PEMETAAN INDEKS KEKERINGAN DAN POLA TANAM
MENGGUNAKAN METODE PALMER
(STUDI KASUS: JAWA BARAT)
AULIA CITRA UTAMI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Indeks Kekeringan dan Pola Tanam Menggunakan Metode Palmer (Studi Kasus: Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Aulia Citra Utami
ABSTRAK
AULIA CITRA UTAMI. Pemetaan Indeks Kekeringan dan Pola Tanam Menggunakan Metode Palmer (Studi Kasus: Jawa Barat). Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan YON SUGIARTO.
Kekeringan berhubungan erat dengan penurunan curah hujan yang dapat mempengaruhi penurunan produksi padi di salah satu wilayah sentra produksi padi, yaitu Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat kekeringan, peta sebaran indeks kekeringan dan pola tanam tanaman pangan di wilayah Jawa Barat. Pengolahan data curah hujan bulanan, suhu rata-rata bulanan, jenis tanah dan tata guna lahan dilakukan dengan metode Palmer. Nilai indeks Palmer tertinggi yaitu 22 dan indeks terendah adalah -34. Wilayah dengan tingkat kekeringan tertinggi yaitu wilayah utara Jawa Barat, sedangkan wilayah Jawa Barat bagian tengah dan selatan cenderung lebih basah. Puncak kekeringan terjadi pada bulan Agustus dan September. Pada tahun-tahun El Nino kuat, nilai curah hujan menjadi lebih rendah diikuti dengan nilai indeks kekeringan yang semakin rendah. Pada lahan non irigasi, pola tanam yang dapat diaplikasikan adalah padi-padi-palawija dengan awal musim tanam pada bulan November, sedangkan untuk lahan irigasi padi dapat ditanam hingga tiga kali setahun. Pada lahan non irigasi di wilayah utara yang cenderung lebih kering pola tanam yang dapat diterapkan adalah padi-palawija-palawija dengan awal tanam pada bulan Desember, jika kondisi irigasi memadai padi dapat ditanam dua hingga tiga kali setahun.
ABSTRACT
AULIA CITRA UTAMI. Drought Index Mapping and Cropping Patterns Using Palmer Methods (Case Study: West Java). Supervised by YONNY KOESMARYONO and YON SUGIARTO.
Drought is closely related to rainfall decrease could affect the decline in rice production in one of rice production centers: West Java. This research aims to determine the drought level, drought index distribution map, and cropping pattern in West Java. Monthly rainfall, monthly average temperature, soil type, and land use data is processed by Palmer method. The highest value index is 22 and the lowest is -34. Area with the highest drought level is Northern area of West Java, while the central and southern part of West Java area tends to be wet. Peak of the drought occurs in August and September. On the strong El Nino years, the rainfall value becomes lower followed by drought index value. In the non-irrigated land, cropping patterns that can be applied is paddy-paddy-crop with the beginning of the season in November, while for the irrigated land rice can be planted up to three times a year. In the non-irrigated land at the north area that tends to be dryer, cropping patterns that can be applied is paddy-crop-crop with the beginning of planting season in December, if conditions are adequate irrigation of rice can be planted two or three times a year.
PEMETAAN INDEKS KEKERINGAN DAN POLA TANAM
MENGGUNAKAN METODE PALMER
(STUDI KASUS: JAWA BARAT)
AULIA CITRA UTAMI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Pemetaan Indeks Kekeringan dan Pola Tanam Menggunakan Metode Palmer (Studi Kasus: Jawa Barat)
Nama : Aulia Citra Utami
NIM : G24100055
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S. Pembimbing I
Yon Sugiarto, S.Si, M.Sc Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Tania June, M.Sc Ketua Departemen
PRAKATA
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Pemetaan Indeks Kekeringan dan Pola Tanam Menggunakan Metode Palmer (Studi Kasus: Jawa Barat).
Terimakasih sebanyak-banyaknya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini, antara lain: 1. Allah SWT.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S. dan Bapak Yon Sugiarto, S.Si, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah mengajarkan banyak hal dan memberikan saran untuk penulisan karya ilmiah ini.
3. Seluruh dosen dan staff Departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah memberikan ilmu dan bantuan yang tak terhingga. Serta kepada Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) yang telah memberikan bantuan data. 4. Kedua orang tua terhebat di dunia ini, ayahanda Soleh Suhendar dan Ibunda
Batin Wardah serta adik-adik tersayang Mustari Nur Alam dan Ratu Tazkia Amini atas do’a, dukungan, semangat dan kasih sayang yang tak terhingga. 5. Sahabat-sahabat terbaik Ina Agistina, Fikriyatul Falashifah, Nurmujahidah
Syam, Linda Yuliyanti, Deti Triani dan Riana Pangestu atas semua dukungan,
semangat, do’a, waktu, bahu dan hati yang diberikan dan selalu tersedia kapanpun dibutuhkan.
6. Ryan Karida Pratama atas seluruh bantuannya dalam karya tulis ini serta Budiarto yang selalu siap sedia membantu apapun dan kapanpun dibutuhkan. 7. Sister’s dan Brother’s satu bimbingan, Ina, Aat, Dewi, Fitri dan Onip atas semua
saran dan semangatnya. Juga untuk sister 48, Nita, Ayuvira dan Revi yang menemani untuk bimbingan dan semangatnya.
8. Sahabat-sahabat GFM’ers 47, Himma, Em, Indro, Disti, Murni, Mani, Alan, Ryco, Aden, Wanto, Basith,Rony, Dewi Sul, Shailla, Icha Kar, Aji, Dirgha, Lira, Enggar, dan semuanya atas semangat serta persahabatan selama berkuliah. 9. Ani Miuw, Dini, Edo, Diki, Hasan, Mukhlis, Rita, Farik, Ifa serta teman-teman
semuanya di BEM KM Berani Beda, Sainstek dan BPH BEM FMIPA, BEM TPB 47, Geng gong (Fahmi, Zikri, Muhi, Fariz dan Hayu),IGTF Nganjuk, SUIJI Tegal dan Trashsure Foundation atas pengalaman, semangat dan warna-warni selama menuntut ilmu di IPB. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna dan perlu dilakukannya pengembangan agar dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat luas. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Akhir kata, semoga Allah selalu memberkati kita semua.
Bogor, Mei 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xiv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Kekeringan 2
Indeks Kekeringan 3
Palmer Drought Severity Index (PDSI) 3
Tanaman Pangan 4
METODOLOGI 5
Bahan 5
Alat 5
Prosedur Penelitian 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Karakteristik Wilayah 8
Kondisi Klimatologis Wilayah 9
Pendugaan Kapasitas Air Tersedia (KAT) 11
Perhitungan Neraca Air 11
Indeks Kekeringan 15
Hubungan Antara Curah Hujan dan Indeks Kekeringan 20
Pola Tanam Tanaman Pangan 20
KESIMPULAN DAN SARAN 23
Kesimpulan 23
Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 23
DAFTAR TABEL
1. Kelas Indeks Kekeringan dan Sifat Cuaca (Palmer 1965) 4
2. Sebaran curah hujan tahun normal, El Nino dan La Nina di Jawa Barat 11
3. Tahun kejadian El-Nino dan La-Nina dari tahun 1980-2012 16
DAFTAR GAMBAR
1. Peta wilayah kajian 8
2. Hubungan antara curah hujan dan suhu rata-ratatahun 1980-2012bagian
utara (a), tengah (b) dan selatan (c) Jawa Barat 9
3. Pola curah hujan tahun normal, El Nino dan La Nina di Jawa Barat 10 4. Grafik nilai koefisien evapotranspirasi (α) dari γ wilayah di Jawa Barat 12 5. Grafik nilai koefisien recharge ( ) dari γ wilayah di Jawa Barat 13 6. Grafik nilai koefisien runoff ( ) dari γ wilayah di Jawa Barat 13
7. Grafik nilai koefisien loss (δ) dari γ wilayah di Jawa Barat 14
8. Perbandingan sebaran rata-rata indeks kekeringan tahun normal di Jawa
Barat 15
9. Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino di Jawa Barat 17
10. Perbandingan sebaran indeks kekeringan maksimum tahun El Nino dan
Normal di Jawa Barat 18
11. Grafik hubungan curah hujan dan indeks kekeringan bulan Juni sampai September pada tahun El-Nino kuat (1987, 1997 dan 2002) di Jawa Barat 21
DAFTAR LAMPIRAN
1. Diagram Alir Penelitian 26
2. Langkah perhitungan indeks kekeringan 27
3. Tabel penggunaan kapasitas air tersedia berdasarkan kombinasi tipe tanah
dan vegetasi penutup (Thornthwaite dan Mather 1957) 30
4. Tabel penggunaan lahan di Jawa Barat 31
5. Presentase tata guna kahan per Kabupaten di Provinsi Jawa Barat
berdasarkan Jenis Penutupan 32
6. Jenis tanah di Jawa Barat 33
7. Tabel Kapasitas Air Tersedia (KAT) berdasarkan jenis tanah dan
penggunaan lahan di Jawa Barat 35
8. Peta pembagian wilayah grid 37
9. Tabel Pembagian wilayah grid 38
10. Peta distribusi curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat 39
11. Peta distribusi suhu rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat 39
12. Peta guna lahan Provinsi Jawa Barat 40
13. Peta jenis tanah Provinsi Jawa Barat 40
14. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1980 41
16. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1982 41
17. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1983 41
18. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1984 41
19. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1985 41
20. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1986 42
21. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1987 42
22. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1988 42
23. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1989 42
24. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1990 42
25. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1991 42
26. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1992 43
27. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1993 43
28. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1994 43
29. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1995 43
30. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1996 43
31. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1997 43
32. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1998 44
33. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 1999 44
34. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2000 44
35. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2001 44
36. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2002 44
37. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2003 44
38. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2004 45
39. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2005 45
40. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2006 45
41. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2007 45
42. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2008 45
43. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2009 45
44. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2010 46
45. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2011 46
46. Peta sebaran indeks kekeringan tahun 2012 46
47. Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino (DJF) 47
48. Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino (MAM) 47
49. Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino (JJA) 47
50. Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino (SON) 47
51. Peta sebaran indeks kekeringan tahun La Nina (DJF) 48
52. Peta sebaran indeks kekeringan tahun La Nina (MAM) 48
53. Peta sebaran indeks kekeringan tahun La Nina (JJA) 48
54. Peta sebaran indeks kekeringan tahun La Nina (SON) 48
55. Peta sebaran indeks kekeringan tahun Normal (DJF) 49
56. Peta sebaran indeks kekeringan tahun Normal (MAM) 49
57. Peta sebaran indeks kekeringan tahun Normal (JJA) 49
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kekeringan merupakan kejadian yang berhubungan erat dengan curah hujan, di mana curah hujan merupakan hal utama yang berkaitan dengan ketersediaan dan kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kekeringan merupakan kejadian klimatologis alami dan dapat terjadi secara bervariasi antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya dan biasanya dimulai dengan berkurangnya curah hujan dibandingkan keadaan normalnya (NOAA 2008). Menurut Setiawan (2000), faktor dasar dari kekeringan adalah kekurangan curah hujan untuk aktivitas tertentu seperti pertumbuhan tanaman, penyediaan irigasi ataupun tinggi muka air laut.
Kekeringan dapat menjadi ancaman yang paling mengganggu sistem produksi pertanian di Indonesia terutama untuk tanaman pangan. Indonesia merupakan negara agraris yang menjadikan pertanian sebagai salah satu pekerjaan bagi masyarakat. Namun, kekeringan yang terjadi di Indonesia banyak merugikan para petani di beberapa daerah karena padi yang ditanam mengalami puso atau gagal panen. Kekeringan yang terjadi di Indonesia memiliki dampak di beberapa wilayah seperti Jawa Barat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pulau Jawa khususnya Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil padi terbesar di Indonesia dengan produksi beras nasional mencapai 20%. Tiga kabupaten tertinggi dalam jumlah produksi padi di Jawa Barat yaitu Indramayu, Karawang dan Subang.
Walhi Jawa Barat menyatakan dalam lima tahun terakhir hingga tahun 2013, rata-rata luas wilayah yang mengalami kekeringan parah mencapai 65.781 ha. Sementara lahan pertanian yang mengalami kekeringan di Jawa Barat mencapai 500.000 ha. Secara ekonomi kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan pertanian, sawah dan ladang akan berpengaruh pada menurunnya produksi hasil tani hingga terjadi puso dan gagal panen. Hal ini akan berpengaruh pada berkurangnya pendapatan para petani dan buruh tani. Berdasarkan perhitungan Walhi Jawa Barat, potensi kerugian ekonomi akibat kekeringan di Jawa Barat mencapai Rp 45 miliar - Rp 150 miliar/tahun.
Salah satu pemetaan wilayah kekeringan menggunakan metode Palmer telah dilakukan oleh Turyanti (1995) di daerah Jawa Barat yang menyatakan bahwa evaluasi kekeringan menggunakan indeks Palmer menunjukkan tingkat kekeringan di Jawa Barat sangat bervariasi dengan nilai indeks sekitar -25 hingga 139. Hal ini berarti kondisi lengas tanah di Jawa Barat sangat beragam, dari mulai ekstrim kering hingga ekstrim basah.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Menentukan indeks kekeringan di wilayah Jawa Barat menggunakan metode Palmer
2. Memetakan sebaran indeks kekeringan wilayah Jawa Barat
3. Menentukan pola tanam tanaman pangan berdasarkan hasil indeks kekeringan
TINJAUAN PUSTAKA
Kekeringan
Menurut International Glossary of Hydrology (WMO 1974), kekeringan adalah keadaan tanpa hujan yang berkepanjangan atau masa kering dibawah normal yang cukup lama sehingga mengakibatkan keseimbangan hidrologi terganggu secara serius.
Biro Cuaca Amerika Serikat (Handayani 1993) mendefinisikan kekeringan sebagai berkurangnya curah hujan yang cukup besar dan berlangsung lama yang dapat mempengaruhi kehidupan tanaman dan hewan pada suatu daerah dan akan menyebabkan pula berkurangnya cadangan air untuk keperluan hidup sehari-hari.
Murthy (1996) dan kamus Agricultural Meteorology mendefinisikan kekeringan (drought) adalah suatu keadaan dimana pada saat musim hujan tidak terjadi presipitasi selama lebih dari 15 hari berturut-turut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekeringan sangat berhubungan dengan curah hujan.
Indeks Kekeringan
Menurut Hounam et al. (1975) penentuan tingkat kekeringan bertujuan untuk: 1. Mengevaluasi kecendrungan klimatologis menuju keadaan kering atau tingkat
kekeringan dari suatu wilayah.
2. Memperkirakan kebutuhan air irigasi pada suatu luasan tertentu. 3. Mengevaluasi kekeringan pada suatu tempat secara lokal.
4. Melaporkan secara berkala perkembangan kekeringan secara regional.
Indeks-indeks kekeringan diperoleh dari ribuan data curah hujan, salju, aliran sungai dan indikator sumber lainnya. Curah hujan merupakan indeks tunggal yang paling penting dalam menduga kekeringan tetapi jika kekeringan hanya dilihat dari batasan jumlah curah hujan, batasannya sangat beragam bergantung kepada waktu dan tempat penelitian (Ogallo dan Gbeckor-kove 1989).
Indeks kekeringan banyak macamnya, antara lain: Standardized Precipitation Index (SPI), Palmer Drought Severity Index (PDSI), Crop Moisture Index (CMI),
Surface Water Supply Index (SWSI), Reclamation Drought Index (RDI), dan masih banyak lagi (Hayes et al. 2011). Metode yang masih sering digunakan dalam analisis kekeringan yaitu metode Palmer dimana indeks kekeringansebagai parameter kelembaban tanah (Hadiani 2009).
Palmer Drought Severity Index (PDSI)
Palmer Drought Severity Index (PDSI) atau lebih dikenal dengan indeks Palmer pertama kali dikembangkan oleh Wayne Palmer pada tahun 1960-an. Indeks Palmer merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam menentukan indeks kekeringan. Perhitungan indeks Palmer menggunakan data suhu dan curah hujan serta Avalaible Water Capacity (AWC) untuk menentukan kekeringan di suatu wilayah (Guttman et al.1992).
Palmer menggunakan model dua lapis tanah yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Evapotranspirasi potensial diduga dari suhu rata-rata dengan metode yang telah dikembangkan oleh Thornthwaite. Hasil dari metode ini selain nilai indeks juga koefisien parameter iklim, yaitu koefisien limpasan (run off), koefisien imbuhan (recharge), koefisien evapotranspirasi, dan koefisien kehilangan lengas (loss). Dari koefisien tersebut dilakukan perhitungan curah hujan yang telah terjadi selama bulan tertentu untuk mendukung evapotranspirasi, limpasan, dan cadangan lengas yang dipertimbangkan sebagai kondisi normal (Hounam et al.1975). Indeks Palmer sangat efektif digunakan untuk menentukan kekeringan jangka panjang, terutama untuk daerah beriklim semiarid dan beriklim sub-humid kering (Guttman et al.1992).
Menurut National Drought Mitigation Center (2006), indeks Palmer sangat baik dan lebih memberikan prediksi kekeringan yang signifikan apabila diterapkan pada area yang luas dan daerah dengan topografi yang seragam, sehingga cakupannya lebih luas.
kurang dari nol, maka daerah tersebut mengalami kekeringan. Semakin kecil nilai indeksnya maka kekeringan yang terjadi di wilayah tersebut semakin ekstrem. Nilai kelas indeks kekeringan ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1Kelas Indeks Kekeringan dan Sifat Cuaca (Palmer 1965)
Indeks Kekeringan Sifat Cuaca
>4.00
Tanaman pangan tersebar hampir secara merata di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Jawa Barat. Beberapa contoh tanaman pangan diantaranya adalah Padi, Jagung dan kedelai. Wilayah penghasil beras antara lain daerah Indramayu, Karawang dan Subang (BPS 2012). Sedangkan Garut, Majalengka dan Sumedang merupakan wilayah penghasil jagung terbesar di Jawa Barat (BPS 2012). Untuk produksi kedelai sendiri lebih banyak di hasilkan di wilayah Cianjur dan Garut.
Tanaman padi merupakan salah satu tanaman pangan yang sangat penting. Pada umumnya padi tumbuh di wilayah tropis basah, sub tropis dan daerah beriklim sedang. Umur padi berkisar antara 90-150 hari bergantung dari varietas, suhu dan panjang hari wilayah setempat Kebutuhan air tanaman padi berkisar 380-880 mm/periode atau sekitar 85-185 mm/bulan (McWilliams et al. 1999). Ketersediaan air selama masa pertumbuhan sangat berpengaruh untuk mendapatkan hasil produksi yang baik. Tanaman padi sendiri memiliki periode sensitif yaitu pada akhir masa vegetatif sampai masa pembentukan bunga pada bulan ketiga.
Jagung (Zea mays L) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis rumputan/graminae yang mempunyai batang tunggal. Jagung merupakan tanaman dengan umur antara 80-150 hari pada suhu 18°C dan dapat mencapai 200-300 hari jika suhu mencapai 15°C. Untuk mendapatkan hasil produksi terbaik diperlukan air sebanyak 350-400 mm/periode tanam atau 85-100 mm/bulan. Pada fase vegetatif suhu dan ketersediaan sangat mempengaruhi pertumbuhan jagung. Suhu rendah akan memperlambat keluar daun, meningkatkan jumlah daun, dan menunda terbentuknya bunga jantan. Kekeringan pada faseini juga akan memperlambat munculnya bunga betina (McWilliams et al. 1999).
dengan kelembaban yang dipengaruhi oleh curah hujan. Pada umumnya, kondisi iklim yang paling cocok untuk pertumbuhan tanaman kedelai adalah daerah-daerah yang mempunyai suhu antara 250-280C, kelembaban udara rata-rata 60%, penyinaran matahari 12 jam/hari atau minimal 6 10 jam/hari, dan curah hujan paling optimum antara 100 - 400 mm/bulan atau berkisar antara 300 - 400 mm/3 bulan (Cahyono 2007). Sewaktu masih muda, kedelai memerlukan iklim basah, menjelang tua memerlukan iklim kering. Untuk memperoleh produksi yang baik, tanaman kedelai memerlukan hawa panas. Jika iklim terlalu basah, kedelai tumbuh subur tetapi produksi bijinya kurang (Suhaeni 2007).
METODOLOGI
Bahan
1. Data curah hujan bulanan satelit Climate Research Unit (CRU) wilayah Jawa
Barat Periode 1980-2012 yang dapat diperoleh dari website:
http://badc.nerc.ac.uk/
2. Data suhu rata-rata bulanan satelit Climate Research Unit (CRU) wilayah Jawa Barat Periode 1980-2012 yang dapat diperoleh dari website:
http://badc.nerc.ac.uk/
3. Peta dan data jenis tanah wilayah Jawa Barat yang diperoleh dari Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDPL)
4. Peta dan data tata guna lahan wilayah Jawa Barat tahun 2010 yang didapatkan dari Badan Informasi Geospasial (BIG)
5. Data Digital Elevation Model (DEM) wilayah Jawa Barat yang dapat diperoleh dari website: http://asterweb.jpl.nasa.gov/gdem.asp dan
http://glovis.usgs.gov/
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Personal Computer.
Perangkat lunak (software) yang digunakan adalah Ms. Office (Word, Excel dan
Power Point), ArcMap GIS 10.1 serta Grid Analysis and Display System
(GrADS) versi 2.0.a9.oga.1.
Prosedur Penelitian
Pembagian Wilayah Penelitian
Wilayah penelitian dibagi ke dalam 20 wilayah berdasarkan data suhu dan curah hujan bulanan satelit Climate Research Unit (CRU) yang memiliki resolusi spasial 0.5° x 0.5° (Mitchell & Jones 2005).
Pendugaan Kapasitas Air Tersedia (KAT)
Lapisan tanah terbagi menjadi dua jenis, yaitu lapisan tanah bagian atas sedalam ± 25 cm dan lapisan tanah bagian bawah yang dalamnya sesuai dengan zone perakaran. Nilai KAT didapatkan menggunakan bantuan tabel pendugaan KAT dari Thornthwaite dan Mather (1957). Nilai KAT pada setiap lapisan dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:
(1)
Di mana:
KAT1 = Kapasitas air tersedia tiap lapisan (mm)
L = Presentase luas penggunaan lahan (%)
KATj = Kapasitas air tersedia pada tiap jenis tanah (mm/m)
T1 = Tebal lapisan tanah (m)
Pendugaan Evapotranspirasi Potensial (ETp)
Evapotranspirasi potensial diduga menggunakan data suhu rata-rata bulanan yang diperoleh dari satelit Climate Research Unit (CRU) pada setiap wilayah. Pendugaan nilai ETp digunakan menggunakan metode Thornthwaite dengan rumus sebagai berikut:
ETp = Evapotranspirasi terkoreksi (mm)
T = Suhu rata-rata bulanan (°C)
a = 6,75 x 10-7 I3 -7,7 x 10-5 I2 +1,792 x 10-2 I +0,49239
D = Panjang hari berdasarkan lintang (jam)
i = (T/5)1,514
Perhitungan Neraca Air dan Indeks Kekeringan
Setelah seluruh data curah hujan, evapotranspirasi potensial dan kadar air tanah lengkap, maka perhitungan masuk ke tahap utama yaitu perhitungan indeks kekeringan. Asumsi yang digunakan pada perhitungan neraca air adalah lengas tanah pada lapisan atas tidak akan masuk ke bawah sebelum jenuh dan sebaliknya lengas pada lapisan bawah tidak akan keluar apabila lengas pada lapisan tersebut belum habis. Selain itu, perlu diperhitungkan juga loss, recharge, evapotranspirasi aktual, dan limpasan permukaan (runoff). Limpasan permukaan akan terjadi ketika kedua lapisan tanah telah mencapai kapasitas lapang. Perhitungan neraca air digunakan untuk menghitung konstanta-konstanta yang mendefinisikan karakteristik iklim, yaitu :
α : Koefisien evepotranspirasi : Koefisien recharge
: Koefisien runoff δ : Koefisien loss
K : Pendekatan pertama terhadap faktor pembobot K KAT1 = L x KATj x T1
ETp* = ETp x f ETp = 16 (10T/I)a I = Ʃ ij
Metode Palmer memiliki faktor pembobot K sehingga penyimpangan dari iklim rata-rata yang terjadi diharapkan dapat diperbandingkan secara lokal baik dalam skala ruang maupun waktu (Guttman 1995). Sebagai contoh, nilai -3 di suatu wilyah akan memiliki arti yang sama di wilayah lainnya, meskipun memiliki jarak yang jauh dan waktu yang tidak sama.
Menurut Hounam et al. (1975), untuk menurunkan kelima konstanta tersebut memerlukan analisis klimatologi dalam jangka panjang. Koefisien-koefisien terebut memungkinkan untuk menghitung presipitasi yang telah terjadi selama bulan tertentu, yang dipertimbangkan sebagai kondisi normal yang mengacu pada ketersediaan air. Besarnya evapotranspirasi pada bulan tersebut dapat menggunakan persamaan sebagai berikut:
(6) Di mana:
P = Presipitasi dugaan
ETp = Evapotranspirasi potensial PR = Potential recharge
PRO = Potential runoff
PL = Potential loss
Kenormalan nilai curah hujan sangat bergantung pada perhitungan cadangan air dan evapotranspirasi bulan sebelumnya. Selisih antara curah hujan pengamatan dan curah hujan dugaan diwakili oleh huruf d. Apabila selisih tersebut dikalikan dengan faktor pembobot K, maka akan diperoleh nilai indeks anomali lengas yang diwakili oleh huruf Z. Indeks kekeringan akhir (X) bergantung pada nilai Z yang sebelumnya didapatkan dengan persamaan empiris:
(7) (8)
Dari persamaan 8 dapat dilihat bahwa (Z/3) merupakan keparahan kekeringan selama satu bulan dan -0.103 (Z/3)j-1 adalah nilai untuk melihat tingkat
keparahan. Nilai 0,103 merupakan nilai yang didapatkan dari penurunan rumus jumlah kekeringan abnormal yang dibutuhkan untuk melihat tingkat keparahan kekeringan yang terjadi sehingga didapatkan tingkat perubahan keparahan kekeringan untuk mendapatkan nilai indeks kekeringan (Palmer 1965).
Jika nilai indeks menunjukkan nilai postif atau lebih besar dari nol, maka daerah tersebut bersifat basah atau tidak mengalami kekeringan. Sedangkan saat indeks menunjukkan nilai negatif atau kurang dari nol, maka daerah tersebut mengalami kekeringan.
Indeks kekeringan Palmer sangat efektif digunakan untuk menentukan kekeringan jangka panjang dan daerah beriklim tropis, sedangkan untuk menentukan kekeringan jangka pendek dan daerah beriklim semiarid serta sub-humid kering indeks Palmer kurang efektif digunakan (Guttman et al.1995).
P = α.ETp + . PR + . PRO + δ.PL
X = (Z/3)j-1+ ΔX
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Wilayah
Provinsi Jawa Barat berada di daratan Pulau Jawa bersama dengan Provinsi lainnya seperti Provinsi Banten, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Timur. Secara astronomis wilayah Provinsi Jawa Barat ini terletak pada koordinat antara 550' -750' Lintang Selatan (LS) dan 10448' - 10848' Bujur Timur (BT) dengan batas wilayah sebelah utara adalah Laut Jawa dan Provinsi DKI Jakarta, sebelah timur adalah Provinsi Jawa Tengah, sebelah selatan adalah Samudera Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten.
Luas wilayah Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah daratan seluas 3.735.327 hektar dan garis pantai sepanjang 755,829 km. Daratan Jawa Barat dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam (9,5% dari total luas wilayah Jawa Barat) terletak di bagian Selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500m di atas permukaan laut (dpl); wilayah lereng bukit yang landai (36,48%) terletak di bagian Tengah dengan ketinggian 10-1.500 m dpl; dan wilayah dataran luas (54,03%) terletak di bagian Utara dengan ketinggian 0 -10 m dpl (BIG 2010).
Tutupan lahan terluas di Jawa Barat berupa sawah (29,03 % dari luas wilayah Jawa Barat), perkebunan dan ladang (28,52%), dan hutan primer serta hutan sekunder (18,73%), sementara lahan terbangun dan kawasan industri di Jawa Barat hanya 12,37% dari seluruh luas wilayah Jawa Barat (BIG 2010).
Berdasarkan data BBSDLP, jenis tanah di wilayah Jawa Barat didominasi oleh Latosol. Latosol merupakan tanah yang mempunyai kadar liat tinggi (>60%) dan merupakan jenis tanah yang cocok untuk tanaman padi, palawija, kopi, coklat, lada, buah-buahan, sayuran dan ubi. Selain Latosol, jenis tanah yang ada di wilayah Jawa Barat meliputi Aluvial, Andosol, Brown Forest, Glei, Grumosol, Latosol, Litosol, Mediteran, Organosol, Podsol Merah Kuning, dan Regosol.
Gambar 1 Peta wilayah kajian UTARA
TENGAH
Kondisi Klimatologis Wilayah
Jawa Barat memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 17,4 - 30,7°C dan kelembaban udara antara 73-84%. Data BMKG menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2008, turun hujan selama 1-26 hari setiap bulannya dengan curah hujan antara 3,6 hingga 332,8 mm (Diperta 2014). Jawa Barat tergolong wilayah dengan tipe curah hujan monsoonal. Pola curah hujan tipe ini memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau dengan satu puncak musim hujan dan satu puncak musim kemarau. Secara umum, dapat dilihat pola seperti huruf U yang tinggi pada awal dan akhir tahun dan rendah pada pertengahan tahun. Wilayah dengan pola curah hujan ini dipengaruhi oleh angin monsoon barat dan angin monsoon timur.
Berdasarkan data curah hujan dan suhu yang didapatkan melalui satelit CRU untuk wilayah Jawa Barat, dapat dilihat pola sebaran pada gambar berikut.
a b
c
Gambar 2 Hubungan antara curah hujan dan suhu rata-rata tahun 1980-2012 bagian utara (a), tengah (b) dan selatan (c) Jawa Barat
Berdasarkan gambar tersebut, dapat terlihat bahwa curah hujan tertinggi terdapat di wilayah Jawa Barat bagian selatan sedangkan suhu tertinggi berada dibagian utara. Wilayah tengah dan selatan Jawa Barat memiliki nilai curah hujan tertinggi sebesar 412 mm pada bulan November dan terendah pada bulan Agutus dengan 75 mm, sedangkan suhu sebesar 25,5-26,5°C. Untuk wilayah utara curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 335 mm dan terendah pada bulan Agustus sebesar 53 mm, untuk suhu sebesar 27-28°C. Dapat dillihat pada bulan Juni Juli dan Agustus terjadi penurunan suhu sebesar 0,2-0,3°C, penurunan suhu tersebut terjadi karena adanya pengaruh radiasi matahari ataupun kecepatan angin yang cukup tinggi terjadi pada saat itu.
Berdasarkan kondisi klimatologis wilayah Jawa Barat, dapat dikatakan bahwa wilayah utara lebih panas dibandingkan wilayah bagian tengah dan selatan. Hal tersebut dapat dilihat pada nilai rata-rata curah hujan yang lebih kecil dan nilai rata-rata suhu yang lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Bagian utara Jawa Barat merupakan wilayah dataran rendah yang dekat dengan pantai dan memiliki topografi yang landai, selain itu bagian utara didominasi oleh lahan terbangun dan sawah dengan kemampuan tanah untuk menyimpan air yang cukup rendah.
Kejadian El Nino akan mempengaruhi wilayah dengan pola curah hujan monsoonal. Selain El Nino, La Nina pun akan mempengaruhi keadaan curah hujan suatu wilayah. Perbedaan sebaran curah hujan pada tahun normal, El Nino dan La Nina dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 3 Pola curah hujan tahun normal, El Nino dan La Nina di Jawa Barat
Tabel 2 Sebaran curah hujan tahun normal, El Nino dan La Nina di Jawa Barat
Pendugaan Kapasitas Air Tersedia (KAT)
Kapasitas air tersedia merupakan kemampuan atau kapasitas tanah untuk menyimpan air dan dimanfaatkan berbagai jenis tanaman untuk tumbuh. Menurut Turyanti (1995), lapisan tanah terbagi menjadi dua jenis, yaitu lapisan tanah bagian atas sedalam ±25 cm dan lapisan tanah bagian bawah yang dalamnya sesuai dengan zone perakaran. Nilai KAT sendiri didapatkan menggunakan bantuan tabel pendugaan KAT dari Thornthwaite dan Mather (1957).
Wilayah Jawa Barat bagian utara didominasi oleh sawah dan lahan terbangun, dengan luas sawah mencapai 30-65% dan luas wilayah terbangun mencapai 15-45%. Nilai KAT pada lapisan atas berkisar 40-60 mm, sedangkan nilai KAT pada lapisan bawah berkisar antara 60-120 mm.Wilayah Jawa Barat bagian selatan dan barat di dominasi oleh kebun dan hutan dengan nilai KAT bagian atas berkisar 60-70 mm dan nilai KAT bagian bawah berkisar antara 160-230 mm. Untuk wilayah Jawa Barat bagian tengah di dominasi oleh tutupan lahan sawah, kebun dan hutan dengan nilai KAT bagian atas berkisar antara 50-60 mm dan 120-180 mm untuk nilai KAT bagian bawah.
Perhitungan Neraca Air
jumlah kehilangan air pada kedua lapisan tanah. Jika tidak terjadi hujan pada periode tersebut, maka jumlah kehilangan air disebut Potential Loss (PL). Apabila nilai negatif ini terus berlangsung, maka tanah dilapisan bawah akan mengalami kehilangan air karena air pada tanah lapisan atas sudah habis terlebih dahulu dan kehilangan cadangan air.
Recharge (R) terjadi saat selisih curah hujan dan evapotranspirasi bernilai postitif dan kedua lapisan tanah belum mencapai kapasitas lapang. Potential Recharge (PR) sendiri merupakan jumlah air yang diperlukan untuk pengisian cadangan air tanah kedua lapisan hingga mencapai kapasitas lapang. Ketika tanah telah mencapai kapasitas lapang maka PR akan bernilai 0, hal ini dkarenakan hujan yang jatuh di permukaan tanah seluruhnya akan menjadi RO dan perkolasi sebagai surplus air. Nilai RO dan PR saling bertolak belakang satu sama lain. Saat nilai RO menurun maka nilai PR akan menurun, begitu juga sebaliknya.
Koefisien evapotranspirasi (α) merupakan nilai yang menggambarkan
besarnya evapotranspirasi di suatu wilayah yang berkisar antara 0 sampai 1. Pada umumnya nilai koefisien evapotranspirasi mendekati 1 pada bulan-bulan basah dan mendekati 0 pada saat bulan kering. Hal tersebut menunjukkan bahwa evapotranspirasi akan mencapai nilai potensialnya saat wilayah tersebut mengalami musim hujan. Sedangkan nilai koefisien evapotranspirasi akan mernurun saat memasuki musim kemarau, karena kondisi cadangan air pada musim kemarau akan menurun dan mempengaruhi evapotranspirasi aktual.
Gambar 4 Grafik nilai koefisien evapotranspirasi (α) dari γ wilayah di Jawa Barat
Wilayah Jawa Barat memiliki nilai koefisien evapotranspirasi lebih dari 0,7 yang berarti bahwa evapotranspirasi aktual yang terjadi lebih dari 70% dan melebihi nilai evapotranspirasi potensialnya. Berdasarkan gambar 4, wilayah tengah dan selatan mempunyai pola yang relatif sama, dengan nilai koefisien tertinggi 1 yang terjadi pada bulan-bulan basah dan nilai koefisien terendah yaitu 0,4 yang terjadi pada bulan September dan Oktober. Wilayah utara memiliki nilai koefisien terendah pada bulan Oktober dengan nilai mendekati 0 dan memiliki nilai tertinggi yaitu 1 pada bulan-bulan basah. Penurunan nilai koefisien evapotranspirasi yang terjadi lebih awal pada bulan Mei menyebabkan wilayah tersebut mengalami penurunan kondisi cadangan air tanah yang lebih lama
dinbandingkan wilayah lain dan berpotensi menjadi daerah kering. Umumnya wilayah dengan nilai koefisien terendah adalah wilayah utara Jawa Barat.
Gambar 5 Grafik nilai koefisien recharge ( ) dari γ wilayah di Jawa Barat
Koefisien recharge ( ) merupakan nilai yang menggambarkan besarnya pengisian air tanah yang terjadi saat hujan hingga mencapai kapasitas lapang.
Nilai mendekati 1 saat terjadi penambahan air hujan kedalam tanah setelah
terjadinya defisit cadangan air tanah. Saat koefisien recharge bernilai 1 maka pengisian air tanah saat hujan telah mendekati nilai potensialnya hingga mencapai kapasitas lapang. Nilai akan mendekati 0 saat tidak terjadinya defisit air tanah sehingga hujan yang turun diasumsikan melimpas. Secara umum, nilai koefisien
recharge bernilai 1 saat musim hujan dan bernilai 0 saat musim kemarau.
Berdasarkan gambar 5, nilai koefisien recharge cenderung menurun bahkan mendekati nol saat bulan Juni hingga September. Hal ini dikerenakan pada bulan-bulan tersebut, curah hujan yang jatuh ke permukaan cenderung menurun
sehingga nilai pun ikut menurun. Secara umum, nilai cenderung tak beraturan,
karena selain dipengaruhi oleh besarnya curah hujan tapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain seperti vegetasi, tekstur dan struktur tanah dan juga kelerengan yang tidak dihitung pada perhitungan ini.
Gambar 6 Grafik nilai koefisien runoff ( ) dari γ wilayah di Jawa Barat 0.00
0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
Utara Tengah Selatan
0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
Koefisien runoff ( ) merupakan nilai yang menggambarkan besarnya curah hujan yang mengalir menjadi limpasan permukaan (runoff). Pada dasarnya,
fluktuasi nilai hampir sama dengan fluktuasi nilai α. Nilai koefisien runoff akan mendekati 1 saat musim hujan, karena hujan yang turun dan jatuh ke permukaan akan menjadi runoff seluruhnya. Sedangkan saat musim kemarau nilainya akan mendekati 0 karena hujan yang jatuh akan terinfiltrasi kedalam tanah.
Berdasarkan gambar 6, pada musim hujan nilai koefisen runoff mendekati 1 dan perlahan menurun saat memasuki musim kemarau. Pada wilayah utara, nilai koefisien limpasan paling cepat mengalami penurunan dan memiliki nilai koefisien paling tinggi diantara wilayah lainnya. Hal ini dapat menunjukkan bahwa wilayah bagian utara mengalami penurunan curah hujan dan juga tidak memiliki daerah resapan yang cukup efektif. Berbeda halnya dengan wilayah tengah yang memiliki nilai koefisien runoff mendekati 0 pada musim kemarau, hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi daerah yang efektif terhadapan resapan air atau karena curah hujan yang menurun.
Gambar 7 Grafik nilai koefisien loss (δ) dari γ wilayah di Jawa Barat
Koefisien loss (δ) merupakan nilai yang menunjukkan kehilangan lengas
tanah yang terjadi. Nilai δ berkebalikan dengan ketiga paramater sebelumnya, dimana pada musim kemarau nilai δ lebih tinggi hingga mendekati 1 dan pada musim hujan nilai δ akan lebih rendah mendekati 0. Pada musim kemarau, hujan yang jatuh ke permukaam menurun sehingga cadangan air tanah dan evapotranspirasi aktual menurun dan potensial kehilangan lengas pun menurun. Sedangkan pada musim hujan, diasumsikan tidak terjadi evapotranspirasi sehingga potensi kehilangan lengas cukup besar.
Berdasarkan gambar 7, pada musim kemarau nilai koefisien loss perlahan meningkat hingga mencapai titik tertinggi pada bulan September. Hal tersebut membuktikan bahwa pada ketiga wilayah tersebut, potensial kehilangan lengas tertinggi terjadi pada bulan September. Sedangkan pada musim hujan, nilai koefisien loss cenderung menurun bahkan mendekati 0.
Indeks Kekeringan
Indeks kekeringan Palmer merupakan indeks yang menggunakan angka dengan kisaran -4 sampai 4. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, indeks kekeringan di Jawa Barat menunjukkan sebaran yang cukup besar, dengan nilai tertinggi yaitu 22 dan nilai terendah -34. Nilai tersebut jauh melebar dibandingkan klasifikasi yang telah disusun oleh Palmer. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan curah hujan di tempat penelitian Palmer dan di Indonesia, khususnya Jawa Barat. Selain itu, kondisi El Nino dan La Nina pun dapat menyebabkan kondisi kering dan basah pada suatu wilayah semakin panjang, terutama pada wilayah dengan pola hujan monsoon dimana pengaruh El Nino akan lebih kuat (Tjasyono 1997).
DJF MAM JJA SON
Gambar 8 Perbandingan sebaran rata-rata indeks kekeringan tahun normal di Jawa Barat
Berdasarkan Gambar 8 dapat terlihat bahwa Jawa Barat merupakan wilayah dengan kategori normal. Pada bulan SON dan DJF wilayah Jawa Barat bagian selatan cenderung basah, sedangkan pada bulan MAM dan JJA wilayah bagian utara memiliki indeks lebih kering. Secara umum, bagian selatan Jawa Barat lebih basah dibandingkan bagian selatan. Hal ini dikarenakan bagian selatan berada pada elevasi tinggi dan dikelilingi oleh pegunungan sehingga curah hujan dan kemampuan tanah untuk menyimpan cadangan air lebih tinggi.
Tabel 3 Tahun kejadian El-Nino dan La-Nina dari tahun 1980-2012
El-Nino La-Nina
Weak Moderate Strong Weak Moderate Strong
2004-2005 1986-1987 1982-1983 1983-1984 1998-1999 1988-1989
2006-2007 1991-1992 1987-1988 1995-1996 2007-2008 1999-2000
1994-1995 1997-1998 2000-2001 2010-2011
2009-2010 2002-2003 2005-2006
2008-2009 2011-2012 Sumber: ggweather.com/enso/oni.htm
ENSO berpengaruh terhadap iklim monsun yang ada di Indonesia (Qian et al. 2010) yaitu sirkulasi atmosfer dan cuaca. Indonesia menerima dampak ENSO yang besar karena merupakan daerah pemanasan samudera yang paling intensif yang akan memengaruhi sirkulasi konvektif. Faktor tersebut menyebabkan Indonesia memiliki curah hujan tinggi dan menjadi sumber utama pemanasan atmosfer global (Kahya 1993).
Secara keseluruhan kondisi El Nino di wilayah Indonesia menyebabkan penurunan curah hujan hingga 100 mm/bulan. Penurunan curah hujan tertinggi terjadi di wilayah Indonesia bagian timur sedangkan peningkatan curah hujan terjadi di sebagian wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau hingga 50 mm/bulan. Kondisi anomali suhu permukaan laut (ASPL) di perairan Indonesia mengalami penurunan sedangkan di Samudera Pasifik mengalami peningkatan ASPL sehingga Indonesia mengalami tekanan tinggi dan angin akan membawa uap air yang berpotensi menjadi awan hujan bergerak menuju perairan yang bertekanan rendah.
Menurut Tjasyono (1997) pengaruh ENSO akan kuat pada daerah dengan pola curah hujan monsoon, lemah pada daerah dengan pola curah hujan equatorial dan tidak jelas dengan pola curah hujan lokal. Jawa Barat dengan pola curah hujan monsoon membuat Jawa Barat menjadi wilayah yang dipengaruhi oleh El Nino. Selain dapat mempengaruhi tingginya curah hujan, kejadian El Nino juga berpengaruh terhadap masuknya musim kemarau. Di samping itu periode musim hujan akan lebih pendek (Kailaku 2009).
Pulau Jawa merupakan wilayah beriklim monsun yang menerima dampak
Gambar 9 Peta sebaran indeks kekeringan tahun El Nino di Jawa Barat
Gambar 9 menunjukkan sebaran indeks kekeringan maksimal pada tahun-tahun El Nino. Sebagian besar wilayah utara Jawa Barat mengalami kekeringan dengan indeks sedikit kering hingga ekstrem kering. Hal ini dapat menyebabkan wilayah utara Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang rawan terhadap kekeringan.
Indeks kekeringan yang didapat pada tahun-tahun normal, El-Nino dan La-Nina berbeda satu sama lain. Pada tahun-tahun El-Nino terdapat indeks bernilai negatif yang terjadi selama 5-6 bulan berturut-turut bahkan terus berlangsung hingga tahun berikutnya. Nilai indeks negatif pun dapat terjadi pada tahun normal bahkan tahun basah. Hal ini terjadi hanya pada wilayah tertentu dengan situasi-situasi lokal yang ada. Secara keseluruhan selama periode 1980-2012 wilayah Jawa Barat cenderung berada pada kategori normal. Hanya pada bulan-bulan dan pada wilayah-wilayah tertentu indeks bernilai negatif dan tidak berlangsung dalam waktu yang lama.
El Nino Normal
M
AM
El Nino Normal
JJA
S
ON
Gambar 10 Perbandingan sebaran indeks kekeringan maksimum tahun El Nino dan Normal di Jawa Barat
Pada bulan SON, terdapat dua wilayah kuat yang terkait dengan atmosfer antara Sanudera Pasifik dan Samudera Hindia serta sirkulasi Walker dimana pusat tekanan panas fenomena atmosfer tropis berada dekat dengan Indonesia. Meningkatnya kekeringan bulan SON pada tahun El Nino merupakan salah satu penyimpangan iklim yang terjadi dimana seharusnya pada bulan-bulan tersebut kekeringan sudah mulai berkurang sehingga kondisi akan semakin basah. Dapat dikatakan bahwa puncak kekeringan pada tahun El Nino terjadi pada bulan Agustus dan September.
Tingginya indeks kekeringan pada bulan SON, selain dipengaruhi oleh ENSO juga dipengaruhi oleh kemampuan tanah dalam menyimpan cadangan air. Pada perhitungan indeks kekeringan yang dilakukan, nilai indeks kekeringan juga dipengaruhi oleh nilai KAT lapisan tanah pada bulan sebelumnya. Hal ini terjadi karena proses pergerakan air dalam tanah memerlukan waktu sehingga terjadinya lag. Turyanti (1995) menyatakan bahwa indeks kekeringan sangat dipengaruhi oleh curah hujan bulanan pada periode yang sama dan oleh curah hujan bulan sebelumnya. Penurunan curah hujan dalam waktu yang singkat jika kondisi sebelumnya normal tidak akan begitu berpengaruh terhadap kondisi air tanah pada saat itu. Tetapi jika curah hujan berkurang terus-menerus, maka kondisi air tanah akan mulai terpengaruh. Hal inilah yang menyebabkan terkadang masih terjadi penurunan nilai indeks ketika curah hujan mulai meningkat.
Wilayah utara Jawa Barat berada pada sabuk pantai (the coastal belt) yang membentuk dataran rendah yang terbentang dari laut ke bukit-bukit dibawah gunung. Sungai yang mengalir melintasi dataran ini pun menyediakan air irigasi untuk menngaliri lahan pertanian. Kondisi inilah yang menjadikan wilayah pantai utara cocok dijadikan lahan pertanian terutama sawah bahkan menjadi sentra produksi beras Nasional. Menurut Pramudia (2002), wilayah pantai utara Jawa Barat memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kekeringan dan penurunan produksi, terutama pada tahun-tahun El Nino.
Hubungan Antara Curah Hujan dan Indeks Kekeringan
Penyebaran Curah hujan sangat beragam dan tidak merata menurut tempat, topografi dan waktu. Perbedaan penyebaran curah hujan itulah yang menyebabkan adanya perbedaan tingkat kekeringan antara satu tempat dengan tempat lainnya. Hal itulah yang menyebabkan dampak yang ditimbulkan akan berbeda pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa indeks kekeringan pada suatu wilayah dipengaruhi oleh intensitas curah hujan.
Tahun-tahun El Nino yang diambil yaitu tahun 1987, 1997 dan 2002. Tahun-tahun tersebut diambil karena merupakan tahun El Nino dengan kondisi terkering. Menurut Irawan (2006) dan Australian Boreau of Meteorology, pada tahun 1987 terjadi El Nino selama 10 bulan dengan nilai SOI sebesar -15,7 dan pada tahun 1997-1998 El Nino terjadi selama 14 bulan dengan nilai SOI mencapai -18. Nugroho (2003) pun menyatakan bahwa tahun 2002 merupakan tahun dengan nilai indeks kekeringan tertinggi.
Gambar 11 menunjukkan hubungan antara curah hujan dan Indeks kekeringan pada bulan-bulan kering dengan Sumbu X adalah nilai curah hujan dan sumbu Y adalah nilai indeks kekeringan. Nilai indeks terkecil terjadi pada bulan September tahun 1997 dengan nilai indeks mencapai -3 pada curah hujan nol. Grafik trendline berkorelasi negatif sehingga dapat dinyatakan bahwa pada saat bulan-bulan kering hubungan antara tingkat kekeringan dan curah hujan adalah berbanding terbalik. Semakin tinggi curah hujannya maka tingkat kekeringannya akan semakin rendah.
Pola Tanam Tanaman Pangan
Ketersediaan air merupakan variabel utama yang mempengaruhi petani untuk memutuskan jadwal pola tanam, panen serta kegiatan yang lain dalam mengelola tanaman. Umumnya penetapan awal tanaman dan pola tanaman padi dan palawija untuk setiap daerah di Indonesia sebagian besar masih seragam karena hanya berpatokan pada musim hujan dan musim kemarau saja. Petani bercocok tanam dua atau tiga kali setahun, tergantung pada pola curah hujan dan ketersediaan air irigasi pada wilayah tersebut.
1987 1997 2002
Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan air saat bercocok tanam yaitu dengan irigasi. Air irigasi ditambahkan kedalam tanah untuk menyediakan air yang diperlukan saat pertumbuhan tanaman serta mendinginkan tanah dan atmosfer sehingga menimbulkan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman dan mengalirkan air yang mengandung zat-zat berguna bagi tanaman. Irigasi yang diterapkan pada lahan pertanian juga berpengaruh terhadap pola bercocok tanam tanaman. Jenis irigasi yang ada dapat pula menentukan kerawanan suatu wilayah terhadap kekeringan.
Berdasarkan data dari Kementrian Pekerjaan Umum tahun 2005, didapatkan bahwa dari 16 Kabupaten di Jawa Barat hanya 3 kabupaten yang tidak tercakup wilayah irigasi, yaitu kabupaten Bandung, Subang dan Sumedang. Walaupun demikian, menurut Daruati (2011) di Kabupaten Subang banyak dibuat sumur untuk pengairan sawah yang dialirkan pipa-pipa sehingga bisa panen tiga kali dalam setahun. Wilayah yang paling luas cakupan irigasinya adalah Kabupaten Karawang, Indramayu, Bekasi dan Cirebon yang keseluruhan wilayahnya berada di Pantai Utara Jawa Barat.
Ketersediaan air irigasi pada dasarnya sangat berkorelasi dengan volume curah hujan. Las et al. (1999) dan Irianto et al. (2001) menyatakan bahwa kejadian El Nino memiliki pengaruh terhadap curah hujan yang juga akan mempengaruhi ketersediaan air irigasi yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Penurunan debit air irigasi saat El Nino dapat menurunkan produksi pangan di daerah beririgasi terutama pada musim kemarau. El-Nino pun dapat menyebabkan pergeseran waktu dan pola tanam bahkan untuk semua jenis tanaman.
Pada tahun El Nino, sebagian besar wilayah Jawa Barat mengalami kekerigan awal. Untuk mengantisipasi kekeringan ekstrem yang terjadi, tanaman padi dapat ditanam 1 hingga 2 kali namun hasil produksi padi akan menurun. Sedangkan tanaman palawija dapat ditanam sembarang waktu atau pada saat tanaman padi sedang tidak ditanam. Untuk penanaman pada saat El Nino, harus dipastikan ketersediaan kebutuhan air tanaman dapat terpenuhi dari sistem irigasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan indeks kekeringan yang diperoleh, Jawa Barat memiliki indeks tertinggi 22 dan nilai terendah -34. El Nino mempengaruhi kekeringan di Jawa Barat. Puncak kekeringan terjadi pada bulan Agustus dan September.
Secara umum, dapat terlihat bahwa wilayah Jawa Barat bagian utara memiliki kekeringan yang lebih tinggi dibandingkan bagian tengah dan selatan Jawa Barat yang cenderung lebih basah.
Pola tanam untuk sebagian besar wilayah Jawa Barat yang dapat diaplikasikan jika tidak ada irigasi adalah, padi-padi-palawija dengan awal musim tanam pada bulan November, jika terdapat irigasi, padi dapat ditanam hingga tiga kali setahun. Sementara untuk wilayah utara yang cenderung lebih kering jika tidak ada irigasi pola tanam yang dapat diterapkan adalah padi-palawija-palawija dan awal tanam pada bulan Desember, jika kondisi irigasi memadai padi dapat ditanam dua hingga tiga kali setahun
.
Saran
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambahkan faktor kelerengan yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap neraca air sehingga analisis yang dilakukan akan lebih akurat. Ketersediaan air irigasi pada suatu wilayah pun akan mempengaruhi keakuratan penentuan pola tanam dan awal musim tanam setiap wilayah. Selain itu, besarnya pengaruh ENSO di wilayah utara dan selatan Jawa Barat pun dapat menjadi salah satu fokus utama untuk penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian ES. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. International Journal Climatology 23: 1435-1452.
[BPS JABAR] Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2012. Luas panen, produktivitas dan produksi pertanian di Jawa Barat [Internet]. [diunduh 24 Desember 2014]. Tersedia pada: http://jabar.bps.go.id/pertanian
Cahyono B. 2007. Kedelai, Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Jakarta (ID): Aneka Ilmu.
Daruati D. 2011. Pola Wilayah Kekeringan Lahan Basah (Sawah) di Propinsi Jawa Barat [Tesis]. Jakarta (ID). Universitas Indonesia.
[DIPERTA] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2014. Geografi dan Topografi Jawa Barat. [Internet]. [diunduh 24 Desember 2014]. Tersedia pada: http://diperta.jabarprov.go.id.
Fox JJ. 2000.The Impact of the 1997-1998 El Nino on Indonesia, In : R.H. Grove and J Chappell, El Nino – History and Crisis, Studies from the Asia-Pacific region. Cambridge UK (GD). The White House Press.
Guttman NB, Wallis JR, Hosking JRM. 1992. Spatial comparability of the Palmer Drought Severity Index. Water Resources Bulletin. 28(6):1111-1119.
Hadiani RR. 2009. Analisis Kekeringan Berdasarkan Data Hidrologi [Disertasi]. Malang (ID). Universitas Brawijaya Malang.
Handayani, W. 1993. Agihan dan Kecenderungan Kekeringan Menggunakan Indeks Kekeringan Menurut Thornwaite di Daerah Kedu Selatan [Skripsi]. Yogjakarta (ID). Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Hayes MJ, Svoboda MD, Wall N, Widhalm M. 2001. The Lincoln declaration on Drought Index Recommended. Bulletin of the American Meteorologist Society. 92(4): doi:10.1175/2010BAMS313.1.
Hounam CE, Burgos JJ, Kalik MS, Palmer WC, Rodda J. 1975. Drought and Agriculture. Technical Note 138. United States (US). World Meteorological Organization.
Irawan B. 2006. Fenomena anomali iklim El Nino dan La Nina: Kecenderungan jangka panjang dan pengaruhnya terhadap produksi pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 2006 Jul. Bogor (ID). 24(1): 28-45.
Irianto G, Amien I, Las I, Rachman B. 2001. Laporan hasil penelitian pengelolaan air berbasis pulau untuk mengantisipasi kelangkaan air dan mencapai ketahanan pangan. Jakarta (ID): Puslitbangtanak.
Kahya E, Dracup JA. 1993. US Streamflow Patterns in Relation to the El Nino/Southern Oscillation. Water Resources Research 29 (8): 2491- 2503. Kailaku TE. 2009. Pengaruh ENSO (El Nino-Southern Oscillation) dan IOD
(Indian Ocean Dipole) terhadap dinamika waktu tanam padi di wilayah tipe hujan equatorial dan monsunal (studi kasus Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat dan Kabupaten Karawang, Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Las I, Makarim AK, Sumarno S, Purba M, Mardiharini, Kartaatmaja S. 1999. Laporan hasil penelitian analisis peluang penyimpangan iklim dan ketersediaan air pada wilayah pengembangan IP Padi 300. Jakarta (ID): Puslitbangtanah.
McGregor GR, Nieuwolt S. 1998. Tropical Climatology. United Kingdom (GD). John Wiley & Sons Ltd.
McWilliams DA, Berglund DR, Endres GJ. 1999. Corn Growth and Management Quickguide[Internet]. [diunduh 24 Desember 2014]. Tersedia pada:
www.ag.ndsu.edu
Mitchell TD, Jones PD. 2005. An improve method of constructing a database of monthly climate observations and associated high-resolution grids. Int. J. Climatol 25: 693-712.
Murthy, VRK. 1996. Terminology in Agricultural Meteorology. India (IN). Andhara Padesh Agricultural University India.
[NOAA] National Oceanic and Atmosphere Administration. 2008. Drought.
National Oceanic Atmosphere Administration National Weather Service.
Nugroho AP, Hadiani R, Susilowati. 2013. Analisis kekeringan daerah aliran sungai Keduang dengan menggunakan metode Palmer. Konferensi Nasional Teknik Sipil. 2013 Okt 24-26. Surakarta (ID). Universitas Sebelas Maret. Ogallo LJ, Gbckor-kove N. 1989. Droughtand desertification. WCAP7WMO/TD
Palmer WC. 1965. Meteorological Drought. Research Paper 45. Washington DC (US). US Weather Bureau.
Pramudia A. 2002. Analisis Sensitivitas Tingkat Kerawanan Produksi Padi di Pantai Utara Jawa Barat terhadap Kekeringan dan El Nino [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Qian JH, Robertson AW, Moron V. 2010. Interaction Among ENSO, the Monsoon and Diurnal Cycle in Rainfall Variability Over Java, Indonesia.
Journal of the Atmospheric Sciences 67: 3509 – 3524.
Ruminta. 2012. Analisis Dampak Perubahan Pola Curah Hujan Terhadap Sistem Pertanian tanaman Pangan Lahan Kering di Jawa Barat [Internet]. [diunduh 26 Januari 2015]. Tersedia pada: http://blogs.unpad.ac.id/ruminta/ files/2012/07/Penelitian-Stategis-Nasional.pdf.
Setiawan AC. 2000. Analisis Wilayah Rawan Kekeringan Untuk Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Padi Gogo di Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Siregar PR, Crane TA. 2011. Climate Information and Agricultural Practice in Adaptation to Climate Variability: The Case of Climate Field Schools in Indramayu, Indonesia. Culture, Agriculture, Food and Environment Journal (33): 2.
Subdiyakto. 1985. Evaluasi Kekeringan di Daerah Kedu Selatan dengan Menggunakan Indeks Palmer [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Suhaeni N. 2007. Petunjuk Praktis Menanam Kedelai. Bandung (ID): Nuansa. Tjasyono B. 1997. Mekanisme fisis pra, selama dan pasca El Nino. Workshop
Kelompok Peneliti Dinamika Atmosfer. 1997 Mar13-14. Indonesia (ID). Turyanti A. 1995. Sebaran Indeks Kekeringan Wilayah Jawa Barat. [Skripsi].
Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 2 Langkah perhitungan indeks kekeringan
1. KAT = Kapasitas air tersedia (mm)
KATa = Kapasitas sir tersedia tanah lapisan atas KATb = Kapasitas air tersedia tanah lapisan bawah
2. CH = Curah hujan
ETP = Evapotranspirasi Potensial
CH-ETP = Selisih curah hujan dan ETP
3. Perubahan lengas tanah (ΔS)
ΔSa = Perubahan lengas lapisan atas pada akhir bulan (mm) dihitung dengan syarat:
- Jika CH < ETP, maka ΔSa = Saj-i atau ETP-CH, dipilih mana yang
paling kecil
- Jika CH > ETP dan jika Sbj-imaka ΔSa = KATa - Saj-i dan ΔSa
maksimum = CH – ETP
- Pada bulan-bulan dengan CH < ETP, maka ΔSa adalah negatif
ΔSb = Perubahan lengas lapisan bawah pada akhir bulan (mm) dihitung dengan syarat:
- Pada bulan-bulan dengan CH < ETP, maka ΔSb adalah negatif
4. Jumlah lengas tanah
Sa: Jumlah lengas lapisan tanah atas pada akhir bulan (mm) dihitung dengan
Sa = Saj-i + ΔSa
Sb: Jumlah lengas lapisan tanah atas pada akhir bulan (mm) dihitung dengan
Sb = Sbj-i + ΔSb
S: Jumlah lengas pada kedua lapisan tanah pada akhir bulan (mm) dihitung dengan
S = Sa + Sb
5. Potential Recharge (PR)
Merupakan jumlah lengas agar tanah mencapai kondisi kapasitas lapang. Dituliskan dengan rumus:
PR = KAT - St j-1
6. Recharge (R)
Selama sebulan dihitung dengan syarat sebagai berikut: Jika PR = 0, maka R = 0
7. Potensial Loss
Merupakan jumlah potensial loss pada tanah lapisan atas (PLa) dan tanah lapisan bawah (PLb) yang dapat dituliskan dengan rumus:
PL = PLa +PLb Adapun PLa = ETP atau Saj-i, dipilih yang terkecil
PLu = (ETP – PLa) x Sbj-i / KAT
8. Loss (Kehilangan)
Yaitu kehilangan lengas tanah selama sebulan (mm), dapat dihitung dengan rumus
Merupakan limpasan permukaan selama sebulan (mm) dihitung setiap bulan selama tahun pengamatan dengan syarat:
Jika S ≥ KAT, maka RO = CH – (ETp + PR)
Jika S ≤ KAT, maka RO = 0
11. Menentukan lima buah konstanta (koefisien) yaitu:
α : Koefisien evepotranspirasi
: Koefisien pengsisian lengas kedalam tanah : Koefisien limpasan
δ : Koefisien kehilangan air
κ : Pendekatan pertama terhadap faktor pembobot K dimana;
12. Menentukan nilai CAFEC (Climatically Appropriate For Existing Conditions)
Yaitu nilai dugaan suatu parameter (ETa, R, RO, CH atau L) yang secara klimatologis sesuai dengan kondisi waktu dan tempat yang diuji. Nilai-nilai tersebut dihitung dengan rumus:
̂ = α x ETp
̂ = x PR
̂ = x PRO
̂ = δ x PL
13.D (Periode Kekurangan atau kelebihan Hujan)
Untuk menentukan periode kelebihan (surplus) atau kekuranga (defisit) hujan, digunakan rumus:
d = CH - ̂
dimana ̂ merupakan pendugaan nilai parameter water balance
14. ̂ merupakan rataan nilai mutlak
15.K’ (pendekatan kedua terhadap nilai faktor K, menggunakan rumus:
K’ = 1.5 log10
+ 0.5
DK’ = ̂x K’
16. Karakter iklim sebagai faktor pembobot (K)
K =
∑ K’
17. Penduga nilai Z
z = d * k
18. Indeks penyimpangan (Anomali) lengas, dihitung dengan rumus: Z = d * K
19. Indeks Kekeringan (X) X = (Z/3)j-1+ Δx
Lampiran 3 Tabel penggunaan kapasitas air tersedia berdasarkan kombinasi tipe tanah dan vegetasi penutup (Thornthwaite dan Mather 1957)
Lampiran 4 Tabel penggunaan lahan di Jawa Barat
Jenis Tutupan Luas
Km2 %
Hutan Primer 651,152 17,600
Hutan Sekunder 342,615 9,261
Kawasan dan Zona Industri 8,383 0,227
Kebun Campuran 265,185 7,168
Ladang/Tegalan 209,540 5,664
Perkebunan 232,091 6,273
Rawa 0,120 0,003
Sawah 1326,599 35,857
Semak/Belukar 153,289 4,143
Waduk 52,672 1,424
Tambak/Empang 53,357 1,442
Terbangun 404,656 10,938
Lampiran 6 Jenis tanah di Jawa Barat
Macam Tanah Bahan Induk Fisiografi Luas Lahan (Km2)
Aluvial Coklat Kelabu Endapan liat Dataran 54,997
Aluvial Hidromorf Endapan liat Dataran 43,349
Aluvial Kelabu Tua Endapan liat Dataran 156,004
Andosol Coklat Abu/pasir - dan tuf volkan basis Volkan 17,209
Andosol Coklat Abu/pasir - dan tuf volkan intermedier Volkan 5,567
Andosol Coklat Kekuningan Abu/pasir volkan intermedier sampai basis Volkan 24,456
Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat Kekelabuan Endapan liat dan pasir Dataran 251,753
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Abu/pasir - dan tuf volkan intermedier Volkan 290,433
Asosiasi Glei Humus dan Aluvial Kelabu Endapan liat Dataran 16,967
Asosiasi Glei Humus Rendah dan Aluvial Kelabu Endapan liat Dataran 137,597
Asosiasi Latosol Coklat dan Latosol Coklat Kekuningan Tuf volkan intermedier Volkan 30,685
Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu Abu/pasir - dan tuf volkan intermedier Volkan 58,232
Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat Tuf volkan intermedier Volkan 100,498
Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan dan Laterit Air
Tanah Tuf volkan intermedier Volkan dan Bukit lipatan 162,527
Asosiasi Litosol dan Mediteran Merah Batuan volkan dan endapan Bukit lipatan 21,951
Asosiasi Mediteran Coklat dan Litosol
Campuran tuf volkan intermedier dan batuan
endapan Volkan 10,515
Asosiasi Podsolik Kuning dan Hidromorf Kelabu Endapan liat dan pasir Dataran 139,367
Asosiasi Podsolik Kuning dan Regosol Batuliat Bukit lipatan 27,523
Grumusol Kelabu Endapan liat Dataran 15,662
Grumusol Kelabu Tua Batu kapur dan napal Bukit lipatan 5,689
Kompleks Grumusol, Regosol dan Mediteran Batu kapur dan napal Bukit lipatan 142,726
Kompleks Lateritik Merah Kekuningan dan Podsolik Merah
Kekuningan Batuliat dan batupasir Bukit lipatan 38,116
Kompleks Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol
Tuf - dan batuan volkan masam, intermedier dan basis
Volkan, bukit lipatan, intrusi
dan bukit angkatan 9,505
Kompleks Latosol Merah dan Latosol Coklat Kemerahan Tuf volkan intermedier Volkan 57,768
Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat Kemerahan
dan Litosol Batuan volkan masam dan intermedier Volkan 98,425
Kompleks Latosol Merah Kekuningan, Latosol Coklat Batuan endapan dan - volkan Volkan dan Bukit lipatan 168,254
Macam Tanah Bahan Induk Fisiografi Luas Lahan (Km2)
Kompleks Mediteran Coklat dan Litosol Tuf - dan batuan volkan intermedier Volkan 11,916
Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol Batukapur dan napal Bukit lipatan 66,073
Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning dan
Regosol Batupasir dan batuliat Bukit lipatan 494,937
Kompleks Regosol dan Litosol Abu/pasir volkan intermedier sampai basis Volkan 47,005
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol
Abu/Pasir -, tuf - dan batuan volkan
intermedier sampai basis Volkan 68,243
Kompleks Resina, Litosol Batukapur dan Brown Forest Soil Batu kapur Bukit lipatan 119,595
Latosol Coklat Tuf volkan intermedier Volkan 266,947
Latosol Coklat Kekuningan Tuf volkan intermedier Volkan 88,741
Latosol Coklat Kemerahan Tuf volkan intermedier Volkan 83,233
Latosol Coklat Tua Kemerahan Tuf volkan intermedier Volkan dan Bukit lipatan 184,257
Organosol Bahan rumput-rumputan Dataran 2,098
Podsolik Kuning Batuliat Bukit lipatan 16,780
Podsolik Merah Tuf volkan masam Volkan 7,908
Podsolik Merah Kekuningan Batuliat Bukit lipatan 83,397
Regosol Coklat Endapan pasir Dataran 5,763
Regosol Coklat
Abu/Pasir - dan tuf volkan intermedier sampai
basis Volkan 5,359