MAKNA LOGO MAJELIS ADAT BUDAYA MELAYU
KALIMANTAN BARAT
(Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce Mengenai Makna
Logo Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan Barat)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Menempuh Sidang Sarjana Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Oleh :
ISMIRYANA KUSUMAWARDHANI 41809704
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI HUMAS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG
x
LEMBAR PENGESAHAN ... i
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii
ABSTRAK ... iv
1.2.1 Rumusan Masalah Makro... 11
1.2.2 Rumusan Masalah Mikro ... 11
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 12
1.3.1 Maksud Penelitian ... 12
1.3.2 Tujuan Penelitian... 12
1.4 Kegunaan Penelitian ... 12
1.4.1 Kegunaan Teoritis... 12
1.4.2 Kegunaan Praktis... 13
1.4.2.1 Kegunaan Bagi Peneliti ……… 13
1.4.2.2 Kegunaan Bagi Universitas / Lembaga ……… 13
1.4.2.3 Kegunaan Bagi Masyarakat ………. 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka ……….. 14
2.1.1 Penelitian Terdahulu ………... 14
xi BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian………... 45
3.1.1 Sejarah MABMKB ……….. 45
3.1.2 Struktur Organisasi MABMKB ………... 47
3.1.3 Perkembangan MABMKB ……….. 48
3.1.4 Pembangunan Kompleks Rumah Adat Melayu ……….. 52
3.1.5 Visi dan Misi MABMKB ……… 56
3.2 Metode Penelitian ………... 57
3.2.1 Desain Penelitian ……… 57
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ………. 59
3.2.3 Teknik Penentuan Informan ………... 60
3.2.4 Teknik Analisis Data ……….. 61
3.2.5 Uji Keabsahan Data ………... 63
3.2.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 65
xiii
LAMPIRAN-LAMPIRAN……… 102 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
vi
Assalamua’laikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Segala puji dan syukur bagi Allah SWT
yang senantiasa memberikan rakhmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan Skripsi Strata Satu yang berjudul Makna Logo Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan Barat (Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce Mengenai Makna Logo Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan Barat) ini sebagaimana mestinya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Shalawat dan salam tercurah kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya hingga
akhir zaman.
Hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam penelitian telah dilewati
sebagai suatu tantangan yang seharusnya dijalani, disamping sebagai pemenuhan
kewajiban yang memang semestinya dilaksanakan. Namun atas izin Allah SWT,
juga berkat usaha, doa, semangat, bantuan, bimbingan serta dukungan yang
penulis terima baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kedua Orang Tua yakni
Ayahanda Drs. H, Kashmir Bafiroes, M.Si. dan Ibunda Hj. Sulasih yang telah banyak memberikan dukungan berupa doa, dukungan moral maupun moril serta
kasih sayang nya yang tiada hentinya untuk penulis. Dengan kerendahan hati
penulis akan berusaha sekuat tenaga memberikan yang terbaik agar selalu menjadi
anak yang dibanggakan oleh papah dan mamah.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak atas
vii
pihak yang telah membantu selama penulis menjalani masa perkuliahan dan
penyusunan Skripsi ini, kepada :
1. Yth. Bapak Prof. DR. H. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer
Indonesia atas segala dukungannya.
2. Yth. Bapak Drs. Manap Solihat, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi dan Public Relations FISIP Unikom atas ilmu, motivasi serta nasehat kepada penulis.
3. Yth. Bapak Yadi Supriadi, S.Sos, M.Phill. Selaku Dosen pembimbing Skripsi penulis yang telah memberikan dukungan serta contoh yang baik
kepada para mahasiswanya khususnya untuk diri pribadi penulis.
Terimakasih atas segala kesabaran dan ilmu pengetahuannya sehingga
penulis yang awal nya tidak tahu menjadi tahu. Terimakasih “Pak” karena
selalu memberikan yang terbaik kepada penulis tanpa merasa lelah untuk
mentransfer ilmu pengetahuannya.
4. Yth. Bapak Drs. Manap Solihat, M.Si. . selaku wali dosen peneliti dan dosen mata kuliah yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya dalam
mengarahkan dan membimbing penulis Terimakasih untuk segala
motivasi dan dukungannya.
viii
telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis selama
perkuliahan berlangsung.
6. Yth. Sekertariat Program Studi Ilmu Komunikasi Ibu Astri Ikawati., A.Md, Terimakasih telah banyak membantu penulis dari mulai penulis menginjakan kaki di Unikom Semester 1 hingga Semester 8.
7. Yth. Bapak Drs. Sirod Judin. MM Selaku kepala sub bagian tata usaha panti sosial permadi putra binangkit yang telah mengijinkan penulis untuk
melakukan penelitian dan membimbing selama melakukan oservasi
lapangan.
8. Teristimewa untuk seluruh keluarga dan kedua kakak laki-laki saya yaitu
Sutadi Kurniawan, S.Sos dan Seto Kristiyadi yang telah banyak membantu
baik dukungan doa dan morilnya.
9. Kepada Teman-teman Ranger Idiot, Kostan Gesrek, dan JK2M Anggie, Ejot, Papap, Farli, Eko Wellie, Abut, Mega, Shandy, Ricky, Hendra, Yaya, Vebi, Donny, Nadia, Adhel, Emma, Ike, Ade, Ajie, Andre, Made, Tika, Keisha, Koko, Tya, Honey, Ochi yang selalu menjadi tempat untuk menghilangkan rasa penat dan menjadi tempat
curhat. Serta Kostan Gesrek lembah tubagus ismail yang selalu dijadikan
ix
10.Farhan Annas Achmad tersayang, yang telah memberikan dukungan serta meluangkan waktu dan tenaganya kepada peneliti untuk memberikan
motivasi dari awal perkuliahan hingga peneliti sampai pada tahap
penyelesaian skripsi ini.
11.Teman-teman seperjuangan, teman-teman kelas IK-6 dan teman-teman Humas 1 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
12.Kepada semua orang yang sempat bertemu di beberapa kesempatan selama proses penulisan skripsi ini juga banyak memberikan bantuan dan
semangat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, dimanapun
kalian berada semoga Allah SWT membalas semua ketulusan yang telah
telah kalian berikan.
Akhir kata, peneliti ingin memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan penelitian ini. Jerih
payah yang tak ternilai ini akan peneliti jadikan sebagai motivasi dimasa yang
akan datang. Guna penyempurnaan penelitian ini peneliti selalu terbuka untuk
kritik dan saran. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
Amin.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
Bandung, Juli 2013
Penulis
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU :
Effendy, Onong Uchjana. 2000. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung :
PT. Remaja Rosda Karya.
--- 2002. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya
--- 2004. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya.
Fiske, John. 2011. Cultural &Communications Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Kriyantoro, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group
Moleong, J. Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya
--- 2007. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru
Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Pawito. Ph.D. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT. LKIS
Pelangi Aksara.
Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.
101
B. INTERNET :
1.
http://putradaerahkalbar.wordpress.com/2011/04/18/sosial-budaya-masyarakat-kalimantan-barat/
2. mabmonline.org
C. KARYA ILMIAH
Nany Probosari. 2010. Pemaknaan Karikatur “PLN” (Studi Semiotik Tentang
Pemaknaan Karikatur “PLN” Pada www.jawapos.co.id). Yogyakarta.
UPN
Niko Hendravianto. 2011. Analisis Semiotik Logo CIMB Niaga. Bandung.
UNPAD.
1.1Latar Belakang Masalah
Logo atau tanda gambar (picure mark) merupakan identitas yang digunakan
untuk menggambarkan citra dan karakter suatu lembaga atau organisasi maupun
badan-badan lainnya. Logotype atau tanda kata (word mark) merupakan nama
lembaga, atau produk, yang tampil dalam bentuk tulisan yang khusus untuk
menggambarkan ciri khas.
Pada prinsipnya, logo merupakan simbol yang mewakili sosok, wajah, atau
eksistensi suatu organisasi ataupun sebuah produk dari badan maupun
lembaga-lembaga. Selain membangun citra, logo juga sering kali dipergunakan untuk
membangun spirit secara internal diantara komponen yang ada dalam
badan-badan tersebut. Sebuah logo yang baik dan berhasil akan dapat menimbulkan
sugesti yang kuat, membangun kepercayaan, rasa memiliki, dan menjaga citra
lembaga atau badan-badan pemilik logo itu. Selanjutnya, logo bahkan dapat
menjalin kesatuan dan solidaritas diantara anggota keluarga besar lembaga atau
badan-badan itu yang akhirnya mampu meningkatkan prestasi dan meraih sukses
demi kemajuan bersama.
Secara visualisasi, logo adalah gambar. Gambar itu bisa berupa berbagai unsur
bentuk dan warna. Oleh karena sifat dari apa yang diwakili oleh logo berbeda satu
sama lain, maka seyogyanya logo itu memiliki bentuk yang berbeda pula.
Penggunaan logo yang dikenal saat ini awalnya hanyalah sekedar berupa
2
bangsa, atau Negara. Suku-suku bangsa di masa lalu sering menggunakan maskot
binatang seperti beruang, burung, rajawali, dan kuda sebagai simbolik mereka.
Maskot-maskot tadi diambil, dari apa saja yang dikagumi di sekeliling mereka.
Secara bahasa, logo adalah suatu huruf atau lambang (gambar) yang
mengandung makna, terdiri atas satu kata atau lebih sebagai lambang atau nama
perusahaan dan lain sebagainya. Suatu perusahaan, organisasi-organisasi, lembaga
pendidikan, pemerintahan dan lain-lain pasti membutuhkan sebuah simbol sebagai
pengenal yang dapat dengan mudah dikenal masyarakat. Logo merupakan elemen
yang sangat penting untuk sebuah perusahaan atau badan-badan lainnya. Didalam
logo-logo terdapat arti dan tujuan dari yang memakainya, baik dari warnanya,
gambarnya, tulisannya maupun perbuatannya.
Pengertian logo menurut Philip Kotler dalam buku Marketing (941:1991) :
“logo adalah bagian merk yang bisa dikenal dan tak terucapkan misalnya, simbol
rancangan atau warna dan huruf yang berbeda dengan yang lain.”
Logo bisa diibaratkan dengan wajah. Setiap orang bisa dengan mudah dikenali
antara satu dengan yang lain hanya dengan melihat wajah. Begitu juga halnya
dengan logo. Logo merupakan sebuah visi penyampaian citra positif melalui
sebuah tampilan sederhana dalam bentuk simbol.
Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan Barat (MABM-KB) di Pontianak
terbentuk atas dasar rasa cinta warga Melayu terhadap adat budaya Melayu serta
untuk melestarikan kebudayaan Melayu itu sendiri. Selain itu, para sesepuh pun
apabila tidak ada suatu wadah organsasi yang mampu menjaga adat istiadat
Melayu. Berangkat dari hal-hal tersebut diatas, terbentuklah Majelis Adat Budaya
Melayu Kalimantan Barat (MABM-KB) yang diharapkan mampu untuk
meneruskan adat istiadat dari generasi ke generasi sekaligus menunjukan
eksistensi akan budaya Melayu di Indonesia.
Indonesia adalah Negara yang mempunyai slogan Bhinneka Tunggal Ika
(berbeda-beda namun tetap satu yaitu Indonesia). Hanya Indonesia pula
satu-satunya Negara yang mempunyai keragaman suku bangsa, agama. Bhinneka
Tunggal Ika tidak dipungkiri begitu mendarah daging pada masyarakat Indonesia
sehingga tidak hanya sekedar slogan semata. Ini merupakan salah satu unsur yang
mampu menunjang untuk terbentuknya suatu paguyuban. Suatu wadah untuk
menaungi sesuatu. Hal ini pula yang mendorong terbentuknya MABM-KB
dimana organisasi mampu untuk unjuk gigi kepada khalayak mengenai adat
budayanya namun tetap berada dalam lingkup atmosfer yang sama yaitu
Indonesia. Berikut peneliti akan memberikan contoh logo dari MABM-KB :
Gambar 1.1
Logo MABMKB
4
Logo MABM-KB terdiri dari beberapa bentuk yang berkesinambungan dan
mempunyai makna tersendiri. Bentuk-bentuk tersebut adalah seperti disebutkan di
table bawah ini :
Tabel 1.1
Bentuk Gambar dan Arti
Bentuk Gambar Arti
Segi Delapan simbol yang sudah mendunia dan mempuyai arti yang
menunjukan 8 arah mata angin. Ini menandakan
bahwasanya eksistensi MABM-KB bisa diterima secara
global. Tanpa adanya batasan kubu bahwa hanya akan
menunjukan eksistensinya pada daerah tertentu.
Bintang dan Bulan
Sabit
bintang menunjukan makna mengenai ilmu pengetahuan
dan bulan sabit memiliki makna ibadah.
Payung bermakna kehormatan dan suatu kemuliaan bahwasanya
MABM-KB bertindak sebagai organisasi yang akan
mewadahi puak Melayu dalam kedamaian dan
persahabatan semua insan. Payung dan bintang bulan sabit
bermakna adat bersendi sara’, sara; bersendi Kitabullah.
Kaligrafi huruf mim, alif, mim, ba bermakna kesucian dan tulus
Lingkungan Bulat lambang persatuan dan kesatuan yang utuh.
MABM Majelis Adat Budaya Melayu identitas nama wadah atau
organisasi.
Sumber : Peneliti 2013
Setiap logo jelas mempunyai makna yang berbeda. Logo terbentuk
berdasarkan visi dan misi ataupun pesan yang ingin disampaikan melalui
visualisasi yang mempunyai makna dari tiap bentuknya.
Makna adalah hubungan antara lambang bunyi dengan acuannya. Makna
merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam
komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki.
Ujaran manusia itu mengandung makna yang utuh. Keutuhan makna itu
merupakan perpaduan dari empat aspek, yakni pengertian (sense), perasaan
(feeling), nada (tone), dan amanat (intension). Memahami aspek itu dalam seluruh
konteks adalah bagian dari usaha untuk memahami makna dalam komunikasi.
Jenis Makna :
1. Makna Leksikal : adalah makna unsur-unsur bahasa (leksem) sebagai lambang
benda, peristiwa, obyek, dan lain-lain. Makna ini dimiliki unsur bahasa lepas dari
penggunaan atau konteksnya.
2. Makna Langsung atau konseptual atau denotatif : makna kata atau leksem yang
didasarkan atas penunjukkan yang langsung (lugas)pada suatu hal atau onyek di
6
menunjuk obyeknya. Berdasarkan luas tidaknya cakupan makna yang
dikandungnya, makna langsung dapat dibedakan atas makna luas dan makna
sempit.
3. Makna Kiasan : makna kiasan atau asosiatif adalah makna kata atau leksem
yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul pada penyapa dan
manusia yang disapa. Makna ini muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai
bahasa terhadap leksem yang dilafalkan atau didengarnya.
Makna dari Logo MABMKB termasuk makna leksikal. Dilihat dari objeknya,
yaitu Logo MABMKB, terdapat makna yang mewakili bahwa organisasi tersebut
merupakan organisasi Melayu Islam. Dapat dilihat dari komposisi-komposisi yang
terdapat pada kesatuan Logo tersebut. Baik dari tulisan, hingga warnanya.
Peirce terkenal karena teori tandanya. Suatu tanda tidak pernah berupa suatu
entitas yang sendirian, tetapi yang memiliki ketiga aspek tersebut. Peirce
mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh kepertamaan, objeknya
adalah kekeduaan, dan penafsirmya, yaitu unsur pengantara, adalah unsur
keketigaan. Peirce selalu nerusaha untuk menemukan struktur terner di mana pun
mereka bisa terjadi. Keketigaan yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga
membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang
membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu
makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya, Penafsir ini adalah
unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi,
bisa ada sebagai suatu tanda, maka tanda tersebut harus ditafsirkan (dan berarti
harus memiliki penafsir).
Kalimantan Barat (Kal-Bar) merupakan salah satu provinsi yang ada di Pulau
Kalimantan. Jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan Barat menurut sensus
tahun 2000 berjumlah 4.073.430 jiwa (1,85% penduduk Indonesia). Daerah
Kalimantan Barat dihuni oleh Penduduk Asli Dayak dan kaum pendatang lainnya
dari Sumatra dan kaum urban dari tiongkok dan daerah di Indonesia lainnya. Suku
Bangsa yang Dominan Besar yaitu Dayak ,Melayu dan Tionghoa, yang jumlahnya
melebihi 90% penduduk Kalimantan Barat. Selain itu, terdapat juga suku-suku
bangsa lain, antara lain Bugis, Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda, Batak, dan
lain-lain yang jumlahnya dibawah 10%. Dari berbagai suku ini tentunya
masing-masing memiliki adat istiadat yang berbeda-beda sehingga masing-masing-masing-masing suku
mempunyai cara pandang kehidupan yang berbeda pula dalam aspek sosial
budaya.
Kalimantan Barat dapat dikatakan sebagai daerah yang memiliki masyarakat
yang majemuk karena masyarakatnya yang multikultural. Pada dasarnya suatu
masyarakat dikatakan multikultural jika dalam masyarakat tersebut memiliki
keanekaragaman dan perbedaan. Keragaman dan perbedaan yang dimaksud antara
lain, keragaman struktur budaya yang berakar pada perbedaan standar nilai yang
berbeda-beda, keragaman ras, suku, dan agama, keragaman ciri-ciri fisik seperti
warna kulit, rambut, raut muka, postur tubuh, dan lain-lain, serta keragaman
kelompok sosial dalam masyarakat. Sehingga masyarakat multikultural dapat
8
wilayah yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kebudayaan yang
berbeda-beda dalam kesederajatan.
Pada hakikatnya masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas
berbagai macam suku yang masing-masing mempunyai struktur sosial dan budaya
yang berbeda-beda. Dalam hal ini masyarakat multikultural tidak bersifat
homogen, namun memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial
antar individu di masyarakat berusaha untuk toleransi dan harus menerima
kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai satu sama lain dengan
perbedaan yang melekat pada tiap etnisitas sosial dan budayanya. Namun
kemajemukan masyarakat yang multikultural ini sangat mungkin terjadinya
konflik vertikal dan horizontal yang dapat menghancurkan masyarakat tersebut.
Konflik vertikal dapat berarti hubungan interaksi antara suatu kelas sosial yang
berbeda tingkatan akibat adanya pertentangan kepentingan ataupun kelompok
sosial yang berbeda di satu pihak dengan satu kelompok di pihak lainnya.
Sedangkan konflik horizontal berarti hubungan interaksi antar kelas sosial yang
secara sengaja menciptakan konflik sebagai kamuflase atau cara untuk
mendukung terwujudnya tujuan atau kondisi yang dikehendaki oleh beberapa
pihak tertentu.
Kemajemukan masyarakat yang terjadi di Kalimantan Barat tanpa disertai rasa
toleransi dan saling menghargai antar sesama masyarakat tentunya akan
menimbulkan bahaya laten yang sewaktu – waktu dapat menyebabkan terjadinya
Satu diantara berbagai potensi penyebab bahaya laten yang terjadi di
Kalimantan Barat yaitu perbedaan sosial budaya dalam masyarakat. Berbedanya
cara interaksi sosial, cara pemahaman atas suatu kebudayaan masyarakat yang di
sebabkan berbeda-bedanya budaya dan tingkatan pendidikan dalam masyarakat
yang menyebabkan masyarakat itu sendiri susah untuk saling memahami
perbedaan itu sendiri. Terlihat bagaimana kehidupan sosial dan budaya penduduk
asli Kal-Bar, yaitu suku Dayak dan Melayu. Ada pepatah suku Dayak di Kal-Bar
berbunyi “Tamu diberi makan, Melayu diberi beras”. Itu artinya masyarakat
Dayak sangat menghargai perbedaan sehingga jika sesama Dayak yang bertamu
diberi makanan yang sama dengannya, jika Melayu (identik Islam) yang bertamu
akan diberi beras supaya masak sendiri dan nanti dimakan bersama. Dan ada juga
pepatah suku Melayu di Kal-Bar berbunyi “Awak datang Kame’ sambot” yang
artinya siapapun yang datang untuk bertamu ataupun menetap di daerah warga
Melayu akan di sambut baik oleh seluruh warga. Mungkin pepatah ini dapat
sedikit menggambarkan keramahan penduduk asli Kal-Bar dalam penyambutan
mereka terhadap orang yang akan bertamu maupun menetap di daerah mereka.
Namun, terkadang ada sebagian dari para penduduk pendatang sering menyalah
artikan keramah tamahan dari para penduduk asli.
Kondisi sosial budaya yang berbeda-beda ini memang sangat riskan akan
timbulnya suatu konflik dalam masyarakat, Di daerah Kalimantan Barat sudah
sering terjadi konflik vertikal maupun horizontal baik berskala besar ataupun
berskala kecil. Dan kebanyakan konflik yang terjadi di Kalimantan Barat selalu
10
khususnya yang melibatkan antar etnis sudah sering terjadi semenjak awal masa
kemerdekaan tepatnya sejak komunis (RRC) mulai melebarkan sayap mereka
masuk ke daerah-daerah di Kal-Bar. Lalu kdisusul antara etnis Dayak dengan
etnis Madura hingga akhirnya melibatkan etnis Melayu Sambas dan Pontianak ke
dalam pertikaian berdarah antar etnis tersebut.
Dilihat dari kurun waktu terjadinya, konflik yang melibatkan etnis di
Kalimantan Barat dapat dikatakan sebagai bahaya yang bersifat laten, khususnya
daerah-daerah tempat terpusatnya konflik. Sehingga bagi warga yang tinggal di
wilayah tersebut hingga saat ini masih belum bisa menerima pendatang,
khususnya dari warga Madura. Hal ini di karenakan warga masih trauma akan
kembali munculnya pertikaian berdarah yang memalukan bagi warga Bumi
Borneo. Konflik berbau etnis ini memang tampaknya masih belum bisa hilang
dari Kalimantan Barat, ini terlihat dari peristiwa yang baru-baru terjadi di salah
satu daerah di Kal-Bar. Peristiwa yang terjadi pada Mei 2010 ini di picu oleh
keberadaa Tugu Naga dan masalah salah satu Walikota yang membahas mengenai
Sekilas Melayu, Asal Usul dan sejarahnya dianggap menghina kelompok tertentu.
Masalah ini sempat membuat suasana kota menjadi mencekam selama beberapa
hari, untungnya permasalahan ini dapat cepat diredam oleh para tokoh adat dan
Walikota itu sendiri. Dari hal inilah penciptaan interaksi sosial yang baik di antara
masyarakat dan saling memahami budaya masing-masing masyarakat akan dapat
1.2Rumusan Masalah
1.2.1 Rumusan Masalah Makro
Berdasarkan keunikan tersebut, maka peneliti pun ingin menganalisis lebih
jauh mengenai logo. Maka dari itu, rumusan masalah dari penelitian ini adalah
“Bagaimana Analisis Semiotika Makna Logo Majelis Adat Budaya Melayu
Kalimantan Barat?”
1.2.2 Rumusan Masalah Mikro
Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah
peneliti jelaskan diatas, maka peneliti mengidentifikasikan masalah yang akan
dibahas pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana tanda logo Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan
Barat?
2. Bagaimana objek logo Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan
Barat?
3. Bagaimana interpretan logo Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan
12
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana analisis
semiotika mengenai makna desain logo Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan
Barat.
1.3.2 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tanda logo Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan
Barat.
2. Untuk mengetahui objek logo Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan
Barat.
3. Untuk mengetahui interpretan logo Majelis Adat Budaya Melayu
Kalimantan Barat.
1.4Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan bagi
penelitian-penelitian selanjutnya dan diharapkan dapat menunjang perkembangan
di bidang ilmu komunikasi seorang humas, khususnya dalam perkembangan
komunikasi semiotika. Seorang humas harus mempelajari semiotika, karena
sangat menunjang untuk membentuk citra diri dan identitas sebuah
1.4.2 Kegunaan Praktis
1.4.2.1Kegunaan Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan dan pengalaman bagi
peneliti, khususnya dalam memahami analisa semiotika mengenai makna desain
logo Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan Barat (MABM-KB) di Pontianak.
1.4.2.2Kegunaan Bagi Universitas / Lembaga
Bagi Universitas, khususnya Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi
Humas di UNIKOM Bandung, penelitian ini dapat dijadikan literatur, dalam
menambah wawasan, dan masukan bagi peneliti lain dengan bahasan serupa.
1.4.2.3Kegunaan Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan baru bagi
masyarakat berkenaan dengan analisis semiotika logo. Selain itu, penelitian ini
pun diharapkan mampu memberikan pengetahuan bagi masyarakat mengenai adat
budaya Melayu termasuk di dalamnya organisasi yang menaunginya yaitu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka bertujuan untuk menjelaskan teori yang relevan dengan
masalah yang diteliti tinjauan pustaka berisikan tentang data-data sekunder yang
peneliti peroleh dari jurnal-jurnal ilmiah atau hasil penelitian pihak lain yang
dapat dijadikan asumsi-asumsi yang memungkinkan terjadinya penalaran untuk
menjawab masalah yang diajukan peneliti. Adapun hasil dari pengumpulan data
yang telah peneliti dapatkan selama penelitian dan peneliti menguraikannya
sebagai berikut :
2.1.1 Penelitian terdahulu
Dalam tinjauan pustaka, peneliti mengawali dengan menelaah penelitian
terdahulu yang memiliki ketertarikan serta relevansi dengan penelitian terdahulu
yang memiliki ketertarikan serta relevansi dengan penelitian yang dilakukan.
Dengan demikian, peneliti mendapatkan rujukan pendukung, pelengkap serta
pembanding yang memadai sehingga penulisan skripsi ini lebih memadai.
Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat kajian pustaka berupa penelitian
yang ada. Selain itu, karena pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif yang menghargai berbagai perbedaan yang ada serta
kesamaan maupun perbedaan adalah suatu hal yang wajar dan dapat disinergikan
untuk saling melengkapi.
dalam karikatur yang
berupa gambar dan
tulisan yang terdapat
dalam karikatur yang
bagaimana elemen fisik
dan non-fisik yang ada
dalam logo tersebut bila
dikaji dalam analisis
taksonomi serta peran
logo tersebut sebagai
sebuah identitas
perusahaan
Sumber: Peneliti 2013
2.1.2 Pengertian Komunikasi
Dalam Mulyana dijelaskan, kata komunikasi atau communications dalam
bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti sama, communico,
communications, atau communicate yang berarti membuat sama (to make
common). Istilah pertama (communis) paling sering disebut sebagai asal kata
komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip.
Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan
dianut secara sama. (Mulyana, 2007:46)
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari
sama. Sama disini maksudnya adalah satu makna. Jadi, jika dua orang terlibat
dalam komunikasi maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada
kesamaan makna mengenai apa yang di komunikasikan, yakni baik si penerima
maupun si pengirim sepaham dari suatu pesan tertentu. (Effendy,2002:9)
Banyak definisi komunikasi diungkapkan oleh para ahli dan pakar
komunikasi seperti yang diungkapkan oleh Carl. I. Hovland yang dikutip oleh
Onong Uchana Effendy dalam buku Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, ilmu
komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas
asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap (Effendy,
2001: 10)
Hovland juga mengungkapkan bahwa yang dijadikan objek studi ilmu
komunikasi bukan hanya penyampaian informasi melainkan juga pembentukan
pendapat umum (Public Opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dalam
kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan peranan yang amat penting.
Dalam pengertian khusus komunikasi, Hovland yang dikutip dari Onong Uchana
Effendy dalam buku Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek mengatakan bahwa
komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication is the
procces to modify the behaviour of other individuals).
Jadi dalam berkomunikasi bukan sekedar memberitahu, tetapi juga berupaya
mempengaruhi agar seseorang atau sejumlah orang melakukan kegiatan atau
tindakan yang diinginkan oleh komunikator, akan tetapi seseorang akan dapat
18
komunikasi yang disampaikan bersifat komunikatif yaitu komunikator dalam
menyampaikan pesan-pesan harus benar-benar dimengerti dan dipahami oleh
komunikan untuk mencapai tujuan komunikasi yang komunikatif. (Effendy,
2001:10)
Menurut Wilbur Schramn, seorang ahli ilmu komunikasi kenamaan dalam
karyanya Communication Research In The United States menyatakan bahwa
komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator
cocok dengan kerangka acuan (Frame of Reference) yakni panduan pengalaman
dan pengertian (collection of experience and meanings) yang pernah diperoleh
komunikan.
Proses komunikasi pada dasarnya adalah proses penyampaian pesan yang
dilakukan oleh seseorang komunikator kepada komunikan, pesan itu berupa
gagasan, informasi, opini dan lain-lain, dalam prosesnya Mitchall. N. Charmley
memperkenalkan 5 (lima) komponen yang melandasi komunikasi yang dikutip
dari buku Astrid P.Susanto yang berjudul Komunikasi Dalam Praktek dan Teori,
yaitu sebagai berikut:
a. Sumber (source)
b. Komunikator (encoder)
c. Pertanyaan/pesan (message)
d. Komunikan (decoder)
Roger dan Mulyana berpendapat bahwa komunikasi adalah prose’s dimana
suatu ide dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk
mengubah tingkah laku mereka. (Mulyana, 2007:69). Harrold Laswell
menjelaskan bahwa (Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut “Who Says What In Which
Channel To Whom With What Effect?” Atau Siapa Mengatakan Apa Dengan
Saluran Apa Kepadada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana? (Mulyana, 2007: 69)
Pendapat para ahli tersebut memberikan gambaran bahwa
komponen-komponen pendukung komunikasi termasuk efek yang ditimbulkan, antara lain
adalah:
1. Komunikator (comunnicator, source, sender)
2. Pesan (message)
3. Media (channel)
4. Komunikan (communican, receiver)
5. Efek (effect)
Dari beberapa pengertian diatas, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa
komunikasi adalah proses pertukaran makna/pesan dari seseorang kepada orang
lain dengan maksud untuk mempengaruhi orang lain. Unsur-unsur dari proses
komunikasi diatas merupakan faktor penting dalam komunikasi, bahwa pada
setiap unsure tersebut oleh para ahli ilmu komunikasi dijadikan objek ilmiah
20
2.1.3 Logo dan Filosofinya
Logo atau tanda gambar (picture mark) merupakan identitas yang
dipergunakan untuk menggambarkan citra dan karakter suatu lembaga atau
perusahaan maupun organisasi. Logotype atau tanda kata (word mark) merupakan
nama lembaga, perusahaan, atau produk, yang tampil dalam bentuk tulisan yang
khusus untuk menggambarkan ciri khas secara komersial.
Pada prinsipnya, logo merupakan simbol yang mewakili sosok, wajah, atau
eksistensi suatu perusahaan atau produk dari sebuah organisasi maupun lembaga.
Selain membangun citra organisasi, logo juga seringkali dipergunakan untuk
membangun spirit secara internal diantara komponen yang ada dalam organisasi
tersebut. Sebuah logo yang baik dan berhasil akan dapat menimbulkan sugesti
yang kuat, membangun kepercayaan, rasa memiliki, dan menjaga image organisai
pemilik logo itu. Selanjutnya, logo bahkan dapat menjalin kesatuan dan solidaritas
diantara anggota keluarga besar organisasi itu yang akhirnya mampu
meningkatkan prestasi dan meraih sukses demi kemajuan organisai.
Secara visualisasi, logo adalah suatu gambar. Gambar itu bisa berupa
berbagai unsur bentuk dan warna. Oleh karena sifat dari apa yang diwakili oleh
logo berbeda satu sama lain, maka seyogyanya logo itu memiliki bentuk yang
berbeda pula.
Penggunaan logo yang dikenal saat ini awalnya hanyalah sekedar berupa
lambang, simbol, atau maskot yang merupakan identitas suatu kelompok, suku,
binatang seperti beruang, burung, rajawali, dan kuda sebagai simbolik mereka.
Maskot-maskot tadi diambil dari apa saja yang dikagumi di sekeliling mereka.
2.1.3.1Logo Sesuai Unsur Pembentuknya
Unsur pembentuk logo dapat dipilah-pilah menjadi 4 (empat) kelompok.
Namun demikian, kelompok-kelompok tersebut bisa digabungkan sehingga
mengandung unsur campuran. Diantaranya :
a) Logo Dalam Bentuk Alphabetical
Logo yang terdiri dari bentuk huruf-huruf atau dimaksudkan unutk
menggambarkan huruf dan kombinasi dari bentuk huruf. Kelompok ini
merupakan jumlah yang paling banyak dan merupakan trend baru
untuk diikuti.
b) Logo Dalam Bentuk Benda Konkret
Bentuk konkret, misalnya manusia (seorng tokoh, wajh, dan bentuk
tubuh yang menarik) bentuk binatang, tanaman, peralatan, maupun
benda lainnya.
c) Logo Dalam Bentuk Abstrak, Poligami Spiral, dsb
Logo kelompok ini memiliki elemen-elemen yang merupakan bentuk
abstrak, bentuk geometri, spiral, brosur, segitiga, bujursangkar,
titik-titik, garis, panah, gabungan bentuk-bentuk lengkung, dan bentuk
22
d) Logo Dalam Bentuk, Simbol, Nomor, dan Elemen Lain
Bentuk-bentuk yang sudah dikenal untuk menggambarkan sesuatu
seperti hati, tanda silang, tanda plus, tanda petir, tanda notasi musik,
dsb.
e) Logotype
Jika logo adalah tanda gambar (picture mark), maka logotype adalah
gambar nama (word mark). Oleh karena itu, logotype berbentuk tulisan
khas yang mengidentifikasikan suatu nama atau merk. Ia memiliki
sifat-sifat yang sangat mirip dengan logo yang telah dibahas di atas.
2.1.3.2Ciri-Ciri Logo yang Efektif
a. Memiliki sifat unik. Tidak mirip dengan logo lain sehingga orang tidak
bingung karena logo mirip desain lain yang sudah ada.
b. Memiliki sifat yang fungsional sehingga dapat dipasang atau digunakan
dalam berbagai keperluan.
c. Bentuk logo mengikuti kaidah-kaidah dasar desain (misalnya bidang,
warna, bentuk, konsistensi, dan kejelasan).
d. Mampu mempresentasikan suatu organisasi atau suatu produk.
2.1.4 Filosofi dan Makna Gambar
Hingga kini masih ada tuntutan bahwa logo seyogyanya mengandung suatu
Perusahaan-
perusahaan besar di Indonesia yang melombakan pembuatan logo membeberkan
sejarah serta visi dan misi perusahaan. Kemudian di dalam persyaratannya
dicantumkan agar peserta lomba juga mencantumkan filosofi yang terkandung
pada logo yang dibuat. Dengan demikian, perancang logo harus memulai
pekerjaannya dengan merancang filosofi dan makna dari simbol yang akan
digambarkan itu, bukan memikirkan gambar apa yang akan dibuat.
Seringkali perancang logo berhasil membuat sebuah karya grafis yang bagus,
tetapi tidak mampu menuangkan filosofi yang terkandung dalam gambar itu.
Keberuntungan untuk menuangkan detail filosofi keping demi keping elemen
gambar sesuai latar belakang, visi dan misi organisasi atau lembaga yang
dilogokan kadang-kadang menyertai perancang logo. Kedua unsur, yakni bentuk
visual serta kandungan maknanya harus terpadu satu sama lain
2.1.5 Tinjauan Mengenai Semiotik
2.1.5.1Pengertian Semiotik
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani, semeion yang
berarti tanda. Menurut Umberto Eco (dalam Sobur, 2009:95), mengatakan :
Tanda itu didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensional
sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang
lain. (Sobur, 2009:95)
Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau
24
Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjukkan pada adanya
hal lain. Contohnya, asap menandakan adanya api.
Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan
sebagai tanda. Sedangkan menurut Van Zoest mengatakan :
Semiotik adalah ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan
dengannya : cara berfungsinya, hubungan dengan kata lain,
pengirimannya, dan penerimannya oleh mereka yang mempergunakannya.
(Sobur, 2009:96)
Batasan lebih jelas mengenai definisi semiotik dikemukakan oleh Preminger
(2001:89), yang mengatakan :
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa
fenomena sosial / masyarakat dan kebudayaan itu aturan-aturan,
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda itu mempunyai arti.
(Sobur, 2009:2006)
Meskipun refleksi mengenai tanda itu mempuyai sejarah filsafat yang patut
dihargai, namun semiotik atau semiologi dalam arti modern berangkat dari
seorang ahli Swiss, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913), yang
mengemukakan pandangan linguistik hendaknya menjadi bagian dari suatu ilmu
Pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak bisa ditiadakan
bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir
adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang
dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang
jeli dan cermat, sesuatunya akan dibuat dari jalur logika, yakni (Sobur, 2009:97)
1. Hubungan penalaran dengan jenis penandanya :
a. Qualisigns : penanda yang bertalian dengan kualitas. Tanda-tanda yang
merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Qualisigns yang murni pada
kenyatannya tidak pernah ada. Jadi agar benar-benar berfungsi, qualisigns
harus mempunyai bentuk.
b. Sinsigns : penanda yang bertalian dengan kenyataan. Tanda-tanda yang
merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua pernyataan
individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns.
c. Legisigns : penanda yang bertalian dengan kaidah. Tanda-tanda yang
merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah
konvensi, sebuah kode. Semua tanda bahasa merupakan legisigns, karena
bahasa merupakan kode, setiap legisigns mengimplikasikan sinsigns, sebuah
second yang mengaitkan sebuah third, yakni peraturan yang bersifat umum.
26
2. Hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya :
a. Icon : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa engan
bentuk objeknya.
b. Index : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang
mengisyaratkan kaidah secara konvensi telah lazim digunakan oleh masyarakat.
3. Hubungan pikiran dengan jenis penandanya :
a. Rheme or seme : penanda yang bertalian dengan mungkin terpahaminya objek
petanda bagi penafsir,
b. Dicent or decisign or pheme : penanda yang menampilkan informasi tentang
petandanya,
c. Argument : penanda yang petandanya akhir bukan suatu benda tetapi kaidah.
(Sobur, 2004:97-98)
Kesembilan (sintaksis) sebagai ilmu bahasa yang mengkaji penggabungan
satuan-satuan lingual yang berupa kata untuk membentuk satuan kebahasaan yang
lebih besar seperti frase, klausa, kalimat dan wacana. Semantika (semantic) adalah
disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual, baik makna lesikal
maupun makna gramatikal. Makna leksikal adalah makna unit semantik yang
terkecil yang disebut leksem, sedangkan makna gramatikal adalah makna yang
bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana
satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi (Sobur, 2009:102).
2.1.5.2Macam-macam semiotik
Menurut Pateda (2001:29), menerangkan bahwa sekurang-kurangnya terdapat
Sembilan macam semiotik yang sudah dikenal, yakni :
1. Semiotik Analitik, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda.
Semiotik berobjekan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek,
dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna
adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada objek
tertentu.
2. Semiotik Deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda
yang dapat kita alami sekarang, meskipun terdapat tanda lain yang
sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang.
3. Semiotik Fauna (zoosemiotic), yakni semiotik yang khusus
memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan
biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antar sesamanya,
tetapi sering juga menghasilkan tanda yang ditafsirkan oleh manusia.
4. Semiotik Kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Budaya yang
terdapat dalam masyarakat yang juga termasuk sistem itu,
28
masyarakat yang juga termasuk sistem itu, menggunakan tanda-tanda
tertentu yang membedakannya dengan masyarakat yang lain.
5. Semiotik Naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam
narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore).
6. Semiotik Natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang dihasilkan oleh alam.
7. Semiotik Normatifi, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma,
misalnya rambu-rambu lalu lintas.
8. Semiotik Sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang dihasilkan oleh manusia lambang, baik lambang yang berwujud
kata maupun lambang yang berwujud kata dalam satuan disebut
kalimat.
9. Semiotik Struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa. (Sobur,
2004:100-101)
Dalam perkembangannya semiotik tidak hanya dipakai dalam kajian
linguistik, tapi semiotik juga bisa digunakan dalam menganalisis berbagai objek
2.1.6 Tanda dan Makna Dalam Semiotik
2.1.6.1 Tanda
Semua model makna memiliki bentuk yang secara luas serupa dan mirip.
Masing-masing memperhatikan tiga unsur yang mesti ada dalam setiap studi
tentang makna. Ketiga unsur tersebut adalah : a) tanda, b) acuan tanda, c)
pengguna tanda.
Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita; tanda
mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri; dan bergantung pada pengamatan
oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda.
Peirce (dalam Fiske, 2004:62), mengatakan:
Tanda dalam acuannya dan penggunaannya sebagai tiga titik dalam
segitiga. Masing-masing terkait erat pada duayang lainnya, dan dapat
dipahami dalam artian pihak lain. (Suprapti, 2006:114).
Sedangkan Saussure berpendapat lain, ia mengatakan :
Tanda terdiri atas bentuk fisik plus konsep mental yang terkait, dan
konsep ini merupakan pemahaman atas realitas eksternal. (Suprapto,
2006:114).
Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tanda terdiri
30
2.1.6.2 Kategori-kategori Tanda
Peirce dan Saussure menjelaskan berbagai cara dalam menyampaikan makna.
Pierce membuat tiga kategori tanda yang masing-masing menunjukkan hubungan
berbeda di antara tanda dan objeknya atau apa yang diacunya.
1. Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas
yang ditandainya, misalnya foto atau peta.
2. Indeks ada hubungan langsung antara tanda dan objeknya. Ia
merupakan tanda yang hubungan eksistensionalnya langsung dengan
objeknya,
3. Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya
berdasarkan konvensi, kesepakatan atau aturan kata-kata umumnya
adalah simbol (Suprapto, 2006:120)
Tommy Suprapto dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Teori
Komunikasi”, mengemukakan beberapa pokok pikiran tentang makna dan tanda
dalam proses komunikasi, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Dalam proses komunikasi, seperangkat tanda merupakan hal yang penting
karenaini merupakan pesan yang harus dipahami oleh komunikan.
Komunikan harus menciptakan makna yang terkait dengan makna yang
dibuat oleh komunikator. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama,
2. Tanda-tanda (sign) adalah basis dari seluruh kegiatan komunikasi.
Manusia dengan perantara tanda dapat melakukan komunikasi dengan
sesamanya. Kajian tentang tanda dalam proses komunikasi tersebut sering
disebut semiotika komunikasi.
3. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda,
yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam
komunikasi, yaitu : pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran
komunikasi, dan acuan hal yang dibicarakan.
4. Semiotika mempunyai 3 (tiga) bidang yaitu :
a. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas aturan tentang berbagai tanda
yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan
makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang
menggunakannya.
b. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup
cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu
masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi selama
komunikasi yang tersedia mentransmisinya.
c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk
32
2.1.6.3 Makna Semiotik
Manusia mampu memberikan makna dan menginternalisasikan makna
terhadap suatu objek, tempat, maupun suasana dari orang-orang yang berada di
dalam lingkungan simbolik kita. Sebagai contoh, orang-orang yang berada di
ruang lingkup disiplin ilmu pertekstilan maupun industri tekstil akan menangkap
makna gambar cones (gulungan benang berbentuk kerucut) sebagai simbol
pemintalan, sedangkan gambar teropong untuk menyilangkan benang sebagai
simbol penemuan.
Sebuah makna berasal dari petanda-petanda yang dibuat manusia, ditentukan
oleh kultur atau subkultur yang dimilikinya yang merupakan konsep mental yang
digunakan dalam membagi realitas dan mengkategorikannya sehingga manusia
dapat memahami realitas tersebut.
2.1.7 Semiotika Komunikasi Visual
Definisi semiotika komunikasi visual dalam buku Sumbo Tinarbuko yang
berjudul Semiotika Komunikasi Visual adalah : “Sebuah upaya memberikan
sebuah interpretasi terhadap keilmuan semiotika itu sendiri, yaitu sebagai sebuah
metode pembacaan karya komunikasi visual.” (Tinarbuko, 2008:1)
Sebagai sebuah upaya interpretasi, Sumbo menawarkan sebuah kebenaran
tentang semiotika komunikasi visual, di samping kebenaran-kebenaran lain yang
di tawarkan oleh penulis lain, dengan argumen, nalar dan sistematika yang
Dilihat dari sudut pandang semiotika, komunikasi visual adalah sebuah
sistem semiotika khusus, dengan pembendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks
(syntagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem semiotika seni. Di dalam
semiotika komunikasi visual melekat fungsi komunikasi, yaitu fungsi tanda dalam
menyampaikan pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan
aturan atau kode-kode tertentu. Fungsi komunikasi mengharuskan ada relasi (satu
atau dua arah) antara pengirim dan penerima pesan, yang dimediasi oleh media
tertentu.
Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi komunikasi, tetapi bentuk
komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification), yaitu fungsi
dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna. Ini berbeda dengan bidang
lain, seperti seni rupa (khususnya seni rupa modern) yang tidak mempunyai
fungsi khusus komunikasi seperti itu, akan tetapi ia memiliki fungsi signifikasi.
Fungsi signifikasi adalah fungsi dimana penanda (signifier) yang bersifat kongkret
dimuati dengan konsep-konsep abstrak atau makna yang secara umum disebut
petanda (signified). Dapat dikatakan disini, bahwa meskipun semua muatan
komunikasi dari bentuk-bentuk komunikasi visual ditiadakan, ia sebenarnya
masih mempunyai muatan signifikasi, yaitu muatan makna.
Semiotika komunikasi mengkaji tanda dalam konteks komunikasi yang lebih
luas, yang melibatkan bebagai elemen komunikasi, seperti saluran (channel),
sinyal (signal), media, pesan, kode (bahkan juga noise). Semiotika komunikasi
menekankan aspek produksi tanda (sign production) di dalam berbagai rantai
34
semiotika komunikasi, tanda di tempatkan dalam rantai komunikasi, sehingga
mempunyai peran yang penting dalam penyampaian pesan.
2.1.8 Kaitan Semiotika dan Ilmu Humas
Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama lain. Tidak bisa
dibayangkan bahwa suatu ketika ‘pengetahuan’ tidak lagi bergantung pada
‘kekuasaan’ sebagaimana mustahil ‘pengetahuan’ tidak mengandung ‘kekuasaan’.
(Michel Foucault)
Itu adalah kutipan dari buku Foucault yang berjudul Archaeology of
Knowledge (1969). Dalam pencariannya, Foucault menemukan bahwa
pengetahuan dan kekuasaan memegang peranan penting dalam pembentukan
pengetahuan manusia, dan diskursus mempunyai peranan penting dalam
pembentukan pengetahuan manusia.
Foucault berpendapat bahwa diskursus berarti apa yang ditulis dan
dikomunikasikan sebagai tanda. Sedangkan writing (menulis) merupakan sebuah
wilayah pengetahuan yang sifatnya teknis. Sehingga saat mendefinisikan kata
normal, Foucault mengeluarkan argumen bahwa diskursus tentang kegilaan yang
dihasilkan oleh para psikiater, psikolog, dan ahli-ahli lainnya-lah yang pada
akhirnya mendefinisikan apa yang disebut normal tadi. Kesimpulannya, diskursus
sama dengan pengetahuan, dan pengetahuan sama dengan kekuasaan. Ini
semata-mata tentang diskursus, dan betapa hebatnya diskursus dalam menciptakan sebuah
definisi, mengkonstruksi wacana, dan kemampuannya dalam merekayasa sebuah
citra.
lembaga/organisasi/perusahaan. Bahwa Humas adalah sebuah wajah dari
lembaga/organisasi/perusahaan.
Seorang Public Relation (PR/Humas) pasti akan bekerja keras demi
mengkonstruksi citra dari lembaga/organisasi/perusahaan tempat ia bernaung.
Berbagai cara dilakukan. Mulai dari melebarkan sayap-sayap jaringan,
membangun dan mempertahankan komunikasi dan hubungan baik dengan relasi
(baik lembaga/organisasi/perusahaan lain maupun media massa), sampai
memasarkan ‘produk’ yang bisa dijual dari lembaga/organisasi/perusahaannya.
Ketika upaya-upaya tersebut sudah dilancarkan, seorang Humas yang baik
seharusnya mampu melakukan proses evaluasi terhadap kerja pencitraannya.
Banyak cara bisa dilakukan. Bisa dengan metode polling dengan menyebarkan
angket kepada masyarakat, ataupun dengan melakukan analisa media massa.
Untuk melihat image dari lembaga/organisasi/perusahaan yang bersangkutan.
Lalu diharapkan dari hasil evaluasi tersebut dapat dilihat sejauh mana penerimaan
masyarakat terhadap lembaga/organisasi/perusahaan tersebut. Kemudian Humas
juga diharapkan mampu mengolah hasil evaluasi tersebut dan menciptakan
upaya-upaya baru untuk mencitrakan lembaga/organisasi/perusahaannya, dan mungkin
sedikit mendongkrak popularitasnya.
Semiotika sosial dapat digunakan untuk membantu Humas menganalisa
pemberitaan media. Semiotika itu ilmu membanca tanda dan bagaimana memberi
makna dari tanda. Dalam proses lahirnya ‘Semiotika Barat’, ilmu tentang tanda ini
menurut Todorov, dibangun dari empat tradisi disiplin ilmu, yakni semantik
36
sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak jaman Plato. Aristoteles, dan juga pada
ahli-ahli skolastik abad petengahan.
Semiotika termasuk ke dalam pemikiran posstrukturalis. Pemikiran
posstrukturalis memang tidak terlepas dari andil pemikiran filosof terdahulu
seperti eksistensialisme Nietzsche, terutama dengan penolakannya pada ‘ilusi’
kebenaran dan konsep makna yang statis, keyakinannya pada kehendak untuk
berkuasa, dukungannya pada gaya hidup Dionysian, dan pemusuhannya dengan
egaliterianisme. Hal yang paling terkesan dari aktivitas pembacaan tentang
pemikiran posstrukturalis dan postmodern, bahwa wacana marxisme dan
psikoanalisa benar-benar menunjukkan pengaruh akan progresivitas dari
pemikiran postmodern dan posstrukturalis yang ada terutama telaah tentang
kebudayaan pascamodern.
Ciri-ciri pemikiran posstrukturalis :
Pertama, melontarkan kritik. Kritik pertama adalah tentang ‘subjek manusia’.
‘Subjek’ di sini dibedakan dengan pemahaman zaman Renaisans yang bermaksud
‘individu’, dan mengandaikan manusia sebagai agen intelektual yang bebas, dan
proses berpikir tidak dipengaruhi kondisi sejarah atau pun budaya. Ini
memperlihatkan perbedaannya dengan pemikiran Cartesian tentang “Aku berpikir,
maka aku ada”. “Aku” pada Descartes melihat diri merupakan entitas yang
sepenuhnya sadar, dan oleh karena itu, dapat memahami dirinya sendiri. Para
pemikir posstrukturalis berusaha menghancurkan ‘subjek’ tadi.
Kedua, posstrukturalis mengkritisi historisme, yang antipati terhadap
pandangan Michel Foucault bahwa sejarah tanpa konsep kemajuan (progress), dan
Jacques Derrida yang mengatakan bahwa sejarah tidak memiliki titik akhir.
Ketiga, adanya kritik makna. Seperti konsep makna dalam linguistik Saussure
bahwa hal itu dapat dipahami karena adanya posisi diferensial dalam struktur
bahasa, dan sifat bahasa yang arbitrer, yang berarti tanda memperentasikan
sesuatu berdasarkan kesepakatan dan kebiasaan penggunaan, bukan berdasarkan
keharusan. Dalam konsep Saussure, keseimbangan antara penanda dan petanda
senantiasa berada pada posisi genting. Ini berbeda dari konsep posstrukturalis.
Secara umum, petanda direndahkan dan penanda diposisikan dominan. Ini berarti
tidak ada hubungan satu-satu antara proposisi dan realitas. Ini seperti konsep
Jacques Lacan tentang “selalu terpelesetnya petanda di bahwa penanda”.
Keempat, posstrukturalisme menekankan interaksi pembaca dan teks sebagai
produktivitas. Dengan kata lain aktivitas membaca kehilangan status sebagai
tindakan konsumsi suatu produk secara pasif dan diubah menjadi tindakan aktif.
Ketika Humas menyentuh ruang semiotika adalah saat Humas mencoba
melakukan terobosan-terobosan sebagai salah satu upaya untuk mencitrakan
lembaga/organisasi/perusahaannya. Bahwa pada akhirnya, hasil analisa media
dengan metode semiotika dapat membantu para Humas membaca citra dari
lembaga/organisasi/perusahaan yang bersangkutan.
2.1.9 Gagasan Charles Sander Peirce
Menurut Aart van Zoest (Alex Sobur.2009:39-40). Charles Sander Peirce
38
“Peirce adalah seorang pemikir yang argumentatif”, begitu komentar Paul Cobley
dan Litza Jansz. Namun ironisnya, ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat,
teman-temannya membiarkan dia hidup dengan kesusahan sampai meninggalnya,
tahun 1914. Ia diperbolehkan menjadi lektor di suatu universitas hanya lima
tahun. Setelah itu Peirce diberhentikan. Barangkali karena Peirce, seperti
dituturkan Cobley dan Jansz (1999:18), tidak dapat menjadi contoh dari gaya
hidup akademik yang santun, lingkungan tempat dia secara bertahap
mengonstruksi “semiotika”nya. “Sifat pemarah dan sulit diatur itu diduga karena
penyakit sarapnya yang sering kambuh dan kerusakan kulit di sekitar wajah yang
agak parah”, tulis Cobley dan Jansz. Konon, Peirce sangat temperamental.
Peirce dalam pandangan Roy J. Howard (2000:154), sangat berjasa karena
telah mengidentifikasi, dari logika ilmu ke dalam kepentingan intelektual, yaitu
tindakan komunikatif dan telah menunjukkan bagaimana ia menggarisbawahi
kepentingan teknis ilmu. Walaupun Peirce menerbitkan lebih dari 10.000 halaman
cetak, namun ia tidak pernah menerbitkan buku yang berisikan telaah mengenai
masalah yang menjadi bidangnya. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan karyanya
tentang tanda, pemikiran Peirce harus dianggap selalu berada dalam proses dan
terus mengalami modifikasi dan penajaman lebih lanjut.
Di dalam lingkup semiotika, Peirce, sebagaimana dipaparkan Lechte
(2001:227), seringkali mengulang-ngulang bahwa secara umum tanda adalah yang
2.2 Kerangka Pemikiran
2.2.1 Kerangka Teoritis
Logo merupakan elemen yang sangat penting untuk sebuah organisasi,
lembaga, atau badan-badan lainnya. Didalam logo pun terdapat arti dan tujuan
dari yang memakainya, baik dari warnanya, gambarnya, tulisannya maupun
pembuatannya..
Logo atau lambang Majelis Adat Budaya Melayu ini dibentuk atas dasar
kecintaan terhadap suku melayu serta untuk melestarikan kebudayaannya. Selain
itu, didasarkan ketakutan akan pudarnya adat budaya di generasi yang akan datang
apabila tidak ada suatu wadah organsasi yang mampu menjaga adat istiadat
Melayu. Berangkat dari hal-hal tersebut diatas, terbentuklah Majelis Adat Budaya
Melayu Kalimantan Barat (MABM-KB) yang diharapkan mampu untuk
meneruskan adat istiadat dari generasi ke generasi sekaligus menunjukan
eksistensi akan budaya Melayu di Indonesia.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori segitiga makna
(triangle meaning) Charles Sander Peirce yang terdiri atas sign (tanda), object
(objek), dan interpretant (interpretan) sebagai acuan. Menurut Peirce salah satu
bentuk adalah kata. Sedangkan objek adalah tanda yang ada dalam benak
sesorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda
tersebut. (Sobur, 2002:115). Peirce juga mengatakan bahwa tanda itu sendiri
merupakan contoh dari kepertamaan, objeknya adalah kedua, dan penafsiran
40
Ketigaan yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga membangkitkan
semiotika yang tidak terbatas, selama satu penafsiran (gagasan) yang membaca
tanda sebagai tanda bagi lain (yaitu dari suatu makna penanda bisa ditangkap oleh
penafsiran lainnya. Penafsiran ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan
tanda dengan objeknya (induksi, deduksi, penangkap) membentuk tiga jenis
penafsiran yang penting.
Agar bisa ada sebagai suatu tanda, makna tersebut harus ditafsirkan yang
dikupas teori segitiga makna adalah persoalan bagaimana makna muncul dari
sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi.
Hubungan segitiga makna Peirce lazimnya ditampilkan seperti gambar berikut :
Gambar 2.1
Segitiga Semiotik C.S.Peirce
Sign
Interpretant
Object
Sumber : (Sumbo Tinarbuko, 2008, dalam buku semiotika komunikasi visual)
Menurut Peirce tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain
dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu kepada suatu yang lain,
baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui
interpretant, jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri
penerima tanda, artinya tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat
ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground yaitu pengetahuan tentang sistem
tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan oleh
Peirce terkenal dengan nama segitiga semiotik.
Untuk menjabarkan konsep relasi makna (tanda, objek, dan interpretan) C.S
Peirce memberikan pembagian tanda dalam tiga bagian yaitu : ikon, indeks,
simbol.
Ikon, adalah tanda yang dicirikan oleh persamaannya (resembles) dengan
objek yang digambarkan. Tanda visual seperti adalah ikon, karena tanda yang
ditampilkan mengacu pada persamaannya dengan objek.
Indeks, adalah hubungan langsung antara sebuah tanda dan objek yang
kedua-duanya dihubungkan. Indeks, merupakan tanda yang hubungan
eksistensialnya langsung dengan objeknya. Sebuah indeks dapat dikenali bukan
hanya dengan melihat seperti halnya dalam ikon, tetapi juga perlu dipikirkan
hubungan antara dua objek tersebut.
Simbol, adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan
konvensi, kesepakatan, atau aturan. Makna dari suatu simbol ditentukan oleh
suatu persetujuan bersama, atau diterima oleh umum sebagai suatu kebenaran
42
Bagi Peirce tanda merupakan sesuatu yang digunakan agar tanda bisa
berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda selalu terdapat
dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar
hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda menjadi qualisign, sinsign,
dan legisign.
1. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda.
2. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada
tanda.
3. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda.
Sedangkan berdasarkan interpretant, tanda dibagi atas tiga bagian yaitu,
rheme, dicent sign atau decisign, dan argument.
1. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan
berdasarkan pilihan.
2. Decisign adalah tanda sesuai kenyataan.
3. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang
sesuatu.
Ikon, indeks, dan simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar
2.2.2 Kerangka Konseptual
Dapat dibuat bagan pemikiran guna mempermudah pemahaman kerangka
pemikiran dalam penelitian ini, sebagai berikut :
Gambar 2.2
Bagan Alur Pemikiran
Sumber : Peneliti 2013
Semiotik Charles Sander Pierce
Klasifikasi Tanda :
• Qualisign
• Sinsign
• Legisign
Interpretant Tanda :
• Rheme
• Decisign
• Argument
44
Dari semiotika Charles Sander Peirce, terdapat klasifikasi tanda dan
interpretant tanda.
Klasifikasi tanda terdiri dari :
1. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda.
2. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada
tanda.
3. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda.
Interpretant tanda terdiri dari :
1. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan
berdasarkan pilihan.
2. Decisign adalah tanda sesuai kenyataan.
3. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang