PERBANDINGAN ANGKA KEJADIAN DISFUNGSI SEKSUAL MENURUT SKORING FEMALE SEXUAL FUNCTION INDEX PADA
AKSEPTOR IUD DAN HORMONAL DI PUSKESMAS RAJABASA BANDAR LAMPUNG
Oleh
M. Akip Riyan S
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRACT
THE COMPARISON OF THE INCIDENCE OF SEXUAL DYSFUNCTION ACCORDING TO THE FSFI SCORING ACCEPTOR IUDs AND HORMONAL AT PUSKESMAS RAJABASA IN BANDAR LAMPUNG
By :
M. AKIP RIYAN S
Female sexual dysfunction is an important reproductive health issues as they relate to survival and reproduction affect the harmony between husband and wife. Female sexual disorders are divided into four categories of interest (desire disorders ), lust ( arousal disorder ), orgasm ( orgasmic disorder ), and pain sexual (sexual pain disorder). The aim of this study to compare the incidence of sexual dysfunction according to the FSFI scoring between IUD and hormonal contraceptives acceptors at Puskesmas Rajabasa in Bandar Lampung.
This study is analitic correlative with the cross-sectional approach with consecutive sampling technique . The study was conducted in October-November 2013, with 110 people respondents for each type of contraception.
SKORING FSFI PADA AKSEPTOR IUD DAN HORMONAL DI PUSKESMAS RAJABASA BANDAR LAMPUNG
Oleh :
M. AKIP RIYAN S
Disfungsi seksual wanita merupakan masalah kesehatan reproduksi yang penting karena berhubungan dengan kelangsungan reproduksi dan berpengaruh terhadap keharmonisan hubungan suami istri. Disfungsi seksual wanita dibagi empat kategori yaitu gangguan minat, birahi, orgasme dan nyeri seksual. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan angka kejadian disfungsi seksual menurut skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal pada akseptor di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung.
Desain penelitian menggunakan metode analitik-komparatif dengan pendekatan cross sectional dengan teknik consecutive sampling. Penelitian dilakukan Oktober-November 2013 dengan 110 responden untuk tiap jenis kontrasepsi.
Hasil penelitian ini adalah prevalensi disfungsi seksual pasangan usia subur (PUS) di puskesmas rajabasa Bandar Lampung pada akseptor hormonal 75 orang (68,18%) dan pada akseptor IUD terdapat 23 orang (20,91%). Angka kejadian disfungsi seksual akseptor hormonal lebih tinggi dibanding akseptor IUD dan pada terdapat perbedaan yang signifikan dengan p = 0,000.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 4
1. Tujuan Umum ... 4
2. Tujuan Khusus ... 4
D. Manfaat Penelitian... 4
E. Kerangka penelitian... 5
1. Kerangka teori... 5
2. Kerangka konsep... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8
A. Seksualitas ... 8
1. Pengertian seksualitas ... 8
2. Fungsi seksualitas ... 9
3. Respon seksual wanita ... 11
B. Disfungsi Seksual ... 14
1. Pengertian Disfungsi seksual ... 14
2. Macam-macam disfungsi seksual...15
3. Pengukuran FSFI...19
C. Keluarga Berencana... 20
1. Pengertian keluarga berencana ... 20
2. Manfaat KB ... 20
D. Kontrasepsi ... 22
1. Pengertian Kontrasepsi... 22
E. Patofisiologi Disfungsi Seksual Akibat Pemakaian Kontrasepsi... 29
III. METODE PENELITIAN ... 32
A. Desain Penelitian ... 32
B. Tempat dan Waktu ... 32
1. Populasi ... 33
2. Sampel ... 33
D. Identifikasi Variabel Penelitian ... 34
E. Definisi Operasional ... 35
F. Alat dan Cara Penelitian ... 37
1. Alat penelitian ... 37
2. Cara Pengambilan Data ... 37
G. Alur Penelitian... 38
H. Pengolahan dan Analisis Data ... 39
1. Pengolahan Data... 39
2. Analisis Data ... 39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...44
A. Hasil ... 44
B. Pembahasan ... 56
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 64
A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 67
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Teori...6
2. Kerangka Konsep...7
3. Fungsi seksualitas ...10
4. Respon Seksual wanita ...14
5. Alur Penelitian ...38
6. Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual ...46
7. Distribusi Responden akseptor IUD berdasarkan domain disfungsi Seksual... .47
8. Distribusi Responden akseptor Hormonal berdasarkan domain disfungsi seksual... .49
9. Distribusi Responden berdasarkan pendidikan ...50
10. Distribusi Responden berdasarkan umur ...51
11. Perbedaan Rerata Skor Disfungsi Seksual Berdasarkan Jenis Kontrasepsi... ...52
12. Prevalensi Disfungsi Seksual Akseptor Hormonal dan IUD... 53
13. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi... .54
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Definisi Operasional ...35
2. Skor Penilaian FSFI ...36
3. Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual ...45
4. Distribusi Responden berdasarkan domain disfungsi seksual ...46
5. Distribusi Responden akseptor Hormonal berdasarkan domain disfungsi . seksual...48
6. Distribusi Responden berdasarkan pendidikan ...49
7. Distribusi Responden berdasarkan umur ...50
8. Perbedaan Rerata Skor Disfungsi Seksual Berdasarkan Jenis Kontrasepsi... 51
9. Prevalensi Disfungsi Seksual Akseptor Hormonal dan IUD... .52
10. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi...53
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Disfungsi seksual pada wanita merupakan masalah kesehatan reproduksi yang
penting karena berhubungan dengan kelangsungan fungsi reproduksi seorang wanita
dan berperngaruh besar terhadap keharmonisan hubungan suami istri. Disfungsi
seksual merupakan kegagalan yang menetap atau berulang, baik sebagian atau secara
keseluruhan, untuk memperoleh dan atau mempertahankan respon lubrikasi
vasokongesti sampai berakhirnya aktifitas seksual (Chandra, 2005). Pada Diagnostic
and Statistic Manual version IV (DSM IV) dari American Phychiatric Assocation,
dan International Classification of Disease-10 (ICD-10) dari WHO, disfungsi
seksual wanita ini dibagi menjadi empat kategori yaitu gangguan minat/keinginan
seksual (desire disorders), gangguan birahi (arousal disorder), gangguan orgasme
(orgasmic disorder), dan gangguan nyeri seksual (sexual pain disorder).
Female Sexual Function Index (FSFI) merupakan alat ukur yang valid dan akurat
terhadap fungsi seksual wanita. Kuesioner ini terdiri dari 19 pertanyaan yang terbagi
dalam enam subskor, termasuk hasrat seksual, rangsangan seksual, lubrikasi,
Female Seksual Function Index (FSFI) digunakan untuk mengukur fungsi seksual
termasuk hasrat seksual dalam empat minggu terakhir (Rosen dkk, 2000).
Skor yang tinggi pada tiap domain menunjukkan level fungsi seksual yang lebih baik
(Rosen dkk, 2000).
Angka kejadian disfungsi seksual wanita di setiap negara bisa berbeda-beda. Di
Indonesia, Imronah (2011) dengan menggunakan instrumen FSFI menemukan bahwa
kasus disfungsi seksual pada kaum wanita di Bandar Lampung mencapai 66,2%. Jika
angka-angka disfungsi seksual wanita di Turki (48,3%), Ghana 72,8%), Nigeria
(63%), dan Indonesia (66,2%) itu dirata-ratakan kita dapatkan angka prevalensi
sebesar 58,04%. Itu artinya lebih dari separuh kaum wanita di dalam suatu negara
berpotensi mengalami gangguan fungsi seksual. Dengan prevalensi sebesar itu wajar
bila disfungsi seksual wanita tidak bisa dipandang remeh, karena menyangkut
kualitas hidup lebih dari separuh populasi wanita (Sutyarso, 2011). Sebuah studi oleh
Journal of Sexual Medicine mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya disfungsi
seksual pada wanita berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi baik hormonal
dan non-hormonal (Walwiener, 2010).
Pada tahun 2011 peserta KB Baru secara nasional pada Bulan Januari 2011 sebanyak
597.290 peserta. Apabila dilihat per kontrasepsi maka persentasenya adalah sebagai
berikut : 32.507 peserta IUD (5,44%), 6.216 peserta Metode Operatif Wanita (MOW)
(1,04%), 1.212 peserta Metode Operatif Pria (MOP) (0,2%), 31.881 peserta Kondom
171.096 peserta Pil (28,65%) (BKKBN, 2011). Dari data di atas dapat disimpulkan
bahwa metode kontrasepsi hormonal dan IUD yang paling banyak digunakan.
Kota Bandar Lampung adalah kota yang memiliki jumlah pasangan usia subur (PUS)
yang cukup banyak, salah satunya di kelurahan Rajabasa yang berjumlah 7256 orang
pada tahun 2012. Berdasarkan jumlah tersebut 4900 pasangan usia subur merupakan
akseptor KB (BKKBN Lampung, 2012).
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang
lebih lanjut mengenai perbandingan angka kejadian disfungsi seksual menurut
skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal di Puskesmas Rajabasa
Bandar Lampung. Peneliti memilih Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung karena
merupakan puskesmas kesehatan induk di Kelurahan Rajabasa dan terjangkau oleh
peneliti.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas dapat diidentifikasikan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah ada hubungan antara kontrasepsi IUD dengan masalah disfungsi seksual
pada akseptor di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung?
2. Apakah ada hubungan antara kontrasepsi hormonal dengan masalah disfungsi
C.Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbandingan angka kejadian disfungsi seksual menurut
skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal.
Tujuan khusus
1. Mengetahui prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur akseptor
IUD di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung
2. Mengetahui prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur akseptor
Hormonal di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung.
3. Mengetahui dan mengevaluasi perbandingan angka kejadia disfungsi seksual
pada akseptor hormonal dan IUD di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung.
D.Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1. Bagi Peneliti :
Untuk meningkatkan kemampuan peneliti tentang perbandingan angka kejadian
disfungsi seksual menurut skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan
2. Bagi Institusi pendidikan dan Masyarakat
Menambah pengetahuan tentang perbandingan angka kejadian disfungsi seksual
menurut skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal, dan Dapat
menambah bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung.
3. Bagi Peneliti lain
Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai referensi bagi penelitian
selanjutnya.
E.Kerangka Pemikiran.
1. Kerangka teori
Pada DSM-IV menjabarkan disfungsi seksual sebagai gangguan hasrat seksual dan
atau di dalam siklus tanggapan seksual yang menyebabkan tekanan berat dan
kesulitan hubungan antar manusia. Disfungsi seksual ini dapat terjadi pada 1 atau
lebih dari dari 4 fase siklus tanggapan yaitu hasrat (libido), bangkitan,
orgasme/pelepasan, dan pengembalian. Meskipun hampir sepertiga pasien disfungsi
seksual terjadi tanpa pengaruh (penggunaan) obat, beberapa petunjuk mengarahkan
bahwa antidepresan dapat mencetuskan atau membangkitkan disfungsi seksual.
Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagian-bagian badan tertentu
disfungsi seksual dalam berbagai tingkat (Tobing, 2006). Sebuah studi oleh Journal
of Sexual Medicine mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya disfungsi seksual
pada wanita berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi baik hormonal dan
non-hormonal. Disfungsi seksual pada wanita adalah penyakit yang umum, di mana
dua dari lima wanita memiliki setidaknya satu jenis disfungsi seksual, dan keluhan
yang paling banyak terjadi adalah rendahnya gairah seksual / Libido (Michael A,
2007).
Gambar 1. Kerangka teori hubungan alat kontrasepsi dengan disfungsi seksual
(modifikasi dari Tobing, 2006 dan Michael, 2007) Kontrasepsi
spiral(IUD)
Perlukaan pada organ reproduksi
2. Kerangka Konsep
Konsep merupakan abstrak yang dibentuk oleh generalisasi dari hal-hal yang khusus.
Oleh karena konsep merupakan abstraksi, maka konsep tidak dapat langsung diamati
atau diukur. Konsep hanya dapat diamati melalui konstruk atau yang lebih dikenal
dengan nama variabel. Jadi variabel adalah simbol atau lambang yang menunjukkan
nilai atau bilangan dari konsep (Notoadmodjo, 2010).
Berdasarkan teori tersebut, maka kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut:
Variabel bebas Variabel terikat
Gambar 2. Kerangka konsep hubungan alat kontrasepsi dengan disfungsi seksual menurut skoring FSFI
Prevalensi disfungsi seksual pada wanita adalah suatu konsep, dan untuk mengukur
suatu disfungsi seksual pada wanita harus melalui variabel gangguan hasrat seksual,
gangguan perangsangan seksual, gangguan basah, gangguan orgasme, gangguan
kepuasan, dan gangguan nyeri seksual yang dialami oleh seorang wanita. IUD
Hormonal
Disfungsi Seksual Skor > 26,5
Kontrasepsi Kuesioner
FSFI
BAB I I
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Seksualitas
2.1.1 Pengertian
Seksualitas merupakan suatu komponen integral dari kehidupan seorang wanita
normal. Hubungan seksual yang nyaman dan memuaskan merupakan salah satu
faktor yang berperan penting dalam hubungan perkawinan bagi banyak pasangan
(Irwan, 2012).
Perilaku seksual adalah manisfestasi aktivitas seksual yang mencakup baik hubungan
seksual ( intercourse; coitus) maupun masturbasi. Hubungan seksual diartikan
sebagai hubungan fisik yaitu hubungan yang melibatkan aktivitas seksual alat genital
laki-laki dan perempuan (Zawid, 1994 dalam Perry & Potter, 2005).
Dorongan/ nafsu seksual adalah minat/ niat seseorang untuk memulai atau
mengadakan hubungan intim (sexual relationship). Kegairahan seksual (Sexual
mendasar yaitu myotonia (ketegangan otot yang meninggi) dan vasocongestion
(bertambahnya aliran darah ke daerah genital) (Chandra,2005).
2. Fungsi seksualitas
Salah satu kajian mengenai sikap dan pandangan kaum wanita tentang pentingnya
fungsi seksual yang cukup menarik untuk diulas adalah survei yang diprakarsai oleh
Bayer Healthcare yang dilakukan di 12 negara pada April hingga Mei 2006.
Negara-negara tersebut adalah: Brasil, Prancis, Jerman, Italia, Meksiko, Polandia, Saudi
Arabia, Afrika Selatan, Spanyol, Turki, Inggris dan Venezuela. Jumlah responden di
setiap negara tersebut paling sedikit 1000 wanita berusia di atas 18, sehingga jumlah
keseluruhan responden adalah 12.065 orang. Hasilnya, 8996 responden (75% wanita)
mengakui bahwa kegiatan seksual adalah sesuatu yang penting atau sangat penting
bagi mereka. Ketika kepada mereka (8996 responden) yang mengaku seksual sebagai
sesuatu yang penting itu ditanyakan apa alasan mereka berpendapat bahwa seksual
penting, maka respons yang muncul adalah sebagai berikut. Enam dari sepuluh (58%)
wanita mengaku seksual penting untuk memperkuat dan meningkatkan kualitas
hubungan dengan pasangan. Selanjutnya, hampir separuh (47%) responden merasa
bahwa seksual bertalian dengan kebanggaan diri, masing-masing 29% merasa
memiliki daya tarik dan 18% merasa lebih percaya diri. Juga, tidak kurang dari 47%
responden berpandangan bahwa seksual berkontribusi positif buat fisik mereka
(Bayer, 2006)
masing-masing 25% merasa mendapat kepuasan fisik dan 22% merasa seksual
Gambar 3. Kepentingan seksual menurut wanita (Bayer, 2006)
Selanjutnya, terhadap pertanyaan apa pentingya kepuasan seksual bagi diri mereka,
85% responden mengaku bahwa kepuasan seksual merupakan sesuatu yang sangat
penting (33%) dan penting (52%). Hanya 15 persen dari responden beranggapan
Gambar 4. Arti kepuasan seksual bagi wanita (Bayer, 2006)
Berdasarkan data-data yang ditampilkan Gambar 3 dan Gambar 4 dijelaskan bahwa
kaum wanita menempatkan kepuasan seksual sebagai sesuatu yang penting bagi
hidup mereka. Dengan demikian kaum wanita menyadari bahwa kualitas fungsi
seksualnya sebagai bagian tak terpisahkan dari kualitas hidupnya, khususnya dalam
bidang kesehatan jiwa dan raga (rohani dan jasmani). Artinya, kualitas fisik dan
psikologis seorang wanita tidak bisa disebut baik bila fungsi seksualnya terganggu
(Sutyarso, 2011).
3. Respons seksual wanita (Sexual Response Cycle- SRC)
Hal-hal yang terjadi saat seseorang mengalami bangkitan/ rangsang seksual
(bergairah secara seksual) dan berperilaku seksual secara umum melibatkan
tahap-tahap sebagai berikut (berlaku untuk segala umur) (Masters & Johnson , 1966) :
a. Tahap istirahat (tidak terangsang)
Dalam keadaan tidak terangsang, vagina dalam keadaan kering dan kendur.
b. Tahap rangsangan (excitement) melibatkan stimuli sensoris
Pada saat minat seksual timbul, karena stimuli/ rangsangan psikologis atau fisik,
mulailah tahap rangsangan/ excitement. Pada pria maupun wanita ditandai dengan
vasokongesti (bertambahnya aliran darah ke genitalia-rongga panggul) dan myotonia
(meningkatnya ketegangan/tonus otot, terutama juga di daerah genitalia) (Halstead
Selama fase gairah, klitoris, mukosa vagina dan payudara membengkak akibat
peningkatan aliran darah. Tejadi lubrikasi vagina, ukuran labia minora, labia mayora
dan klitoris meningkat, uterus terangkat menjauhi kandung kemih dan vagina, dan
puting susu menjadi ereksi (Hendersons, 2006).
Vasokongesti dan myotonia merupakan syarat utama tahap excitement dan
menyebabkan basahnya vagina (vaginal sweating) dan ereksi klitoris pada wanita
(tidak selalu).
c. Tahap plateu ( pendataran)
Jika kegairahan meningkat, orang akan masuk tahap plateu yaitu vasokongesti dan
mytonia mendatar tetapi minat seksual tetap tinggi. Fase plateu dapat singkat atau
lama tergantung rangsangan dan dorongan seksual individu, latihan sosial dan
konstitusi/ tubuh orang itu. Sebagian orang menginginkan orgasme secepatnya, orang
lain dapat mengendalikannya, yang lain lagi menginginkan plateu yang lama sekali
(Chandra, 2005). Saat wanita mencapai fase plateu, lapisan ketiga terluar dari vagina
membengkak akibat aliran darah dan distensi, klitoris mengalami retraksi dan “sex flush” (Masters and Johson ,1966) yang merupakan suatu ruam seperti campak, dapat
meyebar dari payudara ke semua bagian tubuh (Hendersons, 2006).
d. Tahap orgasme ; melibatkan ejakulasi, kontraksi otot
Tahap orgasme relatif singkat saja. Ketegangan psikologis dan otot dengan cepat
meningkat, begitu juga aktifitas tubuh, jantung dan pernapasan. Orgasme dapat
dicetuskan secara psikologis dengan fantasi dan secara somatik dengan stimulasi
bagian tubuh tertentu, yang berbeda bagi tiap orang (vagina, uterus pada wanita).
ketegangan otot tersebut akan menurun karena darah didorong keluar dari pembuluh
darah yang membengkak. Denyut nadi, frekuensi nafas, dan tekanan darah meningkat
dan terjadi kontraksi ritmis uterus. Orgasme disertai dengan sensasi kenikmatan yang
intens. Kemudian tiba-tiba terjadi pelepasan/ release ketegangan seksual, disebut
klimaks/ orgasme.
e. Tahap resolusi (mencakup pasca senggama)
Sesudah orgasme, pria biasanya segera memasuki fase resolusi menjadi pasif dan
tidak responsif, penis mengalami detumescence, sering pria tertidur dalam fase ini.
Sebagian wanita juga mengalami seperti itu, tetapi sebagian besar umumnya masih
responsif secara seksual, bergairah dan masuk ke dalam fase plateu lagi, orgasme lagi
sehingga terjadi orgasme multipel. Sesudah orgasme, baik pria maupun wanita
kembali (mengalami resolusi) ke fase istirahat. Keduanya mengalami relaksasi mental
dan fisik, merasa sejahtera. Banyak pria dan wanita merasakan kepuasan psikologis
atau relaksasi tanpa mencapai orgasme yang lain merasa kecewa bila tanpa orgasme
Gambar 5. Respon seksual wanita (Masters & Johnson , 1966)
B.Disfungsi Seksual
1. Pengertian
Disfungsi seksual merupakan kegagalan yang menetap atau berulang, baik sebagian
atau secara keseluruhan, untuk memperoleh dan atau mempertahankan respon
2. Macam- macam disfungsi seksual
Pada DSM-IV menjabarkan tentang disfungsi seksual sebagai gangguan hasrat
seksual dan atau di dalam siklus tanggapan seksual yang menyebabkan tekanan berat
dan kesulitan hubungan antar manusia. Disfungsi seksual ini dapat terjadi pada satu
atau lebih dari empat fase siklus tanggapan yaitu hasrat atau libido, bangkitan,
orgasme atau pelepasan, dan pengembalian. Meskipun hampir sepertiga dari pasien
yang mengalami disfungsi seksual terjadi tanpa pengaruh dari penggunaan obat,
beberapa petunjuk mengarahkan bahwa antidepresan dapat mencetuskan atau
membangkitkan disfungsi seksual. Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada
organ, bagian-bagian badan tertentu atau fisik secara umum. Bagian tubuh yang
sedang terganggu dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual dalam berbagai
tingkat (Tobing, 2006).
Disfungsi seksual wanita secara tradisional terbagi menjadi gangguan minat/
keinginan seksual atau libido, gangguan birahi, nyeri atau rasa tidak nyaman dan
hambatan untuk mencapai puncak atau orgasme. Pada DSM IV dari American
Phychiatric Assocation, dan ICD-10 dari WHO, disfungsi seksual wanita ini dibagi
menjadi empat kategori yaitu :
a. Gangguan minat/ keinginan seksual (desire disorders)
b. Gangguan birahi (arousal disorder)
Ditandai dengan kesulitan mencapai atau mempertahankan keterangsangan saat
melakukan aktivitasn seksual.
c. Gangguan orgasme (orgasmic disorder)
Ditandai dengan tertundanya atau gagalnya mencapai orgasme saat melakukan
aktivitas seksual.
d. Gangguan nyeri seksual (sexual pain disorder) (Rosen et al., 2000).
Menurut Glaiser and Gebbie (2005) adapun beberapa gangguan seksual yaitu :
a) Hilangnya kenikmatan
Seorang wanita mungkin melakukan hubungan intim, tetapi gagal merasakan
kenikmatan dan kesenangan yang biasanya ia rasakan. Apabila ia tidak terangsang,
maka pelumasan normal vagina dan pembengkakan vulva tidak terjadi dan hubungan
intim pervagina dapat menimbulkan rasa tidak nyaman atau bahkan nyeri, yang
semakin menghambat dirinya menikmati hubungan tersebut. Wanita yang mengalami
hambatan nafsu seksual mungkin tidak menginginkan atau tidak menikmati seksual,
tetapi dia mengijinkan pasangannya untuk bersenggama dengannya, sebagai suatu
kewajiban. Wanita yang lain mungkin sangat cemas dengan gagasan bersenggama
sehingga menolak atau membuat alasan menghindarinya.
b) Hilangnya minat seksual
Hal ini sering terjadi bersamaan dengan hilangnya kenikmatan, wanita seperti ini
tidak memiliki keinginan untuk berhubungan seksual dan tidak menikmatinya
gairah seksual bervariasi dan sering sulit diidentifikasi. Perubahan alam perasaan
sangat penting bagi wanita, tidak saja sebagai penyakit depresi kronik tetapi juga
sebagai variasi dalam alam perasaan depresi di sekitar waktu menstruasi yang
dirasakan oleh beberapa wanita. Banyak wanita menyadari bahwa mereka mengalami
tahap siklus menstruasi tertentu, walaupun waktunya berbeda dari satu wanita ke
wanita lain. Tetapi mereka yang biasanya merasa murung sebelum menstruasi
biasanya kehilangan minat seksual pada saat tersebut, dan mendapati bahwa fase
pasca menstruasi secara seksual merupakan saat yang terbaik bagi mereka.
Wanita yang menghadapi bentuk-bentuk kanker yang mengancam nyawa, misalnya
kanker payudara atau ginekologis, dapat bereaksi secara psikologis terhadap stres
penyakit dan dampak terapi (mastektomi). Faktor-faktor fisik juga mungkin memiliki
peran langsung. Hilangnya minat seksual adalah hal yang wajar dalam keadaan sakit
dan hal ini mungkin secara spesifik disebabkan oleh kelainan status hormon.
Testosteron tampaknya penting untuk gairah seksual pada banyak wanita, seperti
halnya pada pria. Penurunan substansial testosteron, seperti terjadi setelah
ovariektomi atau bentuk lain kegagalan atau supresi ovarium, dapat menyebabkan
hilangnya gairah.
c) Keengganan seksual
Pada beberapa kasus, sekedar pikiran tentang aktivitas seksual sudah menyebabkan
ketakutan atau ansietas yang besar sehingga terbentuk suatu pola menghindari kontak
pengalaman traumatik sebelumnya, tetapi kadang-kadang pangkal masalahnya tetap
tidak jelas.
d) Disfungsi orgasme
Sebagian wanita secara spesifik mengalami kesulitan mencapai orgasme, baik dengan
kehadiran pasangannya atau pada semua situasi. Hal ini mungkin merupakan bagian
dari hilangnya kenikmatan seksual secara umum, atau relatif spesifik, yaitu manusia
masih dapat terangsang dan menikmati seksual tetapi gagal mencapai orgasme.
Walaupun obat tertentu dapat menghambat orgasme pada wanita, namun pada
sebagian kasus faktor psikologis tampaknya menjadi penyebab.
e) Vaginismus
Kecenderungan spasme otot-otot dasar panggul dan perivagina setiap kali dilakukan
usaha penetrasi vagina ini dapat timbul akibat pengalaman traumatik insersi vagina
(perkosaan atau pemeriksaan panggul yang sangat kasar oleh dokter). Namun lebih
sering tidak terdapat penyebab yang jelas dan tampaknya otot-otot tersebut memiliki
kecenderungan mengalami spasme reflektif saat dicoba untuk dilemaskan.
Vaginismus biasanya adalah kesulitan seksual primer yang dialami wanita saat
mereka memulai kehidupan seksual, dan sering menyebabkan hubungan seksual yang
tidak sempurna. Kelainan ini jarang timbul kemudian setelah wanita menjalani fase
hubungan seksual normal, terutama apabila ia sudah pernah melahirkan. Apabila
memang demikian, kita perlu mencari penyebab nyeri atau rasa tidak nyaman lokal
f) Dispareunia
Nyeri saat melakukan hubungan intim sering terjadi dan umumnya dapat
disembuhkan. Apabila menjadi masalah yang berulang, maka antisipasi nyeri dapat
dengan mudah menyebabkan hambatan timbulnya respons seksual normal sehingga
masalah menjadi semakin parah karena pelumasan normal vagina terganggu. Nyeri
atau rasa tidak nyaman dapat dirasakan di introitus vagina, akibat spasme otot-otot
perivagina atau peradangan atau nyeri di introitus yang dapat ditimbulkan oleh
episiotomi atau robekan perineum. Kista atau abses Bartholin dapat menyebabkan
nyeri hanya oleh rangsangan seksual, karena kecendrungan kelenjar ini mengeluarkan
sekresi sebagai respons terhadap stimulasi seksual (Kusuma, 1999).
C.Pengukuran FSFI
Female Sexual Function Index (FSFI) merupakan alat ukur yang valid dan akurat
terhadap fungsi seksual wanita. Kuesioner ini terdiri dari 19 pertanyaan yang terbagi
dalam enam subskor, termasuk hasrat seksual, rangsangan seksual, lubrikasi,
orgasme, kepuasan, dan rasa nyeri (Walwiener dkk, 2010). FSFI digunakan untuk
mengukur fungsi seksual termasuk hasrat seksual dalam empat minggu terakhir. Skor
yang tinggi pada tiap domain menunjukkan level fungsi seksual yang lebih baik
D.Keluarga Berencana
1. Pengertian Keluarga Berencana
KB menurut Undang-undang (UU) No. 52 tahun 2009 pasal 1 (8) dalam Arum dan
Sujiatini (2009) tentang perkembangan dan kependudukan dan pembangunan
keluarga sejahtra adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal
melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi perlindungan dan bantuan sesuai
dengan hak reproduksi untuk mewujutkan keluarga yang berkualitas.
2. Manfaat KB
Salah satu cara untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia adalah
melalui program KB. Keluarga Berencana dapat mencegah munculnya
bahaya-bahaya akibat:
a. Kehamilan terlalu dini.
Wanita yang sudah hamil tatkala umurnya belum mencapai 17 tahun sangat terancam
oleh kematian sewaktu persalinan. Karena tubuhnya belum sepenuhnya tumbuh
cukup matang dan siap untuk dilewati oleh bayi. Lagi pula, bayinya pun dihadang
oleh risiko kematian sebelum usianya mencapai 1 tahun.
b. Kehamilan terlalu terlambat
Wanita yang usianya sudah terlalu tua untuk mengandung dan melahirkan terancam
banyak bahaya. Khususnya bila ibu mempunyai problem kesehatan lain, atau sudah
c. Kehamilan-kehamilan terlalu berdesakkan jaraknya
Kehamilan dan persalinan menuntut banyak energi dan kekuatan tubuh wanita. Kalau
ibu belum pulih dari satu persalinan tapi sudah hamil lagi, tubuhnya tak sempat
memulihkan kebugaran, dan berbagai masalah bahkan juga bahaya kematian
menghadang.
d. Terlalu sering hamil dan melahirkan
Wanita yang sudah punya lebih dari 4 anak dihadang bahaya kematian akibat
pendarahan hebat dan macam-macam kelainan bila ibu terus saja hamil dan bersalin
lagi (Prawirohardjo, 2007). Akseptor KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang
salah seorang dari padanya menggunakan salah satu cara atau alat kontrasepsi dengan
tujuan untuk pencegahan kehamilan baik melalui program maupun non program
Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (2001) dalam Setiawan dan
Saryono (2010) Akseptor adalah orang yang menerima serta mengikuti dan
melaksanakan program keluarga berencana. Menurut Handayani (2010) jenis
akseptor KB sebagai berikut
1) Akseptor KB baru
Akseptor KB baru adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang pertama kali
menggunakan kontrasepsi setelah mengalami kehamilan yang berakhir dengan
keguguran atau kelahiran.
2) Akseptor KB lama
Akseptor KB lama adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang melakukan kunjungan
pindah atau ganti ke cara atau alat yang lain atau mereka yang pindah klinik baik
menggunakan cara yang sama atau cara (alat) yang berbeda.
3) Akseptor KB aktif
Peserta KB aktif adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang pada saat ini masih
menggunakan salah satu cara atau alat kontrasepsi.
4) Akseptor KB aktif kembali
Perserta KB aktif kembali adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang telah berhenti
menggunakan selam tiga blan atau lebih yang tidak diselingi oleh suatu kehamilan
dan kembali menggunakan alat kontrasepsi baik dengan cara yang sama maupun
berganti cara setelah berhenti atau istirahat paling kurang tiga bulan berturut-turut dan
bukan karena hamil.
3. Kontrasepsi
1. Pengertian Kontrasepsi
Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti “melawan”
atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang
dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah
menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat adanya pertemuan
antara sel telur dengan sel sperma. Untuk itu, berdasarkan maksud dan tujuan
kontrasepsi, maka yang membutuhkan kontrasepsi adalah pasangan yang aktif
melakukan hubungan seks dan kedua-duanya memiliki kesuburan normal namun
Kontrasepsi adalah usaha–usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan. Usaha–usaha
itu dapat bersifat sementara, dapat juga bersifat permanen. Yang bersifat permanen
dinamakan pada wanita tubektomi dan pada pria vasektomi. Sampai sekarang cara
kontrasepsi yang ideal belum ada. Kontrasepsi ideal itu harus memenuhi syarat-syarat
berbagai berikut: 1) dapat dipercaya; 2) tidak menimbulkan efek yang mengganggu
kesehatan; 3) daya kerjanya dapat dapat diatur menurut kebutuhan (Prawirohardjo,
2008).
Kontrasepsi adalah upaya mencegah kehamilan yang bersifat sementara atau
menetap, yang dapat dilakukan tanpa menggunakan alat, secara mekanis,
menggunakan alat/obat, atau dengan operasi (Wiknjosastro, 2006)
a. Macam-macam metode Kontrasepsi
1) Metode Sederhana
a) Tanpa alat
(1) KB alamiah
Yaitu : metode kalender (ogino-knaus), metode suhu basal (termal), metode lendir
serviks (billings), metode simpto-termal
(2) Coitus interuptus
b) Dengan alat
1. Mekanis (barrier)
Yaitu : kondom pria, barier intra-vaginal (seperti diafragma, kap serviks, spon,
2. Kimiawi
Yaitu : Spermisid (seperti vaginal cream, vaginal busa, vaginal jelly, vaginal
suppositoria, vaginal foam, vaginal soluble film)
2) Metode Modern
a) Kontrasepsi hormonal
(1) Per-oral
Yaitu : Pil Oral Kombinasi (POK), mini-pil, morning-after pil.
(2) Injeksi atau suntikan (DMPA, NET-ET)
(3) Sub-kutis (implan)
b) Intra uterine devices (IUD, AKDR)
c) Kontrasepsi mantap (MOP, MOW)
b. Tujuan kontrasepsi
1) Untuk menunda kehamilan
2) Untuk menjarangkan kehamilan
3) Untuk menghentikan kehamilan / mengakhiri kehamilan /kesuburan (Hartanto,
2004).
c. Syarat
Syarat-syarat yang harus dipenuhi
1) Efek samping yang merugikan tidak ada
2) Lama kerja dapat diatur menurut keinginan
3) Tidak mengganggu hubungan persetubuhan
5) Harganya murah supaya dapat dijangkau masyarakat luas.
6) Dapat diterima pasangan suami istri
7) Tidak memerlukan bantuan medik atau kontrol yang terlambat selama
penatalaksanaan.
d. Sasaran
1) Pasangan usia subur
Semua pasangan usia subur yang ingin menunda, menjarangkan kehamilan dan
mengatur jumlah anak.
2) Ibu yang mempunyai banyak anak
Dianjurkan memakai kontrasepsi untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka
kematian bayi yang disebabkan karenafaktor multiparitas (banyak melahirkan anak).
3) Ibu yang mempunyai resiko tinggi terhadap kehamilan
Ibu yang mempunyai penyakit yang bisa membahayakan keselamatan jiwanya jika
dia hamil, maka ibu tersebut dianjurkan memakai kontrasepsi.
e. Faktor-faktor dalam memilih metode kontrasepsi
1) Faktor pasangan-motivasi
a) Umur
Wanita usia subur yang dapat menggunakan kontrasepsi progestin, sedangkan wanita
yang sudah menopause tidak dianjurkan menggunakan kontrasepsi progestin,
b) Gaya hidup
Wanita yang gaya hidupnya suka merokok (perokok), menderita anemia
kekuranganzat besi) boleh menggunakan kontrasepsi progestin karena tidak ada
efek samping bagi wanita perokok dan penderita anemia.
c) Frekuensi sanggama
Kontrasepsi progesteron dapat digunakan pada wanita yang sering ataupun yang
jarang melakukan hubungan seksual dengan suaminya, karena tidak mengganggu
pada hubungan seksual.
d) Jumlah keluarga yang diinginkan
Salah satu tujuan dari kontrasepsi ini adalah untuk menjarangkan kehamilan, jadi
wanita yang ingin mengatur jumlah anak ataupun yang ingin menjarangkan
kehamilan sehingga jumlah anak dalam keluarga sesuai keinginan dapat
menggunakan kontrasepsi.
e) Pengalaman dengan kontrasepsi yang lalu
Wanita yang dahulunya pernah menggunakan salah satu jenis kontrasepsi, dia merasa
nyaman dan merasa mendapat keuntungan dari kontrasepsi itu. Maka dia pasti akan
menggunakan kontrasepsi itu lagi.
2) Faktor kesehatan-kontra indikasi absolut dan relatif
a) Status kesehatan
Wanita yang mempunyai penyakit jantung dapat menggunakan kontrasepsi
progesteron, karena mengandung esterogen sehingga tidak berdampak serius terhadap
b) Riwayat haid
Semua wanita yang siklus haidnya panjang atau pendek dapat menggunakan
kontrasepsi progesterone, sedangkan wanita yang pernah mengalami perdarahan
pervaginam yang belum jelas penyebabnya tidak boleh menggunakan kontrasepsi
progesteron.
c) Riwayat keluarga
Wanita yang dalam keluarganya mempunyai riwayat kanker payudara dan diabetes
mellitus disertai komplikasi tidak dapat menggunakan kontrasepai progestin.
d) Pemeriksaan fisik
Wanita yang pada pemeriksaan fisik terdapat varises tidak dapat menggunakan
kontrasepsi progestin.
3) Faktor metode kontrasepsi penerimaan dan pemakaian berkesinambung
a) Efektifitas
Efektifitas kontrasepsi progestin tinggi, dengan 0,3 kehamilan per 100 perempuan
tiap tahun. Asal penyuntikkannya dilakukan secara teratur sesuai jadwal yang telah
ditentukan.
b) Efek samping minor
Efek samping hanya sedikit (gangguan siklus haid, perubahan berat badan,
keterlambatan kembalinya kesuburan dan osteoporosis pada pemakaian jangka
c) Kerugian
Kerugian hanya sedikit dan jarang terjadi pada wanita yang mengunakan kontrasepsi
progesteron ini, perubahan berat badan merupakan kerugian tersering.
d) Komplikasi-komplikasi yang potensial
Wanita yang menggunakan kontrasepsi progesterone tidak ditemukan adanya
komplikasi-komplikasi yang potensial.
e) Biaya.
Biaya kontrasepsi progesteron sangat terjangkau, siapa saja bisa menjangkaunya.
(Hartanto, 2004) atur menurut kebutuhan (Sarwono P, 2008).
Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS, 2010) usia reproduksi perempuan
pada umumnya adalah usia 15-49 tahun. Oleh karena itu untuk mengatur jumlah
kelahiran atau menjarangkan kelahiran, wanita atau pasangan ini lebih diprioritaskan
untuk menggunakan alat atau cara Keluarga Berencana (KB). Tingkat pencapaian
pelayanan keluarga berencana dapat dilihat dari cakupan peserta KB yang sedang
atau pernah menggunakan alat kontrasepsi, tempat pelayanan KB, dan jenis
kontrasepsi yang digunakan akseptor (DEPKES RI, 2009). Intra Uterine Device
(IUD) adalah satu-satunya metode kontrasepsi yang menempatkan perangkat di
dalam rahim. Seorang dokter atau bidan memasukkan perangkat IUD melalui
prosedur rawat jalan yang hanya memerlukan beberapa menit untuk
menyelesaikannya. Pada umumnya, pemasangan dilakukan tanpa anestesi apa pun.
IUD merupakan kontrasepsi jangka panjang. IUD hormonal memiliki masa manfaat
sampai 5 tahun, sedangkan IUD tembaga bisa sampai 10 tahun. Kepraktisan
metode kontrasepsi yang paling populer. Risiko komplikasi dan efek samping
pemakaian IUD relatif minimal, dan biasanya hanya pada bulan-bulan awal setelah
pemasangan. Komplikasi lebih sering pada wanita yang belum pernah memiliki anak.
Selain pemasangan lebih sulit, tubuh mereka cenderung mengusir benda asing. Hal
ini bisa membuat IUD berpindah atau lepas dari tempatnya. Oleh karena itu,
disarankan untuk secara berkala memasukkan ujung jari Anda ke vagina untuk
memeriksa apakah perangkat tersebut masih ada di tempatnya (BKKBN,2012).
E. Patofisiologi Disfungsi Seksual Akibat Pemakaian Kontrasepsi
Disfungsi seksual akibat pemakaian kontrasepsi bergantung pada jenis kontrasepsi itu
sendiri. Dimana pada kontrasepsi hormonal akan berpengaruh pada efek umpan balik
positif estrogen (estrogen positive feedback) dan umpan balik negatif progesteron
(progesteron negative feedback). Pemberian hormon yang berasal dari luar tubuh
seperti pada kontrasepsi hormonal baik berupa estrogen maupun progesteron
menyebabkan peningkatan kadar kedua hormon tersebut di darah, hal ini akan di
deteksi oleh hipofisis anterior dan hipofisis anterior dan akan menimbulakn umpan
balik negatif dengan menurunkan sekresi hormon FSH dan LH dan dengan
keberadaan progesteron efek penghambatan estrogen akan berlipat ganda. Dalam
jangka waktu tertentu tubuh dapat mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi
estrogen agar tetap dalam keadaan normal namun dalam jangka waktu yang lama
menyebabkan hilangnya kompensasi tubuh dan menurunnya sekresi hormon terutama
estrogen (Guyton, 2008). Pada kontrasepsi IUD, Pemasangan yang salah dapat
menyebabkan perlukaan pada vagina dan menimbulkan rasa tidak nyaman (BKKBN,
1. Insersi yang tidak baik dari IUD dapat menyebabkan :
a. Ekspulsi.
b. Kerja kontraseptif tidak efektif.
c. Perforasi uterus.
2. Untuk sukses / berhasilnya insersi IUD tergantung pada beberapa hal, yaitu :
a. Ukuran dan macam IUD beserta tabung inserternya.
b. Makin kecil IUD, makin mudah insersinya, makin tinggi ekspulsinya.
c. Makin besar IUD, makin sukar insersinya, makin rendah ekspulsinya.
3. Waktu atau saat insersi.
a. Insersi Interval
1) Kebijakan (policy) lama : Insersi IUD dilakukan selama atau segera sesudah haid.
Alasan : Ostium uteri lebih terbuka, canalis cervicalis lunak, perdarahan yang timbul
karena prosedur insersi, tertutup oleh perdarahan haid yang normal, wanita pasti tidak
hamil.
Tetapi, akhirnya kebijakan ini ditinggalkan karena : Infeksi dan ekspulsi lebih tinggi bila
insersi dilakukan saat haid, Dilatasi canalis cervicalis mid-siklus, memudahkan calon
akseptor pada setiap ia datang ke klinik KB.
2) Kebijakan (policy) sekarang : Insersi IUD dapat dilakukan setiap saat dari siklus haid
asal kita yakin seyakin-yakinnya bahwa calon akseptor tidak dalam keadaan hamil.
b. Insersi Post-Partum
Insersi IUD adalah aman dalam beberapa haris post-partum, hanya kerugian paling
besar adalah angka kejadian ekspulsi yang sangat tinggi. Tetapi menurut penyelidikan
di Singapura, saat yang terbaik adalah delapan minggu post-partum. Alasannya karena
c. Insersi post-Abortus
Karena konsepsi sudah dapat terjadi 10 hari setelah abortus, maka IUD dapat segera
dipasang sesudah :
1) Abortus trimester I : Ekspulsi, infeksi, perforasi dan lain-lain sama seperti pada
insersi interval.
2) Abortus trimester II : Ekspulsi 5 – 00x lebih besar daripada setelah abortus trimester
pertama.
d. Insersi Post Coital
e. Dipasangkan maksimal setelah 5 hari senggama tidak terlindungi.
4. Teknik insersi, ada tiga cara :
a. Teknik Push Out : mendorong : Lippes Loop, Bahaya perforasi lebih besar.
b. Teknik Withdrawal : menarik : Cu IUD.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analitik-komparatif dengan pendekatan
crossecsional (Notoadmojo, 2010).
B.Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai Oktober-November 2013.
C.Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek atau obyek penelitian yang
memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
Populasi dalam penelitian ini adalah pasangan usia subur (PUS) 15-49 tahun
akseptor IUD atau hormonal di Puskesmas Rajabasa.Teknik pengumpulan sampel
dalam peneltian ini adalah consecutive sampling.
Dengan persamaan analitis kategorik tidak berpasangan menurut Dahlan, 2010
sebagai berikut :
n =
n =
n =
n = 108 dibulatkan menjadi 110 untuk masing-masing jenis kontrasepsi
Keterangan :
n = banyak sampel
Zα = deviat baku alfa
Zβ = deviat baku beta
P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
Q2 = 1-P2
P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement
peneliti
Q1 = 1-P1
P1-P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna
P = proporsi total
Kriteria inklusi:
1. Pasangan usia subur 15-49 tahun.
2. Menggunakan salah satu kontrasepsi antara hormonal dan IUD
Kriteria eksklusi
1. Tidak bersedia menjadi subjek penelitian dengan tidak mengisi dan
menandatangani informed concent
2. Hambatan etis
D. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel bebas adalah variabel yang apabila nilainya berubah akan mempengaruhi
variabel yang lain (Dahlan, 2010). Variabel terikat adalah variabel yang
dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel
terikat adalah disfungsi seksual. Variabel bebasnya adalah pasangan usia subur
E. Definisi operasional
Tabel 1. Definisi operasional
No. Variabel Definisi Alat ukur Hasil ukur Skala
1 Akseptor KB
Hormonal PUS yang menggunakan kontrasepsi suntik, implant, oral hormonal terus-menerus hingga saat penelitian
Kuesioner iya / tidak Nominal
2 Akseptor KB
(IUD) PUS yang menggunakan kontrasepsi IUD hingga saat penelitian.
Kuesioner iya/tidak Nominal
3 Disfungsi
seksual PUS yang mengalami keluhan seksual sesuai dengan kuesioner disfungsi seksual Kuesioner FSFI
1. Tidak
Untuk skor domain individu, tambahkan nilai dari item individu yang terdiri dari
domain dan kalikan jumlah tersebut dengan faktor domain. Tambahkan nilai enam
domain untuk mendapatkan skala penuh. Perlu dicatat bahwa domain individu,
nilai domain nol menunjukkan bahwa subjek yang dilaporkan tidak memiliki
aktivitas seksual sebulan terakhir. Skor subjek penelitian dapat dimasukkan dalam
[image:46.595.119.508.322.728.2]kolom kanan.
Tabel 2. Skor Penilaian FSFI
No. Domain Pertanyaan Rentang
Skor
Faktor Skor
minimal
Skor
maksimal
Skor
1. Hasrat
seksual
1,2 1-5 0,6 1,2 6,0
2. Rangsangan
seksual
3,4,5,6 0-5 0,3 0 6,0
3. Lubrikasi
vagina
7,8,9,10 0-5 0,3 0 6,0
4. Orgasme
(klimaks)
11,12,13 0-5 0,4 0 6,0
5. Kepuasan 14,15,16 0 atau
(1-5)
0,4 0 6,0
6. Kesakitan 17,18,19 0-5 0,4 0 6,0
Rentang
Skor
Skala
Penuh
F. Alat dan Cara Penelitian 1. Alat Penelitian
Pada penelitian ini digunakan alat – alat sebagai berikut :
a) Kuesioner disfungsi seksual
b) Alat tulis
c) Lembar persetujuan
d) Formulir untuk mencatat hasil observasi
2. Cara penggambilan data
Dalam penelitian ini, seluruh data diambil secara langsung dari responden (data
primer), yang meliputi :
1. Penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian
2. Pengisian informed consent
3. Pengisian kuesioner terbimbing
F. Alur Penelitian
Membuat surat izin penelitian dari Fakultas Kedokteran Unila untuk
mengambil data di Puskesmas Rajabasa
Mendapatkan izin penelitian di Puskesmas Rajabasa
Menyebarkan kuesioner kepada calon responden di Puskesmas Rajabasa
Didapatkan jawaban rsponden berdasarkan kuesioner FSFI dengan jawaban
tertutup melalui wawancara
Pengolahan data
Analisis data
Kesimpulan
G. Pengolahan dan Analisis data
1. Pengolahan data
Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah kedalam
bentuk tabel - tabel, kemudian data diolah menggunakan program statistik.
Kemudian, proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri
beberapa langkah :
Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan
selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.
Data entry, memasukkan data kedalam komputer.
Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap data yang
telah dimasukkan kedalam komputer.
Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer kemudian
dicetak.
2. Analisis Statistika
Analisis statistika untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan
program statistik dimana akan dilakukan 2 macam analisa data, yaitu analisa
univariat dan analisa bivariat.
a). Analisa Univariat
Analisa ini digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi variabel bebas dan
b). Analisa Bivariat
Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan
anatara variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji
statististik:
Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Uji Chi square
Chi-kuadrat digunakan untuk mengadakan pendekatan dari beberapa faktor atau
mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau frekuensi hasil observasi dengan
frekuensi yang diharapkan dari sampel apakah terdapat hubungan atau perbedaan
yang signifikan atau tidak. Dalam statistik, distribusi chi square termasuk dalam
statistik nonparametrik. Distribusi nonparametrik adalah distribusi dimana
besaran-besaran populasi tidak diketahui. Distribusi ini sangat bermanfaat dalam
melakukan analisis statistik jika kita tidak memiliki informasi tentang populasi
atau jika asumsi-asumsi yang dipersyaratkan untuk penggunaan statistik
parametrik tidak terpenuhi.
Beberapa hal yang perlu diketahui berkenaan dengan distribusi chi square adalah:
1. Distribusi chi square memiliki satu parameter yaitu derajat bebas (db).
2. Nilai-nilai chi square di mulai dari 0 disebelah kiri, sampai nilai-nilai positif
tak terhingga di sebelah kanan.
3. Probabilitas nilai chi square di mulai dari sisi sebelah kanan.
4. Luas daerah di bawah kurva normal adalah 1.
Nilai chi square adalah nilai kuadrat karena itu nilai chi square selalu positif.
Bentuk distribusi chi square tergantung dari derajat bebas (Db)/degree of
lain, yaitu luas daerah penolakan Ho atau taraf nyata pengujian. Metode
Chi-kuadrat menggunakan data nominal, data tersebut diperoleh dari hasil
menghitung. Sedangkan besarnya nilai chi-kuadrat bukan merupakan ukuran
derajat hubungan atau perbedaan. Agar pengujian hipotesis dengan chi-kuadrat
dapat digunakan dengan baik, maka hendaknyamemperhatikan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut
1. Jumlah sampel harus cukup besar untuk meyakinkan kita bahwa terdapat
kesamaan antara distribusi teoretis dengan distribusi sampling chi-kuadrat.
2. Pengamatan harus bersifat independen (unpaired). Ini berarti bahwa jawaban
satu subjek tidak berpengaruh terhadap jawaban subjek lain atau satu subjek
hanya satu kali digunakan dalam analisis.
3. Pengujian chi-kuadrat hanya dapat digunakan pada data deskrit (data frekuensi
atau data kategori) atau data kontinu yang telah dikelompokan menjadi
kategori.
4. Jumlah frekuensi yang diharapkan harus sama dengan jumlah frekuensi yang
diamati.
Pada derajat kebebasan sama dengan 1 (tabel 2 x 2) tidak boleh ada nilai
ekspektasi yang sangat kecil. Secara umum, bila nilai yang diharapkan terletak
dalam satu sel terlalu kecil (< 5) sebaiknya chi-kuadrat tidak digunakan karena
dapat menimbulkan taksiran yang berlebih (over estimate) sehingga banyak
hipotesis yang ditolak kecuali dengan koreksi dari Yates.
Bila tidak cukup besar, maka adanya satu nilai ekspektasi yang lebih kecil dari 5
tidak akan banyak mempengaruhi hasil yang diinginkan. Pada pengujian
kurang dari 5 maka, nilai-nilai ekspektasi tersebut dapat digabungkan dengan
konsekuensi jumlah kategori akan berkurang dan informasi yang diperoleh juga
berkurang.
Pengujian hipotesis menggunakan distribusi chi-kuadrat yang terdiri dari 2
variabel dan masing-masing variabel terdiri dari beberapa kategori. Untuk
menghitung banyaknya derajat kebebasan maka dibuat tabel kontingensi.
Misalnya terdapat 2 variabel di mana variabel ke-1 terdiri dari 3 kategori dan
veriabel ke-2 terdiri dari 4 kategori Jumlah nilai dari baris dan kolom disebut nilai
marginal. Jika nilai marginal dari jumlah seluruhnya (grand total) telah diketahui
maka, pada baris pertama terdapat 3 nilai yang dapat ditentukan dengan bebas,
demikian pula dengan baris kedua, tetapi pada baris ketiga semuanya tidak bebas
karena jumlah marginal telah diketahui. Chi-kuadrat dapat digunakan untuk
menguji beberapa proporsi, misalnya, kita memperoleh beberapa proporsi P1, P2,
P3 . . . . Pk dengan kategori x1, x2, x3 . . . . xk yang bersifat independen dan kita
ingin mengetahui apakah perbedaan proporsi hasil pengamatan memang benar
berbeda atau karena faktor kebetulan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut
dilakukan pengujian dengan x2.
Di bidang kedokteran tidak jarang kita menemukan dua variabel dimana masing –
masing variabel terdiri dari beberapa kategori,misalnya tingkat beratnya penyakit
dengan tingkat kesembuhan. Bila kita ingin mengetahui apakah diantara dua
variabel tersebut terdapat hubungan atau tidak, dengan kata lain apakah kedua
variabel tersebut bersifat dependen atau independen, maka pengujian hipotesis
Interpretasi hasil pengujian ialah apabila hipotesis nol diterima, berarti tidak ada
hubungan (independen), tetapi bila hasilnya menolak hipotesis nol maka
dikatakan kedua variabel tersebut mempunyai hubungan atau dependen. Rumus
yang digunakan adalah rumus umum x2. Walaupun telah dilakukan koreksi, tetapi
masih terjadi keraguan pendekatan distribusi chi-kuadrat ke distribusi normal. Hal
ini terjadi bila frekuensi terlalu kecil.oleh karena itu, R.A. Fisher, J.O. Irwin, dan
F. Yates mengusulkan perhitungan chi-kuadrat dilakukan eksak tes yang dikenal
dengan Fisher probability exact test probability.
2. Uji T independent
Uji T tidak berpasangan merupakan uji parametrik (distribusi data normal) yang
digunakan untuk membandingkan dua mean populasi yang berasal dari
populasi yang sama. Dalam hal ini uji tersebut digunakan untuk mengetahui
apakah ada perbedaan angka kejadian disfungsi seksual. Namun, bila distribusi data
tidak normal dapat digunakan uji U Mann – Whitney sebagai alternatif (Dahlan,
2008). Adapun syarat untuk uji T tidak berpasangan adalah :
a. Data harus berdistribusi normal (wajib)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Hasil
1. Gambaran Umum Penelitian
Penelitian mengenai Perbandingan angka kejadian Disfungsi Seksual berdasarkan
skoring FSFI pada akseptor Hormonal dan IUD di Puskesmas Rajabasa Bandar
Lampung telah dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2013 dengan
jumlah sampel yang memenuhi kriteria inkulsi dan ekslusi yang telah ditentukan
berjumlah 110 orang untuk masing-masing jenis kontrasepsi.
Sesuai dengan tujuan umum penelitian yaitu untuk mengetahui gambaran
distribusi responden menurut variabel independen dan variabel dependen dengan
menggunakan analisis univariat dan bivariat. Sebagai variabel independen adalah
akseptor Hormonal dan IUD dan untuk variabel dependen adalah angka kejadian
disfungsi seksual. Sedangkan untuk tujuan khusus penelitian yaitu
mendeskripsikan prevalensi disfungsi seksual pada akseptor hormonal dan IUD
serta peneliti menambahkan karakteristik responden penelitian yakni umur dan
2. Analisis Univariat
a. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Disfungsi Seksual
Pengkategorian kejadian disfungsi seksual mengacu pada Rosen yang
memodifikasi instrumen skor penilaian Female Sexual Fuction Index (FSFI).
Rosen merekomendasikan seseorang mengalami disfungsi seksual jika nilai
seluruh domain kurang atau sama dengan 26,5 (Rosen et al., 2000).
Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual secara rinci disajikan
[image:55.595.108.487.390.458.2]pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual
Kejadian Disfungsi Jumlah Persentase
Tidak Disfungsi (skor > 26,5) 122 55,45% Disfungsi Seksual (skor ≤ 26,5) 98 44,55%
Total 220 100%
Berdasarkan Tabel 1, dari 220 responden yang menjadi subjek penelitian, terdapat
98 orang (44,55%) akseptor yang mengalami disfungsi seksual dan terdapat 122
orang (55,45%) wanita yang tidak mengalami disfungsi seksual atau normal.
Sehingga dapat disimpulkan hampir separuh dari akseptor di Puskesmas Rajabasa
Gambar 6. Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual.
b. Distribusi Responden Berdasarkan 6 Domain Disfungsi Seksual
Domain disfungsi seksual berdasarkan FSFI terdiri dari 6 domain. Persentase
banyak dan sedikitnya responden yang mengalami domain disfungsi seksual dapat
dilihat dari tabel 4 dan grafik yang terlihat pada Gambar 9.4 berikut:
Tabel 2. Distribusi responden akseptor IUD berdasarkan domain disfungsi seksual
Domain Disfungsi Persentase
Hasrat 21 19,09%
Rangsangan 31 28,18%
Lubrikasi 21 19,09%
Orgasme 16 14,55%
Kepuasan 23 20,91%
[image:56.595.110.515.561.694.2]Sebesar 19,09% atau 21 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain
pertama (Hasrat) sebesar 28,18% atau 31 orang responden mangalami disfungsi seksual
pada domain kedua (Perangsangan), sebesar 19,09% atau 21 orang responden mengalami
disfungsi seksual pada domain ketiga (Kebasahan/Lubrikasi) , sebesar 14,55% atau 16
orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain keempat (Orgasme), sebesar
20,91% atau 23 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain kelima
(Kepuasan), dan sebesar 60,9% atau 67 responden mengalami disfungsi seksual pada
domain keenam (Kesakitan). Dari hasil tersbut dapat disimpulkan bahwa domain
keenam yakni nyeri/kesakitan merupakan domain disfungsi seksual terbanyak
[image:57.595.114.505.370.579.2]yang dialami oleh responden akseptor IUD.
Gambar 7. Grafik distribusi responden akseptor IUD berdasarkan 6 domain
Tabel 3. Distribusi responden akseptor hormonal berdasarkan domain disfungsi
seksual
Sebesar 91,82% atau 101 orang responden mengalami disfungsi seksual pada
domain pertama (Hasrat) sebesar 70% atau 77 orang responden mangalami
disfungsi seksual pada domain kedua (Perangsangan), sebesar 62,73% atau 69
orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain ketiga
(Kebasahan/Lubrikasi), sebesar 35,46% atau 39 orang responden mengalami
disfungsi seksual pada domain keempat (Orgasme), sebesar 15,46% atau 17 orang
responden mengalami disfungsi seksual pada domain kelima (Kepuasan), dan
sebesar 58,18% atau 64 orang responden mengalami disfungsi seksual pada
domain keenam (Kesakitan). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa domain
pertama yakni hasrat merupakan domain disfungsi seksual terbanyak yang dialami
oleh responden akseptor hormonal.
Domain Disfungsi Persentase
Hasrat 101 91,82%
Rangsangan 77 70%
Lubrikasi 69 62,73%
Orgasme 39 35,46%
Kepuasan 17 15.46%
Gambar 8. Grafik Distribusi responden akseptor hormonal berdasarkan domain
disfungsi seksual
c. Distribusi Responden berdasarkan pendidikan
Distribusi responden berdasarkan pendidikan PUS secara rinci disajikan pada
[image:59.595.106.516.548.622.2]tabel 4. Berikut:
Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan pendidikan
Pendidikan Ibu Jumlah Persentase
Tinggi ( ≥ SMA ) 142 64,55 %
Rendah (< SMA) 78 35,45 %
Total 220 100 %
Dari Tabel 6, diperoleh data bahwa dari seluruh responden yang diteliti, sebagian
besar atau 142 orang (64,55%) responden mempunyai pendidikan tinggi (≥
Gambar 9. Distribusi responden berdasarkan pendidikan
d. Distribusi Responden berdasarkan Umur
Dari hasil analisis univariat mengenai distribusi umur PUS didapatkan data
sebagaimana terlihat pada Tabel 5
Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan umur
Umur PUS Jumlah Persentase
Muda (≤ 35 tahun)
173 78,64 %
Tua (> 35 tahun)
47 21,36 %
Total 220 100 %
Berdasarkan Tabel 5, maka dapat diketahui bahwa sebanyak 173 orang (78,64%)
PUS berusia ≤ 35 tahun, dan sebanyak 47 orang (21,36%) berusia lebih dari 35
[image:60.595.107.516.547.637.2]Gambar 10. Distribusi responden berdasarkan umur
e. Perbedaan Rerata Skor Disfungsi Seksual Berdasarkan Jenis Kontrasepsi Berdasarkan penelitian dari 220 responden diperoleh hasil perbedaan rerata skor
angka kejadian disfungsi seksual pada akseptor IUD dan Hormonal di puskesmas
Rajabasa, dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Analisis perbedaan rerata skor disfungsi seksual pada akseptor hormonal
dan IUD.
Rata-rata Kontrasepsi Selisih Nilai p
IUD Hormonal
Skor Disfungsi 29,8 26,2 3.6 0,000
Bardasarkan Tabel 6, didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
[image:61.595.105.520.605.679.2]Dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor FSFI akseptor IUD lebih tinggi dari
[image:62.595.115.486.138.325.2]akseptor Hormonal dengan selisih skor FSFI tersebut sebesar 3,6.
Gambar 11. Analisis perbedaan rerata skor disfungsi seksual pada akseptor hormonal dan IUD.
3. Analisis Bivariat
a. Prevalensi Disfungsi Seksual Akseptor Hormonal dan IUD Tabel 7. Prevalensi disfungsi seksual akseptor hormonal dan IUD
Kategori
Hormonal IUD p
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Disfungsi 75 68,18 % 23 20,91% 0,000
Tidak Disfungsi 35 31,82 % 87 79,09%
Total 110 100 % 110 100%
Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui prevalensi disfungsi seksual pada pasangan
usia subur (PUS) akseptor kontrasepsi hormonal di puskesmas rajabasa Bandar
Lampung. Dari 110 responden yang menjadi subjek penelitian, terdapat 75 orang
[image:62.595.106.517.531.620.2]disfungsi seksual dan terdapat 35 orang (31,82%) yang tidak mempunyai gejala
disfungsi seksual atau normal. Pada akseptor IUD terdapat 23 orang (20,91%)
yang mempunyai gejala terjadi disfungsi seksual dan terdapat 87 orang (79,09%).
Dengan nilai p=0.000 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
[image:63.595.129.498.234.406.2]bermakna antara penggunaan alat kotrasepsi dengan kejadian disfungsi seksual.
Gambar 12. Prevalensi disfungsi seksual akseptor hormonal dan IUD
b. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi
Tabel 8. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi
Pendidikan PUS Hormonal IUD
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Tinggi ( ≥ SMA ) 53 48,18 % 83 75,45%
Rendah (< SMA) 57 51,82 % 27 25,55%
Total 110 100 % 110 100%
diperoleh data bahwa dari 110 Akseptor hormonal yang diteliti, 59 orang atau
53,64% responden mempunyai pendidikan tinggi (≥ SMA), sedangkan 51 orang
[image:63.595.107.517.571.660.2]Orang atau 75,45% mempunyai pendidikan tinggi (≥ SMA), sedangkan 27 orang
[image:64.595.113.504.163.430.2]atau 25,55% responden berpendidikan rendah(<SMA).
Gambar 13. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi
c. Distribusi umur responden berdasarkan jenis kontrasepsi
Tabel 9. Distribusi umur responden berdasarkan jenis kontrasepsi
Umur PUS
Hormonal IUD
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Muda (≤ 35
tahun) 68 61,82 % 105 95,45%
Tua (> 35
tahun) 42 38,18 % 5 4,55%
[image:64.595.107.518.574.710.2]Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 68 orang (61,82%)
akseptor hormonal berusia ≤ 35 tahun, dan sebanyak 42 orang (38,18%) berusia
lebih dari 35 tahun. Akseptor IUD sebanyak 105 orang (95,45%) berusia ≤ 35
tahun dan sebanyak 5 orang (4,55%) berusia lebih dari 35 tahun.
[image:65.595.113.524.222.461.2]
B. Pembahasan
1. Analisis Univariat
a. Prevalensi Disfungsi Seksual pada Akseptor di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung
Kejadian Kejadian Disfungsi Seksual dikategorikan menjadi 2 yaitu yang terjadi
disfungsi seksual dan non disfungsi seksual atau normal. Hal ini merujuk pada
Female Sexual Function Index(Rosen et al.,2000) yang merekomendasikan
seseorang mengalami disfungsi seksual jika nilai seluruh domain kurang atau
sama 26,5.
Kejadian disfungsi seksual pada pengguna kontrasepsi di puskesas Rajabasa
bandar l