• Tidak ada hasil yang ditemukan

TanggungJawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Kelalaian Medis Yang Dilakukan Tenaga Kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TanggungJawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Kelalaian Medis Yang Dilakukan Tenaga Kesehatan"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

Liability of Negligence Hospital Medical Health Workers Forum by

Indrasari Aulia

Research on "Liability for Negligence Hospital Medical Health Workers Forum", aimed at first, to understand the legal liability aspects of the hospital against medical personnel. Second, to understand the responsibility of the hospital against medical negligence committed by health workers. Type of this research is a normative, regulatory approach (statute approach), conceptual approach and empirical approach to support. Statute approach is done by reviewing all legislation related to the discussion. The main data on this research is secondary data obtained from variety of relevant literature. As a supporter of secondary data, this study is supported a wide range of information from informants who are competent in the field of hospital services, which consist of 4 (four) peoples.

The results showed that the legal liability aspects of the hospital includes aspects of civil, criminal and administrative state. Based on the civil aspects the hospital can be held accountable for health care workers negligence doctrine of vicarious liability based or hospital liability, which is implicitly contained in the provisions of Article 58 of Law No. 36 of 2009, Article 46 of Law No. 44 of 2009, and Section 1365, 1366, 1367 KUHPerdata. Criminal aspect, explicitly stated on Article 190 of Law No. 36 of 2009 and Article 62 and Article 63 of Law No. 44 Year 2009. Criminal consequences can be imposed if the hospital violates the provisions of the criminal articles and the consequence is a comulative consequences : imprisonment and fines. Even the hospitals as a corporation can get an additional form: a revocation of business license and revocation of legal entity status. From the aspect of the country administration, if the hospital violates the provisions related to administrative, the consequences are a written warning, responsibility of omissions by health workers is an indemnity. The Compensation is a specitif amount of money which is provided on Article 1365, 1366, 1367 KUHPerdata, which includes economic losses such as the cost of treatment in

hospital, injury or disability of the victim’s body, the presence of physical pain,

mental illness, such a stress, anxiety and other mental disturbances. In this context it is also known a form of actual damages and compensation related to mental stress (immaterial).

(2)

Dilakukan Tenaga Kesehatan Oleh

Indrasari Aulia

Penelitian tentang “Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit terhadap Kelalaian Medis yang Dilakukan Tenaga Kesehatan”, bertujuan pertama, untuk memahami aspek pertanggungjawaban hukum rumah sakit terhadap tenaga kesehatan. Kedua, untuk memahami tentang bentuk tanggung jawab rumah sakit terhadap kelalaian medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, melalui pendekatan perundang-undangan (statute

approach), pendekatan konseptual (conseptual approach), dan pendekatan

empiris sebagai penunjang. Dalam pendekatan secara perundang-undangan

(statute approach) dilakukan dengan menelaah semua peraturan

perundang-undangan berhubungan dengan pembahasan. Data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari kepustakaan dan berbagai leteratur yang relevan. Sebagai pendukung terhadap data sekunder, penelitian ini ditunjang berbagai informasi dari para informan yang kompeten dalam bidang pelayanan rumah sakit, yang terdiri dari 4 (empat) orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek pertanggungjawaban hukum rumah sakit meliputi aspek perdata, pidana dan administrasi negara. Berdasarkan aspek perdata rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban atas kelalaian tenaga kesehatannya berdasarkan doktrin vicarious liability atau hospital liability, yang secara implisit tertuang dalam ketentuan Pasal 58 UU No. 36 Tahun 2009, Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009, dan Pasal 1365, 1366, 1367 KUHPerdata. Aspek pidana, secara eksplisit tertuang dalam ketentuan Pasal 190 UU No. 36 Tahun 2009 dan Pasal 62 dan Pasal 63 UU No. 44 Tahun 2009. Sanksi pidana dapat dijatuhkan jika rumah sakit melanggar terhadap ketentuan pasal-pasal tersebut dengan sanksi pidana yang cukup berat berupa sanksi komulatif yaitu pidana penjara dan denda. Bahkan rumah sakit sebagai korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum. Dari aspek administrasi negara, apabila rumah sakit melanggar ketentuan yang berkaitan dengan administrasi maka sanksi yang dijatuhkan berupa peringatan tertulis, tidak diberikan izin mendirikan, dan dicabut atau tidak diperpanjang izin operasional rumah sakit. Bentuk tanggung jawab rumah sakit terhadap kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan adalah dalam bentuk pemberian ganti rugi. Ganti rugi yang dimaksud adalah ganti rugi dengan sejumlah uang yang bersifat khusus sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 KUHPerdata, yang meliputi kerugian ekonomis berupa biaya pengobatan di rumah sakit, luka atau cacat terhadap tubuh korban, adanya rasa sakit secara fisik, sakit secara mental, seperti stress, cemas dan berbagai gangguan mental lainnya. Dalam konteks ini juga dikenal bentuk ganti rugi aktual dan ganti rugi yang berhubungan dengan tekanan mental (immateriil).

(3)

TANGGUNG JAWAB HUKUM RUMAH SAKIT TERHADAP KELALAIAN MEDIS YANG DILAKUKAN

TENAGA KESEHATAN

Oleh

INDRASARI AULIA

PROGRAM STUDI PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

2015 Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

(4)

DAFTAR ISI

(5)

HukumPerdata………. 52

2. AspekPertanggungjawabanRumahSakitMenurut HukumPidana………. 69

3. AspekPertanggungjawabanRumahSakitMenurut HukumAdministrasi……… 76

B. BentukTanggungJawabRumahSakitTerhadap Kelalaian yang DilakukanOlehTenagaKesehatan……….. 78

BAB V. PENUTUP……… 94

A. Kesimpulan ………. 94

B. Saran……… 96

(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

MOTO

“Amalkan Ilmu Untuk Menguatan Iman, Ajarkan Ilmu Untuk Menguatkan Ingatan.”

(Mutiara Hikmah)

“Sesungguhnya Kami Telah Menjadikan Apa Yang Ada Di Bumi Sebagai Perhiasan Baginya, Untuk Kami Menguji Mereka,

(12)
(13)

Bismillahirrahmanirrohim

Tesisinikupersembahkankepada :

Suamidananakkutercinta yang telahmemberikancinta, kasihsayang, dukungandando’a

yang tulusikhlasdalamsetiaplangkahdanperjuanganku.

Ibundatercinta, terimakasihselalumemberikandukungan, semangatsertado’a yang

tiadahentiuntukkesuksesandankeberhasilanku,

(14)

A. Identitas Pribadi

1. Nama : Indrasari Aulia

2. Tempat/Tanggal Lahir : Kotabumi, 20 Juni 1960

3. Agama : Islam

4. Alamat : Jl. Sriwijaya No. 1, Enggal, Bandar Lampung

B. Pendidikan Formal

1. SD Negeri 5 Kotabumi

2. SMP Negeri 1 Kotabumi

3. SMA Negeri 1 Kotabumi, lulus tahun 1979

4. Strata I Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta, lulus tahun 1988

5. Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung, lulus tahun

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Rumah sakit adalah salah satu jenis sarana pelayanan kesehatan yang tugas

utamanya adalah melayani kesehatan perorangan di samping tugas pelayanan

lainnya. Oleh karena itu, dalam pelayanan kesehatan terdapat dua kelompok yang

perlu mendapat perhatian, yaitu penerima pelayanan kesehatan (health care

receivers)yang dalam hal ini adalah pasien dan pemberi pelayanan kesehatan

(health care providers) yaitu rumah sakit yang di dalamnya terdiri atas berbagai

tenaga kesehatan.

Pada awalnya rumah sakit didirikan guna melaksanakan tugas keagamaan

atau melaksanakan kegiatan ibadah. Oleh karena itu rumah sakit didirikan

semata-mata untuk tujuan sosial kemanusiaan sesuai dengan perintah agama. Dalam

konteks ini rumah sakit bertujuan untuk membantu masyarakat, khususnya

masyarakat yang kurang mampu, sehingga pada masa itu dikenal doctrine of

charitable immunity bahwa rumah sakit merupakan lembaga karitas. Artinya

rumah sakit harus memiliki dan menerapkan nilai-nilai sosial, kemanusiaan yang

dilandasi Ke-Tuhanan dan tidak mencari keuntungan.

Melalui perkembangan doctrine of charitable immunity, rumah sakit pada

waktu itu tidak dapat digugat jika melakukan kesalahan yang menimbulkan

kerugian pada diri pasien beserta keluarganya. Dikarenakan rumah sakit

melaksanakan tugas sosial kemanusiaan, maka tidak mungkin dibebani tanggung

(16)

pelayanan medis yang salah di rumah sakit. Dengan kata lain, dikarenakan tugas

rumah sakit lebih menekankan pada pelayanan fungsi sosial, maka tidak

dimungkinkan untuk menggugat rumah sakit.1

Pada saat ini penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit tidak

sesederhana seperti pada zaman dahulu. Kebutuhan untuk mengelola rumah sakit

dengan berbagai permodalan tidak dapat lagi dielakkan. Rumah sakit

membutuhkan permodalan yang cukup terutama dengan makin banyaknya

teknologi baru yang harus disediakan. Tenaga yang cukup banyak juga menjadi

kebutuhan pokok, sehingga membutuhkan pengorganisasian yang lebih

professional dan tersedianya tenaga-tenaga teknis yang mahir untuk menangani

alat-alat yang makin canggih. Oleh karena itu, dalam hal ini mau tidak mau akan

mempengaruhi fungsi rumah sakit dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Pada era sekarang rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang

kompleks serta paradigma yang sudah berubah. Rumah sakit tidak lagi dianggap

kebal terhadap segala bentuk gugatan hukum, yang sebelumnya rumah sakit

dianggap sebagai lembaga sosial kebal hukum berdasarkan doctrine of charitable

immunity. Perubahan paradigma tersebut terjadi sejak kasus Darling vs

Charleston Community Memorial Hospital (1965),2 yakni kasus yang bermula

mempersamakan institusi rumah sakit sebagai person (subjek hukum) sehingga

oleh karenanya dapat dijadikan target gugatan atas kinerjanya yang merugikan

pasien. Pertimbangannya antara lain karena banyak rumah sakit mulai melupakan

fungsi sosialnya serta dikelola sebagaimana layaknya sebuah industri dengan

1

Azrul Azwar. 2004. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara, Jakarta. Hlm. 66

2

(17)

manajemen modern, lengkap dengan manajemen risiko. Selain itu pada saat ini

rumah sakit terlihat adanya berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat

keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain. Dengan kata lain dalam

suatu rumah sakit disebut sebagai padat Sumber Daya Manusia (SDM) dan padat

ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang

kesehatan, di saat ini berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga

kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu

guna menuju pada keselamatan pasien (patient safety).

Perkembangan yang sangat berpengaruh terhadap fungsi dan peran rumah

sakit saat ini,menurut Endang Wahyati Yustina,3adalah bahwa rumah sakit

berfungsi untuk mempertemukan dua tugas yang prinsipil yang membedakan

dengan institusi lain yang melakukan kegiatan pelayanan jasa. Pertama, rumah

sakit merupakan institusi yang mempertemukan tugas yang didasari oleh

dalil-dalil etik medik, karena merupakan tempat bekerjanya para professional di bidang

medik. Kedua, rumah sakit bertindak sebagai institusi yang bergerak dalam

hubungan-hubungan hukum (rechtsverhouding)4 dengan masyarakat yang tunduk

pada norma-norma dan etika masyarakat.

Sejalan dengan amanat pasal 28 H ayat (1) UUD RI Tahun 1945 telah

ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan,

kemudian dalam Pasal 34 ayat (3) dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab

atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang

3

Endang Wahyati Yustina. 2012. Mengenal Hukum Rumah Sakit. Keni Media, Bandung. Hlm. 7-8

4Menurut teori lama perjanjian adalah “perbuatan hukum”

(rechtsbetreking) berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum, sedangkan menurut teori baru yang dikemukakan oleh

(18)

layak. Selanjutnya yang dimaksud dengan fasilitas pelayanan kesehatan adalah

suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya

pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang

dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat (Pasal 1

butir 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Secara

eksplisit salah satu fasilitas pelayanan kesehatan adalah rumah sakit. Hal ini

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun

2009 tentang Rumah Sakit, bahwa rumah sakit adalah fasilitas pelayanan

kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara

paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat

darurat.

Dengan demikian menurut UU No 44 Tahun 2009 tugas utama rumah sakit

adalah memberi pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Yang

dimaksud dengan pelayanan kesehatan perorangan adalah setiap kegiatan

pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan

meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit dan

memulihkan kesehatan.

Pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit pada umumnya, diawali

dengan sebuah transaksi terapeutik atau perjanjian penyembuhan antara dokter

dengan pasien. Oleh karena itu, pada awalnya hubungan hukum yang terjadi di

rumah sakit adalah antara pasien dengan dokter. Perjanjian penyembuhan yang

oleh beberapa pakar hukum kesehatan sering disebut transaksi terapeutik, berasal

dari kata transactie5yang artinya perjanjian dan therapeuticus yang artinya

5

(19)

penyembuhan. Jadi transaksi terapeutik artinya perjanjian penyembuhan.

Perjanjian penyembuhan atau transaksi teraupetik pada dasarnya belum ada

penafsiran otentik dari pembuat undang-undang. Hermien Hadiati Koeswadji

menyebutkan yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah transaksi untuk

mencari atau menemukan terapi yang paling tepat oleh dokter untuk kesembuhan

pasien6.

Dalam transaksi terapeutik tersebut akan melahirkan suatu perikatan yang

menurut literatur hukum kesehatan disebut sebagai perikatan usaha secara

maksimal atau ikhtiar (inspanningsverbintenis)7. Di sini dokter harus

menggunakan segala ilmunya, kepandaian, keterampilan, dan pengalaman yang

dimiliki serta harus bertindak secara hati-hati dan teliti. Dalam perikatan “ikhtiar”

dokter sama sekali tidak memberi jaminan akan kesembuhan pasiennya. Hal ini

memang tidak mungkin mengingat banyaknya variasi yang terdapat dalam diri

pasien, misalnya: sifat dan macam penyakit, usia, komplikasi, taraf tingkat

penyakit yang berbeda, dan hal-hal yang meliputi daya tahan tubuh8.Selain

inspanningsverbintenis, dalam hukum kesehatan juga dimungkinkan akan

melahirkan perikatan berdasarkan hasil kerja (resultaatsverbintenis). Berbeda

dengan inspanningsverbintenis, maka dalamresultaatsverbintenis hasilnya sudah

bahwa transaksi atau perikatan yang menurut hukum diatur dalam Pasal 1233 KUHPerdata yang nenentukan bahwa tiap-tiap perikatan yang dilahirkan baik karena perjanjian (overeenkomst) maupun karena undang-undang.

6

Hermien Hadiati Koeswadji. 1998. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Citra Aditya, Bandung. Hlm. 26

7

Inspanningsverbintenis berasal dari kata spannen, yang dalam Kamus Belanda-Indonesia yang disusun oleh W. Van Hoeve diartikan: menegangkan, meregangkan, mengencangkan, merentangkan, sedangkan kata spanning mengandung arti: ketegangan, tekanan. Inspannend:

melelahkan, Inspanning: kegiatan ketekunan, mengerahkan segenap tenaga. Verbintenis: ikatan pada suatu kewajiban terhadap pihak lain yang berhak menuntut pelaksanaan kewajiban itu (hukum).

8

(20)

pasti atau dapat dipastikan. Misalnya pasien memesan gigi palsu pada seorang

dokter gigi di rumah sakit.

Perjanjian penyembuhan yang dilakukan antara dokter dan pasien di rumah

sakit, selalu melibatkan pihak lain yaitu tenaga keperawatan, ahli radiologi,

apoteker, laboratorium dan rumah sakit. Rumah sakit pada umumnya merupakan

tempat atau fasilitas dimana dokter melakukan tindakan medik atau terjadinya

suatu transaksi terapeutik. Oleh karena itu secara hukum rumah sakit juga disebut

sebagai peserta perjanjian atau contractan dalam transaksi terapeutik. Selain itu,

rumah sakit sebagai lembaga pelayanan kesehatan menurut ketentuan Pasal 1367

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mempunyai tanggung

jawab atas kerugian yang dilakukan oleh pegawai atau bawahannya. Jika tenaga

kesehatan baik medis maupun nonmedis bekerja untuk rumah sakit, maka mereka

berada di bawah mekanisme pengawasan rumah sakit. Ini berarti rumah sakit

bertanggung jawab secara hukum atas tindakan dokter dan tenaga kesehatan

lainnya yang menyebabkan kerugian kepada pasien. Oleh karena itu secara

condition sino quanon tidak salah jika tuntutan ganti kerugian ditujukan kepada

rumah sakit. Selain itu dalam Pasal 17 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia (Permenkes) No. 290/Menkes/Per/III/2008 Tentang

Persetujuan Tindakan Kedokteran ditegaskan bahwa sarana pelayanan kesehatan

atau rumah sakit bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan

kedokteran atau tindakan medis.

Berdasarkan dua ketentuan di atas, menunjukkan bahwa berdasarkan

(21)

memberipelayanan pengobatan dan perawatan (cure and care)9 bertanggung

jawab atas segala peristiwa yang terjadi di rumah sakit.Dengan kata lain kesalahan

yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di dalam rumah sakit dianggap sebagai

kesalahan institusi (corporate negligence) yang harus ditanggung oleh rumah

sakit tersebut, karena dianggap kurang dapat mengawasi dan mengontrol apa yang

dilakukan oleh tenaga kesehatannya, termasuk yang dilakukan oleh tenaga medis

dan non medis. Dalam konteks ini pimpinan rumah sakit harus bertanggung jawab

untuk mengadakan seleksi terhadap tenaga medis dalam rangka pelayanan

kesehatan kepada pasien.

Dalam doktrin kesehatan hukum tanggung jawab rumah sakit tersebut di

atas dikenal dengan ajaran vicarious liability atau respondeat superior, yang

artinya tanggung jawab dalam pelayanan medik tidak hanya di fokuskan pada

tenaga medis atau nonmedisnya saja melainkan telah diperluas pada tanggung

jawab rumah sakit. Teori ini yang selanjutnya dikenalcorporate liability for all

malpractice committed within hospital walls10. Purwahid Patrik menyebutkan

bahwa tanggung jawab tersebut identik dengan tanggung gugat secara kualitatif.

9

Istilah care (merawat) dan cure sebagai dua konsep yang terpisah. Istilah cure digunakan hanya untuk mengacu pada diagnose, peresepan obat dan tugas-tugas kuratif otonom lainnya, sedangkan

care menunjukkan serangkaian praktik yang memberikan asuhan keperawatan (nurturing) untuk memuaskan kebutuhan fisiologis dan psikologis pasien (bed side care) maupun kegiatan-kegiatan preventif dan promotif yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat (community health care). Cure jika didefinisikan sebagai terapi yang bertujuan untuk menyembuhkan dapat juga termasuk kegiatan care. Sementara itu care dalam arti luas termasuk praktik-praktik dalam kegiatan penyembuhan (kuratif)

10

(22)

Artinya rumah sakit bertanggung jawab tanpa ada kesalahan atau dapat dikatakan

tanggung gugat risiko (risico aansprakelijkheid)sebagai lawan dari tanggung

gugat berdasarkan kesalahan 11.

Selanjutnya dalam UU No. 44 Tahun 2009 mengenai tanggung jawab rumah

sakit secara eksplisit telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 46 bahwa : “Rumah

sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap segala kerugian yang ditimbulkan

atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dirumah sakit”. Ketentuan

Pasal 46 tersebut, menunjukkan bahwa tanggung jawab hukum yang dimaksud

hanya dari segi atau aspek hukum perdata. Padahal di sisi lain menurut doktrin

hukum kesehatan, pada hakikatnya rumah sakit adalah penerapan hukum perdata,

hukum pidana dan hukum administrasi negara, maka seharusnya ruang lingkup

tanggung jawab rumah sakit juga meliputi tanggung jawab pidana dan tanggung

jawab administrasi Negara.12

Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 46UU No. 44 Tahun 2009 tersebut,

maka apabila terdapat kerugian berdasarkan kelalaian oleh tenaga kesehatan di

rumah sakit, maka rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap

kerugian tersebut. Ketentuan Pasal 46 UU No.44 Tahun 2009 di atas, pada

prinsipnya sesuai dengan doktrin corporate liability dan vicarious

liability.Berdasarkan ketentuan Pasal 46 UU No.44 Tahun 2009 di atas dapat

disimpulkan bahwa antara tenaga kesehatan di rumah sakit mempunyai hubungan

11

Purwahid Patrik . 1990. Perkembangan Tanggung Gugat Resiko Dalam Perbuatan Melawan Hukum. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Undip Semarang 5 Mei 1990. Hlm. 13

12

(23)

hukum yang bersifat keperdataan. Realisasi hubungan hukum tersebut salah

satunya adalah mengenai tanggung jawab rumah sakit terhadap segala tindakan

tenaga kesehatan yang dapat merugikan pasien. Dengan demikian, tenaga

kesehatan secara yuridis tidak dapat dipisahkan kedudukannya dengan sebuah

rumah sakit di mana tenaga kesehatan tersebut bekerja.

Berdasarkan uraian di atas, ruang lingkup penulisan dan penelitian ini

dibatasi pada pertanggungjawaban rumah sakit sebagai akibat kelalaian medis

yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dari aspek keperdataannya. Aspek

keperdataan dalam konteks ini berkaitan dengan ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 58 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 yaitu: bahwa setiap orang berhak

menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau

“penyelenggara kesehatan” yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau

kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

B. Perumusan Masalah Dan Ruang Lingkup Masalah

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

a. Aspek apa saja pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit terhadap

kelalaian medis yang dilakukan oleh tenagakesehatan ?

b. Bagaimana bentuk tanggung jawab perdata Rumah Sakit terhadap

(24)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian hukum di Rumah Sakit

terutama tanggung jawab perdata Rumah Sakit terhadap kelalaian medik

yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dan memahami aspek pertanggung jawaban

hukum rumah sakit terhadap tenaga kesehatan.

b. Untuk mengetahui dan memahami tentang bentuk tanggung jawab

rumah sakitterhadap kelalaian medis yang dilakukan oleh tenaga

kesehatan.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan informasi mengenai tanggung jawab rumah sakit

terhadap kelalaian medik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan,

terutama dari aspek hukum perdata.

b. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi rumah sakit, tenaga

kesehatan dan masyarakat umum yang menggunakan pelayanan

kesehatan di rumah sakit.

c. Diharapkan dapat bermanfaat dalam pelaksanaan penyelenggaraan

rumah sakit dan memberikan pemahaman bagi para pengguna jasa

(25)

sakit tentang tuntutan ganti kerugian apabila pihak rumah sakit

telah melakukan perbuatan melawan hukum.

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual 1. Kerangka Teoretis

Pada dasarnya dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit ada dua pihak

yang berhubungan satu sama lain yaitu pihak yang menerima pelayanan kesehatan

(health care receivers) atau pasien dan pihak yang memberi pelayanan

kesehatan(healthcare providers)yaitu tenaga kesehatan baik medis maupun para

medis (bukan tenaga medis). Antara kedua pihak inilah kemudian terjadilah apa

yang dinamakan transaksi(transactie) terapeutik(therapeuticus) atau perjanjian

penyembuhan, yaitu suatu perjanjian yang obyeknya adalah pelayanan medis atau

upaya penyembuhan.13 Jadi salah satu aspek yang terpenting dalam penerapan

hukum kesehatan di rumah sakit adalah transaksi terapeutik. Secara teoritik,

disamping tenaga kesehatan baik medis maupun nonmedis sebagai pihak yang

terlibat secara langsung dalam transaksi terapeutik, dalam praktik masih

diperlukan bantuan dari pihak lain agar tujuan dari transaksi tersebut tercapai

sesuai dengan yang diharapkan.14Pihak lain tersebut adalah pihak yang

menyediakan sarana kesehatan yakni rumah sakit.

Meskipun rumah sakit tidak secara langsung masuk dalam perjanjian

terapeutik, namun hubungan hukum yang ditimbulkannya sangat berpengaruh

terhadap transaksi terapeutik tersebut, terutama pada pertanggungjawaban dari

13

Veronica Komalawati. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktik Dokter. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hlm.84

14

(26)

rumah sakit sebagai badan hukum.15 Oleh karena itu transaksi terapeutik antara

dokter dan pasien di rumah sakit juga akan menimbulkan hubungan hukum

(rechtsverhouding) dengan rumah sakit. Yang dimaksud dengan hubungan hukum

dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan adalah hubungan hukum antara dua

subyek hukum orang dengan subyek hukum orang (hubungan hukum

dokter-pasien) serta hubungan hukum antara subyek hukum dengan subyek hukum badan

(pasien-rumah sakit-dokter).16Hubungan hukum tersebut pada prinsipnya akan

menimbulkan akibat hukum yaitu hak dan kewajiban.17

Secara keperdataan, transaksi terapeutik merupakan perjanjian untuk

melakukan jasa-jasa tertentu yang diatur dalam Pasal 1601 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHPerdata). Suatu perjanjian untuk melakukan jasa khusus

adalah suatu perjanjian yang bersifat konsensual, dengan demikian maka transaksi

terapeutik juga merupakan perjanjian konsensual. Dalam transaksi terapeutik

kesepakatan terwujud dalam bentuk Persetujuan Tindakan Kedokteran atau

informed concent.18 Istilah informed consent berasal dari bahasa Latin consentio

yang selanjutnya dialih bahasakan ke dalam bahasa Inggris menjadi consent. Di

Belanda istilah informed consent dikenal dengan sebutan gerichte toesteming.

Dalam hukum kesehatan sepakat atau konsensus bagi suatu traksaksi terapeutik

15

Siti Ismijati Jenie. 1994. Berbagai Aspek Yuridis Di Dalam dan di Sekitar Perjanjian Penyembuhan (Transaksi Terapeutik) Suatu Tinjauan Keperdataan. Makalah disampaikan Pada Penataran Dosen Hukum Perdata Fakutas Hukum UGM tanggal 1-13 Agustur 1994, Yogyakarta. Hlm.2

16

Adami Chazawi. 2007. Malpraktik Kedokteran (Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum). Bayumedia Publishing, Malang. Hlm. 15-16

17

Salim HS. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat. Sinar Grafika, Jakarta. Hlm.4

18Istilah “

Persetujuan Tindakan Medik” yang semula diatur dalam Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989 telah diubah melalui Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008 dengan

(27)

merupakan syarat untuk adanya (bestaansvoorwaarden) dan sekaligus merupakan

salah satu syarat untuk sahnya (geldigheids vereisten).19

Lebih lanjut ketentuan mengenai Persetujuan Tindakan Kedokteran atau

informed consent tertuang dalam Permenkes RI No.290/Menkes/Per/III/2008

Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam Pasal 1 Permenkes tersebut

disebutkan bahwa persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang

diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan

secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan

dilakukan terhadap pasien. Hermien Hadiati Koeswadji menyebutkan bahwa

informed consent merupakan persetujuan sepihak dari pasien yang tidak mungkin

diberikan jika tidak berdasarkan informasi (tentang penyakit dan upaya

penyembuhan) yang lengkap, jelas, serta tindakan-tindakan apa saja yang dapat

dilakukan serta kemungkinan apa saja yang dapat terjadi.20 Eksistensi informed

consent juga sesuai dengan ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran. Informed consentinilah yang menjadi dasar bagi

pasien untuk akhirnya ia memutuskan secara mandiri setuju atau tidak atas

tindakan terapeutik yang akan dilakukan oleh dokter.

Sebagai suatu perjanjian, transaksi terapeutik tunduk pada ketentuan umum

mengenai hukum perjanjian. Oleh kerena itu untuk menilai keabsahan suatu

transaksi terapeutik harus digunakan tolok ukur sebagaimana yang disebutkan

dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu, pertama adanya kesepakatan (yang

19

Perlu dibedakan terhadap syarat “adanya/lahirnya/terjadinya” dan “syarat sahnya” suatu transaksi terapeutik. Syarat adanya atau lahirnya cukup adanya kesepakatan dari pasien atas informasi yang telah diberikan dokter, sedangkan untuk syarat sahnya harus memenuhi criteria yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu, adanya kata sepakat, adanya kecakapan para pihak, hal tertentu dan kausa yang halal.

20

(28)

diberikan tanpa adanya kesesatan(dwaling), paksaan(dwang), penipuan (bedrog)

ataupun penyalahgunaan keadaan(misbruik van omstadigheden). Kedua

kecakapan membuat perjanjian (bekwaamheid).Ketiga, suatu hal tertentu(bepaald

orderwerp) dan keempat suatu sebab yang halal (geoorloofde oorzaak).

Setelah terjadinya transaksi teraupetik antara dokter dan pasien di rumah

sakit timbullah perikatan antara keduabelah pihak. Perikatan yang timbul dari

transaksi terapeutik tersebut, jika dilihat dari prestasinya ada dua macam, yaitu

pertama inspaningsverbintenis, perikatan yang harus dilakukan dengan hati-hati

dan berusaha keras. Wujud prestasi dalam perikatan ini berupa suatu usaha/upaya

maksimal tetapi hasilnya belum pasti. Kedua, resultaatsverbintenis yaitu suatu

perikatan yang prestasinya berwujud menghasilkan sesuatu yang sifatnya sudah

pasti. Dengan adanya transaksi terapeutik tersebut, menimbulkan suatu perikatan

di antara para pihak, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban. Hak dan

kewajiban tersebut harus dilaksanakan agar tujuan dari suatu transaksi terapeutik

tersebut tercapai sesuai yang diharapkan.

Berdasarkan uraian di atas, hubungan hukum antara dokter dan pasien di

rumah sakit terjadi dikarenakan ada hubungan kontraktual berupa transaksi

terapeutik. Oleh karena itu, dalam konteks ini dokter sebagai pihak yang terlibat

secara langsung dalam perjanjian apabila terjadi wanprestasi maka secara yuridis

dapat dimintai pertanggungjawaban (contractual liability) yaitu perbuatan tidak

memenuhi prestasi atau kewajiban. Di sini berlaku contract theory, menurut King

jika seorang dokter atau tenaga kesehatan setuju untuk merawat seorang pasien

(29)

disertai hak dan tanggung gugatnya.21Dengan kata lain, contractual liability,

tanggung gugat jenis ini muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak

dilaksanakannya sesuatu kewajiban (prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak

pihak lain sebagai akibat adanya hubungan kontraktual.

Dalam kaitannya dengan transaksi terapeutik, kewajiban atau prestasi yang harus

dilaksanakan oleh health care provider adalah berupa upaya (effort), bukan hasil

(result). Karena itu dokter hanya bertanggunggugat atas upaya medik yang tidak

memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikatagorikan

sebagai civil malpractice

Selain itu, dokter sebagai pihak pada prinsipnya juga dapat dimintai

pertanggungjawaban sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum

(onrechtmatige daad) yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban

profesi (yang dilakukan oleh tenaga profesi yang bekerja untuk dan atas nama

rumah sakit). Namun demikian, rumah sakit dimana tempat dokter bekerja juga

turut bertanggung jawab atas perbuatan dokter atau tenaga kesehatan yang

bertentangan dengan profesinya. Dalam hal ini berlaku doktrin hubungan

majikan-karyawan (Vicarious Liability), yang dalam perkembangannya di dunia

perumahsakitan mulai diterapkan secara universal doktrin corporate liability atau

enterprise liability, sehingga timbul istilah hospital liability.22vicarious liability

timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate). Dalam

kaitannya dengan pelayanan medik maka rumah sakit (sebagai employer) dapat

bertanggunggugat atas kesalahan yang dibuat oleh dokter atau tenaga kesehatan

21

J.H. King. 1986. The Law of Medical Malpractice in a Nutshell, West Publishing Co. St. Paul Minn. Hlm. 10-18

22

(30)

yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinate (employee). Lain halnya jika

tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra (attending physician)

sehingga kedudukannya setingkat dengan rumah sakit. Menurut doctrine of

vicarious liability, rumah sakit (meskipun sebagai artificial entity tidak

melakukan kesalahan apa-apa) juga dapat bertanggunggugat atas kesalahan dokter

organik yang bekerja di institusi tersebut

Doktrin vicarious liability ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata,

yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang

disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan

perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan

barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Selanjutnya untuk dapat

diberlakukan doctrine of vicarious liability diperlukan dua syaratdi bawah ini

yaitu:

a. Harus ada hubungan (economicrelationship), artinya

antara dokter dan pihakrumah sakit harus terjalin dalam suatu hubungan

yang bersifat ekonomi; misalnya hubungan master-servant atau

employer-employee.Sebagai bukti adanya direct (economicrelationship) antara lain:

adanya gaji tetap, kewenangan rumah sakit mengontrol, memberi sanksi

serta adanya kewenangan mengangkat dan memberhentikan dokter dan

tenaga kesehatan.

b. Tindakan dokter dan tenaga kesehatan harus berada dalam lingkup tugas

dan tanggungjawabnya.Artinya, tindakan (yang merugikan pasien) yang

dilakukan oleh dokter harus berada di dalam lingkup tugas dan

(31)

hubungan yang telah diperjanjikan. Jika dokter melakukan tindakan di luar

lingkup tugas & tanggungjawabnya (misalnya di luar clinical privilege

yang diberikan oleh Direktur atas rekomendasi Panitia Kredensial dari

Komite Medik) maka kerugian akibat kesalahannya harus ditanggung

sendiri.

Selanjutnya, doktrin corporate liability atau enterprise liability, dan

Hospital Liability pada prinsipnya menentukan bahwa rumah sakit menurut

hukum dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala peristiwa yang terjadi di

belakang dinding rumah sakit (within hospital walls).23 Di Indonesia secara

yuridis formal dengan berlakunya UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,

secara tegas ditentukan dalam Pasal 46, bahwa rumah sakit bertanggung jawab

secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Dengan demikian secara yuridis

rumusan pasal 46 tersebutberarti sama dengan corporate liability atau enterprise

liability, dan hospital liability.

2. Kerangka Konseptual

Untuk menhindari perbedaan pengertian istilah-istilah yang dipergunakan

dalam penulisan tesis ini, berikut ini adalah definisi kerangka konsep dari

istilah-istilah sesuai dengan judul yang diajukan:

1. Pengertian tanggung jawab diartikan sangat luas dan abstrak, seperti tanggung

jawab dokter, tanggung jawab rumah sakit, tanggung jawab tenaga kesehatan

23

(32)

dan lain-lain. Dalam bahasa belanda istilah tanggung jawab disebut

verantwoordelijkheid yang dalam bahasa Inggris disebut responsibility. Istilah

tanggung gugat adalah istilah diterjemahkan dalam bahasa Belanda

aansprakelijkheid dan bahasa Inggris liability, sedangkan istilah

dipertanggungjawabkan berasal dari bahasa Belanda toerekenbaarheid yang

dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah accounttability.24 Selanjutnya yang

dimaksud dengan kewajiban untuk bertanggung jawab dalam tesis ini adalah

tanggung jawab yuridis berupa tanggung gugat, menanggung gugatan untuk

membayar sejumlah ganti kerugian akibat adanya suatu perbuatan.

2. Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan

pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Pasal 1 angka 1 UU No.

44 Tahun 2009). Selanjutnya rumah sakit yang dimaksud dalam tesis ini adalah

rumah sakit umum yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang

dan jenis penyakit (Pasal 19 ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009) dan yang

termasuk dalam klasifikasi Rumah Sakit Umum Kelas C yang dikelola oleh

Pemerintah Daerah. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum

yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4

(empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik (penjelasan

Pasal 24 ayat (2)UU No. 44 Tahun 2009).

3. Kelalaian atau kealpaan dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah culpoos

atau nalatigheid yang dalam bahasa Inggris disebut negligence. Seseorang

dikatakan lalai apabila sikap tindaknya (prilakunya) bersifat acuh, masa bodoh,

24

(33)

sembarangan, tidak memperhatikan atau memperdulikan orang lain.25 Pada saat

ini istilah kelalaian mulai bayak digunakan dalam kaitannya dengan bidang

medis. Pada kelalaian tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan

akibat yang terjadi. Akibat yang timbul tersebut disebabkan karena kelalaian

yang sebenarnya terjadi di luar kehendaknya. Kelalaian atau kealpaan menurut

Rosa Agustina pada prinsipnya terletak pada suatu hubungan kerohanian

(psychisch verband) antara alam pikiran dan perasaan pelaku.26 Menurut

doktrin hukum kesehatan telah memberikan tolok ukur dari sebuah kelalaian

yang dikenal dengan 4-D yaitu terdiri dari:

a. Duty (kewajiban) merupakan kewajiban dari profesi medis untuk

mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk penyembuhan atau

meringankan beban penderitaan pasien (to cure and to care) berdasarkan

standar profesi medis.

b. Dereliction of that duty/brech of the standard of care, di sini merupakan

penyimpangan dari kewajiban jika seseorang dokter menyimpang dari apa

yang seharusnya dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya

dilakukan menurut standar profesi medis, maka dokter dapat

dipersalahkan.

c. Direct causation (penyebab langsung), untuk dapat dipersalahkan harus

ada hubungan kausal (secara langsung) antara penyebab (causa) dengan

kerugian (damage) yang diderita seorang pasien. Dengan kata lain dalam

kontek ini harus dibuktikan dengan jelas, tidak dapat hanya karena hasil

25

Guwandi. 2007. Hukum Medik (Medical Law). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm.7

26

(34)

(outcome) yang negatif, kemudian langsung dokternya dianggap bersalah

atau lalai.

d. Damage (kerugian), dengan adanya penyebab langsung dari suatu

perbuatan maka akan mengakibatkan kerugian. Kerugian yang diderita

pasien dapat berupa kerugian materiil maupun immaterial. Menurut Munir

Fuadi akibat kelalaian medis, pasien dapat menderita rasa sakit, luka,

cacat, kematian, kerusakan pada tubuh dan jiwa atau kerugian lain yang

diderita pasien selama proses perawatan.27

Selanjutnya pertanggungjawaban hukum dalam perbuatan melawan hukum

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, tidak dibedakan

antara sebab kesengajaan (dolus) atau sebab kelalaian (culpoos), berbeda

dengan beban pertanggungjawaban pidana yang membedakan secara tegas

atara pertanggungjawabankesengajaan (dolus) dan sebab kelalaian (culpoos).28

4. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang

kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui

pendidikan di bidang kesehatan yang menurut jenis tertentu memerlukan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Pasal 1 angka 1 Peraturan

Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga kesehatan). Tenaga kesehatan

yang dimaksud dalam tesis ini adalah tenaga medis yaitu dokter dan dokter gigi

dan tenaga keperawatan yaitu perawat dan bidan (Pasal 2 ayat (1) dan (2)

(35)

dimaksud adalah mereka yang terlibat langsung dalam transaksi terapeutik di

rumah sakit yaitu dokter dan mereka yang tidak terlibat secara langsung, akan

tetapi dikelompokkan sebagai peserta dalam transaksi teraupetik yaitu tenaga

keperawatan.

(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Rumah Sakit

Rumah sakit atau hospital berasal dari kata hospitium (hospes-hospites) yang

artinya rumah tamu yang pada dinamika awalnya tempat para biara dan biarawati

merawat pasien-pasiennya.Sesuai dengan dinama masyarakat, maka hospitium berdiri

secara mandiri dan berkembang ke arah yang modern dan berfungsi sebagai rumah

sakit.25Rumah sakit pada mulanya merupakan sebuah institusi atau lembaga yang

didirikan dengan latar belakang pelaksanaan tugas keagamaan atau melaksanakan

ibadah.26Oleh karena itu tidak mengherankan kalau rumah sakit tugas utamanya adalah

melakukan fungsi sosial, terutama pada masyarakat yang kurang mampu dan

memerlukan pelayanan kesehatan.Bahkan fungsi rumah sakit pada waktu itu hanya

menyembuhkan orang sakit (nasocomium hospital), tempat beristirahat para tamu

(xenodochium) tempat mengasuh anak yatim (phanotrophium) serta tempat tinggal

orang jompo (gerontoconium) serta didirikan oleh badan-badan keagamaan (claritabel

hospital).27

Rumah sakit dalam konteks ini bertujuan hanya untuk membantu dalam rangka

pengobatan masyarakat yang kurang mampu. Doktrin yang terkenal pada waktu itu

25

Rosalia Sciortino. 2008. Perawat Puskesmas, di antara Pengobatan dan Perawatan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hlm. 28-31

26

Endang Wahyati Yustina, Op Cit. Hlm. 6

27

(37)

adalah doctrine of charitable immunity bahwa rumah sakit merupakan lembaga karitas.

Artinya rumah sakit harus memiliki dan menerapkan nilai-nilai sosial, kemanusiaan

yang dilandasi Ke-Tuhanan dan tidak mencari keuntungan.Berdasarkan doctrine of

charitable immunity, rumah sakit pada waktu itu tidak dapat digugat jika melakukan

kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian pasien.

Sesuai dengan perkembangan zaman, maka pada saat ini rumah sakit telah

mengalami berbagai perkembangan, yang paling dapat dilihat bahwa rumah sakit telah

berkembang menjadi pusat kesehatan (health center) dan pusat pendidikan serta

penelitian.Oleh karena itu rumah sakit pada saat ini lebih mengarah pada institusi

kesehatan (health institution), bahkan secara tegas hanya membatasi pada aspek

kesehatan saja.Pada akhirnya rumah sakit yang dahulu didirikan oleh pemerintah

(public hospital), saat ini rumah sakit banyak didirikan oleh badan-badan swasta

(private hospital).Dengan adanya rumah sakit yang didirikan oleh badan-badan swasta,

maka fungsi rumah sakit berubah menjadi salah satu kegiatan ekonomi, bahkan rumah

sakit telah dijadikan sebagai salah satu badan usaha yang mencari keuntungan (profit

making).28Pelayanan kesehatan di rumah sakit telah bergeser dari public goods menjadi

private goods, sehingga penyembuhan kepuasan pasien semakin lama semakin

kompleks dan semua rumah sakit bersaing untuk menarik pasien.29

Sebagaimana telah dikemukakan dalam latar belakang di atas, secara yuridis

formal batasan tentang rumah sakit di Indonesia telah dituangkan dalam Pasal 1 butir 1

UU No. 44 Tahun 2009 bahwa rumah sakit adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan

28

Ibid. Hlm. 83

29

(38)

pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Dengan demikian menurut UU No

44 Tahun 2009 tugas utama rumah sakit adalah memberi pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna.Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan perorangan

adalah setiap kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit dan

memulihkan kesehatan.Dalam kaitan tersebut, bagaimana dengan fungsi rumah sakit

menurut UU No. 44 Tahun 2009?Sebelum mengemukakan fungsi rumah sakit, perlu

diketahui tentang kata fungsi.Kata fungsi, berasal dari kata functio artinya jabatan,

tugas, kegunaan.Kata fungsi menurut bahasa Belanda berasal dari kata functie artinya

jabatan. Dalam bahasa Inggris fungsi berasal dari kata function yang mengandung arti

kegunaan, tugas, pekerjaan. Black’s Law Dictionary, kata function mengandung dua

pengertian yaitu: activity that is appropriate to a particular business or profession dan

office; duty; the occupation of an office30. Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan

fungsi dalam konteks ini adalah tugas atau aktivitas yang bersifat khusus mengenai

suatu pekerjaan. Fungsi suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan

perannya, fungsi dapat berubah-ubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain.

Selanjutnya Pasal 5 UU No. 44 Tahun 2009 menegaskan bahwa fungsi rumah

sakit adalah sebagai berikut:

1. menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit;

30

(39)

2. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan tingkat ketiga sesuai dengan

kebutuhan medis;

3. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan

4. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan

memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU No. 44 Tahun 2009, menunjukkan bahwa

luasnya pelayanan rumah sakitmulai dari pengobatan, pemulihan kesehatan,

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan

serta penelitian dan pengembangan. Selanjutnya selain fungsi tersebut di atas, rumah

sakit harus mempunyai fungsi sosial sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 29 ayat

(1) huruf f UU No. 44 Tahun 2009, bahwa rumah sakit mempunyai kewajiban

melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan

pasientidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis,

pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi

kemanusiaan. Yang dimaksud dengan fungsi sosial rumah sakit adalah bagian dari

tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral

dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien khususnya yang kurang/tidak mampu

untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan (Penjelasan Pasal 2 UU No. 44

(40)

Menurut ketentuan Pasal 19 UU No. 44 Tahun 2009: rumah sakit menurut jenis

pelayananan dapat dibagi menjadi dua yaitu rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.

Rumah Sakit Umum (RSU) memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan

jenis penyakit, sedangkan rumah sakit khusus, memberikan pelayanan utama pada satu

bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,

organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Selanjutnya, menurut Pasal 20 UU No.

44 Tahun 2009 rumah sakit dapat digolongkan menjadi rumah sakit privat dan rumah

sakit publik. Rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang

berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.

Rumah sakit publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan badan

hukum yang bersifat nirlaba.Badan hukum nirlaba dimaksudkan di sini adalah bahwa

badan hukum yang sisa hasil usahanya tidak dibagikan pada pemilik, tetapi digunakan

untuk kepentingan pelayanan antara lain yayasan, perkumpulan dan Perusahan

Umum.Selain itu, rumah sakit publik yang dikelola oleh Pemerintah dan Pemerintah

Daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan

Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Rumah

sakit publik yang dikelola oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak dapat dialihkan

menjadi rumah sakit privat. Lebih lanjut Pasal 51 UU No. 44 Tahun 2009 menegaskan,

bahwa: “Pendapatan rumah sakit publik yang dikelola oleh Pemerintah dan Pemerintah

Daerah digunakan secara langsung untuk biaya operasional rumah sakit dan tidak dapat

(41)

B. Asas-Asas Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit

Berkaitan dengan masalah asas atau prinsip (beginsel, principle), secara leksikal

berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berfikir atau bertindak atas kebenaran yang

menjadi pokok dasar berfikir, bertindak dan sebagainya.31Van de Velden

mengemukakan bahwa asas hukum adalah tipe putusan tertentu yang dapat digunakan

sebagai tolok ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman

berprilaku.Asas hukum didasarkan atas suatu nilai atau lebih yang menentukan sesuatu

yang bernilai yang harus direalisasi32.Paul Scholten berpendapat bahwa asas hukum

adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita

pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai

pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh harus ada33.Selanjutnya, Asser

menyatakan bahwa asas hukum berisi penilaian susila, pemisahan yang baik dan yang

buruk yang menjadi landasan hukum.Jadi di dalam asas hukum terdapat sifat etis34.

Berdasarkan pandangan-pandangan tentang asas hukum tersebut di atas,

Sudikno Mertokusumo35 menyimpulkan sebagai berikut:

“Bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif

31

Agus Yudha Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Hlm. 21

32

Sari Murti Widiastuti, 2007, Penjelasan Pers Atas Konsistensi Asas Pertanggungjawaban Perdata dalam Hukum Khusus Terhadap Asas Pertanggungjawaban Perdata dalam Hukum Umum, Ringkasan Disertasi Untuk Ujian Promosi Doktor dari Dewan Penguji Sekolah Pasca Sarjana UGM. Hlm. 17

33

Sudikno Mertokusumo. 2004. Mengenal Hukum. Liberty, Yogyakarta. Hlm. 3

34

Siti Sumarti Hartono, 1992, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Bagian Umum,

Liberty, Yogyakarta. Hlm. 89

35

(42)

dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut”.

Dalam melakukan pelayanan kesehatan, rumah sakit perlu memperhatikan asas-asas

hukum kesehatan baik yang tersirat dalam UU No. 36 Tahun 2009 maupun yang dikenal

dalam doktrin36 hukum kesehatan. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Asas legalitas

Asas legalitas tersirat dalam rumusan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UU

No.36 Tahun 2009 yang menentukan bahwa kewenangan untuk

menyelenggarakan pelayanan kesehatan dilakukan sesuai dengan bidang keahlian

yang dimiliki, serta dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan di rumah sakit

tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Hal ini berarti pelayanan

kesehatan hanya dapat terselenggara jika tenaga kesehatan bersangkutan telah

memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam perundang-undangan.

2. Asas keseimbangan

Hukum selain memberi kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan

manusia, juga memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu ke

keadaan semula (restitutio integrum), maka asas keseimbangan sangat diperlukan

dalam pelayanan kesehatan. Asas keseimbangan terkandung dalam rumusan Pasal

2 UU No.36 Tahun 2009 yang berbunyi: “bahwa pembangunan kesehatan

diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat,

perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan gender dan

36

(43)

non diskriminatif dan norma-norma agama”. Asas keseimbangan, mengandung

arti bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara kepentingan

individu dan masyarakat, antara fisik dan mental serta antara material dan

spiritual.

3. Asas tepat waktu

Asas tepat waktu sangat diperlukan karena akibat kelalaian memberikan

pertolongan dapat menimbulkan kerugian pada pasien.Salah satu bentuk kerugian

akibat pelayanan kesehatan adalah pembocoran rahasia kesehatan atau

kedokteran.Asas tepat waktu tersirat dalam Pasal 58 ayat (1) UU No.36 Tahun

2009, bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga

kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat

kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.Asas ini

menentukan bahwa dalam rangka pelayanan kesehatan kepada pasien di rumah

sakit tenaga kesehatan tidak dapat menunda-nunda demi kepentingan

pribadi.Penundaan dalam menolong pasien terutama di sarana pelayanan

kesehatan atau rumah sakit, dapat digolongkan penelantaran (abandonment)

pasien.

4. Asas Itikad baik

Asas itikad baik dapat diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban tenaga

kesehatan di rumah sakit untuk memenuhi standar profesi maupun dalam

menjalankan tugasnya selaku professional, sebagaimana yang ditentukan dalam

Pasal 24 ayat (1)UU No.36 Tahun 2009, bahwa tenaga kesehatan sebagaimana

(44)

pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan dan standar prosedur

operasional.

5. Asas kehati-hatian

Asas kehati-hatian tersirat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No.36 Tahun

2009, bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan

kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.Ketentuan ini mengisyaratkan

bahwa tenaga kesehatan di rumah sakit dalam melakukan profesinya harus

memberikan rasa aman kepada setiap pasien.Keamanan di sini, tenaga kesehatan

harus bekerja secara hati-hati dan seteliti mungkin.Asas ini juga terkait dalam

ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009, bahwa setiap orang berhak

menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara

kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam

pelayanan kesehatan yang diterimanya.Tenaga kesehatan dan rumah sakit dalam

menjalankan profesinya harus senantiasa berpedoman pada asas aegroti salus lex

suprema yang berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.Dengan

demikian, tenaga kesehatan sebagai seorang professional di rumah sakit bukan

hanya dituntut memiliki keahlian dan keterampilan, melainkan juga ketelitian atau

kecermatan dalam bertindak.

6. Asas keterbukaan

Asas keterbukaan terkandung dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU No.36 Tahun

2009, bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi

tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Setiap orang berhak

(45)

pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Selain itu, asas keterbukaan juga tertuang dalam UU No.44 Tahun 2009 yaitu:

a. Pasal 29 ayat (1) huruf a dan huruf l, bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat serta memberi informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak kewajiban pasien.

b. Pasal 32 huruf a, b, dan j, bahwa setiap pasien mempunyai hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit serta memperolah informasi tentang hak dan kewajiban pasien. Selain itu, pasien mempunyai hak mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.

7. Asas Otonomi

Dalam asas otonomi dinyatakan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan

untuk menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yang mereka

pilih. Dengan kata lain menghargai otonomi pasien berarti komitmen terhadap

sikap pasien dalam mengambil putusan terhadap “seluruh aspek pelayanan

kesehatan”. Misalnya persetujuan yang dibaca dan ditandatangani sebelum

operasi, menunjukkan penghargaan terhadap otonomi. Permasalahan yang muncul

dalam penerapan asas otonomi adalah adanya variasi kemampuan otonomi pasien

yang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti: tingkat kesadaran, usia, penyakit,

lingkungan rumah sakit, ekonomi, informasi dan lain sebagainya.

8. Asas non-maleficence,

Asas non-maleficence,merujuk pada tindakan yang melukai atau

membahayakan,oleh karena itunon-maleficence berarti tidak menciderai orang

(46)

berkeinginan untuk melakukan kebaikan, tetapi juga berjanji untuk tidak

mencederai.Asas ini pada prinsipnya tercamtum dalam lafal sumpah Hippocrates

yang secara tradisional mendukung profesi medik, yaitu:”I will never use treatment to injure or wrong the sick”.37

9. Asas beneficence

Asasbeneficence (kemurahan hati) adalah tanggung jawab untuk melakukan

kebaikan yang menguntungkan pasien dan menghindari perbuatan yang

merugikan atau membahayakan pasien. Dengan kata lain, kebaikan adalah

tindakan positif untuk membantu orang lain. Setuju untuk melakukan niat baik

juga membutuhkan ketertarikan terhadap pasien melebihi ketertarikan terhadap

diri sendiri.

10. Asas keadilan (justice)

Asas keadilan menuntut perlakuan terhadap pasien di rumah sakit secara adil

dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Pada kasus-kasus tertentu,

tenaga kesehatan tidak boleh membeda-bedakan antara pasien satu dan lainnya,

serta harus memberikan pelayanan yang sesuai dengan kondisi pasien.

11. Asas confidentiality(kerahasiaan)

Asas ini merupakan asas yang menjamin kemandirian pasien.Tenaga

kesehatan dan rumah sakit dalam hal ini menghindari pembicaraan mengenai

kondisi pasien dengan siapapun yang tidak secara langsung terlibat dalam

perawatan pasien.Tenaga kesehatan selalu menjaga kerahasiaan tentang segala

37

(47)

informasi tentang kesehatan pasien. Secara konkrit tenaga kesehatan tidak dapat

memberi informasi kepada pihak lain tentang kesehatan, hasil test laboraturium,

diagnosis, dan prognosis tanpa seizin pasien, kecuali informasi tersebut

diperlukan untuk upaya penyelenggaraan perawatan dan kepentingan hukum.

12. Asas kejujuran (vecarity)

Asas kejujuran merupakan asas vital dalam pelayanan kesehatan.Kejujuran

harus dimiliki oleh tenaga kesehatan di rumah sakit saat berhubungan dengan

pasien.Kejujuran merupakan dasar terbinanya hubungan saling percaya antara

perawat dan pasien. Kadang kala dokter atau perawat tidak menginformasikan

keadaan kesehatan pasien yang sebenarnya, hal ini dimungkinkan pasien akan

mengalami depresi bila informasi tersebut disampaikan. Cara yang terbaik adalah

dengan menginformasikannya kepada keluarga terdekat atau pendamping

pasien.Asas kejujuran dalam pelayanan kesehatan di berbagai negara sudah

banyak mengalami kemerosotan.Hal ini dibuktikan dengan adanya perkembangan

defensive medicine terutama yang dilakukan oleh tenaga medik38.Defensive

medicine merupakan suatu bentuk penyimpangan asuhan medik, yang

berkembang karena dipicu oleh ancaman tuntutan malpraktik. Prinsipnya,

defensive medicine merupakan mekanisme pertahanan diri tenaga medik agar

terhindar dari risiko tuntutan.

38

Bandingkan menurut Myrtle Flight, (dalam bukunya Flight menjelaskan bahwa: “Doctors, afraid that

they might be accused of unscrupulous practice ordered every known test in such of a definitive

diagnosis when presented with specific symptoms…..The practice of defensive medicine led to increased

(48)

13. Asas ketaatan (fidelity)

Asas ketaatan diartikan sebagai tanggung jawab untuk tetap setia pada suatu

kesepakatan.Tanggung jawab dalam konteks hubungan dokter-pasien dirumah

sakit meliputi tanggung jawab menepati janji, mempertahankan kepercayaan dan

memberikan perhatian. Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien, dalam

Deklarasi Geneva 1968 sebagaimana telah diubah tahun 1983 dan 2006

menyebutkan: “Saya akan menghormati rahasia yang dipercayakan pada saya,

bahkan setelah pasien meninggal”(I will respect the secrets which are confided in

me, even after the patient has died)39. Salah satu cara untuk menerapkan prinsip

kepercayaan adalah dengan memasukkan ketaatan dalam tanggung jawab.

Dengan demikian, pelayanan kesehatan yang dilakukan di rumah sakit oleh tenaga

kesehatan terutama dokter dan, perawat harus memperhatikan asas-asas atau

prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Asas-asas hukum kesehatan berfungsi sebagai

pondasi yang memberikan arah, tujuan serta penilaian fundamental, mengandung

nilai-nilai, dan tuntutan-tuntutan etis,oleh karena itu secara keseluruhan baik asas, norma dan

tujuan hukum kesehatan harus dijadikan pedoman dan ukuran atau kriteria bagi para

tenaga kesehatan di rumah sakit dalam menjalankan profesinya.

C.Bentuk Perikatan dalam Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit

Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda.Perikatan adalah

suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjukkan pada hubungan

hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih, yang melahirkan

39

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian Wijayanto (2013) menyatakan bahwa motivasi tidak memoderasi kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai, dan

komitmen pemohon penyelenggara hajatan dan penanggungjawab (Ketua Panitia) serta angota panitia pelaksanaan hajatan terhadap penerapan protokol kesehatan

Peningkatan total ATMR bank-bank tersebut tidak hanya bersumber dari pengenaan bobot risiko kredit yang lebih tinggi, khususnya bobot risiko atas eksposur kepada sovereign

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : Pengaruh Efisiensi Modal Kerja, Fluktuasi Kurs Rupiah, dan

Kesuksesan sebuah pertunjukan musik tidak lepas dari bagaimana pertunjukan itu Kesuksesan sebuah pertunjukan musik tidak lepas dari bagaimana pertunjukan itu dipersiapkan.

Penelitian dari Siregar (2010) yang berjudul Hubungan Gaya Pengasuhan Orangtua dengan Motivasi Berprestasi pada Mahasiswa Suku Batak yang Tinggal di Jakarta dan

Gagal ginjal akut dapat terjadi pada semua tipe sindrom nefrotik, tetapi lebih jarang terjadi pada penderita dengan minimal change disease (MCD).

2. Elemen teritorialitas yang terdapat pada permukiman suku Bajo diatas air di Desa Tumbak yakni Teritorialitas Primer kebutuhan keluarga: a) batas halaman yang dibentuk oleh