• Tidak ada hasil yang ditemukan

Patigenesis Mastitis Subklinis pada Sapi Perah : Pendekatan Histopatologis Mastitis Subklinis Akibat Infeksi Streptococcus agalactiace Hemaglutinin Positif pada Mencit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Patigenesis Mastitis Subklinis pada Sapi Perah : Pendekatan Histopatologis Mastitis Subklinis Akibat Infeksi Streptococcus agalactiace Hemaglutinin Positif pada Mencit"

Copied!
290
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)
(132)
(133)
(134)
(135)
(136)
(137)
(138)
(139)
(140)
(141)
(142)
(143)
(144)
(145)
(146)
(147)
(148)
(149)
(150)
(151)

PAI'OGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAP1 PERAH

:

PEIVDEKATAN HISTOPATOLOGIS MASTITIS SUBKLINIS

AKIBAT INFEKSI

Streptococcus agalactiae

HEMAGLUTININ

POSITIF PADA MENCIT.

SRI ESTUNINGSIH

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANlAN BOGOR

(152)

ABSTRACT

PATHOGENESIS OF SUBCLINICAL MASTITIS IN DAIRY CATTLE HISTOPATHOLOGICAL APPROACH OF SUBCLINICAL MASTITIS IN StrLpf~coccus agalactzae HAEMAGGLUTININ POSITIVE -IhFECTED- MICE')

Sr(i Eshmingsih. I Wayan.Tegiih Wibawan, Mirnawati Strdanvantf~~ Setyo Widodo. Bambang Pontjo Priosoerynnto andMasdrrki Partadiredja (deceaccd).

One hundred and five cows consisted of 41 heads from Sukabumi, 18 heads from Bogor and 46 heads froill Bandung were tested for subclinical nlastitis (SM) using IPB-1 tester reagent. Bandung was showed as the highest prevalence of SM (88.3%) with Somatic Cells Count (SCC) of 2.42 x 10% cells/ml, followed by Bogor (83.3%) with SCC of 4.66 x lo6 cells/ml and Sukabumi as the lowest (57.3%) and of SCC 1.96 x lO%eellslml.

By isolatic~n and identification of the causative agent, the frequency of Streptococcus ugaloctiae or Group B Streptococcus (GBS) for each area were 23.34% (Sukabumi), 38.30% (Bogor) and 47.40% (13andung). Serologically, the serotype of isolated S. agalactiae was IIIX. and the frequency of appearance for each area were 54.55% (Sukabumi), 91.30% (Bogor) and 91 34% (Bandung), respectivelly. All of S. agalactiae isolates were able to fermenting sugar and could agglutinated the chicken, cow, sheep, rabbit and horse red blood cells. The number of samples that agglutinate RBC was 45.45% (Sukabumi), 17.39% (Bogor) and 4.08% (Bandung). Isolates were definitively termed as S. agalactiae

Hn

(+). Using PCR, all isoates were responded to CAMP factor, with V2 region and interspacer region positive.

S agalactiae Hn (+) and S. agalacfine H n (-) with density of 10' cellslml were inoculated into 30 lactating Balb-C mice through or$cium externa of the mamn~ary glands. Mice were divided into 3 groups based on time of infection. Histopathological analysis was done on the mouse mammary tissue on 1, 4 and 8 days post infection (p.i). Hematoksilin-Eosin, van Giesson and Warthin-Slurry Staining methods were used in this assay as well as immunohistochemistry using monocloua.1 antibody.

On one day p.i alveolar mammary epithelial cells were degenerated and desquamated with infiltration of Polimorph Nucleated Cells (PMN) and macrophages in the lumen of alveol. On four days p.i degenerated cells continued to necrotic and fibrotic reaction. resulted in the shrinkage (:atrophic) of the glands. On eight days p.i all necrotic were replaced by fat tissue @t pad) and the S. agalactiae were entrapped in fat tissue. Immunohistochemistrically S. agalactiae were seen .as spots on the surface and in the alveolar mammary epithelial cells and phagocy-tes ( I day p.i), in the idamnlatory area (4 days pi.) and entrapped in the fat tissue (8 days p.i.).

Both S agalactiae Hn (+) and S. agalactiae Hn (-) caused similar alteration in the mammary glands. The difference among them was its intensity and severity. S. agalacliae

Hn

(+) was altered stronger than S agalactiae Hn (-). Statistical analysis showed the difference was not significant (P 2 0.05), while there were significant difference (P 50.05) among the time of infection.

Result of this study indicated that mouse could be use as a model for the study of pathogenesis of bovine subclinical mastitis caused by S. agalactiae.

(153)

ABSTRAK

PATOGENESIS MASTITJS SUBKLWIS PADA SAP1 PERAH

PENDIXATAN HISTOPATOLOGIS MASTITIS SUBKLINIS AKIBAT INFEKSI

Si'reptococczcs agalacfrae HEMAGLUTININ POSITLF PADA MENCIT')

Sri Esttmingsih, 1 Wayan l'eguh Wibawan, Mir~awafi. Sudanvanto, Setyo Widodo, Ramba?zg Pontjo Prio.sueryanto, dan Masduki Partdiredja (Alm.).

%banyak 105 ekor sapi perah yang terdiri dari 41 ekor berasal dari Sukabumi, 18 ekor dari Bogor dan 46 ekor dari Bandung telah diuji untuk mastitis subklinis (MSK) menggunakan reagen PB-1. Sapi-sapi dari Bandung menunjukan prevalensi MSK tertinggi (88,3%) dengan Jumlah Sel Somatis (JSS) sebesar 2,42 x lo6 sel/ml susu, diikuti oleh Bogor (83,3%) dengan JSS sebesar 4,66 x lo6 seVml susu dan Sukabumi dengan prevalensi terendah (57,3%) dan JSS sebesar 1,96 x lo6 seVml susu.

Hasil isolasi dan identifikasi agen penyebab Sirtptococcus agalactiae atau Streptokokus Grup B (SGB) yang ditemukan adalah 23,34% (Sukabumi), 38,30% (Bogor) (tan 47,40% (Bandung). Dengan uji serologis, isolat S. agalactiae tersebut termasuk ke dalam serotipe 1VX, dengan frekwensi 54,55% pada isolat asal Sukabumi, 91,30% isolat asal Bogor dan 91,84% isolat asal Bandung. Semula isolat

S

aplacfiae

mampu memfermentasikan berbagai gula dan beberapa isolat mampu mengaglutinasikan sel darah merah ayam, sapi, domba, kelinci dan kuda. Jumlah isolat yang manlpu mengaglutinasikan sel darah merah tersebut ditemukan sebanyak 45,45% (Sukabund), 17,39% (Bogor) dan 4,08% (Bandung). Isolat-isolat tersebut kemudian disebut sebagai S. agalactiae Hn (+). Dengan metode PCR selumh isolat tersebut bereaksi positif terhadap CAMP,factor, V2 region dan interspacer regzon .

Dua buah isolat S. agalactiae Hn (+) dan S. agalactiae Hn (-) yang masing- masing memiliki kepadatan lo9 seVml dinokulasikan kepada 30 ekor mencit Balb-C bunting melalui or?ficium exferna kelenjar susu. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkim waktu infeksi. Pengamatan histopatologis dilakukan terhadap kelenjar susu mencit setelah 1 , 4 dan 8 hari pasca infeksi (pi). Jaringan kelenjar susu mencit diwarnai menurut metode pewarnaan Hematoksilin-Eosin, van Giesson dan Warthiv1-Slurry

disamping menggunakan teknik imunohistokimia dengan bantuan antibodi monoklonal terhadap 2;. agalactiae.

(154)

Biiik S. agalactiae

Hn

(+) maupun S. agalactiae Hn (-) menyebabkan perubahan yang sama pada kelenjar susu mencit. Perbedaannya terletak pada intensitas dan tingkat keparahan kerusakan jaringan. S. agalactiae Hn (+) menyebabkan perubahan lebih parah dibandingkan dengan

S.

agalactiae

Hn

(-). Analisis statistik menunjukkan perbedaan antara kedua infeksi tersebut tidak berbeda nyata (P

2

0,05) meskipun perubahan menurut waktu inkksi berbeda nyata (P<. 0,05).

Hiisil penelitian ini menunjukan bahwa mencit dapat digunakan sebagai model untuk melnpelajari patogenesis MSK pada sapi perah akibat infeksi S. agalactiae.

(155)

SURAT

PERNYATAAN

Dengan irii saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul :

PATOGICNESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAP1 PERAH :

PENDEKATAN HISTOPATOLOGIS MASTITIS SUBKLINIS AKIBAT INFEKSI Sh.eptococcus agnlactiae HEMAGLUTININ POSITIF PADA MENCIT

adalah benar merupakan hasil kalya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat

diperiksa kebenarannya

Bogor, Nopember 200 1

(156)

PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAP1 PERAH

:

PEIVDEKATAN HISTOPATOLOGIS MASTITIS SUBKLINIS

AKIBAT INFEKSI

Streptococcus agalactiae

HEMAGLUTININ

POSITIF PADA MENCIT.

SRI ESTUNmGSIH SVT 985103

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor

pada

Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(157)

Judul disertasi : Patogenesis Mastitis Subklinis Pada Sapi Perah : Pendekatan Histopatologis Mastitis Subklinis Akibat Infeksi Steptococcus agalactiace Hemaglutinin Positif Pada Mencit

Nama : Sri Estuningsih

Nomor pokok : 985103

Program Studi : Sains Veteriner

Menyetujui :

1. Komisi Pembimbing

Dr. Drh. I Wavan Teguh Wibawan, MS Ketua

.

.

/

"

"

,

Prof

Dr. Drh. Hi. M Sudanvanto

Anggota

/

Anggota

C

-

Drh. Bami

(158)

Panulis dilahirkan pada tanggal 29 Juni 1960 di Bandung, sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara dari ayah Soekarso (dm) dan ibu Fatimah Mintarsih.

Srtelah lulus SMA Negeri 39 Jakarta pada tahun 1980, penulis melanjutkan pendidikan di Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1981, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1985. Kemudian penulis mengikut Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan dan lulus sebagai Dokter Hewan pada tahun 1988. Pada tahun 1996, penulis melanjutkan pendidikan program magister pada bidang studi Sains Veteriner Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 1998. Pada tahirn yang sama, penulis melanjutkan pendidikan program Doktor pada bidang studi yang sama di Program Pascasarjana TPB.

Sejak tahun 1990 hingga sekarang, penulis adalah staf pengajar pada Laboratorium Patologi, Jurusan Parasitologi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

(159)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke Hadirat Ailah SWT Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, atas berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pascasarjana program doktor serta melaksanakan tugas penelitian dan penulisan ~iisertasi ini.

Pada kesempatan yang membahagiakan ini, penulis menyampaikan penglmgaan yang sangat dahm dan hormat serta terima kasih yang tulus kepada yang terhormat Bapak Dr. Drh. I Wayan T1:guh Wibawan, MS selaku ketua Komisi Pembimbing yang telah meinberikan bimbingan dan pengarahan sejak penulis mempersiapkan judul disertasi, membuat proposal, melaksanakan penelitian dan membuat laporan berupa disertasi ini. Penghargaan yang dalam, rasa h o r n & yang tinggi disertai rasa terima kasih yang tulus ditujukan pula kepada 1bu Prof. Dr. Drh. Hj. N[imawati Sudamanto. Bapak Dr. Drh. Setyo Widodo dan Bapak Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS., Ph.D selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, pengarahan, nasehat, dorongan semangat yang telah diberikan dengan penuh tanggung jawab selama penulis helajar, mempersiapkan dan melakukan penelitian di Institut Pertanian Bogor hingga penulisan disertasi ini selesai.

Dengan penuh rasa hormat penulis menyampaikan terima kasih kepada Penguji Drh. Sunson Tnrigan, MSc., PhD. dan Drh. Tri Satya Putri Naipospos, MSc., PIID. yang telah meluangkan wakttl untuk menelaah disertasi ini.

Peilulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Ketua Program Studi Sains Vetenner, Bapak Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS., Ph.D. yang telah berkenan memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Program Studi Sains Veteriner.

(160)

serta penghargaan atas ijin dan kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan program doktor di IPB ini sejak tabun 1998.

ktsa terima kasih penulis sampaikan pula kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan dan Ketua Jurusan Parasitologi dan Patologi atas ijin dan kesempatan yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan program doktor di IPB ini sejak tahun 1998.

Selanjutnya penulis nienyampaikan terima kasih yang dalam kepada Kepala Laboratorium Patologi, Jurusan Parasitologi dan Patologi, FKH-IPB beserta staf atas ijiu, pengertian dan dorongan semangat inaupun bantuan secara moril dan nlateril yang telab diberikan kepada per~ulis. Demikian pula rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Laboratorium Kesehatan Masyamkat Veteriner, Jumsan Penyakit Hewan dan Kesebatan Masyarakat Veteriner. FKH-IPB atas kesempatan yang diberikan untuk menggunakan fasilitas laboratorium selama penulis melakukau penelitian.

Penulis sanpaikan pula rasa terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan Proyek URGE Smdwich Batch 111 dan BPPS Direktorat Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional RI yang telah memberi beasiswa kepada penulis selama pendidikan berlangsung.

S e ' x a khilsus penulis menyampaikan terima kasih, penghargaan clan rasa hormat kepada Prof. Dr. Manfred Reinacher, Direktur Instihrl ,filer Veterinner Patologie, Prof. Dr. Michael Buelte, Dii-ektitr Institut,fier Nnhrungsmittelkunde, dan Prof. Dr. Chnstoph Laernmler, Kepala Laboratoriim Bakteriologie rind Immunologic, Justus Liebig Universitaet, Giessen, Jerman atas kesempatan, bimbingan, bantuan baik moril maupun materil hingga penolis dapat menyelesaikan scbagian &ui penelitian ini.

(161)

PhD, lr. E~ih Sudarnika, MSi. dan Dr. Drh. Retno Darnayanti S, MS. atas dorongan semangat dan bantuannya dalam peilgolahan data, mempersiapkan materi ujian dan penulisan disertasi ini.

Terima kasih penulis sampaikan kepada semua stafpengajar, para teknisi laboratorium di lingkunga~~ Institut Pertanian Bogor yang telah lnembantu terselenggaranya penelitian ini.

Te:rimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada PT Ultra Jaya, PT Taurus Dairy Farm. dan Gabungan Koperasi Susu Indonesia yang telah membantu kelancaran penelitian ini.

Ktpada ayahanda (dm) dan ibunda serta adik-adik tercinta, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa restu, bimbingan, didikan, serta dorongan semangat sejak lahir hingga penulis mencapai jenjang pendidikari ini.

Terima kasih yang tuIus dan penghargaan setingi-tingginya, penulis sampaikan kepada suami dan an&-anak tercinta yang dengan setia pmuh kasih, sabar dan peuuh pengertiau mendoakan, memberikan dorongan, berkorban serta mendampingi penulis sehingga penulis dapat nlenghargaj waktu dan kesempatm yang diberikan dalam inenyelesaikan penelitian dan disertasi ini.

Pellulis menyadari, bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, oleh sebab itu dengan rendah hat., penulis mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan saran-saran yang berm an fa^: demi keseinpunlaan karya tulis ini sehingga dapat bemanfaat bagi sernua pihak yang membutd-dlcannya.

Bogor, 2 1 Nopember 200 l1

(162)

DAFTAR IS1

DAFTAR 'TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR JAMPIRAN

PENDAHlILUAN

1 . Latar Belakang ... 2 . Perumusan Masalah ...

. .

... .

3 'I'ujuan Penelltian

... .

4 I-Iipotesis Penelitian

. .

.

... 5 hlanfaat Penelltian

TSNJAUAPJ PUSTAKA

. .

. .

1 . 1)efinisi Mastitis ... 2 . Kejadian Mastitis Subklinis di Indonesia ... ... .

3 Kerugian Akibat Mastitis

4 . Metode Pemeriksaan Mastitis Subklinis ... ... 4.1 Pemeriksaan Langsung

4.2 Pemeriksaan Tidak Langsung ... 5 . C iri dan Sifat Sfrepfococnrs agalactiae ...

5.1 Sfreptococcus agalactiae sebagai Penyebab Mastitis ...

Subklinis

5.2 Hemaglutinin pada S

.

agalactiae ... ... 6 . Anatomi dan Histologi Kelenjar Susu Mencit

... .

7 Mastitis pada Mencit

... .

8 Mastitis pada Sapi Perah

BAHAN DfiN METODE

1 . 'I'empat dan Waktu Penelitian

Halaman

...

Xi11

(163)

2 . Peternakan Sapi Perah ...

3 . Sampel Susu ...

4 . Pemeriksaan Mastitis Subklinis secara Langsung (Metode Breed) 5 . I'emeriksaan Mastitis Subklinis secara Tak Langsung dengan ... 13ereaksi LPB-1

6 . Isolasi, Identifikasi dan Karakterisasi S

.

agalactiae dari Kasus

. .

h/lastit:s Subklinis ... 6.1 Isolasi S

.

agalactiae ... 6.2 Identifikasi S . agalactiae ... 6.2.1 Uji Christie, Artkin, Munch and Peterson

(CAMP) ... 6.2.2 Uji Hidrolisis Aeskulin ... 6.2.3 Uji Fermentasi Karbohidrat ... 6.2.4 Uji Hidrolisis Natrium Hipurat ... 6.2.5 KAA (Kanamycin-Aesculin-Azid-Agar) ...

6.2.6 Analisis DNA S . agalactiae (Gmp B) dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) ... 6.2.6.1 Preparasi DNA Bakteri ... 6.2.6.2 Polymerase Chain Reaction ... 6.2.6.3 Primer yang Digunakan untuk Analisis

PCR ... 6.2.6.4 Program PCR ... 6.2.6.5 Gel Elektroforesis ...

6.3 Karakterisasi S . agalactiae ... 6.3.1 Sifat Fenotif S.agalactiae (Group B) ...

6.3.1.1 Pola Pertumbuhan pada Media Padat ... 6.3.1.2 Pola Pertumbuhan pada Media Cair ... 6.3.1.3 Pola Pertumbuhan pada Media Semi Solid

.

(164)

6.3.2.1 Ekstraksi Otoklaf Antigen untuk Uji ... Serogrouping

... 6.3.2.2 Antisera untuk Uji Grouping

6.3.2.3 Uji Serogrouping (Ouchterlony

-

Agar ... Gel Precipitation Test)

... 6.3.3 Serotyping

S

agalactiae

6.3.3.1 Ekstraksi Antigen untuk Serotyping ... 6.3.3.2 Antisera untuk Serotyping ... 6.3.3.3 Metode serotyping ... 6.3.3.4 Antibiogram ...

7 . Pulse Field Gel Electrophoresis (PFGE) ... 7.1 Preparasi DNA Bakteri dalam Insert Agar ... 7.2 Pulsed Field Gel Electrophoresis ...

..

. .

8 . ~ J J I Hemaglutmnasi ...

...

8.1 Preparasi Suspensi Sel Darah Merah

... 8.2 Preparasi Suspensi Bakteri

9 . I'atogenesis Infeksi

S

.

agalactiae Hemaglutinin Positif pada Mencit Laktasi ...

... 9.1 Hewan Model (Mencit)

... 9.2 Inokulum Bakteri

... 9.3 Rute Infeksi Bakteri

... 9.4 Pembuatan Preparat Histopatologi

... 9.5 Metode Pewamaan

... 9.5.1 Metode Pewarnaan Hematoksilin-Eosin

... 9.5.2 Metode Pewarnaan Warthin-Staty

... 9.5.3 Metode Pewarnaan van Giessor~

...

9.5.4 Teknik Pewarnaan Imunohistokimia

9.5.4.1 Antibodi Monoklonal ...

...

(165)

9.5.4.3 Jaringan Kontrol Positif.. ... ... 9.5.4.4 Metode Pewarnaan.

9.5.4.5 Protokol Pewarnaan Menggunakan ... DAKO

ARK^^.

10. Perubahan Jaringan Kelenjar Susu.. ... 11. Metode Skoring Perubahan Jaringan ...

. .

12. Anal~s~s Data.. ...

EASlL DA.N PEMBAHASAN

1. l'revalensi Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Jawa Barat.. .... 2. I:solasi, Identifikasi dan Karakterisasi S. agalactiae dari Kasus

. .

Mastlt~s Subklinis.. ... 2.1 Isolasi dan Identifikasi.. ...

... 2.2. Identifikasi S. agalactiae dengan Metode PCR..

... 2.3 Uji Fermentasi Xagalactiae..

... 2.4 Sifat Fisik S.agalactiae..

2.4.1 Pola Pertumbuhan ... 2.4.2 Serogrouping.. ... 2.4.3 Serotyping. ...

.

.

2.5 UJI Hemaglutinasi.. ... 2.6 Uji Antibiogram.. ... 3. Analisis DNA S. agalactiae Menggunakan Pulsed Field Gel

I3lectrophoresis (PFGE). ... 4. IJatogenesis S. agalactiae Hemaglutinin Positif SGB Hn (+)

pada Mencit Laktasi.. ... 4.1 Perubahan Makroskopis Kelenjar Susu Mencit yang

... Diinfeksi S agalactiae

4.2 Histologi Kelenjar Susu Mencit Normal.. ... 4.3 Perubahan Histopatologis Kelenjar Susu Mencit seteiah

diinfeksi oleh S. agalactiae Hn (+) dan

(166)

4.3.1 Susunan Kelenjar Susu ...

4.3.2 Sekresi Susu ... ...

4.3.3 Globula Lemak dalam Sekresi Susu

...

4.3.4 Deskuamasi Sel Epitel Kelenjar Susu

...

4.3.5 Pembentukan Jaringan Ikat (Fibrosis)

...

4.3.6 Jaringan Lemak (Fat Pad)

...

4.3.7 Lokalisasi bakteri

KESIMPULAN DAN SARAN

1 . ICesimpulan ... 90 I7

2 #>aran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(167)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Korc:lasi antara skor CMT dan Jumlah Rataan Sel Somatis dalam Susu.. . .. 14 2. Perubahan Kelenjar Susu Akibat Infeksi S. agalactiae Secara

Eksperimental pada Mencit . . .

. .

. . . 24

3. Perbandingan Karakter lnokulum S. agalactiae Hn (+) dan SGB Hn (-). . . 43 4. Hasi! Uji Penapisan MSK pada Sapi Perah di Jawa Barat menggunakan

Pereiiksi IPB-1 pada Susu Kwartir.. . .

.

. . .

.

. . . . . . ... 55

5. Hasil Penghitungan JSS dengan Metode Breed dari Contoh Susu MSK di

Jawa Barat. . .

.

. . .

. .

. . .

.

. . .

. .

. . .

. .

. . .

.

. . .. 58

6. Hasil Uji CAMP S. agulacfiae yang Diisolasi dari Susu Sapi Penderita

MSK. di Jawa Barat.. . .

. .

. . .

.

. . . ... 59

7. Diferensiasi S. agnlnctiue dan Streptokokus Lain pada Sifat Pertumbuhan

dalarn KAA dan Aesculine.. . .

.

. . .

.

. . .

.

. . .

.

. . .

.

. . .

.

. . . 60

8. Hasil analisis PCR terhadap isolat

S.

aguJactiae dari Kasus MSK di Jawa

Barai . . .

.

. . .

.

. . .

.

. . .

.

. . .

.

. . . , . . .

. .

. . 61

9. Sifat Pertumbuhan S. agalactiue pada Media Cair THB.. . .

. .

. . . .. 63 10. Sifat Pertumbuhan S. agalacfiae pada Media Semi Solid Sqfi Agar.. . . .

.

64 11. Serogrouping S. agalactiae Asal Kasus MSK di Jawa

Barat . . .

.

. . .

.

. .

.

. . .

.

.

.

.

.

. . . .

.

. . .

.

. . .

.

. . .

.

. . . 64 12. Serotipe

S.

agalactiae asal Kasus MSK di 3 Daerah di Jawa Barat.. . . . . . . 65

13. Uji IIemaglutinasi SGB Asal Kasus MSK terhadap Sel Darah Merah

Berbagai Jenis Hewan.. . .

.

. . .

. .

. . .

. .

. . .

.

. . .

.

. . .

.

. . . 66

14. Uji htibiogram S. aghctiae yang Diisolasi dari Kasus Mastitis

Subkiinis di Jawa Barat.. . .

. .

. . .

.

. . . 67 15. Cluster DNA S. a&cfiae Asal Kasus MSK di Jawa Barat yang
(168)

16. Persentase Mencit Dalam Proses Pembentukan Jaringan Ikat Elastik pada Kelenjar Susu yang Diinfeksi oleh

S.

ugaIactiue Hn (+)

dm

Hn (-) (1, 4

dan 8 hari Setelah Infeksi) ... . .

.

. . .

.

. . .

.

. . . 84

17. Pers1:ntase Mencit yang Menunjukkan Perubahan dalam Kelenjar Susu Setelah Diinfeksi oleh S. ugaluciue Hn (+) d m S. aguluctiue Hn (-) (1

(169)

DAFTAR GAMBAR Nomc

1.

)r Halaman

Kelenjar Susu :Mencit Normal yang Terdiri Dari Susunan Kelenjar

~ubulo-alveolad. Pewarnaan HE 270 x.. ... 72 Jaringan Ikat Elastis dalam Kelenjar Susu Mencit Normal. Pewarnaan

Van Giesson 27P x.. ... 72 Alveol Kelenjan Susu Mencit Normal Berisi Sekresi Susu. Pewarnaan

HE, 675 x.. ... 73 Perubahan Strufctur Susunan Kelenjar Susu Mencit Satu Hari Setelah

Diinfeksi oleh S, agalactiae Hn (+). Pewarnaan HE 67,5 x.. ... 75 Penibahan Struktur Susunan Kelenjar Susu Mencit Empat Hari Setelah

Diinfeksi oleh S: agalactiae Hn (+). Pewarnaan HE, 270 x. ... 75 Sel E;pitel Alvedl Mengalami Degenerasi dan Nekrosis. HE, 675 x.. . . . 76 Perubahan Strubur Susunan Kelenjar Susu Mencit 8 Hari Setelah

Diini'eksi oleh S! agalactiae

Hn

(+). HE, 67,5 x.. ... 76 Lumen Kelenjar Alveol Berisi Sekresi Susu Satu Hari Setelah Diinfeksi

oleh

.S.

agalactiae

Hn

(+). Wathin Stany 270 x . . ... 78 Deskuamasi Sel Epitel Alveol Kelenjar Susu Mencit 1 Hari Setelah

Diinfeksi oleh S. agnlactiae Hn (+). Pewarnaan HE, 675x.. ... 80 Hipe~plasia pada Sel Epitel Alveol Kelenjar Susu Satu Hari Setelah

...

Diinfeksi oleh S. agalactiae Hn (-) (tanda panah). HE

,

270 x.. 8 1 Reaki Fibrosis pada Jaringan Kelenjar Susu Mencit 1 Hari Setelah

Diinfeksi oleh S. agalactiae Hn (+). Pewarnaan van Giesson 270

x..

. . . 82

Reak:ri Fibrosis pada Jaringan Kelenjar Susu Mencit 4 Hari Setelah

Diinfeksi oleh S. agalactiae

Hn

(+). Pewarnaan van Giesson 270 x . . .... 83 Reak!ii Fibrosis pada Jaringan Kelenjar Susu Mencit 8 Hari Setelah

Diinfi:ksi oleh S. agalactiae Hn (+). Pewarnaan v a n Giesson 270 x.. .... 83 a. Bdcteri S. agaZactiae Berada pada Permukaan dan di dalam Epitel

Alveol Kelenjar Susu Mencit 1 Hari Setelah Diinfeksi S. agalactiae

(170)

b.

13akteri S. ~galactiae Berada pada Permukaan dan di dalam Epitel Alveol Kelenjar Susu Mencit 1 Hari Setelah Diinfeksi S. agalactiae

I h ( - ) . Immunohistokimia 675 x . . ... 87 15. Baki.eri S. agalactiae terperangkap Diantara Jaringan lemak 4 hari

setelah diinfeksikan. Imunohistokimia 270 x . . ... 89 16. Bakteri S. agalactiae terperangkap Diantara Jaringan lemak 8 hari

(171)

DAFTAR L,AI\IIPIRAN

Nomor Halamarl

Hasi Pengujian MSK menggunakan Pereaksi IPB-I di Sukabumi, Jawa Barac. . . Hasil Pengujian MSK nienggunakan Pereaksi IPB-I di Bogor, Jawa Bara: . . . Hasil Pen-wjian MSK mengswriakan Pereaksi IPB-I di Bandung, Jawa Bara~ . . . Jurnhh sel somatis (JSS) pel- tnl susu Asal Kasus MSK di Sukabumi diuji

. . .

dengitn ~netode BREED..

Jurnl;th sel sornatis (JSS) per ml susu Asal Kasus MSK di Bogor diuji detigan tnetode BREED.. . . Jumli~h sel somatis (JSS) per ml susu A.sal Kasus MSK di Bandung diuji

. . . dengi~n metode BREED.

Susunan Kelenjar dan Sekresi Susu Kelenjar Susu Mencit Setelah Diinf'eksi S. c r ~ Fiksasi dengan Fornialin , 1096, Diwal-tiai dengan I-laen~atoxyline-Eosin.. . . I'erut~alian dan Keaksi Peradangall Jaringan Kelenjal- Susu Mencit Setelali Diinf:ksi S, rrg~7lnctitre, Fiksasi dengan Formalin 10%, Diwar-nai dengan

. . . Haen~atoxyline-Eosin..

Proses Persembuhan dan Pembentukan J;-iringan lkat Kelen~ar Susu Mencit Setelah Uiinfeksi S. e~,qul<rclicl~', Fiksasi derigari Fornialiri 1O0io, Diwarnai deng2.n Metode l irtr (;it~s\ot7.. . . .

Hasil Analisis D N A lsolat

S.

trgnfczc~itrr Asal Sukabutni, Jawa Barat

. . .

Dengiin PFGE..

IHasil Analisis IINA lsolat S. rrgulcrc'tiuc Asal Bogor, Jaw21 Barzit Dengan . . . PFGE

Hasii Arlalisis DNA lsolat S. ~~gellc~clicrt, Asal Bandung, Jawa Barat Dengan PFGE . . .

(172)

1. Latar Belakang

SLISU nierupakan bahan makanan asal hewani yang men'gandung nilai gizi tinggi. Kebutuhan aka11 susu meningkat t e n ~ s seiring dengan bertambahnya julnlah penduduk dan menngkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya kebutuhan unsur gizi terutama protein. Permintaan susu di Indonesia terus meningkat sedangkan produksi susu dala~n negeri hanya lnampu tnetnasok sekitar 380 I-ibu tori atau 42,50/0 dari jumlah permintaan, selebihnya didatangkan dari luar negeri dalam bentuk susu bubuk (Sukada. 1996). Fenyebab tidak dapat dipen~rhinya kebutuhan susu dalani negeri tersebut, antara lain karera populasi sapi perah yang masih terbatas junilahnya dan penyakit pada sapi perah. P'snyakit pada sapi perah yang langsung memberi danlpak pada produksi sus~i adalah mastitis (radang kelenjar susu).

Milstitis adalab suatu peradangan yang terjadi di dalam jaringan internal kelenja.1- susu. Mastitis dapat menyerang hewari metiyusui dan penyakit ini telah menyebar ke seluruh dunia. Kelestarian dari keberadaan penyakit ini me~upakan gatnbaran dari kurang sempurnanya manajernen pemeliharaan sapi perah termasuk prosedul- pemerahan yang tidlk benar, kebersihan peralatan pemerahan, kebersihan kandang serta lingkungannya. Semua faktor di atas terlibat sebagai penyebah kejadian mastitis. narnun demikian sering sulit untuk menentukan faktor penyebab secara khusus. Penting untuk diketahui bahwa sebagian besar mastitis merupakan penyakit infeksius Penvehab infeksi kelelijar susu antara lain bakteri, jamur ataupun virus, tetapi kebanyakan rnastitis disebabkan oleh bakteri.

(173)

Pernelihal-aan dan pcrawatan sapi perah termasuk susu yang tidak memenuhi persyaratan tiigiene dapat menyebabkan agen penyebab mastitis beltahan baik pada kelenjar susu niaupun c i lingkungan kandang dari pemerah. Penyebaran agen penyakit ini dapat terjatli dari sapi ke sapi melalui pemerah atau alat yang dipergunakan untuk pernerahan susu sehingga penvakit mastitis sulit diberantas Hal tersebut terutama terjadi pada mastitis yang disebabkan oleh S tzgrrl~zctitre karena bakteri ini ~nemiliki sifat sebagai mikroorg;inistne ohligat dalam jaringan ambing.

Bcrdasal-kan gejala klinis yan!: tampak, mastitis dapat digolongkan menjadi dua tipe, yaitu mastitis klinis (MK) yang ditandai dengan gejala-gejala peradangan yang.je1a.s serta perubahan tisik susu yang dihasilkan dan rnastitis subklinis (MSK) tanpa per-ubahan yang uyata baik pada kelenjal- susu maupun pada susu yang dihasilkan. Icejadian MSIC sangat tinggi di Indonesia. sampai saat ini kejadian di Indonesia berkisar antara 80-9796 (th*'ibawar~ rr rrl., 1995: Sudarwatito, 1999). Mastitis subklinis ini tidak saja merugikan peternak <arena berpengaruh langsung terhadap produksi susu tetapi juga berpengarnh pada proiies pengolahan susu yang dihasilkan ternak tersebut. Mastitis s~~bklinis menyebat'kan penurunan produksi susu baik k~~alitas maupun kuantitasnya. Penurunan produksi r:usu berkisar antara 15-40% per hari, disamping kerugian lain berupa penolakan

SUSLI oleh industri pengolahan susu dan biaya pengobatan sapi perah serta jasa doktfr hewan (Kirk c.1 trl.. 1994; Lee, 1996: Sudarwanto. 1999).

(174)

Gejala radang jelas tel-lihat pada MI< terutania jika tejadi secara pel-akut atau akut. Peradangiin kelenjar susu dalam bentuk MSK hanya dapat dideteksi dengan uji atau pemeriksaan khusc~s. Penieriksaan dilakultan terhadap kebel-adaan inikl-oorganisme

patogen atall produknya yang terdapat di dalam susu serta sel somatis asal kelenjar susu. Keduanyz dapat diperiksa dengan cara langsung dan tak langsung. Metode pemeriksaan secara langsung ditujukan u n t ~ ~ k rnenemukan mikroorganisme penyebab mastitilj, sedangkan metode tak langsung melalui deteksi keberadaan ~netabolit atau pi-oduk mikroba ]patogen yang menginfeksi kelenjar susu tersebut. Pada pemeriksaan MSI< ~nelalui ki:beradaan sel soniatis yang terkandung dalam susu juga dapat dilakukan dengan lrietode k.ngsung dan tak langsung. Metode pemeriksaan langsung dilakukan dengan menghitung sel radang nienggunakan metode Breed. Cotcltcv. (:out,ter dan Fossoii~atik Penghiturgan sel radang secara tidak langsung dilakukan berdasarkan reaksi kimia yang dapat melnperkirakan jumlah sel radang yang terkandung dalan~ susu. Beberapa metode dapat digunakan untuk mendeteksi jumlah sel I-adang secara tidak langsung diantaranya adalah California Mastitis Test (CMT), White Site Test (WST) (Sclialm, 1971) dan IPH I ( S u d a n v ~ b o , 1993).

(175)

Pengetali~lan tingkat prevalensi penyakit MSU dirasakan penting sebagai dasar untuk melakukan perielitian lain yang rnenyangkut penyakit ini. Sedangkan resistensi bakteri terhadap beberapa jenis antibiotika penting untuk diketahui dalam kaitannya dengan usaha pengendalian mastitis subklinis maupun mastitis klinis pacia sapi pel-ah.

Masalah mastitis telah banyak dipelajari dari berbagai disiplin illnu ter~nasuk patologi. Patogenesis nlastitis yang disebabkan oleh nlikroorganisrne terutama bakteri

.c;trc.l,roco~~rr\~ococr, tcgtrluliicrc., Siuphyl~~cocc~rs tr~irerrs dan l:\cheric/~irr coli. atau yang

disebabkan oleh spesies bakteri lainnya telah lama dipelajari. Demikian pula kejadian mastitis di lniionesia terutama MSK, sebagian besar disebabkan oleh ketiga jenis bakteri tersebut. Mengingat kerugian yang diderita oleh peternak cukup tinggi maka pel-lu dilakukan penelitian secara berkelanjutan berkaitan dengan RlISK untuk mendapatkan pengetah~~an mengenai cara mencegah terjadinya kasus tersebut.

Pada kasus MSK yang disebabkan oleh S. ~ r g ~ r l ~ r c l i u ~ . adliesi bakteri melnegang peranan renting. Adhesi

S

trgtrlaciicxe diperantarai oleh adtiesin hernaglutinin yauS terletak plda permukaan sel bakteri Pada permukaan sel epitel kelenjar susu terdapat reseptor terhadap hemaglutinin tersebut. Penelitian lnengenai adhesi S. ag~.trltrc~iinr ini telah clilaitukan pada tingkat itr i.'ifro, sedangkan penelitian patfa tingkat in i8ii,o bel~lrn
(176)

kelenjar susu tampak sehat, nalnun produksi susu tetap rendilh. Kejadian penurunan produksi susu akibat MSK tersebut belutn dapat dijelaskan pada tingkat perubahan jaringan kelenjar susu sapi perah.

U!;aha menurunkan tingkat prevalensi mastitis subklinis merupakan salah satu upaya 1n:mperbaiki tingkat produksi sapi perah dan menghatnbat berkeinbangnya rnikroba patogen penyebab mastitis.

Meskipun berbagai aspek tnengenai mastitis secara umum telah banyak drteliti. namun inforlnasi mengenai patogenesis mastitis subklinis khususnya yang disebabkan oleh S ~rg~rlricricte belum banyak diketahui. lnformasi mengenai keberadaan hemaglutinin sebagai Fdktor virulen pada ,\: c~gczlrrcricrr inasih sangat terbatas, demikian pula peratt hemaglutinin dalam patogenesis kejadian MSK belunt diketahui.

3. Tujuan Penelitian

I . Mzngetahui prevalensi kejadiati hlSK di Jawa Barat.

2. M~ngetahui Jumlah Sel Sotnatis (JSS) yang terkandung dalam SUSLI sapi penderita MSK.

3. M~ngetahui susunan pita DNA .S. a'ycilrrcricre dan hubungannya dengan kandungan hemaglutinin bakteri tersebut.

4. RI':ngetahui peran hemaglutinin dalam tnekanisme infeksi S. c ~ ~ y ~ z I ~ ~ c i i i r c ~ yang mcmiliki hemaglutinin ISGB Hn (t).

(177)

6 Ment~~kan lokasi bakteri SGB f-in (+) yang diinfeksikan pada kelenjar susu niencit sesuai dengan waktu infeksi.

7. ilntuk meogetahui apakah mencit dapat digunakan sebagai model pada penelitian MSK sapi perah dengan nlelihat perubahan jaringan kelenjar susu secara hijtopatologis.

4. Hipotc-sis Penelitian

I . Prevalensi MSK di Jaws Barat tinygi 2. Jumlah Sel Somatis tinggi pada MSK.

3 , S ~ s u n a n pita DNA S. ~ I ~ C ~ ~ C I C ~ I L I L ' Hn (+) berbeda dengan .S. ~igc~lflciioe Hn (-I.

4. lnfeksi bakteri S. ngulcictiue Hn (+) menyebabkan perubahan jaringan kelenji~r susu yang lebih berat dibandingkan dengan infeksi oleh ,\: trgtiltzctiirt. Hn (-).

5 . Brlkteri S. cigoluct~~rt. Hn (+) memiliki kemampuan lebih besar untuk n11:nginfiltrasi jar-ingan kelenjar susu, sehingga lebih banyak didapatkan patia sel epitel kelenjar susu dibandingkan dengan S. c~gc~Ic~c/irre Htl (-).

6. M:ncit dapat dipakai sebagai model untuk mempelajari patogenesis MSK.

5. Manfaat Penelitiari

I . Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan mengenai peran hemaglutinin pada mekanisme infeksi hlSK yang disebabkan oleh ,Y CI~UIICIILIL,.

(178)
(179)

I . Definisi Mastitis

blastitis didefinisikan sebagai peradangan jaringan internal kelenjai- susu. Penyebab inastitis bermacam-macatn, mulai dari trauma rnekailis pada kelenjar alnbing atau putijlg susu, akibat kekurangan unsur nutrisi, hingga mikroorganisme patogell. Sehagian besar kasus mastitis men~pakan penyakit infeksius vang disebabkan oleh 1nikroorg;inisme patogen. Berdasarkan perubahan patologi anatorrli kelenjar susu. terdapat tiua tipe mastitis, yaitu lnastitis klinis (MK) dan inastitis subklinis (bISK) Perubahan patologi mastitis klinis dapat deilgan tepat digatnbarkan berdasarkan pembahail patologis anatomis kelenjar susu Kelenjar susu rne~nbengkak, edematous berisi cairan eksudat. disertai tanda-tanda peradangan lainl~ya (keinerahan, suhu meningkat, rasa sakit dan penumnan hngsi). hlastitis subklinis berada di antara posisi kelenjar i , u s ~ ~ yang sehat dan sakit, dan diagnosis lnastitis subklinis hingga sekarang dilakukan berdasarkan pada perneriksaan sainpel susu serta perubahan kotnposisi susu untuk mengenali tanda peradangannya (Sudarwanto, 1993).

2. Kejadlian Mastitis Subklinis di Indonesia

M:ngacu pada studi yang telah dilakukan sebelumnya, kejadian mastitis subklinis pada beberapa peternakan di P. Jawa sangat tinggi. berkisar antara 61.66-67% (Sudarwanto et trl., 1984; Hirst 01 irl., 1985). Hingga kini kejadian MSK rnasih tetap

tinggi bat~kan cendeiung memiliki tendensi meningkat menjadi 8% (Wibawan e / i d .

1995) P ~ d a kejadian MSK tersebut Striprococuri.~ rrgalcrctitre merupakan agen penyeba'b yang serirg ditemukan (Pasaribu rr t11, 1994) Hal yang sama diungkapkan oleh Wilson

(180)

penelitian tesakhii- mengungkapkan bahwa prevalensi mastitis subklinis di Indonesia

berkisar antara 97-980.0 (Suda~wanto, 1999).

3. Keregian Akibat Mastitis

Dampak negatif mastitis subklinis (susu tampak nornlal, tetapi junilah sel sornatik tinggi) pa3a produksi susu ternyata sangat substansial. Perkiraan 1;erugian ekono~ni yang disebabkan oleh mastitis subklinis seekor sapi perah berkisar antara $ 200 ribu per tahun (Bailey. 1996).

Di bidang peternakan sapi perah di Indonesia, mastitis masih merupakan rnasalah paling penting yang merugikan secara ekonoinis. 7'elah lama diakui bahwa m;xstit~s menekan pembentukan susu pada kwartir yang terkena aiau meradang dan menyebabkan penurunarr produksi susu Perkiraan penurunan produksi susu bervariasi. tetapi sebagian besar pen1:liti nienyimpulkan bahwa susu yang di produksi akan menurun sekitar 25.3596 setiap kwartir dihandingkan kwartir normal (Morris, 1985). Seineritara Hirst 4.1 ul.

(1985') mencatat bahwa penurunan produksi terjadi dari rata-rata I l , 9 literlhari menjatli Q,9 literihari atau sebesar 14,696 dari pi-oduksi total. Kerugian ekononii bukan hanya b e ~ u p a penurunan akibat kwalitas susu rendali dan penurunan produksi sekitar 1(>-381:,. tetapi jugn terdapat kerugian lain berupa meningkatnya biaya penggantian sapi perah. susu terbuang. biaya obat-obatan, biaya dokter hewan dan upah bunlh (Kirk <,I 0 1 , lclc14 dan Lee, ! 996).

4. Metode Pemeriksaan Mastitis Subklirris

(181)

terhadap iekresi susu, bukan pada kelenjar susu. I'emeriksaan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu perneriksaan secara langsung dan pemeriksaan sscara tidak langsung.

4.1. Pemeriksaan Langsung

Penieriksaan lanysung hlSK dilakukan dengan cara nienghitung ju~nlah sel soniatis yang terkandung di dalam susu menggunaltari metode BREED (Raumgannel-.

l965j atall nienggunakan alat khusus Coulter Counter dan I:ossomatik.

Blgian sel kelenjar susu yang terlepas clan ter-bawa aliran susu atau dikenal sebagai st l somatis dari dinyatakan dalam Jumlah Sei Somatis (JSS) nlerupakan indikatot- yang baik untuk perneriksaan kelenjar susu apakah nlenderita mastitis subklinis. Secara fisiologis susu rnenganduns sel sornatis. jumlah Sel Somatis yang terkandung di dalarn susu terg;mtung pada keadaan kesehatan sena siklus laktasi sapi Junllah Sel Somatis dapat meningkat sesaat setelah sapi melahirkan, dan menurun dengan cepat selama minggu pcrtarna laktasi dan pada akhir periode laktasi akan meningkat kernbali. Pada dasarnya terdapat tiga pola JSS yang berbeda selama rnasa laktasi

.

yaitu : konstan rendah, I-endah dengan satu saat lonjakan (peuk) dan ul~e~trutitrg. Sapi-sapi dengall pola yang teraihil- memiliki hitungan JSS yang terus menerus tinggi riamun JSS bervariasi selama masa laktasi (Hanekamp ci t r l . , 1996). Naunian 6.1 irl. (1998) mempelaja1.i
(182)

JSS yang tidak rnencolok dan hanya terjadi dalam kurun waictu yang sangat singkat Keadaan ini akan lnenjaga kelenjar susu dalam keadaan sehat.

Kciadian int'eksi merupakan falitor yang sangat bevengaruh terhadap JSS Kenaikan JSS lebih nienonjol terjadi pada kelenjar susu yang terinfeksi oleh ~nikroba patogen L tama kelenjar susu (,S. irg-rrl~zc-rtrlii~c. S. dy.$giflcrclic~t., S r q ~ t i y l o c ~ ~ ~ ~ ~ t ~ ~ trrfrc2s dan I<s~~herichicr toll) dibandingkan yang disebabkan oleh bakteri patogen vang memiliki koagulase negatif (Schepers 6.1 c1/., 1997).

JiLa JSS lebih tinggi dari LOO 000 seli~nl susu kwartir, ha1 ini ineinberi iiidikasi bahwa sapi menderita rnastitis Penemuan agen patogen melalui pen~eriksaan bakteriolcgis rnemiliki signitikasi yang tinggi dengan keberadaan JSS. Kwartir sapi yans tidak mengandung bakterilmikroorganisme patogen selalu menunjukkan nilai geometrik JSS rata-rata sekitar 50.000 sel/ml susu, senlentara k~vartir dengan patogen di dala~nnya memperliliatkan nilai JSS tiga hingga lirna kali lehih tinggi (Labohm cr trl.. 190%)

Suatu nilai standar bagi JSS telah ditetapkan oleh negara-negara Eropa berdasark,in hitungan .lSS pada hi~lk milk dan diherlakukan di seluruh dunia sejak Januari 1'198. y a i ~ u sebesar- 4C)0.000 sel/ml. Standard ini diupayakan untuk mengurangi efek negatif rnastitis terhadap kwalitas produk olahan susu. bleskipun efek negatif pada

kwalitas l~roduk olahan pernah dilaporkan telah tampak jika susu yang dipergunakan memiliki Itandungan JSS 100.000 sel/rnl. Disebutkan pula hila sarnpei susu yang diarnbil dari hrrlk trr11k ~nemiliki JSS 400.000 sellml rne~nberi indikasi bahwa sekitar 40%6 sapi- sapi pada populasi yang ada pasti terinfeksi oleti mikroorgatiisme patogen (Auldist 1.1 t r l .

1098).

(183)

kelenjar susu (mastitis). Jumlah sel ada kaitannya dengan beberapa faktor, salah satu faktor perlting adalah adanya agen infeksius yang mampu meningkatkan kenaikan jumlah sel sotnatis sebagai konsekuensi reaksi jar-ingan dan mobilisasi sel radang ke tialarn kelerijar susu. Faktor lainoya adalah kemampuan aliran susu yang menyencerkan JSi.;. Sel yang tiiternukan di dalam susu terdiri dari sel epitel kelenjar arnbing yang mengalarni desk~~amasi dan leukosit. Jumlah leukosit akan meningkat sehagai respon hadirnya rnikmorg;inisme patogeu. kerusakan jaringan ambing karena mekanis. serta stress. Sapi- sapi per-al. tua pada umutnnya memiliki JSS tinggi dibandingkan sapi-sapi muda, tel-lepas apakah mznderita mastitis klinis atau tidak (Faye r / ~ 1 . . 1998) JSS pada umumnya akan rendah pada saat sapi mengalarni masa laktasi aktif, tetapi ha1 ini tidak ada kaitannya

dengan dteniukannya niikroorganisme, kernainpuan produksi susul rata-rata derasnya aliran susu dan lamanya masa laktasi (Roth el tri. 1998)

1.2. Pem~:riksaan Tidak L,allgsclng

(184)

lernah, I untuk reaksi antara lenlah dan sedang, 2 untuk liasil reaksi sedang dan 13 jika terbentuk gel yang kental. Hasil riset menunjukkan bahwa antara skor basil reaksi CMT

dengan nilai JSS di dalam susu tnemiliki korelasi positif. Sel-sel yang terkandung tli

dalam suru terutarna terdiri dari sel darah putih (leukosit) yang n~emasuki kelenjar susu dari sirkulasi darah tubuh. Jumlah leukosit akan rneningkat pada saat terjadi infeksi pada kelenjar ;usu sebagai respon terhadap mikroorganisme patogen penvebab mastiti:;, trauma atau perlukaar~ secara tnekanis serta akibat aktifitas tisiologis tertentu. Jika konsentraii JSS di dalam susu tinggi (lebih dal-i 200.000 sellml) mengindikasikan kelenjar s~lsu berada pada kondisi abnormal (Philpot dan Nickerson, 1991)

Ditir~jau dari reaksi komponen bahan yang terkandung di dalanmya. uji CMT bekerja bcrdasarkan pada kenlarnpuan suatu detergen anionik berupa Na-L.aurvl Sulpha~t untuk me arutkan m e m b r a ~ ~ sel somatis dan inti sel somatis. Sebagai konsekwensinya komponert DNA yang terkandung di dalam nukleus akan terhebas dan bereaksi dengan kotnponer~ pereaksi CM'T' membentuk gel. Jika DNA yang terkandung dalam sampel

(185)

'fabel I . Korelasi Antara Skor CMT dan Jumlah Kata-rata Sel Somatis Dalam Susu (Philpor dan Nickel-son, 1991 )

Skor CMT Jumlah rata-rat3 JSS

(\ 1000 sclln~l)

Bc:berapa kelebihan penggunaan metode CMT adalah : ( I ) . Memiliki akura:ii yang baik dalam menghitung konsentrasi sel soniatis, dan memiliki korclasi dengan uji yang dipel-gunakan untuk metneriksa MSK secara tak langsung. (2). CMT sensitif dan dapat dig~inakan u n t ~ ~ k menguji sampel susu kwartir, susu individu dan susu kandani: (3). Mudah diterapkan di kandang dan mudah dioperasikan oleh petugas kandang.

M,:tode IPB-I adalah hasil modifikasi metode CMT dan telah terbukti dapzlt digunakar untuk menguji sampel susu dalam berbagai jenis sampel (kwa~tir, individu. susu gabungau) di lndonesia (Sudanvanto, 1993).

5. Ciri d : ~ n Sifat Streptr~coccus ngcrlnctiize

5.1. Stre~~tococcus r~grrl~etic~e Sebagai Peopebab Mastitis SubWillis

Mt:nurut Bergey's Manual of Systemic Bacteriology (1986). S. u,rtrlcrcticr~~

(186)

dalam grLp B, klasitikasi juga dilakukan berdasarkan ciri lainnya. Antigen polisakarida spesifik y utg dimiliki ole11 grup 0 tersebut terdiri dari N-asetilglukosamin dan galaktose. Grup 0 n~enghasilkan energi melalui proses ferrnentasi dengan tnembentuk asam laktet sebagai p-oduk akhir dan menghasilkan suasana asam dengan pH latutan media kaldu antara 4,;, hingga 4,8. Asam dihasilkan dar-i glukose. maltose, sukrose dan trehalosi:. Gliserol cifermentasikan hanya dalam keadaan aerobik. Grup B strain asal sapi pada utnumnya rnenifermentasikan laktose, hal ini dapat terjadi pada strain asal manusia dan hewan lainnya Grup B tidak memfermentasikan xylose. arabinose. ratfinose; inulin. manitol dim sorbitol.

Binyak strain

S.

~~grrlclci~~re yang dapat tumbuh dalam tnedia yang merigandung 4056 cairan empedu. Semua strain metighidrolisa Na-hipurat dan uji ini cukup baik digunakar untuk membedakan S. ngrrltrc/iue dari bakteri-bakteri enterokokus vang tidak marnpu menghidrolisa hippurat.

Grup B dapat dengan mudah ditumbuhkan pada tnedia agar clarah, pertumbuliannya pada agar darah mevnbentuk berbagai pola zona hemolisis. Terdapat zona tiem~,lisis yang tipis atau sempit yang dikatagorikan sebagai tipe hemolisis

p.

zonzt hetnolisis yang jelas berukuran dua kali dari tipe hemolisis

P

yititu tipe u dan hemolisis tipe y, tanpa zona hemolisis. Beberapa strain menghasilkan hemolisis tipe

p

yang khas

berkesan opak, kemungkinan ha1 ini terjadi akibat aktifitas hemolisin yang ditniliki rendah. tlemolisin seperti ini berbeda dengan hemolisin 0 dan S.

Ciri khas lain yang dimiliki oleh S. c-~g~rluctitre adalah fiiktor CAMI' (Christie t m /

1 1 , 1 9 4 Faktor ini mampu menempel pada memhran eritrosit yang kemudian diubah

(187)

secara pa:;ti, karena dapat juga ber-eaksi positif pada strain lain seperti rnisalnya grup C. F atau Ci. Serogruping dengan rnenggunakan antibodi spesifik terhadap antigen g u p 18 dapat meinbar~tu lebih tepat determinasi S. tigcrlcrclitrr~

Pi,:mentasi merupakan suatu penciri bagi banyak bakteri Beberapa strain !i.

ugtiluctia~: menghasilkan pigmen berwarna kuning, or-ange atau kuning kemeraharl. Pign1entai;i akan tarnpak lebih kuat bila ditambahkan zat pati ke dalaln media atau bakteri yarlg ditulnbuhkan dalam kondisi anaerobik.

Budasarkan keberadaan antigen perrnukaan yang ditniliki, S. c~g~rlcrc~ltrc dapat digolongkan pada keberadaan antigen golongan polisakarida dan antigeri golongan protein. Berdasarkan adanya antigen polisakarida, S. c~gciluclini~ terdiri dari serotipe la; Ih, 11, I 1 1 1V. V, V1; VII dan Vlll (Bopp, 1995) dan berdasarkan keberadaan antigen protein terdiri dar-i serotipe c, R dan X. Antigen tersebut dapat terdiri dari antigen tunggal atau bersamaan. Ilistribusi antigen tersebut pada sapi me~niliki pola kha:;, liebanyakan bakteri S. ci~yczltrcltre yang diisolasi dari sapi mempunyai protein antigen 3:. Tipe antigen ini sangat spesifik bagi S. qqrlc~ctir~e (gnlp B atau SGB) asal sapi (Wihawan dan 1,aemmler-. 1990; Wibawan e r n l . , 1992; Pasaribu c / c r l , 1994; Wibawan e/ crl.. 1095). Btl-dasarkan pada asal hospes, S. crgcricicricre dapat diklasifikasikan menjadi 2

(188)

supernatan yang benitrg pada media cair dan mengekspresikan koloni kornpak pada media .senli .solitl.s(?fi ergerr (Wibawan dati Laernmler, 1990, 1091; Wibawan et ctl., 1095).

Sifat lain yang dimiliki oleh S. ugcrlacficrc asal sapi adalah tnengekspresikan sifi~t hidrofobir:itas permukaan, manipu mengaglutinasikan eritrosit dan menunjukan sifat adhesi di atas permukaan sel epitel. Sifat adhesi bakteri erat hubungannya derigan keberadaan komponen antigen permukaan golongan protein pada bakteri yang bersangk~tan yang berupa protein X; protein hidrofobik dan hemaglutinin. Pada !;.

crg~~friaicri, dapat dibuktikan bahwa kon~ponen protein permitkaan adalah faktor vitulel~ yang bertimggung jawab pada proses adhesi (Wibawan cf ul., 1902).

5.2. Hemaglutinin pada S. c~gc~lactir~c

Atlhesi adalah langkah awal infeksi bakteri dan biasanya akan diikuti oleh kolonisasi, delnikian pula pada kejadian mastitis. adhesi merupakan langkah awal proses infeksi setelall bakteri mampu memasuki kelenjar susu. Fenomena ini telah dipelajat-i dengan tnembandingkan kemampuan adhesi dari S. ngtrluctiar yang memiliki hemaglutinin dan S. izguluciiae yang tidak memiliki hemaglutlnin pada perrnukaan sel lestari HeLa (Wibawan el 01, 1993) dan terbukti bahwa jumlah bakteri S trgrrl~rciicrc~

yang metniliki hemaglutinin (hemaglutinin positif, I-In +) rnenempel lebilr banyak dibandingkan dengan S. c~gcrIactI'ii~ hemaglutinin negatif (Hn - ) Dava adhesi ,';.

(189)

hemaglutinin. I'ada proses adhesi ini terbukti nielibatkan reseptor terhadap heniaglutiriin yang berada pada perniuhaan sel epitel kelenjar susu (Estuningsili, 1998). Hernaglutinin asal isola. sapi telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi dengan inetode SDS-PACiE:, dan ternyata rnetupakan protein yang memiliki berat niolekul46 kD serta terbukti rnampu menginduksi pembentukan antibodi poliklonal yang diproduksi pada avail1 (Wahyuni,

1998).

Diketahui bahwa lietnaglutinin terdapat pada perniukaan mikroorganisme terutama ,:olongan virus serta patla permukaan beberapa bakteri. Selain S. t r x ~ r l i r t ~ i ( x ~ .

beberapa bakteri diketahui memiliki hemaglutillin baik yang, terdapat pada struktur permukaan seperti pili dan tinibriae pada b,: ccoii (Roth, 1995) dan yang terdapat sebagai komponeti permukaan sel bakteri seperti pada S. trr~rrri.~ (Abrar, 2000). Henlagl~~tiniii juga dite~nukan pada bakteri patogen periodontal. I'hor/~hj~ro~no~~er.s git1g11~~r1l.s yang dikenai stbagai gingipain K dan gingipain K; gingipain R dapat mengintluksi kekebalan tubuh mr:ncit terhadap 1'. git~xii,trli.s. Hemaglutinin ini lnerupakan faktor yang nlernpengaruhi aktifitas adhesi patogen pel-iodontal yang bereaksi meuggangu mekarlistne pertahanal dan merusak jaringan ikat inang (Genco r t td.. 1998).

B~.kteri S. a~alcioicrr pada sapi menyebabkan mastitis terutama mastitis subklini:;. sedangkari pada manusia menyebabkan sepsis dan meningitis pada bayi. Secara normal bahtel-i ini sering berhasil diisolasi dari saluran kelamin uanita, sehingga bagiari ala~t reproduksi ini dapat bertindak sebagai reservoir (Wibawan r t t i / . , 1992).

(190)

U~~ZILZC/ILLI (55?/i). .S. rrr~ri~rt.~ ( I I,]%) dan selebihnya adalah bakteri kokus gram positif lainnya. Sampai kini penyebab rnastitis n~asih didorninasi oleh bakteri . Hal ini juga terlihat dari l~asil penelitian Wilson el nl. (1997) di Pennsylvania yang nlenunjukan bahwa letlih dari 75% infeksi kelenjar susu disebabkan oleh S. crg~rl~~i~/i~rc.. S~ri~/~/oc.occrr.\

. Y , I I ~ dan S. LIIII.~IIS.

Pengetahuan dasar rnengenai sifat agen penyebab mastitis penting ~ ~ n t u k diketahui dalam rar~gka pencegahan mastitis pada sapi perah. Dewasa ini kemajuan di bidang dialnostik. sangat pesat, teknik biologi molekuler merupakan salah satu teknik murakhiir yang dapiit dig~nakan untuk mendiagnosis penyebab penyakit tel-masuk dalarn bidar~g kedokteran hewan. Teknik Polyn~erase Chain Reaction (PCK) dan Pulsed Field Gel Electroph~resis (PFGE) merupakan suatu teknik yang relatif bar~r yang dapat diaplikasiian unt~tk mempelaiari agen penyebitb mastitis. Teknik ini dig~inakan l~ntuk menganal sa karakter gen suatu agen. mplifikasi sekuen gen spesies spesifik mengguni~karl teknik PCR nlemberikan hasil diagnostik yang cepat dan sensitif Suatu molekul yang paling tepat digunakan untuk menganalisa gen yang mewakili sifat spesies spesifik dikerlal sebagai yell dengan simbol 16 S ribosomal RNA (16 S rRNA). Segrnen gel1 ini sangat stabil sedangkan segmen gen lainnya bervariasi (Jayarao et crl., 1992). Variasi d u i sekuen 16s rRNA sangat stabil dan biasa dipergunakan untuk menilai hubungan tilogenetis diantara spesies. Menurut Bentley datl Leigh (1995) ~'(~ritrhi~l

rwot! V:! dari sekuen molekul 16s rRNA Streptokokus menunjukkan perbedaan yang

(191)

dalani grup R tidak ada variasi intra spesies untuk sekuen gen regro \ I 2 Sepasans primer yang dig~nakan untuk mengbasilkan amplikon ben~kuran 1250 bp dapat mengidentifikasi dengan tepat keseluruhan dari sejumlah 49 salnpel Streptokokus (brbdulmawjood, 1099).

6. Anatomi dan Histologi Kelenjar Susu Merlcit

Mencit niemiliki lilna pasang kelen.jar susu berurutarl dari I salnpai 5 mulai dari bagian anterior ke posterior. Tiga pasang diantaranya terletak di ~.egio c:cr1~ico-/hort1xic dua lainn:ia berada pada regio irfgrritio-uhdo~~~it~~~l. Keleniar terbentang rnulai dari bagian dada atas hingga ke bagian dasar ekor (Frith and Ward, 1988). Bagian puting tertekan oleh lipatm sirkuler yang merupakan penebalan kulit dan tidak memiliki rambut, kecuali pada mencit yang sedang laktasi. hfencit jantan pada umumnya hanya memiliki 4 pasans kelenjar sdsu dan tidak memiliki putins..

(192)

Kelenjar susu dibentuk dari penebalan bilateralis lapisan embrional ektoderm yang me1;xpisi bagian lapis bawah mesenkim. Dalam waktu 13-15 hari, bakal kelenjar muncul dan tumbuh membentuk struktur menyerupai tali memanjang yang terdiri dari sel-sel epitel , yang pertama kali diteliti oleh Hummel at al., (1966). Tali memanjang ini menumbuhkan saluran (duktus) primitif yang pertumbuhannya berlanjut dan kemudian membentuk cabang ke dalam lapis mesenkim yang primitif. Ujung dari duktus ini membentuk suatu struktur membulat yang dinamakan end bud. Dalam waktu 16-17 hari tali epitel kemudian tumbuh membentuk lu

Gambar

Tabel 2. Perubahan kelenjar ambing akibat infeksi S. agalactiae secara eksperimental
Tabel 3. Perbandingan Karakter Inokulum S. agalactiae Hn (+) dan S. agalactiue Hn (-)
Tabel 4. Hasil tJji Penapisan Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Jawa Barat
Tabel 5. Hasil Penghitungan JSS dengan Metode Breed dari Sampel Susu Mastitis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-Faktor Pengaruh Perkembangan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disimpulkan beberapa faktor dominan yang mempengaruhi perubahan pola bentuk ruang kampung

(3) Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan penundaan penyaluran DAU bagi Daerah yang tidak memenuhi laporan penyesuaian Anggaran Pendapatan dan

Dengan segala keterbatasan yang ada, penulis berupaya semaksimal mungkin untuk memahami tafsirnya satu demi satu sehingga dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa

2 Cerita di Desa Arung Pattongko dengan sifat dan watak tersebut diatas adalah generasi muda yang harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet kepemimpinan bangsa dari generasi

Sedangkan Persepsi AP terhadap pentingnya pemahaman AP pada aspek syariah dalam rangka Efisiensi aktivitas audit entitas syariah berpengaruh secara langsung yang berarti bahwa

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) I Pesisir Barat merupakan salah satu kawasan hutan yang terletak di Pulau Sumatera yang berperan sebagai kawasan penyangga

Didasarkan hasil pengamatan lapangan diketahui bahwa di dalam lokasi studi dijumpai ada tujuh jenis mamalia yang masuk ke dalam lima famili, 30 jenis burung