• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Cagar Budaya Warisan Dunia (World Heritage), yang Dipersengketakan oleh Negara-negara Menurut Hukum Internasional (Studi Kasus: Sengketa Angkor Wat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Cagar Budaya Warisan Dunia (World Heritage), yang Dipersengketakan oleh Negara-negara Menurut Hukum Internasional (Studi Kasus: Sengketa Angkor Wat)"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adolf, Huala, 2002. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional , Sinar

Grafika ; Jakarta

Ambarwati, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan

Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, (Jakarta, 2013)

Burhan Stani , 1990 , Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty ; Yogyakarta

Dinstein, Yoram, 1977, The Conduct of Hostilities under the Law of

Internasional Armed Conflict, Cambridge University Press : Cambridge

J.L Brierly, 1996 , Hukum Bangsa-Bangsa Suatu Pengantar Hukum

Internasional, Brathara, Jakarta

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)

Kolb, Robert dan Richard Hycle , 2008,. An Introduction to the International Law

of Armed Conflicts ,Hart Publishing , Portland

McCoubrey, Hilaire ,1990 , International Humanitraian Law, The Regulation of

Armed Conflicts, Dartmouth Publishing , Aldershot.

Oppenheim, L 1935 , International Law. A Treatise , Ed. 5 , Longmans, Green &

Co , London

Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan,

1991

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 2000)

Rejeki,Sri. 2006. Modul Pendidikan Kewarganegaraan , PT. Patama Mitra

Aksara , Surakarta

(2)

Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan Filosofis, Gramedia Pustaka Utama (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1993)

Starke J.G , 2010, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika ; Jakarta

Toman, Jiri 1996 , The Protection of Cultural Property in The Event of Armed

Conflict, Dartmouth Publishing Company , Aldershot

B. Artikel

A.P.V. Rogers, Law on the Battlefield ed 2 (Manchaster: Manchaster University Press, 2004)

Elisa.S , “Protecting Cultural Property During A Time of War 1996

Sasha P Paroff, “ Another Victim of the War in Iraq; The Looting of the National Museum in Baghdad and the Inadequacies of international Protection of Cultural Property, “ Emory Law Journal (Fall 2004)

Stanislaw Edward Nahlik, “Protection of Cultural Property”dalam Internasional Dimensions of Humanitarian Law (Paris: Henry Dunant Institute, 1987)

C. Undang-Undang

Diplomatic Conference of Geneva of 1949, Convention IV relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, 12 Agustus 1949

Institute of International Law, The Laws of War on Land 9 September 1880

Treaty on the Protection of Artistic and Scientific Institution and Historic Monuments (Roerich Pact) 15 April 1935

United Nations, Conference on International Organization Charter of the United Nations, Multilateral Treaties Deposited with the Secretary-General Chapter I.I. 26 Juni 1945

United Nations, Constitution of the United of the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, U.N . Treaty Series Vol 4152, 16 November 1945 , pasal 2 (1)

Konvensi tentang Perlindungan Benda Budaya pada Waktu Sengketa Bersenjata tahun 1977

(3)

Undang-undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

Konvensi DenHaag 1954

Konstitusi Unesco

D. Internet

http://www.antarabengkulu.com/berita/19359/lestarikan-warisan-budaya-agar-tak-disanksi-unesco

http://www.scribd.com/doc/89959718/Pengakuan-Dalam -Hukum-Internasional

http://masniam.wordpress.com/2010/04/21/pengakuan-secara-kolektif/

www.Jatim.go.id/artikel/intrnasional/hukum

http://smakita.net/penyelesaian-sengketa-internasional

http://fitrohsyawali.wordpress.com/2010/05/10/makalah-penyelesaian-sengketa-international/

http://www.anneahira.com/sengketa internasional.htmlDjuned Hasani , Sengketa

Wilayah Perbatasan Thailand dan Kamboja ,

http://antaranews.com/artikel Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand dan Kamboja .

Faaqih Irfan Djailani , Konflik Angkor Watt dan Sekian Hubungan

Thailand-Kamboja; http://id.wikipedia.org/wiki.Konflik-Angkor-watt-dan-sekian-hubungan-Thailand-Kamboja

GunKarta, Angkor Wat ; http://id.m.wikipedia.org/wiki/angkor_Wat

Ita lismawati , Usai Sengketa, Areal Angkor Watt Jadi Milik Kamboja

;http://viva.co.id Areal-Angkor-Watt-Jadi-Milik-Kamboja.

(4)

Makarim Wibisono ; Dinamika baru Sengketa Angkor Watt ; http://id.Kompas.com.Dinamika-Baru-Sengketa-Perbatasan

Menanti Diplomasi tingkat tinggi Indonesia dalam konflik Thailand-Kamboja

http://www.politik.lipi.go.id/index/php/en/columns/politik- internasional/451-menanti-diplomasi-tingkat-tinggi-indonesia-dalam-konflik-thailand-kamboja

Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB

id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Pendidikan,_Keilmuan,_dan_Kebudayaan_PBB

Putri perwira, Konflik Thailand Kamboja ;

http://www.scribd.com/doc/konflik-thailand-Kamboja-doc

Skripsi Muhammad Aksha Peranan Unesco terhadap Perlindungan Benda Budaya , http://repository.unhas.ac.id/handle. diakses pada tanggal 7 Mei 2016 Pukul 11.00 WIB

(5)

BAB III

PROSEDUR DAN TATACARA PENGAKUAN INTERNASIONAL

TERHADAP CAGAR BUDAYA

A. Pengakuan Internasional

Pengakuan merupakan masalah yang paling rumit di dalam hukum

internasional. Hal ini dikarenakan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu :

1. Faktor Politik

Faktor politik ini menentukan entitas, dihubungkan dengan kepentingan nasional.

Contoh : sampai dengan saat ini kepentingan Indonesia tidak menengahi

Indonesia untuk mengakui Israel sebagai Negara.54

Tidak ada ketentuan yang pasti atau tegas dalam hukum internasional yang

mengatur tentang pengakuan. Sehingga masalah “pengakuan” merupakan

kehendak bebas (free act).

Negara bebas untuk bertindak, apakah akan memberikan pengakuan atau

tidak, itu merupakan kehendak bebas.55

Kedua hal ini yang menyebabkan pengakuan menjadi masalah yang rumit.

Disini terdapat pencampuran atau gabungan antara hukum internasional dengan

hukum nasional.

Pengakuan :

1. Negara yang akui dan diakui sederajat

54

Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional , Sinar Grafika ; Jakarta 2001, hal 63

55

(6)

2. Negara yang saling akui ada atau siap melakukan kerjasama atau

hubungan bilateral (perjanjian internasional)

Akibat dari pengakuan, jika diakui maka akan terjadi negoisasi antar

Negara yang mengakui dan diakui, demikian sebaliknya.56

1. Teori-teori tentang Pengakuan

Salah satu materi penting dalam pengajaran hukum internasional adalah

masalah pengakuan (recognition). Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada

atau tidaknya pengakuan membawa suatu akibat hukum terhadap status atau

keberadaan suatu Negara menurut hukum internasional? Dalam hubungan itu ada

beberapa teori :

a. Teori Deklaratoir

b. Teori Konstitutif

c. Teori Pemisah atau Jalan Tengah

Menurut penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah

pernyataan formal saja bahwa suatu Negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau

tidaknya pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu

Negara sebagai subjek hukum internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya

pengakuan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban suatu

Negara dalam hubungan internasional.57

Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori

Konstitutif, pengakuan justru sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan

penerimaan terhadap suatu Negara sebagai anggota masyarakat internasional.

56

Ibid , hal 77

57

(7)

Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-tidaknya kepribadian hukum

internasional (international legal personality) suatu Negara. Dengan kata lain,

tanpa pengakuan, suatu Negara bukan belumlah merupakan subjek hukum

internasional.58

Karena adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas

lahir teori yang mencoba memberikan jalan tengah. Teori ini juga disebut Teori

Pemisah karena, menurut teori ini, harus dipisahkan antara kepribadian hukum

suatu Negara dan pelaksanaan hak dan kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk

menjadi sebuah pribadi hukum, suatu Negara tidak memerlukan pengakuan.

Namun, agar pribadi hukum itu dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam

hukum internasional maka diperlukan pengakuan oleh Negara-negara lain.

2. Macam atau Jenis Pengakuan

Ada dua macam atau jeni pengakuan ,yaitu :

a. Pengakuan de Facto; dan

b. Pengakuan de Jure

Pengakuan de facto, secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan

terhadap suatu fakta. Maksudnya, pengakuan ini diberikan jika faktanya suatu

Negara itu memang ada. Oleh karena itu, bertahan atau tidaknya pengakuan ini

tergantung pada fakta itu sendiri, apa fakta itu (yakni Negara yang diberi

pengakuan tadi) bisa bertahan atau tidak. Dengan demikian, pengakuan ini

bersifat sementara. Lebih lanjut, karena sifatnya hanya memberikan pengakuan

terhadap suatu fakta maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau

58

(8)

tidaknya pihak yang diakui itu. Sebab, bilamana Negara yang diakui (atau fakta

itu) ternyata tidak bisa bertahan, maka pengakuan ini pun akan berakhir dengan

sendirinya.59

Berbeda dengan pengakuan de facto yang bersifat sementara, pengakuan

de jure adalah pengakuan yang bersifat permanen. Pengakuan ini diberikan

apabila Negara yang akan memberikan pengakuan itu sudah yakin betul bahwa

suatu Negara yang baru lahir itu akan bisa bertahan. Oleh karena itu, biasanya

suatu Negara akan memberikan pengakuan de facto terlebih dahulu baru

kemudian de jure. Namun tidak selalu harus demikian. Sebab bisa saja suatu

Negara, tanpa melalui pemberian pengakuan de facto, langsung memberikan

pengakuan de jure. Biasanya pengakuan de jure akan diberikan apabila :

a) Penguasa di Negara (baru) itu benar-benar menguasai (secara formal

maupun substansial) wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaanya;

b) Rakyat di Negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima penguasa

(baru) itu;

c) Ada kesediaan dari pihak yang akan diakui untuk menghormati hukum

internasional.

3. Cara Pemberian Pengakuan

a. Dilakukan dengan Expresset Recognition

Pengakuan dilakukan secara tegas

Contoh :

59

(9)

1) Dengan pengiriman nota diplomatik resmi, yang menyebutkan bahwa

suatu pemerintah atau Negara memberikan pengakuan baik terhadap

pemerintah atau Negara.

2) Mengrimkan utusan untuk hadir dalam upacara pelantikan (diberikan

undangan, Negara tersebut merespon dengan mengirimkan wakil

diplomatik)60

b. Implied recognition

Pengakuan secara diam-diam atau secara terselubung. Dari tindakannya

terlihat Negara itu bisa disimpulkan memberikan pengakuan.

Contoh : pengikatan perjanjian bilateral

Australia dan Indonesia melakukan perjanjian bilateral untuk mengelola

Timor Gep (Celah Timor). Padahal pada saat itu, Timor Timur belum resmi

menjadi provinsi Negara Indonesia. Australia juga belum secara tegas mengakui

Indonesia. Namun jika tidak mengakui, tidak mungkin melakukan perjanjian.

Sehingga perjanjian bilateral untuk mengelola Timor Gep dianggap sebagai

pengakuan secara diam-diam atau secara terselubung Australia terhadap

Indonesia.61

c. Pengakuan secara kolektif

Pengakuan secara kolektif ini masih menjadi perdebatan para pakar hukum.

Contoh : dalam konferensi ke Negara-negara, ada Negara yang tidak diakui.

(10)

keberatannya Negara-negara Islam untuk hadir, dimana Israel hadir, hal ini

disebut Negara tersebut telah memberikan pengakuan secara kolektif. Namun, ada

yang berpendapat bahwa pengakuan secara kolektif tidak ada.62

4. Penarikan Kembali Pengakuan

Secara umum dikatakan bahwa pengakuan diberikan harus dengan

kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan terlebih dahulu harus yakin

bahwa pihak yang akan diberi pengakuan itu telah benar-benar memenuhi

kuaifikasi sebagai pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukum

internasional (international legal personality).

Sehingga, apabila pengakuan itu diberikan maka pengakuan itu akan

berlaku untuk selamanya dalam pengertian selama pihak yang diakui itu tidak

kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi hukum menurut hukum internasional

(catatan: masalah pengakuan ini akan disinggung lebih jauh dalam pembahasan

mengenai suksesi Negara).63

Namun, dalam diskursus akademik, satu pertanyaan penting kerapkali

muncul yaitu apakah suatu pengakuan yang diberikan oleh suatu Negara dapat

ditarik kembali? Pertanyaan ini berkait dengan persoalan diperbolehkan atau

tidaknya memberikan persyaratan terhadap pengakuan.

Terhadap persoalan diatas, ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana

yang dapat digolongkan ke dalam dua golongan :

a. Golongan pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa pengakuan

dapat ditarik kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat

62

Ibid, hal 15

63

(11)

tertentu dan ternyata pihak yang diakui kemudian terbukti tidak memenuhi

persyaratan itu;

b. Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa, sekalipun

pengakuan diberikan dengan disertai syarat, tidak dapat ditarik kembali,

sebab tidak dipenuhinya syarat itu tidak menghilang eksistensi pihak yang

telah diakui tersebut.64

Sesungguhnya ada pula pandangan yang menyatakan bahwa pengakuan itu

tidak boleh disertai dengan persyaratan. Misalnya, persyaratan itu diberikan demi

kepentingan pihak yang mengakui. Contohnya, suatu Negara akan memberikan

pengakuan kepada Negara lain jika Negara yang disebut belakangan ini bersedia

menyediakan salah satu wilayahnya sebagai pangkalan militer pihak yang hendak

memberikan pengakuan.

Persyaratan semacam itu tidak dibenarkan karena dianggap sebagai

pemaksaan kehendak secara sepihak. Hal demikian dipandang tidak layak karena

pengakuan yang pada hakikatnya merupakan pernyataan sikap yang bersifat

sepihak disertai dengan persyaratan yang membebani pihak yang hendak diberi

pengakuan.

Pertimbangan lain yang tidak membenarkan pemberian persyaratan dalam

memberikan pengakuan (yang berarti tidak membenarkan pula adanya penarikan

kembali pengakuan) adalah bahwa memberi pengakuan itu bukanlah kewajiban

yang ditentukan oleh hukum internasional. Artinya, bersedia atau tidak

bersedianya suatu Negara memberikan pengakuan terhadap suatu peristiwa atau

64

(12)

fakta baru tertentu sepenuhnya berada di tangan Negara itu sendiri. Dengan kata

lain, apakah suatu Negara akan memberikan pengakuannya atau tidak, hal itu

sepenuhnya merupakan pertimbangan subjektif Negara yang bersangkutan.65

Persoalan lain yang timbul adalah bahwa dikarenakan tidak adanya ukuran

objektif untuk pemberian pengakuan itu maka secara akademik menjadi

pertanyaan apakah pengakuan itu merupakan bagian dari atau bidang kajian

hukum internasional ataukah bidang kajian dari politik internasional. Secara

keilmuwan, pertanyaan ini sulit dijawab karena praktiknya pengakuan itu lebih

sering diberikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan subjektif yang bersifat

politis daripada hukum. Oleh sebab itulah, banyak pihak yang memandang

pengakuan itu sebagai bagian dari politik internasional, bukan hukum

internasional. Namun, diarenakan pengakuan itu membawa implikasi terhadap

masalah-masalah hukum internasional, hukum nasional, bahkan juga

putusan-putusan badan peradilan internasional maupun nasional, bagian terbesar ahli

hukum internasional menjadikan pengakuan sebagai bagian dari pembahasan

hukum internasional, khususnya dalam kaitannya dengan substansi pembahasan

tentang Negara sebagai subjek hukum internasional.66

5. Bentuk- bentuk Pengakuan

Yang baru saja kita bicarakan adalah pengakuan terhadap suatu Negara.

Dalam praktik hubungan internasional hingga saat ini, pengakuan ternyata bukan

65

Ibid , hal 16

66

(13)

hanya diberikan terhadap suatu Negara. Ada berbagai macam bentuk pemberian

pengakuan, yakni (termasuk pengakuan terhadap suatu Negara);

a. Pengakuan Negara baru.

Jelas pengakuan ini diberikan kepada suatu Negara (baik berupa pengakuan de

facto maupun de jure).

b. Pengakuan pemerintah baru.

Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan terhadap Negara dan

pengakuan terhadap pemerintahnya (yang berkuasa). Hal ini biasanya terjadi jika

corak pemerintahan yang lama dan yang baru sangat kontras perbedaanya.

c. Pengakuan sebagai pemberontak.

Pengakuan ini diberikan kepada sekolompok pemberontak yang sedang

melakukan pemberontakan terhadap pemerintahnya sendiri di suatu Negara.

Dengan memberikan pengakuan ini, bukan berarti Negara yang mengakui itu

berpihak kepada pemberontak. Dasar pemikiran pemberian pengakuan ini

semata-mata adalah pertimbangan kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, pemberontak

lazimnya melakukan pemberontakan karena memperjuangkan suatu keyakinan

politik tertentu yang berbeda dengan keyakinan politik pemerintah yang sedang

berkuasa. Oleh karena itu, mereka sebenarnya bukanlah penjahat biasa. Dan itulah

maksud pemberian pengakuan ini, yaitu agar pemberontak tidak diperlakukan

sama dengan kriminal biasa. Namun, pengakuan ini sama sekali tidak

menghalangi penguasa (pemerintah) yang sah untuk menumpas pemberontakan

itu.67

67

(14)

d. Pengakuan beligerensi

Pengakuan ini mirip dengan pengakuan sebagai pemberontak. Namun,

sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak.

Pengakuan ini diberikan bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya

sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung. Konsekuensi

dari pemberian pengakuan ini, antara lain, beligeren dapat memasuki pelabuhan

Negara yang mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dll.

e. Pengakuan sebagai bangsa

Pengakuan ini diberikan kepada suatu bangsa yang sedang berada dalam

tahap membentuk Negara. Mereka dapat diakui sebagai subjek hukum

internsional. Konsekuensi hukumnya sama dengan konsekuensi hukum

pengakuan beligerensi.

f. Pengakuan hak-hak territorial dan situasi internasional baru

(sesungguhnya isinya adalah “tidak mengakui hak-hak dan situasi

internasional baru”).

Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina.

Peristiwanya terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu Manchuria, salah

satu provinsi Cina, dan mendirikan Negara boneka di sana (Manchukuo).68

Padahal Jepang adalah salah satu Negara penandatangan Perjanjian

Perdamaian Paris 1928 (juga dikenal sebagai kellog-Briand Pact atau Paris 1928

(juga dikenal sebagai Kellog-Briand Pact atau Paris Pact), sebuah perjanjian

pengakhiran perang. Dalam perjanjian itu terdapat ketentuan yang menegaskan

68

(15)

bahwa Negara-negara penandatangan sepakat untuk menolak penggunaan perang

sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Dengan demikian maka

penyerbuan Jepang itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang ikut

ditandatanginya. Oleh karena itulah, penyerbuan Jepang ke Manchuria itu diprotes

keras oleh Amerika Serikat melalui menteri luar negerinya, Stimson, yang

menyatakan bahwa Amerika Serikat “ tidak mengakui hak-hak territorial dan

situasi internasional baru” yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu. Inilah sebabnya

pengakuan ini juga dikenal sebagai Stimson‟s Doctrine of Non-Recogniton.

B. Prosedur dan Tata Cara Pengakuan Internasional terhadap Cagar

Budaya

Cagar Budaya merupakan hal yang paling dilindungi ketika terjadi

peperangan maupun pada masa damai. Cagar Budaya yang ada didunia dapat

dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

1. Cagar Budaya yang telah menjadi situs warisan dunia UNESCO

2. Cagar Budaya yang belum menjadi situs warisan dunia UNESCO

Situs Warisan Dunia UNESCO (bahasa Inggris: UNESCO’s World

Heritage Sites) adalah sebuah tempat khusus (misalnya, Taman Nasional, Hutan, Pegunungan, Danau, Pulau, Gurun Pasir, Bangunan, Kompleks, Wilayah,

Pedesaan, dan Kota) yang telah dinominasikan untuk program Warisan Dunia

internasional yang dikelola UNESCO World Heritage Committee, terdiri dari 21

(16)

dalam kontrak 4 tahun.69 Jadi pengertian dari sebuah Situs Warisan Dunia adalah

suatu tempat Budaya dan Alam, serta benda yang berarti bagi umat manusia dan

menjadi sebuah Warisan bagi generasi berikutnya.

Program ini bertujuan untuk mengkatalog, menamakan, dan melestarikan

tempat-tempat yang sangat penting agar menjadi warisan manusia dunia.

Tempat-tempat yang didaftarkan dapat memperoleh dana dari Dana Warisan Dunia di

bawah syarat-syarat tertentu. 70 Program ini diciptakan melalui Pertemuani

Mengenai Pemeliharaan Warisan Kebudayaan dan Alamiah Dunia yang diikuti di

oleh Konferensi Umum UNESCO pada 16 November 1972.71

Pada tahun 1954, pemerintah Mesir memutuskan untuk membuat

Bendungan Aswan (Aswan Dam) sebuah peristiwa yang akan menenggelamkan

sebuah pegunungan yang berisi harta benda dari zaman mesir kuno seperti kuil

Abu Simbel. Kemudian UNESCO meluncurkan kampanye perlindungan secara

besar-besaran diseluruh dunia. Kuil Abu Simbel dan Kuil Philae kemudian

diambil alih, dipindahkan ke tempat yang lebih besar dan dibangun kembali satu

demi satu bagian.

Biaya yang dikeluarkan dalam proyek ini sebesar US$ 80 juta, sekitar US$

40 juta dikumpulkan dari 50 negara. Proyek tersebut dihargai kesuksesannya, dan

dilanjutkan ke proyek penyelamatan lainnya, menyelamatan Venesia dan

danaunya di Italia, Kuil Mohenjo-daro di Pakistan, dan Candi Borobudur di

Indonesia. UNESCO lalu bergabung dengan dewan international bagian situs dan

69

https://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Warisan_Dunia_UNESCO#Daftar_Situs_Warisan_ Dunia_UNESCO Diakses pada tangga 27 Maret 2016 pukul 16.00 WIB

70

Ibid

71

(17)

monumental (International Council on Monuments and Sites) sebuah draft

pertemuan untuk melindungi budaya-budaya kemanusiaan.

Amerika kemudian mengajukan pertemuan untuk menggabungkan

perlindungan alam dengan budaya. Sebuah pertemuan di White House pada tahun

1965 yang dijuluki World Heritage Trust (Pertanggung jawaban terhadap Warisan

Dunia) “untuk melindungi keagungan dan keindahan alam dan situs sejarah dunia

untuk masa kini dan masa depan untuk seluruh warga dunia”. Kemudian,

dikembangkanlah suatu organisasi bernama International Union for Conservation

of Nature pada waktu yang sama pada tahun 1968, dan mereka diperkenalkan pada tahun 1972 saat konferensi Lingkungan Manusia PBB di Stockholm.

Sebuah perjanjian disetujui oleh semua anggota, dan Pertemuan Mengenai

Perlindungan Budaya Dunia dan Warisan Alam dipakai dalam Konferensi Umum

oleh UNESCO pada tanggal 16 November 1972. Terhitung 2004, sejumlah 788

tempat telah dimasukkan ke dalam daftar Warisan Dunia (611 kebudayaan, 154

alamiah dan 23 campuran di 134 Negara Anggota).

Indonesia baru menerima konvensi tersebut pada tanggal 6 Juli 1989, dan

2 tahun kemudian berhasil mendaftarkan 4 warisan dunia yaitu Candi Borobudur

dan Candi Prambanan sebagai warisan budaya dan Taman Nasional Komodo dan

Taman Nasional Ujung Kulon sebagai warisan dunia.72 Warisan budaya bisa

berupa monumen, kumpulan bangunan, dan situs budaya, sedangkan warisan alam

dapat berupa fitur alam, formasi geologis dan fisiografis, serta situs alam. Daftar

warisan dunia yang pertama kali di rilis pada tahun 1978 terdiri dari 12 warisan

72

(18)

dunia dan alam, satu diantaranya adalah kepulauan Galapagos yang masyur

sebagai tempat penelitian Charles Darwin yang akhirnya menemukan teori seleksi

alam.73 Indonesia sendiri sampai tahun 2015 baru mempunyai 8 warisan dunia

yaitu Candi Borobudur, Taman Nasional Komodo, Candi Prambanan, Taman

Nasional Ujung Kulon, Situs Manusia Purba Sangiran, Taman Nasional Lorentz,

Hutan Tropis Sumatera, dan Sistem Subak.74 Sayangnya Hutan Hujan Tropis saat

ini berstatus dalam bahaya karena ancaman penebangan liar, ekspansi lahan

pertanian, dan pembuatan jalan yang mengancam kelestarian warisan alam

tersebut.

Setiap negara dapat mengajukan nominasi dunia ke Unesco yang akan

diseleksi oleh komite khusus. Obyek yang dinomisasikan harus mempunyai nilai

universal yang luar biasa dan memenuhi satu atau lebih dari 10 kriteria yang telah

ditetapkan oleh Unesco, diantaranya representasi mahakarya dari kejeniusan

kreatifitas manusia dan kumpulan atau lanskap bangunan, rancanga arsitektur, dan

teknologi yang luar biasa yang menjadi tahapan signifikan pada sejarah

manusia.75

Proses cagar budaya menjadi warisan dunia terdapat dalam Pasal 11

Konvensi tentang Bangunan Kebudayaan yang menjadi awarisan Dunia tahun

1972 ;

1. Dimasukkannya properti dalam Daftar Warisan Dunia memerlukan

persetujuan dari Negara yang bersangkutan. Dimasukkannya properti

(19)

lebih dari satu Negara wajib tidak merugikan hak-hak dari para pihak

yang bersengketa.

2. Komite harus menetapkan, tetap up to date dan mempublikasikan , setiap

kali situasi apapun mengharuskan demikian, di bawah judul "Daftar

Warisan Dunia dalam Bahaya", daftar properti muncul dalam Daftar

Warisan Dunia untuk konservasi mana operasi utama diperlukan dan

bantuan yang telah diminta berdasarkan Konvensi ini. Daftar ini memuat

perkiraan biaya operasi tersebut. Daftar ini mungkin hanya mencakup

kekayaan tersebut merupakan bagian dari warisan budaya dan alam

sebagai terancam oleh bahaya yang serius dan spesifik, seperti ancaman

penghilangan disebabkan oleh kerusakan dipercepat, proyek-proyek

publik atau swasta berskala besar atau cepat perkotaan atau proyek

pengembangan pariwisata; kerusakan yang disebabkan oleh perubahan

dalam penggunaan atau kepemilikan tanah, perubahan besar karena

penyebab yang tidak diketahui, ditinggalkan untuk alasan apapun; wabah

atau ancaman konflik bersenjata, bencana dan bencana alam, kebakaran

serius, gempa bumi, tanah longsor, letusan gunung berapi; perubahan

muka air, banjir dan gelombang pasang. Komite dapat setiap saat, dalam

hal kebutuhan mendesak, membuat entri baru dalam Daftar Warisan

Dunia dalam Bahaya dan mempublikasikan entri tersebut dengan segera .

3. Komite harus menetapkan kriteria atas dasar yang properti milik budaya

atau alam dapat dimasukkan dalam salah satu daftar yang disebutkan

(20)

4. Sebelum menolak suatu permintaan untuk dimasukkan dalam salah satu

dari dua daftar yang disebutkan dalam ayat 2 dan 4 pasal ini, Komite

harus berkonsultasi dengan Negara Pihak yang di wilayahnya budaya

atau alami properti tersebut berada.

5. Komite, dengan persetujuan dari Negara yang bersangkutan,

mengkoordinasikan dan mendorong studi dan penelitian yang diperlukan

untuk menyusun dari daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan 4

pasal ini.

6. Setelah itu semua di dalam Pasal 13 Konvensi Bangunan Budaya

menjadi Warisan Dunia, Komite Warisan Dunia akan menerima dan

mempelajari permintaan bantuan internasional dirumuskan oleh Negara

Pihak pada Konvensi ini berkenaan dengan properti yang merupakan

bagian dari warisan budaya atau alam, terletak di wilaya mereka, dan

termasuk atau berpotensi cocok untuk dimasukkan dalam daftar

disebutkan disebut dalam ayat 2 dan 4 Pasal 11. Tujuan dari permintaan

tersebut mungkin untuk mengamankan perlindungan, pelestarian,

presentasi atau rehabilitasi bangunan tersebut.

7. Permintaan bantuan internasional sesuai ayat 1 pasal ini juga mungkin

berkaitan dengan identifikasi kekayaan budaya atau alam yang

didefinisikan dalam Pasal 1 dan 2, ketika penyelidikan awal telah

menunjukkan bahwa penyelidikan lebih lanjut akan dibenarkan.

8. Komite akan memutuskan tindakan yang akan diambil sehubungan

(21)

bantuannya, dan mengotorisasi kesimpulan, atas namanya, dari

pengaturan yang diperlukan dengan pemerintah yang bersangkutan.

9. Komite harus menentukan urutan prioritas untuk operasinya. Ini akan

dengan demikian diingat pentingnya masing-masing untuk dunia warisan

budaya dan alam perlindungan properti yang membutuhkan, kebutuhan

untuk memberikan bantuan internasional untuk properti yang paling

mewakili lingkungan alami atau genius dan sejarah bangsa-bangsa dunia,

urgensi dari pekerjaan yang harus dilakukan, sumber daya yang tersedia

ke Amerika di wilayah mana properti terancam terletak dan khususnya

sejauh mana mereka mampu menjaga kekayaan tersebut dengan cara

mereka sendiri.

10. Komite akan menyusun, tetap up to date dan mempublikasikan daftar

properti yang bantuan internasional telah diberikan.

Tentang dana yang digunakan untuk menjadikan cagar budaya menjadi

warisan dunia terdapat di dalam Pasal 15 Konvensi mengenai Bangunan

Kebudayaan yang menjadi Warisan Dunia tahun 1972.

Komite akan memutuskan penggunaan sumber daya Dana ditetapkan

berdasarkan Pasal 15 dari Konvensi ini. Ini akan mencari cara untuk

meningkatkan sumber daya dan harus mengambil semua langkah yang berguna

untuk tujuan ini.

Komite akan bekerja sama dengan organisasi-organisasi pemerintah dan

non-pemerintah internasional dan nasional yang memiliki tujuan yang sama dengan

(22)

organisasi tersebut, khususnya Pusat Internasional untuk Studi Pelestarian dan

Pemulihan Properti budaya (Roma Centre), International Council of Monumen

dan Situs (ICOMOS) dan Uni Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN), serta pada badan-badan publik dan swasta dan perorangan.

Keputusan-keputusan Komite harus diambil oleh mayoritas dua pertiga

anggotanya hadir dan memberikan suara. Mayoritas anggota Komite harus

memenuhi kuorum.

Di dalam Pasal 15 perihal dana yang digunakan untuk menjadikan bangunan

budaya menjadi warisan dunia lebih dijelaskan.

Dana untuk Perlindungan Budaya Dunia dan Warisan Alam Nilai Universal

yang luar biasa, yang disebut "Dana Warisan Dunia", dengan ini dibentuk.

Dana harus merupakan dana perwalian, sesuai dengan ketentuan Peraturan

Keuangan Perserikatan Bangsa, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Pendidikan

Amerika.

Sumber daya Dana terdiri dari: wajib dan sukarela kontribusi yang dibuat

oleh Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, Kontribusi, pemberian atau hibah

yang dapat dilakukan oleh: Negara-negara lain; PBB untuk Pendidikan, Ilmu

Pengetahuan dan Organisasi Budaya, organisasi lain dari sistem PBB, khususnya

Program Pembangunan PBB atau organisasi antar pemerintah lainnya; badan atau

individu publik atau swasta; setiap bunga yang jatuh tempo pada sumber daya

IMF; dana yang dihimpun oleh koleksi dan penerimaan dari acara yang

diselenggarakan untuk kepentingan dana, dan semua sumber daya lainnya yang

(23)

Kontribusi kepada Dana dan bentuk bantuan lainnya dibuat tersedia bagi

Komite hanya dapat digunakan untuk tujuan seperti Komite harus menentukan .

Komite dapat menerima kontribusi yang akan digunakan hanya untuk suatu

program atau proyek tertentu, asalkan Komite telah memutuskan pada

pelaksanaan program atau proyek tersebut. Tidak ada kondisi politik dapat

melekat pada kontribusi yang diberikan untuk Dana.

Namun, masing-masing Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau

Pasal 32 Konvensi ini dapat menyatakan, pada saat penyimpanan instrumen

ratifikasi, penerimaan atau aksesi, bahwa hal itu tidak akan terikat oleh

ketentuan-ketentuan ayat 1 Pasal ini.

Suatu Negara Pihak pada Konvensi yang telah membuat pernyataan

sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 pasal ini dapat setiap saat menarik deklarasi

mengatakan dengan memberitahukan kepada Direktur Jenderal PBB untuk

Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan. Namun, penarikan deklarasi

tidak akan berlaku dalam hal kontribusi wajib karena oleh negara sampai dengan

tanggal Majelis Umum berikutnya Negara-negara Pihak pada Konvensi.

Agar Komite mungkin dapat merencanakan operasinya secara efektif,

kontribusi Negara Pihak Konvensi ini yang telah membuat pernyataan

sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 Pasal ini, harus dibayar secara teratur,

setidaknya setiap dua tahun, dan tidak boleh kurang dari kontribusi yang mereka

harus membayar jika mereka telah terikat oleh ketentuan-ketentuan ayat 1 Pasal

(24)

Setiap Negara Pihak pada Konvensi yang menunggak dengan pembayaran

iuran wajib atau sukarela untuk tahun berjalan dan tahun kalender segera sebelum

itu tidak akan memenuhi syarat sebagai Anggota Komite Warisan Dunia ,

meskipun ketentuan ini tidak berlaku untuk pemilihan pertama .

Terdapat beberapa kriteria situs cagar budaya dalam kategori situs budaya

menurut UNESCO, antara lain:76

1. Melambangkan mahakarya kreativitas dan kecerdasan manusia serta nilai

-yang berpengaruh secara signifikan terhadap budaya.

2. Menunjukkan keutamaan pada nilai-nilai kemanusiaan yang tidak berubah

selama kurun waktu tertentu dalam hal arsitektur, teknologi, seni

monumental, perencanaan tata kota atau desain lanskap.

3. Mengandung kekhasan atau bukti bahwa pernah ada ritual peradaban di

masa lampau yang tersisa atau telah lenyap.

4. Wujud mengagumkan pada sebuah bangunan, arsitektur atau teknologi

yang memiliki penggambaran tentang tahapan penting dalam sejarah

peradaban manusia.

5. Wujud mengagumkan pada sebuah tempat tinggal, tanah, atau perairan

yang dapat melambangkan budaya atau interaksi manusia dengan

lingkungan, khususnya yang masih terpelihara terhadap perubahan zaman

yang signifikan.

6. Memiliki kaitan yang erat pada suatu peristiwa atau tradisi tertentu, dari

sisi pemikiran, kepercayaan, artistik dan sastra.

76

(25)

Secara umum, kesadaran dunia tentang pentingnya pelestarian warisan budaya

semakin meningkat dari waktu ke waktu. Pada sekitar tahun 60an masyarakat

dunia semakin peduli terhadap pelestarian warisan budaya. Pada awalnya

UNESCO mendorong negara-negara yang telah meratifikasi untuk mengajukan

situsnya. Hingga saat ini telah terdaftar sebanyak 994 situs yang tersebar di

seluruh dunia.77

Indonesia sendiri memiliki 8 warisan dunia (4 warisan budaya dan 4 warisan

alam), jumlah ini tentu relatif sedikit karena Indonesia telah 24 tahun meratifikai

konvensi, apalagi jika dibanding dengan negara-negara yang lain.78

Secara umum, situs yang dapat diajukan sebagai warisan dunia adalah yang

memiliki nilai universal luar biasa (Outstanding Universal Value).79 Nilai

universal luar biasa tersebut memerlukan penjelasan agar tidak bersifat relatif dan

subjektif.80 UNESCO menjabarkan mengenai Outstanding Universal Value(OUV)

tersebut dalam kriteria-kriteria yang dijelaskan dalam Operational Guideline.81

Kriteria-kriteria yang digunakan sebanyak 10 kriteria yang terdiri dari 6 kriteria

untuk budaya dan 4 kriteria untuk alam. Situs yang diajukan harus memenuhi

minimal satu dari sepuluh kriteria tersebut. Selain kriteria OUV, pengajuan

warisan dunia juga harus menjabarkan otentitas dan integritas dari situs.82

77

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/blog/2013/10/18/persiapan-menuju-warisan-dunia-seminar-internasional-sangkulirang-natural-cultural-heritage/ di akses pada tanggal 7 Mei 2016 pukul 11.40 WIB

78

(26)

Ada 8 langkah dalam mengajukan suatu obyek untuk menjadi Warisan

Dunia83:

1. Memastikan bahwa objek yang diusulkan sebagai warisan budaya dunia

sudah terdaftar atau sudah masuk didalam tentative list UNESCO.

2. Terdapat pengesahan dari pemerintah pusat mengenai pengajuan obyek

ini.

3. Membentuk suatu tim khusus untuk meneliti obyek tersebut yang terdiri

dari para arkeolog, para ahli bidang biologi dan kimia, ahli sejarah,

antropolog, perwakilan dari pemerintah pusat dan daerah dan yang

terpenting yaitu media untuk dilibatkan dalam tim ini.

4. Mengumpulkan semua informasi yang penting yang terkait dengan obyek

apa yang kita usulkan.

5. Mengidentifikasi lebih lanjut mengenai para Sumber Daya Manusia yang

ahli dan mengarahkan dalam keuangan.

6. Membuat jadwal dan time line agar apa yang kita ingin ajukan ke

UNESCO tertata rapi. Jangan terburu-buru dan jangan lupa terlalu lambat

waktu pelaksanaannya.

7. Meyakinkan para partisipan dari stakeholders dalam pengajuan obyek

menjadi warisan dunia.

8. Menulis pengusulan tersebut dalam 200 kata untuk diajukan ke UNESCO

agar obyek tersebut menjadi salah satu warisan dunia.

83

(27)

C. Perlindungan Cagar Budaya yang Telah Menjadi Warisan Dunia (World

Heritage) menurut Hukum Internasional

Definisi Cagar Budaya yang telah menjadi warisan dunia terdapat di Pasal

1 konvensi tentang cagar budaya tahun budaya tahun 1972.

"cagar budaya" adalah monumen: karya arsitektur, karya patung

monumental dan lukisan, elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti,

gua tempat tinggal dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar

biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu;

kelompok bangunan: kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung

yang, karena arsitektur mereka, homogenitas atau tempat mereka dalam lanskap,

adalah nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu;

situs: karya pria atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah

termasuk situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari

sejarah, estetika, antropologi etnologis atau sudut pandang.

Istilah “bangunan budaya” terbukti sulit untuk didefinisikan. Hingga tahun

1946, tidak ada definisi hukum terhadap istilah “bangunan budaya”, dan dalam

perkembangannya, tidak ada satu pengertian tunggal mengenai apa yang

dimaksud dengan bangunan budaya.84 Karena criteria yang digunakan untuk

mendefinisikan bangunan budaya dapat berbeda satu sama lain. Dalam

pandangan umum, penggunaan istilah bangunan budaya adalah untuk

obyek-obyek tertentu dalam ruang lingkup terbatas, yang dapat dibedakan dari obyek-obyek

biasa karena siginifikansi budaya yang dimiliki bangunan tersebut dan atau karena

(28)

kelangkaannya. 85Oleh karena itu, kategorisasi terhadap benda budaya tidak

terbatas, dan segala upaya untuk mendefinisikannya akan menunjukkan sifat

heterogen dari bangunan budaya.

Contoh-contoh dari definisi bangunan budaya dapat ditemukan dalam

berbagai perjanjian internasional. Convention for the Protection of Cultural

Property in the Event of Armed Conflict pada tahun 1954 memberikan definisi sebagai berikut :

“… the term “cultural property”shall over, irrespective of origin or ownership movable or immovable property of great importance to the cultural heritage of every people…”

Dengan definisi ini, maka benda-benda seperti arkeologi, monument, dan

karya seni seperti patung, candi, kuil, yang dianggap sebagai benda budaya. Di

sisi lain, dapat ditemukan pendapat yang mengatakan bahwa bangunan budaya

terbatas pada bangunan-bangunan bergerak/benda-benda bergerak, yang berarti

terbatas pada karya seni, barang antic, dan obyek-obyek etnografis.

Akan tetapi, definisi bangunan budaya yang umum digunakan cukup luas.

Dengan definisi yang umum, benda budaya mencakup karya seni, artefak, barang

antik, karya arsitektur yang siginifikan, lanskap buatan, benda-benda/bangunan

dan situs bernilai agama, dan obyek orang asli dari suatu daerah. Ini merupakan

segala benda berwujud nyata yang memiliki signifikasi seni, sejarah, keilmuwan,

agama atau sosial. Jadi, secara umum dan untuk kepentingan menelusuri

85

(29)

sejarahnya, bangunan/benda budaya tidak terbatas pada benda budaya yang

bergerak saja namun juga pada benda budaya yang tidak bergerak.86

1. Peranan UNESCO Tehadap Perlindungan Bangunan Kebudayaan di

wilayah non-konflik

Pencapaian kemajuan kebudayaan suatu Bangsa tidak dapat dilepaskan dari

peninggalan budaya dan sejarah bangsa sehingga mampu menjadi simbol identitas

keberadaban. pengalihan kewenangan pemeliharaan dan pelestarian kebudayaan

pasca diberlakukannya otonomi daerah telah mengakibatkan beragamnya kualitas

pemeliharaan terhadap kekayaan budaya bangsa, seperti situs, candi, museum,

tari-tarian, rumah adat, lagu daerah, taman budaya, dan lain sebagainya. Dengan

demikian, upaya untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kekayaan budaya

menjadi suatu keniscayaan sehingga simbol identitas keberadaban dapat

dialih-generasikan secara berkesinambungan. Terkait dengan hal tersebut, pemberdayaan

seluruh komponen yang terlibat dalam pengelolaan kekayaan budaya menjadi

suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan dan mutlak untuk dilakukan.87

Pada pertemuan The Fourth Meeting of The ASEM Culture Minister bertema

Managing Heritage Cities for a Sustainable Future di Daerah Istimewa Yogyakarta (16-20 September 2012) Wamendikbud RI bidang kebudayaan

Wiendu Nuryanti, berpendapat bahwa setiap kota di dunia adalah kota budaya.

Oleh karena itu setiap kota wajib melestarikan roh kebudayaan. Wiendu

mengatakan latar belakang dari pertemuan tersebut karena tekanan terhadap

86

Ibid, hal 16

87

(30)

warisan budaya yang dimiliki kota-kota di Asia dan Eropa. “Perlu dipikirkan

strategi perlindungan terhadap roh budaya yang dimiliki masing-masing kota. 88

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang dikenal sebagai negara kaya

akan sumber alam dan budaya. Baik peninggalan sejarah maupun pengetahuan

tradisional dengan potensi yang sangat besar untuk menghasilkan berbagai macam

hasil karya dan tradisi dari seluruh wilayah di Indonesia dari sabang hingga

marauke, yang mana terdapat lebih 900 suku bangsa yang tersebar di 34 provinsi

di Indonesia. Kekayaan budaya yang di miliki Indonesia merupakan warisan dari

nenek moyang bangsa Indonesia.

Budaya tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke

generasi. Kegiatan kehidupan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia memiliki

nilai histori yang berbeda di setiap daerah. Hal ini menggambarkan bahwa

Indonesia memiliki kekayaan budaya luar biasa besar yang dapat menjadi aset

bangsa dan nilai jual untuk kepentingan diplomasi Indonesia di dunia

internasional.89

Kebudayaan di Indonesia tersebar di hampir semua aspek kehidupan,

mulai dari tari-tarian, alat musik tradisional, adat istiadat, pakaian adat hingga

bangunan arsitektural yang berupa rumah adat di tiap-tiap propinsi yang ada di

Indonesia.

Contohnya seperti tari Pendet dari Bali, tari Remo dari Surabaya, dan tari

(31)

kepulauan Nias dan festival Grebeg Suro di Yogyakarta, serta masih ada ratusan

dari aspek lainnya yang merupakan harta karun yang berharga milik bangsa

Indonesia.

Kebudayaan merupakan sesuatu hal yang penting bagi Indonesia dan

merupakan salah satu unsur dalam menjaga rasa nasionalisme dalam diri kita

sebagai rakyat Indonesia. Sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 32 Ayat 1 dan 2

yang menegaskan bahwa:

“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia serta penjelasannya

antara lain menyatakan usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab,

budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan

asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa

sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa” Sesuai dengan UU No. 5

Tahun 1992 tentang benda cagar budaya :

“Dilarang merusak, membawa, memindahkan, mengambil, mengubah

bentuk dan atau warna, memusnahkan benda cagar budaya tanpa izin pemerintah, pelanggaran ketentuan ini di ancam dengan pidana selama-lamanya 10 tahun

penjara / denda setinggi-tingginya 100 juta rupiah.”

Beranjak dari amanat ini, pemerintah berkewajiban untuk mengambil

segala langkah dan upaya dalam usaha memajukan memberikan perlindungan

terhadap kebudayaan bangsa dan negara agar tidak punah dan luntur karena

merupakan unsur nasionalisme dalam memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan

(32)

Namun Pada masa sekarang ini, kebudayaan sudah sering dilupakan dan

diabaikan pelestariannya, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.90

Karena kebudayaan yang ada di Indonesia umumnya telah banyak

dilupakan dan tidak ada upaya untuk melindungi kebudayaan tersebut, maka dapat

menimbulkan akibat yang buruk bagi Negara Indonesia, yaitu adanya

pengklaiman terhadap kebudayaan Indonesia yang dilakukan oleh Negara lain.

Pengklaiman ini tentu saja menimbulkaan dampak yang sangat merugikan bagi

Indonesia, baik dari segi ekonomi, pariwisata, sosial, dan kebudayaan. Apalagi di

era perdagangan bebas sekarang ini, banyak negara yang mulai mencari alternatif

produk baru untuk diperdagangkan. Termasuk penggalian produk-produk yang

berbasis “pengetahuan tradisional”, tanpa ada kontribusi terhadap negara atau

terhadap masyarakat pemiliknya. Komersialisasi “pengetahuan tradisional"

menjadi masalah karena diperoleh tanpa izin. Maka dibutuhkan organisasi bertaraf

Internasional dalam mengambil langkah penting untuk melindungi kebudayaan

sebagai kekayaan intelektual yang juga memberikan perlindungan bagi hak

masyarakat lokal.91

Perlindunagn tersebut sangat diperlukan untuk mencegah produk-produk

milik masyarakat Indoensia, khususnya yang berbasis kebudayaan, agar

kepemilikannya tidak diakui tanpa izin oleh Negara lain. Oleh sebab itu

produk-produk tersebut perlu memperoleh perlindungan hukum.

Apalagi diketahui jelas, bahwa semua kekayaan yang berbasis budaya

tradisional mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi. Upaya tersebut tentunya

90

https://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Warisan_Dunia_UNESCO#Daftar_Situs_Warisan_ Dunia_UNESCO Diakses pada tangga 27 Maret 2016 pukul 16.00 WIB

91

(33)

akan mendorong peningkatan perekonomian Indonesia dan dapat meningkatkan

kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, Sejak beberapa tahun yang lalu sampai saat

ini, masyarakat dunia telah memiliki suatu lembaga yang bersifat internasional

dan universal untuk mengurus berbagai kepentingan antara negara dengan negara

serta hubungan antara negara dengan individu yang termasuk klasifikasi subyek

hukum internasional sebagai salah satu pencerminan kerjasama antar negara.92

Salah satu badan internasional yang bersifat universal adalah PBB

(Perserikatan Bangsa–Bangsa) yang tujuannya ingin menegakkan perdamaian

dunia. Dalam mewujudkan tujuan itu PBB mempunyai badan khusus (specialized

agencies), yang dibentuk dengan perjanjian antara pemerintah dan mempunyai tanggung jawab internasional yang luas seperti terumus di dalam dokumen

dasarnya, dalam bidang ekonomi, sosial, kulturil, pendidikan, kesehatan serta

bidang yang bertalian lainnya, yang akan diperhubungkan dengan PBB, dan

perjanjian itu harus disetujui oleh Majelis Umum PBB dan lembaga itu sendiri.

Badan khusus PBB yang mengurus pendidikan, ilmu pengetahuan dan

bidang kulturil diantaranya adalah UNESCO (United Nations Educational,

Scientific, and Cultural Organization), didirikan pada tanggal 4 November 1946, yang dalam perencanaanya atau proyek utama digambarkan usaha-usaha

UNESCO, serta mencari input dengan jalan mencari masalah–masalah praktis di

negara–negara anggota (These plans, as known as “Major Project” represent a

concentration of UNESCO efforts and resources on practical problems of concerns to member state).

92

(34)

Budaya tidak hanya diekspresikan dengan cara masyarakat membentuk

eksistensinya, tetapi juga dalam membuat struktur prioritasnya, yaitu

tujuan-tujuan yang ingin dicapai atau nilai-nilai yang dipromosikan atau dipertahankan.

Kesadaran masyarakat dunia untuk melindungi Kekayaan budaya dunia makin

berkembang pesat, kekayaan budaya dunia pun dipromosikan dan dipertahankan

oleh masyarakat dunia. Instrumen hukum internasional pun makin penting

peranannya dalam perlindungan kekayaan budaya dunia.93

Pada saat ini, memang belum ada instrumen hukum internasional yang

secara jelas dan tegas memberi sanksi penghukuman pada pelaku pengrusakan

benda budaya dunia, terutama pada masa bukan perang atau konflik bersenjata.

Karena pada dasarnya, perlindungan dan kemampuan memberi sanksi pada

kejahatan terhadap suatu benda budaya adalah kapasitas kedaulatan suatu negara.

Kekayaan budaya dunia masih belum begitu penting seperti genosida/pemusnahan

masal suatu kelompok-biasanya etnis- tertentu, pemerkosaan, dan pemberontakan

yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan pidana internasional.94

UNESCO sebagai badan dunia dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang

bergerak di bidang kebudayaan, kemudian memprakarsai beberapa pertemuan,

seminar, dan pembentukan perlindungan kekayaan budaya dunia dari segi hukum

internasional.

Beragam Konvensi, rekomendasi, piagam, dan resolusi pun dihasilkan

oleh UNESCO.Namun kekuatan instrumen hukum internasional yang telah ada

dan belum mampu menjamin penghukuman terhadap kejahatan terhadap

93

Ibid

94

(35)

kekayaan budaya dunia. Salah satu penyebabnya adalah instrumen hukum

internasional hanya mengikat negara anggota yang telah meratifikasi, sedangkan

tidak banyak negara yang mau meratifikasi suatu instrumen hukum internasional.

Sekalipun instrumen hukum internasional tersebut berfungsi untuk menjadi

prinsip-prinsip dasar yang akan menjadi landasan pembentukan instrumen hukum

secara lokal.

Instrumen hukum internasional di bidang Kekayaan Budaya yang dibahas

di bawah ini adalah instrumen-instrumen hukum fundamental yang menunjukkan

suatu benang merah perkembangan hukum internasional dalam merumuskan

sanksi kejahatan terhadap kekayaan budaya dunia. Tak terbatas pada masa damai,

maupun masa konflik bersenjata. 95

2. Konvensi-konvensi UNESCO yang bersifat memberi perlindungan

hukum pada kekayaan benda budaya dunia

Perlindungan (Protection) merupakan suatu tindakan untuk

mempertahankan, menjaga dari serangan, invasi, kehilangan, hinaan, dan

sebagainya.Konvensi-Konvensi UNESCO yang akan dibahas di bawah ini adalah

instrumen hukum fundamental UNESCO di bidang perlindungan kekayaan

budaya dunia berupa benda. UNESCO bertanggungjawab atas perlindungan

hukum internasional kekayaan budaya (International legal protection of cultural

heritage). Perlindungan hukum UNESCO tersebut adalah Konvensi Hague 1954 (dan protokol-protokolnya); Konvensi Pelarangan dan Pencegahan Import,

95

(36)

Export, dan Transfer Kepemilikan Properti Budaya secara Ilegal 1970; Konvensi

Perlindungan Kekayaan Dunia 1972 dengan sebelas rekomendasinya.96

Konvensi-Konvensi ini tidak memberi penghukuman, tetapi memberi

prinsip dasar perlindungan kekayaan budaya dunia. Jadi Konvensi-Konvensi ini

menunjukkan bagaimana usaha pencegahan hukum internasional terhadap

kejahatan pada kekayaan budaya dunia berupa benda.

Perlindungan Benda Budaya merupakan suatu aksi total dan ketentuan,

pencegahan, kuratif atau organisasional, yang dilakukan pemerintah dalam

kerjasama dengan institusi privat dan individual, yang memastikan adanya

perservasi atas kekayaan budaya yang telah didaftarkan pada masa-masa yang

dianggap mengancam keberadaan kekayaan dunia.97

Berikut Konvensi-konvensi UNESCO yang bersifat memberi perlindungan

hukum pada kekayaan benda budaya dunia:

a. Konvensi Hague 1954 tentang perlindungan benda budaya saat konflik

bersenjata

b. Konvensi Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia 1972

c. Konvensi Pelarangan dan Pencegahan Impor dan Eksport dan Pemindahan

Kepemilikan Benda Budaya Secara Tidak Sah 1970

3. Perlindungan Bangunan Kebudayaan yang Telah Menjadi Warisan

Dunia di Wilayah Konflik menurut Hukum Internasional

a. Convention IV respecting the Lawas and customs of War on Land (1907)

96

Musen Invicible , Warisan Dunia UNESCO , https://id.m.wikipedia..org/wiki/warisan-Dunia-UNESCO

97

(37)

Hague Convention II off 1899 adalah sebuah instrument yang mengkodifikasi ketentuan mengenai hukum terkait peperangan didarat secara

umum, sekaligus merupakan upaya serius pertama ditingkat internasional untuk

melindungi benda budaya semua bangsa. 98Mukadimah Hague Convention II of

1899 dan Hague Convention IV of 1907 yang menjadi pengganti Hague Convention II of 1899 sama-sama menyatakan bahwa kata-kata dalam kedua perjanjian internasional tersebut terinspirasi oleh keinginan komunitas

internasional untuk mengatur peperangan yang bersifat internasional. Secara

khusus, mukadimah yang dimaksud menggarisbawahi bahwa ketentuan-ketentuan

dalam konvensi dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menghapuskan keburukan

perang (evils of war) sejauh yang diizinkan oleh kepentingan militer yang

imperative. Keburukan perang dalam konteks ini termasuk penyitaan,

penghancuran, dan perusakan yang disengaja terhadap benda budaya. Keinginan

tersebut dituangkan dalam beberapa pasal dalam Hague Convention II of 1899

dan Hague Convention IV of 1907.99

Tinjauan terhadap ketentuan-ketentuan dalam Hague Convention IV of

1907 berkenaan dengan perlindungan terhadap benda budaya pada masa konflik

bersenjata (lebih tepatnya dalam lampiran Hague Convention IV of 1907 yaitu

Hague Regulations of 1907) dapat dibagi ke dalam dua bagian sesuai dengan sistematika pembagian dari perjanjian internasonal tersebut. Ketentuan mengenai

benda budaya pertama tampak dalam bagian II tentang permusuhan (Hostilities)

98Sasha P Paroff, “ Another Victim of the War in Iraq; The Looting of the National

Museum in Baghdad and the Inadequacies of international Protection of Cultural Property, “ Emory Law Journal (Fall 2004), hal 90

99

(38)

dari Hague Regulations of 1907, dan kemudian dalam bagian III tentang

Kewenangan Militer atas Wilayah Negara yang Bermusuhan (Military Authority

over the Territory of the Hostile State)

a. Permusuhan

Pasal-pasal yang relevan dalam Bagian II tentang Permusuhan dalam

Hague Regulations of 1907 adalah Pasal 23 dan Pasal 27 . pasal diatas menetapkan larangan yang luas terhadap perusakan semua property musuh, dan

juga menyatakan pendekatan kepentingan militer yang imperative yang dianut

dalam Haugue Regulatuons of 1907. Selain larangan umum dalam Pasal 23,

Hague Regulations of 1907 menetapkan secara lebih spesifik perihl perlindungan terhdap benda budaya, khususnya dalam hal penyerangan dan bombardier, dalam

pasal 27 yang terdiri dari dua paragraph.100

Pasal 27 dalam paragraph pertamanya menyatakan bahwa langkah-langkah

harus ditempuh untuk menyelamatkan sejauh mungkin benda budaya pada saat

terjadinya penyerangan atau bombardier. Adanya kata-kata “sejauh mungkin”

dalam paragraph tersebut memberikan batasan dari perlindungan terhadap benda

budaya dan menyiratkan bahwa alasan kepentingan militer yang imperative dapat

mengesampingkan ketentuan diatas dan menjustifikasi perusakan property musuh.

Paragraph pertama Pasal 27 juga mensyaratkan bahwa agar suatu property itu

dapat perlindungan, property tersebut tidak boleh digunakan untuk kepentingan

100Manthew K. Steen III “Collateral Damage: The Destruction and Looting of Cultural

(39)

militer. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perlindungan menurut pasal

23 dianggap hilang.101

Selanjutnya, paragraf kedua pasal tersebut mengharuskan pihak yang

terancam penyerangan atau bombardier menempuh upaya untuk memberikan

indikasi dari adanya benda budaya yang harus dilindungi sebagaimana dimaksud

dalam paragraph pertama Pasal 27 kepada musuh sebelum penyerangan atau

bombardier dilakukan. Praktik penandaan property yang dilindungi seperti yang

dimaksudkan dalam kedua pasal 27 masih dilaksanakan hingga sekarang.

b. Kewenangan Militer atas Wilayah Negara yang berperang

Dalam bagian III tentang Kewenangan Militer atas Wilayah Negara yang

berperang dari Hague Regulations of 1907, pasal-pasal yang terkait dengan

perlindungan terhadap benda budaya pada masa konflik bersenjata adalah pasal

46,pasal 47, dan pasal 56. Pasal-pasal tersebut terkait penyitaan, penjarahan, dan

perusakan terhadap benda budaya diwilayah Negara yang berperang. 102

Paragraph kedua pasal 46 menyatakan larangan terhadap penyitaan

property yang bersifat privat, dan paragraph pertama pasal 56 menyatakan bahwa

benda budaya, meskipun merupakan milik Negara, dianggap sebagai property

privat dan karenanya tidak dapat disita. Selanjutnya, pasal 47 secara langsung

melarang penjarahan dalam terhadap benda apapun, termasuk benda budaya.

Berkenaan dengan perusakan terhadap benda budaya, larangan terhadapnya

terkandung dalam paragraph kedua pasal 56. 103

101

Ibid, hal 36

102Patty Gerstenblith, “ From Bamiyan to Baghdad: Warfare and the Pres

ervation of Cultural Heritage at the Beginning of the 21 Century , hal 70

103

(40)

Berbeda dengan pasal 27 Hague Regulations of 1907 yang hanya melindungi benda budaya tidak bergerak saat terjadinya penyerangan atau

bombardier, pasal 56 melindungi benda budaya tidak bergerak serta benda buday

bergerak berupa karya seni. Diberlakukan secara bersamaan, pasal 27 dan pasal 56

memberikan perlindungan yang lengkap terhadap bangunan-bangunan seperti

museum dan bangunan serupa lainnya. Berbeda pula dengan pasal 27, kewajiban

untuk melindungi baik benda budaya bergerak maupun tidak bergerak adalah

absolute tanpa adanya pengecualian kepentingan militer yang imperative.

b. Convention IV relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War (1949)

Geneva Convention IV of 1949 secara umum mencakup hukum humaniter internasional terkait dengan perlindungan terhadap orang sipil selama konflik

bersenjata. Di dalamnya, hanya terdapat dua pasal yang relevan dengan

perlindungan benda budaya pada masa konflik bersenjata, yakni pasal 27 dan

pasal 53. 104

Pasal diatas tidak secara spesifik memberikan perlindungan kepada benda

budaya pada masa konflik bersenjata, tetapi dianggap sebagai pasal yang dapat

digunakan untuk melindungi symbol budaya (termasuk benda budaya) sejauh

merupakan ekspresi dari nilai keagamaan dan atau budaya. Pasal selanjutnya

dalam Geneva Convention IV of 1949 yang relevan dengan perlindungan benda

budaya pada masa konflik bersenjata adalah pasal 53. Ketentuan dalam pasal 53

sekedar menguatkan prinsip yang melarang dijadikannya sebagai target populasi

104James A.F . Nafziger, “Protection of Cultural Heritage in Time of War and Its

(41)

sipil dan propertinya sebagaimana telah diatur dalam Hague Convention of 1899 dan Hague Convention of 1907, khususnya pasal 46 dan pasal 56 yang mengatur

penghormatan terhadap property sipil dan benda budaya. 105

c. Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict (1954)

Hague Convention of 1954 mengatur, secara garis besar, empat perihal kewajiban Negara terkait benda budaya. Kewajuban-kewajiban tersebut adalah

kewajiban Negara untuk akan penyelamatan benda budaya, kewajiban Negara

akan penghormatan terhadap benda budaya, kewajiban Negara saat melakukan

pendudukan, dan kewajiban Negara terhadap angkatan bersenjatanya. Selain itu,

Hague Convention of 1954 juga memuat mekanisme pemindahan benda budaya bergerak untuk menghindarkannya dari dampak perang dan sanksi dari

pelanggaran terhadap konvensi.106

1. Keberlakuan Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of

Armed Conflict

Selain terhadap konflik bersenjata yang melibatkan dua Negara atau lebih,

Hague Convention of 1954 juga berlaku terhadap konflik bersenjata yang tidak

bersifat internasional. Paragraph pertama pasal 19 Hague Convention of 1954

mengharuskan Negara peserta memberlakukan paling tidak ketentuan-ketentuan

105

Ibid

106

(42)

Hague Convention 1954 terkait penghormatan terhadap benda budaya pada saat

terjadinya konflik bersenjata yang bersifat non internasional.107

2. Definisi “Benda Budaya”dan “Perlindungan terhadap Benda Budaya”

Definisi perlindungan berdasarkan Hague Convention of 1954 mencakup

dua aspek pengamanan benda budaya dan penghormatan terhadap benda budaya.

Pengamanan benda budaya meliputi semua tindakan yang dirancang untuk

memastikan perlindungan terhadap benda budaya dari akibat-akibat konflik

bersenjata. Di sisi lain, penghormatan terhadap benda budaya merupakan

kewajiban Negara untuk tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu yang

dilarang, seperti menyebabkan terancamnya benda budaya dalam suatu konflik

bersenjata atau menyebabkan kerusakan terhadap benda budaya.108

3. Kewajiban Negara akan Pengamanan Benda Budaya

Dasar perlindungan ini adalah pemikiran bahwa kekayaan budaya dan

penyelematannya adalah persoalan dari masyarakat internasional, dan Negara

dimana kekayaan budaya tersebut terletak memiliki tanggung jawab atas

pengamanannya kepada masyarakat internasional.109

Pengamanan benda budaya yang dilakukan oleh suatu Negara bersifat

internal karena tiap-tiap Negara diberikan kebebasan untuk menentukan

langkah-langkah apa saja yang dianggap pantas untuk ditempuh dan menyusun daftar

prioritas tindakan dengan mempertimbangkan sumber daya keuangan , material,

dan teknisnya. Terkait tindakan penyelamatan tersebut, adalah penting untuk

107

Jiri Toman, The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, hal 195-196

108

Ibid , hal 200

109

(43)

menentukan badan pemerintahan yang akan bertanggung jawab terhadap tindakan

penyelamatan terhadap benda budaya. Resolution II yang dihasilkan dalam Hague

Conference of 1954 menyarankan setiap Negara untuk membentuk sebuah komite nasional dan menentukan komposisi serta fungsi utamanya.

4. Kewajiban Negara akan Penghormatan terhadap Benda Budaya

Penghormatan terhadap benda budaya diatur dalam pasal 4 Hague

Convention of 1954 yang berisikan empat bentuk penghormatan terhadap benda budaya yang harus diindahkan oleh Negara peserta pada masa konflik bersenjata.

Keempat bentuk penghormatan tersebut adalah keharusan untuk tidak

menggunakan benda budaya dan wilayah sekitarnya untuk tujuan yang mungkin

memaparkan benda budaya kepada penghancuran atau kerusakan; keharusan

untuk tidak melakukan segala tindakan permusuhan terhadap benda budaya;

kewajiban untu melarang, mencegah dan menghentikan pencurian, penjarahan,

misapropasi dari, dan vandalism terhadap benda budaya; dan tidak menjadikan

benda budaya sebagai obyek dari tindakan pembalasan.110

5. Kewajiban Negara akan Perlindungan terhadap Benda Budaya selama

Pendudukan

Pasal 5(1) Hague Convention of 1954 melemahkan dan membatasi

bantuan yang diberikan oleh Negara yang melakukan pendudukan. Dalam situasi

pendudukan militer dan ketidakseimbangan kekuatan militer, pihak yang

memutuskan tindakan apa saja yang dapat dilakukan dalam rangka pengamanan

dan pelestarian benda budaya tentu merupakan Negara yang melakukan

110Stanislaw Edward Nahlik, “Protection of Cultural Property”dalam

Referensi

Dokumen terkait

--- Menimbang, bahwa setelah Pengadilan Tinggi meneliti dan mempelajari dengan seksama berkas perkara yang terdiri dari Berita Acara Pemeriksaan oleh Penyidik, Berita

Organisasi proyek adalah sistem hubungan kerjasama dari berbagai pihak yang terlibat pada suatu proyek pembangunan dalam mengatur pelaksanaan berbagai pekerjaan

Location Manager Freelance Location Manager atau sering disebut dengan Manager Lokasi berperan dalam pencarian lokasi yang sesuai dengan konsep yang diinginkan oleh director..

Federal Reserve Chairman Jerome Powell played down concerns about recent market volatility, arguing Tuesday that the dramatic swings do not weigh heavily on his

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dengan memanfaatkan analisis regresi linear berganda untuk mengetahui pengaruh pada pengungkapan tanggung jawab sosial di

orangtua mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya dari tenaga kesehatan, perawat memperkenalkan anggota timnya yang merawat bayinya, menjelaskan apa yang menjadi

Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan workshop di SMK Bina Insan Siak Hulu dapat kami simpulkan bahwa program Abdimas ini telah mampu memberikan manfaat yang sangat

Pada fenomena yang terjadi pada tahun 2008 dan 2009 bertentangan dengan teori yang ada, dimana menurut dimana menurut (Tjiptono Darmadji dan Hendy M, 2006:195)