ABSTRACT
HEALTH MANAGEMENT IMPLEMENTATION HATCHERY TIGER SHIRMP (Penaeus monodon) AND VANNAMEI SHRIMP (Litopenaeus vannamei)
IN KALIANDA SOUTH LAMPUNG
By
RICO WAHYU PRABOWO
Shrimp farming is one of the prospective business for Indonesia, which needs to be developed further. Kalianda South Lampung is the center of black tiger shrimp hatchery and vannamei largest in Lampung. The purpose of research is to observe the shrimp health management applied by the farmers tiger shrimp and vannamei shrimp in South Lampung and make the relate between the health management of shrimp with fry quality tiger shrimp and vannamei shrimp produced by the hatchery in South Lampung. Shrimp health management was obtained by interview and the quality of shrimp seed obtained from observations in the laboratory with the observed light response, swimming activity, abnormality, the gut contents, lipid droplets, the condition hepatopancreas and pigmentation. Of the 22 hatchery was obtained 3 high, 6 medium and 13 are low. While the quality of virus-free shrimp WSSV and IHHNV and the amount of bacteria in the shrimp's body is still normal. Based on the regression results obtained values of the regression is Y = 0,019X2 - 1,358X + 52.49 with a coefficient of determination (R2) of 0.419 indicates that only 41.9% of the variation observed in the shrimp seed quality can be described by polynomial models and the rest 58.1% of the remaining unexplained. Coefficient value (r) of 0.647 indicates there is a positive correlation between the health management of shrimp fry quality. It can be stated that the better health of hatchery management, the better quality of the fry shirmp produced by the hatchery.
ABSTRAK
PENERAPAN MANAJEMEN KESEHATAN PANTI BENIH
UDANG WINDU (Penaeus monodon) DAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DI KALIANDA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Oleh
RICO WAHYU PRABOWO
Budidaya udang merupakan salah satu usaha yang prospektif bagi Indonesia yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Kalianda, Lampung Selatan merupakan sentra panti benih udang windu dan vannamei yang terbesar di Lampung. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan observasi terhadap manajemen kesehatan udang yang diterapkan oleh para pembudidaya udang windu maupun udang vannamei yang ada di Lampung Selatan dan membuat hubungan antara manajemen kesehatan benih dengan kualitas benih udang windu dan udang vannamei yang dihasilkan oleh panti benih di Lampung Selatan. Data manajemen kesehatan udang di peroleh dengan metode wawancara dan kualitas benih udang diperoleh dari pengamatan di laboratorium dengan pengamatan respon cahaya, aktivitas berenang, abnormalitas, kandungan isi perut, lipid droplet, kondisi hepatopankreas dan pigmentasi. Dari 22 panti benih yang diamati diperoleh 3 tinggi, 6 sedang dan 13 rendah. Sedangkan kualitas benih udang bebas virus WSSV dan IHHNV serta kandungan bakteri dalam tubuh benih udang
masih normal. Berdasarkan hasil regresi nilai dari regresi yang diperoleh adalah Y = 0,019X2 – 1,358X + 52,49 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,419
menunjukkan bahwa hanya 41,9% variasi pengamatan pada kualitas benih udang yang dapat dijelaskan dengan model polinomial dan sisanya sebesar 58,1% sisanya yang tidak dapat dijelaskan. Nilai koefisien (r) sebesar 0,647 menunjukan terdapat hubungan korelasi positif antara manajemen kesehatan dengan kualitas benih udang. Maka dapat dinyatakan bahwa semakin baik manajemen kesehatan panti benih maka akan semakin baik kualitas benih yang dihasilkan oleh panti benih.
PENERAPAN MANAJEMEN KESEHATAN PANTI BENIH
UDANG WINDU (Penaeus monodon) DAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DI KALIANDA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
Oleh
RICO WAHYU PRABOWO
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PERIKANAN
Pada
Jurusan Budidaya Perairan/ Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
PENERAPAN MANAJEMEN KESEHATAN PANTI BENIH
UDANG WINDU (Penaeus monodon) DAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DI KALIANDA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
( Skripsi )
Oleh
RICO WAHYU PRABOWO
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Diagram Alir Pemikiran ...4
2. Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon) ...6
3. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon) ...7
4. Morfologi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ...10
5. Siklus Hidup Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ...11
6. Hasil Kuisioner Panti Benih di Kalianda Lampung Selatan ...61
7. Peta Pengambilan Sampel ...76
ii
2.1.3. Pertumbuhan Larva Udang Windu (Penaeus monodon) ... 7
2.2. Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ... 9
2.2.1. Klasifikasi ... 9
2.2.2. Morfologi ... 9
2.2.3. Pertumbuhan Larva Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ... 11
2.3. Mekanisme Pertahanan Tubuh Udang ... 12
2.4. Pengamatan Udang Sehat ... 13
iii
2.6.1. Pemilihan Lokasi ... 23
2.6.2. Fasilitas Pemeliharaan Larva ... 24
2.6.2.1. Fasilitas Pokok ... 24
2.6.2.2. Fasilitas Pendukung ... 25
2.6.3. Kegiatan Pemeliharaan Larva ... 26
2.6.3.1. Persiapan Bak dan Media Pemeliharaan Larva ... 26
2.6.3.2. Penebaran Naupli ... 27
2.6.3.3. Pengelolaan Pakan ... 28
2.6.3.4. Pengelolaan Kualitas Air ... 30
2.6.3.5. PemantauanPertumbuhan ... 32
2.6.3.6. Pengendalian Penyakit ... 33
2.7. Manajemen Kesehatan Udang ... 34
2.7.1. Biosekuritas ... 35
2.7.2. Pemilihan Benih ... 35
2.7.2.1. Penentuan Panti Pembenihan Udang ... 35
2.7.2.2. Pemilihan Benih ... 35
2.7.2.3. Persyaratan Kualitatif Benih Uji ... 36
2.7.3. Manajemen Lingkungan ... 37
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 38
3.2. Peralatan dan Bahan ... 38
3.3.3. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel ... 44
3.3.5. Pengambilan Sampel ... 44
3.3.5. Pengamatan Kesehatan Benih Udang ... 44
3.3.6. Identifikasi Penyakit Udang ... 50
3.4. Parameter yang diamati ... 57
3.5. Analisis Data ... 57
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penerapan Manajemen Kesehatan pada Panti Benih ... 58
4.1.1. Air dan Benur ... 61
4.1.2. Karantina... 63
4.1.3. Kesehatan Udang ... 65
iv
4.1.5. Manajemen Personil ... 69
4.2. Proses Kerja Panti Benih Udang ... 71
4.2.1. Budidaya yang Baik ... 71
4.2.2. Budidaya yang Buruk ... 73
4.3. Lokasi Pengambilan Sampel ... 75
4.4. Pengamatan Kualitas Benih Udang ... 76
4.4.1. Pengamatan Respon Cahaya pada Benih Udang ... 79
4.4.2. Pengamatan Kemampuan Berenang ... 81
4.4.3. Pengamatan Abnormalitas ... 82
4.4.4. Pengamatan Pigmentasi ... 84
4.4.5. Pengamatan Kandungan Isi Perut ... 85
4.4.6. Pengamatan Lipid Droplet ... 87
5.4.7. Pengamatan Kondisi Hepatopankreas ... 88
4.4.8. Pengamatan Penyakit ... 90
4.4. Hubungan Manajemen Kesehatan dengan Kualitas Benih Udang ... 96
4.5.1. Metode Regresi Linier ... 96
V. KESIMPULAN 5.1. Simpulan ... 100
5.2. Saran ... 100
v
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Umur dan Panjang Tubuh Larva Udang Windu (Penaeus monodon) ... 9
2. Kualitas Air pada Pembenihan Udang ... 37
3. Alat dan Bahan Uji PCR ... 38
4. Alat dan Bahan Pengamatan Kualitas Benih Udang ... 39
5. Gejala Udang Terkena Penyakit Bakteri dan Parasit ... 51
6. Hasil Kuisioner tentang Air dan Udang ... 63
7. Hasil Kuisioner tentang Karantina Udang ... 65
8. Hasil Kuisioner tentang Kesehatan Udang ... 67
9. Hasil Kuisioner tentang Pemeliharaan Udang ... 69
10. Hasil Kuisioner tentang Manajemen Personil ... 71
11. Pengamatan Kualitas Benih Udang ... 78
12. Kualitas Benih Udang terhadap Respon Cahaya ... 80
13. Kualitas Benih Udang terhadap Kemampuan Berenang ... 82
14. Persentase Abnormalitas Benih Udang di Kalianda-Lampung Selatan ... 83
15. Pengamatan Pigmentasi Benih Udang di Kalianda-Lampung Selatan ... 85
16. Pengamatan Kandungan Isi Perut pada Benih Udang... 87
17. Pengamatan Lipid Droplet Benih Udang di Kalianda-Lampung Selatan .. 88
18. Pengamatan Hepatopankreas pada Benih Udang ... 90
Dialah yang mengajarkan manusia dari segala yang
belum diketahui…….…(Q.S. Al-Alaq. 5)
Barang siapa menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju surga,………( H.R. Muslim)
Gunakanlah Kesempatan Semaksimal Mungkin Karena Kesempatan
Tidak Datang Kedua Kali………(Rico Wahyu)
Tak Ada Suatu Hal Yang Tak Mungkin Karena Semua Mungkin
Kupersembahakan karya kecil ini
kepada Papa dan Mama serta
keluarga tercinta yang selalu
mendo’akan memberikan
dukungan dan motivasi.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 28 April 1992,
sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari Bapak
Wahyono, S.Pd dan Ibu Sumini.
Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK
Maarif Taman Cari Purbolinggo pada tahun 1998, Sekolah
Dasar (SD) diselesaikan di SD Negeri 2 Purbolinggo pada tahun 2004, Sekolah
Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 1 Purbolinggo pada tahun
2007, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Muhammadiyah
1 Purbolinggo pada tahun 2010.
Tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Budidaya Perairan Universitas
Lampung melalui jalur undangan. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah
menjadi asisten praktikum Biologi Perikanan, Biologi Akuatik, Fisiologi Hewan
Air, Budidaya Air Laut dan Payau, Penyakit dan Parasit pada Organisme Air,
Genetika Pemulyaan Ikan dan Manajemen Kesehatan Ikan. Selama menjadi
mahasiswa penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kampus yaitu sebagai Duta
Pertanian 2011. Penulis juga aktif dalam berorganisasi sebagai anggota dari
Hidrila bidang penelitian dan pengembangan (Litbang) tahun 2011/2012. Penulis
melakukan Praktek Kerja Lapang di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat. Penulis juga telah melakukan kegiatan
Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Mulyosari, Kecamatan Pasir Sakti, Lampung
SANWACANA
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi dengan judul “Penerapan Manajemen Kesehatan Panti Benih Udang
Windu (Penaeus monodon) dan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Di
Kabupaten Lampung Selatan” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Perikanan di Universitas Lampung .
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung;
2. Ir. SitiHudaidah, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Budiadya Perairan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan selaku pembahas yang telah
memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi
3. Yudha T. Adiputra, S.Pi., M.Si, selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya
untuk memberikan bimbingan, ilmu, motivasi, saran dan kritik dalam proses
4. Esti Harpeni, S.T., MAppSc, selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya
untuk memberikan bimbingan, ilmu, motivasi, saran dan kritik dalam proses
penyelesaian skripsi ini;
5. Mahrus Ali, S.Pi., M.P, selaku Penguji Utama pada ujian skripsi; terimakasih
atas masukan dan saran-saran dalam proses penyelesaian skripsi ini;
6. Wardiyanto, S. Pi., MP, selaku Pembimbing Akademik, terimakasih atas
bimbingan selama menjalani perkuliahan ini;
7. Seluruh staf pengajar di Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung,
terima kasih atas ilmu yang telah diberikan;
8. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Jurusan Budidaya Perairan Universitas
Lampung, terima kasih atas kerjasama dan bantuannya;
9. Yang tercinta Papa dan Mama atas kasih sayang, doa yang tulus, kesabaran,
motivasi dan dukungannya selama ini;
10. Buat Kakakku, Agung Wahyu Prabowo dan Adikku Anggun Novita Sari atas
doa dan dukungannya untuk selalu berjuang bersama mewujudkan mimpi
menjadi kebanggaan Papa Mama;
11. Anisa Septa Rini, terima kasih atas perhatian, dukungan, motivasi dan
kesabaran dalam menemani langkah saya selama ini;
12. Keluarga besar TK Maarif Taman Cari, Keluarga besar SDN 2 Taman Cari,
Guru-guruku di SMPN 1 Purbolinggo, Guru-guruku di SMAN 3 Kota Metro
terima kasih atas ilmu, semangat dan dukungannya hingga bisa melanjutkan
sampai sekarang ini.
13. Rekan – rekan angkatan 2010 ; Soma, Aan, Fauzy, Ali, Febri, Baihaqi,
Median, Sopan, Robet, Anjar, Yuti, Ardi, Dio, Erwin, Regi, Aris, Anggi,
Sandi, sigit, Prio, Arya, Adi, Anggara, Bika, Roma, Jelita, Sera, Rima, Dike,
Rima, Tita, Nyik, Yuli, Dwinda, Tika, Rosi, Niki, Winda, Windi, Septi, Eli,
Asri, Siti, Friska, Dian, Duma, Riska, Sapi, Mauli, Asova, Olip, Memey,
Fani, Aulia terimakasih atas kebersamaannya dan bantuannya selama ini;
14. Kakak-kakak 2004-2009 dan adik-adik 2011-2013 Budidaya Perairan Unila,
atas dukungan, motivasi dan semangatnya;
15. Bapak Yahya terima kasih atas motivasi dan semangatnya;
16. Teman-teman rekreator Ali, Fauzy, Hermawan, Pebri, Aris, Baihaqi, Soma,
Aan yang telah memberikan semangat dan kebersamaannya;
17. Masyarakat Kecamatan Pasir Sakti yang telah memberikan pelajaran hidup
yang berarti pada Kuliah kerja Nyata (KKN) tahun 2013;
18. Teman-teman seperjuangan KKN desa Mulyosari Bondan, Burhan, Ayska,
Ayu, Rara, Cimeng, Citut, Atu, Kristian, Candra terima kasih atas
kebersamaan dan bantuan selama 40 hari disana;
19. Teman-teman KKN pasir sakti Pandu, Ando, Boby, Arnold, Bangun, Budi,
Rico, Koko, Aris, Uty, Ayu, Citra, Biyanti, Citra, Tiara, Baron, Candra,
Baskoro, Remon dan yang lainnya terima kasih atas kebersamaan dan
bantuan selama saya menjadi Koordinator Kecamatan Pasir Sakti
20. Sahabat – Sahabatku anak kosan Bumi Manti, Adi, Muxdin, Raju, Donal,
Imung, Roy, Ricky, Hasan dan Yoni terima kasih sudah menjalin
kebersamaan.
21. Sahabatku Batalyon Aconk, Topeng, Bodong, Catur telah mewarnai hidupku
22. Teman tim skripsiku Aris Candra Prihantoro dan Nyi Ayu Ika Pratiwi terima
kasih atas saran dan semangatnya;
23. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan skripsi.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Bandar Lampung, 22 September 2014
Penulis
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Budidaya udang merupakan salah satu usaha yang prospektif dilihat dari tujuan utama
adalah ekspor ke Jepang, Eropa dan Amerika Serikat (Mahmud et al., 2007). Total produksi perikanan budidaya mencapai 60 juta ton pada tahun 2010 dengan nilai
US$119.4 milyar (FAO, 2012). Total produksi budidaya udang dunia sebanyak 77%
diantaranya diproduksi oleh negara-negara Asia termasuk Indonesia (FAO, 2012).
Luas areal tambak udang di Indonesia saat ini sekitar 344.759 ha atau sekitar 39,78 %
dari potensi lahan yang tersedia yakni seluas 866.550 ha yang tersebar di seluruh
Indonesia (Arifin et al., 2012). Terdapat 80% areal luas tambak diantaranya adalah
tambak milik petani yang masih dikelola secara tradisional sehingga produktivitasnya
masih rendah (Arifin et al., 2012). Luasan tambak udang yang ada yang cukup besar,
maka Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar sebagai salah satu produsen
produk perikanan budidaya, terutama udang. Maka perlu adanya pengembangan
dalam sistem budidaya udang windu (Penaeus monodon ) maupun udang vannamei
(Litopenaeus vannamei) yang lebih baik.
Pembenihan mempunyai peran penting dalam proses budidaya karena pembenihan
merupakan proses awal dari budidaya (Sano et al.,1985). Pembenihan udang yang
2 Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Lampung mempunyai 4 panti benih yang
bersertifikat yang semuanya merupakan panti benih yang ada di Lampung Selatan.
Budidaya udang sudah dibudidayakan sejak akhir tahun 70-an (Muliani et al., 2003).
Akan tetapi masalah utama yang dihadapi oleh pembudidaya udang windu dan
vannamei adalah masalah penyakit yang sampai sekarang sukar untuk diatasi
(Sukenda et al., 2009). Hal ini dikarenakan kondisi kekebalan benih udang yang
belum berkembang secara sempurna sehingga mempermudah masuknya penyakit ke
dalam tubuh benih udang (Muliani et al., 2003). Penyakit yang sering menyerang
benih udang adalah virus, bakteri dan parasit (Sano et al.,1985).
Penyakit yang menyerang udang windu dan vannamei, virus merupakan penyakit
yang sering menyerang. Jenis virus yang sering menyerang udang diantaranya adalah
White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan Infectious Hypodermal and Haematopoietic
Neckrosis Virus (IHHNV ). Penyakit ini yang menyebabkan kematian total pada
benih udang yang dibudidayakan. Selain virus, penyakit pada benih udang juga
disebabkan oleh parasit dan bakteri. Bakteri yang sering menyerang benih udang
windu dan vannamei adalah jenis bakteri Vibrio sp. (Rukyani, 1992).
Pengendalian penyakit yang lebih efektif adalah pencegahan penyakit. Cara
pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan manajemen kesehatan
3
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. melakukan observasi terhadap manajemen kesehatan udang yang diterapkan
oleh para pembenih udang windu maupun udang vannamei yang ada di
Lampung Selatan.
2. membuat hubungan antara manajemen kesehatan benih dengan kualitas benih
udang windu dan udang vannamei yang dihasilkan oleh panti benih di
Lampung Selatan.
1.3. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat
mengenai benih udang yang bebas dari penyakit dan sistem budidaya udang yang
4
1.4. Kerangka Pemikiran
Budidaya udang perlu menerapkan konsep manajemen kesehatan (Gambar 1) untuk
meminimalisir udang terserang penyakit.
Gambar 1. Diagram Alir Pemikiran Kabupaten Lampung Selatan
Sentra Panti Benih Udang
Udang Windu Udang Vannamei
Infeksi Penyakit
Penerapan Manajemen Kesehatan Benih Udang
Virus Bakteri Parasit
Kualitas Benih Udang Meningkat
Penyakit Non Infeksi
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Udang Windu (Penaeus monodon)
2.1.1. Klasifikasi
Udang windu digolongkan dalam famili Penaeidae pada filum Arthropoda. Suwignyo
(1990) mengklasifikasikan udang windu sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Fillum : Arthropoda
Subfillum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon
2.1.2. Morfologi
Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala dan dada (cephalothorax)
dan perut (abdomen). Pada bagian cephalothorax terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas
6 dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan 5 pasang
kaki jalan (periopoda). Bagian perut atau abdomen terdiri dari 6 ruas yang tersusun
seperti genting. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang (Pleopod) dan
sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson yang
berfungsi sebagai alat kemudi (Tricahyo, 1995).
Tubuh udang windu dibentuk oleh 2 cabang (biramous), yaitu exopodite dan
endopodite. Udang windu mempunyai tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti
kulit luar atau eksoskleton secara perodik yang biasa disebut dengan istilah moulting
(Mujiman dan Suyanto, 1999). (Gambar 1).
Gambar 2. Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon)( Suwignyo, 1990). Udang penaeid dapat dibedakan dengan yang lainnya oleh bentuk dan jumlah gigi
pada rostrumnya. Udang windu mempunyai 2-4 gigi pada bagian tepi ventral rostrum
dan 6-8 gigi pada tepi dorsal (Mujiman dan Suyanto, 1999). Udang windu betina
mempunyai thelicum sebagai alat reproduksinya. Letak thelicum berada diantara
7 pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5 dengan lubang saluran kelaminnyua terletak diantara
pangkal kaki ke-3. Sedangkan alat kelamin udang jantan disebut petasma yang
terletak pada kaki renang pertama. Udang windu bersifat kanibalisme yaitu suka
memangsa jenisnya sendiri. Hal ini terjadi jika udang windu kekurangan pakan.
2.1.3. Perkembangan dan Pertumbuhan Larva Udang Windu
Perkembangan dan pertumbuhan larva udang windu mengalami beberapa perubahan
bentuk dan pergantian kulit (moulting). Secara umum pergantian kulit larva dimulai
dari menetas sampai menjadi post larva (PL) yang siap untuk ditebar dalam tambak.
Ada empat fase larva udang windu yang perlu diketahui yaitu: fase nauplius, zoea,
mysis dan post larva (Gambar 3).
8 Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali
seperti pada gambar diatas yaitu :
1. Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama
46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.
2. Periode zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar
96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.
3. Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam
dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.
4. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub
stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang
lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.
5. Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang
menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt.
6. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga
udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad,
udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan.
Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt (Soetomo,
9
Tabel 1. Umur dan Panjang Tubuh Larva Udang Windu (Penaeus monodon )
Tahapan Udang Rata-rata Panjang
2.2. Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
2.2.1 Klasifikasi
Udang vannamei digolongkan ke dalam genus Penaeid pada filum Arthropoda.
Klasifikasi udang vannamei adalah sebagai berikut (ITIS, 2013):
10
2.2.2 Morfologi
Tubuh udang vannamei dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala yang
menyatu dengan bagian dada (cephalothorax) dan bagian tubuh sampai ekor
(abdomen). Bagian cephalothorax terlindung oleh kulit kitin yang disebut karapaks.
Bagian ujung cephalotorax meruncing dan bergerigi yang disebut rostrum (Lestari,
2009). Udang vannamei memiliki dua gerigi di bagian ventral rostrum, sedangkan di
bagian dorsalnya memiliki 8-9 gerigi. Jumlah keseluruhan ruas badan udang
vannamei umumnya sebanyak 20 buah. Cephalotorax terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas
di bagian kepala dan delapan ruas di bagian dada. Ruas ke-1 terdapat mata
bertangkai, sedangkan pada ruas ke-2 dan ke-3 terdapat antenna dan antennula yang
berfungsi sebagai alat peraba dan pencium. Rahang (mandibula) terdapat pada ruas
ke-3 yang berfungsi sebagai alat untuk menghancurkan makanan sehingga dapat
masuk ke dalam mulut (Zulkarnain, 2011).
11 Bagian dada udang vannamei terdapat 8 ruas yang masing-masing ruas terdiri dari
anggota badan yang biasa disebut thoracopoda. Thoracopoda ke-1 sampai ke-3
dinamakan maxilliped yang berfungsi sebagai pembantu mulut dalam memegang
makanan. Thoracopoda ke-4 sampai ke-8 berfungsi sebagai kaki jalan (periopoda).
Bagian abdomen udang vannamei terdapat 6 ruas. Ruas ke-1 sampai ke-5 merupakan
bagian kaki renang (pleopoda), sedangkan pada ruas ke-6 berbentuk pipih dan
melebar yang dinamakan uropoda yang bersama-sama dengan telson berfungsi
sebagai kemudi saat berenang (Zulkarnain, 2011).
2.2.3. Perkembangan dan Pertumbuhan Larva Udang Vannamei
Hampir sama dengan udang windu proses pertumbuhan udang vannamei dengan
mengalami beberapa perubahan bentuk dan pergantian kulit (moulting). Secara umum
pergantian kulit larva dimulai dari menetas sampai menjadi post larva (PL) sampai
udang dewasa. Ada empat fase larva udang vannamei yaitu : fase nauplius, zoea,
mysis dan post larva (PL). Secara umum proses perkembangan udang vannamei dapat
12
Gambar 5. Siklus Hidup Udang Vannamei (Wyban dan Sweeney, 1991).
2.3. Mekanisme Pertahanan Udang
Lapisan kutikula merupakan organ pertahanan pertama yang memegang peran
penting dalam melawan patogen potensial dan kerusakan fisik. Kutikula terdiri dari
lipid, protein dan kalsium yang menutupi insang, esophagus dan abdomen
(Alday-sanz,1995).
Udang memiliki suatu respon imunitas yang merupakan upaya proteksi terhadap
infeksi penyakit. Sistem imunitas udang dapat bekerja baik spesifik maupun
nonspesifik (Alifuddin 2002). Udang tidak memiliki immunoglobulin dan T-limposit
yang dapat mendeteksi adanya benda asing yang masuk, maka mekanisme pertahanan
utama dari udang adalah sistem pertahanan seluler yang bekerja memfagosit benda
13 Fagosit adalah penangkapan partikel asing oleh sel tubuh. Reaksi fagosit dilakukan
oleh sel hemolym (sel darah) yang disebut hemosit udang. Pertikel asing akan
ditangkap oleh sirkulasi hemozit dan dihambat oleh partikelnodul hemozit dengan
membangun beberapa lapisan sel darah dalam sirkulasi darah. Respon pertahanan
tubuh udang meliputi respon pertahanan seluler yang dilakukan oleh sel-sel hemozit
bergranula dan respon pertahanan humoral yang dilakukan oleh phoenolokidase,
prophenoloksidase dan lisosom (Anggeraheni, 2001).
2.4. Pengamatan Secara Visual pada Udang yang Sehat
Kriteria benih udang udang sehat berdasarkan pengamatan secara visual adalah:
1. Gerakan aktif dan berenang normal;
2. Respon positif terhadap arus, cahaya, bayangan, dan sentuhan;
3. Tubuh berwarna cerah, berbelang putih dan hitam yang jelas;
4. Tubuh bersih, licin, tidak ada kotoran atau lumut menempel;
5. Tubuh tidak keropos, anggota tubuh lengkap;
6. Kotoran (bentuk memanjang, warna coklat/hitam/hijau, tidak mengapung);
7. Ujung ekor tidak geripis, tidak membengkak dan warna garis terangnya putih,
tidak kusam;
8. Ekor dan kaki jalan tidak menguncup;
9. Insang jernih dan bersih;
10.Kondisi isi usus penuh di bawah sinar matahari, dan tidak terputus-putus
14
2.5. Penyakit Udang
2.5.1. Penyakit Viral
Virus merupakan mikroorganisme yang menginfeksi sel organisme biologis. Virus
hanya dapat bereproduksi di dalam material hidup dengan menginvasi dan
memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan selular
untuk bereproduksi sendiri (Campbell et al., 2002). Virus mengandung sejumlah
kecil asam nukleat yang diselubungi semacam bahan pelindung yang terdiri atas
protein, lipid, glikoprotein, atau kombinasi ketiganya. Genom virus memiliki protein
yang digunakan untuk memuat bahan genetik dan protein yang dibutuhkan dalam
daur hidupnya (Hendrix, 2000). Sesuai dengan laporan dari SEAFDEC (1996) bahwa
dari 20 panti benih yang terdapat di Ilo-Ilo Philipina, secara histologis 18% dari
sampel yang diperoleh dinyatakan terinfeksi oleh MBV dan 45% oleh
Hepatopancreatic Parvo-like Virus (HPV). Kemudian Puslitbang Perikanan (1994)
melaporkan bahwa telah diketahui adanya infeksi penyakit oleh virus atau virus-like
pada komoditas udang di Indonesia, terutama oleh White Spot Baculo Virus (WSBV)
dan Monodon Baculo Virus (MBV). Virus yang akhir-akhir ini menyerang udang
windu adalah White Spot Syndrome Virus (WSSV). Penyakit ini dapat menyerang
udang berbagai stadia mulai benih udang hingga dewasa. Penyakit ini akan
menyebabkan kematian massal pada udang yang menyebabkan kegagalan panen.
Oleh karena itu virus dipertimbangkan sebagai patogen yang paling berbahaya pada
15
2.5.1.1. White Spot Syndrome Virus (WSSV)
a. Klasifikasi dan Morfologi
Virus WSSV termasuk dalam famili Baculoviridae dan merupakan virus DNA
beruntai ganda, yang terbagi dalam tiga subgroup yaitu virus polyhedral yang
berkembang biak di dalam inti sel dan membentuk badan inklusi yang di
dalamnya banyak mengandung partikel virus, virus granulosis yang mengandung
satu partikel virus pada tiap-tiap badan inktusinya, dan virus yang tidak
mengandung badan inklusi (Lightner, 1996).
Berdasarkan morfologi, ukuran, perkembangbiakan, patologi sel dan tipe asam
nukleat, WSSV ditempatkan pada genus non-oclusi baculovirus, sub family
Nudibaculovirus dan family Baculoviridae (Moore and Poss, 1999) yaitu virus yang
berbentuk batang menyerupai elips, terbungkus dalam satu sampul, berkembangbiak
dalam inti sel target (Moore and Poss, 2000) dan merupakan virus DNA berserat
rangkap dengan partikel virus mengandung polipeptida, dan satu atau lebih
nukleokapsid.
b. Patogenisitas
Udang yang terserang WSSV akan menunjukkan gejala berupa nafsu makan
berkurang, lemah, anoreksia, lethargi, bagian abdomen berwarna kemerahan dan
bintik putih, serta lepasnya kutikula dari tubuh (Bower, 1996). Indikasi lainnya
16 dengan luka pada antenna (Lio-Po et al., 2001). Fase awal infeksi WSSV adalah
adanya bintik putih pada kulit yang menyebar ke seluruh tubuh dan berkembang
semakin banyak diikuti dengan melebarnya bintik putih menjadi bercak (Rochman,
1995). Bercak putih berdiameter 0,5–3 mm disekitar lapisan epidermis. Hal ini timbul
karena adanya deposit kalsium oleh epidermis kutikula (Lightner, 1996). Menurut
Techner (1995) bercak putih disebabkan cairan getah bening yang sudah
terkontaminasi virus tercampur dengan seluruh cairan atau darah dalam tubuh udang.
Organ target utama yang diinfeksi WSSV adalah epitel kulit (kutikula) dan jaringan
ikat pada beberapa organ. Virus paling berat menginfeksi insang, sel epitel
subkutikula, organ limfoid, kelenjar antena dan hemolim, tetapi WSSV cenderung
menginfeksi dengan frekuensi yang kecil pada hepatopankreas, kelenjar epitel antena,
sel organ limfoid, syaraf dan fagosit pada hati (Bower, 1996). Gejala kronis ditandai
dengan perubahan warna tubuh udang menjadi kemerah-merahan, selanjutnya diikuti
dengan penempelan protozoa Zoothamnium dan Vorticella. Mortalitas yang tinggi
pada udang akan terjadi apabila dalam waktu beberapa minggu tidak ditangani.
c. Proses Timbulnya Penyakit
Adanya suatu penyakit pada hewan merupakan akibat dari interaksi inang, agen
penyakit, dan faktor lingkungan. Lingkungan perairan yang buruk cenderung
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan patogen dan berpengaruh negatif bagi
organisme peliharaan (udang) karena dapat menyebabkan penyakit (Flegel and
17 sebagai pemicu adanya penyakit, misalnya: hujan deras, periode ternperatur rendah,
menjadi faktor utama dalam memperburuk lingkungan (Chanratchakool, 1998).
Virus merupakan parasit obligat yang secara keseluruhan kebutuhan hidupnya
bergantung pada sel inang yang diinfeksi, energi yang diperoleh digunakan untuk
reproduksi, sintesa protein, lemak, dan karbohidrat (Fenner et al., 1987). Umumnya,
sebagian besar serangan virus patogen berhubungan dengan stres karena kepadatan
yang tinggi, penanganan atau kondisi budidaya yang kurang optimum, pencemaran
air oleh bahan-bahan kimia, infeksi atau dampak dari ablasi mata (Sinderman, 1990).
Penyakit bintik putih pada udang merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh virus
hasil mutagenik. Terjadinya mutasi gen pada virus disebabkan oleh kondisi
lingkungan yang selalu menekannya. Lingkungan yang tidak sesuai membuat virus
melakukan mutasi gen dengan merubah bentuk dan sifat (Purnomo, 1995).
2.5.1.2. Infectious Hypodermal and Haematopoietic Neckrosis Virus (IHHNV)
IHHNV (Infectious Hypodermal and Haematopoietic Neckrosis Virus) biasanya akan
menyerang udang dengan gejala klinis sering naik kepermukaan air, jarang bergerak,
sering berputar-putar sebelum akhirnya tenggelam kedasar. Mortalitas dapat
mencapai 90% dalam beberapa minggi setelah terjadi infeksi pada benih udang (Bell
dan Lighner, 1987).
IHHNV dengan gejala udang berenang tidak normal, yaitu sangat perlahan-lahan,
18 waktu 4-12 jam sejak mulai timbulnya gejala tersebut. Udang penderita banyak yang
mati pada saat moulting. Pada kondisi akut, kulit udang akan terlihat berwarna
keputih-putihan, tubuh berwarna putih keruh, permukaan tubuh akan ditumbuhi oleh
diatomae, bakteri atau jamur, terlihat nekrosis pada kutikula, syaraf, antena, dan pada
mukosa usus depan serta usus tengah. Upaya pengendalian infeksi ini dengan
perbaikan kualitas air (Suyanto dan Mudjiman 2001).
2.5.2. Penyakit Bakterial
2.5.2.1. Vibrio sp.
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ada beberapa macam baik infeksi dan
noninfeksi. Diantara penyakit bakteri yang menyerang udang windu dan udang
vannamei adalah bakteri jenis vibrio yang sering terdeteksi pada benih udang udang
yang dipelihara. Serangan bakteri ini cepat (1-3 hari) dan dapat mengakibatkan
kematian mencapai 90% (Rukyani, 1993). Vibrio sp. merupakan bakteri Gram negatif
yang berbentuk batang, berifat anerob fakultatif, dan kemoorganotrof. Bakteri ini
dapat menyerang udang windu pada tahap larva hingga dewasa. Udang windu yang
terserang Vibrio sp. menunjukkan gejala pergerakan yang lambat, terdapat perluasan
bintik merah pada kaki jalan dan kaki renang, serta adanya bintik hitam pada bagian
insang (Austin, 1993).
Air merupakan salah satu media pertumbuhan bakteri. Kualitas air yang rendah dapat
memacu pertumbuhan bakteri, sehingga menjadi patogen dan dapat menimbulkan
19 dipertahankan, keberadaan Vibrio sp tidak akan menimbulkan penyakit (Muliani et
al., 1997). Syahrani (1995) dan Natawidjaya (1992) menjelaskan keberadaan Vibrio
sp pada air dipengaruhi oleh limbah yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas
perairan tambak. Besamya pengaruh serangan Vibrio sp. terhadap budidaya udang
windu menyebabkan identifikasi terhadap bakteri Vibrio sp. perlu dilakukan.
sehingga pengendalian penyakit Vibriosis pada udang windu dapat dilakukan secara
cepat dan tepat (Yudistira, 2001 ). Berikut ini penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Vibrio sp antara lain :
a. Penyakit Udang Menyala
Penyakit udang menyala menyerang udang pada stadia larva sampai dengan awal
pasca larva, dengan ciri-ciri antara lain larva yang terserang penyakit kelihatannya
menyala apabila diamati pada kondisi yang gelap, larva kelihatan lemah, tidak aktif
berenang, nafsu makan menurun, tampak bercak merah (red discoloration). Penyakit
yang menyerang adalah bakteri Vibrio sp. Penyakit ini terjadi pada saat musim hujan
dimana salinitas menurun. Selain itu perubahan temperatur yang menyolok antara
siang dan malam. Hal ini mengakibatkan perubahan lingkungan yang derastis yang
berakibat larva udang mengalami stres yang kemudian penyakit masuk kedalam
20
b. Nekrosis
Penyebab nekrosis ini adalah bakteri dari genus Vibrio yang merupakan infeksi
sekunder dari infeksi pertama yang disebabkan oleh luka, erosi bahan kimia atau
lainnya. Gejala yang terjadi pada udang antara lain muncul beberapa nekrosis
(berwarna kecoklatan) di beberapa tempat (multilokal), yaitu pada antena, uropod,
pleopod, dan beberapa alat tambahan lainnya, usus udang kosong, karena tidak ada
nafsu makan.
c. Septisemia
Penyebab septikimia adalah bakteri Vibrio alginolyticus,. Penyakit ini menyerang
melalui infeksi sekunder dari infeksi pertama yang disebabkan defisiensi vitamin C,
toxin, luka dan karena stres yang berat. Gejala yang terjadi dari udang windu antara
lain menyerang larva dan post larva terdapat sel-sel bakteri yang aktif dalam
haemolymph (sistem darah udang).
d. Penyakit Udang Bengkok
Penyebab penyakit ini adalah jenis bakteri Vibrio sp. Ciri-ciri larva udang yang
terserang penyakit ini antara lain badan larva tampak bengkok, gerakan kurang aktif,
tubuh, molting tidak sempurna dan antena berwarna merah. Usaha untuk mencegah
penyakit ini adalah dengan mengawasi kestabilan kualitas air baik suhu dan salinitas,
21 nilai nutrisi yang tinggi dan menambahkan kalsium serta mineral lain kedalam
makanan (Dinas Perikanan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995).
2.5.3. Penyakit Parasitik
Parasit adalah adalah organisme yang hidup pada tubuh organisme lain yang dapat
menimbulkan kerugian atau efek negatif pada organisme yang ditempatinya (Yanto,
2006). Parasit dapat merugikan dan membahayakan inang jika jumlahnya cukup
banyak. Infeksi parasit dapat mendatangkan kerugian kepada inang. Kerugian yang
ditimbulkan adalah menghambat pertumbuhan inang, menyebabkan terjadinya alergi,
menurunkan ketahanan inang terhadap penyakit lain dan dapat menyebabkan
kematian bagi benih udang (Levine, 1990).
2.5.3.1. Zoothamnium sp.
Zoothamnium sp. termasuk dalam filum: Protozoa, Kelas: Ciliata. Zoothamnium sp.
berbentuk kerucut yang hampir membulat. Parasit ini bersifat koloni yang tersusun
pada tangkai yang bercabang–cabang (Alifuddin, 1993).
2.5.3.2. Isopoda
Isopoda dapat menghambat perkembangan alat reproduksi udang. Parasit ini
menempel di daerah branchial insang (persambung antara insang dengan tubuh
udang), sehingga menghambat perkembangan gonad (sel telur) pada udang (Levine,
22
2.5.3.3. Parasit cacing
a. Cacing Cestoda, yaitu jenis Polypochepalus sp.
Bentuk cyste dari cacing ini terdapat dalam jaringan ikat di sepanjang saraf
bagian ventral. Parachristianella monomegacantha, berparasit dalam jaringan
intertubuler hepatopankreas.
b. Cacing Trematoda yaitu jenis Opecoeloides sp.
Parasit ini dapat ditemukan pada dinding proventriculus dan usus.
c. Cacing Nematoda yaitu jenis Contracaecum sp.
Parasit ini biasanya menyerang hepatopankreas udang yang hidup secara
alamiah. Nematoda merupakan anggota dari filum nemathelmintes yang
mempunyai saluran pencernaan yang lengkap dan rongga tubuh. Rongga
tubuh dilapisi dengan selaput seluler yang disebut pseudosel atau
pseudoseloma. Tubuh mematoda ditutupi dengan kutikula yang hanya terlihat
secara mikroskopis dan memiliki struktur yang bervariasi pada tiap spesies
(Levine, 1990). Kutikula pada nematoda berfungsi untuk mengambil oksigen
sebagai selubung pelindung yang lentur dan kenyal serta resisten terhadap
enzim pencernaan inang terutama untuk cacing dewasa. Kutikula terdiri dari
sejumlah lapisan dan sedikitnya lima protein yang berbeda. Terdapat tiga
lapisan dibawah kutikula yaitu lapisan korteks dipermukaan, lapisan matriks
23
2.6. Panti Benih (Hatchery) Udang
2.6.1. Pemilihan Lokasi
Persyaratan lokasi untuk membangun pembenihan udang antara lain :
1. Lokasi Panti Benih jauh dari kota dan lahan pertanian.
2. Panti benih harus jauh dari fasilitas produksi.
3. Lokasi panti benih adalah tempat yang berpasir dan berbatu dimana tempat
tersebut bersih, bebas dari cemaran, dan mempunyai kualitas air yang bagus
setiap tahunnya.
4. Bukan tempat yang sering terkena banjir dan berlumpur karena pada waktu
terjadi hujan air akan menjadi sangat keruh.
5. Lokasi untuk mendirikan panti benih tidak berdekatan dengan muara sungai
karena dapat menurunkan salinitas secara mendadak.
6. Lokasi panti benih juga harus bebas dari kontaminasi limbah pertanian dan
limbah industri.
7. Lokasi pembenihan harus terdapat akses listrik.
8. Sebaiknya panti benih bertempat di area yang banyak petani udang beroperasi,
agar larva yang diproduksi dapat dengan mudah dikirimkan dan disalurkan ke
tambak.
9. Pemilihan tempat untuk pembangunan panti benih harus dapat diakses dari
24
2.6.2. Fasilitas Pemeliharaan Larva
Fasilitas yang digunakan untuk pemeliharaan larva terbagi menjadi dua, yaitu fasilitas
pokok dan fasilitas pendukung yang secara prinsip diperlukan untuk usaha
pemeliharaan larva udang adalah sebagai berikut :
2.6.2.1. Fasilitas Pokok
1. Bak filter, yaitu bak penyaring air dengan komponen penyaring berupa koral,
pasir, arang, dan ijuk.
2. Bak tandon air tawar dan air laut, yaitu bak bak penampung air laut dan air
tawar yang terbuat dari beton dengan volume minimal 30% dari kapasitas
total bak pemeliharaan.
3. Bak pemeliharaan larva, yaitu bak tempat pemeliharaan larva yang terbuat
dari semen maupun fiber plastik dengan volume minimal 10 m3.
4. Bak kultur fitoplankton, yaitu tempat kultur fitoplankton sebagai penyedia
pakan untuk larva yang berbentuk persegi empat dengan volume 20% - 40%
dari bak larva.
5. Penetasan kista artemia, yaitu untuk menetaskan telur artemia sebagai
makanan larva udang yang berbahan fiber glass maupun plastik dengan
volume 0,02 m3.
6. Tenaga listrik, dapat disuplai dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di daerah
25 7. Pompa air atau sarana penyedia air: pompa air laut dengan kapasitas pompa
yang dapat memompa air laut dengan volume minimal 30 % per hari dari total
volume air yang dibutuhkan dalam bak pemeliharaan benih udang, dan pompa
air tawar dengan kapasitas minimal 5 % dari total volume air bak.
8. Aerasi blower atau hi blow, selang aerasi dan batu aerasi (Heryadi dan Sutadi,
1993)
2.6.2.2. Fasilitas Pendukung
1. Peralatan lapangan antara lain seser, saringan pembuangan air, kantong
saringan air, gelas piala, sepatu lapangan, senter, gayung, ember, timbangan,
selang, saringan pakan, alat sipon dan peralatan panen.
2. Peralatan laboratorium antara lain pengukur kualitas air (termometer,
refraktometer, pH meter atau kertas pH) dan mikroskop.
3. Generator. Peralatan ini sangat dibutuhkan, meskipun unit pembenihan
mempergunakan sumber listrik PLN, khususnya jika terjadi gangguan listrik
PLN (Heryadi dan Sutadi, 1993).
2.6.3. Kegiatan Pemeliharaan Larva
2.6.3.1. Persiapan Bak dan Media Pemeliharaan Larva
Bak yang akan digunakan untuk kegiatan pemeliharaan larva sebelumnya harus
dibersihkan dan diberi desinfektan. Bak dibersihkan menggunakan air bersih dan
26 bertujuan untuk membuang seluruh kotoran yang ada dalam bak pemeliharaan.
Kemudian diberi desinfektan berupa hypochlorite sebanyak 20 – 30 ppm, dan dibilas
menggunakan air bersih untuk menghilangkan sisa dari klorin, kemudian bak yang
sudah dibersihkan dijemur. Bak yang berada di luar ruangan dan bak yang berukuran
kecil dapat disterilisasi dengan cara penjemuran terhadap bak tersebut bak yang akan
digunakan untuk tempat pemeliharaan larva dibersihkan menggunakan bleaching
powder, kemudian dibilas menggunakan air tawar dan dijemur selama 24 jam.
Sebagian dari bak pemeliharaan diisi air laut, selanjutnya dilakukan pemasangan
aerasi pada beberapa titik bak pemeliharaan. sebelum bak pemeliharaan larva
digunakan untuk siklus selanjutnya, bak harus dicuci menggunakan larutan
Hydrocloric Acid (HCl) kemudian dibilas menggunakan air tawar atau air laut
(Subaidah, 2006).
Air yang masuk ke unit pembenihan harus dibersihkan dan diberi desinfektan berupa
klorin dan dilakukan proses filtrasi sebelum didistribusikan ke area pembenihan
seperti panti benih , kultur plankton, artemia, dan lain-lain. Air yang digunakan untuk
kegiatan pembenihan di panti benih harus difilter dan ditreatmen untuk mencegah
masuknya organisme yang membawa penyakit dan patogen yang terbawa oleh air.
Air yang akan digunakan, biasanya diberi desinfektan berupa klorin. Kemudian air
disaring menggunakan filter bag dan terakhir didesinfektan kembali menggunakan
sinar ultraviolet (UV) atau ozon. Air laut dalam bak pemeliharaaan larva ditreatmen
menggunakan EDTA sebanyak 10 ppm dan trefflan sebanyak 0,1 ppm (Subaidah,
27
2.6.3.2. Penebaran Naupli
Naupli ditebar setelah persiapan bak dan media pemelihraan larva selesai dilakukan.
Padat penebaran naupli maksimal adalah 100 ekor per liter dengan ukuran naupli
yaitu 0,5 mm. naupli yang akan ditebar pada bak pemeliharaan harus mempunyai
kualitas yang baik, berikut adalah ciri naupli yang mempunyai kualitas baik :
1. Warna coklat orange
2. Gerakan berenang aktif, periode bergerak lebih lama dibandingkan dari
periode diam
3. Kondisi organ tubuh lengkap, ukuran dan bentuk normal serta bebas pathogen
4. Respon terhadap rangsangan bersifat fototaksis positif
Kepadatan larva yang ditebar dalam bak pemeliharaan larva paling sedikit adalah 75
ekor naupli per liter. Naupli yang ditebar dalam bak pemeliharan larva mempunyai
kepadatan 100 sampai dengan 150 ekor naupli per liter atau atau 100.000 sampai
dengan 150.000 ekor naupli per ton. Penebaran naupli dilakukan pada pagi hari
dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu yang terlalu tinggi dengan cara
aklimatisasi. Sebelum naupli ditebar pada bak pemeliharaan larva, harus dilakukan
aklimatisasi. Aklimatisasi yang dilakukan berupa penyesuaian suhu dan salinitas air
terhadap naupli. Proses aklimatisasi ini dilakukan hingga menunjukan naupli sudah
28
2.6.3.3. Pengelolaan Pakan
A. Pakan Alami
Pakan alami yang diberikan kepada larva udang adalah fitoplankton dan zooplankton.
Beberapa jenis fitoplankton yang digunakan untuk makanan larva udang adalah
Skeletonema costatum, Tetraselmis chuii, dan Chaetoceros calcitrans. Sedangkan
naupli artemia merupakan zooplankton yang banyak diberikan pada larva udang. Hal
ini dikarenakan naupli artemia banyak mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan
oleh larva udang (Edhy et al., 2003).
Pemberian pakan alami berupa Chaetoceros diberikan mulai dari stadia zoea 1
sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan, karena pada stadia ini larva
udang masih memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai makanan. Pada stadia
naupli belum memerlukan makanan karena masih mempunyai cadangan makanan
berupa egg yolk selama 36 – 72 jam. Stadia zoea larva udang diberi makanan
Skeletonema sp., Chaetoceros sp. dan Thalassiosira (Edhy et al., 2003).
Pemberian algae berupa Chaetoserros dan Thalasiosiosira pada stadia naupli
diberikan sebanyak 60.000 sel/ml, stadia zoea 1 sebanyak 80.000 sel/ml, pada stadia
zoea 2 diberikan sebanyak 80.000 – 100.000 sel/ml, stadia zoea 3 –mysis 1 diberikan
sebanyak 100.000 sel/ml, dan pada stadia mysis 2 - 3 diberikan sebanyak 80.000
29 Kultur Artemia sebelumnya menentukan banyaknya Artemia yang dibutuhkan
sebagai pakan larva, setelah itu dilakukan kultur cyste Artemia dengan menebarkan
cyste Artemia dan memberikan aerasi yang kuat dalam tank kultur untuk
mempercepat penetasan. Setelah cyste menetas dilakukan pemisahan antara cangkang
Artemia dengan nauplinya, kemudian dilakukan pemanenan Artemia (Harefa, 2003)
Pemberian pakan artemia dilakukan enam kali dalam satu hari yaitu pada pukul
00.00, 04.00, 08.00, 12.00, 16.00, dan 20.00. Greece dan Fox (2000), menyatakan
bahwa naupli Artemia yang baru menetas diberi aerasi kemudian diberikan untuk
larva. Hal ini dilakukan agar naupli dalam penampungan sementara tetap dalam
kondisi hidup. Selanjutnya naupli Artemia diberikan menggunakan beaker glass
dengan cara ditebarkan secara merata (Harefa, 2003).
B. Pakan Buatan
Kriteria pakan buatan yang berkualitas baik adalah sebagai berikut:
1. Kandungan gizi pakan terutama protein harus sesuai dengan kebutuhan larva
udang
2. Diameter pakan harus lebih kecil dari ukuran bukaan mulut larva udang
3. Pakan mudah dicerna
4. Kandungan nutrisi pakan mudah diserap tubuh
5. Memilki rasa yang disukai larva udang
6. Kandungan abunya rendah
30 Pakan buatan yang biasa diberikan untuk larva udang adalah pakan yang berbentuk
bubuk, cair dan flake (lempeng tipis) dengan ukuran partikel sesuai dengan stadianya.
Kadungan nutrisi pada pakan buatan larva udang terdiri dari protein minimum 40 %
Pakan buatan yang akan diberikan sebelumnya disaring menggunakan saringan
berukuran 10 – 80 mikron. Pada stadia mysis pakan buatan diberikan dengan cara
disaring menggunakan saringan berukuran 50 – 150 mikron, Pakan buatan yang
diberikan pada stadia PL 1 – PL 8 sebelumnya disaring menggunakan saringan
berukuran 200 – 300 mikron, sedangkan pada stadia PL 9 sampai dengan panen
sebelumnya disaring menggunakan saringan dengan ukuran 300 – 500 mikron
(Kordi, 2010).
2.6.3.4. Pengelolaan Kualitas Air
Menjaga kualitas air pada media pemeliharaan larva dapat dilakukan dengan
penyiponan dan pergantian air. Penyiponan pada dasar bak dilakukan pada saat larva
masuk stadia zoea 2 – 3 selama pemeliharaan larva. Sisa pakan yang tidak termakan
dan hasil metabolisme yang berupa feses dibuang dari dasar bak pada waktu – waktu
tertentu (penggunan probiotik akan mengurangi penyiponan). Jika dalam dasar bak
pemeliharaan sudah terlihat kelebihan endapan, buang endapan ke dalam seser
kemudian pindahkan muatan yang tersaring ke dalam ember. Apabila pada saat
proses penyiponan terdapat larva yang terbawa dari bak pemeliharaan, larva dapat
31 Pergantian air selama pemeliharaan larva perlu dilakukan tergantung dari kepadatan
larva, stadia larva, dan kondisi kualitas air pada bak pemeliharaan larva. Pergantian
air dilakukan untuk mempertahankan kondisi parameter kualitas air dalam bak
pemeliharaan agar tetap stabil. Air yang digunakan pada proses pergantian air, harus
mempunyai kualitas yang lebih baik dari air pemeliharaan yang ada dalam bak. Air
yang akan digunakan harus sama dengan temperatur, salinitas, dan derajat keasaman
(pH) untuk menghindari stres pada larva akibat dari perubahan parameter secara
mendadak (Wardiningsih, 1999).
Pada umumnya bak pemeliharaan larva hanya diisi 50% dari kapasitas maksimal.
Kemudian selama stadia zoea, dilakukan penambahan secara berangsur-angsur sekitar
10% per hari dari kapasitas maksimal air yang baru (termasuk jumlah plankton yang
digunakan) sampai bak terisi penuh dan dilakukan hingga mencapai stadia mysis.
Pada stadia zoea tidak dilakukan pergantian air. Pada waktu masuk stadia mysis
dilakukan pergantian air sebanyak 10 – 30 % per hari. Pada stadia awal larva,
dilakukan pergantian air tetapi volume pergantian air lebih besar daripada stadia
sebelumnya, pada PL 1 – 4 dilakukan pergantian sebanyak 30 – 40% dan pada PL 5 –
8 dilakukan pergantian air sebanyak 40 – 50 %. Setelah stadia PL yang lebih besar
perlu dilakukan pergantian air sebesar 50 – 80 % per hari pada PL 9 – 12 dan
60 – 90 % per hari pada PL 13 – 16.yang berhubungan dengan parameter kualitas air
seperti suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut dilakukan pengecekan atau
32 dilakukan karena pada waktu-waktu tersebut terjadi fluktuasi parameter yang
signifikan (Treece et al., 2000).
2.6.3.5. Monitoring Pertumbuhan
Pengamatan pertumbuhan larva udang dilakukan bertujuan untuk mengontrol
pertumbuhan larva. Apabila pertumbuhan larva lambat dapat dipacu dengan
pemberian pakan yang berkualitas. Apabila pakan yang diberikan berkualitas baik,
jumlahnya mencukupi, dan kondisi lingkungan mendukung, maka dapat dipastikan
laju pertumbuhan udang akan lebih cepat sesuai yang diharapkan. Sedangkan untuk
mengamati kesehatan larva perlu dilakukan dengan pengamatan makroskopis dan
mikroskopis antara lain yaitu :
a. Pengamatan Makroskopis
Pengamatan makroskopis dilakukan secara visual dengan mengambil sampel
langsung dari bak pemeliharaan sebanyak 1 liter becker glass kemudian diarahkan ke
cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva, pigmentasi, usus, sisa pakan kotoran atau
feces dan butiran-butiran yang dapat membahayakan larva.
b. Pengamatan Mikroskopis
Pengamatan dilakukan dengan cara mengambil beberapa ekor larva dan diletakkan di
33 untuk mengamati morfologi tubuh larva, keberadaan parasit, patogen yang
menyebabkan larva terserang penyakit (Subaidah dan Pramudjo, 2008).
2.6.3.6. Pengendalian Penyakit
Penyakit merupakan salah satu permasalahan yang memerlukan penanganan secara
khusus. Timbulnya penyakit dapat bersumber dari berbagai aspek, seperti: air sebagai
media pemeliharan, peralatan pemeliharaan, pengaruh kontaminasi pakan,
lingkungan, maupun sanitasi dari masing-masing pelaksana produksi yang secara
langsung berhubungan dengan aktivitas pemeliharaan larva. Vorticella merupakan
salah satu jenis protozoa yang menyerang larva dengan cara menempel pada
permukaan tubuh larva atau insang pada semua stadia dalam kegiatan pemeliharaan
larva udang. Ketika permukaan tubuh, alat gerak, atau insang banyak terdapat
Vorticella, maka larva akan kesulitan dalam melakukan pergerakan, mensuplai
makanan, moulting, dan respirasi (Subaidah dan Pramudjo, 2008).
Penyakit yang paling serius mempengaruhi stadia larva udang disebabkan oleh jamur,
bakteri, dan virus. Pengobatan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya
penyebaran penyakit. Apabila tingkat kematian larva terlihat lebih banyak, larva
harus diamati dengan cara mengambil beberapa ekor larva untuk dijadikan sampel
agar dapat diketahui penyebabnya. Apabila teridentifikasi terdapat penyakit yang
menyerang harus dilakukan perlakuan. Perlakuan dilakukan dengan cara pemberian
34
2.7. Manajeman Kesehatan Udang
2.7.1 Biosekuritas
Konsep biosekuritas biasanya diterapkan pada instalasi karantina atau instalasi
produksi pemurnian kultur jaringan. Upaya pengamanan sistem budidaya dari
kontaminasi patogen yang berasal dari karir patogen luar dengan cara-cara yang tidak
merusak lingkungan. Hal-hal yang diterapkan antara lain :
a. Seluruh lingkaran luar unit usaha diberi pagar untuk mencegah hewan masuk
ke dalam unit tambak yang dapat menyebabkan penularan penyakit ke udang.
b. Air pasok dipompa masuk ke petak tandon, disaring menggunakakan kantung
plankton net dengan diameter 50 cm sepanjang 4 – 5 m sebanyak 3 – 5 buah
di atur paralel agar tidak mudah robek.
c. Saluran keliling dilapisi kain kasa (waring) untuk menjamin tidak adanya
organisme lain yang masuk atau keluar.
d. Roda kendaraan yang mungkin telah berjalan di atas pematang tambak lain
harus melalui dua kolam yaitu kolam pembersihan dan kolam disinfeksi untuk
menghindari adanya kontaminasi.
e. Peralatan panen, jala, ember, pompa dan kincir bahkan pekerja selalu diberi
disinfektan pada saat baru dikeluarkan atau akan dipakai di salah satu tambak.
f. Setiap pekerja ataupun pengunjung melakukan disinfeksi terhadap tubuhnya
dan menggunakan pakaian dan peralatan yang sudah disterilkan (BBPBAP
35
2.7.2. Pemilihan Benih
2.7.2.1. Penentuan Panti Pembenihan Udang
a. Menentukan pembenihan yang telah bersertifikat dan melaksanakan uji
polymerase chain reaction (PCR) terhadap induk udang windu yang dipakai
dan benih yang akan dijual.
b. Menentukan pembenihan yang tidak menggunakan pakan yang bersifat karier
penyakit untuk pakan induknya seperti kepiting, rajungan, dan udang mentah,
serta bebas antibiotik yang berbahaya.
c. Menentukan pembenihan yang telah menerapkan konsep biosekuriti.
d. Memilih pembenihan yang mencuci dan memilah sebagian benih yang
dijualnya dengan formalin 200 ppm selama 30 menit.
e. Memilih pembenihan yang menerapkan SNI Pembenihan Udang Windu.
2.7.2.2. Pemilihan Benih
a. Benih yang layak tebar telah mencapai ukuran PL12
1. Kepadatan benih di bak relatif konstan mulai PL8 - PL12.
2. Benih abnormal secara visual kurang 1 % dari populasi
b. Pada stadia PL10, benih lolos uji salinitas :
1. Seratus ekor PL direndam dalam air tawar.
2. Lima belas menit kemudian seluruh udang dikembalikan pada air laut.
3. Pengamatan hingga 15 menit dan dihitung persentase udang yang hidup.
36 c. Kelompok benih yang terpilih melalui uji salinitas selanjutnya diuji dengan
perendaman formalin dengan bahan aktif 37 % formaldehyde 200 ppm dengan
cara :
1. Minimum 100 ekor PL yang baru ditangkap dimasukkan kedalam ember
atau toples yang diberi aerasi lalu ditetesi formalin 200 ppm.
2. Setelah 30 menit, air diputar dan hitung udang yang stres dan mati.
3. Bila jumlah udang yang mati lebih dari 5 % benih tidak dipilih.
2.7.2.3. Persyaratan Kualitatif Benih yang Dapat dilihat dan diuji
a. Warna : warna tubuh transparan, kecoklatan atau kehitaman, punggung tidak
berwarna keputihan atau kemerahan.
b. Gerakan : gerakan berenang aktif, menentang atau menyongsong arus,
cenderung mendekat ke arah cahaya (fototaksis positif).
c. Kesehatan dan kondisi tubuh : kondisi tubuh benih udang yang sehat setelah
mencapai ukuran PL 10 organ-organ tubuhnya lengkap, maxilla, mandibulla,
antenulla dan ekor membuka, hepatopankreas transparan, usus penuh dan
gelap.
d. Responsif terhadap rangsangan: benih udang akan menjentik menjauh dengan
adanya kejutan atau jika wadah sampel benih udang diketuk, dan akan
berenang mendekati sumber cahaya jika ada rangsangan cahaya, serta
37
2.7.3. Manajemen Lingkungan Budidaya
Pengawasan lingkungan merupakan faktor penting dalam penentu keberhasilan suatu
budidaya (Lio-Po et al., 2001). Kegiatan pembenihan udang windu dengan metode
intensif mengakibatkan benih udang udang yang dibudidayakan menjadi mudah stres
karena padat tebar yang tinggi, penanganan, dan turunnya mutu kualitas air
(Hendrajat et al., 2007).
Parameter kualitas air media harus berada pada kondisi yang optimal. Parameter yang
berpengaruh dalam budidaya tersebut adalah pH, oksigen terlarut, nitrat, amonia,
bahan organik, suhu, salinitas, dan nitrit. Tingkat optimum serta kisaran kualitas air
yang mampu diterima oleh udang windu (Boyd, 2001).
Tabel 2. Kualitas Air Pembenihan Udang Windu
Komponen Kisaran Optimal
Salinitas 15 – 30 ppt
pH 7,5 – 8,7
Suhu 28 – 31,5ºC
Alkalinitas 90 – 150 ppm
Bahan Organik 45 – 55 ppm
PO4 0,1 – 0,5 ppm
NH3 0,03 – 0,25 ppm
38
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Maret sampai Mei 2014. Lokasi pengambilan
sampel meliputi wilayah Kalianda Kabupaten Lampung Selatan yang melalui
pengamatan di Laboratorium Budidaya Perikanan Universitas Lampung dan Stasiun
Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I
Lampung.
3.2. Peralatan dan Bahan
Tabel. 3. Alat dan Bahan Uji PCR
Alat Bahan
PCR Sampel udang windu dan udang vannamei
Alat bedah Lysis Buffer
Cold box DNA molecular weight marker Microtube 1.5 ml Larutan kloroform (CHCl3 )
Microtube 0.2 ml Dissolving solution
Timbangan digital Larutan RNA extraction
Vortex Etanol 95 %
Mikropipet Larutan DEPC DDH2O
Water bath First PCR premix Thermalcycler RT-PCR premix
Aluminium foil Iqzyme DNA polymerase Microwave NaCl fisiologis
Tangki elektroforesis P(+) standard WSSV
Uv transilluminator Kontrol negatif (yeast tRNA)
Gelred
1x TAE Buffer
39
Tabel. 4. Alat dan Bahan Pengamatan Kualitas Benih Udang
Alat Bahan
Mikroskop Sampel udang windu dan vannamei
Akuarium Media TCBS
Data dikumpulkan melalui teknik wawancara, metode dokumentasi, penentuan lokasi
pengambilan sampel, pengamatan kesehatan dan identifikasi penyakit.
3.3.1. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan dalam
penelitian (Lampiran 1). Wawancara dilakukan kepada teknisi atau pemilik panti
benih mengenai fasilitas, air dan udang, manajemen karantina, kesehatan udang,
manajemen pemeliharaan dan manajemen personil. Wawancara dilakukan untuk
memperoleh hasil penerapan manajemen kesehatan udang yang diterapkan pada
masing-masing panti benih. Adapun kriteria wawancara pada panti benih antara lain :
3.3.1.1. Air dan Benur
Air merupakan media hidup dari benih udang yang menjadi unsur terpenting bagi
kelangsungan hidup benih udang. Sedangkan benur (benih udang) merupakan
40 dari indukan yang baik juga. Kriteria air dan benih udang yang baik antara lain :
menggunakan sumber air yang bebas dari hewan air lainnya, air difilter terlebih
dahulu menggunakan filter dengan ukuran kecil untuk mencegah telur atau larva
hewan masuk melalui air, air diperlakukan desinfeksi yang dirancang untuk
mematikan karier udang liar, air yang telah dipersiapkan untuk budidaya telah
dipastikan tidak terdapat potensi karier patogen tertentu, fasilitas budidaya dirancang
untuk mencegah transmisi patogen melalui udara dari sumber air yang masuk,
fasilitas budidaya dirancang untuk mencegah transmisi patogen dari sekitar panti
benih dan sumber air yang masuk, naupli yang dipelihara dalam fasilitas budidaya
bersertifikat bebas dari patogen target, naupli dikarantina dahulu setelah sampai di
fasilitas budidaya, naupli dipindahkan dari dalam panti benih selama transportasi atau
kotak kemasan tidak menggunakan air yang berasal dari tempat asal.
3.3.1.2. Karantina
Karantina merupakan sistem yang menanggulangi penularan penyakit dengan cara
mengisolasi penyakit agar tidak menginfeksi organisme yang lain. Kriteria karantina
antara lain : sistem karantina udang atau udang sakit dirancang lebih awal sesuai
dengan prosedur operasional standar perusahaan terhadap panti benih, petak karantina
dibedakan pada ruang, gedung, atau area yang terisolasi secara fisik dengan panti
benih produksi, karantina digunakan secara tersendiri (isolasi), dengan mengunakan
sumber air dan pembuangan air yang terpisah dari panti benih produksi, apakah
naupli atau telur baru diaklimatisasi untuk diobservasi ketidaknormalan dalam