• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep manusia menurut Ibn al-'Arabi dan Ranggawarsita : studi perbandingan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep manusia menurut Ibn al-'Arabi dan Ranggawarsita : studi perbandingan"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Manusia Menurut Ibn al-‘Arabi dan Ranggawarsita

(Studi Perbandingan)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Guna Memenuhi Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Filsafat Islam

Oleh :

Amriluddin

NIM: 202033101131

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Konsep Manusia Menurut Ibn al-‘Arabi dan Ranggawarsita

(Studi Perbandingan)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Guna Memenuhi Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Filsafat Islam

Oleh :

Amriluddin

NIM: 202033101131

Dibawah Bimbingan,

Dr. Suwarno Imam S

NIP: 150 033 254

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Konsep Manusia Menurut Ibn al-‘Arabi dan Ranggawarsita ” (Studi Perbandingan). telah diujikan dalam sidang munaqasyah

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Maret 2007. Skripsi telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Aqidah Filsafat.

Jakarta, 9 Maret 2007 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, MA Suzanti Ikhlas, A.Md NIP. 150 232 921 NIP. 150 286 874

Anggota

Penguji I Penguji II

Drs. Hamid Nasuhi, MA Drs. Agus Darmaji, M.Fils

NIP. 150 241 817 NIP. 150 262 447

Pembimbing

(4)

¯2Ù{´



­G¡‹+݉ƒo

¯2lµƒo

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah swt. Kepada-Nya semua makhluk tunduk atas keperkasaan kuasa-Nya, dan semua hamba saleh mengabdikan diri di hadapan keagungan kehendak-Nya. Salawat dan salam semoga terus tercurah bagi baginda Muhammad saw., para keluarga, segenap sahabat, dan semua pengikutnya yang setia.

Dengan rahmat dan inayah-Nya, akhirnya penulisan skripsi ini dapat dirampungkan, meski jalan yang ditempuh begitu panjang, yang kadang menikung dan mendaki, bahkan tak jarang berbalik arah dan berhenti. astaghfirullâhal-‘azhîm.

Penulis menyadari, skripsi ini tak mungkin terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Karena itu, dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah menanamkan jasa dan kebaikan budi kepada penulis.

Pertama, Bapak Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA, selaku Dekan fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kedua, Bapak Dr. Suwarno Imam S, yang telah membimbing dan mengarahkan

(5)

Ketiga, Bapak Drs. Harun Rasyid, MA, selaku Direktur Program Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya, penulis layak menyampaikan salam hormat dan takzim kepada Bapak, Ibu dan para dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas semua pengajaran, bimbingan, pelayanan, dan kemudahan yang mereka berikan kepada penulis selama menempuh studi S1 pada jurusan Aqidah Filsafat. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Utama Universitas Indonesia, dan lembaga-lembaga lain yang telah meminjamkan berbagai referensi yang penulis butuhkan demi kelancaran penyusunan skripsi ini.

Secara khusus, ungkapan syukur dan salam takzim wajib penulis haturkan kepada ayahanda Moch. Hariri dan ibunda Siti Masrifah. Merekalah yang telah mendidik dan menghaluskan budi penulis melalui sikap, ajaran, dan nasihat yang bijak. Penulis berdoa: semoga pendidikan budi pekerti yang mereka tanamkan kepada penulis sejak kecil hingga dewasa akan berbalas rahmat Allah di sisi-Nya kelak. Kepada Aa Oleh dan Mba Nuni. Terima kasih dan salam maaf untuk ‘maret’ ini. Mereka dengan ikhlas telah memecahkan konsentrasi pemikirannya untuk keberhasilan penyusunan skripsi ini, di tengah rencana menghiasi hubungan dengan ijab qabul. Semoga “kang cinipta dadi, kang sinedya ana, kang kinarsan teka, saka

parmaning kang kawasa”. Hormat dan terima kasih penulis kepada Aa Iyan dan Mba

(6)

membalas budi baik mereka dengan rahmat-Nya. Kepada Ade Masruri (adik), “kamu harus lebih baik dari yang telah ada”. Serta seluruh keluarga besar Mbah Kuseri.

“makasih atas doa dan suntikan spiritnya”, Meski tak disebut pertama kali, untuk “gadis sempurnaku” neng Euis Nurmalisa yang selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas semua kasih sayang dan perhatiannya yang tulus kepada penulis. I love you tentunya!

Kepada semua dermawan dan “sahabat sempurna” yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kholid Basyaroh (Angel From Demak), “thank’s for everythink”, Fadli, Syaumi, CK, Erwin, Ajay, Rohman, Zaenal, Ozy, Asri. (“Friend Will Be Friend”). “Gadis-gadis sempurna” AE, Alexandria, Ni’mah, Iik, Musse, Ariesta, Hamdah, Anni, Vega, Luna, dan banyak lagi yang tak bisa disebutkan satu per satu. Serta tidak lupa kepada teman-teman seangkatan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Aqidah Filsafat, Tafsir Hadist, Sosiologi Agama, PPI, kenangan indah dan kebersamaan kita tak akan terlupakan. Dan kepada semua yang belum sempat tertulis, terima kasih banyak.

Jakarta, 15 Shafar 1428 H. 5 Maret 2007 M.

Salam takzim,

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

PEDOMAN TRANSLITERASI ... i

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metodologi Penelitan ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II KONSEP MANUSIA MENURUT IBN AL-‘ARABI ... 10

A. Riwayat Hidup dan Karya-karya Ibn al-‘Arabi ... 10

B. Konsep Ibn al-‘Arabi Tentang Manusia ... 17

1. Penciptaan Manusia ... 17

2. Insan kamil ... 24

(8)

A. Riwayat Hidup dan Karya-karya Ranggawarsita... 31

B. Konsep Ranggawarsita Tentang Manusia... 36

1. Penciptaan Manusia ... 36

2. Insan kamil ... 47

BAB IV KONSEP MANUSIA MENURUT IBN AL-‘ARABI DAN RANGGAWARSITA : STUDI PERBANDINGAN ... 52

1. Penciptaan Manusia ... 54

2. Insan kamil ... 57

BAB V KESIMPULAN... 62

(9)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Skripsi ini menggunakan transliterasi yang bersumber dari pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, sebagaimana dijelaskan di bawah:

I. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا

… tidak dilambangkan

b be

t te

ts te dan es

ج

j je

ح

h h dengan bawah

خ

kh ka dan ha

d de

dz de dan ye

r er

z zet

s es

sy es dan ye

s es dengangaris bawah

d de dengangaris bawah
(10)

z zet dengangaris bawah

ع

‘ koma terbalik di atas, menghadap ke kanan

غ

gh ge dan ha

f ef

q ki

k ka

l el

m em

n en

w we

h ha

‘ apostrof

ي

y ye

Vokal

Vocal dalam bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ـــــ a fathah

ـــــ i kasrah

(11)

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut : Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

يـــــ ai a dan i

ـــــ

و au a dan u

Vokal panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harkat dan huruf, adalah sebagai berikut :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ﺎـــ â a dengan topi di atas

ْ ـــ î i dengan topi di atas

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang menjadi bahan pembicaraan banyak kalangan. Manusia merupakan makhluk satu wujud dua dimensi yang terdiri dari jasmani dan rohani. Di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui adanya Tuhan dan keesaan-Nya, memiliki kebebasan, terpercaya (amanah), tanggung jawab, dan kecenderungan ke arah kebaikan. Oleh karena itu sebagai kenyataan fisik-material terdiri atas bagian-bagian yang membentuk suatu komposisi yang menunjukkan eksistensinya secara fisik dan biologis.1

Untuk itu Allah menciptakan manusia dengan disertai dua dimensi. Dimensi lahir dan dimensi batin. Dimensi lahir, termanifestasikan pada raga, mulai dari kepala hingga ke kaki. Sedangkan dimensi yang kedua adalah batin. Dimensi ini termanifestasikan pada jiwa. Jiwa inilah aspek substansi pada kejadian manusia, karena jiwa adalah pengendali dari semua gerak gerik dan tingkah laku manusia, sedangkan raga adalah sarana untuk menggerakkan tingkah laku itu.

1

(13)

Jiwa yang sengaja diciptakan Allah untuk manusia yang bertujuan untuk merealisasikan suatu beban amanah dari Allah sebagai pengemban tugas khalifah, karena manusia diciptakan Allah sebagai wakil-Nya di bumi untuk mengelola dan menjaga stabilitas alam. Selain itu juga manusia diciptakan sebagai pengemban amanah untuk melaksanakan tugas sebagai hamba.

Dari keistimewaannya manusia diberikan karakter semi samawi-duniawi yang di dalamnya ditanamkan sifat mengakui Tuhan dan keesaan-Nya, memiliki kebebasan, terpercaya, rasa tanggung jawab, juga dibekali dengan kecenderungan ke arah kebaikan dan kejahatan.2 Namun kesempurnaan manusia tidak dimiliki oleh semua orang, tetapi hanya mereka yang memenuhi kriteria tertentu saja, yaitu orang-orang yang bertakwa kepada Allah. Sedangkan orang-orang-orang-orang yang bertakwa ialah orang-orang yang banyak menyerap sifat-sifat ketuhanan. Karena mereka berakhlak dengan akhlak Tuhan, maka merekapun memiliki citra ilahi pada jati diri mereka. Sedangkan bagi orang-orang yang tidak menyerap dan mencerminkan akhlak Tuhan, maka mereka akan diturunkan derajatnya ke tempat yang serendah-rendahnya. Karena mereka orang-orang yang mementingkan ego dibanding amanah yang telah dibebankannya dari Tuhannya. Namun tempat serendah-rendahnya juga bukanlah suatu hal yang ilahi bagi orang-orang yang ingin menempati tempat yang sempurna di sisi-Nya. Karena untuk mencapai tempat kesempurnaan orang harus menempuh jalan ilahi, yaitu jalan yang digariskan dalam suatu tatanan iman dan amal saleh. Maka,

2

(14)

terciptalah dalam hal ini relasi Tuhan dan manusia. Relasi ini bersifat bilateral, dalam pengertian timbal balik.

Dengan adanya relasi Tuhan dan manusia, menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang dapat berhubungan dan memiliki derajat sempurna. Inilah makna tujuan dan kesempurnaan manusia sebagai khalifah Allah. Untuk menuju kepada kesempurnaan manusia diperlukan jalan untuk dekat dengan Tuhan yang disebut mistisisme atau tasawuf (sufisme).

Sufisme dalam Islam adalah sebuah penyerahan diri yang bertujuan untuk mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Tuhan melalui penyucian jiwa dari segala kotoran rohani. Sebagaimana mistisisme (sufisme) dalam Islam mistik juga terdapat dalam aliran kebatinan.

Kebatinan adalah yang di dalam, yang sulit, yang tersembunyi. Batin itu dipakai untuk menunjukkan sifat, dengan sifat batin itu manusia merasa dirinya lepas dari segala yang semu. Batin juga dipergunakan sebagai sifat keunggulan terhadap perbuatan lahir.3 Untuk mencapai kesatuan dengan Zat Hidup, manusia harus mengatasi segi-segi badaniahnya. Aliran kebatinan justru mengajarkan bagaimana hal itu dapat dilakukan. Kebatinan menjadi pengetahuan tentang "alam atas", suatu ilmu yang mempelajari kenyataan bahwa manusia batin dapat langsung berhubungan dengan Tuhan. Berdasarkan teori kebatinan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa

3

Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan jawa,

(15)

kebatinan tak lain adalah mistik murni yang membuka pengetahuan dan pengalaman individual langsung dengan Tuhan. Oleh karena itu, pada dasarnya kebatinan itu mistik.4

Masuknya Islam ke Jawa, tidak akan terlepas dari pembicaraan mistik, karena dengan unsur mistik, Islam dapat diterima dan berkembang dengan pesat di Jawa. Sementara masyarakat Jawa adalah masyarakat yang memiliki pola pikir dan tingkah laku Animisme dan Dinamisme. Pola pikir dan tingkah laku ini begitu mengakar dan sulit untuk digantikan dengan pola pikir yang baru.

Mistisisme dalam Islam telah melahirkan sejumlah tokoh, antara lain seperti pada sufisme diwakili Ibn al-‘Arabi dan kebatinan diwakili Ranggawarsita. Kedua tokoh ini pada dasarnya memiliki perbedaan dan kesamaan pemikiran dalam konsep manusia. Ibn al-‘Arabi misalnya, lebih menonjolkan pemikirannya pada nuansa falsafi, karena memang ia memiliki latar belakang pendidikan filsafat, selain ilmu-ilmu yang lain, pada masa pencarian ilmu-ilmunya. Sedangkan Ranggawarsita menonjolkan ajaran kebatinan Jawa, karena memang pemikirannya adalah representasi kalangan kebatinan Jawa yang bernuansa mitologis.

Adapun Ibn al-‘Arabi, sebagai tokoh sufi telah mencetuskan wahdatul wujud sebagai pangkal dari konsep manusianya. Konsep ini tentu memiliki nuansa mistis falsafi yang selanjutnya dikembangkan oleh para pendukungnya, seperti al-Jili

4

(16)

1366 M.) dan al-Burhanpuri yang pada perkembangannya ajaran ini banyak dipelajari oleh para ulama sufi di Nusantara.

Ajaran martabat tujuh yang berkembang di Jawa, tampak jelas pengaruhnya di dalam Serat Centini dan Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita. Ajaran martabat tujuh sebenarnya berasal dari kitab al-Tuhfah al-mursalah ila ruh al-nabi karya Ibn al-Fadlillah al- Burhanpuri (w. 1620 M) seorang sufi India. Pada Akhir abad ke-16 sampai pertengahan pertama abad ke-17, di Sumatra bagian utara terdapat dua orang tokoh sufi yang terkenal, penganut paham wujudiyah, yaitu Hamzah Fansuri (wafat sebelum 1607 M) dan Syamsuddin Sumatrani atau Syamsuddin Pasai (wafat 1630 M). Meskipun ajaran martabat tujuh termasuk ajaran wujudiyah, tetapi berbeda dengan ajaran wujudiyah yang di anut Hamzah Fansuri. Ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri berkaitan dengan ajaran sufi Arab dan Persia, terutama Bayazid al-Bustani dan al-Hallaj juga Ibn al-‘Arabi. Berbeda dengan ajaran wujudiyah dalam martabat tujuh yang ditimbulkan oleh al-Burhanpuri yang ke dalamnya masuk pengaruh India.5

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Skripsi ini berjudul “Konsep Manusia Menurut Ibn Al-‘Arabi Dan Ranggawarsita” (Studi Perbandingan). Ibn al-'Arabi adalah seorang mistikus,

sehingga ia bisa memfilsafatkan pengalaman batinnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana terlihat dalam berbagai karyanya, di antaranya: Futûhât al-Makkiyah, Fusûs al-Hikam, akan terlihat bahwa pemikirannya

5

(17)

banyak mempengaruhi para sufi dan menjalar kemana-mana dan menjadi dominan dalam perkembangan Sufisme di seluruh dunia Islam.

Ranggawarsita adalah seorang pujangga yang banyak menyusun karya-karya yang berbentuk prosa, di antaranya: Serat Wirid Hidayat Jati, Paramayoga, Pustaka Raja, Serat Makrifat. Dari karya-karya Ranggawarsita, akan terlihat bahwa

pemikirannya banyak dipengaruhi oleh paham Islam kejawen, dan tradisi Hindu-Jawa. Pembahasan dan pemikirannya terpusat untuk merumuskan kembali pokok-pokok pemikiran yang terdapat dalam pembendaharaan kepustakaan Islam kejawen yaitu ajaran islam yang diterapkan dengan budaya Jawa, sehingga karya-karya Ranggawarsita pada umumnya mencerminkan perpaduan antara alam pikiran dan tradisi Hindu-Jawa dengan ajaran Islam kejawen. Karena itu, batasan masalah dalam skripsi ini hanya memfokuskan pada konsep manusia menurut Ibn al-'Arabi dan Ranggawarsita. Berdasarkan dasar tersebut masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut; Bagaimanakah konsep manusia menurut Ibn al-'Arabi dan Ranggawarsita?.

C. Tujuan Penelitian

(18)

D. Metodologi Penelitian

Skripsi ini didasarkan pada informasi-informasi dan data-data akurat. Untuk mendapatkan data-data tersebut, penulis melakukan penelitian kepustakaan (Library research), sumber yang didapatkan dalam skripsi ini berupa sumber primer maupun

sekunder.6 Sumber primer dalam skripsi ini adalah literatur mengenai pandangan tentang manusia Ibn al-‘Arabi dan Ranggawarsita seperti: Ibn al-‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, jilid I, ed. Osmar Yahya, (Kairo: al-Hai,at al-Mishiriyyat al-‘Ammah Li

al-Kitab, 1972) dan Ibn al-‘Arabi, Fusus al-Hikam, jilid I, ed. A. Afifi, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi,1946) dan Ranggawarsita, Wirid Hidayat Jati, terj. Simuh, (surakarta: Administrasi Jawi Kandha,1908). Maupun yang bersifat sekunder seperti buku: Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), Yunasril, Ali, Manusia Citra Illahi, (Jakarta: Paramadina,1997), Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), Imam S Suwarno, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan jawa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: UI Press,1988, dan lain-lain sebagai sumber penunjang.

Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode analitis kritis, yaitu suatu metode yang digunakan untuk meneliti gagasan atau produk pemikiran manusia yang terdapat dalam sumber primer maupun sekunder, yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan objek dan permasalahan yang menjadi fokus penelitian dalam

6

Mastuhu dan Ridwan M, Deden, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antara

(19)

skripsi ini secara jelas.7 Selanjutnya penulis melakukan studi analitik dalam bentuk perbandingan terhadap konsep manusia menurut pemikiran Ibn al-’Arabi dan Ranggawarsita, sehingga dapat ditemukan persamaan dan perbedaan konsep manusia menurut keduanya.

Adapun tehnik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta 2006/2007.

E. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada skripsi ini, maka Penulis membagi tulisan ini dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I Merupakan pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah , tujuan penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II adalah konsep Ibn al- ‘arabi tentang manusia yang meliputi, riwayat hidup, karya-karya dan konsep tentang manusia.

Bab III adalah konsep Ranggawarsita tentang manusia yang berisi, riwayat hidup, karya-karya dan konsep tentang manusia.

7

Mastuhu dan Ridwan M, Deden, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antara

(20)

Bab IV adalah bagian akhir dari pembahasan yang berisi perbandingan antara konsep manusia dalam pandangan Ibn al-‘Arabi dan konsep manusia dalam pandangan Ranggawarsita.

(21)

BAB II

KONSEP MANUSIA MENURUT IBN AL-‘ARABI

A. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya

Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn al-‘Arabi al-Ta’i al-Hatimi seorang sufi termasyhur dari Andalusia. Ia dilahirkan pada 17 Ramadhan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165 M, di Mursia, Spanyol bagian Tenggara. Pada waktu kelahirannya Mursia diperintah oleh Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy.8

Sufi ini adalah seorang keturunan suku Arab kuno Tayy. Ia lebih dikenal dengan nama ibn al-‘Arabi (dengan al-), atau Ibn ‘Arabi (tanpa al-) untuk membedakannya dengan ibn al-‘Arabi yang lain. Dua gelarnya yang paling masyhur ialah Muhyi al-Din (“Penghidup Agama”) dan al-Syaikh al-Akbar (“Syaikh Terbesar”); gelar terakhir tampaknya lebih terkenal daripada gelar yang pertama. Keluarganya sangat taat beragama. Ayahnya dan tiga orang pamannya adalah sufi.9

Ketika dinasti al-Muwahhidin menaklukkan Mursia pada tahun 567 H/1172 M, Ibn al-‘Arabi dan keluarganya pindah ke Seville, tempat ayahnya diberi pekerjaan pada dinas pemerintahan atas kebaikan Abu Ya’kub Yusuf penguasa Daulat

8

Kautsar Azhari, Ibn al-‘Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet.I, h. 17.

9

(22)

Muwahhidin pada saat itu. Sejak menetap di Seville ketika berusia delapan tahun, Ibn al-‘Arabi memulai pendidikan formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, di bawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal ia mempelajari al-Qur’an dan tafsirnya, hadits, fiqih, teologi dan filsafat skolastik. Keberhasilan Ibn al-‘Arabi dalam pendidikannya mengantarnya kepada kedudukan sebagai sekertaris Gubernur Seville. Pada periode itu ia menikahi seorang wanita muda yang saleh, bernama Maryam.10

Suasana kehidupan guru-guru sufi dan keikut sertaan isterinya itu dalam keinginannya mengikuti jalan sufi adalah faktor kondusif yang mempercepat pembentukan diri Ibn al-‘Arabi menjadi seorang sufi.11

Selama menetap di Seville, Ibn al-‘Arabi muda sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibn Rusyd di Kordova. Percakapannya dengan filsuf besar ini membuktikan kecemerlangannya yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual.12

Ibn al-‘Arabi adalah seorang mistikus yang sekaligus seorang guru filsafat peripatetik, sehingga ia telah memfilsafatkan pengalaman spiritual batinnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis terbesar sebagaimana terlihat dalam hubungan dengan struktur metafisiknya dalam wahdat al-wujud.

10

Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 18

11

A. E. Afifi. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1989) h. 15.

(23)

Situasi religio-politis menyebabkan Ibn al-‘Arabi meninggalkan negeri kelahirannya, Spanyol, dan Afrika Utara. Di Afrika Utara, para penguasa al-Muwahhidin mengancam akan menyiksa para sufi karena mereka dicurigai menggerakkan tarekat-tarekat, mengadakan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Maka, pada 598 H/1201 M bersama Muhammad al-Hasar ia melanjutkan perjalanannya dari Tunis ke Mesir, kemudian pada tahun itu juga Ibn al-‘Arabi melanjutkan perjalanannya sendirian ke Makkah. Keberangkatan Ibn al-‘Arabi ke Makkah mengakhiri fase pertama kehidupannya, yang merupakan fase persiapan dan sekaligus pembentukan dirinya sebagai sufi. Hampir seperdua umurnya dihabiskan dalam fase itu. Kepindahannya ke kota suci pertama umat Islam ini menandai permulaan fase kedua. Fase kedua adalah fase peningkatan dan berlangsung sejak 598 H/1201 M sampai 620 H/1223 M. Pada fase kedua ini ia melakukan pengembaraan ke berbagai tempat di Timur Dekat.13

Ibn al-‘Arabi sampai di Makkah di penghujung tahun 598 H pertengahan 1202 M. Di kota suci ini, kemasyhurannya tersebar dengan cepat. Ia disambut dan diterima dengan kehormatan oleh warga paling berpengaruh dan terpelajar di kota ini. Yang paling besar perhatiannya pada Ibn al-‘Arabi ialah Abu Syaja Zahir ibn Rustam dan putrinya, Nizam. Bagi Ibn al-‘Arabi Nizam laksana Beatrice bagi Dance sebagai manifestasi duniawi, tokoh teofanik, dari Sophia aeterna. Perempuan itu telah

13

(24)

mengilhami Ibn al-‘Arabi untuk menulis sekumpulan puisi yang sangat indah, Turjuman al-Asywaq.14

Selama menetap di Makkah, Ibn al-‘Arabi mempergunakan banyak waktu untuk belajar dan menulis. Pada masa itu, ia mulai menulis karya ensiklopedi monumentalnya al-Futuhat al-Makkiyyah. Ia juga menyelesaikan empat karyanya yang lebih pendek: MisykatAnwar, Hilyat Abdal, Taj Rasa’il, dan Ruh al-Quds.15

Dari tahun 601 H/1204 M sampai 604 H/1207 M, Ibn al-‘Arabi mengunjungi kota Madinah, Yerusalem, Baghdad, Mosul, Konya, Damaskus, Hebron, dan Kairo. Pada umumnya ia tinggal tidak lama di kota-kota yang dikunjunginya, kecuali di Mosul ia tinggal selama satu tahun, ia menulis al-Tanazzulat al-Mawsiliyyah. Dan di Kairo ia tinggal selama satu tahun pula.16

Pada tahun 607 H/1210 M ia pergi ke Asia Kecil melalui Alepo, ia sampai di Konya atau Quniyah. Pengaruhnya menyebar dengan cepat di kalangan para sufi dan menjalar ke mana-mana dan menjadi dominan dalam perkembangan Sufisme di seluruh dunia Islam sampai hari ini. Dari Konya ia meneruskan perjalanannya ke arah Timur menuju Armenia dan ke arah Selatan ke lembah Eufrat dan sampai Baghdad pada tahun 608 H/1211 M.

14

Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 20

15

Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 21

16

(25)

Akhirnya Ibn al-‘Arabi memutuskan untuk memilih Damaskus sebagai tempat menetap sampai akhir hayatnya. Keputusannya itu diambilnya untuk memanfaatkan ajakan penguasa Damaskus saat itu, al-Malik al-‘adil (w. 625 H/1227 M), untuk tinggal di kota itu. Raja tersebut dan anaknya, al-malik al-Asyraf, sangat menghormati Ibn al-‘Arabi. Ia mulai menetap di Damaskus pada tahun 620 H/1223 M. sejak tahun itu fase ketiga dan terakhir kehidupannya mulai dan berlangsung selama delapanbelas tahun menurut perhitungan tahun lunar, atau tujuhbelas tahun menurut perhitungan tahun solar. Fase terakhir itu adalah fase kematangan kehidupan spiritual dan intelektualnya sebagai seorang sufi.17

Ibn al-‘Arabi wafat pada 22 Rabi’al-Tsani 638 H/ November 1240 M di Damaskus. Kadi kepala Ibn al-Zaki dan dua muridnya ikut melaksanakan upacara pemakamannya. Ia dimakamkan di Salihiyyah, di kaki Bukit Qasiyun di bagian Utara kota Damaskus, di tempat yang sering dikunjungi kaum muslim karena mereka menganggap tempat itu disucikan semua nabi, khususnya al-Khadir.18 Sejak Syaikh terbesar ini dimakamkan di sana, tempat itu makin sering dikunjungi orang.

17

A. E. Afifi. Filsafat Mistis, h. 2-3

18

(26)

Karya-karya Ibn al-’Arabi

Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang berapa banyak karya tulis Ibn al-’Arabi. Tetapi, umumnya mereka sependapat bahwa Ibn al-’Arabi telah meninggalkan ratusan karya tulis. Sebagian karya tulisnya sudah hilang, yang masih tinggal, sebagian masih berbentuk manuskrip,19 bertebaran di berbagai perpustakaan dunia Islam dan Eropa. Hanya sebagian kecil di antara manuskrip yang sudah diedit dan diterbitkan. Karya-karya Ibn al-’Arabi ditulis dalam bentuk artikel-artikel, buku-buku kecil, risalah-risalah yang terdiri dari beberapa halaman, ada pula yang berupa ensiklopedia.20 C. Brockelmann mencatat tidak kurang dari 239 karya. Osman Yahia, dalam karya bibliografisnya yang sangat berharga, menyebut 846 judul dan menyimpulkan bahwa di antaranya hanya sekitar 700 yang asli, dan dari yang asli itu hanya 400 yang masih ada. Ibn al-’Arabi sendiri pernah menyebutkan 289 judul.21 Yang kecil ditulis dalam sebuah buku tulis, yang besar lebih dari seratus jilid, yang lainnya di antara keduanya. Abdur Rahman Jami’, pengarang kitab Nafahat al-Ins, menyebutkan bahwa Ibn al-’Arabi telah menulis sebanyak 500 buah kitab dan risalah. Al-Sha’rani, di dalam kitabnya al-Yawaqit wa al-Jawahir, menyebutkan 400 buah kitab.22

19

A. E. Afifi,. Filsafat Mistis , h. 3

20

Zainun Kamal, ”Ibn Arabi dan Paham Wahdat al-Wujud”, dalam: Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, (Jakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998), vol. I, no 1, h. 45.

21

Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 17.

22

(27)

Dua karya Ibn ’Arabi yang paling penting dan paling termasyhur ialah Futuhatu Makkiyyah dan Fusus Hikam. Ia mengaku bahwa kitab Futuhatu

al-Makkiyah didiktekan Tuhan melalui malaikat yang menyampaikan ilham. Karya ini mulai disusun di Makkah pada tahun 598 H/1202 M, dan selesai di Damaskus pada tahun 629 H/1231 M. Karya yang terdiri dari 560 bab ini mengandung uraian-uraian tentang prinsip-prinsip metafisika, berbagai ilmu keagamaan dan juga penglaman-pengalaman spiritual Ibn al-’Arabi. Kitab Fusus al-Hikam, adalah karya Ibn al-’Arabi yang paling banyak dibaca, paling berpengaruh dan paling termasyhur. karya ini disusunnya pada tahun 627 H/1230 M, sepuluh tahun sebelum wafat. Menurut pengakuannya karya ini diterimanya dari Nabi saw, tanpa adanya pengurangan dan penambahan sedikitpun, yang menyuruh agar ia menyebarkannya kepada umat manusia supaya mereka mengambil manfaat darinya. Karya ini mengandung duapuluh tujuh bab, setiap bab memakai nama seorang Nabi untuk judulnya sesuai dengan bentuk kebijaksanaan (hikmah).23

Kitab-kitab lain yang tidak diketahui secara pasti tempat penulisannya, karena Ibn al-’Arabi banyak berkelana, antara lain: Musyahadah al-Asrar (Melihat Rahasia-Rahasia), al-Misbah Fi al-Jami’ bain al-Sihah Fi al-Hadis (Penerang Untuk Mengumpulkan Hadis-Hadis Sahih), al-Jam’u wa al-Tafsil Asraru Ma’ani al-Tanzil (Koleksi dan Uraian-Uraian Rahasia-Rahasia yang Dikandung Al-Qur’an), al-Futuhat al-Madaniyyah (Penaklukan Madinah), Al- Tadbirat al-Ilahiyyah

(Pengaturan Tuhan), Tafsir al-Syaikh al-Akbar (Tafsir Simbolis al-Qur’an, versi

23

(28)

sufi), Sirr Asma’ Allah al-Husna (Rahasia Dalam Asma’ul Husna), Asrar al-Qulub al-’Arifin (Rahasia-Rahasia Dalam Kalbu Orang-Orang Yang Arif), Hikmah al-Ilahiyyah (Hikmah Tuhan), al-Jadwat al-Muqtabisat (Anugerah Yang Diperoleh), al—Isra’ Ila maqam al-Asra (Perjalanan Ke Tempat Yang Mulia), dan Fada’il ’Abd

al-a Aziz al-Mahdawi (Kelebihan-Kelebihan Abdul Aziz al-Mahdawai).24

B. Konsep tentang Manusia

1. Penciptaan Manusia

Ibn al-‘Arabi mengawali pembicaraan manusia dengan penciptaan Tuhan terhadap alam. Menurutnya Allah menciptakan alam disebabkan oleh kesendirian-Nya. Sendiri di dalam Zat-Nya Yang Mulia. Dalam kesendirian-Nya Ia melihat diri-Nya Yang Maha Sempurna, sehingga Ia mencintai diri-diri-Nya sendiri, maka Ia ingin dikenal oleh selain-Nya. Keadaan seperti ini merupakan keadaan kesedihan Tuhan. Kesedihan dimana Ia rindu untuk disingkapkan dalam bentuk manifestasi terhadap diri-Nya.25 Istilah seperti ini sering disebut dengan tajalli. (menampakkan, mengejawantah, manifestasi).

Kata tajalli merupakan sinonim dari kata ”emanasi” dalam istilah yang digunakan oleh Plotinus. Tetapi ”emanasi” Ibn al-’Arabi berbeda dengan ”emanasi” Plotinus, yang mengajarkan bahwa Yang Esa melimpahkan sesuatu, yang selanjutnya melimpahkan sesuatu yang lain, dan seterusnya dalam bentuk suatu rangkaian.

24

Rahardjo, Dawam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Houve, 1999), h. 150.

25

(29)

”Emanasi” bagi Ibn al-’Arabi berarti tajalli, penampakan al-Haqq dalam bentuk yang berbeda-beda, dari yang kurang kongkrit kepada yang lebih kongkrit. Realitas yang satu dan sama menampakkan diri-Nya secara langsung dalam bentuk-bentuk segala sesuatu yang berbeda-beda.26

Adapun tajalli Tuhan dalam pandangan Ibn al-‘Arabi melalui dua cara: cara pertama mengambil bentuk tajalli ghaib atau tajalli dzati, yang berbentuk penciptaan potensi, dan kedua tajalli syuhudi (penampakkan diri secara nyata), yang mengambil bentuk penampakkan diri dalam citra tertentu. Tajalli dalam bentuk pertama, secara intrinsik, hanya terjadi di dalam esensi Tuhan sendiri. Oleh karena itu, wujudnya tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri, karena ia tidak lebih dari suatu proses ilmu Tuhan dalam esensi-Nya sendiri. Sedangkan tajalli dalam bentuk kedua ialah ketika potensi-potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam berbagai fenomena dan alam semesta.27

Tuhan menciptakan manusia melalui beberapa tahap tajalli dan martabat. Sedangkan penciptaan manusia merupakan tujuan dari diciptakannya makhluk, karena Tuhan menciptakan makhluk untuk mengetahui dan untuk dikenalnya diri-Nya oleh selain-diri-Nya. Makhluk yang bisa mengenal-diri-Nya dengan baik, bisa berhubungan dengan baik dan bisa bercinta kasih dengan baik adalah insan kamil (manusia sempurna), dan insan kamil adalah citra Tuhan yang paling sempurna. Untuk itu Tuhan dapat melihat citra diri-Nya dengan sempurna melalui insan kamil (manusia sempurna). Dengan kata lain, insan kamil (manusia sempurna) adalah

26

Kautsar Azhari Noer, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 61.

27

(30)

cermin dari Tuhan yang paling bening. Jadi tujuan diciptakannya alam adalah untuk menciptakan manusia dalam hal ini manusia sempurna (insan kamil).28

Manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki eksistensi. Mulai dari eksistensi yang paling terang benderang hingga yang paling gelap gulita. Mereka diciptakan dari ruh Tuhan yang bersinar, kemudian ditiupkan pada tanah dunia yang gelap. Ruh Tuhan yang ditiupkan pada manusia memiliki sifat kemalaikatan, seperti pencahayaan, kelembutan, kesadaran dan kesatuan.29 Untuk itulah manusia yang

pantas menjadi makhluk yang paling sempurna, bukannya makhluk lain. Maka, Tuhan pun menciptakannya menurut bentuk-Nya, maka, Ia menciptakannya sesuai dengan semua nama-nama-Nya. Inilah salah satu interpretasi atas ayat al-Qur’an yang mengatakan, bahwa Tuhan mengajari Adam semua nama-nama. “Wa allama adama al-asmaa kullaha…”30. Jika Adam diciptakan tidak menurut semua nama-nama Tuhan, hanya salah satunya saja, maka manusia hanya bisa bersifat salah satu dari nama jalal atau jamal-Nya saja.

Manusia merupakan makhluk Tuhan yang diciptakan dari ruh Tuhan yang ditiupkan pada tanah yang gelap,31 sehingga mereka adalah perpaduan antara cahaya eksistensi yang intens dan kesadaran dengan kegelapan debu yang rendah. Ruh Tuhan yang ditiupkan pada manusia memiliki sifat kemalaikatan, seperti pencahayaan, kelembutan, kesadaran dan kesatuan. Untuk itulah manusia pantas menjadi makhluk

28

Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi, h. 56-57.

29

William, C. Chittick Tuhan Sejati dan Tuhan-Tuhan Palsu, terj. Ahmad Nidjam, et.al., (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001) h. 17.

30

Lihat Q. S. 2:31

31

(31)

yang paling sempurna dibanding makhluk lain. Maka, Tuhan pun menciptakannya menurut bentuk-Nya, “Inna allaha khalaqa adama ‘ala suratihi”.32 Allah menciptakan Adam menurut bentuk-Nya. Oleh karena itu, Ia menciptakan Adam (manusia) sesuai dengan nama Tuhan. Inilah salah satu interpretasi atas ayat al-Qur’an yang mengatakan, bahwa Tuhan mengajari Adam semua nama-nama. Akan tetapi, dari semua nama yang telah diberikan kepada manusia, semuanya hanya bersifat potensial, atau fitrah secara kejadiannya. Untuk itu banyak di antara manusia yang justru tidak mengenal asma-asma-Nya. Sebab Tuhan menciptakan manusia berdasarkan dua unsur. Unsur yang bersifat baik dan buruk.

Adapun manusia diciptakan dengan dua unsur, yakni unsur baik dan jahat. Ibn al-‘Arabi pernah mengatakan:

ﺲ ﻹ

لﺎ

اﺬﻬ و

ﺮﺸ إ

مد

ﷲا

" :

؟ىﺪ

ﺪ ﺴ

نأ

ﻚ ﺎ

"

رﻮ ا

إ

ﻮه

ﺎ و

:

ﺎ ا

ةرﻮ

ا

ةرﻮ و

,

ا

اﺪ

ﺎ هو

) .

إ

ﺮ ا

(

33

Allah menyatukan kedua tangan-Nya untuk (penciptaan) Adam semata-mata sebagai kehormatan baginya. Karena alasan ini Dia berkata kepada Iblis:”Apa yang mencegahmu melakukan sujud kepada apa yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apa yang mencegahnya adalah fakta sesungguhnya bahwa Adam menyatukan dua bentuk, bentuk alam dan bentuk al-Haqq; dan keduanya adalah dua tangan al-Haqq.34

32

Imam al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, (Beirut: Dar Ihya Turas al-‘Arabi, 1984), jilid 16, h. 166.

33

Ibn ‘Arabi, Fusus al-Hikam, ed. A. Afifi, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1946), jilid I, h. 52

34

(32)

Menurut Ibn al-‘Arabi kalimat “kedua tangan” Tuhan memiliki arti nama-nama Tuhan yang berlawanan. Nama-nama-nama semisal al-Lathif (Yang Maha Halus) berlawanan dengan al’Qahhar (Yang Maha Penindas), al-Nafi’,(Yang Member Manfaat) berlawanan dengan al-Darr, (Yang Mendatangkan Bahaya) dan lain-lainnya. Dua macam nama Tuhan ini saling berlawanan dengan memiliki arti keterpaksaan, yaitu sifat yang menjuruskan pada ketidak baikan. Sedangkan arti yang memiliki kepemurahan, yaitu sifat yang menjuruskan pada kebaikan.35

Ibn al-‘Arabi juga mengatakan:

ﻮ و

مدا

ﺎ او

,

رﻮ او

ا

ﻬ ﺎ

,

ﺮ ا

آرو

ﺮﺸ او

,

ﺮﻀ اﻮ او

,

ةﺮﻜ او

ﺔ ﺮ

ﺔ ﺎ

اذ

و

.

ﻏﺮهﻮ

ىﺄ

ا

ﺮهﻮ

رﻮ ﺮهﻮ

نﺎ

ا

,

ﺎ ور

تﺮﻬ و

ﻚ ا

,

ﻚ ا

و

.

رﻮ ﺮهﻮ

ﺮهﻮ

ناو

,

ﺎ ﺴ

تﺮﻬ و

ﺎ ور

,

نﺎ ﺸ ا

) .

ﺮ ا

ا

(

36

Sementara itu Adam dan anak cucunya diciptakan dari tanah liat (at-Thin) yang terdiri dari kegelapan dan cahaya. Sehingga unsurnya terdiri dari kebaikan dan keburukan serta manfaat dan bahaya. Sedangkan zat (subyek) nya diciptakan untuk sanggup menerima pengetahuan dan ketidaktahuan. Jauhar atau esensi mana yang sanggup mendominasi dalam diri manusia, maka ia akan masuk dalam kelompok tersebut. Kalau yang menang adalah jauhar cahayanya dan muncul spiritualnya (ruhaniyyah) untuk mengalahkan jasmaniyah (mental)-nya, maka ia akan sanggup mengungguli para malaikat dan akan melambung tinggi di atas orbit. Akan tetapi bila yang mendominasi dalam diri manusia adalah jauhar kegelapan, sementara jauhar cahayanya kalah dan mentalnya lebih menonjol daripada spiritualnya, maka ia masih lebih baik dari pada setan.37

35

Kautsar Azhari , Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 130

36

Ibn ‘Arabi, Fusus al-Hikam, jilid I, h. 23

37

(33)

Allah menciptakan manusia dengan dua macam nama-nama-Nya. Nama-nama yang berkonotasi jalal (maha perkasa) dan jamal (maha indah). Dua macam nama ini dari segi sifatnya saling berlawanan. Sifat-sifat jalal memiliki arti sebagai penguasa absolut, seperti al-Qahhar (Yang Maha Penindas), al-Darr (Yang Mendatangkan Bahaya), sedangkan sifat-sifat jamal memiliki arti sebagai keindahan dan kepemurahan seperti al-Lathif (Yang Maha Halus), al-Nafi’ (Yang Memberi Manfaat). Untuk itu manusia yang sanggup menggunakan nama-nama Tuhan secara proporsional, dia adalah manusia yang berhasil menggunakan nama-nama Tuhan seperti Tuhan menggunakan nama-nama-Nya. Manusia seperti inilah yang berhasil menjadi manusia sempurna (insan kamil). Sedangkan manusia yang tidak dapat menggunakan nama-nama-Nya seperti Tuhan menggunakan nama-nama-Nya, maka, ia adalah manusia yang tidak berhasil menjadi manusia sempurna. Dia telah terglincir dalam unsur kegelapan. Sementara unsur cahayanya tidak ia gunakan. Ia lebih dominan pada nama-nama jalal saja. Ia tidak menggunakannya secara proporsional, dan lebih dominan pada unsur kegelapan dibanding unsur cahayanya. Jika demikian adanya ia lebih rendah dibanding makhluk lain.38

Ibn al-‘Arabi membagi manusia ke dalam dua macam. Pertama, manusia yang termasuk pada golongan “hamba Tuan” yang dikenal dengan ‘arif. Ia merupakan manusia yang memiliki jiwa yang bersih dari hawa nafsu dan ikatan badaniah. Dia pun dapat mengetahui realitas-realitas segala sesuatu. Dia pun

38

(34)

mengetahui Allah dari segi tajalli-Nya kepadanya, bukan dari segi nalar rasionalnya. Ia mengetahui Allah dengan penyingkapan intuitif (kasyf) dan rasa (dzawq), bukan dengan akal(‘aql). Kedua, manusia golongan “hamba nalar” Ia adalah manusia yang selalu tergantung pada hawa nafsunya. Ia tidak mengenal realitas segala sesuatu yang selalu terhijab dengan hijab yang tebal. Ia hanya mengetahui Tuhan dengan nalarnya saja. Ia pun menundukkan hukum dengan akal. Manusia seperti inilah yang tidak bisa membebaskan dirinya dari belenggu akal.39

Dua golongan di atas menurut Ibn al-‘Arabi memiliki istilah khusus untuk memanggilnya. Istilah yang dipakai untuk “hamba Tuan” (‘arif) adalah insan al-kamil (manusia sempurna). Sedangkan istilah yang digunakan untuk “hamba nalar” adalah al-insan al-hayawan (manusia binatang).40

Dengan demikian manusia yang benar-benar memiliki derajat tertinggi adalah manusia sempurna (insan kamil). Ia merupakan pengejawantahan nama-nama Tuhan secara sejati. Manusia kategori inilah yang disandangkan oleh para rasul, nabi dan wali. Dan semua manusia pada dasarnya memiliki potensi untuk masuk dalam kategori ini. Minimal hanya Tuhan saja yang menentukan, dan tidak berdasarkan usaha manusia. Sedangkan untuk menjadi seorang wali semua manusia memiliki potensi dan kesempatan untuk itu, tentunya melalui usaha yang tidak mudah.

39

Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 136.

40

(35)

Kesempurnaan manusia dipandang sebagai realisasi setiap kualitas dari wujud yang tersembunyi di dalam bentuk nama-nama keTuhanan. Oleh karena itu manusia dipandang sebagai pengesahan penuh atas perwujudan nama-nama ketuhanan, yaitu jamal dan jalal. Dengan demikian semua kualitas wujud secara manusiawi mewujud

dalam keseimbangan dan harmoni yang sempurna.41 Oleh karena itu manusia adalah ciptaan Tuhan yang memiliki kesempurnaan tersendiri. Ia adalah satu-satunya cermin Tuhan yang paling bening, karena kejadiannya terdiri dari semua nama-Nya. Ia adalah baru sekaligus azali. Baru ditinjau dari aspek badaniahnya yang berupa jasad, dan azali ditinjau dari aspek ilahiahnya berupa ruh.

Alam diciptakan Tuhan agar Ia diketahui atau dikenal melaluinya. Ini merupakan tujuan penciptaannya. Tetapi, tujuan tersebut tidak akan tercapai, kecuali melalui penciptaan manusia, dalam arti, manusia adalah penyebab bagi adanya alam.

2. Insan Kamil

[image:35.612.111.533.274.534.2]

Konsep insan kamil dalam pandangan Ibn al-'Arabi bertolak pada pandangannya bahwa alam semesta merupakan cermin bagi Tuhan. Tuhan adalah esa, tetapi bentuk gambaran dari diri-Nya yang tercermin pada alam semesta banyak jumlahnya, sebanyak pencerminan alam semesta itu sendiri terhadap bentuk dan gambar-Nya. Cermin paling sempurna bagi Tuhan adalah insan kamil, ia

41

(36)

memantulkan semua nama dan sifat Tuhan, sedangkan makhluk-makhluk lain hanya memantulkan sebagian nama dan sifat itu.

Pandangan tersebut sesuai dengan teori Ibn al-'Arabi tentang tafadhul, yaitu keadaan bahwa sebagian makhluk melebihi sebagian yang lain. Tafadhul menunjukkan adanya hierarki, baik pada nama-nama Tuhan, maupun pada makhluk-makhluk-Nya. Intensitas penampakan nama-nama Tuhan pada masing-masing makhluk untuk menerima penampakan itu, dan manusia adalah makhluk yang memiliki 'kesiapan' paling besar dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya untuk menerima penampakan nama-nama Tuhan.42

Oleh karena itu, insan kamil merupakan miniatur dari realitas ketuhanan dalam tajalli-Nya pada alam semesta. Berdasarkan hal tersebut, Ibn al-'Arabi menyebutnya sebagai al-'alam al-kabir (makrokosmos). Esensi insan kamil merupakan cermin dari esensi Tuhan; jiwanya sebagai gambaran dari nafs al-kulliyah (jiwa universal); tubuhnya mencerminkan arasy; pengetahuannya

mencerminkan pengetahuan Tuhan; hatinya berhubungan dengan bayt al-ma'mur; kemampuan mental spiritualnya terkait dengan malaikat; daya ingatnya terkait dengan saturnus (zuhal); daya inteleknya terkait dengan Jupiter (al-musytari); dan lain sebagainya.43

42

Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 126-127

43

(37)

Insan kamil merupakan sosok manusia yang berfisik-biologis sama dengan

manusia pada umumnya, tetapi memiliki kualitas rohaniah yang unggul dan paling sempurna dibanding manusia pada umumnya. Keunggulan rohaniah ini karena ia dibekali pengetahuan esoterik yang unggul. Pengetahuan ini dinamakan dengan ‘ilm al-asrar (pengetahuan rahasia) atau ‘ilm al-ladunni (pengetahuan kudus), atau sering

juga disebut ‘ilm al-ghayb (ilmu gaib). Pengetahuan ini merupakan bentuk dari pengetahuan yang ditiupkan Ruh Kudus ke dalam hati para Nabi dan Wali. Mereka adalah manusia yang memiliki jiwa yang bersih dari hawa nafsu dan ikatan badaniah. Mereka pun dapat mengetahui realitas-realitas segala sesuatu. Mereka juga mengetahui Allah dari segi tajalli-Nya kepadanya, bukan dari segi nalar rasionalnya. Mereka mengetahui Allah dengan menyingkap intuitif (kasyf) dan rasa (dzawq), bukan dengan akal (‘aql) semata.44

Menurut Ibn al-‘Arabi insan kamil dijadikan makhluk yang tertinggi dan paling dihormati. Ia dijadikan sebab bagi terciptanya alam dan ia pun dijadikan sebagai wakil (khalifah) Tuhan untuk memelihara, menguasai, mengawetkan, dan mempertahankan alam sebagai suatu prinsip kosmos.45

44

Sumanta, Insan Kamil dalam Perspektif Tasawuf Ibn al-‘Arabi, (Tesis S2 Fakultas Filsafat Universitas Indonesia, Jakarta, 2003), h. 21.

45

(38)

Ibn al-‘Arabi menyatakan:

ﷲا

ـ

ﺎـــ او

ا

ﺔ ﺎﻜ ا

ةﻮ ا

ﺎﻜ ا

ن

ﺎﺴ

ا

نﻮﻜ و

رﻮ و

ﺰ و

ا

اﺬه

ةﺎــﺸ

لﺮ ا

اﺬه

ﺎ ا

نﺎــﺴ ﻹا

ﻮه

ناﻮ

نﺎــﺴ إ

ﻮه

نﺎــﺴ

ﻹا

ﺪ ﺮ

ﺎ ﺴ و

ه

ﺎﺴ ﻹﺎ

و

ﺔ و

نﺎﺴ إ

آ

ﺎ و

ﺎﻜ ا

ةرﻮ ا

او

ناﻮ ا

نﺎﺴ ﻹا

نﺈ

)

ﺮ ا

إ

(

46 [image:38.612.110.529.152.509.2]

Karena wujud manusia sempurna adalah menurut gambar (Tuhan), maka ia berhak menerima khalifah dan kewakilan dari Allah ta’ala di alam. Mari kita teruskan pada bagian ini timbulnya khalifah, kedudukannya, dan gambar hakikatnya. Kita tidak mengartikan hanya manusia binatang belaka, tapi dengan manusia dan khlifah. Dengan kemanusiaan dan khalifah, ia berhak menerima gambar dan kesempurnaan. Setiap manusia bukanlah khalifah, manusia binatang benar-benar bukanlah khalifah.47

Manusia yang dapat memantulkan gambar Tuhan adalah insan kamil. Untuk itu ia dijadikan khalifah oleh Tuhan. Manusia yang tidak dapat memantulkan gambar Tuhan bukanlah manusia sempurna. Dan mereka tidak dapat dijadikan khalifah Tuhan. Khalifah yang dimaksudkan Ibn al-‘Arabi adalah tidak semata-mata pemimpin yang menduduki suatu kekuasaan (khalifah zahiriah), tetapi ia merupakan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Allah yang diaplikasikan pada kehidupan di dunia secara nyata (khalifah bathiniyah). Tujuan mutlak insan kamil adalah sebagai wadah tajalli Tuhan secara sempurna.48

Al-Jili dan Ibn al-’Arabi mempunyai kesamaan pandangan tentang kedudukan insan kamil sebagai khalifah Tuhan yang menjadi asas, penyebab, dan pelestari

46

Ibn 'Arabi, Fusus al-Hikam, h. 199.

47

Kautsar Azhari, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, h. 133.

48

(39)

eksistensi alam semesta. Lebih jauh, al-Jili menguatkan kedudukan itu dengan mengemukakan alasan bahwa hanya pada diri manusia terdapat tujuh daya rohaniah yang dapat membuat alam ini menjadi eksis dan lestari. ketujuh daya itu merupakan aspek-aspek dari nur Muhammad. Daya-daya ruhaniah itu adalah: hati (qalb), akal (’aql), estimasi (wahm), meditasi (himmah), pikiran (fikr), fantasi (khayal), dan jiwa (nafs). Dengan tujuh daya ruhaniah itu insan kamil yang merupakan identifikasi hakikat Muhammad menjadikan alam ini tetap eksis dan lestari.49

Insan kamil memiliki posisi yang sangat penting pada konsep tajalli Tuhan,

karena dengan insan kamil Tuhan dapat memanifestasikan semua nama-nama-Nya. Ia dapat melihat citra diri-Nya secara sempurna. Ia pun dapat memelihara, melestarikan, dan menyayangi alam melalui insan kamil yang dijadikan khalifah (pengganti) Tuhan.

Bagi alam, manusia sempurna adalah penghubung dengan Tuhan, karena satu-satunya makhluk yang dapat berhubungan secara sempurna adalah manusia. Ia dapat berkasih sayang, bercinta dan meminta kepada-Nya, karena ia diberi pengetahuan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, baik pengetahuan zhahir maupun pengetahuan batin. Baik pengetahuan eksoterik maupun pengetahuan esoterik. Inilah yang dijadikan modal bagi al-insan al-kamil untuk menjadikan khalifah guna menguasai, melestarikan, melindungi, dan merawat alam, serta berhubungan, bercinta kasih, dan meminta kepada Tuhan-Nya.

49

(40)

Menurut al-Ghazali insan kamil (manusia paripurna) adalah manusia yang bisa mencapai tujuan hidupnya, yaitu ma’rifahila Allah. Tujuan hidup manusia adalah kesempurnaan jiwanya, yang bisa mengantarkan pada ma’rifah. Dengan demikian kesempurnaan manusia terkait dengan substansi esensialnya, yaitu al-nafs (jiwa). Karena jiwa mempunyai sifat dasar mengetahui yang bisa mencapai puncak pengetahuan tertingginya, ma’rifah kepada Tuhan.50

Insan kamil adalah manusia yang memiliki pengetahuan yang pasti dan

meyakinkan. Ia menerima dari Tuhan dengan cahaya illahi-Nya melalui jalan yang diridai-Nya, karena pengetahuan ini adalah bentuk dari karunia-Nya yang diperoleh melalui penyucian rohani. Maka, mereka diberikan derajat oleh Allah sebagai wali, dan mereka diberikan kedudukan yang spesial oleh Allah dengan sebutan “quthb” (poros), karena ia adalah poros dan sumber pengetahuan esoterik yang tidak habis-habisnya. Kedudukan itu semua secara potensial dapat dicapai oleh seorang manusia dengan melalui jalan yang sangat berat dan susah payah, karena untuk mencapai insan kamil seorang manusia harus berusaha dan selalu konsekuen dengan jalan yang

ditempuh dan jalan itu dilaksanakan melalui cara berakhlak dengan akhlak Allah. Akhlak yang baik adalah semua yang telah diajarkan Rasulullah berupa syari’at yang telah diturunkan kepadanya, maka kewajiban seorang manusia untuk mencapai insan kamil adalah dengan menjalankan syari’at, karena menurut Ibn al-‘Arabi syari’at

adalah timbangan dan pemimpin. Untuk itu syari’at merupakan jalan kebahagiaan. Ia

50

(41)

adalah petunjuk dari Allah untuk dijadikan jalan bagi para penempuh kebenaran dan kebahagiaan sejati.

(42)

BAB III

KONSEP MANUSIA MENURUT RANGGAWARSITA

A. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya

Raden Ngabei Ranggawarsita lahir pada tahun 1802, nama aslinya adalah Bagus Burham. Ibunya berasal dari desa Palar kurang lebih sebelas kilometer sebelah Timur kota Klaten. Ranggawarsita ketika meninggal juga dimakamkan di desa Palar. Ayah Ranggawarsita usianya tidak panjang, ia meninggal ketika berusia 17 tahun. Kemudian Bagus Burhan ikut kakeknya Yasadipura II yang mendidiknya dalam bidang kesusastraan. Ranggawarsita hidup pada zaman Paku Buwono IV, dan yang menjabat sebagai pujangga keraton adalah buyutnya, Yasadipura I. Sejak ibukota Mataram dipindahkan dari Kartasura ke Surakarta pada tahun 1744, Yasadipura I juga ikut pindah ke Kedhung Kol, sebuah kampung di daerah Pasar Kliwon di sebelah timur benteng Keraton Surakarta. Putranya, Yasadipura II juga tinggal di tempat yang sama. Kemudian disebut kampung Yasadipura. Begitu juga Rangawarsita juga tinggal dan dibesarkan di kampung Yasadipura.51

Bagus Burhan di samping dibesarkan dan dididik dalam lingkungan pujangga dan kesusastraan Jawa, seperti halnya kebanyakan para priyayi Jawa juga dikirim secara khusus ke Pesantren Tegalsari, di Ponorogo. Pada waktu itu Pesantren Tegalsari diasuh oleh seorang guru agama yang kenamaan, yaitu Kiai Ageng Kasan

51

Suwarno Imam S. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, dalam Berbagai Kebatinan Jawa,

(43)

Besari. Di samping guru agama, ia juga merupakan ahli kebatinan yang masih darah priyayi. Maka, tidak heran bila pesantren semacam ini menghasilkan tokoh-tokoh priyayi dan negarawan.

Semenjak Bagus Burhan mengaji di pesantren Tegalsari ini, cerita tentang wahyu kepujanggaan telah dihubungkan dengannya. Dalam Serat Babad

Lelampahanipun Raden Ngabehi Ranggawarsita yang disusun oleh Padmawadagda

dan Honggopradoto, wahyu kepujanggaan dihubungkan dengan makan ikan wader yang dikatakan ajaib. Diceritakan bahwa Ranggawarsita adalah pemuda yang nakal, enggan mengaji dan tidak mau belajar, bahkan suka berjudi, hidup semau hatinya. Akhirnya Bagus Burhan dimarahai dan dihardik Imam Besari. Lantaran merasa malu, kemudian ia sadar, dan melakukan tapa brata, merendam diri dalam sungai Watu selama empat puluh malam. Setiap hari hanya makan pisang klutuk sebutir. Pada malam terakhir, Tanujaya menanak nasi untuk berbuka bagi Bagus Burhan. Tiba-tiba Tanujaya terkejut, karena melihat benda bersinar sebesar bola (andaru) masuk ke dalam periuk. Sesudah nasinya masak, ternyata di dalamnya terdapat ikan wader yang sudah masak pula. Selesai Bagus Burham makan nasi beserta ikan wader tersebut, diceritakan bahwa Bagus Burhan kemudian menjadi anak yang pandai, dapat mengaji tanpa belajar, dan lebih pandai daripada santri-santri yang lain. Bagus Burhan juga fasih membaca Qur’an, dan pandai menafsirkannya dengan baik.52

52

(44)

Sesudah selesai belajar di pesantren Tegalsari, Bagus Burhan pergi mengembara dalam usaha memperluas ilmunya. Di samping untuk memperluas ilmu, Bagus Burham juga mencoba mendiskusikan kepandaiannya di berbagai tempat dengan beberapa guru yang kenamaan. Dalam pengembaraan untuk memperluas ilmunya, Bagus Burhan berjalan sampai menyeberang ke pulau Bali.

Setelah kembali dari pengembaraan, pulang ke Surakarta, dan bekerja sebagai jurutulis di kantor Kadipaten-anom. Di samping memiliki kecerdasan, Bagus Burham juga rajin belajar untuk menguasai segala pengetahuan kesustraan Jawa. Tetapi kemudian dia meninggalkan pekerjaannya, untuk mengembara lagi. Bagus Burham meninggalkan pekerjaannya karena kecewa, harapannya untuk segera dinaikkan pangkat tidak terpenuhi.

Adapun jenjang kepangkatan (jabatan) yang pernah dilalui Ranggawarsita adalah menjadi carik (jurutulis) Kadipaten Anom, dengan gelar Mas Rangga Pajanganom (tahun 1819). Lalu dinaikkan menjadi mantri carik dengan gelar Mas Ngabehi Sarataka (1822). Kemudian menggantikan jabatan ayahnya sebagai Kliwon-carik dengan gelar raden.53 Setelah pengembaraan yang terakhir, Bagus Burham kembali ke Sala. Kemudian pada tahun 1845 beliau diangkat menjadi Kliwon Kadipaten Anom, dan dinobatkan menjadi pujangga istana Surakarta oleh Paku Buwana VII.54

53

Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 40.

54

(45)

Ranggawarsita wafat pada tahun 1873, dimakamkan di Palar, kecamatan Trucuk, kabupaten Klaten, berjajaran dengan makam keluarga ibunya. Ranggawarsita juga mendapat penghargaan dari para pecinta kepustakaan Jawa. Penghargaan ini demikian besar sehingga Ranggawarsita dipandang sebagai pujangga penutup.55

Karya-karya Ranggawarsita

Menurut Tanaya, buku-buku hasil karya Ranggawarsita sebenarnya banyak sekali. Yang sudah diterbitkan belum seberapa jumlahnya. Ranggawarsita seorang pujangga istana, tugas pokoknya adalah menyusun karya-karya sastra.56 Di samping karya-karya yang ditulis dalam bentuk sekar macapat (puisi), beliau juga banyak menyusun karya-karya yang berbentuk jarwa (prosa), seperti Paramayoga, Pustaka Raja, dan sebagainya. Karya-karya itu semua dalam bentuk aksara carik (tulisan tangan). Karena Ranggawarsita menjabat sebagai pujangga istana, maka karya-karyanya banyak yang dipersembahkan kepada raja. Di samping itu banyak pula yang beredar dalam lingkungan Ranggawarsita. Karena Ranggawarsita adalah pujangga yang banyak dikagumi para pecinta kepustakaan Jawa, maka banyak pula yang menyebar di tengah-tengah masyarakat. Dalam perpustakaan museum Sanabudaya Yogyakarta; banyak terdapat hasil karya Ranggawarsita.

55

Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 48.

56

(46)

Karkono Partokusumo dalam bukunya Zaman Edan, mencatat sebanyak 50 judul karya Ranggawarsita. Anjar Any dalam bukunya Raden Ngabehi Ranggawarsita Apa Yang Terjadi? Menyebutkan 56 macam judul karya

Ranggawarsita, dan tiga judul gubahan dari karya orang lain.57

Di antara karya-karya tersebut ialah: Serat Wirid Hidayat Jati (the true Guidance)58 , Serat Makrifat, Serat Witaradya, Pustaka Raja Purwa, Suluk

Supanalaya, Candra Rini, Aji Pamasa, Saloka pari basa, Serat Cenporet, Cariosipun

Ulam Kutuk, Paramayoga, Niti Sruti, Suluk Saloka Jiwa, Serat Pamoring Kawula

Gusti, Suluk Suksma Lelana, Kalatidha, Jaka Lodang dan Sabdajati, Serat Kidungan,

Bausastra Kawi Jarwa, Serat Sengkalan Lomba lan Memet, Sabda Pranawa Jaka

Lodhang Kalatidha, Wirid Ma’lumat Jati.

Dari karya-karya Ranggawarsita, akan terlihat bahwa pemikirannya banyak dipengaruhi oleh kepustakaan Islam kejawen, tradisi dan Kepustakaan Jawa. Pembahasan dan pemikirannya terpusat untuk merumuskan kembali pokok-pokok pemikiran yang terdapat dalam pembendaharaan kepustakaan Jawa dan Islam kejawen, sehingga karya-karya Ranggawarsita pada umumnya mencerminkan perpaduan anatara alam pikiran Jawa dengan ajaran Islam kejawen.

57

Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 51

58

(47)

B. Konsep tentang Manusia

1. Penciptaan Manusia

Ranggawarsita memulai pembicaraannya tentang manusia diawali dengan proses tajalli Tuhan. Istilah tajalli ini sama dengan istilah tajalli yang digunakan oleh Ibn al-’Arabi. Menurut Ranggawarsita Tuhan ber-tajalli pada manusia melewati tujuh martabat, Syajaratul yakin, Nur Muhammad, Miratul hayati, Roh idlofi, Kandil, Dharroh, dan Kijab. Syajaratul yakin adalah wadah tajalli Tuhan yang tercipta dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya tidak ada satu makhluk pun yang tercipta sebelum adanya Syajaratul yakin. Oleh karena itu ia disebut sebagai hayyu (hidup) atau atma. Ini merupakan pengejawantahan nama Tuhan “Yang Maha Hidup” dan Dzat Yang Maha Terdahulu (Baqa’)59

Dalam proses tajalli Syajaratul yakin memiliki martabat yang dinamakan Ahadiyat.60 Tajalli dalam martabat ini mengambil bentuk dalam essensi Dzat Tuhan sendiri, sehingga tidak bisa digambarkan secara nalar rasio. Syajaratul yakin adalah pohon kehidupan yang darinya merambat dan terlahir berbagai ciptaan serta tajalli-Nya.

59

Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 234.

60

(48)

Tuhan bertajalli dalam Nur Muhammad. Nur ini adalah cahaya terpuji sebagai bentuk pengejawantahan nama Tuhan Yang Maha Terpuji. Ia berada dalam permata putih yang membentuk burung merak. Keberadaannya sebagai sifat atma yang menjadi nukat gaib. Tajalli ini berada pada tingkat martabat Wahdat.61

Kemudian Tuhan bertajalli pada martabat Wahidiyat. Pada martabat ini Tuhan bertajalli dalam bentuk Miratul hayati, yaitu kaca wirai yang berada di depan Nur Muhammad. Ia adalah hakikat pramana yang diakui rahsa Dzat, sebagai asma atma.62 Adapun pramana adalah pengendali wujud. Apabila pramana terpisah dari wujud, maka wujud tidak berdaya.63

Setelah itu Tuhan bertajalli pada martabat keempat, dalam bentuk Roh idlofi. Ruh ini adalah nyawa bersih yang asalnya dari Nur Muhammad, dan ia adalah hakikat suksma yang diakui keadaan Dzat. Ia merupakan af’al atma dan menjadi alam arwah.

Martabat ini juga dinamakan martabat alam arwah. Selanjutnya Tuhan bertajalli dalam bentuk kandil. Kandil adalah lampu tanpa api yang bersinar dan tergantung tanpa pengait. Kandil adalah perwujudan dari alam mitsal. Martabat ini dinamakan juga martabat alam mitsal. Kemudian Tuhan bertajalli dalam bentuk dharroh, yaitu bentuk permata. Ia memiliki aneka ragam warna yang kesemuanya ditempati malaikat. Ia merupakan hakikat budi. Tajalli dalam bentuk ini membentuk alam ajsam. Martabat ini dinamakan juga martabat alam ajsam.64

61

Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 234.

62

Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 234

63

Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 310

64

(49)

Pada tahap terakhir, Tuhan bertajalli pada martabat ketujuh dalam bentuk kijab. Kijab juga disebut sebagai dinding jalal atau tabir agung. Ia timbul dari permata

yang beraneka warna pada waktu gerak menimbulkan buih, asap, dan air, sehingga membentuk jasad yang menciptakan alam insan kamil.65 Pada martabat ini Tuhan memenuhi tujuannya mencipta, untuk bertajalli dalam bentuk manusia. Maka, martabat ini dinamakan martabat insan kamil. Insan kamil dalam tajalli Tuhan disini diartikan sebagai manusia yang tercipta dan terlahir secara utuh.

Konsep Manusia menurut Ranggawarsita merupakan satu kesatuan dengan tujuh unsur; jasad, budi, nafsu, roh, sir (rahsa), nur dan hayyu (hidup) yang saling berhubungan yang diaplikasikan pada gerak gerik badan yang dipengaruhi oleh budi. Budi dipengaruhi oleh nafsu, nafsu dipengaruhi oleh roh atau suksma. Suksma mendapat pengaruh dari rahsa. Rahsa mendapat pengaruh dari nur. Sedangkan nur mendapat pengaruh dari hayyu dan hayyu merupakan pelaksana dari af’al Dzat, yaitu tajalli Dzat. Dengan demikian manusia adalah pengejawantahan dari pelaksanaan

iradat Tuhan, dalam arti, terdapat titik kesamaan antara manusia dengan Tuhan.

inilah yang dinamakan kawula gusti.66

65

Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 235

66

(50)

Adapun tentang penciptaan manusia, Wirid Hidayat Jati menerangkan:

Pratelanipun kadosta: ing nalika ingkang MahaSuci karsa amujadaken sipatipun winastah adam, asal saking anasir kawan prakaning siti, latu, angina, toya, punika kahananipun kasebut wonten ing dalil kaping tiga, saking pakandikaning pengeran ing kang Mahasuci, makaten jarwanipun. Menggah dunungipun makaten: medah punika dating kawula, wajah punika dating Gusti ingkang asipatilanggeng, kacariyos ing kadis panjingjing mudah gangsal prakawis wau, wiwit saking penjingjing embun-embunan, kandel wonten ing utek-utek, lajeng temurun datheng netra, lajeng temurun datheng karma, lajeng temurun datheng grana, lajeng temurun datheng lesan, lajeng temurun datheng jaja, lajeng sumrambah ing jasad sadaya, sangkepipun jumeneng insan kamil.67

Terjemahannya:

Sewaktu Tuhan berkehendak mewujudkan sifat-Nya yang dinamakan Adam, berasal dari anasir empat perkara: tanah, api, angin dan air…sabda Tuhan yang maha suci menerangkan:”sesungguhnya aku menciptakan Adam berasal dari unsur empat macam, tanah, api, angin, dan air. Menjadi perwujudan sifat-Ku. Aku memasukkan mudah lima macam: nur, rahsa, roh, nafsu dan budi. Menjadi penutup wajah-Ku yang maha suci.”jelasnya demikian mudah dzat hamba wajah dzat gusti yang bersifat kekal. Dalam hadits diceritakan, masuknya mudah lima macam: bermula dari ubun-ubun berhenti ditolak turun kemata, turun ketelinga, turun kehidung, turun kemulut, turun kedada, dan tersebar keseluruh tubuh, sempurna sebagai insan kamil.68

Menurut Ranggawarsita kejadian manusia tersusun atas tujuh unsur sebagaimana adanya tujuh martabat, yakni hayyu (hidup), disebut juga atma yang dibungkus oleh jasad atau badan yang terdiri dari empat anasir, yakni tanah, api, air dan udara. Selanjutnya Tuhan memasukan lima unsur rohani yang disebut: Nur (cahaya, letaknya diluar hayyu), Budi (keadaan pranawa, menarik kejelasan kehendak, menjadi pangkal pembicara), Nafsu (keadaan hawa, menarik kejelasan

67

Simuh, Mistik Islam Kejawen, h. 184

68

(51)

suara, menjadi pangkal pendengaran), Suksma (keadaan nyawa, menarik kejelasan cipta, menjadi pangkal perasaan), Rahsa (Keadaan atma, menarik kejelasan kuasa, menjadi pangkal perasaan).69

Penciptaan manusia yang memiliki unsur pokok diri berupa hayyu adalah penjelasan bahwa hidup manusia tidak akan terpisahkan dengan dzat Tuhan, karena hayyu adalah sifat hayat Tuhan. Hayyu adalah tajalli dari nama Yang Maha Hidup,

sehingga manusia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan, karena manusia adalah makhluk yang diliputi oleh tujuh unsur, yaitu jasad, budi, nafsu, roh, sir (rahsa), nur, dan hayyu. Unsur-unsur ini selanjutnya saling berhubungan.

Selain itu manusia juga makhluk yang memiliki pengendali, yakni roh atau sukma yang selalu menggerakkan badan. Suksma mendapat pengaruh dari rahsa.

Rahsa menerima pengaruh dari nur. Nur menerima pengaruh dari hayyu. Hayyu adalah pelaksana dari af’al dzat dan ia adalah tajalli dzat. Maka, manusia dan Tuhan adalah sebuah hubungan yang saling membutuhkan. Manusia membutuhkan Tuhan, agar ia bisa bergerak, beramal, dan menjadi sebuah keridlaan Tuhan. Sedangkan Tuhan membutuhkan manusia, agar ia dikenal dan dapat melihat citra diri-Nya dengan sempurna. Dia dapat dinamakan Tuhan karena adanya makhluk. Sedangkan makhluk tidak bisa berbuat apa-apa tanpa kehendak-Nya.

Manusia terlahir ke dunia melalui ibu selama sembilan bulan. Masa perkembangan setiap martabat diaplikasikan pada setiap bulannya. Sehingga setelah tujuh bulan sempurna menjadi tujuh martabat dan menjadi insan kamil. Lalu

69

(52)

ditambah dua bulan lagi untuk membesarkannya.70Ketika manusia terlahir ke dunia ia

memiliki kejadian yang paling baik dibanding makhluk lain, karena manusia memiliki dua dimensi pada struktur kejadian dirinya yang dimulai dari kepala sampai kemaluannya.

Struktur manusia menurut Ranggawarsita sebagai berikut.

Sajatine ing-sun anata malige ana sajroning Betal makmur, iku omah enggoning parameyening-sun, jumeneng ana siraning Adam, kang ana sajroning sirah iku dimak, iya iku utek, kang ana ing antaraning utek iku manik, sjroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun dzat kang anglimputi ing kahanan jati.71

Terjemahannya:

Sesungguhnya Aku mengatur mahligai dalam Baitul Makmur, adalah rumah tempat keramaian-Ku berada di kepala adam. Yang ada didalam kepala dimak, yakni otak. Yang ada diantara otak manik. Dalam manik budi, dalam budi nafsu, dalam nafsu suksma, dalam suksma rahsa, dalam rahsa adalah Aku, tidak ada Tuhan kecuali Aku Dzat yang meliputi semua keadaan.72

Dalam kutipan di atas terdapat ajaran martabat tujuh di dalam Baitul Makmur, berada di kepala manusia, yaitu kepala, otak, manik, budi, nafsu, suksma, dan rahsa.73

70

Simuh, Mistik Islam Kejawen, h . 332

71

Ranggawarsita, Wirid Hidayat Jati, terj. Simuh, (Surakarta: Administrasi Jawi Kandha, 1908) h. 23

72

Hadiwijono. Harun, Kebatinan dan Injil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977), h. 18.

73

(53)

Selanjutnya tentang susunan di dalam mahligai Baitul Muharram menurut Ranggawarsita sebagai berikut.

Sajatine ingsun anata malige ana sajroning Betal Muharram. Iku omah enggoning lalaranganing-Sun, jemeneng ana dadane Adam kang ana sajroning dada iku ati, kang ana sajroning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, kang ana sajroning budi iku jinem, iya iku angan-angan, sajroning angan-angan iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun. Ora ana Pangeran among ingsun Dzat Kang Nglimpiti Jati.74

Terjemahannya:

Sesungguhnya Aku mengatur mahligai dalam Baitul Muharram, rumah tempat larangan-Ku, berada di dada Adam, yang ada di dada hati, yang ada di hati jantung, dalam jantung budi, dalam budi jinem, yaitu angan-angan, dalam angan-angan suksma rahsa, dalam rahsa Aku, Zat yang meliputi semua keadaan.75

Dalam kutipan di atas juga terdapat ajaran martabat tujuh di dalam Baitul Muharram, berada di dada manusia, yaitu dada, hati, jantung, budi, jinem,

(angan-angan), suksma dan rahsa.76

Selanjutnya tentang susunan di dalam mahligai Baitul Mukaddas menurut Ranggawarsita sebagai berikut.

Sajatine ingsun anata malige ana sajroning Betal Muqaddas, iku omah enggoning pasueening-Sun, jumeneng ana ing khontoling Adam. Kang ana sajroning konthol iku pringsilan kang ana antaraning pringsilan iku nuthfah iya iku mani, sajroning mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun. Ora ana pangeran ananing-Sun. Dat kang anglimputi ingkahanan Jati. Jumeneng nukat gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono ananing alam ahadiyat, ngalam arwah, ngalam missal, ngalam ajasm, ngalam insane kamil, dadaning manungsa kang sampurna, iya iku sajatining sipating-Sun.77

Terjemahannya:

74

Simuh, Mistik Islam Kejawen, h . 175.

75

Simuh, Mistik Islam Kejawen, h . 228.

76

Suwarno Imam S. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, h. 191.

77

(54)

Sesungguhnya aku mengatur Baitul Mukaddas rumah tempat kesucian-Ku, berada di dalam pelir Adam, yang ada di dalam pelir Adam, yang ada di pelir buah pelir, yang ada di dalam buah pelir nuthfah, yaitu mani, di dalam mani madi, di dalam madi wadi, dalam wadi manikem, dalam manikem rahsa, dalam rahsa Aku, tiada Tuhan kecuali Aku. Zat yang meliputi semua keadaan berada dalam nukat gaib, turun menjadi jauhar awal di situlah berada alam ahadiyat, wahdat, wahidiyat, alam arwah, alam mitsal, alam ajasm, dan alam insan kamil, terjadinya manusia sempurna, adalah sifat-Ku.78

Dalam kutipan di atas juga terdapat ajaran martabat tujuh di dalam Baitul Mukaddas, berada di pelir manusia, yaitu pelir, buah pelir, mani, madi, wadi,

Manikem, dan rahsa. Juga disebutkan bahwa manusia sempurna adalah sifat-Ku.79

Dengan demikian struktur tubuh manusia menjadikan manusia berpotensi untuk “manunggaling kawula gusti” maka ia dapat berhub

Gambar

gambar-Nya. Cermin paling sempurna bagi Tuhan adalah insan kamil, ia
gambar hakikatnya. Kita tidak mengartikan hanya manusia binatang belaka,

Referensi

Dokumen terkait

racionalidadestratégica: la organización del trabajo y del tráficoeconómico, la red de transportes, de noticias y de co-municación, las instituciones del derecho privado,

Tenaga pendidik yang lain yaitu guru dapat melihat materi yang diberikan oleh MGMP, melihat materi guru yang telah dipublikasikan, menampilkan soal ujian berdasarakan

Tujuan dari pembuatan tugas akhir ini adalah membangun model estimasi biaya perangkat lunak secara lebih akurat yang dapat mengatasi ketidakpastian dan kesalahan yang

Setelah diterapkan sebuah aplikasi berbasis web ini, maka diharapkan dapat memberikan kemudahan kepada Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia

Dari hasil penelitian, faktor yang menyebabkan anak diperdagangkan adalah Tingkat pendidikan, Jenis pekerjaan orang tua anak korban perdagangan, Faktor ekonomi,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk implementasi pengembangan S-IT untuk pelayanan akademik mahasiswa yang ada di STT Garut dengan fitur informasi layanannya

Guru meminta peserta didik mengakses LMS Google Classroom untuk mengamati materi tentang Fungsi Linier dan

Berdasarkan hal tersebut maka di Kecamatan Bekasi Timur cocok dilakukan pengelolaan air limbah dengan menggunakan SPALD-S mengingat kedalaman muka air tanah yang lebih