THE HOSPITAL CIVIL LEGAL LIABILITY TO VISITING DOCTOR
ABSTRACT
By Ilhamdani
The provisions of legislation Of Article 12 clause (4) of regulations No. 44 year 2009 about Hospital) hospitals can employ temporary employees and consultants in accordance needs and capabilities of hospitals. Temporary employees are health professionals that not owned by the hospital concerned, especially medical personnel (specialists and subspecialists). Medical personnel who are not permanent, in practice often called visiting doctor. As visiting doctor, its positions not same as permanent doctor hospital. Problems appear if there is visiting doctor negligence and result in losses of patients and their families: The first, whether the hospital can be held accountable for any errors or omissions that resulted in any damages in the patient is performed by visiting doctor and how liability form is can be performed well by the hospital or visiting doctor? Second, how the legal position between the hospital and visiting doctor? Third, how types or forms of agreements create by hospitals and visiting doctor in health care?. The Kind of normative juridical research. The approach taken is approach legislation (statute approach), and conceptual approach (conseptual approach), and the empirical approach is made to complete data is has been obtained through a normative approach.
The results show, that in principle the hospital can not held accountable for omissions by visiting doctor that causes patients to suffer any damages. This principle is in accordance the provisions of Article 46 UU RS No. 44/2009, but in practice the any damages met joint liability. The legal position between the hospital and visiting doctor is a balanced position not sub-ordinate. Each side has the same bargaining power, but nevertheless in practice the position of doctor visitors would be have a stronger bargaining position, through developments in practice, types or forms agreements made by hospitals and visiting doctor in health care has given rise to type agreement is an agreement mixture (gemengde contractus), is agreements containing elements of various agreements called. For example, labor agreements, lease agreement and purchase agreement.
TANGGUNG JAWAB HUKUM PERDATA RUMAH SAKIT
Ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 12 ayat (4) Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit), rumah sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan rumah sakit. Tenaga tidak tetap adalah tenaga kesehatan yang tidak dimiliki oleh rumah sakit bersangkutan, terutama tenaga medis (dokter spesialis maupun sub spesialis). Tenaga medis yang tidak tetap tersebut, dalam praktik sering disebut sebagai dokter tamu. Sebagai dokter tamu, kedudukannya tidak sama dengan dokter tetap rumah sakit. Permasalahan muncul jika terjadi kelalaian dokter tamu dan mengakibatkan kerugian pasien dan keluarganya; pertama, apakah rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian pada diri pasien yang dilakukan oleh dokter tamu dan bagaimana bentuk tanggung jawab yang dapat dilakukan baik oleh rumah sakit maupun dokter tamu? Kedua, bagaimana kedudukan hukum antara rumah sakit dan dokter tamu? Ketiga, bagaimana jenis-jenis atau bentuk-bentuk perjanjian yang di buat oleh rumah sakit dan dokter tamu dalam pelayanan kesehatan?. Jenis penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan secara perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach), serta pendekatan secara empiris dilakukan untuk melengkapi data yang telah diperoleh melalui pendekatan normatif.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada prinsipnya rumah sakit tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kelalaian yang dilakukan oleh dokter tamu yang menyebabkan pasien menderita kerugian. Prinsip ini sesuai dengan ketentuan Pasal 46 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, namun dalam praktiknya kerugian dipenuhi secara tanggung renteng. Kedudukan hukum antara rumah sakit dan dokter tamu adalah kedudukan yang seimbang bukan sub-ordinat. Masing-masing pihak mempunyai bargaining power yang sama, namun demikian dalam praktik kedudukan dokter tamu justru lebih mempunyai posisi tawar yang lebih kuat. Melalui perkembangan dalam praktik, jenis-jenis atau bentuk-bentuk perjanjian yang di buat oleh rumah sakit dan dokter tamu dalam pelayanan kesehatan telah melahirkan suatu perjanjian campuran (gemengde contractus), yaitu perjanjian yang mengandung unsur dari berbagai perjanjian bernama. Misalnya, perjanjian perburuhan, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli.
TANGGUNG JAWAB HUKUM PERDATA RUMAH SAKIT
TERHADAP DOKTER TAMU
Oleh
ILHAMDANI
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
MAGISTER HUKUM
Pada
Bagian Hukum Kesehatan
Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
TANGGUNG JAWAB HUKUM PERDATA RUMAH SAKIT
TERHADAP DOKTER TAMU
(Tesis)
Oleh
ILHAMDANI
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9
1. Tujuan Penelitian ... 9
2. Kegunaan Penelitian ... 9
D. Kerangka Teoritik ... 10
E. Kerangka Konsepsional ... 17
F. Metode Penelitian ... 19
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 19
2. Pendekatan Masalah ... 19
3. Data dan Sumber Data ... 20
4. Prosedur Pengumpulan Data ... 22
5. Analisis Data ... 22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 23
A. Tinjauan Tentang Rumah Sakit ... 23
B. Klasifikasi Rumah Sakit ... 26
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39
A. Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kesalahan yang Dilakukan oleh Dokter Tamu ... 39
1. Karakter Hubungan Dokter-Pasien di Rumah Sakit ... 39
2. Karakteristik Hubungan Hukum Dokter Tamu dan Rumah Sakit serta Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kesalahan Dokter Tamu ... 49
B. Kedudukan Hukum antara Rumah Sakit dan Dokter Tamu ... 61
C. Jenis Perjanjian atau Kontrak antara Dokter Tamu dan Rumah Sakit dalam Pelayanan Kesehatan ... 72
BAB IV PENUTUP ... 79
A. Kesimpulan ... 79
B. Saran-Saran ... 80
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah berkat Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Tanggung Jawab Hukum Perdata Rumah Sakit terhadap Dokter Tamu”. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, karena itu penulis mengharapkan koreksi, masukan dan saran dari berbagai pihak untuk memperbaiki dan melengkapi tesis ini.
Dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Yang Terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Haryanto, M.S selaku Rektor Universitas Lampung.
2. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S selaku Direktur Program Pascasarjana. 3. Bapak Prof. Dr. Hi. Heryandi, S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
4. Bapak Prof. Dr. Hi. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum selaku Ketua Program Pascasarjana Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.
6. Bapak Dr. Muhammad Fakih, S.H., M.S selaku Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu dan banyak membantu penulis menyelesaikan tesis ini.
7. Bapak Dr. HS. Tisnanta, S.H., M.H selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak membantu dan memberikan masukan untuk melengkapi dan memperbaiki tesis ini.
8. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.H dan Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H selaku Penguji yang telah melakukan koreksi, memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini.
9. Bapak/Ibu Dosen, Pegawai, dan Staf Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis.
10.Seluruh teman-teman angkatan 2013/2014 Kelas A Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.
11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga segala bentuk bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak akan mendapat pahala yang setimpal dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bandar Lampung, Juli 2015 Penulis,
MOTO
“Wahai orang-orang yang beriman. Apabila dikatakan kepadamu, “berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “berdirilah kamu,” maka berdirilah,
Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti apa
yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadalah;11)
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan tesis ini kepada :
1. Ayah dan Ibuku tersayang, atas segala kasih sayang, keikhlasan, serta doa tulus yang tiada henti engkau curahkan untuk anak-anakmu.
2. Istriku tercinta Budi Utami, S.Ag, yang selalu sabar dan tak pernah lelah memberikan dukungan dan mendampingi dalam setiap keadaan.
3. Anak-anakku Muhammad Farhan Setiadi dan Aulia Azzahra Anindhita. Kalian adalah semangat dan kekuatanku, untuk menghadapi segala tantangan hidup.
4. Kakak dan Adik-adikku, serta segenap keluarga besarku, yang telah memberikan dukungan dan mendoakan keberhasilanku.
5. Pimpinan, teman kerja, serta sahabat dan teman-teman semua yang terus memberikan semangat dan dorongan untuk penyelesaian tugas akhir ini. 6. Almamater tercinta Universitas Lampung.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumber Jaya, Lampung Barat pada tanggal 26 Oktober 1976 sebagai putra kedua dari empat bersaudara pasangan Ayah Muhammad Yunani dan Ibu Asminah.
Adapun pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Sekolah Dasar Negeri 02 Desa Way Petai Sumber Jaya Lampung Barat, selesai tahun 1989;
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 01 Kedaton Bandar Lampung, selesai tahun 1992;
3. Sekolah Perawat Kesehatan Negeri Tanjungkarang Bandar Lampung, selesai tahun 1995;
4. Diploma III Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Tanjungkarang Bandar Lampung, selesai tahun 2002;
5. S1 Keperawatan Fakultas Kedokteran Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Malahayati Bandar Lampung, selesai tahun 2012;
6. Pada tahun 2013 penulis menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara historis, rumah sakit atau hospital merupakan suatu institusi hasil
pelembagaan dari suatu pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, menurut sejarahnya
rumah sakit tidak terpisah dengan sebuah upaya pengobatan. Pada mulanya
Rumah sakit sebagai lembaga pelayanan kesehatan didirikan dengan latar
belakang pelaksanaan tugas keagamaan atau pelaksanaan ibadah. Rumah sakit
dalam konteks ini melaksanakan tugas semata-mata untuk tujuan sosial
kemanusiaan sesuai dengan perintah agama. Pelayanan rumah sakit pada waktu
itu terutama difokuskan pada pengobatan masyarakat yang kurang mampu. Pada
masa itu, pelayanan kesehatan di rumah sakit dikenal suatu doktrin charitable
community, yaitu rumah sakit merupakan lembaga karitas yang sarat dengan sifat
sosial, kemanusiaan yang dilandasi nilai Ke-Tuhanan serta tidak untuk mencari
keuntungan.
Melalui doktrin charitable community pada prinsipnya rumah sakit tidak
dapat digugat jika melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian pada diri
pasien. Alasannya adalah rumah sakit melakukan tugas kemanusiaan, menolong
pasien tanpa pamrih. Namun, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
dinamika pelayanan kesehatan, rumah sakit telah berubah dari pelayanan yang
bersifat sosial kemanusiaan mengarah pada pelayanan kesehatan dengan tujuan
mencari keuntungan (profit motive). Kondisi demikian ditegaskan oleh Anthony
2
private goods, sehingga pemenuhan kepuasan pasien semakin lama semakin
kompleks dan rumah sakit bersaing untuk menarik pasien.1
Fungsi rumah sakit secara klasik adalah memberi pelayanan pengobatan dan penyembuhan kepada pasien secara rawat jalan dan rawat inap. Fungsi ini dalam literatur medis dinamakan sebagai fungsi pelayanan intramural. Melalui perkembangan yang begitu kompleks saat ini, rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Dalam pelayanan tugas kesehatan perorangan secara paripurna tersebut, rumah sakit mempunyai fungsi menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. Selain itu, rumah sakit juga mempunyai fungsi pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai dengan kebutuhan medis (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, selanjutnya disingkat UU RS No. 44 Tahun 2009). Adapun yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan paripurna tingkat kedua adalah upaya kesehatan perorangan tingkat lanjut dengan mendayagunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik. Sedangkan, yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan paripurna tingkat ketiga adalah upaya kesehatan perorangan tingkat
1
3 lanjut dengan mendayagunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik.
Rumah sakit dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna, pada prinsipnya harus ditunjang oleh sumber daya di bidang kesehatan. Dengan kata lain, rumah sakit harus memiliki sumber daya yang
memadai, sehingga tujuan pelayanan kesehatan secara paripurna dapat tercapai. Sumber daya yang dimaksud di sini adalah sumber daya manusia, yaitu tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, selanjutnya disingkat UU K No. 36 Tahun 2009 jo. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan, selanjutnya disingkat UU TK No. 36 Tahun 2014).
Selanjutnya, tenaga kesehatan di Indonesia menurut ketentuan Pasal 11 UUTK No. 36 Tahun 2014 dapat dikelompokan menjadi 13 kelompok yaitu:
tenaga medis, tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan,
tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis, tenaga teknik biomedika, tenaga kesehatan tradisional, dan tenaga kesehatan lain. Untuk jenis tenaga kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis terdiri atas dokter,
4 Tenaga medis yang terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan
dokter gigi spesialis pada dasarnya merupakan tenaga kesehatan yang paling
penting dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit. Menurut ketentuan Pasal 1
angka 1 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(selanjutnya disingkat UU PK No. 29 Tahun 2004) yang dimaksud dengan
Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut ketentuan Pasal 12 UU RS No. 44 Tahun 2009, bahwa rumah sakit
harus memiliki tenaga medis yang bersifat tetap. Selain itu, rumah sakit juga harus
memiliki tenaga tetap lainnya seperti penunjang medis, tenaga keperawatan,
tenaga kefarmasian, tenaga manajemen rumah sakit dan tenaga non kesehatan.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan tenaga tetap adalah tenaga yang bekerja
secara “purna waktu”. Dokter purna waktu dapat juga disebut dokter in atau full
time, yang dalam konteks ini rumah sakit bertanggung jawab atas segala tindakan
dokter “in”.2 Dokter purna waktu atau dokter in atau dokter full time pada
prinsipnya mempunyai kedudukan sub-ordinate dari sebuah rumah sakit (pegawai
atau employee) atau sering juga disebut sebagai “dokter organik”. Hubungan ini
pada umumnya terjadi di rumah sakit milik pemerintah baik pusat maupun daerah,
yang tenaga dokternya digaji/dibayar secara penuh/tetap oleh rumah
sakit/pemerintah. Dokter bekerja dan dibayar di rumah sakit dengan tidak melihat
5 berapa jumlah pasien yang dilayani dan tidak melihat banyaknya tindakan yang
telah ia lakukan. Oleh karena itu karakteristik hubungan yang lebih dominan
adalah pasien dan rumah sakit, dan pasien berkewajiban melakukan kontra
prestasi terhadap rumah sakit. Dalam kaitan dokter sebagai sub-ordinate dari
rumah sakit inilah berlaku doktrin vicarious liability, respondeat superior, dan
yang berkembang pada doktrin hospital liability.3
Namun demikian, pada prinsipnya rumah sakit dapat mempekerjakan tenaga
tidak tetap dan konsultan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 12 ayat (4) UU RS No. 44 Tahun
2009). Yang dimaksud dengan kemampuan di sini meliputi kemampuan dana dan
pelayanan rumah sakit (Penjelasan Pasal 12 ayat (4) UU RS No. 44 Tahun 2009).
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 di atas, berarti sebuah rumah sakit dapat
mempekerjakan tenaga tidak tetap seperti halnya tenaga medis atau dokter dari
luar rumah sakit. Dokter tidak tetap tersebut, sering juga disebut sebagai dokter
out (dokter tamu), yang berarti bukan pegawai rumah sakit tersebut.4
Dalam literatur hukum medis, dokter out tersebut, sering juga dinamakan
sebagai independent contractor (tenaga bebas). Sebagai contoh, apabila dalam
rumah sakit tertentu tidak memiliki dokter bedah dan dokter anestesi, maka rumah
sakit akan mendatangkan dokter dari luar atau dapat saja dokter ahli bedah
tersebut membawa pasiennya untuk melakukan operasi pembedahan. Artinya
dapat saja dokter bedah yang praktik di luar kemudian merekomendasikan
pasiennnya untuk dilakukan operasi di rumah sakit tertentu yang belum punya
3
Indra Sari Aulia. 2014. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit terhadap Kelalaian Medis yang Dilakukan Tenaga Kesehatan. Tesis Magister Hukum Unila. Hlm. 61
4
6 dokter bedah. Operasi yang dimaksud dapat saja berupa operasi yang bersifat
kuratif, diagnostik, lifesaving (penyelamatan nyawa), refungsi, preventif,
rekonstruksi maupun estetika.
Dalam kondisi demikian, mungkin saja akan terjadi masalah yang cukup
kompleks, misalnya apabila ada operasi yang dilakukan oleh suatu tim dokter
bedah. Tim dokter tersebut sebagian terdiri dari dokter spesialis yang digaji oleh
rumah sakit bersangkutan atau dokter in dan sebagian dokter tamu atau dokter out.
Suatu tim bedah sebagai suatu kesatuan tidak dapat dinyatakan bertanggung jawab
atas suatu kesalahan atau kelalaian, karena dokter peserta dari tim tersebut selalu
harus bertanggung jawab sendiri atas bagian pekerjaan yang ia lakukan sewaktu
operasi dilakukan sesuai dengan keahliannya dokter peserta tersebut. Sebagai
contohnya adalah terhadap kasus Dokter Nuboer, dimana Hoge Raad (HR)
melalui Arrestnya No. 328 tanggal 31 mei 1968 telah menguatkan pengadilan di
tingkat bawah, bahwa Dokter Nuboer tidak dapat dituntut atas tertinggalnya jarum
suntik dalam tubuh pasien karena ia bekerja dalam hubungan satu tim dan tidak
terbukti bahwa ia telah melakukan kelalaian.5
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pada
rumah sakit-rumah sakit tertentu dokter atau tenaga medis yang bekerja di
dalamnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dokter yang merupakan tenaga tetap
rumah sakit bersangkutan dan dokter yang merupakan dokter tamu. Contoh, di
Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSAM) Provinsi Lampung tenaga
medis yang melayani pasien di rumah sakit terdiri atas tenaga medis tetap dan
tenaga medis sebagai dokter tamu. Tenaga medis dokter tamu di rumah sakit
5
7 tersebut, terdiri dari: dokter subspesialis hepatoloenterologi dan endoscopy,
dokter spesialis bedah anak, dokter spesialis bedah otot dan tulang, dokter
spesialis gizi klinik dan dokter spesialis forensik.
Dokter yang merupakan tenaga tetap secara hukum telah terjadi untuk
melakukan suatu pekerjaan di rumah sakit dengan ciri-ciri tertentu. Pertama,
dokter bekerja atas perintah rumah sakit. Kedua, dokter harus menaati segala
bentuk peraturan yang berlaku di rumah sakit tersebut. Ketiga, dokter dibayar atau
digaji oleh rumah sakit bersangkutan. Dengan demikian, antara dokter tetap
tersebut dengan rumah sakit bersangkutan terbit suatu perikatan untuk berbuat
sesuatu sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1234 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Namun demikian khusus untuk dokter
yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dan bekerja pada rumah sakit milik
pemerintah, maka berlaku sepenuhnya tentang peraturan perundang-undangan di
bidang kepegawaian.
Selanjutnya, dokter yang merupakan dokter tamu pada suatu rumah sakit
tertentu, biasanya diadakan suatu perjanjian khusus (bijzondere overenskomst)
yang mengatur hubungan kedua belah pihak. Yang pada umumnya perjanjian
tersebut ditentukan oleh rumah sakit bersangkutan, dan isi perjanjiannya akan
berlainan antara rumah sakit yang satu dengan rumah sakit yang lain. Kondisi ini
disesuaikan dengan kelas rumah sakit, kemampuan dan jumlah pasien. Meskipun
pola pekerjaan dokter tamu dalam sebuah rumah sakit telah diatur dalam sebuah
perjanjian, namun masalah tanggung jawab rumah sakit terhadap dokter tamu
8 kata terjadi kelalaian yang dilakukan oleh dokter tamu di rumah sakit dan
mengakibatkan kerugian pada diri pasien dan keluarganya? Apakah rumah sakit
secara serta merta juga dapat bertanggung jawab sesuai dengan doktrin hospital
liability?
Seperti diketahui bahwa pelayanan di rumah sakit yang paling mengandung
risiko adalah bidang pelayanan bedah. Hal ini seperti yang disampaikan oleh
Suharjo Cahyono, bahwa bidang pelayanan bedah merupakan bagian pelayanan
yang lebih sering menimbulkan cedera medis dan komplikasi dibandingkan di
bagian lain. Misal, dalam tindakan pra-bedah atau sebelum dilakukan operasi
adalah tindakan anestesi, yang dalam tindakan inipun selalu akan berisiko
terhadap tubuh pasien. Seperti peristiwa dua pasien di Rumah Sakit Siloam
Karawaci Tangerang meninggal dunia setelah pemberian obat anestesi Buvanest
Spinal.6 Kasus ini menunjukkan begitu kompleksitasnya prosedur pra-bedah di
rumah sakit. bagaimana kalau ini dilakukan oleh dokter tamu? Terlebih-lebih
kalau dokter tamu (dokter bedah dan anestesi) berpraktik di sana-sini dan
melayani pasien secara kurang proporsional.
Terhadap kejadian-kejadian yang tidak diharapkan tersebut tentu saja akan
merugikan pasien dan keluarganya. Oleh karena itu, dalam kontek ini perlu
diketahui mengenai bentuk pertanggungjawaban rumah sakit terhadap kerugian
akibat kelalaian dari dokter tamu, kedudukan hukum antara rumah sakit dan
dokter tamu, dan secara perdata perlu diketahui bentuk-bentuk atau jenis-jenis
perjanjian apa saja yang dilakukan oleh rumah sakit dengan dokter tamu.
6
9 B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, permasalahan dalam penulisan ini adalah:
1. Apakah rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap kesalahan
atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian pada diri pasien yang dilakukan
oleh dokter tamu dan bagaimana bentuk tanggung jawab yang dapat
dilakukan baik oleh rumah sakit maupun dokter tamu?
2. Bagaimana kedudukan hukum antara rumah sakit dan dokter tamu?
3. Bagaimana jenis-jenis atau bentuk-bentuk perjanjian yang dibuat oleh rumah
sakit dan dokter tamu dalam pelayanan kesehatan?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk memahami pertanggungjawaban yang dapat dilakukan baik oleh
rumah sakit maupun dokter tamu terhadap kesalahan atau kelalaian yang
mengakibatkan kerugian pada diri pasien yang dilakukan oleh dokter tamu.
b. Untuk memahami bagaimana kedudukan hukum antara rumah sakit dan
dokter tamu.
c. Untuk memahami dan menganalisis jenis-jenis atau bentuk-bentuk
perjanjian yang di buat oleh rumah sakit dan dokter tamu dalam pelayanan
kesehatan.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang tanggung jawab rumah sakit terhadap kelalaian atau kelasalahan
10 b. Selain itu, bermanfaat bagi pengelola rumah sakit dan tenaga medis
khususnya dokter tamu dalam melayani pasien di rumah sakit.
c. Secara praktik, penelitian ini akan bermanfaat bagi rumah sakit dalam
menggunakan dokter tamu untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan bidang keahliannya yang sesuai dengan standar profesi maupun
standar prosedur operasional.
D. Kerangka Teoritik
Pada prinsipnya rumah sakit baik milik pemerintah maupun milik swasta
adalah berstatus sebagai badan hukum yang memiliki personalitas hukum (legal personality) sebagai subyek hukum. Oleh karena itu, rumah sakit dapat memikul
tanggung jawab (aansrakelijkheid, liability) atas segala tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit bersangkutan.
Dengan kata lain, rumah sakit dimana tempat dokter bekerja juga turut
bertanggung jawab atas perbuatan dokter atau tenaga kesehatan yang bertentangan
dengan profesinya. Dalam hal ini berlaku doktrin hubungan majikan dan
karyawan (Vicarious Liability), yang dalam perkembangannya di dunia
perumahsakitan mulai diterapkan secara universal doktrin Hospital Liability.7
Vicarious liability timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya
(subordinate). Dalam kaitannya dengan pelayanan medik maka rumah sakit (sebagai atasan atau employer) dapat bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuat oleh dokter atau tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai
sub-ordinat (pegawai atau employee). Lain halnya jika tenaga kesehatan, misalnya
11 dokter, bekerja sebagai mitra/tamu sehingga kedudukannya setingkat dengan
rumah sakit. Menurut doctrine of vicarious liability, rumah sakit (meskipun
sebagai artificial entity tidak melakukan kesalahan apa-apa) juga dapat
bertanggung jawab atas kesalahan dokter tetap yang bekerja di institusi tersebut.
Doktrin vicarious liability pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan Pasal
1367 KUH Perdata, yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya bertanggungjawab
atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau
disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.
Menurut ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata di atas, majikan (employer)
atau orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan mereka,
bertanggung jawab terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
pegawainya (servant) atau karyawannya (employee). Tanggung jawab yang
dikonstruksikan Pasal 1367 KUH Perdata tersebut disebut tanggung jawab orang
yang mewakili atau vicarious liability atau vicarious responsibility. Artinya,
tanggung jawab perdata yang dipaksakan hukum (imposed by law) kepada
seseorang atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan orang lain. Sebab
dalam konteks ini perbuatan atau kelakuan pelaku dianggap berlaku atau
dikonstruksikan berhubungan dengan orang lain.8
Dasar Pasal 1367 KUH Perdata memikul tanggung jawab atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan bahwa karyawan atau pegawai melalui
konstruksi vicarious liability, bertitik tolak dari alasan kekurang hati-hatian
majikan dalam hal ini rumah sakit mengangkat karyawan atau tenaga kesehatan
12
yang disebut sebagai culpa in aligendo. Namun terhadap teori ini, ada teori lain
sebagai alasan bahwa majikan atau rumah sakit tidak bertanggung jawab atas
perbuatan yang dilakukan oleh karyawan atau tenaga kesehatannya, yang dikenal
dengan teori “menimbulkan keadaan yang membahayakan” atau gevaarzetting
theorie.9 Akan tetapi untuk mengesampingkan gevaarzetting theorie atau ajaran
hukum lain yang mengatakan seseorang yang meminta bantuan pihak ketiga untuk
melakukan suatu perbuatan atau tindakan untuk dan atas namanya, harus berani
menanggung risiko terhadap perbuatan yang dilakukan orang yang diminta
bantuannya itu untuk mana orang tersebut digunakan.10
Pertanggung jawaban yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 1367 KUH
Perdata di atas pada prinsipnya hanya berlaku pada dokter tetap atau dokter full
time, sebagai pegawai tetap dari suatu rumah sakit, yang pada umumnya adalah
rumah sakit milik pemerintah. Oleh karenanya secara teoritis rumah sakit sebagai
badan hukum (recht persoon) dapat dimintai pertanggungjawaban yang dapat
dibedakan menjadi dua yaitu: tanggung jawab dalam makna liability,
aansprakelijkheid atau tanggung jawab yuridis dan tanggung jawab dalam makna
responsibility, verantwoordelijkheid atau tanggung jawab moral (etis). Secara
prinsip liability, aansprakelijkheid menunjukkan pada akibat yang timbul dari
akibat kegagalan untuk memenuhi standar tertentu, sedangkan bentuk tanggung
jawabnya diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian dan pemulihan sebagai akibat
dari terjadinya kerusakan atau kerugian. Dengan kata lain tanggung jawab dalam
arti liability,aansprakelijkheid adalah tanggung jawab hukum atau yuridis.
9
Marianne Termorshiizen. 1999. Kamus Hukum Belanda-Indonesia. Jakarta. Hlm. 146
13 Selanjutnya, bagaimana hubungan perikatan dalam upaya pelayanan
kesehatan yang melibatkan dokter, perawat, rumah sakit dan pasien. Dengan meminjam kontruksi yang pernah dikemukakan oleh Hermien Hadiati
Koeswadji11, maka diperoleh bagan sebagai berikut:
Bagan 1. Hubungan keperdataan dokter, perawat, pasien dan rumah sakit 1
4 5 2 3
6
Hubungan keperdataan dari bagan tersebut, akan diperoleh beberapa
kontruksi hukum, yakni:
a. Hubungan 1 antara dokter dan rumah sakit, dapat didasarkan pada perjanjian
kerja atau perjanjian perburuhan bagi rumah sakit swasta, sedangkan bagi rumah sakit pemerintah berlaku hukum kepegawaian yang masuk dalam lingkup Hukum Administrasi Negara (HAN).
b. Hubungan 2 antara rumah sakit dan pasien, diatur melalui
verzorgingsovereenkomst (perjanjian keperawatan) yang digolongkan
sebagai perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu (Pasal 1601 KUH
11
Hermien Hadiati Koeswadji. 2002. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Citra Aditya Bakti, Bandung. Hlm. 134
DOKTER
PERAWAT PASIEN
14 Perdata). Rumah sakit memikul beban tanggung jawab apabila pelayanan
kesehatan yang diberikan perawat di bawah standar profesi, oleh karenannya
di sini berlaku doktrin vicarious liability.
c. Hubungan 3 antara rumah sakit dan perawat, diatur berdasarkan perjanjian
perburuhan bagi rumah sakit swasta, sedangkan bagi rumah sakit pemerintah
berlaku hukum kepegawaian.
d. Hubungan 4 antara dokter dan pasien, termasuk dalam perjanjian
penyembuhan (transaksi terapeutik). Transaksi terapeutik secara perdata
dapat digolongkan sebagai perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu
(Pasal 1601 KUH Perdata).
e. Hubungan 5 antara dokter dan perawat, berlaku sebagai tugas bantuan.
Artinya, perawat dalam tindakan medik hanya sebatas membantu dokter,
oleh kerena itu yang harus dilakukan perawat sesuai dengan perintah dan
petunjuk dokter. Perawat tidak bertanggung jawab atas kesalahan dokter, di
sini berlaku doktrin perpanjangan tangan dokter (verlengde arm van de art).
f. Hubungan 6 antara perawat dan pasien, diatur melalui perjanjian
keperawatan (verzorgingsovereenkomst). Hubungan 6 tersebut, hubungan
hukumnya sama dengan yang terdapat dalam hubungan 2 di atas, yaitu
digolongkan sebagai perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu (Pasal
1601 KUH Perdata).
Berdasarkan telaah di atas, masing-masing hubungan dokter dan pasien,
dokter dan rumah sakit, perawat dan dokter mempunyai konstruksi hukum yang
15 Selanjutnya konstruksi lain yang berhubungan dengan dokter tamu dan
rumah sakit adalah pertama, bahwa hubungan dokter tamu dengan pasien dalam
sebuah rumah sakit merupakan hubungan medik atau transaksi terapeutik
(perjanjian penyembuhan). Kedua, hubungan pasien dengan rumah sakit dimana
dokter tamu tersebut bekerja telah terjadi hubungan atau perjanjian
keperawatan/perawatan (verzoring contract). Akibatnya, solah-olah pihak rumah
sakit hanya menyediakan tenaga perawat dan sarana serta prasarana kesehatan
yang ada, sedangkan untuk perjanjian penyembuhannya sangat ditentukan oleh
dokter tamu bersangkutan.
Melalui konstruksi yang ditentukan oleh Hospital By Laws, maka dapat
diperoleh gambaran sebagai berikut:
Bagan 2. Kerangka Hubungan dokter, perawat, pasien dan rumah sakit.
16 Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 722/Menkes/SK/XII/2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws), bahwa Rumah sakit merupakan suatu instansi yang pada pokoknya dapat dikelompokkan menjadi pelayanan medis dalam arti luas yang menyangkut kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, pendidikan dan latihan tenaga medis, penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran. Berdasarkan ketentuan tersebut pada dasarnya terdapat empat bagian berkaitan dengan pertanggungjawaban rumah sakit selaku pelayanan medis, yaitu:
a) tanggung jawab terhadap personalia;
b) tanggung jawab professional terhadap mutu; c) tanggung jawab terhadap sarana/peralatan; dan
d) tanggung jawab terhadap keamanan bangunan dan perawatannya.
Hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah sakit dapat dibedakan pada dua macam perjanjian yaitu: pertama, perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan dimana tenaga perawatan melakukan tindakan perawatannya. Kedua, perjanjian pelayanan medis dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspaninngs Verbintenis.
17 sedangkan tanggung jawab hukum termasuk tanggung jawab hukum pidana,
perdata, dan administrasi.Pasal 46 UU RS No. 44 Tahun 2009, dinyatakan bahwa:
“Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian
yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di
Rumah Sakit”.
Dokter yang bekerja di suatu rumah sakit dapat memiliki hubungan
administratif yang bervariasi dengan rumah sakit tersebut. Di rumah sakit, seorang
dokter dapat berstatus sebagai (a) pegawai negeri yang dipekerjakan atau
ditempatkan di rumah sakit pemerintah, atau berstatus (b) pegawai swasta dari
perusahaan pemilik rumah sakit swasta tersebut, atau sebagai (c) pegawai tetap
rumah sakit, atau sebagai (d) tenaga kerja (purna waktu) berdasar kontrak untuk
waktu tertentu, atau sebagai (e) tenaga kerja berdasar kontrak untuk melakukan
pelayanan kedokteran tertentu secara paruh waktu, atau sebagai (f) dokter tamu.
Jenis hubungan tersebut sangat mempengaruhi hak dan kewajiban diantara kedua
pihak dan tanggung jawabnya kepada pihak ketiga.12
E. Kerangka Konsepsional
1. Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Pasal 1 angka 1 UU
RS No. 44 Tahun 2009).
2. Hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan
kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lainnya di dalam hubungan
12 Machmud, Syahrul, 2012. Penegakan Hukum dan Perlindungan Bagi Dokter yang diduga
18 keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan
kepada masing-masing pihak.13
3. Tanggung jawab rumah sakit di sini adalah tanggung jawab (liability,
aansprakelijkheid), artinya rumah sakit secara yuridis dapat digugat ke
pengadilan. Secara prinsip liability, aansprakelijkheid menunjukkan pada
akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar tertentu,
sedangkan bentuk tanggung jawabnya diwujudkan dalam bentuk ganti
kerugian dan pemulihan sebagai akibat dari terjadinya kerusakan atau
kerugian. Dengan kata lain, tanggung jawab dalam arti liability,
aansprakelijkheid adalah tanggung jawab hukum perdata. Pasal 46 UU RS
No. 44 Tahun 2009 menentukan, bahwa “Rumah Sakit bertanggung jawab
secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit”. Purwahid Patrik,
menegaskan bahwa tanggung jawab pada dasarnya ada seseorang yang
harus menanggung terhadap gugatan. Berarti ada orang yang dirugikan,
minta agar kerugian itu ditanggung atau dipertanggugjawabkan oleh orang
yang membuat kerugian. Dalam hukum berarti adanya hubungan antara
orang yang dirugikan dan orang yang membuat kerugian.14
4. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi
baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1
13 Sudikno Mertokusumo. 2004. Mengenal Hukum. Liberty, Yogyakarta. Hlm. 110
14 Purwahid Patrik. 1990. Perkembangan Tanggung Gugat Risiko dalam Perbuatan Melawan
19 angka 2 UU PK No. 29 Tahun 2004). Yang menurut Pasal 11 dan (2) UU
TK No. 36 Tahun 2014, dokter adalah tenaga medis yang terdiri atas
dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.
5. Dokter tamu yang dimaksud adalah dokter tidak tetap dalam sebuah rumah
sakit, yang juga disebut sebagai dokter out, yang berarti bukan pegawai
rumah sakit tersebut. Dokter out tersebut, sering juga dinamakan sebagai
independent contractor (tenaga bebas).
6. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan,
baik secara langsung maupun tidak langsung di rumah sakit (Pasal 1 angka
4 UU RS No. 44 Tahun 2009). Dalam hal ini pasien bukan hanya
konsultasi, akan tetapi menghendaki adanya pelayanan/tindakan medik.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian.
Penelitian tentang Tanggung Jawab Hukum Perdata Rumah Sakit Terhadap
Dokter Tamu termasuk jenis penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis
normatif meliputi penelitian terhadap asas hukum, pengertian hukum dan
ketentuan-ketentuan hukum. Sebagai penelitian normatif, penelitian ini
menitikberatkan pada penelitian kepustakaan. Sifat penelitian ini adalah bersifat
deskriptif analitis.
2. Pendekatan Masalah
Sebagai karakter penelitian yang bersifat normatif maka pendekatan yang
20 pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan secara
perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua peraturan
perundang-undangan dan regulasi yang berhubungan dengan pembahasan.
Selanjutnya pendekatan konseptual (conseptual approach) dilakukan dengan beranjak dari pandangan-pandangan dan dokrin-doktrin yang berkembang dalam
hukum kesehatan.15 Dalam penelitian ini pendekatan secara empiris dilakukan
untuk melengkapi data yang telah diperoleh melalui pendekatan normatif.
pendekatan secara empiris dilakukan dengan mengadakan wawancara dengan staf
fungsional medis, bidang pelayanan medis dan bagian hukum di Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek (RSAM) Provinsi Lampung.
3. Data dan Sumber Data
Sesuai penelitian jenis normatif, maka data utama dalam penelitian ini
adalah data sekunder yang bersumber dari kepustakaan dan berbagai literatur
yang relevan. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer,
sekunder dan tersier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer terkait dengan penelitian ini terdiri atas :
1) Undang-Undang yang meliputi :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
b) UU RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
c) UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
d) UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
15
21 e) UU RI No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
2) Berbagai peraturan menteri dan keputusan menteri kesehatan di bidang
kesehatan yaitu :
a) Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290 Tahun 2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran.
b) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 147 Tahun 2010 tentang Institusi
Pelayanan Kesehatan.
c) Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi
dan Perizinan Rumah Sakit.
d) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
722/Menkes/SK/XII/2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah
Sakit (Hospital ByLaws).
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan pustaka yang mendukung atau
memperjelas bahan-bahan hukum primer yaitu berupa kepustakaan atau
literatur-literatur, hasil penelitian, dan berbagai jurnal atau buletin yang
berkaitan dengan obyek pembahasan.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
memperjelas data yang diperoleh dari unsur hukum primer dan bahan hukum
22
4. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka yaitu dengan
melakukan dan mempelajari dokumen-dokumen atau pemeriksaan
literatur-literatur yang berkaitan dengan obyek pembahasan. Pengumpulan bahan primer
sebagai penunjang dilakukan melalui wawancara tidak struktur dengan para
pengelola rumah sakit seperti yang telah disebutkan di atas. Selanjutnya langkah
pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara mengiventarisasi bahan hukum
yang berhubungan dengan permasalahan, serta mengklasifikasi bahan hukum dan
melakukan sistematisasi.
5. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan data
dalam bentuk penjelasan atau narasi kalimat yang disusun secara berurutan.
berdasarkan analisis data tersebut, dilanjutkan kegiatan menarik kesimpulan
secara dedukatif yaitu suatu cara berpikir yang mendasarkan pada fakta-fakta
yuridis yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan secara khusus (induktif)
terhadap peristiwa konkrit yang merupakan jawaban dari tiga permasalahan
penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Rumah Sakit
Rumah sakit dalam perjalanan sejarahnya mengalami perkembangan yang
berpengaruh terhadap fungsi dan perannya. Rumah sakit berfungsi untuk
mempertemukan dua tugas prinsip yang membedakan dengan lembaga lainnya
yang melakukan kegiatan pelayanan jasa. Pada prinsipnya rumah sakit merupakan
institusi yang mempertemukan tugas yang didasari oleh dalil-dalil etik medik,
karena merupakan tempat bekerjanya para profesional para penyandang lafal
sumpah medik yang diikat dali-dalil Hipocrates dalam melakukan tugas
profesionalnya.14 Selain itu, rumah sakit juga bertindak sebagai institusi yang
bergerak dalam hubungan-hubungan hukum dengan masyarakat atau pasien yang
tunduk pada norma hukum dan norma etik masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam Kode Etik Rumah Sakit
Indonesia 2001 ditegaskan, bahwa rumah sakit sebagai sarana pelayanan
kesehatan merupakan unit sosio ekonomi, yang harus mengutamakan tugas
kemanusiaan dan mendahulukan fungsi sosialnya dan bukan mencari keuntungan
semata. Yang dimaksud dengan fungsi sosial rumah sakit adalah bagian dari
tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan
moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien khususnya yang
kurang/tidak mampu memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.
14
24 Pada dasarnya rumah sakit merupakan salah satu sarana atau fasilitas
pelayanan kesehatan yang tugas utamanya adalah melayani kesehatan perorangan
di samping pelayanan lainnya. Selanjutnya yang dimaksud dengan fasilitas
pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau
masyarakat (Pasal 1 angka 7 UU K No. 36 Tahun 2009). Dalam kaitan ini yang
dimaksud dengan rumah sakit menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU RS No. 44
Tahun 2009 adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan rawat inap,
rawat jalan dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna yang dimaksud
adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Pelayanan tugas kesehatan perorangan secara paripurna tersebut,
pada dasarnya rumah sakit mempunyai fungsi menyelenggarakan pelayanan
pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah
sakit.
Fungsi utama rumah sakit menurut ketentuan Pasal 5 UU RS No. 44
Tahun 2009 adalah:
a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit;
b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
25 d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan;
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan paripurna tingkat kedua
adalah upaya kesehatan perorangan tingkat lanjut dengan mendayagunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik. Selanjutnya, yang dimaksud
dengan pelayanan kesehatan paripurna tingkat ketiga adalah upaya kesehatan
perorangan tingkat lanjut dengan mendayagunakan pengetahuan dan teknologi
kesehatan subspesialistik.
Konsil Kesehatan Indonesia memberikan pengertian rumah sakit sebagai
sarana pelayanan kesehatan yang memiliki sarana rawat inap. Picard
mengemukakan bahwa rumah sakit pada masa dahulu merupakan tempat untuk
mengatasi penyakit atau sebagai suatu lembaga dimana calon tenaga medis
meningkatkan kemahirannya.15 Azrul Azwar dalam bukunya Pengantar
Administrasi Kesehatan mengenai batasan rumah sakit dapat dikemukakan
sebagai berikut:16
a. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis profesional
yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan
pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan,
diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita pasien.
b. Rumah sakit adalah tempat dimana orang sakit mencari dan menerima
pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk
15
Ibid. Hlm. 11
16
26 mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kesehatan
lainnya yang diselenggarakan.
c. Rumah sakit adalah pusat dimana pelayanan kesehatan masyarakat,
pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan.
Selanjutnya Sofwan Dahlan, mengemukakan bahwa yang dimaksud
dengan rumah sakit adalah:17
1. Sebuah tempat kerja, yang sangat padat dengan masalah, oleh karenanya
perlu ada problem solving system.
2. Sebuah fasilitas publik yang esensial, yang merepresentasikan investasi
sumber daya manusia, modal dan sumber daya lainnya guna memberikan
layanan penting (critical services) bagi masyarakat.
3. Sebuah proses kerja organisasi, yang inputnya berupa personil, peralatan,
dana, informasi, dan pasien untuk diolah melalui kerja organisasi, alokasi
sumber daya, koordinasi, integrasi psikologi sosial dan manajeman, yang
hasilnya diserahkan kembali kepada lingkungan kerja dalam bentuk finished
outputs. Disamping itu rumah sakit harus dapat mempertahankan identitas
dan integritas sebagai sebuah sistem sepanjang waktu.
Berdasarkan pendapat di atas, pada hakikatnya rumah sakit adalah suatu
lembaga atau organisasi yang membutuhkan sarana dan prasarana, sumber daya,
memiliki visi sosial, serta padat akan masalah hukum.
B. Klasifikasi Rumah Sakit
Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan dalam
Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah sakit umum adalah rumah sakit
17 Sofwan Dahlan. 2000. Hukum Kedokteran (Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter). BP Undip,
27 yang memberi pelayanan kesehatan pada semua jenis dan bidang penyakit, sedangkan
rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberi pelayanan utama pada satu bidang
atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis
penyakit atau kekhususan lainnya. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 12 Permenkes
No. 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah sakit:
4. Rumah Sakit Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diklasifikasikan
menjadi:
a. Rumah Sakit Umum Kelas A;
b. Rumah Sakit Umum Kelas B;
c. Rumah Sakit Umum Kelas C; dan
d. Rumah Sakit Umum Kelas D.
5. Rumah Sakit Umum Kelas D diklasifikasikan menjadi:
a. Rumah Sakit Umum Kelas D; dan
b. Rumah Sakit Umum Kelas D pratama.
2. Rumah Sakit Khusus menjadi:
a. Rumah Sakit Khusus Kelas A;
b. Rumah Sakit Khusus Kelas B; dan
c. Rumah Sakit Khusus Kelas C.
Selanjutnya, Rumah Sakit Umum Kelas A adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)
spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain
dan 13 (tiga belas) subspesialis. Rumah Sakit Umum Kelas B adalah rumah sakit
umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit
28 spesialis lain dan 2 (dua) subspesialis dasar. Rumah Sakit Umum Kelas C adalah
rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik.
Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar.
Rumah Sakit Khusus kelas A adalah Rumah Sakit Khusus yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan
pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap. Rumah Sakit
Khusus kelas B adalah Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik
subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas. Rumah Sakit Khusus kelas C adalah
Rumah Sakit Khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit
pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan
yang minimal.
Menurut Pasal 21 Permenkes No. 56 Tahun 2014 Sumber daya manusia
Rumah Sakit Umum kelas A terdiri atas: tenaga medis; tenaga kefarmasian;
tenaga keperawatan; tenaga kesehatan lain; tenaga nonkesehatan. Tenaga medis
yang dimaksud paling sedikit terdiri atas: 18 (delapan belas) dokter umum untuk
pelayanan medik dasar; 4 (empat) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi
mulut; 6 (enam) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
dasar; 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
penunjang; 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
lain. 2 (dua) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialis; dan
29
Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud paling sedikit terdiri atas:
1 (satu) apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit; 5 (lima) apoteker
yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 10 (sepuluh) tenaga
teknis kefarmasian; 5 (lima) apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling
sedikit 10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian; 1 (satu) apoteker di instalasi gawat
darurat yang dibantu oleh minimal 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian; 1 (satu)
apoteker di ruang ICU (Intensive Care Unit) yang dibantu oleh paling sedikit 2
(dua) tenaga teknis kefarmasian; 1 (satu) apoteker sebagai koordinator penerimaan
dan distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat
inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya
disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit; dan 1 (satu)
apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap melakukan
pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga
teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan
kefarmasian Rumah Sakit.
Selanjutnya menurut Pasal 25 Permenkes No. 56 Tahun 2014 Pelayanan
yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas B paling sedikit meliputi:
pelayanan medik; pelayanan kefarmasian; pelayanan keperawatan dan kebidanan;
pelayanan penunjang klinik; pelayanan penunjang nonklinik; dan pelayanan rawat
inap. Pelayanan medik yang dimaksud, paling sedikit terdiri dari: pelayanan gawat
darurat; pelayanan medik spesialis dasar; pelayanan medik spesialis penunjang;
pelayanan medik spesialis lain; pelayanan medik pelayanan medik subspesialis;
dan pelayanan medik spesialis gigi dan mulut. Pelayanan gawat darurat, yang
30 menerus. Pelayanan medik spesialis dasar, yang dimaksud meliputi pelayanan
penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi. Pelayanan
medik spesialis penunjang, yang dimaksud meliputi pelayanan anestesiologi,
radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan rehabilitasi medik.
Pelayanan medik spesialis lain, yang dimaksud paling sedikit berjumlah 8
(delapan) pelayanan dari 13 (tiga belas) pelayanan yang meliputi pelayanan mata,
telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan
kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik,
dan kedokteran forensik. Pelayanan medik subspesialis, yang dimaksud paling
sedikit berjumlah 2 (dua) pelayanan subspesialis dari 4 (empat) subspesialis dasar
yang meliputi pelayanan subspesialis di bidang spesialisasi bedah, penyakit
dalam, kesehatan anak, dan obstetri dan ginekologi. Pelayanan medik spesialis
gigi dan mulut, yang dimaksud paling sedikit berjumlah 3 (tiga) pelayanan yang
meliputi pelayanan bedah mulut, konservasi/endodonsi, dan orthodonti.
Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas B terdiri atas: tenaga
medis; tenaga kefarmasian; tenaga keperawatan; tenaga kesehatan lain; tenaga
nonkesehatan. Tenaga medis yang dimaksud paling sedikit terdiri atas: 12 (dua
belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar; 3 (tiga) dokter gigi umum
untuk pelayanan medik gigi mulut; 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis
pelayanan medik spesialis dasar; 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis
pelayanan medik spesialis penunjang; 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis
pelayanan medik spesialis lain; 1 (satu) dokter subspesialis untuk setiap jenis
pelayanan medik subspesialis; dan 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis
31 Menurut Pasal 36 Permenkes No. 56 Tahun 2014 Pelayanan yang diberikan
oleh Rumah Sakit Umum kelas C paling sedikit meliputi: pelayanan medik;
pelayanan kefarmasian; pelayanan keperawatan dan kebidanan; pelayanan
penunjang klinik; pelayanan penunjang nonklinik; dan pelayanan rawat inap.
Sumber daya manusia Rumah Sakit Umum kelas C terdiri atas: tenaga medis;
tenaga kefarmasian; tenaga keperawatan; tenaga kesehatan lain; tenaga
nonkesehatan. Tenaga medis yang dimaksud paling sedikit terdiri atas: 9
(sembilan) dokter umum untuk pelayanan medik dasar; 2 (dua) dokter gigi umum
untuk pelayanan medik gigi mulut; 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis
pelayanan medik spesialis dasar; 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis
pelayanan medik spesialis penunjang; dan 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk
setiap jenis pelayanan medik spesialis gigi mulut.
Selanjutnya, menurut Pasal 47 Permenkes No. 56 Tahun 2014 Pelayanan
yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum Kelas D paling sedikit meliputi:
pelayanan medik; pelayanan kefarmasian; pelayanan keperawatan dan kebidanan;
pelayanan penunjang klinik; pelayanan penunjang nonklinik; dan pelayanan rawat
inap. Sumber daya manusia rumah sakit umum kelas D terdiri atas: tenaga medis;
tenaga kefarmasian; tenaga keperawatan; tenaga kesehatan lain; tenaga
nonkesehatan. Tenaga medis yang dimaksud paling sedikit terdiri atas: 4 (empat)
dokter umum untuk pelayanan medik dasar; 1 (satu) dokter gigi umum untuk
pelayanan medik gigi mulut; 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan
32
C. Hubungan Hukum Tenaga Dokter dengan Rumah Sakit
Hubungan hukum antara dokter dan rumah sakit, pada dasarnya harus
dilihat bentuk rumah sakitnya. Apakah rumah sakit tersebut milik pemerintah atau
milik swasta. Perbedaan tersebut akan membawa konsekwensi hukum yang
berbeda antara rumah sakit yang satu dengan lainnya. Pada rumah sakit
pemerintah dokter pada umumnya berstatus sebagai pegawai rumah sakit serta
pada dasarnya hanya bertugas memberi pelayanan medik. Dokter dalam rumah
sakit pemerintah berdasarkan status kepegawaiannya dibedakan menjadi tiga,
yaitu:
a. dokter Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pusat:
b. dokter Pegawai Negeri Sipil (PNS) Daerah;
c. dokter bukan PNS yang bekerja di rumah sakit dengan sistem kontrak.
Berdasarkan penggolongan tersebut di atas, dokter yang berstatus PNS di
rumah sakit pemerintah hubungan hukum atau perikatan yang terjadi diatur dalam
ketentuan Hukum Administrasi Negara (HAN). Dalam hal ini dokter sebagai PNS
tunduk sepenuhnya terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam hal penggajian PNS pusat digaji melalui dana yang
berasal dari APBN, sedangkan PNS daerah digaji dengan dana yang berasal dari
APBD. Selanjutnya dokter yang bukan PNS dan bekerja di rumah sakit dengan
sistem kontrak dilakukan atas dasar kesepakatan secara sukarela antara kedua
belah pihak. Oleh karena itu, bagi dokter yang bukan PNS bekerja di rumah sakit
33 berlaku ketentuan kaedah hukum perdata yang tertuang dalam Pasal 1601 KUH
Perdata tentang perjanjian perburuhan yang bercirikan sebagai berikut:
a. terdapat dua pihak yaitu rumah sakit pemerintah yang berposisi sebagai
majikan dan dokter bukan PNS yang berposisi sebagai buruh;
b. antara kedua pihak tersebut terjadi hubungan hubungan vertikal
(sub-ordinasi);
c. pihak rumah sakit pemerintah memberikan imbalan jasa (upah) kepada
dokter bukan PNS.
Penempatan dokter dengan sistem kontrak tersebut di atas, merupakan
salah satu tujuan adanya pendayagunaan tenaga kesehatan khususnya di bidang
kedokteran. Untuk tenaga medis yaitu dokter dan dokter gigi juga dikenal sistem
kontrak yaitu Dokter Pekerja Tidak Tetap (PTT). Dokter sebagai tenaga
profesional yang bekerja di rumah sakit pemerintah selain tunduk pada peraturan
kepegawaian, juga harus berpedoman pada lafal sumpah, kode etik, standar
profesi, dan standar prosedur operasional. Keempat instrumen tersebut berisi
tentang norma-norma yang berlaku bagi setiap dokter dalam memberikan
pelayanan kesehatan. Namun, keempat instrumen tersebut tidak dalam bentuk
hukum positif. Maka dalam hal ini dimungkinkan diterapkan kaedah-kaedah
hukum lain seperti hukum perdata yang menyangkut dokter sebagai tenaga
profesional di bidang kesehatan.
Selanjutnya, bagaimana perikatan atau hubungan hukum antara dokter
yang bekerja pada sebuah rumah sakit swasta?. Dokter yang bekerja pada rumah
sakit swasta berlaku perjanjian untuk melakukan pekerjaan sebagaimana di atur
34 pokoknya menyebutkan ada tiga macam perjanjian untuk melakukan pekerjaan,
yaitu:
a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa khusus.
b. Perjanjian pemborongan pekerjaan.
c. Perjanjian Perburuhan.
Perjanjian antara dokter dengan rumah sakit swasta merupakan suatu
perjanjian perburuhan. Ciri-ciri perjanjian perburuhan adalah sebagai berikut:18
a. ada dua pihak yaitu majikan dan buruh;
b. antara keduanya terdapat hubungan yang bersifat sub-ordinasi;
c. ada imbalan jasa (upah) bagi buruh.
Dokter yang bekerja pada rumah sakit swasta terikat pada syarat-syarat
tertentu yang dibuat oleh rumah sakit sebagai badan hukum. Syarat-syarat
dimaksud biasanya dituangkan dalam deskripsi tugas (job discription) yang
berisikan hak dan kewajiban baik pemberi pekerjaan/rumah sakit (werkgever)
maupun penerima pekerjaan (werknemer). Dengan adanya perjanjian perburuhan
antara dokter dengan rumah sakit swasta tersebut, maka kedua belah pihak terikat
pada ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dan berlaku sebagai
undang-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 KUH Perdata).
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa perjanjian antara dokter dengan rumah
sakit swasta merupakan suatu perjanjian perburuhan, dengan demikian tergolong
35
a. Ketentuan hukum yang bersifat memaksa sepanjang ketentuan tersebut
ada.
b. Isi perjanjian sebagaimana di tetapkan para pihak, termasuk dalam isi
perjanjian ini adalah juga apa yang disebut klausula standar.
c. Ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi perjanjian tersebut.
d. Ketentuan-ketentuan umum tentang perjanjian sebagaimana terdapat
dalam Bab I sampai Bab IV Buku III KUH Perdata.
e. Kebiasaan yang diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata.
f. Kepatutan.
Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian meskipun dokter pada rumah
sakit swasta terikat pada perjanjian perburuhan, akan tetapi mereka itu adalah
tenaga profesional yang dalam melakukan pekerjaannya terikat pada lafal sumpah
dokter, standar profesi, standar pelayanan medik, dan kode etik kedokteran. Oleh
karena itu, sebagai tenaga profesional dokter diharapkan bekerja dengan baik
sesuai dengan standar profesinya.
Selanjutnya pada rumah sakit swasta, dokter prinsipnya sama dengan di
rumah sakit pemerintah. Hanya saja pada rumah sakit swasta biasanya terdapat
beberapa kelompok dokter yang dibantu perawat dalam melakukan tindakan
medis yaitu:
a. Kelompok dokter tetap (attending staff)
Dokter tetap adalah para dokter yang bekerja di rumah sakit swasta secara
purna waktu. Mereka ini sama dengan perawat terikat pada perjanjian
perburuhan dengan pihak rumah sakit. Para dokter di sini hanya menerima