• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Sumberdaya Kerang Pharella Acutidens Di Ekosistem Mangrove Teluk Cempi, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kondisi Sumberdaya Kerang Pharella Acutidens Di Ekosistem Mangrove Teluk Cempi, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

KONDISI SUMBERDAYA KERANG

Pharella acutidens

DI

EKOSISTEM MANGROVE TELUK CEMPI, KABUPATEN DOMPU,

NUSA TENGGARA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kondisi Sumberdaya Kerang Pharella acutidens di Ekosistem Mangrove Teluk Cempi, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

AWAN DERMAWAN. Kondisi Sumberdaya Kerang Pharella acutidens di Ekosistem Mangrove Teluk Cempi, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI and MAJARIANA KRISANTI.

Kerang Pharella acutidens merupakan salah satu bivalvia yang habitatnya berada pada substrat ekosistem mangrove, yang merupakan salah satu sumber protein bagi masyarakat Kabupaten Dompu. Keberadaan sumberdaya kerang Pharella acutidens pada Teluk Cempi, Kabupaten Dompu mulai susah didapatkan karena luas lahan mangrove yang merupakan habitat bagi kerang tersebut sedikit- demi sedikit berkurang akibat dari perubahan lahan menjadi kawasan tambak dan adanya aktivitas pemanfaatan kayu bakau oleh masyarakat sekitar serta pemanfaatan kerang Pharella acutidens yang rutin dilakukan, faktor-faktor tersebut diduga mempengaruhi keberadaan kerang Pharella acutidens pada ekosistem mangrove Teluk Cempi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sumberdaya kerang Pharella acutidens yang berada pada ekosistem mangrove Teluk Cempi, diantaranya ialah kelimpahan, kondisi habitat, pertumbuhan dan probabilitas tertangkapnya kerang pada kondisi vegetasi mangrove yang berbeda. Kelimpahan kerang Pharella acutidens cenderung lebih banyak pada lokasi yang memiliki nilai kerapatan dan penutupan yang tinggi begitu pula dengan ukuran panjang cangkang yang lebih panjang pada lokasi yang lebih tinggi nilai kerapatan dan penutupannya. Kondisi habitat yang bervariasi, mulai dari kerapatan 3300 pohon/ha sampai dengan 1333 pohon/ha serta penutupan dan jenis yang bermacam-macam, menjadikan penelitian ini suatu hal yang menarik, ditemukan bahwa pada lokasi yang di dominasi oleh vegetasi Rhizophora sp. nilai kelimpahan kerang lebih tinggi serta ukuran panjang cangkang yang lebih panjang dari lokasi pengamatan yang lain.

Setelah dilakukan analisis pertumbuhan, umur maksimal yang didapatkan untuk kerang Pharella acutidens ialah 3.42 tahun (42 bulan), menggunakan nilai L∞ 9.71 dan K rata-rata sebesar 0.41. Kerang Pharella acutidens yang mendiami vegetasi mangrove yang nilai kerapatan dan penutupannya rendah terutama pada vegetasi Avicennia spp. dan Sonneratiaspp. cenderung memiliki nilai probabilitas yang tinggi, hal ini diduga karena struktur perakaran vegetasi tersebut kurang memberikan perlindungan bagi kerang dari aktivitas eksploitasi ditambah lagi ada kecenderungan nelayan lebih memilih lokasi yang didominasi oleh vegetasi tersebut sebagai daerah tangkapan dengan alasan mudah dalam penggalian kerang. Adapun hasil analisis kesesuaian habitat Pharella acutidens di ekosistem mangrove Teluk Cempi, kategori sangat sesuai seluas 425 ha dan kategori sesuai seluas 61 ha. Kata Kunci : bivalvia, fauna mangrove, kerang, kesesuaian habitat, mangrove,

(5)

SUMMARY

AWAN DERMAWAN. Pharella acutidens Actual Condition in Mangrove Ecosystem of Cempi Bay, Dompu Regency, West Nusa Tenggara. Supervised by ISDRADJAD SETYOBUDIANDI and MAJARIANA KRISANTI.

Pharella acutidens is one of bivalves which living in substrat of mangrove ecosystem, this clam is one of protein source for Dompu peoples. the existence of Pharella acutidens in Cempi Bay, Dompu begin difficult to collect because of mangrove area has been decreased by land conversion from mangrove ecosystem to aquaculture pond, mangrove timber exploitation by local community and Pharella acutidens routine exploitation for food, these factor may has influenced the existence of Pharella acutidens clam in the Cempi Bay mangrove ecosystem.

This study aimed to determine the condition of the Pharella acutidens clams located in Cempi Bay mangrove ecosystem, in term of abundance, habitat conditions, growth and probability of capture on different mangrove conditions. abundance of Pharella acutidens clams seen rich on high density and high basal area sites as well as the clams size. Varied habitats, from the density of 1333 trees/ha up to 3300 trees/ha, basal area and diverse species of mangrove, making this study an interesting thing, this research has found that in locations where vegetations is dominated by Rhizophora sp. has higher abundance value and shell length than another observation locations.

After analysis of growth, the maximum age for Pharella acutidens clams is 3,4 years (42 months), the asymtotic value or L∞ is 9.71 and average of growth coefficient or K is 0,41. Pharella acutidens inhabit in low of density and basal area of mangroves, mainly on Avicennia sp. and Sonneratia sp. shows probability of capture tend to high, this fact predicted by the roots structure of mangrove vegetation provide less protection for clams from exploitation activities, plus there is tendency in fisherman to prefer location that is dominated by Avicennia sp. and Sonneratia sp. vegetations as the a catchment area because is easy to digging the clams. The result of habitat suitability analysis shows there are 425 ha get into very suitable category and 61 ha in sufficiently suitable category.

(6)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk

kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,

penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

KONDISI SUMBERDAYA KERANG

Pharella acutidens

DI

EKOSISTEM MANGROVE TELUK CEMPI, KABUPATEN DOMPU,

NUSA TENGGARA BARAT

(8)
(9)

Judul Tesis : Kondisi Sumberdaya Kerang Pharella Acutidens Di Ekosistem Mangrove Teluk Cempi, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat Nama : Awan Dermawan

NIM : C252124031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Ketua

Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Sc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunianya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Kondisi Kerang Pharella acutidens Dalam Ekosistem Mangrove Teluk Cempi, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 sampai November 2015. Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc dan Ibu Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Sc selaku pembimbing yang sabar membimbing penulis hingga karya ini diselesaikan.

2. Bapak Dr. Yonvitner, S.Pi, M.Si selaku penguji luar komisi yang juga memberi bimbingan terhadap penulis.

3. Dr. Ir. Niken Tanjung Murti Pratiwi, M.Si selaku penguji dan perwakilan program studi yang juga memberi bimbingan terhadap penulis.

4. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Imran M. Hasan dan Alm. Ibu Hj. Minarni H. M. Noer serta Ibu Sri Utami S.E, adik Apriadi Faujul Dermawan dan Taufan Akbar Dermawan, dan juga seluruh keluarga besar yang selalu memberi semangat dan bantuan finansial untuk penyelesaian studi penulis.

5. PT. VALE dan PT. STM serta seluruh jajarannya yang telah memberikan bantuan dana beasiswa penelitian dan program intership kepada penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

6. Kepada seluruh bapak dan ibu dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang telah berdedikasi mengajar mahasiswa dan mahasiswi pascasarjana.

7. Warga Desa Baka Jaya, Desa Mbawi dan Desa Nowa yang telah membantu dalam pengumpulan data.

8. Teman-teman program studi SPL dan SDP Institut Pertanian Bogor, yang telah banyak membantu dan mengoreksi karya ilmiah ini sampai karya ilmiah ini dapat diselesaikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 4

2 METODE PENELITIAN 6

Lokasi dan Waktu Penelitian 6

Metode Pengambilan Data 7

Karakteristik Ekosistem Mangrove dan Kerang Pharella acutidens 7

Kualitas Perairan dan Substrat 8

Dimensi Sosial Terkait Sumberdaya Kerang Pharella acutidens 9

Analisis Data 9

Struktur Komunitas Vegetasi Mangrove 9

Kelimpahan, Pertumbuhan dan Kemungkinan Tertangkap (Probability of Capture), Kesesuaian Habitat Kerang

Pharella acutidens 10

Dimensi Sosial Pemanfaatan Sumberdaya Kerang Pharella

acutidens 13

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 14

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 14

Struktur Konitamus Vegetasi Mangrove Teluk Cempi 20 Kelimpahan, Pertumbuhan dan Kemungkinan Tertangkap (probability

of capture) Kerang Pharella acutidens 24

Dimensi Sosial Pemanfaatan Kerang Pharella acutidens 33 Pengelolaan Sumberdaya Kerang Pharella acutidens 37

4 KESIMPULAN DAN SARAN 38

Kesimpulan 38

Saran 38

DAFTAR PUSTAKA 39

LAMPIRAN 44

(12)

DAFTAR TABEL

10 Sebaran kerapatan mangrove Teluk Cempi 24 11 Sebaran penutupan mangrove Teluk Cempi 24

12 Aktivitas penjualan kayu mangrove di Desa Nowa 25 13 Ilustrasi siklus hidup bivalvia (Helm & Bourne 2004) 26 14 Pengamatan kerang Pharella acutidens pada Stasiun 4 (kiri) dan pada Stasiun 2 (kanan). 26

15 Ilustrasi A. Lubangdan Pharella acutidens (Kiri) B. Lubang dan Siliqua winteriana (Kanan). 27

16 Fluktuasi kelimpahan Pharella acutidens pada setiap stasiun. 28

17 Akar vegetasi Rhizophora sp (kiri) dan akar vegetasi Avicennia sp dan Sonneratia sp (kanan). 28

18 Kelimpahan kerang Pharella acutidens setiap stasiun pengamatan. 29

19 Grafik pengaruh kerapatan mangrove terhadap kerang P.acutidens (kiri) dan grafik pengaruh penutupan jenis mangrove terhadap kerang P. acutidens (kanan). 29

20 Pola pertumbuhan kerang Pharella acutidens. 31

21 Kesesuaian habitat kerang Pharella acutidens 33

22 Kerang Siliqua winteriana (kiri) dan kerang Pharella acutidens (kanan) yang dijual di pasar Amba Wodi. 34

23 Opini nelayan terkait hasil laut. 34 24 Opini nelayan terkait luasan ekosistem mangrove. 35 25 Opini nelayan terkait hubungan ekosistem mangrove terhadap hasil

tangkapan. 35

(13)

27 Opini nelayan terkait pemilihan lokasi pemanfaatan berdasarkan jenis

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis substrat. 45

2 Kuesioner penelitian. 46

3 Analisis regresi. 48

4 Von Bertalanffy Growth Formula setiap stasiun penelitian. 50 5 Rekruitmen kerang Pharella acutidens setiap stasiun penelitian. 52 6 Kemungkinan kerang P. acutidens tereksploitasi (Probability of capture)

setiap stasiun penelitian. 53

7 Probalilitas tertangkap kerang Pharella acutidens di ekosistem mangrove

Teluk Cempi 54

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu keanekaragaman hayati SDA perikanan ialah individu moluska. Moluska (keong laut, kerang-kerangan dan cumi-cumi) merupakan kelompok biota perairan laut Indonesia yang memiliki tingkat keragaman paling tinggi. Spesies moluska banyak hidup di daerah ekosistem karang, lamun dan mangrove (Dahuri 2003). Dalam kawasan pesisir tropis moluska adalah invertebrata yang paling besar nilai kelimpahannya terutama pada daerah pasang surut, estuary, lagon dan pantai (Brusca & Brusca 1990, Hendrikx et al. 2007). Pada ekosistem mangrove, moluska dan krustasea umumnya lebih tinggi nilai kelimpahannya dari Phylum lainnya (Morton 1990).

Salah satu spesies dari moluska ialah kerang Pharella acutidens (Gambar 1), kalapi uhu adalah sebutan masyarakat lokal Kabupaten Dompu untuk kerang yang hidup di daerah ekosistem mangrove ini, serta merupakan salah satu sumber protein dan memiliki nilai ekonomis. Menurut Carpenter & Niem (1998) bivalvia Pharella acutidens termasuk ke dalam Ordo Veneroida dan Famili Solenidae (Cultellidae). Genus Pharella ini selain terdiri dari spesies P.acutidens atau dikenal Sharp razor clam, juga terdapat spesies P. javanica atau Javanese razorclam.

Gambar 1. Kerang Pharella acutidens

Kerang merupakan salah satu makanan laut yang populer karena kelezatan dan kandungan gizi kerang yang bermanfaat. Sama dengan ikan, kerang juga mengandung protein dan mikro mineral serta sebagai sumber protein yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan. Manfaat kerang sebagai bahan makanan adalah sebagai sumber vitamin B12, nutrisi penting bagi kesehatan kardiovaskular. Vitamin ini berperan dalam menjinakkan homosistein, substansi yang terbentuk dari siklus metionin menjadi sistein, yaitu zat kimia yang biasa dikaitkan dengan gangguan dinding pembuluh darah (Komala 2012).

Hutan mangrove merupakan habitat bagi moluska. Menurut Kartawinata et al. (1979) & Toro (1979) in Dahuri (2003) tercatat ada 65 spesies moluska yang hidup di perairan hutan mangrove di Indonesia. Tomascik et al. (1997) menyatakan bivalvia di hutan mangrove Indonesia hanya diwakili oleh sedikit spesies. Bivalvia yang terdapat di tanah hutan mangrove harus dapat mentoleransi periode yang panjang dari suhu yang tinggi dan oksigen yang rendah, akibatnya hanya sedikit grup yang dapat beradaptasi terhadap kondisi ini. Bivalvia menjadi komponen bentik yang dominan di batas menghadap ke laut dari hutan mangrove yang

(16)

seringkali ditandai oleh intertidal dengan hamparan lumpur yang luas. Salah satu tantangan yang menarik dalam bidang perikanan dan kelautan ialah memprediksikan dan membuktikan bahwa suatu habitat dapat mempengaruhi kondisi populasi fauna yang hidup didalamnya (Vasconcelos et al. 2014).

Sejauh ini publikasi tentang spesies kerang P. acutidens masih sangat terbatas. Davy & Graham (1982) melaporkan kerang P. acutidens sebagai komoditi perdagangan di Philipina. Han et al. (2003) menginformasikan keberadaan P. acutidens sebagai salah satu jenis bivalvia di ekosistem mangrove semenanjung Leizhou, China dan Tang et al. (2007) tentang keberadaan P. acutidens di hutan mangrove Zhanziang Teluk Yingluo Provinsi Guangdong, China. Tanjung (2005) mendeskripsikan tingkat kematangan gonad secara kualitatif serta beberapa aspek biologi lainnya. Febrita et al. (2006) mendapatkan kerang telah mengakumulasi logam Pb dan Cu. Hamli et al. (2012) melaporkan ditemukan kerang Pharella acutidens pada habitat mangrove yang bersubstrat lumpur di pesisir Serawak, Malaysia dan Efriyeldi (2012) meneliti terkait ekobiologi kerang Pharella acutidens di ekosistem mangrove pesisir Kota Dumai, Riau.

Informasi maupun penelitian yang terkait dengan kerang P. acutidens di Indonesia belum banyak ditemukan. Salah satu daerah yang memiliki sumberdaya P. acutidens ialah ekosistem mangrove di Teluk Cempi. Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. P. acutidens merupakan salah satu sumberdaya yang diminati dan telah sekian lama dijadikan bahan makanan oleh masyarakat pesisir Teluk Cempi dan Kabupaten Dompu.

Selain sebagai salah satu sumber protein bagi masyarakat, kerang Pharella acutidens juga mempunyai peran ekologis. Lubang-lubang yang dibangun kerang dapat membantu masuknya oksigen ke dalam substrat hutan mangrove yang sering mengalami kondisi anoksik. Cara makan kerang yang bersifat filter feeder dapat menurunkan tingkat kekeruhan perairan karena mengabsorpsi partikel seston organik dan anorganik, sehingga cahaya yang mencapai dasar menjadi meningkat (Newell 1977). Bivalvia juga memainkan peranan penting lainnya dalam ekosistem laut, yaitu mengontrol aliran material dan energi (Dame 1996 & Gosling 2003 in Gomes & Vanin 2005). Dengan demikian perlu adanya upaya pengkajian terkait asosiasi antara habitat dan fauna yang ada di dalamnya khususnya kerang Pharella acutidens.

Secara umum tujuan pengelolaan perikanan dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu biologi, ekologi, ekonomi dan sosial, dimana tujuan sosial mencakup tujuan politik dan budaya. Sedangkan tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin hasil tangkapan yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan (resource conservation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan dan pengayaan yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan sukses ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan (Widodo & Suadi 2006).

(17)

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat khususnya pada paruh awal tahun 1970-an, tekanan terhadap wilayah pesisir dan laut Indonesia semakin besar. Konsekuensinya, masalah lingkungan yang terkait dengan wilayah pesisir muncul, faktor pencetus secara umum dapat diidentifikasi sebagai berikut (modifikasi dari Olsen et al. 1989, Grigalunas & Congar 1995 in Adrianto et al. 2004):

 Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat di wilayah pesisir.

 Pertumbuhan signifikan pada industri wisata bahari (termasuk wisata pantai dan industri lainnya).

 Penggunaan area pesisir sebagai tempat pembuangan limbah.

 Produktifitas yang tinggi dari ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan ekosistem produktif lainnya dalam kokndisi terancam. Sebagai sumber protein bagi masyarakat, kerang Pharella acutidens banyak dicari dan dikumpulkan oleh masyarakat pesisir Teluk Cempi dengan cara menggali substrat yang berada dalam ekosistem mangrove yang ditandai dengan adanya lubang-lubang kerang tersebut. Produksi kerang P. acutidens di ekosistem mangrove pesisir Teluk Cempi terjadi penurunan. Berdasarkan informasi dari nelayan yang biasa menangkap biota atau ikan di ekosistem mangrove pesisir Teluk Cempi bahwa kerang ini semakin sulit didapatkan. Hal ini kemungkinan terjadi karena terjadinya pemanfaatan kerang yang berlebih dan rutin dilakukan masyarakat, kemungkinan lain adalah akibat penurunan kualitas habitat yaitu ekosistem mangrove, hal ini terlihat dari adanya konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak dan juga penebangan pohon untuk dimanfaatkan kayunya.

Melihat potensi kerang P. acutidens yang semakin menurun di ekosistem mangrove pesisir Teluk Cempi. Kabupaten Dompu. Nusa Tenggara Barat dan masih terbatasnya informasi tentang kerang tersebut. Maka perlu dilakukan penelitian terkait kondisi sumberdaya kerang pharella acutidens di ekosistem mangrove Teluk Cempi. Pada akhirnya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar informasi terkait program pemanfaatan sumberdaya kerang, konservasi maupun rehabilitasi.

Perumusan Masalah

(18)

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi sumberdaya kerang Pharella acutidens yaitu kelimpahan, pertumbuhan serta kemungkinan tertangkap (probability of capture) pada ekosistem mangrove di Teluk Cempi.

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam upaya maupun program-program konservasi dan rehabilitasi dalam rangka meningkatkan kualitas habitat dan produktifitas sumberdaya kerang Pharella acutidens yang berkelanjutan.

Kerangka Pemikiran

Sumberdaya kerang Pharella acutidens sangat erat pengaruhnya dengan kualitas suatu habitat dalam hal ini ialah ekosistem mangrove yang menyangga semua kehidupan biota yang ada di dalamnya. Jika kondisi kualitas ekosistem mangrove menurun maka berdampak pada keberlangsungan hidup biota yang ada di dalamnya dan begitu pula sebaliknya.

Input

Prosses

Output

Gambar 2. Kerangka pemikiran kondisi sumberdaya kerang Pharella acutidens di ekosistem mangrove Teluk Cempi, Kabupaten Dompu,

Nusa Tenggara Barat

Menurunnya populasi P. acutidens pada ekosistem mangrove pesisir Teluk Cempi tidak lepas dari konversi lahan mangrove, penebangan mangrove dan pola pemanfaatan kerang pada khususnya kerang P.acutidens yang cenderung sering dan berlebihan sehingga menurunkan populasi kerang P. acutidens. Input dari

Populasi P.acutidens

Substrat Kualitas perairan

AIr

Eksploitasi

Kondisi sumberdaya kerang Pharella acutidens di

(19)
(20)

2

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ekosistem mangrove pesisir Teluk Cempi, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini dilakukan bulan Mei 2015 sampai bulan November 2015, meliputi pengamatan, pengambilan data sampel kerang dan mangrove di lapangan, serta pengambilan data sosial pada masyarakat pesisir Teluk Cempi.

Tabel 1. Posisi stasiun pengamatan di pesisir Teluk Cempi, Kabupaten Dompu Stasiun Lintang Selatan Bujur Timur Data

1 8º36’14.7” 118º24’06.” Mangrove, Pharella acutidens

parameter fisika dan kimia perairan

2 8º36’27.8” 118º23’16.” Mangrove, Pharella acutidens

parameter fisika dan kimia perairan

3 8º36’40.0” 118º23’25.” Mangrove, Pharella acutidens

parameter fisika dan kimia perairan

4 8º37’13.5” 118º24’15.” Mangrove, Pharella acutidens

parameter fisika dan kimia perairan

5 8º37’27.9” 118º24’51.” Mangrove, Pharella acutidens

parameter fisika dan kimia perairan

6 8º37’19.5” 118º25’18.” Mangrove, Pharella acutidens

parameter fisika dan kimia perairan Pengambilan sampel dilakukan pada 6 stasiun pengamatan (Gambar 3 dan Tabel 1) dengan dasar keberadaan spesies kerang Pharella acutidens yaitu adanya lubang kerang, substrat yang terendam pada saat pasang dan tidak kering pada saat

(21)

surut serta vegetasi mangrove yang berbeda jenis, kerapatan dan penutupannya. Pengambilan data sosial dilakukan di 2 Kecamatan dalam 1 kabupaten yaitu Kecamatan Dompu, Kecamatan Woja dalam Kabupaten Dompu. Adapun desa pengambilan sampel adalah lain Desa Nowa dan Mbawi.

Metode Pengambilan Data

Pengumpulan data dengan menggunakan lebih dari satu metode pengumpulan data yang terdiri dari observasi lapangan, kuesioner dan wawancara. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data lebih lengkap dan akurat tentang obyek yang diteliti.

Metode pengumpulan data melalui kuesioner yang disertai wawancara di lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi sosial yang terkait atau mempengaruhi kondisi ekosistem mangrove dan sumberdaya kerang Pharella acutidens. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder seperti terlihat pada Tabel 2.

Dalam Pengambilan data sampel kerang Pharella acutidens dan mangrove dilakukan dengan cara purposive sample, yaitu menentukan stasiun penelitian dengan sengaja, ditinjau dari faktor-faktor yang mengindikasikan adanya sumberdaya kerang Pharella acutidens dalam ekosistem mangrove.

Karakteristik Ekosistem Mangrove dan Kerang Pharella acutidens Pengambilan data ekosistem mangrove dilakukan terkait dengan keberadaan kerang Pharella acutidens dalam stasiun. Terdapat enam stasiun dalam penelitian ini, penetapan transek dilakukan secara purposive dengan menentukan secara sengaja lokasi untuk dilakukan pengamatan. digunakan metode line transek (Bengen 2001). Ukuran mangrove yang diukur untuk dijadikan sampel ialah yang mempunyai lingkar batang >10 cm dan tinggi >1.5m. Hal ini dilakukan karena asumsi bahwa mangrove yang memiliki lebar batang >10 cm mempunyai pengaruh terhadap kerang Pharella acutidens. Dengan pelaksanaan sebagai berikut:

a) Diletakkan garis acuan yang tegak lurus dengan garis pantai mulai dari pohon terluar ke arah darat atau tambak, yang dipasang di setiap stasiun. b) Terdapat tiga buah petak atau sub stasiun pengamatan yang berukuran 10 m

x 10 m yang penentuan posisinya dengan menghitung jarak total lintasan dibagi 3. Maka didapatkan jarak antar petak atau sub stasiun (Gambar 4) c) Dilakukan pengamatan kelimpahan dan panjang kerang P. acutidens serta

identifikasi mangrove pada setiap petak sampel yang telah ditentukan, dilakukan penghitungan jumlah individu setiap jenis tegakan mangrove yang memiliki lingkar batang >10 cm dan tinggi >1.5 m.

(22)

kesulitan dalam menemukan dan mengambil kerang pada setiap stasiun yang masing-masing memiliki vegetasi mangrove yang berbeda.

Kemudian kerang diukur panjang cangkangnya dan setalah itu kerang tersebut diletakkan kembali di substrat dimana kerang itu ditemukan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana terjadinya pengurangan populasi Kerang Pharella acutidens pada setiap stasiun karena adanya aktivitas pemanfaatan kerang tersebut.

Gambar 4. Ilustrasi transek

Kualitas Perairan dan Substrat

Dalam penelitian ini, ada beberapa parameter kualitas air yang diambil pada saat pasang dan surut ialah sebagai data kondisi perairan. Adapun parameter yang diambil sebagai data kualitas air adalah suhu, pH, salinitas, kecerahan periran atau visibilitas, kecepatan arus, nitrat, nitrit dan ammonia. Khusus pada pengukuran nitrat, nitrit dan amonia menggunakan API master test kit, yaitu merupakan alat pengukuran yang menggunakan beberapa reagen atau cairan sebagai pereaksi (Gambar 5). Hal ini dilakukan karena dalam wilayah Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima tidak memiliki fasilitas laboratorium yang dapat menganalisis sampel tersebut. Pengukuran parameter-parameter tersebut dilakukan pada saat pasang dan surut setiap kali pengambilan sampel kerang P. acutidens dilakukan.

(23)

sampel substrat ialah tekstur substrat, Hg (mercury) dan C-Organik, analisis terkait sampel substrat dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dengan nomor kode laboratorium M. 538 (Lampiran 1).

Dimensi Sosial Terkait Sumberdaya Kerang Pharella acutidens

Pengambilan data dimensi sosial sumberdaya kerang Pharella acutidens dilakukan dengan wawancara serta kuesioner (Lampiran 2) terhadap 30 responden yang di dalamnya merupakan nelayan dan penjual serta kerang di 3 desa yang melakukan pemanfaatan kerang pada Teluk Cempi guna mencari keterkaitan fakta dan faktor sosial terhadap perkembangan sumberdaya kerang Pharella acutidens.

Tabel 2. Jenis dan sumber data

No Jenis Data Sumber Data

A Data Primer

1. Karakteristik vegetasi mangrove Pengukuran langsung 2. Kelimpahan dan distribusi kerang

Pharella acutidens

Pengukuran langsung 3. Parameter perairan

Temperatur Pengukuran langsung

Salinitas Pengukuran langsung

pH Pengukuran langsung

Kecerahan perairan (Visibility) Pengukuran langsung

Amonia Pengukuran langsung

Nitrit Pengukuran langsung

Nitrat

Kecepatan arus

Pengukuran langsung Pengukuran langsung 4. Komposisi dan kandungan substrat Uji laboratorium 5. Aktivitas dan jenis kegiatan nelayan Observasi dan wawancara B Data Sekunder

Kondisi umum Kabupaten Dompu Badan Pusat Statistik

Analisis Data Struktur Komunitas Vegetasi Mangrove

Struktur komunitas vegetasi mangrove dihitung dengan merujuk pada English et al. (1994) dan Bengen (2002), meliputi :

a. Kerapatan jenis (Di) adalah tegakan jenis ke i dalam suatu unit area :

Di = ni/A ………..……… (1)

Keterangan : Di= kerapatan jenis ke- i (pohon/ha),

ni = jumlah tegakan jenis ke- i,

(24)

b. Kerapatan relatif jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan

jenis i (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (∑n) :

RDi = (ni/n) x 100………...….….. (2)

c. Frekuensi jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh

yang diamati :

Fi = pi/p………...………(3)

d. Frekuensi relatif jenis (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi)

dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (∑F) :

RFi = (Fi/∑F) x100………...……….. (4)

Keterangan : Fi = frekuensi jenis i, pi = jumlah petak contoh

dimana jenis i ditemukan p = jumlah total petak contoh diamati.

e. Penutupan jenis (Ci) atau Dominasi jenis adalah luas penutupan jenis i

dalam suatu unit area :

Ci = ∑BA/A……… (5)

Keterangan : BA = π DBH2/4 (dalam cm2), π (3.1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah diameter batang pohon jenis i, A= luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). DBH= CBH / π (dalam cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada orang dewasa (±1.3 m). f. Penututupan relatif jenis (RCi) atau Dominasi relatif adalah perbandingan

antara luas area penututupan jenis i (Ci) dan luas total area penutupan antara

seluruh jenis (∑C) :

RCi = (Ci/∑C) x 100……….. (6)

g. Nilai Penting (NP) adalah jumlah nilai kerapatan relatif jenis (RDi),

frekuensi relatif jenis (RFi) dan penututupan relatif jenis (RCi) :

NP = RDi + RFi + RCi………...(7)

Kelimpahan, Pertumbuhan dan Kemungkinan Tertangkap (Probability of Capture), Kesesuaian Habitat Kerang Pharella acutidens

Untuk menentukan kelimpahan kerang Pharella acutidens digunakan formula menurut Krebs (1989) :

Jumlah ind. suatu spesies

Kelimpahan (ind./m2) = ....(8)

Total area pengamatan

Untuk mengetahui pengaruh habitat khususnya kerapatan vegetasi mangrove dan total penutupan jenis mangrove terhadap kelimpahan, maka dilakukan uji regresi linear sederhana dengan persamaan:

(25)

Keterangan : Y = variabel terikat (dependent variable), a = konstanta regresi, bX = nilai turunan atau peningkatan variabel bebas (independent variable), dilakukannya kedua analisis regresi antara kerapatan dan luas penutupan jenis mangrove (total luas penampang batang atau basal area seluruh jenis mangrove) bertujuan untuk membandingkan varibel manakah yang paling berpengaruh dalam kelimpahan kerang Pharella acutidens yang mungkin bisa diaplikasikan dalam menganalisis hubungan serta pengaruh mangrove bagi bivalvia yang berada di ekosistem mangrove.

Analisis untuk mengestimasi pertumbuhan kerang Pharella acutidens dilakukan dengan metode Electronic Lengths Frequency Analysis (ELEFAN I), data yang digunakan ialah frekuensi panjang cangkang pada setiap kelas panjang (kohort) dengan interval 0.25 cm (interval terkecil dalam aplikasi FiSAT II), panjang cangkang infinity (L∞), koefisien pertumbuhan (K), dengan mengikuti model pertumbuhan Von Bertalanffy merujuk pada (Pauly & David 1981) dan (Sparre & Venema 1999):

L(t) = L∞ [1-exp (-K(t-t0))]……….(10) Keterangan : L(t) = menyatakan panjang (L) sebagai suatu fungsi umur ikan (t), L∞ = panjang infiniti/asimtotis, K = koefisien pertumbuhan atau parameter kulvatur, t = umur atau waktu (dalam bulan atau tahun), exp = fungsi eksponensial, t0 = parameter waktu,

Kondisi awal atau umur teoritis saat panjang nol (bulan atau tahun) menggunakan rumus empiris Pauly (1984):

log(-t0) =-0,3922-0,2752*log(L∞)-1,038*log(K)………....(11) Analisis untuk mengestimasi mortalitas, digunakan metode Length-Converted Catch Curves dalam aplikasi FiSAT II dengan formula:

ln(Ni/∆ti) = a + b · ti...(12)

keterangan : N = jumlah kelas ke-i, ∆t = waktu yang dibutuhkan oleh ikan untuk tumbuh dalam kelas panjang ke-i, t = umur relatif (t0 = 0) yang terhubung dengan nilai tengah kelas ke-i, b = slope yang merupakan estimasi nilai Z (mortalitas total).

Nilai M (koefisien mortalitas alami per tahun) dipakai rumus empiris pauly (1980):

log(M) = -0.0066-0.279*log(L∞)+0.6543*log(K)+0.4634*log(T)…(13) Menurut Sparre & Venema (1999), Pauly (1980) menyusun rumus Nilai M (koefisien mortalitas alami per tahun) terhadap K (per tahun), L∞ (cm) dan T (rataan suhu dalam derajat celcius), namun perlu diingat bahwa rumus tersebut

(26)

Pendugaan kemungkinan tertangkap (probability of capture) diasumsi menggunakan alat tangkap Trawl-type selection dengan alasan karena pengamatan kerang Pharella acutidens di lokasi penelitian dilakukan dengan menggali lubang-lubang yang dibentuk oleh kerang tersebut, semakin besar ukuran cangkang kerang akan semakin besar lubang yang terbentuk. Semakin besar lubang maka semakin mudah untuk ditemui atau terlihat, begitupun sebaliknya. Pendugaan kemungkinan tertangkap menggunakan formula :

ln((1/PL)-1) = S1 - S2 · L ……….(14) Keterangan : PL = kemungkinan tertangkap untuk panjang L, ln = Loge, logaritma dengan dasar e, S1, S2 adalah variabel dalam model logistik.

Menurut Kurnia et al. (2014) pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem dapat saja dengan membentuk kawasan konservasi atau suaka perikanan untuk daerah asuhan suatu sumber daya perikanan tersebut. Namun demikian, mengendalikan pemanfaatan ekosistem pesisir, baik daratan maupun perairan akan lebih baik dalam menjaga kualitas habitat, maka dari itu perlu adanya pengkajian kesesuaian habitat untuk kerang Pharella acutidens. Penentuan kesesuaian habitat untuk kerang Pharella acutidens dilakukan dengan pengamatan spasial, menggunakan pendekatan sistem informasi geografis (SIG) untuk mendapatkan bobot dan skor dalam menentukan kelas kesesuaian. Proses yang dilakukan melalui tahapan penyusunan basis data spasial dan teknik tumpang susun (overlay) dalam kawasan yang ditentukan. Kesesuaian habitat kerang Pharella acutidens secara spasial menggunakan beberapa parameter yaitu suhu, pH, salinitas, kerapatan vegetasi mangrove, penutupan vegetasi mangrove, kelimpahan kerang Pharella acutidens dan tekenan yang diberikan, dalam hal ini ialah kemungkinan tertangkap. skoring dan pembobotan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Skoring habitat kerang Pharella acutidens

Modifikasi dari: Ngangi (2012)

(27)

(∑ai.Xn) –(∑ai.Xn)min

I = ……… (15)

k

Keterangan : I = interval klas kesesuaian lahan ai = faktor pembobot

Xn = nilai tingkat kesesuaian lahan

k = jumlah kelas kesesuaian lahan yang diinginkan

berdasarkan rumus di atas yang mengacu pada Ngangi (2012), maka diperoleh interval kelas dan nilai kesesuaian habitat sebagai berikut:

100 – 167 = Kurang sesuai 168 – 234 = Sesuai

235 – 300 = Sangat Sesuai

Dimensi Sosial Pemanfaatan Sumberdaya Kerang Pharella acutidens

Kuesioner digunakan pada unit analisis individu yaitu masyarakat pesisir yang terlibat pada proses pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kerang Pharella acutidens untuk mendapatkan data mengenai karakteristik dirinya dan aktivitasnya terkait sumberdaya kerang tersebut. Kuesioner juga digunakan untuk mendapat data mengenai seberapa jauh akses dan kontrol masyarakat terhadap pengelolaan ekosistem mangrove serta data terkait harga dan pasar untuk sumberdaya kerang tersebut.

(28)

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Secara geografis Kabupaten Dompu terletak diantara 117º42’ - 118º30’ bujur

timur dan 5º54’ - 8º04’ lintang selatan, dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan berbatasan dengan Lautan Indonesia, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bima dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa. ketinggian kota berkisar 15-62 m di atas permukaan laut. Dearah Kabupaten Dompu beriklim tropis, dipengaruhi oleh 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau (BPS Kabupaten Dompu 2014). Kabupaten Dompu memiliki wilayah darat seluas 2.324,55 km2 dan menempati 11.54% dari 20.153,15 km2 luas Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Wilayah laut Kabupaten Dompu seluas 1.298,17 km2 atau 4.45% dari luas laut Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kabupaten Dompu memiliki 3 Teluk besar yaitu Teluk Saleh, Teluk Sanggar dan Teluk Cempi (Abubakar 2008). Seluruh kecamatan yang berada dalam lingkup Kabupaten Dompu berbatasan dengan laut. Teluk Cempi berada di bagian selatan dari Kabupaten Dompu yang mencakup 4 kecamatan yaitu Kecamatan Woja, Kecamatan Dompu, Kecamatan Pajo, Kecamatan Hu,u. Teluk Cempi merupakan teluk yang memiliki beragam karakteristik perairan antara lain perairan dengan arus dan ombak yang besar serta memiliki pasir putih, yaitu di perairan pantai Lakey, Kecamatan Hu’u, yang dijadikan obyek wisata pantai dan wisata selancar (surfing), ada juga perairan yang tidak berombak namun memiliki arus yang relatif kuat, yaitu perairan di sekitar pantai jambu, Kecamatan Pajo yang berhadapan langsung dengan pulau Felo Janga, tempat tersebut sering dijadikan lokasi wisata pemancingan karena lokasi tersebut termasuk dalam lokasi peralihan antara laut dan estuaria.

Estuaria dalam Teluk Cempi memiliki 3 muara sungai yaitu muara sungai Nanga Jambu, Nanga Mbawi dan Nanga Sara. Semua muara sungai tersebut memiliki vegatasi mangrove yang beragam yang dipengaruhi oleh karakteristik perairan, disajikan pada Tabel 4. Kondisi perairan di suatu estuaria sangatlah bervariasi dan fluktuatif karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terjadi di lautan dan juga daratan antara lain, pasang surut, debit air sungai, curah hujan serta aktivitas manusia yang berada di sepanjang aliran sungai. Faktor-faktor di atas dianggap mempengaruhi beberapa komponen karakteristik perairan dalam penelitian ini.

Arifin (2002), mencatat bahwa terdapat 8 spesies mangrove yang berada di pesisir Teluk Cempi, mangrove tersebut adalah Avicenia lanata, Avicenia marina, Ceriops decandra, Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris. Berdasarkan hasil penelitian Nastiti et al. (2015) telah terjadi penurunan luas kawasan ekosistem mangrove Teluk Cempi akibat alih guna lahan menjadi tambak, luas kawasan mangrove tahun 2000 seluas 2.388,8 Ha dan pada tahun 2011 menjadi 821,6 Ha. Desa Nowa dan Desa Mbawi memiliki kawasan mangrove yang lebih luas dibandingkan desa lainnya.

(29)

tambak udang dan bandeng sampai aktivitas perikanan tangkap diantaranya, bagan perahu dengan target buruan seperti tongkol, cakalang dan cumi-cumi, kapal dan perahu pancing yang target buruannya ialah ikan tuna dan cakalang, perahu bubu kepiting dan rajungan serta nelayan yang mencari kerang-kerangan. Dalam penelitian ini diketahui bahwa para pencari kerang berasal dari Desa Mbawi, Dusun Ama Maka, Dusun Amal Habe sebagian besar dari para pencari kerang menjual kerangnya pada pengumpul yang berada pada Dusun Amal Habe karena Dusun Amal Habe letaknya dekat dengan pasar yaitu pasar Amba Wodi yang merupakan sentral penjualan kerang-kerangan di Kabupaten Dompu.

Suhu perairan pada ekosistem mangrove Teluk Cempi selama penelitian ini dilakukan ialah rataan nilai suhu berkisar 28.5ºC-29.1ºC, sedangkan pada penelitian Arifin (2002) tercatat kisaran suhu antara 23ºC-28.5ºC yang berarti terjadi peningkatan suhu perairan di ekosistem mangrove Teluk Cempi dalam kurun waktu 13 tahun. Rataan suhu tertinggi ditemukan pada stasiun 2 sebesar 29.1ºC dan rataan suhu terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 28.5ºC, hanya berbeda sekitar 0.6ºC dengan stasiun 2, tingginya suhu di stasiun 2 dikarenakan adanya aktivitas manusia yang memanfaatkan mangrove yang mengakibatkan kurangnya vegetasi mangrove sehingga lokasi tersebut kurang terlindung dari sinar matahari sebagaimana menurut Welcomme (1979) in Komala (2012) faktor yang mempengaruhi suhu di perairan adalah derajat penyinaran, aliran air bawah tanah, komposisi substrat, kekeruhan, angin dan penutupan vegetasi di lokasi tersebut. Sebaran suhu perairan disajikan pada Gambar 6, suhu yang rendah diilustrasikan dengan warna hijau dan suhu yang tinggi digambarkan dengan warna merah.

Gambar 6. Sebaran suhu perairan di lokasi penelitian

(30)

dapat menyebabkan gangguan yang menjadi titik kritis bagi kelangsungan hidup simping, disamping itu suhu perairan dapat juga mempengaruhi penyebaran suatu organisme (Nybakken 1988). Kisaran suhu pada perairan ekosistem mangrove Teluk Cempi masih dapat ditolerir oleh organisme aquatik sesuai dengan baku mutu MNLH (2004).

Tabel 4. Karakteristik perairan ekosistem mangrove Teluk Cempi

Stasiun Suhu (̊C) pH

Keterangan: *Pengukuran dilakukan menggunakan alat ukur “API master test kit” yang mempunyai skala pengukuran Amonia (0 ppm, 0.25 ppm, 0.50 ppm, 1.0 ppm, 2.0 ppm, 4.0 ppm, 8.0 ppm), Nitrit (0 ppm, 0.25 ppm, 0.50 ppm, 1.0 ppm, 2.0 ppm, 5.0 ppm), Nitrat (0 ppm, 5.0 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 40 ppm, 80 ppm, 160 ppm).

Nilai rataan derajat pH yang didapatkan dalam penelitian ini berkisar 7.9-8.0 yang cenderung bersifat basa karena letak lokasi penelitian yang dekat dengan laut dan dikelilingi gunung kapur sehingga menjadikan pH menjadi cenderung bersifat basa. Sebaran nilai pH secara spasial pada lokasi penelitian tersaji pada Gambar 7 dengan ilustrasi warna hijau yang berarti rendah dan merah yang berarti tinggi. Pada penelitian Arifin (2002) nilai pH yang tercatat di ekosistem mangrove Teluk Cempi berkisar antara 7.2-8.1. Berdasarkan standar baku mutu yang telah ditetapkan, toleransi organisme terhadap pH air berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup KEP.No.51/MNLH/I/2004, berkisar antara 6.5-8.5 (MNLH, 2004). Sedangkan dalam penelitian Efriyeldi (2012) kerang Pharella acutidens ditemukan juga pada rentang pH 6.8-7.2 dan pada penelitian Natan (2008) di Teluk Ambon kerang yang sama ditemukan pada rentang pH 6.24-6.39. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kerang Pharella acutidens bisa hidup di rentang pH yang cenderung asam sampai pH yang cenderung basa antara 6.2-8.1.

(31)

salinitas tertinggi berada pada Stasiun 4 dengan 25.1‰ dan Stasiun 5 dengan 25.3‰ karena posisi stasiun tersebut langsung menghadap ke laut. Sebaran nilai salinitas pada lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar 8 dengan ilustasi warna hijau yang berarti rendah dan merah yang berrarti tinggi. Sedangkan pada penelitian Efriyeldi (2012) spesies yang sama ditemuka juga pada rentang salinitas antara 20.9-22.9‰ dengan demikian sejauh ini bisa dikatakan bahwa kerang Pharella acutidens bisa hidup pada rentang salinitas 20-28‰.

Gambar 7. Sebaran pH perairan di lokasi penelitian

(32)

Pengukuran amonia, nitrit dan nitrat pada stasiun penelitian dilakukan dengan menggunakan API master test kit yaitu alat test drop checker yang menggunakan beberapa cairan atau reagent untuk menentukan nilai kadar amonia yang ada pada suatu perairan, hal ini dilakukan karena tidak adanya fasilitas laboratorium yang bisa mendukung pengukuran amonia, nitrit, nitrat di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima adapun laboratorium yang bisa melakukan pengukuran kadar amonia, nitrit, nitrat terletak di Universitas Mataram, jika ditempuh dengan perjalanan darat memakan waktu 12-15 jam perjalan dan jika menggunakan transpotasi udara memakan waktu sekitar 1 jam penerbangan namun sangat tidak efisien dikarenakan pengambilan sampel dilakukan sebanyak 7 kali ulangan.

Amonia dalam perairan merupakan salah satu hasil dari proses penguraian bahan-bahan organik. Amonia biasanya timbul akibat kotoran organisme dan hasil aktivitas jasad renik dalam proses dekomposisi bahan organik yang kaya akan nitrogen (Qordi et al. 2004 in Suwoyo 2011). Kadar amonia terendah yang tercatat ialah pada Stasiun 1 dan 5 yang hanya 0-0.25 ppm dan pernah tercatat bahkan sampai pada 0 ppm sedangkan Stasiun 2, 4, 6 nilai kadar maksimal yang tercatat sebesar 0.25-0.50 ppm dan pada stasiun 3 kadar amonia cenderung konstan berada pada 0-0.25 ppm. Relatif tingginya kadar amonia di perairan Teluk Cempi disebabkan karena disekitar ekosistem terdapat tambak udang dan bandeng serta buangan domestik sepanjang aliran sungai mulai dari Kabupaten Bima sampai Kabupaten Dompu yang semuanya bermuara pada ekosistem mangrove Teluk Cempi. Pada Penelitian Abubakar (2008) dijelaskan bahwa di wilayah pesisir Kabupaten Dompu terdapat usaha budidaya tambak yang dikelompokkan dalam dua pola usaha, yaitu (1) pola usaha monokultur (udang) dan (2) pola usaha campuran (udang dan bandeng), memiliki luas tambak semi intensif 19 ha, tradisional 978 ha.

Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada perairan alami. Konsentrasi lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat melalui proses nitrifikasi, serta antara nitrat dan gas hidrogen melalui proses dinitrifikasi (Boyd 1982 in Suwoyo 2011). Kadar nitrit pada lokasi penelitian berkisar antara 0-0.25ppm dan cenderung sama disemua stasiun, mengacu pada Hilmi dan Rengi (2007) maka kadar nitrit pada ekosistem mangrove Teluk Cempi tergolong strata eutrofik yang artinya akan dapat memicu terjadinya eutrifikasi tingkat kesuburan tinggi, sangat memungkinkan terjadinya pertumbuhan algae yang massive (blooming algae).

(33)

tipe parairan mesotrofik hal ini didukung oleh pendapat Hilmi & Rengi (2007) apabila suatu perairan memiliki kandungan nitrat sebesar (1) 0-1 ppm masuk pada status oligotrofik, (2) 1-5 ppm termasuk dalam status mesotrofik, (3) 5-10 ppm termasuk kedalam strata eutrofik, walaupun kandungan nitrat relatif tinggi namun nitrat tidak bersifat toksik bagi kehidupan organisme akuatik.

Visibilitas atau kecerahan merupakan parameter yang sangat menentukan produktifitas fitoplankton di suatu perairan, perbedaaan kecerahan di perairan tergantung pada warna dan kekeruhan yang dipengaruhi oleh cuaca, waktu pengukuran dan padatan tersuspensi (Nybaken. 1988). Nilai kecerahan atau visibilitas perairan yang ditemukan di lokasi penelitian berkisar antara 20.6%-31.8% satuan kecerahan dijadikan dalam persen (%) agar nilai kecerahan yang umumnya diukur dalam centimeter (cm) dapat berlaku di semua kedalaman perairan dalam satu stasiun.

Kecepatan arus yang terukur pada lokasi penelitian berkisar antara 5.3 cm/detik - 20.5 cm/detik dengan nilai rataan berkisar 7.0 cm/detik - 18.0 cm/detik. Nilai rataan tertinggi berada pada Stasiun 5, diperkirakan tingginya kecepatan arus di Stasiun 5 karena kondisi fisik stasiun yang kontur muaranya relatif sempit dan dasar sungai yang curam sama seperti Stasiun 4, selain faktor kontur muara kecepatan arus di Stasiun 4 dan 5 dipengaruhi langsung oleh pasang surut karena letak stasiun yang berhadapan dengan laut. Sedangkan rataan kecepatan arus terendah berada pada Stasiun 2 dikarenakan stasiun tersebut terlindung dari pasang dan surut karena adanya delta atau pulau kecil di tengah muara (Stasiun 3). Menurut Wood (1987) in Komala (2012) berdasarkan kriteria kecepatan arus dikelompokkan menjadi perairan berarus deras (>100 cm/detik), sedang (10-100 cm/detik), lemah <10 cm/detik) dan sangat lemah (<5 cm/detik). Maka dapat dikatakan bahwa perairan estuari Teluk Cempi tergolong pada parairan yang berarus sedang.

Tekstur substrat merupakan salah satu faktor ekologi yang mempengaruhi kandungan bahan organik, distribusi benthos, morfologi dan tingkah laku. Pendistribusian sedimen biasanya sangat ditentukan oleh pasang surut, gelombang dan debit air (Nybakken 1988 in Komala 2012). Menurut Dall et al. (1990) in Arifin (2002) bahwa struktur dasar perairan sangat berperan terutama untuk mempertahankan diri dari serangan predator. Berdasarkan hasil analisis substrat pada mulut ketiga muara yang dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dengan nomor kode laboratorium M. 538 (Lampiran 1) yang tersaji pada Tabel 5, dapat diketahui bahwa ketiga muara sungai yang ada pada Teluk Cempi bersubstrat lempung berpasir.

(34)

(Gosling 2003 in Komala 2012). Namun di sisi lain sulit untuk ditentukan darimana asal logam berat Hg yang ditemukan pada Nanga Jambu, karena sepanjang Nanga Jambu sangat minim pemukiman dan hampir tidak adanya industri sepanjang sungai dan sekitar kawasan tersebut.

Tabel 5. Karakteristik substrat

*stasiun penelitian

Kandungan C-organik yang relatif tinggi menunjukkan jumlah bahan organik dalam juga relatif tanah tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada lokasi dengan tingkat ketebalan mangrovenya tinggi, cenderung memiliki bahan organik yang lebih besar dari pada lokasi yang tanpa terdapat mangrove. Dengan semakin melimpahnya bahan organik akan menunjukkan bahwa perairan tersebut termasuk perairan yang relatif subur karena bahan organik akan terdekomposisi dan selanjutnya menjadi makanan bagi mikroorganisme. Secara umum bahan organik dapat memelihara agregasi dan kelembaban tanah, penyedia energi bagi organisme tanah serta penyedia unsur hara bagi tanaman. Bahan organik memiliki fungsi produktif yang mendukung produksi biomassa tanaman dan fungsi protektif sebagai pemelihara kesuburan tanah dan stabilitas biotik tanah (Hardjowigeno 2003 in Setiawan 2013). Hasil yang didapatkan dari analisis kandungan C-organik pada setiap mulut muara terbilang relatif cukup tinggi hal ini dikarenakan aktivitas masyarakat yang cukup tinggi mengingat jalur sungai yang bermuara di Teluk Cempi mencakup 2 kabupaten yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu serta ditambah oleh adanya serasah mangrove yang belum terdekomposisi yang turut ambil bagian dalam meningkatkan kandungan bahan organik dan anorganik dalam perairan.

Struktur Konitamus Vegetasi Mangrove Teluk Cempi

Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. seringkali disebut pula sebagai hutan pantai, hutan pasang-surut, hutan payau, atau hutan bakau. Segala tumbuhan dalam hutan ini saling berinteraksi dengan lingkungannya, baik yang bersiat biotik maupun abiotik dan seluruh sistem yang saling bergantung ini membentuk menjadi suatu ekosistem mangrove. Mangrove tidak tumbuh di pantai yang terjal dan berombak keras dengan arus pasang-surut yang keras karena hal ini tak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur dan pasir, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan mangrove. Kondisinya yang berada di perbatasan antara darat dan laut maka kawasan mangrove ini merupakan suatu ekosistem yang rumit dan mempunyai keterkaitan, baik dengan ekosistem darat maupun dengan

(35)

ekosistem lepas pantai di luarnya. Mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi, seluruhnya tercatat terdapat 89 jenis tumbuhan, 35 jenis diantaranya berupa pohon dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 enis), epifit (29 jenis) dan tanaman parasit (2 jenis). Beberapa contoh mangrove yang dapat berupa pohon antara lain bakau (Rhizophora), api-api (Avicennia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops), buta-buta (Excoecaria) (Nontji 2005). Menurut Bengen (2003) karakteristik habitat hutan mangrove adalah :

a. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.

b. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.

c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.

d. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2 –22 ‰) hingga asin (mencapai 38 ‰).

Terdapat 6 stasiun penelitian (Gambar 3), dalam 1 stasiun terdapat 3 sub stasiun dimana sub stasiun tersebut berbentuk bujur sangkar 10m2 (Gambar 4). Dalam lokasi penelitian yang mencakup 6 stasiun peneliti mengidentifikasi terdapat 8 spesies mangrove yaitu, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, Avicennia marina, Avicennia lanata, Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa dan Ceriops decandra Karakteristik mangrove setiap stasiun disajikan pada Tabel 6 serta ilustrasi sebaran kerapatan dan penutupan vegetasi mangrove Teluk Cempi disajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11.

Gambar 9. Foto tampak depan di Stasiun 1 penelitian

(36)

spesies mangrove pada Stasiun 2 dimana 8 spesies mangrove ada dalam cakupan kawasan tersebut.

Tabel 6. Karakteristik mangrove pada stasiun penelitian

Pada Tabel 6 terlihat bahwa Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris ditemukan hampir di semua stasiun penelitian kecuali pada Stasiun 1 sama halnya dengan Rhizophora mucronara dan Ceriops decandra yang hanya tidak ditemukan pada Stasiun 3. Mangrove yang terdapat di Teluk Cempi mempunyai karakteristik yang bervariasi dalam setiap stasiun penelitian, hal ini erat kaitannya dengan adanya 3 muara sungai besar yaitu Nanga Sara, Nanga Mbawi dan Nanga Jambu yang mempengaruhi perbedaan kualitas perairan dan substrat pada Teluk Cempi serta adanya aktivitas penebangan dan pengambilan pohon mangrove yang digunakan sebagai bahan bagunan, kayu bakar dan bahan dasar untuk pembuatan arang, menurut hasil wawancara dengan masyarakat sekitar, jenis mangrove yang sering dimanfaatkan ialah dari jenis Rhizophora sp. dengan sebutan lokal wako.

Stasiun Jenis Mangrove

(37)

Gambar 10. Sebaran kerapatan vegetasi mangrove Teluk Cempi

Gambar 11. Sebaran penutupan vegetasi mangrove Teluk Cempi

(38)

Menurut hasil dari wawancara dengan para penjual kayu mangrove bahwa dalam satu minggu satu orang penjual kayu mangrove dapat menampung sekitar 150 – 200 batang mangrove setiap minggunya (Gambar 12), mereka menyatakan bahwa mereka sadar akan pentingnya ekosistem mangrove bagi potensi perikanan di Teluk Cempi namun karena desakan ekonomi dan kurangnya lapangan pekerjaan membuat mereka dengan terpaksa melakukan penebangan dan penjualan kayu mangrove.

Gambar 12. Aktivitas penjualan kayu mangrove di Desa Nowa

Kelimpahan, Pertumbuhan dan Kemungkinan Tertangkap (probability of capture) Kerang Pharella acutidens

Moluska (keong laut, cumi-cumi, dan kerang-kerangan) merupakan kelompok biota perairan laut Indonesia yang memiliki tingkat keragaman paling tinggi (Yulianda et al. 2009). Bivalvia atau hewan berkatup dua disebut Pelecypoda (Yunani: pelecys = kapak, podos = kaki) dikenal juga sebagai Lamellabranchia. Kelas ini kebanyakan hidup dengan membenamkan diri dalam lumpur maupun pasir, baik pada lingkungn perairan laut maupun tawar. Beberapa jenis bersifat melekat pada batu, kayu, mangrove dan benda padat lainnya (Brusca & Brusca 1990).

Menurut Barnes 1974 dan Suwignyo et al. 1998 kelas bivalvia atau pelecypoda memiliki karakteristik khas, yaitu tubuh pipih lateral dan seluruh tubuhnya tertutup dua keping cangkang (bivalvia). Kedua keping cangkang ditautkan oleh otot aduktor (aduktor posterior dan aduktor anterior), pada cangkang terdapat bagian tertua yang disebut umbo dan batas umbo adalah sampai artikulasi garis umur pertumbuhan pertama. Cangkang moluska terbentuk dari deposit mineral kalsium karbonat dan berfungsi melindungi dari perubahan lingkungan dan serangan predator (Beesley et al. 1998).

(39)

kehijauan, spesies lain P. javanica mempunyai cangkang agak tipis dan memanjang, empat kali lebarnya, periostrakum kecoklatan, sering gelap bagian tengah cangkang. Pharella acutidens dapat mencapai ukuran maksimum 8 cm dan pada umumnya berukuran 6 cm (Carpenter & Niem 1998), namun pada penelitian ini didapatkan panjang cangkang maksimal kerang Pharella acutidens sepanjang 9.3 cm.

Kerang Pharella acutidens merupakan bivalvia yang kebiasaan hidupnya berada di dalam substrat ekosistem mangrove dengan posisi cangkang yang vertikal, bagian Posterior berada pada bagian vertikal paling atas dan mengeluaran sifon disaat relung lubang tergenang air untuk mendapatkan makanan. Berdasarkan observasi di lapangan kedalaman posisi kerang Pharella acutidens dalam lubangnya berkaitan erat dengan keadaan pasang surut, saat air pasang kerang tersebut akan naik menuju permukaan substrat sedangkan pada saat surut kerang tersebut dapat membenamkan diri sampai kedalaman dimana air masing menggenangi lubang tempat hidupnya, pada penelitian ini kedalaman maksimal yang ditemukan ialah sekitar 70 cm dan kedalaman minimum sekitar 25 cm.

Pada posisi membenamkan diri dalam lumpur, cangkangnya terbuka pada ujung bagian posterior tempat sifon dikeluarkan. Sifon kerang akan menjulur keluar dari cangkang saat air pasang. Menurut Efriyeldi (2012), kerang P. acutidens ini termasuk kategori bergerombol di dalam hutan mangrove, dapat ditemukan pada kawasan hutan mangrove dalam jumlah yang bervariasi, baik pada bagian laut, tengah atau darat dari zona pasang surut. Hasil ini sama dengan yang didapatkan Natan (2008) pada kerang lumpur Anodontia edentula di ekosistem mangrove Teluk Ambon bagian dalam, yaitu mengelompok. Sebaran yang mengelompok juga didapatkan oleh Sarong (2010) pada kerang Polymesoda erosa yang hidup di hutan mangrove pesisir Aceh barat. P. acutidens hidup di dalam lubang, masing-masing lubang untuk satu individu, sedangkan kerang lumpur dalam satu lubang beberapa individu (Natan 2008).

Siklus hidup kerang (Gambar 13) dimulai oleh perkembangan awal larva terjadi dalam mantel betina, selanjutnya akan disempurnakan di lingkungan terbuka. Proses pembuahan dilakukan secara external fertilization yaitu pembuahan yang terjadi di luar tubuh induk, yaitu induk jantan dan betina tidak melakuan kontak secara lansung, melainkan menggunakan air sebagai media pembuahan. Telur yang lebih berat dari air akan jatuh ke substrat dimana pembelahan sel akan dilanjutkan. Larva muda disebut sebagai straight-hinge, D atau tahap prodissoconch I. Larva mempunyai 2 cangkang, sistem pencernaan yang lengkap. Silia yang panjang membantu untuk berenang dan untuk mempertahankan diri dalam kolom air (Helm & Bourne 2004). Menurut Dharma (1992) trocophore merupakan stadium larva setelah telur menetas pada sebagian besar siput dan kerang yang hidup di air dan memiliki kemampuan untuk berenang sendiri.

(40)

Gambar 13. Ilustrasi siklus hidup bivalvia (Helm & Bourne 2004)

Sistematika kerang Pharella acutidens menurut Carpenter & Niem (1998) pada buku FAO; The Living Marine Resource of The Western Central Pacific adalah sebagai berikut:

Phylum : Molusca Klas : Bivalvia

Sub kelas : Heterodonta Ordo : Veneroida

Superfamili : Solenacea

Famili : Solenidae (Cultellidae) Genus : Pharella

Spesies : Pharella acutidens (Broderip & Sowerby 1828). Waktu yang tepat dilakukan pengambilan sampel kerang pharella acutidens ialah saat air surut sampai substrat di bawah vegetasi mangrove terlihat hal ini dilakukan agar lubang kerang dapat dilihat dengan jelas (Gambar 14).

Gambar 14. Pengamatan kerang Pharella acutidens pada Stasiun 4 (Kiri) dan pada Stasiun 2 (Kanan).

(41)

dalam substrat mangrove dan membentuk lubang, untuk membedakan lubang Pharella acutidens dan Siliqua winteriana dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Ilustrasi A. Lubangdan Pharella acutidens (Kiri) B. Lubang dan Siliqua winteriana (Kanan)

Perbedaan bentuk lubang disebabkan oleh bentuk cangkang kedua kerang tersebut, Pharella acutidens bentuk cangkangnya cenderung simetris jika dilihat dari sisi penampang cangkang dan sisi posterior serta bentuk tubuh yang lebih tipis sedangkan Siliqua winterina memiliki cangkang yang tidak simetris, tampak pada bagian anterior bentuk cangkang melebar dan volume cangkang lebih besar. Keunikan bentuk masing-masing cangkang inilah yang membentuk lubang tempat spesies ini hidup.

Berdasarkan hasil penelitian pada 6 stasiun dengan melakukan sampling sebanyak sekali dalam 1 bulan berturut-turut selama 7 bulan. hasil yang didapatkan bahwa di semua stasiun penelitian terdapat kerang Pharella acutidens namun dalam fluktuasi populasi yang berbeda-beda yang tersaji dalam Gambar 16. Stasiun 1 ialah stasiun yang memiliki nilai kepadatan Pharella acutidens terbesar sebanyak 15 ind/100m2, populasi Pharella acutidens cenderung bertambah setiap bulannya namun pada ulangan ke 5 terjadi sedikit penurunan populasi, setelah ditelusuri data serta dikaitkan dengan wawancara responden didapatkan keterangan bahwa terjadi aktivitas ekploitasi pada plot A stasiun 1 yang letaknya di pinggir sungai dan tidak berlanjut ke dalam plot B maupun C dikarenakan vegetasi mangrove yang sangat padat dan didominasi oleh vegetasi Rhizophora sp. yang memiliki konstruksi akar tongkat (Gambar 17), sehingga menyulitkan nelayan untuk melakukan pengambilan kerang.

(42)

Stasiun 6 dengan kepadatan kerang Pharella acutidens sebanyak 12 ind/100m2 namun menunjukan kepadatan populasi yang cenderung bertambah. Hal ini diduga karena dominasi vegetasi Rhizophora sp. pada Stasiun 1 dan Stasiun 6.

Gambar 16. Fluktuasi kelimpahan Pharella acutidens pada setiap stasiun

Gambar 17. Akar vegetasi Rhizophora sp. (kiri) dan akar vegetasi Avicennia sp dan Sonneratia sp. (kanan)

Berdasarkan hasil dari pengamatan kerang Pharella acutidens pada 6 stasiun selama tujuh bulan, diperoleh kelimpahan rata-rata setiap stasiun yang tersaji pada Gambar 18. Terlihat bahwa kelimpahan rata-rata tertinggi ada pada Stasiun 1 dan kelimpahan yang terendah ada pada Stasiun 2. Perbedaan kelimpahan kerang Pharella acutidens tiap stasiunnya diduga terjadi karena perbedaan kondisi

(43)

habitat, yaitu kerapatan vegetasi, penutupan vegetasi, jenis mangrove, parameter perairan dan aktivitas pemanfaatan.

Gambar 18. Kelimpahan kerang Pharella acutidens setiap stasiun pengamatan Dengan adanya dugaan bahwa kondisi habitat mempengaruhi kelimpahan kerang Pharella accutidens, selanjutnya dilakukan uji regresi linear sederhana dengan variabel independen kerapatan vegetasi mangrove dan total penutupan jenis mangrove. Setelah dilakukan analisis regresi untuk melihat pengaruh kerapatan terhadap kelimpahan, didapatkan nilai signifikansi lebih kecil dari nilai probabilitas, yaitu sig-F 0.01<0.05, pada pengujian regresi total penutupan vegetasi terhadap kelimpahan didapatkan nilai sig-F 0.00<0.05 (Lampiran 3) dengan demikian didapatkan hasil bahwa kerapatan dan total penutupan jenis mangrove mempengaruhi secara signifikan kelimpahan kerang Pharella acutidens, adapun grafik dan persamaan regresi tiap analisis tersaji pada Gambar 19.

Gambar 19. Grafik pengaruh kerapatan mangrove terhadap kerang P.acutidens (Kiri) dan grafik pengaruh penutupan jenis mangrove terhadap kerang P.

acutidens (Kanan).

Berdasarkan hasil kedua persamaan regresi (Gambar 19), menunjukan bahwa setiap ada penambahan satuan kerapatan mangrove dan penutupan jenis mangrove akan meningkatkan kelimpahan kerang Pharella acutidens karena tanda

1

(44)

+ merupakan hubungan searah positif, jika terjadi peningkatan nilai variabel independen (x) maka akan meningkatkan nilai variabel dependen (y). Hubungan kerapatan mangrove dengan kelimpahan kerang Pharella acutidens ditunjukan oleh nilai R2 = 0.8371, yang berarti bahwa kelimpahan kerang Pharella acutidens 84% dipengaruhi oleh kerapatan mangrove sedangkan nilai hubungan antara total penutupan jenis mangrove dengan kelimpahan kerang Pharella acutidens lebih besar yaitu R2 = 0.95, nilai tersebut menunjukan bahwa peningkatan kelimpahan kerang Pharella acutidens dipengaruhi oleh variabel penutupan sebesar 95%.

Pada penelitian Elisabet et al. (2009) terhadap bivalvia yang mendiami ekosistem mangrove sungai bakau, Riau ditemukan hubungan yang serupa bahwa kelimpahan bivalvia dipengaruhi oleh kerapatan mangrove, dimana jika terjadi peningkatan nilai kerapatan mangrove maka akan terjadi peningkatan nilai kelimpahan bivalvia. Hasan et al. (2014) menyatakan tingginya kepadatan populasi kerang lokan kemungkinan disebabkan oleh vegetasi mangrove yang relatif padat, sehingga banyak mengandung serasah dari tumbuhan mangrove dan akan terdeposit pada dasar perairan dan terakumulasi terus-menerus dan akan menjadi sedimen yang kaya akan unsur hara. Irma & Sofyatuddin (2012) mengatakan bahwa kepadatan gastropoda dan bivalvia dalam estuari umunya dipengaruhi oleh kondisi habitat antara lain kondisi vegetasi dan parameter perairan. Menurut Wolanski et al. (1992) jika terjadi perubahan struktur vegetasi pada ekosistem mangrove akan berdampak langsung pada fauna yang ada didalamnya contohnya perlindungan dan ketersediaan makanan (Bertness & Hacker 1994, Alongi et al. 2000, Levin & Talley 2002) serta perubahan penutupan canopy akan berdampak pada kondisi substrat dibawahnya (Clarke & Kerrigan 2000).

Data yang diperoleh untuk analisis pertumbuhan kerang Pharella acutidens pada penelitian ini ialah data panjang cangkang kerang yang digolongkan kedalam frekuensi panjang cangkang dengan besar kelas 0.25 cm. Pada pengamatan selama 7 bulan dalam 6 stasiun penelitian, didapatkan panjang minimum yang terdata ialah 4.90 cm, diduga bahwa pada ukuran panjang minimum tersebut, lubang kerang Pharella acutidens bisa dilihat dengan jelas, namun perlu penelitian-penelitian lebih mendalam terkait siklus hidup kerang Pharella acutidens yang memiliki kisaran panjang dibawah dari panjang kerang minimum yang ditemukan pada penelitian ini. Sedangkan untuk panjang maksimal didapatkan panjang kerang Pharella acutidens sepanjang 9.3 cm. Setelah dilakukan analisis pertumbuhan menggunakan program FiSAT II dengan metode Electronic Lengths Frequency Analysis (ELEFAN I) di dapatkan hasil yang disajikan pada Tabel 7 dan Lampiran 4.

Tabel 7. Hasil analisis pertumbuhan kerang Pharella acutidens

Gambar

Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Gambar 2. Kerangka pemikiran kondisi sumberdaya kerang Pharella acutidens
Gambar 3. Lokasi stasiun penelitian
Gambar 4. Ilustrasi transek
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam peresmian SIBI yang menjadi bahasa isyarat yang diakui oleh pemerintah tidak melibatkan para penyandang tunarungu, hal tersebut yang mengakibatkan konflik atas kebijakan

Walaupun kajian lepas di atas ini memberikan gambaran bagi keadaan tekanan, penyesuaian diri serta kerelaan mendapatkan perkhidmatan kaunseling dalam kalangan pelajar universiti

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Independen Sample Test yang telah dilakukan menunjukkan bahwa varian dan rata-rata jumlah simpanan anggota laki-laki

a) Melaksanakan dasar Internship yang diputuskan oleh IPG KPM. b) Menguruskan surat pelantikan mentor dengan kerjasama Jabatan Pendidikan Negeri. c) Merancang

Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan penuh tanggung

Orang, poses, atau sistem lain yang berinteraksi dengan sistem informasi yang akan dibuat di luar sistem informasi yang akan dibuat itu sendiri, jadi walaupun simbol dari

Sebagai proses terakhir di hari kedua pertemuan, peserta yang telah dibagi menjadi beberapa kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil evaluasi kegiatan yang

(1) Pembangunan dan pengadaan fasilitas peralatan pengawasan muatan dengan menggunakan alat penimbangan yang dipasang secara tetap sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (3) huruf