• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Jejak Karbon Di Kawasan Wisata Pesisir Dan Laut (Studi Kasus Kawasan Wisata Pangandaran, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Jejak Karbon Di Kawasan Wisata Pesisir Dan Laut (Studi Kasus Kawasan Wisata Pangandaran, Jawa Barat)"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS JEJAK KARBON

DI KAWASAN WISATA PESISIR DAN LAUT

(STUDI KASUS KAWASAN WISATA PANGANDARAN, JAWA BARAT)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Jejak Karbon di Kawasan Wisata Pesisir dan Laut (Studi Kasus Kawasan Wisata Pangandaran, Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

RONI SEWIKO. Analisis Jejak Karbon di Kawasan Wisata Pesisir dan Laut (Studi Kasus Kawasan Wisata Pangandaran, Jawa Barat). Dibimbing oleh HEFNI EFFENDIE dan ETTY RIANI.

Satu dekade terakhir, analisis jejak karbon menjadi salah satu pendekatan yang paling banyak digunakan dan diterapkan pada beragam skala sebagai salah satu upaya mitigasi menyikapi perubahan iklim. Pada penelitian ini, analisis jejak karbon diaplikasikan pada kawasan wisata pesisir dan laut yang mewakili aktifitas industri (wisata) yang berpotensi besar mengemisikan karbon. Dimana pada saat yang sama, sumberdaya khas pesisir ternyata memiliki potensi yang sangat tinggi sebagai penyerap karbon.

Potensi emisi dianalisis dengan pendekatan Environmental Input Output Analysis (EIOA). Sementara itu, potensi serapan karbon dianalisa dari dinamika luasan ekosistem mangrove melalui pendekatan metode gain and loss sesuai panduan IPCC 2006. Keduanya kemudian diproyeksikan secara temporal melalui simulasi model dinamik untuk mengaplikasikan skenario kebijakan pengelolaan wisata rendah karbon yang paling baik.

Secara umum berdasarkan tren laju pengurangan dan penambahan luasan mangrove saat ini, potensi emisi karbon di kawasan wisata Pangandaran masih jauh lebih besar dibandingkan potensi serapan karbon oleh mangrove. Rata-rata laju emisi berdasarkan hasil proyeksi adalah 3 × 10-2/tahun sedangkan rata-rata laju sekuestrasi adalah sebesar 1.95 × 10-4/tahun dengan rata-rata agregat karbon termisi adalah sebesar 198 803 tonCO2e/tahun. Berdasarkan hasil simulasi, meningkatkan

pengelolaan ekosistem mangrove sebesar 203% dari laju pengelolaan saat ini dinilai sebagai upaya paling baik untuk mewujudkan wisata rendah karbon.

(5)

SUMMARY

RONI SEWIKO. Carbon Footprint Analysis on Coastal and Marine Tourism Area (Case Study: Pangandaran Tourism Regions, West java). Supervised by HEFNI EFFENDIE and ETTY RIANI.

In recent decade, the carbon footprint analysis became one of the most used approaches applied at various scales as one of climate change mitigation apllication. In this study, carbon footprint analysis was applied to the coastal and marine tourism area as a representation of industrial activity which potentially emit carbon while at the same time its coastal ecosystems potentially play an mportant role as carbon sinks.

Emissions potentials are calculated by gathering information about preferences of transportation mode, the averages of mileages and the type of fuel used through in depth interview with respondents then analyzed through environmental input output analysis approach. While the potential of carbon sequestration is analyzed through the gain and loss method. The results of both calculations then temporally projected by system dynamic modelling to determine the capacity of mangrove ecosystems in tolerating the carbon emissions potential of tourism in Pangandaran.

The simulation results show that the emission potention in Pangandaran coastal tourism area are higher than mangrove carbon sequestration capacity. The emission rate based on simulation result is 3 × 10-2/year whereas the sequestration rate is 1.95 × 10-4/year with average carbon aggregate up to 198 803 tonCO2e/year.

Based on simulation rate, increasing mangrove ecosystem rehabilitation up to 203% from bussiness as usual condition is best scenario to implement the low carbon tourism management.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

ANALISIS JEJAK KARBON

DI KAWASAN WISATA PESISIR DAN LAUT

(STUDI KASUS KAWASAN WISATA PANGANDARAN, JAWA BARAT)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Apalah arti kesempurnan ilmu, bila tidak diamalkan untuk kemanusiaan. Atas dasar itulah penulis seopimal mungkin memilih topik penelitian sosioekologi pesisir ini, dengan judul Analisis Jejak Karbon di Kawasan Wisata Pesisir dan Laut (Studi Kasus Kawasan Wisata Pangandaran, Jawa Barat). Topik yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, di kawasan pesisir yang sangat rawan terhadap dampak global perubahan iklim yang hingga kini terus menjadi diskusi, serta dengan metode yang terbilang baru.

Sebab itulah alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang atas segala karunia-Nya penyusunan karya ilmiah ini akhirnya berhasil diselesaikan. Penghargaan dan terima kasih tertinggi pada Ibu dan Bapak yang dukungannya tak pernah surut. Pula pada keluarga kecil penulis, istri dan putra tersayang yang selalu jadi penyemangat.

Terima kasih juga khusus penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir. Hefni Effendie, M. Phil dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku pembimbing yang telah membentuk dan mengarahkan karya ilmiah ini hingga menjadi karya yang baik. Di samping itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer yang telah bersedia menguji, mengevaluasi, memberi sumbang saran konstruktif dari dasar penelitian sehingga karya ilmiah ini menjadi lebih paripurna. Terakhir, semoga apa yang penulis susun ini menjadi dokumen yang implementatif di masa datang dan memberi manfaat sebanyak-banyaknya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Perubahan Iklim 3

Emisi dan Jejak Karbon 4

Dampak Sektor Pariwisata terhadap Perubahan Iklim 6

Metodologi Sistem Dinamik 8

Kawasan Wisata Kabupaten Pangandaran 9

3 METODE 10

Lokasi dan Waktu 11

Alat dan Bahan 12

Prosedur Analisis Data 13

Inventarisasi Data Wisatawan 13

Inventarisasi Data Sarana dan Prasarana Wisata 14

Inventarisasi Data Ekosistem Mangrove 14

Analisis Dinamika Temporal Karbon di Lokasi Wisata 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Hasil 21

Validasi Model 21

Gambaran Umum Kepariwisataan di Pangandaran 22 Penggunaan Listrik oleh Wisatawan Pangandaran 22

Buangan Sampah 23

Transportasi Wisatawan Pangandaran 23

Potensi Emisi Sektor Akomodasi 24

Luasan Aktual Ekosistem Mangrove Pangandaran 25 Perubahan Ekosistem Mangrove di Pangandaran 27

Pembahasan 28

Potensi Emisi dari Penggunan Listrik oleh Wisatawan 28 Potensi Emisi dari Buangan Sampah oleh Wisatawan Pangandaran 30 Potensi Emisi dari Sektor Transportasi Pariwisata Pangandaran 31

(12)

Dinamika Temporal Emisi dan Sekuestrasi Karbon di Kawasan Wisata

Pesisir dan Laut Kabupaten Pangandaran 39

Opsi Pengelolaan 45

Peluang Pengurangan Emisi 49

5 SIMPULAN DAN SARAN 51

Simpulan 51

Saran 51

DAFTAR PUSTAKA 52

LAMPIRAN 56

(13)

DAFTAR TABEL

1 Jenis-jenis gas rumah kaca 4

2 Sumber emisi di sektor wisata 6

3 Tingkat kunjungan wisatawan ke Pangandaran 10

4 Kapasitas penyerapan karbon oleh sumberdaya karbon biru 13 5 Hubungan jumlah kendaraan dan emisi yang dihasilkan 21 6 Luas dan sebaran mangrove di Kabupaten Pangandaran 25 7 Penilaian kerusakan mangrove di Kabupaten Pangandaran 32 8 Peruntukan listrik di tempat-tempat penginapan di Vietnam 36 9 Sasaran dan arahan rehabilitasi ekosistem mangrove di luar kawasan

hutan prioritas I Kabupaten Pangandaran 38

10 Alternatif upaya mengelola jejak karbon di Pangandaran 45 11 Skenario 2 upaya peningkatan potensi sekuestrasi karbon oleh

ekosistem mangrove 46

DAFTAR GAMBAR

1 Kontribusi emisi nasional tiap sektor tahun 2010 4

2 Kerangka pendekatan masalah 11

3 Peta lokasi penelitian 12

4 Causal loop dinamika jejak karbon di Kawasan Wisata Pangandaran 16 5 Submodel kunjungan wisatawan dan potensi emisi dari aktifitas

wisatawan 17

6 Submodel potensi emisi sektor transportasi 18

7 Submodel potensi emisi sektor akomodasi 19

8 Submodel potensi sekuestrasi ekosistem mangrove 19 9 Model emisi kepariwisataan pesisir Pangandaran 20 10 Perbandingan data jumlah wisatawan aktual dengan hasil simulasi 21 11 Grafik kunjungan wisatawan ke Pangandaran 2009-2014 22 12 Persentase rentang usia wisatawan Pangandaran 23

13 Persentase penginapan di Pangandaran 25

14 Peta luasan mangrove aktual (tahun 2015) Kabupaten Pangandaran 26 15 Potensi emisi listrik dari aktfitas wisatawan Pangandaran 29 16 Potensi emisi dari buangan sampah oleh wisatawan Pangandaran 30 17 Tren jumlah kendaraan yang masuk ke kawasan wisata Pangandaran 33 18 Hubungan antara jarak tempuh pesawat terbang dengan emisi CO2 39

19 Potensi emisi sektor transportasi (darat) 34

20 Potensi emisi karbon dari jasa akomodasi 35

21 Penggunaan sumber energi oleh pelaku bisnis akomodasi 47

22 Potensi emisi sektor akomodasi 37

23 Perilaku model BAU pada potensi emisi dan sekuestrasi 39 24 Implikasi skenario 2 pada potensi emisi klaster transportasi 41 25 Implikasi skenario 2 terhadap emisi sampah dan listrik dari aktifitas

(14)

26 Implikasi skenario 4 terhadap luasan mangrove dan potensi sekuestrasi

karbon mangrove 44

27 Dinamika emisi dan sekuestrasi karbon di Pangandaran 45

28 Implikasi opsi 1 terhadap perilaku model 47

29 Implikasi opsi 2 terhadap perilaku model 48

30 Implikasi opsi 3 terhadap perilaku model 49

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data hasil implikasi skenario pertama (bussiness as usual) 56 2 Data hasil implikasi skenario kedua (limitasi jumlah kendaraan) 57 3 Data hasil implikasi skenario ketiga (mengurangi beban sampah dan

pemakaian listrik) 58

4 Data hasil implikasi opsi pertama upaya netralisasi jejak karbon wisata

pesisir Pangandaran 59

5 Data hasil implikasi opsi kedua upaya netralisasi jejak karbon wisata

pesisir Pangandaran 60

6 Data hasil implikasi opsi ketiga upaya netralisasi jejak karbon wisata

pesisir Pangandaran 61

7 Formula yang digunakan dalam model dinamik 62

(15)

1

PENDAHULUAN

Perkembangan pembangunan berkelanjutan dua dekade ini berhadapan dengan fakta mengenai perubahan iklim. Keberlanjutan pelaksanaan pembangunan ini tentu harus dilanjutkan dengan melakukan penyesuaian kebijakan yang mendukung upaya-upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim akibat terus meningkatnya emisi karbon (Gössling 2010). Emisi karbon akan memperparah perubahan iklim baik dalam jangka panjang maupun pendek dan dipastikan tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible) (Solomon et al. 2009). Oleh karena itu dalam penyusunan rencana aksi adaptasi diperlukan landasan ilmiah yang kuat agar upaya adaptasi yang dilakukan efektif dan menjamin keberlanjutan pembangunan (BAPPENAS 2013).

Salah satu upaya mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan menekan emisi karbon. Implementasi yang saat ini banyak dilakukan untuk jangka panjang dan dalam skala besar ditumpukan pada penghitungan jejak karbon yang melibatkan baik penghitungan emisi langsung maupun tidak langsung. Praktik ini sangat bersesuaian dengan Copenhagen Accord yang dicetuskan dalam pertemuan para pihak (Conference of Parties/CoP) di Kopenhagen, November 2009 (Nurtjahjawilasa 2013).

Selama ini beberapa negara telah melakukan upaya netralisasi karbon dengan menghitung jejak karbon dari produk, jasa maupun aktifitas dalam skala individu, rumah tangga maupun industri. Upaya mitigasi juga mulai banyak difokuskan pada pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan. Sebab optimasi peran lautan (termasuk pesisir) belum terlihat secara signifikan (Nellemann et al. 2009) jika dibandingkan dengan fokus pada isu deforestasi dan degradasi melalui skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) (Masripatin et al. 2010). Padahal sumberdaya pesisir dan lautan memiliki kapasitas serap karbon yang lebih tinggi dibandingkan ekosistem terestrial. Bahkan mantan Presiden Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono dengan tegas menekankan pentingnya manajemen kawasan pesisir untuk menopang eksistensi sumberdaya karbon biru, yaitu mangrove, padang lamun dan rawa payau. Pernyataan tersebut disampaikan pada konvensi Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mengenai perubahan iklim Selasa, 23 November 2014.

Latar Belakang

(16)

2 kabupaten baru di selatan Jawa Barat yang hendak dikembangkan sebagai kabupaten pariwisata. Mewujudkan konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan yang rendah karbon tentu menjadi tantangan tersendiri terlebih Pangandaran merupakan destinasi wisata dengan tingkat kunjungan tertinggi di Jawa Barat. Mitigasi jangka panjang menjadi cukup krusial untuk dipraktekkan. Salah satunya yaitu dengan menganalisa jejak karbon di kawasan wisata Pangandaran, dan membayar jejak karbon yang diketahui melalui mekanisme pengelolaan sumberdaya karbon biru yang efektif.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang dapat diangkat pada topik penelitian mengenai jejak karbon pada kawasan wisata pesisir dan laut ini, yaitu :

a. Bagaimana potensi emisi karbon yang bersumber dari aktifitas wisata di lokasi penelitian?

b. Bagaimana potensi daya serap karbon oleh ekosistem karbon biru di lokasi penelitian?

c. Bagaimana dinamika temporal antara karbon yang diemisikan dan diserap di lokasi penelitian?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar dan permasalahan yang diuraikan diatas, maka rencana penelitian ini memiliki tujuan untuk :

a. Mengetahui potensi emisi karbon dari aktifitas wisata dilokasi kajian. b. Mengetahu potensi sekuestrasi (penyerapan) karbon dari sumberdaya

karbon biru di lokasi kajian.

c. Memprediksi dinamika temporal antara potensi karbon yang diemisikan dari industri pariwisata dan potensi karbon yang diserap oleh ekosistem karbon biru (dalam penelitian ini dipilih mangrove) di lokasi penelitian. d. Menentukan skenario kebijakan yang paling optimum untuk menekan laju

emisi karbon dari sektor kepariwisataan di Pangandaran.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak, diantaranya yaitu :

a. Akademisi

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai dinamika karbon di wilayah pesisir khusus ditinjau dari sektor wisata/ekowisata. Juga menjadi penambah khasanah bagi penerapan model dinamik dalam menganalisa manajemen kawasan wisata pesisir dan laut ditinjau dari dinamika karbon (perubahan iklim).

(17)

3 Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi upaya mitigasi dan adaptasi pengelolaan kawasan wisata pesisir dalam menghadapi perubahan ikim. Juga menjadi salah satu rujukan bagi pemerintah daerah khususnya dalam mempertimbangkan rencana pengelolaan kawasan wisata pesisir dan laut (rencana zonasi) ke depan.

c. Masyarakat setempat

Hasil penelitian ini diharapkan mampu membuka wawasan masyarakat setempat mengenai dampak dari perubahan iklim serta membangun kesadaran masyarakat untuk mau menjaga lingkungan tempat tinggalnya. Khususnya kesadaran untuk proaktif menjaga vegetasi pesisir yaitu mangrove dengan menanam dan mencegah segala bentuk tindakan yang mengakibatkan kerusakan mangrove.

Ruang Lingkup Penelitian

Potensi emisi karbon yang dihitung dalam penelitian ini merupakan emisi langsung dan tidak langsung dari empat sektor utama sumber emisi (WEF 2009) yaitu transportasi darat, transportasi udara, akomodasi dan aktifitas wisatawan (sampah dan penggunaan listrik). Sedangkan sumberdaya karbon biru yang diteliti untuk mengetahui potensi penyerapan karbon adalah ekosistem mangrove.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Perubahan iklim

Terlepas dari debat perihal apakah perubahan iklim merupakan fenomena natural atau antropogenik, merumuskan upaya nyata dan masif untuk menyikapinya merupakan hal yang lebih bijak. Berbagai upaya dan strategi baik jangka pendek, menengah maupun antisipasi jangka panjang mulai dilakukan di banyak negara. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), lembaga di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui World Meteorological organization (WMo) dan United Nation Environmental Programme (UNEP) menyebutkan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh berbagai hal yang satu dan lainnya saling terkait (Scott et al. 2007). Sektor energi merupakan penghasil emisi karbon yang menggelontorkan 12 628 Mt CO2e ke atmosfer. Selain itu deforestasi dan degradasi hutan dituding

sebagai penyumbang emisi karbon terbesar kedua yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim global. Negara-negara seperti Brazil dianggap menyumbang emisi yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 2 563 dan 1 372 MtCO2e. Peringkat

ketiga penghasil emisi adalah sektor pertanian, dengan total emisi sebesar 2 912 MtCO2e yang didominasi negara Cina, diikuti Brasil dan India. Emisi karbon yang

berasal dari sampah diperkirakan sebesar 635 MtCO2e yang sebagian besar berasal

dari Amerika Serikat, Cina dan India. Total emisi karbon yang dihasilkan empat sektor tersebut mencapai kurang lebih 20 645 MtCO2e (IPCC 2000).

(18)

4 di dunia, jauh dibawah negara-negara maju yang menggelontorkan karbon ke atmosfer dari aktivitas industrinya. Besar kecilnya jumlah emisi di suatu negara tentu juga dipengaruhi luas wilayah dan jumlah penduduk di negara tersebut. Dengan demikian, apabila emisi yang diperhitungkan adalah jumlah emisi per satuan luas wilayah atau per kapita penduduk tentu Indonesia bukan termasuk negara penghasil emisi yang besar. Agregat emisi karbon dari setiap sector penyumbang emisi terbesar di Indonesia dapat dilihat seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Kontribusi Emisi Nasional tiap Sektor tahun 2010 (Kementerian Lingkungan Hidup, 2010)

Emisi dan jejak karbon (carbon footprint)

Karbon merupakan unsur dengan derivat senyawa yang cukup banyak. Hampir semua derivat karbon terkandung pada semua benda di bumi, sehingga daur setiap benda mulai dari bahan mentah hingga menjadi sampah tak luput dari rangkaian panjang siklus karbon. Sehingga setiap energi yang terbuang dari setiap proses akan melepaskan gas buang (emisi). Emisi gas rumah kaca (GRK) yang menjadi sebab dari perubahan iklim pun adalah emisi dengan senyawa utama berunsur karbon di dalamnya seperti terangkum pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis-jenis gas rumah kaca

Jenis GRK Sumber Utama

Potensi Pemanasan

Global

Carbon dioxide CO2 Pembakaran bahan bakar fosil 1

Methane CH4 Dekomposisi sampah, sistem gas alam,

fermentasi 21

Nitrous oxide N2O Tanah pertanian, pembakaran bahan bakar fosil

dalam sumber bergerak (transportasi) 296

Hydroflurocarbons HFCs

Perflurocarbons PFCs Transmisi kelistrikan dan distribusi listrik 6500 – 9 200

Sulfur hexafluoride SF6 Semikonduktor, produk sampingan dari

aluminium 22200

Kontribusi Emisi Nasional tiap Sektor Tahun 2010

(19)

5 Gas-gas yang teremisikan melalui beragam proses antropogenik akan bertahan di atmosfer dalam jangka waktu yang cukup panjang. Contohnya CO2

mampu bertahan rata-rata 70 tahun di atmosfer dan CH4 mampu bertahan sampai

12 tahun di atmosfer. Sebab itulah istilah jejak karbon kemudian diangkat, sebagai peringatan bahwa aktifitas manusia yang terlalu berlebihan dalam menggunakan/membuang emitter (penyebab emisi) akan berdampak panjang bagi generasi setelahnya. Sehingga secara definitif jejak karbon diartikan sebagai jumlah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan oleh pribadi atau kelompok dalam melakukan kegiatannya per periode waktu tertentu. Satuan jejak karbon adalah ton-setara-CO2 (tCO2e) atau kg-setara-CO2 (kgCO2e).

Jejak karbon merupakan bagian dari studi jejak ekologis (ecological footprint/EF) yang merupakan salah satu indikator kualitas lingkungan yang memilki cukup banyak pendekatan berbeda di setiap studi sehingga membutuhkan metode yang diformulasikan dan disepakati untuk menjadi standar (Munday, Turner dan Jones 2013; Patterson, Niccolucci dan Bastianoni 2007). Jejak karbon digunakan dalam analisis emisi karbon secara luas baik pada produk, individu/rumah tangga, lembaga/institusi, kota bahkan skala negara (Lin et al. 2013). Model penghitungan jejak karbon pertama kali dikembangkan oleh Carbon-Trust (2007) untuk menghitung jejak karbon sebagai informasi tambahan dari sebuah produk untuk diketahui konsumen (ecolabelling). Dalam rangka mempermudah kalkulasi jejak karbon, beberapa website juga telah menyediakan kalkulator karbon untuk skala individu dan rumah tangga (Conservation international 20012).

Terdapat tiga pendekatan dasar yang biasanya dilakukan dalam studi mengenai jejak karbon (Wiedmann dan Minx 2007). Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Pertama adalah metode bottom-up yang mengikuti daur/siklus produk/kegiatan (Process Analysis/PA). Metode ini diterapkan untuk menganalisis emisi dari sebuah proses yang spesifik, sehingga tingkat ketelitiannya lebih tinggi, tetap membutuhkan lebih banyak waktu dan tenaga. PA sangat tepat digunakan pada sistem mikro seperti sub-proses, produk individu, atau bagian kecil dari suatu sistem. Kedua adalah metode Top-down yang didasarkan pada analisis input-output lingkungan (Environmental Input-Output Analysis/EIOA). Memerlukan lebih sedikit waktu dan tenaga, dan diaplikasikan pada level makro atau meso seperti sektor industri, bisnis individu, pemerintahan dan yang setara. Menjembatani kekurangan dari keduanya, kemudian dimunculkan metode Hybrid yang menggabungkan kekuatan dari dua metode sebelumnya. Pendekatan ini menutupi kekurangan EIOA yang kurang spesifik/detail dari aspek minor (mikro) analisis dari sebuah organisasi atau skala sub-nasional. Lin et al. (2013) menelusuri jejak karbon di kota Xiamen, China dengan menggabungkan kedua metode tersebut yang dikenal dengan metode Hybrid EIO-LCA. Analisis jejak karbon kemudian banyak berkembang pada banyak aplikasi di berbagai sektor. Secara umum, jejak karbon dihitung sebagai berikut:

= × � �

Faktor emisi adalah besaran emisi GRK yang dilepaskan ke atmosfir per satuan aktifitas tertentu. Contoh faktor emisi : tCO2e/MWh (pembangkitan listrik)

(20)

6 diketahui nilainya, padahal akurasi penghitungan jejak karbon sangat tergantung pada validitas faktor emisi. Saat ini, akurasi dari penghitungan jejak karbon masih sebatas 85% (Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon DNPI, 2014). Jejak karbon selain dapat dihitung manual juga dapat dibantu dengan menggunakan aplikasi online seperti ‘Kalkulator karbon’ yang merupakan aplikasi resmi dari Dewan Nasional perubahan Iklim (DNPI) yang bekerja langsung dibawah koordinasi dengan United Nation Framework Convention for Climate Change (UNFCCC) yang merupakan badan khusus PBB yang membidangi perubahan iklim.

Dampak sektor pariwisata terhadap perubahan iklim

United Nations World Tourism Organization (UNWTO) mendefinisikan sektor kepariwisataan sebagai aktifitas perorangan atau kelompok dengan melakukan perjalanan dan kemudian menginap pada suatu tempat yang bukan daerah tempat tinggalnya selama tidak berturut-turut lebih dari setahun untuk berekreasi, bisnis, dan tujuan lain yang tidak berhubungan dengan aktifitas yang mendatangkan upah/gaji di tempat yang dikunjungi. Esensinya, wisata bertujuan untuk melepaskan penat. Oleh karena itu wajar jika tempat wisata favorit biasanya ada pada kawasan dengan panorama alami dan menyejukkan. Wilayah seperti ini biasanya jauh berada dari domisili wisatawan, sehingga wajar jika akhirnya sektor wisata memberi sumbangsih emisi 5 % pada GRK global. Pada Tabel 2 dirangkum secara umum emisi langsung dan tak langsung yang diakibatkan oleh aktifitas kepariwisataan.

Emisi karbon langsung adalah emisi karbon dari sumber yang berhubungan langsung dengan aktfitas ekonomi dari sektor kepariwisataan. Contohnya emisi dari penggunaan listrik di penginapan, tempat makan, juga dari transportasi yang ditujukan untuk aktifitas kepariwisataan. Emisi tidak langsung adalah emisi karbon dari aktifitas dalam rantai kepariwisataan namun tidak berhubungan langsung dengan aktifitas ekonomi. Contohnya adalah emisi dari kantor agen perjalanan dan transportasi yang dilakukan untuk menjalankan operasional hotel seperti penyediaan makanan dan perlengkapan sanitasi. Emisi tidak langsung biasanya tidak masuk ke dalam proses analisa jejak karbon karena pada prinsipnya terjadi tidak khusus didasari dan ditujukan untuk kepariwisataan.

Berdasarkan informasi dalam Tabel 2, nampak bahwa pendekatan yang biasanya diterapkan pada analisa jejak karbon kepariwisataan adalah penghitungan jejak karbon pada lima sektor utama yang menjadi roda sektor kepariwisataan :

a. Transportasi darat

Emisi pada transportasi darat dipengaruhi oleh tiga hal pokok:

 Penumpang dan jarak tempuhnya untuk setiap moda (mobil, bus, kereta api);

 Intensitas energi per kilometer untuk setiap moda; dan

 Faktor emisi untuk proses pembakaran bahan bakar yang digunakan. b. Transportasi udara

Emisi pada transportasi darat dipengaruhi oleh tiga hal pokok:

 Intensitas penerbangan yang dirinci berdasarkan tipe pesawat dan kategori penumpang (kelas);

 Beban non-penumpang; dan

(21)

7 Berdasarkan kajian World Economic Forum (2009) diperkirakan emisi dari angkutan udara meningkat 2.7% per tahun hingga mencapai 1 400 MtCO2 pada tahun 2035.

Tabel 2. Sumber emisi di sektor wisata

Sektor

Emisi Tidak Langsung (luar kajian) (contoh : makanan, toilet, dll.

Emisi yang disumbangkan oleh transportasi laut khusus kepariwisataan diperkirakan sebesar ~5% dari emisi total aktifitas pelayaran global. Adapun faktor yang berpengaruh pada emisi pelayaran adalah :

 Jumlah kapal yang melakukan pelayaran;  Jumlah hari operasi tahunan;

 Tingkat konsumsi bahan bakar; dan

 Faktor emisi untuk bahan bakar yang digunakan. d. Akomodasi

Bagian ini terbagi menjadi dua kategori :

 Hotel dan jasa serupa seperti bungalow dan motel; dan

 Tipe akomodasi lain (contohnya rumah khusus liburan, menginap pada teman atau kerabat serta tenda).

(22)

8 e. Aktifitas wisatawan

Meliputi segala kegiatan wisatawan di lokasi wisata yang berpotensi membuang karbon. Contonya, transportasi dalam kawasan wisata, sampah, serta atraksi wisata.

Metodologi sistem dinamik

Metodologi sistem dinamik telah dan masih terus berkembang sejak diperkenalkan pertama kali oleh Jay W. Forerster pada dekade lima puluhan di MIT Amerika. Sesuai dengan namanya metode ini berhubungan dengan pertanyaan tentang tendensi-tendensi dinamika system-sistem yang kompleks, yaitu pola-pola tingkah laku yang dibangkitkan oleh sistem itu seiring bertambahnya waktu (Tasrif 2006).

Hal yang paling khas dari sistem dinamik dibandingkan dengan pendekatan lainnya dalam memahami sistem yang kompleks adalah feedback loop (lingkar umpan-balik). Dalam pemahaman selanjutnya, feedback loop itu dinyatakan dalam konsep stock (stok) dan flow (aliran). Konsep stok dan aliran ini menerangkan bahwa komponen sistem itu ada yang bersifat akumulasi yaitu stock dan ada juga yang bersifat mengalir yaitu flow. Dengan konsep stok dan aliran ini, maka konsep feedback dalam suatu sistem akan dapat dimengerti dan disimulasikan. Dan dengan konsep stok ini juga akan muncul konsep delay, dan nonlinearity. Konsep feedback, stock dan flow, delay, dan nonlinearity; merupakan dasar pikiran (premise) tentang pola keterkaitan antar komponen yang digunakan dalam pemodelan sistem dinamik (Avianto 2010).

Penggunaan metodologi ini lebih ditekankan kepada tujuan-tujuan peningkatan pengertian kita tentang bagaimana tingkah laku sistem muncul dari struktur kebijaksanaan dalam sistem itu. Pengertian ini sangat penting dalam perancangan kebijaksanaan yang efektif. Persoalan yang dapat dengan tepat dimodelkan menggunakan metodologi sistem dinamik adalah masalah yang mempunyai sifat dinamis (berubah terhadap waktu) dan struktur fenomenanya megandung paling sedikit satu strukur umpan balik (feedback structure).

Adapun langkah-langkah pemodelan dengan pendekatan model dinamik secara umum (Tasrif 2006) adalah:

1. Identifikasi perilaku permasalahan (problem behavior)

Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi pola historis atau hipotesis yang menggambarkan perilaku persoalan. Tahap ini sangat penting karena akan menggambarkan akibat/hasil yang ditimbulkan oleh suatu kumpulan struktur umpan balik yang terbentuk di dalam sistem dan mempunyai implikasi yang penting untuk analisis kebijakan. Setelah pola historis dipahami, kemudian hipotesis awal tentang interaksi antar perilaku yang mendasari pola referensi perlu dirumuskan. Perlu beberapa iterasi dari formulasi, perbandingan dengan bukti-bukti empiris dan reformulasi untuk mendapatkan hipotesis dinamik yang tepat.

(23)

9 2. Komputasi model

Apabila batas model telah didefiniskan, maka keterkaitan dua unsur dalam suatu sistem harus ditentukan dan berbentuk hubungan kausal (sebab-kibat), dan keterkaitan antar semua unsur dalam sistem itu harus ada yang bersifat umpan balik (causal loop). Lingkar umpan-balik (feedback loop) tersebut menyatakan hubungan sebab akibat variabel-variabel yang melingkar, bukan manyatakan hubungan karena adanya korelasi-korelasi statistik. Olehsebab itu komponen yang ada pada model akan terdiri atas: feedback (causal loop diagram), stock dan flow, delay, dan non linearity.

3. Pengujian model dan analisis kebijaksanaan

Setelah model eksplisit suatu permasalahan ditentukan, tahap selanjutnya serangkaian validasi dilakukan untuk mengethui sensitifitas model. Presisi model dalam merepresentasikan fakta sebenarnya dari permasalahan yang dimodelkan akan diukur. Bila suatu korespondensi antara model mental sistem, model eksplisit dan pengetahuan empiric tentang sistem telah diperoleh, maka model yang dibuat dapat diterima sebagai representasi permasalahan yang sahih dan dapat digunakan untuk analisis kebijakan.

Kawasan wisata kabupaten pangandaran

Undang-undang nomor 21 tahun 2012 mendasari lahirnya kabupaten baru yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 16 November tahun 2012. Kemudian diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin pada tanggal 17 November tahun 2012, maka Pangandaran resmi menjadi Kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Dalam UU No. 21/2012 disebutkan, Kabupaten Pangandaran berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Ciamis, yang terdiri dari: Kecamatan Parigi, Kecamatan Cijulang, Kecamatan Cimerak, Kecamatan Cigugur, Kecamatan Langkaplancar, Kecamatan Mangunjaya, Kecamatan Padaherang, Kecamatan Kalipucang, Kecamatan Pangandaran dan Kecamatan Sidamulih. Ibu Kota Kabupaten Pangandaran berkedudukan di Kecamatan Parigi. Luas wilayah Kabupaten Pangandaran yaitu 168 509 ha dengan luas laut 67 340 ha. Kabupaten Pangandaran memiliki panjang pantai 91 km (Pemda Kabupaten Pangandaran 2015).

Adapun batas-batas wilayah Kabupaten pangandaran adalah sebagai berikut: a. Utara

a) Kabupaten Ciamis : (1). Kecamatan Banjarsari : Desa Ciulu, Pasawahan, Cikupa. (2). Kecamatan Pamarican : Desa Sidarahayu, Purwadadi, Sidamulih

b) Kabupaten Tasikmalaya : (1). Kecamatan Karangjaya : Desa Citalahab. (2). Kecamatan Cineam : Desa Cisarua

b. Timur

Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah : (1). Kecamatan Kedungreja : Desa Tambaksari, Sidanegara, Rejamulya. (2). Kecamatan Patimuan : Desa Sidamukti, Patimuan, Rawaapu, Cinyawang, Purwodadi c. Barat

(24)

10 Panca Wangi, Mekarsari. (3). Kecamatan Cikalong : Desa Cimanuk. (4). Kecamatan Salopa :Desa Mulyasari

d. Selatan

Samudera Indonesia

Berdasarkan konteks keruangan nasional pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), dalam PP No. 47 Tahun 1997 tentang RTRWN, Kawasan Pangandaran dan sekitarnya merupakan salah satu kawasan andalan yang ada di Jawa Barat. Dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 48 Tahun 2006, tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Provinsi Jawa Barat, disebutkan bahwa Kawasan Rekreasi Pantai Pangandaran termasuk salah satu dari sembilan Kawasan Wisata Unggulan di Jawa Barat. Serta dalam Perda Jawa Barat No. 22 Tahun 2010 tentang RTRWP Jawa Barat tahun 2009 sampai 2029, Kawasan Pangandaran Ditetapkan sebagai kawasan stategis provinsi.

Pangandaran merupakan kabupaten di tenggara provinsi Jawa Barat yang memiliki berbagai potensi kepariwisataan. Beberapa objek wisata unggulan di kawasan ini sudah dikenal luas, bahkan hingga mancanegara, antara lain objek wisata Pantai Pangandaran, Cagar Alam Pananjung, Pantai Batu Hiu, Pantai Batu Karas, Pantai Madasari, Citumang, serta Cukang Taneuh atau yang lebih popular dengan sebutan Green Canyon. Objek-objek wisata tersebut selalu dibanjiri pengunjung tiap masa liburan datang. Tingkat kunjungan wisatawan ke beberapa obyek wisata unggulan di Pangandaran dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Tingkat kunjungan wisatawan ke Pangandaran

Tahun Pangandaran Batu Hiu Batu Karas Green Canyon

2008 470 450 38 950 46 421 38 610

2009 590 004 46 481 55 043 58 685

2010 703 093 48 952 73 050 63 610

2011 729 684 58 793 140 012 87 655

2012 936 616 71 115 169 406 118 231

Sumber: (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ciamis tahun 2012 dalam Nurhayati et al. 2013)

Sebagai kawasan wisata, kawasan Pangandaran dan sekitarnya disiapkan untuk dikembangkan sebagai tujuan wisata nasional dan internasional yang mempunyai daya saing dan berbasis masyarakat yang mampu mengoptimalkan sumber daya alam untuk menjamin peningkatan kesejahteraan pelaku ekonomi dengan tanpa merusak lingkungan dan nilai-nilai budaya setempat. Upaya peningkatan pariwisata di kawasan Pangandaran lebih diintensifkan terutama mengenai kelengkapan sarana dan prasarananya.

3

METODE

(25)

11 simulasi model dinamik ini adalah potensi karbon teremisi dan potensi sekuestrasi karbon oleh ekosistem mangrove. Inventarisasi potensi emisi dilakukan dengan pendekatan bottom up dalam menganalisis potensi emisi. Pendekatan ini sangat tepat diterapkan pada sebuah kawasan kecil karena karena survei yang dilakukan dapat menghasilkan data yang lebih baik (Sun 2014; Becken dan Patterson 2006). Metode yang dipilih menggunakan pendekatan Environmental Input-Output Analysis (EIOA) yang tepat diterapkan pada skala meso atau makro seperti sudi penelitian ini. Metode tersebut memecah sebuah proses/aktifitas menjadi sub-sub proses yang kemudian dihitung jejak karbon pada setiap bagian prosesnya secara umum, sedangkan potensi sekuestrasi karbon diperoleh dengan pendekatan gain and loss. Dalam IPCC 2006 Guidelines disebutkan bahwa data emisi dan serapan karbon (perubahan stok karbon) dapat diperoleh dengan satu siklus inventarisasi dan pemodelan. Pada metode ini, setiap aktivitas pengelolaan akan dihitung besarnya emisi (emissions) yang ditimbulkan dan atau penyerapan (removals) yang dihasilkan melalui pemodelan. Adapun kerangaka pendekatan yang studi yang dilakukan adalah seperti tertera pada Gambar 2.

Analisis non Spasial

DINAMIKA TEMPORAL JEJAK KARBON PADA KAWASAN WISATA PESISIR DAN LAUT

Pengumpulan data lapangan

Data Primer

Data sekunder

Emisi Langsung Data Ekologi

Transportasi Luasan mangrove Rencana penurunan laju emisi karbon nasional

Rencana Pengembangan Wilayah Akomodasi Penambahan luasan

Aktifitas Wisatawan Pengurangan luasan

Pemetaan Model

Simulasi Skenario Penghitungan Emisi

karbon

Total Emisi Karbon/Sektor

Dinamika (trade off) aktifitas berdampak emisi dan penyerap karbon dalam lingkup wisata pesisir dan laut

(26)

12 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan wisata Pantai Pangandaran, Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat. Pertimbangan lokasi yang dipilih adalah bahwa berdasar data kunjungan wisatawan (Disparbud Jabar 2012), lokasi merupakan tujuan wisata dengan kunjungan wisatawan terbanyak dibandingkan dengan objek dan daya tarik wisata lain di Jawa Barat. Selain itu karena Pangandaran juga terus menjadi wilayah dengan pengembangan sarana wisata yang cukup pesat. Oleh sebab itu cukup penting untuk mengetahui sejauh mana upaya mitigasi telah dilakukan untuk mengimbangi pengembangan pembangunan tersebut. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu empat bulan, dimulai pada bulan November 2014 sampai dengan bulan Februari 2015.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Alat dan Bahan

Potensi emisi dapat dihitung dengan terlebih dahulu mengetahui klasifikasi moda transportasi yang digunakn wisatawan, jarak tempuh rata-rata wisatawan ke lokasi penelitian, rata-rata konsumsi BBM (volum), preferensi jenis BBM yang digunakan, preferensi pemilihan jalur keberangkatan menuju lokasi, dan mobilitas di kawasan wisata melalui wawancara. Selain itu juga menginventarisir data kunjungan wisatawan tahunan dan data moda kendaraan wisatawan yang diperoleh dari Dinas Pariwisata, Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kabupaten Pangandaran. Data yang diperoleh diolah menggunakan Microsoft Excel 2010 versi Student IPB.

(27)

13 menginventarisir data sebaran dan kondisi ekosistem mangrove, perkembangan luasan mangrove tahunan dan rencana pengelolaan ekosistem mangrove dari Dinas Kelautan, Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pangandaran dan instansi terkait. Data kemudian diolah untuk mendapatkan nilai potensi emisi dan sekuestrasi karbon. Dinamika dari kedua variable tersebut berdasarkan waktu dkerjakan dengan menggunakan software Stella versi 9.0.2.

Prosedur Analisis Data

Inventarisasi data wisatawan

Tahapan ini diperlukan untuk mengetahui jumlah kunjungan wisatawan ke lokasi penelitian, penambahan, pengurangan, laju serta atribut apa saja yang memengaruhinya dari tahun ke tahun. Sampel wisatawan diambil dengan metode pengambilan sampel acak sederhana. Kuesioner yang akan digunakan terdapat pada Lampiran 1. Beberapa hal yang dianalisis dari data ini antara lain:

a. Tren wisatawan

Secara matematis analisis jumlah pengunjung wisata dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:

= +

Keterangan:

y = jumlah pengunjung wisata (orang), a = konstanta (intercept),

b = koefisien (slope),

x = waktu (ke-t (1-25) (tahun).

Tren kunjungan wisatawan ke kawasan wisata Pangandaran pada studi ini diprediksi sampai 25 tahun ke depan atau sampai pada tahun 2040 sesuai dengan targetan pemerintah untuk merencanakan penurunan GRK pada tahun 2020 sebanyak 26% (estimasi 0.676 GtCO2e) dan 20 tahun

selanjutnya untuk melihat implikasi serta evaluasi skenario pada simulasi model.

b. Daya dukung

Batasan kapasitas kawasan dalam mengakomodir kunjungan wisatawan diketahui menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). Daya dukung kawasan adalah jumlah maksimum pengunjung yang (secara fisik) dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan pengaruh negatif pada lingkungan alam sekitar dan manusia (Yulianda et al. 2010). DDK dihitung sebagai berikut:

= × ×

Keterangan:

DDK = Daya dukung kawasan,

(28)

14

Lt = unit area untuk kategori tertentu

Wp = waktu yang disediakan pengelola kawasan untuk wisata dalam sehari Wt = waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk beraktifitas di lokasi

Inventarisasi data sarana dan prasarana wisata

Beberapa poin yang perlu diketahui dari keberadaan akomodasi di lokasi adalah jumlah rata-rata kunjungan, fasilitas bertenaga listrik terutama pengatur suhu ruangan dan lemari pendingin, rata-rata volum sampah yang dihasilkan, serta agregat dari penggunaan listrik secara keseluruhan. Secara garis besar tahapan yang akan dilakukan adalah seperti tertera pada Gambar 2. Adapun sampel penginapan/hotel diambil dengan menggunakan metode pengambilan sampel acak berkelompok. Kuesinoer yang akan digunakan terdapat pada Lampiran 2.

Emisi karbon dari aktifitas dan sarana pendukung wisata dihitung dengan menggunakan kalkulator karbon. Aplikasi kalkulator karbon resmi di Indonesia diterbitkan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim di situs resminya kalkulator.dnpi.go.id. Secara umum pendekatan yang digunakan dalam aplikasi ini adalah : Emisi = Satuan Aktivitas * Faktor Emisi, contohnya Emisi listrik = X MWh * Y tCO2/MWh. Kalkulasi dari setiap variabel yang dihitung selengkapnya dapat

dilihat pada Lampiran 3.

Inventarisasi data ekosistem mangrove a. Analisis GIS

Pada tahapan ini, yang akan dilakukan adalah menghitung luasan aktual. Sumberdaya yang dipilih untuk masuk dalam kajian adalah ekosistem mangrove sesuai dengan signifikansi keberadaannya di lokasi penelitian. Luasan mangrove Kabupaten Pangandaran diolah dari data citra Landsat 8. Pengolahan data citra landsat 8 meliputi :

a) Koreksi geometri b) Koreksi radiometri

c) Pembatasan wilayah (Pangandaran)

d) Kompilasi saluran (RGB), saluran RGB band 5,6,4 e) Interpretasi mangrove dan penghitungan luasan mangrove f) Layouting

b. Perkembangan luasan ekosistem mangrove

Laju perkembangan luasan mangrove Kabupaten Pangandaran, dihitung dari data-data sekunder hasil analisis citra dari penelitian-penelitian terkait yang juga dilakukan di Pangandaran. Setelah itu dilakukan penghitungan potensi serapan karbon dengan berpedoman pada rata-rata kandungan/potensi daya serap karbon (Nelleman et al. 2009).

(29)

15 Khusus untuk kawan tropis seperti Indonesia, Donato et al. (2011) mengemukakan bahwa ekosistem mangrove mampu menyimpan karbon hingga 1 023 ton CO2/Ha. Sedangkan rata-rata potensi serapan karbon dapat

dilihat dari hasil riset dan kajian Blue Carbon Centre Indonesia (Trobos 2015) yang mengungkapkan bahwa ekosistem mangrove di Indonesia mampu menyerap karbon hingga 38.8 ton/ha/tahun. Dengan berasumsi pada kedua hasil riset tersebut, dan memasukkannya pada perhitungan, akan didapatkan gambaran laju potensi sekuestrasi mangrove.

Tabel 4. Kapasitas penyerapan karbon dari sumberdaya karbon biru Komponen Area (Tm-2) gcm-2y-1 Tgy-1

Mangrove 0.2 139.0 23.6

Rawa Payau 0.4 151.0 60.4

Padang lamun 0.3 83.0 27.4

Analisis dinamika temporal karbon di lokasi wisata a. Penetapan isu, tujuan dan batasan model

Isu utama yang menjadi dasar dari penyusunan model ini adalah potensi emisi dari industri kepariwisataan di Kabupaten Pangandaran. Pangandaran menjadi destinasi wisata potensi wisata dengan potensi kunjungan yang memiliki kecenderungan naik (Dinas Kelautan Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pangandaran 2013). Hal tersebut berarti juga menjadi potensi emisi karbon yang besar yang dikeluarkan dari transportasi ke dan di lokasi kawasan Pangandaran, aktifitas wisatawan serta akomodasi (WEF 2009) di sekitar kawasan Pangandaran.

Dibutuhkan upaya untuk meningkatkan kapasitas sekuestrasi karbon dan menekan laju potensi emisi tersebut. Upaya yang dimaksud adalah dengan mengelola keberadaan ekosistem mangrove di kawasan wisata Pangandaran, sebab ekosistem mangrove merupakan satu dari tiga sumberdaya pesisir (karbon biru) yang memiliki kapasitas sekuestrasi yang lebih baik daripada ekosistem terestrial (Donato et al. 2011) yaitu hingga 23.6 Tg/y-1. Upaya yang akan di simulasikan dalam model sesuai dengan kondisi faktual adalah meningkatkan reboisasi dan menekan aktifitas berpotensi deforestasi seperti alih lahan dan penebangan liar.

Memperbandingkan potensi emisi kepariwisataan Pangandaran dengan potensi sekuestrasi mangrove (tanpa mengesampingkan potensi sekuestrasi dari vegetasi non-mangrove) bertujuan untuk meningkatkan kepedulian (awareness) terhadap eksistensi mangrove. Motif ekonomi, konflik kepentingan dan juga ketidaktahuan masyarakat tidak boleh sampai mendegradasi jasa ekosistem dan nilai valuasi mangrove yang berharga untuk menekan dampak perubahan iklim.

(30)

16 (listrik, gas), buangan sampah, penggunaan kertas, serta transportasi untuk kepentingan penginapan. Potensi emisi sektor aktifitas wisatawan yang masuk dalam kajian adalah penggunaan listrik dari pengisian baterai gadget (charging telepon seluler, tablet, powerbank). Penyerapan CO2 oleh

ekosistem mangrove dihitung berdasarkan rata-rata daya serap mangrove per hektar.

b. Konseptualisasi model

Konsep model emisi-sekuetrasi di kawasan wisata Pangandaran dituangkan dalam Gambar 4. Model simulasi yag dibangun terdiri dari kelompok submodel sumber emisi yaitu submodel kunjungan wisatawan, submodel potensi emisi dari aktifitas wisatawan, submodel potensi emisi sektor transportasi dan submodel emisi sektor akomodasi. Kemudian potensi sekuestrasi yang diwakili oleh submodel potensi sekuestrasi ekosistem mangrove. Sebagai agregat dari potensi emisi dan sekuestrasi akan ditunjukkan dalam submodel emisi kawasan wisata Pangandaran.

Gambar 4. Causal loop dinamika potensi emisi-sekuestrasi di kawasan wisata Pangandaran

c. Model spesifik

a) Submodel kunjungan wisatawan dan potensi emisi dari aktifitas wisatawan

Submodel ini (Gambar 5) adalah submodel utama karena memuat stock jumlah wisatawan yang memengaruhi variabel-variabel model lainnya. Jumlah wisatawan diinisiasi pada jumlah 1 500 000 orang pada tahun ke-0 simulasi atau untuk tahun 2015 sesuai dengan data dari Dinas Pariwisata, Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kabupaten Pangandaran tahun 2013.

(31)

17 Kehutanan Kabupaten Pangandaran 2013). Faktor yang memengaruhi kunjungan diwakili oleh daya dukung fisik kawasan.

Emisi dari sampah yang dibuang oleh wisatawan dihitung dari estimasi jumlah sampah yang dibuang, yaitu 0.5 kg/orang dikalikan dengan faktor emisi sampah 0.075 kgCO2e/liter.

Sedangkan emisi dari proses charging baterai dihitung dari rata-rata pemakaian listrik yaitu 6.29 watt/individu dikalikan dengan faktor emisi listrik 0.725 kgCO2e/kWh.

Gambar 5. Submodel kunjungan wisatawan dan potensi emisi dari aktifitas wisatawan

b) Submodel potensi emisi dari transportasi

Submodel ini disusun dari empat jenis kendaraan sebagai sumber emisi CO2 yaitu pesawat, bis, mobil, dan motor. Secara

umum potensi emisi dari transportasi dihitung dengan rumus:

� � � = × � �� ×

Faktor emisi untuk beragam moda transportasi diantaranya adalah sebagai berikut : pesawat 182.679 kgCO2e/km, bis 0.03 kgCO2e/km,

mobil A (<1200cc) 0.173 kgCO2e/km, mobil B (1200-1800cc),

mobil C (>1800cc) 0.299 kgCO2e/km dan motor 0.103 kgCO2e/km.

Potensi emisi setiap moda transportasi secara langsung dipengaruhi oleh jumlah kunjungan wisatawan. Jumlah setiap moda transportasi dihitung berdasarkan rata-rata rasio preferensi moda transportasi dengan total kunjungan wisatawan setiap tahunnya.

(32)

18

Gambar 6. Submodel potensi emisi sektor transportasi c) Submodel potensi emisi dari akomodasi

Secara umum submodel akomodasi disusun dari sumber emisi yang berasal dari penggunaan energi yaitu listrik dan BBG, transportasi, serta pemakaian kertas dan buangan sampah. Secara umum emisi akomodasi dhitung dengan rumus yang dimodifikasi dari Tang et al. 2009 seperti berikut:

�= × × �

dimana

= ℎ � × � � × � �

Keterangan :

Q = emisi karbon terhitung P = parameter yang dihitung M = tingkat inap

Sc = konsumsi energi per unit

(33)

19

Gambar 7. Submodel potensi emisi sektor akomodasi d) Submodel potensi sekuestrasi ekosistem mangrove

Berperan sebagai satu-satunya submodel yang mewakili upaya langsung menekan laju emisi karbon di kawasan wisata Pangandaran. Submodel yang digunakan merupakan modifikasi dari model yang disusun oleh Fahmi, Rosyid, & Wirjodirjo (2012) (Gambar 8). Diharapkan cukup sensitif untuk memengaruhi skenario pada submodel ini adalah upaya reboisasi pemerintah (converter) dan laju reboisasi LSM (converter).

Gambar 8. Submodel potensi emisi sektor akomodasi e) Model emisi (agregat) wisata pesisir dan laut Kabupaten

Pangandaran

Model ini merupakan inti dari tujuan pemodelan yang dibuat. Emisi CO2 dari berbagai sektor diakumulasikan ke dalam

varibel potensi emisi pariwisata. Emisi tersebut akan menambah akumulasi CO2wisata Pangandaran sesuai dengan laju tiap sektor

(34)

20 dipengaruhi oleh emisi dari masing-masing sektor, sehingga disebut juga auxiliary variable. Variabel emisi dari masing-masing sektor tersebut dalam model ini disebut juga driving variable, karena mempengaruhi CO2 pariwisata Pangandaran tetapi tidak berlaku

sebaliknya.

Gambar 9. Model emisi pariwisata Pangandaran d. Validasi model

Validasi merupakan tahap pengecekan terhadap model simulasi agar memiliki presisi yang baik. Dengan kata lain, mampu merepresentasikan kondisi aktual (data riil).

e. Aplikasi skenario

Setelah model dtentukan, perumusan skenario kebijakan mitigasi kemudian dapat dilakukan untuk menekan potensi emisi dan mengoptimalkan jasa ekosistem mangrove di lokasi penelitian sebagai penyerap karbon. Adapun skenario yang dapat diaplikasikan antara lain:

a) Pertama, bussiness as usual (BAU) yaitu kondisi normal tanpa memberikan perubahan apapun dari kebijakan apapun yang sudah berjalan di lapangan.

b) Skenario kedua, yaitu limitasi kendaraan. Membatasi penggunaan bahan bakar minyak dan kendaraan dengan:

i. Memberlakukan jumlah minimum penumpang per kendaraan.

ii. Memperbanyak sepeda di lokasi wisata untuk menginisiasi green transportation.

iii. Menambah sarana transportasi umum masal ramah lingkungan

c) Skenario ketiga, menekan potensi sumber emisi di lokasi wisata dengan:

i. Menambah sarana pembuangan sampah terpilah organik non organik

ii. Memberlakukan kebijakan non-charging tourism, yaitu menekan aktifitas pengisian daya baterai (charging) di sarana-sarana wisata seperti tempat ibadah, tempat makan & tempat belanja.

d) Skenario keempat, yaitu memperbaiki pengelolaan ekosistem mangrove dengan :

i. Menekan laju deforestasi karena alih lahan dan penebangan liar.

ii. Meningkatkan upaya reboisasi oleh pemerintah dan juga LSM

(35)

21

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Validasi model

Terdapat tiga tahapan evaluasi model yaitu mengevaluasi kelogisan model, kesesuaiannya dengan konsep model, dan perbandingan dengan data aktual (Purnomo 2012). Tahap pertama dan kedua evaluasi, mengabil contoh emisi CO2

transportasi yaitu mobil dengan kapasitas mesin 1200-1800 cc. Dpat dilihat pada tabel, semakin banyak jumlah mobil maka semakin tinggi karbon yang diemisikan. Maka model dapat dikatakan logis dan sesuai konsep.

Tabel 5. Hubungan jumlah kendaraan dan emisi yang dihasilkan

Tahun Jumlah Mobil A Emisi (tonCO2e/tahun)

2010 16 452 1.84

2012 32 436 3.64

2013 41 650 4.67

2014 33 439 3.75

2015 29 334 3.29

2016 40 099 4.49

Sumber : Data Simulasi

Evaluasi tahap ketiga dilakukan dengan membandingkan data hasil simulasi dengan data aktual total kunjungan wisatawan tahun 2010-2014 (Dinas Pariwisata, Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kabupaten Pangandaran tahun 2013). Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa grafik yang terbentuk dari hasil simulasi tidak berbeda jauh dengan data sebenarnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil evaluasi, model dapat merepresentasikan fakta di lapangan.

Gambar 10. Perbandingan data jumlah wisatawan aktual dengan hasil simulasi

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 2

2010 2011 2012 2013 2014

Ju

ta

o

ran

g

Perbandingan jumlah kunjungan wisatawan aktual dan hasil simulasi

(36)

22 Gambaran umum kepariwisataan di Pangandaran

Data Dinas Kepariwisataan dan Kebudayaan Jawa Barat (2012) menempatkan Pangandaran sebagai objek dan tujuan wisata dengan intensitas kunjungan paling tinggi di Jawa barat. Meski sempat digerus tsunami tahun 2006, minat wisatawan untuk mengunjungi Pangandaran setiap tahun terus meningkat. Fakta ini dapat dilihat dari Gambar 11 sebagai berikut :

Gambar 11. Grafik kunjungan wisatawan ke Pangandaran tahun 2009-2014 Berdasarkan wawancara pada 283 responden, sebaran wisatawan cukup beragam. Rata-rata wisatawan mengunjungi Pangandaran hingga dua kali dalam setahun. Rata-rata responden juga mengunjungi setidaknya 2 tempat wisata di kabupaten Pangandaran. Dengan mengetahui preferensi wisatawan dalam mengunjungi objek-objek wisata di Kabupaten Pangandaran dapat diketahui bagaimana secara umum potensi emisi di objek-objek wisata bersangkutan. Sehingga pengelola dapat menyesuaikan manajemen objek wisata sesuai dengan beban kunjungannnya.

Penggunaan Listrik oleh Wisatawan Pangandaran

Dari data diketahui mayoritas pengunjung berusia antara 25-31 tahun (19.08%), sisanya yang terbanyak adalah 18-24 tahun (18.02%) serta 32-38 tahun dan 39-45 tahun sebanyak 16.61%. Sebuah lembaga penelitian di Amerika, Pew Research merilis hasil kajian menarik mengenai pola penggunaan peralatan elektronik (gadgets) berdasarkan generasi. Pada kajian tersebut, mereka membagi rentang usia responden berdasarkan dekade berkembangnya teknologi komunikasi. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa responden yang lahir antara tahun 1977-1993 (Millenials generation) yang berusia antara 18-34 tahun pada 2011 merupakan pengguna gadget yang paling dominan (Zickuhr 2011). Berhubungan dengan ini, pada hasil survey di gambar 9 juga terlihat bahwa pengunjung didominansi oleh wisatawan dengan rentang usia 18-45 tahun (70.32%). Jika merujuk pada riset Zickuhr (2011), ini berarti pengunjung di rentang usia tersebut merupakan generasi millenial dan Gen X yang gandrung dengan teknologi dan

y = 9E-172e0,2026x

R² = 0,7928

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 1800000

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Tahun

(37)

23 perangkat mobil seperti telepon seluler (ponsel), ponsel pintar (smartphone), netbook, pemutar musik portabel, dan sejenisnya.

Gambar 12. Persentase rentang usia wisatawan Pangandaran Buangan sampah wisatawan

Dari data yang diperoleh, 86% wisatawan membuang sampah kurang dari 1 kg, 14% membuang antara 1-5 kg dan jarang sekali yang membuang hingga lebih dari 5 kg. Sampah yang dibuang sangat beragam. Mayoritas biasanya membuang bungkus makanan dan botol air minum kemasan. Bila dirata-ratakan, setiap wisatawan setidaknya membuang hingga 1.29 kg sampah dengan potensi emisi karbon 4.64 kgCO2e/tahun/individu. Bila rataan ini dikalikan dengan laju

kunjungan wisatawan setiap tahunnya, maka setiap tahun buangan sampah wisatawan berpotensi menyumbang tambahan emisi karbon sebanyak 1 148.96 tonCO2e/tahun.

Transportasi wisatawan Pangandaran

Kajian Pendahuluan UNWTO pada Oktober 2007 mengenai pariwisata dan perubahan iklim mencatat bahwa sektor transportasi merupakan kontributor emisi terbesar dari total emisi karbon sektor pariwisata (75%). Sebagian besar emisi transportasi berasal dari transportasi udara sebanyak 40% dan transportasi darat 32%, sisanya sebesar 3% berasal dari transportasi lainnya.

Pengunjung kawasan wisata Pangandaran sendiri didominasi oleh wisatawan yang menempuh jalur darat. Hampir seluruhnya adalah wisatawan domestik yang berasal dari Jawa Barat, Jabodetabek, Jawa Tengah serta beberapa dari Sumatera. Kurang lebih 98.93% menempuh jalur darat dan sisanya 1.07% menempuh jalur udara. Alternatif rute untuk menuju kawasan wisata Pangandaran adalah sebagai berikut:

a. Jalur Darat Mobil atau kendaraan umum :

 Jakarta ke Pangandaran (± 370 km), dapat menggunakan bus Kampung Rambutan-Pangandaran, langsung menuju terminal

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

11-17 18-24 25-31 32-38 39-45 46-52 53-59 60-65 66-72

Persentase (%) U

(38)

24 pangandaran yang berjarak 300 meter menuju gerbang masuk pantai. Setelah itu disambung berjalan kaki, becak atau angkot;

 Bandung ke Pangandaran (± 230 km), dapat menggunakan bus Bandung-Tasikmalaya-Banjar-Pengandaran. Dari Bandung dapat naik di Terminal Cicaheum. Juga bisa menggunakan jasa angkutan elf;

 Yogyakarta ke Pangandaran (± 385 km), dapat menggunakan bus Yogyakarta-Cilacap-Kalipucang-Pangandaran;

 Kendaraan pribadi menggunakan jalur yang sama seperti di atas. b. Jalur Kereta :

Dari Jakarta atau Jawa Tengah Naik kereta menuju Bandung untuk kemudian berlanjut menggunakan kereta jurusan Banjar kemudian dapat disambung menggunakan bus.

c. Jalur Udara :

 Dapat menggunakan pesawat kargo dari Bandung-Nusawiru (Pangandaran) dari Bandara Husen Sastranegara; atau

 menggunakan pesawat dari Jakarta-Nusawiru (Pangandaran) dari Bandara Halim Perdanakusuma.

Jalur darat melewati Ciamis-Banjar menjadi pilihan utama disebabkan kondisi jalan yang sangat baik. Berdasarkan olah informasi dari wawancara dengan responden serta data tahunan dari Dinas Pariwisata, Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan menengah Kabupaten Pangandaran 2009-2014 diperoleh komposisi pilihan moda transportasi wisatawan menuju Pangandaran.

Potensi emisi sektor akomodasi

Penginapan merupakan sarana yang menjadi pelengkap daya tarik kawasan wisata. Jarak yang biasanya cukup jauh dari domisili menjadikan wisatawan biasanya menghabiskan durasi lebih dari sehari untuk berwisata. Sebab itulah mereka membutuhkan akomodasi. Sektor akomodasi dibagi menjadi 2 kategori (WEF 2009), yaitu hotel dan jasa serupa seperti motel dan vila serta tipe akomodasi lainnya seperti rumah pribadi (khusus berlibur), menginap di rumah saudara atau berkemah.

(39)

25

Gambar 13. Persentase penginapan di Pangandaran Luasan aktual ekosistem mangrove Pangandaran

Berdasarkan data dari dokumen Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RPRHL) Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai Kabupaten Pangandaran tahun 2013-2018, mangrove yang berada di wilayah Kabupaten Pangandaran tersebar di 4 kecamatan yakni Kecamatan Cijulang, Cimerak, Kalipucang dan Sidamulih (Tabel 6). Sebanyak 42.04% berada di Desa Legokjawa yang merupakan kawasan konservasi penyu, di ujung sebelah barat Kabupaten Pangandaran.

Tabel 6. Luas dan sebaran mangrove di kabupaten Pangandaran

Kecamatan/ Desa Luar Kawasan Hutan/APL Grand Total (Ha) Lindung/L (Ha) Budidaya/B (Ha)

CIJULANG

Batukaras 83.74 83.74

Cijulang 140.60 140.60

Kondangjajar 73.55 73.55

Margacinta 4.39 4.39

CIMERAK 0

Ciparanti 59.71 59.71

Kertamukti 44.32 73.62 117.94

Legokjawa 262.08 235.23 497.31

Masawah 70.21 70.21

KALIPUCANG 0

Pamotan 116.20 116.2

SIDAMULIH 0

Sukaresik 19.34 19.4

GRAND TOTAL 436.32 746.67 1182.99

Sumber: (RPRHL 2013-2018)

Keterangan dari Dinas Kelautan, Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Hotel

Bintang 22%

Hotel Melati 44% Bungalow

22%

Rumah Sewa

(40)

26 Pangandaran (2013) juga menjelaskan bahwa kondisi penutupan lahan pada areal mangrove di wilayah-wilayah tersebut beragam. Sebagian besar (79.59%) diantaranya masih didominasi oleh mangrove sekunder, 13.44% lainnya berupa tambak (sylvofishery) dan hanya 0.5% yang berupa mangrove primer. Selebihnya adalah berupa pemukiman, sawah, tanah terbuka dan lainnya.

Inventarisasi luasan suatu kawasan umumnya melalui rantai proses pekerjaan yang cukup panjang, sehingga pada saat peta dipublikasikan, kandungan informasi spasial peta yang tersaji tidak sesuai lagi dengan keadaan sebenarnya di lapangan terutama di daerah yang pertumbuhan kawasannya relatif sangat pesat seperti Pulau Jawa dan Bali serta kawasan pesisir pada pulau-pulau lainnya. Begitupun dengan Kabupaten Pangandaran sebagai sebuah wilayah yang baru dimekarkan.

Luasan pada Tabel 6 tersebut merupakan inventarisasi data sekunder yang pada dokumen RPRHL tidak disebutkan mengenai aktifitas inventarisasi ulang (ground check). Sehingga untuk mendapatkan angka luasan yang lebih valid diperlukan olah citra hasil penginderaan jauh dengan hasil seperti pada Gambar 14 berikut:

(41)

27 cattapa, Padanus tektorius, Cerbera mangas dan Hibiscus spp (Refrial et al. 2012).

Perubahan ekosistem mangrove di Pangandaran

Perubahan hutan mangrove adalah bertambahnya atau berkurangnya luasan hutan mangrove. Perubahan hutan mangrove terjadi apabila terjadi peningkatan luasan hutan mangrove akibat adanya pertumbuhan hutan mangrove atau persebaran biji mangrove yang kemudian tumbuh di daerah yang asalnya tidak terdapat mangrove, ataupun pengurangan hutan mangrove terjadi apabila suatu daerah terdapat mangrove kemudian mangrove tersebut mati atau hilang digantikan dengan tata guna lahan lainnya (Refrial et al. 2012).

Tidak tersedia data sekunder resmi dari Dinas Kelautan Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Pangandaran yang menunjukkan luasan ekosistem mangrove Pangandaran setiap periode (tahun). Begitu pun dari dinas asal pemekarannya yaitu dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis. Namun terdapat data sekunder lain dari dua penelitian yang dilakukan di Pangandaran. Dari data tersebut dapat diperoleh informasi mengenai perkembangan serta laju luasan ekosistem mangrove di Kabupaten Pangandaran.

Sumber pertama adalah dari penelitian yang dilakukan oleh Refrial, Koswara dan Hamdani pada tahun 2012 mengenai analisis perubahan luasan hutan mangrove di Jawa Barat. Penelitian tersebut meliputi wilayah Pesisir Utara dan Selatan Provinsi Jawa Barat dalam rentang waktu 13 tahun dengan menggunakan data citra satelit tahun 1999, 2006 dan 2012. Metode pada penelitian tersebut menggunakan analisa hasil interpretasi data citra satelit Landsat ETM yang diolah menggunakan software ArcGIS untuk mengetahui persebaran dan perubahan luasan hutan mangrove di Jawa Barat. Dari beberapa wilayah sampel yang digunakan, diantaranya adalah pesisir Kabupaten Ciamis yang sekarang telah menjadi wilayah otoritas Kabupaten Pangandaran.

Luas ekosistem mangrove pada tahun 1999 dari hasil penelitian tersebut adalah seluas 1 053 ha. Pada tahun 2006 akibat tsunami data tidak diketahui atau dianggap 0 (nol). Lalu pada tahun 2012, dari hasil rehabilitasi tahun 2007/2008 diperoleh luasan mangrove hingga 919 ha. Bila data tahun 2006 dikesampingkan dari penghitungan laju luasan, maka dari tahun 1999-2012 dapat disimpulkan terjadi penurunan luasan mangrove dengan rata-rata penurunan 10.31 hektar per tahun atau sebesar 0.98%. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa secara umum luasanmangrove di jawa barat selama kurun waktu ±13 tahun dari tahun 1999 sampai dengan 2012 terjadi penurunan seluas 1897.27 ha atau sebesar 22%.

Alternatif sumber informasi berikutnya adalah dari penelitian yang dilakukan oleh Putra, Husrin dan Kelvin (2015) mengenai identifikasi perubahan luasan sabuk hijau (greenbelt) di Kabupaten Pangandaran. Bila penelitian sebelumnya menginventarisir seluruh vegetasi mangrove yang mungkin di digitasi pada citra termasuk mangrove primer di pesisir ataupun tambak, serta mangrove sekunder di pertambakan, pemukiman, maupun lahan-lahan kosong, maka penelitian kedua ini dipersempit pada kawasan sabuk (pesisir). Dilakukan demikian karena tujuan utama dari penelitian tersebut adalah sebagai upaya mitigasi bencana alam (tsunami) dimana peran greenbelt menjadi cukup signifikan sebagai peredam gelombang tsunami.

(42)

28 greenbelt di pesisir Kabupaten Pangandaran mengalami perubahan. Greenbelt tahun 1999 memiliki luasan sekitar 133.56 ha dan turun sekitar 40% pada tahun 2003 menjadi hanya 81.27 ha. Pengrusakan hutan diakibatkan oleh aktifitas illegal logging dan pembukaan lahan untuk keperluan perkebunan, tambak dan aktifitas ekonomi lainnya.

Tingkat kerusakan mangrove dapat dinilai dari 3 (tiga) aspek yaitu jenis penggunaan lahan, kerapatan tajuk dan ketahanan tanah terhadap erosi. Hasil penilaian tingkat kerusakan yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat dapat dilihat pada Tabel 7. Setelah kejadian tsunami pada tahun 2006, proyek penanaman kembali greenbelt mulai digalakan pada tahun 2007 hingga 2008 dan hasilnya terlihat pada peningkatan luasan greenbelt menjadi 128.82 ha atau naik sekitar 68% dibandingkan keadaan pada tahun 2003. Namun pada tahun 2013 jumlah luasan berkurang sekitar 4% menjadi 120.51 ha. Bila dihitung laju perkembangan luasannya, diketahui terjadi penurunan rata-rata hingga 1.12% atau seluas kurang lebih 2.83 ha/tahun.

Tabel 7. Penilaian Kerusakan Mangrove di Kabupaten Pangandaran

No Lokasi

terhadap Erosi Kategori

Koordinat

2 Pamotan Sawah Sedang Andesite, Basalt,

Breccia Rusak

Sumber: (RPRHL Pangandaran 2013-2018)

Pembahasan

Potensi emisi dari penggunaan listrik oleh wisatawan Pangandaran

Sebagaimana diterangkan pada subbab hasil mengeni penggunaan listrik oleh wistawan, diketahui bahwa rata-rata emisi per individu wisatawan dengan rentang usia 18-45 tahun (60.4 kgCO2e/individu/tahun) lebih besar dibandingkan dengan

wisatawan dengan usia dibawah 18 maupun diatas 45 tahun (57.14 kgCO2e/individu/tahun). Sehingga bila komposisi wisatawan mayoritas merupakan

Gambar

Grafik kunjungan wisatawan ke Pangandaran 2009-2014
Gambar 1. Kontribusi Emisi Nasional tiap Sektor tahun 2010 (Kementerian
Tabel 2. Sumber emisi di sektor wisata
Gambar 2. Kerangka pendekatan masalah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada proses prapanen tanaman tebu RC, nilai energi paling besar terdapat pada nilai energi tidak langsung yang mencapai 38.022,97 MJ/ha atau sebanding dengan

Tahap Preprocessing diperlukan untuk membersihkan data dari hal yang tidak diperlukan, dengan tujuan pada tahap masuk ke dalam metode naïve bayes classifier lebih optimal

Tahap Preprocessing diperlukan untuk membersihkan data dari hal yang tidak diperlukan, dengan tujuan pada tahap masuk ke dalam metode naïve bayes classifier lebih optimal

Tahap Preprocessing diperlukan untuk membersihkan data dari hal yang tidak diperlukan, dengan tujuan pada tahap masuk ke dalam metode naïve bayes classifier lebih optimal

Dari 11 kabupaten/kota pesisir yang ada di provinsi Jawa Barat terdapat 3 wilayah yang memiliki nilai indeks kekompakan area dengan kategori baik/kompak.. Wilayah tersebut