbangan Militer diatur dalam hukum internasional

(29)

Bab ini berisikan Aspel Hukum Penggunaan Pesawat Militer senagai Pesawat Transportasi dan Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pesawat Militer Jika Terjadi Kecelakaan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(30)

20

D. Sejarah Penerbangan Sipil dalam Hukum Internasional

Sejarah penerbangan sipil internasional dapat dilihat dari perkembangan lintas udara terkait dengan kedaulatan negara di ruang udara, yaitu di mulai dari tahapan perkembangan konsep kedaulatan, yakni:

1. Tahap sekitar tahun 1910, tahap Konperensi mengenai Navigasi di Ruang Udara pada tahun 1910 di Paris, Perancis, sampai tahap Konperensi Perdamaian Versailles, Perancis, pada tahun 1919.

2. Tahap Konperensi Perdarnaian Versailles tahun 1919.

3. Tahap Konperensi Komisi Internasional mengenai Navigasi di Ruang Udara, di Paris, Perancis, pada tahun 1929.

4. Tahap Konperensi Internasional rnengenai Penerbangan Sipil di Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1944.

5. Tahap setelah peluncuran sputnik oleh Uni Soviet pada tahun 1957.15 Dari tahapan-tahapan tersebut yang secara langsung membahas tentang penerbangan sipil internasional adalah Konperensi di Chicago tahun 1944. Pembahasan mengenai penerbangan sipil yang telah dimulai pada Konvensi Paris, yang dinilai para pihak banyak kekurangan. Akan tetapi, ”walaupun Konvensi Paris mengandung banyak kekurangan, namun hal itu harus diakui sebagai salah

15

(31)

satu usaha untuk merumuskan suatu peraturan yang uniform mengenai hukum udara bidang publik”.16

Sejalah dengan adanya perkembangan keberadaan pesawat udara, pembangunan di bidang hukum udara juga mulai menjadi perhatian sejak tahun 1784, peraturan pertama dalam bidang hukum udara dibuat pada tahun tersebut oleh Lenoir seorang berkebangsaan Perancis, yang melarang penerbangan dengan balon udara tanpa izin. Kemudian peraturan dalam hal keselamatan penerbangan pertama kali pada tahun 1819 oleh Count d’Anglés, yang mengharuskan balon udara dilengkapi dengan parasut dan melarang percobaan-percobaan dengan balon udara selama musim panen. Terdapat dua jenis klasifikasi pesawat udara, pertama pesawat udara yang lebih berat dari udara disebut lebih ringan dari udara disebut yang lebih berat dari udara diterbangkan pertama kali ol

dengan menggunakan pesawat rancangan

sendiri yang dinamakan Flyer yang diluncurkan pada ta

Sedangkan untuk pesawat yang lebih ringan dari udara sudah terbang jauh sebelumnya, penerbangan pertama kalinya dengan menggunaka

17

16 Ibid 17

(32)

Hukum udara yang sekarang kita kenal merupakan cabang ilmu yang baru berkembang pada permulaan abad ke-20, setelah Wilbur Wright dan Orville Wright berhasil terbang dengan sebuah pesawat yang lebih berat dari udara. Hukum Udara, menurut Goedhuis dan Diederiks Verschoor diartikan sebagai “keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur ruang udara dan penggunaannya untuk keperluan penerbangan”.18 Definisi tersebut merupakan pengertian luas dan sebagai pengertian atau definisi hukum udara yang umumnya sekarang dikenal, mengingat jika pengertian hukum udara diartikan sebagai “hukum yang mengatur objek udara” maka sejak jaman Romawi sudah dikenal adanya prinsip “coius est solum” yang berarti siapa memiliki tanah, memiliki juga udara di atasnya sampai ke langit. Namun ungkapan demikian (coius est solum) tentunya sudah tidak relevan lagi, mengingat bahwa langit yang dimaksud juga ada batasnya. Karena mulai tahun 1901 telah mulai dikenal bidang ilmu hukum baru yaitu “Droit Aérien” atau hukum udara oleh Prof. Nys dari Universitas Brussel, hingga pada tahun 1919 ketika Konvensi Paris mengenai penerbangan internasional ditandatangani, yang diatur hanya “I’espace atmospherique”, demikian juga dalam Konvensi Chicago 1944, hanya mengatur “airspace” atau ruang udara.19

Menurut N. Mateesco, istilah “Droit Aérien” akhirnya yang kemudian lebih populer dalam perkembangan di massa selanjutnya, dibandingkan istilah-istilah lain yang muncul kemudian misalnya “Law of Civil Aviation”, “Law of Flight” dan “Recht der Lufthahrt”, yang secara umum semua istilah (law of civil

18

E. Suherman, Hukum Udara Idonesia & Internasional Bandung : Alumni, 1999 hal. 101

19

(33)

aviation, law of flight dan recht der lufthahrt) lebih menekankan pada kegiatan penerbangan.

Sementara itu di Indonesia, E. Suherman mendefinisiskan hukum udara sebagai “keseluruhan ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang mengatur ruang udara, pesawat udara, pemanfaatannya untuk penerbangan dan prasarana penerbangan”.20 Hukum udara sebagai ilmu semakin mendapat perhatian sejalan dengan perkembangan teknologi penerbangan dunia, maka ketika tahun 1957 Sputnik I diluncurkan, spekulasi bidang hukum baru akhirnya menjadi kenyataan yaitu hukum angkasa (space law) dan lebih lanjut pengaturan ruang angkasa secara internasional ditetapkan dalam “Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outerspace, including the Moon and Other Celestial Bodies” pada tahun 1967.21

E. Pengaturan Penerbangan Sipil Hukum Internasional

Hal ini semakin menegaskan pentingnya kajian di bidang hukum udara, karena ternyata kualifikasi teknologi buatan manusia telah mampu menjangkau hingga menembus dan melewati batas ruang udara. Namun demikian hingga saat ini belum ada aturan internasional yang secara jelas dan tegas merumuskan batas antara ruang udara dan ruang angkasa.

Pengaturan tentang penerbangan adalah penting guna menjamin penyelenggaraan penerbangan yang mencerminkan penerbangan yang aman sertaberkualitas. Pengaturan itu menjadi dasar hukum dan pelaksanaan

20

Ibid., hal 30

21

(34)

penerbangan yang ada baik perusahaan penerbangan milik pemerintah maupun swasta. Pengaturan penerbangan ini hendaknya memperhatikan berbagai bidang atau aspek yang berhubungan dengannya mengingat penerbangan ini mempunyaikaitan yang sangat luas dengan aspek lainnya. Keseluruhan pengaturan itu membutuhkan adanya pengaturan yang terpadu, menyeluruh, up to date, sistematis dan memperhatikan kepentingan umum menghendaki suatu multi airlines sistem yang efektif serta efesien

Menurut E. Suherman, Hukum Penerbangan (Hukum Udara dalam artisempit) merupakan suatu lapangan hukum tersendiri, mengingat bahwa lapangan hukum ini mengatur objek yang mempunyai sifat yang tersendiri. Namun di samping itu, pendapat penulis lain yang mengatakan bahwa hukum penerbangan tidaklah lebih dari pada umpulan norma-norma yang diambil dari lapangan hukum lain, seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang, dan Hukum Antarnegara, yang diberlakukan dalam hukum penerbangan, menurut E. Suherman pendapat yang negatif ini sulit untuk dibenarkan.22

Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi “The Contracting States recognize the every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory” mengutip kembali Pasal Konvensi Paris 1919 yang berbunyi “The high contracting States recognize that ever power has complete and exclusive over the airspace above its territory” yang pernah diperdebatkan apakah ruang udara tersebut benar-benar bebas, kecuali untuk mempertahankan 1. Konvensi Chicago 1944

(35)

kedaulatan negara di bawahnya atau terbatas seperti laut teritorial sebagaimana diatur dalam hukum laut internasional atau ada lintas damai bagi pesawat udara asing. Perdebatan tersebut dapat diselesaikan saat Konvensi Paris 1919 ditandatangani.

Setelah Perang Dunia Pertama berakhir disepakati bahwa tiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh berdasarkan hukum kebiasaan internasional sebagaima diatur dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang diambil kembali dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Dalam hubungan ini, pengakuan kedaulatan di udara tidak terbatas pada negara anggota, melainkan juga berlaku terhadap bukan negara anggota Konvensi Chicago 1944. Hal ini jelas dengan adanya istilah every state.

(36)

anggota Konvensi Chicago 1944 terus ke atas sampai tidak terbatas dan ke bawah bumi sepanjang dapat dieksploitasi23

Penerbangan khususnya dan transportasi umumnya memang harus dikelola berlandaskan kebenaran-kebenaran dari bangsa yang beradab yang telah dituangkan dalam berbagai SARPs (Standart and Recommended Practicengas). keamanan dan keselamatan transportasi.24

Konvesi Chicago 1944 adalah instrument hukum internasional khususnya hukum internasional Publik

Konvensi Chicago 7 Desember 1944 mulai berlaku tanggal 7 April 1947. Uni Soviet baru menjadi Negara pihak pada tahun 1967. Konvensi ini membatalkan konvensi Paris 1919, demikian juga konvensi Inter Amerika Havana 1928. Seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago mengakui validitas kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang ini jumlah kesepakatan-kesepakatan tersebut sudah melebihi angka 2000.

25

Hak prerogatif negara anggota dilakukan untuk menghindari konsekuensi prinsip kedaulatan di udara sebagaimana diuraikan di atas. Sepanjang menyangkut . Konvensi Chicago 1944 termasuk sebagai instrument hukum internasional serta hubungan antar lembaga dan lembaga yang dibentuk oleh Konvensi Chicago 1944. Selain itu Konvensi Chicago merupakan sumber hukum untuk Penerbangan Sipil internasional maupun penerbanagan Sipil Nasional.

2. Hak Prerogatif

23

K. Martono, Op. Cit., hal. 18.

24

http://eezcyank.blogspot.com (diakses tanggal 12 Mei 2015)

25

(37)

hak penerbangan (traffic right), Konvensi Chicago 1944 membedakan antara penerbangan internasional tidak berjadwal dengan penerbangan initernasional berjadwal. Kepada penerbangan internasional tidak berjadwal diberi sedikit kelonggaran, sedangkan untuk penerbangan internasional berjadwal tetap harus memperoleh izin lebih dahulu. Mengenai penerbangan internasional berjadwal, pesawat udara asing diberi hak yang sama dengan perusahaan penerbangan nasional dalam penggunaan fasilitas bandar udara dan navigasi penerbangan, sedangkan daerah terlarang (prohibited area) berlaku terhadap pesawat udara nasional, pesawat udara asing baik berjadwal maupun tidak berjadwal26

Sepanjang menyangkut angkutan udara internasional khususnya mengenai pengaturan rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, 3. Angkutan Udara Internasional

Sepanjang menyangkut teknis dan operasional penerbangan, pembahasan di dalam konferensi penerbangan sipil internasional berjalan dengan lancar, kecuali pembahasan di bidang ekonomi angkutan udara. Sepanjang pembahasan di bidang ekonomi angkutan udara, mengalami banyak kesulitan dibandingkan dengan pembahasan di bidang teknis dan operasi penerbangan internasional.

Sepanjang menyangkut ekonomi angkatan udara, pendapat di dalam sidang terpecaya menjadi empat kelompok masing-masing pendapat Amerika Serikat serta pendukungnya pendapat lnggris beserta pendukungnya Pendapat Kanada dan usul gabungan (joint proposal) antara Australia dengan Selandia Baru.

26

(38)

kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara, Amerika Serikat berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara, pemerintah jangan mencampuri. Amerika Serikat berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara, dan tarif angkutan udara diatur sendiri oIeh perusahaan penerbangan yang bersangkutan berdasarkan hukum pasar (supply and demand). Biarlah perusahaan penerbangan mengatur sendiri sesuai dengan kemampuannya.

Posisi Amerika Serikat demikian, di samping memang filosofi liberal di Amerika Serikat, didukung dengan adanya kesepakatan tidak tertulis antara Amerika Serikat dengan Inggris pada saat Perang Dunia Kedua. Semasa Perang Dunia Kedua, Amerika Serikat dengan Inggris mempunyai kesepakatan bahwa Amerika Serikat menyediakan pesawat udara transport jarak jauh, sementara Inggris menyediakan pesawat udara tempur (fighter). Akibat perjanjian tidak tertulis tersebut, sesudah Perang Dunia Kedua berakhir armada Inggris lumpuh (cipple) sementara itu armada Amerika Serikat dengan mudah diubah menjadi pesawat udara komersial sehingga Amerika Serikat tidak takut dan khawatir menghadapi armada nasional Inggris. Sebaliknya Inggris tidak memiliki jalan lain, kecuali harus melindungi armada nasionalnya untuk bersaing dengan armada Amerika Serikat.27

Sepanjang menyangkut ekonomi angkutan udara internasional, posisi Inggris dalam konferensi penerbangan sipil di Chicago tahun 1944 mengenai rute

27

(39)

penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara, maupun tarif angkutan udara sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Tidak ada penerbangan internasional yang dapat dilakukan dari atau ke Inggris, termasuk jajahannya tanpa persetujuan dari pemerintah Inggris. Posisi demikian memang disadari oleh Inggris. Tidak ada jalan lain selain harus melindungi armada nasionalnya terhadap persaingan dengan armada negara lain, terutama Amerika Serikat.28

Posisi Kanada yang berkaitan dengan angkutan udara internasional adalah mengusulkan dibentuk International Air Authority yang akan menentukan pengaturan rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara internasional. Menurut Kanada, rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tariff angkutan udara tidak ditentukan oleh perusahaan penerbangan seperti usul Amerika Serikat, tetapi diatur oleh International Air Authority. Demikian pula Kanada juga berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tariff angkutan udara tidak ditentukan oleh pemerintah seperti usul Inggris, tetapi diatur oleh International Air Authority.29

Usul gabungan (joint proposal) yang disampaikan oleh Australia dan Selandia Baru dibentuk perusahaan penerbangan yang saham-sahamnya dimiliki oleh negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang dibentuk dan perusahaan penerbangan internasional tersebut melakukan rute-rute

28

Ibid., hal 22

(40)

penerbangan internasional seperti dari Melbourne ke London dan sebaliknya, sedangkan rute regional maupun nasional dilayani oleh perusahaan penerbangan yang ada di daerah bersangkutan. Usul gabungan yang diajukan oleh Australia dengan Selandia Baru rersebut ditolak oleh konferensi, tetapi usul tersebut mengilhami lahirnya Pasal 77 Konvensi Chicago 1944.28 Di dalam Pasal tersebut dikatakan tidak ada larangan pembentukan perusahaan penerbangan internasional yang dioperasikan bersama (international joint operation agency).30

Kegagalan untuk menyepakati pertukaran hak-hak penerbangan tersebut secara multilateral tetap diusahakan untuk mengurangi tingkat kegagalan, oleh karena itu, konferensi penerbangan sipil internasional tersebut masih berusaha dengan mengesahkan “International Air Services Transit Agreement dan International Air Transport Agreement” yang telah dibahas di atas. Di samping itu, konferensi penerbangan sipil internasional juga mengesahkan dokumen tentang “International Civil Aviation, signed at Chicago on 7 December 1944, Interim Agreement on International Civil Aviation” yang melahirkan “Provisional Semua usul yang dikemukakan oleh Amerika Serikat, Inggris, Kanada maupun usul gabungan Australia dengan Selandia Baru ditoIak oleh konferensi penerbangan sipil internasional sehingga melahirkan Pasal 6 Konvensi Chicago 1944. Menurut Pasal tersebut tidak ada penerbangan internasional berjadwal dapat dilakukan ke negara anggota lainnya, kecuali telah memperoleh izin lebih dahulu. Izin demikian biasanya diatur dalam perjanjian angkutan udara internasional timbale balik.

30

(41)

International Civil Aviation Organization” dan “Chicago Standard Form Agreement” yang akan digunakan sebagai panduan dalam pembuatan perjanjian angkutan udara internasional timbal balik.

4. Operasi Penerbangan

Sebagaimana disebutkan di atas, sepanjang menyangkut keselamatan penerbangan, khususnya ketentuan yang berkenaan dengan operasi penerbangan, konferensi penerbangan sipil internasional sepakat hampir semua ketentuan yang pernah diatur dalam Konvensi Paris 1919 maupun Konvensi Havana 1928 disetujui untuk diatur kembali dalam Konvensi Chicago 1944. Ketentuan-ketentuan operasi penerbangan tersebut antara lain penerbangan tanpa penerbang (pilotless), terbang di daerah terlarang, pendaratan di bandara yang ditetapkan, peraturan yang berlaku untuk operasional, lalu lintas udara, pencegahan wabah kolera, tipes, cacar air, penyakit kuning, dan lain-lain, pencarian dan pertolongan pada kecelakaan pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, pesawat udara dalam bahaya, investigasi kecelakaan pesawat udara, dokumen penerbangan, sertifikasi awak pesawat udara dan pesawat udara, peralatan, dan lain-lain.31

Pesawat udara nasional maupun asing dilarang terbang di atas daerah terlarang (prohibited area) atau daerah terbatas (restricted area) untuk menjamin keselamatan penerbangan (aviation safety), ekonomi nasional (national prosperity), maupun keamanan nasional (national security). Larangan tersebut 5. Daerah Terlarang (Prohibited Area)

31

(42)

berlaku umum terhadap pesawat udara mana pun juga, tidak boleh diskriminasi. Bila pesawat udara asing dilarang terbang di daerah tersebut, pesawat udara nasional juga harus dilarang. Penentuan daerah terlarang hanya didasari atas pertimbangan keamanan nasional (national security), keselamatan penerbangan (aviation safety) maupun kemakmuran nasional (national prosperity. Tidak boleh penentuan daerah terlarang atas pertimbangan politik seperti pernah dilakukan oleh India, di mana pesawat udara milik Pakistan dilarang terbang dari Pakistan Barat ke Pakistan Timur (sekarang bernama Bangladesh), melalui rute penerbangan yang biasanya digunakan, tetapi pesawat udara tersebut diperintahkan terbang melalui jalur penerbangan yang sangat jauh sehingga memakan biaya operasi yang sangat besar.

Bila pesawat udara asing maupun nasional terlanjur berada di daerah terlarang, pesawat udara tersebut segera diinformasikan agar pesawat udara segera meninggalkan daerah terlarang. Namun demikian, bila mereka tidak menyadari posisinya, pesawat udara tersebut dikejar dan dipaksa untuk mendarat di bandar udara (airport) atau pangkalan udara (airbase) yang berdekatan. Pesawat udara tersebut tidak boleh ditembak, karena penembakan pesawat udara sipil bertentangan dengan semangat keselamatan yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944, bertentangan dengan ajaran hukum (doctrine) tentang bela diri maupun bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

(43)

kesalahan yang dilakukan oleh pesawat udara sipil yang terlanjur terbang di daerah larangan terbang. Pesawat udara sipil yang ditembak jelas bertentangan dengan hak-hak asasi manusia karena pesawat udara sipil tidak dipersenjatai, padahal pesawat udara yang menembak dipersenjatai.32

Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berhak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya, baik untuk operasi penerbangan nasional maupun internasional yang berasal atau ke Negara tersebut. Namun demikian, peraturan tersebut harus berlaku terhadap semua pesawat udara nasional maupun internasional. Bila negara tersebut mengeluarkan peraturan harus mempertimbangkan keselamatan penerbangan sipil. Hukum dan regulasi penerbangan yang berlaku adalah hukum nasional negara tersebut, kecuali pesawat udara yang terbang di atas laut lepas akan berlaku hukum internasional sebagaimana diatur dalam Konvensi Chicago 1944 beserta peraturan pelaksanaannya.

6. Hukum dan Regulasi

33

Pesawat udara nasional maupun asing, kecuali melakukan, pendaratan darurat hanya dapat diizinkan melakukan pendaratan pada bandar udara yang dilengkapi dengan petugas bea cukai (customs), imigrasi (immigration) dan karantina (quarantine) baik karantina tumbuh-tumbuhan hewan maupun

7. Customs Immigration Quarantine, dan Wabah Penyakit

32

Ibid., hal 25

33

(44)

kesehatan. Semua penumpang maupun barang yang diterima maupun yang akan dikirim harus mematuhi hukum dan regulasi negara tersebut.34

Setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional, khususnya harus bebas dari wabah penyakit kolera, tipus, cacar air, penyakit kuning, dan flu burung.35

Di dalam hukum internasional setiap pesawat udara sipil yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan (nationality and registration mark).

Oleh karena negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional harus bekerjasama erat, saling menjamin terselenggaranya penerbangan internasional yang bebas dari wabah penyakit tersebut. Konsultasi terus menerus berlangsung tanpa ada kecurigaan yang tidak baik terhadap negara anggota lainnya. Dalam hal-hal tertentu di suatu negara melarang penumpang turun dari pesawat udara sebelum diadakan disinsektisasi oleh negara tersebut.

8. Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara

36

Pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara menggunakan prinsip pendaftaran tunggal. Tidak ada pesawat udara secara resmi diakui mempunyai pendaftaran ganda (dual registration),37

Pesawat udara memperoleh tanda kebangsaan dan pendaftaran dari Negara tempat pesawat udara didaftarkan. Pesawat udara yang telah memperoleh pendaftaran dan kebangsaan mempunyai status hukum sebagai warga negara dari

34

Pasal 13 Konvensi Chicago 1944.

35

Pasal 14 Konvensi Chicago 1944.

36

Pasal 20 Konvensi Chicago 1944

37

(45)

negara tempat didaftarkan yang pada gilirannya memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Pesawat udara yang telah sehingga pesawat udara dapat didaftarkan bilamana telah dihapuskan pendaftaran sebelumnya. Pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional harus menampilkan (display) tanda pendaftaran dan kebangsaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Konvensi Chicago 1944.

Konvensi Chicago 1944 tidak mengatur persyaratan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris 1919. Menurut konvensi Chicago 1944 prosedur dan tata cara serta persyaratan pendaftaran pesawat udara diatur berdasarkan hukum dan regulasi hukum nasional negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, dapat terjadi perbedaan persyaratan pendaftaran pesawat udara dari satu negara ke negara yang lain.

Persyaratan pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pesawat udara memperoleh tanda kebangsaan dan pendaftaran dari Negara tempat pesawat udara didaftarkan. Pesawat udara yang telah memperoleh pendaftaran dan kebangsaan mempunyai status hukum sebagai warga negara dari negara tempat didaftarkan yang pada gilirannya memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam hukum nasional maupun hukum internasional.

(46)

mempunyai kewajiban mematuhi semua hukum dan regulasi penerbangan nasional maupun internasional. Sebagai warga negara dari negara tempat didaftarkan, pesawat udara juga sebagai subjek hukum internasional. Dengan demikian, pesawat udara juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam hal pesawat udara melakukan pelanggaran hukum, maka pesawat udara tersebut dapat disita oleh negara yang bersangkutan.

Pesawat udara harus mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan. Demikian pula pesawat angkasa maupun kapal laut. Hal ini berbeda dengan kendaraan darat. Kendaraan darat tidak wajib mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan. Dahulu sebelum tahun 1926 ada konvensi internasional yang mengharuskan pendaftaran dan kebangsaan kendaraan darat, tetapi sesudah tahun 1926, tidak ada konvensi yang mengharuskan kendaraan darat mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan. Pendaftaran kendaraan darat yang sekarang ada bukan untuk memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan, tetapi untuk keperluan statistik kriminal, dan administrasi bukan untuk memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan.38

Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mempunyai kewajiban melaporkan pendaftaran pesawat udara didaftarkan di negara tersebut. Di samping itu, atas permitaan negara lain, negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional juga mempunyai kewajiban untuk memberi tahu pesawat udara yang didaftarkan dengan kepemilikannya. Setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan international harus dilengkapi

38

(47)

sertifikat pendaftaran dan kebangsaan (certificate of registration mark). Dalam hal pesawat udara yang terbang internasional tidak dilengkapi dengan sertifikat pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, merupakan pelanggaran hukum nasional maupun hukum internasional.39

Investigasi kecelakaan pesawat udara diatur dalam Pasal 26 Konvensi Chicago 1944, dalam hal terjadi kecelakaan pesawat udara di wilayah negara 9. Pencarian dan Pertolongan Kecelakaan Pcsawat Udara

Dalam hal terjadi kecelakaan pesawat udara, negara tempat kecelakaan pesawat udara terjadi mempunyai kewajiban untuk mengambil langkah-langkah tertentu untuk memberi pertolongan pesawat udara yang menghadapi bahaya atau mengalami kecelakaan. Negara tempat pesawat udara menghadapi bahaya wajib mengizinkan pemilik pesawat udara atau pejabat negara tempat pesawat udara didaftarkan untuk memberi bantuan atau langkah-langkah yang mungkin diperlukan oleh pesawat udara yang menghadapi bahaya. Dalam hal pesawat udara hilang, perlu ada kerja sama dalam pencarian dan pertolongan terhadap pesawat udara yang menghadapi bahaya. Pelaksanaan pencarian dan pertolongan tersebut diatur lebih lanjut dalam Annex 12 Konvensi Chicago 1944.

Pencarian dan pertolongan pesawat udara dalam hukum nasional Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pada tataran regional telah diatur dalam perjanjian secara multilateral di antara Negara- negara Asean.

10. Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara

39

(48)

anggota Organisasi Penerbangan Sipil internasional, negara tersebut mempunyai kewajiban untuk mengadakan investigasi penyebab kecelakaan pesawat udara. Sepanjang hukum nasional mengizinkan, prosedur dan tata cara investigasi kecelakaan pesawat udara mengacu kepada rekomendasi yang diberikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Berdasarkan ketentuan tersebut berarti kedudukan hukum nasional lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan hukum internasional negara tempat pesawat udara didaftarkan (negara pendaftar) diberi kesempatan untuk mengirim perwakilan resmi guna menyaksikan proses investigasi kecelakaan pesawat udara. Hal ini diperlukan karena sebagian besar catatan mengenai dokumentasi pesawat udara yang bersangkutan ada di negara tempat pesawat udara didaftarkan. Sebagai implementasi ketentuan Pasal tersebut telah dikeluarkan Annex 13 Konvensi Chicago 1944 tentang Aircraft Accident Investigation sebagai panduan bagi negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional untuk melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara.

Dalam hukum nasional Indonesia, investigasi kecelakaan pesawat udara telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, namun demikian perlu dicatat di sini bahwa tujuan investigasi kecelakaan pesawat udara adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi kecelakaan pesawat udara dengan sebab yang sama, bukan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.

11. Dokumen Penerbangan

(49)

Menurut Pasal 29 Konvensi Chicago 1944 setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional harus dilengkapi dengan dokumen penerbangan yang terdiri dari;

(a) sertifikat pendaftaran dan kebangsaan (certificate of registration) pesawat udara;

(a) sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness);

(b) sertifikat kecakapan (certificate of competency) semua awak pesawat udara;

(c) buku perjalanan penerbangan (log book);

(d) bila pesawat udara tersebut dilengkapi dengan peralatan radio, harus dilengkapi dengan sertifikat stasiun radionya;

(e) bila pesawat udara mengangkut penumpang harus dilengkapi dengan daftar penumpang (passenger’s manifest), baik nama dan tempat keberangkatannya;

(f) bila pesawat udara mengangkut kargo, harus dilengkapi dengan daftar barang (cargo manifest) beserta perinciannya;

(g) deklarasi umum (general declaration).40 12. Amunisi

Kecuali atas persetujuan dari negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan, tidak ada pesawat udara yang mengangkut amunisi atau bahan-bahan yang digunakan untuk perang, diangkut melalui ruang udara negara anggotaOrganisasi Penerbangan Sipil Internasional Iainnya. Setiap negara berhak

40

(50)

mengatur pengangkutan amunisi atau barang-barang yang digunakan untuk perang melewati wilayah udara mereka. Pengaturan tersebut bersifat seragam sesuai dengan rekomendasi dari Organisasi Penerbangan Sipil lnternasional. Dalam hukum internasional pengaturan bahan-bahan berbahaya tersebut direkomendasikan dalam Annex 18 Konvensi Chicago 1944. Setiap negara berhak untuk menolak pengangkutan tersebut atas pertimbangan keselamatan (aviation safety) dan keamanan nasional (national security). Larangan pengangkutan tersebut berlaku baik untuk penerbangan pesawat udara nasional maupun pesawat udara asing (nondiscrimination treatment).

13. Sertifikasi Pesawat Udara dan Awak Pesawat Udara

Semua pesawat udara yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness) Sertifikat kelaikan udara tersebut dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Dalam hal pesawat udara dioperasikan bersama secara internasional (joint international operation), salah satu negara harus ditunjuk sebagai Negara pendaftar pesawat udara yang berhak mengeluarkan sertifikat kelaikan udara. Sertifikat kelaikan udara tersebut dapat diakui sah oleh negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan (over flown state), bilamana persyaratan untuk memperoleh sentifikat kelaikan udara tersebut minimum sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan pensyaratan yang direkomendasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional.

(51)

mendelegasikan kepada negara perusahaan penerbangan yang menyewa pesawat udara (lessee state) untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun sertifikat kecakapan (certificate of competency) awak pesawat udara. Misalnya Garuda Indonesia menyewa pesawat udara Martin Air registrasi PH (Belanda). Maka pemerintah Belanda mendelegasikan kepada pemerintah Indonesia sebagai negara tempat perusahaan penerbangan yang menyewa pesawat udara tanpa awak pesawat udara untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun sertifikat kecakapan awak pesawat udara.

Pendelegasian wewenang untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun sertifikat kecakapan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia tersebut tidak berlaku terhadap negara ketiga karena pendelegasian tersebut hanya bersifat bilateral antara Belanda dengan Indonesia, kecuali Belanda dan Indonesia meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944. Bila Belanda maupun Indonesia telah meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944, pendelegasian tersebut dapat diakui oleh negara selain Belanda dan Indonesia, sepanjang negara tersebut juga meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944.41

Setiap sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness) maupun sertifikat kecakapan (certificate of competency) yang secara sah dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan wajib diakui sah oleh negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional lainnya. Pengakuan tersebut dapat dilakukan bila persyaratan untuk memperoleh sertifikat kecakapan tersebut sama

41

(52)

atau di atas persyaratan minimum yang direkomendasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sebagaima disebutkan di atas, yang secara terus menerus ditumbuhkembangkan. Setiap kapten penerbang atau awak pesawat udara lainnya yang melakukan penerbangan internasional harus dilengkapi dengan sertifikat kecakapan (certificate of competency) yang sah dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Namun demikian, negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan internasional tersebut berhak untuk tidak mengakui sertifikat yang dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Semua sertifikat pendaftaran pesawat udara (aircraft registration), sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness), sertifikat kecakapan semua awak pesawat udara (certificate of competency) harus dibawa dalam penerbangan internasional. Disamping itu, selama penerbangan internasional juga harus dilengkapi dengan buku harian perjalanan (log book) yang berisikan terutama pesawat udara beserta awak pesawat udara dalam formulasi yang terus menerus ditumbuhkembangkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil lnternasional.42

Tidak ada sertifikat kelaikan udara atau sertifikat kecakapan awak pesawat udara yang ditandatangani (endorsed) otomatis dapat berlaku untuk penerbangan internasional kecuali telah memperoleh persetujuan dari negara tempat pesawat udara tersebut melakukan penerbangan.43

ICAO merupakan suatu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berkedudukan di Montreal. Badan ini secara resmi mulai berdiri pada tanggal 4 April 1947, sebagai kelanjutan dari PICAO (Provisional International Civil

42

Pasal 33 Konvensi Chicago 1944

43

(53)

Aviation Organization), yang mulai berfungsi setelah konvensi Chicago 1944, maksud dan tujuan dari ICAO adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan tehnik-tehnik navigasi udara internasional dan membina perencanaan dan perkembangan angkutan udara internasional.44

Kebijakan-kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya melalui keputusan yang diambil dalam sidang Umum dan Sidang Council, adalah kebijakan-kebijakan berlandaskan kebenaran-kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.

Kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya yang selalu dan terus-menerus diperbarui melalui amandemen-amandemen adalah kebijakan-kebijakan yang diputuskan berdasarkan kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan yaitu kebenaran-kebenaran ilmiah yang diperoleh dari berbagai penelitian dan pengembangan (Research and Development) dari berbagai disiplin ilmu yang terkait baik dalam bentuk teori maupun model-model analisis.

45

Delapan belas Annex Konvensi Chicago 1944 pada dasarnya merupakan standart kelayakan yang ditunjukkan kepada seluruh anggota ICAO untuk menjamin keselamatan penerbangan internasional, namun dalam prakteknya SARPs ini juga ditujukan untuk standar kelayakan kelayakan udara pada penerbangan internasional. Annex ini juga menjadi landasan-landasan ICAO untuk membentuk International Standart and Recommended Proctices (ISRPs/SARPs) adapun delapan belas Annex tersebut adalah Convention On

44

Yaddy Supriadi, Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, Telaga Ilmu Indonesia, Tanggerang,2012, hal.1

(54)

International Civil Aviation Annex 1 to 18 International Civil Aviation Organization.46

46

AchmadMoegandi, Mengenal dunia Penerbangan Sipil, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1996, hal 78

Annex1 - Personal Licensing: memuat pengaturan tentang izin bagi awak pesawat mengatur lalu lintas udara dan personil pesawat udara.

2.Annex2 - Rules of The Air: aturan-aturan yang berkaitan dengan penerbangan secara visual dan penerbangan dengan menggunakan instrument.

3.Annex3 - Meterological Service for International Air Navigation: memuat ketentuan mengenai layanan meteorology cal bagi navigasi internasional dan pemberitahuan hasil observasi meteorology dari pesawat udara.

4.Annex4 - Aeronautical Charts: pengaturan tentang spesifikasi peta aeronautical yang digunakan dalam penerbangan internasional.

5.Annex5 - Units of Measurement to be Used in Air and Ground Operation: ketentuan mengenai satuan-satuan ukuran yang digunakan dalam penerbangan. 6.Annex 6 - Operation Aircraft: mengatur tentang spesifikasiyang akan menjamin dalam keadaan yang sama, penerbangan diseluruh dunia berada pada tingkat keamanan diatas tingkat minimum yang telah ditetapkan.

7.Annex 7- Aircraft Nationality and Registration Marks: membuat persyaratan-persyaratan umum untuk pendaftaran dan identifikasi pesawat udara.

(55)

9.Annex9 – Facilitation: ketentuan mengenai standar fasilitas-fasilitas Bandar dara yang akan menunjang kelancaran dan masuknya pesawat udara, penumpang dan cargo di Bandar Udara.

10.Annex10 - Aeranutical Communications: mengatur tentang prosedur standar, sistem, dan peralatan komunika

Annex11 - Air T

Referensi

Dokumen terkait

hipotesis ketujuh (H 7 ) dapat diterima, yang menunjukkan bahwa variabel profesionalisme dapat memediasi pengaruh time budget pressure pada kinerja auditor. Baotham

[r]

Nabi bersabda kepadanya: “ Kamu telah tergesa-gesa wahai orang yang sedang shalat. Apabila anda selesai shalat, lalu kamu duduk, maka memujilah kepada Allah dengan

Tabel Pengujian Black Box Singgasanasseni_ Karya No Deskripsi Pengujian Hasil Yang Diharapkan Hasil Pengujian Kesimpulan 1 User mengisi form data singgasanaseni

tumbuh pada tanah / substrat yang baru terbentuk dan tidak cocok untuk

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah pre - post test two group design dengan membandingkan hasil

Modal sosial yang dimiliki oleh Panti Asuhan Nurul Haq mulai tahun 1987 sampai dengan tahun 2014, baik dari unsur kepercayaan, norma, jaringan dan timbal-baliknya

Sedangkan produk hukum Kabupaten Kulon Progo secara eksplisit maupun implisit sudah banyak yang merumuskan dan mengiplementasikan AAUPB serta menguraikannya secara