• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI STRUKTUR DAN MODEL SISTEM PANAS BUMI DAERAH LILLI-SEPPORAKI BERDASARKAN ANALISIS DATA ANOMALI BOUGUER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IDENTIFIKASI STRUKTUR DAN MODEL SISTEM PANAS BUMI DAERAH LILLI-SEPPORAKI BERDASARKAN ANALISIS DATA ANOMALI BOUGUER"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

STRUCTURE IDENTIFICATION AND GEOTHERMAL SYSTEM MODEL OF LILLI-SEPPORAKI AREA BASED ON BOUGUER

ANOMALY DATA ANALYSIS

By

ANIS KURNIA DEWI

Indonesia is a region formed by the interaction of three tectonik plates of the earth that are moving each other. The movement of that tectonic plates could cause the fault and it will affect the stength of rock in its path.To know the existence of the fault structure and the condition of subsurface, so it is required the gravity method. This method are measured the variations of gravitational acceleration caused by the contrast rock density.

Gravity research done in around Lilli-Sepporaki area to knowing: Bouguer anomaly, subsurface structure based on 2,5D modelling, and also 3D gravity inversion. Data processing are used on this research, includes: gravity data reduction, spectrum analysis on Bouguer anomaly data to estimate the depth of anomaly, SVD analysis to estimate type of fault in research area, 2,5D modelling and 3D inversion model to estimate subsurface structure and Lilli-Sepporaki geothermal system on conceptual model.

(2)

Anis Kurnia Dewi of research area, (2) SVD analysis shows two of mayor fault aim at Northwest-Southeast that are a shear fault and normal fault, and (3) 2,5D modelling result shows that, a) cap rock zone was from alteration of rock Vulkanik Tak Terpisahkan Formation (Tvt) with density value 2,27 gr/cm3 and resistivity <50 m, b) reservoir zone was from Andesite Porfir Formation (Tp) with density value 2,45 gr/cm3 at 1000 m msl of depth and 500 m of thickness, c) heat source is estimated originate from Andesit Feldspatoid Formation (Tf) with 2,95 gr/cm3 at 3000 m msl of depth.

(3)

ABSTRAK

IDENTIFIKASI STRUKTUR DAN MODEL SISTEM PANAS BUMI DAERAH LILLI-SEPPORAKI BERDASARKAN ANALISIS DATA

ANOMALI BOUGUER

Oleh

ANIS KURNIA DEWI

Indonesia merupakan wilayah yang dibentuk oleh interaksi tiga lempeng tektonik penyusun bumi yang saling bergerak. Pergerakan ketiga lempeng tersebut dapat menimbulkan patahan dan akan mempengaruhi kekuatan batuan yang dilewatinya. Untuk mengetahui keberadaan struktur patahan dan kondisi bawah permukaan tersebut, diperlukan metode gayaberat. Metode ini mengukur variasi percepatan gravitasi yang ditimbulkan oleh perbedaan densitas antar batuan. Penelitian gayaberat dilakukan di daerah Lilli-Sepporaki dengan tujuan untuk mengetahui: Anomali Bouguer, struktur bawah permukaan berdasarkan pemodelan 2,5D dan model inversi 3D gayaberat. Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian, meliputi: Reduksi data gayaberat, analisis spektrum pada data anomali Bouguer untuk mengetahui kedalaman anomali, analisis SVD

(4)

Anis Kurnia Dewi Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Daerah Lilli-Sepporaki memiliki anomali Bouguer 44-67 mGal dengan anomali rendah pada bagian Utara dan anomali tinggi pada bagian Selatan daerah penelitian, (2) Analisis SVD pada metode gayaberat menunjukkan dua patahan utama berarah Barat Laut-Tenggara yang merupakan patahan mendatar dan patahan turun, dan (3) Hasil pemodelan 2,5D menunjukkan, a) zona cap rock berasal dari batuan alterasi Formasi Vulkanik Tak Terpisahkan (Tvt) dengan densitas 2,27 gr/cm3 dan resistivitas <50 m, b) zona reservoir berasal dari Formasi Andesit Porfir (Tp) dengan densitas 2,45 gr/cm3 pada kedalaman 1000 meter msl dan ketebalan 500 meter, c) heat source berasal dari Formasi batuan Andesit Feldspatoid (Tf) dengan densitas 2,95 gr/cm3 berada pada kedalaman 3000 meter msl.

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Metro pada tanggal 12 Maret 1993, sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari Bapak Margianto dan Ibu Umi Kulsum.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) PGRI Metro Timur diselesaikan tahun 1998, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD N 2 Metro Timur pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP N 2 Metro pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA N 1 Metro pada tahun 2010.

Tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa penulis terdaftar dan aktif di beberapa Organisasi Kemahasiswaan, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung sebagai staf Kesejahteraan Masyarakat pada tahun 2011-2012, Himpunan Mahasiswa Teknik Geofisika “Bhuwana” (HIMA TG “Bhuwana”) sebagai Sekretaris Umum pada tahun 2012-2013, American Association of Petroleum Geologist Student Chapter

(10)
(11)

i

Aku persembahkan karya kecil ini untuk:

Allah SWT

Ayahanda tercinta, Bapak Margianto

Ibunda terkasih, Ibu Umi Kulsum

Saudara kandungku satu-satunya,

Ananta Aufa Bakhtiar

dan Keluarga besarku

Teknik Geofisika UNILA 2010

Keluarga Besar Teknik Geofisika UNILA

Almamater Tercinta UNILA

(12)

“Hidupku untuk

-Mu, Apalagi matiku

(Salim A. Fillah)

Aku akan berjalan bersama mereka yang berjalan karena aku tidak akan berdiri diam

sebagai penonton yang menyaksikan perarakan berlalu.

(Khalil Gibran)

“Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi

kami dan Dia sebaik-baik

pelindung.”

(Qs. Ali Imran : 173)

Aku datang, aku bimbingan, aku ujian, aku revisi, dan aku menang.

(13)

Alhamdulillah-ii SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Identifikasi Struktur dan Model Sistem Panas Bumi Daerah Lilli-Sepporaki Berdasarkan Analisis Data Anomali Bouguer” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Hariyanto, selaku Rektor Universitas Lampung; 2. Bapak Prof. Drs. Suharno, M.Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Teknik Unila, Pembimbing Akademik, dan Penguji. Terima kasih untuk masukan dan saran-saran yang membangun;

3. Bapak Dr. H. Muh. Sarkowi, S.Si., M.Si., selaku pembimbing utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

4. Bapak Bagus Sapto Mulyatno, S.Si., M.T., selaku Ketua Jurusan Teknik Geofisika Unila;

(14)

iii masukan. Terima kasih atas waktu, ilmu, saran, kritik, dan inspirasi yang telah diberikan;

6. Dosen-dosen Jurusan Teknik Geofisika Unila, Bapak Prof. Drs. Suharno, M.Sc., Ph.D., Bapak Bagus Sapto Mulyatno, S.Si., M.T., Bapak Dr. H. Muh. Sarkowi, S.Si., M.Si., Bapak Alimuddin Muchtar, M.Si., Bapak Rustadi, M.T., Bapak Dr. Ahmad Zaenudin, S.Si., M.T., Bapak Ordas Dewanto, M.Si., Bapak Karyanto, M.T., Bapak Nandi H., M.Si., dan Bapak Syamsurijal R., M.Si., yang telah memberikan ilmu yang luar biasa dan memotivasi penulis untuk selalu menjadi lebih baik selama di perkuliahan Jurusan Teknik Geofisika Unila;

7. Seluruh Staf Tata Usaha Jurusan Teknik Geofisika Unila, Pak Marsono, Mbak Dewi, dan Mas Pujiono, yang telah memberi banyak bantuan dalam proses administrasi;

8. Staf Pusat Sumber Daya Geologi (PSDG) Bandung, Pak Asep, Pak Kholid, Pak Joni, Pak Toni, Pak Aziz, Pak Riski, Pak Fajar, dan Pak Reza. Terima kasih atas bantuannya selama 1,5 bulan penulis melaksanakan Penelitian Tugas Akhir di PSDG;

9. Sahabatku, Widatul Faizah MD dan Mega Khusnul Khotimah, terima kasih atas dukungan yang mengalir tiada henti-hentinya;

(15)

iv untuk setiap pahit manis cerita yang terukir sejak hari pertama upacara PROPTI. Semangat dan sukses untuk kita semua;

11. Kakak tingkat dan senior Teknik Geofisika angkatan 2007, 2008, 2009, khususnya Kak Sinku, (Alm.) Kak Agung, Kak Irfan, Kak Zuhron, dan Kak Zaivan, yang telah memberikan banyak dukungan dan masukan yang sangat bermanfaat untuk penulis;

12. Adik-adik tingkat angkatan 2011, 2012, 2013, dan 2014, yang selalu memberi semangat;

13. Teman-Teman alumni SMA Negeri 1 Metro: Faridhatul, Fertilia, Uswatun, Ranum, Meisanti, Anisatu, Yusuf, Virgus, Panji, Yudo, Septian, Dri, dll. serta Teman-teman alumni SMP Negeri 2 Metro, khususnya: Candra, Primasari, Titis, Tantiana, dll., yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih atas motivasi kalian dalam penyelesaian studi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna bagi kita semua. Aamiin.

Bandar Lampung, Februari 2015

(16)
(17)
(18)

vii DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

(19)

viii DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Peta lokasi daerah pengukuran ... 4

2. Model sistem panas bumi tentatif daerah panas bumi Lilli-Sepporaki ... 6

3. Peta geologi daerah panas bumi Lilli-Sepporaki ... 7

4. Skema sebuah sistem geothermal yang ideal ... 15

5. Jenis-jenis patahan pada satuan batuan ... 15

6. Gaya tarik menarik merarik antara dua benda m1 dan m2 ... 17

7. Potensial massa tiga dimensi ... 20

8. Model bola simetris tidak berotasi ... 21

9. Model bola simetris berotasi ... 22

10. Model elips simetris berotasi ... 23

11. Model ellipsoid ... 24

12. Undulasi geoid di atas ellipsoid referensi disebabkan adanya massa lokal dibawah ellipsoid ... 25

13. Pengaruh gravitasi bulan di titik P ... 26

14. Koreksi apungan ... 28

15. Perbedaan nilai gayaberat di kutub dan di khatulistiwa ... 30

16. Koreksi udara bebas terhadap data gayaberat ... 31

17. Koreksi Bouguer ... 33

(20)

ix

23. Grafik hubungan antara amplitudo dan bilangan gelombang pada analisa spektrum ... 42

30. Titik-titik pengukuran pada daerah penelitian ... 55

31. Filter Elkins (1951) ... 61

38. Lintasan A-A’ pada peta anomali residual yang di overlay dengan peta geologi ... 72

(21)

x 40. Lintasan C-C’ pada peta anomali residual yang di overlay dengan peta

geologi ... 74

41. Perkiraan patahan pada peta kontur SVD filter Elkins (1951) ... 75

42. Analisis SVD dalam menentukan jenis patahan ... 76

43. Kurva penampang SVD untuk menentukan jenis patahan ... 77

44. Pemodelan 2,5D bawah permukaan dengan metode gayaberat lintasan A-A’ ... 79

45. Pemodelan 2,5D bawah permukaan dengan metode gayaberat lintasan B-B’ ... 80

46. Pemodelan 2,5D bawah permukaan dengan metode gayaberat lintasan C-C’ ... 82

47. Patahan yang terlihat pada model 3D anomali residual pada lintasan A-A’ ... 83

48. Patahan yang terlihat pada model 3D anomali residual pada lintasan B-B’ ... 83

49. Patahan yang terlihat pada model 3D anomali residual pada Lintasan C-C’ ... 83

50. Perkiraan patahan daerah penelitian berdasarkan peta anomali magnet total ... 84

51. Distribusi titik ukur MT ... 85

52. Hasil Pemodelan MT Inversi 2D lintasan Sepporaki 1 ... 86

53. Diagram segitiga Cl-SO4-HCO3 air panas Sepporaki dan Matangnga .... 88

54. Diagram segitiga Na-K-Mg air panas Sepporaki dan Matangnga ... 89

55. Diagram segitiga Cl-Li-B air panas Sepporaki dan Matangnga ... 90

56. Lintasan gayaberat dan MT pada daerah penelitian ... 92

57. Analisis letak cap rock pada sistem panas bumi Lilli-Sepporaki berdasarkan pemodelan gayaberat dan MT ... 93

(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara teori tektonik lempeng, pembentukan Kepulauan Indonesia dimulai sekitar 55 juta tahun yang lalu. Indonesia dibentuk oleh interaksi tiga lempeng penyusun bumi, yaitu: Lempeng Samudera Hindia, Lempeng Laut Filipina, dan Lempeng Eurasia yang merupakan lempeng kontinen. Lempeng-lempeng tersebut bergerak satu sama lain, dimana Lempeng Samudera Hindia bergerak relatif ke arah Utara dengan kecepatan 7 cm per tahun, Lempeng Laut Filipina bergerak ke arah Barat Daya dengan kecepatan 8 cm per tahun dan Lempeng Eurasia yang cenderung stabil. Pergerakan lempeng-lempeng ini kemudian bertemu pada satu zona tumbukan yang disebut dengan zona subduksi.

(23)

2 Salah satu metode geofisika yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi bawah permukaan adalah metode gravity (gayaberat). Metode gayaberat merupakan metode yang didasarkan pada pengukuran variasi percepatan gravitasi di permukaan bumi. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan bentuk struktur geologi (diantaranya litologi batuan) bawah permukaan berdasarkan variasi medan gayaberat bumi yang ditimbulkan oleh perbedaan densitas antar batuan. Selain itu, metode gayaberat juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis patahan, yaitu dengan menggunakan analisis derivative. Analisis derivative yang digunakan dalam penelitian ini adalah turunan kedua vertikal atau Second Vertical Derivative (SVD).

Metode geofisika lainnya juga berperan penting dalam interpretasi struktur bawah permukaan, seperti magnetik, magnetotellurik, geologi serta geokimia. Metode-metode tersebut nantinya digunakan sebagai pembanding model bawah permukaan 2,5D gayaberat agar mendapatkan struktur bawah permukaan yang lebih akurat.

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui struktur bawah permukaan berdasarkan anomali gayaberat. 2. Mengidentifikasi patahan di daerah penelitian berdasarkan analisis Second

Vertical Derivative (SVD).

(24)

3 4. Menganalisis struktur dan model sistem panas bumi berdasarkan data

geosains terpadu (gayaberat, magnetik, magnetotellurik, dan geokimia).

C. Batasan Masalah

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Geologi

1. Lokasi pengukuran

Daerah survei terletak pada koordinat antara 03°16’28”-03°06’17” Lintang Selatan dan 119°07’-119°14’ Bujur Timur atau pada koordinat UTM 716934-747335 mE dan 9637787-9656679 mS, dengan luas wilayah sekitar 9,5 12 km2 (Gambar 1).

Gambar 1. Peta lokasi daerah pengukuran (Setiawan, dkk., 2010).

(26)

5 2. Geomorfologi

Daerah penelitian didominasi oleh batuan produk vulkanik yang terdiri dari aliran lava yang tersebar cukup luas serta kubah-kubah vulkanik (Gambar 2). Terdapat tujuh pola struktur yang berkembang di daerah penelitian. Dari ketujuh pola struktur tersebut, yang paling berperan penting dalam pemunculan manifestasi panas bumi adalah pola struktur N110-120°E/N290-300°E dan pola struktur N10-20°E/N190-200°E untuk manifestasi Lilli, kemudian pola struktur N50-60°E/N230-240°E dan pola struktur N80-90°E/N260-270°E untuk manifestasi Matangnga.

Diperkirakan terbentuk bukaan patahan (dilational fault jog) pada perpotongan patahan-patahan ini sehingga menjadi media jalannya fluida hidrotermal ke permukaan. Selain itu, dari pola-pola struktur tersebut beberapa diantaranya dapat teramati jenis pergerakan relatif patahannya, yaitu:

a. Patahan mendatar, yang terdiri dari dua buah patahan mengiri (sintral) di bagian Selatan dan dua buah patahan menganan (dextral) di bagian Utara.

b. Patahan normal, yang terdiri dari lima buah patahan.

c. Struktur depresi, terdapat di daerah Lilli hingga Matangnga yang dicirikan oleh sisa gawir yang membatasi depresi yang terbentuk melengkung hingga setengah radial. Dari bentuk morfologi dan pola struktur secara regional, bentuk depresi ini diperkirakan sebagai hasil

(27)

6 panas bumi Lilli diperkirakan dibatasi oleh depresi ini, dimana manifestasi muncul di dalamnya berupa mata air panas.

Kompilasi pola kelurusan dalam peta kerapatan struktur (fault and fracture density map) untuk mendapatkan zona resapan dan kemungkinan daerah permeabilitas tinggi dengan peta kerapatan perpotongan struktur (dilational fault and fracture density map) untuk mendapatkan zona jalannya fluida hidrotermal menunjukkan daerah prospek di sekitar manifestasi Lilli ke arah Barat dan Timur, serta di sekitar manifestasi Matangnga ke arah Barat.

Gambar 2. Model sistem panas bumi tentatif daerah panas bumi Lilli-Sepporaki (Setiawan, dkk., 2010).

3. Stratigrafi

(28)

7 (Tp), Vulkanik Tak Terpisahkan (Tvt), Lava Andesit Basaltik Buttu Bobongbatu (Tlbb), Lava Trakhit Buttu Pakkedoang (Tlp), Lava Andesit Buttu Sawergading (Tls), Lava Andesit Buttu Butu (Tlb), Lava Andesit Buttu Talaya (Tlt), Lava Andesit Buttu Dambu (Tld), Lava Andesit Buttu Kamande (Tlk), dan Alluvium (Qal).

Gambar 3. Peta geologi daerah panas bumi Lilli-Sepporaki (Setiawan, dkk.,2010).

Karakteritik masing-masing satuan dijelaskan dalam penjelasan berikut: a. Satuan Vulkanik Walimbong (Tvw)

(29)

8 sebagian telah mengalami pelapukan, sebagian lain telah terkloritkan dan terkekarkan. Lava andesit berwarna abu-abu kecokelatan, afanitik porfiritik sedang hingga kasar. Satuan ini dicirikan dengan topografi sedang hingga curam.

b. Andesit Felspatoid (Tf)

Satuan ini tersebar di bagian Selatan daerah penelitian dengan ciri-ciri berupa tekstur porfiritik dimana fenokis feldspar hadir berukuran besar. Sebagian besar terkekarkan intensif.

c. Andesit Porfir (Tp)

Satuan ini tersebar di bagian Selatan daerah penelitian. Tersusun oleh lava andesit porfir yang sebagian telah mengalami kristalisasi dan pelapukan serta terkekarkan. Lava andesit berwarna abu-abu terang, afanitik porfiritik. Dijumpai mineral pirit juga dalam jumlah kecil. d. Vulkanik Tak Terpisahkan (Tvt)

Terdiri dari lava komposisi andesitik hingga basaltik yang merupakan bagian dari satuan yang lebih tua yang terdeformasi. Struktur kekar berlembar banyak dijumpai di satuan ini, di beberapa tempat membentuk patahan minor. Dijumpai juga retas andesitik yang mengalami rekahan dan diperkirakan berumur relatif lebih muda dari satuan sebelumnya.

e. Lava Andesitik Basaltik Buttu Bobongbatu (Tlbb)

(30)

9 f. Lava Trakhit Pakkedoang (Tlp)

Satuan ini tersebar di bagian Barat Daya daerah penelitian. Satuan ini berupa kubah lava dengan komposisi trakhiandesit hingga trakhitik. Satuan ini diperkirakan berumur Tersier kala Oligosen.

g. Lava Andesit Buttu Sawergading (Tls)

Lava Buttu Sawergading tersebar di bagian tengah daerah penelitian. Bagian Timur satuan ini berupa kubah lava dengan komposisi andesitik. Batuan tersingkap di kaki Gunung Buttu Sawergading dan diperkirakan satuan batuan ini berumur Tersier kala Oligosen.

h. Lava Andesit Buttu Butu (Tlb)

Satuan ini tersebar di bagian tengah dan Timur daerah penelitian. Satuan ini berupa kubah lava dengan komposisi andesitik. Secara megaskopik, batuan ini berwarna abu-abu bertekstur afanitik. Satuan ini berumur Tersier kala Oligosen.

i. Lava Andesit Buttu Talaya (Tlt)

Lava Buttu Talaya tersebar di bagian tengah daerah penelitian. Satuan ini berupa kubah lava berkomposisi andesitik. Sebagian ubahan berupa klorit dan lempung yang telah mengalami ubahan. Batuan ini berusia Tersier dan tersingkap di Buttu Talaya.

j. Lava Andesit Buttu Dambu (Tld)

(31)

10 k. Lava Buttu Kamande (Tlk)

Lava Buttu Kamande tersebar di bagian Utara daerah penelitian. Satuan batuan ini berupa kubah lava berkomposisi andesitik. Batuan ini tersingkap di kaki Buttu Kamande berusia Tersier kala Oligosen-Miosen.

l. Alluvium (Qal)

Satuan ini tersebar di daerah Kondo. Satuan batuan ini merupakan endapan sekunder hasil rombakan batuan yang sebelumnya diendapkan yang terdiri dari material lempung, pasir, bongkahan lava, konglomerat bersifat lepas-lepas dengan tingkat kebundaran membundar tanggung. Satuan batuan ini berumur Holosen hingga Resen.

4. Manifestasi permukaan

Berdasarkan hasil penyelidikan terpadu tahun 2010, gejala kenampakan panas bumi permukaan ditandai dengan munculnya beberapa mata air panas, yang terbagi menjadi dua kelompok manifestasi panas bumi, yaitu manifestasi panas bumi Lilli-Sepporaki dan manifestasi panas bumi Matangnga. Di daerah lapangan panas bumi Lilli-Seporaki terdapat 4 manifestasi air panas yang mengindikasikan bahwa di daerah tersebut terdapat potensi panas bumi. Kemunculan manifestasi air panas tersebut di kontrol oleh patahan-patahan yang berada di sekitar daerah penelitian. a. Air Panas Seporaki 1 (APS 1)

(32)

11 Suhu dari manifestasi ini adalah 97○C dengan pH 8,6. Air panas ini keluar dari batuan andesit yang terkekarkan dan memiliki silica sinter

dengan air tidak berasa dan tidak berwarna. b. Air Panas Seporaki 2 (APS 2)

Manifestasi ini terdapat di dekat Sungai Masongi sekitar 300 meter dari dusun terdekat Dusun Gatta, Desa Sepporaki, Kecamatan Bulo.

Suhu dari manifestasi ini adalah 95○C dengan pH 8,86. Air panas ini

keluar dari batuan andesit yang terkekarkan dan memiliki silika sinter

dengan air tidak berasa dan tidak berwarna. c. Air Panas Matangnga 1 (APK 1)

Terletak di bagian Timur Laut, yaitu di Sungai Matangnga, Kecamatan Katimbang. Suhu dari manifestasi ini adalah 84○C dengan

pH 7,73. Air panas ini keluar dari aluvial Sungai Matangnga dan tidak terbentuk silika sinter dengan air tidak berasa dan tidak berwarna. d. Air Panas Matangnga 2 (APK2)

Terletak di Bagian Timur Laut, yaitu di Sungai Matangnga, Kecamatan Katimbang. Suhu dari manifestasi ini adalah 61○C dengan pH 7,73. Air panas ini keluar dari aluvial Sungai Matangga dan tidak terdapat silika sinter (Setiawan, dkk., 2010).

5. Data geologi

(33)

12 vulkanik kuarter, sistem panas bumi Mapilli yang berasosiasi dengan batuan terobosan sienit yang diperkirakan sebagai heat source, dan sistem panas bumi Allu yang berasosiasi dengan batuan sedimen atau sediment hosted. Namun pada eksplorasi kali ini, ruang lingkup penelitian diperkecil hanya pada sistem panas bumi Lilli yang dianggap mempunyai prospek yang paling besar dibandingkan yang lainnya.

Sistem panas bumi Lilli memiliki dua pemunculan kelompok manifestasi, yaitu di kelompok manifestasi Lilli-Sepporaki dan kelompok manifestasi Matangnga. Daerah ini dicirikan oleh dominasi batuan vulkanik yang berkomposisi andesitik hingga trakhitik. Morfologi daerah Lilli-Sepporaki dan Matangnga didominasi oleh perbukitan terjal dan perbukitan bergelombang, dimana bentuk-bentuk kerucut dijumpai di beberapa tempat. Bentuk kerucut ini diperkirakan sebagai bekas pusat erupsi batuan vulkanik muda yang tersingkap di dekat daerah manifestasi. Sementara itu, morfologi perbukitan bergelombang menggambarkan tahapan erosional dari batuan vulkanik yang lebih tua yang merupakan tahapan dewasa atau lanjut.

(34)

13 permeabilitas yang cukup baik untuk meloloskan fluida, khususnya fluida hidrotermal yang berkerja di daerah ini. Proses geologi selanjutnya adalah proses orogenesa yang menyebabkan pengangkatan (uplift) menjadi daratan, selama proses orogenesa ini aktivitas vulkanik masih terus berlangsung dan membentuk kerucut vulkanik di sebelah Barat Daya manifestasi Lilli dengan produk berupa lava dan breksi lava yang berkomposisi andesitik. Tubuh kerucut vulkanik ini diperkirakan sebagai produk terakhir dari aktivitas vulkanik di daerah penelitian dan diduga sebagai sumber panas (heat source) yang memiliki sisa panas dari dapur magma. Aktivitas tektonik yang terjadi pada Kala Miosen-Pliosen membentuk patahan yang berarah Barat Laut-Tenggara, dimana di daerah manifestasi Lilli kemungkinan terbentuk jog sehingga fluida panas bumi dapat keluar melalui celah ini ke permukaan.

B. Sistem Panas Bumi

(35)

14 1. Sumber panas (heat source)

Gunung api merupakan sumber panas potensial dari suatu sistem panas bumi, sehingga daerah yang berada di jalur gunung api akan berpotensi besar memiliki sistem panas bumi temperatur tinggi. Itulah sebabnya Indonesia yang terletak pada jalur cincin api (ring of fire) diklaim memiliki potensi panas bumi atau geothermal terbesar di dunia.

2. Batuan reservoir (permeable rock)

Reservoir panas bumi adalah Formasi batuan di bawah permukaan yang mampu menyimpan dan mengalirkan fluida thermal (uap dan atau air panas). Reservoir lazimnya merupakan batuan yang memiliki porositas dan permeabilitas yang baik. Porositas berfungsi menyimpan fluida termal sedangkan permeabilitas berperan dalam mengalirkan fluida termal. Harus diketahui disini bahwa permeabilitas setiap batuan berbeda-beda.

3. Batuan penudung (cap rock)

Lapisan batuan di bagian atas dari reservoir dinamakan batuan penudung (cap rock) yang bersifat impermeabel atau teramat sulit ditembus oleh fluida. Lapisan penudung ini biasanya berupa batuan lempung karena batuan lempung ini mampu mengikat air, tetapi sulit untuk meloloskanya (swelling).

4. Aliran fluida (fluida circulation)

(36)

15

Gambar 4. Skema sebuah sistem geothermal yang ideal (Dickson, dkk., 2004).

C. Struktur Patahan

Gambar 5. Jenis-jenis patahan pada satuan batuan (Anonim, 2011).

(37)

16 (Simpson, 1968). Dalam klasifikasi patahan dipergunakan pergeseran relatif, karena tidak tahu blok mana yang bergerak; satu sisi patahan bergerak ke arah tertentu relatif terhadap sisi lainnya. Pergeseran salah satu sisi melalui bidang patahan membuat salah satu blok relatif naik atau turun terhadap lainnya.

Terdapat dua unsur pada patahan, yaitu hanging wall (atap patahan) dan

(38)

III.TEORI DASAR

A. Prinsip Dasar Metode Gayaberat

1. Teori gayaberat Newton

Teori gayaberat didasarkan oleh hukum Newton tentang gravitasi. Hukum gravitasi Newton yang menyatakan bahwa gaya tarik menarik antara dua buah benda adalah sebanding dengan massa kedua benda tersebut dan berbanding terbalik dengan jarak kuadrat antara pusat massa kedua benda tersebut. Hukum gravitasi Newton (Gambar 6):

Gambar 6. Gaya tarik menarik merarik antara dua benda m1 dan m2.

̅ ̂

dengan:

F = gaya tarik menarik (Newton)

G = konstanta universal gayaberat (6,67 x 10-11 m3kg-1s-2)

(39)

18

sebanding dengan nilai jari-jari bumi (R), sehingga persamaan (2) menjadi:

2. Percepatan gravitasi

Dalam pengukuran gayaberat yang diukur bukan gaya gravitasi F, melainkan percepatan gravitasi g. Hubungan antara keduanya dijelaskan oleh hukum Newton II yang menyatakan bahwa sebuah gaya adalah hasil perkalian dari massa dengan percepatan. Hukum Newton mengenai gerak Newton, yaitu:

F = mg

Interaksi antara bumi (bermassa M) dengan benda di permukaan bumi (bermassa m) sejauh jarak R dari pusat keduanya juga memenuhi hukum tersebut, maka dari persamaan (3) dan (4) didapatkan:

g = G

dimana satuan g adalah m/det2 dalam SI, atau Gal (Galileo), yaitu 1 cm/det2. Karena pengukuran dilakukan dalam variasi percepatan gravitasi (2)

(3)

(4)

(40)

19 yang begitu kecil, maka satuan yang sering digunakan adalah miliGal (mGal).

Persamaan (5) menunjukkan bahwa besarnya percepatan yang disebabkan oleh gravitasi di bumi (g) adalah berbanding lurus dengan massa bumi (M) dan berbanding terbalik dengan kuadrat jari-jari bumi (R).

Dalam metode gravitasi, pengukuran dilakukan terhadap nilai komponen vertikal dari percepatan gravitasi di suatu tempat. Namun pada kenyataannya, bentuk bumi tidak bulat sehingga terdapat variasi nilai percepatan gravitasi untuk masing-masing tempat.

Hal-hal yang dapat mempengaruhi nilai percepatan gravitasi adalah perbedaan derajat garis lintang, perbedaan ketinggian (topografi), kedudukan bumi dalam tata surya, variasi rapat massa batuan di bawah permukaan bumi, perbedaan elevasi tempat pengukuran, dan hal lain yang dapat memberikan kontribusi nilai gravitasi, misalnya bangunan.

3. Potensial gravitasi distribusi massa

(41)

20

Fungsi U pada persamaan di atas disebut potensial gravitasi, sedangkan percepatan gravitasi g merupakan medan potensial. Tanda minus menandakan bahwa arah gayaberat menuju ke titik yang dituju.

Dengan mengasumsikan bumi dengan massa M bersifat homogen dan berbentuk bola dengan jari-jari R, potensial gravitasi di permukaan dapat didefinisikan dengan persamaan:

̅ ̅ ̅

̅

Gambar 7. Potensial massa tiga dimensi (Telford, dkk., 1990).

Berdasarkan persamaan (9), potensial yang disebabkan oleh elemen massa dm pada titik (x, y, z) dengan jarak r dari P(0, 0, 0) adalah:

dimana (x,y,z) adalah densitas dan r2 = x2 + y2 + z2.

(6)

(7)

(8)

(9)

(42)

21 Potensial total dari massa adalah:

karena g adalah percepatan gravitasi pada sumbu z (arah vertikal) dan dengan asumsi konstan, maka:

B. Model Bumi

1. Bola simetris, tidak berotasi

Pada model ini jari-jari bumi r = a, potensial di luar bumi adalah U =

GM/r dengan M = massa bumi, dan gayaberat di permukaan bumi g =

GM/a2. Potensial U konstan untuk r konstan. Jika kita asumsikan bidang ekuipotensial memiliki jari-jari yang sama dengan bumi, maka bidang ekuipotensial berada pada a = r dengan g konstan. Kenyataannya model ini masih jauh dari bentuk bumi sebenarnya.

Gambar 8. Model bola simetris tidak berotasi (Noor, 2012).

(11)

(43)

22 2. Bola simetris, berotasi

Pada model ini diasumsikan bola yang berputar belum terpengaruh oleh perubahan bentuk akibat sentrifugal. Akan tetapi, sentrifugal tersebut ikut diperhitungkan, maka jari-jari r = a. Potensial gaya berat di luar bumi

U = GM/r. Percepatan gayaberat di luar bumi GM/r2. Bidang ekuipotensial adalah bidang yang memiliki nilai resultan gayaberat dan potensial sentrifugal konstan. Potensial gayaberat total UT = GM/r ditambah potensial sentrifugal. Maka, bidang ekuipotensial sudah tidak berada pada

r = a, karena pengaruh sentrifugal akan semakin besar ke arah ekuator. Pada kasus ini, bidang ekuipotensial akan berimpit dengan mean sealevel.

Gambar 9. Model bola simetris berotasi (Noor, 2012).

3. Ellips simetris, berotasi

(44)

23 sentrifugal akibat rotasi. Deformasi ini lebih dikenal dengan flattening. Adanya efek tersebut membuat potensial gayaberat total dikatakan terdiri dari komponen potensial gaya berat U, potensial sentrifugal, dan

flattening. Selain itu, akan terdapat selisih jarak bidang ekuipotensial pada kutub bumi dan ekuator yang cukup siginifikan.

Gambar 10. Model ellips simetris berotasi (Noor, 2012).

4. Ellipsoid

Pada model ini bentuk bumi sudah berupa ellips dan juga dipengaruhi oleh sentrifugal akibat rotasi sama seperti model sebelumnya. Hanya saja pada model ini bidang ekuipotensial langsung didefinisikan kedalam bentuk geometris berupa elipsoidal dan memiliki potensial gaya berat total yang konstan dipermukaannya. Bentuk geometris elipsoidal dengan potensial gayaberat total konstan dipermukaan inilah yang disebut

(45)

24 sebenarnya karena densitas bumi masih dianggap homogen dan belum memperhitungkan efek topografi pada kerak bumi. Ellipsoid adalah ellips

yang diputar pada sumbu pendeknya.

Gambar 11. Model ellipsoid (Noor, 2012).

5. Geoid

Bentuk muka bumi yang sebenarnya jauh dari keteraturan dan sulit dijelaskan dalam bentuk geometris. Untuk itu, disepakati bentuk muka bumi berupa sebuah bentuk yang memiliki nilai potensial gravitasi yang sama di permukaannya dengan berimpit pada mean sea level di tempat yang cukup jauh dari daratan (Lowrie, 2011). Permukaan inilah yang selanjutnya disebut geoid.

(46)

25 mempertimbangkan sentrifugal akibat rotasi sama halnya pada model bumi yang bulat simetris dan berotasi.

Pada daratan, distribusi densitas di kerak bumi sangat kompleks. Adanya variasi densitas massa membuat gayaberat yang terukur pada permukaan bumi menjadi bervariasi juga. Ditambah lagi dengan rotasi bumi yang dapat mengakibatkan massa tersebut terdeformasi yang dapat mempengaruhi gayaberat terukur pada suatu titik di permukaan bumi.

Keberadaan massa tersebut juga ikut mempengaruhi bentuk geoid. Jika pada model pertama bentuk geoid akan mengikuti bentuk muka laut, maka ketika faktor massa diperhitungkan bentuk geoid akan berubah karena terdapat variasi densitas massa yang mengakibatkan perbedaan gayaberat di sekitar massa. Sebagai penyesuaian bentuk bidang agar tetap memiliki potensial gayaberat yang konstan dipermukaannya, bidang ekuipotensial harus menonjol naik mengikuti pengaruh potensial gayaberat dari massa tersebut. Tonjolan pada bidang ekuipotensial yang diukur dari ellipsoid

referensi ini dikenal dengan undulasi geoidh atau N.

Gambar 12. Undulasi geoid di atas ellipsoid referensi disebabkan adanya massa lokal di bawah ellipsoid (Lowrie, 2011).

Local

Gravity Geoid

Ellipsoidal Mass

(47)

26 C. Koreksi Metode Gayaberat

Besar nilai gravitasi bergantung kepada lima faktor, yaitu lintang, elevasi topografi daerah sekitar pengukuran, pasang surut bumi, dan variasi densitas di bawah permukaan (Telford, dkk., 1990). Eksplorasi gravitasi lebih menekankan pada perubahan besar nilai gravitasi oleh karena variasi densitas di bawah permukaan. Sementara nilai gravitasi yang terukur pada alat

gravimeter tidak hanya berasal dari nilai gravitasi yang disebabkan oleh variasi densitas di bawah permukaan, tetapi juga dari keempat faktor lainnya. Koreksi dalam metode gravitasi diperlukan untuk menghilangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi besar nilai gravitasi sehingga didapatkan nilai gravitasi yang hanya disebabkan oleh pengaruh variasi densitas di bawah permukaan. Berikut adalah koreksi-koreksi yang dilakukan kepada data gravitasi lapangan (gread):

1. Koreksi pasang surut (tide correction)

Gambar 13. Pengaruh gravitasi bulan di titik P (Kadir, 2000).

(48)

27 Efek pasang surut menyebabkan perubahan hasil pengamatan percepatan gravitasi yang disebabkan oleh interaksi gravitasi bulan dan matahari terhadap bumi maupun terhadap gravimeter. Efek ini menyebabkan variasi percepatan gravitasi yang bergantung waktu sehingga termasuk ke dalam koreksi Temporal Based Variation. Sebagaimana pengaruh gaya gravitasi bulan dan matahari menyebabkan perubahan bentuk permukaan air laut, hal itu juga menyebabkan berubahnya bentuk bumi (earth distortion). Karena batuan memberikan gaya eksternal lebih kecil dibandingkan air, besarnya distorsi bumi di bawah pengaruh gaya eksternal lebih kecil dibandingkan besarnya distorsi air laut. Besarnya distorsi air laut akibat efek pasang surut ini terukur dalam meter, sedangkan besarnya distorsi bumi terukur dalam sentimeter. Distorsi ini menyebabkan perubahan percepatan gravitasi dikarenakan perubahan bentuk bumi, sehingga jarak gravimeter terhadap pusat bumi berubah (percepatan gravitasi berbanding terbalik dengan kuadarat jarak). Distorsi bumi bervariasi untuk setiap lokasi, dan variasi percepatan gravitasi akibat efek pasang surut ini bisa mencapai 0,2 mGal.

(49)

28 1959. Pengaruh gravitasi bulan di titik P pada permukaan bumi yang terlihat pada Gambar 13 dapat diselesaikan melalui persamaan:

2. Koreksi apungan (drift correction)

Gambar 14. Koreksi apungan (Reynolds, 1997).

Koreksi apungan merupakan koreksi pada data gravitasi, sebagai akibat perbedaan pembacaan nilai gravitasi di stasiun yang sama pada waktu yang berbeda oleh alat gravimeter (Gambar 14). Perbedaan tersebut disebabkan karena terjadi guncangan pegas dan perubahan temperatur

(50)

29 pada alat gravimeter selama proses perjalanan dari satu stasiun ke stasiun berikutnya. Komponen gravimeter dirancang dengan sistem keseimbangan pegas yang dilengkapi dengan massa beban yang tergantung diujungnya. Karena pegas yang tidak elastis sempurna, maka sistem pegas mengembang dan menyusut perlahan sebagai fungsi waktu.

Untuk menghilangkan efek tersebut, proses akusisi data atau pengukuran dirancang dalam suatu lintasan tertutup sehingga besar penyimpangan tersebut dapat diketahui. Koreksi apungan diberikan oleh persamaan (13) berikut ini:

takhir = waktu pembacaan pada akhir looping

to = waktu pembacaan pada awal looping

tn = waktu pembacaan pada stasiun n

3. Koreksi lintang (lattitude correction)

Koreksi lintang pada data gravitasi diperlukan sebagai akibat dari rotasi bumi. Hasil dari rotasi bumi tersebut akan menyebabkan perbedaan nilai percepatan gravitasi di seluruh permukaan bumi, yaitu bervariasi dari ekuator ke kutub atau bervariasi terhadap lintang.

(51)

30

Gambar 15. Perbedaan nilai gayaberat di kutub dan khatulistiwa (Sarkowi, 2011).

Secara matematis, anomali medan gravitasi di topografi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut:

g(x,y,z) = gobs (x,y,z) –gteoritis (x,y,z)

dengan ∆g(x,y,z) merupakan anomali medan gravitasi di topografi, dan

gobs(x,y,z) adalah medan gravitasi observasi di topografi yang sudah dikoreksikan terhadap koreksi pasang surut, koreksi tinggi alat dan koreksi

drift. Sedangkan gteoritis(x,y,z) merupakan medan gravitasi teoritis di topografi.

Medan gravitasi teoritis yang ditentukan lebih awal adalah medan gravitasi normal yang terletak pada bidang datum (pada ketinggian z=0) sebagai titik referensi geodesi. Rumusan medan gravitasi normal pada bidang datum ini telah ditetapkan oleh The International Association of geodesy (IAG) yang diberi nama Geodetic Reference System 1980 (GRS80) sebagai fungsi lintang, yaitu:

g( )=(978032,700 (1 + 0,0053024 sin2 - 0,0000058 sin2 )) (15) (14)

Increase Radius Earth Rotation

Excess mass

g = 9,83 m/s2

(52)

31 dengan adalah garis lintang.

Dari persamaan (14) terlihat bahwa semakin tinggi letak lintangnya, maka semakin besar percepatan gravitasinya. Jadi, medan gravitasi bumi cenderung bertambah besar ke arah kutub.

4. Koreksi udara bebas (free air correction)

Koreksi udara bebas merupakan koreksi yang disebabkan karena pengaruh variasi ketinggian terhadap medan gravitasi bumi. Koreksi ini dilakukan untuk menarik bidang pengukuran (P) ke bidang datum yaitu bidang geoid (Po) (Gambar 16).

Gambar 16. Koreksi udara bebas terhadap data gayaberat (Zhou, dkk., 1990).

Perhitungan koreksi udara bebas (free air correction) dilakukan dengan cara (Rosid, 2005):

g = G

(16)

(17)

FREE AIR CORRECTION FAC = - 0,3086H

Gravity observation point

Land surface

Heigh t

(53)

32

dimana g adalah besar nilai gravitasi absolut dan r adalah jari-jari bumi. Dengan memasukkan nilai g dan r ke dalam persamaan (18), maka besar koreksi udara bebas adalah:

dimana h adalah ketinggian dalam pengukuran gravitasi.

Koreksi udara bebas (free air correction) tidak memperhitungkan massa batuan yang terdapat di antara stasiun pengukuran dengan bidang

geoid. Koreksi akan dijumlah jika titik pengukuran berada di atas geoid. Karena semakin tinggi h, maka g akan semakin kecil sehingga untuk menyamakan dengan bidang geoid koreksi harus ditambah. Dan juga sebaliknya, koreksi akan dikurang jika titik pengukuran berada di bawah

geoid. Namun, pada umumnya koreksi ini dijumlah karena permukaan bumi berada di atas bidang geoid.

5. Koreksi Bouguer (Bouguer correction)

Koreksi Bouguer memperhitungkan massa batuan yang terdapat di antara stasiun pengukuran dengan bidang geoid. Koreksi ini dilakukan dengan menghitung tarikan gravitasi yang disebabkan oleh batuan berupa

slab dengan ketebalan H dan densitas rata-rata ρ (Gambar 17). Koreksi ini dihitung dengan persamaan (20) (Telford, dkk., 1990):

(18)

(54)

33

dimana:

= 3,14; G = 6,67 10-11 m3kg-1det-3; dalam gr/cm3; dan h dalam meter, maka:

mGal

Tanda koreksi Bouguer berbanding terbalik dengan koreksi udara bebas. Pada koreksi Bouguer, jika titik pengukuran berada di atas bidang

geoid, maka koreksi akan dikurang. Hal ini dikarenakan kandungan massa di atas bidang geoid membuat nilai g titik pengukuran lebih besar dari nilai

g pada bidang geoid, sehingga untuk menarik titik pengukuran ke bidang

geoid koreksi harus dikurang. Dan juga sebaliknya, jika titik pengukuran berada di bawah bidang geoid, koreksi akan ditambah.

Gambar 17. Koreksi Bouguer (Zhou, dkk., 1990). 6. Koreksi medan (terrain correction)

Koreksi medan atau topografi dilakukan untuk mengoreksi adanya pengaruh penyebaran massa yang tidak teratur di sekitar titik pengukuran. (20)

Gravity observation point BOUGUER CORRECTION

(55)

34 Dalam koreksi Bouguer diasumsikan bahwa titik pengukuran di lapangan berada pada suatu bidang datar yang sangat luas. Sedangkan seringkali kenyataan di lapangan memiliki topografi yang berundulasi seperti adanya lembah dan gunung. Maka jika hanya dilakukan koreksi bouguer saja hasilnya akan kurang sempurna.

Gambar 18. Stasiun yang berada dekat dengan gunung (Reynolds, 1997).

Gambar 19. Stasiun yang berada dekat dengan lembah (Reynolds, 1997).

Jika stasiun pengukuran berada dekat dengan gunung, maka akan terdapat gaya ke atas yang menarik pegas pada gravimeter, sehingga akan mengurangi nilai pembacaan gravitasi (Gambar 18).

Exces mass

(56)

35 Sementara jika stasiun pengukuran berada dekat dengan lembah, maka akan ada gaya ke bawah yang hilang sehingga pegas pada gravimeter

tertarik ke atas. Hal ini akan mengurangi pembacaan nilai gravitasi (Gambar 19).

Dengan demikian pada kedua kondisi tersebut, koreksi medan ditambahkan kepada nilai gravitasi. Cara perhitungan koreksi topografi dapat dilakukan dengan menggunakan Hammer Chart yang dikembangkan oleh Sigmund Hammer. Hammer Chart membagi area ke dalam beberapa zona dan kompartemen (segmen). Hammer melakukan pendekatan pengaruh topografi dengan suatu cincin yang terlihat pada Gambar 20 di bawah ini.

Gambar 20. Hammer Chart (Reynolds, 1997).

Menurut Reynolds (1997), besarnya koreksi topografi dengan menggunakan pendekatan cincin silinder dituliskan dalam persamaan (22):

(57)

36 dimana:

N = jumlah kompartemen pada zona yang digunakan

r2 = radius luar (m)

r1 = radius dalam (m)

z = perbedaan ketinggian rata-rata kompartemen dan titik pengukuran Sehingga besar nilai koreksi medan pada setiap stasiun pengukuran gayaberat adalah total dari koreksi medan (TC) sektor-sektor dalam satu stasiun pengukuran tersebut.

Setelah melakukan proses koreksi di atas, maka akan didapatkan nilai yang disebut Anomali Bouguer (Bouguer Anomaly). Anomali Bouguer

adalah anomali yang disebabkan oleh variasi densitas secara lateral pada batuan di kerak bumi yang telah berada pada bidang referensi yaitu bidang

geoid. Persamaan untuk mendapatkan nilai anomali Bouguer (gAB) adalah:

(58)

37 Nilai anomali Bouguer di atas sering disebut sebagai Complete Bouguer Anomaly (CBA). Sedangkan anomali Bouguer yang didapatkan tanpa memasukkan koreksi medan ke dalam perhitungan disebut Simple Bouguer Anomaly (SBA). Sementara nilai lain yang biasa digunakan untuk survei daerah laut adalah Free Air Anomaly (FAA). FAA adalah nilai anomali

Bouguer yang tidak memperhitungkan efek massa batuan sehingga tidak memasukkan koreksi Bouguer ke dalam perhitungan.

D. Estimasi Densitas Permukaan Rata-Rata

Dalam eksplorasi geofisika dengan metode gravitasi dimana besaran yang menjadi sasaran utama adalah rapat masa (kontras densitas), maka perlu diketahui distribusi harga rapat massa batuan baik untuk keperluan pengolahan data maupun interpretasi.

Rapat massa batuan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah rapat massa butir atau matriks pembentuknya, porositas, dan kandungan fluida yang terdapat dalam pori-porinya. Namun demikian, terdapat banyak faktor lain yang ikut mempengaruhi rapat massa batuan, diantaranya adalah proses pembentukan, pemadatan (kompaksi) akibat tekanan, kedalaman, serta derajat pelapukan yang telah dialami batuan tersebut.

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menentukan rapat massa rata-rata, yaitu:

1. Analisis batuan daerah survei dari pengukuran di laboratorium 2. Metode Nettleton

(59)

38 Analisis batuan daerah survei merupakan penentuan rapat massa rata-rata batuan yang dilakukan secara kualitatif, sedangkan Metode Nettleton dan Metode Parasnis merupakan penentuan rapat massa rata-rata batuan yang dilakukan secara kuantitatif.

1. Metode nettleton

Gambar 21. Estimasi rapat massa dengan metode Nettleton (Telford, dkk., 1990).

Metode ini didasarkan pada pengertian tentang koreksi Bouguer dan koreksi medan, dimana jika rapat massa yang digunakan sesuai dengan rapat massa permukaan, maka penampang atau profil anomali gayaberat

(60)

39 menjadi smooth. Dalam aplikasi, penampang dipilih melalui daerah topografi kasar dan tidak ada anomali gayaberat target.

Anomali Bouguer titik amat pada suatu lintasan diplot dengan berbagai macam harga rapat massa ( ). Nilai densitas permukaan diperoleh apabila nilai anomali gayaberat yang dihasilkan tidak mempunyai korelasi dengan topografi di daerah tersebut.

2. Metode parasnis

Metode parasnis didasarkan pada persamaan anomali Bouguer dengan asumsi nilai anomali Bouguernya adalah nol.

dimana :

CBA = Anomali Bouguer Lengkap

= harga percepatan gravitasi observasi

= harga percepatan gravitasi normal

= koreksi udara bebas pada koordinat kartesian, maka dapat dicari suatu persamaan garis linier (27) (25)

(61)

40 dengan metode kuadrat terkecil (least square). Persamaan regresi yang dihasilkan adalah:

Dimana nilai a adalah nilai rapat masa batuan rata-rata.

Gambar 22. Grafik yang menunjukkan hubungan antara dan (Sarkowi, 2011).

E. Analisis Spektrum

Analisis spektrum merupakan proses Transformasi Fourier (transformasi dari domain waktu ke dalam domain frekuensi) untuk mengubah suatu sinyal menjadi penjumlahan beberapa sinyal sinusoidal dengan berbagai frekuensi. Hasil dari transformasi ini akan berupa spektrum amplitude dan spektrum phase sehingga dapat memperkirakan kedalaman dengan mengestimasi nilai bilangan gelombang (k) dan amplitudo (A) yang dapat digunakan untuk menghitung lebar jendela filter yang selanjutnya dijadikan sebagai input data dalam proses filtering, pemisahan anomali regional, dan anomali residual.

(28)

(62)

41 Blakely (1995) menurunkan spektrum dari potensial gayaberat yang teramati pada suatu bidang horizontal.

| | | |

Berdasarkan kedua persamaan diatas maka diperoleh:

| | | |

Sehingga Transformasi Fourier anomali gayaberat pada lintasan yang diinginkan adalah:

(63)

42 Selanjutnya dengan melogaritmakan hasil Transformasi Fourier tersebut di atas, maka akan diperoleh hubungan antara amplitudo (A) dengan bilangan gelombang (k) dan kedalaman :

| |

Hasil logaritma ini menunjukkan bahwa kedalaman rata-rata bidang diskontinuitas rapat massa akan berbanding dengan kemiringan grafik spektrum. Kemudian dari hubungan itu pula, dengan menggunakan metode

least square, maka estimasi kedalaman anomali adalah gradien dari masing-masing grafik spektrum pada tiap lintasan. Hubungan panjang gelombang (λ) dengan k diperoleh dari persamaan Blakely (1995):

dengan n adalah lebar jendela.

Gambar 23. Grafik hubungan antara amplitudo dan bilangan gelombang pada analisis spektrum (Sarkowi, 2011).

(33)

(34)

(35)

Analisis Spektrum

Zona Regional

Zona Residual

(64)

43 Maka didapatkan estimasi lebar jendelanya yaitu:

Ilustrasi penentuan kedalaman proses regresi data logaritma hasil Transformasi Fourier ini akan ditunjukan pada Gambar 23.

F. Moving Average

Anomali Bouguer merupakan suatu nilai anomali gaya berat yang disebabkan oleh perbedaan densitas batuan pada daerah dangkal dan daerah yang lebih dalam di bawah permukaan. Efek yang berasal dari batuan pada daerah dangkal disebut anomali residual, sementara efek yang berasal dari batuan pada daerah yang lebih dalam disebut anomali regional. Proses ini bertujuan untuk memisahkan antara anomali residual dengan anomali regional yang terdapat pada anomali Bouguer. Selain itu, hasil pemisahan anomali regional dan residual berguna sebagai bahan untuk interpretasi kualitatif tentang kondisi bawah permukaan sebelum melakukan pembuatan model struktur bawah permukaan (interpretasi kuantitatif).

Moving average window filter merupakan suatu metode atau teknik pemisahan yang jika dianalisis dari spektrumnya akan menyerupai low pass filter sehingga output dari proses ini adalah frekuensi rendah dari anomali

Bouguer yang akan merepresentasikan kedalaman yang lebih dalam (regional). Karena frekuensi rendah ini mempunyai penetrasi yang lebih dalam. Selanjutnya anomali residual didapatkan dengan cara mengurangkan anomali regional dari anomali Bouguernya.

(65)

44 Persamaan moving average untuk lebar window N N adalah:

∑ ∑

untuk anomali residualnya adalah:

dan untuk estimasi lebar jendelanya didapatkan dari:

dimana:

= grid spasi

= frekuensi cut-off regional dan residual

Penerapannya pada peta 2D dimana harga pada suatu titik dapat dihitung dengan merata-ratakan semua nilai di dalam sebuah kotak

persegi dengan titik pusat adalah titik yang akan dihitung harga (Gambar 24) (Robinson, 1988). Contoh penerapannya dengan jendela 5 5 pada data 2D sesuai dengan persamaan (40) berikut:

[ ]

Gambar 24. Sketsa moving average 2-D jendela 5 5 (Robinson, 1988). (37)

(38)

(39)

(66)

45 Berdasarkan karakter spektrum dari filter ini, lebar window N N berbanding langsung dengan low cut dari panjang gelombang atau high cut

frekuensi spasial dari low-pass filter, sehingga dengan bertambahnya lebar

window akan menyebabkan bertambahnya panjang gelombang regional

output. Dengan kata lain, lebar window terkecil menyebabkan harga regionalnya mendekati anomali Bouguernya.

G. Pemodelan Struktur Bawah Permukaan

Pemodelan struktur bawah permukaan dilakukan dengan cara pemodelan ke depan (forward modelling). Pemodelan ke depan adalah suatu proses perhitungan data yang secara teoritis akan teramati di permukaan bumi jika diketahui harga parameter model bawah permukaan tertentu (Grandis, 2009). Dalam pemodelan dicari suatu model yang cocok atau fit dengan data lapangan, sehingga model tersebut dianggap mewakili kondisi bawah permukaan di daerah pengukuran.

1. Metode Talwani

Menurut Talwani (1959), pemodelan ke depan untuk menghitung efek gayaberat model benda bawah permukaan dengan penampang berbentuk sembarang yang dapat diwakili oleh suatu poligon bersisi n dinyatakan sebagai integral garis sepanjang sisi-sisi poligon:

Integral garis tertutup tersebut dapat dinyatakan sebagai jumlah integral garis tiap sisinya, sehingga dapat ditulis sebagai berikut:

(67)

46

Model benda anomali sembarang oleh Talwani didekati dengan poligon-poligon dimana sistem koordinat kartesian yang digambarkan seperti di atas. Untuk benda poligon sederhana seperti pada Gambar 25, dapat ditunjukan dengan persamaan sebagai berikut:

sehingga diperoleh:

dimana,

(

)

Gambar 25. Efek gravitasi poligon menurut Talwani (Talwani, 1959). (42)

(43)

(44)

(45)

(68)

47 Untuk keperluan komputasi, persamaan (44) ditulis dalam bentuk yang lebih sederhana, dengan mensubstitusikan harga-harga sin , cos , tan

dengan koordinat titik poligon dalam x dan z sebagai berikut:

{ (

)}

2. Efek gravitasi benda 2,5D

(69)

48

Gambar 26. Medan gravitasi pada titik P ̅ yang berada di luar suatu massa yang terdistribusi kontinyu ̅ dengan volume V (Cady, 1980).

Gambar 27 menunjukkan benda 2,5 dimensi. Sumbu y paralel dengan

strike benda dan pengamatan dilakukan sepanjang profil pada bidang x-z. Sumbu z positif ke bawah.

(70)

49 Berdasarkan persamaan (48) dan (49), maka diperoleh persamaan:

Persamaan (50), (51), dan (52) merupakan turunan parsial pertama dari integral volume. Dengan mengasumsikan densitas homogen, persamaan (50) menjadi:

Fz dipilih untuk integrasi yang lebih detail karena total medan gravitasi yang terukur memiliki arah yang vertikal yang disebut efek gravitasi. Dalam metode gravitasi, strike benda dapat memiliki panjang y1 dan y2 yang berbeda. Untuk menghilangkan ambiguitas tanda, y1 dan y2 memiliki tanda positif pada bidang x-z. y1 positif pada arah +y dan y2 positif pada

Persamaan (54) pada bidang z adalah:

[ ] dx

Integral pada poligon dapat dimasukkan pada integral garis di sekitar poligon dengan z sebagai fungsi x di tiap sisinya (Gambar 28), maka:

(71)

50

dengan:

dan merupakan batasan z dari perluasan sisi i. Persamaan (56) menjadi:

dengan:

[ ]

dan

[ √ ]

untuk n = 1 dan 2. Perhitungan ini dilakukan searah dengan jarum jam pada N sisi poligon. Percepatan gravitasi g=Fz dari benda di bawah titik amat dengan kontras densitas negatif bernilai positif ke bawah sepanjang sumbu z.

Gambar 28. Hubungan x-z pada satu sisi cross section berbentuk poligon (Cady, 1980).

(56)

(57)

(58)

(72)

51 H. Analisis Derivative

1. First Horizontal Derivative (FHD)

Dengan mengambil derivative dari gz di sepanjang sumbu x atau y, maka didapat komponen FHD dari gayaberat untuk benda 2D sesuai dengan persamaan (58) (Telford, dkk., 1976).

Perhitungan FHD dihitung dengan menggunakan persamaan:

dimana merupakan nilai anomali Bouguer (mGal) dan selisih jarak lintasan (meter).

2. Second Vertical Derivative (SVD)

Metode SVD dapat digunakan untuk membantu interpretasi jenis struktur terhadap data anomali Bouguer yang diakibatkan oleh adanya struktur patahan turun atau patahan naik (Sarkowi, 2011).

Medan potensial U dengan sumber tidak berada di dalamnya akan memenuhi persamaan Laplace sesuai dengan persamaan (62) (Telford, dkk., 1976).

(73)

52

Untuk SVD persamaannya sesuai dengan persamaan (65) (Telford, dkk., 1976) berikut:

Untuk data 1D persamaannya menjadi persamaan (66) berikut:

Berdasarkan persamaan di atas, tampak bahwa untuk suatu penampang

1D, anomali Second Vertical Derivative (SVD)

dapat dihitung dari

turunan satu kali terhadap data First Horizontal Derivative (FHD)

( ). Sedangkan kriteria untuk menentukan jenis struktur patahan

adalah sebagai berikut:

2.1 Untuk sedimentary basin atau patahan turun berlaku:

|

|

2.2 Untuk granit batolit/intrusi dan patahan naik berlaku:

dimana persamaan konvolusinya diberikan oleh persamaan (69):

(74)

53 dimana F adalah filterSecond Vertical Derivative (SVD) sesuai persamaan (65) dan adalah anomali gayaberat sebagai data input. Berikut Gambar 27 merupakan contoh operator filterSecond Vertical Derivative (SVD).

(75)

IV. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 sampai dengan bulan Februari 2015 di Pusat Sumber Daya Geologi (PSDG) Bandung dan Laboratorium Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas Lampung, Jalan Dr. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung. Adapun susunan kegiatan diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jadwal kegiatan penelitian

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 Studi Literatur

Input Data Pengolahan Data Pemodelan 2,5D Presentasi Usul Pemodelan 3D

Presentasi Hasil

Feb-15 JADWAL PENELITIAN

Bulan Kegiatan

Analisis Struktur dan Model

(76)

55 B. Alat dan Bahan

Data penelitian ini merupakan data sekunder, yang diperoleh dari Badan Geologi Kementrian ESDM, Pusat Sumber Daya Geologi (PSDG) Bandung yang tersedia pada Sub Bidang Panas Bumi. Data yang diperoleh adalah data gravitasi hasil survei di daerah Lilli-Sepporaki pada tahun 2010. Data yang digunakan terdiri dari 299 titik pengamatan yang dibatasi oleh 03016’ 28” – 030 06’ 17” Lintang Selatan dan 1190 07’ – 1190 14’ Bujur Timur atau pada koordinat UTM 716934 – 747335 mE dan 9637787 – 9656679 mS (Gambar 30).

Gambar 30. Titik-titik pengukuran pada daerah penelitian.

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain: 1. Data gayaberat daerah Lilli-Sepporaki.

(77)

56 3. Peta geologi regional dan manifestasi daerah Lilli-Sepporaki.

4. Peta topografi daerah Lilli-Sepporaki.

5. Software yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Microsoft Office Excel, Surfer 10, Numeri, Grav2DC dan Grav3D.

C. Pengolahan Data

1. Anomali Bouguer (Bouguer anomaly)

Data yang diolah untuk dianalisa lebih lanjut dalam penelitian ini adalah data hasil pengukuran gayaberat di lapangan (gread). Pengolahan data hasil pengukuran di lapangan bertujuan untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh untuk mendapatkan nilai anomali gayaberat (Bouguer Anomaly) dilakukan dengan menggunakan program Ms. Excel.

Pengolahan data dilakukan dengan cara melakukan koreksi-koreksi terhadap data hasil pengukuran gayaberat di lapangan. Sebelum melakukan koreksi-koreksi tersebut, data hasil pengukuran gayaberat di lapangan (gread) terlebih dahulu dikonversikan ke dalam satuan mGal. Setelah nilai konversi mGal didapatkan selanjutnya dilakukan koreksi tide

dan koreksi drift sehingga didapatkan nilai gobserve (gobs).

(78)

57 melakukan pengolahan data adalah nilai gayaberat yang hanya disebabkan oleh pengaruh ketidakseragaman densitas di bawah permukaan atau yang sering disebut sebagai anomali gayaberat (Bouguer Anomaly).

Dari rumus pada persamaan (71) tersebut diperoleh hasil anomali gayaberat (Bouguer Anomaly). Kemudian dibuat menjadi suatu kontur yang bertujuan untuk memudahkan dalam proses interpretasi. Proses pembuatan kontur dilakukan dengan menggunakan program Surfer 10.

Input untuk pembuatan kontur menggunakan Surfer 10 adalah koordinat (x

dan y) titik pengukuran dan nilai anomali Bouguer pada titik tersebut.

2. Analisis spektrum

Analisis spektrum bertujuan untuk memperkirakan kedalaman suatu benda anomali gayaberat di bawah permukaan. Metode analisis spektrum menggunakan Transformasi Fourier yang berguna untuk mengubah suatu fungsi dalam jarak atau waktu menjadi suatu fungsi dalam bilangan gelombang atau frekuensi (Blakely, 1995).

(79)

58 struktur dangkal dan umumnya frekuensi sangat tinggi menunjukkan noise

yang diakibatkan kesalahan pengukuran, kesalahan digitasi, dan lain-lain.

Input untuk proses analisis spektrum adalah jarak antar titik pengukuran dan nilai anomali gayaberat hasil slice tiga buah lintasan yang memotong kontur anomali gayaberat (Bouguer anomaly) secara vertikal dan horizontal. Dalam penelitian ini menggunakan software Numeri dengan memasukkan nilai jarak spasi dan nilai anomali Bouguer pada lintasan tersebut, didapatkan nilai frekuensi, real, dan imajiner yang kemudian didapatkan nilai amplitudo dengan persamaan:

dimana r merupakan bilangan real dan i merupakan bilangan imajiner. Didapatkan pula nilai bilangan gelombang (k) dari persamaan (74) berikut:

Setelah didapatkan nilai amplitudo dan panjang gelombang sesuai persamaan (72), (73), dan (74), kemudian dibuat plot grafik ln A terhadap

k. Setelah itu estimasi kedalaman dapat dilakukan dengan membuat regresi linier pada zona regional dan residual.

3. Pemisahan anomali regional dan residual

Anomali Bouguer merupakan suatu nilai anomali gayaberat yang disebabkan oleh perbedaan densitas batuan pada daerah dangkal dan daerah yang lebih dalam di bawah permukaan. Efek yang berasal dari (72)

(80)

59 batuan pada daerah dangkal disebut anomali residual, sementara efek yang berasal dari batuan pada daerah yang lebih dalam disebut anomali regional. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemisahan anomali regional dan anomali residua pada anomali Bouguer. Proses pemisahan anomali regional dan residual pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode moving average dengan lebar jendela 19x19 yang didapatkan dari proses analisis spektrum.

4. Pemodelan struktur bawah permukaan

Pemodelan struktur bawah permukaan dilakukan dengan cara pemodelan ke depan (forward modelling). Pemodelan ke depan adalah suatu proses perhitungan data yang secara teoritis akan teramati di permukaan bumi jika diketahui harga parameter model bawah permukaan tertentu (Grandis, 2009). Dalam pemodelan dicari suatu model yang cocok atau fit dengan data lapangan, sehingga model tersebut dianggap mewakili kondisi bawah permukaan di daerah pengukuran.

Pemodelan struktur bawah permukaan dilakukan dengan program

(81)

60 Lintasan C-C’ memotong lintasan A-A’ dan lintasan B-B’ berarah Barat Laut-Tenggara dan melintasi dua mata air panas, Sepporaki dan Riso. Setelah memasukkan input data ke program Grav2DC, dilakukan pembuatan model dengan memasukkan suatu body dengan densitas tertentu, yang mana harus dicocokkan juga pada geologi regiona daerah penelitian. Peta geologi memberikan gambaran geologi secara umum berdasarkan formasi batuan, jenis batuan tersingkap, dan keberadaan patahan pada daerah penelitian. Dengan gambaran-gambaran tersebut, pemodelan struktur bawah permukaan pada metode gayaberat akan menghasilkan respon yang cocok atau fit dengan data lapangan. Input dari

Grav3D adalah data anomali residual (*.grv), dan mesh (*.txt), sehingga didapatkan output berupa model 3D daerah penelitian yang mendekati keadaan yang sebenarnya.

5. Analisis derivative

Analisis derivative yang digunakan untuk mengetahui jenis patahan adalah turunan kedua anomali Bouguer atau Second Vertical Derivative (SVD). SVD dalam menentukan jenis patahan dilakukan dengan bantuan peta geologi regional daerah penelitian, yaitu slicing keberadaan patahan yang nampak pada peta geologi. Patahan tersebut merupakan patahan mayor yang dapat menjadi acuan pada pemodelan 2,5D. Pada kontur SVD

Gambar

Gambar 4. Skema sebuah sistem geothermal yang ideal (Dickson, dkk., 2004).
Gambar 6. Gaya tarik menarik merarik antara dua benda m1 dan m2.
Gambar 7. Potensial massa tiga dimensi (Telford, dkk., 1990).
Gambar 8. Model bola simetris tidak berotasi (Noor, 2012).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian gayaberat dengan tujuan mengetahui nilai anomali Bouguer, menentukan struktur patahan menggunakan analisa Second Vertical Derivative dan Second

Anomali gravitasi tinggi (132-140 mgal) yang berada di Utara daerah penelitian diduga disebabkan oleh batuan Tersier dengan densitas (2,65-2,75) g/cm3 yang disebut sebagai kerak

Data regional yang diperoleh selanjutnya dikurangkan dengan hasil anomali Bouguer yang kemudian selisihnya (AB - REG) adalah data residual. Hasil pengurangan anomali

Peta anomali Bouguer gayaberat daerah Semarang yang merupakan hasil penggabungan anomali hasil pengukuran dan peta Bouguer regional yang diterbitkan oleh Pusat Survei Geologi

Batuan penudung ( caprock ) mulai terlihat pada kedalaman 0,8 km bersesuaian dengan batupasir. Batuan yang sama juga mulai terlihat pada kedalaman 1,3 km berupa batupasir

Hal ini diketahui bahwa anomali magnetik yang rendah ini sangat berkaitan dengan demagnetisasi batuan akibat panas yang dilepaskan dari suatu sumber panas bumi dan

Hal ini diketahui bahwa anomali magnetik yang rendah ini sangat berkaitan dengan demagnetisasi batuan akibat panas yang dilepaskan dari suatu sumber panas bumi dan

Hal ini diketahui bahwa anomali magnetik yang rendah ini sangat berkaitan dengan demagnetisasi batuan akibat panas yang dilepaskan dari suatu sumber panas bumi dan