• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. 1

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan2

1

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.

2

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 22

(2)

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 3

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut: a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara

lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada

3

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung. 1996 hlm. 16.

(3)

dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal4

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif. 5

B. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun

4

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27

5

(4)

kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan6

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa), Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya7

6

Nawawi Arief,Barda . Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23

7

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46

(5)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa

dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa,

culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana. 8

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan. 9

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.

8

Ibid. hlm. 48 9

(6)

Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan10

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

a. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang terkait dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan

pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat 11

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada

10

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 49

11

(7)

tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu:

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman12

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut

12

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 51

(8)

adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

C. Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik

Dasar hukum tindak pidana pemalsuan surat atau akta terdapat dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(9)

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 266 Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

(1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

(2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Kejahatan pertanahan jika dilihat dari segi waktunya dibedakan menjadi tiga, antara lain pra perolehan, menguasai tanpa hak dan mengakui tanpa hak. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bentuk-bentuk kejahatan terhadap tanah beserta unsur-usurnya adalah sebagai berikut:

1) Delik Penipuan

Tindak pidana ini mengenai menghancurkan, memindahkan atau menyingkirkan sesuatu yang dipakai orang untuk menunjukkan batas-batas halaman oleh pembentuk undang-undang telah diatur antara lain:

Pasal 389 KUHP:

“Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menghancurkan, memindahkan, membuang atau membuat sehingga tidak dapat terpakai lagi barang yang dipergunakan untuk menentukan batas pekarangan, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan”.

(10)

Tindak pidana ini tidak ada unsur perbuatan atau upaya-upaya perbuatan yang bersifat menipu atau membohongi, seperti tipu muslihat, rangkaian kebohongan, perbuatan curang dan lain sebagainnya. Walaupun demikian sesungguhnya dalam pasal ini ada unsur membohongi atau mengelabui orang atau khalayak umum, yaitu dengan perbuatannya terhadap sesuatu yang digunakan sebagai batas tanda pekarangan itu orang lain dapat terpedaya, menjadi keliru mengenai batas dan luas tanah pekarangan, perbuatan itu juga mengakibatkan tidak jelasnya batas- batas pekarangan dan merubah luas suatu pekarangan dari luas asalnya. 13

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 389 ini terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut;

(1) Unsur Subyektif

Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan dengan melawan hukum. Unsur Subyektif kejahatan ini sama dengan penipuan

(opchting), pemerasan, pengancaman yaitu punya maksud

menguntungkan. Dalam penipuan selain maksud menguntungkan, ada unsur menggerakkan, yaitu menyerahkan, memberi hutang, dan lain-lain. Kata “dengan maksud” ini menunjukkan “naaste doel” dari pelaku,

ataupun yang di dalam doktrin juga disebut “bijkomend oogmerk” atau

“maksud selanjutnya” dari pelaku, sehingga untuk selesainya tindak pidana yang diatur dalam Pasal 389 KUHP, maksud pelaku sebagaimana yang dimaksud diatas tidak perlu dicapai pada waktu pelaku melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang, yakni perbuatan: merusakkan, memindahkan, menyingkirkan atau membuat tidak dapat dipakai lagi. (2) Unsur Obyektif

a) Barangsiapa

Kata barangsiapa ini menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 389

13 Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang

(11)

KUHP maka ia bisa disebut sebagai pelaku atau sebagai deder dari tindak pidana tersebut.

b) Menghancurkan

Yang dimaksud dengan menghancurkan atau suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan, hanya akibat dari perbuatan menghancurkan lebih besar daripada akibat perbuatan merusak. pada umumnya suatu akibat hancurnya benda oleh perbuatan menghancurkan adalah benda tidak dapat dipakai lagi.

c) Memindahkan

Suatu benda yang digunakan sebagai batas pekarangan itu tidak berada pada tempat semula, akibatnya berpengaruh pada luas tanah tersebut. d) Membuang

Menghilangkan suatu benda yang digunakan sebagai tanda batas, dan berakibat kaburnya mengenai batas dan luas suatu pekarangan.

e) Membuat tidak dapat dipakai lagi

Yaitu perbuatan pada suatu benda yang berakibat benda itu tidak dapat dipergunakan lagi sebagaimana tujuan benda itu dibuat.

f) Objeknya

Tentang unsur objek kejahatan yang dirumuskan sebagai sesuatu yang digunakan sebagai tanda batas pekarangan, adalah segala macam benda yang dibuat secara jelas untuk menunjukkan batas tanah pekarangan tersebut.14

Selain Pasal 389 kejahatan pertanahan dalam delik penipuan, juga dijelaskan dalam Pasal 385 KUHP, yang diberi kualifikasi sebagai stelionat atau dapat disebut penipuan yang berhubungan hak atas tanah ketentuan pidana pada pasal ini bertujuan untuk melindungi hak atas tanah yang dimiliki oleh penduduk asli berdasarkan hukum adat, ataupun atas bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman yang terdapat di atas tanah seperti itu. Barangsiapa menunjukkan orang jika memenuhi syarat pada Pasal 266 KUHP dapat dikenai tindak pidana pemalsuan dalam bidang kejahatan terhadap tanah. Tindak pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal ini hanya dalam KUHP, dan tidak dalam WvS voor Nederlandsch-Indie sebagai warisan dari hukum penjajah Belanda, hal ini merupakan pengecualian dari asas concordantie.

14

(12)

Pasal 385 KUHP. Pada pasal ini tersebut mengandung unsur-unsur:

(1) Unsur subyektif: Dengan Maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan dengan melawan hukum. Diketahui tanah tersebut ada orang lain yang lebih berhak. Tidak memberitahukan kepada orang lain bahwa tanah tersebut telah dijadikan tanah tanggungan utang atau telah digadaikan. (2) Unsur obyektif:

Barangsiapa:

a) Menjual, menukarkan, menyewakan atau menjadikan tanggungan utang sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah dan partikelir

b) Menggadaikan atau menyewakan tanah orang lain Menjual, menukarkan, menyewakan atau menjadikan tanggungan utang sesuatu hak rakyat dalam memakai tanah pemerintah dan partikelir. Menyewakan tanah buat suatu masa, sedang diketahuinya tanah tersebut telah disewakan sebelumnya kepada orang lain. 15

2) Delik Pemalsuan

Pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan pemalsuan yang dapat diterapkan terhadap kejahatan dibidang pertanahan adalah sebagai berikut, Pasal 266 KUHP berbunyi sebagai berikut:

(1) Barangsiapa menyuruh menempatkan keterangan palsu keadaan suatu akta autentik tentang suatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan dalam akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu dseolah-olah keterangan itu cocok dengan hal sebenarnya, maka dalam mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian, dihukum selama-lamanya tujuh tahun. (2) Dengan hukuman yang serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan

sengaja menggunakan akta itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya jika pemakaian surat dapat mendatangkan kerugian.

Apabila diteliti ketentuan Pasal 266 KUHP tersebut, maka yang dapat dijatuhi sanksi menurut ketentuan pasal itu adalah mereka yang menyuruh menggunakan sarana tersebut untuk melakukan kejahatan, atau mereka dengan sengaja menggunakan sertifikat palsu sebagai sarana melakukan kejahatan pertanahan.

15

(13)

Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal diatas adalah sebagai berikut:

(1) Unsur Subjektif, dengan maksud menggunakan akta itu seolah-olah keterangan itu cocok dengan hal yang sebenarnya.Yakni si-pelaku menyadari bahwa surat-surat palsu itu akan dipergunakan untuk kepentingannya dan untuk merugikan orang lain, dengan sengaja.

(2) Unsur Objektif

a) Barangsiapa. Menunjukkan orang yang apabila memenuhi Pasal 266 KUHP dapat dikenai tindak pidana pemalsuan dalam bidang kejahatan terhadap tanah.

b) Menyuruh menempatkan keterangan palsu. Memberi perintah pada orang lain dengan keterangan atau penjelasan yang tidak sesuai dengan bukti yang ada.

Disebutkan dalam Pasal 274 KUHP yang mengatur masalah delik pemalsuan yang masuk dalam kejahatan terhadap tanah, yang berbunyi:

(1) Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat keterangan pegawai negri yang menjalankan kekuasaan yang sah mengenai hak milik atau sesuatu hak lain atas suatu barang dengan maksud akan memindahkan penjualan atau penggadaian barang itu atau dengan maksud akan memperdaya pegawai kehakiman atau polisi tentang asalnya barang tersebut.

(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum juga barangsiapa dengan maksuddengan maksud yang serupa menggunakan surat keterangan palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olahasli dan tidak dipalsukan. 16

Surat keterangan Pegawai Negeri Sipil dalam hubungannya dengan kejahatan terhadap pertanahan adalah surat yang diberikan oleh kepala desa yang menerangkan siapa orang yang berhak atas sebidang tanah, yang mana sesuai dengan register yang dipegangnya tentang hak milik individual dan komunal. Pemalsuan keterangan ini biasanya digunakan untuk penjualan tanah.

Kasus yang muncul diatas pada dasarnya adalah sebagian besar akibat kurangnya ketelitian petugas kantor pertanahan dalam menyikapi adanya sertifikat ganda, maka dari itu perlu diadakan pengawasan yang tetap terhadap para petugas yang

16

(14)

terkait dalam pembuatan akta tanah. Selain pasal-pasal di atas, terdapat juga dalam Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP. Dalam Pasal 263 KUHP dijelaskan tentang pemalsuan surat adalah delik yang dirumuskan secara formil, artinya tidak ada akibat yang penting kecuali yang telah termasuk kelakuan memalsu.

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)17

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan Pasal 185 dalam Ayat (3) dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.18

17 Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11

18

(15)

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu19:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

Adapun beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

(1) Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa. (2) Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.20

Teori lain yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim, yaitu dalam mengadili pelaku tindak pidana, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori-teori sebagai berikut:

a. Teori koherensi atau kosistensi

Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain. Atau, saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain (alat-alat bukti yang tertuang dalam Pasal 184

19 Ahmad Rifai.. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 2010. hlm. 103

20

(16)

KUHAP). Dalam hal seperti ini dikenal adanya hubungan kausalitas yang bersifat rasional a priori.

b. Teori korespodensi

Jika ada fakta-fakta di persidangan yang saling bersesuaian, misalnya, antara keterangan saksi bersesuaian dengan norma atau ide. Jika keterangan saksi Mr. X menyatakan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Mr. Y tidak melalui proses lelang tetapi dilaksanakan melalui penunjukan langsung Perusahaan Z. Persesuaian antara fakta dengan norma ini terlihat dalam hubungan kuasalitas yang bersifat empiris a pesteriori.

c. Teori utilitas

Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang bergantung pada manfaat (utility), yang memungkinkan dapat dikerjakan (workbility), memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory result), misalnya, seseorang yang dituduh melakukan korupsi karena melakukan proyek pembangunan jalan yang dalam kontrak akan memakai pasir sungai, tetapi karena di daerah tersebut tidak didapatkan pasir sungai, lalu pelaksana proyek itu mempergunakan pasir gunung yang harganya lebih mahal. Apakah pelaksanaan proyek itu dapat dipersalahkan melakukan korupsi? Padahal dia tidak memperkaya diri sendiri atau orang lain, bahkan dia merugi kalau memakai pasir gunung. Kasus seperti ini dapat diteropong melalui kacamata teori yang ketiga ini, karena kepentingan umum untuk melayani masyarakat terpenuhi. 21

21

Referensi

Dokumen terkait

x Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menentukan lokasi yang akan digunakan untuk mendirikan blok angkur kabel angin sesuai dengan jarak yang diperbolehkan.. x

Sebagai konsekuensi dari statusnya yang disamakan sekolah umum yang diasuh oleh Kementerian Pendidikan Nasional, maka kurikulum yang dipakai pada madrasah

price ceiling upang makuha ang mamimili ng produktong hindi nila kayang bilhin sa presyo nito sa pamilihan o presyong ekilibriyo.. •

Menurut survei awal yang telah dilakukan oleh peneliti, faktor-faktor yang menjadi pasien tidak ingin kembali dirawat di RSUD Raden Mattaher Jambi adalah adanya

- Jika anda ingin mengganti pengaturan program saat mesin beroperasi, tekan tombol “START/PAUSE” untuk menghentikan operasi sementara dan ganti program yang anda inginkan dengan

Adapun saran yang dapat diberikan bagi perusahaan adalah pimpinan yang diharapkan dapat mengkombinasikan gaya kepemimpinan delegatif yang selama ini dominan diterapkan dengan

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 11 Tahun 2000 tentang Retribusi Pelayanan kesehatan pada pusat

Berdasarkan hasil penelitian tentang Hubungan antara stres dan pola makan dengan kejadian hipertensi pada pasien di RSU Banua Mamase Kabupaten Mamasa, maka