• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN ANGKA KEJADIAN DISFUNGSI SEKSUAL MENURUT SKORING FSFI PADA AKSEPTOR IUD DAN HORMONAL DI PUSKESMAS RAJABASA BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBANDINGAN ANGKA KEJADIAN DISFUNGSI SEKSUAL MENURUT SKORING FSFI PADA AKSEPTOR IUD DAN HORMONAL DI PUSKESMAS RAJABASA BANDAR LAMPUNG"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN ANGKA KEJADIAN DISFUNGSI SEKSUAL MENURUT SKORING FEMALE SEXUAL FUNCTION INDEX PADA

AKSEPTOR IUD DAN HORMONAL DI PUSKESMAS RAJABASA BANDAR LAMPUNG

Oleh

M. Akip Riyan S

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRACT

THE COMPARISON OF THE INCIDENCE OF SEXUAL DYSFUNCTION ACCORDING TO THE FSFI SCORING ACCEPTOR IUDs AND HORMONAL AT PUSKESMAS RAJABASA IN BANDAR LAMPUNG

By :

M. AKIP RIYAN S

Female sexual dysfunction is an important reproductive health issues as they relate to survival and reproduction affect the harmony between husband and wife. Female sexual disorders are divided into four categories of interest (desire disorders ), lust ( arousal disorder ), orgasm ( orgasmic disorder ), and pain sexual (sexual pain disorder). The aim of this study to compare the incidence of sexual dysfunction according to the FSFI scoring between IUD and hormonal contraceptives acceptors at Puskesmas Rajabasa in Bandar Lampung.

This study is analitic correlative with the cross-sectional approach with consecutive sampling technique . The study was conducted in October-November 2013, with 110 people respondents for each type of contraception.

(3)
(4)

SKORING FSFI PADA AKSEPTOR IUD DAN HORMONAL DI PUSKESMAS RAJABASA BANDAR LAMPUNG

Oleh :

M. AKIP RIYAN S

Disfungsi seksual wanita merupakan masalah kesehatan reproduksi yang penting karena berhubungan dengan kelangsungan reproduksi dan berpengaruh terhadap keharmonisan hubungan suami istri. Disfungsi seksual wanita dibagi empat kategori yaitu gangguan minat, birahi, orgasme dan nyeri seksual. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan angka kejadian disfungsi seksual menurut skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal pada akseptor di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung.

Desain penelitian menggunakan metode analitik-komparatif dengan pendekatan cross sectional dengan teknik consecutive sampling. Penelitian dilakukan Oktober-November 2013 dengan 110 responden untuk tiap jenis kontrasepsi.

Hasil penelitian ini adalah prevalensi disfungsi seksual pasangan usia subur (PUS) di puskesmas rajabasa Bandar Lampung pada akseptor hormonal 75 orang (68,18%) dan pada akseptor IUD terdapat 23 orang (20,91%). Angka kejadian disfungsi seksual akseptor hormonal lebih tinggi dibanding akseptor IUD dan pada terdapat perbedaan yang signifikan dengan p = 0,000.

(5)
(6)
(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

1. Tujuan Umum ... 4

2. Tujuan Khusus ... 4

D. Manfaat Penelitian... 4

E. Kerangka penelitian... 5

1. Kerangka teori... 5

2. Kerangka konsep... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Seksualitas ... 8

1. Pengertian seksualitas ... 8

2. Fungsi seksualitas ... 9

3. Respon seksual wanita ... 11

B. Disfungsi Seksual ... 14

1. Pengertian Disfungsi seksual ... 14

2. Macam-macam disfungsi seksual...15

3. Pengukuran FSFI...19

C. Keluarga Berencana... 20

1. Pengertian keluarga berencana ... 20

2. Manfaat KB ... 20

D. Kontrasepsi ... 22

1. Pengertian Kontrasepsi... 22

E. Patofisiologi Disfungsi Seksual Akibat Pemakaian Kontrasepsi... 29

III. METODE PENELITIAN ... 32

A. Desain Penelitian ... 32

B. Tempat dan Waktu ... 32

(8)

1. Populasi ... 33

2. Sampel ... 33

D. Identifikasi Variabel Penelitian ... 34

E. Definisi Operasional ... 35

F. Alat dan Cara Penelitian ... 37

1. Alat penelitian ... 37

2. Cara Pengambilan Data ... 37

G. Alur Penelitian... 38

H. Pengolahan dan Analisis Data ... 39

1. Pengolahan Data... 39

2. Analisis Data ... 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...44

A. Hasil ... 44

B. Pembahasan ... 56

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori...6

2. Kerangka Konsep...7

3. Fungsi seksualitas ...10

4. Respon Seksual wanita ...14

5. Alur Penelitian ...38

6. Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual ...46

7. Distribusi Responden akseptor IUD berdasarkan domain disfungsi Seksual... .47

8. Distribusi Responden akseptor Hormonal berdasarkan domain disfungsi seksual... .49

9. Distribusi Responden berdasarkan pendidikan ...50

10. Distribusi Responden berdasarkan umur ...51

11. Perbedaan Rerata Skor Disfungsi Seksual Berdasarkan Jenis Kontrasepsi... ...52

12. Prevalensi Disfungsi Seksual Akseptor Hormonal dan IUD... 53

13. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi... .54

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Definisi Operasional ...35

2. Skor Penilaian FSFI ...36

3. Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual ...45

4. Distribusi Responden berdasarkan domain disfungsi seksual ...46

5. Distribusi Responden akseptor Hormonal berdasarkan domain disfungsi . seksual...48

6. Distribusi Responden berdasarkan pendidikan ...49

7. Distribusi Responden berdasarkan umur ...50

8. Perbedaan Rerata Skor Disfungsi Seksual Berdasarkan Jenis Kontrasepsi... 51

9. Prevalensi Disfungsi Seksual Akseptor Hormonal dan IUD... .52

10. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi...53

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Disfungsi seksual pada wanita merupakan masalah kesehatan reproduksi yang

penting karena berhubungan dengan kelangsungan fungsi reproduksi seorang wanita

dan berperngaruh besar terhadap keharmonisan hubungan suami istri. Disfungsi

seksual merupakan kegagalan yang menetap atau berulang, baik sebagian atau secara

keseluruhan, untuk memperoleh dan atau mempertahankan respon lubrikasi

vasokongesti sampai berakhirnya aktifitas seksual (Chandra, 2005). Pada Diagnostic

and Statistic Manual version IV (DSM IV) dari American Phychiatric Assocation,

dan International Classification of Disease-10 (ICD-10) dari WHO, disfungsi

seksual wanita ini dibagi menjadi empat kategori yaitu gangguan minat/keinginan

seksual (desire disorders), gangguan birahi (arousal disorder), gangguan orgasme

(orgasmic disorder), dan gangguan nyeri seksual (sexual pain disorder).

Female Sexual Function Index (FSFI) merupakan alat ukur yang valid dan akurat

terhadap fungsi seksual wanita. Kuesioner ini terdiri dari 19 pertanyaan yang terbagi

dalam enam subskor, termasuk hasrat seksual, rangsangan seksual, lubrikasi,

(12)

Female Seksual Function Index (FSFI) digunakan untuk mengukur fungsi seksual

termasuk hasrat seksual dalam empat minggu terakhir (Rosen dkk, 2000).

Skor yang tinggi pada tiap domain menunjukkan level fungsi seksual yang lebih baik

(Rosen dkk, 2000).

Angka kejadian disfungsi seksual wanita di setiap negara bisa berbeda-beda. Di

Indonesia, Imronah (2011) dengan menggunakan instrumen FSFI menemukan bahwa

kasus disfungsi seksual pada kaum wanita di Bandar Lampung mencapai 66,2%. Jika

angka-angka disfungsi seksual wanita di Turki (48,3%), Ghana 72,8%), Nigeria

(63%), dan Indonesia (66,2%) itu dirata-ratakan kita dapatkan angka prevalensi

sebesar 58,04%. Itu artinya lebih dari separuh kaum wanita di dalam suatu negara

berpotensi mengalami gangguan fungsi seksual. Dengan prevalensi sebesar itu wajar

bila disfungsi seksual wanita tidak bisa dipandang remeh, karena menyangkut

kualitas hidup lebih dari separuh populasi wanita (Sutyarso, 2011). Sebuah studi oleh

Journal of Sexual Medicine mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya disfungsi

seksual pada wanita berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi baik hormonal

dan non-hormonal (Walwiener, 2010).

Pada tahun 2011 peserta KB Baru secara nasional pada Bulan Januari 2011 sebanyak

597.290 peserta. Apabila dilihat per kontrasepsi maka persentasenya adalah sebagai

berikut : 32.507 peserta IUD (5,44%), 6.216 peserta Metode Operatif Wanita (MOW)

(1,04%), 1.212 peserta Metode Operatif Pria (MOP) (0,2%), 31.881 peserta Kondom

(13)

171.096 peserta Pil (28,65%) (BKKBN, 2011). Dari data di atas dapat disimpulkan

bahwa metode kontrasepsi hormonal dan IUD yang paling banyak digunakan.

Kota Bandar Lampung adalah kota yang memiliki jumlah pasangan usia subur (PUS)

yang cukup banyak, salah satunya di kelurahan Rajabasa yang berjumlah 7256 orang

pada tahun 2012. Berdasarkan jumlah tersebut 4900 pasangan usia subur merupakan

akseptor KB (BKKBN Lampung, 2012).

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang

lebih lanjut mengenai perbandingan angka kejadian disfungsi seksual menurut

skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal di Puskesmas Rajabasa

Bandar Lampung. Peneliti memilih Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung karena

merupakan puskesmas kesehatan induk di Kelurahan Rajabasa dan terjangkau oleh

peneliti.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas dapat diidentifikasikan masalah sebagai

berikut:

1. Apakah ada hubungan antara kontrasepsi IUD dengan masalah disfungsi seksual

pada akseptor di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung?

2. Apakah ada hubungan antara kontrasepsi hormonal dengan masalah disfungsi

(14)

C.Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbandingan angka kejadian disfungsi seksual menurut

skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal.

Tujuan khusus

1. Mengetahui prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur akseptor

IUD di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung

2. Mengetahui prevalensi disfungsi seksual pada pasangan usia subur akseptor

Hormonal di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung.

3. Mengetahui dan mengevaluasi perbandingan angka kejadia disfungsi seksual

pada akseptor hormonal dan IUD di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung.

D.Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Bagi Peneliti :

Untuk meningkatkan kemampuan peneliti tentang perbandingan angka kejadian

disfungsi seksual menurut skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan

(15)

2. Bagi Institusi pendidikan dan Masyarakat

Menambah pengetahuan tentang perbandingan angka kejadian disfungsi seksual

menurut skoring FSFI pada akseptor kontrasepsi IUD dan hormonal, dan Dapat

menambah bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas

Lampung.

3. Bagi Peneliti lain

Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai referensi bagi penelitian

selanjutnya.

E.Kerangka Pemikiran.

1. Kerangka teori

Pada DSM-IV menjabarkan disfungsi seksual sebagai gangguan hasrat seksual dan

atau di dalam siklus tanggapan seksual yang menyebabkan tekanan berat dan

kesulitan hubungan antar manusia. Disfungsi seksual ini dapat terjadi pada 1 atau

lebih dari dari 4 fase siklus tanggapan yaitu hasrat (libido), bangkitan,

orgasme/pelepasan, dan pengembalian. Meskipun hampir sepertiga pasien disfungsi

seksual terjadi tanpa pengaruh (penggunaan) obat, beberapa petunjuk mengarahkan

bahwa antidepresan dapat mencetuskan atau membangkitkan disfungsi seksual.

Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagian-bagian badan tertentu

(16)

disfungsi seksual dalam berbagai tingkat (Tobing, 2006). Sebuah studi oleh Journal

of Sexual Medicine mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya disfungsi seksual

pada wanita berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi baik hormonal dan

non-hormonal. Disfungsi seksual pada wanita adalah penyakit yang umum, di mana

dua dari lima wanita memiliki setidaknya satu jenis disfungsi seksual, dan keluhan

yang paling banyak terjadi adalah rendahnya gairah seksual / Libido (Michael A,

2007).

Gambar 1. Kerangka teori hubungan alat kontrasepsi dengan disfungsi seksual

(modifikasi dari Tobing, 2006 dan Michael, 2007) Kontrasepsi

spiral(IUD)

Perlukaan pada organ reproduksi

(17)

2. Kerangka Konsep

Konsep merupakan abstrak yang dibentuk oleh generalisasi dari hal-hal yang khusus.

Oleh karena konsep merupakan abstraksi, maka konsep tidak dapat langsung diamati

atau diukur. Konsep hanya dapat diamati melalui konstruk atau yang lebih dikenal

dengan nama variabel. Jadi variabel adalah simbol atau lambang yang menunjukkan

nilai atau bilangan dari konsep (Notoadmodjo, 2010).

Berdasarkan teori tersebut, maka kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut:

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 2. Kerangka konsep hubungan alat kontrasepsi dengan disfungsi seksual menurut skoring FSFI

Prevalensi disfungsi seksual pada wanita adalah suatu konsep, dan untuk mengukur

suatu disfungsi seksual pada wanita harus melalui variabel gangguan hasrat seksual,

gangguan perangsangan seksual, gangguan basah, gangguan orgasme, gangguan

kepuasan, dan gangguan nyeri seksual yang dialami oleh seorang wanita. IUD

Hormonal

Disfungsi Seksual Skor > 26,5

Kontrasepsi Kuesioner

FSFI

(18)

BAB I I

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Seksualitas

2.1.1 Pengertian

Seksualitas merupakan suatu komponen integral dari kehidupan seorang wanita

normal. Hubungan seksual yang nyaman dan memuaskan merupakan salah satu

faktor yang berperan penting dalam hubungan perkawinan bagi banyak pasangan

(Irwan, 2012).

Perilaku seksual adalah manisfestasi aktivitas seksual yang mencakup baik hubungan

seksual ( intercourse; coitus) maupun masturbasi. Hubungan seksual diartikan

sebagai hubungan fisik yaitu hubungan yang melibatkan aktivitas seksual alat genital

laki-laki dan perempuan (Zawid, 1994 dalam Perry & Potter, 2005).

Dorongan/ nafsu seksual adalah minat/ niat seseorang untuk memulai atau

mengadakan hubungan intim (sexual relationship). Kegairahan seksual (Sexual

(19)

mendasar yaitu myotonia (ketegangan otot yang meninggi) dan vasocongestion

(bertambahnya aliran darah ke daerah genital) (Chandra,2005).

2. Fungsi seksualitas

Salah satu kajian mengenai sikap dan pandangan kaum wanita tentang pentingnya

fungsi seksual yang cukup menarik untuk diulas adalah survei yang diprakarsai oleh

Bayer Healthcare yang dilakukan di 12 negara pada April hingga Mei 2006.

Negara-negara tersebut adalah: Brasil, Prancis, Jerman, Italia, Meksiko, Polandia, Saudi

Arabia, Afrika Selatan, Spanyol, Turki, Inggris dan Venezuela. Jumlah responden di

setiap negara tersebut paling sedikit 1000 wanita berusia di atas 18, sehingga jumlah

keseluruhan responden adalah 12.065 orang. Hasilnya, 8996 responden (75% wanita)

mengakui bahwa kegiatan seksual adalah sesuatu yang penting atau sangat penting

bagi mereka. Ketika kepada mereka (8996 responden) yang mengaku seksual sebagai

sesuatu yang penting itu ditanyakan apa alasan mereka berpendapat bahwa seksual

penting, maka respons yang muncul adalah sebagai berikut. Enam dari sepuluh (58%)

wanita mengaku seksual penting untuk memperkuat dan meningkatkan kualitas

hubungan dengan pasangan. Selanjutnya, hampir separuh (47%) responden merasa

bahwa seksual bertalian dengan kebanggaan diri, masing-masing 29% merasa

memiliki daya tarik dan 18% merasa lebih percaya diri. Juga, tidak kurang dari 47%

responden berpandangan bahwa seksual berkontribusi positif buat fisik mereka

(Bayer, 2006)

masing-masing 25% merasa mendapat kepuasan fisik dan 22% merasa seksual

(20)

Gambar 3. Kepentingan seksual menurut wanita (Bayer, 2006)

Selanjutnya, terhadap pertanyaan apa pentingya kepuasan seksual bagi diri mereka,

85% responden mengaku bahwa kepuasan seksual merupakan sesuatu yang sangat

penting (33%) dan penting (52%). Hanya 15 persen dari responden beranggapan

(21)

Gambar 4. Arti kepuasan seksual bagi wanita (Bayer, 2006)

Berdasarkan data-data yang ditampilkan Gambar 3 dan Gambar 4 dijelaskan bahwa

kaum wanita menempatkan kepuasan seksual sebagai sesuatu yang penting bagi

hidup mereka. Dengan demikian kaum wanita menyadari bahwa kualitas fungsi

seksualnya sebagai bagian tak terpisahkan dari kualitas hidupnya, khususnya dalam

bidang kesehatan jiwa dan raga (rohani dan jasmani). Artinya, kualitas fisik dan

psikologis seorang wanita tidak bisa disebut baik bila fungsi seksualnya terganggu

(Sutyarso, 2011).

3. Respons seksual wanita (Sexual Response Cycle- SRC)

Hal-hal yang terjadi saat seseorang mengalami bangkitan/ rangsang seksual

(bergairah secara seksual) dan berperilaku seksual secara umum melibatkan

tahap-tahap sebagai berikut (berlaku untuk segala umur) (Masters & Johnson , 1966) :

a. Tahap istirahat (tidak terangsang)

Dalam keadaan tidak terangsang, vagina dalam keadaan kering dan kendur.

b. Tahap rangsangan (excitement) melibatkan stimuli sensoris

Pada saat minat seksual timbul, karena stimuli/ rangsangan psikologis atau fisik,

mulailah tahap rangsangan/ excitement. Pada pria maupun wanita ditandai dengan

vasokongesti (bertambahnya aliran darah ke genitalia-rongga panggul) dan myotonia

(meningkatnya ketegangan/tonus otot, terutama juga di daerah genitalia) (Halstead

(22)

Selama fase gairah, klitoris, mukosa vagina dan payudara membengkak akibat

peningkatan aliran darah. Tejadi lubrikasi vagina, ukuran labia minora, labia mayora

dan klitoris meningkat, uterus terangkat menjauhi kandung kemih dan vagina, dan

puting susu menjadi ereksi (Hendersons, 2006).

Vasokongesti dan myotonia merupakan syarat utama tahap excitement dan

menyebabkan basahnya vagina (vaginal sweating) dan ereksi klitoris pada wanita

(tidak selalu).

c. Tahap plateu ( pendataran)

Jika kegairahan meningkat, orang akan masuk tahap plateu yaitu vasokongesti dan

mytonia mendatar tetapi minat seksual tetap tinggi. Fase plateu dapat singkat atau

lama tergantung rangsangan dan dorongan seksual individu, latihan sosial dan

konstitusi/ tubuh orang itu. Sebagian orang menginginkan orgasme secepatnya, orang

lain dapat mengendalikannya, yang lain lagi menginginkan plateu yang lama sekali

(Chandra, 2005). Saat wanita mencapai fase plateu, lapisan ketiga terluar dari vagina

membengkak akibat aliran darah dan distensi, klitoris mengalami retraksi dan “sex flush” (Masters and Johson ,1966) yang merupakan suatu ruam seperti campak, dapat

meyebar dari payudara ke semua bagian tubuh (Hendersons, 2006).

d. Tahap orgasme ; melibatkan ejakulasi, kontraksi otot

Tahap orgasme relatif singkat saja. Ketegangan psikologis dan otot dengan cepat

meningkat, begitu juga aktifitas tubuh, jantung dan pernapasan. Orgasme dapat

dicetuskan secara psikologis dengan fantasi dan secara somatik dengan stimulasi

bagian tubuh tertentu, yang berbeda bagi tiap orang (vagina, uterus pada wanita).

(23)

ketegangan otot tersebut akan menurun karena darah didorong keluar dari pembuluh

darah yang membengkak. Denyut nadi, frekuensi nafas, dan tekanan darah meningkat

dan terjadi kontraksi ritmis uterus. Orgasme disertai dengan sensasi kenikmatan yang

intens. Kemudian tiba-tiba terjadi pelepasan/ release ketegangan seksual, disebut

klimaks/ orgasme.

e. Tahap resolusi (mencakup pasca senggama)

Sesudah orgasme, pria biasanya segera memasuki fase resolusi menjadi pasif dan

tidak responsif, penis mengalami detumescence, sering pria tertidur dalam fase ini.

Sebagian wanita juga mengalami seperti itu, tetapi sebagian besar umumnya masih

responsif secara seksual, bergairah dan masuk ke dalam fase plateu lagi, orgasme lagi

sehingga terjadi orgasme multipel. Sesudah orgasme, baik pria maupun wanita

kembali (mengalami resolusi) ke fase istirahat. Keduanya mengalami relaksasi mental

dan fisik, merasa sejahtera. Banyak pria dan wanita merasakan kepuasan psikologis

atau relaksasi tanpa mencapai orgasme yang lain merasa kecewa bila tanpa orgasme

(24)

Gambar 5. Respon seksual wanita (Masters & Johnson , 1966)

B.Disfungsi Seksual

1. Pengertian

Disfungsi seksual merupakan kegagalan yang menetap atau berulang, baik sebagian

atau secara keseluruhan, untuk memperoleh dan atau mempertahankan respon

(25)

2. Macam- macam disfungsi seksual

Pada DSM-IV menjabarkan tentang disfungsi seksual sebagai gangguan hasrat

seksual dan atau di dalam siklus tanggapan seksual yang menyebabkan tekanan berat

dan kesulitan hubungan antar manusia. Disfungsi seksual ini dapat terjadi pada satu

atau lebih dari empat fase siklus tanggapan yaitu hasrat atau libido, bangkitan,

orgasme atau pelepasan, dan pengembalian. Meskipun hampir sepertiga dari pasien

yang mengalami disfungsi seksual terjadi tanpa pengaruh dari penggunaan obat,

beberapa petunjuk mengarahkan bahwa antidepresan dapat mencetuskan atau

membangkitkan disfungsi seksual. Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada

organ, bagian-bagian badan tertentu atau fisik secara umum. Bagian tubuh yang

sedang terganggu dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual dalam berbagai

tingkat (Tobing, 2006).

Disfungsi seksual wanita secara tradisional terbagi menjadi gangguan minat/

keinginan seksual atau libido, gangguan birahi, nyeri atau rasa tidak nyaman dan

hambatan untuk mencapai puncak atau orgasme. Pada DSM IV dari American

Phychiatric Assocation, dan ICD-10 dari WHO, disfungsi seksual wanita ini dibagi

menjadi empat kategori yaitu :

a. Gangguan minat/ keinginan seksual (desire disorders)

(26)

b. Gangguan birahi (arousal disorder)

Ditandai dengan kesulitan mencapai atau mempertahankan keterangsangan saat

melakukan aktivitasn seksual.

c. Gangguan orgasme (orgasmic disorder)

Ditandai dengan tertundanya atau gagalnya mencapai orgasme saat melakukan

aktivitas seksual.

d. Gangguan nyeri seksual (sexual pain disorder) (Rosen et al., 2000).

Menurut Glaiser and Gebbie (2005) adapun beberapa gangguan seksual yaitu :

a) Hilangnya kenikmatan

Seorang wanita mungkin melakukan hubungan intim, tetapi gagal merasakan

kenikmatan dan kesenangan yang biasanya ia rasakan. Apabila ia tidak terangsang,

maka pelumasan normal vagina dan pembengkakan vulva tidak terjadi dan hubungan

intim pervagina dapat menimbulkan rasa tidak nyaman atau bahkan nyeri, yang

semakin menghambat dirinya menikmati hubungan tersebut. Wanita yang mengalami

hambatan nafsu seksual mungkin tidak menginginkan atau tidak menikmati seksual,

tetapi dia mengijinkan pasangannya untuk bersenggama dengannya, sebagai suatu

kewajiban. Wanita yang lain mungkin sangat cemas dengan gagasan bersenggama

sehingga menolak atau membuat alasan menghindarinya.

b) Hilangnya minat seksual

Hal ini sering terjadi bersamaan dengan hilangnya kenikmatan, wanita seperti ini

tidak memiliki keinginan untuk berhubungan seksual dan tidak menikmatinya

(27)

gairah seksual bervariasi dan sering sulit diidentifikasi. Perubahan alam perasaan

sangat penting bagi wanita, tidak saja sebagai penyakit depresi kronik tetapi juga

sebagai variasi dalam alam perasaan depresi di sekitar waktu menstruasi yang

dirasakan oleh beberapa wanita. Banyak wanita menyadari bahwa mereka mengalami

tahap siklus menstruasi tertentu, walaupun waktunya berbeda dari satu wanita ke

wanita lain. Tetapi mereka yang biasanya merasa murung sebelum menstruasi

biasanya kehilangan minat seksual pada saat tersebut, dan mendapati bahwa fase

pasca menstruasi secara seksual merupakan saat yang terbaik bagi mereka.

Wanita yang menghadapi bentuk-bentuk kanker yang mengancam nyawa, misalnya

kanker payudara atau ginekologis, dapat bereaksi secara psikologis terhadap stres

penyakit dan dampak terapi (mastektomi). Faktor-faktor fisik juga mungkin memiliki

peran langsung. Hilangnya minat seksual adalah hal yang wajar dalam keadaan sakit

dan hal ini mungkin secara spesifik disebabkan oleh kelainan status hormon.

Testosteron tampaknya penting untuk gairah seksual pada banyak wanita, seperti

halnya pada pria. Penurunan substansial testosteron, seperti terjadi setelah

ovariektomi atau bentuk lain kegagalan atau supresi ovarium, dapat menyebabkan

hilangnya gairah.

c) Keengganan seksual

Pada beberapa kasus, sekedar pikiran tentang aktivitas seksual sudah menyebabkan

ketakutan atau ansietas yang besar sehingga terbentuk suatu pola menghindari kontak

(28)

pengalaman traumatik sebelumnya, tetapi kadang-kadang pangkal masalahnya tetap

tidak jelas.

d) Disfungsi orgasme

Sebagian wanita secara spesifik mengalami kesulitan mencapai orgasme, baik dengan

kehadiran pasangannya atau pada semua situasi. Hal ini mungkin merupakan bagian

dari hilangnya kenikmatan seksual secara umum, atau relatif spesifik, yaitu manusia

masih dapat terangsang dan menikmati seksual tetapi gagal mencapai orgasme.

Walaupun obat tertentu dapat menghambat orgasme pada wanita, namun pada

sebagian kasus faktor psikologis tampaknya menjadi penyebab.

e) Vaginismus

Kecenderungan spasme otot-otot dasar panggul dan perivagina setiap kali dilakukan

usaha penetrasi vagina ini dapat timbul akibat pengalaman traumatik insersi vagina

(perkosaan atau pemeriksaan panggul yang sangat kasar oleh dokter). Namun lebih

sering tidak terdapat penyebab yang jelas dan tampaknya otot-otot tersebut memiliki

kecenderungan mengalami spasme reflektif saat dicoba untuk dilemaskan.

Vaginismus biasanya adalah kesulitan seksual primer yang dialami wanita saat

mereka memulai kehidupan seksual, dan sering menyebabkan hubungan seksual yang

tidak sempurna. Kelainan ini jarang timbul kemudian setelah wanita menjalani fase

hubungan seksual normal, terutama apabila ia sudah pernah melahirkan. Apabila

memang demikian, kita perlu mencari penyebab nyeri atau rasa tidak nyaman lokal

(29)

f) Dispareunia

Nyeri saat melakukan hubungan intim sering terjadi dan umumnya dapat

disembuhkan. Apabila menjadi masalah yang berulang, maka antisipasi nyeri dapat

dengan mudah menyebabkan hambatan timbulnya respons seksual normal sehingga

masalah menjadi semakin parah karena pelumasan normal vagina terganggu. Nyeri

atau rasa tidak nyaman dapat dirasakan di introitus vagina, akibat spasme otot-otot

perivagina atau peradangan atau nyeri di introitus yang dapat ditimbulkan oleh

episiotomi atau robekan perineum. Kista atau abses Bartholin dapat menyebabkan

nyeri hanya oleh rangsangan seksual, karena kecendrungan kelenjar ini mengeluarkan

sekresi sebagai respons terhadap stimulasi seksual (Kusuma, 1999).

C.Pengukuran FSFI

Female Sexual Function Index (FSFI) merupakan alat ukur yang valid dan akurat

terhadap fungsi seksual wanita. Kuesioner ini terdiri dari 19 pertanyaan yang terbagi

dalam enam subskor, termasuk hasrat seksual, rangsangan seksual, lubrikasi,

orgasme, kepuasan, dan rasa nyeri (Walwiener dkk, 2010). FSFI digunakan untuk

mengukur fungsi seksual termasuk hasrat seksual dalam empat minggu terakhir. Skor

yang tinggi pada tiap domain menunjukkan level fungsi seksual yang lebih baik

(30)

D.Keluarga Berencana

1. Pengertian Keluarga Berencana

KB menurut Undang-undang (UU) No. 52 tahun 2009 pasal 1 (8) dalam Arum dan

Sujiatini (2009) tentang perkembangan dan kependudukan dan pembangunan

keluarga sejahtra adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal

melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi perlindungan dan bantuan sesuai

dengan hak reproduksi untuk mewujutkan keluarga yang berkualitas.

2. Manfaat KB

Salah satu cara untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia adalah

melalui program KB. Keluarga Berencana dapat mencegah munculnya

bahaya-bahaya akibat:

a. Kehamilan terlalu dini.

Wanita yang sudah hamil tatkala umurnya belum mencapai 17 tahun sangat terancam

oleh kematian sewaktu persalinan. Karena tubuhnya belum sepenuhnya tumbuh

cukup matang dan siap untuk dilewati oleh bayi. Lagi pula, bayinya pun dihadang

oleh risiko kematian sebelum usianya mencapai 1 tahun.

b. Kehamilan terlalu terlambat

Wanita yang usianya sudah terlalu tua untuk mengandung dan melahirkan terancam

banyak bahaya. Khususnya bila ibu mempunyai problem kesehatan lain, atau sudah

(31)

c. Kehamilan-kehamilan terlalu berdesakkan jaraknya

Kehamilan dan persalinan menuntut banyak energi dan kekuatan tubuh wanita. Kalau

ibu belum pulih dari satu persalinan tapi sudah hamil lagi, tubuhnya tak sempat

memulihkan kebugaran, dan berbagai masalah bahkan juga bahaya kematian

menghadang.

d. Terlalu sering hamil dan melahirkan

Wanita yang sudah punya lebih dari 4 anak dihadang bahaya kematian akibat

pendarahan hebat dan macam-macam kelainan bila ibu terus saja hamil dan bersalin

lagi (Prawirohardjo, 2007). Akseptor KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang

salah seorang dari padanya menggunakan salah satu cara atau alat kontrasepsi dengan

tujuan untuk pencegahan kehamilan baik melalui program maupun non program

Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (2001) dalam Setiawan dan

Saryono (2010) Akseptor adalah orang yang menerima serta mengikuti dan

melaksanakan program keluarga berencana. Menurut Handayani (2010) jenis

akseptor KB sebagai berikut

1) Akseptor KB baru

Akseptor KB baru adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang pertama kali

menggunakan kontrasepsi setelah mengalami kehamilan yang berakhir dengan

keguguran atau kelahiran.

2) Akseptor KB lama

Akseptor KB lama adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang melakukan kunjungan

(32)

pindah atau ganti ke cara atau alat yang lain atau mereka yang pindah klinik baik

menggunakan cara yang sama atau cara (alat) yang berbeda.

3) Akseptor KB aktif

Peserta KB aktif adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang pada saat ini masih

menggunakan salah satu cara atau alat kontrasepsi.

4) Akseptor KB aktif kembali

Perserta KB aktif kembali adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang telah berhenti

menggunakan selam tiga blan atau lebih yang tidak diselingi oleh suatu kehamilan

dan kembali menggunakan alat kontrasepsi baik dengan cara yang sama maupun

berganti cara setelah berhenti atau istirahat paling kurang tiga bulan berturut-turut dan

bukan karena hamil.

3. Kontrasepsi

1. Pengertian Kontrasepsi

Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti “melawan”

atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang

dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah

menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat adanya pertemuan

antara sel telur dengan sel sperma. Untuk itu, berdasarkan maksud dan tujuan

kontrasepsi, maka yang membutuhkan kontrasepsi adalah pasangan yang aktif

melakukan hubungan seks dan kedua-duanya memiliki kesuburan normal namun

(33)

Kontrasepsi adalah usaha–usaha untuk mencegah terjadinya kehamilan. Usaha–usaha

itu dapat bersifat sementara, dapat juga bersifat permanen. Yang bersifat permanen

dinamakan pada wanita tubektomi dan pada pria vasektomi. Sampai sekarang cara

kontrasepsi yang ideal belum ada. Kontrasepsi ideal itu harus memenuhi syarat-syarat

berbagai berikut: 1) dapat dipercaya; 2) tidak menimbulkan efek yang mengganggu

kesehatan; 3) daya kerjanya dapat dapat diatur menurut kebutuhan (Prawirohardjo,

2008).

Kontrasepsi adalah upaya mencegah kehamilan yang bersifat sementara atau

menetap, yang dapat dilakukan tanpa menggunakan alat, secara mekanis,

menggunakan alat/obat, atau dengan operasi (Wiknjosastro, 2006)

a. Macam-macam metode Kontrasepsi

1) Metode Sederhana

a) Tanpa alat

(1) KB alamiah

Yaitu : metode kalender (ogino-knaus), metode suhu basal (termal), metode lendir

serviks (billings), metode simpto-termal

(2) Coitus interuptus

b) Dengan alat

1. Mekanis (barrier)

Yaitu : kondom pria, barier intra-vaginal (seperti diafragma, kap serviks, spon,

(34)

2. Kimiawi

Yaitu : Spermisid (seperti vaginal cream, vaginal busa, vaginal jelly, vaginal

suppositoria, vaginal foam, vaginal soluble film)

2) Metode Modern

a) Kontrasepsi hormonal

(1) Per-oral

Yaitu : Pil Oral Kombinasi (POK), mini-pil, morning-after pil.

(2) Injeksi atau suntikan (DMPA, NET-ET)

(3) Sub-kutis (implan)

b) Intra uterine devices (IUD, AKDR)

c) Kontrasepsi mantap (MOP, MOW)

b. Tujuan kontrasepsi

1) Untuk menunda kehamilan

2) Untuk menjarangkan kehamilan

3) Untuk menghentikan kehamilan / mengakhiri kehamilan /kesuburan (Hartanto,

2004).

c. Syarat

Syarat-syarat yang harus dipenuhi

1) Efek samping yang merugikan tidak ada

2) Lama kerja dapat diatur menurut keinginan

3) Tidak mengganggu hubungan persetubuhan

(35)

5) Harganya murah supaya dapat dijangkau masyarakat luas.

6) Dapat diterima pasangan suami istri

7) Tidak memerlukan bantuan medik atau kontrol yang terlambat selama

penatalaksanaan.

d. Sasaran

1) Pasangan usia subur

Semua pasangan usia subur yang ingin menunda, menjarangkan kehamilan dan

mengatur jumlah anak.

2) Ibu yang mempunyai banyak anak

Dianjurkan memakai kontrasepsi untuk menurunkan angka kematian ibu dan angka

kematian bayi yang disebabkan karenafaktor multiparitas (banyak melahirkan anak).

3) Ibu yang mempunyai resiko tinggi terhadap kehamilan

Ibu yang mempunyai penyakit yang bisa membahayakan keselamatan jiwanya jika

dia hamil, maka ibu tersebut dianjurkan memakai kontrasepsi.

e. Faktor-faktor dalam memilih metode kontrasepsi

1) Faktor pasangan-motivasi

a) Umur

Wanita usia subur yang dapat menggunakan kontrasepsi progestin, sedangkan wanita

yang sudah menopause tidak dianjurkan menggunakan kontrasepsi progestin,

(36)

b) Gaya hidup

Wanita yang gaya hidupnya suka merokok (perokok), menderita anemia

kekuranganzat besi) boleh menggunakan kontrasepsi progestin karena tidak ada

efek samping bagi wanita perokok dan penderita anemia.

c) Frekuensi sanggama

Kontrasepsi progesteron dapat digunakan pada wanita yang sering ataupun yang

jarang melakukan hubungan seksual dengan suaminya, karena tidak mengganggu

pada hubungan seksual.

d) Jumlah keluarga yang diinginkan

Salah satu tujuan dari kontrasepsi ini adalah untuk menjarangkan kehamilan, jadi

wanita yang ingin mengatur jumlah anak ataupun yang ingin menjarangkan

kehamilan sehingga jumlah anak dalam keluarga sesuai keinginan dapat

menggunakan kontrasepsi.

e) Pengalaman dengan kontrasepsi yang lalu

Wanita yang dahulunya pernah menggunakan salah satu jenis kontrasepsi, dia merasa

nyaman dan merasa mendapat keuntungan dari kontrasepsi itu. Maka dia pasti akan

menggunakan kontrasepsi itu lagi.

2) Faktor kesehatan-kontra indikasi absolut dan relatif

a) Status kesehatan

Wanita yang mempunyai penyakit jantung dapat menggunakan kontrasepsi

progesteron, karena mengandung esterogen sehingga tidak berdampak serius terhadap

(37)

b) Riwayat haid

Semua wanita yang siklus haidnya panjang atau pendek dapat menggunakan

kontrasepsi progesterone, sedangkan wanita yang pernah mengalami perdarahan

pervaginam yang belum jelas penyebabnya tidak boleh menggunakan kontrasepsi

progesteron.

c) Riwayat keluarga

Wanita yang dalam keluarganya mempunyai riwayat kanker payudara dan diabetes

mellitus disertai komplikasi tidak dapat menggunakan kontrasepai progestin.

d) Pemeriksaan fisik

Wanita yang pada pemeriksaan fisik terdapat varises tidak dapat menggunakan

kontrasepsi progestin.

3) Faktor metode kontrasepsi penerimaan dan pemakaian berkesinambung

a) Efektifitas

Efektifitas kontrasepsi progestin tinggi, dengan 0,3 kehamilan per 100 perempuan

tiap tahun. Asal penyuntikkannya dilakukan secara teratur sesuai jadwal yang telah

ditentukan.

b) Efek samping minor

Efek samping hanya sedikit (gangguan siklus haid, perubahan berat badan,

keterlambatan kembalinya kesuburan dan osteoporosis pada pemakaian jangka

(38)

c) Kerugian

Kerugian hanya sedikit dan jarang terjadi pada wanita yang mengunakan kontrasepsi

progesteron ini, perubahan berat badan merupakan kerugian tersering.

d) Komplikasi-komplikasi yang potensial

Wanita yang menggunakan kontrasepsi progesterone tidak ditemukan adanya

komplikasi-komplikasi yang potensial.

e) Biaya.

Biaya kontrasepsi progesteron sangat terjangkau, siapa saja bisa menjangkaunya.

(Hartanto, 2004) atur menurut kebutuhan (Sarwono P, 2008).

Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS, 2010) usia reproduksi perempuan

pada umumnya adalah usia 15-49 tahun. Oleh karena itu untuk mengatur jumlah

kelahiran atau menjarangkan kelahiran, wanita atau pasangan ini lebih diprioritaskan

untuk menggunakan alat atau cara Keluarga Berencana (KB). Tingkat pencapaian

pelayanan keluarga berencana dapat dilihat dari cakupan peserta KB yang sedang

atau pernah menggunakan alat kontrasepsi, tempat pelayanan KB, dan jenis

kontrasepsi yang digunakan akseptor (DEPKES RI, 2009). Intra Uterine Device

(IUD) adalah satu-satunya metode kontrasepsi yang menempatkan perangkat di

dalam rahim. Seorang dokter atau bidan memasukkan perangkat IUD melalui

prosedur rawat jalan yang hanya memerlukan beberapa menit untuk

menyelesaikannya. Pada umumnya, pemasangan dilakukan tanpa anestesi apa pun.

IUD merupakan kontrasepsi jangka panjang. IUD hormonal memiliki masa manfaat

sampai 5 tahun, sedangkan IUD tembaga bisa sampai 10 tahun. Kepraktisan

(39)

metode kontrasepsi yang paling populer. Risiko komplikasi dan efek samping

pemakaian IUD relatif minimal, dan biasanya hanya pada bulan-bulan awal setelah

pemasangan. Komplikasi lebih sering pada wanita yang belum pernah memiliki anak.

Selain pemasangan lebih sulit, tubuh mereka cenderung mengusir benda asing. Hal

ini bisa membuat IUD berpindah atau lepas dari tempatnya. Oleh karena itu,

disarankan untuk secara berkala memasukkan ujung jari Anda ke vagina untuk

memeriksa apakah perangkat tersebut masih ada di tempatnya (BKKBN,2012).

E. Patofisiologi Disfungsi Seksual Akibat Pemakaian Kontrasepsi

Disfungsi seksual akibat pemakaian kontrasepsi bergantung pada jenis kontrasepsi itu

sendiri. Dimana pada kontrasepsi hormonal akan berpengaruh pada efek umpan balik

positif estrogen (estrogen positive feedback) dan umpan balik negatif progesteron

(progesteron negative feedback). Pemberian hormon yang berasal dari luar tubuh

seperti pada kontrasepsi hormonal baik berupa estrogen maupun progesteron

menyebabkan peningkatan kadar kedua hormon tersebut di darah, hal ini akan di

deteksi oleh hipofisis anterior dan hipofisis anterior dan akan menimbulakn umpan

balik negatif dengan menurunkan sekresi hormon FSH dan LH dan dengan

keberadaan progesteron efek penghambatan estrogen akan berlipat ganda. Dalam

jangka waktu tertentu tubuh dapat mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi

estrogen agar tetap dalam keadaan normal namun dalam jangka waktu yang lama

menyebabkan hilangnya kompensasi tubuh dan menurunnya sekresi hormon terutama

estrogen (Guyton, 2008). Pada kontrasepsi IUD, Pemasangan yang salah dapat

menyebabkan perlukaan pada vagina dan menimbulkan rasa tidak nyaman (BKKBN,

(40)

1. Insersi yang tidak baik dari IUD dapat menyebabkan :

a. Ekspulsi.

b. Kerja kontraseptif tidak efektif.

c. Perforasi uterus.

2. Untuk sukses / berhasilnya insersi IUD tergantung pada beberapa hal, yaitu :

a. Ukuran dan macam IUD beserta tabung inserternya.

b. Makin kecil IUD, makin mudah insersinya, makin tinggi ekspulsinya.

c. Makin besar IUD, makin sukar insersinya, makin rendah ekspulsinya.

3. Waktu atau saat insersi.

a. Insersi Interval

1) Kebijakan (policy) lama : Insersi IUD dilakukan selama atau segera sesudah haid.

Alasan : Ostium uteri lebih terbuka, canalis cervicalis lunak, perdarahan yang timbul

karena prosedur insersi, tertutup oleh perdarahan haid yang normal, wanita pasti tidak

hamil.

Tetapi, akhirnya kebijakan ini ditinggalkan karena : Infeksi dan ekspulsi lebih tinggi bila

insersi dilakukan saat haid, Dilatasi canalis cervicalis mid-siklus, memudahkan calon

akseptor pada setiap ia datang ke klinik KB.

2) Kebijakan (policy) sekarang : Insersi IUD dapat dilakukan setiap saat dari siklus haid

asal kita yakin seyakin-yakinnya bahwa calon akseptor tidak dalam keadaan hamil.

b. Insersi Post-Partum

Insersi IUD adalah aman dalam beberapa haris post-partum, hanya kerugian paling

besar adalah angka kejadian ekspulsi yang sangat tinggi. Tetapi menurut penyelidikan

di Singapura, saat yang terbaik adalah delapan minggu post-partum. Alasannya karena

(41)

c. Insersi post-Abortus

Karena konsepsi sudah dapat terjadi 10 hari setelah abortus, maka IUD dapat segera

dipasang sesudah :

1) Abortus trimester I : Ekspulsi, infeksi, perforasi dan lain-lain sama seperti pada

insersi interval.

2) Abortus trimester II : Ekspulsi 5 – 00x lebih besar daripada setelah abortus trimester

pertama.

d. Insersi Post Coital

e. Dipasangkan maksimal setelah 5 hari senggama tidak terlindungi.

4. Teknik insersi, ada tiga cara :

a. Teknik Push Out : mendorong : Lippes Loop, Bahaya perforasi lebih besar.

b. Teknik Withdrawal : menarik : Cu IUD.

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analitik-komparatif dengan pendekatan

crossecsional (Notoadmojo, 2010).

B.Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai Oktober-November 2013.

C.Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek atau obyek penelitian yang

memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari

(43)

Populasi dalam penelitian ini adalah pasangan usia subur (PUS) 15-49 tahun

akseptor IUD atau hormonal di Puskesmas Rajabasa.Teknik pengumpulan sampel

dalam peneltian ini adalah consecutive sampling.

Dengan persamaan analitis kategorik tidak berpasangan menurut Dahlan, 2010

sebagai berikut :

n =

n =

n =

n = 108 dibulatkan menjadi 110 untuk masing-masing jenis kontrasepsi

Keterangan :

n = banyak sampel

Zα = deviat baku alfa

Zβ = deviat baku beta

P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya

Q2 = 1-P2

P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement

peneliti

Q1 = 1-P1

P1-P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna

P = proporsi total

(44)

Kriteria inklusi:

1. Pasangan usia subur 15-49 tahun.

2. Menggunakan salah satu kontrasepsi antara hormonal dan IUD

Kriteria eksklusi

1. Tidak bersedia menjadi subjek penelitian dengan tidak mengisi dan

menandatangani informed concent

2. Hambatan etis

D. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel bebas adalah variabel yang apabila nilainya berubah akan mempengaruhi

variabel yang lain (Dahlan, 2010). Variabel terikat adalah variabel yang

dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel

terikat adalah disfungsi seksual. Variabel bebasnya adalah pasangan usia subur

(45)
[image:45.595.116.502.146.742.2]

E. Definisi operasional

Tabel 1. Definisi operasional

No. Variabel Definisi Alat ukur Hasil ukur Skala

1 Akseptor KB

Hormonal PUS yang menggunakan kontrasepsi suntik, implant, oral hormonal terus-menerus hingga saat penelitian

Kuesioner iya / tidak Nominal

2 Akseptor KB

(IUD) PUS yang menggunakan kontrasepsi IUD hingga saat penelitian.

Kuesioner iya/tidak Nominal

3 Disfungsi

seksual PUS yang mengalami keluhan seksual sesuai dengan kuesioner disfungsi seksual Kuesioner FSFI

1. Tidak

(46)

Untuk skor domain individu, tambahkan nilai dari item individu yang terdiri dari

domain dan kalikan jumlah tersebut dengan faktor domain. Tambahkan nilai enam

domain untuk mendapatkan skala penuh. Perlu dicatat bahwa domain individu,

nilai domain nol menunjukkan bahwa subjek yang dilaporkan tidak memiliki

aktivitas seksual sebulan terakhir. Skor subjek penelitian dapat dimasukkan dalam

[image:46.595.119.508.322.728.2]

kolom kanan.

Tabel 2. Skor Penilaian FSFI

No. Domain Pertanyaan Rentang

Skor

Faktor Skor

minimal

Skor

maksimal

Skor

1. Hasrat

seksual

1,2 1-5 0,6 1,2 6,0

2. Rangsangan

seksual

3,4,5,6 0-5 0,3 0 6,0

3. Lubrikasi

vagina

7,8,9,10 0-5 0,3 0 6,0

4. Orgasme

(klimaks)

11,12,13 0-5 0,4 0 6,0

5. Kepuasan 14,15,16 0 atau

(1-5)

0,4 0 6,0

6. Kesakitan 17,18,19 0-5 0,4 0 6,0

Rentang

Skor

Skala

Penuh

(47)

F. Alat dan Cara Penelitian 1. Alat Penelitian

Pada penelitian ini digunakan alat – alat sebagai berikut :

a) Kuesioner disfungsi seksual

b) Alat tulis

c) Lembar persetujuan

d) Formulir untuk mencatat hasil observasi

2. Cara penggambilan data

Dalam penelitian ini, seluruh data diambil secara langsung dari responden (data

primer), yang meliputi :

1. Penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian

2. Pengisian informed consent

3. Pengisian kuesioner terbimbing

(48)

F. Alur Penelitian

Membuat surat izin penelitian dari Fakultas Kedokteran Unila untuk

mengambil data di Puskesmas Rajabasa

Mendapatkan izin penelitian di Puskesmas Rajabasa

Menyebarkan kuesioner kepada calon responden di Puskesmas Rajabasa

Didapatkan jawaban rsponden berdasarkan kuesioner FSFI dengan jawaban

tertutup melalui wawancara

Pengolahan data

Analisis data

Kesimpulan

(49)

G. Pengolahan dan Analisis data

1. Pengolahan data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah kedalam

bentuk tabel - tabel, kemudian data diolah menggunakan program statistik.

Kemudian, proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri

beberapa langkah :

Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan

selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.

Data entry, memasukkan data kedalam komputer.

Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap data yang

telah dimasukkan kedalam komputer.

Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer kemudian

dicetak.

2. Analisis Statistika

Analisis statistika untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan

program statistik dimana akan dilakukan 2 macam analisa data, yaitu analisa

univariat dan analisa bivariat.

a). Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi variabel bebas dan

(50)

b). Analisa Bivariat

Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan

anatara variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji

statististik:

Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Uji Chi square

Chi-kuadrat digunakan untuk mengadakan pendekatan dari beberapa faktor atau

mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau frekuensi hasil observasi dengan

frekuensi yang diharapkan dari sampel apakah terdapat hubungan atau perbedaan

yang signifikan atau tidak. Dalam statistik, distribusi chi square termasuk dalam

statistik nonparametrik. Distribusi nonparametrik adalah distribusi dimana

besaran-besaran populasi tidak diketahui. Distribusi ini sangat bermanfaat dalam

melakukan analisis statistik jika kita tidak memiliki informasi tentang populasi

atau jika asumsi-asumsi yang dipersyaratkan untuk penggunaan statistik

parametrik tidak terpenuhi.

Beberapa hal yang perlu diketahui berkenaan dengan distribusi chi square adalah:

1. Distribusi chi square memiliki satu parameter yaitu derajat bebas (db).

2. Nilai-nilai chi square di mulai dari 0 disebelah kiri, sampai nilai-nilai positif

tak terhingga di sebelah kanan.

3. Probabilitas nilai chi square di mulai dari sisi sebelah kanan.

4. Luas daerah di bawah kurva normal adalah 1.

Nilai chi square adalah nilai kuadrat karena itu nilai chi square selalu positif.

Bentuk distribusi chi square tergantung dari derajat bebas (Db)/degree of

(51)

lain, yaitu luas daerah penolakan Ho atau taraf nyata pengujian. Metode

Chi-kuadrat menggunakan data nominal, data tersebut diperoleh dari hasil

menghitung. Sedangkan besarnya nilai chi-kuadrat bukan merupakan ukuran

derajat hubungan atau perbedaan. Agar pengujian hipotesis dengan chi-kuadrat

dapat digunakan dengan baik, maka hendaknyamemperhatikan

ketentuan-ketentuan sebagai berikut

1. Jumlah sampel harus cukup besar untuk meyakinkan kita bahwa terdapat

kesamaan antara distribusi teoretis dengan distribusi sampling chi-kuadrat.

2. Pengamatan harus bersifat independen (unpaired). Ini berarti bahwa jawaban

satu subjek tidak berpengaruh terhadap jawaban subjek lain atau satu subjek

hanya satu kali digunakan dalam analisis.

3. Pengujian chi-kuadrat hanya dapat digunakan pada data deskrit (data frekuensi

atau data kategori) atau data kontinu yang telah dikelompokan menjadi

kategori.

4. Jumlah frekuensi yang diharapkan harus sama dengan jumlah frekuensi yang

diamati.

Pada derajat kebebasan sama dengan 1 (tabel 2 x 2) tidak boleh ada nilai

ekspektasi yang sangat kecil. Secara umum, bila nilai yang diharapkan terletak

dalam satu sel terlalu kecil (< 5) sebaiknya chi-kuadrat tidak digunakan karena

dapat menimbulkan taksiran yang berlebih (over estimate) sehingga banyak

hipotesis yang ditolak kecuali dengan koreksi dari Yates.

Bila tidak cukup besar, maka adanya satu nilai ekspektasi yang lebih kecil dari 5

tidak akan banyak mempengaruhi hasil yang diinginkan. Pada pengujian

(52)

kurang dari 5 maka, nilai-nilai ekspektasi tersebut dapat digabungkan dengan

konsekuensi jumlah kategori akan berkurang dan informasi yang diperoleh juga

berkurang.

Pengujian hipotesis menggunakan distribusi chi-kuadrat yang terdiri dari 2

variabel dan masing-masing variabel terdiri dari beberapa kategori. Untuk

menghitung banyaknya derajat kebebasan maka dibuat tabel kontingensi.

Misalnya terdapat 2 variabel di mana variabel ke-1 terdiri dari 3 kategori dan

veriabel ke-2 terdiri dari 4 kategori Jumlah nilai dari baris dan kolom disebut nilai

marginal. Jika nilai marginal dari jumlah seluruhnya (grand total) telah diketahui

maka, pada baris pertama terdapat 3 nilai yang dapat ditentukan dengan bebas,

demikian pula dengan baris kedua, tetapi pada baris ketiga semuanya tidak bebas

karena jumlah marginal telah diketahui. Chi-kuadrat dapat digunakan untuk

menguji beberapa proporsi, misalnya, kita memperoleh beberapa proporsi P1, P2,

P3 . . . . Pk dengan kategori x1, x2, x3 . . . . xk yang bersifat independen dan kita

ingin mengetahui apakah perbedaan proporsi hasil pengamatan memang benar

berbeda atau karena faktor kebetulan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut

dilakukan pengujian dengan x2.

Di bidang kedokteran tidak jarang kita menemukan dua variabel dimana masing –

masing variabel terdiri dari beberapa kategori,misalnya tingkat beratnya penyakit

dengan tingkat kesembuhan. Bila kita ingin mengetahui apakah diantara dua

variabel tersebut terdapat hubungan atau tidak, dengan kata lain apakah kedua

variabel tersebut bersifat dependen atau independen, maka pengujian hipotesis

(53)

Interpretasi hasil pengujian ialah apabila hipotesis nol diterima, berarti tidak ada

hubungan (independen), tetapi bila hasilnya menolak hipotesis nol maka

dikatakan kedua variabel tersebut mempunyai hubungan atau dependen. Rumus

yang digunakan adalah rumus umum x2. Walaupun telah dilakukan koreksi, tetapi

masih terjadi keraguan pendekatan distribusi chi-kuadrat ke distribusi normal. Hal

ini terjadi bila frekuensi terlalu kecil.oleh karena itu, R.A. Fisher, J.O. Irwin, dan

F. Yates mengusulkan perhitungan chi-kuadrat dilakukan eksak tes yang dikenal

dengan Fisher probability exact test probability.

2. Uji T independent

Uji T tidak berpasangan merupakan uji parametrik (distribusi data normal) yang

digunakan untuk membandingkan dua mean populasi yang berasal dari

populasi yang sama. Dalam hal ini uji tersebut digunakan untuk mengetahui

apakah ada perbedaan angka kejadian disfungsi seksual. Namun, bila distribusi data

tidak normal dapat digunakan uji U Mann – Whitney sebagai alternatif (Dahlan,

2008). Adapun syarat untuk uji T tidak berpasangan adalah :

a. Data harus berdistribusi normal (wajib)

(54)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Hasil

1. Gambaran Umum Penelitian

Penelitian mengenai Perbandingan angka kejadian Disfungsi Seksual berdasarkan

skoring FSFI pada akseptor Hormonal dan IUD di Puskesmas Rajabasa Bandar

Lampung telah dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2013 dengan

jumlah sampel yang memenuhi kriteria inkulsi dan ekslusi yang telah ditentukan

berjumlah 110 orang untuk masing-masing jenis kontrasepsi.

Sesuai dengan tujuan umum penelitian yaitu untuk mengetahui gambaran

distribusi responden menurut variabel independen dan variabel dependen dengan

menggunakan analisis univariat dan bivariat. Sebagai variabel independen adalah

akseptor Hormonal dan IUD dan untuk variabel dependen adalah angka kejadian

disfungsi seksual. Sedangkan untuk tujuan khusus penelitian yaitu

mendeskripsikan prevalensi disfungsi seksual pada akseptor hormonal dan IUD

serta peneliti menambahkan karakteristik responden penelitian yakni umur dan

(55)

2. Analisis Univariat

a. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Disfungsi Seksual

Pengkategorian kejadian disfungsi seksual mengacu pada Rosen yang

memodifikasi instrumen skor penilaian Female Sexual Fuction Index (FSFI).

Rosen merekomendasikan seseorang mengalami disfungsi seksual jika nilai

seluruh domain kurang atau sama dengan 26,5 (Rosen et al., 2000).

Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual secara rinci disajikan

[image:55.595.108.487.390.458.2]

pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual

Kejadian Disfungsi Jumlah Persentase

Tidak Disfungsi (skor > 26,5) 122 55,45% Disfungsi Seksual (skor ≤ 26,5) 98 44,55%

Total 220 100%

Berdasarkan Tabel 1, dari 220 responden yang menjadi subjek penelitian, terdapat

98 orang (44,55%) akseptor yang mengalami disfungsi seksual dan terdapat 122

orang (55,45%) wanita yang tidak mengalami disfungsi seksual atau normal.

Sehingga dapat disimpulkan hampir separuh dari akseptor di Puskesmas Rajabasa

(56)
[image:56.595.126.496.83.330.2]

Gambar 6. Distribusi responden berdasarkan kejadian disfungsi seksual.

b. Distribusi Responden Berdasarkan 6 Domain Disfungsi Seksual

Domain disfungsi seksual berdasarkan FSFI terdiri dari 6 domain. Persentase

banyak dan sedikitnya responden yang mengalami domain disfungsi seksual dapat

dilihat dari tabel 4 dan grafik yang terlihat pada Gambar 9.4 berikut:

Tabel 2. Distribusi responden akseptor IUD berdasarkan domain disfungsi seksual

Domain Disfungsi Persentase

Hasrat 21 19,09%

Rangsangan 31 28,18%

Lubrikasi 21 19,09%

Orgasme 16 14,55%

Kepuasan 23 20,91%

[image:56.595.110.515.561.694.2]
(57)

Sebesar 19,09% atau 21 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain

pertama (Hasrat) sebesar 28,18% atau 31 orang responden mangalami disfungsi seksual

pada domain kedua (Perangsangan), sebesar 19,09% atau 21 orang responden mengalami

disfungsi seksual pada domain ketiga (Kebasahan/Lubrikasi) , sebesar 14,55% atau 16

orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain keempat (Orgasme), sebesar

20,91% atau 23 orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain kelima

(Kepuasan), dan sebesar 60,9% atau 67 responden mengalami disfungsi seksual pada

domain keenam (Kesakitan). Dari hasil tersbut dapat disimpulkan bahwa domain

keenam yakni nyeri/kesakitan merupakan domain disfungsi seksual terbanyak

[image:57.595.114.505.370.579.2]

yang dialami oleh responden akseptor IUD.

Gambar 7. Grafik distribusi responden akseptor IUD berdasarkan 6 domain

(58)
[image:58.595.110.516.159.309.2]

Tabel 3. Distribusi responden akseptor hormonal berdasarkan domain disfungsi

seksual

Sebesar 91,82% atau 101 orang responden mengalami disfungsi seksual pada

domain pertama (Hasrat) sebesar 70% atau 77 orang responden mangalami

disfungsi seksual pada domain kedua (Perangsangan), sebesar 62,73% atau 69

orang responden mengalami disfungsi seksual pada domain ketiga

(Kebasahan/Lubrikasi), sebesar 35,46% atau 39 orang responden mengalami

disfungsi seksual pada domain keempat (Orgasme), sebesar 15,46% atau 17 orang

responden mengalami disfungsi seksual pada domain kelima (Kepuasan), dan

sebesar 58,18% atau 64 orang responden mengalami disfungsi seksual pada

domain keenam (Kesakitan). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa domain

pertama yakni hasrat merupakan domain disfungsi seksual terbanyak yang dialami

oleh responden akseptor hormonal.

Domain Disfungsi Persentase

Hasrat 101 91,82%

Rangsangan 77 70%

Lubrikasi 69 62,73%

Orgasme 39 35,46%

Kepuasan 17 15.46%

(59)
[image:59.595.127.498.81.291.2]

Gambar 8. Grafik Distribusi responden akseptor hormonal berdasarkan domain

disfungsi seksual

c. Distribusi Responden berdasarkan pendidikan

Distribusi responden berdasarkan pendidikan PUS secara rinci disajikan pada

[image:59.595.106.516.548.622.2]

tabel 4. Berikut:

Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan pendidikan

Pendidikan Ibu Jumlah Persentase

Tinggi ( ≥ SMA ) 142 64,55 %

Rendah (< SMA) 78 35,45 %

Total 220 100 %

Dari Tabel 6, diperoleh data bahwa dari seluruh responden yang diteliti, sebagian

besar atau 142 orang (64,55%) responden mempunyai pendidikan tinggi (≥

(60)
[image:60.595.114.534.86.326.2]

Gambar 9. Distribusi responden berdasarkan pendidikan

d. Distribusi Responden berdasarkan Umur

Dari hasil analisis univariat mengenai distribusi umur PUS didapatkan data

sebagaimana terlihat pada Tabel 5

Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan umur

Umur PUS Jumlah Persentase

Muda (≤ 35 tahun)

173 78,64 %

Tua (> 35 tahun)

47 21,36 %

Total 220 100 %

Berdasarkan Tabel 5, maka dapat diketahui bahwa sebanyak 173 orang (78,64%)

PUS berusia ≤ 35 tahun, dan sebanyak 47 orang (21,36%) berusia lebih dari 35

[image:60.595.107.516.547.637.2]
(61)
[image:61.595.113.530.83.327.2]

Gambar 10. Distribusi responden berdasarkan umur

e. Perbedaan Rerata Skor Disfungsi Seksual Berdasarkan Jenis Kontrasepsi Berdasarkan penelitian dari 220 responden diperoleh hasil perbedaan rerata skor

angka kejadian disfungsi seksual pada akseptor IUD dan Hormonal di puskesmas

Rajabasa, dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Analisis perbedaan rerata skor disfungsi seksual pada akseptor hormonal

dan IUD.

Rata-rata Kontrasepsi Selisih Nilai p

IUD Hormonal

Skor Disfungsi 29,8 26,2 3.6 0,000

Bardasarkan Tabel 6, didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang bermakna

[image:61.595.105.520.605.679.2]
(62)

Dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor FSFI akseptor IUD lebih tinggi dari

[image:62.595.115.486.138.325.2]

akseptor Hormonal dengan selisih skor FSFI tersebut sebesar 3,6.

Gambar 11. Analisis perbedaan rerata skor disfungsi seksual pada akseptor hormonal dan IUD.

3. Analisis Bivariat

a. Prevalensi Disfungsi Seksual Akseptor Hormonal dan IUD Tabel 7. Prevalensi disfungsi seksual akseptor hormonal dan IUD

Kategori

Hormonal IUD p

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Disfungsi 75 68,18 % 23 20,91% 0,000

Tidak Disfungsi 35 31,82 % 87 79,09%

Total 110 100 % 110 100%

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui prevalensi disfungsi seksual pada pasangan

usia subur (PUS) akseptor kontrasepsi hormonal di puskesmas rajabasa Bandar

Lampung. Dari 110 responden yang menjadi subjek penelitian, terdapat 75 orang

[image:62.595.106.517.531.620.2]
(63)

disfungsi seksual dan terdapat 35 orang (31,82%) yang tidak mempunyai gejala

disfungsi seksual atau normal. Pada akseptor IUD terdapat 23 orang (20,91%)

yang mempunyai gejala terjadi disfungsi seksual dan terdapat 87 orang (79,09%).

Dengan nilai p=0.000 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

[image:63.595.129.498.234.406.2]

bermakna antara penggunaan alat kotrasepsi dengan kejadian disfungsi seksual.

Gambar 12. Prevalensi disfungsi seksual akseptor hormonal dan IUD

b. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi

Tabel 8. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi

Pendidikan PUS Hormonal IUD

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Tinggi ( ≥ SMA ) 53 48,18 % 83 75,45%

Rendah (< SMA) 57 51,82 % 27 25,55%

Total 110 100 % 110 100%

diperoleh data bahwa dari 110 Akseptor hormonal yang diteliti, 59 orang atau

53,64% responden mempunyai pendidikan tinggi (≥ SMA), sedangkan 51 orang

[image:63.595.107.517.571.660.2]
(64)

Orang atau 75,45% mempunyai pendidikan tinggi (≥ SMA), sedangkan 27 orang

[image:64.595.113.504.163.430.2]

atau 25,55% responden berpendidikan rendah(<SMA).

Gambar 13. Distribusi pendidikan responden berdasarkan jenis kontrasepsi

c. Distribusi umur responden berdasarkan jenis kontrasepsi

Tabel 9. Distribusi umur responden berdasarkan jenis kontrasepsi

Umur PUS

Hormonal IUD

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Muda (≤ 35

tahun) 68 61,82 % 105 95,45%

Tua (> 35

tahun) 42 38,18 % 5 4,55%

[image:64.595.107.518.574.710.2]
(65)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 68 orang (61,82%)

akseptor hormonal berusia ≤ 35 tahun, dan sebanyak 42 orang (38,18%) berusia

lebih dari 35 tahun. Akseptor IUD sebanyak 105 orang (95,45%) berusia ≤ 35

tahun dan sebanyak 5 orang (4,55%) berusia lebih dari 35 tahun.

[image:65.595.113.524.222.461.2]

(66)

B. Pembahasan

1. Analisis Univariat

a. Prevalensi Disfungsi Seksual pada Akseptor di Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung

Kejadian Kejadian Disfungsi Seksual dikategorikan menjadi 2 yaitu yang terjadi

disfungsi seksual dan non disfungsi seksual atau normal. Hal ini merujuk pada

Female Sexual Function Index(Rosen et al.,2000) yang merekomendasikan

seseorang mengalami disfungsi seksual jika nilai seluruh domain kurang atau

sama 26,5.

Kejadian disfungsi seksual pada pengguna kontrasepsi di puskesas Rajabasa

bandar l

Gambar

Gambar 1. Kerangka teori hubungan alat kontrasepsi dengan disfungsi seksual
Gambar 2. Kerangka konsep hubungan alat kontrasepsi dengan disfungsi seksual                         menurut skoring FSFI
Tabel 1. Definisi operasional
Tabel 2. Skor Penilaian FSFI
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari fenomena tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan lama pemakaian kontrasepsi IUD dengan leukorea patologis pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penggunaan kontrasepsi suntik dengan kejadian disfungsi seksual pada wanita usia subur di Puskesmas Kotabumi II

Hubungan kadar HbA 1 C dengan angka kejadian retinopati diabetik pada pasien DM tipe 2 yang mengikuti Prolanis di Puskesmas Kedaton Kota Bandar Lampung ..... Perbedaan retina

Secara statistik, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara paritas dengan kejadian efek samping pada akseptor putus pakai IUD/Implant di

Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 5, maka dapat disimpulkan bahwa kejadian efek samping secara umum dari penggunaan kontrasepsi IUD yang dialami oleh ibu