• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Dan Keripik Beberapa Genotipe Ubi Kayu (Manihot Esculenta Crantz) Hasil Pemuliaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Dan Keripik Beberapa Genotipe Ubi Kayu (Manihot Esculenta Crantz) Hasil Pemuliaan"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG DAN

KERIPIK BEBERAPA GENOTIPE UBI KAYU

(

Manihot esculenta

Crantz) HASIL PEMULIAAN

TENGKU MIA RAHMIATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Keripik Beberapa Genotipe Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) Hasil Pemuliaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

(4)

RINGKASAN

TENGKU MIA RAHMIATI. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Keripik Beberapa Genotipe Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) Hasil Pemuliaan Dibimbing oleh Y. ARIS PURWANTO, SLAMET BUDIJANTO dan NURUL KHUMAIDA.

Ubi kayu memiliki peranan besar dalam memenuhi kebutuhan pangan pada kondisi rawan pangan dan pengembangan industri. Ubi kayu merupakan komoditas agroindusti yang sangat potensial dan banyak dijadikan bahan baku berbagai industri diantaranya industri pangan, pakan, farmasi, tekstil dan kertas. Komoditas ubi kayu kayu lebih lanjut dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar alternatif (biofuel) pengganti bahan bakar.

Perbedaan periode pemanenan, jenis varietas kondisi penanaman, kelembaban, suhu tanaman ubi kayu menyebabkan perbedaan perbedaan sifat fisik dan kimia. Perbedaan ini menyebabkan sifat fungsionalnya pun berbeda sehingga mengakibatkan perbedaan produk akhir yang dihasilkan. Sifat fisik dan kimia ubi kayu sangat penting untuk peningkatan kualitas hasil panen dan pengembangan produk ubi kayu. Karakterisasi sifat fisik dan kimia ubi kayu salah satunya ditentukan oleh sifat pati yang merupakan komponen utama dari ubi kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mengkarakterisasi sifat fisikokimia 20 genotipe ubi kayu hasil pemuliaan tim crop improvement ubi kayu IPB. Karakterisasi fisikokimia dilakukan dengan cara melakukan analisis kimia (kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, total pati, kadar amilosa) dan fisik (karakteristik pasta (pasting properties) dan pengukuran derajat putih). Dari hasil karakterisasi diperoleh bahwa setiap genotipe ubi kayu memiliki sifat fisiko-kimia tepung yang berbeda. Kadar air tertinggi dimiliki genotipe V4D0 11.48%, kadar abu tertinggi 1.89% (U10), kadar lemak tertinggi 1.83% (U1) dan protein tertinggi 5.13% (U9). Genotipe U2 memiliki kadar amilosa tertinggi yaitu 24.21% sedangkan yang terendah dihasilkan oleh genotipe V2D1-1(3) yaitu 13.13%. Genotipe V2D0 memiliki total pati tertinggi yaitu 88.67% dan yang terendah adalah genotipe U4 yaitu 71.20%. Hasil pengukuran niali derajat putih genotipe V1D0 memiliki nilai terbaik yaitu 93.13%. Pada pengujian pasting properties genotipe V2D1-1(3) memiliki viskositas puncak terendah yaitu 4006 cP dan viskositas akhir yang tinggi terjadi pada genotipe U1 yaitu 2774 cP. Analisis kerenyahan keripik, menunjukkan bahwa genotipe U3, U10 dan V4D0 memiliki nilai kerenyahan yang mendekati karakteristik keripik komersial yang umum dijual di pasaran.

(5)

SUMMARY

TENGKU MIA RAHMIATI. Characterization of Physicochemical Properties of Cassava (Manihot esculenta Crantz) Flour and Chips from Different Genotypes. Supervised by Y. ARIS PURWANTO, SLAMET BUDIJANTO and NURUL KHUMAIDA.

Cassava has the major role to fulfill the food needs during the insecure condition and industrial development. Cassava is a potential agroindustrial commodity and widely used for raw material in various industries such as; food, feed, pharmacy, textiles and papers. Furthermore, the commodity of cassava can be used as source of biofuel. The differences in harvest time, varieties, growth conditions, humidity, and temperatures of cassava leads to the differences in physical and chemical properties of it, which will be impacted to the differences in functional properties and the final product. The physical and chemical properties of cassava are very important to improve the crop quality and its development. These characteristics are determined by starch properties which is the main component of cassava.

This study was aimed at evaluating and characterizing the physicochemical properties of 20 cassava breeding genotypes, produced by IPB cassava crop improvement team. The physicochemical characterization was performed by analyzing the moisture, ash, protein, fat, carbohydrate, pasta characteristics (pasting properties), starch total, amylose content, and whiteness measurement. The results showed that each genotype had different chemical content, and gelatinization properties. The highest water content was produced by genotyping V4D0 is 11.48%, the highest ash was 1.89% (U10), the highest fat was 1.83% (U1) and the highest protein was 5.13% (U9). Genotype U2 has the highest amylose was 24.21% and the lowest produced by genotype V2D1-1 (3) was 13.13%. V2D0 genotype had the highest total starch was 88.67% and the lowest was U4 genotypes 71.20%. Results of measurement values whiteness genotype V1D0 has the best valueis 93.13%. On testing pasting properties Genotype V2D1-1(3) lowest viscosity was 4006 cP. The high value of last viscosity occured in 277 cP by genotype U1. For analyzing the crispness of chips, genotype U3, U10 and V4D0 found that had crispness value approaching characteristics of commercial chips.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG DAN

KERIPIK BEBERAPA GENOTIPE UBI KAYU

(

Manihot esculenta

Crantz) HASIL PEMULIAAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Keripik Beberapa Genotipe Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) Hasil Pemuliaan Nama : Tengku Mia Rahmiati

NIM : F152120171

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc Ketua

Prof Dr Ir Slamet Budijanto, MAgr Anggota

Dr Ir Nurul Khumaida, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Juni 2014 ini ialah Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Keripik Beberapa Genotipe Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) Hasil Pemuliaan.

Terlaksananya penelitian dan penyusunan tesis ini tidak terlepas dari kerjasama dan bantuan berbagai pihak terkait yang juga memberikan motivasi serta dukungan secara langsung maupun tidak langsung. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr selaku pembimbing kedua serta Ibu Dr.Ir. Nurul Khumaida, MS selaku pembimbing ketiga, yang tiada henti memberikan saran, arahan, motivasi dan bimbingan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyusunan tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr selaku dosen penguji, yang telah banyak memberikan masukan, saran dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

3. Seluruh pengajar di Program Studi Ilmu Pangan dan Teknologi Pascapanen yang telah memberikan bekal ilmu bagi penulis.

4. Para teknisi di laboratorium Technopack, laboratorium ITP dan laboratorium TPPHP yang telah memberikan bantuan selama penulis melakukan penelitian. 5. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua tercinta yaitu Ayahanda Tuanku Maimun dan Ibunda Cut Sakdiah yang telah memberikan do’a yang tulus, motivasi dan perhatian yang tidak ternilai harganya hingga penulis dapat menyelesaikan studi master ini.

6. Terima kasih juga disampaikan untuk kakanda tercinta Tuanku Mohammad Iqbal beserta Istri Nurul Inayah dan adindaku tersayang Tuanku Ihsan Munawar serta seluruh keluarga atas segala do’a, cinta dan kasih sayang serta dukungan yang diberikan kepada penulis.

7. Sahabat-sahabatku tercinta Uni Asmeri Lamona, Uni Fahma Yuliwardi, Kak Vonny Tiara, Sari Mustika, Kak Nur Pratiwi Rasyid, Fachrurrazi,Virna Muhardina. Teman-teman IPN 2012, TPP 2012 dan TPP 2013 atas bantuan dan kerjasamanya selama menempuh study serta telah memberikan semangat dan motivasi dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu

(12)
(13)

DAFTAR ISI

PRAKATA ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

Hipotesa Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Ubi Kayu 2

Tepung 3

Pati 4

Gelatinisasi Pati 5

Keripik 6

METODELOGI PENELITIAN 7

Waktu dan Tempat Penelitian 7

Bahan Penelitian 7

Alat Penelitian 7

Tahapan Penelitian 7

Pembuatan Tepung Ubi Kayu 9

Pembuatan Keripik Ubi Kayu 10

Prosedur Analisis 10

Rancangan Percobaan 14

HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Tepung Ubi Kayu 15

Karakteristik Kimia 15

Kadar Pati, Amilosa dan Amilopektin 20 Genotipe Ubi Kayu 17 Karakteristik Pasta Tepung 20 Genotipe Ubi Kayu 19

Nilai Derajat Putih 23

Keripik Ubi Kayu 24

SIMPULAN DAN SARAN 25

DAFTAR PUSTAKA 26

(14)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi kimia ubi kayu 3

2 Perbandingan komposisi kimia berbagai jenis tepung 4 3 Komposisi kimia dan derajat putih tepung 10 genotipe ubi kayu

generasi pertama 15

4 Komposisi kimia dan derajat putih tepung 10 genotipe ubi kayu

generasi kedua 16

5 Kandungan pati, amilosa dan amilopektin 10 genotipe tepung ubi kayu

generasi pertama (% bahan kering) 18

6 Kandungan pati, amilosa dan amilopektin 10 genotipe tepung ubi kayu

generasi kedua (% bahan kering) 18

7 Karakteristik pasta tepung 10 genotipe ubi kayu generasi pertama 20 8 Karakteristik pasta tepung 10 genotipe ubi kayu generasi kedua 22 9 Hasil pengukuran kerenyahan keripik 20 genotipe ubi kayu dan keripik

pembanding yang beredar dipasaran (komersial) 25

DAFTAR GAMBAR

1 Perubahan bentuk granula pati selama gelatinisasi 6

2 Diagram keseluruhan tahapan penelitian 8

3 Diagram alir pembuatan tepung ubi kayu 9

4 Diagram alir pembuatan keripik ubi kayu 10

5 Grafik perubahan viskositas (amilograf) pada tepung beras 16 6 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid

Visco Analyzer (RVA) generasi pertama 20

7 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid

Visco Analyzer (RVA) generasi kedua 21

DAFTAR LAMPIRAN

1. Tabel rekomendasi pemanfaatan 20 genotipe ubi kayu ... 30 2. Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid

Visco Analyzer (RVA) generasi pertama ... 32 3. Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu yang diukur dengan Rapid

(15)
(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ubi kayu merupakan salah satu sumber karbohidrat selain padi dan jagung yang dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pada kondisi rawan pangan nasional. Ubi kayu terbukti dapat mengatasi kebutuhan pangan masyarakat dunia (FAO 2011) karena sangat potensial digunakan sebagai bahan baku pada berbagai industri pangan. Selain itu ubi kayu juga dapat dimanfaatkan pada industri pakan ternak, tekstil, farmasi dan sebagai perekat pada industri kertas serta dapat menjadi sumber bahan bakar alternatif (biofuel) karena tingginya kandungan pati yang dapat dijadikan bioetanol. Bioetanol dapat digunakan sebagai bahan bakar tunggal atau subtitusi pada bensin dan premium (Sugiyono 2005).

Pesatnya perkembangan berbagai industri berbasis ubi kayu menyebabkan kebutuhan ubi kayu semakin meningkat, namun ketersediaan ubi kayu masih terbatas karena rendahnya produksi. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tersebut, petani dan pemulia terutama tim crop improvement ubi kayu IPB kemudian mengembangkan berbagai varian ubi kayu yang memiliki potensi produktivitas yang tinggi dengan berbagai metode pengembangan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Khumaida et al. (2015) diperoleh varian ubi kayu yang memiliki tingkat produktivitas tinggi dengan kandungan pati yang tinggi pula sehingga diharapkan dapat mendukung ketersediaan bahan baku industri berbasis ubi kayu.

Ubi kayu memiliki jenis dan varietas yang beragam, akibatnya ubi kayu yang dihasilkan memiliki sifat fisik dan kimia yang berbeda – beda (Moorthy 2002). Selain jenis dan varietas, periode pemanenan, kondisi penanaman, kelembaban dan suhu lingkungan tanaman ubi kayu juga menyebabkan perbedaan karakter fisik dan kimia umbi yang dihasilkan.

Karakterisasi sifat fisik dan kimia umbi ubi kayu salah satunya ditentukan oleh sifat pati yang merupakan komponen utama dari umbi ubi kayu. Sifat fisik dan kimia pati terdiri dari bentuk dan ukuran granula, kandungan amilosa dan kandungan komponen non-pati. Perbedaan karakter fisikokimia ubi kayu akan mempengaruhi produk akhir yang dihasilkan karena terjadinya ketidakkonsistenan pada bahan baku (Syamsir et al. 2011) sehingga perlu dilakukan pengkarakterisasian dari berbagai varian atau genotipe ubi kayu. Pengkarakterisasian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pemulia untuk mengklasifikasikan genotipe ubi kayu agar sesuai dengan tujuan pengolahan ubi kayu dan membantu dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas serta kuantitas hasil panen ubi kayu hasil pemuliaan yang telah dilakukan oleh tim crop improvement ubi kayu.

Tujuan Penelitian

(18)

2

sehingga dapat menjadi umpan balik kepada pemulia untuk mendapatkan genotipe yang sesuai dengan tujuan pengolahan ubi kayu.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi karakter fisik dan kimia tepung serta keripik ubi kayu sebagai bahan pertimbangan bagi pemulia untuk menentukan genotipe ubi kayu yang sesuai dengan tujuan pengolahan ubi kayu. Selain itu sebagai sumber informasi dan rekomendasi bagi produsen untuk memilih genotipe yang tepat dalam pengolahan ubi kayu sehingga menghasilkan produk sekunder yang bernilai jual tinggi.

Hipotesa Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah genotipe ubi kayu yang berbeda mempunyai karakteristik sifat fisikokimia yang berbeda. Genotipe ubi kayu yang berbeda ini akan berpengaruh terhadap karakteristik produk sekundernya.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Ubi Kayu

Ubi kayu merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang tumbuh dan berkembang di daerah tropis dan sub tropis. Umbi ini juga mampu bertahan dan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang ektrim, seperti kondisi tanah masam (pH rendah), tanpa pemupukan dan daerah dengan curah hujan yang bervariasi seperti pada curah hujan rendah (<500 mm), ataupun tinggi (5000 mm), namun curah hujan optimum untuk ubi kayu berkisar antara 760-1015 mm per tahun (Suharno et al. 1999).

Indonesia merupakan negara keempat dari lima negara terbesar penghasil ubi kayu. Berdasarkan data FAO (2011) hampir 60 % produksi ubi kayu dunia berpusat pada lima negara yaitu Nigeria, Thailand, Brazil, Indonesia dan Kongo. Dilihat dari urutan negara penghasil ubi kayu terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi dalam memproduksi ubi kayu. Ubi kayu juga merupakan komoditas tanaman pangan yang menjadi bahan baku berbagai industri pangan, pakan, kimia, tekstil atau menjadi produk yang lebih bernilai jual tinggi yaitu bioetanol sebagai sumber energi alternatif pengganti minyak bumi.

(19)

3 Tabel 1 Komposisi kimia umbi ubi kayu

Komponen Persentase

Sumber: Bradburry and Holloway 1988 in Westby (2002)

Sebagai bahan baku industri, ubi kayu dapat diolah menjadi tepung ubi, tapioka (pati), berbagai jenis alkohol, glukosa cair, dektrin, high fructose syrup (HFS), MSG, sorbitol dan lain sebagainya. Ubi kayu selain dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan (food) dan biofuel juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak (feed). Sifatnya yang mudah tumbuh dan berkembang di kondisi tanah dan cuaca ekstrim menyebabkan ubi kayu sangat potensial untuk dikembangkan. Pada umumnya, umbi ubi kayu dimanfaatkan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat (54.2 %), industri tepung tapioka (19.70 %), industri pakan ternak (1.80 %), industri nonpangan lainnya (8.50 %) dan sekitar 15.80 % diekspor (Adrizal 2003). Tingginya angka pemanfaatan tersebut menyebabkan limbah pengolahan yang dihasilkan juga tinggi, sehingga dianggap cukup potensial digunakan untuk pakan ternak.

Tepung

Tepung ubi kayu memiliki kandungan pati yang tinggi. Menurut Suhartono (1990) tepung ubi kayu mengandung pati 83.8 %, lemak 0.9 %, protein 1 %, serat 2.1 %, abu 0.7 %. Kekurangan dari ubi kayu adalah rendahnya kandungan protein. Tepung ubi kayu mempunyai warna, tekstur dan aroma yang menyerupai tepung terigu.

Selain kompenen gizi, ubi kayu juga mengandung berbagai komponen non-gizi atau bahkan bersifat toksin, yaitu asam sianida (HCN). Kandungan HCN dalam umbi ubi kayu tergantung pada varietas, lokasi dan kondisi pertanian. Sianida dalam ubi kayu berikatan dengan senyawa linamarin atau glukosida aseton sianohidrin (Winarno 2002).

(20)

4

komposisi kimia komoditi pangan sumber karbohidrat antara tapioka, mocaf, tepung beras dan tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbandingan komposisi kimia berbagai jenis tepung Komposisi

Pati adalah polisakarida homoglikan yang disusun oleh monomer α -D-glukopiranosil yang berikatan dengan ikatan glikosidik α-1.4 dan atau α-1.6 dengan penghilangan air. Granula pati ubi kayu memiliki beragam bentuk (bulat, oval, lenticular, poligonal) dan ukuran (diameter 2–100 m).

Polisakarida utama penyusun pati adalah amilosa dan amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin pati ubi kayu bervariasi, umumnya sekitar 25:75 (Bemiller dan Whistler 1996). Pati dari sumber yang berbeda memilki susunan amilosa-amilopektin yang berbeda pula, Pati jagung, gandum dan sorghum memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi (± 28 %) dibandingkan dengan kelompok umbi-umbian seperti ubi kayu dan kentang yang memiliki kandungan amilosa sebesar 20 % (Swinkels 1985). Variasi komponen amilosa dan amilopektin tergantung dari hasil biosintesis pati (Copeland et al. 2009).

Pati ubi kayu memiliki sifat yang unik dengan warna dan flavor netral. Keunikan sifat ini menyebabkan pati ubi kayu dimanfaatkan sebagai ingredien dan aditif pada industri pangan, diantara pemanfaatan tersebut adalah untuk memperbaiki ekspansi produk ekstrusi, bahan pengisi dalam produk makanan bayi olahan dan bahan pengikat pada produk-produk biskuit dan konfeksioneri (Tonukari 2004).

Di Thailand, Cina dan Afrika, pati ubi kayu dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam berbagai industri, diantaranya sebagai bahan tambahan pangan. Bahan baku untuk memproduksi pemanis, pembuatan tepung berkualitas tinggi sebagai penganggati tepung terigu, alkohol, kayu lapis, obat-obatan, kertas, tekstil dan sebagai bahan baku pembuatan etanol untuk produksi biofuel. Di Indonesia ubi kayu telah dimanfaatkan dalam berbagai industri seperti bahan baku pembuatan tapioka, mocaf, gamplek, keripik, perekat pada arang briket, pakan ternak, kertas, tekstil dan sebagainya.

(21)

5 cair); (9) Kemasan Biodegradable (Nanda et al. 2002); (10) Bahan campuran dalam pembuatan MSG (Tungphaisal 2002; Rhicana et al. 2002); (11) Etanol; (12) Mie; (13) Cake, biskuit dan berbagai makanan tradisional lainnya (Rhicana et al. 2002). Selain pada industri pangan pati ubi kayu juga dimanfaatkan pada industri tekstil, kertas, farmasi, pembuatan lem, plywood (plywood) (Tungphaisal 2002). Sebanyak 60 % kegunaan pati adalah untuk pangan dan 40 % untuk nonpangan (Copeland et al. 2009). Untuk memenuhi kebutuhan berbagai indutri tersebut, pengkarakterisasian dilakukan untuk mempermudah dalam pemilihan genotipe ubi kayu yang sesuai dengan kebutuhan.

Pati ubi kayu juga memiliki kemampuan untuk menghasilkan kenampakan pangan menjadi lebih menarik, memperbaiki tekstur atau mouth-feel, mencegah pemisahan ingridien dan sebagai carrier komponen flavor. Aplikasi pati dalam pangan sangat luas yaitu digunakan bulking agent untuk mengontrol konsistensi dan memperbaiki tekstur (Collado dan Corke 2003). Selain itu pati ubi kayu juga dapat digunakan untuk membuat sirup fruktosa, dektrin dan formula untuk kapsul gelatin. Sirup fruktosa dan dektrin dimanfaatkan dalam industri kembang gula, pengalengan buah-buahan, pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Menurut Tonukari (2004), ampas tapioka juga banyak dipakai sebagai campuran makanan ternak.

Pati termodifikasi (modified starch) merupakan bentuk olahan lebih lanjut pati ubi kayu. Dalam bentuk pati termodifikasi pemanfaatan pati menjadi lebih berkembang sehingga banyak dipergunakan dalam pembuatan makanan modern seperti makanan instan (instant food), permen dan produk olahan daging seperti chicken nugget. Dalam bidang nonpangan pati termodifikasi ini banyak dimanfaatkan untuk industri seperti tekstil, kertas, bahan perekat, dekstrin, pemanis, sabun, kosmetik, obat-obatan dan lain-lain (Balagopalan et al. 1988).

Pada produk olahan ubi kayu lainnya, kandungan pati dalam ubi kayu juga dapat mempengaruhi tekstur dan kerenyahan dari keripik ubi kayu yang akan dihasilkan. Kandungan pati dalam ubi kayu akan mengalami proses gelatinisasi selama penggorengan akibat perlakuan suhu tinggi sehingga menyebabkan garnula pati yang semula utuh akan pecah dan akan membentuk tekstur yang mengembang. Selain akibat gelatinisasi pati, protein yang terdenaturasi atau mengalami koagulasi juga akan mempenagruhi tekstur produk pangan gorengan yang dihasilkan (Muchtadi dan Sugiyono 2013).

Gelatinisasi Pati

(22)

6

Pada proses gelatinisasi pati mula-mula mengalami hidrasi dan swelling (pengembangan), kemudian berangsur-angsur kehilangnya sifat birefringent sehingga terjadi peningkatan kejernihan pada pati. Suhu gelatinisasi diawali dengan pembengkakan granula pati dakam air panas dan diakhiri ketika pati telah kehilangan sifat kristalnya. Selanjutnya pati akan mengalami peningkatan konsistensi dan pencapaian viskositas puncak (Pomeranz 1991; Kusnandar 2010). Grafik perubahan pada granula pati dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Perubahan bentuk granula pati selama gelatinisasi (Angela 2001)

Keripik

Kripik adalah makanan ringan (snack food) yang tergolong jenis makanan crackers, yaitu makanan yang bersifat kering, renyah (crispy) dan kandungan lemaknya tinggi (Sulistyowati 1999). Kriteria kripik yang baik menurut Astawan dan Wahyuni (1991) memiliki rasa gurih, aroma yang harum, memiliki tekstur yang kering dan tidak tengik, warrnanya menarik serta berbentuk tipis, bulat dan utuh dalam arti tidak pecah.

Kerenyahan merupakan faktor penentu rasa dan mutu produk-produk chip (keripik). Kerenyahan juga berpengaruh terhadap rasa keripik yang dihasilkan, meskipun kualitas bumbu yang sama pada kerenyahan keripik yang berbeda dapat memberikan penilaian yang berbeda terhadap rasa keripik tersebut.

Kripik singkong merupakan bahan makanan yang mudah rusak akibat pengaruh lingkungan, faktor luar yang dapat memicu terjadinya reaksi yang akan menurunkan mutu makanan adalah suhu, kelembaban, oksigen dan cahaya. Proses pengemasan yang tepat akan menghambat terjadinya proses kerusakan yang dapat mengakibatkan semakin meningkatnya laju penurunan mutu.

Makanan kering seperti kripik mengalami kehilangan kerenyahan dengan tekstur yang tidak dapat diterima pada aw antara 0.35- 0.50. Saat aw meningkat, maka akan terjadi rekristalisasi (pembesaran air) khususnya pada makanan yang mengandung gula atau karbohidrat. Keadaan ini mempengaruhi tekstur dan mutu secara nyata. Nilai aw mempengaruhi proses pengawetan maupun penyimpanan makanan seperti oksidasi lipid dan pencoklatan non enzimatik.

(23)

7 yang akan menimbulkan ketengikan. Adanya gas (oksigen) menyebabkan terjadinya proses oksidasi minyak atau lemak sehingga terbentuk peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya ialah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehida dan keton serta asam-asam lemak bebas. Senyawa aldehida ini akan menimbulkan ketengikan (Ketaren, 1989).

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai dengan Juni 2014. Penelitian dilaksanakan di laboratorium F-Technopark, laboratorium kimia pangan dan L3, laboratorium biokimia, laboratorium pengolahan pangan dan L2 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, laboratorium SEAFAST Center dan laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 genotipe ubi kayu, yang dikembangkan oleh tim peneliti ubi kayu Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, terdiri dari 10 genotipe hasil generasi pertama, yaitu U1, U2, U3, U4, U5, U6, U7, U8, U9, U10 dan 10 genotipe generasi kedua, yaitu V1D0, V1D1-1(1), V2D0, V2D1-1(3), V3D0, V3D1(1), V4D0, V4D2-1(2), V5D0, V5D2(1) dengan umur panen yang seragam yaitu 9 bulan setelah tanam (BST). Bahan kimia untuk analisis komposisi kimia dan sifat fungsional antara lain etanol, NaOH, CH3COOH (asam asetat), Iodine, HCl, Luff schoorl, indikator phenolptalein (pp), H2SO4, KI, Na2S2O3, amilosa standard dan glukosa murni.

Alat

Alat - alat yang digunakan dalam percobaan meliputi: Chooper Philips HR7620, cabinet dryer, oven tanur, Rapid Visco Analyzer (RVA Tecmaster), spectrophotometer Shimadzu UV-160, Whiteness Meter (Kett Electric Laboratory), soxlet dan TAXT2i texture analyzer, serta peralatan pendukungnya.

Tahapan Penelitian

(24)

8

pengolahan ini langsung dilakukan setelah ubi dipanen, tujuannya agar ubi yang digunakan masih dalam keadaan baik dan segar. Keseluruhan tahap penelitian disajikan dalam diagram alir pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram keseluruhan tahap penelitian

Pembuatan Keripik Ubi Kayu 20 genotipe ubi kayu

Sortasi, pengupasan dan pencucian

Analisis :

Kadar air Daging Umbi

Pembuatan Tepung Ubi Kayu

Analisis : Kerenyahan

Analisis :

Proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat), analisis pati, amilosa dan amilopektin, karakter pasta pati (RVA), dan derajat putih

(25)

9

Pembuatan Tepung Ubi Kayu

Proses pembuatan tepung ubi kayu dilakukan dengan cara umbi ubi kayu yang telah dikupas dan dicuci bersih dengan air mengalir. Selanjutnya dicacah dengan chooper (Philips HR7620). Cacahan ubi basah yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam cabinet driyer selama 10 jam pada suhu 60 C. Setelah kering cacahan digiling dengan menggunakan alat penepung. Hasil dari penggilingan diayak menggunakan ayakan ukuran 80 mesh. Selanjutnya setiap tepung yang dihasilkan dari setiap genotipe dianalisis secara kimia dan fisik (Gambar 3).

Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung ubi kayu Sortasi, pengupasan dan pencucian

Pencacahan menggunakan chooper Philips HR7620

Pengeringan dalam cabinet dryer pada suhu 60 C ± 10 jam hingga kering

Penepungan dilakukan dengan mesin penepung 20 genotipe ubi kayu

Pengayakan dilakukan dengan ayakan 80 mesh

(26)

10

Pembuatan Keripik Ubi Kayu

Umbi ubi kayu disortasi, dikupas, kemudian dicuci bersih dengan air mengalir. Umbi ubi kayu yang sudah bersih selanjutnya diiris tipis dengan ketebalan ± 1.10 mm -1.40 mm. Ubi kayu yang terlah diiris kemudian digoreng dengan metode deep rying selama ± 2 menit pada suhu 160 C, kemudian keripik ditiriskan dan diinginkan (Gambar 4).

Gambar 4 Diagram alir pembuatan keripik ubi kayu

Prosedur Analisis Analisis proksimat

Analisis proksimat yang dilakukan terhadap 20 genotipe tepung ubi kayu mencakup analisis kadar air dengan metode oven (AOAC 2006), abu (AOAC 2006), protein dengan metode Kjeldahl (AOAC 2006), lemak metode Soxhlet (AOAC 2006) dan karbohidrat (ditentukan menggunakan by difference).

Kadar air (AOAC 2006)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 2 gram dalam cawan (B).Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 100oC selama 6 jam.Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu

Keripik ubi kayu

Sortasi, pengupasan dan pencucian Kulit ubi kayu

Pengirisan dengan ketebalan± 1.1-1.40 mm

Penggorengan dengan deep frying pada suhu 160 C selama ± 2 menit

(27)

11 didinginkan dan ditimbang.Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C). Perhitungan kadar air ditentukan dengan rumus :

� % = − − � % � %

= − − � %

Kadar abu (AOAC 2006)

Cawan disiapkan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 2 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600 oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap.Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (C).

% = − � %

% = � %

Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC 2006)

Sampel sebanyak ± 100 mg ditimbang (A) dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 3.8 ± 0.1 ml H2SO4. Ditambahkan batu didih pada labu lalu sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Labu beserta sampel dididihkan dengan air dingin. Dipindahkan isi labu dan air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam baik dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ± 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumlah volume (ml) blanko. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus :

� % = � − � � � � . 7 �

� � % = % � � � � .9

(28)

12

Kadar lemak (AOAC 2006)

Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan.Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A).Ditimbang sebanyak ± 5 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak.Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor.Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak.

% = − � %

% = � %

Kadar karbohidrat by difference (SNI 01-2891-1992)

Karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference dengan perhitungan:

ℎ� % = − � + +

Keterangan: P=kadar protein (% bk); A= kadar abu (% bk); L=kadar lemak (%bk)

Analisis total pati, amilosa dan amilopektin Analisis Total Pati (Motode Anthrone)

Pengukuran kadar pati dilakukan dengan cara menimbang 1 g contoh. kemudian dimasukkan kedalam tabung ulir 50 ml lalu tambahkan 5 ml HCl 25 %. Hidrolisis selama 2 jam dalam waterbath mendidih. Dinginkan dan netralkan dengan NaOH 40 %. kemudian tambahkan 5 ml Pb asetat. Saring suspensi pati kedalam labu ukur 100 ml dan encerkan sampai tanda batas lalu tambahkan Natrium Oksalat. Pipet 5 ml filtrat yang diperoleh kedalam tabung reaksi dan tambahkan reagen anthrone 5 ml. Didihkan selama 10 menit dalam waterbath. Dinginkan dengan segera pada air mengalir.kemudian diukur absorbansinya pada = 630 nm. Absorbansi yang diperoleh diplotkan pada kurva standar.Kadar pati dihitung berdasarkan hubungan absorbansi contoh dengan kurva standar.

Kadar pati =

y−

x FP x .9

c x � %

Keterangan : a = koefisien x dari persamaan kurva standar b = konstanta dari persamaan kurva standar c = berat contoh awal (mg)

(29)

13

Analisis Kadar Amilosa (AOAC. 1995)

Analisis kadar amilosa dilakukan dengan cara menimbang 1 g contoh, kemudian dimasukkan kedalam tabung ulir 50 ml lalu tambahkan 9 ml NaOH 1 M dan 1 ml ethanol lalu divortex. Larutan kemudian dipanaskan di waterbath selama 30 menit. Larutan diencerkan ke dalam labu takar 100 ml. selanjutnya diambil 0.25 ml ke dalam labu takar 10 ml lalu ditambahkan dengan CH3COOH dan KI/Iod masing-masing 0.5 ml dan ditambahkan dengan aquades sampai batas tera. Campuran dikocok dan dibiarkan selama 20 menit, kemudian diukur absorbansinya pada = 620 nm. Absorbansi yang diperoleh diplotkan pada kurva standar. Kadar amilosa dihitung berdasarkan hubungan absorbansi contoh dengan kurva standar.

Kadar amilosa (%) = � � � ��

Keterangan :

C : Konsentrasi amilosa contoh dari kurva standar (mg/ml) V : Volume akhir contoh (ml)

FP : faktor pengenceran W : berat contoh (mg)

Kadar Amilopektin

Kandungan amilopektin dapat ditentukan sebagai selisih antara kandungan pati dengan amilosa.

Kadar amilopektin = Pati – Amilosa

Analisis Karakteristik Pasta (Pasting Properties) (AACC 2009)

Karakteristik pasta dari sampel diukur menggunakan Rapid Visco-Analyser dengan metode AACC 61-02.01. Secara berturut-turut 25 ml air destilata dan 3 g sampel (kadar air disesuaikan 14 %) dimasukkan ke dalam RVA canister. Kemudian canister dimasukkan ke dalam alat dan dilakukan pengadukkan sampel dan air dengan kecepatan 960 rpm selama 10 detik. Pada tahap pengukuran awal campuran diaduk dengan kecepatan 160 rpm dan suhu dipertahankan pada 50 oC selama 1 menit. Suhu kemudian dinaikkan dari 50 oC ke 95 oC dalam 3.5 menit dan dipertahankan pada kondisi tersebut selama 2.5 menit. Suhu diturunkan kembali ke 50 oC dalam 3.5 menit dan kemudian dipertahankan selama 5 menit.

(30)

14

Gambar 5 Grafik perubahan viskositas (amilograf) pada tepung beras (Hung dan Morita 2005)

Analisis Fisik Analisisi Kerenyahan Keripik (texture analyzer)

Keripik ubi kayu diuji kerenyahannya dengan menggunakan texture analyzer TA-XT2i. Setiap keping keripik ditekan pada bagian tengah menggunakan probe tipe spherical ball berdiameter 0.25 inch dengan kecepatan/ gaya (force) probe 1 gf dan jarak (distence) 3 mm. Pada layar komputer akan ditampilkan profil tekstur dari sampel yang dianalisis dalam bentuk kurva deformasi gaya yang meunjukkan hubungan antara gaya dan jarak. Data yang tercatat berupa gaya (gf) dan jarak (mm) pada puncak profil tekstur yang dihasilkan. Tekstur dievaluasi sebagai kerenyahan yang merupakan rataan dari perkalian antara gaya yang diperlukan untuk menghancurkan sampel. Semakin besar nilai gaya maka semakin rendah nilai kerenyahan sampel.

Analisis Derajat Putih

Derajat putih diukur dengan Whitnes Meter (Kettih Electric Labory). Kalibrasi dilakukan dengan standar warna putih BaSO4 yang memiliki derajat putih 100% (110.8). Sejumlah contoh dimasukkan ke dalam wadah khusus. dipadatkan. ditutup. Kemudian dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai derajat putih akan keluar pada layar atau terbaca pada alat (A).

Derajat Putih % = A x %

Rancangan Percobaan

(31)

15

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tepung Ubi Kayu Karakteristik Kimia

Kadar Air

Mengacu pada SNI 01-2997-1992 tentang tepung ubi kayu, kadar air dari 20 genotipe (Tabel 3 dan Tabel 4) ubi kayu yang dikembangkan memiliki kadar air kurang dari 9 %, yang sesuai dengan standar, yaitu maksimal kadar air 12 %. Kandungan air dalam bahan pangan sangat mempengaruhi keawetan dan mutu bahan pangan. Tingginya kadar air dalam bahan menyebabkan bahan pangan mudah rusak akibat aktivitas mikrobiologis dan reaksi kimia. Pada tepung, penurunan mutu ditandai dengan meningkatnya kadar air bahan akibat penyerapan uap air dari lingkungan, sehingga menyebabkan tepung menjadi menggumpal dan lengket (Kusnandar 2010).

Kadar Abu

Kadar abu dari 10 genotipe generasi satu (U) tepung ubi kayu berkisar antara 1.34±0.02 - 1.89±0.02% (Tabel 3), sedangkan kadar abu dari 10 genotipe generasi kedua (V) tepung ubi kayu adalah 1.23 ± 0.02 % - 1.83 ± 0.02 % (Tabel 4). Pada Tabel 3 dan Tabel 4 dapat dilihat bahwa dari 20 genotipe tepung ubi kayu yang dikembangkan, 5 genotipe diantaranya memiliki kadar abu diatas standar batas maksimum kadar abu tepung ubi kayu yaitu 1.70 % (SNI 01-2997-1996). Besarnya kadar abu dalam tepung berpengaruh terhadap hasil akhir produk seperti warna produk dan kestabilan adonan. Semakin tinggi kadar abu maka semakin buruk kualitas tepung yang dihasilkan. Kadar abu juga dapat mempengaruhi aktivitas fermentasi, kekuatan adonan, gizi, warna, dan rasa produk akhir roti. Tabel 3 Komposisi kimia dan derajat putih tepung 10 genotipe ubi kayu generasi

(32)

16

Kadar Lemak dan Protein

Tepung ubi kayu memiliki kandungan lemak yang relatif rendah, sehingga sering disebut kandungan komponen minor. Hasil analisis lemak sepuluh genotipe ubi kayu generasi pertama (Tabel 3) berkisar antara 0.62 % - 1.83 %. Sedangkan hasil analisis lemak sepuluh genotipe ubi kayu generasi kedua (Tabel 4) menunjukkan hasil yang bervariasi yaitu berkisar antara 0.60 % - 1.62 %. Kadar lemak pada genotipe yang dikembangkan lebih tinggi dibandingkan kadar lemak yang dilaporkan Juwita (2014) untuk ubi varietas Adira-4, Adira-1, UJ-5 dan Malang-4 berturut-turut yaitu 0.49%, 0.63%, 0.78 % dan 0.52%.

Kadar protein dari sepuluh genotipe generasi pertama dan kedua diperoleh berkisar antara 2.82 % -5.41 % dan 1.77 % - 4.73 %. Hasil pengujian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Adira-4, Adira-1, UJ-5 dan Malang-4 berturut-turut yaitu 1.98%, 2.38%, 3.14 % dan 2.09 % (Juwita 2014).

Secara umum tepung ubi mengandung protein dan lemak lebih tinggi dibandingkan pati, hal ini disebabkan proses ektraksi dan pencucian akan menghilangkan protein dan lemak. Tepung dengan kandungan protein dan lemak yang tinggi dalam bahan dapat mengurangi kekuatan gel dan berpengaruh terhadap karakteristik gelatinisasi serta kekentalan bahan pada saat diolah (Hidayat et al. 2009). Kandungan komponen minor dalam tepung ubi kayu seperti kadar abu, lemak dan protein dapat mengganggu sifat pasting yang dihasilkan (Copelan et al. 2009). Lemak yang terdapat pada bahan yang mengandung pati akan mengganggu proses gelatinisasi akibat terbentuknya kompleks amilosa-lemak. Pembentukan kompleks tersebut dapat mengurangi kecendrungan amilosa untuk berikatan, membentuk gel dan teretrogradasi, sehingga menghambat peningkatan viskositas selama pemanasan (Suarni et al. 2013). Sedangkan interaksi protein dengan pati akan membentuk kompleks pada permukaan granula pati sehingga kekuatan gel menjadi rendah dan viskositas pati menjadi menurun (Mohamed 2003). Hal ini kurang diharapkan karena pada aplikasi pemanfaatannya, pati banyak digunakan sebagai thickening.

(33)

17

Kadar Karbohidrat

Dari hasil analisis kandungan karbohidrat (by difference) tepung ubi kayu dari sepuluh genotipe generasi pertama yang dihasilkan berkisar antara 83.70 ± 0.10 % – 86.04 ± 0.48 % (bk) (Tabel 3). Sedangkan hasil pengukuran karbohidrat tepung ubi kayu dari sepuluh genotipe generasi kedua (Tabel 4) berkisar antara 82.90 ± 0.76 % – 87.29 ± 0.05 %. Kadar karbohidrat pada genotipe yang dikembangkan tidak jauh berbeda dibandingkan dengan kadar karbohidrat hasil penelitian Juwita (2014) untuk ubi varietas Adira-4, Adira-1, UJ-5 dan Malang-4 berturut-turut yaitu 89.27%, 87.15%, 87.72% dan 87.96%.

Kandungan utama dari ubi kayu adalah karbohidrat. Karbohidrat dalam bentuk paling sederhara adalah dari kelompok monosakarida (glukosa, sukrosa dan fruktosa). Monosakarida umumnya berperan sebagai pemanis dan sumber energi, sedangkan kelompok polisakarida (pati) merupakan bentuk karbohidrat yang komplek, sehingga lebih berperan kepada pengental, penstabil dan pembentuk gel (Kusnandar 2010).

Dalam indutri pengolahan pangan, karbohidrat sederhana umumnya ditambahkan sebagai formulasi dalam proses pengolahan, tujuannya adalah untuk meningkatkan kemanisan, membetuk warna dan flavor serta meningkatkan stabilitas produk. Pada produk olahan berbentuk keripik atau chips, kandungan karbohidrat terutama pati dapat mempengaruhi tekstur dan kerenyahan dari produk yang akan di hasilkan.

Kandungan karbohidrat yang tinggi dalam ubi kayu dapat diubah menjadi pemanis seperti dextrose, sirup fruktosa, maltosa, maltodektrin dan glukosa cair. Tingginya kandungan karbohidrat dalam ubi kayu hasil pemuliaan memungkinkan ubi kayu selain dimanfaatkan sebagai pengental dan pembentuk gel juga dapat dimanfaatkan menjadi salah satu sumber bahan baku produksi gula.

Kadar Pati, Amilosa dan Amilopektin

Polisakarida utama penyusun pati adalah amilosa dan amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin pada pati ubi kayu bervariasi (BeMiller dan Whistler 1996). Pati pada kelompok serealia seperti gandum dan sorghum memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi (±28%) dibandingkan dengan kelompok umbi-umbian seperti ubi kayu dan kentang yang memiliki kandungan amilosa sebesar 20%. Variasi komponen amilosa dan amilopektin tergantung dari hasil biosintesis pati (Copeland et al. 2009).

(34)

18 Hasil pengukuran kadar amilosa dari sepuluh genotipe generasi kedua (Tabel 6) tertinggi dimiliki oleh genotipe V1D1-1(1) yaitu 23.33 ± 0.04 % dan terendah adalah genotipe V5D0, yaitu 16.35 ± 0.04 %. Berdasarkan hasil pengukuran amilopektin, diperoleh bahwa genotipe V5D0 memiliki kadar amilopektin tertinggi yaitu 72.22 ± 1.60 % dan terendah adalah genotipe V4D2-1(2), yaitu 54.22 ± 5.29 %.

Perbedaan rasio amilosa dan amilopektin dalam pati berpengaruh terhadap sifat fisikokimia pati. Pati dengan kandungan amilosa tinggi, memiliki banyak gugus hidroksil dengan ikatan hidrogen pada strukturnya sehingga mempunyai kemampuan menyerap air dan mengembang lebih baik dibandingkan amilopektin (Kusnandar 2010). Selain itu, pati dengan kandungan amilosa tinggi bersifat kurang rekat dan kering dibandingkan pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi yang bersifat rekat dan basah (Hidayat et al. 200).

(35)

19 pembentuk gel atau pembentuk film memerlukan jenis pati yang mengandung amilosa lebih tinggi. Amilosa berperan penting dalam pembentukan gel dan film karena kemudahan amilosa untuk membentuk ikatan hidrogen pada saat pasta pati dihasilkan. Hasil analisis kadar amilosa dari 20 genotipe yang dikembangkan, lima diantaranya memiliki kandungan amilosa yang tinggi (23.21 % - 25.15 %) yaitu U2, U6, V1D1-1(1), V2D2-1(3) dan V3D1 (1). Pati dengan kadar amilosa tinggi umumnya diaplikasikan dalam pembuatan gel atau pembentuk film pada biodegradable film pembuatan kapsul, pembuatan sohun, bihun dan mie.

Pati dengan kandungan sekitar 25-30 % (misalnya pati beras dan jagung) umumnya dapat memberikan karakter gel pati yang kompak. Sebagai contoh, dalam pembuatan sohun, bihun, dan mie diperlukan tepung dengan kandungan amilosa yang cukup tinggi karena akan berpengaruh pada kekuatan tekstur gel dari untaian mie yang dihasilkan. Diantara kelima gentipe yang memiliki kadar amilosa tinggi genotipe U6 merupakan genotipe yang memiliki kandungan amilosa tertinggi yaitu 25.15 ± 2.02 %, sehingga genotipe ini dapat dijadikan bahan baku dalam pembuatan sohun dan mie. Namun demikian, pati dengan amilosa rendah seperti U3, U7, U9, U10, V2D0 dan V5D0 dapat diaplikasikan pada pembuatan makanan bayi, kertas dan bahan pengental (Hartati dan Prana 2003; Kusnandar 2010).

Pada industri non-pangan, karbohidrat komplek (polisakarida) yang terkandung di dalam bahan dapat diolah menjadi sumber energi nabati atau biofuel. Kandungan karbohidrat atau pati yang tinggi dalam ubi kayu memungkinkan ubi kayu menjadi bahan baku pembuatan biotenol karena kandungan patinya yang tinggi merupakan substrat yang baik untuk menghasilkan glukosa sebagai produk antara pada pembuatan etanol. Bioetanol (C2H5OH) merupakan hasil fermentasi karbohidrat (pati) dengan bantuan mikroorganisme. Hasil pengukuran kadar pati tepung ubi kayu sepuluh generasi pertama berkisar antara 82.14 ± 4.27 % - 71.20 ± 1.81 % dan kadar pati sepuluh generasi kedua berkisar antara 88.67 ± 0.68 % - 74.43 ± 5.22 %.

Karakteristik Pasta Tepung Ubi Kayu

(36)

20

Gambar 6 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu generasi pertama yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA).

Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu generasi pertama memiliki pola gelatinisasi yang sama pada perlakuan suhu yang sama, meskipun memiliki viskositas puncak yang berbeda akibat kadar amilopektin dan protein pati yang dimilikinya (Syamsir et al. 2011). Berdasarkan data pada Tabel 7, viskositas puncak 10 genotipe generasi pertama tersebut berkisar antara 3775 cP hingga 4586 cP. Viskositas puncak terendah terjadi pada genotipe U10 yaitu 3775 cP, keadaan ini berbanding lurus dengan kandungan amilosa paling rendah yang dimilikinya yaitu 18.54 ± 0.80 % (Tabel 5).

Tabel 7 Karakteristik pasta tepung 10 genotipe ubi kayu generasi pertama Genotipe

Suhu Pasting

(°C)

Viskositas Puncak

(cP)

Viskositas Breakdown

(cP)

Viskositas Akhir

(cP)

Viskositas Setback (cP)

U1 72 4314 2787 2774 1247

U2 52.9 4340 2956 2487 1103

U3 71.25 3994 2515 2571 1092

U4 71.65 4586 3152 2591 1157

U5 71.7 4544 3117 2782 1355

U6 70.85 4083 2704 2505 1126

U7 71.2 4457 2982 2570 1095

U8 71.25 4038 2777 2082 821

U9 72.05 4053 2620 2192 759

(37)

21

Gambar 7 Profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu generasi kedua yang diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA).

Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa profil gelatinisasi 10 genotipe ubi kayu generasi kedua memiliki pola gelatinisasi yang sama pada perlakuan suhu yang sama. Berdasarkan data pada Tabel 8, viskositas puncak 10 genotipe tersebut berkisar antara 4006 cP hingga 5600 cP. Viskositas puncak terendah terjadi pada genotipe V2D1-1(3), yaitu 4006 cP, keadaan ini berbanding lurus dengan kandungan amilosa paling rendah yang dimilikinya yaitu 13.13±0.48 % (Tabel 6). Lee et al. (2002) menyatakan bahwa viskositas puncak dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan lemak.

Menurut Faridah et al. (2014), pati yang memiliki profil gelatinisasi dengan puncak viskositas yang cukup tinggi dan diikuti dengan penurunan viskositas (breakdown viscosity) yang cukup tajam selama pemanasan menunjukkan pati tersebut kurang tahan atau kurang stabil pada proses pemanasan. Profil gelanisasi (gambar 6) genotipe U3 dan U10 menunjukkan kencendurangan ketidakstabilan pada proses pemasanan, hal ini terlihat dari rendahnya nilai breakdown viscosity yang dimiliki pada suhu yang tinggi. Kestabilan pasta pati selama pengolahan baik pada suhu tinggi maupun rendah ditunjukkan dengan nilai viskositas breakdown dan setback-nya (Maulani et al. 2012). Pati dengan profil tersebut tidak cocok untuk diaplikasikan sebagai pengental pada produk yang harus disterilkan atau pada produk dengan pengolahan suhu tinggi.

Viskositas setback merupakan suatu parameter yang dipakai untuk melihat kecenderungan retrogradasi dan sinersis suatu pasta pati (Pangesti et al. 2014; Maulani et al. 2012). Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi, sedangkan sineresis adalah keluarnya cairan dari suatu gel pati (Winarno 2002).

(38)

22

mengeras pada akhir proses pemasakan, sehingga produk olahannya tidak mudah hancur (Munarso 2004). Viskositas setback diperoleh dari selisih antara viskositas akhir dengan trough. Semakin tinggi nilai setback maka semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk gel selama pendinginan (Agustin 2011).

Viskositas akhir merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan pati untuk membentuk pasta kental atau gel setelah proses pemanasan dan pendinginan serta ketahanan pasta terhadap gaya geser yang terjadi selama pengadukan. Dari hasil pengujian sepuluh genotipe generasi pertama (Tabel 7) viskositas akhir 10 genotipe generasi pertama tersebut berkisar antara 2481 cP – 2782 cP, genotipe U1 dan U3 memiliki nilai viskositas 2774 cP dan 2782, berbanding lurus dengan tingginya kandungan amilosa yang dimiliki tepung yaitu 22.36 ± 5.31% dan 21.27 ± 2.49 %.

Tabel 8 Karakteristik pasta tepung 10 genotipe ubi kayu generasi kedua Genotipe Suhu amilosa yang dimiliki tepung tersebut yaitu 22.03 ± 0.25 % (Tabel 6). Viskositas akhir berbanding lurus terhadap kandungan amilosa pada tepung. Tingginya kandungan amilosa pada suatu tepung maka akan mempengaruhi tingginya nilai viskositas akhirnya (Lin et al. 2011), sehingga membentuk gel yang mudah mengalami sineresis pada saat didinginkan dan disimpan. Pati dengan kondisi demikian tidak cocok untuk diaplikasikan pada produk yang disimpan dalam kondisi dingin seperti es kream, cheese cake dan sebagainya.

(39)

23

Nilai Derajat Putih

Pengujian karakteristik warna dilakukan karena warna tepung ubi kayu yang digunakan sebagai bahan baku pada pengolahan aneka produk pangan akan sangat mempengaruhi kenampakan produk akhir yang dihasilkan. Hasil pengujian karakteristik warna tepung dari genotipe generasi pertama menunjukkan nilai derajat putih terbaik dihasilkan oleh genotipe U4 yaitu 90.37 ± 0.24 %. Sedangkan hasil pengujian pada generasi kedua menunjukkan bahwa tepung ubi kayu genotipe V1D0 memiliki karakteristik derajat putih lebih tinggi 93.13 ± 0.22 % dibandingka 9 genotipe ubi kayu lainnya. sebaliknya genotipe V4D0 memiliki karakteristik derajat putih yang paling rendah 77.28 ± 0.40 %. Hasil pengamatan warna tepung 20 genotipe ubi kayu menggunakan alat whitenessmeter yang telah dikalibrasi, disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Perbedaan nilai derajat putih ini tidak hanya dipengaruhi oleh karakter dan warna awal umbi ubi kayu, akan tetapi juga dipengaruhi oleh proses suhu pemanasan pada tahap pengeringan umbi dalam tahap pembuatan tepung. Suhu pemanasan yang tinggi dan tidak meratanya panas mengakibatkan tingkat kecerahan warna sawut ubi mengalami penurunan. Selain itu komponen kimia dalam bahan dapat mengalami perubahan akibat reaksi yang terjadi antara bahan pangan dengan senyawa lain yang ada di lingkungan misalnya oksigen, uap air dan sebagainya. Kecepatan perubahan ini dapat dipengaruhi oleh pH, aktivitas air bahan, keberadaan enzim atau katalisator.

Perubahan warna yang terjadi pada bahan pangan yang mengandung karbohidrat tinggi selama pengeringan dan pemanasan dapat disebabkan oleh reaksi pencoklatan enzimatis dan non-enzimatis. Diantara penyebab perubahan warna pencoklatan ini dapat disebabkan oleh reaksi hidrolisis. Reaksi ini menyebabkan pemecahan komponen pati yang ada di dalam polisakarida menjadi glukosa dengan bantuan suhu, asam dan enzim. Gula sederhana yang terbentuk akan mengalami karamelisasi selama proses pengeringan dan pemanasan pada suhu tinggi sehingga akan terjadi pembentukan warna coklat, perubahan flavor dan tekstur (Kusnandar 2010).

(40)

24

Keripik Ubi Kayu

Kerenyahan merupakan salah satu atribut mutu mutu yang sangat penting untuk diterimanya suatu produk kering berbahan dasar pati. Kandungan pati dalam ubi kayu dapat mempengaruhi tekstur dan kerenyahan dari keripik ubi kayu yang di hasilkan. Kandungan pati dalam ubi kayu mengalami proses gelatinisasi selama penggorengan akibat perlakuan suhu tinggi sehingga menyebabkan granula pati yang semula utuh akan pecah dan akan membentuk tekstur yang mengembang. Selain itu, protein yang terdenaturasi atau mengalami koagulasi juga akan mempengaruhi tekstur produk pangan gorengan yang dihasilkan (Muchtadi dan Sugiyono 2013). Kandungan protein dalam bahan dapat membantu pengembangan produk serta menjadikan produk lebih renyah (Moraru dan Kokini 2003).

Tinggi rendahnya rasio amilosa dan amilopektin di dalam pati memberi pengaruh besar pada produk yang dihasilkan. Perbedaan rasio amilosa dan amilopektin yang terkandung di dalam ubi kayu dapat mempengaruhi tingkat kerenyahan dari suatu keripik. Kandungan amilopektin dalam bahan dapat meningkatkan kerenyahan, sedangkan kandungan amilosa dapat meningkatkan kekerasan produk yang dihasilkan (Gimeno et al. 2004).

Hasil pengujian 20 genotipe ubi kayu menunjukkan bahwa kerenyahan keripik 20 genotipe tersebut bervariasi (Tabel 9). Tampak bahwa terdapat perbedaan tingkat kerenyahan yang dihasilkan, nilai kerenyahan keripik hasil pemuliaan generasi pertama berkisar antara 383.1 gf – 707.2 gf. Pada 10 genotipe ubi kayu generasi kedua tingkat kerenyahan bervariasi antara 290.2 gf - 668.3 gf. Kerenyahan keripik dipengaruhi oleh kandungan polisakarida yang tinggi seperti pati, pektin, selulosa dan hemiselulosa (Hartuti dan Sinaga 1998), serta adanya proses gelatinisasi yang terjadi selama penggorengan.

Pada proses gelatinisasi granula pati pecah akibat air yang masuk, pati akan mengalami retrogadasi di mana terjadi pembentukan kembali ikatan hidrogen oleh amilosa terputus akibat proses gelatinisasi. Semakin tinggi tingkat retrogadasi pati, semakin rendah tingkat kerenyahan dari bahan berpati setelah digoreng. Hal ini diduga akibat jaringan dari ikatan hidrogen yang dibentuk oleh amilosa setelah keluar dari granula pati yang pecah (Kingcam 2008). Jaringan tersebut akan mengikat air di dalamnya membentuk gel pati. Gel pati yang semakin padat akan menghambat penguapan air dari dalam jaringan pati pada saat penggorengan (Martin et al. 2011).

(41)

25 Tebel 9 Hasil pengukuran kerenyahan keripik 20 genotipe ubi kayu hasil

pemuliaan dan keripik pembanding

Generasi Pertama Generasi kedua

Genotipe Hardness (gf) Genotipe Hardness (gf)

U1 707.5 V1D0 290.2

Berdasarkan Tabel 9 terlihat nilai kekerasan dari keripik yang telah umum beredar dipasaran (komersial) nilai kekerasannya seragam berkisar 408.0 – 425.6 gf. Bila dibandingkan dengan hasil keripik dari 20 genotipe ubi kayu yang dikembangkan hanya empat genotipe yang memiliki nilai kekerasan atau kerenyahan yang mendekati nilai kekerasan dari keripik komersil yaitu genotipe U3, U10 dan V4D0 berturut-turut yaitu 383.3 gf, 375.4 gf dan 431.5 gf. Hal ini menunjukan bahwa keripik ubi kayu dari genotipe yang dikembangkan memiliki karakteristik sebagai keripik yang dikomersilkan dipasaran.

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Genotipe U2, U6, V1D1-1(1), V2D2-1(3) dan V3D1 (1) memiliki kadar amilosa yang tinggi (23.21 % - 25.15%), sehingga dapat diaplikasikan dalam pembuatan gel atau pembentuk film pada biodegradable film, pembuatan kapsul, pembuatan sohun dan mie.

(42)

26

3. Genotipe yang memiliki kadar amilosa rendah seperti U3, U7, U9, U10, V2D0 dan V5D0 dapat diaplikasikan pada pembuatan makanan bayi, kertas dan bahan pengental.

4. Genotipe U3 dan U10 menunjukkan kencendurangan ketidakstabilan pada proses pemasanan, hal ini terlihat dari rendahnya nilai breakdown viscosity yang dimiliki pada suhu yang tinggi tidak cocok untuk diaplikasikan sebagai pengental pada produk yang harus disterilkan.

5. Genotipe V4D2-1(2) memiliki viskositas akhir yang tinggi yaitu 2592 cP, sehingga mudah terjadi sineresis pada saat didinginkan dan disimpan. Pati dengan kondisi ini tidak cocok diaplikasikan pada produk seperti es kream, dan 431.5 gf, karakteristik keripik tersebut mendekati nilai kerenyahan mendekati nilai keripik komersial yaitu berkisar 408.0 gf – 425.6 gf.

Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan pengujian terhadap karakteristik pati ubi kayu bukan pada tepung, karena saat ini pati lebih umum digunakan dalam berbagai industri pengolahan pangan, pakan, kimia dan sebagainya. Pengujian pati dilakukan pada umur 9,10 dan 11 bulan setelah tanam, sehingga dapat dijadikan pebandingan kuantitas dan kualitas pati yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

[AACC] American Association for Clinical Chemistry. 2009. AACC International Approved Methods of Analysis (Method 32-40. 61-02.01). 11th edn. AACC International. St. Paul MN.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analitycal Chemists. Washington. DC: AOAC. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2006. Official Methods of

Analytical of The Association of Official Analytical Chemist. Washington. DC: AOAC.

Andrizal. 2003. Potensi, tantangan dan kendala pengembangan agroindustri ubi kayu dan kebijakan industri perdagangan yang diperlukan. Pemberdayaan Agribisnis Ubi Kayu Mendukung Ketahanan Pangan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.

Astawan M, Wahyuni MA. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Jakarta (ID) : Akademika Prassindo.

Balagopalan C, Padmaja G, Nanda SK, Moorthy SM. 1988. Cassava in food, feed, and industry. Florida, USA. CRC Press Boca Raton. Pages. 205.

(43)

27 Belitz HD, Gorsh W, Schieberle P. 2009. Carbohydrate in Food Chemistry.

Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Germany. Pages 270-274.

Chen Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Application in Noodle Products. [Thesis]. The Netherland Wageningen University.

Copeland L, Blazek J, Salman H, Tang MC. 2009. Form and functionality of starch. Food Hydrocolloid 23: 1527-1534.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2011. The cassava transformation in Africa". The Food and Agriculture Organization ofthe United Nations (FAO).

Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC. 2010. Perubahan Structur Pati Garut (Maranta arundinaceae) Sebagai Akibat Modifikasi Hidrolisis Asam, Pemotongan Titik Percabangan dan Siklus Pemanasan-Pendinginan. J.Teknol dan Industri Pangan 19(2):135-142.

Gimeno E, Moraru CI, Lokini JL. 2004. Effect of Xanthan Gum and CMC on the Structure and Texture of Corn Flour Pellets Expanded by Microwave Heating. American Association of Cereal Chemistry. J Cereal Chem. 81(I) : 100 – 107.

Grace MR. 1977. Cassava Processing. Food and Agriculture Organization of United Nations, Roma (IT).

Hartati NS dan Prana TK. 2003. Analisis Kadar Pati dan Serat Kasar Tepung Beberapa Kultivar Talas (Colocasia esculenla L. Schott). Jurnal Irvatur Indonesia. 6(1) : 29-33.

Hartuti N dan Sinaga RM. 1998. Keripik Kentang. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang, Bandung (ID).

Hidayat BA, Ahza B, Sugiyono. 2007. Karakterisasi Tepung Ubi Jalar (Ipomea batatas L) Varietas Shiroyutaka Serta Kajian Potensi Penggunaanya Sebagai Sumber Pangan Karbohidrat Alternatif. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 18(1) : 32-39.

Hung PV dan Morita N. 2005. Physicochemical properties and enzymatic digestibility of starch from edible canna (Canna edulis) gown in Vietnam. Carbohydrate Polymers 61: 314 – 321.

Juwita FS. 2014. Pengaruh Varietas dan Umur Panen Terhadap Sifat fisikokimia Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ketaren S. 1989. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta (ID): UI Press.

Khumaida N, Ardie SW, Dianasari M, Syukur M. 2015. Cassava (Manihot esculenta Crantz.) Improvement through Gamma Irradiation. Procedia Food Science 3 : 27 – 34. doi: 10.1016/j.profoo.2015.01.003

Kingcam R, Devahastin S, Chiewchan N. 2008. Effect of starch retrogradation on texture of potato chips produced by low-pressure superheated steam drying. Journal of Food Enginering. 89: 72–79.

doi:10.1016/j.jfoodeng.2008.04.008

(44)

28

Lee MH, Baek MH, Cha DS, Park HJ, Lim ST. 2002. Freeze-thaw stabilization of sweet potato starch gel by polysaccharide gums. Food Hydrocol. 16: 345-352.

Martin CP, Deventer HV. 2011. Deep-fat fried battered snacks prepared using super heated steam (SHS): crispness and low oil content. Food Res Int. 44:442–448. doi:10.1016/j.foodres.2010.09.026.

Maulani RH, Fardiaz D, Kusnandar F, Sunarti TC. 2012. Sifat Fungsional Pati Garut Hasil Hidroksipropilasi dan Taut Silang. J.Teknol.dan Industri Pangan. 2(1):60-67. ISSN : 1979-7788.

Mohammed B, Isah A, Ibrahim MA. 2009. Influence of compaction pressures on modified cassava starch as a binder in paracetamol tablet formulation. Nigerian Journal of Pharmaceutical Sciences. 8(1): 80-88.

Moorthy SN. 2002. Physicochemical and Functional Properties of Tropical Tuber Starches: A Review. Starch. 54(12): 559–592.

Moraru CI dan Kokini JL. 2003. Nucleation and Expansion During Extrusion and Microwave Heating of Cereal Foods. Dept. of Food Science and Center for Advanced Food Technology. J Food Science. 2:147-165

Muchtadi TR dan Sugiyono. 2013. Prinsip Proses dan Teknologi Pangan. Bandung (ID): Alfabeta.

Munarso dan Joni S. 2004. Perubahan Sifat Fisikokimia dan Fungsional Tepung Beras Akibat Proses Modifikasi Ikat-Silang. J.Pascapanen 1(1): 22-28. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor (ID).

Nanda SK, Balagopalan C, Padmaja G, Moorthy SN, Sajeev MS. 2002. Post-Harvest Management of Cassava for Industrial Utilization in India. Proceeding : Cassava Research and Development in Asia : Exploring New Opportunities an Ancient Crop. Thailand 28 Oktober – 1 November 2002. Pangesti YD, Pamanto NH, Ridwan A. 2014. Kajian Fisikokimia Tepung

Bengkuang (Pachyrhizus erosus) Dimodifikasi Secara Heat Moisture Treatment (HMT) Dengan Variasi Suhu. Jurnal Teknosains Pangan 3(3):72-77. ISSN: 2302-0733.

Pomeranz Y. 1985. Functional Properties of Food Components. Academic Press. Inc.

Richana NJ, Wagiono, Nasir S. 2002. Recent Developments In Cassava Starch and Derived Products Used In Food Processing In Indonesia. Proceeding: Cassava Research and Development In Asia. Thailand 28 October – 1 November 2002.

Roudaut G, Dacremont C, Pa’mies BV, Colas B, Meste ML. 2002. Crispnessμ a critical review on sensory and material science approaches. Trends Food Sci & Tech. 13 (2002) :17–227. doi:10.1016/S0924-2244(02)00139-5.

(45)

29 Sunarsi S, Sugeng SA, Wahyuni S, Ratnaningsih W. 2011. Memanfaatkan Singkong Menjadi Tepung Mocaf untuk Pemberdayaan Masyarakat Sumberejo. Di dalam: Wijayava R, Komariah A, editor. Seminar Hasi Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Veteran Bangun Nusantara. 2011 Desember 7; Sukoharjo, Indonesia. Sukoharjo (ID): LPPM Univet Bantara Sukoharjo. hlm 306-310.

Suryadi T, Darwanto DH, Masyhuri, Widodo S. 2012. Pendugaan Model Permintaan Ubi Kayu Di Indonesia.

Sriroth K, Santusopari V, Petchalanuwat C, Kurotjanawong K, Piyachomkwan K, Oates CG. 2009. Cassava starch granule structure-function properties: infuence of time and conditions at harvest on four cultivars of cassava starch. Carbohydrate Polymers 38: 161-170.

Syamsir E, Hariyadi P, Fardiaz D, Maulida N, Kusnandar F. 2011. Karakteristik Tapioka dari Lima Varietas Ubi Kayu (Manihot utilisima Crantz) Asal Lampung. Jurnal Agriteknologi 5(1):93-105. ISSN: 1978-1555

Swinkels JJM. 1985. Sources of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam: Beydum GMAV dan Roles JA, editors. Starch Conversion and Technology. Marcel Dekker, Inc. New York (US).

Tonukari NJ.2004. Cassava and the future of starch. Journal of Biotechnology 7(1):5-7. Electronic Journal of Biotechnology. ISSN: 0717-3458.

Tungphaisal M. 2002. Tapioka Products and Trade In Thailand. Proceeding : Cassava Research and Development In Asia. Thailand 28 October – 1 November 2002.

Westby A. 2002. Cassava utilization, storage and small-scale processing. In RJ Hillocks, JM Thresh, AC Belloti, eds, Cassava: Biology, Production and Utilization. CAB International Publishing, Wallingford, UK, pp 281–300 Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Penerbit PT Gramedia

Gambar

Tabel 1 Komposisi kimia umbi ubi kayu
Grafik perubahan pada granula pati dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 2 Diagram keseluruhan tahap penelitian
Gambar 3 Diagram alir pembuatan tepung ubi kayu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bertitik tolak dari uraian yang telah dipaparkan, peneliti memiliki dorongan untuk melakukan penelitian yang berjudul “Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

antara yang dilakukan dan perbuatan, 2) konsistensi orientasi, yakni adanya kesesuaian antara pandangan dalam satu hal dengan pandangannya dalam bidang yang lain,

Pada penelitian ini yang mengkaji pokok permasalahan adalah mengenai gaya hidup petani tembakau di desa Cemoro Kecamatan Wonoboyo Kabupaten Temanggung, untuk itu perlu

Hasil dari penelitian ini adalah terbentuknya model klasifikasi data lama studi mahasiswa STMIK Indonesia yang nantinya dapat digunakan untuk prediksi jumlah mahasiswa lulus

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan hasil belajar IPA yang diupayakan melalui model pembelajaran teams games

Individu yang dilaporkan sebagai pasien Parkinson dengan mutasi gen pertama kali di Jepang memiliki manifestasi klinis berupa awitan penyakit dini, awitan

Kejadian gingivitis pada anak tunagrahita dapat dikarenakan oleh beberapa faktor seperti plak, kebersihan mulut, kalkulus, pemeliharaan kebersihan mulut hingga faktor

Saran yang dapat dikemukan dari hasil penelitian ini, adalah perusahaan penting untuk lebih memperhatikan tunjangan hari raya dan gaji, hubungan kerjasama yang baik