LAMPIRAN I
CURRICULUM VITAE
Nama : Citra Ulina Sitorus
NIM : 120100057
Tempat, Tanggal Lahir : Tanah Tinggi, 18 Juli 1994
Agama : Islam
Alamat : Jl. Abdul Hakim Pasar 1 Setia Budi Komplek Villa Setia Budi Garden No. C14 Medan Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat Email : citraulinasitorus@yahoo.com Riwayat Pendidikan :
1. TK Yaskumam Indrapura 1999 – 2000
2. SDN NO.013869 2000 – 2006
3. SMPN 1 Air Putih 2006 – 2009
4. SMAN 1 MATAULI Pandan 2009 – 2012 5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2012 – sekarang
Riwayat Organisasi :
1. Anggota Departemen Pengabdian Masyarakat PEMA FK USU 2012 – 2014
3. Anggota Divisi Pengabdian Masyarakat SCOPH PEMA FK USU 2013 - 2014
4. Sekretaris Divisi Pengabdian Masyarakat SCOPH PEMA FK USU 2014 - 2015
pertan
pertanyaan 21 pertanyaan 22 pertanyaan 23 TotalSkor
N 20 20 20 20
pertanyaan 19
Pearson Correlation .463* .287** .625** .828**
Sig. (2-tailed) .040 .220 .003 .000
N 20 20 20 20
pertanyaan 20
Pearson Correlation .077 .430** .411** .689**
Sig. (2-tailed) .748 .059 .072 .001
N 20 20 20 20
pertanyaan 21
Pearson Correlation 1 .641 .715 .602
Sig. (2-tailed) .002 .000 .005
N 20 20 20 20
pertanyaan 22
Pearson Correlation .641 1 .520 .528**
Sig. (2-tailed) .002 .019 .017
N 20 20 20 20
pertanyaan 23
Pearson Correlation .715 .520* 1* .706*
Sig. (2-tailed) .000 .019 .001
N 20 20 20 20
TotalSkor
Pearson Correlation .602* .528** .706** 1**
Sig. (2-tailed) .005 .017 .001
N 20 20 20 20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Uji Reliabilitas
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
32 AF 1 0 1 0 0 3 0 1 0 1 0 11
33 NB 3 2 3 3 2 0 0 2 2 3 6 44
34 HB 3 3 3 3 0 1 0 3 1 0 0 33
LAMPIRAN V
Output Data
Frequencies
Statistics
Kelompok Umur Responden
Jenis Kelamin
N
Valid 34 34
Missing 0 0
Frequency Table
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
laki-laki 25 73.5 73.5 73.5
perempuan 9 26.5 26.5 100.0
Total 34 100.0 100.0
Frequencies
Kelompok Umur Responden
N
Valid 34
Missing 0
Kelompok Umur Responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
20 - 29 Tahun 5 14.7 14.7 14.7
30 - 39 Tahun 14 41.2 41.2 55.9
40 - 49 Tahun 9 26.5 26.5 82.4
50 - 60 Tahun 6 17.6 17.6 100.0
Total 34 100.0 100.0
Frequencies
Statistics
Kategori Lama Paparan Debu
N
Valid 34
Missing 0
Kategori Lama Paparan Debu
Valid
480-720 32 94.1 94.1 94.1
>720 2 5.9 5.9 100.0
Total 34 100.0 100.0
Explore
Descriptives
Statistic Std. Error
Total Skor Sebelum
Mean 30.21 2.175
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 25.78
Upper Bound 34.63
5% Trimmed Mean 29.63
Median 29.00
Variance 160.835
Std. Deviation 12.682
Minimum 12
Maximum 62
Range 50
Interquartile Range 20
Skewness .616 .403
Kurtosis -.258 .788
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 17.74
Upper Bound 24.50
5% Trimmed Mean 20.64
Median 19.00
Variance 93.804
Std. Deviation 9.685
Minimum 8
Maximum 44
Range 36
Interquartile Range 13
Skewness .795 .403
Kurtosis -.093 .788
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Total Skor Sebelum .127 34 .182 .951 34 .129
Total Skor Sesudah .158 34 .031 .929 34 .029
a. Lilliefors Significance Correction
NPar Tests
Descriptive Statistics
Total Skor Sebelum 34 30.21 12.682 12 62
Total Skor Sesudah 34 21.12 9.685 8 44
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Total Skor Sesudah - Total Skor Sebelum
Negative Ranks 34a 17.50 595.00
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 0c
Total 34
a. Total Skor Sesudah < Total Skor Sebelum
b. Total Skor Sesudah > Total Skor Sebelum
c. Total Skor Sesudah = Total Skor Sebelum
Test Statisticsa
Total Skor Sesudah - Total
Skor Sebelum
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
Exact Sig. (2-tailed) .000
Exact Sig. (1-tailed) .000
Point Probability .000
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
LAMPIRAN VI
LEMBAR PENJELASAN
Dengan hormat,
Saya, Citra Ulina Sitorus mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2012. Saat ini, saya sedang menjalankan penelitian
dengan judul “Pengaruh cuci hidung menggunakan NaCl 0.9% terhadap
penurunan rata-rata total skor kualitas hidup pada pedagang kaki lima di kawasan
Universitas Sumatera Utara Tahun 2015”. Penelitian ini dilakukan sebagai syarat
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% terhadap penurunan rata-rata total skor kualitas hidup pada pedagang kaki lima di kawasan Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilakukan dengan melakukan cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% sebanyak 2 kali sehari selama 10 hari. Untuk keperluan tersebut, saya memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi responden dan mengisi kuesioner penelitian. Pengisian kuesioner akan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu sebelum dan sesudah cuci hidung yaitu hari ke-1 dan hari ke-10. Jika Bapak/Ibu atau Saudara/i bersedia, saya persilahkan menandatangani persetujuan ini sebagai bukti kesukarelawan. Identitas pribadi Bapak/Ibu atau Saudara/i sebagai partisipan akan dirahasiakan dan semua informasi yang diberikan hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Bila terdapat hal yang kurang dimengerti, Bapak/Ibu atau Saudara/i dapat bertanya langsung pada saya atau dapat menghubungi saya di nomor 081265810354. Atas perhatian dan kesediaan Bapak/Ibu atau Saudara/i menjadi partisipan dalam penelitian ini, saya ucapkan terima kasih.
Hormat Saya,
LAMPIRAN VII
LEMBAR PERSETUJUAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama :
Umur :
No. HP :
Alamat :
telah benar-benar paham atas penjelasan yang disampaikan oleh peneliti mengenai
penelitian ini yang berjudul “Pengaruh cuci hidung menggunakan NaCl 0.9%
terhadap penurunan rata-rata total skor kualitas hidup pada pedagang kaki lima di kawasan Universitas Sumatera Utara”. Oleh karena itu, saya menyatakan
BERSEDIA menjadi partisipan dalam penelitian ini.
Demikianlah persetujuan ini saya sampaikan dengan sukarela dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Hormat Saya,
LAMPIRAN VIII
KUESIONER mini-RQLQ
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Lingkarilah opsi jawaban yang sesuai pada tabel dibawah ini: Keterangan :
0 = tidak bermasalah
1 = hampir tidak bermasalah 2 = sedikit bermasalah 3 = cukup bermasalah 4 = sungguh bermasalah 5 = sangat bermasalah
6 = sangat-sangat bermasalah
AKTIVITAS
1. Aktivitas rutin di rumah dan di tempat kerja
(perkerjaan atau tugas rutin yang Anda lakukan di sekitar rumah dan halaman/taman)
2. Aktivitas rekreasi
(kegiatan di dalam dan di luar ruangan dengan teman dan keluarga, olahraga, hobi, dan aktivitas sosial lainnya)
0 1 2 3 4 5 6
3. Tidur
(sulit untuk tidur dan/atau tidur nyenyak pada malam hari
0 1 2 3 4 5 6
MASALAH PRAKTIS
4. Rasa ingin mengusap-usap hidup/mata
0 1 2 3 4 5 6
5. Rasa ingin mengeluarkan ingus terus-menerus
0 1 2 3 4 5 6
GEJALA PADA HIDUNG
6. Bersin-bersin 0 1 2 3 4 5 6
7. Hidung tersumbat 0 1 2 3 4 5 6
8. Hidung berair 0 1 2 3 4 5 6
GEJALA PADA MATA
9. Mata terasa gatal 0 1 2 3 4 5 6
10. Mata pedih 0 1 2 3 4 5 6
GEJALA LAIN
12. Kelelahan dan/atau letih 0 1 2 3 4 5 6
13. Kehausan 0 1 2 3 4 5 6
14. Rasa mudah marah 0 1 2 3 4 5 6
15. Batuk 0 1 2 3 4 5 6
16. Terbangun pada malam hari dengan sakit kepala, pusing, kram perut, perut kembung, atau batuk kering
0 1 2 3 4 5 6
17. Rasa gatal di kulit atau di langit-langit mulut
0 1 2 3 4 5 6
18. Kemerahan di kulit 0 1 2 3 4 5 6 19. Bengkak pada mata kaki, kaki,
lengan, atau wajah
0 1 2 3 4 5 6
20. Kedinginan yang berlebihan dengan perubahan suhu yang tiba-tiba
0 1 2 3 4 5 6
37
Adams, G.L., Boies, L.R., & Higler, P.A., 1997. Hidung dan Sinus Paranasalis.
Boies Buku Ajar THTEdisi 6. Jakarta: EGC, 173-189.
Agusnar, H., 2008. Analisa Pencemaran dan Pengendalian Pencemaran. Medan: USU Press.
Airaksinen, Liisa, 2010. Diagnosis and Health-related Quality of Life.
Occupational Rhinitis. 28-31.Available from:
http://www.tsr.fi/tsarchive/files/TietokantaTutkittu/2008/108414Loppuraportt i.pdf. [Accesed 27 Maret 2015].
Am fam physician, 2009. Saline Nasal Irrigation for Upper Respiratory Conditions, NIH Public Access, 80(10), 1117-1119. Available from: http://europepmc.org/backend/ptpmcrender.fcgi?accid=PMC2778074&blobty pe=pdf. [Accesed 25 Maret 2015].
Ao, H., Wang, Q., Jiang, B., He, P., 2011. Efficacy and Mechanism of Nasal Irrigation with a Hand Pump Against Influenza and Non-Influenza Viral Upper Respiratory Tract Infection. Journal of Infectious Diseases and Immunity 3(6), 96-105. Available from: http://www.academicjournals.org/article/article1379601945_Ao%20et%20al. pdf [Accesed 13 November 2015]
Ballenger, J.J. & Snow, J.B., 2003. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and
Neck Surgery Sixteenth Edition. Spain: BC Decker.
Beule, A.G., 2010. Physiology and Pathophysiology of Respiratory Mucosa of The Nose and The Paranasal Sinuses. Current Topics in Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery, 9, 1-4. Available from:
http://www.egms.de/en/journals/cto/2011-9/cto000071.shtml [Accesed 29 Maret 2015].
38 5868a491000000.pdf [Accesed 25 Maret 2015].
Dahlan, M. S., 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika, 72-75.
Departemen Kesehatan RI, 2007. Available from: http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/593/3/KMK812-0707-G.pdf. [Accesed 27 Maret 2015].
Gaga, M., Vignola, A. M., Chanez, P., 2001. Upper and Lower Airways: Similarities and Differences. European Respiratory Monograph, 18, 7-8. Available from: http://www.ers-education.org/media/40210/37.pdf. [Accesed 19 April 2015].
Guyton, A.C. & Hall, J.E., 2006. Pulmonary Ventilation. Textbook of Medical
Physiology Eleventh Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders, 480-481.
Hermelingmeier, K.E., Weber, R.K., Hellmich, M., Heubach, C.P., & Mösges, R., 2012. Nasal Irrigation as an Adjunctive Treatment in Allergic Rhinitis: A Systematic Review and Meta-Analysis. American Journal of Rhinology and Allergy, 26 (5), 119-125. Available from: http://europepmc.org/backend/ptpmcrender.fcgi?accid=PMC3904042&blobty pe=pdf [Accesed 25 Maret 2015].
Hernandez, J.G., 2007. Nasal Saline Irrigation for Sinosal Disorders, Philippine
Journal of Otolaryngology Head and Neck Surgery, 22, 37-39 Available
from: http://apamedcentral.org/Synapse/Data/PDFData/0011PJOHNS/pjohns-22-37.pdf. [Accesed 20 April 2015].
39
Juniper, E.F., Thompson, A.K., Ferrie, P.J., & Roberts, J.N., 2000. Development and Validation of The Mini Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire. Clinical and Experimental Allergy, 30, 132-140. Available from:http://www.efficas.my/doctor/pdf/Quality%20of%20Life/Juniper%20M ini%20Rhino%20QOL%202000%20.pdf. [Accesed 27 Maret 2015].
Kalantar-Zadeh, K., 2000. SF-36 Questionnaire User Manual Fornat modified. Available from: http://jech.bmj.com/content/53/1/46.full.pdf. [Accesed 27 Maret 2015].
Maynard, Robert, 2003. Pollution. Dalam: Snashall, D. & Patel, D., ed. ABC of
Occupational and Environmental Medicine Second Edition. London: BMJ
Books, 101-104.
Mukhtar, Z., Haryuna, T. S. H., Effendy, E., Rambe, A. Y. M., Betty., Zahara., 2011. Desain Penelitian Klinis dan Statistika Kedokteran. Medan: USU Press, 109-138.
Mukono, H. J., 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.
Mukono, H. J., 2008. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernapasan. Surabaya : Airlangga University Press.
Munkholm, M. & Mortensen J., 2014. Mucociliary Clearance: Pathophysiological
Aspects, 34, 171-172. Available from:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/cpf.12085/epdf [Accesed 20 April 2015].
Nasal Irrigation Instructions, University of Wisconsin Department of Family
Medicine. Available from:
https://www.fammed.wisc.edu/sites/default/files//webfmuploads/documents/r esearch/nasalirrigationinstructions.pdf [Accesed 20 April 2015].
40
Notoatmodjo, Soekidjo., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Olivieri, D. & Scoditti, E., 2005. Impact of Environmental Factors on Lung Defences. European Respiratory Review, 14(95), 51-56. Available from: http://err.ersjournals.com/content/14/95/51.full.pdf+html [Accesed 20 April 2015].
Papsin, B., dan McTavish, A., 2003. Saline Nasal Irrigation. Canadian Family
Physician, 49, 168-173. Available from:
http://www.cfp.ca/content/49/2/168.full.pdf. [Accesed 25 Maret 2015].
Passali, D., Damiani, V., Passali, F. M., Bellussi, L., Atomized Nasal Douche vs Nasal Lavage in Acute Viral Rhinitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg, 131(9), 788-790.
Rabago, D. & Zgierska, A., 2009. Saline Nasal Irrigation for Upper Respiratory Conditions, American Family Physician, 80, 117-119. Available from: http://search.proquest.com/docview/1666357822/559297339C714444PQ/26?acco
untid=50257# [Accesed 20 April 2015].
Rongkakou, A., Guerra, L., Massacane, P., Baiardini, I., Baena-Cagnani, R., Zanella, Ch., et al., 2005. Effects on Symptoms and Quality of Life of Hypertonic Saline Nasal Spray Added to Antihistamine in Persistent Allergic Rhinitis—A Randomized Controlled Study. Eur Ann Allergy Clin Immunol, 9, 353-356. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16453969 [Accesed 25 Maret 2015].
Sakakura, Y.,1997. Mucociliary Transport in Rhinologic Disease. Dalam: Bunnag, C. & Muntarbhorn, K., ed. Asean Rhinological Practice. Bangkok: Siriyot Co, 137-143.
Sastroasmoro, S., Ismael, S., 2014. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-5. Jakarta: Sagung Seto.
Snell, R.S., 2008. Saluran Pernapasan Atas dan Bawah Serta Struktur yang Terkait. Anatomi Klinis. Jakarta: EGC, 34-42.
41
Sujuthi, A. R., Punagi, A. Q., Perkasa, M. F., 2009. Efektivitas Larutan Cuci Hidung Air Laut Steril Pada Penderita Rinosinusitis Kronis. Available from: http://www.perhati-kl.or.id/v1/wp-content/uploads/2011/11/Efektivitas-Larutan-Air-Laut-Steril-dr-Ade.pdf [Accesed 13 November 2015]
Waguespack, R., 1995. Mucociliary Clearance Patterns Following Endoscopic
Sinus Surgery, 1-40. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7603287. [Accesed 29 April 2015]. Walsh, W.E. & Kern, R.C, 2006. Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation.
Dalam: Bailey, B.J., Johnson, J.T., & Newlands, S.D, ed. Head & Neck
Surgery Otolaryngology 4th Edition. Lippincot Williams & Wilkins,
314-319.
World Health Organization, 1997. WHOQOL Measuring Quality of Life. Available from: http://www.who.int/mental_health/media/68.pdf. [Accesed 29 April 2015].
22
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 3.1. Kerangka Konsep
3.2. Definisi Operasional
3.2.1. Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9%
Cuci hidung adalah terapi adjuvan untuk kondisi-kondisi saluran pernafasan bagian atas dengan cara mencuci daerah kavum nasi melalui semprotan atau cairan menggunakan NaCl 0,9%.
3.2.2. Kualitas Hidup
23
3.4. Cara Ukur 3.4.1. Cuci Hidung
Mengisi spuit 30 cc dengan larutan NaCl 0,9% sebanyak 30 cc.
3.4.2. Kualitas Hidup
Kualitas hidup diukur dengan cara angket menggunakan
mini-Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire yang terdiri dari 23 pertanyaan,
dengan interpretasi:
1. Apabila responden menjawab tidak bermasalah akan diberi nilai 0
2. Apabila responden menjawab hampir tidak bermasalah akan diberi nilai 1 3. Apabila responden menjawab sedikit bermasalah akan diberi nilai 2 4. Apabila responden menjawab cukup bermasalah akan diberi nilai 3 5. Apabila responden menjawab sungguh bermasalah akan diberi nilai 4 6. Apabila responden menjawab sangat bermasalah akan diberi nilai 5 7. Apabila responden menjawab sangat-sangat bermasalah akan diberi nilai 6 Total skor yang tinggi menunjukkan kualitas hidup yang rendah.
3.5. Hipotesis
Dengan mempertimbangkan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengaruh cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% terhadap penurunan rata-rata total skor kualitas hidup pada pedagang kaki lima yang terpapar polutan.
BAB 4
24
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat praeksperimen (pre experimental) dengan rancangan
one group pretest-posttest design (Notoatmodjo, 2010). Tujuannya adalah untuk
melihat penurunan rata-rata total skor kualitas hidup setelah dilakukan cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% selama 10 hari.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data penelitian ini dilakukan pada pedagang kaki lima di kawasan Universitas Sumatera Utara. Waktu pengambilan data pada bulan September 2015.
4.3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh pedagang kaki lima yang berada di kawasan Universitas Sumatera Utara. Populasi memiliki intensitas terhadap paparan polutan yang hampir sama saat bekerja. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa karakteristik individu dalam populasi tidak terlalu berbeda.
Sampel penelitian adalah subjek yang diambil dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
1. Pedagang kaki lima yang minimal terpapar polutan 8 jam sehari. 2. Usia 20-60 tahun.
3. Bersedia menjadi responden penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan.
b. Kriteria Eksklusi
1. Responden memiliki kelainan kongenital pada hidung yang ditandai dengan waktu transpor mukosiliar >60 menit.
2. Responden memiliki riwayat operasi pada hidung. 3. Responden memiliki riwayat asma.
25
n = [(� +� )�
� −� ]
Ket:
n = besar sampel minimum � = deviat baku alfa
� = deviat baku beta
S = simpang baku dari selisih nilai antarkelompok � - � = selisih minimal rerata yang dianggap bermakna
Nilai � dan � bergantung pada besarnya kesalahan dan jenis hipotesa penelitian:
Tabel 4.1. Nilai � dan � berdasarkan besar kesalahan tipe I dan II serta hipotesis penelitian
Kesalahan (%) Zβ dan Zα satu arah Deskriptif Zα dua arah
1 2,326 2,576
5 1,645 1,960
10 1,282 1,645
15 1,036 1,440
20 0,842 1,282
Sumber : Dahlan, 2013
Kesalahan tipe I adalah kesalahan untuk menolak hipotesis nol dimana seharusnya hipotesis nol di terima. Kesalahan tipe II adalah kesalahan untuk menerima hipotesis nol yang seharusnya ditolak. Dari kesalahan tipe II dapat ditentukan power dari suatu penelitian. Hipotesis nol adalah jawaban sementara pada uji hipotesa yang menyatakan tidak adanya perbedaan atau tidak adanya korelasi (Dahlan, 2013).
26
Peneliti menetapkan kesalahan Tipe I sebesar 5%, hipotesa satu arah, sehi gga Zα = ,64 da kesalaha Tipe II ditetapka sebesar %, aka Zβ = , 8.
Menghindari kejadian adanya subjek yang tidak menyelesaikan penelitian, maka peneliti memasukkan kemungkinan jumlah drop out sebesar 10%. Karena pada penelitian klinis, biasanya drop out sebanyak 5-10% dianggap masih tidak mengganggu hasil penelitian (Sastroasmoro, 2014).
n = [(� +� )�
� −� ]
n = [ ,64+ , 8 ]
n = 34,01, dibulatkan menjadi 34 DO 10 % = 3,4, dibulatkan menjadi 4 Jumlah sampel = 34 + 4
= 38 orang
Maka jumlah sampel yang digunakan adalah 38 orang. Sampel di dapat dari seluruh pedagang kaki lima yang berada di kawasan kampus Universitas Sumatera Utara, yaitu semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek penelitian yang dibutuhkan terpenuhi.
4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Jenis Data
Data dalam penelitian ini adalah data primer. Data diperoleh dari pengamatan dan pencatatan hasil pengukuran.
4.4.2. Langkah-langkah dalam Penelitian
Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
27
lembar persetujuan (Lampiran VII). Selanjutnya responden diwawancara untuk menentukan apakah responden memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Jika responden memiliki kriteria eksklusi maka tidak diikutsertakan dalam penelitian. b. Responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pretest yaitu
mengisi kuesioner mRQLQ pada hari pertama.
c. Selama penelitian, jika dijumpai responden dengan waktu transpor mukosiliar >60 menit maka subjek tidak diikutsertakan dalam penelitian.
d. Kemudian responden melakukan cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% selama 10 hari sebanyak dua kali setiap harinya yaitu pada pukul 08.00 dan pukul 16.00 disaksikan oleh peneliti dan saksi lainnya.
e. Setelah 10 hari, dilakukan posttest yaitu mengisi kembali kuesioner mRQLQ pada hari kesepuluh.
f. Semua hasil pengisian kuesioner dikumpulkan dan dianalisis.
g. Penelitian dilakukan secara bertahap sampai jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi.
4.4.3. Instrumen Penelitian
Kuesioner yang digunakan adalah mini-Rhinoconjunctivitis Quality of Life
Questionnaire (mRQLQ) yang sudah baku. Instrumen ini terdiri dari 23
pertanyaan yaitu: pertanyaan tentang aktivitas sebanyak 3 pertanyaan (nomor 1-3), pertanyaan masalah praktis sebanyak 2 pertanyaan (nomor 4-5), pertanyaan gejala pada hidung sebanyak 3 pertanyaan (nomor 6-8), pertanyaan gejala pada mata sebanyak 3 pertanyaan (nomor 9-11), pertanyaan gejala-gejala lain sebanyak 12 pertanyaan (nomor 12-23). Penilaian menggunakan skala dengan 7 pilihan jawaban yaitu:
0 = tidak bermasalah
28
5 = sangat bermasalah
6 = sangat-sangat bermasalah
Total skor yang tinggi menunjukkan kualitas hidup yang rendah.
4.4.4. Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner
Uji validitas dan reabilitas sudah dilakukan terhadap kuesioner yang akan digunakan kepada 20 orang pedagang kaki lima dengan karakter yang hampir sama dengan sampel penelitian seperti yang ditentukan peneliti di daerah lain. Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi Pearson dan didapatkan hasil yang signifikan (nilai korelasi >0,05) pada 23 pertanyaan tersebut. Uji reliabilitas
dilakukan dengan uji Cronbach’s Alpha dengan hasil bermakna (nilai Cronbach’s
Alpha >0,601).
4.5. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini, akan diolah melalui beberapa tahapan dengan menggunakan proses pengolahan komputer, yaitu:
1. Editing
Dilakukan pengecekan pada hasil pengamatan untuk melihat kelengkapan data identitas responden, dan konsistensi jawaban responden apakah sesuai dengan petunjuk atau tidak.
2. Coding
Mengubah data dari bentuk kalimat menjadi angka untuk mempermudah proses memasukkan data.
3. Entry
Memasukan data yang sudah dilakukan editing dan coding ke dalam program komputer.
4. Cleaning
29
Proses pengolahan data penelitian dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistic Package for Sosial Science). Data hasil pengukuran dipresentasikan dalam bentuk tabel dan diagram. Pengujian menggunakan metode komputerisasi.
Sebelumnya dilakukan uji normalitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Jika dari hasil uji didapat nilai p < 0,05, maka data dikatakan mempunyai distribusi tidak normal. Sebaliknya, bila nilai p > 0,05, maka data mempunyai distribusi normal (Mukhtar, 2011).
Jika data berdistribusi normal, uji hipotesis yang digunakan untuk menganalisis data adalah uji t - berpasangan (t – paired test). Apabila ditemukan data tidak berdistribusi normal, maka dilakukan uji Wilcoxon untuk menguji hipotesis (Mukhtar, 2011).
4.6. Ethical Clearance
30
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kawasan Universitas Sumatera Utara, secara geografis terletak di Kecamatan Medan Baru.
Diketahui bahwa jumlah mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang cukup tinggi setiap tahunnya. Dengan begitu terjadi kepadatan jumlah penduduk yang tentu seiring dengan peningkatan polusi udara karena banyaknya kendaraan bermotor.
Pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar kawasan Universitas Sumatera Utara tentu rentan terkena polusi udara. Polusi udara dikatakan dapat mengganggu kualitas hidup seseorang dengan mengganggu fungsi hidung dan dapat menyebabkan inflamasi pada hidung.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah pedagang kaki lima yang berada di kawasan Universitas Sumatera Utara. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 34 orang. Sampel berusia antara 20-60 tahun. Data lengkap mengenai usia responden dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia
Usia (tahun) Frekuensi (orang) Persentase dalam Kelompok
(%)
20 – 29 5 14,7
30 – 39 14 41,2
40 – 49 9 26,5
50 – 60 6 17,6
31
Berdasarkan table 5.1 diketahui bahwa sampel dalam penelitian berusia antara 20-60 tahun. Dari 34 orang sampel yang paling banyak berada pada rentang usia 30-39 tahun yaitu sebanyak 14 orang (41,2%) dan yang terendah berada pada rentang usia 20-29 tahun yaitu sebanyak 5 orang (14,7%).
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi (orang) Persentase dalam Kelompok
(%)
Laki-laki 25 73,5
Perempuan 9 26,5
Total 34 100
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa dari 34 orang sampel yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu 25 orang (73,5%) dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan yaitu 9 orang (26,5%).
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Lama Paparan Debu
Lama Paparan
Debu (menit/hari) Frekuensi (orang)
Persentase dalam Kelompok (%)
480-720 32 94,1
>720 2 5,9
Total 34 100
32
5.1.3 Hasil Analisis Data
5.1.3.1. Hasil Perhitungan Total Skor Kualitas Hidup
Hasil perhitungan total skor kualitas hidup sebelum dan sesudah melakukan cuci hidung dapat dilihat pada table 5.4.
Tabel 5.4 Rata-rata Total Skor Kualitas Hidup Sebelum (pretest) dan Sesudah (posttest) Melakukan Cuci Hidung
Rata-rata Total Skor Kualitas Hidup
Pretest 30,21±12,682
Posttest 21,12±9,685
Berdasarkan analisis data pada table 5.4 didapatkan bahwa rata-rata total skor kualitas hidup sebelum melakukan cuci hidung (pretest) adalah 30,21±12,682. Sedangkan rata-rata total skor kualitas hidup setelah melakukan cuci hidung (posttest) adalah 21,12±9,685.
5.1.3.2. Hasil Uji Statistik
Pada penelitian ini, uji statistik didahului dengan melakukan uji normalitas data, yaitu uji Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan uji tersebut, didapatkan hasil seperti pada table 5.5.
Tabel 5.5 Uji Normalitas Variabel Penelitian
Variabel Sebelum (pretest) Sesudah (posttest) Ket Uji
p Ket P Ket
Total Skor Kualitas
Hidup
0,182 Normal 0,031 Tidak Normal
Wilcoxon
33
Tabel 5.6 Hasil Uji Wilcoxon
Variabel Mean Z p-value
Total Skor Kualitas
Hidup
17,5 -5,091 0,001
Berdasarkan analisis data pada table 5.7 didapatkan hasil uji Wilcoxon dalam penurunan rata-rata total skor kualitas hidup adalah penurunan yang bermakna (p=0,001; p<0,05) dan memiliki rata-rata penurunan yaitu 17,5.
5.2. Pembahasan
5.2.1. Karakteristik Sampel Penelitian
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan lama paparan debu setiap harinya diperoleh data yang paling banyak adalah 480-720 menit/hari yaitu 32 orang (94,1%), sedangkan yang terpapar debu selama >720 menit/hari hanya 2 orang (5,9%). Terpapar debu selama 600 menit/hari merupakan faktor risiko untuk terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Orang-orang yang terpapar debu mengalami gejala-gejala pada hidung, penurunan waktu pembersihan mukosiliar, dan peningkatan pH cairan hidung (Brant et al., 2013).
5.2.2. Perbandingan Rata-rata Total Skor Kualitas Hidup Sebelum dan Sesudah Cuci Hidung Menggunakan NaCl 0,9%
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang bermakna dari total skor kualitas hidup setelah sampel melakukan cuci hidung dengan menggunakan NaCl 0,9% sebanyak dua kali sehari selama 10 hari. Rata-rata total skor kualitas hidup menurun dari 30,21±12,682 menjadi 21,12±9,685. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang mengatakan terdapat penurunan rata-rata total skor kualitas hidup setelah melakukan cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% pada pedagang kaki lima yang terpapar polutan dapat diterima.
34
35
dengan terapi standar saja dalam memperbaiki patensi hidung dan kualitas hidup pada penderita rinosinusitis kronik.
Penelitian Ao et al (2011) pada penderita infeksi virus pada saluran pernafasan atas juga menunjukkan hasil yang signifikan pada perbaikan kualitas hidup setelah melakukan cuci hidung sebanyak tiga kali sehari selama 8 hari. Rata-rata skor tanda dan gejala infeksi virus saluran pernafasan atas berdasarkan
Modified Jackson Scale menurun dari 12,4±0,3 menjadi 3,1±0,3 pada evaluasi
hari keempat dan menjadi 1,8±0,3 pada evaluasi hari kelima. Besar penurunan rata-rata skor pada hari keempat yaitu 9,3 dan pada hari kelima yaitu 10,6. Ao et al mengatakan mekanisme cuci hidung menurunkan gejala infeksi virus dan juga memperbaiki kualitas hidup yaitu dengan mengurangi titer virus yang berada di rongga hidung dan nasofaringeal sehingga tidak terdapat cukup virus yang menyebabkan berkembangnya infeksi klinis. Kemungkinan mekanisme lain cuci hidung menurunkan beratnya gejala pada infeksi virus saluran pernafasan atas yaitu menghilangkan mediator-mediator inflamasi seperti histamine, prostaglandin, dan leukotrien yang terdapat pada mukus hidung.
Berdasarkan studi meta analisis menunjukkan efektivitas yang signifikan cuci hidung dalam pengobatan rinitis alergi. Kualitas hidup meningkat sekitar 27,88%. Oleh sebab itu, cuci hidung direkomendasikan menjadi pengobatan pada rinitis alergi. Mekanisme bagaimana cuci hidung dapat memperbaiki kualitas hidup masih belum diketahui. Terdapat beberapa asumsi yang menjelaskan bagaimana terjadi perbaikan fungsi mukosa pada hidung, yaitu pembersihan secara langsung dengan mengirigasi mukus, krusta, debris, allergen, polusi udara pada hidung, menghilangkan mediator-mediator inflamasi, serta memperbaiki kecepatan frekuensi siliari (Hermelingmeier et al., 2012).
36
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian, maka kesimpulan yang diperoleh adalah:
a. Rata-rata total skor kualitas hidup sebelum melakukan cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% adalah 30,21±12,682.
b. Rata-rata total skor kualitas hidup sesudah melakukan cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% adalah 21,12±9,685.
c. Penurunan rata-rata total skor kualitas hidup adalah penurunan yang bermakna (p=0,001).
6.2. Saran
a. Kepada petugas kesehatan agar dapat menggunakan dan mensosialisasikan cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% kepada orang-orang yang terpapar debu untuk menjaga fungsi dan kesehatan hidung serta terhindar dari gangguan pernafasan.
b. Bagi peneliti selanjutnya untuk lebih mengembangkan penelitian menjadi lebih efektif dan efisien, yaitu melakukan survei atau mendata terlebih dahulu responden yang akan menjadi subjek penelitian. Sehingga peneliti dapat melakukan penelitian pada seluruh subjek pada waktu yang bersamaan.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1. Anatomi Hidung
Hidung merupakan salah satu organ terpenting pelindung tubuh terhadap lingkungan luar yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar dapat dibedakan menjadi 3 bagian: paling atas, kubah tulang, yang tidak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang dapat sedikit digerakkan, dan paling bawah yaitu lobulus hidung dan mudah digerakkan (Boies, 1997).
Hidung dibagi menjadi hidung luar, yang membatasi bagian anterior dengan wajah melalui lubang hidung yang disebut nares, dan hidung dalam, yang dibagi secara sagital menjadi bagian kanan dan kiri oleh septum yang membatasi bagian posterior dengan nasofaring melewati apertura nasalis posterior atau
choanae. Kavum nasi dibentuk oleh kerangka yang terdiri dari tulang dan
kartilago fibro-elastis. Sinus paranasal adalah rongga-rongga berisi udara yang terdapat pada tulang besar pada kerangka yang membentuk kavum nasi. Sinus dan duktus nasolakrimalis dihubungkan dengan kavum nasi melalui dinding lateralnya (Gray’s Anatomy, 2008).
Hidung luar membatasi bagian anterior hidung dengan wajah melalui lubang hidung yang disebut nares. Struktur hidung luar berbentuk piramida yang terletak pada garis tengah wajah dan melekat dengan tulang wajah. Bentuk hidung luar sangat bervariasi pada setiap individu. Bagian atasnya berhubungan dengan dahi dan bagian dasarnya terdapat dua lubang hidung atau nares yang dipisahkan oleh septum nasi atau columella. Ukuran nares biasanya adalah 1,5-2 cm anteroposterior dan 0,5-1 cm secara transversal. Vestibulum terletak tepat di belakang nares, pada dinding medialnya dibentuk oleh septum yang terdiri dari
columella. Hidung luar mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang arteri fasialis,
6
wajah. Bagian frontomedian wajah termasuk hidung, mengalirkannya ke vena fasialis dan daerah orbitopalpebral pada wajah termasuk dasar hidung mengalirkannya ke vena oftalmika. Aliran limfe utamanya ke nodus-nodus di submandibular, tetapi aliran limfe dari dasar hidung mengalir ke nodus parotid superfisialis. Inervasi pada kulit hidung berasal dari nervus infratrochlearis, cabang nasales externa nervus nasociliaris, dan cabang nasalis nervus infraorbitalis (Gray’s Anatomy, 2008).
Gambar 2.1. Struktur Anatomi Dinding Lateral Hidung. Sumber : Ballenger, 2003. Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal Sinuses. Halaman 552, Gambar 26.6
7
dinding medial dan dinding lateral. Dinding medial hidung adalah septum nasi, lapisan tulang yang tipis pada bagian posterior dan kartilago pada bagian anterior. Pada dinding lateral terdapat 3 penonjolan yaitu, konka nasalis superior, media, dan inferior. Area di bawah setiap konka disebut meatus. Konka inferior merupakan yang terbesar dan terletak paling bawah, kemudian yang lebih kecil konka media, dan yang lebih kecil lagi konka superior, dan terkecil adalah konka supreme yang terkadang disebut sebagai konka keempat. Vaskularisasi pada kavum nasi berasal dari cabang-cabang arteri maksilaris, cabang yang terpenting adalah cabang arteri sphenopalatina. Darah di dalam anyaman vena submukosa berasal dari vena-vena yang menyertai arteri. Bagian anterior kavum nasi mengalirkan limfe ke nodus-nodus submandibular. Bagian lain kavum nasi limfenya dialirkan ke nodus-nodus servikalis superior profunda (Gray’s Anatomy, 2008).
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian menyebar di mukosa yang melapisi bagian atas konka superior dan bagian septum (Ballenger, 2003).
2.1.2. Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal adalah rongga-rongga berisi udara yang terdapat di dalam tulang yang sama dengan namanya yaitu, sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus maksilaris. Sinus-sinus tersebut berhubungan dengan dinding lateral kavum nasi melalui apertura-apertura yang relatif kecil (Gray’s Anatomy, 2008).
2.1.2.1 Sinus Frontalis
8
Gambar 2.2. Struktur Anatomi Hidung Secara Horizontal. Sumber: Ballenger, 2003. Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal Sinuses. Halaman 550, Gambar. 26.4
2.1.2.2 Sinus Ethmoidalis
Sinus ethmoidalis terletak di anterior, medius, posterior, dan terdapat di dalam os ethmoidale, di antara hidung dan orbita. Terdapat tiga kelompok sinus ethmoidalis yaitu kelompok anterior yang bermuara ke dalam infundibulum, kelompok media yang bermuara ke dalam meatus nasi medius, pada atau di atas bulla ethmoidalis, dan kelompok posterior yang bermuara ke dalam meatus nasi superior.
2.1.2.3 Sinus Sphenoidalis
9
2.1.2.4 Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris terletak di dalam korpus maksilaris di belakang pipi. Muara dari sinus maksilaris tersebut adalah meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris (Snell, 2008).
2.2. Fisiologi Hidung
Hidung memiliki tiga fungsi utama yaitu penciuman, pernafasan, dan perlindungan. Ketiga fungsi ini dibantu oleh anatomi kavum nasi yang berliku-liku sehingga menciptakan area perrmukaan yang luas. Permukaan kavum nasi yang bersilia meningkatkan kontak dengan udara yang masuk, sehingga memaksimalkan fungsi penciuman serta menghasilkan pemanasan, kelembaban, dan filtrasi yang efisien terhadap udara yang masuk ke hidung sebelum mencapai saluran pernafasan bawah (Walsh, Kern, 2006).
Ketika udara melewati hidung, terdapat tiga fungsi pernafasan normal yang dilakukan oleh kavum nasi yaitu, udara dipanaskan oleh permukaan luas pada konka dan septum yang total areanya sekitar 160 cm², udara dilembabkan ketika melewati hidung, kelembaban berasal dari kadar air yang terdapat pada mukus yang tertransudasi secara langsung dari pembuluh-pembuluh darah pada hidung, dan udara difiltrasi, rambut-rambut dan vibrissae pada lubang hidung, memfiltrasi partikel-partikel besar yang masuk ke hidung. Ketiga fungsi tersebut disebut dengan air conditioning function pada saluran pernafasan bagian atas (Guyton, 2006; Walsh, Kern, 2006).
10
permukaan hambatan, dan terperangkap di dalam lapisan mukosa kemudian ditranspor oleh silia ke faring untuk di telan. Mekanisme turbulensi tersebut sangat efektif untuk membersihkan partikel-partikel yang ukurannya lebih dari 6 mikrometer (Guyton, 2006).
2.3. Sistem Mukosiliar Hidung 2.3.1. Histologi Mukosa Hidung
11
2.3.1.1 Silia Respiratorik
Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel permukaan epitelium, dan jumlahnya sekitar 100 per mikron persegi, atau sekitar 250 per sel pada saluran pernapasan atas. Silia tampaknya bekerja hampir otomatis. Misalnya, sel dapat saja terbelah menjadi pecahan-pecahan kecil tanpa menghentikan gerakan silia. Suatu silia tunggal akan terus bergerak selama bagian kecil sitoplasma yang menyelubungi korpus basalis silia tetap melekat padanya. Masing-masing silia bergerak secara metakronis dengan silia disekitarnya. Bila gerakan silia diamati, maka silia akan membengkok bersamaan dan berurutan. Gerakan tersebut tidak hanya terkoordinasi menurut waktu, tetapi juga menurut arahnya pada jutaan epitel dalam sinus, yang merupakan faktor penting dalam mengangkut mukus ke nasofaring (Boies,1997).
Gambar 2.3. Struktur Normal Silia. Sumber: Munkholm & Mortensen, 2014. Mucociliary Clearance: Pathophysiological Aspects. Halaman 172. Gambar 1.
2.3.1.2 Palut Lendir (mucous blanket)
Lapisan ganda palut lendir dihasilkan oleh kelenjar serosa dan kelenjar goblet, yang memiliki ketebalan 12-15 µm. Palut lendir berfungsi sebagai lubrikan dan menjerat partikulat-partikulat kecil. Jumlahnya sekitar 1-2 L per hari.
12
mendorong mukus beserta partikel yang terjerat menuju ke faring dan esofagus (Ballenger, 2003).
2.3.2. Transpor Mukosiliar
Transpor mukosiliar atau sistem pembersihan adalah dua sistem yang bekerja sama satu dengan yang lainnya yang tergantung pada gerakan aktif silia mencapai serpihan mukus pada permukaan luminal dan mendorong serpihan-serpihan tersebut ke esofagus (Ballenger, 2003).
Lapisan tipis dari mukus melapisi epitel hidung. Lapisan tersebut terdiri dari 2 lapisan: lapisan viskositas rendah yang menyelubungi silia (sol phase) dan lapisan yang lebih kental (gel phase). Mukus berasal dari sel goblet, seron-mucus dan kelenjar serous, eksudasi dari pembuluh darah dan air mata. Albumin dan immunoglobulin, lisozim, lactoferin, sitokin, dan mediator-mediator lain sama seperti ion-ion yang terdapat pada lapisan mukosa. Gerakan silia menyebabkan mukus terdorong menuju nasofaring, kecuali pada bagian anterior dari konka inferior dimana transpor mukosa hidung berada di depan. Partikel dan zat yang terperangkap atau terlarut di dalam mukus akan ditelan dan dihancurkan oleh enzim-enzim yang terdapat di saluran cerna. Peningkatan atau penurunan dari lapisan mukosa menghasilkan gangguan pada transportasi. Pembersihan mukosiliar juga dapat terganggu akibat disfungsi silia seperti pada fibrosis kistik atau diskinesia silia primer (Gaga, Vignola, Chanez, 2001).
Lapisan mukosa akan dibawa ke nasofaring setiap 10-15 menit oleh gerakan silia dan digantikan dengan mukus baru yang disekresikan oleh kavum nasi dan mukosa sinus. Aktifitas silia dapat terganggu akibat penurunan kelembaban, penurunan temperatur, atau kohesi dari permukaan mukosa yang berlawanan (Walsh, Kern, 2006).
13
fungsi transpor mukosiliar. Penggunaan NaCl memicu peningkatan frekuensi gerakan silia dan memperbaiki fungsi transpor mukosiliar (Beule, 2010).
2.3.3. Patofisiologi Terganggunya Sistem Transpor Mukosililiar
Ozon (O3) adalah hasil dari reaksi photochemical antara radiasi ultraviolet, NO2 dan hidrokarbon yang merupakan derivat dari asap kendaraan. Jumlah O3 tergantung kepada jumlah NO2 yang dihasilkan kendaraan pada cuaca cerah yang akan mengubah NO2 menjadi O3. O3 adalah polusi udara yang paling utama pada cuaca cerah, karena jumlahnya bisa mencapai lebih dari 90% dari total level oksidan di kota dengan cuaca cerah (Olivieri& Scoditti, 2005).
Bagan 2.1 Patofisiologi Terganggunya Sistem Transpor Mukosiliar
O3 secara potensial menyebabkan pembentukan produk reaktif sekunder dan tersier, yang akan menyebabkan peningkatan reactiveO2 species (ROS) intraselular. O3 juga meningkatkan permeabilitas sel epitel, menyebabkan alergen
NO2dan Hidrokarbon
O3 (Ozon)
Peningkatan intraselular ROS dan pelepasan sitokin-sitokin inflamasi(IL-1,
IL-6, IL-8, TNF)
Kerusakan jaringan dan destruksi sel epitel respiratori
14
dan toksin menjadi mudah masuk serta menyebabkan terjadinya perlepasan sitokin-sitokin inflamasi (Interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8, dan tumour necrosis factor (TNF)). Sehingga akan terjadi kerusakan jaringan dan destruksi sel epitel respiratori yang akan menyebabkan terganggunya sistem transpor mukosiliar.
2.3.4. Faktor yang Mempengaruhi Transpor Mukosiliar
Disfungsi mukosiliar hidung dibagi menjadi kelainan primer dan sekunder. Kelainan primer berupa diskinesia silia primer dan fibrosis kistik. Kelainan sekunder berupa influenza, sinusitis kronis, rinitis atrofi, rinitis vasomotor, deviasi septum, sindroma Sjogren, dan penyakit adenoid (Sakakura, 1997).
Menurut Waguespack (1995), keadaan yang mempengaruhi transpor mukosiliar adalah faktor fisiologis atau fisik, polusi udara dan rokok, kelainan kongenital, rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan pengawet, dan tindakan operasi.
2.3.5. Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar
Fungsi transpor mukosiliar dapat diperiksa dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black,
colloid sulfur, 600-µm alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human
serum albumin, teflon, bismuth trioxide (Waguespack, 1995; Jorissen, Willems, Boeck, 2000).
Penilaian terhadap fungsi transpor mukosiliar dapat dinilai dari beberapa aspek, yaitu:
a. Pembersihan Mukosiliar
Pemeriksaan ini merupakan suatu tes yang sederhana dengan meletakkan 0.5 mm sakarin pada bagian anterior konka inferior. Lalu dinilai berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai terasa manis dimulut, normalnya kurang dari 30 menit.
15
Ketika tes sakarin menunjukkan waktu yang mamanjang atau jika dicuigai terdapat abnormalitas dari silia, lakukan pemeriksaan silia secara langsung
dengan mengambil sampel menggunakan cuuped spatula (Rhinoprobe) dan
amati aktivitas silia di bawah mikroskop dengan sel fotometrik. Normalnya 12-15 Hz pada konka inferior.
c. Mikroskop Elektron
Jika waktu pembersihan mukosiliar dan frekuensi kecepatan silia abnormal, sampel diambil dengan spatula atau dengan biopsi langsung untuk diperiksa
dengan mikroskop elektron untuk mendiagnosa kondisi-kondisi seperti primary
ciliary dyskinesia (PCD).
d. Pengukuran Nitric Oxide
Kadar nitric oxide yang terdapat pada udara ekspirasi hidung dan paru-paru dapat membantu untuk menentukan fungsi normal mukosiliar. Jika terjadi inflamasi, maka akan terjadi peningkatan kadar nitric oxide (Ballenger, 2003).
2.4. Polusi Udara
2.4.1. Kandungan dalam Polusi Udara
Pencemaran udara adalah adanya bahan polutan di atmosfer yang dalam konsentrasi tertentu akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfer dan mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya (Mukono, 2005).
16
Berdasarkan buletin WHO yang dikutip Holzworth & Cormick (1976),
penentuan pencemar atau tidaknya udara suatu daerah berdasarkan parameter sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Parameter Pencemaran Udara
No. Parameter Udara bersih Udara tercemar
1. Bahan partikel 0,01-0,02 mg/m3 0,07- 0,7 mg/m3
Sumber : Buletin WHO dalam Mukono, 2005
2.4.2 Nilai Ambang Batas Polutan di Udara
Nilai ambang batas adalah kadar tertinggi suatu zat dalam udara yang diperkenankan, sehingga manusia dan makhluk lainnya tidak mengalami gangguan penyakit atau menderita karena zat tersebut (Agusnar, 2008).
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara dijelaskan mengenai pengertian baku mutu udara ambien, yaitu ukuran batas atau kadar zat, energi dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Baku mutu kadar debu dalam udara ambien yang tercantum di dalam PP RI No. 41 tahun 1999 tersebut untuk PM10 (Partikel <10 μm) adalah 150 μg/m3
.
2.4.3 Dampak Polusi Udara Terhadap Hidung
sumber-17
sumber infeksi. Perubahan kadar pH menjadi lebih asam ini akan mengganggu kerja dari silia-silia hidung, sebab frekuensi denyut silia bekerja optimal pada pH normal, yaitu 7-9 (Waguespack,1995).
Selain itu, polutan-polutan dalam polusi udara dapat merubah komposisi dari sekret hidung sehingga menyebabkan kerusakan epitel dan silia. Kerusakan ini akan memperpanjang waktu transpor mukosilia. Hal ini akan menyebabkan gangguan sistem mukosiliar dan mengakibatkan polutan yang tertangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa hidung dan terjadilah obstruksi. Dari sini akan muncul keluhan-keluhan pernafasan lainnya seperti batuk, sesak napas, rhinitis sehingga menurunnkan kualitas hidup. Jika hal ini terjadi terus menerus dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan rhinosinusitis kronis atau sinusitis kronik (Mukono, 2008).
2.5. Kualitas Hidup
Kesehatan adalah suatu keadaan dimana kesejahteraan lengkap meliputi fisik, mental, dan sosial bukan hanya tidak adanya penyakit. Oleh karena itu, penilaian kesehatan dan efek dari perawatan kesehatan bukan hanya perubahan frekuensi dan keparahan penyakit tetapi harus mencakup perkiraan kesejahteraan dan ini dapat dinilai dengan mengukur perbaikan kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan. Kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisi mereka dalam kehidupan dilihat dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal serta hubungannya dengan tujuan, harapan, standard, dan hal-hal lain yang menjadi perhatian individu (WHO, 1997).
Kualitas hidup adalah keadaan yang dipersepsikan terhadap keadaan seseorang sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya (Departemen Kesehatan RI, 2007).
Dimensi dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinh, Deborah Dudgeeon dan Harvey Schipper (1999) dalam (Departemen Kesehatan RI, 2007) adalah:
a. Gejala fisik
b. Kemampuan fungsional (aktivitas)
18
d. Spiritual
e. Fungsi sosial
f. Kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah pengobatan)
g. Orientasi masa depan
h. Kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri
i. Fungsi dalam bekerja
Pengukuran kualitas hidup telah berkembang selama ± 20 tahun dan kini telah menjadi metodologi tertentu dengan teori yang terstruktur formal. Skor kualitas hidup telah semakin diakui sebagai ukuran hasil yang penting baik dalam penelitian, pelayanan kesehatan, dan evaluasi pengobatan. Penilaian kualitas hidup secara luas digunakan dalam uji klinis dan dalam pengamatan studi tentang kesehatan dan penyakit. Hal ini sering digunakan untuk mengevaluasi intervensi dan efek samping pengobatan serta dampak penyakit dan proses biologis lainnya dari waktu ke waktu (Kalantar-Zadeh, 2000).
Gangguan-gangguan pada hidung yang menurunkan kualitas hidup umumnya mempengaruhi tidur, kehidupan sosial, sekolah, dan pekerjaan seseorang. Korelasi antara beratnya gejala pada hidung dengan kualitas hidup ditemukan hanya derajat ringan sampai sedang. Untuk mendapatkan gambaran kesehatan pasien secara keseluruhan, dapat dinilai dengan menilai kualitas hidupnya. Kualitas hidup yang berhubungan dengan hidung tersebut dapat diukur dengan mini-Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (mRQLQ) yang telah tervalidasi. Ditemukan bahwa dengan melakukan cuci hidung terdapat perbaikan kualitas hidup (Airaksinen, 2010; Cordray et al., 2005; Hermelingmeier
et al., 2012; Juniper, 2000; Rogkakou et al., 2005).
2.6. Cuci Hidung
19
Cuci hidung menggunakan salin telah diidentifikasi sebagai komponen penting dalam penatalaksanaan kondisi-kondisi sinonasal yang efektif dan bermanfaat. Dokter yang menggunakan cuci hidung menggunakan salin sangat signifikan, pada survei yang dilakukan pada 330 dokter keluarga, dilaporkan 87% dokter merekomendasikan kepada pasiennya untuk beberapa kondisi (Rabago, Zgierska, 2009).
2.6.1. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja dari cuci hidung menggunakan salin belum diketahui dengan pasti. Kerusakan mukosa hidung yang berfungsi sebagai pelindung memiliki dampak pada kondisi-kondisi saluran pernafasan atas. Cuci hidung menggunakan salin mampu meningkatkan kemampuan mukosa hidung untuk melawan pengaruh dari agen-agen infeksi, mediator-mediator inflamasi, dan berbagai jenis iritan. Cuci hidung menggunakan salin mampu memperbaiki fungsi dari mukosa hidung melalui beberapa efek fisioligis termasuk pembersihan secara langsung akibat irigasi cairan, membuang mediator-mediator inflamasi, dan memperbaiki fungsi mukosiliar yang dibuktikan dengan peningkatan frekuensi kecepatan silia (am fam physician, 2009).
Terdapat hipotesis mengapa cuci hidung mampu memicu perbaikan gejala-gejala pada hidung, yaitu:
a. Memperbaiki pembersihan mukosiliar
b. Menurunkan edema mukosa
c. Menurunkan mediator-mediator inflamasi
d. Secara langsung membersihkan lapisan yang mengeras pada hidung dan mukus yang
tebal (Hernansez, 2007).
2.6.2. Indikasi
20
terbukti dapat mengurangi pemakaian antibiotik jangka panjang (Papsin, McTavish, 2003).
Pada penelitian yang melihat efek setelah cuci hidung menggunakan larutan garam setiap hari pada sinusitis kronik yang terpapar iritan udara di tempat kerja dalam hal ini pekerja kayu terbukti secara signifikan memperbaiki gejala-gejala yang terjadi pada hidung, pembersihan mukosiliar, dan aliran udara ekspirasi pada hidung (Rabago, Zgierska, 2009).
Penggunaan salin secara signifikan mampu menurunkan konsentrasi histamin dan leukotrien. Berdasarkan penelitian RCT menggunakan serbuk sari sebagai pencetus dengan konfirmasi hasil laboratorium, didapatkan hasil pengobatan dengan antihistamin ditambah dengan cuci hidung menggunakan salin dibandingkan dengan pengobatan dengan antihistamin saja secara signifikan menurunkan beratnya gejala alergi dan mengurangi penggunaan antihistamin.
Cuci hidung menggunakan salin efektif dan aman digunakan pada kasus rinitis ringan-sedang pada kehamilan dan rinosinusitis akut, namun belum ada percobaan klinis yang mengkaji tentang indikasi ini. Indikasi lainnya yaitu untuk perawatan post-operatif, sinonasal sarcoid, dan Wegener’s granulomatosis (am fam physician, 2009).
2.6.3. Kontraindikasi dan Efek Samping
Cuci hidung menggunakan salin aman untuk dilakukan. Efek samping minor yang terjadi yaitu rasa tidak nyaman dan rasa gugup saat pertama kali melakukannya. Tercatat kurang dari 10% efek samping cuci hidung menggunakan salin yaitu rasa penuh ditelinga, rasa pedih di mukosa hidung, dan epistaksis (jarang), namun dapat diperbaiki dengan modifikasi teknik pelaksanaan dan penyesuaian salin.
2.6.4. Bahan dan Metode Cuci Hidung
2.6.4.1 Bahan Cuci Hidung
21
larutan yang sering digunakan. Suhu dan pH yang optimal juga masih belum diketahui. Namun, pada beberapa literatur dikatakan bahwa larutan isotonis lebih baik dibandingkan dengan larutan hipertonis karena transpor mukosiliar optimal pada pH yang netral (Rabago, 2009; Passali, et al., 2005).
2.6.4.2 Metode Cuci Hidung
Putar kepala (sekitar 45 derajat) sehingga salah satu lubang hidung berada di atas yang lainnya. Lalu masukkan ujung dari spuit ke dalam lubang hidung dengan nyaman tanpa menekan ke bagian tengah atau septum hidung. Bernafas melalui mulut dan larutan akan masuk ke lubang hidung bagian atas dan kemudian mengalir ke lubang hidung bagian bawah. Ketika spuit sudah kosong, hembuskan nafas secara lembut melalui kedua lubang hidung untuk membersihkan larutan yang berlebih dan mukus. Lakukan prosedur untuk lubang hidung lainnya (University of Wisconsin).
Gambar 2.4. Teknik melakukan cuci hidung. Sumber: Am fam physician, 2009.
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Polusi udara adalah salah satu masalah utama di dunia. Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, polusi dari pabrik-pabrik perindustrian sudah tidak terkontrol dan bahkan sekarang sudah digantikan oleh polutan yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Kondisi ini semakin diperburuk oleh peningkatan industri yang disertai dengan peningkatan penggunaan kendaraan bermotor (Maynard, 2003).
Menurut WHO (2012), terdapat 5 kota besar di Indonesia yang termasuk dalam hasil pemantauan polusi udara pada 1.082 kota di 91 negara. Hasilnya polusi udara di kota Medan tercatat yang paling tinggi di Indonesia dan menempati peringkat ke-59 di dunia dengan kadar PM10 sebesar 111 µg/m³. Peringkat berikutnya adalah Surabaya pada peringkat ke-128 di dunia dengan kadar PM10 sebesar 69 µg/m³. Selanjutnya diikuti oleh Bandung pada peringkat 192 di dunia dengan kadar PM10 51 µg/m³. Jakarta menempati peringkat ke-238 dengan kadar PM10 sebesar 43 µg/m³. Kota terakhir di Indonesia yang disurvei WHO adalah Pekanbaru yang menempati peringkat ke-1001 dengan kadar PM10 sebesar 11 µg/m³. Paparan ini mempengaruhi saluran pernafasan dan organ-organ pernafasan yang salah satunya adalah hidung.
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara konsentrasi polusi udara dengan gejala pada pernafasan, inflamasi saluran nafas, dan angka penderita yang masuk ke rumah sakit. Peningkatan prevalensi rinitis dan gejala pernafasan sejalan dengan penurunan pembersihan mukosiliar hidung dilaporkan pada individu yang tinggal di daerah dengan konsentrasi NO yang tinggi. Pengatur lalu lintas, supir taksi, dan supir bus yang bekerja pada daerah dengan polusi udara yang tinggi juga mengalami inflamasi hidung dan penurunan fungsi pembersihan mukosiliar (Brant et al., 2014).
2
alergen dan iritan tersebut dapat menyebabkan iritasi pada membran mukosa hidung. Masalah pernafasan yang paling sering muncul pertama kali adalah rinitis, dan dapat juga meluas hingga ke saluran pernafasan bawah. Paparan alergen dan iritan yang bervariasi di tempat kerja dapat menghasilkan gejala-gejala yang berbeda (Papsin, McTavish, 2003).
Oleh karena itu, menjaga kesehatan hidung adalah salah satu hal yang penting untuk dilakukan. Apabila hidung terganggu, maka hal tersebut akan mengganggu fungsi utama dari hidung sebagai indra penciuman dan organ pernafasan. Hidung yang tidak diberi pemeliharaan dan perawatan, dapat dengan mudah terganggu fungsinya akibat paparan dari lingkungan. Sekret dan kotoran yang tidak dibersihkan di dalam rongga hidung dapat mengakibatkan terjadinya penyumbatan di rongga hidung dan dapat mengakibatkan kelainan di organ-organ lain, seperti tenggorokan dan telinga, karena terdapat hubungan diantara ketiga organ tersebut (Ballenger, 2003).
Korelasi antara beratnya gejala pada hidung dengan kualitas hidup ditemukan hanya derajat ringan sampai sedang. Untuk mendapatkan gambaran kesehatan pasien secara keseluruhan, dapat dinilai dengan menilai kualitas hidupnya. Kualitas hidup yang berhubungan dengan hidung tersebut dapat diukur dengan mini-Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (mRQLQ) yang telah tervalidasi (Airaksinen, 2010; Juniper, 2000).
Metode cuci hidung mampu meningkatkan kualitas hidup. Terlebih lagi untuk orang-orang yang sering terpapar zat-zat tertentu yang mempengaruhi fungsi transpor mukosiliar. Keseharian mereka berada di tempat kerja membuat mereka sering terpapar zat-zat yang memungkinkan menurunnya fungsi transpor mukosiliar dan menyebabkan timbulnya gangguan-gangguan pada hidung yang menurunkan kualitas hidup. Gangguan yang terjadi umumnya mempengaruhi tidur, kehidupan sosial, sekolah, dan pekerjaan seseorang (Hermelingmeier et al., 2012).
3
pH yang netral. Metode tersebut adalah suatu cara sederhana dan murah yang digunakan untuk mengobati kondisi-kondisi sinus dan nasal selama beberapa tahun. Kegunaannya adalah untuk memicu perbaikan pembersihan mukosiliar dengan melembabkan rongga hidung dan mengangkat material-material yang melekat pada membran mukosa, sehingga diharapkan akan meningkatkan kualitas hidupnya (Papsin, McTavish, 2003).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% terhadap penurunan rata-rata total skor kualitas hidup pada pedagang kaki lima yang terpapar polutan setelah melakukan cuci hidung selama 10 hari.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
“Apakah ada pengaruh cuci hidung dengan menggunakan NaCl 0,9%
terhadap penurunan rata-rata total skor kualitas hidup?”
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% terhadap penurunan rata-rata total skor kualitas hidup.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui rata-rata total skor kualitas hidup pedagang kaki lima di
kawasan Universitas Sumatera Utara sebelum melakukan cuci hidung
menggunakan NaCl 0,9%.
2. Mengetahui rata-rata total skor kualitas hidup pedagang kaki lima di
kawasan Universitas Sumatera Utara sesudah melakukan cuci hidung
4
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1. Bagi Akademis
Sebagai tambahan pengetahuan dan tambahan kajian teori bagi peneliti lain mengenai pengaruh cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% terhadap penurunan rata-rata total skor kualitas hidup.
1.4.2 Bagi Subjek Penelitian
a. Sebagai pengetahuan atau informasi tentang pengaruh cuci hidung
menggunakan NaCl 0,9% terhadap kualitas hidup pada individu yang
terpapar polutan.
b. Sebagai dasar upaya pencegahan terjadinya terganggunya kualitas hidup
pada individu yang terpapar polutan.
1.4.2. Bagi Peneliti
Sebagai kesempatan untuk mengintegrasikan ilmu yang telah di dapat di perkuliahan dalam bentuk melakukan penelitian ilmiah secara mandiri.
ii
ABSTRAK
Pendahuluan: Polusi udara adalah salah satu masalah utama di dunia. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara konsentrasi polusi udara dengan gejala pada pernafasan, inflamasi saluran nafas, dan angka penderita yang masuk ke rumah sakit. Cuci hidung menggunakan salin dikatakan mampu memperbaiki fungsi dari mukosa hidung melalui beberapa efek fisioligis termasuk pembersihan secara langsung akibat irigasi cairan, membuang mediator-mediator inflamasi, dan memperbaiki fungsi mukosiliar yang dibuktikan dengan kualitas hidup yang membaik. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% selama 10 hari terhadap penurunan rata-rata total skor kualitas hidup pada pedagang kaki lima di kawasan Universitas Sumatera Utara berdasarkan kuesioner mRQLQ.
Metode: Praeksperimen (pre experimental) dengan rancangan one group
pretest-posttest design. Kualitas hidup diukur dengan menggunakan
mini-Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (mRQLQ) yang telah
tervalidasi. Penelitian dilakukan pada 34 orang pedagang kaki lima yang melakukan cuci hidung sebanyak dua kali sehari selama 10 hari menggunakan NaCl 0,9%.
Hasil: Rata-rata total skor kualitas hidup menurun dari 30,21±12,682 menjadi 21,12±9,685. Setelah dilakukan uji statistik menggunakan uji Wilcoxon didapatkan penurunan rata-rata total skor kualitas hidup yang bermakna (p=0,000; p<0,05) dan memiliki rata-rata penurunan yaitu 17,5.
Kesimpulan: Melakukan cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% pada pedagang kaki lima yang terpapar debu mampu menurunkan rata-rata total skor kualitas hidup.