• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

a. Kepada petugas kesehatan agar dapat menggunakan dan mensosialisasikan cuci hidung menggunakan NaCl 0,9% kepada orang-orang yang terpapar debu untuk menjaga fungsi dan kesehatan hidung serta terhindar dari gangguan pernafasan.

b. Bagi peneliti selanjutnya untuk lebih mengembangkan penelitian menjadi lebih efektif dan efisien, yaitu melakukan survei atau mendata terlebih dahulu responden yang akan menjadi subjek penelitian. Sehingga peneliti dapat melakukan penelitian pada seluruh subjek pada waktu yang bersamaan.

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1. Anatomi Hidung

Hidung merupakan salah satu organ terpenting pelindung tubuh terhadap lingkungan luar yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar dapat dibedakan menjadi 3 bagian: paling atas, kubah tulang, yang tidak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang dapat sedikit digerakkan, dan paling bawah yaitu lobulus hidung dan mudah digerakkan (Boies, 1997).

Hidung dibagi menjadi hidung luar, yang membatasi bagian anterior dengan wajah melalui lubang hidung yang disebut nares, dan hidung dalam, yang dibagi secara sagital menjadi bagian kanan dan kiri oleh septum yang membatasi bagian posterior dengan nasofaring melewati apertura nasalis posterior atau

choanae. Kavum nasi dibentuk oleh kerangka yang terdiri dari tulang dan

kartilago fibro-elastis. Sinus paranasal adalah rongga-rongga berisi udara yang terdapat pada tulang besar pada kerangka yang membentuk kavum nasi. Sinus dan duktus nasolakrimalis dihubungkan dengan kavum nasi melalui dinding lateralnya (Gray’s Anatomy, 2008).

Hidung luar membatasi bagian anterior hidung dengan wajah melalui lubang hidung yang disebut nares. Struktur hidung luar berbentuk piramida yang terletak pada garis tengah wajah dan melekat dengan tulang wajah. Bentuk hidung luar sangat bervariasi pada setiap individu. Bagian atasnya berhubungan dengan dahi dan bagian dasarnya terdapat dua lubang hidung atau nares yang dipisahkan oleh septum nasi atau columella. Ukuran nares biasanya adalah 1,5-2 cm anteroposterior dan 0,5-1 cm secara transversal. Vestibulum terletak tepat di belakang nares, pada dinding medialnya dibentuk oleh septum yang terdiri dari

columella. Hidung luar mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang arteri fasialis,

arteri oftalmika, dan arteri infraorbital. Aliran vena pada hidung luar tidak berjalan paralel dengan arteri tetapi sesuai dengan wilayah arteriovenous pada

6

wajah. Bagian frontomedian wajah termasuk hidung, mengalirkannya ke vena fasialis dan daerah orbitopalpebral pada wajah termasuk dasar hidung mengalirkannya ke vena oftalmika. Aliran limfe utamanya ke nodus-nodus di submandibular, tetapi aliran limfe dari dasar hidung mengalir ke nodus parotid superfisialis. Inervasi pada kulit hidung berasal dari nervus infratrochlearis, cabang nasales externa nervus nasociliaris, dan cabang nasalis nervus infraorbitalis (Gray’s Anatomy, 2008).

Gambar 2.1. Struktur Anatomi Dinding Lateral Hidung. Sumber : Ballenger, 2003. Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal Sinuses. Halaman 552, Gambar 26.6

Hidung dalam, yang dibagi secara sagital menjadi bagian kanan dan kiri oleh septum, dan pada bagian posterior membatasi dengan nasofaring melewati apertura nasalis posterior atau choanae. Kavum nasi dibentuk oleh kerangka yang terdiri dari tulang dan kartilago fibro-elastis. Kavum nasi adalah ruang irregular yang berada di antara atap mulut dan basis cranii. Bagian bawah lebih luas daripada bagian atas, dan terluas di bagian sentral yang dipisahkan oleh septum osseokartilaginous vertikal. Setiap bagian kavum nasi memiliki dasar, atap,

7

dinding medial dan dinding lateral. Dinding medial hidung adalah septum nasi, lapisan tulang yang tipis pada bagian posterior dan kartilago pada bagian anterior. Pada dinding lateral terdapat 3 penonjolan yaitu, konka nasalis superior, media, dan inferior. Area di bawah setiap konka disebut meatus. Konka inferior merupakan yang terbesar dan terletak paling bawah, kemudian yang lebih kecil konka media, dan yang lebih kecil lagi konka superior, dan terkecil adalah konka supreme yang terkadang disebut sebagai konka keempat. Vaskularisasi pada kavum nasi berasal dari cabang-cabang arteri maksilaris, cabang yang terpenting adalah cabang arteri sphenopalatina. Darah di dalam anyaman vena submukosa berasal dari vena-vena yang menyertai arteri. Bagian anterior kavum nasi mengalirkan limfe ke nodus-nodus submandibular. Bagian lain kavum nasi limfenya dialirkan ke nodus-nodus servikalis superior profunda (Gray’s Anatomy, 2008).

Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian menyebar di mukosa yang melapisi bagian atas konka superior dan bagian septum (Ballenger, 2003).

2.1.2. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah rongga-rongga berisi udara yang terdapat di dalam tulang yang sama dengan namanya yaitu, sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus maksilaris. Sinus-sinus tersebut berhubungan dengan dinding lateral kavum nasi melalui apertura-apertura yang relatif kecil (Gray’s Anatomy, 2008).

2.1.2.1 Sinus Frontalis

Terdapat dua buah sinus frontalis terletak pada os frontalis yang keduanya dipisahkan oleh septum tulang. Masing-masing sinus frontalis bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui infundibulum.

8

Gambar 2.2. Struktur Anatomi Hidung Secara Horizontal. Sumber: Ballenger, 2003. Anatomy and Physiology of The Nose and Paranasal Sinuses. Halaman 550, Gambar. 26.4

2.1.2.2 Sinus Ethmoidalis

Sinus ethmoidalis terletak di anterior, medius, posterior, dan terdapat di dalam os ethmoidale, di antara hidung dan orbita. Terdapat tiga kelompok sinus ethmoidalis yaitu kelompok anterior yang bermuara ke dalam infundibulum, kelompok media yang bermuara ke dalam meatus nasi medius, pada atau di atas bulla ethmoidalis, dan kelompok posterior yang bermuara ke dalam meatus nasi superior.

2.1.2.3 Sinus Sphenoidalis

Ada dua buah sinus sphenoidalis, terletak di dalam korpus ossis sphenoidalis. Setiap sinus bermuara ke dalam recessus sphenoethmoidalis di atas konka nasalis superior.

9

2.1.2.4 Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris terletak di dalam korpus maksilaris di belakang pipi. Muara dari sinus maksilaris tersebut adalah meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris (Snell, 2008).

2.2. Fisiologi Hidung

Hidung memiliki tiga fungsi utama yaitu penciuman, pernafasan, dan perlindungan. Ketiga fungsi ini dibantu oleh anatomi kavum nasi yang berliku-liku sehingga menciptakan area perrmukaan yang luas. Permukaan kavum nasi yang bersilia meningkatkan kontak dengan udara yang masuk, sehingga memaksimalkan fungsi penciuman serta menghasilkan pemanasan, kelembaban, dan filtrasi yang efisien terhadap udara yang masuk ke hidung sebelum mencapai saluran pernafasan bawah (Walsh, Kern, 2006).

Ketika udara melewati hidung, terdapat tiga fungsi pernafasan normal yang dilakukan oleh kavum nasi yaitu, udara dipanaskan oleh permukaan luas pada konka dan septum yang total areanya sekitar 160 cm², udara dilembabkan ketika melewati hidung, kelembaban berasal dari kadar air yang terdapat pada mukus yang tertransudasi secara langsung dari pembuluh-pembuluh darah pada hidung, dan udara difiltrasi, rambut-rambut dan vibrissae pada lubang hidung, memfiltrasi partikel-partikel besar yang masuk ke hidung. Ketiga fungsi tersebut disebut dengan air conditioning function pada saluran pernafasan bagian atas (Guyton, 2006; Walsh, Kern, 2006).

Rambut-rambut pada lubang hidung penting untuk menyaring partikel dari luar yang berukuran besar. Yang lebih penting lagi adalah membersihkan partikel dengan presipitasi turbulen. Ketika udara masuk ke hidung akan berbenturan dengan beberapa hambatan yaitu, konka yang menyebabkan turbulensi udara, septum, dan dinding faring. Saat udara berbenturan dengan salah satu hambatan tersebut, maka harus mengubah arah gerakannya. Partikel-partikel yang ada di udara memiliki massa dan momentum yang lebih besar daripada udara tersebut, sehingga tidak dapat mengubah arah gerakannya secara cepat seperti yang dapat udara lakukan. Oleh karena itu, partikel-partikel tersebut diteruskan, membentur

10

permukaan hambatan, dan terperangkap di dalam lapisan mukosa kemudian ditranspor oleh silia ke faring untuk di telan. Mekanisme turbulensi tersebut sangat efektif untuk membersihkan partikel-partikel yang ukurannya lebih dari 6 mikrometer (Guyton, 2006).

2.3. Sistem Mukosiliar Hidung 2.3.1. Histologi Mukosa Hidung

Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel kolumnar bersilia pseudostratified, berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung pada tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian pula suhu, dan derajat kelembaban udara. Jadi, mukosa pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os internum masih dilapisi oleh epitel squamous berlapis tanpa silia-lanjutan epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi kolumnar, silia pendek dan agak iregular. Sel-sel meatus media dan inferior yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi. Sinus mengandung epitel kuboidal dan silia yang sama panjang dan jaraknya antaranya. Kekuatan aliran udara yang melewati berbagai lokasi juga mempengaruhi ketebalan lamina propria dan jumlah kelenjar mukosa. Lamina propria tipis pada daerah di mana aliran udara lambat atau lemah, namun tebal di daerah aliran udara yang kuat. Jumlah kelenjar penghasil sekret dan sel goblet, yaitu sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan ketebalan lamina propria. Lapisan mukus yag sangat kental dan lengket menangkap debu, benda asing, dan bakteri yang terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda ini di angkut ke faring, selanjutnya ditelan dan dihancurkan dalam lambung. Lisozim dan imunoglobulin A (IgA) ditemukan pula dalam lapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut terhadap patogen. Lapisan mukus hidung diperbarui tiga sampai empat kali dalam satu jam. Silia, yaitu struktur kecil mirip rambut bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat. Kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1.000 siklus per menit.

11

2.3.1.1 Silia Respiratorik

Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel permukaan epitelium, dan jumlahnya sekitar 100 per mikron persegi, atau sekitar 250 per sel pada saluran pernapasan atas. Silia tampaknya bekerja hampir otomatis. Misalnya, sel dapat saja terbelah menjadi pecahan-pecahan kecil tanpa menghentikan gerakan silia. Suatu silia tunggal akan terus bergerak selama bagian kecil sitoplasma yang menyelubungi korpus basalis silia tetap melekat padanya. Masing-masing silia bergerak secara metakronis dengan silia disekitarnya. Bila gerakan silia diamati, maka silia akan membengkok bersamaan dan berurutan. Gerakan tersebut tidak hanya terkoordinasi menurut waktu, tetapi juga menurut arahnya pada jutaan epitel dalam sinus, yang merupakan faktor penting dalam mengangkut mukus ke nasofaring (Boies,1997).

Gambar 2.3. Struktur Normal Silia. Sumber: Munkholm & Mortensen, 2014. Mucociliary Clearance: Pathophysiological Aspects. Halaman 172. Gambar 1.

2.3.1.2 Palut Lendir (mucous blanket)

Lapisan ganda palut lendir dihasilkan oleh kelenjar serosa dan kelenjar goblet, yang memiliki ketebalan 12-15 µm. Palut lendir berfungsi sebagai lubrikan dan menjerat partikulat-partikulat kecil. Jumlahnya sekitar 1-2 L per hari.

Pada kondisi sehat, pH palut lendir sedikit asam. Palut lendir disusun oleh glikoprotein (2.5-3%), garam (1-2%), dan air (9%). Mukus dijumpai di semua bagian hidung kecuali vestibulum nasi dan sinus paranasal. Pergerakan silia

12

mendorong mukus beserta partikel yang terjerat menuju ke faring dan esofagus (Ballenger, 2003).

2.3.2. Transpor Mukosiliar

Transpor mukosiliar atau sistem pembersihan adalah dua sistem yang bekerja sama satu dengan yang lainnya yang tergantung pada gerakan aktif silia mencapai serpihan mukus pada permukaan luminal dan mendorong serpihan-serpihan tersebut ke esofagus (Ballenger, 2003).

Lapisan tipis dari mukus melapisi epitel hidung. Lapisan tersebut terdiri dari 2 lapisan: lapisan viskositas rendah yang menyelubungi silia (sol phase) dan lapisan yang lebih kental (gel phase). Mukus berasal dari sel goblet, seron-mucus dan kelenjar serous, eksudasi dari pembuluh darah dan air mata. Albumin dan immunoglobulin, lisozim, lactoferin, sitokin, dan mediator-mediator lain sama seperti ion-ion yang terdapat pada lapisan mukosa. Gerakan silia menyebabkan mukus terdorong menuju nasofaring, kecuali pada bagian anterior dari konka inferior dimana transpor mukosa hidung berada di depan. Partikel dan zat yang terperangkap atau terlarut di dalam mukus akan ditelan dan dihancurkan oleh enzim-enzim yang terdapat di saluran cerna. Peningkatan atau penurunan dari lapisan mukosa menghasilkan gangguan pada transportasi. Pembersihan mukosiliar juga dapat terganggu akibat disfungsi silia seperti pada fibrosis kistik atau diskinesia silia primer (Gaga, Vignola, Chanez, 2001).

Lapisan mukosa akan dibawa ke nasofaring setiap 10-15 menit oleh gerakan silia dan digantikan dengan mukus baru yang disekresikan oleh kavum nasi dan mukosa sinus. Aktifitas silia dapat terganggu akibat penurunan kelembaban, penurunan temperatur, atau kohesi dari permukaan mukosa yang berlawanan (Walsh, Kern, 2006).

Lapisan mukosa bergerak dengan kecepatan 2-25mm/menit. Secara terperinci, yang mengontrol frekuensi gerakan silia belum diketahui. Namun, frekuensi gerakan silia akan meningkat jika sel-sel tersebut terpapar oleh NO atau sebuah mekanis, calsium-mediated stimulus, sedangkan IL-3 akan menurunkan frekuensinya. Selain itu, aktivitas fisik yang intensif juga dapat menurunkan

13

fungsi transpor mukosiliar. Penggunaan NaCl memicu peningkatan frekuensi gerakan silia dan memperbaiki fungsi transpor mukosiliar (Beule, 2010).

2.3.3. Patofisiologi Terganggunya Sistem Transpor Mukosililiar

Ozon (O3) adalah hasil dari reaksi photochemical antara radiasi ultraviolet, NO2 dan hidrokarbon yang merupakan derivat dari asap kendaraan. Jumlah O3 tergantung kepada jumlah NO2 yang dihasilkan kendaraan pada cuaca cerah yang akan mengubah NO2 menjadi O3. O3 adalah polusi udara yang paling utama pada cuaca cerah, karena jumlahnya bisa mencapai lebih dari 90% dari total level oksidan di kota dengan cuaca cerah (Olivieri& Scoditti, 2005).

Bagan 2.1 Patofisiologi Terganggunya Sistem Transpor Mukosiliar

O3 secara potensial menyebabkan pembentukan produk reaktif sekunder dan tersier, yang akan menyebabkan peningkatan reactiveO2 species (ROS) intraselular. O3 juga meningkatkan permeabilitas sel epitel, menyebabkan alergen

NO2dan Hidrokarbon

O3 (Ozon)

Peningkatan intraselular ROS dan pelepasan sitokin-sitokin inflamasi(IL-1,

IL-6, IL-8, TNF)

Kerusakan jaringan dan destruksi sel epitel respiratori

Terganggunya sistem transpor mukosiliar Radiasi Ultraviolet

14

dan toksin menjadi mudah masuk serta menyebabkan terjadinya perlepasan sitokin-sitokin inflamasi (Interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8, dan tumour necrosis factor (TNF)). Sehingga akan terjadi kerusakan jaringan dan destruksi sel epitel respiratori yang akan menyebabkan terganggunya sistem transpor mukosiliar.

2.3.4. Faktor yang Mempengaruhi Transpor Mukosiliar

Disfungsi mukosiliar hidung dibagi menjadi kelainan primer dan sekunder. Kelainan primer berupa diskinesia silia primer dan fibrosis kistik. Kelainan sekunder berupa influenza, sinusitis kronis, rinitis atrofi, rinitis vasomotor, deviasi septum, sindroma Sjogren, dan penyakit adenoid (Sakakura, 1997).

Menurut Waguespack (1995), keadaan yang mempengaruhi transpor mukosiliar adalah faktor fisiologis atau fisik, polusi udara dan rokok, kelainan kongenital, rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan pengawet, dan tindakan operasi.

2.3.5. Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar

Fungsi transpor mukosiliar dapat diperiksa dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black,

colloid sulfur, 600-µm alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human

serum albumin, teflon, bismuth trioxide (Waguespack, 1995; Jorissen, Willems, Boeck, 2000).

Penilaian terhadap fungsi transpor mukosiliar dapat dinilai dari beberapa aspek, yaitu:

a. Pembersihan Mukosiliar

Pemeriksaan ini merupakan suatu tes yang sederhana dengan meletakkan 0.5 mm sakarin pada bagian anterior konka inferior. Lalu dinilai berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai terasa manis dimulut, normalnya kurang dari 30 menit.

15

Ketika tes sakarin menunjukkan waktu yang mamanjang atau jika dicuigai terdapat abnormalitas dari silia, lakukan pemeriksaan silia secara langsung

dengan mengambil sampel menggunakan cuuped spatula (Rhinoprobe) dan

amati aktivitas silia di bawah mikroskop dengan sel fotometrik. Normalnya 12-15 Hz pada konka inferior.

c. Mikroskop Elektron

Jika waktu pembersihan mukosiliar dan frekuensi kecepatan silia abnormal, sampel diambil dengan spatula atau dengan biopsi langsung untuk diperiksa

dengan mikroskop elektron untuk mendiagnosa kondisi-kondisi seperti primary

ciliary dyskinesia (PCD).

d. Pengukuran Nitric Oxide

Kadar nitric oxide yang terdapat pada udara ekspirasi hidung dan paru-paru dapat membantu untuk menentukan fungsi normal mukosiliar. Jika terjadi inflamasi, maka akan terjadi peningkatan kadar nitric oxide (Ballenger, 2003).

2.4. Polusi Udara

2.4.1. Kandungan dalam Polusi Udara

Pencemaran udara adalah adanya bahan polutan di atmosfer yang dalam konsentrasi tertentu akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfer dan mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya (Mukono, 2005).

Penyebab pencemaran lingkungan di atmosfer biasanya berasal dari sumber kendaraan bermotor dan atau industri. Bahan pencemar yang dikeluarkan antara lain adalah gas NO2, SO2, SO3, ozon, CO, HC, dan partikel debu. Gas NO2, SO2, HC dan CO dapat dihasilkan dari proses pembakaran oleh mesin yang menggunakan bahan bakar yang berasal dari bahan fosil (Mukono, 2008).

16

Berdasarkan buletin WHO yang dikutip Holzworth & Cormick (1976), penentuan pencemar atau tidaknya udara suatu daerah berdasarkan parameter sebagai berikut:

Tabel 2.1 Parameter Pencemaran Udara

No. Parameter Udara bersih Udara tercemar

1. Bahan partikel 0,01-0,02 mg/m3 0,07- 0,7 mg/m3 2. SO2 0,003-0,02 ppm 0,02- 2 ppm 3. CO < 1 ppm 5- 200 ppm 4. NO2 0,003- 0,02 ppm 0,02 – 0,1 ppm 5. CO2 310- 330 ppm 350 – 700 ppm 6. Hidrokarbon < 1 ppm 1 – 20 ppm

Sumber : Buletin WHO dalam Mukono, 2005

2.4.2 Nilai Ambang Batas Polutan di Udara

Nilai ambang batas adalah kadar tertinggi suatu zat dalam udara yang diperkenankan, sehingga manusia dan makhluk lainnya tidak mengalami gangguan penyakit atau menderita karena zat tersebut (Agusnar, 2008).

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara dijelaskan mengenai pengertian baku mutu udara ambien, yaitu ukuran batas atau kadar zat, energi dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Baku mutu kadar debu dalam udara ambien yang tercantum di dalam PP RI No. 41 tahun 1999 tersebut untuk PM10 (Partikel <10 μm) adalah 150 μg/m3

.

2.4.3 Dampak Polusi Udara Terhadap Hidung

Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara akan disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama mukosa inspirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Materi-materi yang terkandung dalam polutan dapat menyebabkan perubahan suasana rongga hidung menjadi asam dalam upaya proteksi terhadap

sumber-17

sumber infeksi. Perubahan kadar pH menjadi lebih asam ini akan mengganggu kerja dari silia-silia hidung, sebab frekuensi denyut silia bekerja optimal pada pH normal, yaitu 7-9 (Waguespack,1995).

Selain itu, polutan-polutan dalam polusi udara dapat merubah komposisi dari sekret hidung sehingga menyebabkan kerusakan epitel dan silia. Kerusakan ini akan memperpanjang waktu transpor mukosilia. Hal ini akan menyebabkan gangguan sistem mukosiliar dan mengakibatkan polutan yang tertangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa hidung dan terjadilah obstruksi. Dari sini akan muncul keluhan-keluhan pernafasan lainnya seperti batuk, sesak napas, rhinitis sehingga menurunnkan kualitas hidup. Jika hal ini terjadi terus menerus dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan rhinosinusitis kronis atau sinusitis kronik (Mukono, 2008).

2.5. Kualitas Hidup

Kesehatan adalah suatu keadaan dimana kesejahteraan lengkap meliputi fisik, mental, dan sosial bukan hanya tidak adanya penyakit. Oleh karena itu, penilaian kesehatan dan efek dari perawatan kesehatan bukan hanya perubahan frekuensi dan keparahan penyakit tetapi harus mencakup perkiraan kesejahteraan dan ini dapat dinilai dengan mengukur perbaikan kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan. Kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisi mereka dalam kehidupan dilihat dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal serta hubungannya dengan tujuan, harapan, standard, dan hal-hal lain yang menjadi perhatian individu (WHO, 1997).

Kualitas hidup adalah keadaan yang dipersepsikan terhadap keadaan seseorang sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya (Departemen Kesehatan RI, 2007).

Dimensi dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinh, Deborah Dudgeeon dan Harvey Schipper (1999) dalam (Departemen Kesehatan RI, 2007) adalah:

a. Gejala fisik

b. Kemampuan fungsional (aktivitas)

18

d. Spiritual

e. Fungsi sosial

f. Kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah pengobatan)

g. Orientasi masa depan

h. Kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri

i. Fungsi dalam bekerja

Pengukuran kualitas hidup telah berkembang selama ± 20 tahun dan kini telah menjadi metodologi tertentu dengan teori yang terstruktur formal. Skor kualitas hidup telah semakin diakui sebagai ukuran hasil yang penting baik dalam penelitian, pelayanan kesehatan, dan evaluasi pengobatan. Penilaian kualitas hidup secara luas digunakan dalam uji klinis dan dalam pengamatan studi tentang kesehatan dan penyakit. Hal ini sering digunakan untuk mengevaluasi intervensi dan efek samping pengobatan serta dampak penyakit dan proses biologis lainnya dari waktu ke waktu (Kalantar-Zadeh, 2000).

Gangguan-gangguan pada hidung yang menurunkan kualitas hidup umumnya mempengaruhi tidur, kehidupan sosial, sekolah, dan pekerjaan seseorang. Korelasi antara beratnya gejala pada hidung dengan kualitas hidup ditemukan hanya derajat ringan sampai sedang. Untuk mendapatkan gambaran kesehatan pasien secara keseluruhan, dapat dinilai dengan menilai kualitas hidupnya. Kualitas hidup yang berhubungan dengan hidung tersebut dapat diukur dengan mini-Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (mRQLQ) yang telah tervalidasi. Ditemukan bahwa dengan melakukan cuci hidung terdapat perbaikan kualitas hidup (Airaksinen, 2010; Cordray et al., 2005; Hermelingmeier

et al., 2012; Juniper, 2000; Rogkakou et al., 2005).

2.6. Cuci Hidung

Cuci hidung adalah terapi adjuvan untuk kondisi-kondisi saluran pernafasan bagian atas dengan cara mencuci daerah kavum nasi melalui semprotan atau cairan. Metode cuci hidung berasal dari tradisi medis Ayurvedic (am fam physician, 2009).

19

Cuci hidung menggunakan salin telah diidentifikasi sebagai komponen

Dokumen terkait