Liability of Negligence Hospital Medical Health Workers Forum by
Indrasari Aulia
Research on "Liability for Negligence Hospital Medical Health Workers Forum", aimed at first, to understand the legal liability aspects of the hospital against medical personnel. Second, to understand the responsibility of the hospital against medical negligence committed by health workers. Type of this research is a normative, regulatory approach (statute approach), conceptual approach and empirical approach to support. Statute approach is done by reviewing all legislation related to the discussion. The main data on this research is secondary data obtained from variety of relevant literature. As a supporter of secondary data, this study is supported a wide range of information from informants who are competent in the field of hospital services, which consist of 4 (four) peoples.
The results showed that the legal liability aspects of the hospital includes aspects of civil, criminal and administrative state. Based on the civil aspects the hospital can be held accountable for health care workers negligence doctrine of vicarious liability based or hospital liability, which is implicitly contained in the provisions of Article 58 of Law No. 36 of 2009, Article 46 of Law No. 44 of 2009, and Section 1365, 1366, 1367 KUHPerdata. Criminal aspect, explicitly stated on Article 190 of Law No. 36 of 2009 and Article 62 and Article 63 of Law No. 44 Year 2009. Criminal consequences can be imposed if the hospital violates the provisions of the criminal articles and the consequence is a comulative consequences : imprisonment and fines. Even the hospitals as a corporation can get an additional form: a revocation of business license and revocation of legal entity status. From the aspect of the country administration, if the hospital violates the provisions related to administrative, the consequences are a written warning, responsibility of omissions by health workers is an indemnity. The Compensation is a specitif amount of money which is provided on Article 1365, 1366, 1367 KUHPerdata, which includes economic losses such as the cost of treatment in
hospital, injury or disability of the victim’s body, the presence of physical pain,
mental illness, such a stress, anxiety and other mental disturbances. In this context it is also known a form of actual damages and compensation related to mental stress (immaterial).
Dilakukan Tenaga Kesehatan Oleh
Indrasari Aulia
Penelitian tentang “Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit terhadap Kelalaian Medis yang Dilakukan Tenaga Kesehatan”, bertujuan pertama, untuk memahami aspek pertanggungjawaban hukum rumah sakit terhadap tenaga kesehatan. Kedua, untuk memahami tentang bentuk tanggung jawab rumah sakit terhadap kelalaian medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, melalui pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan konseptual (conseptual approach), dan pendekatan
empiris sebagai penunjang. Dalam pendekatan secara perundang-undangan
(statute approach) dilakukan dengan menelaah semua peraturan
perundang-undangan berhubungan dengan pembahasan. Data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari kepustakaan dan berbagai leteratur yang relevan. Sebagai pendukung terhadap data sekunder, penelitian ini ditunjang berbagai informasi dari para informan yang kompeten dalam bidang pelayanan rumah sakit, yang terdiri dari 4 (empat) orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek pertanggungjawaban hukum rumah sakit meliputi aspek perdata, pidana dan administrasi negara. Berdasarkan aspek perdata rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban atas kelalaian tenaga kesehatannya berdasarkan doktrin vicarious liability atau hospital liability, yang secara implisit tertuang dalam ketentuan Pasal 58 UU No. 36 Tahun 2009, Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009, dan Pasal 1365, 1366, 1367 KUHPerdata. Aspek pidana, secara eksplisit tertuang dalam ketentuan Pasal 190 UU No. 36 Tahun 2009 dan Pasal 62 dan Pasal 63 UU No. 44 Tahun 2009. Sanksi pidana dapat dijatuhkan jika rumah sakit melanggar terhadap ketentuan pasal-pasal tersebut dengan sanksi pidana yang cukup berat berupa sanksi komulatif yaitu pidana penjara dan denda. Bahkan rumah sakit sebagai korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum. Dari aspek administrasi negara, apabila rumah sakit melanggar ketentuan yang berkaitan dengan administrasi maka sanksi yang dijatuhkan berupa peringatan tertulis, tidak diberikan izin mendirikan, dan dicabut atau tidak diperpanjang izin operasional rumah sakit. Bentuk tanggung jawab rumah sakit terhadap kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan adalah dalam bentuk pemberian ganti rugi. Ganti rugi yang dimaksud adalah ganti rugi dengan sejumlah uang yang bersifat khusus sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 KUHPerdata, yang meliputi kerugian ekonomis berupa biaya pengobatan di rumah sakit, luka atau cacat terhadap tubuh korban, adanya rasa sakit secara fisik, sakit secara mental, seperti stress, cemas dan berbagai gangguan mental lainnya. Dalam konteks ini juga dikenal bentuk ganti rugi aktual dan ganti rugi yang berhubungan dengan tekanan mental (immateriil).
TANGGUNG JAWAB HUKUM RUMAH SAKIT TERHADAP KELALAIAN MEDIS YANG DILAKUKAN
TENAGA KESEHATAN
Oleh
INDRASARI AULIA
PROGRAM STUDI PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
2015 Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM
Pada
DAFTAR ISI
HukumPerdata………. 52
2. AspekPertanggungjawabanRumahSakitMenurut HukumPidana………. 69
3. AspekPertanggungjawabanRumahSakitMenurut HukumAdministrasi……… 76
B. BentukTanggungJawabRumahSakitTerhadap Kelalaian yang DilakukanOlehTenagaKesehatan……….. 78
BAB V. PENUTUP……… 94
A. Kesimpulan ………. 94
B. Saran……… 96
MOTO
“Amalkan Ilmu Untuk Menguatan Iman, Ajarkan Ilmu Untuk Menguatkan Ingatan.”
(Mutiara Hikmah)
“Sesungguhnya Kami Telah Menjadikan Apa Yang Ada Di Bumi Sebagai Perhiasan Baginya, Untuk Kami Menguji Mereka,
Bismillahirrahmanirrohim
Tesisinikupersembahkankepada :
Suamidananakkutercinta yang telahmemberikancinta, kasihsayang, dukungandando’a
yang tulusikhlasdalamsetiaplangkahdanperjuanganku.
Ibundatercinta, terimakasihselalumemberikandukungan, semangatsertado’a yang
tiadahentiuntukkesuksesandankeberhasilanku,
A. Identitas Pribadi
1. Nama : Indrasari Aulia
2. Tempat/Tanggal Lahir : Kotabumi, 20 Juni 1960
3. Agama : Islam
4. Alamat : Jl. Sriwijaya No. 1, Enggal, Bandar Lampung
B. Pendidikan Formal
1. SD Negeri 5 Kotabumi
2. SMP Negeri 1 Kotabumi
3. SMA Negeri 1 Kotabumi, lulus tahun 1979
4. Strata I Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta, lulus tahun 1988
5. Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung, lulus tahun
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Rumah sakit adalah salah satu jenis sarana pelayanan kesehatan yang tugas
utamanya adalah melayani kesehatan perorangan di samping tugas pelayanan
lainnya. Oleh karena itu, dalam pelayanan kesehatan terdapat dua kelompok yang
perlu mendapat perhatian, yaitu penerima pelayanan kesehatan (health care
receivers)yang dalam hal ini adalah pasien dan pemberi pelayanan kesehatan
(health care providers) yaitu rumah sakit yang di dalamnya terdiri atas berbagai
tenaga kesehatan.
Pada awalnya rumah sakit didirikan guna melaksanakan tugas keagamaan
atau melaksanakan kegiatan ibadah. Oleh karena itu rumah sakit didirikan
semata-mata untuk tujuan sosial kemanusiaan sesuai dengan perintah agama. Dalam
konteks ini rumah sakit bertujuan untuk membantu masyarakat, khususnya
masyarakat yang kurang mampu, sehingga pada masa itu dikenal doctrine of
charitable immunity bahwa rumah sakit merupakan lembaga karitas. Artinya
rumah sakit harus memiliki dan menerapkan nilai-nilai sosial, kemanusiaan yang
dilandasi Ke-Tuhanan dan tidak mencari keuntungan.
Melalui perkembangan doctrine of charitable immunity, rumah sakit pada
waktu itu tidak dapat digugat jika melakukan kesalahan yang menimbulkan
kerugian pada diri pasien beserta keluarganya. Dikarenakan rumah sakit
melaksanakan tugas sosial kemanusiaan, maka tidak mungkin dibebani tanggung
pelayanan medis yang salah di rumah sakit. Dengan kata lain, dikarenakan tugas
rumah sakit lebih menekankan pada pelayanan fungsi sosial, maka tidak
dimungkinkan untuk menggugat rumah sakit.1
Pada saat ini penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit tidak
sesederhana seperti pada zaman dahulu. Kebutuhan untuk mengelola rumah sakit
dengan berbagai permodalan tidak dapat lagi dielakkan. Rumah sakit
membutuhkan permodalan yang cukup terutama dengan makin banyaknya
teknologi baru yang harus disediakan. Tenaga yang cukup banyak juga menjadi
kebutuhan pokok, sehingga membutuhkan pengorganisasian yang lebih
professional dan tersedianya tenaga-tenaga teknis yang mahir untuk menangani
alat-alat yang makin canggih. Oleh karena itu, dalam hal ini mau tidak mau akan
mempengaruhi fungsi rumah sakit dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Pada era sekarang rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang
kompleks serta paradigma yang sudah berubah. Rumah sakit tidak lagi dianggap
kebal terhadap segala bentuk gugatan hukum, yang sebelumnya rumah sakit
dianggap sebagai lembaga sosial kebal hukum berdasarkan doctrine of charitable
immunity. Perubahan paradigma tersebut terjadi sejak kasus Darling vs
Charleston Community Memorial Hospital (1965),2 yakni kasus yang bermula
mempersamakan institusi rumah sakit sebagai person (subjek hukum) sehingga
oleh karenanya dapat dijadikan target gugatan atas kinerjanya yang merugikan
pasien. Pertimbangannya antara lain karena banyak rumah sakit mulai melupakan
fungsi sosialnya serta dikelola sebagaimana layaknya sebuah industri dengan
1
Azrul Azwar. 2004. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara, Jakarta. Hlm. 66
2
manajemen modern, lengkap dengan manajemen risiko. Selain itu pada saat ini
rumah sakit terlihat adanya berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat
keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain. Dengan kata lain dalam
suatu rumah sakit disebut sebagai padat Sumber Daya Manusia (SDM) dan padat
ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kesehatan, di saat ini berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga
kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu
guna menuju pada keselamatan pasien (patient safety).
Perkembangan yang sangat berpengaruh terhadap fungsi dan peran rumah
sakit saat ini,menurut Endang Wahyati Yustina,3adalah bahwa rumah sakit
berfungsi untuk mempertemukan dua tugas yang prinsipil yang membedakan
dengan institusi lain yang melakukan kegiatan pelayanan jasa. Pertama, rumah
sakit merupakan institusi yang mempertemukan tugas yang didasari oleh
dalil-dalil etik medik, karena merupakan tempat bekerjanya para professional di bidang
medik. Kedua, rumah sakit bertindak sebagai institusi yang bergerak dalam
hubungan-hubungan hukum (rechtsverhouding)4 dengan masyarakat yang tunduk
pada norma-norma dan etika masyarakat.
Sejalan dengan amanat pasal 28 H ayat (1) UUD RI Tahun 1945 telah
ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan,
kemudian dalam Pasal 34 ayat (3) dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
3
Endang Wahyati Yustina. 2012. Mengenal Hukum Rumah Sakit. Keni Media, Bandung. Hlm. 7-8
4Menurut teori lama perjanjian adalah “perbuatan hukum”
(rechtsbetreking) berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum, sedangkan menurut teori baru yang dikemukakan oleh
layak. Selanjutnya yang dimaksud dengan fasilitas pelayanan kesehatan adalah
suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat (Pasal 1
butir 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Secara
eksplisit salah satu fasilitas pelayanan kesehatan adalah rumah sakit. Hal ini
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit, bahwa rumah sakit adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat.
Dengan demikian menurut UU No 44 Tahun 2009 tugas utama rumah sakit
adalah memberi pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Yang
dimaksud dengan pelayanan kesehatan perorangan adalah setiap kegiatan
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan.
Pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit pada umumnya, diawali
dengan sebuah transaksi terapeutik atau perjanjian penyembuhan antara dokter
dengan pasien. Oleh karena itu, pada awalnya hubungan hukum yang terjadi di
rumah sakit adalah antara pasien dengan dokter. Perjanjian penyembuhan yang
oleh beberapa pakar hukum kesehatan sering disebut transaksi terapeutik, berasal
dari kata transactie5yang artinya perjanjian dan therapeuticus yang artinya
5
penyembuhan. Jadi transaksi terapeutik artinya perjanjian penyembuhan.
Perjanjian penyembuhan atau transaksi teraupetik pada dasarnya belum ada
penafsiran otentik dari pembuat undang-undang. Hermien Hadiati Koeswadji
menyebutkan yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah transaksi untuk
mencari atau menemukan terapi yang paling tepat oleh dokter untuk kesembuhan
pasien6.
Dalam transaksi terapeutik tersebut akan melahirkan suatu perikatan yang
menurut literatur hukum kesehatan disebut sebagai perikatan usaha secara
maksimal atau ikhtiar (inspanningsverbintenis)7. Di sini dokter harus
menggunakan segala ilmunya, kepandaian, keterampilan, dan pengalaman yang
dimiliki serta harus bertindak secara hati-hati dan teliti. Dalam perikatan “ikhtiar”
dokter sama sekali tidak memberi jaminan akan kesembuhan pasiennya. Hal ini
memang tidak mungkin mengingat banyaknya variasi yang terdapat dalam diri
pasien, misalnya: sifat dan macam penyakit, usia, komplikasi, taraf tingkat
penyakit yang berbeda, dan hal-hal yang meliputi daya tahan tubuh8.Selain
inspanningsverbintenis, dalam hukum kesehatan juga dimungkinkan akan
melahirkan perikatan berdasarkan hasil kerja (resultaatsverbintenis). Berbeda
dengan inspanningsverbintenis, maka dalamresultaatsverbintenis hasilnya sudah
bahwa transaksi atau perikatan yang menurut hukum diatur dalam Pasal 1233 KUHPerdata yang nenentukan bahwa tiap-tiap perikatan yang dilahirkan baik karena perjanjian (overeenkomst) maupun karena undang-undang.
6
Hermien Hadiati Koeswadji. 1998. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Citra Aditya, Bandung. Hlm. 26
7
Inspanningsverbintenis berasal dari kata spannen, yang dalam Kamus Belanda-Indonesia yang disusun oleh W. Van Hoeve diartikan: menegangkan, meregangkan, mengencangkan, merentangkan, sedangkan kata spanning mengandung arti: ketegangan, tekanan. Inspannend:
melelahkan, Inspanning: kegiatan ketekunan, mengerahkan segenap tenaga. Verbintenis: ikatan pada suatu kewajiban terhadap pihak lain yang berhak menuntut pelaksanaan kewajiban itu (hukum).
8
pasti atau dapat dipastikan. Misalnya pasien memesan gigi palsu pada seorang
dokter gigi di rumah sakit.
Perjanjian penyembuhan yang dilakukan antara dokter dan pasien di rumah
sakit, selalu melibatkan pihak lain yaitu tenaga keperawatan, ahli radiologi,
apoteker, laboratorium dan rumah sakit. Rumah sakit pada umumnya merupakan
tempat atau fasilitas dimana dokter melakukan tindakan medik atau terjadinya
suatu transaksi terapeutik. Oleh karena itu secara hukum rumah sakit juga disebut
sebagai peserta perjanjian atau contractan dalam transaksi terapeutik. Selain itu,
rumah sakit sebagai lembaga pelayanan kesehatan menurut ketentuan Pasal 1367
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mempunyai tanggung
jawab atas kerugian yang dilakukan oleh pegawai atau bawahannya. Jika tenaga
kesehatan baik medis maupun nonmedis bekerja untuk rumah sakit, maka mereka
berada di bawah mekanisme pengawasan rumah sakit. Ini berarti rumah sakit
bertanggung jawab secara hukum atas tindakan dokter dan tenaga kesehatan
lainnya yang menyebabkan kerugian kepada pasien. Oleh karena itu secara
condition sino quanon tidak salah jika tuntutan ganti kerugian ditujukan kepada
rumah sakit. Selain itu dalam Pasal 17 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia (Permenkes) No. 290/Menkes/Per/III/2008 Tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran ditegaskan bahwa sarana pelayanan kesehatan
atau rumah sakit bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan
kedokteran atau tindakan medis.
Berdasarkan dua ketentuan di atas, menunjukkan bahwa berdasarkan
memberipelayanan pengobatan dan perawatan (cure and care)9 bertanggung
jawab atas segala peristiwa yang terjadi di rumah sakit.Dengan kata lain kesalahan
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di dalam rumah sakit dianggap sebagai
kesalahan institusi (corporate negligence) yang harus ditanggung oleh rumah
sakit tersebut, karena dianggap kurang dapat mengawasi dan mengontrol apa yang
dilakukan oleh tenaga kesehatannya, termasuk yang dilakukan oleh tenaga medis
dan non medis. Dalam konteks ini pimpinan rumah sakit harus bertanggung jawab
untuk mengadakan seleksi terhadap tenaga medis dalam rangka pelayanan
kesehatan kepada pasien.
Dalam doktrin kesehatan hukum tanggung jawab rumah sakit tersebut di
atas dikenal dengan ajaran vicarious liability atau respondeat superior, yang
artinya tanggung jawab dalam pelayanan medik tidak hanya di fokuskan pada
tenaga medis atau nonmedisnya saja melainkan telah diperluas pada tanggung
jawab rumah sakit. Teori ini yang selanjutnya dikenalcorporate liability for all
malpractice committed within hospital walls10. Purwahid Patrik menyebutkan
bahwa tanggung jawab tersebut identik dengan tanggung gugat secara kualitatif.
9
Istilah care (merawat) dan cure sebagai dua konsep yang terpisah. Istilah cure digunakan hanya untuk mengacu pada diagnose, peresepan obat dan tugas-tugas kuratif otonom lainnya, sedangkan
care menunjukkan serangkaian praktik yang memberikan asuhan keperawatan (nurturing) untuk memuaskan kebutuhan fisiologis dan psikologis pasien (bed side care) maupun kegiatan-kegiatan preventif dan promotif yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat (community health care). Cure jika didefinisikan sebagai terapi yang bertujuan untuk menyembuhkan dapat juga termasuk kegiatan care. Sementara itu care dalam arti luas termasuk praktik-praktik dalam kegiatan penyembuhan (kuratif)
10
Artinya rumah sakit bertanggung jawab tanpa ada kesalahan atau dapat dikatakan
tanggung gugat risiko (risico aansprakelijkheid)sebagai lawan dari tanggung
gugat berdasarkan kesalahan 11.
Selanjutnya dalam UU No. 44 Tahun 2009 mengenai tanggung jawab rumah
sakit secara eksplisit telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 46 bahwa : “Rumah
sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap segala kerugian yang ditimbulkan
atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dirumah sakit”. Ketentuan
Pasal 46 tersebut, menunjukkan bahwa tanggung jawab hukum yang dimaksud
hanya dari segi atau aspek hukum perdata. Padahal di sisi lain menurut doktrin
hukum kesehatan, pada hakikatnya rumah sakit adalah penerapan hukum perdata,
hukum pidana dan hukum administrasi negara, maka seharusnya ruang lingkup
tanggung jawab rumah sakit juga meliputi tanggung jawab pidana dan tanggung
jawab administrasi Negara.12
Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 46UU No. 44 Tahun 2009 tersebut,
maka apabila terdapat kerugian berdasarkan kelalaian oleh tenaga kesehatan di
rumah sakit, maka rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap
kerugian tersebut. Ketentuan Pasal 46 UU No.44 Tahun 2009 di atas, pada
prinsipnya sesuai dengan doktrin corporate liability dan vicarious
liability.Berdasarkan ketentuan Pasal 46 UU No.44 Tahun 2009 di atas dapat
disimpulkan bahwa antara tenaga kesehatan di rumah sakit mempunyai hubungan
11
Purwahid Patrik . 1990. Perkembangan Tanggung Gugat Resiko Dalam Perbuatan Melawan Hukum. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Undip Semarang 5 Mei 1990. Hlm. 13
12
hukum yang bersifat keperdataan. Realisasi hubungan hukum tersebut salah
satunya adalah mengenai tanggung jawab rumah sakit terhadap segala tindakan
tenaga kesehatan yang dapat merugikan pasien. Dengan demikian, tenaga
kesehatan secara yuridis tidak dapat dipisahkan kedudukannya dengan sebuah
rumah sakit di mana tenaga kesehatan tersebut bekerja.
Berdasarkan uraian di atas, ruang lingkup penulisan dan penelitian ini
dibatasi pada pertanggungjawaban rumah sakit sebagai akibat kelalaian medis
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dari aspek keperdataannya. Aspek
keperdataan dalam konteks ini berkaitan dengan ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 58 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 yaitu: bahwa setiap orang berhak
menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
“penyelenggara kesehatan” yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
B. Perumusan Masalah Dan Ruang Lingkup Masalah
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
a. Aspek apa saja pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit terhadap
kelalaian medis yang dilakukan oleh tenagakesehatan ?
b. Bagaimana bentuk tanggung jawab perdata Rumah Sakit terhadap
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian hukum di Rumah Sakit
terutama tanggung jawab perdata Rumah Sakit terhadap kelalaian medik
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan memahami aspek pertanggung jawaban
hukum rumah sakit terhadap tenaga kesehatan.
b. Untuk mengetahui dan memahami tentang bentuk tanggung jawab
rumah sakitterhadap kelalaian medis yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan informasi mengenai tanggung jawab rumah sakit
terhadap kelalaian medik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan,
terutama dari aspek hukum perdata.
b. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi rumah sakit, tenaga
kesehatan dan masyarakat umum yang menggunakan pelayanan
kesehatan di rumah sakit.
c. Diharapkan dapat bermanfaat dalam pelaksanaan penyelenggaraan
rumah sakit dan memberikan pemahaman bagi para pengguna jasa
sakit tentang tuntutan ganti kerugian apabila pihak rumah sakit
telah melakukan perbuatan melawan hukum.
D. Kerangka Teoretis dan Konseptual 1. Kerangka Teoretis
Pada dasarnya dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit ada dua pihak
yang berhubungan satu sama lain yaitu pihak yang menerima pelayanan kesehatan
(health care receivers) atau pasien dan pihak yang memberi pelayanan
kesehatan(healthcare providers)yaitu tenaga kesehatan baik medis maupun para
medis (bukan tenaga medis). Antara kedua pihak inilah kemudian terjadilah apa
yang dinamakan transaksi(transactie) terapeutik(therapeuticus) atau perjanjian
penyembuhan, yaitu suatu perjanjian yang obyeknya adalah pelayanan medis atau
upaya penyembuhan.13 Jadi salah satu aspek yang terpenting dalam penerapan
hukum kesehatan di rumah sakit adalah transaksi terapeutik. Secara teoritik,
disamping tenaga kesehatan baik medis maupun nonmedis sebagai pihak yang
terlibat secara langsung dalam transaksi terapeutik, dalam praktik masih
diperlukan bantuan dari pihak lain agar tujuan dari transaksi tersebut tercapai
sesuai dengan yang diharapkan.14Pihak lain tersebut adalah pihak yang
menyediakan sarana kesehatan yakni rumah sakit.
Meskipun rumah sakit tidak secara langsung masuk dalam perjanjian
terapeutik, namun hubungan hukum yang ditimbulkannya sangat berpengaruh
terhadap transaksi terapeutik tersebut, terutama pada pertanggungjawaban dari
13
Veronica Komalawati. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktik Dokter. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hlm.84
14
rumah sakit sebagai badan hukum.15 Oleh karena itu transaksi terapeutik antara
dokter dan pasien di rumah sakit juga akan menimbulkan hubungan hukum
(rechtsverhouding) dengan rumah sakit. Yang dimaksud dengan hubungan hukum
dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan adalah hubungan hukum antara dua
subyek hukum orang dengan subyek hukum orang (hubungan hukum
dokter-pasien) serta hubungan hukum antara subyek hukum dengan subyek hukum badan
(pasien-rumah sakit-dokter).16Hubungan hukum tersebut pada prinsipnya akan
menimbulkan akibat hukum yaitu hak dan kewajiban.17
Secara keperdataan, transaksi terapeutik merupakan perjanjian untuk
melakukan jasa-jasa tertentu yang diatur dalam Pasal 1601 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata). Suatu perjanjian untuk melakukan jasa khusus
adalah suatu perjanjian yang bersifat konsensual, dengan demikian maka transaksi
terapeutik juga merupakan perjanjian konsensual. Dalam transaksi terapeutik
kesepakatan terwujud dalam bentuk Persetujuan Tindakan Kedokteran atau
informed concent.18 Istilah informed consent berasal dari bahasa Latin consentio
yang selanjutnya dialih bahasakan ke dalam bahasa Inggris menjadi consent. Di
Belanda istilah informed consent dikenal dengan sebutan gerichte toesteming.
Dalam hukum kesehatan sepakat atau konsensus bagi suatu traksaksi terapeutik
15
Siti Ismijati Jenie. 1994. Berbagai Aspek Yuridis Di Dalam dan di Sekitar Perjanjian Penyembuhan (Transaksi Terapeutik) Suatu Tinjauan Keperdataan. Makalah disampaikan Pada Penataran Dosen Hukum Perdata Fakutas Hukum UGM tanggal 1-13 Agustur 1994, Yogyakarta. Hlm.2
16
Adami Chazawi. 2007. Malpraktik Kedokteran (Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum). Bayumedia Publishing, Malang. Hlm. 15-16
17
Salim HS. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat. Sinar Grafika, Jakarta. Hlm.4
18Istilah “
Persetujuan Tindakan Medik” yang semula diatur dalam Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989 telah diubah melalui Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008 dengan
merupakan syarat untuk adanya (bestaansvoorwaarden) dan sekaligus merupakan
salah satu syarat untuk sahnya (geldigheids vereisten).19
Lebih lanjut ketentuan mengenai Persetujuan Tindakan Kedokteran atau
informed consent tertuang dalam Permenkes RI No.290/Menkes/Per/III/2008
Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam Pasal 1 Permenkes tersebut
disebutkan bahwa persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan
secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan terhadap pasien. Hermien Hadiati Koeswadji menyebutkan bahwa
informed consent merupakan persetujuan sepihak dari pasien yang tidak mungkin
diberikan jika tidak berdasarkan informasi (tentang penyakit dan upaya
penyembuhan) yang lengkap, jelas, serta tindakan-tindakan apa saja yang dapat
dilakukan serta kemungkinan apa saja yang dapat terjadi.20 Eksistensi informed
consent juga sesuai dengan ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran. Informed consentinilah yang menjadi dasar bagi
pasien untuk akhirnya ia memutuskan secara mandiri setuju atau tidak atas
tindakan terapeutik yang akan dilakukan oleh dokter.
Sebagai suatu perjanjian, transaksi terapeutik tunduk pada ketentuan umum
mengenai hukum perjanjian. Oleh kerena itu untuk menilai keabsahan suatu
transaksi terapeutik harus digunakan tolok ukur sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu, pertama adanya kesepakatan (yang
19
Perlu dibedakan terhadap syarat “adanya/lahirnya/terjadinya” dan “syarat sahnya” suatu transaksi terapeutik. Syarat adanya atau lahirnya cukup adanya kesepakatan dari pasien atas informasi yang telah diberikan dokter, sedangkan untuk syarat sahnya harus memenuhi criteria yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu, adanya kata sepakat, adanya kecakapan para pihak, hal tertentu dan kausa yang halal.
20
diberikan tanpa adanya kesesatan(dwaling), paksaan(dwang), penipuan (bedrog)
ataupun penyalahgunaan keadaan(misbruik van omstadigheden). Kedua
kecakapan membuat perjanjian (bekwaamheid).Ketiga, suatu hal tertentu(bepaald
orderwerp) dan keempat suatu sebab yang halal (geoorloofde oorzaak).
Setelah terjadinya transaksi teraupetik antara dokter dan pasien di rumah
sakit timbullah perikatan antara keduabelah pihak. Perikatan yang timbul dari
transaksi terapeutik tersebut, jika dilihat dari prestasinya ada dua macam, yaitu
pertama inspaningsverbintenis, perikatan yang harus dilakukan dengan hati-hati
dan berusaha keras. Wujud prestasi dalam perikatan ini berupa suatu usaha/upaya
maksimal tetapi hasilnya belum pasti. Kedua, resultaatsverbintenis yaitu suatu
perikatan yang prestasinya berwujud menghasilkan sesuatu yang sifatnya sudah
pasti. Dengan adanya transaksi terapeutik tersebut, menimbulkan suatu perikatan
di antara para pihak, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban. Hak dan
kewajiban tersebut harus dilaksanakan agar tujuan dari suatu transaksi terapeutik
tersebut tercapai sesuai yang diharapkan.
Berdasarkan uraian di atas, hubungan hukum antara dokter dan pasien di
rumah sakit terjadi dikarenakan ada hubungan kontraktual berupa transaksi
terapeutik. Oleh karena itu, dalam konteks ini dokter sebagai pihak yang terlibat
secara langsung dalam perjanjian apabila terjadi wanprestasi maka secara yuridis
dapat dimintai pertanggungjawaban (contractual liability) yaitu perbuatan tidak
memenuhi prestasi atau kewajiban. Di sini berlaku contract theory, menurut King
jika seorang dokter atau tenaga kesehatan setuju untuk merawat seorang pasien
disertai hak dan tanggung gugatnya.21Dengan kata lain, contractual liability,
tanggung gugat jenis ini muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak
dilaksanakannya sesuatu kewajiban (prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak
pihak lain sebagai akibat adanya hubungan kontraktual.
Dalam kaitannya dengan transaksi terapeutik, kewajiban atau prestasi yang harus
dilaksanakan oleh health care provider adalah berupa upaya (effort), bukan hasil
(result). Karena itu dokter hanya bertanggunggugat atas upaya medik yang tidak
memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikatagorikan
sebagai civil malpractice
Selain itu, dokter sebagai pihak pada prinsipnya juga dapat dimintai
pertanggungjawaban sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad) yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban
profesi (yang dilakukan oleh tenaga profesi yang bekerja untuk dan atas nama
rumah sakit). Namun demikian, rumah sakit dimana tempat dokter bekerja juga
turut bertanggung jawab atas perbuatan dokter atau tenaga kesehatan yang
bertentangan dengan profesinya. Dalam hal ini berlaku doktrin hubungan
majikan-karyawan (Vicarious Liability), yang dalam perkembangannya di dunia
perumahsakitan mulai diterapkan secara universal doktrin corporate liability atau
enterprise liability, sehingga timbul istilah hospital liability.22vicarious liability
timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate). Dalam
kaitannya dengan pelayanan medik maka rumah sakit (sebagai employer) dapat
bertanggunggugat atas kesalahan yang dibuat oleh dokter atau tenaga kesehatan
21
J.H. King. 1986. The Law of Medical Malpractice in a Nutshell, West Publishing Co. St. Paul Minn. Hlm. 10-18
22
yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinate (employee). Lain halnya jika
tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra (attending physician)
sehingga kedudukannya setingkat dengan rumah sakit. Menurut doctrine of
vicarious liability, rumah sakit (meskipun sebagai artificial entity tidak
melakukan kesalahan apa-apa) juga dapat bertanggunggugat atas kesalahan dokter
organik yang bekerja di institusi tersebut
Doktrin vicarious liability ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata,
yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang
disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Selanjutnya untuk dapat
diberlakukan doctrine of vicarious liability diperlukan dua syaratdi bawah ini
yaitu:
a. Harus ada hubungan (economicrelationship), artinya
antara dokter dan pihakrumah sakit harus terjalin dalam suatu hubungan
yang bersifat ekonomi; misalnya hubungan master-servant atau
employer-employee.Sebagai bukti adanya direct (economicrelationship) antara lain:
adanya gaji tetap, kewenangan rumah sakit mengontrol, memberi sanksi
serta adanya kewenangan mengangkat dan memberhentikan dokter dan
tenaga kesehatan.
b. Tindakan dokter dan tenaga kesehatan harus berada dalam lingkup tugas
dan tanggungjawabnya.Artinya, tindakan (yang merugikan pasien) yang
dilakukan oleh dokter harus berada di dalam lingkup tugas dan
hubungan yang telah diperjanjikan. Jika dokter melakukan tindakan di luar
lingkup tugas & tanggungjawabnya (misalnya di luar clinical privilege
yang diberikan oleh Direktur atas rekomendasi Panitia Kredensial dari
Komite Medik) maka kerugian akibat kesalahannya harus ditanggung
sendiri.
Selanjutnya, doktrin corporate liability atau enterprise liability, dan
Hospital Liability pada prinsipnya menentukan bahwa rumah sakit menurut
hukum dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala peristiwa yang terjadi di
belakang dinding rumah sakit (within hospital walls).23 Di Indonesia secara
yuridis formal dengan berlakunya UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
secara tegas ditentukan dalam Pasal 46, bahwa rumah sakit bertanggung jawab
secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Dengan demikian secara yuridis
rumusan pasal 46 tersebutberarti sama dengan corporate liability atau enterprise
liability, dan hospital liability.
2. Kerangka Konseptual
Untuk menhindari perbedaan pengertian istilah-istilah yang dipergunakan
dalam penulisan tesis ini, berikut ini adalah definisi kerangka konsep dari
istilah-istilah sesuai dengan judul yang diajukan:
1. Pengertian tanggung jawab diartikan sangat luas dan abstrak, seperti tanggung
jawab dokter, tanggung jawab rumah sakit, tanggung jawab tenaga kesehatan
23
dan lain-lain. Dalam bahasa belanda istilah tanggung jawab disebut
verantwoordelijkheid yang dalam bahasa Inggris disebut responsibility. Istilah
tanggung gugat adalah istilah diterjemahkan dalam bahasa Belanda
aansprakelijkheid dan bahasa Inggris liability, sedangkan istilah
dipertanggungjawabkan berasal dari bahasa Belanda toerekenbaarheid yang
dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah accounttability.24 Selanjutnya yang
dimaksud dengan kewajiban untuk bertanggung jawab dalam tesis ini adalah
tanggung jawab yuridis berupa tanggung gugat, menanggung gugatan untuk
membayar sejumlah ganti kerugian akibat adanya suatu perbuatan.
2. Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Pasal 1 angka 1 UU No.
44 Tahun 2009). Selanjutnya rumah sakit yang dimaksud dalam tesis ini adalah
rumah sakit umum yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang
dan jenis penyakit (Pasal 19 ayat (2) UU No. 44 Tahun 2009) dan yang
termasuk dalam klasifikasi Rumah Sakit Umum Kelas C yang dikelola oleh
Pemerintah Daerah. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah rumah sakit umum
yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4
(empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik (penjelasan
Pasal 24 ayat (2)UU No. 44 Tahun 2009).
3. Kelalaian atau kealpaan dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah culpoos
atau nalatigheid yang dalam bahasa Inggris disebut negligence. Seseorang
dikatakan lalai apabila sikap tindaknya (prilakunya) bersifat acuh, masa bodoh,
24
sembarangan, tidak memperhatikan atau memperdulikan orang lain.25 Pada saat
ini istilah kelalaian mulai bayak digunakan dalam kaitannya dengan bidang
medis. Pada kelalaian tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan
akibat yang terjadi. Akibat yang timbul tersebut disebabkan karena kelalaian
yang sebenarnya terjadi di luar kehendaknya. Kelalaian atau kealpaan menurut
Rosa Agustina pada prinsipnya terletak pada suatu hubungan kerohanian
(psychisch verband) antara alam pikiran dan perasaan pelaku.26 Menurut
doktrin hukum kesehatan telah memberikan tolok ukur dari sebuah kelalaian
yang dikenal dengan 4-D yaitu terdiri dari:
a. Duty (kewajiban) merupakan kewajiban dari profesi medis untuk
mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk penyembuhan atau
meringankan beban penderitaan pasien (to cure and to care) berdasarkan
standar profesi medis.
b. Dereliction of that duty/brech of the standard of care, di sini merupakan
penyimpangan dari kewajiban jika seseorang dokter menyimpang dari apa
yang seharusnya dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya
dilakukan menurut standar profesi medis, maka dokter dapat
dipersalahkan.
c. Direct causation (penyebab langsung), untuk dapat dipersalahkan harus
ada hubungan kausal (secara langsung) antara penyebab (causa) dengan
kerugian (damage) yang diderita seorang pasien. Dengan kata lain dalam
kontek ini harus dibuktikan dengan jelas, tidak dapat hanya karena hasil
25
Guwandi. 2007. Hukum Medik (Medical Law). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm.7
26
(outcome) yang negatif, kemudian langsung dokternya dianggap bersalah
atau lalai.
d. Damage (kerugian), dengan adanya penyebab langsung dari suatu
perbuatan maka akan mengakibatkan kerugian. Kerugian yang diderita
pasien dapat berupa kerugian materiil maupun immaterial. Menurut Munir
Fuadi akibat kelalaian medis, pasien dapat menderita rasa sakit, luka,
cacat, kematian, kerusakan pada tubuh dan jiwa atau kerugian lain yang
diderita pasien selama proses perawatan.27
Selanjutnya pertanggungjawaban hukum dalam perbuatan melawan hukum
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, tidak dibedakan
antara sebab kesengajaan (dolus) atau sebab kelalaian (culpoos), berbeda
dengan beban pertanggungjawaban pidana yang membedakan secara tegas
atara pertanggungjawabankesengajaan (dolus) dan sebab kelalaian (culpoos).28
4. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang menurut jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Pasal 1 angka 1 Peraturan
Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga kesehatan). Tenaga kesehatan
yang dimaksud dalam tesis ini adalah tenaga medis yaitu dokter dan dokter gigi
dan tenaga keperawatan yaitu perawat dan bidan (Pasal 2 ayat (1) dan (2)
dimaksud adalah mereka yang terlibat langsung dalam transaksi terapeutik di
rumah sakit yaitu dokter dan mereka yang tidak terlibat secara langsung, akan
tetapi dikelompokkan sebagai peserta dalam transaksi teraupetik yaitu tenaga
keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Rumah Sakit
Rumah sakit atau hospital berasal dari kata hospitium (hospes-hospites) yang
artinya rumah tamu yang pada dinamika awalnya tempat para biara dan biarawati
merawat pasien-pasiennya.Sesuai dengan dinama masyarakat, maka hospitium berdiri
secara mandiri dan berkembang ke arah yang modern dan berfungsi sebagai rumah
sakit.25Rumah sakit pada mulanya merupakan sebuah institusi atau lembaga yang
didirikan dengan latar belakang pelaksanaan tugas keagamaan atau melaksanakan
ibadah.26Oleh karena itu tidak mengherankan kalau rumah sakit tugas utamanya adalah
melakukan fungsi sosial, terutama pada masyarakat yang kurang mampu dan
memerlukan pelayanan kesehatan.Bahkan fungsi rumah sakit pada waktu itu hanya
menyembuhkan orang sakit (nasocomium hospital), tempat beristirahat para tamu
(xenodochium) tempat mengasuh anak yatim (phanotrophium) serta tempat tinggal
orang jompo (gerontoconium) serta didirikan oleh badan-badan keagamaan (claritabel
hospital).27
Rumah sakit dalam konteks ini bertujuan hanya untuk membantu dalam rangka
pengobatan masyarakat yang kurang mampu. Doktrin yang terkenal pada waktu itu
25
Rosalia Sciortino. 2008. Perawat Puskesmas, di antara Pengobatan dan Perawatan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hlm. 28-31
26
Endang Wahyati Yustina, Op Cit. Hlm. 6
27
adalah doctrine of charitable immunity bahwa rumah sakit merupakan lembaga karitas.
Artinya rumah sakit harus memiliki dan menerapkan nilai-nilai sosial, kemanusiaan
yang dilandasi Ke-Tuhanan dan tidak mencari keuntungan.Berdasarkan doctrine of
charitable immunity, rumah sakit pada waktu itu tidak dapat digugat jika melakukan
kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian pasien.
Sesuai dengan perkembangan zaman, maka pada saat ini rumah sakit telah
mengalami berbagai perkembangan, yang paling dapat dilihat bahwa rumah sakit telah
berkembang menjadi pusat kesehatan (health center) dan pusat pendidikan serta
penelitian.Oleh karena itu rumah sakit pada saat ini lebih mengarah pada institusi
kesehatan (health institution), bahkan secara tegas hanya membatasi pada aspek
kesehatan saja.Pada akhirnya rumah sakit yang dahulu didirikan oleh pemerintah
(public hospital), saat ini rumah sakit banyak didirikan oleh badan-badan swasta
(private hospital).Dengan adanya rumah sakit yang didirikan oleh badan-badan swasta,
maka fungsi rumah sakit berubah menjadi salah satu kegiatan ekonomi, bahkan rumah
sakit telah dijadikan sebagai salah satu badan usaha yang mencari keuntungan (profit
making).28Pelayanan kesehatan di rumah sakit telah bergeser dari public goods menjadi
private goods, sehingga penyembuhan kepuasan pasien semakin lama semakin
kompleks dan semua rumah sakit bersaing untuk menarik pasien.29
Sebagaimana telah dikemukakan dalam latar belakang di atas, secara yuridis
formal batasan tentang rumah sakit di Indonesia telah dituangkan dalam Pasal 1 butir 1
UU No. 44 Tahun 2009 bahwa rumah sakit adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
28
Ibid. Hlm. 83
29
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Dengan demikian menurut UU No
44 Tahun 2009 tugas utama rumah sakit adalah memberi pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna.Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan perorangan
adalah setiap kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan.Dalam kaitan tersebut, bagaimana dengan fungsi rumah sakit
menurut UU No. 44 Tahun 2009?Sebelum mengemukakan fungsi rumah sakit, perlu
diketahui tentang kata fungsi.Kata fungsi, berasal dari kata functio artinya jabatan,
tugas, kegunaan.Kata fungsi menurut bahasa Belanda berasal dari kata functie artinya
jabatan. Dalam bahasa Inggris fungsi berasal dari kata function yang mengandung arti
kegunaan, tugas, pekerjaan. Black’s Law Dictionary, kata function mengandung dua
pengertian yaitu: activity that is appropriate to a particular business or profession dan
office; duty; the occupation of an office30. Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan
fungsi dalam konteks ini adalah tugas atau aktivitas yang bersifat khusus mengenai
suatu pekerjaan. Fungsi suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan
perannya, fungsi dapat berubah-ubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain.
Selanjutnya Pasal 5 UU No. 44 Tahun 2009 menegaskan bahwa fungsi rumah
sakit adalah sebagai berikut:
1. menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit;
30
2. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan tingkat ketiga sesuai dengan
kebutuhan medis;
3. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
4. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU No. 44 Tahun 2009, menunjukkan bahwa
luasnya pelayanan rumah sakitmulai dari pengobatan, pemulihan kesehatan,
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
serta penelitian dan pengembangan. Selanjutnya selain fungsi tersebut di atas, rumah
sakit harus mempunyai fungsi sosial sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 29 ayat
(1) huruf f UU No. 44 Tahun 2009, bahwa rumah sakit mempunyai kewajiban
melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan
pasientidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis,
pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi
kemanusiaan. Yang dimaksud dengan fungsi sosial rumah sakit adalah bagian dari
tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral
dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien khususnya yang kurang/tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan (Penjelasan Pasal 2 UU No. 44
Menurut ketentuan Pasal 19 UU No. 44 Tahun 2009: rumah sakit menurut jenis
pelayananan dapat dibagi menjadi dua yaitu rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.
Rumah Sakit Umum (RSU) memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan
jenis penyakit, sedangkan rumah sakit khusus, memberikan pelayanan utama pada satu
bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur,
organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Selanjutnya, menurut Pasal 20 UU No.
44 Tahun 2009 rumah sakit dapat digolongkan menjadi rumah sakit privat dan rumah
sakit publik. Rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang
berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.
Rumah sakit publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan badan
hukum yang bersifat nirlaba.Badan hukum nirlaba dimaksudkan di sini adalah bahwa
badan hukum yang sisa hasil usahanya tidak dibagikan pada pemilik, tetapi digunakan
untuk kepentingan pelayanan antara lain yayasan, perkumpulan dan Perusahan
Umum.Selain itu, rumah sakit publik yang dikelola oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan
Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Rumah
sakit publik yang dikelola oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak dapat dialihkan
menjadi rumah sakit privat. Lebih lanjut Pasal 51 UU No. 44 Tahun 2009 menegaskan,
bahwa: “Pendapatan rumah sakit publik yang dikelola oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah digunakan secara langsung untuk biaya operasional rumah sakit dan tidak dapat
B. Asas-Asas Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit
Berkaitan dengan masalah asas atau prinsip (beginsel, principle), secara leksikal
berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berfikir atau bertindak atas kebenaran yang
menjadi pokok dasar berfikir, bertindak dan sebagainya.31Van de Velden
mengemukakan bahwa asas hukum adalah tipe putusan tertentu yang dapat digunakan
sebagai tolok ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman
berprilaku.Asas hukum didasarkan atas suatu nilai atau lebih yang menentukan sesuatu
yang bernilai yang harus direalisasi32.Paul Scholten berpendapat bahwa asas hukum
adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita
pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai
pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh harus ada33.Selanjutnya, Asser
menyatakan bahwa asas hukum berisi penilaian susila, pemisahan yang baik dan yang
buruk yang menjadi landasan hukum.Jadi di dalam asas hukum terdapat sifat etis34.
Berdasarkan pandangan-pandangan tentang asas hukum tersebut di atas,
Sudikno Mertokusumo35 menyimpulkan sebagai berikut:
“Bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif
31
Agus Yudha Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Hlm. 21
32
Sari Murti Widiastuti, 2007, Penjelasan Pers Atas Konsistensi Asas Pertanggungjawaban Perdata dalam Hukum Khusus Terhadap Asas Pertanggungjawaban Perdata dalam Hukum Umum, Ringkasan Disertasi Untuk Ujian Promosi Doktor dari Dewan Penguji Sekolah Pasca Sarjana UGM. Hlm. 17
33
Sudikno Mertokusumo. 2004. Mengenal Hukum. Liberty, Yogyakarta. Hlm. 3
34
Siti Sumarti Hartono, 1992, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Bagian Umum,
Liberty, Yogyakarta. Hlm. 89
35
dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut”.
Dalam melakukan pelayanan kesehatan, rumah sakit perlu memperhatikan asas-asas
hukum kesehatan baik yang tersirat dalam UU No. 36 Tahun 2009 maupun yang dikenal
dalam doktrin36 hukum kesehatan. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Asas legalitas
Asas legalitas tersirat dalam rumusan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UU
No.36 Tahun 2009 yang menentukan bahwa kewenangan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dilakukan sesuai dengan bidang keahlian
yang dimiliki, serta dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan di rumah sakit
tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Hal ini berarti pelayanan
kesehatan hanya dapat terselenggara jika tenaga kesehatan bersangkutan telah
memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam perundang-undangan.
2. Asas keseimbangan
Hukum selain memberi kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan
manusia, juga memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu ke
keadaan semula (restitutio integrum), maka asas keseimbangan sangat diperlukan
dalam pelayanan kesehatan. Asas keseimbangan terkandung dalam rumusan Pasal
2 UU No.36 Tahun 2009 yang berbunyi: “bahwa pembangunan kesehatan
diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat,
perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan gender dan
36
non diskriminatif dan norma-norma agama”. Asas keseimbangan, mengandung
arti bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara kepentingan
individu dan masyarakat, antara fisik dan mental serta antara material dan
spiritual.
3. Asas tepat waktu
Asas tepat waktu sangat diperlukan karena akibat kelalaian memberikan
pertolongan dapat menimbulkan kerugian pada pasien.Salah satu bentuk kerugian
akibat pelayanan kesehatan adalah pembocoran rahasia kesehatan atau
kedokteran.Asas tepat waktu tersirat dalam Pasal 58 ayat (1) UU No.36 Tahun
2009, bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.Asas ini
menentukan bahwa dalam rangka pelayanan kesehatan kepada pasien di rumah
sakit tenaga kesehatan tidak dapat menunda-nunda demi kepentingan
pribadi.Penundaan dalam menolong pasien terutama di sarana pelayanan
kesehatan atau rumah sakit, dapat digolongkan penelantaran (abandonment)
pasien.
4. Asas Itikad baik
Asas itikad baik dapat diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban tenaga
kesehatan di rumah sakit untuk memenuhi standar profesi maupun dalam
menjalankan tugasnya selaku professional, sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 24 ayat (1)UU No.36 Tahun 2009, bahwa tenaga kesehatan sebagaimana
pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan dan standar prosedur
operasional.
5. Asas kehati-hatian
Asas kehati-hatian tersirat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No.36 Tahun
2009, bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.Ketentuan ini mengisyaratkan
bahwa tenaga kesehatan di rumah sakit dalam melakukan profesinya harus
memberikan rasa aman kepada setiap pasien.Keamanan di sini, tenaga kesehatan
harus bekerja secara hati-hati dan seteliti mungkin.Asas ini juga terkait dalam
ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009, bahwa setiap orang berhak
menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatan yang diterimanya.Tenaga kesehatan dan rumah sakit dalam
menjalankan profesinya harus senantiasa berpedoman pada asas aegroti salus lex
suprema yang berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.Dengan
demikian, tenaga kesehatan sebagai seorang professional di rumah sakit bukan
hanya dituntut memiliki keahlian dan keterampilan, melainkan juga ketelitian atau
kecermatan dalam bertindak.
6. Asas keterbukaan
Asas keterbukaan terkandung dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU No.36 Tahun
2009, bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi
tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Setiap orang berhak
pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Selain itu, asas keterbukaan juga tertuang dalam UU No.44 Tahun 2009 yaitu:
a. Pasal 29 ayat (1) huruf a dan huruf l, bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat serta memberi informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak kewajiban pasien.
b. Pasal 32 huruf a, b, dan j, bahwa setiap pasien mempunyai hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit serta memperolah informasi tentang hak dan kewajiban pasien. Selain itu, pasien mempunyai hak mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.
7. Asas Otonomi
Dalam asas otonomi dinyatakan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan
untuk menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yang mereka
pilih. Dengan kata lain menghargai otonomi pasien berarti komitmen terhadap
sikap pasien dalam mengambil putusan terhadap “seluruh aspek pelayanan
kesehatan”. Misalnya persetujuan yang dibaca dan ditandatangani sebelum
operasi, menunjukkan penghargaan terhadap otonomi. Permasalahan yang muncul
dalam penerapan asas otonomi adalah adanya variasi kemampuan otonomi pasien
yang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti: tingkat kesadaran, usia, penyakit,
lingkungan rumah sakit, ekonomi, informasi dan lain sebagainya.
8. Asas non-maleficence,
Asas non-maleficence,merujuk pada tindakan yang melukai atau
membahayakan,oleh karena itunon-maleficence berarti tidak menciderai orang
berkeinginan untuk melakukan kebaikan, tetapi juga berjanji untuk tidak
mencederai.Asas ini pada prinsipnya tercamtum dalam lafal sumpah Hippocrates
yang secara tradisional mendukung profesi medik, yaitu:”I will never use treatment to injure or wrong the sick”.37
9. Asas beneficence
Asasbeneficence (kemurahan hati) adalah tanggung jawab untuk melakukan
kebaikan yang menguntungkan pasien dan menghindari perbuatan yang
merugikan atau membahayakan pasien. Dengan kata lain, kebaikan adalah
tindakan positif untuk membantu orang lain. Setuju untuk melakukan niat baik
juga membutuhkan ketertarikan terhadap pasien melebihi ketertarikan terhadap
diri sendiri.
10. Asas keadilan (justice)
Asas keadilan menuntut perlakuan terhadap pasien di rumah sakit secara adil
dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Pada kasus-kasus tertentu,
tenaga kesehatan tidak boleh membeda-bedakan antara pasien satu dan lainnya,
serta harus memberikan pelayanan yang sesuai dengan kondisi pasien.
11. Asas confidentiality(kerahasiaan)
Asas ini merupakan asas yang menjamin kemandirian pasien.Tenaga
kesehatan dan rumah sakit dalam hal ini menghindari pembicaraan mengenai
kondisi pasien dengan siapapun yang tidak secara langsung terlibat dalam
perawatan pasien.Tenaga kesehatan selalu menjaga kerahasiaan tentang segala
37
informasi tentang kesehatan pasien. Secara konkrit tenaga kesehatan tidak dapat
memberi informasi kepada pihak lain tentang kesehatan, hasil test laboraturium,
diagnosis, dan prognosis tanpa seizin pasien, kecuali informasi tersebut
diperlukan untuk upaya penyelenggaraan perawatan dan kepentingan hukum.
12. Asas kejujuran (vecarity)
Asas kejujuran merupakan asas vital dalam pelayanan kesehatan.Kejujuran
harus dimiliki oleh tenaga kesehatan di rumah sakit saat berhubungan dengan
pasien.Kejujuran merupakan dasar terbinanya hubungan saling percaya antara
perawat dan pasien. Kadang kala dokter atau perawat tidak menginformasikan
keadaan kesehatan pasien yang sebenarnya, hal ini dimungkinkan pasien akan
mengalami depresi bila informasi tersebut disampaikan. Cara yang terbaik adalah
dengan menginformasikannya kepada keluarga terdekat atau pendamping
pasien.Asas kejujuran dalam pelayanan kesehatan di berbagai negara sudah
banyak mengalami kemerosotan.Hal ini dibuktikan dengan adanya perkembangan
defensive medicine terutama yang dilakukan oleh tenaga medik38.Defensive
medicine merupakan suatu bentuk penyimpangan asuhan medik, yang
berkembang karena dipicu oleh ancaman tuntutan malpraktik. Prinsipnya,
defensive medicine merupakan mekanisme pertahanan diri tenaga medik agar
terhindar dari risiko tuntutan.
38
Bandingkan menurut Myrtle Flight, (dalam bukunya Flight menjelaskan bahwa: “Doctors, afraid that
they might be accused of unscrupulous practice ordered every known test in such of a definitive
diagnosis when presented with specific symptoms…..The practice of defensive medicine led to increased
13. Asas ketaatan (fidelity)
Asas ketaatan diartikan sebagai tanggung jawab untuk tetap setia pada suatu
kesepakatan.Tanggung jawab dalam konteks hubungan dokter-pasien dirumah
sakit meliputi tanggung jawab menepati janji, mempertahankan kepercayaan dan
memberikan perhatian. Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien, dalam
Deklarasi Geneva 1968 sebagaimana telah diubah tahun 1983 dan 2006
menyebutkan: “Saya akan menghormati rahasia yang dipercayakan pada saya,
bahkan setelah pasien meninggal”(I will respect the secrets which are confided in
me, even after the patient has died)39. Salah satu cara untuk menerapkan prinsip
kepercayaan adalah dengan memasukkan ketaatan dalam tanggung jawab.
Dengan demikian, pelayanan kesehatan yang dilakukan di rumah sakit oleh tenaga
kesehatan terutama dokter dan, perawat harus memperhatikan asas-asas atau
prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Asas-asas hukum kesehatan berfungsi sebagai
pondasi yang memberikan arah, tujuan serta penilaian fundamental, mengandung
nilai-nilai, dan tuntutan-tuntutan etis,oleh karena itu secara keseluruhan baik asas, norma dan
tujuan hukum kesehatan harus dijadikan pedoman dan ukuran atau kriteria bagi para
tenaga kesehatan di rumah sakit dalam menjalankan profesinya.
C.Bentuk Perikatan dalam Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit
Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda.Perikatan adalah
suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjukkan pada hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih, yang melahirkan
39