• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pemberian gula, insulin dan lama istirahat sebelum pemotongan pada domba setelah pengangkutan terhadap kualitas daging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh pemberian gula, insulin dan lama istirahat sebelum pemotongan pada domba setelah pengangkutan terhadap kualitas daging"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)

PENGAaUH PEMBERIAN

GULA,

INSULIN

DAN

LAMA

ISTIRAHAT

SEBELUM PEMOTONGAN PADA

DOMBA SETELAH

PENGANGKUTAN

TERHADAP KUALITAS DAGING

SEKOLAH

PASCASARJGNA

INSTITUT

PERTANIAN

BOGOR

(2)

SR[ HARTATI C N R A DEW. Pengaruh Pemberian Gula, Insulin dan Lama Istirahat Sebelum Pernotongan pada Domba setelah Pengangkutan terhadap Kualitas Daging. Dibimbing oieh EDDIE GURNADI, RUDY PRIYANTO dan WASMEN MANALU.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh pemberian gula, insulin

dan

lama istirahat sebelum pemotongan pada domba setelah transportasi

terhadap kuaIitas daging. Penelitian ini menggunakan 54 ekor domba betina dengan kisaran umur antara 10 dan 12 bulan dan bobot hidup antara 14

dan

1 7

kg.

Domba yang digunakan berasaI dari Pasirangin, Megamendung, Bogor. Penelitian

ini menggunakan rztnmgan acak lengkap pola faktorial 2 x 3 ~ 3 . Faktor pertama

adalah pemberian gula dengm 2 level yaitu level 0 dan 6 @g dari bobot hidup.

Faktor kedua adalah pemberian insulin dengan 3 level yaitu 0, 0,3 dan 0,6

IU

per ekor. Faktor ketiga adalah lama istirahat sebelum pernotongan yang terdiri atas 3 level yaitu 2, 4 dan 6 jam. Masing-masing unit percobaan diulang 3 kali. Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah suhu rektal dan denyut jantung, penurunan

bobot hidup, persentase bobot karkas, kadar glukosa darah, kadar glikogen daging, kadar asam laktat daging, pH, keempukan, daya mengikat air, smut masak

dan warm daging.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa domba setelah mengalami penpgkutan suhu rektal, denyut jantung dm kadar glukosa meningkat, domba yang disuplementasi dengan gula sesudah pengangha kadar glikogen daging dm kadar asam laktat meningkat tetapi pH daging dan susut rnasak rendah.

Pernberian insulin menurunkrtn kadar glukusa d a d tetapi meningkatkan kadar gli kogen daging. Lama istirahat sebelum pemotongan menurunkm berat hidup

tetapi meningkatkan persentase karkas. Kadar glukosa darah menurun dengan adanya pengistirahatm sebelum pemotongan. Daya mengikat air, keernpukan dan

warm daging (L, a, b) tidak krbeda nyata.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian gula, insulin dm lama istirahat sebelum pemotongan pada dom ba dapt mengurangi p e n g a d negati f

dari stres karena pengangkutan terhadap kualitas daging.

(3)

ABSTRACT

SRI HARTATI CANDRA DEWI. The Effects of Sucrose Supplementation, Insulin Injection, and Resting Period Prior to Slaughtering on Meat Quality in Sheep Exposed to Stressful Transportation. Under the direction of EDDIE GURNADI, RUDI PRIYANTO, and WASMEN MANALU.

An experiment was conducted to study the effects of sucrose supplementation, insulin injection, and resting period prior to slaughtering on meat quality in sheep exposed to stressf1.11 transportation. FiRy four female local sheep (10 to 12 months of age) with weight ranging from I4 to 17 kg. The experimental sheep were assigned into a completely randomized design with a 2 x 3 ~ 3 factorial arrangement with 3 replications. The first factor was sucrose supplementation wih 2 leveb (0

and

6 @g body weight). The second factor was

insulin injection afkr transportation with 3 levels (0, 0,3 and 0-6 ILTlkgBW). The third factor was the duration of resting p e r i d with 3 levels (2,4 and 6

h

prior to slaughtering). Parameters measured were rectal temperature and heart rate, live weight, carcass percentage, blood glucose concentration, meat glycogen concentration, meat lactate concentration, meat pH, water holding capacity, meat tenderness, cooking loss and meat color.

The results of the experiment indicated that sheep supplemented with sucrose after transportation

had

higher meat glycogen and lactate concentration but lower meat pH

and

cooking loss. Insulin injection decreased blood glucose concentration but increased meat glycogen and lactate concentration. The longer the resting period prior to slaughtering the lower the live weight but the higher carcass percentage. B l d glucose concentration decreased with the increased resting period prior to slaughtering. Water holding capacity, meat tenderness and meat colour did nor show significant differences.

It was concluded that sucrose supplementation, insulin injection, and resting period prior to slaughtering in sheep exposed to stressful transportation could improve meat quality.

(4)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa karya berjudul "Pengaruh Pemberian

Gula, lnsulin dan Lama Jstirahat sebelum Pernotongan pada Domba setelah Pengangkutan terhadap Kual itas Daging", belum pernah diaj ukan untuk memperoleh gelar doktor pada suatu perguruan tinggi. Daiarn karya ini tidak pula

rnemuat karya orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan dicantumkan dalarn daftar pustaka.

(5)

PENGARUH

PEMBERIAN GULA, INSULIN

DAN

LAMA

ISTIRAHAT SEBELUM PEMOTONGAN PADA

DOMBA SETELAH PENGANGKUTAN

TERHADAP KUALITAS DAGING

SRI

HARTATI

CANDRA

DEW1

Dkrtasi

sebagai a d a h satu syant untuk memperoleh gehr Doktor pada

Progrrua

Studi nmu

Ternak

SEKOLAH

PASCASARJANA

INSTITUT

PERTANIAN

BOGOR

(6)

Judul Disertasi : Pengaruh Pembetian Gula, Insulin dan Lama Jstirahat sebelurn Pernotongan pada Domba setelah Pengangkutan

terhadap Kualitas Daging

Nama : Sri Hartati Candra Dewi

NRP : 985042

Program Studi : Ilmu Ternak

Meny etujui,

Prof. Dr.

H.

R.

Eddie Gurnadi

Ketua

Prof. Dr. Wasmen Mmdu

2. Ketua Program Studi Ilmu

T

m

Dr.

Nahrowi. M.Sc.
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan

di

Jogjakarta pa& tanggal I9 Mei 1962, sebagai anak ke-6 dari delapan bersaudara dari pasangan Harto Utomo (alm.) dan Wasiyah

(almh.).

Pendidikan Sarjana ditempuh

di

Fakultas Peternakan Universitas Gadjah

Mada Joejakarta,

lulus

pada tahun 1986. Panda tahun 1995 penuIis diterima di

Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak, Program Pascasa jana

Inst it ut Pertanian Bogor dengan biay a dari Universi tas Wangsa Manggala

Jogjakarta, lulus pa& tahun 1998. Pa& tahun 1998, mendapat kesempatan

melanjutkan

ke

program doktor pa& program studi dan perguman tinggi yang

sama dengan mendapath beasiswa dari Dikti (BPPS).

Penulis bekerja sebagai staf pengajar

di

Jurusan Petemkan, Fakultas

Pertanian, Universitas Wangsa Manggala Jogjakarta, sejak 1988 sampai sekarang.

Penulis menikah dengan Sapto Amal Darnandari dan telah dikaruniai

dua

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan

ke

Hadirat Allah

SWT

yang telah

melimpahkan Rahmat clan HidayahNya, sehingga disertasi ini berhasil diselesaih. Terna yang dipiIih dalam penelitian ini ialah penan- domba setelah pengangkutan dengan judul "Pengaruh Pemberian Gula, Insulin dan Lama

Istirahat sebefum Pernotongan pada Domba setelah Pengangkutan terhabp

Kual itas Daging"

Penulis menyadari bahwa keberhasilan

ini

tidak terlepas dari kerjasama

yang baik dari berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih

kepada Bapak Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi seiaku ketua komisi pembimbing,

Bapak Dr. Rudy Priyanto dan Bapak Prof. Dr. Wasmen Manah, selaku anggota

komisi pembirnbing, yang telah

banyak

memberikan arahan clan tambahan ilmu

sehingga disertasi

ini

dapat selesai.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor, D e h

FakuItas Pertanian

dan

Ketua

Jurusan

Peternakan beserta stat Universitas Wangsa

Manggala yang telah memberi kan kesempatan

dan

bantuan dana peneli tian,

sehingga penulis dapat menyelesai kan pendidi

kan

di

program do ktor. PenuIis

mengucapkan terirna kasih kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasajana

beserta staf, Ketua Program Studi Ilmu Temk beserta staf yang ikut berpem

Mam

penyelesaian studi doktor ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan

kepada PengeloIa Beasiswa BPPS Di rjen Dikti yang teIah memberikan beasiswa

kepada penulis selama mengihti pendihkan program doktor.

PenuIis j uga mengucapkan terima kasih kepada

staf

labc,ratoriurn
(9)

yang telah memberi kesemptan

d m

fasilitas

selama penulis melaksanakan

penelitian. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepda ibu Ida, ibu Sri,

bapak Cucu, bapak Eko dan bapak Arya yang telah membantu pelaksanaan analisa daging clan darah

di

laboratorium, serta bapak Sastra, bapak Nur, bapak

Lilik dan bapak Udin yang tetah membantu pelaksanaan di lapangan. Rbeina,

Udi,

Adi dan Anne yang telah bersarna-sarna

dalam

penelitian ini. Kepada Elis

Dihansih, Indyah Wahy uni,

Hany

Triely Uhi dan Dedi Rahmat, sahabat-sahabat

yang selalu memberikan dukungan dan bantuan kepada pendis sehingga disertasi

ini dapat diselesai

kan.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan

kepada

Bapak Hartb Utomo

(aim.) dan Zbu (almh), Bapk dan Ibu Damandari (mertua), k a k a k - W u mbak

Mandayati, mbak Sri Wahyuni dan aIm. mas Agus

K,

mas Munadi

W,

Mas Budi

H,

dan Mbak Sri Moch. Dasir beserta suami,

adik-adikku

Sri Saptorini

K,

Senjawati

K,

lnira Dani, Human Yuri

dan

Trika Midasari, serta seluruh

keponakanku terutama

Afi

dan Wisnu. Yang tercinta suamiku Sapto Amal

Damandari dan

anak-anakku

Dhito Megananto

d m

Whita Ratnasari, yang selalu penuh kesabaran dan kasih sayang memberikan dukungan moil clan rnaterii1

selama penulis menjalani

pendidikan

sampai selesainya penulisan disertasi

ini.

Semoga

Allah

SWT

mencatat amal bakti tersebut sebagai sdah satu

ibadah,

dan

semoga disertasi ini dapat memberikan informasi baru dalam

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di dunia petemakan dan bemanfaat

bagi pembaca. Arnin.

(10)

DAFTAR

IS1

DAFTAR GAMBAR ... xi

...

DAFTAR LAMPIRAN

...

X l l l

PENDAEULUAN

...

-- ... 1 Latar Belakang

...

1

... Tujuan Penelitian

.

. 3

Kegunaan Penelltian ...

.

.

3

Hipotesis Penellban

...

4

...

TINJAUAN PUSTAKA

... Pengangkutan Temak di Indonesia

... Stres Pengangkutan p d a Ternak

...

Penanganan Temak sebelurn Pernotongan

... Metabolisme Glikogen dan Glukosa

...

Peranan

Insulin dan Mobilisasi Glukosa

.

.

... ... Si fat Fisi

k

dan Kimia Daging

... W a r n Daging

... Keempukan Daging

...

Daya Mengikat Air Daging

pH

Daging ... ... Susut Masak Daging

... Daging DFD

METODE

PENELLTIAN ...

.

.

.

... 33 ...

Waktu dan Tempat Penelitian 33

Materi ... 33 Metode

...

....

...

33

... HASLL DAN PEMBAEMSAN

...

Suhu Rektal dan Denyut Jantung

Penurunan Bobot Hidup ...

...

Persentase Bobot Karkas

...

Kadar

Glukosa

Darah

...

Kadar Glikogen Daging

...

Kadar Asam Laktat Daging

pH Daging

...

...

Daya Mengikat Air

...

Keempukan Daging

... Susut Masak

W a r n Daging

...

(11)

...

SIMPULAN DAN SARAN

...

Simpulan

...

Saran
(12)

DAFTAR TABEL

I Suhu rektal dan denyut jantung domba sebelurn dan setelah

...

pengangkutan

2 Rataan penurunan bobot

badan

domba selarna pengangkutan

dan istirahat (%) ...

3 Rataan persentase bobot karkas domba selama penelitian (%) ... 4 Rataan kadar glukosa darah domba selarna penelitian (mgldl) ...

5 Rataan kadar glukosa darah domba sebelum dipotong (rngldL) ...

6 Rataan kadar glikogen daging domba (%) ...

7 Ratam kadar asam laktat daging domba (pmol/g ) ...

8 Ra-n nilai pH daging dornba ...

...

9 Rataan kadar air bebas &gng domba (%)

10 Rataan nilai shear force daging domba (kg/crn2} ...

1 1 Rataan nilai susut masak daging domba (%) ...

...

1 2 Rataan nilai L warna daging domba

...

13 Rataan nilai a warm daging domba

... 14 Rataan nilai b warm daglng domba

(13)
(14)

22 W a r n daging domba penelitian ... 69

23 Hubungan antara

kadar

glikogen clan

asam

laktat daging

...

73

24 Hubungan antara krtdar glikogen dan pH daging domba ... 74

25 Hubungan antara kadar asam Iaktat dan pH dagmg dornba ... 75

(15)

DAFTAR

LAMPIRAN

1 Analisis ragarn pengaruh perlakuan pada penurunan bobot

badan domba ... 87

2 Analisis ragam penganrh perlakuan pada persentase b b o t karkas

domba ... 87

3 A d i s i s ragam penganrh perlakuan pada glukosa

darah

domba ... 88

4 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada glukosa darah domba

sebelurn dipotong ... 88

5 Analisis ragam pengaruh perlakuan pa& gli kogen daging

domba ... 88

6 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada asam laktat daging

...

domba 89

7 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada nilai pH daging

darn ba ... 89

8 Anal isis ragam pen& perlakuan pada nilai daya mengikat

air daging domba ... 90 9 Analisis mgam pengaruh perlakuan pada nilai keempukan daging

dom

ba

... 90

f 0 Analisis ragam pengad perf akuan pada nilai susut masak dagmg

domba ... 9 1

I f Analisis ragam pengaruh perlakuan pa& nilai kecerahan wama (L)

daging domba ... 9 1

1 2 Analisis ragam pengaruh perlakuan pada nilai kemerahan warm (a)

daging dombtt ... 92

13 Analisis ragam pengaruh perlakuan pixla nilai kekuningan (b)

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belnkaog

Meningkatnya daya beli konsurnen

dsn

berkembangnya segmen pasar daging rnendorong permintam daging berkualitas semakin tinggi. Kualitas daging yang dihasilkan dari seekor temak selain ditentukan oieh faktor on farm

seperti penggunaan mutu bibit ternak dan penggufiaan teknologi pakan, juga dipen& oleh faktor of furm terutama penanenan temak pascapanen.

Penanganan temk pascapanen antara lain meliputi transportasi, penyelaan pakan

dart rninum selama transportasi

dan

sebelum pemotongan tenzak, pengistirahatan

ternak dan penanganan ternak sebelum pemotongan. Penanenan ternak

pascapanen yang ti& baik merupakan faktor penyebab stres yang potensial bagi

ternak yang pa& akhirnya dapat menurunkan k 4 i t . m daging yang dihasilkan.

Pengangkutan temak dilakukan karena adanya jar& yang cukup jauh

antara sentra produksi ternak d e w rumah ptong hewan (RPH) yang ada di

lokasi konsumen. Hal ini disebabkan oleh kondisi wilayah dsn geografi Indonesia,

&rah&erah sentra produksi ternak umumnya memiliki lokasi yang berjauhan

dengan konsurnen. Sebagai contoh permintaan daging sap], DKI Jakarta merupakan daerah konsurnen dengan permintaan -ng yang tinggi, namun tidak

dapat rnenunjang usaha produksi t e m k . OIeh sebab itu pernerintah daerah hams

mendatangkan ternak hidup dari daerah lain seperb Larnpung, Jawa Tengah,

Jawa Timur bahkan dari Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara

Timur, yang menyebabkan temak

harus

mengalami pengangkutan yang cukup
(17)

SeIama pengangkutan, ternak berada dalam posisi berdiri clan tidak bebas

bergerak, sehingga akan mengalami stres. Kondisi ini rnenjadi semakin parah oleh

kekurangan air minum

dan

atau pakan selrtma transprtasi. Ternak yang resisten

terhadap stres mampu rnempertahankan temperatur normal tubuh dm kondisi

homeostati k dalam otot-ototnya, dengan mengorbankan cadangan gli kogen. Menurut Aberle et al. (2001), defisiensi glikogen terjadi apabiia temak yang

mengalami stres, seperti yang berkaitam dengan kelelahan, latihan, puasa dan

gelisah, atau yang langsung dipotong sebelum rnendapat istirahat yang cukup

untuk rnemulihkan cadangan glikogen ototnya. Defisiensi gIi kogen otot pada

ternak &pat menyebabkan proses glikolisis pascarnati yang terbatas dm larnban,

sehingga daging yang dihasilkan mempunyai pH yang t i n e dengan warm merah

gelap atau di kenal dengan istilah W n g DFD (Dark Firm and Dry). Kasus daging

DFD di Iuar negeri cukup banyak yaitu Iebih d m 20% terjadi pada sapi jantan

muda, dan merupakan masalah yang penting dalam produksi daging. Daging DFD

sangat merugikan karena dengan pH akhir y q tinggi dan penampakan yang

kurang bagus akan menurunkan harga daging. Harga daging DFD &pat turun sampai 25-30% dari

h a r e

dagng normal, sehingga sangat merugikan produsen daging. Apbila sudah dikategorikan sebagai daging DFD, daging itu &an dijual sebagai daging afkir yang tidak laku dijual sebagai daging segar, tetapi dijual

s e b a p daging olahan antara lain sosis kering, daging asap asin maupun didah

sebagai pakan hewan.

Kasus

daging DFD di Indonesia kemungkinan terjadi cukup

banyak mengingat ik1im yang tropis clan kondisi pengangkutan ternak yang belum

(18)

Penanganan ternak setef ah pengangkutan dimaksudkan untuk memberi

kesempatan ternak &lam mernulihkan cadangan glikogen ototnya, antara lain

dengan rnengistirahatkan ternak sebelum dipotong. Selain itu, untuk mempercepat

pemuli han kondisi tubuh temak tersebut adalah memberikan larutan gula. Menurut Schaefer ef ai+ (19901, sapi yang diberi lamtan glukosa setelah

transportasi mempunyai hasil

karkas

3-4% Iebih tinggi daripada sapi yang hmya

diberi air rninurn maupun yang tanpa air minum. Selama transportasi ternak

mengalami stres dan berupaya untuk mempertahankan kondisi fisiologis

tubuhnya, sehingga otot berkontraksi lebih cepat. Keadaan ini memerlukan laju

aliran darah yang meningkat dalam otot, kondisi ini menyebabkan peningkatan

mobilisasi glukosa. Hormon insulin merangsang pemasukan glukosa darah ke

dalam sel-seI target, yang &lam ha1 ini kernbali ke otot (Turner-Bagnara, 1976).

Berdasarkan masalah tersebut di atas tef ah dilakukan penelitian tentang pernberian

gula dan insulin, sert. lama istirahat untuk pemulihan kondisi domba setelah

mengalami pengangkutan sehingga daging yang dihasilkan berkualitas bai k.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan masafah tersebut di atas, tujuan penelitian ini dab untuk

mempelajari pengarub guIa, insulin clan lama istirahat pada halitas daging domba

yang mengalami pengangkutan.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digunairan sebagai infomasi ddarn penanganan

ternak setelah mengalami pengangkutan, untuk menghasiikan W n g berkualitas

(19)

H i p o t ~ i s Penelitian

1. Pemberian gula

pada

domba setelah pengangkutan akan menghasilkan kualitas

daging yang baik.

2. Pemberian insulin pa& domba setelah mengalami pengangkutan akan

mempercepat waktu pemulihan sehingga menghasilkan W n g dengan

kualitas yang baik.

3. Lama periode istirahat akan mempengaruhr kualitas dagmg domba.

4. Terdapat interaksi pengaruh antara pemberian gula, insulin dan lama istirahat

@a domba yang mengalami pengangkutan, mtuk menghasilkan daging yang

(20)

TMJAUAN

PUSTAKA

Pengangkutan Ternak di Indonesia

Pengangkutan ternak rnerupakan salah satu faktor yang penting &lam

penanganan ternak pascapanen, yang dapat mempengaruhi kualitas daging yang

dihasilkan. Pengangkutan temak diperlukan karena adanya jarak yang cukup jauh

antara sentra produksi ternak dengan rumah potong hewan (RPH) yang ada di

lokasi konsumen. Jarak antara pradusen clan konsumen yang jauh disebabkan

karena

kondisi wilayah dan geografi daerah yang satu dengan Iainnya berbeda,

se hingga ada daerah y ang tidak rnemungkinkan untuk

di

kembangkan usaha

peternakan tetapi konsumsi basil temak tinggi. Oleh karena itu, daerah komumen

hasil ternak perlu mendatangkan ternak hidup dari daerah lain. Salah satu contoh

adalah Daerah Khusus ibukota Jakarta dengan jumlah penduduk yang besar dan

kondisi perekonomian yang relatif lebih maju dibanding daerah lain, maka DKI

Jakarta menjadi daerah tujuan pengiriman ternak hidup @pi, k e h u , kambing,

domba dan ayam) dari berbagai daerah di Indonesia. Menurut Candra (2002),

daIam rangka memenuhi konsumsi daging di wilayah DKI

Jakarta,

Tangerang dan Bekasi, maka

RPH

PD Dharma Jaya mendatangkan ternak potong dan daerah Lampung, Jawa Barat, J a m Tengah, Jawa Timur, Bali, Kupang dan Kalimantztn.

RPH Bogor mendatangkan sapi

d m

daerah Pati, Pekalongan, Madiun clan

Lampung, sedangkan ternak kerbau, domba, kambing dan babi dari daerah sekitar

Bogor ( H m i yadi 2000). Supriyadi (2003) menyatakan bahwa RPH Tasi krnaIaya

mendatangkan sapi dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tata niaga ternak ptong di Indonesia dari daerah produsen

ke

daerah
(21)

memegang peranan ymg sangat penting &lam tataniaga ternak potong. Pengangkutan ternak di Indonesia urnumnya menggunakan angkutan kereta api,

kendaraan truk clan kapal (Adoe 1981 ). Pengangkutan ternak hidup yang be-1

dari luar pdau Jawa menggunakan kapal laut, kemudian setelah sampai di

pelabuhan dipindahkan ke truk clan atau kereta api ke RPH Jakarta. Ternak yang berasal

dari

puIau Jawa dan Bali diangkut ke Jakarta menggumkan tmk atau

kereta api . Truk merupkan jenis angkutan paling ban yak digmakan, karena dapat

mencapai Iokasi petemakan di daerah terpencil dan Iebih ekonomis (Adoe 1981;

Lasmi 1988; Rusnadi 1995). Adoe (1981) menyatakan bahwa pa& sistem

pengangkutan ternak menggunakan kapal laut sering terj adi keterlarnbatan pengaplan. Selain i tu, masi h

diperlukan

angkutan tambahan dengan truk untuk mengangkut ternak dari lokasi peternakan ke kapal, maupun dari kapal

ke

RPH,

yang mengakibatkan biaya pengangkutan yang lebih tinggi. Sistem pengangkutan

ternak menggunakan kereta api memerlukan waktu tempuh yang lebih panjang,

waktu kedatangan yang tidak tentu.

Satu gerbong kereta api dapat mengangkut sapi atau kerbau rata-rata

sebanyak 20 ekor (Ad= 1981) atau antara 18-21 ekor (Lasmi 1988). Pengmgkutan dengan truk cocok untuk jarak dekat dan sedang. Truk engkel dapat memuat 6-10 ekor sapi, tnrk tronton dapat memuat 18- 19 ekor sapi,

dan

tnrk

gandeng dapat memuat 33-34 ekor sapi (Lasmi 1 988).

S t m Pengangkutan pada Ternak

Selama dalam pengangkutan, temak pada umumnya berdiri

dan

tidak

bebas bergerak. Kondisi tersebut dapat rnenyebabkan stres pada ternak. Stres

(22)

terhadap berbagal faktor fisik, lumia dan lingkungan biologs (Yousef 1985).

Stres menunj ukkan besarny a pengaruh luar terhadap sistem tubuh yang cenderung menggantikan sistem tersebut dari istirahat atau keadaan basal. Pada ternak yang

diangkut dari ladang ternak untuk dipotong, penyebab stres merupakan gabungan oleh ketiadaan air minum dan atau pakan, sires psikologi, fisiologi dan fisik, atau

gabungan dan faktor-faktor tersebut (Shorthose dan Whytes 1988).

Penyebab stres fisiologi yang timbul saat ternak diangkut ke tempat pernotongan adalah pernuasaan, kelelahan, ketakutan dan kepadatan ternak

(Lawrie 1 99 1 ). Intensitas stres dipengaruhi oleh jarak clan lama perjaIanan, tingkah laku ternak, bentuk pengangkutan, tingkat kepadatan waktu

pengangkutan, keadaan iklim, penanganan p d a saat perjaianan, keefektifan istirahat setelah perjalanan dan sifat kerentanrtn terhadap stres (Lawrie 1991;

Fernandez et ul. 1996). Shorthose dan Wytes (1 988) menyatakan bahwa apabila

stres yang dialami hanya sebentar, dan tidak berkepanjangan, sebagian besar

ternak &pat menyesuaikan diri; apabila stres pa& ternak berlmgsung lama dan

berkepanjangan, ternak ti& &pat menyesuaikan diri. Ternak yang tidak &pat

menyesuai kan tersebut menjadi kelelahan dan dapat mengakibatkan kernatian.

Manifestasi dari stres pengangkutan adalah p e n m kandungan

glikogen otot, penurumn b b o t badan, penurunan persentase karkas, luka memar,

kekurangan oksigen, clan pengeluaran darah yang kurang sempuma pada saat

pernotongan (Lawrie 1991; Shorthose dan Wythes 1988). Tubuh ternak

mem puny ai suatu pertahanan alami untuk mengatasi kondisi-kondisi yang

memgikan, misalnya stres pengangkutan sehingga dapat rnempertahankan kondisi

(23)

dari cekaman dan penyesuaian rnetaboIik yang terkait akan mengakibatkan peningkatan kontraksi otot. Selama kontraksi otot yang intensif, sistem sirkulasi

darah tidak dapat membawa oksigen dm glukosa ke otot dengan kecepatan yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan otot yang tinggi untuk sintesis ATP (Akrle et

a/. 2001; Lehninger 1994a). Dalam ha1 ini, glikogen otot dipergunakan

sebagai bahan bakar cadangan dan dengan cepat diuraikan melalui glikolisis untuk

membentuk laktat dan menghasilkan ATP, yang merupakan sumber energi bagi

kontraksi otot.

Pada keadaan pasokan oksigen tidak mencukupi, ion hidrogen yang

dilepkan &lam gl ikalisis

drtn

sikl us asam trikarboksilat tidak dapat bergabung

dengan oksigen dengan kecepatan yang cukup. Dengan demi kian, ion hidrogen cenderung berakumulasi Mam otot. Kelebihan hidrogen ini kemudian digunakan

untuk rnengkonversi asam piruvat menjadi asam laktat yang memberi peluang

bagi dikolisis unhk berlangsung p d a kecepatan tinggi (Gambar 1). Setiap

glukosa menghasilkan 3 molekul ATP &lam glikolisis, sehingga rnetabolisrne

anaerob &pat memasok energi untuk otot (Abede et al. 200 1 ).

Fernandez et al. (19%) rnenyatakan bahwa pengaruh lama pengangkutan

1 1 jam pa& kehilangan bobot hidup pedet adalah sebesar 3,64%. Dornba yang

mengalami pengangkutan selarna 14 jam mengalami penurunan bobot badm rata-

rata sebesar 6,7?? per ekor (Knowles et al. 1993). Menurut KnowIes et al. (1995)

domba yang ditransportasikan selama 15 jam mengalami penurunan bobot badan

rata-rata sebesar 8%. Sapi Bali jantan yang mengalami pengangkutan s e l m

Iebi h kurang 48 jam dengan j arak tempuh lebi h kurang 1 200 km, mengalami

(24)
[image:24.608.82.531.72.616.2]

Gambar 1 . Diagram daur suplai energi

di

dalam otot. (Aberle et a(. 200 1 ).

Penurunan hbot badan sapi Bali jantan setelah pengangkutan terutama

disebabkan oleh te rjadinya urinasi dan defekasi selama pe jalanan, sehingga isi

(25)

b b t badan tidak hanya disebabkan oleh kehilangan cairan tubuh akibat sering

urinasi tetapi juga karena kehilangan cairan tubuh melalui pernapasan dan

keringat (Gortel et al. 1992).

Selain penurunan bubot badan, stres yang dsalami ternak

j

uga

menyebabkan peningkatan

suhu

rektd, frekuensi permpasan

dan

denyut

nadi.

Veigh dan Tarrant (1981) rnenyatakan bahwa sapi yang mengalami stres,

frekuensi denyut nadi meningkat dari 84 kalilmenit menjadi 135 kali/menit dan

suhu rektal meningkat dari 38,9 'C menjadi 40,7 OC. Frandson (1993) menyatakan

bahwa denyut nadi domba rat.-rata 70-80 kaIi.menit. Knowles et al. (1995)

menyatakan bahwa domba yang mengalami pengangkutan frekuensi denyut nadi

meningkat selama penganglcutan, pada awd pengangkutan 100 kaliimenit dan

meningkat tajarn menjadi 150 kalilmenit setelah 1,5-3 jam pertama perjalanan.

Setelah 9 jam perjalanan frekuensi denyut nadi menurun menjadi 80 kalilmenit.

Hernaman (2001) menyatakan bahwa suhu r e h l dan denyut nadi meningkat

setelah domba mengalami transportasi selama 4 jam. Suhu rektal sebelum

transportasi sebesar 39,46 OC meningkat menjadi 39,72

k

setelah transportasi

dan denyut nad~ sebelum tmmportasi 133 kalilmenit meningkat menjadi

144 kalilmenit setelah transportasi.

Hood dan Joseph (1989) menyatakan bahwa domba yang diangkut rnelalui daratan di Australia dengan jarak tempuh lebih dari 1000

km

menghasilkan

kualitas daging yang lebih

baik

apabila domba diistidatkan selama 120 jam

sebelum pernotongan, dengan disediakan ransum dan air minum, dibandingkan

dengan domba yang dipotong setelah istirahat hanya selama 1 8 jam. Shorthose

(26)

selarna 4 jam,

akan

mengalami pengurangan glikogen otot yang cukup untuk rneningkatkan nilai pH akhir otot. Knowles ef al. (1993) menyatakan bahwa

domba yang mengalami 14 jam trsnsporhsi, gIukosa damhnya meningkat dari

3,65 m o V l sebelum transportasi menjadi 4,06 mmoM. Knowles er al. (1995)

menyatakan bahwa glukosa darah nyata meningkat (6,5 mmoVI) setelah 3 jam

bnsprtasi, clan setelah 9 jam transportasi akan t& kembali sarna dengan

sebelum ditransportasikan (4,5 mmoV1).

Kirton et al. (1972) mencatat penyusutan yang jauh lebih besar (5%) pa&

bobot karkas panas pedet (bobot hidup < 45 kg b b o t karkas > 10 kg) pada pemuasaan 24 jam prapotong. Gortel et a2. (1992) menyatakan bahwa bobot

karkas panas Iebih

tins

p d a sapi yang diberi larutan eIektro1it selama

pengurungan setelah pengangkutan, dibandingkan dengan sapi yang hanya diberi air saja, sdangkan Schaefer et al. (1990) menyatakan bahwa pemkrian glukosa

dan

lamtan elektroiit tampak mengurangi jumlah penciutan

karkas

sampai 3%. Pengangkutan dalam waktu yang lama, meskipun rnenyebabkan peningkatan

persentase karkas, menimbul kan pengaruh merugkan terhadap hasiI keseluruhan

(Fernandez et al. 1996).

Semua penyebab stres yang digertak oleh manajemen pada ternak adalah

ekspose, pemindahan, pengangkutan dan penan- yang dianggap sebagai

penyebab yang paling potensial (Eichinger et a/. 199 1). Secara ekonomi, fahor

pemasaran adaIah penting karena faktor ini clapat menu& kuatitas dagng dan

rneningkatkan susut karkas (Shorthose

dm

Wythes, 1 988). Gurnadi ( 1 993)

menegaskan bahwa bagaimanapun baiknya mutu ternak potong, j i ka penanganan

(27)

daging yang difiasi1k.n tidak

akan

memenuhi standar rnutu yang baik pula. Oleh

karena itu ternak yang akan diptong perlu cukup istirahat, tidak mengalami stres

yang berlebihan

pada

waktu di potong clan ditangani dengan baik setelah diptong-

Penanganan tersebut

dilakukan

untuk mencegh terjadin ya penyimpangan kualitas

daging seperti kasus daging yang pucat, lembek clan basah (Pale, So@ and

Excardative = PSE) maupun dagmg yang warnanya gelap, keras dan kering

( a r k , Firm and Dry = DFD).

Penanganan

Ternak sebelum Pernotongan

Pengangkutan ternak dari tempt penggemukan

ke

tempat pernotongan

memerlukan waktu, dm ha1

ini

dapat menyebabkan kelelahan dm stres pada

tern& tersebut. Menurut Crouse

dan

Smith (1986) kelelahan dan stres di perjalanan yang dialami sapi-sapi tersebut mengakibatkan kehabisan cadangan

gli kogen otot, sehingga meningkatkan kandungan asam laktat darah. Dornba yang

mengalami transprtasi selama 4 jam akan mengalami pen- glikogen otot

yang cukup untuk meningkatkan nilai pH akhir otot (Shorthose dan Wythes

1988). Apabila sesampainya di m a h potong hewan (RPH) ternak tersebut

langsung dipotong akan dihasiIkan daging yang berwama gelap dan mempunyai

pH tinggi, sehingga sangat rnerugkan. Oieh karena itu dipdukan waktu istirahat

yang cukup untuk memulihkan kondisi ternak, sehingga dihasilkan daging yang

mempunyai kualitas yang baik.

Dalam rangka pemulihan kondisi tubuh temak akibat stres dan

kele1ahan

selama pengangkutan diperlukan waktu istirahat yang cukup di t e m p t

penampungan sebelurn dipotong (Lawrie 1991; Gurnadi 1993). Pada umumnya

(28)

untuk mengistirahatkan

ternak

sebelum diptong. Periode istirahat pada ternak

sebe1um hpotong merupakan salah satu prosedur penanganan ternak

di

RPH.

Lama istirahat yang diterapkan bervariasi antara 8 sampai 24

jam

sebelum temak

diptong. Namun demikian, ada beberapa RPH Daerah Tingkat U dm

pernotongan ternak di luar RPH yang belurn menerapkan periode istirahat

sebelum ternak dipotong meski pun RPH tersebut mempunyai fasilitas kandang penampungan. RPH yang belum menerapkan penide istirahat antara lain RPH

Surakarta (Sudjajanto 1999) dan RPH Tasikmalaya (Supriyadi 2003), karena

ternak sampai di RPH beberapa saat menjeIang waktu pernotongam dimdai.

Ternak setelah mengalami pengangkutan, sesampainya di RPH mengalami

kelelahan dan otot-otot berkontraksi cepat. Aberle et a/. (200 1 ) menyatakan

bahwa apabila terjadi kontraksi otot yang cepat, sedangkan pasokan oksigen tidak

mencukupi, maka ion hidfogen

(m

yang dilepaskan dalam proses glikolisis dan

siklus TCA tidak dapt bergabung dengan oksigen

(02)

pa& kecepatan yang

cukup sehingga ion hidrogen cenderung berakumulasi dalam otot. Kelebihan

hidrogen ini kemudian digunakan untuk mengkonversi

asam

pimvat menjadi

asam laktat. Akurnulasi asam laktat dalarn otot ini akan mengakibatkan kelelahan berkemhg d e w cept. Oleh karena itu diperlukan waktu pernulihan kondisi

otot dari k e l e l h . Pa& saat pemulihan ini asam laktat dirtngkut

keluar

dari otot

meldui aliran darah dan dikonversi lagi menjadi glukosa di Mam hati (Gambar 2). Proses pemulihan kembali ini berlangsung dengan cepat untuk kelelafian

ringan, namun dapat memerlukan periode waktu yang panjang apabila kelelahan

itu cukup berat. Glikogen dapat disimpan kembali dalam otot (sekitar 1% dari

(29)
[image:29.608.92.512.49.550.2]

Gambar 2. Daur proses pembagian energi untuk kontraksi fungsi otot (Aberle el ul. 200 I ).

Menurut Shorthose dan Wythes (19881, transportasi pa& ternak yang

dii kut I dengan istirahat yang tidak cu kup sebelum pernotongan, akan menurunkan

kadar glikogen otot yang cukup untuk rneningkatkan nilai pH

akhir

dari otot

domba. Kondisi penam pungan dan penanganan prapotong yang baik,

(30)

dan air minum, akan mengumngi kemungkinan otot mempunyai niIai

pH

akhir

yang tinggi. Penanganan selama istirahat di kandang penampungan mempakan

tindakan yang penting

untuk

membantu pemulihan kondisi tubuh domba.

Penanganan tersebut antara lain pemberian air minum yang berupa air, larutan

gula maupun larutan elektrolit. Pemberiam air

minum

setelah pengangkutan dapat

digunakan untuk mengurangi stres yang dialarni selama penganglcutan, Gortel

et ul. (1 992) rnenyatakan bahwa akses terhadap cairan selarna pengunrngan sangat

penting untuk mempertahankan volume cairan ekstmeluler

dan

rnengurangi

pengaruh buruk

dari

stres pengangkutan. Sapi jantan yang diberi air minum

larutan elektrolit selama pengurungan menghasilkan bobot karkas panas y ang

lebih tinggi daripada jantm yang hanya diberi perlakuan air saja. Sapi jantan yang

diberi larutan elektrolit kehilangam bobot dalam bagian-bagian yang bukan dari

karkas p a w , tetapi is1 saluran pencernaan dan lamtan elektrorit lebih mudah diserap menembus dinding saluran pencernaan. Pemberian lamtan gldcosa pada

sapi selama pengurungan telah dilakukan oleh Schaefer el ul. (1990). Perlakuan

elektrolit dan glukosa mernberikan pengaruh yang positif terhadap warna daging

dan

kualitas dagmg dengan grade yang baik. Pemberian Iarutan elektrolit atau glukosa untuk konsumsi sebelum pernotongan akan mengurangi pen& stres

pengangkutan

dan

juga memperbaiki kualitas daging dan basil karkas.

Meta bolisme Gli kogen dan Glukosa

Glikogen rnerupakan h t u k simpanan karbhidrat yang utama di dalam

tubuh hewan. Glikogen terutama terdapat di Mam hati sekitar 6% dan

di

dalam

otot sekitar 1% (Mayes 1 9991, sedan* menurut Preston

dm

Leng (1987)
(31)

penyerapan melalui dinding usus halus, sebagian besar monosakarida dibawa oleh aliran darah ke hati (Wirahadikusumah 1985; Aberle et al. 2001). Di dalarn hati,

rnonosakan'da mengalami proses sintesis menghasilkan gli kogen, oksidasi

[image:31.616.92.518.216.548.2]

menjadi COz dan HzO atau diIepaskan untuk dibawa melaiui aliran darah ke bagan tubuh yang rnemerlukan

Gambar 3. Gambaran umum metabolisme karbohidrat : hubungan antara hati,

darah clan otot (Wirahadikusumah 1985).

Glikogen disintesis dan prekursor giukosa lainnya melalui lintasan

OTOT

Glikogen

T

I

,

Glukosa

Pimvat

I.

A-

kT

COz + Hz0

**

HATI

Glikogen

T

l

i

Fruktosa

4

Gdaktosa

Glukosa

1-

A-

Piruvat 4

COz +Hz0

I

F

Lipida

Sterol kolesterol

glikogenesis, Proses glikogenesis terjadi di ddam otot dan hati (Mayes 1995;

DARAH

Fruktosa

Gdaktosa

Glukosa

Piruvat 4

--

Laktat 4

Lahninger 1994a). Glukosa akan mengalami fosforilastsi menjadi glukosa 6-fosfat yang dikatalisis oleh enzim heksokinase di dalam otot dan enzim glukokinase

(32)

reaksi yang di

kataIisis

oleh enzim fosfo~ukomutase.Giuko~~ 6-fosfat

dan

gIukos8

1 -fos fat merupkan senyawa antara proses gli kogenesis ( Wirahadikusumah 1985).

Glukosa 6-fosfat GIukosa 1 -fosfat.

S

Glukosa- 1 -fosfat

A

I

Uridin difosfat glukosa (UDPG)

k

UTP

Uridin

t d -

[image:32.618.105.529.159.550.2]

PP1

Gambar 4. F e r n b e n t h uridin

di

fosfat

+

glukosa (UDPG) dari glukosa, rnelalui pembentukan glukosa 6-fosfat clan glukosa 1 -fosfat

( W i r a h a d i k u s d 1985).

Selanj utnya senyawa glukosa I dosfat bereaksi dengan uridin trifosfat (UTP)

untuk membentuk uridin difosfat glukosa (UDP-glukosa). Reaksi antmi glukosa 1 -fosfa t dan uridin trifosfat di katalisrtsi oleh enzim UDP-glukosa pirofosforilase

(33)
[image:33.618.95.541.211.538.2]

Gambar 4 menyajikan lintasan pembentukan uri&n difosfat dari UDP-

glukosa yang merupakan donor langsung residu glukosa di dalam pemhtukan

enzimati

k

glikogen oIeh ke j a glikogen sintase, yang menggiettkan pemindahan

residu glukosif dari UDP-glukosa ke ujung nonreduksi molekul glikogen

bercabang.

Glukosa- 1 -fosfat Uridin difosfat glukosa (UDPG)

CHzOH CHZOH

Glikogen sintaae

OH H OH

VOP

Gam

bar 5. Glikogenesis (pembentdcm glikogen oleh glikogen sintase)

(Lehninger 1994a; Wirahadikusumah 1985)

Glikogen yang terbentuk melalui Iintasan glikogenesis (Garnbar 5)

kemudian disimpan di &lam hati maupun

di

dalam otot, yang digunakan sebagai

bahan bakar cadangan dan diuraikan meIalui proses gli kogenolisis. Pada kondisi

ternak stres, sistem sirkular ti& &pat membawa oksigen dan glukosa ke otot

(34)

demiluan tinggi terhadap ATP (khninger 1994a; AberIe et 01. 2001). DaIam

keadaan tersebut glikogen dengan cepat diuraikan melalui proses gli kol isis untuk

membenhdc asarn Iaktat dan menghasil kan ATP, sebagai surnber energi tinggi.

Pada reaksi giikogenolisis (Gambar 6), tejadi proses pemecahan

(

fosforolisis)

i

katan-

1 4 gli kogen untuk menghasiikan glukosa 1 -fosfat (Mayes

1999). Dengan dikatalisasi oleh enzim fosfo-glukomutme, glukosa 6-fosfat dapat

dikntuk dari glukosa 1-fosfat. Glukosa 6-fosfat diubah menjadi g l u k w dengan

dikatalisis enzirn fosfatase sehingga memudahkan di fusi glukosa dari sel ke dalam

darah yang menyebabkan kenaikan

kadar

giukosa

darah.

Glikogen, (glukosa),,

CH20H

OH H OH

Glukosa- I -fosfat Gtiaogen, (glukosa),1

5

Fosfoglukomutase

CHIOH

(35)

Secara ringkas proses glikogenesis

dan

glikogenolisis beserta enzimenzim

yang berperan dalam kedua proses tersebut dapat dilihat pad. Garnbar 7.

Keterangan :

Enzim : El = fosforilase E2 = fosfoglukomutase E3 = fosfatase;

[image:35.614.120.499.168.530.2]

€4 = glukokimx E5 = pirofosfonlase E6 = glikogen sitltetase Pi = fosfat anorgmik PPi = asam pirofosfkt

Gambar

7.

Jalan R&i glikogenesis dan gli kogenolisis (Wirahadikusumah 1985).

Glukosa darah tidak hanya berasal clan proses glikogenolisis saja, tetapi dapat berasel dari berbagai senyawa glukogenik (Lehninger 1 994a; Mayes 1999).

Senyawa glukogenik antam lain adalah asam laktat hasil dari oksidasi glukosa di dalam otot. Mayes (1999) menyatakan bahwa laktat dibawa ke hati rnelalui

alimn darah untuk disintesis rnenjadi glukosa, sehingga giukosa tersedia lagi lewat

(36)
[image:36.608.82.519.62.775.2] [image:36.608.99.518.81.338.2]

Gambar 8. Siklus Cori atau siklus asam laktat dan glukosa. (Mayes 1999).

Peranan Insulin dan Mobilbasi Glukosa

Insulin merupakan hornon yang dihasilh oleh padueas, yaitu sel-sel B

pulau Langerhans (Turner-Bagnara 1 976; Frandson 1993; Lehninger 1994a;

Ganong 1995).

(37)

Ditinjau

dari

struktur kimianya, insulin termasuk hormon protein

(Djojosoebagio 1990)

dan

terdiri

d m

rantai A yang mengandung 20-2 1 asam

amino serta rantai B yang mengandung 29-3 I asam amino (lihat Gambar 9).

InsuIin mempunyai pengaruh utama untuk memudahkstn pernakaian

glukosa oleh sel

dm

mencegah pemecahan glikogen (glikogenolisis) secara

berlebihan yang disimpan di dalam hati dan otot (Tumer-Bagnara 1976;

Djojoswbagio 1990; Fransond 1993; Murray et al. 1997).

Insulin mempunyai pengaruh pada transportmi lintas membran (Murray et

al. 1997), yaitu penambahan insulin rneningkatkan masuknya glukosa ke dalam

sel-se1 otot (Gambar 10).

Keterangm :

-

ditambah insulin ,

---

[image:37.614.98.479.317.623.2]

-

tanpa p e n a d d m insulin

Gambar 10. Masuknya glukosa ke &lam sel-sel otot (Murray et al. 1997).

Lebih lanjut dinyatakankan bahwa di dalam hati dan otot, insulin merangsang

konversi gIukosa menjadi glukosa-6-fosfat (dengan keja enzirn glukokinase)

yang kemudian mengalami isomerasi menjadi glukosa- 1 -fosfat dan disatukan

ke

(38)

insulin. Insulin disekresi oleh sel-sel B pada pulau-pulau Langerhans ke dalam

darah, terutama ditentukan oleh konsentrasi glukosa &lam darah (Lehninger

1 994b).

Genuth (1988) rnenyatakan bahwa ketika kadar gula

darah

naik, laju sekresi insulin meningkat. Peningkatan kadar gula darah mempercepat masuknya

glukosa dari darah

ke

dalam hati clan otot, dimana glukosa tersebut sebagian besar diubah rnenjadi gtikogen. lnsulin juga menghambat pengeluaran glukosa

dan

otot

dan hati (Garnbar 1 1).

Asam

amino

Asam keto

[image:38.616.116.512.312.509.2]

JARINGAN ADIPOSE

Gambar 1 1. Efek insulin

pada

masuknya glukosa

ke

dalam otot (Genuth 1 988).

Penyuntikan insulin sebanyak 240

IU

per ekor yang hsertai pemberian

glukosa pada sap1 jantan setelah dikenai stres menyebabkan hipogli kemia.

Namun, tidak mengurangi hilangnya glikogen otot selama stres dan tidak mengganggu laju atau besarnya penimbunatl glikogen selama periode pemuli

han

setelah stres (Tarrant

dan

Lacourt 1984). Pemberian insulin menuninkan
(39)
[image:39.624.129.518.83.337.2]

Gambar 12

.

Konsentrasi glukosa pa& stpi dara gemuk dan kurus sebelum dstl sesudah pemberian insulin (McCann dan Reimers 1985).

Sitat Fisik dan Kimia Daging

Daging didefinisikan sebagai sernua jaringan hewan yang dapat digunakan

sebagai b a h makanan (Lawie 1995; Aberle et al. 2001). Definisi daging

tersebut sering diperluas dengan memasukkan organdrgm, seperti hati, ginjal,

otot dan jaringan lain yang &pat dimakan di m p i n g urat daging (hwrie 1995).

KuaIitas daging dipengamhi oleh f&or sebelum dan sesudah pernotongan

(Soeparno 1994).

Bagaimanapun baihya mutu dm kondisi sapi potong, jika penanganan

sebelum diputong, pada waktu dipotong dan setelah dipotong kurang memadai

maka daging yang dihasilhn tidak akan memenuhi standar mutu yang baik

(Gumadi 1993). Menurut Akrle et d. (2001), kualitas daging ditentukan oleh

(40)

Warna Daging

W a r n daging dipengaruhi antara Iain oleh pakan, spesies, bangsa, umur,

jenis kelamin, stres, pH dan oksigen (Lawrie 1995). Menurut Aberle et al. (200 1 ),

warna seperti yang terdeteksi oleh mata adalah hasil gabungan beberapa faktor.

Setiap warm tertentu memiIiki 3 ciri yaitu hue, c h r m h n value. Hue atau corak

menjelaskan tentang panjang gelombang radiasi cahaya, chromu rnenjelaskan

intensitas warm h rdan value menjelaskan nilai suatu warna yang merupkan

petunjuk keseluruhan pantulan (kecermelangan) wama.

Konsentrasi pigmen daging mioglobin j u g m e n e n t h n wama daging.

T e d yang tingkat aktivitas fisik lebih tinggi, warna dagngnya lebih getap

daripada yang tingkat aktivitas fisiknya lebih rendah. Lawrie (1 995) menyatakan

bahwa daging yang mempunyai nilai pH akhir tinggi mengubah sifat-sifat

penyerapan mioglabin, sehingga permukaan daging menjadi lebih gelap. pH yang

tinggi perrnukaan dagmgnya ti& menyebarkan cahaya h e m air daging terikat

kuat oleh protein daging.

Keempukao Daging

Keempukan daging &pat diuji b e r b r k a n sensory test dan shear test.

Sensoy test atau uji organoleptik adalah uji mengunyah sarnpel daging yang

dikontrol dengan sangat hati-hati yang dilakukan dengan uji panel. Shear test

adalah keempukan yang dinyatakan sebagai ksarnya tekanan yang dibutuhkan

untuk memotong sampel daging dengan alat Warner-Bratzler Shear. Keempukan

daging dipen- oleh dua faktor, yaitu keliatan serat otot

dan

keliatan jaringan

ikat. Keliatan jaringan otot terutama berhubungan dengan tingkat kontraksi otot,

(41)

Ramsay 1994). Menurut Soeparno (1994), faktor yang mempengaruhr keempukan

daging digolongkan menj adi dua

faktor,

antemortem dan postmortem. Faktor

antemortem meliputi bangsa, s p i e s , urnur, jenis kelamin, macam otot

dan

stres

yang dialami ternak. Faktor postmortem meliputi metde chilling, refrigerator dan

pelayuan. Lamanya waktu dan temperatur penyimpanan mempengaruhi

keempukan dagmg (Price dan Schwiegert 1986). Aryogi (2000) menyatakan

bahwa sapi yang

sedang

mengalami stres, tubuhnya mengalami gangguan

keseimbangan metabolisme sehingga ototnya mengalami kontraksi. Apabila

dalam kondisi ini langsung dipotong

akan

mengfiasilkan daging yang alot.

Pemberian gula aren

pada

sapi setelah transportasi, meningkatkan keempukan

daging dibandingkm dagmg yang krasal dari sapi yang langsung dipotong

setelah transportasi (Aryogi ef a1. 1997; Aryogi 2000). Narnun, penelitian Schaefer et 02. (1990) menyatakan bahwa ternyata keeinpukan daging berbeda tidak nyata antara sapi yang dikri glukosa dan sapi yang tidak diberi glukosa.

D a y i Mengikat Air Daging

Daya mengkat air W n g atau Water-Holding Capacity ( WHC)

didefinisi kan sebagai kemampuam daging untuk menahan airny a selama aplikasi

daya eksternal seperti pernotongan, pemanasan atau pengepresan (Akrle et a2.

200 1 ). Wismer-Pderson (1986)

dan

Aberle et al. (2001) menyebutkan bahwa air

yang terikat di dalam otot dapat

di-

menjadi tiga kelompok air yaitu air terikat,

air diam

dan

air bebas (li hat Gambar 13).

Air terikat adztlah air yang terikat secara kirniawi oleh protein daging. Air

diam adalah air terikat agak

lemah

sebagai lapisan kedua dari molekul air
(42)

molekul protein daging. Daya mengikat air oleh protein daging dipengaruhi oleh

pH, pelayum, pemasakan, perbedaan otot, spesies, bangsa, umur, jenis kelamh,

lemak intramuskular dan temperam penyimpanan (Soepamo I 994; Lawrie 1995;

Aberle ei aZ. 200 I).

HzO

terikat

[image:42.608.113.501.169.478.2]

agak lemah

Gambar 13. Gugus hidrofilik bemuatan pada protein-protein otot pengikat air

(Aberle er

d.

2001).

p H Daging

Aberle er al. (2001) menyatakan bahwa pa& pH akhir daging mencapai

titik isoelektrik (5,2-5,4) jurnlah gugus naktif dari protein otot yang dimuati

secara positif dan negatif ma,sehingga gugus tersebut cendemng saling me&

(43)
[image:43.616.108.493.95.267.2]

Penolakan Penolakan

Gambar 1 4. Pengaruh pH terhadap j umlah air rnobilisasi di &lam daging (AtKrle er a/. 200 1 ).

Aryogi et al. ( 1

997)

dan Atyogi (2000) rnenyatakan bahwa terdapat

perbedaan yang tidak nyata antara dagng sapi yang stres dan sapi yang diberi gula

aren setelah transportasi. Domba yang dipotong segera setelah mengalami

penganglcutan seiama 9,5 jam mempunyai nilai pH akhir dan asam

Iaktat dagmg

yang lebih tinggi daripada domba yang diistirahatkan selama 24 jam

(Crystall et ul. 1981). NiIai pH dagmg menurun setelah ternak dipotong

ditentukan oleh laju glikolisis postmortem dan cadangan glikogen (Lawrie 1995).

Menurut Aberle et al. (2001), menurunnya pH

akhir

daging akibat

akumulasi asam laktat pada perubahan postmortem selarna konversi otot menjadi

dagng. Akumulasi asam laktat pada a w l periode postmortem dapat berpengaruh merugi kan pa& kualitas daging. Soeparno ( 1 994) menyatakan bahwa akumulasi

asam laktat akan berhenti setelah cadangan .otot habis atau setelah kondisi yang

tercapai, yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim glikolitik di

&lam proses glikolisis anaerobik Penurunan pH postmortem dipen- oleh

(44)

spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas di antara ternak, sedangkan Wor

ektrimik antara lain adalab temperatur lingkungan, pdakuan bahan aditif dan

stres seklum pernotongan. Lawrie (1995) menyatakan Wwa sapi yang dipaksa rnelakukan gerak badan setelah latihan pe jalanan,maka glikogen otot terkuras d m

a h rnenghasilkan daging dengan pH

akhir

yang tinggi. Aryogi et ul. (1997) dan

Aryogi (2000) menya- bahwa daging yang dihasilkan dari sapi yang stres

mempunyai nilai pH akhir yang

be*

tidak nyata dengan sapi yang diberi gula

aren setelah transportasi. Namun, daging yang dan sapi yang stres tersebut lebih

rnudah ditumbuhi rnikroba s h i m lebih =pat membusuk.

Susut Masa

k

Dagiag

Susut masak daging atau cooking loss adalah berat yang hilang

(penyusutan berat) selama pernasalcan. Swut masak merupakan indikator nilai

nutrisi brig yang berhubungan dengan k d a r jus dagmg yaitu banyaknya air

yang terikat di dalarn dan

di

mtara serabut otot (Soepamo 1994). Selanjutnya

Lawrie ( I 995) menyatakan bahwa susut m a d atau kehilangan cairan pada waktu

pernasakan dipenganh oleh pH, ternperatur

dan

lama pernasalcan serta tipe otot. Selain itu, juga dipengaruhi oleh bangs* umur ternak dan @can (Soepamo

1994). Pada dajyng yang mempunyai nilai pH akhir tinggi (di atas 6,O)

mempunyai susut

masak

yang rend& yaitu hanya 20%, sedangkan daging yang mempunyai pH akhir rendah

(di

bawah 5,9) mempunyai susut mas& yang tinggi

yaitu sekitar 40-50%. Daging dengan p H akhir rendah mempunyai kapasitas

mengikat air lebih rendah daripada daging yang pH akhir tinggi (Lawrie 1995).

(45)

diistirahatkan setelah transportasi cenderung rnempunyai susut masak yang lebih

tinggi daripada sapi yang diistirahatkan I2 jam sebelum pemotongan.

Aryogi (2000) menyebutkan bahwa susut rnasak antara dagmg dari sapi yang stres dm daging dari sapi yang diberi gula aren setelah transportasi berbeda tidak nyata.

Daging DFD

Tujuan utama dalarn industri ternak potong adalah menghiilkan daging dengan kualitas baik. Usaha-usaha yang dilakdcan oleh industri ternak ptong

&lam rangka mencapai tujuan tersebut antara lain adalah perbaikan pakan, bibit

krnak, kesehatan

dan

juga manajernen pemeliharm serta pemasaran.

Penanganan ternak pascapanen merupakan faktor yang cukup penting dalam

menghasilkan daging kualitas baik. Penanpan temak pasca panen meliputi

antara lain pengangkutan, penanganan seklurn pemotongan di kandang

penampungan yaitu penyediaan pakan dan air rninum, kondisi kandang

dm

lama

istirahat sebelum dipotong.

Penanganan ternak sebelum dipotong yang kurang baik dapat

menyebabkan kualitas daging yang dihasilkan rendah yaihr dagmg yang pucat, lemah

dm

basah (Pule, Soft and Excudarive = PSE ) maupun daging yang merah

gelap, keras dm kering ( Dark, Firm and Dry = DFD ). Aberle at al. (200 1 )

menyatakan bahwa daging PSE lebih banyak ierjadi pada babi, yang disebabkan

oleh produksi asam laktat post-mortem yang sangat c e p t dm tak terkendali

sehingga mengalubatkan pH daging yang sangat rendah

ddam

waktu singkat,

sementara ternperatur otot masi h relati f tinggi.

Penyimpangan kuaiitas daging dari ternak ruminansia sebagian besar

(46)

dengan daging DFD dalam industri dagmg. Kasus DFD di Iuar negeri sudah

ditangani sscara serius, karena sangat memgikan sehingga perlu dilakukan

tindakan-tindakan pencegahannya. Poulanne dan Aalto ( 1 98 1) menyatakan bahwa

daging hsebut

DFD

yang menengah apabila pada 24 jam post-mortem

mernpunyai nilai pH antara 6,0-6,4 dan DFD yang ekstrern bila pH daging lebih

dari

6,4. Bucher (1 981) menyatakan bahwa daging yang termasuk daging DFD

apabila pada 48 jam post-mortem mempunyai nilai pH 2 6,2. Selanjutnya menurut

Fabianson et al. (1 9841, yang termasuk daging DFD apabila nilai pH pada 48 jam

post-mortem 2 6,0. Tarrant (1981) menyatakan bahwa perkiraan kasus-kasus

Dm yang bervariasi antar peneliti disebabkan karena penggunaan batasan pH dagmg DFD yang krvariasi antara 5,s-6,4,

dan

juga waktu pengukuran.

Kasus DFD di beberapa negara telah banyak diteliti, baik pada sapi muda

maupun sapi dewasa. Di Swedia, kasus DFD t e r j d sebanyak 32,2% jika tidak

dilakukan stimulasi listrik

dan

7,3% j i b dilakukan stimulasi listnk (Fabianson

et al. 19841, sedangkan

di

Finlandia kasus DFD terjadi sebanyak 22%

(Poulanne

dan Aalto 198 1). Tarrant (1 98 1) menyatakan bahwa 1-5% kasus DFD te jadi pda

sapi jantan kastrasi dan betina muda, 610% @a sapi betina dewasa dan 1 1-15%

pada sapi jantan muda. Negara yang tertinggi fkkuensi kasus DFD > 20% adalah

Finlandia, kemudian Australia dan Wyoming (AS) sebesar 6- 1 0% dan 1-5%

di

Maryland (AS), Illinois (AS), Missouri (AS), Perancis, Belgia, Denmark dm

Polandia.

K d i t a s daging berhubungan dengan nilai ekonomis, dirnana daging

dengan kualiias baik mempunyai nilai jual yang lebih tinggi danpada kualitas

(47)

warna merah geiap, permukaan kering dan keras bila di tekan pemukaannya.

Dagmg tersebut mempunyai nilai ekonomi yang rendah yaitu 10-30%

di

bawah

harga daging normal (Tarrant 198 1 ; Somay et al. 198 1). Oleh karena harga yang

rendah, mdca daging DFD tidak dijual dalarn keadaan segar tetapi dalarn bentuk

olahan yaitu sosis kering, dapng asap asin atau untuk pakan hewan. SeIain itu, daging DFD juga mempunyai daya simpan yang lebih singkat dibanding daging normal. Daging yang mempunyai pH tinggi Iebih mudah tercemar

mikroorganisme. Aberle el a/. (200 1 ) menyatakan bahwa pertumbuhan optimum

mikroorganisme @a pH mendekati netral (pH 7,O). Daging DFD biasanya sangat

rentan terhadap pertumbuhan mikroba, baldan di bawah kondisi sanitasi terbaik sekalipun. Gi 11 clan Newton (1 98 1 ) rnenyatakan bahwa b&eri ymg dapat tumbuh

pada daging DFD paling banyak adalah Pseudomonas, kemudian

Enierobakteriuceae, Acine fobakteriaceae, F h b a k r e r i a , Aeromom, MormeIIa

dan Alteromonus.

Di Indonesia

kIum

didapatkan data seberapa banyak kasus dagrng DFD.

Namun, ditinjau dari sea iklim, kondisi RPH dan manajemen pemasaran ternak,

kemungkmn terjadi kasus daging DFD lebih besar daripada negara-negara yang

sudah maju

di

bidang industri daging. Di sisi lain, konsumen sudah

rnengutamakan kualitas jxda saat membeli daging, Darmawan (2002) menyatakan

bahwa sebagan besar konsumen di supermarket (80,1%) mengutamakan kualitas

&lam membeli daging dan 16,7% konsumen mengutamakan harga. Dengan

dernikian, kwlitas daging di Indonesia sudah merupakan

hal

yang sangat penting
(48)

MATERI DAN

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan di Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor. Analisis sampel darah dilakukan

di

Laboratorium Biokirnia

dan

Kirnia Terpdu, analisis glikogen dagrng di Laboratorium Fisiolo

Gambar

Gambar 1 .  Diagram daur suplai energi di dalam otot. (Aberle et a(. 200 1 ).
Gambar 2. Daur proses pembagian energi untuk kontraksi fungsi otot
Gambar 3. Gambaran umum metabolisme karbohidrat : hubungan antara hati,
Gambar 4. Fernbenth uridin di fosfat + glukosa (UDPG) dari glukosa,
+7

Referensi

Dokumen terkait