• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian hukum islam tentang peranan pemerintah desa dan BPD dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum : studi kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian hukum islam tentang peranan pemerintah desa dan BPD dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum : studi kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor) Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AHMAD NURALIF NIM: 106045201520

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

i

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala

rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga

tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepada

kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.

Skripsi yang berjudul “Kajian Hukum Islam Tentang Peranan Pemerintah

Desa Dan BPD Dalam Pelaksanaan Pembangunan Dan Kesejahteraan Umum (Studi Kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor)” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana

Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah

(Ketatanegaraan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan

mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya

penulisan skripsi ini, tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, dalam kesempatan yang berharga ini perkenankan penulis untuk

(3)

ii

Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas

waktu dan solusinya selama ini.

3. Bapak Iding Rasyidin S.Ag., M.Si., sebagai Dosen Pembimbing I penulis

yang senantiasa membimbing dan meluangkan waktunya untuk membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Heldi, M.P.d., sebagai Pembimbing II yang telah banyak

memberikan arahan dan bimbingan beliau yang sangat berarti.

5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berate

bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas perihal Islamic Legal Politics (Siyasah Wal Qanun).

6. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta atas pelayanan

referensi buku-bukunya.

7. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta, Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah

Tahun Akademik 2006-2007, Ade, Apri, Asriyah, Bangkit, Deni, Dinda,

(4)

iii

8. Kakakku Husna Nurafiah S.P.d.I dan Abdul Mutaqien AMd., adikku

Robiatun Nurasyiyyah, terima kasih atas segalanya.

Last but not least, penulis memohonkan ampunan kepada Allah Robbil Izzati terkhhusus untuk orang tua Penulis Ahmad Sulthoni (alm) semoga Allah senantiasa

melimpahkan magfirahNya di alam sana dan menjadikan kuburnya Raudhah min riyadhil jinan terlebih ibunda tercinta Emay Sumarni terima kasih atas kasih sayang dan ketabahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah S1 di kampus

bersejarah ini. Terakhir penulis berdo’a kepada Allah semoga ilmu yang telah kita

dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah SWT.

Amien.

Jakarta, 20 Juni 2010 M

(5)

iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis ... 8

E. Kerangka Konsepsional ... 9

F. Metode Penelitian ... 12

G. Review Studi Terdahulu ... 15

H. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DESA A. Pengertian Pemerintahan Desa dan Dasar Hukumnya ... 20

B. Macam-Macam Wewenang Pemerintahan Desa ... 29

C. Alasan-Alasan Diberlakukannya Pemerintahan Desa ... 35

D. Perbedaan Pemerintahan Desa Dengan Kelurahan... 39

BAB III KEDUDUKAN PEMERINTAH DESA DAN BPD MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Sekilas Tentang Desa Pemagarsari Parung Bogor... 44

B. Hubungan Pemerintahan Desa sebagai Unit Ulil Amri yang terkecil Dalam Al-Qur’an... 54

(6)

v

A. Sumber-Sumber Pendapatan Desa Pemagarsari di Bidang Pertanian, Perindustrian, dan Perdagangan Menurut Hukum

Islam Dan Peraturan Perundang-undangan... 73

B. Penilaian Hukum Islam Terhadap Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari di Bidang Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan... 84

C. Analisis Hasil Penelitian Di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor ... 92

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 99

B. Saran-saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA... 102

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan pada hakikatnya adalah usaha peningkatan taraf hidup manusia ke

tingkat yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih nyaman, lebih enak dan lebih tentram

serta lebih menjamin kelangsungan hidup dan penghidupan di masa yang akan

datang. Dengan demikian usaha pembangunan mempunyai arti humanisasi atau usaha

memanusiakan manusia.1 Pembangunan dari dan untuk manusia seutuhnya, berarti

manusia sebagai subjek dan sekaligus objek pembangunan, berusaha menciptakan

keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam hidupnya, dimulai dari lembaga

tinggi Negara seperti Presiden sampai ke tingkat Daerah dan Desa.

Pembangunan sebagai usaha memanusiakan manusia pada hakikatnya juga

merupakan usaha yang mempunyai makna etik, hukum, serta nilai ajaran agama baik

dalam tujuan yang ingin dicapai maupun dalam cara pelaksanaan usaha mencapai

tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, bukan hanya tujuan pembangunan

yang harus sesuai dengan nilai-nilai etik dan ajaran agama. Akan tetapi juga cara

mencapai tujuan pembangunan itu, jika nilai-nilai etik dan ajaran agama tidak

melekat dalam proses pembangunan maka pada gilirannya akan mengakibatkan

1

(8)

lahirnya tindakan yang bersifat dehumanistik, atau merusak kemanusiaan. Oleh sebab

itu, disinilah pentingnya peran Pemerintah dari tingkat yang paling atas yaitu

Presiden, Menteri-Menteri sampai ke tingkat Pemerintahan Desa dalam pelaksanaan

pembangunan dan kesejahteraan umum.

Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem

penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur

dan mengurus kepentingan masyarakat.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang

merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok

Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang

Pemerintahan Desa dan saat ini telah termuat dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur pula tentang desa.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan saat ini telah diganti dengan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa desa tidak lagi

merupakan wilayah administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsur

pelaksanaan daerah, tetapi menjadi daerah istimewa dan bersifat mandiri yang berada

(9)

kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup di lingkungan

masyarakatnya.2

Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak awal berdirinya pada tanggal 17

Agustus 1945 dengan sistem desentralisasi.3 Para Pendiri Negara telah menjatuhkan

pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan

Negara Indonesia yang tujuannya jelas tercantum pada alinea keempat pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

“…….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan

ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial”.4

Untuk mencapai maksud itu para pejabat di daerah-daerah membantu

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Kesejahteraan Sosial melalui

pembangunan daerah, karena daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat

otonom atau bersifat daerah administrasi.

2

HAW. Widjaja,Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh, (Rajawali Pers. Jakarta. 2003). h. 16.

3

Trianto, & Titik Triwulan, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan. (Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta. 2007). h.140.

4

(10)

Dalam perkembangannya tugas pembantuan dari pemerintah pusat kepada daerah

dan desa di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur secara garis besarnya

saja, seperti ditegaskan dalam penjelasannya, bahwa:

...Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat

garis besar sebagai instruksi kepada Pemerintah Pusat dan lain-lain penyelenggaraan

Negara. Lebih-lebih hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan pokok itu

diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan

mencabut.5

Penjelasan tersebut diatas cukup bijaksana, karena Undang-Undang Dasar 1945

memang menghendaki hal-hal yang diatur didalamnya hanya memuat aturan-aturan

pokok saja, sedangkan hal-hal yang memerlukan pengaturan lebih rinci diserahkan

kepada Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang sesuai dengan dinamika

perkembangan masyarakat, sehingga prakteknya di desa dalam menyelenggarakan

Pemerintahan Desa, Kepala Desa melaksanakan kewenangan hak dan kewajiban

selaku Pimpinan Pemerintahan Desa yaitu Menyelenggarakan Rumah Tangga sendiri

dan merupakan tanggung jawab utama dibidang Pemerintahan Umum termasuk

didalamnya Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan umum sesuai dengan

5

Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah. (Pustaka Bani Quraisy.

(11)

peraturan perundang-undangan yang berlaku juga menumbuhkan jiwa gotong-royong

masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan Pemerintahan Desa.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut diatas, Kepala Desa dibantu

oleh Perangkat Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa, Kepala Dusun/Unsur

Wilayah, Unsur Pelaksana Teknis dan bermitra secara sejajar dengan Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) selaku Legislatif di tingkat Desa. Namun pada

implementasinya, hakikat dan makna serta tujuan dan sasaran pelaksanaan

pembangunan dan kesejahteraan umum yang telah diatur dalam peraturan

perundang-undangan belum dapat direalisasikan secara utuh, hal ini misalnya yang terjadi di

Desa Pemagarsari Kecamatan Parung yang sampai saat ini pembangunan dan

kesejahteraan masyarakatnya masih terdapat banyak hambatan dalam pelaksanaan

pembangunannya, sehingga dalam hal inilah yang mendorong rasa ingin tahu penulis

menemui jawaban atas permasalahan tersebut dengan meneliti tentang Pemerintah

Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pelaksanaan pembangunan dan

kesejahteraan umum kemudian ditinjau dari aspek hukum Islam, dan ini menarik

untuk diteliti, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul:

“KAJIAN HUKUM ISLAM TENTANG PERANAN PEMERINTAH DESA

DAN BPD DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN

KESEJAHTERAAN UMUM (STUDI KASUS DESA PEMAGARSARI

(12)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus

pada peraturan perundang-undangan serta kajian Hukum Islam mengenai peranan

Pemerintah Desa dan BPD dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan

umum (Studi kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor).

2. Perumusan Masalah

Melihat judul skripsi tersebut dan latar belakang permasalahan seperti terurai

diatas, maka penulis perlu membuat rumusan masalah yang dianggap penting yang

akan dicari jawabannya dalam penelitian ini.

Diantara rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Kinerja Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pelaksanaan

Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari?

2. Apa Sajakah Yang Menjadi Penghambat Pelaksanaan Pembangunan dan

Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari?

3. Bagaimanakah Konsep Pembangunan dan Kesejahteraan di Desa Pemagarsari

(13)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas sosial, agama serta

pertumbuhan ekonomi khususnya dalam ruang lingkup desa setelah diberlakukannya

otonomi daerah dengan seluas-luasnya serta tinjauan hukum Islam terhadap

Pemerintahan Desa. Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui Kinerja Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pelaksanaan

Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari.

2. Mengetahui Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembangunan dan

Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari.

3. Mengetahui Konsep Pembangunan dan Kesejahteraan di Desa Pemagarsari

Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.

2. Manfaat Penelitian

Penulis berharap dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang

kajian Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan mengenai proses

berjalannya kinerja Pemerintah Desa di dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam

masalah pembangunan struktur dan infrastruktur serta kesejahteraan umum setelah

diberlakukannya otonomi daerah yang seluas-luasnya oleh Pemerintah Pusat kepada

(14)

penulis ingin mengetahui secara mendalam mengenai pertimbangan dan kebijakan

serta langkah-langkah yang diambil oleh penyelenggara Pemerintahan Desa dalam

proses pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum.Adapun manfaat yang

ingin dicapai penulis yaitu:

1. Mendapatkan pengetahuan tentang ilmu pemerintahan yang secara spesifik

membahas tentang desa sehingga penulis dapat mengetahui program-program

yang dilakukan oleh desa untuk melaksanakan pembangunan dan

kesejahteraan masyarakatnya.

2. Dan mudah-mudahan hasil dari penelitian ini juga dapat menambah khazanah

keilmuan Ketatanegaraan yang secara spesifik membahas tentang tinjauan

Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Desa.

D. Kerangka Teoritis

Secara teoritis etika pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Pancasila, yang dibangun atas realitas Keindonesiaan yang sudah sekian abad

lamanya bersemayam dalam dada bangsa Indonesia, yaitu realitas kemajemukan

sosial, budaya dan agama. Adapun sumber nilai-nilai dalam Pancasila itu sendiri

sesungguhnya adalah agama. Oleh karena itu, dalam menghadapi proses

pembangunan yang senantiasa mengalami perubahan terus menerus ini, etika agama

diharapkan dapat memberikan sumbangan amat berharga dalam rangka memelihara

(15)

Dalam kaitan ini tampak bahwa etika agama sesungguhnya merupakan

pendukung etika Pancasila itu. Dan didalam hubungannya dengan pembangunan

manusia seutuhnya panggilan etika agama dalam rangka memperkuat etika Pancasila

terasa sangat penting.

Tanpa bermaksud memitoskan mayoritas, tentunya etika Islam mempunyai

kedudukan dan peranan yang amat penting untuk menumbuhkan dan memperkokoh

etika Pancasila, yang sekaligus merupakan dasar dan filsafat pembangunan. Pada saat

kita menghadapi pembangunan, yang digambarkan sebagai awal perwujudan yaitu

masyarakat makmur, adil dan sejahtera yang mana dengan ketaatan kepada Allah

SWT dan RasulNya serta ketaatan Kepada Pemerintah baik di tingkat pusat maupun

daerah yang sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat al-Nisa Ayat 59 yang

berbunyi:

































































































Artinya:
(16)

Ahmad Musthafa Al-Maraghi mengomentari ayat ini sebagai berikut: ”Taatilah

Allah dan beramalah dengan berpedoman kitab Allah; dan taatilah Rasul, karena

sesungguhnya Dialah yang menerangkan kepada manusia tentang apa yang

diturunkan Allah kepada mereka. Sesungguhnya telah berlaku ketentuan Allah itu,

bahwa para Rasul itu bertugas untuk menjalankan syari’at Allah untuk mereka yang

beriman, dan juga para Rasul itu bertanggungjawab menjaga orang-orang yang

beriman. Karena itu, Allah mewajibkan atas kaum Muslimin untuk menaati Rasul.

Pengertian taatilah Ulil Amri adalah para penguasa ahli-ahli hukum, para ulama, panglima-panglima, para pemimpin dan para zu’ama. Mereka ini mampu

mengembalikan manusia kepada ketentuan-ketentuan yang dibawa oleh Rasul dalam

seluruh aspek kehidupan untuk kebaikan yang menyeluruh. Apabila Ulil Amri telah bermufakat menentukan suatu peraturan, rakyat wajib untuk menaatinya dengan

syarat mereka itu bisa dipercaya dan tidak menyalahi ketentuan Allah dan RasulNya,

yang telah diketahui secara mutawatir. Sesungguhnya mereka (Ulil Amri) adalah orang-orang yang terpilih dalam pembahasan suatu masalah dan dalam menentukan

kesepakatan mereka.6

Dalam realitasnya, pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum tidak

terlepas oleh kinerja pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945

dan Pancasila yang dibantu pelaksanaannya dengan asas tugas pembantuan

6

(17)

pemerintah pusat kepada daerah dan desa, sehingga pembangunan di tingkat nasional

banyak dipengaruhi oleh faktor kinerja pemerintahan daerah dan desa. Oleh karena

itu, perkembangan dan pertumbuhan pembangunan terutama di desa sangat besar

pengaruhnya oleh etos kerja aparatur pemerintah desa itu sendiri.

E. KERANGKA KONSEPSIONAL

Untuk mengupayakan agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman

dalam hal mengartikan konsep-konsep pokok dalam penelitian ini, maka penelitian

ini ditentukan bahwa:

1. Yang dimaksud dengan “Hukum Islam” adalah hukum yang dibangun

berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun al-Sunnah

untuk mengatur kehidupan manusia yang secara universal relevan pada setiap

zaman(waktu) danmakan(ruang) manusia.7

2. Yang dimaksud dengan “Pemerintah Desa” adalah Aparatur/pejabat desa

diantaranya yaitu Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Staf desa lainnya.

3. Yang dimaksud “Badan Permusyawaratan Desa” selanjutnya disebut BPD

adalah suatu badan yang sebelumnya disebut Badan Perwakilan Desa, yang

7

(18)

berfungsi menetapkan peraturan desa, bersama Kepala Desa menampung dan

menyalurkan aspirasi masyarakat.8

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Dalam Penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah Pemerintahan Desa

dan beberapa lembaga yang ada di dalam struktur organisasi pemerintahan desa

dalam menjalankan otonomi daerah dengan tujuan pembangunan dan kesejahteraan

sosial yang kemudian dianalisis dengan Hukum Islam (Ketatanegaraan Islam). Maka

mengingat begitu pentingnya kedalaman empiris yang harus dapat dijangkau maka

cara kerja atau metode yang akan digunakan dalam kegiatan penelitian ini akan

menampilkan beberapa metode penelitian. Pada garis besarnya hanya ada dua macam

metode, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini Metode

yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif didalamnya akan

dikombinasikan dengan metode komparatif, pengamatan, survey dan observasi serta

studi kasus.

Metode Komparatif orientasi bahasannya lebih pada perbandingan berbagai

macam hal dengan tujuan mendapatkan petunjuk-petunjuk mengenai apa yang

dilakukan aparatur pemerintah dalam melaksanakan pembangunan dan kesejahteraan

8

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara

(19)

umum. Serta metode pengamatan untuk menangkap "what people do" atau apa yang

dilakukan oleh seseorang atau aparatur pemerintah serta observasi dengan tujuan

untuk mendeskripsikan setting, kegiatan yang terjadi, orang yang terlibat di dalam

kegiatan pembangunan dan juga kesejahteraan umum.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

normatif dan juga pendekatan secara empiris, yakni dengan menekankan pada sumber

hukum Islam dan peraturan-peraturan lain yang berlaku dalam bentuk peraturan

perundang-undangan. Pendekataan ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih dalam

mengenai kinerja pemerintahan desa setelah diberlakukannya otonomi daerah yang

terkait dalam masalah pembangunan struktur dan infrastruktur desa serta

kesejahteraan umum.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini akan digunakan data primer dan data sekunder. Di bawah

ini akan dirinci satu per satu apa saja yang termasuk ke dalam data primer dan data

sekunder.

a. Data Primer

Didapatkan dari Kantor Pemerintahan Desa Pemagarsari Kecamatan

Parung Kabupaten Bogor, berupa dokumen-dokumen yang terkait

dengan pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum serta

(20)

Selain itu juga data primer diperoleh lewat interview (wawancara)

kepada aparatur pemerintahan desa kemudian data tersebut dianalisis

dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang

dikaji.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan

studi dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan.

Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah al-Quran, al-Hadits,

kitab-kitab fikih, buku-buku ilmiah, jurnal-jurnal, dan Undang-Undang Nomor

32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, Peraturan Pemerintah

Kabupaten Bogor Nomor 3 tahun 2000 tentang Organisasi dan tata kerja

Pemerintah Desa serta Peraturan lainnya yang dapat mendukung skripsi

ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Untuk Memperoleh data dilakukan dengan menggunakan Studi Dokumenter.

yaitu dengan cara mengkaji yang terdapat dari berbagai macam literatur

kepustakaan berupa buku-buku, majalah-majalah, website atau literatur

lainnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk dikaji dan

(21)

tentang pemerintahan desa dalam mewujudkan pembangunan dan

kesejahteraan umum dalam perspektif hukum Islam.

b. Interviewatau wawancara yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langung antara pewawancara dengan pihak-pihak yang ada kaitannya

dengan judul skripsi ini yaitu aparatur pemerintahan desa dan para tokoh

masyarakat setempat. Dengan tujuan agar memperoleh data yang lengkap

untuk kesempurnaan skripsi ini.

4. Teknik Analisis Data

Di Dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah analisis isi

(content analysis) yaitu analisis data kualitatif terhadap data kuantitatif.9

Kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri,

dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan

yang diteliti.

Sementara untuk teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada

buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007".

9

(22)

G. Review Studi Terdahulu

Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh

mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang

akan diteliti oleh penulis. Akan tetapi, setelah penulis membaca beberapa skripsi

tersebut ada perbedaan pembahasan yang cukup signifikan, sehingga dalam penulisan

skripsi ini nantinya tidak ada timbul kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan

penulis kemukakan skripsi yang pernah ditulis oleh mereka, diantaranya sebagai

berikut :

1. Judul : “Pelaksanaan Hak Interpelasi DPRD Kota Medan Dalam Rangka

Mengawasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004”.

Penulis : Muhammad Rinaldi/SS/SJS/2007.

Skripsi ini membahas seputar pelaksanaan hak interpelasi DPRD

dalam rangka mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan daerah Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yaitu DPRD berfungsi menampung

dan menyalurkan aspirasi masyarakat daerahnya, sehingga kepadanya

diberikan seperangkat hak: hak anggaran, hak mengajukan pertanyaan, hak

meminta keterangan, hak mengadakan perubahan, hak mengajukan

(23)

Juga hak-hak lainnya yang hanya diatur melalui tata tertib DPRD,

Khusus mengenai hak penyelidikan diatur dalam undang-undang karena

penggunaan hak interpelasi mempunyai konsekuensi yang luas, baik

konsekuensi politis, yuridis, maupun sosiologis.

2. Judul:"Rukun Negara Malaysia Dalam Perspektif Ketatanegaraan Islam".

Penulis: Norhalimah Ahmad SS/SJS/2009.

Skripsi ini membahas tentang Rukun Negara yang ada di Malaysia

yaitu menjelaskan tentang keberadaannya yang tidak bertentangan dengan

prinsip negara dalam Islam, yaitu dengan adanya bukti bahwa Rukun Negara

mengakui Islam sebagai agama yang utama di Malaysia tetapi tetap

menghormati dan mengharuskan rakyat Malaysia nonMuslim berpegang

teguh kepada agama masing-masing, kemudian dijelaskan juga Pemerintahan

Malaysia yang tidak zalim, yaitu rakyat Malaysia harus taat kepada

pemerintah dan negara seperti yang terdapat dalam prinsip kedua Rukun

Negara, maka dengan berjalannya Rukun Negara di Malaysia diharapkan

masyarakat warga Negara Malaysia dapat hidup secara damai dan senantiasa

mengutamakan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.

3. Judul: "Islam Politik Dalam Realitas: Studi Partisipasi Politik Masyarakat

Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang"

(24)

Berdasarkan pada perumusan yang diangkat dalam judul skripsi ini, berikut

akan dijawab beberapa permasalahan tentang konsep partisipasi politik

menurut demokrasi modern, serta realitasnya dalam masyarakat muslim

kecamatan Cikupa.

Pertama, konsep partisipasi politik mengalami perkembangan seiring dengan

beerkembangnya konsep demokrasi. Tidak hanya berhubungan dengan

perilaku, dan juga sikap atau persepsi warga negara secara konvensional,

tetapi lebih luas mencakup segala tahapan pembuatan kebijakan. Agama

sebagai suatu fenomena sosial yang diekspresikan dalam kolektivitas sosial

anggotanya menunjukan identitas bersama, pola interaksi sosial yang teratur,

atau harapan yang sama (norma-norma agama) menyangkut keyakinan dan

perilaku. Dimensi kebudayaan sangat penting untuk menganalisa fenomena

masyarakat yang mempunyai landasan organisasi modern. Unsur agama Islam

berkolerasi positif dan signifikan dalam hampir semua aspek sampai dimensi

(25)

H. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok

penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata

urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab Pertama, pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis, kerangka

konsepsional, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua adalah Ketentuan umum tentang pemerintahan desa yang mencakup Pengertian pemerintahan desa dan dasar hukumnya, Macam-macam Pemerintahan

desa, Alasan-alasan diberlakukannya pemerintahan desa dan Perbedaan pemerintahan

desa dengan kelurahan.

Bab Ketiga adalah Kedudukan Pemerintah Desa dan BPD menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup sekilas tentang Desa Pemagarsari

Parung Bogor, Kedudukan Kepala Desa Menurut Hukum Islam dan Peraturan

Perundang-undangan dan Kedudukan BPD menurut Perspektif Hukum Islam dan

Peraturan Perundang-undangan.

Bab Keempat adalah Analisis Terhadap Pelaksanaan Pembangunan dan kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor

yang mencakup Sumber-sumber Pendapatan Desa menurut Hukum Islam dan

(26)

Pemagarsari, Tinjauan Hukum Islam terhadap aspek kesejahteraan umum di Desa

Pemagarsari dan analisis hasil penelitian di desa Pemagarsari Kecamatan Parung

Kabupaten Bogor.

(27)

BAB II

KETENTUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DESA

A. Pengertian Pemerintahan Desa dan Dasar Hukumnya

Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah

pusat memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat

desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional. Karena perannya

yang besar, maka perlu adanya Peraturan-Peraturan atau Undang-Undang

yang berkaitan dengan pemerintahan desa yang mengatur tentang

pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal.

Sejak Tahun 1906 hingga 1 Desember 1979 Pemerintahan Desa di

Indonesia diatur oleh perundang-undangan yang dibuat oleh penjajah Belanda.

Sebenarnya pada tahun 1965 tentang Desapraja yang menggantikan

perundang-undangan yang dibuat oleh Belanda yang disebut Inlandsche

Gemeente Ordonantie (IGO) dan Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB). Tetapi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 yang menyatakan tidak berlaku lagi dan peraturan pemerintah

pengganti undang-undang maka Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965

(28)

tersebut masih berlaku hingga terbentuknya undang-undang yang baru yang

mengatur Pemerintahan Desa.1

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Pemerintah

Desa diatur dengan:

a. Inlandsche Gemeente Ordonantie yang berlaku untuk Jawa dan Madura (Staatblad 1936 No. 83) Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewestenyang berlaku untuk luar Jawa dan Madura (Staatblad 1938

No. 490 juncto Staatblad 1938 No. 81)

b. Indische Staatsregeling (IS) pasal 128 ialah landasan peraturan yang menyatakan tentang wewenang warga masyarakat desa untuk memilih

sendiri kepala desa yang disukai sesuai masing-masing adat kebiasaan

setempat.

c. Herzein Indonesisch Reglement (HIR) dan Reglemen Indonesia Baru

(RIB) isinya mengenai Peraturan tentang Hukum Acara Perdata dan

Pidana pada Pengadilan-Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura.

d. Sesudah kemerdekaan peraturan-peraturan tersebut pelaksanaannya harus

berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang

dituangkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Keputusan

Rembuk Desa dan sebagainya.2

1

HAW. Widjaja, Pemerintahan Desa Dan Administrasi Desa Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979,( Rajawali Pers. Jakarta 1993). h. 11.

2

(29)

Memang sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 maka

tidak ada peraturan Pemerintah Desa yang seragam di seluruh Indonesia, misalnya

ada yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura dan ada pula yang berlaku di luar Jawa

dan Madura. Hal ini kurang memberikan dorongan kepada masyarakat untuk dapat

tumbuh dan berkembang ke arah kemajuan yang dinamis. Sulit memelihara persatuan

dan kesatuan nasional, sulit memelihara integritas nasional dan sulit untuk pembinaan

masyarakat yang bersifat terbuka terhadap pembangunan.

Adapun Dasar Hukum dalam Pemerintahan Desa yaitu subsistem daripada Sistem

Pemerintahan Daerah.

1. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 18: Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan

bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang

memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system

pemerintahan Negara, dan hak-hak usul dalam daerah yang bersifat istimewa.

Dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan:

I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eendheidsstaat maka Indonesia tak

akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga,

Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi akan dibagi pula

(30)

Di daerah-daerah yang bersifat otonom (Streek dan locale

rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan

daerah oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar

permusyawaratan.

II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende

landschappen dan volkgemenschappen(daerah dan kelompok masyarakat adat) seperti Desa di Jawa, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di

Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli

dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah

istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai

daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah-daerah tersebut.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

Dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta

penjelasannya sebagaimana tersebut diatas maka jelaslah bahwa pemerintah

diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekosentrasi di

bidang ketatanegaraan. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut diatas maka

(31)

dan Wilayah Administratif.3 Dalam model ini jelas terlihat bahwa kebijakan

desentralisasi di Indonesia menghendaki penyelenggaraan pemerintahan

daerah yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Partisipasi menjadi konsep

penting karena masyarakat ditempatkan sebagai subjek utama dalam

penyelenggaraan otonomi daerah.4

Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi disebut Daerah

Otonom yang selanjutnya disebut Daerah yang dalam undang-undang ini

dikenal adanya Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedangkan wilayah

yang dibentuk berdasarkan asas dekosentrasi disebut wilayah Administratif

yang dalam undang-undang ini disebut wilayah. Wilayah-wilayah disusun

secara vertikal yang merupakan lingkungan kerja perangkat pemerintah

menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah. Pembentukan

wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah meningkatkan pengendalian

dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaran pemerintahan.5

3

M.R. Khairul Muluk,Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah Kajian Dengan Pendekatan Berpikir Sistem). (Bayu Media Publishing. Malang 2007). h. 3

4

Ibid. hal.3 .

5

(32)

Asas-asas Penyelenggaran Pemerintahan

a. Umum

Di muka telah dijelaskan bahwa sebagai konsekuensi dari pasal 18

Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diperjelas dalam

Garis-Garis Besar Haluan Negara, Pemerintah diwajibkan

melaksanakan asas desentralisasi dan dekosentrasi dalam

menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Tetapi di samping asas

desentralisasi dan asas dekosentrasi undang-undang ini juga

memberikan dasar-dasar penyelenggaraan berbagai urusan

pemerintahan di daerah menurut asas tugas pembantuan.6

b. Desentralisasi

Urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah

dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya

menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah sepenuhnya.

Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah baik

yang menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan,

pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya.

6

(33)

Demikian pula perangkap pelaksanaannya adalah perangkat daerah

desa itu sendiri yaitu terutama Dinas-Dinas Daerah.7

c. Dekosentrasi

Oleh karena itu semua urusan pemerintahan dapat diserahkan

kepada Daerah menurut asas desentralisasi, maka penyelenggaraan

berbagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh

perangkat Pemerintah di daerah berdasarkan asas dekosentrasi.

Urusan-urusan yang dilimpahkan Pemerintah kepada

pejabat-pejabatnya di daerah menurut asas dekosentrasi ini tetap menjadi

tanggung jawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan,

pelaksanaan maupun pembiayaannya. Unsur pelaksanaannya

adalah terutama instansi-instansi vertikal yang dikoordinasikan

oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat

Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan urusan dekosentrasi

tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat.8

d. Tugas Pembantuan

Di muka telah disebutkan bahwa tidak semua urusan pemerintah

dapat diserahkan kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya.

Jadi beberapa urusan Pemerintahan masih tetap merupakan urusan

7

Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Penerbit Gaya Media Pratama. Jakarta. 2005). h. 207.

8

(34)

Pemerintah Pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi

Pemerintahan Pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan

pemerintah di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung

jawabnya itu atas dasar dekosentrasi, mengingat terbatasnya

kemampuan perangkat Pemerintah Pusat di Daerah. Dan juga

ditinjau dari segi dayaguna dan hasilguna adalah kurang dapat

dipertanggungjawabkan apabila semua urusan Pemerintah Pusat di

Daerah harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di daerah

karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat

besar jumlahnya. Lagi pula mengingat sifatnya sebagai urusan sulit

untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya

Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Atas dasar

pertimbangan-pertimbangan tersebut maka undang-undang ini memberikan

kemungkinan untuk dilaksanakan berbagai urusan pemerintahan di

daerah menurut asas tugas pembantuannya.

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979

a. Pasal 2, Desa

1) Desa dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat luas wilayah, jumlah

penduduk dan syarat-syarat lain yang ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan

(35)

2) Pembentukan nama, batas, kewenangan, hak dan kewajiban Desa ditetapkan

dan diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan

oleh Menteri Dalam Negeri.

3) Ketentuan tentang pemecahan, penyatuan dan penghapusan Desa diatur

dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

4) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) baru berlaku sesudah ada

pengesahan dari pejabat yang berwenang.

Syarat-syarat pembentukan, pemecahan dan penghapusan Desa dalam

undang-undang ini akan ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri, sedangkan

pelaksanaan diatur dengan dengan Peraturan Daerah yang baru sesudah ada

pengesahan dari pejabat yang berwenang. Peraturan Menteri Dalam Negeri

dimaksud dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a) Faktor manusia/jumlah penduduk, faktor alam, faktor letak dan faktor

sosial budaya termasuk adat-istiadat.

b) Faktor-faktor obyektif lainnya seperti penguasaan wilayah keseimbangan

antara organisasi luas wilayah dan pelayanan.

b. Pasal 22, Kelurahan

1) Dalam Ibukota Negara, Ibukota Propinsi, Ibukota Kabupaten, Kotamadya,

Kota Administratif dan kota-kota lain yang akan ditentukan lebih lanjut

dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri, dapat dibentuk Kelurahan

(36)

2) Kelurahan yang dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan memperhatikan

syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat luas wilayah, jumlah

penduduk dan syarat-syarat lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan

Peraturan Menteri Dalam Negeri.

3) Pembentukan nama dan batas kelurahan diatur dengan Peraturan Daerah

sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

4) Ketentuan tentang pemecahan, pengaturan dan penghapusan kelurahan diatur

dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

5) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (3), berlaku sesudah ada

pengesahan dari pejabat yang berwenang.

B. Macam-Macam Wewenang Pemerintahan Desa

Kewenangan pemerintahan dalam Negara Kesatuan seperti Indonesia

pada dasarnya adalah milik pemerintah pusat. Akan tetapi dengan kebijakan

desentralisasi, pemerintah pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan

kepada daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Apabila dicermati dari

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah

dilakukan dengan caraopen end arrangement ataugeneral competence(Hanif

(37)

kepada daerah untuk menyelenggarakan kewenangan berdasarkan kebutuhan

dan prakarsanya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki pusat.9

Penyerahan jenis kewenangan yang sifatnya luas kepada daerah

(kabupaten/kota), menurut Dede Rosyada dilandasi oleh sejumlah pemikiran

sebagai berikut:

Pertama, makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran merata,

berkualitas dan terjangkau pelayanan publik tersebut. Pemerintah daerah

sebagai produsen dan distributor pelayanan publik dinilai lebih memahami

aspirasi warga daerah, lebih mengetahui potensi dan kendala daerah, dan lebih

mampu mengendalikan penyelenggaraan pelayanan publik yang berlingkup

lokal.

Kedua, penyerahan kewenangan luas kepada daerah dapat membuka

peluang bagi aktor-aktor politik lokal dan sumber daya manusia yang

berkualitas di daerah untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas, dan

melakukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas,

memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi, dan akuntabilitas mengenai jenis

kewenangan luas tersebut berada pada aktor politik lokal dan sumber daya

manusia lokal yang berkualitas.

9

Diani Budiarto, dkk,Perspektif Pemerintahan Daerah Otonomi, Birokrasi, dan Pelayanan Publik, (FISIP Universitas Djuanda, Bogor. 2005). h. 14.

[Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the text box anywhere in the document. Use the Text Box Tools tab to change the

(38)

Ketiga, karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak

merata, dan kebanyakan berada di pusat dan kota-kota besar lainnya, maka

penyerahan jenis kewenangan luas tersebut juga dimaksudkan agar sumber

daya manusia yang berkualitas di pusat dan kota-kota besar diredistribusikan

ke daerah.

Keempat, pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja dipikulkan kepada pemerintah pusat semata. Akan

tetapi dengan adanya penyerahan kewenangan tersebut diharapkan terjadi

diseminasi kepedulian dan tanggung jawab untuk meminimalisir atau bahkan

menghilangkan masalah tersebut sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan

awal dari otonomi daerah.

Penyelenggaraan kewenangan pemerintahan daerah seperti itu

dinamakan penyelenggaraan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini

berjalan dalam kerangka prinsip desentralisasi. Rondinelli dan Nellis

memaknai desentralisasi sebagai the transfer of responsibility for planning, management, and the raising and allocation of resources from the central

government and its agencies to field units of government agencies, subordinate units or levels of government, semi autonomous public authorities or corporations, areawide, regional or functional authorities, or

(39)

Desentralisasi, dari makna tersebut memiliki empat bentuk, yaitu:

1. Devolution, yaitu penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah lebih atasnya kepada pemerintah di

bawahnya sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah;

2. Deconcentration, yaitu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat atau atasannya kepada para pejabat mereka di daerah;

3. Delegation, yaitu penunjukkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah

atasannya kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas

pemerintahan dengan pertanggungjawaban tugas kepada pemerintah

atasannya;

4. Privatization, yaitu pengalihan kewenangan dari pemerintah kepada organisasi non-pemerintah baik yang berorientasi profit maupun non-profit.

Prinsip devolution biasanya mengacu pada desentralisasi politik,

deconcentration pada desentralisasi administrasi, dan delegation maupun privatization sebagai tugas sub-contracting. Penerapan prinsip-prinsip

desentralisasi tersebut dapat melahirkan fungsi dan peran pemerintah

(40)

model/perspektif untuk menggambarkan peran yang dimainkan oleh

pemerintah daerah.10

Pertama, autonomus model (model otonom), menggambarkan bahwa pemerintah daerah secara relatif terpisah (separated) dari pemerintah

pusat. Terlepas dari seberapa besar cakupan pemerintah daerah, dalam

perspektif ini peran Negara sebatas memonitor aktivitas pemerintah

daerah. Kemudian terdapat pemisahan yang jelas antara kewenangan

pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah.

Model otonom tersebut berakar dari sejarah dan budaya pemerintahan

yang disebarkan oleh Inggris. Keberadaan pemerintah daerah bukanlah

ciptaan pemerintah pusat walaupun keberadaannya terintegrasi dalam

sistem nasional. Kecuali untuk beberapa hal, menurut Alderfer,

karakteristik dasar pemerintahan daerah di Inggris adalah unit lokal yang

bebas dari pengendalian kekuasaan di luarnya.

Adapun Kewenangan Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Pada Bab III

Pasal 7 disebutkan bahwa urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan

desa mencakup:

10

(41)

a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul

desa;

b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota

yang diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan

Pemerintah Kabupaten/kota; dan

d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan

perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Pasal 8

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang

diserahkan pengaturannya kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

huruf b adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat

meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.

Pasal 9 (1). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyerahan

urusan menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya

kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b diatur dengan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan

Menteri. (2). Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada

(42)

Pasal 10 (1). Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi

dan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 huruf c wajib disertai dengan dukungan pembiayaan, sarana dan

prasarana, serta sumber daya manusia. (2). Penyelenggaraan tugas

pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berpedoman pada

peraturan perundang-undangan. (3). Desa berhak menolak melaksanakan

tugas pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disertai

dengan pembiayaan, prasarana dan sarana, serta sumber daya manusia.11

C. Alasan-Alasan Diberlakukannya Pemerintahan Desa

Salah satu kekhasan bangsa Indonesia terletak pada keanekaragaman adat

istiadat, bahasa, pakaian, budaya dan sebagainya. Dan itu pulalah sebabnya,

dalam kenyataan terdapat keanekaragaman dalam kesatuan masyarakat yang

terendah. Kesatuan masyarakat dimaksud adalah umpamanya Desa di Jawa dan

Madura, Gampong di Aceh, Huta di Batak, Nagari di Minangkabau, Dusun/Marga di Sumatera Selatan, Suku di beberapa daerah Kalimantan, dan

sebagainya.

Istilah “desa”, menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam makna

Hukum Tata Negara, tidaklah dipakai untuk menunjuk bahwa terdapat

keseragaman, atau kesatuan pendapat, bahwa pengertian desa di Jawa dan Madura

11

Ronal Siahaan, dkk, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia & Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 Tentang Desa, Kelurahan, Kecamatan, (CV. Novindo Pustaka Mandiri. Jakarta. 2008). h. 13.

[Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the text box anywhere in the document. Use the Text Box Tools tab to change the formatting of the pull quote text

(43)

adalah sama dengan luar Jawa dan Madura. Istilah “desa” dipakai, karena untuk

kesatuan masyarakat yang terendah istilah “desa” telah menjadi istilah umum.

Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, desa adalah suatu kesatuan hukum,

dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan

pemerintahan sendiri. Adapun Hazairin berpendapat, bahwa:

“Desa di Jawa dan Madura, Nagari di Minangkabau sebagai masyarakat adat,

yaitu masyarakat hukum adat adalah, kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang

mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup

berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya”.12

Kesatuan masyarakat, desa, huta, nagari, marga ataupun lainnya, pada

dasarnya berdasarkan pada dua hal yaitu asas territorial dan asas genekologis.

Desa di Jawa dan Madura, berasaskan territorial, sedangkan kesatuan masyarakat

di Luar Jawa dan Madura berasaskan genekologis. Perbedaan asas tersebut

menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, membawa dampak pada

perbedaan kedudukan diantara keduanya:

Pertama, di Jawa Kepala Desa dipilih oleh warga desa secara langsung,

sedangkan di Tapanuli dan Minangkabau Raja Hutau dan Wali Nagari tidak

langsung dipilih oleh rakyat, tapi dipilih oleh sekelompok orang sebagai tertua

dalam kesatuan masyarakat tersebut.

12

(44)

Kedua,hubungan antar warga desa, antara warga desa dengan pimpinan desa.

Ketiga,status sosial-ekonomi kepala desa. Adanya tanah bengkok bagi kepala desa di Jawa dan Madura, dapat dianggap sebagai suatu segi ekonomis,

sedangkan segi sosial kepala desa adalah kedudukan terhormat di desa. Di luar

Jawa, Raja Huta di Tapanuli dan Wali Nagari di Minangkabau, kedudukannya

semata-mata kehormatan saja. Sama sekali tidak ada unsur ekonomis.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Pasal 1 huruf

a, menyatakan yang dimaksud dengan Desa adalah suatu wilayah yang ditempati

oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak

menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

Adapun Undang-Undang No. 22 tahun 1999 (Pasal 1 huruf o) maupun

Undang-Undang Pemerintah Daerah (Pasal 1 angka 12) memberikan definisi yang

sama mengenai “Desa”, yaitu:

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi,

(45)

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah

keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan

masyarakat.

Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengakui otonomi yang dimiliki oleh

desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa diberikan penugasan

ataupun pendelegasian dari Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah untuk

melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa

geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk

karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain

yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan

diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan

dari desa itu sendiri.

Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaran Pemerintahan Desa

dibentuk Badan Permusyawaran Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan

budaya yang berkembang di Desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga

pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, seperti dalam pembuatan

dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan

(46)

berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan

masyarakat desa.

Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang

dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati

atau Wali Kota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala

Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada

rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun

tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan

Desa untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap

hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud.

Pengaturan lebih lanjut mengenai desa seperti pembentukan, penghapusan,

penggabungan, perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, pembangunan desa

dan lain sebagainya dilakukan oleh kabupaten dan kota yang ditetapkan dalam

peraturan daerah mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah.

D. Perbedaan Pemerintahan Desa Dengan Kelurahan a. Pemerintahan Desa

Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai

kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang

(47)

berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun

Bab I ketentuan umum Pasal 1 ayat 5 yang dimaksud desa atau yang disebut

nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat

setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Adapun yang dimaksud Pemerintahan Desa berdasarkan Peraturan

Pemerintah Tentang Desa Pasal 1 ayat 6 yaitu penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan

asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem

Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa dibentuk atas asas

prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial

budaya masyarakat setempat.13

13

(48)

Adapun pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat 1

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa,

maka harus memenuhi syarat pembentukan desa yaitu:

a. Jumlah penduduk;

b. Luas wilayah;

c. Bagian wilayah kerja;

d. Perangkat; dan

e. Sarana dan prasarana pemerintahan.14

Adapun Struktur Administratif Pemerintahan Desa seabagai berikut:

Camat

LMD /BPD Kepala Desa

Sekretaris Desa

K. Urusan K. Urusan K. Urusan

Pamong Desa Pamong Desa Pamong Desa Pamong Desa

Kepala Dusun Kepala Dusun Kepala Dusun Kepala Dusun

Masyarakat

14

(49)

b. Kelurahan

Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang

mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat, yang

tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2005

tentang Kelurahan. Pada Bab I ketentuan Umum Pasal 1 ayat 5 menyatakan

bahwa yang dimaksud dengan Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai

perangkat Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja Kecamatan, kemudian

pada pasal 1 ayat 6 yang dimaksud Lembaga Kemasyarakatan atau sebutan lain

adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan

merupakan mitra lurah dalam memberdayakan masyarakat.

Berbeda dengan Pemerintahan Desa, Kelurahan dibentuk di wilayah

kecamatan namun pembentukannya berbeda dengan desa, berdasarkan Pasal 2

ayat 2 Pembentukan Kelurahan dapat berupa penggabungan beberapa kelurahan

atau bagian kelurahan yang bersandingan, atau pemekaran dari satu kelurahan

menjadi dua kelurahan atau lebih. Kemudian pembentukan kelurahan

sebagaimana ayat 1 harus sekurang-kurangnya memenuhi syarat;

a. Jumlah penduduk;

b. Luas wilayah;

(50)

d. Sarana dan prasarana pemerintahan.

Adapun Struktur Organisasi Kelurahan sebagai berikut:

Camat

Lurah

Sekretaris

U 1 U 2 U 3 U4 U5

RW

(51)

BAB III

KEDUDUKAN PEMERINTAH DESA DAN BPD MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERATURAN-PERUNDANG-UNDANGAN

A. Sekilas Tentang Desa Pemagarsari Parung Bogor

I. Sejarah Singkat Desa Pemagarsari

Desa Pemagarsari berasal dari kampung yang bernama Pemagarsari, Sebelum

pemekaran pada tahun 1982 masuk ke wilayah Desa Parung. Wilayah yang

dimekarkan yaitu bagian Selatan dari Desa Parung terdiri dari 3 (tiga) nama

kampung diantaranya :

1. Kampung Lebak wangi

2. Kampung Tajur dan

3. Kampung Sawah

Berdasarkan saran yang telah masuk hingga sampai saat ini, pemekaran Desa

Parung bagian Selatan menjadi Desa PEMAGARSARI.1

Desa Pemagarsari sampai saat ini memasuki Periode ke 4 dari 3 orang

Pemimpin

i. Priode I Dipimpin oleh Bapak E. Sulaeman pada Tahun 1982–1992.

1

(52)

ii. Priode II dan III Dipimpin oleh Bapak H. Mamad selama 2 Priode

pada Tahun 1992- 2007.

iii. Priode IV Dipimpin oleh Bapak Achmad Djamaludin pada tahun 2007

sampai dengan saat ini.

II. Landasan Dasar Pemerintahan Desa

Guna mengatur jalannya Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan

Desa (BPD) Pemagarsari bersama-sama dengan Perangkat Desa membuat berbagai

peraturan Desa sebagai dasar operasional pelaksanaan kegiatan, yang selanjutnya

dijabarkan dan dilaksanakan oleh Kepala Desa selaku Pemerintahan Desa bersama

dengan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan Desa yaitu LPM, MUD, BKM, PKK

Karang Taruna, Ketua Rt dan Rw serta Komponen Masyarakat.

Dasar Hukum

1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah

Kabupaten dalam lingkungan Jawa Barat ( Berita Negara Republik Indonesia

Tahun 1950 Nomor 8 ).

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

(Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 125, Tambahan

Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4437).

Sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaga

(53)

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaga Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4438).

4. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 6 Tahun 2002 tentang Bagian

Desa Dari Hasil Penerimaan Pendapatan Daerah (Lembaran Daerah

Kabupaten Bogor Tahun 2002 Nomor 53).

5. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Desa (Lembaran Daerah

Kabupaten Bogor Tahun 2006 Nomor 254).

III. Gambaran Umum Desa Pemagarsari

Desa Pemagarsari merupakan salah satu desa dari 9 desa di Kecamatan

Parung Kabupaten Bogor, yang secara geografis berada pada ketinggian 125m

di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata -rata 298,1 mm dan suhu

udara berkisar antara 22-14 oC, dan memiliki Luas wilayah seluas 266,068

ha.Yang terdiri dari :

1. Pemukiman : 147 Ha.

4. Pertanian : 11 Ha.

5. Ladang : 70 Ha.

[image:53.612.119.531.161.692.2]
(54)

7. lain-lain : 32.068 Ha

Dengan memiliki batas-batas wilayah teritorial sebagai berikut :

-Sebelah Utara : Desa Parung

-Sebelah Timur : Desa Citayam Kecamatan Tajur Halang.

-Sebelah Selatan : Desa Jabon Mekar

-Sebelah Barat : Desa Waru Jaya

(55)

Berdasarkan hasil pendataan jumlah penduduk Desa Pemagarsari pada

tahun 2006 berjumlah 11.265 Jiwa

Laki-laki : 5.729 Jiwa

Perempuan : 5.536 Jiwa

Dengan jumlah Kepala Keluarga= 2.411 KK

Sedangkan jumlah Penduduk pada tahun 2007 sebanyak 11.305 jiwa.

Laki–laki : 5.751 Jiwa

Perempuan : 5.554 Jiwa

Dengan jumlah Kepala Keluarga= 2.510 KK.2

Karena, letak geografis dan batas-batas wilayah teritorial tersebut,

Desa Pemagarsari memiliki daerah yang setrategis untuk kegiatan-kegiatan

ekonomi perdagangan, pemerintahan, dan pemukiman.

IV. Potensi Desa Pemagarsari

a. Sumber Daya Mansusia

Sumber daya manusia merupakan salah satu potensi yang sangat berpengaruh

terhadap gerak Pembangunan baik Pembangunan Fisik maupun Non Fisik baik

sebagai objek maupun sebagai subjek pembangunan.

2

(56)

Adapun jumlah mata Pencaharian Anggota Keluarga sebagai berikut :

1. PNS : 210 orang

2. TNI/PORLI : 3 orang

3. Karyawan : 183 orang

4. Wiraswasta : 315 orang

5. Petani/Peternak : 34 orang

6. Jasa/ Buruh : 726 orang

7. Lainnya : 4.134 orang

b. Potensi Pendidikan

Dalam rangka meningkatkan pendidikan masyarakat di wilayah Desa

Pemagarsari memiliki sarana dan prasarana pendidikan sebagai berikut :

1. TK / TPA : 3 buah

2. SD / MI : 7 buah

3. SLTP : 2 buah

(57)

berdasarkan data tingkat pendidikan masyarakat adalah :

- Tidak Tamat SD : 283 orang

- Tamat SD : 290 orang

- Tamat SLTP : 308 orang

- Tamat SLTA : 296 orang

- Tamat D.1 : 81 orang

- Tamat D.2 : 54 orang

- Tamat D.3 : 27 orang

- Tamat S.1/Sarjana : 50 orang

c. Kesehatan

Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, sarana dan prasarana

kesehatan yang ada di Desa Pemagarsari adalah :

1. Pos Yandu : 8 buah

2. Kader Pos Yandu : 33 orang

3. Bidan Desa : 2 orang

(58)

5. Klinik : 2 buah

6. Rumah Sakit : 1 buah

d. Perekonomian

Potensi perekonomian di Desa Pemagarsari sebagian besar masyarakat

mempunyai usaha ekonomi yang mampu menggerakan perekonomian, dan dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Jenis Usaha masyarakat diantaranya :

1. Usaha agrobisnis tanaman : 100 orang

2. Usaha kerajinan Bordir/mute : 5 kelompok

3. Usaha kerajinan anyaman : 2 kelompok

4. Usaha aneka makanan ringan : 4 orang

5. Usaha Menjahit pakaian : 4 orang

6. Usaha pembudidayaan lele : 2 Kelompok

7. Usaha kerajinan Pot Bunga : 1 orang

8. Usaha pedagang buah-buahan : 15 orang

(59)

10. Usaha Sablon pakaian : 4 kelompok

11. Usaha Jahit dan Bordir : 6 kelompok

12. Usaha kerajinan rotan : 1 orang

13. Usaha Pembuatan Roti : 1 orang

14. Usaha Peternakan Ayam Potong : 5 orang

15. Usaha Counter HP : 20 orang

V. Bidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial Masyarakat

Pemerintahan Desa Pemagarsari menganut struktur Organisasi Pola

Maksimal yaitu terdiri dari: Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kaur

Pemerintahan, Kaur Perekonomian, Kaur Pembangunan, Kaur Keuangan,

Kaur Kesra, Kaur umum dan Bendaharawan Desa

Dengan jumlah perangkat desa seluruhnya sebanyak 11 orang. Dalam

pelaksanaan kegiatan dibidang pemerintahan telah dilaksanakan kegiatan

sebagai berikut :

1. Pelayanan administrasi Kependudukan Kepemilikan KTP, KK,

dan Akta kelahiran.

2. Pelayanan pertanahan berupa penerbitan surat keterangan yang

(60)

3. Penagihan Pajak Bumi dan Bangun (PBB)

4. Pembinaan administrasi Rt dan Rw.dan

5. Kegiatan administrasi dibidang Pemerintahan

Adapun Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Pemagarsari Sebagai Berikut:

A.

BPD KEPALA DESA

SEKRETARIS

KAUR KAUR KAUR KAUR KAUR KAUR

UNSUR WILAYAH

KADUS I KADUS II

PELAKSANA TEKNIS LAPANGAN AMIL

(61)

B. Hubungan Pemerintahan Desa Sebagai Unit Ulil Amri Yang Terkecil Dalam al-Qur’an

Pemerintahan Desa sebagai penyelenggara urusan pemerintahan

terkecil yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan memiliki hak dan

kewajiban sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor. 32

Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Sebagai Unit Pemerintahan dalam skala

yang lebih kecil, Pemerintahan Desa mempunyai tugas yang diamanatkan

oleh peraturan perundang-undangan, begit

Gambar

Gambaran Umum Desa Pemagarsari
Grafika, Jakarta. 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Tantangan selanjutnya adalah proses ekstraksi Tc-99m dari larutan Mo-99/Tc-99m dalam skala besar dengan konsentrasi yang tinggi karena untuk mendapatkan Tc-99m

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fitoplankton yang ditemukan di laguna Glagah berjumlah 9 spesies dalam 3 fungsional grup dengan kemelimpahan rata-rata sebesar 1839.667

Manajemen waktu yang terdapat dalam proyek ini dapat dikatakan masih belum begitu baik, hal ini dapat dilihat dari adanya kesimpangan antara jadwal yang direncanakan dengan

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan rahmat dengan melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul

Suatu yang dapat memengaruhi pekerjaan seseorang secara relatif berkontribusi adalah kemampuan, keterampilan,motivasi, dan faktor situasi yang menyatakan perbedaaan

Karena Bendung Gerak Jatimlerek juga digunakan untuk irigasi, maka debit yang dihitung untuk debit pembangkitan PLTMH adalah setengahnya atau 50% dari debit andalan sungai

Proses pembuatan pupuk dari limbah padat industri agar diaplikasikan pada tanaman sawi hijau ( B. Sawi hijau merupakan jenis sayur yang digemari oleh masyarakat

Sejauh ini dari hasil penelitian yang peneliti lakukan terhadap efektifitas yang PNPM Mandiri dalam mengembangkan Usaha Mikro Kecil Menegah yang ada di Desa