• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi Daun Sintrong (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi Daun Sintrong (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Lampiran 2. Gambar tumbuhan sintrong dan daun sintrong segar

Keterangan : 1. Permukaan daun bagian atas 2. Permukaan daun bagian bawah Tumbuhan sintrong

Daun sintrong segar

1 2

(3)

Lampiran 3. Gambar simplisia dan serbuk simplisia daun sintrong

Keterangan :1. Permukaan simplisia atas 2. Permukaan simplisia bawah Simplisia

cm cm

(4)

Lampiran 4. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun sintrong (perbesaran 10 x 40)

Keterangan : 1. Rambut penutup (multiseluler), 2. Stomata (tipe anomositik), 3. Berkas pembuluh bentuk spiral (xylem)

1

2

(5)

Lampiran 5. Perhitungan pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia daun sintrong

1. Perhitungan kadar air serbuk simplisia daun sintrong

No. Berat sampel (g) Volume awal (ml) Volume akhir (ml)

1. 5,0121 1,70 1,85

2. 5,0920 1,85 2,00

3. 5,0780 2,00 2,15

1. Kadar air = –

= 2,99%

2. Kadar air = –

= 2,96%

3. Kadar air = –

= 2,95%

% Rata-rata kadar air = = 2,97%

2. Perhitungan kadar sari larut dalam air

No. Berat sampel (g) Berat sari (g)

1. 5,0500 0,3615

2. 5,0040 0,2680

3. 5,0630 0,2655

1. Kadar sari larut dalam air =

= 35,84% 2. Kadar sari larut dalam air =

= 26,78% 3. Kadar sari larut dalam air =

(6)

Lampiran 5. (Lanjutan)

3. Perhitungan kadar sari simplisia larut dalam etanol

No. Berat sampel (g) Berat sari (g)

1. 5,0500 0,2525

2. 5,0040 0,2280

3. 5,0630 0,2590

1. Kadar sari larut dalam etanol =

= 25,27% 2. Kadar sari larut dalam etanol =

= 22,39% 3. Kadar sari larut dalam etanol =

= 25,58% % Rata-rata kadar sari larut etanol = = 24,41%

4. Perhitungan kadar abu total simplisia

No. Berat sampel (g) Berat abu (g)

1. 2,0700 0,3400

2. 2,0600 0,3500

3. 2,1000 0,3500

1. Kadar abu total =

= 16,43% 2. Kadar abu total =

= 16,99% 3. Kadar abu total =

= 16,67%
(7)

Lampiran 5. (Lanjutan)

5. Perhitungan kadar abu simplisia tidak larut dalam asam

No. Berat sampel (g) Berat abu (g)

1. 2,0700 0,0500

2. 2,0600 0,0700

3. 2,1000 0,0400

1. Kadar abu tidak larut dalam asam =

= 2,42% 2. Kadar abu tidak larut dalam asam =

= 3,40% 3. Kadar abu tidak larut dalam asam =
(8)

Lampiran 6. Bagan kerja penelitian

1. Bagan pembuatan serbuk simplisia, karakterisasi simplisia dan skrining fitokimia

Dibersihkan dari pengotor Dicuci dengan air mengalir Ditiriskan dan ditimbang Dikeringkan

Diserbukkan Daun Sintrong

Simplisia

Serbuk Simplisia

Karakterisasi Simplisia Skrining

Fitokimia

- Pemeriksaan mikroskopik - Pemeriksaan makroskopik - Penetapan kadar air - Penetapan kadar sari larut

dalam etanol

- Penetapan kadar sari larut dalam air

- Penetapan kadar abu total

-Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam - Alkaloida

- Flavonoida - Saponin - Tanin - Glikosida

(9)

Lampiran 6. (Lanjutan)

2. Pembuatan ekstrak etanol daun sintrong (Crassocephalum crepidioides

(Benth.) S. Moore)

350 g Serbuk simplisia Daun Sintrong

Maserat

Dipekatkan dengan rotary evaporator Ekstrak etanol

kental (50,766 g)

Dimaserasi dengan 75 bagian etanol 96% Dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sesekali diaduk Disaring

Ampas

Ditambahkan etanol 96% hingga diperoleh 100 bagian Dibiarkan selama 2 hari terlindung dari cahaya Dienaptuangkan dan disaring

Maserat Ampas

(10)

Lampiran 6. (Lanjutan)

3. Bagan pembuatan fraksi n-heksana, etilasetat dan air daun sintrong (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore)

Ekstrak etanol daun sintrong (25 g)

Fraksi n-heksana Fraksi air

Fraksi etilasetat Fraksi air

Fraksi etilasetat kental (4,249 g)

Fraksi air kental (14,215 g) Fraksi n-heksana

kental (2,892 g)

dikocok dan didiamkan sampai terbentuk dua lapisan dan dipisahkan

dikumpulkan diuapkan

dikumpulkan diuapkan dikumpulkan

diuapkan

diekstraksi dengan 250 ml etilasetat ditambahkan 50 ml etanol dan 12,5 ml air suling

dihomogenkan

dimasukkan dalam corong pisah diekstraksi dengan 250 ml n-heksana

(11)

Lampiran 6. (Lanjutan)

4. Bagan uji aktivitas antibakteri dari larutan uji Stok kultur

diambil 1 ose

disuspensikan ke dalam 10 ml media nutrient broth

diukur kekeruhan pada panjang gelombang 580 nm sampai diperoleh tansmitan 25%

dimasukkan 0,1ml inokulum kedalam cawan petri

ditambahkan 20 ml media media nutrient agar kedalam cawan petri

dihomogenkan dan dibiarkan memadat Inokulum bakteri

ditanamkan kertas cakram yang telah direndam terlebih dahulu dalam larutan uji dan blanko

diinkubasi pada suhu 352⁰C selama 18-24 jam jam

Media padat

diukur diameter daerah hambat disekitar kertas cakram

Hasil inkubasi

(12)

Lampiran 7. Hasil pengukuran daerah hambat pertumbuhan bakteri ekstrak etanol daun sintrong terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

Konsentrasi (mg/ml)

Diameter daerah hambatan (mm)

Escherichia coli Staphylococcus aureus

D1 D2 D3 D* D1 D2 D3 D*

500 22,4

0 22,05 22,15 22,20 23,55 23,10 23,15 23,26

400 20,1

0 20,75 20,30 20,38 22,45 22,05 22,75 22,41

300 19,5

0 19,15 19,10 19,25 20,75 20,40 20,25 20,46

200 18,0

5 18,15 17,75 17,98 17,70 17,15 17,35 17,40

100 16,7

5 16,50 16,20 16,48 16,60 16,25 16,05 16,30

75 14,2

5 14,50 14,05 14,26 14,25 14,70 14,15 14,36

50 12,4

5 12,50 12,05 12,33 13,10 13,20 12,75 13,02 25 7,50 8,45 8,20 8,05 9,15 9,15 9,25 9,18

12,5 - - - -

6,25 - - - -

Blanko - - - -

Keterangan :

D = Diameter daerah hambatan 1, 2, 3 = Perlakuan

(*) = Hasil rata-rata tiga kali pengukuran (-) = Tidak ada hambatan

Blanko = DMSO (dimetilsulfoksida)

(13)

Lampiran 8. Hasil pengukuran daerah hambat pertumbuhan bakteri fraksi n-heksana daun sintrong terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

Konsentrasi (mg/ml)

Diameter daerah hambatan (mm)

Escherichia coli Staphylococcus aureus

D1 D2 D3 D* D1 D2 D3 D*

500 9,10 9,25 9,05 9,13 10,50 10,75 10,40 10,40 400 8,35 8,75 8,20 8,43 9,10 9,10 9,15 9,12 300 8,10 8,05 8,20 8,12 8,20 8,25 8,45 8,30 200 7,45 7,15 7,20 7,27 7,75 7,60 7,45 7,60 100 6,50 6,50 6,75 6,58 7,05 7,10 7,05 7,07

75 - - - -

50 - - - -

25 - - - -

12,5 - - - -

6,25 - - - -

Blanko - - - -

Keterangan :

D = Diameter daerah hambatan 1, 2, 3 = Perlakuan

(*) = Hasil rata-rata tiga kali pengukuran (-) = Tidak ada hambatan

(14)

Lampiran 9. Hasil pengukuran daerah hambat pertumbuhan bakteri fraksi etilasetat daun sintrong terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

Konsentrasi (mg/ml)

Diameter daerah hambatan (mm)

Escherichia coli Staphylococcus aureus

D1 D2 D3 D* D1 D2 D3 D*

500 24,25 24,60 24,45 24,43 25,50 25,50 25,15 25,38 400 22,75 23,25 23,15 23,05 24,40 24,10 24,45 24,32 300 21,50 21,75 21,20 21,48 21,25 21,25 21,05 21,18 200 20,25 20,05 20,30 20,20 20,25 20,50 20,10 20,28 100 18,15 18,25 18,60 18,33 19,15 19,25 18,75 19,05 75 16,75 17,25 17,10 17,03 18,15 18,45 18,10 18,23 50 15,75 16,60 16,75 16,37 17,25 17,05 17,10 17,13 25 12,50 12,50 13,10 12,70 14,50 14,25 14,50 14,38 12,5 11,05 11,75 10,50 11,10 10,05 10,60 10,25 10,30 6,25 9,50 9,40 9,50 9,47 9,25 9,75 9,40 9,47

Blanko - - - -

Keterangan :

D = Diameter daerah hambatan 1, 2, 3 = Perlakuan

(*) = Hasil rata-rata tiga kali pengukuran (-) = Tidak ada hambatan

(15)

Lampiran 10. Hasil pengukuran daerah hambat pertumbuhan bakteri fraksi air daun sintrong terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

Konsentrasi (mg/ml)

Diameter daerah hambatan (mm)

Escherichia coli Staphylococcus aureus

D1 D2 D3 D* D1 D2 D3 D*

500 12,25 12,10 11,75 12,03 13,75 13,50 13,45 13,57 400 11,15 11,05 11,25 11,15 12,15 12,20 12,15 12,17 300 10,35 10,15 10,20 10,23 10,35 10,45 10,05 10,28 200 9,40 9,25 9,10 9,25 9,25 9,05 9,15 9,15 100 8,05 8,30 8,15 8,17 8,45 8,20 8,05 8,23

75 - - - -

50 - - - -

25 - - - -

12,5 - - - -

6,25 - - - -

Blanko - - - -

Keterangan :

D = Diameter daerah hambatan 1, 2, 3 = Perlakuan

(*) = Hasil rata-rata tiga kali pengukuran (-) = Tidak ada hambatan

(16)

Lampiran 11. Gambar uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun sintrong terhadap bakteri Escherichia coli

Keterangan :

A = Konsentrasi 500, 400, 300 mg/ml B = Konsentrasi 200, 100, 75 mg/ml C = Konsentrasi 50, 25 mg/ml dan blanko

300

500 400 200 100

75

50 25

blanko

A B

(17)

Lampiran 12. Gambar uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun sintrong terhadap bakteri Staphylococcus aureus

Keterangan :

A = Konsentrasi 500, 400, 300 mg/ml B = Konsentrasi 200, 100, 75 mg/ml C = Konsentrasi 50, 25 mg/ml dan blanko

500 400

300

200 100

75

50 25

blanko

A B

(18)

Lampiran 13. Gambar uji aktivitas antibakteri fraksi n-heksana daun sintrong terhadap bakteri Escherichia coli

Keterangan :

A = Konsentrasi 500, 400, 300 mg/ml B = Konsentrasi 200, 100 mg/ml dan blanko

500 400

300

200 100

blanko

(19)

Lampiran 14. Gambar uji aktivitas antibakteri fraksi n-heksana daun sintrong terhadap bakteri Staphylococcus aureus

Keterangan :

A = Konsentrasi 500, 400, 300 mg/ml B = Konsentrasi 200, 100 mg/ml dan blanko

500 400

300

200 100

blanko

(20)

Lampiran 15. Gambar uji aktivitas antibakteri fraksi etilasetat daun sintrong terhadap bakteri Escherichia coli

Keterangan :

A = Konsentrasi 500, 400, 300 mg/ml B = Konsentrasi 200, 100, 75 mg/ml C = Konsentrasi 50, 25, 12,5 mg/ml D = Konsentrasi 6,25 mg/ml dan blanko

500 400

300

200 100

75

50 25

12,5

6,25 blanko

A B

(21)

Lampiran 16. Gambar uji aktivitas antibakteri fraksi etilasetat daun sintrong terhadap bakteri Staphylococcus aureus

Keterangan :

A = Konsentrasi 500, 400, 300 mg/ml B = Konsentrasi 200, 100, 75 mg/ml C = Konsentrasi 50, 25, 12,5 mg/ml D = Konsentrasi 6,25 mg/ml dan blanko

500 400

300

200 100

75

50 25

12,5

6,25 blanko

A B

(22)

Lampiran 17. Gambar uji aktivitas antibakteri fraksi air daun sintrong terhadap bakteri Escherichia coli

Keterangan :

A = Konsentrasi 500, 400, 300 mg/ml B = Konsentrasi 200, 100 mg/ml dan blanko

500 400

300

200

blanko 100

(23)

Lampiran 18. Gambar uji aktivitas antibakteri fraksi air daun sintrong terhadap bakteri Staphylococcus aureus

Keterangan :

A = Konsentrasi 500, 400, 300 mg/ml B = Konsentrasi 200, 100 mg/ml dan blanko

500 400

300

200 100

blanko

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Adams, M.R dan Moss, M.O. (1995). Food Microbiology. Cambridge: The Royal Society of Chemistry. Halaman 181-182, 203-205.

Adjatin, A., Dansi, A., Badoussi, E., Loko, Y.L., Dansi, M., Gbaguidi, F., Azokpota, P., Ahissou, H., Akoègninou, A., Akpagana, K., and Sanni A. (2013). Phytochemical screening and toxicity studies of Crassocephalum rubens (Juss. ex Jacq.) S. Moore and Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore consumed as vegetable in Benin. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research, 2013, 5(6):160-167

Azmi, N. (2013). Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Serta Fraksi-Fraksi Bunga Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Skripsi. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Basset, J., Denney, R. C., Jeffrey, G. H., dan Mendham, J. (1994). Buku Ajar Vogel : Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Edisi 4. Jakarta : EGC. Halaman 165.

Depkes RI. (1979). Materia Medika Indonesia. Jilid III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 155-171.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 299-305, 334-335.

Depkes RI. (1997). Inventaris Tanaman Obat Indonesia IV. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. Halaman 87. Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan

Pertama. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. Halaman 1, 10-11.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 33, 744, 748.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 891-899.

Djauhari, E., Hernani (2004). Gulma Berkhasiat Obat. Cetakan I. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 1-3.

Dwidjoseputro, D. (1978). Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan. Halaman 17, 105-107.

(25)

Grubben, G. J. H and Denton, O. A. (2004). Plant Resources of Tropical Africa 2. Vegetables. Netherlands : Backhuys Publishers. Halaman 226.

Harbone, J.B. (1987). Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan, terjemahan K.Padmawinata. Edisi II. Bandung : ITB Press. Halaman 147-148.

Hayet, E., Maha, M., Samia, A., Mata, M., Gros, P., Raida, H., Ali, M.M., Mohamed, A.S., Gutmann, L., Mighri, Z., dan Mahjoub, A. (2008).

Antimicrobial, Antioxidant, and Antiviral activities of Retama

roetam(Forssk.) Webb Flowers Frowing in Tunisia. World J Micrcobiol Biotechnol. 24: 2933-2940.

Hidayat, R.S dan Napitupulu, R.M. (2015). Kitab Tumbuhan Obat. Cetakan I. Jakarta : Agriflo. Halaman 363.

Irianto, K. (2006). Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Jilid I. Bandung: Yrama Widya. Halaman 56-58, 147-148.

Jawetz, E., J.L. Melnick dan E.A. Adelberg. (2001). Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika. Halaman 235, 318-319, 357.

Kusdianti., Nilawati, T. S., Sheba, L. (2008). Tumbuhan Obat di Legok Jero Situ Lembang. Makalah seminar penggalang taksonomi tumbuhan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Lay, B.W dan Sugiyo Hastowo. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Halaman 34, 57-58.

Ngajow, M., Abidjulu, J dan Kamu, V. S. (2013). Pengaruh Antibakteri Ekstrak Kulit Batang Matoa (Pometia pinnata) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus secara In vitro. Jurnal MIPA UNSRAT ONLINE 2 (2) 128-132.

Oxoid. (1982). The Oxoid Manual of Culture Media, Ingredients and Other Laboratory Services. Fifth Edition. Hampshire: Oxoid Limited. Halaman 223-224.

Pelczar, M.J., dan Chan, E.C.S. (1988). Elements of Microbiology. New York: McGraw-Hill Companies Inc. Terjemahan: Ratna Siri Hadioetomo, Teja Imas, Sutarmi Tjitrosomo dan Sri Lestari Angka. (1988). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit UI-Press. Halaman 96, 145.

Pratiwi, S.T. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Yogyakarta: Penerbit Erlangga. Halaman 22, 106-108, 190.

(26)

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Halaman 46-47.

Supardi, I dan Sukamto. (1999). Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung : Penerbit Alumni. Halaman. 138-141, 182-184.

Tim Mikrobiologi FK Universitas Brawijaya. (2003). Bakteriologi Medik. Cetakan I. Malang: Bayumedia Publishing. Halaman 126.

Volk, W.A. dan Wheeler, M.F. (1988). Mikrobiologi Dasar. Jilid I. Alih Bahasa: Markam. Jakarta: Erlangga. Halaman 42-43.

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan penelitian yaitu pengambilan bahan tumbuhan, identifikasi tumbuhan, pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak dan fraksi. Pengujian aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar menggunakan kertas cakram (Uji Kirby-Bauer). Parameter yang diamati yaitu besarnya diameter daya hambat pertumbuhan bakteri.

3.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, aluminium foil, autoklaf (Fisons), benang, blender (Panasonic), bola karet, deck glass, desikator, hair dryer (Panasonic), hot plate (Fisons), inkubator (Fiber Scientific), jangka sorong, jarum ose, kamera digital (Canon), kapas (Swallow), kasa (Swallow), kertas perkamen, kertas saring, krus porselin, laminar air flow cabinet (Astec HLF 1200L), lampu spiritus, lemari pendingin (Glacio), mikroskop (Olympus), neraca listrik (Mettler Tolledo), objek glass, oven (Memmert), penangas air (Yenaco), pinset, pipet mikro (Eppendorf), rotary evaporator (Haake D), spektrofotometer visible (Dinamica), seperangkat alat penetapan kadar air, statif dan klem, tanur (Nabertherm).

3.2 Bahan

(28)

ATCC 25922, nutrien agar (NA), nutrien broth (NB), dan simplisia daun sintrong. Bahan kimia yang digunakan berkualitas pro analisis, kecuali dinyatakan lain, yaitu alfa naftol, alkohol 70%, amil alkohol, asam klorida pekat, asam asetat anhidrida, asam nitrat, asam sulfat pekat, besi (III) klorida, benzen, bismuth (III) nitrat, dimetilsulfoksida (DMSO), etanol 96%, etilasetat, iodium, isopropanol, kalium iodida, kloralhidrat, kloroform, metanol, n-heksana, natrium hidroksida, natrium klorida, natrium sulfat anhidrida, raksa (II) klorida, serbuk magnesium, serbuk zinkum, timbal (II) asetat dan toluena.

3.3 Penyiapan Bahan Tumbuhan

Penyiapan bahan tumbuhan meliputi pengambilan bahan tumbuhan, identifikasi tumbuhan dan pembuatan simplisia daun sintrong (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore).

3.3.1 Pengambilan bahan tumbuhan

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah daun sintrong dewasa yang berwarna hijau dan masih segar, yang diperoleh di Desa Bahgunung, Kecamatan Bandar Huluan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.

3.3.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-(LIPI), Bogor.

3.3.3 Pembuatan simplisia

(29)

air sampai bersih dan ditiriskan. Bahan tumbuhan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan terlebih dahulu, kemudian dikeringkan didalam lemari pengering sampai simplisia rapuh ketika diremas. Simplisia diblender sampai menjadi serbuk dan disimpan dalam wadah plastik yang tertutup rapat.

3.4 Pembuatan Pereaksi 3.4.1 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida P dilarutkan dalam air suling secukupnya kemudian ditambahkan 2 g iodida sedikit demi sedikit, cukupkan dengan air suling air suling sampai 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.4.2 Pereaksi Dragendorff

Larutan bismut (III) nitrat P 40% b/v dalam asam nitrat P sebanyak 20 ml kemudian dicampurkan dengan 50 ml larutan kalium iodida, didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan dengan air suling secukupnya hingga 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.4.3 Pereaksi Mayer

Larutan raksa (II) klorida P 2,266% b/v sebanyak 60 ml dicampur dengan 10 ml larutan kalium iodida P 50% b/v. Kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.4.4 Pereaksi besi (III) klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling sampai 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.5 Perekasi Molisch

(30)

3.4.6 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Timbal (II) asetat sebanyak 15,17 g dilarutkan dalam air suling bebas CO2

hingga 100 ml (Depkes RI, 1995). 3.4.7 Pereaksi asam klorida 2 N

Asam klorida pekat sebanyak 16,6 ml ditambahkan air suling sampai 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.8 Pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8,002 g pellet natrium hidroksida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.9 Pereaksi asam sulfat 2 N

Larutan asam sulfat pekat sebanyak 9,8 ml ditambahkan air suling sampai 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.4.10 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 5 bagian volume asam sulfat pekat dicampurkan dengan 50 bagian volume etanol 95%, kemudian ditambahkan dengan hati-hati 5 bagian volume asam asetat anhidrida ke dalam campuran tersebut dan didinginkan (Depkes RI, 1995).

3.4.11 Larutan kloralhidrat

Sebanyak 50 g kloralhidrat ditimbang lalu dilarutkan dalam 20 ml air suling (Depkes RI, 1995).

3.5 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia

(31)

kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam.

3.5.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemerikasaan makroskopik dilakukan terhadap simplisia daun sintrong dengan mengamati bentuk, bau, rasa dan warna.

3.5.2 Pemerikasaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia daun sintrong. Serbuk simplisia ditaburkan diatas objek glass yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati di bawah mikroskop.

3.5.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung dan tabung penerima. Cara penetapannya, yaitu:

(32)

toluen memisah sempurna. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1998).

3.5.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling 1000 ml) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Diuapkan 20 ml filtrat sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 1050C sampai bobot tetap. Kadar dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Depkes RI, 1979).

3.5.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam etanol 96% dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Diuapkan 20 ml filtrat sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 1050C sampai bobot tetap. Kadar sari larut dalam etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1979).

3.5.6 Penetapan kadar abu total

(33)

bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Depkes RI, 1995).

3.5.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu total dididihkan dengan 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring dengan kertas saring, dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bobot yang dikeringkan (Depkes RI, 1979).

3.6 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia simplisia meliputi pemeriksaan senyawa golongan alkaloida, glikosida, steroid/triterpenoida, flavonoid, saponin dan tanin.

3.6.1 Pemeriksaan alkaloida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring (Depkes RI, 1995). Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:

1. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan Mayer akan terbentuk endapan bewarna putih atau kuning

2. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan Bouchardat akan terbentuk endapan bewarna coklat hitam

3. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan 2 tetes larutan Dragendorff akan terbentuk endapan bewarna merah atau jingga.

(34)

atau tiga dari percobaan diatas. Perlakuan yang sama dilakukan terhadap daun sintrong.

3.6.2 Pemeriksaan flavonoida

Sebanyak 10 g serbuk simplisia dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu ditambahkan 10 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, di kocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap serbuk simplisia daun sintrong (Farnsword, 1966).

3.6.3 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g kemudian disari dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling, selanjutnya ditambahkan 10 ml HCL 2 N, direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Pada 30 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari sebanyak 3 kali, tiap dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform dan 2 bagian isopropanol. Diambil lapisan air kemudian ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molish, ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat terbentuk cincin ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya gula. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap serbuk simplisia daun sintrong (Depkes RI, 1995). 3.6.4 Pemeriksaan tanin

(35)

larutan lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1 %. Terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap serbuk simplisia daun sintrong (Depkes RI, 1995).

3.6.5 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10 cm. Ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, bila buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap serbuk simplisia daun sintrong (Depkes RI, 1995).

3.6.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoida

Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml n-heksana selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa dalam cawan penguap ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi hijau biru menunjukkan adanya steroida-triterpenoida. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap serbuk simplisia daun sintrong (Harbone, 1987).

3.7 Pembuatan Ekstrak dan Fraksi Daun Sintrong 3.7.1 Pembuatan ekstrak etanol

(36)

kedalam bejana tertutup, dibiarkan ditempat sejuk dan terlindung dari cahaya selama 2 hari. Dienaptuangkan dan disaring (Ditjen POM, 1979). Maserat kemudian disuling dan diuapkan dengan tekanan rendah pada suhu tidak lebih dari 50oC menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental (Ditjen POM, 1995).

3.7.2 Pembuatan fraksi-fraksi dari ekstrak etanol

Pembuatan fraksi-fraksi dilakukan secara ekstraksi cair-cair (ECC) menggunakan pelarut n-heksana dan etilasetat. Sebanyak 25 g ekstrak etanol ditambahkan 50 ml etanol dan 12,5 ml air suling, lalu dimasukkan kedalam corong pisah, kemudian ditambahkan 250 ml n-heksana, dikocok, didiamkan sampai 2 lapisan n-heksana (lapisan atas) diambil dengan cara dekantasi dan fraksinasi dilakukan sampai warna lapisan n-heksana jernih, kemudian ditambahkan 250 ml etilasetat pada lapisan air, dikocok, didiamkan sampai terdapat 2 lapisan yang terpisah, lapisan etilasetat (lapisan atas) diambil dengan cara dekantasi dan fraksinasi dilakukan sampai warna lapisan etilasetat jernih, fraksi air diambil dan kemudian semua fraksi yang diperoleh diuapkan sampai diperoleh ekstrak kental. Masing-masing fraksi yang diperoleh dilakukan uji aktivitas antibakteri.

3.8 Uji Aktivitas Antibakteri 3.8.1 Sterilisasi alat

(37)

3.8.2 Pembuatan media a Media nutrien agar (NA)

Komposisi: Lab-Lemco Powder 1 g/L Yeast Extract 2 g/L

Peptone 5 g/L

Sodium Chloride 5 g/L

Agar 15 g/L

Cara pembuatannya, yaitu : sebanyak 28 g nutrien agar (NA) disuspensikan kedalam air suling 1000 ml, lalu dipanaskan sampai bahan larut sempurna dan disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit (Oxoid, 1982).

b Media nutrient broth (NB)

Komposisi: Lab-Lemco Powder 1 g/L Yeast Extract 2 g/L

Peptone 5 g/L

Sodium Chloride 5 g/L

Cara pembuatannya, yaitu: sebanyak 13 g media nutrient broth (NB) dilarutkan dengan air suling 1000 ml, lalu dipanaskan sampai larut sempurna, kemudian media dimasukkan dalam erlenmeyer steril yang bertutup dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit (Oxoid, 1982). 3.8.3 Pembuatan media agar miring

(38)

pada suhu 5oC (Lay, 1994). 3.8.4 Pembuatan stok kultur

Biakan bakteri Staphylococcus aureus dari strain utama diambil dengan jarum ose lalu diinokulasikan pada permukaan media nutrient agar miring dengan cara menggores, kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 35±2oC selama 18-24 jam (Ditjen POM, 1995). Hal yang sama dilakukan pada biakan bakteri Escherichia coli.

3.8.5 Penyiapan inokulum

Dari stok kultur bakteri yang telah tumbuh diambil dengan jarum ose steril lalu disuspensikan dalam tabung yang berisi 10 ml larutan nutrient broth. Kemudian diukur kekeruhan larutan dengan menggunakan alat spektrofotometer visible pada panjang gelombang 580 nm sampai diperoleh transmitan 25% (Ditjen POM, 1995).

3.8.6 Pembuatan larutan uji ekstrak etanol, fraksi n-heksana, fraksi etilasetat dan fraksi air daun sintrong dengan berbagai konsentrasi

Ekstrak etanol daun sintrong ditimbang sebanyak 1 g kemudian dilarutkan dalam dimetilsulfoksida (DMSO) dicukupkan sampai 2 ml. Konsentrasi ekstrak adalah 500 mg/ml kemudian dibuat pengenceran. Larutan tersebut diencerkan kembali dengan pelarut DMSO dengan konsentrasi 400, 300, 200, 100, 75, 50, 25, 12,5 dan 6,25. Hal yang sama dilakukan terhadap fraksi n-heksana, fraksi etilasetat dan fraksi air.

3.8.7 Pengujian aktivitas antibakteri secara in vitro

(39)
(40)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI Bogor, menunjukkan bahwa bahan tumbuhan adalah daun sintrong, jenis (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore), suku Compositae. Dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 42.

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun sintrong (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore), yaitu daun dengan ujung runcing, tepi berlekuk menyirip tak teratur, panjang  12 cm, lebar  4 cm, berwarna hijau kecoklatan, bau khas aromatik, dan rasa kelat. Dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 44.

Hasil mikroskopik serbuk simplisia daun sintrong memperlihatkan adanya stomata (tipe anomositik), rambut penutup (multiseluler) dan berkas pembuluh bentuk spiral (xylem). Dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 45.

[image:40.595.113.513.635.728.2]

Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia daun sintrong terlihat pada Tabel 4.1 berikut ini:

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia daun sintrong

No. Penetapan Hasil (%)

1. Kadar air 2,97

2. Kadar sari larut air 29,63

3. Kadar sari larut etanol 24,41

4. Kadar abu total 16,70

(41)

Kadar air yang diperoleh telah memenuhi persyaratan MMI yakni tidak melebihi 10%. Apabila kadar air simplisia lebih besar dari 10% maka simplisia tersebut akan lebih mudah ditumbuhi kapang pada saat penyimpanan sehingga mutu simplisia akan menurun. Hasil penetapan kadar sari menunjukkan bahwa simplisia daun sintrong banyak mengandung senyawa yang larut dalam air daripada yang larut dalam etanol. Penetapan kadar sari larut air dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa yang bersifat polar sedangkan kadar sari larut dalam etanol untuk mengetahui senyawa yang larut dalam etanol baik polar maupun non polar. Kadar sari yang larut dalam air lebih besar dari kadar sari yang larut dalam etanol karena senyawa yang bersifat polar lebih banyak larut di dalam pelarut air daripada etanol. Penetapan kadar sari larut air menyatakan jumlah zat yang tersari larut dalam air yaitu glikosida, gula, gom, protein, enzim, zat warna dan asam organik. Penetapan kadar sari larut etanol menyatakan jumlah zat yang tersari dalam pelarut etanol seperti glikosida, steroid dan flavonoid (Depkes RI, 1995).

(42)

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

[image:42.595.114.513.202.392.2]

Hasil pemeriksaan skrining fitokimia serbuk simplisia, ekstrak etanol, fraksi n-heksana, fraksi etilasetat dan fraksi air daun sintrong terlihat pada Tabel 4.2 berikut ini:

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia

No Golongan senyawa

Hasil Serbuk Ekstrak

etanol Fraksi n-heksana Fraksi etilasetat Fraksi air

1. Alkaloid - - - - -

2. Flavonoid + + - + +

3. Glikosida + + - + +

4. Tanin + + - + -

5. Saponin - - - - -

6. Steroid/triterpenoi

d + + + - -

Keterangan :

(+) positif = mengandung golongan senyawa (-) negatif = tidak mengandung golongan senyawa

Pada serbuk simplisia, ekstrak etanol, fraksi n-heksana, fraksi etilasetat dan fraksi air daun sintrong setelah ditambahkan serbuk Mg dan asam klorida, akan terbentuk warna jingga kemerahan, menunjukkan adanya senyawa flavonoid. Penambahan pereaksi molish dan asam sulfat pekat akan terbentuk cincin berwarna ungu pada batas cairan menunjukkan adanya senyawa glikosida. Penambahan FeCl3 1% memberikan warna hijau kehitaman yang menunjukkan

adanya senyawa tanin. Penambahan pereaksi Liebermann-Bauchard memberikan warna merah ungu dan hijau biru, yaitu adanya steroid/triterpenoid.

4.4 Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi

(43)

etanol diperoleh fraksi n-heksana 2,892 g, fraksi etilasetat 4,249 g dan fraksi air 14,215 g.

4.5 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol, Fraksi n-Heksana, Fraksi Etilasetat dan Fraksi Air Daun Sintrong

Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi n-heksana, fraksi etilasetat dan fraksi air daun sintrong dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Aktivitas suatu zat antibakteri dalam menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme tergantung pada konsentrasi dan jenis bahan antimikroba tersebut (Tim Mikrobiologi FK Brawijaya, 2003). Konsentrasi ekstrak semakin tinggi maka semakin besar diameter hambat, karena semakin banyak zat aktif yang terkandung dalam ekstrak tersebut (Dwijoseputro, 1978).

Hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi n-heksana, fraksi etilasetat dan fraksi air daun sintrong dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus terlihat pada Tabel 4.3 dan 4.4 berikut ini:

Tabel 4.3 Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri Escherichia coli

No. Konsentrasi (mg/ml)

Diameter daerah hambat (mm)* Ekstrak etanol Fraksi n-heksana Fraksi etilasetat Fraksi air

1 500 22,20 9,13 24,43 12,03

2 400 20,38 8,43 23,05 11,15

3 300 19,25 8,12 21,48 10,23

4 200 17,98 7,27 20,20 9,25

5 100 16,48 6,58 18,33 8,17

6 75 14,26 - 17,03 -

7 50 12,33 - 16,37 -

8 25 8,05 - 12,70 -

9 12,5 - - 11,10 -

10 6,25 - - 9,47 -

[image:43.595.116.511.540.744.2]
(44)

Tabel 4.4 Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

No. Konsentrasi (mg/ml)

Diameter daerah hambat (mm)* Ekstrak etanol Fraksi n-heksana Fraksi etilasetat Fraksi air

1 500 23,26 10,40 25,38 13,57

2 400 22,41 9,12 24,32 12,17

3 300 20,46 8,30 21,18 10,28

4 200 17,40 7,60 20,28 9,15

5 100 16,30 7,07 19,05 8,23

6 75 14,36 - 18,23 -

7 50 13,02 - 17,13 -

8 25 9,18 - 14,38 -

9 12,5 - - 10,30 -

10 6,25 - - 9,47 -

11 Blanko - - - -

Keterangan :

(*) = Hasil rata-rata tiga kali pengukuran (-) = Tidak ada hambatan

Blanko = DMSO (dimetilsulfoksida)

Berdasarkan hasil pengukuran diameter daerah hambatan memperlihatkan bahwa fraksi etilasetat daun sintrong memberikan aktivitas antibakteri yang terkuat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 50 mg/ml memberikan diameter daerah hambat 16,37 mm dan Staphylococcus aureus pada konsentrasi 25 mg/ml memberikan diameter daerah hambat 14,38

mm dan diperoleh KHM pada konsentrasi 6,25 mg/ml masing-masing memberikan hasil yang sama 9,47 mm, hal ini dapat disebabkan oleh komponen senyawa kimia yang terkandung lebih banyak seperti flavonoid, tanin, glikosida sehingga kandungan metabolit sekunder yang berperan sebagai antibakteri.

Pada ekstrak etanol daun sintrong efektif untuk menghambat bakteri

Escherichia coli dan Staphylococcus aureus pada konsentrasi 75 mg/ml

[image:44.595.113.513.112.342.2]
(45)

dapat disebabkan oleh komponen senyawa kimia yang terkandung lebih banyak seperti flavonoid, tanin, steroid/triterpenoid, glikosida sehingga tidak adanya kerja yang sinergis antara kandungan metabolit sekunder yang berperan sebagai antibakteri.

Pada fraksi n-heksana tidak memiliki efektivitas menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus pada konsentrasi 500 mg/ml dengan diameter hambat 9,13 mm dan 10,40 mm dan KHM pada konsentrasi 100 mg/ml dengan diameter hambat 6,58 mm dan 7,07 mm. Aktivitas antibakteri pada fraksi n-heksana dipengaruhi oleh senyawa steroid/triterpenoid (Robinson, 1995). Hasilnya kurang efektif dibandingkan fraksi etilasetat dan ekstrak etanol.

Pada fraksi air kurang efektif menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus pada konsentrasi 500 mg/ml dengan

diameter hambat 12,03 mm dan 13,57 mm dan KHM pada konsentrasi 100 mg/ml dengan diameter hambat 8,17 mm dan 8,23 mm, hal ini disebabkan karena adanya komponen senyawa kimia seperti flavonoid dan glikosida dalam jumlah yang sedikit.

(46)

dengan demikian senyawa antibakteri akan lebih mudah masuk kedalam dinding sel bakteri Staphylococcus aureus (Gram positif) dari pada dinding sel bakteri Escherichia coli (Gram negatif).

Mekanisme kerja flavonoid sebagai antibakteri adalah membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut sehingga dapat merusak membrane sel bakteri dan diikuti dengan keluarnya senyawa intraseluler (Ngajow, dkk., 2013). Tanin termasuk dalam golongan senyawa polifenol sehingga tanin memiliki aktivitas antibakteri. Senyawa fenol dan turunannya merupakan antibakteri yang bekerja dengan mengganggu fungsi membran sitoplasma. Pada konsentrasi rendah senyawa fenol dapat merusak membran sitoplasma yang menyebabkan bocornya metabolit penting yang mengaktifkan sistem enzim bakteri, sedangkan pada konsentrasi tinggi mampu merusak membran sitoplasma dan mengendapkan protein sel. Senyawa steroid/triterpenoid menghambat pertumbuhan bakteri dengan mekanisme penghambatan terhadap sintesis protein karena terakumulasi dan menyebabkan perubahan komponen-komponen penyusun sel bakteri. Senyawa terpenoid mudah larut dalam lipid, sifat inilah yang mengakibatkan senyawa ini mudah menembus dinding sel bakteri gram positif dan sel bakteri gram negatif (Azmi, 2013).

(47)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap daun sintrong (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore) diperoleh kesimpulan :

a. Simplisia daun sintrong memenuhi persyaratan mutu simplisia dengan hasil kadar air 2,97%, kadar sari larut air 29,63%, kadar sari larut etanol 24,41%, kadar abu total 16,70% dan kadar abu tidak larut asam 2,57%.

b. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia daun sintrong diperoleh senyawa flavonoid, glikosida, tanin, steroid/triterpenoid.

c. Hasil uji aktivitas antibakteri daun sintrong menunjukkan aktivitas antibakteri terkuat pada fraksi etilasetat, kemudian ekstrak etanol, sedangkan fraksi air kurang efektif menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dan fraksi n-heksana tidak memiliki efektivitas menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.

5.2 Saran

(48)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan Sintrong

Uraian tumbuhan meliputi morfologi, habitat, sistematika, sinonim, nama asing, nama daerah, manfaat, kandungan kimia.

2.1.1 Morfologi

Tumbuhan sintrong adalah berupa herba tinggi 25-75 cm. Batang tegak, lunak, hijau. Daun tunggal, tersebar, bulat telur terbalik, lonjong, pangkal menyempit, ujung runcing, tepi rata atau berlekuk menyirip tak teratur, panjang 8-20 cm, lebar 3-6 cm, hijau. Bunga berkelamin dua, bongkol, kepala sari dan cabang putik ungu, kelopak saling menutup, saat bunga mekar bentuk tabung, hijau, mahkota kuning dengan ujung merah kecoklatan. Buah keras, panjang  2,5 mm, rambut sekat halus, panjang  1 cm, putih. Akar serabut putih (Depkes RI, 1997).

2.1.2 Habitat

Sintrong berasal dari Afrika tropis kini telah menyebar keseluruh tropis di Asia termasuk di Indonesia. Tumbuhan ini berupa gulma dijumpai pertama kali di sekitar Medan pada tahun 1926. Kerap ditemui di tanah-tanah terlantar yang subur, tepi sungai, tepi jalan kebun-kebun teh dan kina, terutama di bagian yang lembab hingga ketinggian 2.500 m diatas permukaan laut (Hidayat dan Napitupulu, 2015).

2.1.3 Sistematika

(49)

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Asterales Suku : Compositae Marga : Crassocephalum

Jenis : Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore 2.1.4 Sinonim

Gynura crepidioides Benth. (Depkes RI, 1997)

2.1.5 Nama asing

Ebolo, thickhead, redflower ragleaf, fireweed (Inggris), ebolo (Francis), Eyukula (portugal) (Grubben and Denton, 2004).

2.1.6 Nama daerah

Nama daerah dari tumbuhan sintrong adalah balastrong, sintrong (Sunda), lingka (Jawa), kamandhin coco (Madura) (Hidayat dan Napitupulu, 2015).

2.1.7 Manfaat

Daun sintrong selain dimanfaatkan sebagai sayuran, di Afrika juga digunakan sebagai bahan obat tradisional; diantaranya untuk mengatasi gangguan perut, sakit kepala, luka dan lain-lain (Hidayat dan Napitupulu, 2015). Khasiat lainnya yaitu untuk obat bisul (Depkes RI, 1997).

2.1.8 Kandungan kimia

(50)

2.2 Metode Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses penarikan suatu senyawa kimia dari jaringan tumbuhan atau hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Cara ekstraksi yang tepat tergantung pada bahan tumbuhan yang diekstraksi dan jenis senyawa yang diisolasi (Depkes RI, 2000). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya matahari langsung, ekstrak kering harus mudah di gerus menjadi serbuk. Cairan penyari dapat digunakan air, eter atau campuran etanol dan air (Depkes RI, 1979). Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara (Depkes RI, 2000) antara lain :

1. Cara dingin

a. Maserasi adalah proses penyarian dengan merendam simplisia dalam pelarut yang sesuai dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan dan terlindung dari cahaya.

b. Perkolasi adalah proses penyarian dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan

2. Cara panas

a. Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

(51)

c. Digesti adalah proses penyarian kinetik ( dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.

d. Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada suhu penangas air (temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20) menit.

e. Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan air pada suhu 90oC selama 30 menit.

2.3 Fraksinasi (Ekstraksi Cair-Cair)

Ekstraksi cair-cair merupakan suatu teknik yang mana suatu larutan dibuat bersentuhan (biasanya dalam air) dengan suatu pelarut kedua (biasanya pelarut organik), yang tidak tercampurkan. Pada proses ini terjadi pemisahan satu atau lebih zat terlarut (solute) kedalam pelarut yang kedua (Basset, dkk., 1994).

Pemisahan yang dilakukan bersifat sederhana, bersih, cepat dan mudah, yang dapat dilakukan dengan cara mengocok-ngocok dalam sebuah corong pisah selama beberapa menit (Basset, dkk., 1994). Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen dengan substituen yang bersifat nonpolar atau agak polar. Senyawa-senyawa yang mudah mengalami ionisasi dan Senyawa-senyawa polar lainnya akan tertahan dalam fase air (Rohman, 2007).

(52)

kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel (Rohman, 2007).

2.4 Bakteri

Nama bakteri berasal dari kata “bakterion” (bahasa Yunani) yang berarti tongkat atau batang. Bakteri merupakan organisme yang sangat kecil (berukuran mikroskopis) dengan lebar 0,5-1 µm dan panjang hingga 10 µm (1 mikron = 10-3) sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Irianto, 2006).

2.4.1 Faktor pertumbuhan dan perkembangan bakteri

Pertumbuhan dan perkembangan bakteri dipengaruhi oleh : 1. Zat makanan (nutrisi)

Sumber zat makanan bagi bakteri diperoleh dari senyawa karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, unsur logam (natrium, kalsium, magnesium, mangan, besi, tembaga dan kobalt), vitamin dan air untuk fungsi metabolik dan pertumbuhannya.

2. Keasaman dan kebasaan (pH)

Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum pertumbuhan antara 6,5-7,5. Beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan sangat asam atau basa.

3. Temperatur

Proses pertumbuhan bakteri tergantung pada reaksi kimiawi dan laju reaksi kimia yang dipengaruhi oleh temperatur. Berdasarkan ini maka bakteri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Bakteri psikofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur 0-30oC, dengan temperatur optimum adalah 10-20 oC.

(53)

c. Bakteri termofil, yaitu bakteri yang dapat hidup pada temperatur optimum adalah 55-65 oC.

4. Oksigen

a. Aerobik, yaitu bakteri yang membutuhkan oksigen dalam pertumbuhannya. b. Anaerobik, yaitu bakteri yang dapat tumbuh tanpa oksigen.

c. Anaerobik fakultatif, yaitu bakteri yang dapat tumbuh dengan oksigen ataupun tanpa oksigen.

d. Mikroaerofilik, yaitu bakteri yang dapat tumbuh baik dengan adanya sedikit oksigen.

5. Tekanan osmosa

Medium yang baik bagi pertumbuhan bakteri adalah medium isotonis terhadap isi sel bakteri.

6. Kelembapan

Secara umum bakteri tumbuh dan berkembang biak dengan baik pada lingkungan yang lembap. Kebutuhan akan air tergantung dari jenis bakterinya (Pelczar, et al., 1988).

2.4.2 Media pertumbuhan bakteri

Media pertumbuhan bakteri dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, yaitu:

a. Menurut lay (1994), berdasarkan asalnya dapat dibagi atas:

1. Media sintetik yaitu media yang kandungan dan isi bahan yang ditambahkan diketahui secara terperinci. Contoh: glukosa, kalium fosfat, magnesium fosfat. 2. Media non-sintetik yaitu media yang kandungan dan isinya tidak diketahui

(54)

b. Menurut Irianto (2006), berdasarkan kegunannya dapat dibagi atas:

1. Media selektif yaitu media biakan yang mengandung paling sedikit satu bahan yang dapat menghambat perkembangbiakan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan membolehkan perkembangbiakan mikroorganisme tertentu yang ingin diisolasi.

2. Media difrensial yaitu media yang digunakan untuk menyeleksi suatu mikroorganisme dari berbagai jenis dalam suatu lempengan agar

3. Media diperkaya yaitu media yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme yang diperoleh dari lingkungan alami karena jumlah mikroorganisme yang ada terdapat dalam jumlah sedikit

c. Berdasarkan konsistensinya dapat dibagi atas: 1. Media padat/solid

2. Media semi solid 3. Media cair

2.4.3 Morfologi bakteri

Berdasarkan morfologinya bakteri dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: a. Bentuk basil

Basil adalah bakteri yang mempunyai bentuk batang atau silinder, membelah dalam satu bidang, berpasangan ataupun bentuk rantai pendek atau panjang. Basil dapat dibedakan atas:

- Monobasil yaitu basil yang terlepas satu sama lain dengan kedua ujung tumpul. - Diplobasil yaitu basil yang bergandeng dua dan kedua ujungnya tumpul.

(55)

anthracis, Salmonella typhimurium, Shigella dysentriae.

b. Bentuk kokus

Kokus adalah bakteri yang bentuknya seperti bola-bola kecil, ada yang hidup sendiri dan ada yang berpasang-pasangan.

Bentuk kokus ini dapat dibedakan atas: - Diplokokus yaitu kokus yang bergandeng dua. - Tetrakokus yaitu kokus yang mengelompok empat.

- Stafilokokus yaitu kokus yang mengelompok dan membentuk anggur. - Streptokokus yaitu kokus yang bergandengan panjang menyerupai rantai. - Sarsina yaitu kokus yang mengelompok seperti kubus.

Contoh bakteri dengan bentuk kokus yaitu Staphylococcus aureus, Sarcina luten, Diplococcus pneumoniae, Streptococcus lactis.

c. Bentuk spiral

Dapat dibedakan atas:

- Spiral yaitu menyerupai spiral atau lilitan.

- Vibrio yaitu bentuk batang yang melengkung berupa koma.

- Spirochaeta yaitu menyerupai bentuk spiral, bedanya dengan spiral dalam kemampuannya melenturkan dan melengkukkan tubuhnya sambil bergerak.

Contoh: Vibrio cholerae, Spirochaeta palida ( Volk dan Wheeler, 1988). 2.4.4 Bakteri Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus termasuk dalam familia Micrococcaceae.

Staphylococcus aureus berasal dari kata “Staphele” yang berarti kumpulan dari

anggur, dan kata “aureus” dalam bahasa Latin yang berarti emas. Staphylococcus

(56)

sekitar 1 μm, tidak membentuk spora, dan termasuk anaerob fakultatif.

Staphylococcus aureus adalah bakteri mesofil dengan suhu pertumbuhan yaitu

antara 7o- 48oC dengan suhu optimum 37oC. Tumbuh secara optimal pada pH 6-7 (Adams dan Moss, 1995).

Staphylococcus aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran-saluran

pengeluaran lendir dari tubuh manusia dan hewan seperti hidung, mulut, tenggorokan dan dapat pula dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Selain dapat menyebabkan intoksikasi, bakteri ini juga dapat menyebabkan berbagai macam infeksi seperti jerawat, bisul, meningitis, osteomielitis, pneumonia dan mastitis pada manusia dan hewan (Supardi dan Sukamto, 1999).

Keracunan makanan oleh Staphylococcus aureus dapat menimbulkan berbagai gejala setelah 2-4 jam. Gejala-gejala tersebut yaitu meliputi muntah, diare, mual, kejang dan timbul perasaan letih (Adams dan Moss, 1995).

Adapun sistematika dari bakteri Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut (Dwidjoseputro, 1978) :

Divisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Bangsa : Eubacteriales Suku : Micrococaceae Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphylococcus aureus 2.4.5 Bakteri Escherichia coli

(57)

negatif berbentuk batang, tidak berkapsul, umumnya mempunyai fimbria dan bersifat motile. Sel Escherichia coli mempunyai ukuran panjang 2,0-6,0 μm dan lebar 1,1-1,5 μm, tersusun tunggal, berpasangan dengan flagella peritikus (Supardi dan Sukamto, 1999).

Bakteri Escherichia coli tumbuh pada suhu 10 oC sampai 40 oC dengan suhu optimum 37 oC. Bakteri ini tumbuh pada pH optimum yaitu pada pH 7,0- 7,5. Bakteri ini relatif sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu pasteurisasi makanan atau selama pemasakan makanan (Supardi dan Sukamto, 1999).

Strain Escherichia coli yang memproduksi enterotoksin melepaskan toksin yang menyebabkan sekresi elektrolit dan cairan ke saluran pencernaan yang berlebihan, hal ini dapat menyebabkan gejala diare yang bervariasi yaitu dari ringan sampai berat (Supardi dan Sukamto, 1999).

Adapun sistematika dari bakteri Escherichia coli adalah sebagai berikut (Dwidjoseputro, 1978) :

Divisi : Protophyta Kelas : Schizomycetes Bangsa : Eubacteriales Suku : Enterobacteriaceae Marga : Escherichia

Jenis : Escherichia coli

2.5 Fase Pertumbuhan Mikroorganisme

(58)

1. Fase lag (fase adaptasi)

Merupakan fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru dan bakteri belum mengadakan pembiakan. Ciri fase lag adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel tetapi peningkatan ukuran sel.

2. Fase log

Merupakan fase mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum tergantung sifat media dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial.

3. Fase stasioner (konstan)

Merupakan fase dimana pertumbuhan mikroorganisme berhenti dan dapat terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati.

4. Fase kematian

Merupakan fase dimana jumlah sel yang mati meningkat, penyebabnya adalah ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik.

2.6 Metode Pengujian Aktivitas Antibakteri

Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antibakteri pada dasarnya dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

1. Metode dilusi

Cara ini digunakan untuk menentukan KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh Minimum) dari obat antimikroba. Prinsip dari metode dilusi adalah sebagai berikut :

(59)

telah diencerkan secara serial. Seri tabung diinkubasi pada suhu 37oC selama 18- 24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah obat pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari obat. Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan koloni mikroba adalah KBM dari obat terhadap bakteri uji (Pratiwi, 2008).

2. Metode difusi

Metode yang paling sering digunakan adalah difusi agar dengan menggunakan cakram kertas, cakram kaca, pencetak lubang. Prinsip metode ini adalah mengukur zona hambatan pertumbuhan bakteri yang terjadi akibat difusi zat yang bersifat sebagai antibakteri di dalam media padat melalui pencadang. Daerah hambatan pertumbuhan bakteri adalah daerah jernih disekitar cakram. Luas daerah hambatan berbanding lurus dengan aktivitas antibakteri, semakin kuat daya aktivitas antibakterinya maka semakin luas daerah hambatnya. Metode ini dipengaruhi oleh banyak faktor fisik dan kimia, misalnya pH, suhu, zat inhibitor, sifat dari media dan kemampuan difusi, ukuran molekul dan stabilitas dari bahan obat (Jawetz, et al., 2001).

3. Metode turbidimetri

(60)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tanaman obat yang potensial dengan keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Keanekaragaman hayati Indonesia menempati urutan ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire. Di hutan tropika Indonesia tumbuh sekitar 30.000 spesies tumbuhan berbunga, diperkirakan sekitar 3.689 spesies diantaranya merupakan tumbuhan obat dan baru sebanyak 283 spesies tumbuhan obat yang sudah digunakan dalam industri obat tradisional. Upaya pencarian tumbuhan berkhasiat obat telah lama dilakukan, baik untuk mencari senyawa baru ataupun menambah keanekaragaman senyawa yang telah ada. Hasil pencarian dan penelitian tersebut kemudian dilanjutkan dengan upaya pengisolasian senyawa murni dan turunannya sebagai bahan obat modern atau pembuatan ekstrak untuk obat fitofarmaka (Djauhariya dan Hernani, 2004).

Tumbuhan mengandung beberapa golongan fenol seperti flavonoid, tanin dan senyawa fenol lainnya berfungsi sebagai alat pertahanan bagi tumbuhan untuk melawan mikroorganisme patogen (Hayet, et al., 2008). Daun sintrong (Crassoce-phalum crepidioides (Benth.) S. Moore), selain dapat dimakan sebagai lalapan juga bermanfaat untuk mengobati berbagai jenis penyakit (Hidayat dan Napitupulu, 2015).

(61)

berasal dari Afrika tropis kini telah menyebar keseluruh tropis di Asia. Tumbuhan ini di Indonesia berupa gulma dijumpai pertama kali di sekitar Medan pada tahun 1926 dan kemudian menyebar keseluruh Nusantara. Kerap ditemui di tanah-tanah terlantar yang subur, tepi sungai, tepi jalan kebun-kebun teh dan kina, terutama di bagian yang lembab hingga ketinggian 2.500 m diatas permukaan laut. Sintrong merupakan lalap yang digemari di Jawa Barat, di Afrika selain dimanfaatkan sebagai sayuran, daun sintrong juga digunakan sebagai bahan obat tradisional; di antaranya untuk mengatasi gangguan perut, sakit kepala, dan luka (Hidayat dan Napitupulu, 2015).

Antibakteri adalah senyawa yang dapat mengganggu pertumbuhan dan metabolisme bakteri, sehingga senyawa tersebut dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan membunuh bakteri (Pelczar dan Chan, 1998). Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif yang merupakan flora normal pada berbagai tubuh manusia terutama kulit, hidung dan mulut (Pratiwi, 2008). Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus diantaranya bisul, jerawat, dan sakit perut karena mempunyai enterotoksin (Jawetz, et al., 2001). Escherichia coli merupakan salah satu enterobakteriaceae yaitu kelompok besar gram negatif,

yang merupakan flora normal pada saluran pencernaan. Beberapa penyakit infeksi yang ditimbulkan seperti infeksi saluran kemih, diare dan sepsis (Jawetz, et al., 2001).

(62)

aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi n-heksana, fraksi etilasetat dan fraksi air daun sintrong (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore) terhadap jenis bakteri gram positif yaitu Staphylococcus aureus dan jenis bakteri gram negatif yaitu Escherichia coli.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

a. apakah simplisia daun sintrong memenuhi persyaratan mutu simplisia ? b. apa saja golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada serbuk

simplisia daun sintrong ?

c. apakah ekstrak etanol dan fraksi daun sintrong memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah maka hipotesis dari penelitian ini adalah : a. simplisia daun sintrong memenuhi persyaratan mutu simplisia.

b. serbuk simplisia daun sintrong mengandung senyawa flavonoid, glikosida, tanin, steroid/triterpenoid .

c. ekstrak etanol dan fraksi daun sintrong memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

(63)

b. untuk mengetahui golongan senyawa kimia apa saja yang terdapat pada serbuk simplisia daun sintrong.

c. untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol dan fraksi daun sintrong terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureu.

1.5 Manfaat Penelitian

(64)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

[image:64.595.114.514.169.607.2]

Kerangka pikir dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut:

Gambar 1.1 Bagan kerangka pikir penelitian Ekstrak etanol,

fraksi n-heksana, fraksi etilasetat dan fraksi air daun

sintrong Parameter Variabel Terikat Variabel Bebas Aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar menggunakan kertas cakram Skrining fitokimia - Alkaloida - Flavonoida - Glikosida - Tanin - Saponin - Steroida/Triterpenoida Karakterisasi simplisia - Makroskopik - Mikroskopik - Kadar air

- Kadar sari larut dalam air - Kadar sari larut dalam

etanol

- Kadar abu total - Kadar abu tidak larut

dalam asam Serbuk simplisia

daun sintrong

(65)

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAN

FRAKSI DAUN SINTRONG (Crassocephalum crepidioides

(Benth.) S. Moore)

TERHADAP BAKTERI Escherichia coli

DAN Staphylococcus aureus

ABSTRAK

Sintrong (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore) adalah sejenis tumbuhan suku Compositae, kandungan kimia daun sintrong adalah saponin, flavonoida dan polifenol yang berkhasiat sebagai obat bisul. Di Afrika selain dimanfaatkan sebagai sayuran, daun sintrong juga digunakan sebagai bahan obat tradisional; di antaranya untuk mengatasi gangguan perut, sakit kepala, dan luka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakterisasi, golongan senyawa kimia dan aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi n-heksana, etilasetat dan air daun sintrong Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.

Metode penelitian ini dilakukan secara eksperimental dengan tahapan penelitian yaitu pengambilan bahan tumbuhan, identifikasi, pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak dan pengujian aktivitas antibakteri. Pengujian aktivitas antibakteri dengan metode difusi menggunakan kertas cakram (Uji Kirby-Bauer). Parameter yang diamati yaitu diameter zona hambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli di area kertas cakram.

(66)

ANTIBACTERIAL ACTIVITY TEST OF ETHANOL EXTRACT AND FRACTION OF SINTRONG LEAVES (Crassocephalum crepidioides

(Benth.) S.Moore) AGAINST Escherichia coli AND Staphylococcus aureus BACTERIA

ABSTRACT

Sintrong (Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore) is a type of plant Compositae tribes, sintrong leaves chemical constituents are saponins, flavonoids and polyphenols are efficacious as a cure ulcers. In Africa in addition used as a vegetable, sintrong leaves also be used as traditional medicine; among them to cope with stomach disorders, headache, and injury. The purpose of this research was to know about characteristic, determinan of cemical compounds group and antibacterial activity of ethanol extract, n-heksana fraction, etylacetat fraction and water fraction of sintrong leaves against Staphylococcus aureus and Escherichia coli bacteria.

This research method was done experimentally by research stage, namely making materials plant, identification, manufacture, characterization, determination the class of chemical compounds of simplex, manufacture extract and antibacterial activity tested. Test of antibacterial activity by agar diffusion method used paper disc (Kirby-Bauer Test). Parameters measured were inhibition zone of Staphylococcus aureus and Escherichia coli bacterial growth.

Antibacterial activity test results obtained ethylacetate fraction which has the strongest effectiveness, with concentration of 50 mg/ml provides inhibition area diameter (16.37 mm) against Escherichia coli bacteria and a concentration of 25 mg/ml provides inhibition area diameter (14.38 mm) to Staphylococcus aureus. The ethanol extract concentration of 75 mg/ml (14.26 mm) of the bacterium Escherichia coli and the concentration of 75 mg/ml (14.36 mm) Staphylococcus aureus. Fraction of water is less effective at inhibiting the growth of bacteria Escherichia coli and Staphylococcus aureus. Fraction of n-hexane has no efficacy to inhibit the growth of bacteria Escherichia coli and Staphylococcus aureus.

(67)

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAN

FRAKSI DAUN SINTRONG (Crassocephalum crepidioides

(Benth.) S. Moore)

TERHADAP BAKTERI Escherichia coli

DAN Staphylococcus aureus

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Mempe

Gambar

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia daun sintrong
Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia
Tabel 4.3 Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri Escherichia coli
Tabel 4.4 Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri     Staphylococcus aureus
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLI-B4, 2016 XXIII ISPRS Congress, 12–19 July 2016, Prague, Czech

[r]

DINAS PANGAN, PERTANIAN DAN PERIKANAN KABUPATEN WONOSOBO TAHUN ANGGARAN

Dengan demikian klausul- klausul dan ketentuan lain yang tidak diubah dinyatakan masih berlaku dan mengikat dalam proses pelelangan ini. Demikian Addendum ini dibuat

[r]

[r]

[r]