(Studi Kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor) Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
AHMAD NURALIF NIM: 106045201520
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala
rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepada
kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi yang berjudul “Kajian Hukum Islam Tentang Peranan Pemerintah
Desa Dan BPD Dalam Pelaksanaan Pembangunan Dan Kesejahteraan Umum (Studi Kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor)” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana
Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah
(Ketatanegaraan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan
mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya
penulisan skripsi ini, tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan yang berharga ini perkenankan penulis untuk
ii
Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas
waktu dan solusinya selama ini.
3. Bapak Iding Rasyidin S.Ag., M.Si., sebagai Dosen Pembimbing I penulis
yang senantiasa membimbing dan meluangkan waktunya untuk membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Heldi, M.P.d., sebagai Pembimbing II yang telah banyak
memberikan arahan dan bimbingan beliau yang sangat berarti.
5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berate
bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas perihal Islamic Legal Politics (Siyasah Wal Qanun).
6. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta atas pelayanan
referensi buku-bukunya.
7. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta, Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah
Tahun Akademik 2006-2007, Ade, Apri, Asriyah, Bangkit, Deni, Dinda,
iii
8. Kakakku Husna Nurafiah S.P.d.I dan Abdul Mutaqien AMd., adikku
Robiatun Nurasyiyyah, terima kasih atas segalanya.
Last but not least, penulis memohonkan ampunan kepada Allah Robbil Izzati terkhhusus untuk orang tua Penulis Ahmad Sulthoni (alm) semoga Allah senantiasa
melimpahkan magfirahNya di alam sana dan menjadikan kuburnya Raudhah min riyadhil jinan terlebih ibunda tercinta Emay Sumarni terima kasih atas kasih sayang dan ketabahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah S1 di kampus
bersejarah ini. Terakhir penulis berdo’a kepada Allah semoga ilmu yang telah kita
dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah SWT.
Amien.
Jakarta, 20 Juni 2010 M
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Kerangka Teoritis ... 8
E. Kerangka Konsepsional ... 9
F. Metode Penelitian ... 12
G. Review Studi Terdahulu ... 15
H. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DESA A. Pengertian Pemerintahan Desa dan Dasar Hukumnya ... 20
B. Macam-Macam Wewenang Pemerintahan Desa ... 29
C. Alasan-Alasan Diberlakukannya Pemerintahan Desa ... 35
D. Perbedaan Pemerintahan Desa Dengan Kelurahan... 39
BAB III KEDUDUKAN PEMERINTAH DESA DAN BPD MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Sekilas Tentang Desa Pemagarsari Parung Bogor... 44
B. Hubungan Pemerintahan Desa sebagai Unit Ulil Amri yang terkecil Dalam Al-Qur’an... 54
v
A. Sumber-Sumber Pendapatan Desa Pemagarsari di Bidang Pertanian, Perindustrian, dan Perdagangan Menurut Hukum
Islam Dan Peraturan Perundang-undangan... 73
B. Penilaian Hukum Islam Terhadap Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari di Bidang Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan... 84
C. Analisis Hasil Penelitian Di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor ... 92
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 99
B. Saran-saran ... 100
DAFTAR PUSTAKA... 102
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan pada hakikatnya adalah usaha peningkatan taraf hidup manusia ke
tingkat yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih nyaman, lebih enak dan lebih tentram
serta lebih menjamin kelangsungan hidup dan penghidupan di masa yang akan
datang. Dengan demikian usaha pembangunan mempunyai arti humanisasi atau usaha
memanusiakan manusia.1 Pembangunan dari dan untuk manusia seutuhnya, berarti
manusia sebagai subjek dan sekaligus objek pembangunan, berusaha menciptakan
keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam hidupnya, dimulai dari lembaga
tinggi Negara seperti Presiden sampai ke tingkat Daerah dan Desa.
Pembangunan sebagai usaha memanusiakan manusia pada hakikatnya juga
merupakan usaha yang mempunyai makna etik, hukum, serta nilai ajaran agama baik
dalam tujuan yang ingin dicapai maupun dalam cara pelaksanaan usaha mencapai
tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, bukan hanya tujuan pembangunan
yang harus sesuai dengan nilai-nilai etik dan ajaran agama. Akan tetapi juga cara
mencapai tujuan pembangunan itu, jika nilai-nilai etik dan ajaran agama tidak
melekat dalam proses pembangunan maka pada gilirannya akan mengakibatkan
1
lahirnya tindakan yang bersifat dehumanistik, atau merusak kemanusiaan. Oleh sebab
itu, disinilah pentingnya peran Pemerintah dari tingkat yang paling atas yaitu
Presiden, Menteri-Menteri sampai ke tingkat Pemerintahan Desa dalam pelaksanaan
pembangunan dan kesejahteraan umum.
Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa dan saat ini telah termuat dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur pula tentang desa.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan saat ini telah diganti dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa desa tidak lagi
merupakan wilayah administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsur
pelaksanaan daerah, tetapi menjadi daerah istimewa dan bersifat mandiri yang berada
kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup di lingkungan
masyarakatnya.2
Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak awal berdirinya pada tanggal 17
Agustus 1945 dengan sistem desentralisasi.3 Para Pendiri Negara telah menjatuhkan
pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan
Negara Indonesia yang tujuannya jelas tercantum pada alinea keempat pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“…….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial”.4
Untuk mencapai maksud itu para pejabat di daerah-daerah membantu
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Kesejahteraan Sosial melalui
pembangunan daerah, karena daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat
otonom atau bersifat daerah administrasi.
2
HAW. Widjaja,Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh, (Rajawali Pers. Jakarta. 2003). h. 16.
3
Trianto, & Titik Triwulan, Falsafah Negara dan Pendidikan Kewarganegaraan. (Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta. 2007). h.140.
4
Dalam perkembangannya tugas pembantuan dari pemerintah pusat kepada daerah
dan desa di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur secara garis besarnya
saja, seperti ditegaskan dalam penjelasannya, bahwa:
...Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat
garis besar sebagai instruksi kepada Pemerintah Pusat dan lain-lain penyelenggaraan
Negara. Lebih-lebih hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan pokok itu
diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan
mencabut.5
Penjelasan tersebut diatas cukup bijaksana, karena Undang-Undang Dasar 1945
memang menghendaki hal-hal yang diatur didalamnya hanya memuat aturan-aturan
pokok saja, sedangkan hal-hal yang memerlukan pengaturan lebih rinci diserahkan
kepada Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang sesuai dengan dinamika
perkembangan masyarakat, sehingga prakteknya di desa dalam menyelenggarakan
Pemerintahan Desa, Kepala Desa melaksanakan kewenangan hak dan kewajiban
selaku Pimpinan Pemerintahan Desa yaitu Menyelenggarakan Rumah Tangga sendiri
dan merupakan tanggung jawab utama dibidang Pemerintahan Umum termasuk
didalamnya Pelaksanaan Pembangunan dan Kesejahteraan umum sesuai dengan
5
Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah, Hukum Pemerintahan Daerah. (Pustaka Bani Quraisy.
peraturan perundang-undangan yang berlaku juga menumbuhkan jiwa gotong-royong
masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan Pemerintahan Desa.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut diatas, Kepala Desa dibantu
oleh Perangkat Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa, Kepala Dusun/Unsur
Wilayah, Unsur Pelaksana Teknis dan bermitra secara sejajar dengan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) selaku Legislatif di tingkat Desa. Namun pada
implementasinya, hakikat dan makna serta tujuan dan sasaran pelaksanaan
pembangunan dan kesejahteraan umum yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan belum dapat direalisasikan secara utuh, hal ini misalnya yang terjadi di
Desa Pemagarsari Kecamatan Parung yang sampai saat ini pembangunan dan
kesejahteraan masyarakatnya masih terdapat banyak hambatan dalam pelaksanaan
pembangunannya, sehingga dalam hal inilah yang mendorong rasa ingin tahu penulis
menemui jawaban atas permasalahan tersebut dengan meneliti tentang Pemerintah
Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pelaksanaan pembangunan dan
kesejahteraan umum kemudian ditinjau dari aspek hukum Islam, dan ini menarik
untuk diteliti, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul:
“KAJIAN HUKUM ISLAM TENTANG PERANAN PEMERINTAH DESA
DAN BPD DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN
KESEJAHTERAAN UMUM (STUDI KASUS DESA PEMAGARSARI
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus
pada peraturan perundang-undangan serta kajian Hukum Islam mengenai peranan
Pemerintah Desa dan BPD dalam pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan
umum (Studi kasus Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor).
2. Perumusan Masalah
Melihat judul skripsi tersebut dan latar belakang permasalahan seperti terurai
diatas, maka penulis perlu membuat rumusan masalah yang dianggap penting yang
akan dicari jawabannya dalam penelitian ini.
Diantara rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Kinerja Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pelaksanaan
Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari?
2. Apa Sajakah Yang Menjadi Penghambat Pelaksanaan Pembangunan dan
Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari?
3. Bagaimanakah Konsep Pembangunan dan Kesejahteraan di Desa Pemagarsari
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas sosial, agama serta
pertumbuhan ekonomi khususnya dalam ruang lingkup desa setelah diberlakukannya
otonomi daerah dengan seluas-luasnya serta tinjauan hukum Islam terhadap
Pemerintahan Desa. Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui Kinerja Pemerintah Desa dan BPD Dalam Pelaksanaan
Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari.
2. Mengetahui Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembangunan dan
Kesejahteraan Masyarakat Desa Pemagarsari.
3. Mengetahui Konsep Pembangunan dan Kesejahteraan di Desa Pemagarsari
Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
2. Manfaat Penelitian
Penulis berharap dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang
kajian Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan mengenai proses
berjalannya kinerja Pemerintah Desa di dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam
masalah pembangunan struktur dan infrastruktur serta kesejahteraan umum setelah
diberlakukannya otonomi daerah yang seluas-luasnya oleh Pemerintah Pusat kepada
penulis ingin mengetahui secara mendalam mengenai pertimbangan dan kebijakan
serta langkah-langkah yang diambil oleh penyelenggara Pemerintahan Desa dalam
proses pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum.Adapun manfaat yang
ingin dicapai penulis yaitu:
1. Mendapatkan pengetahuan tentang ilmu pemerintahan yang secara spesifik
membahas tentang desa sehingga penulis dapat mengetahui program-program
yang dilakukan oleh desa untuk melaksanakan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakatnya.
2. Dan mudah-mudahan hasil dari penelitian ini juga dapat menambah khazanah
keilmuan Ketatanegaraan yang secara spesifik membahas tentang tinjauan
Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Desa.
D. Kerangka Teoritis
Secara teoritis etika pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Pancasila, yang dibangun atas realitas Keindonesiaan yang sudah sekian abad
lamanya bersemayam dalam dada bangsa Indonesia, yaitu realitas kemajemukan
sosial, budaya dan agama. Adapun sumber nilai-nilai dalam Pancasila itu sendiri
sesungguhnya adalah agama. Oleh karena itu, dalam menghadapi proses
pembangunan yang senantiasa mengalami perubahan terus menerus ini, etika agama
diharapkan dapat memberikan sumbangan amat berharga dalam rangka memelihara
Dalam kaitan ini tampak bahwa etika agama sesungguhnya merupakan
pendukung etika Pancasila itu. Dan didalam hubungannya dengan pembangunan
manusia seutuhnya panggilan etika agama dalam rangka memperkuat etika Pancasila
terasa sangat penting.
Tanpa bermaksud memitoskan mayoritas, tentunya etika Islam mempunyai
kedudukan dan peranan yang amat penting untuk menumbuhkan dan memperkokoh
etika Pancasila, yang sekaligus merupakan dasar dan filsafat pembangunan. Pada saat
kita menghadapi pembangunan, yang digambarkan sebagai awal perwujudan yaitu
masyarakat makmur, adil dan sejahtera yang mana dengan ketaatan kepada Allah
SWT dan RasulNya serta ketaatan Kepada Pemerintah baik di tingkat pusat maupun
daerah yang sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat al-Nisa Ayat 59 yang
berbunyi:
Artinya:Ahmad Musthafa Al-Maraghi mengomentari ayat ini sebagai berikut: ”Taatilah
Allah dan beramalah dengan berpedoman kitab Allah; dan taatilah Rasul, karena
sesungguhnya Dialah yang menerangkan kepada manusia tentang apa yang
diturunkan Allah kepada mereka. Sesungguhnya telah berlaku ketentuan Allah itu,
bahwa para Rasul itu bertugas untuk menjalankan syari’at Allah untuk mereka yang
beriman, dan juga para Rasul itu bertanggungjawab menjaga orang-orang yang
beriman. Karena itu, Allah mewajibkan atas kaum Muslimin untuk menaati Rasul.
Pengertian taatilah Ulil Amri adalah para penguasa ahli-ahli hukum, para ulama, panglima-panglima, para pemimpin dan para zu’ama. Mereka ini mampu
mengembalikan manusia kepada ketentuan-ketentuan yang dibawa oleh Rasul dalam
seluruh aspek kehidupan untuk kebaikan yang menyeluruh. Apabila Ulil Amri telah bermufakat menentukan suatu peraturan, rakyat wajib untuk menaatinya dengan
syarat mereka itu bisa dipercaya dan tidak menyalahi ketentuan Allah dan RasulNya,
yang telah diketahui secara mutawatir. Sesungguhnya mereka (Ulil Amri) adalah orang-orang yang terpilih dalam pembahasan suatu masalah dan dalam menentukan
kesepakatan mereka.6
Dalam realitasnya, pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum tidak
terlepas oleh kinerja pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945
dan Pancasila yang dibantu pelaksanaannya dengan asas tugas pembantuan
6
pemerintah pusat kepada daerah dan desa, sehingga pembangunan di tingkat nasional
banyak dipengaruhi oleh faktor kinerja pemerintahan daerah dan desa. Oleh karena
itu, perkembangan dan pertumbuhan pembangunan terutama di desa sangat besar
pengaruhnya oleh etos kerja aparatur pemerintah desa itu sendiri.
E. KERANGKA KONSEPSIONAL
Untuk mengupayakan agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman
dalam hal mengartikan konsep-konsep pokok dalam penelitian ini, maka penelitian
ini ditentukan bahwa:
1. Yang dimaksud dengan “Hukum Islam” adalah hukum yang dibangun
berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun al-Sunnah
untuk mengatur kehidupan manusia yang secara universal relevan pada setiap
zaman(waktu) danmakan(ruang) manusia.7
2. Yang dimaksud dengan “Pemerintah Desa” adalah Aparatur/pejabat desa
diantaranya yaitu Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Staf desa lainnya.
3. Yang dimaksud “Badan Permusyawaratan Desa” selanjutnya disebut BPD
adalah suatu badan yang sebelumnya disebut Badan Perwakilan Desa, yang
7
berfungsi menetapkan peraturan desa, bersama Kepala Desa menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat.8
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam Penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah Pemerintahan Desa
dan beberapa lembaga yang ada di dalam struktur organisasi pemerintahan desa
dalam menjalankan otonomi daerah dengan tujuan pembangunan dan kesejahteraan
sosial yang kemudian dianalisis dengan Hukum Islam (Ketatanegaraan Islam). Maka
mengingat begitu pentingnya kedalaman empiris yang harus dapat dijangkau maka
cara kerja atau metode yang akan digunakan dalam kegiatan penelitian ini akan
menampilkan beberapa metode penelitian. Pada garis besarnya hanya ada dua macam
metode, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini Metode
yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif didalamnya akan
dikombinasikan dengan metode komparatif, pengamatan, survey dan observasi serta
studi kasus.
Metode Komparatif orientasi bahasannya lebih pada perbandingan berbagai
macam hal dengan tujuan mendapatkan petunjuk-petunjuk mengenai apa yang
dilakukan aparatur pemerintah dalam melaksanakan pembangunan dan kesejahteraan
8
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
umum. Serta metode pengamatan untuk menangkap "what people do" atau apa yang
dilakukan oleh seseorang atau aparatur pemerintah serta observasi dengan tujuan
untuk mendeskripsikan setting, kegiatan yang terjadi, orang yang terlibat di dalam
kegiatan pembangunan dan juga kesejahteraan umum.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif dan juga pendekatan secara empiris, yakni dengan menekankan pada sumber
hukum Islam dan peraturan-peraturan lain yang berlaku dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Pendekataan ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih dalam
mengenai kinerja pemerintahan desa setelah diberlakukannya otonomi daerah yang
terkait dalam masalah pembangunan struktur dan infrastruktur desa serta
kesejahteraan umum.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini akan digunakan data primer dan data sekunder. Di bawah
ini akan dirinci satu per satu apa saja yang termasuk ke dalam data primer dan data
sekunder.
a. Data Primer
Didapatkan dari Kantor Pemerintahan Desa Pemagarsari Kecamatan
Parung Kabupaten Bogor, berupa dokumen-dokumen yang terkait
dengan pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan umum serta
Selain itu juga data primer diperoleh lewat interview (wawancara)
kepada aparatur pemerintahan desa kemudian data tersebut dianalisis
dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang
dikaji.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan
studi dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan.
Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah al-Quran, al-Hadits,
kitab-kitab fikih, buku-buku ilmiah, jurnal-jurnal, dan Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, Peraturan Pemerintah
Kabupaten Bogor Nomor 3 tahun 2000 tentang Organisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa serta Peraturan lainnya yang dapat mendukung skripsi
ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Untuk Memperoleh data dilakukan dengan menggunakan Studi Dokumenter.
yaitu dengan cara mengkaji yang terdapat dari berbagai macam literatur
kepustakaan berupa buku-buku, majalah-majalah, website atau literatur
lainnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk dikaji dan
tentang pemerintahan desa dalam mewujudkan pembangunan dan
kesejahteraan umum dalam perspektif hukum Islam.
b. Interviewatau wawancara yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langung antara pewawancara dengan pihak-pihak yang ada kaitannya
dengan judul skripsi ini yaitu aparatur pemerintahan desa dan para tokoh
masyarakat setempat. Dengan tujuan agar memperoleh data yang lengkap
untuk kesempurnaan skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Di Dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah analisis isi
(content analysis) yaitu analisis data kualitatif terhadap data kuantitatif.9
Kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri,
dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan
yang diteliti.
Sementara untuk teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada
buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007".
9
G. Review Studi Terdahulu
Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh
mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang
akan diteliti oleh penulis. Akan tetapi, setelah penulis membaca beberapa skripsi
tersebut ada perbedaan pembahasan yang cukup signifikan, sehingga dalam penulisan
skripsi ini nantinya tidak ada timbul kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan
penulis kemukakan skripsi yang pernah ditulis oleh mereka, diantaranya sebagai
berikut :
1. Judul : “Pelaksanaan Hak Interpelasi DPRD Kota Medan Dalam Rangka
Mengawasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004”.
Penulis : Muhammad Rinaldi/SS/SJS/2007.
Skripsi ini membahas seputar pelaksanaan hak interpelasi DPRD
dalam rangka mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan daerah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yaitu DPRD berfungsi menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat daerahnya, sehingga kepadanya
diberikan seperangkat hak: hak anggaran, hak mengajukan pertanyaan, hak
meminta keterangan, hak mengadakan perubahan, hak mengajukan
Juga hak-hak lainnya yang hanya diatur melalui tata tertib DPRD,
Khusus mengenai hak penyelidikan diatur dalam undang-undang karena
penggunaan hak interpelasi mempunyai konsekuensi yang luas, baik
konsekuensi politis, yuridis, maupun sosiologis.
2. Judul:"Rukun Negara Malaysia Dalam Perspektif Ketatanegaraan Islam".
Penulis: Norhalimah Ahmad SS/SJS/2009.
Skripsi ini membahas tentang Rukun Negara yang ada di Malaysia
yaitu menjelaskan tentang keberadaannya yang tidak bertentangan dengan
prinsip negara dalam Islam, yaitu dengan adanya bukti bahwa Rukun Negara
mengakui Islam sebagai agama yang utama di Malaysia tetapi tetap
menghormati dan mengharuskan rakyat Malaysia nonMuslim berpegang
teguh kepada agama masing-masing, kemudian dijelaskan juga Pemerintahan
Malaysia yang tidak zalim, yaitu rakyat Malaysia harus taat kepada
pemerintah dan negara seperti yang terdapat dalam prinsip kedua Rukun
Negara, maka dengan berjalannya Rukun Negara di Malaysia diharapkan
masyarakat warga Negara Malaysia dapat hidup secara damai dan senantiasa
mengutamakan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.
3. Judul: "Islam Politik Dalam Realitas: Studi Partisipasi Politik Masyarakat
Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang"
Berdasarkan pada perumusan yang diangkat dalam judul skripsi ini, berikut
akan dijawab beberapa permasalahan tentang konsep partisipasi politik
menurut demokrasi modern, serta realitasnya dalam masyarakat muslim
kecamatan Cikupa.
Pertama, konsep partisipasi politik mengalami perkembangan seiring dengan
beerkembangnya konsep demokrasi. Tidak hanya berhubungan dengan
perilaku, dan juga sikap atau persepsi warga negara secara konvensional,
tetapi lebih luas mencakup segala tahapan pembuatan kebijakan. Agama
sebagai suatu fenomena sosial yang diekspresikan dalam kolektivitas sosial
anggotanya menunjukan identitas bersama, pola interaksi sosial yang teratur,
atau harapan yang sama (norma-norma agama) menyangkut keyakinan dan
perilaku. Dimensi kebudayaan sangat penting untuk menganalisa fenomena
masyarakat yang mempunyai landasan organisasi modern. Unsur agama Islam
berkolerasi positif dan signifikan dalam hampir semua aspek sampai dimensi
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab Pertama, pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis, kerangka
konsepsional, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua adalah Ketentuan umum tentang pemerintahan desa yang mencakup Pengertian pemerintahan desa dan dasar hukumnya, Macam-macam Pemerintahan
desa, Alasan-alasan diberlakukannya pemerintahan desa dan Perbedaan pemerintahan
desa dengan kelurahan.
Bab Ketiga adalah Kedudukan Pemerintah Desa dan BPD menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup sekilas tentang Desa Pemagarsari
Parung Bogor, Kedudukan Kepala Desa Menurut Hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan dan Kedudukan BPD menurut Perspektif Hukum Islam dan
Peraturan Perundang-undangan.
Bab Keempat adalah Analisis Terhadap Pelaksanaan Pembangunan dan kesejahteraan Masyarakat Di Desa Pemagarsari Kecamatan Parung Kabupaten Bogor
yang mencakup Sumber-sumber Pendapatan Desa menurut Hukum Islam dan
Pemagarsari, Tinjauan Hukum Islam terhadap aspek kesejahteraan umum di Desa
Pemagarsari dan analisis hasil penelitian di desa Pemagarsari Kecamatan Parung
Kabupaten Bogor.
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DESA
A. Pengertian Pemerintahan Desa dan Dasar Hukumnya
Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah
pusat memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat
desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional. Karena perannya
yang besar, maka perlu adanya Peraturan-Peraturan atau Undang-Undang
yang berkaitan dengan pemerintahan desa yang mengatur tentang
pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal.
Sejak Tahun 1906 hingga 1 Desember 1979 Pemerintahan Desa di
Indonesia diatur oleh perundang-undangan yang dibuat oleh penjajah Belanda.
Sebenarnya pada tahun 1965 tentang Desapraja yang menggantikan
perundang-undangan yang dibuat oleh Belanda yang disebut Inlandsche
Gemeente Ordonantie (IGO) dan Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten (IGOB). Tetapi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 yang menyatakan tidak berlaku lagi dan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang maka Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965
tersebut masih berlaku hingga terbentuknya undang-undang yang baru yang
mengatur Pemerintahan Desa.1
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Pemerintah
Desa diatur dengan:
a. Inlandsche Gemeente Ordonantie yang berlaku untuk Jawa dan Madura (Staatblad 1936 No. 83) Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewestenyang berlaku untuk luar Jawa dan Madura (Staatblad 1938
No. 490 juncto Staatblad 1938 No. 81)
b. Indische Staatsregeling (IS) pasal 128 ialah landasan peraturan yang menyatakan tentang wewenang warga masyarakat desa untuk memilih
sendiri kepala desa yang disukai sesuai masing-masing adat kebiasaan
setempat.
c. Herzein Indonesisch Reglement (HIR) dan Reglemen Indonesia Baru
(RIB) isinya mengenai Peraturan tentang Hukum Acara Perdata dan
Pidana pada Pengadilan-Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura.
d. Sesudah kemerdekaan peraturan-peraturan tersebut pelaksanaannya harus
berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Keputusan
Rembuk Desa dan sebagainya.2
1
HAW. Widjaja, Pemerintahan Desa Dan Administrasi Desa Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979,( Rajawali Pers. Jakarta 1993). h. 11.
2
Memang sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 maka
tidak ada peraturan Pemerintah Desa yang seragam di seluruh Indonesia, misalnya
ada yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura dan ada pula yang berlaku di luar Jawa
dan Madura. Hal ini kurang memberikan dorongan kepada masyarakat untuk dapat
tumbuh dan berkembang ke arah kemajuan yang dinamis. Sulit memelihara persatuan
dan kesatuan nasional, sulit memelihara integritas nasional dan sulit untuk pembinaan
masyarakat yang bersifat terbuka terhadap pembangunan.
Adapun Dasar Hukum dalam Pemerintahan Desa yaitu subsistem daripada Sistem
Pemerintahan Daerah.
1. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 18: Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil, dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system
pemerintahan Negara, dan hak-hak usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
Dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan:
I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eendheidsstaat maka Indonesia tak
akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga,
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi akan dibagi pula
Di daerah-daerah yang bersifat otonom (Streek dan locale
rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan
daerah oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar
permusyawaratan.
II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landschappen dan volkgemenschappen(daerah dan kelompok masyarakat adat) seperti Desa di Jawa, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di
Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli
dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai
daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah-daerah tersebut.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta
penjelasannya sebagaimana tersebut diatas maka jelaslah bahwa pemerintah
diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekosentrasi di
bidang ketatanegaraan. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut diatas maka
dan Wilayah Administratif.3 Dalam model ini jelas terlihat bahwa kebijakan
desentralisasi di Indonesia menghendaki penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Partisipasi menjadi konsep
penting karena masyarakat ditempatkan sebagai subjek utama dalam
penyelenggaraan otonomi daerah.4
Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi disebut Daerah
Otonom yang selanjutnya disebut Daerah yang dalam undang-undang ini
dikenal adanya Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedangkan wilayah
yang dibentuk berdasarkan asas dekosentrasi disebut wilayah Administratif
yang dalam undang-undang ini disebut wilayah. Wilayah-wilayah disusun
secara vertikal yang merupakan lingkungan kerja perangkat pemerintah
menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah. Pembentukan
wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah meningkatkan pengendalian
dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaran pemerintahan.5
3
M.R. Khairul Muluk,Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah Kajian Dengan Pendekatan Berpikir Sistem). (Bayu Media Publishing. Malang 2007). h. 3
4
Ibid. hal.3 .
5
Asas-asas Penyelenggaran Pemerintahan
a. Umum
Di muka telah dijelaskan bahwa sebagai konsekuensi dari pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diperjelas dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara, Pemerintah diwajibkan
melaksanakan asas desentralisasi dan dekosentrasi dalam
menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Tetapi di samping asas
desentralisasi dan asas dekosentrasi undang-undang ini juga
memberikan dasar-dasar penyelenggaraan berbagai urusan
pemerintahan di daerah menurut asas tugas pembantuan.6
b. Desentralisasi
Urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah
dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya
menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah sepenuhnya.
Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah baik
yang menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan,
pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya.
6
Demikian pula perangkap pelaksanaannya adalah perangkat daerah
desa itu sendiri yaitu terutama Dinas-Dinas Daerah.7
c. Dekosentrasi
Oleh karena itu semua urusan pemerintahan dapat diserahkan
kepada Daerah menurut asas desentralisasi, maka penyelenggaraan
berbagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh
perangkat Pemerintah di daerah berdasarkan asas dekosentrasi.
Urusan-urusan yang dilimpahkan Pemerintah kepada
pejabat-pejabatnya di daerah menurut asas dekosentrasi ini tetap menjadi
tanggung jawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan,
pelaksanaan maupun pembiayaannya. Unsur pelaksanaannya
adalah terutama instansi-instansi vertikal yang dikoordinasikan
oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat
Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan urusan dekosentrasi
tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat.8
d. Tugas Pembantuan
Di muka telah disebutkan bahwa tidak semua urusan pemerintah
dapat diserahkan kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya.
Jadi beberapa urusan Pemerintahan masih tetap merupakan urusan
7
Moh. Kusnardi & Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Penerbit Gaya Media Pratama. Jakarta. 2005). h. 207.
8
Pemerintah Pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi
Pemerintahan Pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan
pemerintah di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung
jawabnya itu atas dasar dekosentrasi, mengingat terbatasnya
kemampuan perangkat Pemerintah Pusat di Daerah. Dan juga
ditinjau dari segi dayaguna dan hasilguna adalah kurang dapat
dipertanggungjawabkan apabila semua urusan Pemerintah Pusat di
Daerah harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di daerah
karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat
besar jumlahnya. Lagi pula mengingat sifatnya sebagai urusan sulit
untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya
Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Atas dasar
pertimbangan-pertimbangan tersebut maka undang-undang ini memberikan
kemungkinan untuk dilaksanakan berbagai urusan pemerintahan di
daerah menurut asas tugas pembantuannya.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
a. Pasal 2, Desa
1) Desa dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat luas wilayah, jumlah
penduduk dan syarat-syarat lain yang ditentukan lebih lanjut dengan Peraturan
2) Pembentukan nama, batas, kewenangan, hak dan kewajiban Desa ditetapkan
dan diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan
oleh Menteri Dalam Negeri.
3) Ketentuan tentang pemecahan, penyatuan dan penghapusan Desa diatur
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
4) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) baru berlaku sesudah ada
pengesahan dari pejabat yang berwenang.
Syarat-syarat pembentukan, pemecahan dan penghapusan Desa dalam
undang-undang ini akan ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri, sedangkan
pelaksanaan diatur dengan dengan Peraturan Daerah yang baru sesudah ada
pengesahan dari pejabat yang berwenang. Peraturan Menteri Dalam Negeri
dimaksud dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Faktor manusia/jumlah penduduk, faktor alam, faktor letak dan faktor
sosial budaya termasuk adat-istiadat.
b) Faktor-faktor obyektif lainnya seperti penguasaan wilayah keseimbangan
antara organisasi luas wilayah dan pelayanan.
b. Pasal 22, Kelurahan
1) Dalam Ibukota Negara, Ibukota Propinsi, Ibukota Kabupaten, Kotamadya,
Kota Administratif dan kota-kota lain yang akan ditentukan lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri, dapat dibentuk Kelurahan
2) Kelurahan yang dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan memperhatikan
syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat luas wilayah, jumlah
penduduk dan syarat-syarat lain yang akan ditentukan lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri.
3) Pembentukan nama dan batas kelurahan diatur dengan Peraturan Daerah
sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
4) Ketentuan tentang pemecahan, pengaturan dan penghapusan kelurahan diatur
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
5) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (3), berlaku sesudah ada
pengesahan dari pejabat yang berwenang.
B. Macam-Macam Wewenang Pemerintahan Desa
Kewenangan pemerintahan dalam Negara Kesatuan seperti Indonesia
pada dasarnya adalah milik pemerintah pusat. Akan tetapi dengan kebijakan
desentralisasi, pemerintah pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan
kepada daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Apabila dicermati dari
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
dilakukan dengan caraopen end arrangement ataugeneral competence(Hanif
kepada daerah untuk menyelenggarakan kewenangan berdasarkan kebutuhan
dan prakarsanya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki pusat.9
Penyerahan jenis kewenangan yang sifatnya luas kepada daerah
(kabupaten/kota), menurut Dede Rosyada dilandasi oleh sejumlah pemikiran
sebagai berikut:
Pertama, makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran merata,
berkualitas dan terjangkau pelayanan publik tersebut. Pemerintah daerah
sebagai produsen dan distributor pelayanan publik dinilai lebih memahami
aspirasi warga daerah, lebih mengetahui potensi dan kendala daerah, dan lebih
mampu mengendalikan penyelenggaraan pelayanan publik yang berlingkup
lokal.
Kedua, penyerahan kewenangan luas kepada daerah dapat membuka
peluang bagi aktor-aktor politik lokal dan sumber daya manusia yang
berkualitas di daerah untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas, dan
melakukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas,
memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi, dan akuntabilitas mengenai jenis
kewenangan luas tersebut berada pada aktor politik lokal dan sumber daya
manusia lokal yang berkualitas.
9
Diani Budiarto, dkk,Perspektif Pemerintahan Daerah Otonomi, Birokrasi, dan Pelayanan Publik, (FISIP Universitas Djuanda, Bogor. 2005). h. 14.
[Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the text box anywhere in the document. Use the Text Box Tools tab to change the
Ketiga, karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak
merata, dan kebanyakan berada di pusat dan kota-kota besar lainnya, maka
penyerahan jenis kewenangan luas tersebut juga dimaksudkan agar sumber
daya manusia yang berkualitas di pusat dan kota-kota besar diredistribusikan
ke daerah.
Keempat, pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja dipikulkan kepada pemerintah pusat semata. Akan
tetapi dengan adanya penyerahan kewenangan tersebut diharapkan terjadi
diseminasi kepedulian dan tanggung jawab untuk meminimalisir atau bahkan
menghilangkan masalah tersebut sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan
awal dari otonomi daerah.
Penyelenggaraan kewenangan pemerintahan daerah seperti itu
dinamakan penyelenggaraan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini
berjalan dalam kerangka prinsip desentralisasi. Rondinelli dan Nellis
memaknai desentralisasi sebagai the transfer of responsibility for planning, management, and the raising and allocation of resources from the central
government and its agencies to field units of government agencies, subordinate units or levels of government, semi autonomous public authorities or corporations, areawide, regional or functional authorities, or
Desentralisasi, dari makna tersebut memiliki empat bentuk, yaitu:
1. Devolution, yaitu penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah lebih atasnya kepada pemerintah di
bawahnya sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah;
2. Deconcentration, yaitu pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat atau atasannya kepada para pejabat mereka di daerah;
3. Delegation, yaitu penunjukkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah
atasannya kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan dengan pertanggungjawaban tugas kepada pemerintah
atasannya;
4. Privatization, yaitu pengalihan kewenangan dari pemerintah kepada organisasi non-pemerintah baik yang berorientasi profit maupun non-profit.
Prinsip devolution biasanya mengacu pada desentralisasi politik,
deconcentration pada desentralisasi administrasi, dan delegation maupun privatization sebagai tugas sub-contracting. Penerapan prinsip-prinsip
desentralisasi tersebut dapat melahirkan fungsi dan peran pemerintah
model/perspektif untuk menggambarkan peran yang dimainkan oleh
pemerintah daerah.10
Pertama, autonomus model (model otonom), menggambarkan bahwa pemerintah daerah secara relatif terpisah (separated) dari pemerintah
pusat. Terlepas dari seberapa besar cakupan pemerintah daerah, dalam
perspektif ini peran Negara sebatas memonitor aktivitas pemerintah
daerah. Kemudian terdapat pemisahan yang jelas antara kewenangan
pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah.
Model otonom tersebut berakar dari sejarah dan budaya pemerintahan
yang disebarkan oleh Inggris. Keberadaan pemerintah daerah bukanlah
ciptaan pemerintah pusat walaupun keberadaannya terintegrasi dalam
sistem nasional. Kecuali untuk beberapa hal, menurut Alderfer,
karakteristik dasar pemerintahan daerah di Inggris adalah unit lokal yang
bebas dari pengendalian kekuasaan di luarnya.
Adapun Kewenangan Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Pada Bab III
Pasal 7 disebutkan bahwa urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan
desa mencakup:
10
a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul
desa;
b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota
yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/kota; dan
d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan
perundang-undangan diserahkan kepada desa.
Pasal 8
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
diserahkan pengaturannya kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat
meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.
Pasal 9 (1). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyerahan
urusan menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya
kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b diatur dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan
Menteri. (2). Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 10 (1). Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf c wajib disertai dengan dukungan pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta sumber daya manusia. (2). Penyelenggaraan tugas
pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berpedoman pada
peraturan perundang-undangan. (3). Desa berhak menolak melaksanakan
tugas pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disertai
dengan pembiayaan, prasarana dan sarana, serta sumber daya manusia.11
C. Alasan-Alasan Diberlakukannya Pemerintahan Desa
Salah satu kekhasan bangsa Indonesia terletak pada keanekaragaman adat
istiadat, bahasa, pakaian, budaya dan sebagainya. Dan itu pulalah sebabnya,
dalam kenyataan terdapat keanekaragaman dalam kesatuan masyarakat yang
terendah. Kesatuan masyarakat dimaksud adalah umpamanya Desa di Jawa dan
Madura, Gampong di Aceh, Huta di Batak, Nagari di Minangkabau, Dusun/Marga di Sumatera Selatan, Suku di beberapa daerah Kalimantan, dan
sebagainya.
Istilah “desa”, menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam makna
Hukum Tata Negara, tidaklah dipakai untuk menunjuk bahwa terdapat
keseragaman, atau kesatuan pendapat, bahwa pengertian desa di Jawa dan Madura
11
Ronal Siahaan, dkk, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia & Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 Tentang Desa, Kelurahan, Kecamatan, (CV. Novindo Pustaka Mandiri. Jakarta. 2008). h. 13.
[Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the text box anywhere in the document. Use the Text Box Tools tab to change the formatting of the pull quote text
adalah sama dengan luar Jawa dan Madura. Istilah “desa” dipakai, karena untuk
kesatuan masyarakat yang terendah istilah “desa” telah menjadi istilah umum.
Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, desa adalah suatu kesatuan hukum,
dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan
pemerintahan sendiri. Adapun Hazairin berpendapat, bahwa:
“Desa di Jawa dan Madura, Nagari di Minangkabau sebagai masyarakat adat,
yaitu masyarakat hukum adat adalah, kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup
berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya”.12
Kesatuan masyarakat, desa, huta, nagari, marga ataupun lainnya, pada
dasarnya berdasarkan pada dua hal yaitu asas territorial dan asas genekologis.
Desa di Jawa dan Madura, berasaskan territorial, sedangkan kesatuan masyarakat
di Luar Jawa dan Madura berasaskan genekologis. Perbedaan asas tersebut
menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, membawa dampak pada
perbedaan kedudukan diantara keduanya:
Pertama, di Jawa Kepala Desa dipilih oleh warga desa secara langsung,
sedangkan di Tapanuli dan Minangkabau Raja Hutau dan Wali Nagari tidak
langsung dipilih oleh rakyat, tapi dipilih oleh sekelompok orang sebagai tertua
dalam kesatuan masyarakat tersebut.
12
Kedua,hubungan antar warga desa, antara warga desa dengan pimpinan desa.
Ketiga,status sosial-ekonomi kepala desa. Adanya tanah bengkok bagi kepala desa di Jawa dan Madura, dapat dianggap sebagai suatu segi ekonomis,
sedangkan segi sosial kepala desa adalah kedudukan terhormat di desa. Di luar
Jawa, Raja Huta di Tapanuli dan Wali Nagari di Minangkabau, kedudukannya
semata-mata kehormatan saja. Sama sekali tidak ada unsur ekonomis.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Pasal 1 huruf
a, menyatakan yang dimaksud dengan Desa adalah suatu wilayah yang ditempati
oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Adapun Undang-Undang No. 22 tahun 1999 (Pasal 1 huruf o) maupun
Undang-Undang Pemerintah Daerah (Pasal 1 angka 12) memberikan definisi yang
sama mengenai “Desa”, yaitu:
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah
keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengakui otonomi yang dimiliki oleh
desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa diberikan penugasan
ataupun pendelegasian dari Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah untuk
melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa
geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk
karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain
yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan
diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan
dari desa itu sendiri.
Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaran Pemerintahan Desa
dibentuk Badan Permusyawaran Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan
budaya yang berkembang di Desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga
pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, seperti dalam pembuatan
dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan
berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan
masyarakat desa.
Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang
dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati
atau Wali Kota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala
Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada
rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun
tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan
Desa untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap
hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud.
Pengaturan lebih lanjut mengenai desa seperti pembentukan, penghapusan,
penggabungan, perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, pembangunan desa
dan lain sebagainya dilakukan oleh kabupaten dan kota yang ditetapkan dalam
peraturan daerah mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah.
D. Perbedaan Pemerintahan Desa Dengan Kelurahan a. Pemerintahan Desa
Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang
berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
Bab I ketentuan umum Pasal 1 ayat 5 yang dimaksud desa atau yang disebut
nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Adapun yang dimaksud Pemerintahan Desa berdasarkan Peraturan
Pemerintah Tentang Desa Pasal 1 ayat 6 yaitu penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa dibentuk atas asas
prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial
budaya masyarakat setempat.13
13
Adapun pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat 1
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa,
maka harus memenuhi syarat pembentukan desa yaitu:
a. Jumlah penduduk;
b. Luas wilayah;
c. Bagian wilayah kerja;
d. Perangkat; dan
e. Sarana dan prasarana pemerintahan.14
Adapun Struktur Administratif Pemerintahan Desa seabagai berikut:
Camat
LMD /BPD Kepala Desa
Sekretaris Desa
K. Urusan K. Urusan K. Urusan
Pamong Desa Pamong Desa Pamong Desa Pamong Desa
Kepala Dusun Kepala Dusun Kepala Dusun Kepala Dusun
Masyarakat
14
b. Kelurahan
Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat, yang
tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2005
tentang Kelurahan. Pada Bab I ketentuan Umum Pasal 1 ayat 5 menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai
perangkat Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerja Kecamatan, kemudian
pada pasal 1 ayat 6 yang dimaksud Lembaga Kemasyarakatan atau sebutan lain
adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan
merupakan mitra lurah dalam memberdayakan masyarakat.
Berbeda dengan Pemerintahan Desa, Kelurahan dibentuk di wilayah
kecamatan namun pembentukannya berbeda dengan desa, berdasarkan Pasal 2
ayat 2 Pembentukan Kelurahan dapat berupa penggabungan beberapa kelurahan
atau bagian kelurahan yang bersandingan, atau pemekaran dari satu kelurahan
menjadi dua kelurahan atau lebih. Kemudian pembentukan kelurahan
sebagaimana ayat 1 harus sekurang-kurangnya memenuhi syarat;
a. Jumlah penduduk;
b. Luas wilayah;
d. Sarana dan prasarana pemerintahan.
Adapun Struktur Organisasi Kelurahan sebagai berikut:
Camat
Lurah
Sekretaris
U 1 U 2 U 3 U4 U5
RW
BAB III
KEDUDUKAN PEMERINTAH DESA DAN BPD MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERATURAN-PERUNDANG-UNDANGAN
A. Sekilas Tentang Desa Pemagarsari Parung Bogor
I. Sejarah Singkat Desa Pemagarsari
Desa Pemagarsari berasal dari kampung yang bernama Pemagarsari, Sebelum
pemekaran pada tahun 1982 masuk ke wilayah Desa Parung. Wilayah yang
dimekarkan yaitu bagian Selatan dari Desa Parung terdiri dari 3 (tiga) nama
kampung diantaranya :
1. Kampung Lebak wangi
2. Kampung Tajur dan
3. Kampung Sawah
Berdasarkan saran yang telah masuk hingga sampai saat ini, pemekaran Desa
Parung bagian Selatan menjadi Desa PEMAGARSARI.1
Desa Pemagarsari sampai saat ini memasuki Periode ke 4 dari 3 orang
Pemimpin
i. Priode I Dipimpin oleh Bapak E. Sulaeman pada Tahun 1982–1992.
1
ii. Priode II dan III Dipimpin oleh Bapak H. Mamad selama 2 Priode
pada Tahun 1992- 2007.
iii. Priode IV Dipimpin oleh Bapak Achmad Djamaludin pada tahun 2007
sampai dengan saat ini.
II. Landasan Dasar Pemerintahan Desa
Guna mengatur jalannya Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) Pemagarsari bersama-sama dengan Perangkat Desa membuat berbagai
peraturan Desa sebagai dasar operasional pelaksanaan kegiatan, yang selanjutnya
dijabarkan dan dilaksanakan oleh Kepala Desa selaku Pemerintahan Desa bersama
dengan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan Desa yaitu LPM, MUD, BKM, PKK
Karang Taruna, Ketua Rt dan Rw serta Komponen Masyarakat.
Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah
Kabupaten dalam lingkungan Jawa Barat ( Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 1950 Nomor 8 ).
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 125, Tambahan
Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4437).
Sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaga
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaga Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4438).
4. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 6 Tahun 2002 tentang Bagian
Desa Dari Hasil Penerimaan Pendapatan Daerah (Lembaran Daerah
Kabupaten Bogor Tahun 2002 Nomor 53).
5. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Desa (Lembaran Daerah
Kabupaten Bogor Tahun 2006 Nomor 254).
III. Gambaran Umum Desa Pemagarsari
Desa Pemagarsari merupakan salah satu desa dari 9 desa di Kecamatan
Parung Kabupaten Bogor, yang secara geografis berada pada ketinggian 125m
di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata -rata 298,1 mm dan suhu
udara berkisar antara 22-14 oC, dan memiliki Luas wilayah seluas 266,068
ha.Yang terdiri dari :
1. Pemukiman : 147 Ha.
4. Pertanian : 11 Ha.
5. Ladang : 70 Ha.
[image:53.612.119.531.161.692.2]7. lain-lain : 32.068 Ha
Dengan memiliki batas-batas wilayah teritorial sebagai berikut :
-Sebelah Utara : Desa Parung
-Sebelah Timur : Desa Citayam Kecamatan Tajur Halang.
-Sebelah Selatan : Desa Jabon Mekar
-Sebelah Barat : Desa Waru Jaya
Berdasarkan hasil pendataan jumlah penduduk Desa Pemagarsari pada
tahun 2006 berjumlah 11.265 Jiwa
Laki-laki : 5.729 Jiwa
Perempuan : 5.536 Jiwa
Dengan jumlah Kepala Keluarga= 2.411 KK
Sedangkan jumlah Penduduk pada tahun 2007 sebanyak 11.305 jiwa.
Laki–laki : 5.751 Jiwa
Perempuan : 5.554 Jiwa
Dengan jumlah Kepala Keluarga= 2.510 KK.2
Karena, letak geografis dan batas-batas wilayah teritorial tersebut,
Desa Pemagarsari memiliki daerah yang setrategis untuk kegiatan-kegiatan
ekonomi perdagangan, pemerintahan, dan pemukiman.
IV. Potensi Desa Pemagarsari
a. Sumber Daya Mansusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu potensi yang sangat berpengaruh
terhadap gerak Pembangunan baik Pembangunan Fisik maupun Non Fisik baik
sebagai objek maupun sebagai subjek pembangunan.
2
Adapun jumlah mata Pencaharian Anggota Keluarga sebagai berikut :
1. PNS : 210 orang
2. TNI/PORLI : 3 orang
3. Karyawan : 183 orang
4. Wiraswasta : 315 orang
5. Petani/Peternak : 34 orang
6. Jasa/ Buruh : 726 orang
7. Lainnya : 4.134 orang
b. Potensi Pendidikan
Dalam rangka meningkatkan pendidikan masyarakat di wilayah Desa
Pemagarsari memiliki sarana dan prasarana pendidikan sebagai berikut :
1. TK / TPA : 3 buah
2. SD / MI : 7 buah
3. SLTP : 2 buah
berdasarkan data tingkat pendidikan masyarakat adalah :
- Tidak Tamat SD : 283 orang
- Tamat SD : 290 orang
- Tamat SLTP : 308 orang
- Tamat SLTA : 296 orang
- Tamat D.1 : 81 orang
- Tamat D.2 : 54 orang
- Tamat D.3 : 27 orang
- Tamat S.1/Sarjana : 50 orang
c. Kesehatan
Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, sarana dan prasarana
kesehatan yang ada di Desa Pemagarsari adalah :
1. Pos Yandu : 8 buah
2. Kader Pos Yandu : 33 orang
3. Bidan Desa : 2 orang
5. Klinik : 2 buah
6. Rumah Sakit : 1 buah
d. Perekonomian
Potensi perekonomian di Desa Pemagarsari sebagian besar masyarakat
mempunyai usaha ekonomi yang mampu menggerakan perekonomian, dan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Jenis Usaha masyarakat diantaranya :
1. Usaha agrobisnis tanaman : 100 orang
2. Usaha kerajinan Bordir/mute : 5 kelompok
3. Usaha kerajinan anyaman : 2 kelompok
4. Usaha aneka makanan ringan : 4 orang
5. Usaha Menjahit pakaian : 4 orang
6. Usaha pembudidayaan lele : 2 Kelompok
7. Usaha kerajinan Pot Bunga : 1 orang
8. Usaha pedagang buah-buahan : 15 orang
10. Usaha Sablon pakaian : 4 kelompok
11. Usaha Jahit dan Bordir : 6 kelompok
12. Usaha kerajinan rotan : 1 orang
13. Usaha Pembuatan Roti : 1 orang
14. Usaha Peternakan Ayam Potong : 5 orang
15. Usaha Counter HP : 20 orang
V. Bidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial Masyarakat
Pemerintahan Desa Pemagarsari menganut struktur Organisasi Pola
Maksimal yaitu terdiri dari: Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kaur
Pemerintahan, Kaur Perekonomian, Kaur Pembangunan, Kaur Keuangan,
Kaur Kesra, Kaur umum dan Bendaharawan Desa
Dengan jumlah perangkat desa seluruhnya sebanyak 11 orang. Dalam
pelaksanaan kegiatan dibidang pemerintahan telah dilaksanakan kegiatan
sebagai berikut :
1. Pelayanan administrasi Kependudukan Kepemilikan KTP, KK,
dan Akta kelahiran.
2. Pelayanan pertanahan berupa penerbitan surat keterangan yang
3. Penagihan Pajak Bumi dan Bangun (PBB)
4. Pembinaan administrasi Rt dan Rw.dan
5. Kegiatan administrasi dibidang Pemerintahan
Adapun Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Pemagarsari Sebagai Berikut:
A.
BPD KEPALA DESA
SEKRETARIS
KAUR KAUR KAUR KAUR KAUR KAUR
UNSUR WILAYAH
KADUS I KADUS II
PELAKSANA TEKNIS LAPANGAN AMIL
B. Hubungan Pemerintahan Desa Sebagai Unit Ulil Amri Yang Terkecil Dalam al-Qur’an
Pemerintahan Desa sebagai penyelenggara urusan pemerintahan
terkecil yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan memiliki hak dan
kewajiban sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor. 32
Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Sebagai Unit Pemerintahan dalam skala
yang lebih kecil, Pemerintahan Desa mempunyai tugas yang diamanatkan
oleh peraturan perundang-undangan, begit