• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian penyakit busuk pangkal batang pada lada dengan ekstrak pinang, gambir, sirih, dan kapur sirih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengendalian penyakit busuk pangkal batang pada lada dengan ekstrak pinang, gambir, sirih, dan kapur sirih"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

PENGENDALIAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG

(Phytophthora capsici LEONIAN) PADA LADA (Piper nigrum L.)

DENGAN EKSTRAK PINANG, GAMBIR, SIRIH, DAN

KAPUR SIRIH

DEDEK KUSVIANTI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

ABSTRAK

DEDEK KUSVIANTI. Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang (Phytophthora capsici Leonian) pada Lada (Piper Nigrum L.) dengan Ekstrak Pinang, Gambir, Sirih, dan Kapur Sirih. Dibimbing oleh WIDODO dan DJOKO PRIJONO.

(3)

PENGENDALIAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG

(Phytophthora capsici LEONIAN) PADA LADA (Piper nigrum L.)

DENGAN EKSTRAK PINANG, GAMBIR, SIRIH, DAN

KAPUR SIRIH

DEDEK KUSVIANTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Pertanian

di Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

(4)

Judul : Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal batang (Phytophthora capsici Leonian) pada Lada (Piper nigrum L.) dengan

Ekstrak Pinang, Gambir, Sirih, dan Kapur Sirih

Nama Mahasiswa : Dedek Kusvianti

NRP : A34063036

Menyetujui,

Mengetahui,

Tanggal lulus:

Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Widodo, MS. NIP 19591115 198503 1 003

Dosen Pembimbing II

Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. NIP 19590827 198303 1 005

Ketua Departemen Proteksi Tanaman  

 

 

Dr. Ir. Dadang, MSc. NIP 19640204 19902 1 002

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjungpandan, Provinsi Bangka Belitung pada tanggal 22 Agustus 1989. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara keluarga Bapak Sahani Saleh dan Ibu Asmara.

Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri I Tanjungpandan pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru dan diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB).

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang (Phytophthora capsici Leonian) pada Lada (Piper Nigrum L.) dengan Ekstrak Pinang, Gambir, Sirih, dan Kapur Sirih” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Widodo, MS. dan Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penulisan skripsi.

2. Dr. Ir. Purnama Hidayat, MSc. yang telah bersedia menjadi dosen penguji tamu dalam seminar tugas akhir dan ujian sarjana.

3. Dr. Ir. Kikin H. Mutaqin, MSi. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membimbing dan memotivasi penulis selama ini.

4. Bapak, Umak, dan Abang tercinta yang tanpa lelah menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Saudara-saudara di Lawalata-IPB yang selalu mendukung penulis baik suka maupun duka.

6. Teman-teman seangkatan penulis di Departemen Proteksi Tanaman, khususnya teman-teman seperjuangan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Bapak Dadang Surachman, Sdri Ita Novrita, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat secara umum maupun perkembangan iptek khususnya dalam bidang proteksi tanaman.

Bogor, Maret 2011

(7)

DAFTAR ISI

Daerah Asal dan Persebaran di Indonesia ... 3

Ciri Botani ... 3

Lingkungan Tumbuh ... 4

Penyakit Busuk Pangkal Batang (Phytophthora capsici L.) ... 4

Bahan Uji ... 6

Perbanyakan Isolat P. capsici ... 10

Perbanyakan Zoospora P. capsici ... 10

Metode Pengujian ... 11

Uji Penghambatan Pertumbuhan Koloni secara In Vitro ... 11

Uji Penghambatan Kemunculan dan Diameter Gejala BPB secara In Vivo ... 11

Rancangan Percobaan ... 13

Analisis Data ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Diameter Koloni Phytophthora capsici secara In Vitro ... 14

Pengaruh Perlakuan terhadap Perkembangan Gejala BPB oleh Phytophthora capsici secara In Vivo ... 18

SIMPULAN DAN SARAN ... 22

Simpulan ... 22

(8)

vii   

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Nilai skala dan kategori serangan yang digunakan untuk menghitung

keparahan penyakit (KP) penyakit pada tanaman lada ... 13 2 Pengaruh perlakuan empat jenis ekstrak (0,01%) terhadap

pertumbuhan koloni P. capsici pada 6 hari setelah inokulasi ... 14 3 Pengaruh perlakuan jenis ekstrak terhadap pertumbuhan diameter

koloni P. capsici pada 6 hari setelah inokulasi ... 17 4 Pengaruh perlakuan ekstrak uji terhadap persentase keparahan

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Perkembangan koloni P. capsici akibat perlakuan dengan (a) ekstrak

pinang, (b) ekstrak gambir, (c) ekstrak pinang+gambir, dan (d) ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih.

HSI: hari setelah inokulasi ... 16

2 Pengaruh perlakuan terhadap kemunculan gejala (a) dan keparahan penyakit (b) BPB oleh P. capsici secara in vivo. K: tanpa perlakuan (kontrol), F: fungisida berbahan aktif propineb 0,2%, C2: ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0,005%, C4: ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0,01%, dan

P4: ekstrak pinang 0,04% ... 20 3 Gejala serangan P. capsici pada 7 HSI. (a) ekstrak pinang 0,04%,

(b) ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih

0,005%, (c) ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0,01%, (d) perlakuan fungisida propineb 0,2%, dan (e) perlakuan

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Diameter koloni Phytophthora capsici pada perlakuan ekstrak sirih

dan kapur sirih (0,01%) pada 6 hari setelah inokulasi ... 28 2 Diameter koloni Phytophthora capsici pada perlakuan ekstrak uji

pada 6 hari setelah inokulasi ... 28 3 Persentase keparahan penyakit BPB akibat perlakuan pada 11 hari

setelah inokulasi ... 29 4 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan koloni

P. capsici pada 6 hari setelah inokulasi ... 30 5 Analisis ragam pengaruh perlakuan ekstrak uji terhadap persentase

(12)

1   

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lada (Piper nigrum L.) merupakan produk tertua dan terpenting di antara rempah-rempah yang diperdagangkan di dunia (Wahid 1996a). Lada diproduksi

oleh 11 negara yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu anggota International Pepper Community (IPC) yang terdiri atas Brasil, India, Indonesia, Malaysia, Srilanka, Vietnam dan bukan anggota IPC seperti China, Thailand, Madagaskar,

Kambodia, dan Ekuador. Volume ekspor lada Indonesia pada tahun 2009

mencapai 50,642 ton, dengan nilai 140,3 juta dollar AS (Ditjenbun 2010). Di

pasar internasional, lada Indonesia mempunyai kekuatan dan daya jual tersendiri

karena cita rasanya yang khas. Lada Indonesia dikenal dengan nama Muntok white

pepper untuk lada putih dan Lampong black pepper untuk lada hitam (Yuhono

2007).

Faktor pembatas produksi lada Indonesia di antaranya serangan

Phytophthora capsici, penyebab penyakit busuk pangkal batang (BPB). Kasim

(1990) memperkirakan kerusakan tanaman lada akibat penyakit BPB di Indonesia

setiap tahunnya berkisar dari 10% sampai 15%. Gejala khas penyakit BPB ialah

kelayuan tanaman apabila patogen tersebut menyerang pangkal batang atau akar.

Infeksi pada pangkal batang menyebabkan terjadinya perubahan warna kulit

menjadi hitam. Pada keadaan lembap, gejala hitam tersebut tampak seperti

berlendir berwarna agak biru. Serangan pada akar menyebabkan tanaman layu dan

daun-daun menjadi berwarna kuning. Daun-daun yang layu sering tetap

tergantung dan berubah warna menjadi cokelat sampai hitam. Serangan patogen

pada daun menyebabkan terjadinya bercak daun. Sepanjang tepi bercak terdapat

bagian gejala hitam bergerigi seperti renda yang akan tampak jelas bila daun

diarahkan ke cahaya, sedangkan serangan pada buah menyebabkan buah berwarna

hitam dan menjadi busuk. Umumnya serangan terjadi pada buah yang letaknya

dekat permukaan tanah (Manohara & Kasim 1996).

Pengendalian BPB secara kimia merupakan usaha pengendalian yang sudah

dilakukan sejak lama di era usaha perbaikan budi daya lada dibandingkan dengan

(13)

2   

diketahui efektif untuk menekan BPB baik in vitro maupun di lapangan. Fungisida dengan bahan aktif bersifat sistemik cenderung lebih efektif dan banyak

digunakan oleh petani, khususnya saat harga lada tinggi (Manohara et al. 2005). Namun demikian, penggunaan fungisida sintetik yang berlebihan dapat

berdampak buruk bagi lingkungan, terjadinya resistensi dan terbentuknya strain

baru patogen tanaman (Agrios 2005). Selain itu, kecenderungan permintaan

produk yang bebas residu membuat pengendalian yang ramah lingkungan sangat

dibutuhkan untuk mendukung sistem pertanian yang berkelanjutan dan menekan

penggunaan pestisida.

Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa sediaan gambir

(Uncaria gambir Roxb.) dengan formulasi 30% cukup efektif mengendalikan

penyakit bercak daun (Fusarium sp.) pada serai wangi (Andropogon nardus L.) (Idris 2007). Ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) pada konsentrasi 2,25%

dan 1,5% dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan cendawan Aspergillus

niger, Aspergillus oryzae, dan Penicillium sp. hingga 100% (Wanchaitanawonget al. 2005). Biji pinang (Areca cathecu L.) dilaporkan memiliki aktivitas anticacing, antifungi, antibakteri, antiinflamasi, antioksidan, insektisida, dan larvasida

(Wetwitayakyung et al. 2006). Ravinshanker & Subba (2009) melaporkan bahwa

pasta Vitapex yang mengandung 30% kapur sirih Ca(OH)2 cukup efektif

menghambat pertumbuhan koloni bakteri Enterococcus faecalis secara in vitro. Oleh karena itu, penggunaan gambir, pinang, sirih, dan kapur sirih perlu dilakukan

untuk mengetahui potensinya dalam mengendalian penyakit BPB pada lada.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui keefektifan ekstrak pinang, gambir,

sirih, dan kapur sirih sebagai bahan pengendali penyakit busuk pangkal batang

pada lada yang disebabkan oleh P. capsici.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang potensi

ekstrak pinang, gambir, sirih, dan kapur sirih sebagai alternatif pengendalian

(14)

3   

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Lada Daerah Asal dan Persebaran di Indonesia

Tanaman lada (Piper nigrum) berasal dari pantai barat Ghats, Malabar, India. Lada dibawa oleh para pendatang Hindu ke Pulau Jawa antara tahun 100

SM dan 600 M. Daerah awal pemasukan tanaman lada di Indonesia tidak

diketahui dengan jelas, namun diperkirakan bahwa tanaman lada pertama kali

ditanam di daerah Karesidenan Banten (Wahid 1996a).

Penyebaran tanaman lada dari daerah Banten mula-mula mengarah ke timur

Pulau Jawa. Di daerah Banten, Jakarta, Cirebon, Jepara, Surakarta dan

Yogyakarta, lada pada mulanya diusahakan dalam bentuk perkebunan sampai

dengan abad ke-18. Bersamaan dengan itu pengusahaannya dalam bentuk

perkebunan rakyat dimulai di Sumatera (Aceh, Bengkulu, Bangka, Lampung,

Sumatera Barat, Sumatera Timur, dan Jambi) serta ke Kalimantan (Pontianak,

Banjarmasin, dan Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah) (Wahid 1996a).

Daerah pengembangan lada saat ini adalah Lampung yang terkenal dengan

lada hitamnya (Lampong black pepper), dan Bangka yang lebih dikenal dengan lada putihnya (Muntok white pepper). Selain itu, banyak pengembangan pertanaman lada baru di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan

Timur, serta Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara (Manohara et al. 2005).

Ciri Botani

Tanaman lada merupakan tanaman tahunan yang memanjat dan memiliki

batang yang berbuku-buku dan silindris. tinggi tanaman dapat mencapai 10 m dan

tajuk dapat mencapai diameter 1,5 m bila dibudidayakan dengan baik. Tanaman

lada berakar tunggang dengan akar utama dapat melakukan penetrasi pada tanah

sampai kedalaman 1-2 m. Akar yang tumbuh dari buku di atas tanah tidak

memanjang dan hanya digunakan untuk menempel pada tiang pemanjat. Batang

lada berbentuk sulur dan dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu sulur

gantung, sulur panjat, sulur buah, dan sulur tanah. Daun lada duduk tunggal

(15)

4   

permukaan atas, sedangkan daun muda bervariasi (hijau muda, ungu, cokelat

muda), bergelombang atau rata. Bunga-bunga terdapat pada cabang plagiotrophic yang tersusun dalam bulir (spica) atau untai (amentum). Buah lada temasuk buah buni atau buah batu. Buah berbentuk bulat dan pada waktu masak berwarna

merah. Biji lada memiliki permukaan yang licin dan berwarna putih cokelat

(Wahid 1996b).

Lingkungan Tumbuh

Lada merupakan tanaman memanjat dari keluarga Piperaceae yang dalam

pertumbuhannya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Batang tanaman lada

berbuku-buku dan berbentuk sulur. Sulur panjat tumbuh lebih baik dalam keadaan

nisbi udara kurang cahaya (fototrof negatif)sedangkan sulur buah dalam keadaan

cukup cahaya (fototrof positif). Intensitas cahaya yang dibutuhkan berkisar dari

50% sampai 75%. Lada dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan ketinggian

0-500 m dpl. Curah hujan yang paling baik untuk tanaman lada adalah 2000 - 3000

mm/tahun dengan hari hujan 110-170 hari, dan musim kemarau 2-3 bulan/tahun.

Kelembapan nisbi udara yang sesuai dari 70% sampai 90% dengan kisaran suhu

25-35 0C. Tanaman lada dapat tumbuh pada semua jenis tanah, terutama tanah

berpasir dan gembur dengan unsur hara yang cukup. Tingkat kemasaman tanah

(pH) yang sesuai berkisar 5-6.5 (Balittri 2007).

Penggunaan tiang panjat hidup (tajar) dalam budi daya lada akan membantu

mengurangi intensitas cahaya yang berlebihan dan akan membuat tanaman

berumur lebih panjang karena tanaman tidak didorong berproduksi lebih

sementara input yang diberikan terbatas. Penanaman tanaman penutup tanah akan

mengurangi cekaman kekeringan akibat kemarau dan menghambat penyebaran

Phytophthora capsici selama musim hujan. Pembuatan saluran drainase yang cukup dan terasering yang disesuaikan dengan kondisi lahan diperlukan untuk

menghindari genangan air selama musim hujan (Wahyuno 2009).

Penyakit Busuk Pangkal Batang (Phytophthora capsici L.)

(16)

5   

pada tahun 1885. Sejak saat itu dilaporkan penyebaran semakin meluas ke

berbagai daerah pertanaman lada, yaitu Lampung, Bangka, Aceh, Bengkulu, Jawa

Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Pulau Laut

(Manohara 2000). Kerusakan akibat penyakit tersebut di Lampung pada tahun

1970 diperkirakan mencapai 52%. Kasim (1990) memperkirakan kerusakan

tanaman lada akibat penyakit BPB di Indonesia setiap tahunnya berkisar dari 10%

sampai 15% dari total tanaman lada. Saat ini serangan penyakit BPB terus meluas

hingga tidak hanya ditemukan di sentra produksi lada, yaitu Bangka dan

Lampung, tetapi telah tersebar hampir di semua pertanaman lada di Jawa,

Kalimantan, dan Sulawesi (Manohara et al. 2005).

Cendawan P. capsici dapat menyerang semua fase pertumbuhan tanaman, mulai pembibitan sampai tanaman produktif. Gejala kelayuan mendadak terjadi

apabila terjadi serangan patogen pada pangkal batang. Pangkal batang yang

terserang menjadi berwarna hitam dan pada keadaan lembap akan tampak lendir

yang berwarna kebiruan. Serangan pada akar menyebabkan tanaman layu dan

daun-daun menjadi berwarna kuning. Serangan pada daun menyebabkan gejala

bercak daun pada bagian tengah atau tepi daun. Bercak berwarna hitam dengan

tepi bergerigi seperti renda yang akan tampak jelas apabila daun diarahkan ke

cahaya. Serangan pada buah menyebabkan buah berwarna hitam dan busuk; gejala

ini biasanya banyak ditemukan pada buah yang letaknya dekat permukaan tanah

(Manohara & Kasim 1996).

Penyebaran cendawan P. capsici selain oleh air dan angin pada saat hujan, juga dapat terbawa oleh ternak peliharaan, siput/keong, manusia, alat pertanian

bekas dipakai pada tanaman sakit, dan dapat terbawa pada bibit lada sehingga

menjadi sumber inokulum bagi daerah pengembangan lada yang baru (Mulya et a.l 1986 dalam Manohara et al. 2005).

Pada dasarnya cendawan P. capsici merupakan patogen yang sulit dikendalikan, tetapi kerugian akibat penyakit ini dapat ditekan dengan melakukan

budi daya lada yang tepat dan benar. Pengendalian terpadu penyakit BPB meliputi

pengendalian secara kimia, kultur teknis dan hayati. Wahyuno (2009) menyatakan

bahwa hanya Lampung Daun Kecil dan Chunuk yang merupakan varietas toleran

(17)

6   

Pengendalian secara kimia dengan menggunakan fungisida berbahan aktif

sistemik cenderung lebih efektif dan banyak digunakan oleh petani, khususnya

saat harga lada tinggi (Manohara et al. 2005). Fungisida sistemik berbahan aktif aluminium fosetil 80%, asam fosfit 400g/l, atau menaburkan mefenoksam ke

tanah sekeliling bawah tajuk tanaman dapat mencegah terjadinya penularan

penyakit (Manohara & Kasim 1996). Namun, pemakaian fungisida hendaknya

merupakan pilihan terakhir. Selain karena permintaan produk yang bebas residu

juga harga lada yang relatif tidak stabil, fungisida menjadi input yang mahal bagi

petani (Wahyuno 2009).

Pengendalian secara kultur teknis meliputi penggunaan bibit yang sehat,

penanaman tanaman penutup tanah, penggunaan tiang panjat hidup, pemupukan

yang berimbang, pembuatan drainase dan parit keliling, pemangkasan tajar,

pembuangan sulur cacing dan sulur gantung, penyiangan terbatas, serta

pemangkasan cabang lada yang ada di bagian bawah. Penanaman tanaman

kelompok Liliaceae dilaporkan akan menekan terjadinya gejala BPB karena

eksudat akar tanaman tersebut dapat menghambat perkecambahan zoospora P. capsici (Wahyuno 2009).

Pengendalian secara hayati dapat dilakukan dengan menggunakan sisa

tanaman seperti padi, palawija, dan serasah tajar yang dibenamkan ke dalam

tanah. Pengaplikasian bahan organik berupa alang-alang, jagung atau Arachis yang telah diinfestasi Trichoderma diketahui dapat menurunkan serangan P. capsici (Wahyuno 2009).

Bahan Uji Gambir

Gambir merupakan ekstrak kering dari ranting dan daun tanaman Uncaria gambir Roxb. (Rubiaceae). Gambir telah sejak lama digunakan sebagai pelengkap menyirih yang dikunyah dan dipercaya dapat menguatkan gigi (Lucida et al. 2007). Tanaman gambir merupakan tanaman perdu yang memiliki nilai ekonomi

tinggi, yaitu ekstrak (getah) daun dan ranting mengandung asam kateku tanat

(18)

7   

gambir juga mengandung sedikit kuarsetin yaitu bahan pewarna kuning (Hayani

2003).

Pambayun et al. (2006) melaporkan bahwa kandungan fenol dari ekstrak etil asetat gambir menunjukkan sifat antibakteri pada bakteri gram positif, yaitu

Streptococcus mutans, Staphylococcus aureus, dan Bacillus subtilis. Selain itu, Idris (2007) melaporkan bahwa formulasi gambir 30% cukup efektif menekan

perkembangan diameter koloni cendawan Fusarium sp. penyebab penyakit bercak daun serai wangi sebesar 41,02% dan keparahan penyakit sebesar 28,81% pada

pengujian di rumah kaca. Pada penelian lain, Kresnawaty & Zainuddin (2009)

menyatakan bahwa terdapat aktivitas antioksidan dan antibakteri dari derivate

metil ekstrak etanol daun gambir.

Pinang

Tanaman pinang (Areca catechu, Palmaceae) merupakan tanaman penting di Asia yang dimanfaatkan sebagai obat herbal dan bahan campuran menyirih.

Biji pinang mengandung alkaloid, tanin, polifenol, gula, dan lemak. Alkaloid

utama pinang yaitu arekolina sedangkan arekeidina, guvasina, guvakolina, dan

arekolidina sebagai alkaloid minor (Awang 1986). Biji pinang memiliki sifat

anticacing, antifungi, antibekteri, antiinflamasi, dan antioksidan (Wetwitayaklung

et al. 2006).

Nonaka (1989) melaporkan bahwa biji buah pinang mengandung

proantosianidin, yaitu suatu tanin terkondensasi yang termasuk dalam golongan

flavonoid. Proantocyanidin merupakan senyawa fenol spesifik yang terkandung di

dalam biji pinang dan memiliki struktur seperti katekin dan epikatekin.

Proantosianidin mempunyai efek antibakteri, antivirus, antikarsinogenik,

antiinflamasi, antialergi, dan pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi) (Fine

2000).

Sirih

Tanaman sirih (Piper betle, Piperaceae) telah lama dikenal masyarakat sebagai tumbuhan obat tradisional. Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat

(19)

8   

pendarahan, mengobati sariawan, gatal-gatal, obat batuk, dan antijamur pada kulit

(Parwata et al. 2009). Sari & Isadiartuti (2006) dalam penelitiannya melaporkan bahwa ekstrak daun sirih memiliki aktivitas antiseptik yang dapat menghilangkan

mikroorganisme pada tangan.

Daun sirih mengandung minyak atsiri dengan aroma yang khas. Minyak

atsiri sirih mengandung kavibetol yang membentuk karakter dalam

komponen-komponen minyak atsiri. Selain itu juga terkandung eugenol, kavikol, eugenol

metil eter, kineole, kariophilen, dan kadinen. Sirih banyak dimanfaatkan sebagai

bahan karminatif, stimulan, anticacing, ekspektoran, antiseptik, mengobati

dyspepsia, demam, kembung, dan filiriasis. Minyak atsiri memiliki aktivitas

antibakteri dan antioksidan yang efektif (Daniel 2006).

Minyak atsiri daun sirih dengan dosis optimum 2,5 µL/ cawan dilaporkan

memberikan hambatan pertumbuhan terhadap cendawan Candida albicans dan Trichophyton mentagrophytes dengan diameter penghambatan sebesar 15,3 dan 21 mm (Adnan et al. 2003).

Kapur Sirih

Kapur berasal dari kulit kerang laut atau cangkang dari kerang yang telah

dibakar. Kapur sirih biasa ditemukan berwarna putih baik dalam bentuk kering

dan basah. Saat kering kapur sirih berumus molekul CaO, sedangkan saat

basah/larutan berumus molekul Ca(OH)2 (Bayani 2009). Kapur sirih (Ca(OH)2)

yang dilarutkan dalam air akan terionisasi membentuk ion OH- yang bersifat basa dan dapat menetralkan suasana asam (Ismadi 1993).

Barthel et al. (2002) melaporkan bahwa pasta Ca(OH)2 efektif menghambat

pertumbuhan koloni bakteri Enterococcus faecalis hingga 100% setelah 1 dan 2 minggu masa inkubasi. Selain itu, Ravinshanker & Subba (2009) juga melaporkan

bahwa pasta Vitapex yang mengandung 30% Ca(OH)2 cukup efektif menghambat

pertumbuhan koloni E. faecalis secara in vitro.

(20)

9   

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan,

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

(IPB), dari bulan Februari hingga November 2010.

Bahan Tanaman Uji

Daun lada yang digunakan dalam pengujian secara in vivo diambil dari tanaman lada varietas Lampung Daun Kecil (LDK) yang berasal dari perkebunan

lada masyarakat Membalong, Belitung.

Bahan Sumber Ekstrak

Bahan yang digunakan sebagai sumber ekstrak ialah biji pinang, gambir,

daun sirih, dan kapur sirih yang dibeli dari kios obat tradisional di Bogor.

Ekstraksi

Sumber ekstrak yaitu biji pinang, gambir, daun sirih, dan kapur sirih

masing-masing ditumbuk dengan menggunakan mortar. Setelah halus, bahan

tersebut dilarutkan dalam air dengan perbandingan 1 g bahan/100 ml aquades

untuk mendapatkan konsentrasi larutan 1%. Larutan tersebut kemudian disaring

menggunakan corong kaca berdiameter 6 cm beralaskan filter membran Whatman

0,2 µm. Hasil saringan ditampung dalam labu erlenmeyer dan disimpan sebagai

stok. Ekstrak stok pinang dan gambir kemudian diencerkan hingga didapat

konsentrasi masing-masing 0,5%. Kedua ekstrak tersebut kemudian dicampurkan

dan didapat ekstrak pinang + gambir dengan konsentrasi masing-masing

komponen 0,5%. Ekstrak pinang, gambir, sirih, dan kapur sirih kemudian

diencerkan lagi agar didapat ekstrak dengan konsentrasi 0,25 %. Ekstrak tersebut

kemudian dicampurkan dan didapat ekstrak campuran dengan konsentrasi

masing-masing komponen 0,25%.

(21)

10   

Perbanyakan Isolat P. capsici

Isolat murni P. capsici diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, Bogor dan diperbanyak di Laborium Mikologi Tumbuhan, Fakultas

Pertanian, IPB. Isolat tersebut diperbanyak pada media V8.

Pembuatan media V8 memerlukan bahan V8, aquades, agar, dan CaCO3.

Sebanyak 800 ml aquades dan 15 g agar, dipanaskan dengan api sedang,

kemudian 200 ml V8 yang telah disaring dimasukkan ke dalam campuran dan

diaduk-aduk rata. Setelah campuran tersebut mendidih, api dikecilkan dan

dimasukkan sebanyak 3,5-5 g CaCO3. Campuran tersebut diaduk-aduk kembali

hingga rata. Setelah rata, V8 dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan disterilisasi

menggunakan autoklaf dengan menggunakan uap air jenuh bertekanan 1atm

selama 15 menit pada suhu 121 0C (Shurtleff & Awerre 1997).

Media V8 yang telah disterilisasi kemudian dituang ke dalam cawan petri

sebanyak 15 ml tiap cawan. Setelah media pada cawan petri mengeras, isolat P. capsici dari agar miring diambil secukupnya dan dipindahkan ke dalam cawan menggunakan jarum inokulasi. Selanjutnya isolat diinkubasi selama 1 minggu

dalam suhu ruang.

Perbanyakan Zoospora P. capsici

Isolat patogen berdiameter 7 mm dipindahkan ke dalam media V8 dalam

cawan petri dan diinkubasi selama 4 hari dengan penyinaran lampu secara terus

menerus. Setelah 4 hari, biakan dibagi menjadi empat bagian dengan

menggunakan pisau steril. Setiap bagian dipindahkan ke dalam cawan petri baru

dan dipotong-potong menjadi blok-blok kecil dengan panjang sisi 0,5 cm2 (Wang

2000).

Air steril ditambahkan ke dalam cawan petri yang berisi agar blok hingga

menutupi permukaan blok dan diinkubasi pada suhu ruang selama 1 jam. Setelah

itu, air dibuang dan diganti dengan 18 ml air steril hingga menutupi permukaan

agar blok. Agar blok kemudian diinkubasi pada suhu 28 0C selama 24 jam dengan

penyinaran lampu terus menerus untuk menghasilkan sporangia. Selanjutnya, agar

(22)

11   

pembentukan zoospora. Agar kembali dipindahkan ke suhu 28 0C dengan

penyinaran lampu selama 1 jam untuk pelepasan zoospora (Wang 2000).

Suspensi zoospora yang dihasilkan dituang ke dalam erlenmeyer.

Penghitungan jumlah zoospora dilakukan dengan menggunakan hemasitometer.

Sampel suspensi sebanyak 0,1 ml diambil dan dipindahkan ke dalam

hemasitometer dan dipanaskan pada suhu 50 0C selama 1 menit. Hal ini dilakukan

untuk menghentikan pergerakan zoospora agar mudah dihitung. Suspensi

zoospora yang diperoleh disimpan dalam keadaan dingin. Suspensi diencerkan

dengan air dingin terlebih dahulu sebelum digunakan untuk inokulasi (Wang

2000).

Metode Pengujian

Uji Penghambatan Pertumbuhan Koloni secara In Vitro

Isolat P. capsici yang berumur 4 hari diambil dengan menggunakan alat pelubang gabus berdiameter 5 mm. Isolat tersebut diinokulasikan ke dalam media

V8 yang telah dicampur dengan bahan ekstrak. Isolat yang telah diinokulasikan

diinkubasi pada suhu ruang selama 6 hari.

Perlakuan yang diberikan yaitu kontrol (K, tanpa perlakuan bahan ekstrak),

ekstrak pinang 0,01%; 0,02%; dan 0,04% dalam media V8, ekstrak gambir 0,01%;

0,02%; dan 0,04% dalam media V8, ekstrak pinang + gambir 0,005%; 0,01%; dan

0,02% dalam media V8, dan ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur

sirih 0,0025%; 0,005%; dan 0,01% dalam media V8. Inokulasi dilakukan di

laminar air flow agar perlakuan terhindar dari kontaminan. Pengamatan dilakukan setiap hari setelah inokulasi (HSI). Peubah yang dicatat yaitu perkembangan

diameter miselium terhadap waktu inkubasi.

Uji Penghambatan Kemunculan dan Diameter Gejala BPB secara In Vivo Daun lada varietas LDK dibersihkan dengan air mengalir dan dibiarkan

kering udara. Daun kemudian dicelupkan ke dalam cairan perekat dan

dikeringanginkan. Setelah itu, daun dicelupkan ke larutan ekstrak sesuai perlakuan

dan dibiarkan kering udara. Jumlah zoospora yang didapat dalam suspensi yaitu 9

(23)

12   

permukaan bawah daun lada dengan menggunakan pipet mikro. Suspensi

zoospora sebanyak 0,1 ml diteteskan ke empat titik di permukaan bawah daun.

Perlakuan bahan celup yang diberikan yaitu kontrol (K, tanpa perlakuan

bahan ekstrak); fungisida berbahan aktif propineb 70% konsentrasi 0,2% dalam

larutan (F); ekstrak campuran gambir + pinang + sirih + kapur sirih konsentrasi

total 0,005% dalam larutan (C2); ekstrak campuran pinang + gambir + sirih +

kapur sirih konsentrasi total 0,01% dalam larutan (C4); dan ekstrak pinang 0,04%

dalam larutan (P4).

Tiap perlakuan diletakkan pada satu baki yang beralas tisu lembap,

kemudian sedotan plastik diletakkan di atas tisu tersebut untuk menyangga agar

permukaan daun tidak mengenai tisu. Daun disusun secara berjajar dengan

permukaan bawah daun menghadap ke atas. Daun yang telah diberi perlakuan

kemudian disungkup dengan plastik transparan. Penyungkupan dilakukan dengan

tujuan menciptakan kondisi lingkungan yang lembap agar zoospora patogen dapat

beradaptasi dan berpenetrasi ke dalam jaringan daun (Wahyuno et al. 2009). Daun diinkubasi selama 24 jam di ruang gelap dan kemudian diinkubasi

pada kondisi normal laboratorium selama 10 hari. Peubah yang digunakan yaitu

peluang kemunculan gejala dan perkembangan diameter terhadap waktu inkubasi.

Penghitungan peluang terjadinya penyakit didasarkan pada kemunculan gejala

pada titik-titik inokulasi. Gejala yang muncul menunjukkan keberhasilan patogen

menginfeksi daun tanaman. Persentase kemunculan gejala dihitung dengan rumus:

Jumlah titik yang bergejala pada tiap daun Kemunculan gejala (%) =

Jumlah titik inokulasi pada tiap daun

Keparahan penyakit (KP) didefinisikan sebagai persentase luas jaringan

tanaman yang terserang patogen dari total luasan yang diamati (Heuberger &

Townsend 1943 dalam Sinaga 2006).

∑ ni x vi

KP = x 100% Z x N

KP = keparahan penyakit (%)

N = jumlah daun yang terserang dengan nilai skala tertentu

vi = nilai skala

(24)

13   

ni = jumlah daun yang diamati

Nilai skala dari 0 hingga 4 digunakan untuk menghitung KP (Tabel 1)

mengacu pada Pudjihartati et al. (2006) dalam menentukan gejala nekrosis pada daun kacang tanah.

Tabel 1 Nilai skala dan kategori serangan yang digunakan untuk menghitung keparahan penyakit (KP) BPB pada tanaman lada

Nilai skala Persentase luas bercak nekrosis terhadap luas daun per

titik inokulasi (x)

0 x = 0

1 1% < x ≤ 10%

2 10% < x ≤ 25%

3 25% < x ≤ 50%

4 > 50%

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan

acak lengkap. Pengujian pengaruh bahan ekstrak secara in vitro dilakukan dengan 12 perlakuan ekstrak ditambah 1 kontrol. Masing-masing perlakuan diulang

sebanyak tiga kali dengan inokulasi isolat patogen pada media sebagai ulangan.

Pengujian pengaruh bahan ekstrak secara in vivo dilakukan dengan 3 perlakuan ekstrak, 1 kontrol, dan 1 kontrol negatif. Pengulangan sebanyak lima kali dengan

daun sebagai ulangan dan empat titik inokulasi pada daun sebagai unit perlakuan.

Analisis Data

Data pengaruh perlakuan ekstrak terhadap pertumbuhan koloni P.capsici secara in vitro dan pengaruh perlakuan ekstrak terhadap perkembangan gejala BPB secara in vivo dianalisis dengan sidik ragam menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan Statistical Analysis System (SAS) untuk Windows versi 9.1. Pembandingan nilai tengah antar perlakuan dilakukan dengan uji selang

(25)

14   

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Diameter Koloni P. capsici secara In Vitro

Pengujian pengaruh jenis ekstrak terhadap pertumbuhan koloni P. capsici secara in vitro pada awalnya menggunakan empat jenis ekstrak tunggal, yaitu pinang, gambir, sirih, dan kapur sirih pada konsentrasi 0,01%; 0,02%; dan 0,04%.

Namun, pada pengujian ekstrak sirih dan kapur sirih pada 0,01%, koloni patogen

tumbuh sangat cepat dan jauh melebihi pertumbuhan kontrol (Tabel 2). Hal ini

menunjukkan bahwa ekstrak sirih dan kapur sirih 0,01% tidak efektif menghambat

pertumbuhan koloni. Oleh karena itu, pada pengujian lanjutan dengan konsentrasi

0,02% dan 0,04% penggunaan ekstrak sirih dan kapur sirih ditiadakan. Pengujian

ekstrak pada konsentrasi 0,02% dan 0,04% hanya diarahkan pada pinang dan

gambir. Sementara itu, pengujian ekstrak pinang + gambir dilakukan pada

konsentrasi total 0,005%; 0,01%; dan 0,02% dan campuran empat bahan uji yang

terdiri atas pinang, sirih, gambir, dan kapur sirih dengan konsentrasi total

0,0025%; 0,005%; dan 0,01%.

Tabel 2 Pengaruh perlakuan empat jenis ekstrak (0,01%) terhadap pertumbuhan koloni P. capsici pada 6 hari setelah inokulasi

a

SB: simpangan baku.

Purnomo & Asmarayan (2005) menyatakan bahwa sirih dan lada

mempunyai kekerabatan morfologi yang dekat. Sirih juga diketahui memiliki sifat

ketahanan yang sama dengan lada terhadap P. capsici (Wahyuno et al. 2010). Priyono & Praptiwi (2006) melaporkan bahwa buah Piper sp. asal Papua

Jenis ekstrak Diameter koloni (cm) ± SBa Persentase penghambatan

Pinang 5,58 ± 2,20 16,2

Gambir 6,70 ± 2,73 -0,6

Sirih 6,85 ± 2,51 -2,8

Kapur sirih 6,99 ± 2,53 -4,9

Kontrol 6,66 ± 2,48 0

(26)

15   

mengandung minyak atsiri, lemak dan asam lemak, emodol, tanin, gula pereduksi,

antrasenoid, poiluronida, glukosida, dan glikosida steroid. Adanya kandungan

senyawa kimia yang sama antara sirih dan lada menyebabkan tidak adanya

penghambatan pertumbuhan koloni pada pengujian dengan ekstrak sirih.

Perlakuan dengan kapur sirih 0,01% tidak menghambat pertumbuhan koloni

patogen karena kapur sirih yang terlarut dalam air dapat menciptakan suasana

basa. Erwin & Ribeiro (1996) melaporkan bahwa penambahan 3 g CaCO3 pada

pembuatan media V8 menjadikan pH media sebesar 7,5. Adanya penambahan

kapur sirih pada media membuat tingkat keasaman media menjadi berkurang dan

mendukung pertumbuhan patogen. Sementara itu, Manohara (1988) melaporkan

bahwa pH yang sesuai untuk pertumbuhan P. capsici pada media V8 cair adalah 3-7 dengan pH optimum 4.

Perlakuan dengan ekstrak pinang 0,01%; 0,02%; dan 0,04% masing-masing

dapat menghambat pertumbuhan koloni patogen (Gambar 1.a, Tabel 3), sementara

itu pada pengujian ekstrak gambir diketahui tidak terjadi penghambatan

pertumbuhan koloni pada konsentrasi 0,01% (Gambar 1.b, Tabel 3). Pada saat

kedua ekstrak tersebut dicampur terjadi penghambatan pada konsentrasi 0,005%,

sedangkan pada konsentrasi 0,01% dan 0,02% tidak (Gambar 1.c, Tabel 3).

Namun demikian, ketika keempat ekstrak, yaitu pinang, gambir, sirih, dan kapur

sirih dicampurkan, penghambatan pertumbuhan koloni patogen terjadi pada semua

tingkat konsentrasi. Penghambatan tertinggi ditunjukkan oleh konsentrasi

campuran 0,005% (Gambar 1.d, Tabel 3).

Wetwitayakyung (2006) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan biji

pinang tidak hanya ditentukan oleh kadar tanin dan fenol total yang terkandung,

tetapi juga ditentukan oleh senyawa-senyawa fenolik lainnya. Nonaka (1989)

menyatakan bahwa proantocyanidin merupakan senyawa fenol spesifik yang

terkandung di dalam biji pinang dan memiliki struktur seperti katekin dan

epikatekin. Penelitian sebelumnya (Takahashi et al. 1999) menyebutkan bahwa proantocyanidin memiliki sifat antimikroba, pelindung tanaman terhadap sinar

ultraviolet, antioksidan, antimutagenetik, antitumor, antifungi, dan sebagai

(27)

16 

patogen diduga merupakan aktivitas dari proantocyanidin yang terkandung dalam

ekstrak.

(28)

17   

Tabel 3 Pengaruh perlakuan empat jenis ekstrak terhadap pertumbuhan diameter koloni P. capsici pada 6 hari setelah inokulasi

a

SB: simpangan baku

b

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Katekin merupakan zat aktif utama yang terkandung di dalam ekstrak

gambir. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kadar katekin dari produk

gambir Indonesia bervariasi dari 2,5 sampai dengan 95% per berat bobot (Amos

2010). Katekin pada daun strawberi menunjukkan aktivitas antifungi dengan

menghambat infeksi Alternaria alternata dengan memblok pembentukan haustoria walaupun telah terjadi perkecambahan spora dan terbentuk apresoria

(Yamamoto et al. 2000), formulasi gambir 30% dilaporkan cukup efektif terhadap cendawan Fusarium sp. penyebab penyakit bercak daun serai wangi (Idris 2007). Sementara itu, aktivitas antibakteri juga ditunjukkan ekstrak etil asetat gambir

terhadap bakteri Streptococcus mutans, Staphylococcus aureus, dan Bacillus subtilis (Pambayun et al. 2007). Namun demikian, sifat antifungi dan antibakteri yang dimiliki katekin tidak mampu menghambat pertumbuhan koloni P. capsici. Jenis ekstrak Konsentrasi

(%)

Diameter koloni (cm) ±

(29)

18   

Ekstrak pinang + gambir yang digunakan pada pengujian merupakan

campuran dari bahan ekstrak pinang dan gambir dengan perbandingan volume dan

konsentrasi 1:1. Hasil pengujian menunjukkan bahwa penghambatan pertumbuhan

koloni patogen hanya ditunjukkan oleh konsentrasi 0,01% sementara konsentrasi

0,02% dan 0,04% tidak (Gambar 1.c, Tabel 3). Hal ini terjadi karena bahan aktif

yang terkandung dalam masing-masing ekstrak tidak saling kompatibel dalam

menghambat pertumbuhan patogen.

Hasil pengujian bahan campuran yang terdiri atas ekstrak pinang, gambir,

sirih, dan kapur sirih dengan perbandingan volume dan konsentrasi tiap ekstrak

1:1:1:1 dapat dilihat pada gambar 1.d. Aktivitas penghambatan pertumbuhan

koloni patogen ditunjukkan oleh setiap konsentrasi yang diberikan yaitu 0,0025%;

0,005%; dan 0,01%. Keefektifan ekstrak campuran dalam menghambat

pertumbuhan koloni patogen erat kaitannya dengan kompatibelitas bahan aktif

yang dikandung masing-masing bahan. Belum diketahui dengan pasti penyebab

kompatibelnya bahan aktif campuran terhadap penghambatan pertumbuhan

koloni.

Pengujian pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan diameter koloni

menunjukkan beberapa jenis ekstrak yang berpotensi menghambat pertumbuhan

P. capsici. yaitu pinang 0,04%, campuran 0,005% dan campuran 0,01%. Ketiga ekstrak tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter

koloni patogen bila dibandingkan dengan kontrol. Namun, ketiga ekstrak tersebut

harus di uji secara in vivo untuk mengetahui tingkat keefektifannya pada jaringan tanaman

Pengaruh Perlakuan terhadap Perkembangan Gejala BPB oleh P. capsici secara In Vivo

Hasil dari pengujian menunjukkan bahwa persentase kemunculan gejala tiap

perlakuan memberikan nilai yang berbeda. Kemunculan gejala tertinggi

ditunjukkan oleh ekstrak pinang 0,004% disusul oleh ekstrak campuran 0,005%,

ekstrak campuran 0,01%, dan fungisida 0,2% berbahan aktif propineb 70%.

Agrios (2005) menyatakan bahwa keberhasilan suatu infeksi ditentukan oleh

(30)

19   

patogen dalam tingkat patogenik, serta suhu dan kelembapan lingkungan yang

menguntungkan patogen.

Semua perlakuan yang diberikan menunjukkan kemunculan gejala pada hari

ke-3, kecuali pada perlakuan fungisida. Persentase kemunculan gejala dari hari

ke-3 dan seterusnya menunjukkan nilai yang tetap. Perlakuan C4 menunjukkan

peningkatan persentase kemunculan gejala pada hari ke-3 dan ke-4. Perlakuan

fungisida baru menunjukkan gejala pada hari ke-4. Kemunculan gejala perlakuan

fungisida dari hari ke-4 dan seterusnya menunjukkan nilai yang tetap (Gambar

2.a).

Infeksi P. capsici lebih mudah terjadi pada permukaan bawah daun, penetrasi terjadi antara 4-6 jam setelah inokulasi dan gejala mulai tampak setelah

18 jam setelah inokulasi yang berupa titik coklat di permukaan atas daun

(Manohara & Kasim 1996). Gejala pada permukaan bawah daun meluas hingga

terlihat dengan jelas pada pengamatan hari ke tiga setelah inokulasi.

Perlakuan fungisida menunjukkan persentase kemunculan gejala terendah,

yaitu sebesar 10%. Fungisida berbahan aktif propineb 70% yang digunakan

merupakan fungisida yang bersifat racun kontak dan sangat cocok untuk

mengendalikan Phytophthora spp. dan Alternaria untuk sayur-sayuran (Anonim 2010)

Perkembangan keparahan penyakit BPB berbanding lurus dengan waktu

inkubasi. Semakin lama inkubasi, maka keparahan penyakit akan semakin tinggi

yang ditandai dengan semakin luasnya diameter gejala. Perlakuan ekstrak pinang

konsentrasi 0,04% menunjukkan keparahan penyakit tertinggi dibandingkan

perlakuan lain. Perlakuan ekstrak campuran 0,005% menunjukkan keparahan

penyakit yang lebih rendah dibandingkan kontrol dan perlakuan ekstrak campuran

0,01% menunjukkan keparahan penyakit yang tidak berbeda nyata dengan

fungisida 0,2% (Tabel 4).

Ekstrak campuran 0,01% dan fungisida 0,2% menunjukkan nilai keparahan

penyakit yang tidak berbeda nyata. Ekstrak campuran 0,01% juga memiliki daya

efikasi yang tinggi yaitu sebesar 61,17% dan hampir menyamai daya efikasi

fungisida yaitu sebesar 62,73%. Besarnya daya efikasi ekstrak campuran 0,01%

(31)

20 

mengendalikan penyakit BPB. Keefektifan ekstrak campuran 0,01% tersebut

menyamai keefektifan fungisida 0,2%. Oleh karena itu, ekstrak campuran 0,01%

berpotensi untuk menggantikan fungisida dalam pengendalian P. capsici.

Gambar 2 Pengaruh perlakuan terhadap kemunculan gejala (a) dan keparahan penyakit (b) BPB oleh P. capsici secara in vivo. K: tanpa perlakuan (kontrol), F: fungisida berbahan aktif propineb 0,2%, C2: ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0,005%, C4: ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0,01%, dan P4: ekstrak pinang 0,04%.

Ekstrak campuran memiliki potensi yang cukup baik untuk digunakan

sebagai salah satu alternatif pengendalian P. capsici. Bahan-Bahan untuk membuat ekstrak campuran juga mudah ditemukan di berbagai daerah di

Indonesia sehingga pemanfaatan ekstrak campuran sebagai fungisida botani dapat

dilakukan secara luas. Namun demikian, agar ekstrak campuran lebih efektif

(32)

21 

Tabel 4 Pengaruh perlakuan ekstrak uji terhadap persentase keparahan penyakit BPB pada 11 hari setelah inokulasi

Jenis ekstrak Konsentrasi

(%)

SB: simpangan baku

b

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Berikut gambar perkembangan gejala penyakit BPB setelah diinokulasikan

zoospora P. capsici pada 7 HSI. Gejala yang nampak sesuai dengan penelitian

Manohara et al. (2005) bahwa serangan pada daun menyebabkan gejala bercak daun pada bagian tengah atau tepi daun. Bercak berwarna hitam dengan tepi

bergerigi seperti renda yang akan nampak jelas bila daun diarahkan ke cahaya.

(33)

22   

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perlakuan ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0,005%;

campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0,01%; dan pinang 0,04% secara

in vitro menghambat perkembangan diameter koloni P. capsici masing-masing sebesar 28,4%; 21,8%; dan 27,6%. Pada pengujian secara in vivo, penghambatan kemunculan gejala ditunjukkan oleh perlakuan campuran pinang + gambir + sirih

+ kapur sirih 0,005%; campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0,01%; dan

pinang 0,04%. Namun, potensi penghambatan keparahan penyakit hanya

ditunjukkan oleh perlakuan campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih

0,005% dan 0,01%. Perlakuan ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur

sirih 0,01% memiliki daya efikasi sebesar 61,2% dan hampir menyamai daya

efikasi fungisida propineb 0,2%, yaitu sebesar 62,7%.

Saran

Perlu dilakukan penelitian tentang konsentrasi formulasi yang lebih efektif

untuk menekan pertumbuhan patogen. Selain itu, perlu juga dilakukan penelitian

lebih lanjut di lapangan untuk mempelajari pengaruh langsung adanya

penghambatan penyakit BPB oleh formulasi campuran pinang + gambir + sirih +

kapur sirih.

(34)

23  

DAFTAR PUSTAKA

Adnan ZA, Marlina, Kasmi K. 2003. Uji antimikroba minyak atsiri sirih (Piper betle L.). Jurnal Sains Tekhnologi Farmasi 8(1): 31-34.

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Edisi ke-5. Amsterdam: Elsevier.

Amos. 2010. Kandungan katekin gambir sentra produksi di Indonesia. Jurnal Standardisasi 12(3): 149-155.

Anonim. 2010. Propineb. http://www.bayercropscience.com/ BCSWeb/ CropProtection.nsf/ id / propineb.htm?open&l=EN &ccm=200020 [20 Februari 2011].

Awang M N. 1986. Estimation of arecoline contents in commersial Areca (betel) nuts and its relation to oral precancerous lesions. Singapore Medicine Journal 27(4).

[Balittri] Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri. 2007. Teknologi unggulan tanaman lada. http://balittri.litbang.deptan.go.id/ database/unggulan/bookletlada.pdf [27 Januari 2011].

Barthel et al. 2002. In situ antimicrobial effectiveness of chlorhexidine and calcium hydroxide: gel and paste versus gutta-percha points. Journal of Endodontics 28(6): 427-430.

Bayani RN. 2009. Kanker rongga mulut disebabkan oleh kebiasaan menyirih (laporan kasus) [skripsi]. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara.

Daniel M. 2006. Medicinal Plants: Chemistry and Properties. USA: Science Publisher.

Dhalimi A. 2006. Permasalahan gambir (Uncaria gambir L.) di Sumatera Barat dan alternative pemecahannya. Perspektif 5(1): 46-59.

[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Lada. http://ditjenbun.deptan.go.id/ cigraph/ index.php/viewstat/ exportimport/10-Lada [27 Januari 2011].

Erwin DC, Ribeiro OK. 1996. Phytophthora Diseases Worldwide. St. Paul: APS Press.

Fine AM. 2000. Oligomeric proanthocyanidin complexes: history, structure, and phytopharmaceutical applications. Alternative Medicine Review 5(2): 144-151.

Guo LY, Ko WH. 1993. Two widely accessible media for growth and reproduction of Phytophthora and Pythium speciest. Journal Series Article 3787 of the Hawaii Institute of Tropical 59(7): 2323-2325.

Hayani E. 2003. Analisis kadar catechin dari gambir dengan berbagai metode. Buletin Teknik Pertanian 8(1): 31-33.

(35)

24  

Idris H. 2007. Pemakaian fungisida gambir terhadap penyakit bercak Fusarium sp. pada daun serai wangi. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 3: 379-385.

Ismadi M. 1993. Biokimia: Suatu Pendekatan Berorientasi Kasus. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Jamsari, Yaswendri, Kasim M. 2007. Fenologi perkembangan bunga dan spesies Uncaria gambir. Biodiversitas 8(2): 141-146.

Kasim R. 1990. Pengendalian penyakit busuk pangkal batang secara terpadu. Buletin Penelitian Tanaman Industri 1:16-20.

Kresnawaty I, Zainuddin A. 2009. Aktivitas antioksidan dan antibakteri dari derivat metil ekstrak etanol daun gambir (Uncaria gambir). Jurnal Littri 15(4): 145-151.

Lucida H, Bakhtiar A, Putri WA. 2007. Formulasi sediaan antiseptik mulut dari katekin gambir. Jurnal Sains Tekhnologi Farmasi 12(1).

Manohara D. 1988. Ekologi Phytophthora palmivora (Butler) penyebab penyakit busuk pangkal batang (Piper nigrum) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Manohara D. 2000. Penyakit Busuk Pangkal Batang dan Agen Pengendalinya. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Direktorat Jenderal perkebunan Manohara D, Kasim R. 1996. Penyakit busuk pangkal batang dan

pengendaliannya. Monograf Tanaman Lada 1: 115-128.

Manohara D, Wahyuno D, dan Noveriza R. 2005. Penyakit busuk pangkal batang lada dan strategi pengendaliannya. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat 17: 41-51.

Marlinda B. 2008. Analisis Daya Saing Lada Indonesia di Pasar Internasional [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Nonaka. 1989. Isolation and structure elucidation of tannins. Pure and Applied Chemistry 61(3): 357-360.

Pambayun R, Gardjito M, Sudarmadji S, Kuswanto KR. 2007. Kandungan fenol dan sifat antibakteri dari berbagai jenis ekstrak produk gambir (Uncaria gambir Roxb.). Majalah Farmasi Indoesia 18(3): 141-146.

Parwata OA, Rita WS, Yoga R. 2009. Isolasi dan uji antiradikal bebas minyak atsiri pada daun sirih (Piper betle Linn.) secara spektroskopi ultra violet-tampak. Jurnal Kimia 3(1): 7-13.

Priyono SH, Praptiwi. 2006. Identifikasi senyawa kimia dan aktivitas antibakteri ekstrak Piper sp. asal Papua. Laporan Teknis Pusat Penelitian Biologi LIPI 332(2): 3 – 6.

(36)

25  

Purnomo, Asmarayan R. 2005. Hubungan kekerabatan antar spesies Piper berdasarkan sifat morfologi dan minyak atsiri daun di Yogyakarta. Biodiversitas 6(1): 12-16.

Ravishanker P, Subba RC. 2009. Antimicrobial of four calcium hydroxide formulations and chlorhexidine gel using agar diffusion model. The Internet Journal of Dental Science 8(1). http://www.ispub.com /journal/the_internet_journal_of_dental_science/ volume_8_number_1_19/ article/ antimicrobial-efficacy-of-four-calcium-hydroxide-formulations-and-chlorhexidine-gel-using-agar-diffusion-model.html.

Ristaino JB, Johnston SA. 1999. Ecologically based approaches to management of Phytophthora blight on bell pepper. Plant Disease 83(12): 1080-1089. Ronald D, Jones JB, Roberts PD. 2006. Characterization of Phytophthora

capsici associated with roots of weeds on Florida vegetable farms. Plant Disease 90(3): 345-350.

Sanogo S. 2007. Asexual reproduction of Phytophthora capsici as affected by extracts from agricultural and nonagricultural soils. Phytopathology 97: 873-878.

Sari R, Isadiartuti D. 2006. Studi efektifitas sediaan gel antiseptik tangan ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.). Majalah Farmasi Indonesia 17(4): 163-169. Setiyono RT. 2003. Status pemuliaan tanaman lada. Perkembangan Teknologi

TRO 15(2): 1-10.

Staples GW, Bevacqua RF. 2006. Areca catechu (betel nut palm) species profiles for Pacific Island agroforestry ver. 1.3. www.traditionaltree.org.

Shurtleff MC, Awere III CW. 1997. The Plant Disease Clinic and Field Diagnosis of Abiotic Diseases. St. Paul: APS Press.

Sinaga MS. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Jakarta: Penerbit Swadaya.

Takahashi T, Kamiya T, Hasegawa A, Yokoo Y. 1999. Procyanidin oligomers selectively and intensively promote proliferation of mouse hair epithelial cells in vitro and active hair follicle growth in vivo. The Journal of Investigative Dermatology 112(3): 310-316.

Wahid P. 1996a. Sejarah perkembangan dan daerah perkembangan tanaman lada. Monograf Tanaman Lada 1:1-11.

Wahid P. 1996b. Identifikasi tanaman lada. Monograf Tanaman Lada 1: 27-32. Wahyono D, Manohara D. 1995. Pembentukan oospora Phytophthora capsici

pada jaringan lada. Hayati :46-48.

Wahyuno D. 2009. Pengendalian terpadu busuk pangkal batang lada. Perspektif 8: 17-29.

(37)

26  

Wahyuno D, Manohara D, Ningsih SD, Setijono RT. 2010. Pengembangan varietas unggul lada tahan penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh Phytophthora capsici. Jurnal Litbang Pertanian 29(3):86-95.

Wang TC. 2000. Method of assessing Phytophthora blight ( P. capsici) reaction of pepper. AVRDC Mycology: 1-2.

Wanchaitanawong P, Chaungwanit P, Poovarodom N, Nitisinprasert S. 2005. In vitro antifungal activity of Thai herbs and spice extracts against food spoilage fungi. Kasetsart Journal of Natural Science 39: 400–405.

Wetwitayakyung P, Phaechamud T, Limmatvapirat C, Keokitichai S. 2006. The study of antioxidant capacity in various parts of Areca cathecu L. Naresuan University Journal 14 (1): 1-14.

Yamamoto M, Nakatsuka S, Otani H, Kohmoto K, Nishimura S. 2000. Catechin acts an infection-inhibiting factor in strawberry leaf. Phytopathology 90(6): 595-600.

(38)

30  

LAMPIRAN

(39)

28  

Lampiran 1 Diameter koloni Phytophthora capsici pada perlakuan ekstrak sirih dan kapur sirih (0,01%) pada 6 hari setelah inokulasi

Lampiran 2 Diameter koloni Phytophthora capsici pada perlakuan ekstrak uji pada 6 hari setelah inokulasi

Jenis ekstrak Diameter koloni (cm)

1 2 3 4 5 6

Sirih 2,67 5,23 6,93 8,3 9 9

Kapur sirih 2,67 5,43 7,17 8,67 9 9

Jenis ekstrak Konsentrasi (%) Diameter koloni (cm)/ HSI

1 2 3 4 5 6

Pinang 0,01 1,73 4,07 5,83 6,53 7,4 7,97

0,02 1,93 4,57 6,67 7,63 8,17 8,83 0,04 1,77 4,1 4,6 5,67 6,17 6,67

Gambir 0,01 2,23 4,53 7,57 7,87 9 9

0,02 2,3 4,43 6 7,33 8,43 9 0,04 2,2 4,9 6,87 7,83 8,33 8,77 Pinang + gambir 0,005 2,17 4,37 6,43 8,13 8,87 9

0,01 2,33 4,97 6,93 8,23 8,67 9

0,02 2,37 5,13 7,27 8,67 9 9 Campuran 0,0025 2,07 4,4 6,83 7,67 8,17 8,17

0,005 2,47 4,47 5,17 5,5 5,5 5,53 0,01 2,3 4,63 6 6 6,17 6,17

(40)

   

       29

Lampiran 3 Persentase keparahan penyakit BPB akibat perlakuan pada 11 hari setelah inokulasi  

 

Perlakuan Konsentrasi (%)

Keparahan penyakit (%)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Pinang 0,04 0 0 18,75 28,75 52,5 75 98,75 100 100 100 100

Campuran 0,005

0 0 8,75 16,25 23,75 33,75 38,75 48,75 57,5 60 60

0,01

0 0 2,5 11,25 15 23,75 37,5 40  40  40  40 

Fungisida 0,2

0 0 0 0 6,25 33,75 40 40  40  40  40 

Kontrol 0

(41)

30  

Lampiran 4 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan koloni

P. capsici pada 6 hari setelah inokulasi

Sumber keragaman DB JK KT F Pr > F

Jenis Ekstrak 3 70,3123611 23,4374537 413,86 <0,0001 Dosis Ekstrk 2 7,0489815 3,5244907 62,23 <0,0001 Jenis*Dosis 6 37,2191667 6,2031944 109,54 <0,0001 r(jenis*dosis) 24 5,4785185 0,2282716 4,03 <0,0001

w 5 942,0290156 188,4058031 3326,84 <0,0001

r(w) 10 0,8058879 0,0805888 1,42 0,1782

jenis*w 15 32,7001389 2,1800093 38,49 <0,0001

dosis*w 10 10,0937963 1,0093796 17,82 <0,0001

jenis*dosis*w 30 18,2225000 0,6074167 10,73 <0,0001

Model 105 1246,655010 11,032345 194,81 <0,0001

Galat 128 6,795840 0,056632

Total 233 1253,450850

Lampiran 5 Analisis ragam pengaruh perlakuan ekstrak uji terhadap persentase keparahan penyakit BPB pada 11 hari setelah inokulasi

Sumber keragaman DB JK KT F Pr > F

Perlk 4 1,46888941 0,36722235 16,41 <0,0001

r(t) 44 0,51461555 0,01169581 0,52 0,9936

perlk*t 40 0,39404315 0,00985108 0,44 0,9985

Model 88 4,55438803 0,04647335 2,08 <0,0001

Galat 186 3,93827047 0,02237654

Total 274 8,49265850

Gambar

Tabel 1  Nilai skala dan kategori serangan yang digunakan untuk menghitung keparahan penyakit (KP) BPB pada tanaman  lada
Tabel 2  Pengaruh perlakuan empat jenis ekstrak (0,01%) terhadap pertumbuhan koloni P
Gambar 1  Perkembangan koloni P. capsici akibat perlakuan dengan (a) ekstrak pinang, (b) ekstrak gambir, (c) ekstrak pinang + gambir, dan (d) ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih
Tabel 3  Pengaruh perlakuan empat jenis ekstrak terhadap pertumbuhan diameter koloni P
+3

Referensi

Dokumen terkait

Ini terbukti dengan ditemukannya hasil penelitian yang menyebutkan bahwa variabel kondisi fisik lahan, lokasi lahan terhadap jaringan jalan, ketersediaan fasilitas

Variabel pendidikan dan pelatihan naik maka prestasi kerja juga akan naik, dengan demikian hipotesis yang menyatakan pendidikan dan pelatihan berpengaruh terhadap prestasi

11 Makrofag yang teraktivasi dalam proses killing ditandai dengan peningkatan kemampuan fagositosis dan produksi ROI sehingga penelitian ini bertujuan untuk

Agama Islam yang masuk ke wilayah Jawa Barat dibawa oleh Haji Purwa, orang Galuh yang diislamkan di Gujarat oleh saudagar berkebangsaan Arab; kemudian Syekh Quro, seorang

Kualitas pelayanan yang diberikan Puskesmas Malinau Seberang kepada para pasien dalam hal Keandalan ( Realibility ) cukup baik dapat dilihat dari system prosedur

Dalam melakukan komunikasi persuasif, ketiga faktor tersebut merupakan rangkaian, yang baik secara langsung (penerimaan terhadap objek sikap) maupun tidak

Respon pasien terhadap nyeri akut dengan nyeri kronis biasanya berbeda, Pada pasien nyeri kronik biasanya karena nyeri yang begitu lama yang dialami membuat pasien letih untuk

Tujuan penelitian ini adalah untuk dapat memanfaatkan fuzzy logic dan pengetahuan pakar psikologi untuk mengidentifikasi penyebab suasana hati yang buruk pada platform