• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Hukum Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teori Hukum Pidana"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Teori-Teori Hukum Pidana A. Teori Absolut

Teori Absolut disebut juga teori pembalasan. Pandangan dalam teori ini adalah bahwa syarat dan pembenaran dalam penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan itu sendiri, terlepas dari fungsi praktis yang diharapkan dari penjatuhan pidana tersebut. Dalam ajaran ini, pidana terlepas dari dampaknya di masa depan, karena telah dilakukan suatu kejahatan maka harus dijatuhkan hukuman. Dalam ajaran absolut ini terdapat keyakinan yang mutlak atas pidana itu sendiri, sekalipun penjatuhan pidana sebenarnya tidak berguna atau bahkan memiliki dampak yang lebih buruk terhadap pelaku kejahatan. Perlu diketahui bahwa maksud dan tujuan ajaran absolut ini selain sebagai pembalasan, menurut pandangan Stammler adalah juga untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa hukum telah ditegakkan. Tujuan pemidanaan dalam ajaran absolut ini memang jelas sebagai pembalasan, tetapi cara bagaimana pidana tersebut dapat dibenarkan kurang jelas, karena dalam ajaran ini tidak dijelaskan mengapa harus dianggap adil meniadakan rasa terganggunya masyarakat dengan cara menjatuhkan penderitaan terhadap seseorang yang melakukan kejahatan. Tindakan Pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah yaitu:

a. Ditujukan pada penjahatnya (sudut subyektif dari pembalasan)

b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan)

B. Teori Relatif

Teori reltif atau teori tujuan berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Dalam teori relatif penjatuhan pidana tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Hukum pidana difungsikan sebagai ancaman sosial dan psikis. Hal tersebut menjadi satu alasan mengapa hukum pidana kuno mengembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanaannya harus dilakukan di muka umum, yang tidak lain bertujuan untuk memberikan ancaman kepada masyarakat luas. Sementara itu, sifat pencegahannya dari teori ini ada 2 macam yaitu:

(2)

Menurut teori ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Feuerbach memberkenalkan teori pencegahan umum yang disebut dengan Paksaan Psikologis. Dalam teorinya menghendaki penjeraan bukan melalui pidana, melainkan melalui ancaman pidana dalam perundang-undangan. Tetapi apabila ancaman tidak berhasil mencegah suatu kejahatan, maka pidana harus dijatuhkan karena apabila pidana tidak dijatuhkan akan mengakibatkan hilangnya kekuatan dari ancaman tersebut. Ajaran yang dikembangkan Feuerbach tidak mengenal pembatasan ancaman pidana, hanya syarat bahwa ancaman pidana tersebut harus sudah ditetapkan terlebih dahulu.

2. Teori pencegahan Khusus

Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan kejahatan dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu kedalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya ada tiga macam yaitu menakut-nakutinya, memperbaikinya, dan membuatnya menjadi tidak berdaya. Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus yaitu:

a. Pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni untuk menakut-nakuti orang-orang yang yang cukup dapat dicegah dengan cara penjatuhan pidana agar orang tidak melakukan niat jahatnya.

b. Akan tetapi, jika tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya.

c. Jika penjahat itu tidak dapat diperbaiki, penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuat mereka tidak berdaya.

d. Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum didalam masyarakat.

C. Teori Gabungan

(3)

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankan tata tertib dimasyarakat. b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas

dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

Titik tolak dari ajaran ini, sebagaimana dianut oleh Hugo Grotius, adalah bahwa siapa yang berbuat kejahatan, maka ia akan terkena derita. Penderitaan dianggap wajar diterima oleh pelaku kejahatan, tetapi manfaat sosial akan mempengaruhi berat-ringannya derita yang layak dijatuhkan. Sejalan dengan pandangan tersebut, M.P. Rossi menyatakan bahwa selain pembalasan, prevensi umum juga dianggap tujuan penting dalam hukum pidana. Karena kita hidup dalam masyarakat yang tidak sempurna dan tidak mungkin juga untuk menuntut keadilan yang absolut, maka dapat kiranya kita mencukupkan diri dengan pemidanaan yang dilandaskan pada tertib sosial yang tidak sempurna tersebut. Dengan kata lain penerapan hukum pidana yang manusiawi dibatasi oleh syarat-syarat yang dituntut oleh masyarakat.

Pandangan seperti di atas dengan sudut pandang agama Katolik juga muncul seperti dikemukakan oleh Thomas Aquinas yang membedakan antara pidana sebagai pidana dan pidana sebagai obat. Maksud pembedaan yang dilakukan oleh Thomas Aquinas tersebut adalah ketika negara menjatuhkan pidana, maka perlu diperhatikan pula fungsi prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan ajaran ini akan tercipta kepuasan nurani masyarakat dan ada pemberian rasa aman kepada masyarakat. Pembelajaran dan rasa takut juga akan muncul dalam masyarakat, termasuk perbaikan dari pelaku kejahatan. Negara dalam menjatuhkan pidana sebagai pembalasan, penjeraan, dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan dari penjatuhan pidana tersebut. Pidana sebagai pembalasan dipandang sebagai sarana untuk menegakkan tertib hukum.

(4)

HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI DI INDONESIA

Disusun Oleh: Harfian Ahdi Aula

A. PENGERTIAN HUKUM PIDANA

Menurut Prof. Moeljatno, S.H., Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

CST. Kansil berpendapat Hukum pidana sebagai hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan, selanjutnya ia menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan umum.

Adapun yang termasuk kepentingan umum menurut C.S.T Kansil adalah: 1. Badan peraturan perundangan negara, seperti negara, lembaga-lembaga negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya.

(5)

Sementara Wirjono Prodjodikoro juga mengemukakan hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.

B. S EJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA 1. Masa Kerajaan Nusantara

Pada masa kerajaan nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius sangatlah tepat. Karena dimanapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat.

Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya, undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara.

(6)

2. Masa Penjajahan

Pada masa periodisasi ini sangatlah panjang, mencapai lebih dari empat abad. Indonesia mengalami penjajahan sejak pertama kali kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, kemudian selama tiga setengah abad dibawah kendali Belanda. Indonesia juga pernah mengalami pemerintahan dibawah kerajaan Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali pergantian pemegang kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan signifikan.

Pola pikir hukum barat yang sekuler dan realis menciptakan konsep peraturan hukum baku yang tertulis. Pada masa ini perkembangan pemikiran rasional sedang berkembang dengan sangat pesat. Segala peraturan adat yang tidak tertulis dianggap tidak ada dan digantikan dengan peraturan-peraturan tertulis. Tercatat beberapa peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda seperti statuta Batavia (statute van batavia).

Berlaku dua peraturan hukum pidana yakni KUHP bagi orang eropa (weetboek voor de europeanen) yang berlaku sejak tahun 1867. Diberlakukan pula KUHP bagi orang non eropa yang berlaku sejak tahun 1873.

3. Masa KUHP 1915 - Sekarang

(7)

KUHP yang berlaku di negeri Belanda sendiri merupakan turunan dari code penal perancis. Code penal menjadi inspirasi pembentukan peraturan pidana di Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda berdasarkan perjalanan sejarah merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan kekaisaran perancis.

C. PEMBAGIAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut:

1. Hukum Pidana Objektif dan Subjektif

Hukum pidana objektif (ius poenale) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidana objektif memili arti yang sama dengan hukum pidana materiil. Sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel Suringa, ius poenale adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah dan keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana bagi si pelanggarnya. Sementara hukum pidana subjektif (ius poeniendi) sebagai aspek subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara :

1.Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum.

2.Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya denagan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut, serta 3. Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si

pelanggar hukum pidana tadi.

Jadi dari segi subjektif negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan/hak fundamental yakni :

(8)

2.Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada si pelanggar aturan hukum pidana yang telah dibentuk tadi, dan 3.Hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pada

pembuatnya/petindaknya.

Walaupun negara mempunyai kewenangan/kekuasaan diatas namun tetap dibatasi jika tidak maka negara akan melakukan kesewenangan-wenangan sehingga menimbulkan ketidakadilan, ketidaktentraman dan ketidaktenangan warga diantara negara. Pembatasan tersebut melalui koridor-koridor hukum yang ditetap dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.

Juga dibatasi oleh hukum formil artinya tindakan-tindakan nyata negara sebelum, pada saat dan setelah menjatuhkan pidana serta menjalankannya itu diatur dan ditentukan secara rinci dan cermat, yang pada garis besarnya berupa tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dengan pembuktian dan pemutusan (vonis) dan barulah vonis dijalankan (eksekusi). Perlakuan-perlakuan negara terhadap pesakitan/pelaku pelanggaran harus menurut aturan yang sudah ditetapkan dalam hukum pidan formil.

2. Hukum Pidana Materiil dan Formil

Tentang hukum pidana materiil dan hukum pidana formil akan dijelaskan menurut pendapat ahli dibawah ini :

a) van HAMEL mengemukakan bahwa Hukum pidana materi i l itu menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman, sedangkan hukum pidana formil menunjukkan bentuk-bentuk dan jangka-jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana materil.

(9)

disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak. Sedangkan hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata. Biasanya orang menyebut hukum pidana formil adalah hukum acara pidana.

3. Hukum Pidana yang Dikodifikasikan dan Hukum Pidana yang Tidak Dikodifikasikan

a. Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

b. Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Me-nyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.

4. Hukum Pidana Bagian Umum dan Hukum Pidana Bagian Khusus a. Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum sebagaimana yang

diatur di dalam Buku I KUHP yang mengatur tentang Ketentuan Umum;

b. Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang Kejahatan-kejahatan dan Pelanggaran-pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.

5. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus

(10)

Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu saja. Misalnya hukum pidana yang dimuat dalam BAB XXVIII buku II KUHP tentang kejahatan jabatan yang hanya diperuntukkan dan berlaku bagi orang-orang warga. penduduk negara yang berkualitas sebagai pegawai negeri saja atau hukum pidana yang termuat dalam Kitab UU Hukum Pidana Tentara (KUHPT) yang hanya berlaku bagi subjek hukum anggota TNI saja.

Jika ditinjau dari dasar wilayah berlakunya hukum, maka dapat dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana lokal. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintahan negara pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Contohnya adalah hukum pidana yang dimuat dalam KUHP, berlaku untuk seluruh wilayah hukum negara RI (asas toritorialitet, pasal 2 KUHP). Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahah daerah tersebut seperti PERDA

6. Hukum Pidana Tertulis dan Tidak Tertulis

Hukum pidana tertulis adalah hukum pidana undang-undang, yang bersumber dari hukum yang terkodifikasi yaitu Kitab Undang-udang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan bersumber dari hukum yang diluar kodifikasi yang tersebar diberbagai peraturan perundang-undangan.

(11)

Sementara itu hukum pidana tidak tertulis tidak dapat dijalankan. Namun demikian ada satu dasar hukum yang dapat memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum pidana adat (tidak tertulis) dalam arti yang sangat terbatas berdasarkan Pasal 5 (3b) UU No. 1/Drt/1951.

D. T UJUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan individu atau HAM di masyarakat, serta negara. Khusus di negara kita sudah seharusnya hukum pidana Indonesia disusun dan dirumuskan sedemikian rupa agar semua kepentingan negara, masyarakat, dan individu sebagai warga negara dapat diayomi dalam keseimbangan yang serasi berdasarkan Pancasila. Dengan demikian tujuan hukum pidana Indonesia pada hakikatnya yaitu mengayomi semua kepentingan secara serasi.

E. F UNGSI HUKUM PIDANA INDONESIA

Sebagai hukum publik hukum pidana memiliki fungsi sebagai berikut : 1) Fungsi Melindungi Kepentingan Hukum dari Perbuatan yang

Menyerang atau Memperkosanya

Kepentingan hukum (rechtsbelang) adalah segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggot masyarakat, maupun anggota suatu negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan agar tidak dilanggar/diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia. Semua ini ditujukan untuk terlaksana dan terjaminnya ketertiban di dalam segala bidang kehidupan. Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam yaitu :

a)Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen) misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dsb. b)Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschapppelijke belangen),

(12)

c)Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya, dsb.

Ketiga kepentingan hukum diatas saling berkait dan tidak bisa dipisahkan. Contoh kepetingan hukum yang diatur dalam hukum pidana materil (KUHP) larangan mencuri (pasal 362), larangan menghilangkan nyawa (pasal 338). Pasal 363 melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum orang atas hak milik kebendaan pribadi dan pasal 338 adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum terhadap hak individu/nyawa orang. Untuk melindung kepentingan hukum diatas adalah melalui sanksi pidana/straf (hukuman penjara). Misalnya pasal 362 KUHP dapat diancam hukuman penjara maksimum 5 tahun dan pasal 338 dapat diancam hukuman penjara maksimum 15 tahun, dsb.

2) Memberi Dasar Legitimasi Bagi Negara dalam Rangka Negara Menjalankan Fungsi Mempertahankan Kepentingan Hukum yang Dilindungi

(13)

3)Fungsi Mengatur dan Membatasi Kekuasaan Negara dalam Rangka Negara Menjalankan Fungsi Mempertahankan Kepentingan Hukum yang Dilindungi

Sebagaimana diketahui bahwa fungsi hukum pidana yang kedua diatas adalah hukum pidana telah memberikan hak dan kekuasaan yang sangat besar pada negara agar dapat menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi dengan sebaik-baiknya. Namun demikian atas kekuasaan negara diatas harus dibatasi. Walaupun pada dasarnya adanya hukum pidana untuk melindungi kepentingan hukum yang dlindungi. Namun tentunya pembatasan kekuasaan itu penting agar negara tidak melakukan sewenang-wenang kepada masyarakat dan pribadi manusia. Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi yang secara umum dapat disebut mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat itu, menjadi wajib. Adanya KUHP dan KUHAP sebagai hukum pidana materi dan formil dalam rangka mempertahankan kepentingan hukum masyarakat yang dilindungi pada sisi sebagai alat untuk melakukan tindakan hukum oleh negara apabila terjadi pelanggaran hukum pidana, pada sisi lain sebagai alat pembatasan negara dalam setiap melakukan tindakan hukum.

F. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban. Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal yang sangat penting, yaitu :

(14)

perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.

2) Batas T empat dan O rang yaitu seperti yang tercantum dalam Buku Pertama, Bab I Pasal 2 sampai 9 KUHP:

a) Pasal 2 berbunyi “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan dangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”

b) Pasal 3 berbunyi “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”

c) Pasal 4 berbunyi “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:

1. salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107,108,dan 131. 2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan

oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia.

3.pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu; 4.salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf I, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

d) Pasal 5

(15)

1. salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.

2. salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.

2. Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.

e) Pasal 6 berbunyi “Berlakunya pasal 5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”.

f) Pasal 7 berbunyi “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab XXVIII Buku Kedua Pasal 8 Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang diluar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan BAb IX Buku ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan”

g) Pasal 9 berbunyi “Diterapkannya pasal-pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional”

G. SUMBER HUKUM PIDANA DI INDONESIA

(16)

1. Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan penjelasan = M.v.T yang terdiri dari buku I tentang aturan umum, buku II tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran

2. Hukum Adat, yaitu Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu hukum pidana yang tidak tertulis juga dapat menjadi sumber hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum pidana, hal ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 (L.N. 1951-9) Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih berlakunya hukum pidana adat (meskipun untuk orang dan daerah tertentu saja) maka sebenarnya dalam hukum pidana pun masih ada dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum pidana tertulis tetap mempunyai peranan yang utama sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP.

3. Undang-Undang di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana seperti:

· Undang-undang Tindak Pidana Korupsi

· Undang-undang Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15 tahun 2003) · Undang-undang Pidana Pencucian Uang (UU No. 15 tahun 2002)

· Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (UU DRT No. 7 tahun 1955 dan UU No. 8 tahun 1958, PP No. 1 tahun 1960)

· Undang-undang Narkotika dan Undang-undang Psikotropika ( UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika

H. JENIS-JENIS PIDANA

(17)

Selanjutnya ada juga pidana pokok menurut UU No. 20 tahun 1946 yaitu berupa pidana tutupan.

Antara pidana pokok dan tambahan tentu mempunyai beberapa perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu antara lain:

1. Penjatuhan salah satu pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif, maksudnya apabila dalam persidangan tindak pidana yg didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yg diancamkan pada tindak pidana yg bersangkutan. Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan artinya imperatif.

2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana tambahan (berdiri sendiri), sedangkan menjatuhkan pidana tambahan tidak diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok, maksudnya yaitu sesuai dengan namanya pidana tambahan, penjatuhan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yg diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok, melainkan bersama dengan jenis pidana pokok.

(18)

dijatuhkan tidak bersama jenis pidana pokok tetapi bersama tindakan (maatregelen) seperti pasal 39 ayat 3 dan 40.

3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie).

Jenis pidana pokok yang dijatuhkan bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie) tidak berlaku apabila pidana yg dijatuhkan itu adalah jenis pidana pokok dengan bersyarat (Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak dilanggar. Hal ini berbeda dengan sebagian jenis pidana tambahan misalnya pidana pencabutan hak-hak tertentu sudah berlaku sejak putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 38 ayat 2). Oleh karena itu, berjalannya/dijalankannya putusan antara jenis pidana pokok dengan pidana pencabutan hak tertentu berdasarkan pasal 38 ayat 2 tidak sama.

Selain itu juga ada prinsip dasar pidana pokok yaitu tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi (menjatuhkan 2 pidana pokok secara bersamaan). Hal ini dapat dilihat sebagaimana tercantum dalam buku II (kejahatan) dan buku III (pelanggaran) dimana dijelaskan bahwa :

1. Dalam rumusan tindak pidana hanya diancam dengan satu jenis pidana pokok saja.

2. Dalam beberapa rumusan tindak pidana yg diancam dgn lebih dari satu jenis pidana pokok ditetapkan sbg bersifat alternatif (misal pasal 340, 362 dll) dengan menggunakan kata atau.

(19)

I. PENGERTIAN KRIMINOLOGI

Menurut W.A. Bonger kriminologi adalah Ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Herman Manheim, seorang Jerman berpendapat bahwa Kriminologi dalam pengertian sempit adalah kajian tentang kejahatan sedangkan dalam pengertian luas juga termasuk di dalamnya adalah penologi, kajian tentang penghukuman dan metode-metode seupa dalam menanggulangi kejahatan, dan masalah pencegahan kejahatan dengan cara-cara non-penghukuman. untuk sementara, dapat saja kita mendefinisikan kejahatan dalam pengertian hukum yaitu tingkah laku yang dapat dihukum menurut hukum pidana. Sementara itu, Taft dan England merumuskan definisi kriminologi sebagai berikut: “Istilah kriminologi dipergunakan dalam pengertian secara umum dan pengertian khusus. Dalam pengertian yang luas, kriminologi adalah kajian (bukan ilmu yang lengkap) yang memasukkan ke dalam ruang lingkupnya berbagai hal yang diperlukan untuk memahami dan mencegah kejahatan dan diperlukan untuk pengembangan hukum, termasuk penghukuman atau pembinaan para anak delinkuen atau para penjahat, mengetahui bagaimana mereka melakukan kejahatan. Dalam pengertian sempit, kriminologi semata-mata merupakan kajian yang mencoba untuk menjelaskan kejahatan, mengetahui bagaimana mereka melakukan kejahatan. Apabila yang terakhir, yaitu pengertian sempit diterima, kita harus mengkaji pembinaan pelaku kejahatan yang dewasa, penyelidikan kejahatan, pembinaan anak delinkuen dan pencegahan kejahatan”

J. R UANG LINGKUP KRIMINOLOGI

Menurut Sutherland kriminologi terdiri dari tiga bagian utama, antara lain:

a) Etiologi kriminal, yaitu mencari secara analisis ilmiah sebab-sebab daripada kejahatan

(20)

c) Sosiologi hukum, yaitu analisis ilmiah terhadap kondisi-kondisi yang mempengaruhi perkembangan hukum pidana.

H. Bianchi mengemukakan bahwa Kriminologi sebagai "metascience" dari pada Hukum Pidana, yakni suatu ilmu yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas di mana pengertiannya dapat dipergunakan untuk memperjelas konsepsi-konsepsi dan masalah-masalah yang terdapat dalam Hukum Pidana.

Bonger membagi kriminologi menjadi kriminologi murni dan kriminologi terapan. Kriminologi murni mencakup: Antropologi kriminal, Sosiologi kriminal, Psikologi kriminal, Psikopatologi, dan Penologi. Sedangkan k riminologi terapan mencakup: Hiegiene kriminal, Politik kriminal, dan Kriminalistik.

K. TUJUAN DAN OBJEK KAJIAN KRIMINOLOGI

Tujuan ilmu Kriminologi secara umum adalah untuk mempelajari kejahatan dari berbagai aspek, sehingga diharapkan dapat memperoleh pemahaman mengenai fenomena kejahatan dengan lebih baik. Sedangkan tujuan ilmu Kriminologi secara konkret yaitu antara lain untuk:

1. Bahan masukan pada pembuatan/pencabutan suatu Undang-Undang

2. Bahan masukan bagi aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum dan pencegahan kejahatan non penal terutama Polri.

3. Memberikan informasi kepada semua instansi agar melaksanakan fungsi-fungsi yang diembannya secara konsisten dan konsekuen untuk mencegah terjadinya kejahatan.

4. Memberikan informasi kepada masyarakat yaitu pemukiman penduduk, tempat-tempat umum untuk membentuk pengamanan swakarsa dalam mencegah terjadinya kejahatan.

5. Memberikan informasi kepada perusahan-perusahaan agar melaksanakan pengamatan internal secara ketat serta melaksanakan fungsi sosial dalam areal wilayah perusahan yang mempunyai fungsi pengamanan eksternal untuk mencegah terjadi kejahatan.

(21)

a) Kejahatan, yaitu perbuatan yang disebut sebagai kejahatan. Kriteria suatu perbuatan yang dinamakan kejahatan tentunya dipelajari dari peraturan perundangan-undangan pidana, yaitu norma-norma yang didalamnya memuat perbuatan pidana.

b) Penjahat, yaitu orang yang melakukan kejahatan. Studi terhadap pelaku atau penjahat ini terutama dilakukan oleh aliran kriminologi positive dengan tujuan untuk mencari sebab-sebab orang melakukan kejahatan. Dalam mencari sebab-sebab kejahatan, kriminologi positive menyandarkan pada asumsi dasar bahwa penjahat berbeda dengan bukan penjahat, dan perbedaan tersebut ada pada aspek biologik, psikologis maupun sosio-kultural.

c) Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat (pelaku), yaitu studi yang bertujuan untuk mempelajari pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang dipandang sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas, akan tetapi undang-undang belum mengaturnya.

L. TEORI-TEORI KRIMINOLOGI

Teori-teori kriminologi ini dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kajahatan atau penyebab kejahatan. Teori-teori tersebut antara lain:

1) Teori Asosiasi Deferensial, intinya yaitu pola perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui pergaulan yang akrab. Tingkah laku jahat dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi, dan yang dipelajari dalam kelompok adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan yang mendukung perbuatan jahat.

2) Teori Anomi

(22)

adanya aturan-aturan yang diakui bersama mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan bukan kerja sama. 3) Teori konflik adalah teori yang mempertanyakan hubungan antara

kekuasaan dalam pembuatan undang-undang pidana dengan kejahatan, terutama sebagai akibat tersebarnya dan banyaknya pola dari perbuatan konflik serta fenomena masyarakat yang bersifat plural. Teori konflik menganggap bahwa orang-orang memiliki perbedaan tingkatan kekuasaan dalam mempengaruhi pembuatan dan bekerjanya undang-undang. Mereka yang memiliki tingkat kekuasaan yang lebih besar, memiliki kesempatan yang lebih besar dalam menunjuk perbuatan-perbuatan yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan. Menurut teori konflik, suatu masyarakat lebih tepat bercirikan konflik daripada konsensus.

4) Teori Subkultur

Teori Subkultur ini di bagi menjadi dua yaitu:

a) teori delinquent subculture, yaitu teori yang dikemukakan oleh A.K. Cohen yang dalam penelitiannya dijelaskan bahwa perilaku delinkuen lebih banyak terjadi pada laki-laki kelas bawah dan mereka lebih banyak membentuk gang. Tingkah laku gang subkultur bersifat tidak berfaedah, dengki dan jahat. Terdapat alasan yang rasional bagi delinkuen subkultur untuk mencuri (selain mencari status kebersamaan) mencari kesenangan dengan menimbulkan kegelisahan pada orang lain. Mereka juga mencoba untuk meremehkan nilai-nilai kelas menengah.

(23)

adanya masalah-masalah yang berbeda bagi kepentingan kontrol sosial dan pencegahannya. Dalam teorinya Cloward dan Ohlin menyatakan bahwa timbulnya kenakalan remaja lebih ditentukan oleh perbedaan-perbedaan kelas yang dapat menimbulkan hambatan-hambatan bagi anggotanya, misalnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan sehingga mengakibatkan terbatasnya kesempatan bagi anggotanya untuk mencapai aspirasinya.

5) Teori Label

Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan. Konsep teori label menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan

6) Teori Control Social

Teori kontrol sosial merupakan suatu teori yang berusaha menjawab mengapa orang melakukan kejahatan. Teori kontrol ini mempertanyakan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat terhadap hukum?. Teori kontrol sosial memandang setiap manusia merupakan makhluk yang memiliki moral yang murni. Oleh karena itu setiap orang memiliki kebebasan memilih berbuat sesuatu. Apakah ia akan berbuat menaati aturan yang berlaku ataukah melanggar aturan-aturan yang berlaku. Tindakan yang dipilih itu didasarkan pada ikatan-ikatan sosial yang telah dibentuk.

M. PENGERTIAN DAN BENTUK KEJAHATAN

(24)

masyarakat yang bersangkutan karena keberadaan suatu hukum di dalam masyarakat merupakan pengejawantahan dari tuntutan masyarakat agar jalannya kehidupan bersama menjadi baik dan tertib. Dengan dilanggarnya hukum yang ada dalam masyarakat tersebut maka tentunya perbuatan tersebut adalah jahat.

Kejahatan ini adakalanya juga disertai dengan kekerasan. Hal itulah yang dimaksud dengan Kejahatan Kekerasan. Kejahatan kekerasan merujuk pada tingkah laku yang bertentangan dengan hukum yang berupa ancaman saja maupun sudah menjadi suatu tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.

Kejahatan ini sangat lazim terjadi di negara kita, salah satunya yaitu Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). KDRT menurut UU No. 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Kejahatan dengan kekerasan dapat dikategorikan dalam berbagai bentuk, Jamil Salmi seorang pakar kriminologi membagi kekerasan titu dalam empat bentuk yaitu:

1. Kekerasan langsung (direct violence)

2. Kekerasan tidak langsung (indirect violence), yang dikategorikan ke dalam: a) Kekerasan karena kelalaian (violence by omission)

b) Kekerasan perantara (mediated violence). 3. Kekerasan represif (repressive violence) 4. Kekerasan alienatif (alienating violence).

N. PENGERTIAN P ENJAHAT

(25)

atau hukum pidana (kriminologis). Dalam arti sempit, penjahat adalah seseorang yang melakukan pelanggaran undang-undang atau hukum pidana, lalu tertangkap, dituntut, dan dibuktikan kesalahannya di depan pengadilan serta kemudian dijatuhi hukuman.

O. PERSPEKTIF TEORI KRIMINOLOGI TENTANG KEJAHATAN YANG DISERTAI DENGAN KEKERASAN

Romli Atmasasmita memandang ada tiga titik pandang dalam melakukan analisis terhadap permasalahan kejahatan yaitu antara lain: macrotheories, microtheories, dan bridging theories.

Hoefnagels dalam bukunya "The Other Side of Criminology" mengungkapkan bahwa para ahli kriminologi pada umumnya sering bertumpu pada teori kausa kejahatan dan pelakunya, namun kurang memperhatikan sisi lain dari suatu kejahatan, yaitu aspek stigma dan serioueness yang dipandang sebagai "other than offenders" yang memiliki peran yang amat penting dalam menjelaskan kejahatan.

Menurut Romli Atmasasmita bahwa dalam menghadapi kejahatan dengan kekerasan dan dengan mendasarkan pada konsep kejahatan menurut Hoefnagels dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

· Bahwa perkembangan kejahatan dengan kekerasan di Indonesia dewasa ini masih dalam tahap perkembangan awal, dan belum merupakan suatu "epidemi kejahatan".

· Bahwa kemungkinan terdapatnya aspek-aspek lain (selain aspek stigma dan seriousness) yang terkandung dalam kejahatan dengan kekerasan yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia memerlukan pengamatan dan penelitian yang lebih mendalam.

P. REAKSI SOSIAL TERHADAP KEJAHATAN DAN PENJAHAT 1. Reaksi Represif dan Reaksi Preventif

(26)

reaksi yang bersifat (represif) dan reaksi yang bersifat (preventif). Karena berbeda tujuannya maka secara operasionalnya pun akan berbeda, khususnya dari metode pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya. Secara singkat, pengertian reaksi atau tindak represif adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat (formal) yang ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi dengan pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.

Sementara itu yang dimaksud dengan reaksi atau tindak (preventif) adalah tindak pencegahan agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman kejahatan adalah prioritas dari

reaksi preventif ini.

Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.

2. Reaksi Formal dan Reaksi Informal

Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak yang diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan

reaksi tersebut.

Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan pidana, dengan demikian, adalah (1) mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan, (2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (3) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.

(27)

penegak hukum, dan reaksi informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh warga masyarakat biasa melanggar peraturan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Ø Dermawan, M. Kemal. 2007. Teori Kriminologi. Jakarta: Universitas Terbuka Ø Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta

Ø Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto

Ø http://tiarramon.wordpress.com/2009/10/31/bahan-kuliah-hukum-pidana-oleh-tiarramon-sh-mh-dosen-unisi/

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Puji Syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah dan Karunia-Nya kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “Efektivitas Latihan

Evaluasi dilakukan pada akhir Semester, dimana Para Mahasiswa Pendamping melihat fotocopy nilai rapor dari adik-adik dan ke sekolah-sekolah untuk bertemu dengan guru wali

Pada hasil penelitian didapatkan kadar hs-CRP secara signifikan lebih tinggi (p=0,02)pada kelompok pasien PP baik dengan demensia maupun tanpa demensia dibanding kelompok kontrol

: PERATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA TENTANG PERUBAHAN ATAS PBRATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR T6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN SERI,. KODE, DAN

Data hasil belajar yang baik dapat dihasilkan dari instrumen atau alat rumen yang digunakan pada penelitian ini maka dilakukan uji validitas butir soal yang

Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara umum konsep pengawasan internal yang diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut telah sesuai dengan apa yang diinginkan

Penelitian tentang analisis struktur vegetasi memperlihatkan dengan jumlah vegetasi hasil yang ditemukan adalah 16 jenis tumbuhan yang terdiri dari 12 famili, perhitungan lebih

RELEVANSI KONSEPSI PENDIDIKAN HAMKA DENGAN KONSEP PENDIDIKAN NILAI DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu