• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MANAJEMEN KESEHATAN PANTI BENIH UDANG WINDU (Penaeus monodon) DAN UDANG VANNAMEI(Litopenaeus vannamei) DI KALIANDA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN MANAJEMEN KESEHATAN PANTI BENIH UDANG WINDU (Penaeus monodon) DAN UDANG VANNAMEI(Litopenaeus vannamei) DI KALIANDA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

HEALTH MANAGEMENT IMPLEMENTATION HATCHERY TIGER SHIRMP (Penaeus monodon) AND VANNAMEI SHRIMP (Litopenaeus vannamei)

IN KALIANDA SOUTH LAMPUNG

By

RICO WAHYU PRABOWO

Shrimp farming is one of the prospective business for Indonesia, which needs to be developed further. Kalianda South Lampung is the center of black tiger shrimp hatchery and vannamei largest in Lampung. The purpose of research is to observe the shrimp health management applied by the farmers tiger shrimp and vannamei shrimp in South Lampung and make the relate between the health management of shrimp with fry quality tiger shrimp and vannamei shrimp produced by the hatchery in South Lampung. Shrimp health management was obtained by interview and the quality of shrimp seed obtained from observations in the laboratory with the observed light response, swimming activity, abnormality, the gut contents, lipid droplets, the condition hepatopancreas and pigmentation. Of the 22 hatchery was obtained 3 high, 6 medium and 13 are low. While the quality of virus-free shrimp WSSV and IHHNV and the amount of bacteria in the shrimp's body is still normal. Based on the regression results obtained values of the regression is Y = 0,019X2 - 1,358X + 52.49 with a coefficient of determination (R2) of 0.419 indicates that only 41.9% of the variation observed in the shrimp seed quality can be described by polynomial models and the rest 58.1% of the remaining unexplained. Coefficient value (r) of 0.647 indicates there is a positive correlation between the health management of shrimp fry quality. It can be stated that the better health of hatchery management, the better quality of the fry shirmp produced by the hatchery.

(2)

ABSTRAK

PENERAPAN MANAJEMEN KESEHATAN PANTI BENIH

UDANG WINDU (Penaeus monodon) DAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DI KALIANDA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh

RICO WAHYU PRABOWO

Budidaya udang merupakan salah satu usaha yang prospektif bagi Indonesia yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Kalianda, Lampung Selatan merupakan sentra panti benih udang windu dan vannamei yang terbesar di Lampung. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan observasi terhadap manajemen kesehatan udang yang diterapkan oleh para pembudidaya udang windu maupun udang vannamei yang ada di Lampung Selatan dan membuat hubungan antara manajemen kesehatan benih dengan kualitas benih udang windu dan udang vannamei yang dihasilkan oleh panti benih di Lampung Selatan. Data manajemen kesehatan udang di peroleh dengan metode wawancara dan kualitas benih udang diperoleh dari pengamatan di laboratorium dengan pengamatan respon cahaya, aktivitas berenang, abnormalitas, kandungan isi perut, lipid droplet, kondisi hepatopankreas dan pigmentasi. Dari 22 panti benih yang diamati diperoleh 3 tinggi, 6 sedang dan 13 rendah. Sedangkan kualitas benih udang bebas virus WSSV dan IHHNV serta kandungan bakteri dalam tubuh benih udang

masih normal. Berdasarkan hasil regresi nilai dari regresi yang diperoleh adalah Y = 0,019X2 – 1,358X + 52,49 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,419

menunjukkan bahwa hanya 41,9% variasi pengamatan pada kualitas benih udang yang dapat dijelaskan dengan model polinomial dan sisanya sebesar 58,1% sisanya yang tidak dapat dijelaskan. Nilai koefisien (r) sebesar 0,647 menunjukan terdapat hubungan korelasi positif antara manajemen kesehatan dengan kualitas benih udang. Maka dapat dinyatakan bahwa semakin baik manajemen kesehatan panti benih maka akan semakin baik kualitas benih yang dihasilkan oleh panti benih.

(3)

PENERAPAN MANAJEMEN KESEHATAN PANTI BENIH

UDANG WINDU (Penaeus monodon) DAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DI KALIANDA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh

RICO WAHYU PRABOWO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PERIKANAN

Pada

Jurusan Budidaya Perairan/ Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PENERAPAN MANAJEMEN KESEHATAN PANTI BENIH

UDANG WINDU (Penaeus monodon) DAN UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei) DI KALIANDA KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

( Skripsi )

Oleh

RICO WAHYU PRABOWO

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)
(8)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Diagram Alir Pemikiran ...4

2. Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon) ...6

3. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon) ...7

4. Morfologi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ...10

5. Siklus Hidup Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ...11

6. Hasil Kuisioner Panti Benih di Kalianda Lampung Selatan ...61

7. Peta Pengambilan Sampel ...76

(9)

ii

2.1.3. Pertumbuhan Larva Udang Windu (Penaeus monodon) ... 7

2.2. Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ... 9

2.2.1. Klasifikasi ... 9

2.2.2. Morfologi ... 9

2.2.3. Pertumbuhan Larva Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ... 11

2.3. Mekanisme Pertahanan Tubuh Udang ... 12

2.4. Pengamatan Udang Sehat ... 13

(10)

iii

2.6.1. Pemilihan Lokasi ... 23

2.6.2. Fasilitas Pemeliharaan Larva ... 24

2.6.2.1. Fasilitas Pokok ... 24

2.6.2.2. Fasilitas Pendukung ... 25

2.6.3. Kegiatan Pemeliharaan Larva ... 26

2.6.3.1. Persiapan Bak dan Media Pemeliharaan Larva ... 26

2.6.3.2. Penebaran Naupli ... 27

2.6.3.3. Pengelolaan Pakan ... 28

2.6.3.4. Pengelolaan Kualitas Air ... 30

2.6.3.5. PemantauanPertumbuhan ... 32

2.6.3.6. Pengendalian Penyakit ... 33

2.7. Manajemen Kesehatan Udang ... 34

2.7.1. Biosekuritas ... 35

2.7.2. Pemilihan Benih ... 35

2.7.2.1. Penentuan Panti Pembenihan Udang ... 35

2.7.2.2. Pemilihan Benih ... 35

2.7.2.3. Persyaratan Kualitatif Benih Uji ... 36

2.7.3. Manajemen Lingkungan ... 37

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 38

3.2. Peralatan dan Bahan ... 38

3.3.3. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel ... 44

3.3.5. Pengambilan Sampel ... 44

3.3.5. Pengamatan Kesehatan Benih Udang ... 44

3.3.6. Identifikasi Penyakit Udang ... 50

3.4. Parameter yang diamati ... 57

3.5. Analisis Data ... 57

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penerapan Manajemen Kesehatan pada Panti Benih ... 58

4.1.1. Air dan Benur ... 61

4.1.2. Karantina... 63

4.1.3. Kesehatan Udang ... 65

(11)

iv

4.1.5. Manajemen Personil ... 69

4.2. Proses Kerja Panti Benih Udang ... 71

4.2.1. Budidaya yang Baik ... 71

4.2.2. Budidaya yang Buruk ... 73

4.3. Lokasi Pengambilan Sampel ... 75

4.4. Pengamatan Kualitas Benih Udang ... 76

4.4.1. Pengamatan Respon Cahaya pada Benih Udang ... 79

4.4.2. Pengamatan Kemampuan Berenang ... 81

4.4.3. Pengamatan Abnormalitas ... 82

4.4.4. Pengamatan Pigmentasi ... 84

4.4.5. Pengamatan Kandungan Isi Perut ... 85

4.4.6. Pengamatan Lipid Droplet ... 87

5.4.7. Pengamatan Kondisi Hepatopankreas ... 88

4.4.8. Pengamatan Penyakit ... 90

4.4. Hubungan Manajemen Kesehatan dengan Kualitas Benih Udang ... 96

4.5.1. Metode Regresi Linier ... 96

V. KESIMPULAN 5.1. Simpulan ... 100

5.2. Saran ... 100

(12)

v

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Umur dan Panjang Tubuh Larva Udang Windu (Penaeus monodon) ... 9

2. Kualitas Air pada Pembenihan Udang ... 37

3. Alat dan Bahan Uji PCR ... 38

4. Alat dan Bahan Pengamatan Kualitas Benih Udang ... 39

5. Gejala Udang Terkena Penyakit Bakteri dan Parasit ... 51

6. Hasil Kuisioner tentang Air dan Udang ... 63

7. Hasil Kuisioner tentang Karantina Udang ... 65

8. Hasil Kuisioner tentang Kesehatan Udang ... 67

9. Hasil Kuisioner tentang Pemeliharaan Udang ... 69

10. Hasil Kuisioner tentang Manajemen Personil ... 71

11. Pengamatan Kualitas Benih Udang ... 78

12. Kualitas Benih Udang terhadap Respon Cahaya ... 80

13. Kualitas Benih Udang terhadap Kemampuan Berenang ... 82

14. Persentase Abnormalitas Benih Udang di Kalianda-Lampung Selatan ... 83

15. Pengamatan Pigmentasi Benih Udang di Kalianda-Lampung Selatan ... 85

16. Pengamatan Kandungan Isi Perut pada Benih Udang... 87

17. Pengamatan Lipid Droplet Benih Udang di Kalianda-Lampung Selatan .. 88

18. Pengamatan Hepatopankreas pada Benih Udang ... 90

(13)

Dialah yang mengajarkan manusia dari segala yang

belum diketahui…….…(Q.S. Al-Alaq. 5)

Barang siapa menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya

jalan menuju surga,………( H.R. Muslim)

Gunakanlah Kesempatan Semaksimal Mungkin Karena Kesempatan

Tidak Datang Kedua Kali………(Rico Wahyu)

Tak Ada Suatu Hal Yang Tak Mungkin Karena Semua Mungkin

(14)

Kupersembahakan karya kecil ini

kepada Papa dan Mama serta

keluarga tercinta yang selalu

mendo’akan memberikan

dukungan dan motivasi.

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 28 April 1992,

sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari Bapak

Wahyono, S.Pd dan Ibu Sumini.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK

Maarif Taman Cari Purbolinggo pada tahun 1998, Sekolah

Dasar (SD) diselesaikan di SD Negeri 2 Purbolinggo pada tahun 2004, Sekolah

Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 1 Purbolinggo pada tahun

2007, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Muhammadiyah

1 Purbolinggo pada tahun 2010.

Tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Budidaya Perairan Universitas

Lampung melalui jalur undangan. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah

menjadi asisten praktikum Biologi Perikanan, Biologi Akuatik, Fisiologi Hewan

Air, Budidaya Air Laut dan Payau, Penyakit dan Parasit pada Organisme Air,

Genetika Pemulyaan Ikan dan Manajemen Kesehatan Ikan. Selama menjadi

mahasiswa penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kampus yaitu sebagai Duta

Pertanian 2011. Penulis juga aktif dalam berorganisasi sebagai anggota dari

Hidrila bidang penelitian dan pengembangan (Litbang) tahun 2011/2012. Penulis

melakukan Praktek Kerja Lapang di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air

Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat. Penulis juga telah melakukan kegiatan

Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Mulyosari, Kecamatan Pasir Sakti, Lampung

(16)

SANWACANA

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena

berkat rahmat dan karunia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Penerapan Manajemen Kesehatan Panti Benih Udang

Windu (Penaeus monodon) dan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Di

Kabupaten Lampung Selatan” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana Perikanan di Universitas Lampung .

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung;

2. Ir. SitiHudaidah, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Budiadya Perairan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan selaku pembahas yang telah

memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi

3. Yudha T. Adiputra, S.Pi., M.Si, selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya

untuk memberikan bimbingan, ilmu, motivasi, saran dan kritik dalam proses

(17)

4. Esti Harpeni, S.T., MAppSc, selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya

untuk memberikan bimbingan, ilmu, motivasi, saran dan kritik dalam proses

penyelesaian skripsi ini;

5. Mahrus Ali, S.Pi., M.P, selaku Penguji Utama pada ujian skripsi; terimakasih

atas masukan dan saran-saran dalam proses penyelesaian skripsi ini;

6. Wardiyanto, S. Pi., MP, selaku Pembimbing Akademik, terimakasih atas

bimbingan selama menjalani perkuliahan ini;

7. Seluruh staf pengajar di Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung,

terima kasih atas ilmu yang telah diberikan;

8. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Jurusan Budidaya Perairan Universitas

Lampung, terima kasih atas kerjasama dan bantuannya;

9. Yang tercinta Papa dan Mama atas kasih sayang, doa yang tulus, kesabaran,

motivasi dan dukungannya selama ini;

10. Buat Kakakku, Agung Wahyu Prabowo dan Adikku Anggun Novita Sari atas

doa dan dukungannya untuk selalu berjuang bersama mewujudkan mimpi

menjadi kebanggaan Papa Mama;

11. Anisa Septa Rini, terima kasih atas perhatian, dukungan, motivasi dan

kesabaran dalam menemani langkah saya selama ini;

12. Keluarga besar TK Maarif Taman Cari, Keluarga besar SDN 2 Taman Cari,

Guru-guruku di SMPN 1 Purbolinggo, Guru-guruku di SMAN 3 Kota Metro

terima kasih atas ilmu, semangat dan dukungannya hingga bisa melanjutkan

sampai sekarang ini.

13. Rekan – rekan angkatan 2010 ; Soma, Aan, Fauzy, Ali, Febri, Baihaqi,

(18)

Median, Sopan, Robet, Anjar, Yuti, Ardi, Dio, Erwin, Regi, Aris, Anggi,

Sandi, sigit, Prio, Arya, Adi, Anggara, Bika, Roma, Jelita, Sera, Rima, Dike,

Rima, Tita, Nyik, Yuli, Dwinda, Tika, Rosi, Niki, Winda, Windi, Septi, Eli,

Asri, Siti, Friska, Dian, Duma, Riska, Sapi, Mauli, Asova, Olip, Memey,

Fani, Aulia terimakasih atas kebersamaannya dan bantuannya selama ini;

14. Kakak-kakak 2004-2009 dan adik-adik 2011-2013 Budidaya Perairan Unila,

atas dukungan, motivasi dan semangatnya;

15. Bapak Yahya terima kasih atas motivasi dan semangatnya;

16. Teman-teman rekreator Ali, Fauzy, Hermawan, Pebri, Aris, Baihaqi, Soma,

Aan yang telah memberikan semangat dan kebersamaannya;

17. Masyarakat Kecamatan Pasir Sakti yang telah memberikan pelajaran hidup

yang berarti pada Kuliah kerja Nyata (KKN) tahun 2013;

18. Teman-teman seperjuangan KKN desa Mulyosari Bondan, Burhan, Ayska,

Ayu, Rara, Cimeng, Citut, Atu, Kristian, Candra terima kasih atas

kebersamaan dan bantuan selama 40 hari disana;

19. Teman-teman KKN pasir sakti Pandu, Ando, Boby, Arnold, Bangun, Budi,

Rico, Koko, Aris, Uty, Ayu, Citra, Biyanti, Citra, Tiara, Baron, Candra,

Baskoro, Remon dan yang lainnya terima kasih atas kebersamaan dan

bantuan selama saya menjadi Koordinator Kecamatan Pasir Sakti

20. Sahabat – Sahabatku anak kosan Bumi Manti, Adi, Muxdin, Raju, Donal,

Imung, Roy, Ricky, Hasan dan Yoni terima kasih sudah menjalin

kebersamaan.

21. Sahabatku Batalyon Aconk, Topeng, Bodong, Catur telah mewarnai hidupku

(19)

22. Teman tim skripsiku Aris Candra Prihantoro dan Nyi Ayu Ika Pratiwi terima

kasih atas saran dan semangatnya;

23. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu yang telah

memberikan bantuan dalam penulisan skripsi.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Bandar Lampung, 22 September 2014

Penulis

(20)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Budidaya udang merupakan salah satu usaha yang prospektif dilihat dari tujuan utama

adalah ekspor ke Jepang, Eropa dan Amerika Serikat (Mahmud et al., 2007). Total produksi perikanan budidaya mencapai 60 juta ton pada tahun 2010 dengan nilai

US$119.4 milyar (FAO, 2012). Total produksi budidaya udang dunia sebanyak 77%

diantaranya diproduksi oleh negara-negara Asia termasuk Indonesia (FAO, 2012).

Luas areal tambak udang di Indonesia saat ini sekitar 344.759 ha atau sekitar 39,78 %

dari potensi lahan yang tersedia yakni seluas 866.550 ha yang tersebar di seluruh

Indonesia (Arifin et al., 2012). Terdapat 80% areal luas tambak diantaranya adalah

tambak milik petani yang masih dikelola secara tradisional sehingga produktivitasnya

masih rendah (Arifin et al., 2012). Luasan tambak udang yang ada yang cukup besar,

maka Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar sebagai salah satu produsen

produk perikanan budidaya, terutama udang. Maka perlu adanya pengembangan

dalam sistem budidaya udang windu (Penaeus monodon ) maupun udang vannamei

(Litopenaeus vannamei) yang lebih baik.

Pembenihan mempunyai peran penting dalam proses budidaya karena pembenihan

merupakan proses awal dari budidaya (Sano et al.,1985). Pembenihan udang yang

(21)

2 Budidaya Ikan yang Baik (CBIB). Lampung mempunyai 4 panti benih yang

bersertifikat yang semuanya merupakan panti benih yang ada di Lampung Selatan.

Budidaya udang sudah dibudidayakan sejak akhir tahun 70-an (Muliani et al., 2003).

Akan tetapi masalah utama yang dihadapi oleh pembudidaya udang windu dan

vannamei adalah masalah penyakit yang sampai sekarang sukar untuk diatasi

(Sukenda et al., 2009). Hal ini dikarenakan kondisi kekebalan benih udang yang

belum berkembang secara sempurna sehingga mempermudah masuknya penyakit ke

dalam tubuh benih udang (Muliani et al., 2003). Penyakit yang sering menyerang

benih udang adalah virus, bakteri dan parasit (Sano et al.,1985).

Penyakit yang menyerang udang windu dan vannamei, virus merupakan penyakit

yang sering menyerang. Jenis virus yang sering menyerang udang diantaranya adalah

White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan Infectious Hypodermal and Haematopoietic

Neckrosis Virus (IHHNV ). Penyakit ini yang menyebabkan kematian total pada

benih udang yang dibudidayakan. Selain virus, penyakit pada benih udang juga

disebabkan oleh parasit dan bakteri. Bakteri yang sering menyerang benih udang

windu dan vannamei adalah jenis bakteri Vibrio sp. (Rukyani, 1992).

Pengendalian penyakit yang lebih efektif adalah pencegahan penyakit. Cara

pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan manajemen kesehatan

(22)

3

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. melakukan observasi terhadap manajemen kesehatan udang yang diterapkan

oleh para pembenih udang windu maupun udang vannamei yang ada di

Lampung Selatan.

2. membuat hubungan antara manajemen kesehatan benih dengan kualitas benih

udang windu dan udang vannamei yang dihasilkan oleh panti benih di

Lampung Selatan.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat

mengenai benih udang yang bebas dari penyakit dan sistem budidaya udang yang

(23)

4

1.4. Kerangka Pemikiran

Budidaya udang perlu menerapkan konsep manajemen kesehatan (Gambar 1) untuk

meminimalisir udang terserang penyakit.

Gambar 1. Diagram Alir Pemikiran Kabupaten Lampung Selatan

Sentra Panti Benih Udang

Udang Windu Udang Vannamei

Infeksi Penyakit

Penerapan Manajemen Kesehatan Benih Udang

Virus Bakteri Parasit

Kualitas Benih Udang Meningkat

Penyakit Non Infeksi

(24)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Udang Windu (Penaeus monodon)

2.1.1. Klasifikasi

Udang windu digolongkan dalam famili Penaeidae pada filum Arthropoda. Suwignyo

(1990) mengklasifikasikan udang windu sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Fillum : Arthropoda

Subfillum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Famili : Penaeidae

Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus monodon

2.1.2. Morfologi

Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala dan dada (cephalothorax)

dan perut (abdomen). Pada bagian cephalothorax terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas

(25)

6 dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan 5 pasang

kaki jalan (periopoda). Bagian perut atau abdomen terdiri dari 6 ruas yang tersusun

seperti genting. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang (Pleopod) dan

sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson yang

berfungsi sebagai alat kemudi (Tricahyo, 1995).

Tubuh udang windu dibentuk oleh 2 cabang (biramous), yaitu exopodite dan

endopodite. Udang windu mempunyai tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti

kulit luar atau eksoskleton secara perodik yang biasa disebut dengan istilah moulting

(Mujiman dan Suyanto, 1999). (Gambar 1).

Gambar 2. Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon)( Suwignyo, 1990). Udang penaeid dapat dibedakan dengan yang lainnya oleh bentuk dan jumlah gigi

pada rostrumnya. Udang windu mempunyai 2-4 gigi pada bagian tepi ventral rostrum

dan 6-8 gigi pada tepi dorsal (Mujiman dan Suyanto, 1999). Udang windu betina

mempunyai thelicum sebagai alat reproduksinya. Letak thelicum berada diantara

(26)

7 pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5 dengan lubang saluran kelaminnyua terletak diantara

pangkal kaki ke-3. Sedangkan alat kelamin udang jantan disebut petasma yang

terletak pada kaki renang pertama. Udang windu bersifat kanibalisme yaitu suka

memangsa jenisnya sendiri. Hal ini terjadi jika udang windu kekurangan pakan.

2.1.3. Perkembangan dan Pertumbuhan Larva Udang Windu

Perkembangan dan pertumbuhan larva udang windu mengalami beberapa perubahan

bentuk dan pergantian kulit (moulting). Secara umum pergantian kulit larva dimulai

dari menetas sampai menjadi post larva (PL) yang siap untuk ditebar dalam tambak.

Ada empat fase larva udang windu yang perlu diketahui yaitu: fase nauplius, zoea,

mysis dan post larva (Gambar 3).

(27)

8 Setelah telur menetas, larva udang windu mengalami perubahan bentuk beberapa kali

seperti pada gambar diatas yaitu :

1. Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama

46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit.

2. Periode zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar

96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit.

3. Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam

dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali.

4. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang windu mencapai sub

stadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang

lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt.

5. Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang

menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt.

6. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga

udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad,

udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan.

Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt (Soetomo,

(28)

9

Tabel 1. Umur dan Panjang Tubuh Larva Udang Windu (Penaeus monodon )

Tahapan Udang Rata-rata Panjang

2.2. Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)

2.2.1 Klasifikasi

Udang vannamei digolongkan ke dalam genus Penaeid pada filum Arthropoda.

Klasifikasi udang vannamei adalah sebagai berikut (ITIS, 2013):

(29)

10

2.2.2 Morfologi

Tubuh udang vannamei dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala yang

menyatu dengan bagian dada (cephalothorax) dan bagian tubuh sampai ekor

(abdomen). Bagian cephalothorax terlindung oleh kulit kitin yang disebut karapaks.

Bagian ujung cephalotorax meruncing dan bergerigi yang disebut rostrum (Lestari,

2009). Udang vannamei memiliki dua gerigi di bagian ventral rostrum, sedangkan di

bagian dorsalnya memiliki 8-9 gerigi. Jumlah keseluruhan ruas badan udang

vannamei umumnya sebanyak 20 buah. Cephalotorax terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas

di bagian kepala dan delapan ruas di bagian dada. Ruas ke-1 terdapat mata

bertangkai, sedangkan pada ruas ke-2 dan ke-3 terdapat antenna dan antennula yang

berfungsi sebagai alat peraba dan pencium. Rahang (mandibula) terdapat pada ruas

ke-3 yang berfungsi sebagai alat untuk menghancurkan makanan sehingga dapat

masuk ke dalam mulut (Zulkarnain, 2011).

(30)

11 Bagian dada udang vannamei terdapat 8 ruas yang masing-masing ruas terdiri dari

anggota badan yang biasa disebut thoracopoda. Thoracopoda ke-1 sampai ke-3

dinamakan maxilliped yang berfungsi sebagai pembantu mulut dalam memegang

makanan. Thoracopoda ke-4 sampai ke-8 berfungsi sebagai kaki jalan (periopoda).

Bagian abdomen udang vannamei terdapat 6 ruas. Ruas ke-1 sampai ke-5 merupakan

bagian kaki renang (pleopoda), sedangkan pada ruas ke-6 berbentuk pipih dan

melebar yang dinamakan uropoda yang bersama-sama dengan telson berfungsi

sebagai kemudi saat berenang (Zulkarnain, 2011).

2.2.3. Perkembangan dan Pertumbuhan Larva Udang Vannamei

Hampir sama dengan udang windu proses pertumbuhan udang vannamei dengan

mengalami beberapa perubahan bentuk dan pergantian kulit (moulting). Secara umum

pergantian kulit larva dimulai dari menetas sampai menjadi post larva (PL) sampai

udang dewasa. Ada empat fase larva udang vannamei yaitu : fase nauplius, zoea,

mysis dan post larva (PL). Secara umum proses perkembangan udang vannamei dapat

(31)

12

Gambar 5. Siklus Hidup Udang Vannamei (Wyban dan Sweeney, 1991).

2.3. Mekanisme Pertahanan Udang

Lapisan kutikula merupakan organ pertahanan pertama yang memegang peran

penting dalam melawan patogen potensial dan kerusakan fisik. Kutikula terdiri dari

lipid, protein dan kalsium yang menutupi insang, esophagus dan abdomen

(Alday-sanz,1995).

Udang memiliki suatu respon imunitas yang merupakan upaya proteksi terhadap

infeksi penyakit. Sistem imunitas udang dapat bekerja baik spesifik maupun

nonspesifik (Alifuddin 2002). Udang tidak memiliki immunoglobulin dan T-limposit

yang dapat mendeteksi adanya benda asing yang masuk, maka mekanisme pertahanan

utama dari udang adalah sistem pertahanan seluler yang bekerja memfagosit benda

(32)

13 Fagosit adalah penangkapan partikel asing oleh sel tubuh. Reaksi fagosit dilakukan

oleh sel hemolym (sel darah) yang disebut hemosit udang. Pertikel asing akan

ditangkap oleh sirkulasi hemozit dan dihambat oleh partikelnodul hemozit dengan

membangun beberapa lapisan sel darah dalam sirkulasi darah. Respon pertahanan

tubuh udang meliputi respon pertahanan seluler yang dilakukan oleh sel-sel hemozit

bergranula dan respon pertahanan humoral yang dilakukan oleh phoenolokidase,

prophenoloksidase dan lisosom (Anggeraheni, 2001).

2.4. Pengamatan Secara Visual pada Udang yang Sehat

Kriteria benih udang udang sehat berdasarkan pengamatan secara visual adalah:

1. Gerakan aktif dan berenang normal;

2. Respon positif terhadap arus, cahaya, bayangan, dan sentuhan;

3. Tubuh berwarna cerah, berbelang putih dan hitam yang jelas;

4. Tubuh bersih, licin, tidak ada kotoran atau lumut menempel;

5. Tubuh tidak keropos, anggota tubuh lengkap;

6. Kotoran (bentuk memanjang, warna coklat/hitam/hijau, tidak mengapung);

7. Ujung ekor tidak geripis, tidak membengkak dan warna garis terangnya putih,

tidak kusam;

8. Ekor dan kaki jalan tidak menguncup;

9. Insang jernih dan bersih;

10.Kondisi isi usus penuh di bawah sinar matahari, dan tidak terputus-putus

(33)

14

2.5. Penyakit Udang

2.5.1. Penyakit Viral

Virus merupakan mikroorganisme yang menginfeksi sel organisme biologis. Virus

hanya dapat bereproduksi di dalam material hidup dengan menginvasi dan

memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan selular

untuk bereproduksi sendiri (Campbell et al., 2002). Virus mengandung sejumlah

kecil asam nukleat yang diselubungi semacam bahan pelindung yang terdiri atas

protein, lipid, glikoprotein, atau kombinasi ketiganya. Genom virus memiliki protein

yang digunakan untuk memuat bahan genetik dan protein yang dibutuhkan dalam

daur hidupnya (Hendrix, 2000). Sesuai dengan laporan dari SEAFDEC (1996) bahwa

dari 20 panti benih yang terdapat di Ilo-Ilo Philipina, secara histologis 18% dari

sampel yang diperoleh dinyatakan terinfeksi oleh MBV dan 45% oleh

Hepatopancreatic Parvo-like Virus (HPV). Kemudian Puslitbang Perikanan (1994)

melaporkan bahwa telah diketahui adanya infeksi penyakit oleh virus atau virus-like

pada komoditas udang di Indonesia, terutama oleh White Spot Baculo Virus (WSBV)

dan Monodon Baculo Virus (MBV). Virus yang akhir-akhir ini menyerang udang

windu adalah White Spot Syndrome Virus (WSSV). Penyakit ini dapat menyerang

udang berbagai stadia mulai benih udang hingga dewasa. Penyakit ini akan

menyebabkan kematian massal pada udang yang menyebabkan kegagalan panen.

Oleh karena itu virus dipertimbangkan sebagai patogen yang paling berbahaya pada

(34)

15

2.5.1.1. White Spot Syndrome Virus (WSSV)

a. Klasifikasi dan Morfologi

Virus WSSV termasuk dalam famili Baculoviridae dan merupakan virus DNA

beruntai ganda, yang terbagi dalam tiga subgroup yaitu virus polyhedral yang

berkembang biak di dalam inti sel dan membentuk badan inklusi yang di

dalamnya banyak mengandung partikel virus, virus granulosis yang mengandung

satu partikel virus pada tiap-tiap badan inktusinya, dan virus yang tidak

mengandung badan inklusi (Lightner, 1996).

Berdasarkan morfologi, ukuran, perkembangbiakan, patologi sel dan tipe asam

nukleat, WSSV ditempatkan pada genus non-oclusi baculovirus, sub family

Nudibaculovirus dan family Baculoviridae (Moore and Poss, 1999) yaitu virus yang

berbentuk batang menyerupai elips, terbungkus dalam satu sampul, berkembangbiak

dalam inti sel target (Moore and Poss, 2000) dan merupakan virus DNA berserat

rangkap dengan partikel virus mengandung polipeptida, dan satu atau lebih

nukleokapsid.

b. Patogenisitas

Udang yang terserang WSSV akan menunjukkan gejala berupa nafsu makan

berkurang, lemah, anoreksia, lethargi, bagian abdomen berwarna kemerahan dan

bintik putih, serta lepasnya kutikula dari tubuh (Bower, 1996). Indikasi lainnya

(35)

16 dengan luka pada antenna (Lio-Po et al., 2001). Fase awal infeksi WSSV adalah

adanya bintik putih pada kulit yang menyebar ke seluruh tubuh dan berkembang

semakin banyak diikuti dengan melebarnya bintik putih menjadi bercak (Rochman,

1995). Bercak putih berdiameter 0,5–3 mm disekitar lapisan epidermis. Hal ini timbul

karena adanya deposit kalsium oleh epidermis kutikula (Lightner, 1996). Menurut

Techner (1995) bercak putih disebabkan cairan getah bening yang sudah

terkontaminasi virus tercampur dengan seluruh cairan atau darah dalam tubuh udang.

Organ target utama yang diinfeksi WSSV adalah epitel kulit (kutikula) dan jaringan

ikat pada beberapa organ. Virus paling berat menginfeksi insang, sel epitel

subkutikula, organ limfoid, kelenjar antena dan hemolim, tetapi WSSV cenderung

menginfeksi dengan frekuensi yang kecil pada hepatopankreas, kelenjar epitel antena,

sel organ limfoid, syaraf dan fagosit pada hati (Bower, 1996). Gejala kronis ditandai

dengan perubahan warna tubuh udang menjadi kemerah-merahan, selanjutnya diikuti

dengan penempelan protozoa Zoothamnium dan Vorticella. Mortalitas yang tinggi

pada udang akan terjadi apabila dalam waktu beberapa minggu tidak ditangani.

c. Proses Timbulnya Penyakit

Adanya suatu penyakit pada hewan merupakan akibat dari interaksi inang, agen

penyakit, dan faktor lingkungan. Lingkungan perairan yang buruk cenderung

berpengaruh positif terhadap pertumbuhan patogen dan berpengaruh negatif bagi

organisme peliharaan (udang) karena dapat menyebabkan penyakit (Flegel and

(36)

17 sebagai pemicu adanya penyakit, misalnya: hujan deras, periode ternperatur rendah,

menjadi faktor utama dalam memperburuk lingkungan (Chanratchakool, 1998).

Virus merupakan parasit obligat yang secara keseluruhan kebutuhan hidupnya

bergantung pada sel inang yang diinfeksi, energi yang diperoleh digunakan untuk

reproduksi, sintesa protein, lemak, dan karbohidrat (Fenner et al., 1987). Umumnya,

sebagian besar serangan virus patogen berhubungan dengan stres karena kepadatan

yang tinggi, penanganan atau kondisi budidaya yang kurang optimum, pencemaran

air oleh bahan-bahan kimia, infeksi atau dampak dari ablasi mata (Sinderman, 1990).

Penyakit bintik putih pada udang merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh virus

hasil mutagenik. Terjadinya mutasi gen pada virus disebabkan oleh kondisi

lingkungan yang selalu menekannya. Lingkungan yang tidak sesuai membuat virus

melakukan mutasi gen dengan merubah bentuk dan sifat (Purnomo, 1995).

2.5.1.2. Infectious Hypodermal and Haematopoietic Neckrosis Virus (IHHNV)

IHHNV (Infectious Hypodermal and Haematopoietic Neckrosis Virus) biasanya akan

menyerang udang dengan gejala klinis sering naik kepermukaan air, jarang bergerak,

sering berputar-putar sebelum akhirnya tenggelam kedasar. Mortalitas dapat

mencapai 90% dalam beberapa minggi setelah terjadi infeksi pada benih udang (Bell

dan Lighner, 1987).

IHHNV dengan gejala udang berenang tidak normal, yaitu sangat perlahan-lahan,

(37)

18 waktu 4-12 jam sejak mulai timbulnya gejala tersebut. Udang penderita banyak yang

mati pada saat moulting. Pada kondisi akut, kulit udang akan terlihat berwarna

keputih-putihan, tubuh berwarna putih keruh, permukaan tubuh akan ditumbuhi oleh

diatomae, bakteri atau jamur, terlihat nekrosis pada kutikula, syaraf, antena, dan pada

mukosa usus depan serta usus tengah. Upaya pengendalian infeksi ini dengan

perbaikan kualitas air (Suyanto dan Mudjiman 2001).

2.5.2. Penyakit Bakterial

2.5.2.1. Vibrio sp.

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ada beberapa macam baik infeksi dan

noninfeksi. Diantara penyakit bakteri yang menyerang udang windu dan udang

vannamei adalah bakteri jenis vibrio yang sering terdeteksi pada benih udang udang

yang dipelihara. Serangan bakteri ini cepat (1-3 hari) dan dapat mengakibatkan

kematian mencapai 90% (Rukyani, 1993). Vibrio sp. merupakan bakteri Gram negatif

yang berbentuk batang, berifat anerob fakultatif, dan kemoorganotrof. Bakteri ini

dapat menyerang udang windu pada tahap larva hingga dewasa. Udang windu yang

terserang Vibrio sp. menunjukkan gejala pergerakan yang lambat, terdapat perluasan

bintik merah pada kaki jalan dan kaki renang, serta adanya bintik hitam pada bagian

insang (Austin, 1993).

Air merupakan salah satu media pertumbuhan bakteri. Kualitas air yang rendah dapat

memacu pertumbuhan bakteri, sehingga menjadi patogen dan dapat menimbulkan

(38)

19 dipertahankan, keberadaan Vibrio sp tidak akan menimbulkan penyakit (Muliani et

al., 1997). Syahrani (1995) dan Natawidjaya (1992) menjelaskan keberadaan Vibrio

sp pada air dipengaruhi oleh limbah yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas

perairan tambak. Besamya pengaruh serangan Vibrio sp. terhadap budidaya udang

windu menyebabkan identifikasi terhadap bakteri Vibrio sp. perlu dilakukan.

sehingga pengendalian penyakit Vibriosis pada udang windu dapat dilakukan secara

cepat dan tepat (Yudistira, 2001 ). Berikut ini penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Vibrio sp antara lain :

a. Penyakit Udang Menyala

Penyakit udang menyala menyerang udang pada stadia larva sampai dengan awal

pasca larva, dengan ciri-ciri antara lain larva yang terserang penyakit kelihatannya

menyala apabila diamati pada kondisi yang gelap, larva kelihatan lemah, tidak aktif

berenang, nafsu makan menurun, tampak bercak merah (red discoloration). Penyakit

yang menyerang adalah bakteri Vibrio sp. Penyakit ini terjadi pada saat musim hujan

dimana salinitas menurun. Selain itu perubahan temperatur yang menyolok antara

siang dan malam. Hal ini mengakibatkan perubahan lingkungan yang derastis yang

berakibat larva udang mengalami stres yang kemudian penyakit masuk kedalam

(39)

20

b. Nekrosis

Penyebab nekrosis ini adalah bakteri dari genus Vibrio yang merupakan infeksi

sekunder dari infeksi pertama yang disebabkan oleh luka, erosi bahan kimia atau

lainnya. Gejala yang terjadi pada udang antara lain muncul beberapa nekrosis

(berwarna kecoklatan) di beberapa tempat (multilokal), yaitu pada antena, uropod,

pleopod, dan beberapa alat tambahan lainnya, usus udang kosong, karena tidak ada

nafsu makan.

c. Septisemia

Penyebab septikimia adalah bakteri Vibrio alginolyticus,. Penyakit ini menyerang

melalui infeksi sekunder dari infeksi pertama yang disebabkan defisiensi vitamin C,

toxin, luka dan karena stres yang berat. Gejala yang terjadi dari udang windu antara

lain menyerang larva dan post larva terdapat sel-sel bakteri yang aktif dalam

haemolymph (sistem darah udang).

d. Penyakit Udang Bengkok

Penyebab penyakit ini adalah jenis bakteri Vibrio sp. Ciri-ciri larva udang yang

terserang penyakit ini antara lain badan larva tampak bengkok, gerakan kurang aktif,

tubuh, molting tidak sempurna dan antena berwarna merah. Usaha untuk mencegah

penyakit ini adalah dengan mengawasi kestabilan kualitas air baik suhu dan salinitas,

(40)

21 nilai nutrisi yang tinggi dan menambahkan kalsium serta mineral lain kedalam

makanan (Dinas Perikanan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995).

2.5.3. Penyakit Parasitik

Parasit adalah adalah organisme yang hidup pada tubuh organisme lain yang dapat

menimbulkan kerugian atau efek negatif pada organisme yang ditempatinya (Yanto,

2006). Parasit dapat merugikan dan membahayakan inang jika jumlahnya cukup

banyak. Infeksi parasit dapat mendatangkan kerugian kepada inang. Kerugian yang

ditimbulkan adalah menghambat pertumbuhan inang, menyebabkan terjadinya alergi,

menurunkan ketahanan inang terhadap penyakit lain dan dapat menyebabkan

kematian bagi benih udang (Levine, 1990).

2.5.3.1. Zoothamnium sp.

Zoothamnium sp. termasuk dalam filum: Protozoa, Kelas: Ciliata. Zoothamnium sp.

berbentuk kerucut yang hampir membulat. Parasit ini bersifat koloni yang tersusun

pada tangkai yang bercabang–cabang (Alifuddin, 1993).

2.5.3.2. Isopoda

Isopoda dapat menghambat perkembangan alat reproduksi udang. Parasit ini

menempel di daerah branchial insang (persambung antara insang dengan tubuh

udang), sehingga menghambat perkembangan gonad (sel telur) pada udang (Levine,

(41)

22

2.5.3.3. Parasit cacing

a. Cacing Cestoda, yaitu jenis Polypochepalus sp.

Bentuk cyste dari cacing ini terdapat dalam jaringan ikat di sepanjang saraf

bagian ventral. Parachristianella monomegacantha, berparasit dalam jaringan

intertubuler hepatopankreas.

b. Cacing Trematoda yaitu jenis Opecoeloides sp.

Parasit ini dapat ditemukan pada dinding proventriculus dan usus.

c. Cacing Nematoda yaitu jenis Contracaecum sp.

Parasit ini biasanya menyerang hepatopankreas udang yang hidup secara

alamiah. Nematoda merupakan anggota dari filum nemathelmintes yang

mempunyai saluran pencernaan yang lengkap dan rongga tubuh. Rongga

tubuh dilapisi dengan selaput seluler yang disebut pseudosel atau

pseudoseloma. Tubuh mematoda ditutupi dengan kutikula yang hanya terlihat

secara mikroskopis dan memiliki struktur yang bervariasi pada tiap spesies

(Levine, 1990). Kutikula pada nematoda berfungsi untuk mengambil oksigen

sebagai selubung pelindung yang lentur dan kenyal serta resisten terhadap

enzim pencernaan inang terutama untuk cacing dewasa. Kutikula terdiri dari

sejumlah lapisan dan sedikitnya lima protein yang berbeda. Terdapat tiga

lapisan dibawah kutikula yaitu lapisan korteks dipermukaan, lapisan matriks

(42)

23

2.6. Panti Benih (Hatchery) Udang

2.6.1. Pemilihan Lokasi

Persyaratan lokasi untuk membangun pembenihan udang antara lain :

1. Lokasi Panti Benih jauh dari kota dan lahan pertanian.

2. Panti benih harus jauh dari fasilitas produksi.

3. Lokasi panti benih adalah tempat yang berpasir dan berbatu dimana tempat

tersebut bersih, bebas dari cemaran, dan mempunyai kualitas air yang bagus

setiap tahunnya.

4. Bukan tempat yang sering terkena banjir dan berlumpur karena pada waktu

terjadi hujan air akan menjadi sangat keruh.

5. Lokasi untuk mendirikan panti benih tidak berdekatan dengan muara sungai

karena dapat menurunkan salinitas secara mendadak.

6. Lokasi panti benih juga harus bebas dari kontaminasi limbah pertanian dan

limbah industri.

7. Lokasi pembenihan harus terdapat akses listrik.

8. Sebaiknya panti benih bertempat di area yang banyak petani udang beroperasi,

agar larva yang diproduksi dapat dengan mudah dikirimkan dan disalurkan ke

tambak.

9. Pemilihan tempat untuk pembangunan panti benih harus dapat diakses dari

(43)

24

2.6.2. Fasilitas Pemeliharaan Larva

Fasilitas yang digunakan untuk pemeliharaan larva terbagi menjadi dua, yaitu fasilitas

pokok dan fasilitas pendukung yang secara prinsip diperlukan untuk usaha

pemeliharaan larva udang adalah sebagai berikut :

2.6.2.1. Fasilitas Pokok

1. Bak filter, yaitu bak penyaring air dengan komponen penyaring berupa koral,

pasir, arang, dan ijuk.

2. Bak tandon air tawar dan air laut, yaitu bak bak penampung air laut dan air

tawar yang terbuat dari beton dengan volume minimal 30% dari kapasitas

total bak pemeliharaan.

3. Bak pemeliharaan larva, yaitu bak tempat pemeliharaan larva yang terbuat

dari semen maupun fiber plastik dengan volume minimal 10 m3.

4. Bak kultur fitoplankton, yaitu tempat kultur fitoplankton sebagai penyedia

pakan untuk larva yang berbentuk persegi empat dengan volume 20% - 40%

dari bak larva.

5. Penetasan kista artemia, yaitu untuk menetaskan telur artemia sebagai

makanan larva udang yang berbahan fiber glass maupun plastik dengan

volume 0,02 m3.

6. Tenaga listrik, dapat disuplai dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di daerah

(44)

25 7. Pompa air atau sarana penyedia air: pompa air laut dengan kapasitas pompa

yang dapat memompa air laut dengan volume minimal 30 % per hari dari total

volume air yang dibutuhkan dalam bak pemeliharaan benih udang, dan pompa

air tawar dengan kapasitas minimal 5 % dari total volume air bak.

8. Aerasi blower atau hi blow, selang aerasi dan batu aerasi (Heryadi dan Sutadi,

1993)

2.6.2.2. Fasilitas Pendukung

1. Peralatan lapangan antara lain seser, saringan pembuangan air, kantong

saringan air, gelas piala, sepatu lapangan, senter, gayung, ember, timbangan,

selang, saringan pakan, alat sipon dan peralatan panen.

2. Peralatan laboratorium antara lain pengukur kualitas air (termometer,

refraktometer, pH meter atau kertas pH) dan mikroskop.

3. Generator. Peralatan ini sangat dibutuhkan, meskipun unit pembenihan

mempergunakan sumber listrik PLN, khususnya jika terjadi gangguan listrik

PLN (Heryadi dan Sutadi, 1993).

2.6.3. Kegiatan Pemeliharaan Larva

2.6.3.1. Persiapan Bak dan Media Pemeliharaan Larva

Bak yang akan digunakan untuk kegiatan pemeliharaan larva sebelumnya harus

dibersihkan dan diberi desinfektan. Bak dibersihkan menggunakan air bersih dan

(45)

26 bertujuan untuk membuang seluruh kotoran yang ada dalam bak pemeliharaan.

Kemudian diberi desinfektan berupa hypochlorite sebanyak 20 – 30 ppm, dan dibilas

menggunakan air bersih untuk menghilangkan sisa dari klorin, kemudian bak yang

sudah dibersihkan dijemur. Bak yang berada di luar ruangan dan bak yang berukuran

kecil dapat disterilisasi dengan cara penjemuran terhadap bak tersebut bak yang akan

digunakan untuk tempat pemeliharaan larva dibersihkan menggunakan bleaching

powder, kemudian dibilas menggunakan air tawar dan dijemur selama 24 jam.

Sebagian dari bak pemeliharaan diisi air laut, selanjutnya dilakukan pemasangan

aerasi pada beberapa titik bak pemeliharaan. sebelum bak pemeliharaan larva

digunakan untuk siklus selanjutnya, bak harus dicuci menggunakan larutan

Hydrocloric Acid (HCl) kemudian dibilas menggunakan air tawar atau air laut

(Subaidah, 2006).

Air yang masuk ke unit pembenihan harus dibersihkan dan diberi desinfektan berupa

klorin dan dilakukan proses filtrasi sebelum didistribusikan ke area pembenihan

seperti panti benih , kultur plankton, artemia, dan lain-lain. Air yang digunakan untuk

kegiatan pembenihan di panti benih harus difilter dan ditreatmen untuk mencegah

masuknya organisme yang membawa penyakit dan patogen yang terbawa oleh air.

Air yang akan digunakan, biasanya diberi desinfektan berupa klorin. Kemudian air

disaring menggunakan filter bag dan terakhir didesinfektan kembali menggunakan

sinar ultraviolet (UV) atau ozon. Air laut dalam bak pemeliharaaan larva ditreatmen

menggunakan EDTA sebanyak 10 ppm dan trefflan sebanyak 0,1 ppm (Subaidah,

(46)

27

2.6.3.2. Penebaran Naupli

Naupli ditebar setelah persiapan bak dan media pemelihraan larva selesai dilakukan.

Padat penebaran naupli maksimal adalah 100 ekor per liter dengan ukuran naupli

yaitu 0,5 mm. naupli yang akan ditebar pada bak pemeliharaan harus mempunyai

kualitas yang baik, berikut adalah ciri naupli yang mempunyai kualitas baik :

1. Warna coklat orange

2. Gerakan berenang aktif, periode bergerak lebih lama dibandingkan dari

periode diam

3. Kondisi organ tubuh lengkap, ukuran dan bentuk normal serta bebas pathogen

4. Respon terhadap rangsangan bersifat fototaksis positif

Kepadatan larva yang ditebar dalam bak pemeliharaan larva paling sedikit adalah 75

ekor naupli per liter. Naupli yang ditebar dalam bak pemeliharan larva mempunyai

kepadatan 100 sampai dengan 150 ekor naupli per liter atau atau 100.000 sampai

dengan 150.000 ekor naupli per ton. Penebaran naupli dilakukan pada pagi hari

dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu yang terlalu tinggi dengan cara

aklimatisasi. Sebelum naupli ditebar pada bak pemeliharaan larva, harus dilakukan

aklimatisasi. Aklimatisasi yang dilakukan berupa penyesuaian suhu dan salinitas air

terhadap naupli. Proses aklimatisasi ini dilakukan hingga menunjukan naupli sudah

(47)

28

2.6.3.3. Pengelolaan Pakan

A. Pakan Alami

Pakan alami yang diberikan kepada larva udang adalah fitoplankton dan zooplankton.

Beberapa jenis fitoplankton yang digunakan untuk makanan larva udang adalah

Skeletonema costatum, Tetraselmis chuii, dan Chaetoceros calcitrans. Sedangkan

naupli artemia merupakan zooplankton yang banyak diberikan pada larva udang. Hal

ini dikarenakan naupli artemia banyak mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan

oleh larva udang (Edhy et al., 2003).

Pemberian pakan alami berupa Chaetoceros diberikan mulai dari stadia zoea 1

sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan, karena pada stadia ini larva

udang masih memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai makanan. Pada stadia

naupli belum memerlukan makanan karena masih mempunyai cadangan makanan

berupa egg yolk selama 36 – 72 jam. Stadia zoea larva udang diberi makanan

Skeletonema sp., Chaetoceros sp. dan Thalassiosira (Edhy et al., 2003).

Pemberian algae berupa Chaetoserros dan Thalasiosiosira pada stadia naupli

diberikan sebanyak 60.000 sel/ml, stadia zoea 1 sebanyak 80.000 sel/ml, pada stadia

zoea 2 diberikan sebanyak 80.000 – 100.000 sel/ml, stadia zoea 3 –mysis 1 diberikan

sebanyak 100.000 sel/ml, dan pada stadia mysis 2 - 3 diberikan sebanyak 80.000

(48)

29 Kultur Artemia sebelumnya menentukan banyaknya Artemia yang dibutuhkan

sebagai pakan larva, setelah itu dilakukan kultur cyste Artemia dengan menebarkan

cyste Artemia dan memberikan aerasi yang kuat dalam tank kultur untuk

mempercepat penetasan. Setelah cyste menetas dilakukan pemisahan antara cangkang

Artemia dengan nauplinya, kemudian dilakukan pemanenan Artemia (Harefa, 2003)

Pemberian pakan artemia dilakukan enam kali dalam satu hari yaitu pada pukul

00.00, 04.00, 08.00, 12.00, 16.00, dan 20.00. Greece dan Fox (2000), menyatakan

bahwa naupli Artemia yang baru menetas diberi aerasi kemudian diberikan untuk

larva. Hal ini dilakukan agar naupli dalam penampungan sementara tetap dalam

kondisi hidup. Selanjutnya naupli Artemia diberikan menggunakan beaker glass

dengan cara ditebarkan secara merata (Harefa, 2003).

B. Pakan Buatan

Kriteria pakan buatan yang berkualitas baik adalah sebagai berikut:

1. Kandungan gizi pakan terutama protein harus sesuai dengan kebutuhan larva

udang

2. Diameter pakan harus lebih kecil dari ukuran bukaan mulut larva udang

3. Pakan mudah dicerna

4. Kandungan nutrisi pakan mudah diserap tubuh

5. Memilki rasa yang disukai larva udang

6. Kandungan abunya rendah

(49)

30 Pakan buatan yang biasa diberikan untuk larva udang adalah pakan yang berbentuk

bubuk, cair dan flake (lempeng tipis) dengan ukuran partikel sesuai dengan stadianya.

Kadungan nutrisi pada pakan buatan larva udang terdiri dari protein minimum 40 %

Pakan buatan yang akan diberikan sebelumnya disaring menggunakan saringan

berukuran 10 – 80 mikron. Pada stadia mysis pakan buatan diberikan dengan cara

disaring menggunakan saringan berukuran 50 – 150 mikron, Pakan buatan yang

diberikan pada stadia PL 1 – PL 8 sebelumnya disaring menggunakan saringan

berukuran 200 – 300 mikron, sedangkan pada stadia PL 9 sampai dengan panen

sebelumnya disaring menggunakan saringan dengan ukuran 300 – 500 mikron

(Kordi, 2010).

2.6.3.4. Pengelolaan Kualitas Air

Menjaga kualitas air pada media pemeliharaan larva dapat dilakukan dengan

penyiponan dan pergantian air. Penyiponan pada dasar bak dilakukan pada saat larva

masuk stadia zoea 2 – 3 selama pemeliharaan larva. Sisa pakan yang tidak termakan

dan hasil metabolisme yang berupa feses dibuang dari dasar bak pada waktu – waktu

tertentu (penggunan probiotik akan mengurangi penyiponan). Jika dalam dasar bak

pemeliharaan sudah terlihat kelebihan endapan, buang endapan ke dalam seser

kemudian pindahkan muatan yang tersaring ke dalam ember. Apabila pada saat

proses penyiponan terdapat larva yang terbawa dari bak pemeliharaan, larva dapat

(50)

31 Pergantian air selama pemeliharaan larva perlu dilakukan tergantung dari kepadatan

larva, stadia larva, dan kondisi kualitas air pada bak pemeliharaan larva. Pergantian

air dilakukan untuk mempertahankan kondisi parameter kualitas air dalam bak

pemeliharaan agar tetap stabil. Air yang digunakan pada proses pergantian air, harus

mempunyai kualitas yang lebih baik dari air pemeliharaan yang ada dalam bak. Air

yang akan digunakan harus sama dengan temperatur, salinitas, dan derajat keasaman

(pH) untuk menghindari stres pada larva akibat dari perubahan parameter secara

mendadak (Wardiningsih, 1999).

Pada umumnya bak pemeliharaan larva hanya diisi 50% dari kapasitas maksimal.

Kemudian selama stadia zoea, dilakukan penambahan secara berangsur-angsur sekitar

10% per hari dari kapasitas maksimal air yang baru (termasuk jumlah plankton yang

digunakan) sampai bak terisi penuh dan dilakukan hingga mencapai stadia mysis.

Pada stadia zoea tidak dilakukan pergantian air. Pada waktu masuk stadia mysis

dilakukan pergantian air sebanyak 10 – 30 % per hari. Pada stadia awal larva,

dilakukan pergantian air tetapi volume pergantian air lebih besar daripada stadia

sebelumnya, pada PL 1 – 4 dilakukan pergantian sebanyak 30 – 40% dan pada PL 5 –

8 dilakukan pergantian air sebanyak 40 – 50 %. Setelah stadia PL yang lebih besar

perlu dilakukan pergantian air sebesar 50 – 80 % per hari pada PL 9 – 12 dan

60 – 90 % per hari pada PL 13 – 16.yang berhubungan dengan parameter kualitas air

seperti suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut dilakukan pengecekan atau

(51)

32 dilakukan karena pada waktu-waktu tersebut terjadi fluktuasi parameter yang

signifikan (Treece et al., 2000).

2.6.3.5. Monitoring Pertumbuhan

Pengamatan pertumbuhan larva udang dilakukan bertujuan untuk mengontrol

pertumbuhan larva. Apabila pertumbuhan larva lambat dapat dipacu dengan

pemberian pakan yang berkualitas. Apabila pakan yang diberikan berkualitas baik,

jumlahnya mencukupi, dan kondisi lingkungan mendukung, maka dapat dipastikan

laju pertumbuhan udang akan lebih cepat sesuai yang diharapkan. Sedangkan untuk

mengamati kesehatan larva perlu dilakukan dengan pengamatan makroskopis dan

mikroskopis antara lain yaitu :

a. Pengamatan Makroskopis

Pengamatan makroskopis dilakukan secara visual dengan mengambil sampel

langsung dari bak pemeliharaan sebanyak 1 liter becker glass kemudian diarahkan ke

cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva, pigmentasi, usus, sisa pakan kotoran atau

feces dan butiran-butiran yang dapat membahayakan larva.

b. Pengamatan Mikroskopis

Pengamatan dilakukan dengan cara mengambil beberapa ekor larva dan diletakkan di

(52)

33 untuk mengamati morfologi tubuh larva, keberadaan parasit, patogen yang

menyebabkan larva terserang penyakit (Subaidah dan Pramudjo, 2008).

2.6.3.6. Pengendalian Penyakit

Penyakit merupakan salah satu permasalahan yang memerlukan penanganan secara

khusus. Timbulnya penyakit dapat bersumber dari berbagai aspek, seperti: air sebagai

media pemeliharan, peralatan pemeliharaan, pengaruh kontaminasi pakan,

lingkungan, maupun sanitasi dari masing-masing pelaksana produksi yang secara

langsung berhubungan dengan aktivitas pemeliharaan larva. Vorticella merupakan

salah satu jenis protozoa yang menyerang larva dengan cara menempel pada

permukaan tubuh larva atau insang pada semua stadia dalam kegiatan pemeliharaan

larva udang. Ketika permukaan tubuh, alat gerak, atau insang banyak terdapat

Vorticella, maka larva akan kesulitan dalam melakukan pergerakan, mensuplai

makanan, moulting, dan respirasi (Subaidah dan Pramudjo, 2008).

Penyakit yang paling serius mempengaruhi stadia larva udang disebabkan oleh jamur,

bakteri, dan virus. Pengobatan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya

penyebaran penyakit. Apabila tingkat kematian larva terlihat lebih banyak, larva

harus diamati dengan cara mengambil beberapa ekor larva untuk dijadikan sampel

agar dapat diketahui penyebabnya. Apabila teridentifikasi terdapat penyakit yang

menyerang harus dilakukan perlakuan. Perlakuan dilakukan dengan cara pemberian

(53)

34

2.7. Manajeman Kesehatan Udang

2.7.1 Biosekuritas

Konsep biosekuritas biasanya diterapkan pada instalasi karantina atau instalasi

produksi pemurnian kultur jaringan. Upaya pengamanan sistem budidaya dari

kontaminasi patogen yang berasal dari karir patogen luar dengan cara-cara yang tidak

merusak lingkungan. Hal-hal yang diterapkan antara lain :

a. Seluruh lingkaran luar unit usaha diberi pagar untuk mencegah hewan masuk

ke dalam unit tambak yang dapat menyebabkan penularan penyakit ke udang.

b. Air pasok dipompa masuk ke petak tandon, disaring menggunakakan kantung

plankton net dengan diameter 50 cm sepanjang 4 – 5 m sebanyak 3 – 5 buah

di atur paralel agar tidak mudah robek.

c. Saluran keliling dilapisi kain kasa (waring) untuk menjamin tidak adanya

organisme lain yang masuk atau keluar.

d. Roda kendaraan yang mungkin telah berjalan di atas pematang tambak lain

harus melalui dua kolam yaitu kolam pembersihan dan kolam disinfeksi untuk

menghindari adanya kontaminasi.

e. Peralatan panen, jala, ember, pompa dan kincir bahkan pekerja selalu diberi

disinfektan pada saat baru dikeluarkan atau akan dipakai di salah satu tambak.

f. Setiap pekerja ataupun pengunjung melakukan disinfeksi terhadap tubuhnya

dan menggunakan pakaian dan peralatan yang sudah disterilkan (BBPBAP

(54)

35

2.7.2. Pemilihan Benih

2.7.2.1. Penentuan Panti Pembenihan Udang

a. Menentukan pembenihan yang telah bersertifikat dan melaksanakan uji

polymerase chain reaction (PCR) terhadap induk udang windu yang dipakai

dan benih yang akan dijual.

b. Menentukan pembenihan yang tidak menggunakan pakan yang bersifat karier

penyakit untuk pakan induknya seperti kepiting, rajungan, dan udang mentah,

serta bebas antibiotik yang berbahaya.

c. Menentukan pembenihan yang telah menerapkan konsep biosekuriti.

d. Memilih pembenihan yang mencuci dan memilah sebagian benih yang

dijualnya dengan formalin 200 ppm selama 30 menit.

e. Memilih pembenihan yang menerapkan SNI Pembenihan Udang Windu.

2.7.2.2. Pemilihan Benih

a. Benih yang layak tebar telah mencapai ukuran PL12

1. Kepadatan benih di bak relatif konstan mulai PL8 - PL12.

2. Benih abnormal secara visual kurang 1 % dari populasi

b. Pada stadia PL10, benih lolos uji salinitas :

1. Seratus ekor PL direndam dalam air tawar.

2. Lima belas menit kemudian seluruh udang dikembalikan pada air laut.

3. Pengamatan hingga 15 menit dan dihitung persentase udang yang hidup.

(55)

36 c. Kelompok benih yang terpilih melalui uji salinitas selanjutnya diuji dengan

perendaman formalin dengan bahan aktif 37 % formaldehyde 200 ppm dengan

cara :

1. Minimum 100 ekor PL yang baru ditangkap dimasukkan kedalam ember

atau toples yang diberi aerasi lalu ditetesi formalin 200 ppm.

2. Setelah 30 menit, air diputar dan hitung udang yang stres dan mati.

3. Bila jumlah udang yang mati lebih dari 5 % benih tidak dipilih.

2.7.2.3. Persyaratan Kualitatif Benih yang Dapat dilihat dan diuji

a. Warna : warna tubuh transparan, kecoklatan atau kehitaman, punggung tidak

berwarna keputihan atau kemerahan.

b. Gerakan : gerakan berenang aktif, menentang atau menyongsong arus,

cenderung mendekat ke arah cahaya (fototaksis positif).

c. Kesehatan dan kondisi tubuh : kondisi tubuh benih udang yang sehat setelah

mencapai ukuran PL 10 organ-organ tubuhnya lengkap, maxilla, mandibulla,

antenulla dan ekor membuka, hepatopankreas transparan, usus penuh dan

gelap.

d. Responsif terhadap rangsangan: benih udang akan menjentik menjauh dengan

adanya kejutan atau jika wadah sampel benih udang diketuk, dan akan

berenang mendekati sumber cahaya jika ada rangsangan cahaya, serta

(56)

37

2.7.3. Manajemen Lingkungan Budidaya

Pengawasan lingkungan merupakan faktor penting dalam penentu keberhasilan suatu

budidaya (Lio-Po et al., 2001). Kegiatan pembenihan udang windu dengan metode

intensif mengakibatkan benih udang udang yang dibudidayakan menjadi mudah stres

karena padat tebar yang tinggi, penanganan, dan turunnya mutu kualitas air

(Hendrajat et al., 2007).

Parameter kualitas air media harus berada pada kondisi yang optimal. Parameter yang

berpengaruh dalam budidaya tersebut adalah pH, oksigen terlarut, nitrat, amonia,

bahan organik, suhu, salinitas, dan nitrit. Tingkat optimum serta kisaran kualitas air

yang mampu diterima oleh udang windu (Boyd, 2001).

Tabel 2. Kualitas Air Pembenihan Udang Windu

Komponen Kisaran Optimal

Salinitas 15 – 30 ppt

pH 7,5 – 8,7

Suhu 28 – 31,5ºC

Alkalinitas 90 – 150 ppm

Bahan Organik 45 – 55 ppm

PO4 0,1 – 0,5 ppm

NH3 0,03 – 0,25 ppm

(57)

38

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Maret sampai Mei 2014. Lokasi pengambilan

sampel meliputi wilayah Kalianda Kabupaten Lampung Selatan yang melalui

pengamatan di Laboratorium Budidaya Perikanan Universitas Lampung dan Stasiun

Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I

Lampung.

3.2. Peralatan dan Bahan

Tabel. 3. Alat dan Bahan Uji PCR

Alat Bahan

PCR Sampel udang windu dan udang vannamei

Alat bedah Lysis Buffer

Cold box DNA molecular weight marker Microtube 1.5 ml Larutan kloroform (CHCl3 )

Microtube 0.2 ml Dissolving solution

Timbangan digital Larutan RNA extraction

Vortex Etanol 95 %

Mikropipet Larutan DEPC DDH2O

Water bath First PCR premix Thermalcycler RT-PCR premix

Aluminium foil Iqzyme DNA polymerase Microwave NaCl fisiologis

Tangki elektroforesis P(+) standard WSSV

Uv transilluminator Kontrol negatif (yeast tRNA)

Gelred

1x TAE Buffer

(58)

39

Tabel. 4. Alat dan Bahan Pengamatan Kualitas Benih Udang

Alat Bahan

Mikroskop Sampel udang windu dan vannamei

Akuarium Media TCBS

Data dikumpulkan melalui teknik wawancara, metode dokumentasi, penentuan lokasi

pengambilan sampel, pengamatan kesehatan dan identifikasi penyakit.

3.3.1. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan dalam

penelitian (Lampiran 1). Wawancara dilakukan kepada teknisi atau pemilik panti

benih mengenai fasilitas, air dan udang, manajemen karantina, kesehatan udang,

manajemen pemeliharaan dan manajemen personil. Wawancara dilakukan untuk

memperoleh hasil penerapan manajemen kesehatan udang yang diterapkan pada

masing-masing panti benih. Adapun kriteria wawancara pada panti benih antara lain :

3.3.1.1. Air dan Benur

Air merupakan media hidup dari benih udang yang menjadi unsur terpenting bagi

kelangsungan hidup benih udang. Sedangkan benur (benih udang) merupakan

(59)

40 dari indukan yang baik juga. Kriteria air dan benih udang yang baik antara lain :

menggunakan sumber air yang bebas dari hewan air lainnya, air difilter terlebih

dahulu menggunakan filter dengan ukuran kecil untuk mencegah telur atau larva

hewan masuk melalui air, air diperlakukan desinfeksi yang dirancang untuk

mematikan karier udang liar, air yang telah dipersiapkan untuk budidaya telah

dipastikan tidak terdapat potensi karier patogen tertentu, fasilitas budidaya dirancang

untuk mencegah transmisi patogen melalui udara dari sumber air yang masuk,

fasilitas budidaya dirancang untuk mencegah transmisi patogen dari sekitar panti

benih dan sumber air yang masuk, naupli yang dipelihara dalam fasilitas budidaya

bersertifikat bebas dari patogen target, naupli dikarantina dahulu setelah sampai di

fasilitas budidaya, naupli dipindahkan dari dalam panti benih selama transportasi atau

kotak kemasan tidak menggunakan air yang berasal dari tempat asal.

3.3.1.2. Karantina

Karantina merupakan sistem yang menanggulangi penularan penyakit dengan cara

mengisolasi penyakit agar tidak menginfeksi organisme yang lain. Kriteria karantina

antara lain : sistem karantina udang atau udang sakit dirancang lebih awal sesuai

dengan prosedur operasional standar perusahaan terhadap panti benih, petak karantina

dibedakan pada ruang, gedung, atau area yang terisolasi secara fisik dengan panti

benih produksi, karantina digunakan secara tersendiri (isolasi), dengan mengunakan

sumber air dan pembuangan air yang terpisah dari panti benih produksi, apakah

naupli atau telur baru diaklimatisasi untuk diobservasi ketidaknormalan dalam

Gambar

Gambar 1. Diagram Alir Pemikiran
Gambar 2. Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon)( Suwignyo, 1990).
Gambar 3. Siklus Hidup Udang Windu (Penaeus monodon) (Suwignyo,1990).
Tabel 1. Umur dan Panjang Tubuh Larva Udang Windu (Penaeus monodon )
+6

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilaksanakan di petak-petak pendederan Udang Windu Desa Karang Song dan Desa Tambak Singajaya, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa

Daerah tambak Pasir Sakti khususnya desa Purworejo Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung Timur menerapkan sistem budidaya polikultur Udang windu ( Penaeus monodon ) dan ikan

Prevalensi tipe infeksi tunggal, ganda, dan tripel virus penyakit kerdil pada benih udang windu tidak berbeda berdasarkan musim, sementara prevalensi tipe terinfeksi lebih tinggi

Dari beberapa hasil uji pendahuluan yang t elah diperoleh dalam breeding pada udang windu yang bebas penyakit ( Spesific Patho- gen Free / SPF) dengan pendet eksian t erhadap

Hasil tugas akhir ini menunjukkan bahwa penerapan fungsi-fungsi manajemen dalam proses pemberian pakan larva udang Vannamei adalah Fungsi perencanaan, menetapkan

Prevalensi tipe infeksi tunggal, ganda, dan tripel virus penyakit kerdil pada benih udang windu tidak berbeda berdasarkan musim, sementara prevalensi tipe terinfeksi lebih tinggi

Dari beberapa hasil uji pendahuluan yang telah diperoleh dalam breeding pada udang windu yang bebas penyakit ( Spesific Patho- gen Free /SPF) dengan pendeteksian terhadap 7

Dengan ini saya menyatakan laporan akhir “Pembenihan Udang Vaname Litopenaeus vannamei di PT Central Proteina Prima, Kalianda dan Pembesaran di Tambak Pinang