• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI LAHAN PERTANIAN RAWAN KEKERINGAN DENGAN METODE SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IDENTIFIKASI LAHAN PERTANIAN RAWAN KEKERINGAN DENGAN METODE SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat)"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI LAHAN PERTANIAN RAWAN KEKERINGAN DENGAN METODE SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

(Studi Kasus Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat)

Oleh:

MIRANTI ANISA TEJANINGRUM A14063027

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

RINGKASAN

MIRANTI ANISA TEJANINGRUM. Identifikasi Lahan Pertanian Rawan Kekeringan dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat). Dibawah bimbingan MUHAMMAD ARDIANSYAH dan WIDIATMAKA.

Kekeringan merupakan suatu kejadian dimana hujan yang turun sangat sedikit dalam kurun waktu yang sangat lama. Kekeringan merupakan fenomena alam yang umum dialami oleh Indonesia. Ini berdampak terhadap berbagai macam kejadian, salah satunya adalah gagal panen.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan daerah rawan kekeringan di Indramayu dengan menggunakan metode SIG berdasarkan beberapa permodelan parameter biofisik, mengetahui penyebaran dan karakteristik wilayah rawan kekeringan di Kabupaten Indramayu, dan melihat perbedaan sebaran daerah rawan kekeringan dengan menggunakan bobot parameter berbeda atau sama pada curah hujan tahunan atau curah hujan musim kering.

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu persiapan, pengumpulan peta dasar dan pembuatan peta tematik, interpretasi citra satelit, analisis dan pembuatan peta parameter rawan kekeringan, dan terakhir penyajian hasil penelitian.

Parameter biofisik yang digunakan dalam penelitian ini adalah curah hujan, bentuk lahan, penutup lahan, drainase, lereng, dan buffer sungai. Semua parameter ini dikombinasikan dalam analisis SIG dengan pembobotan yang berbeda dan sama serta dengan menggunakan curah hujan tahunan dan curah hujan musim kering. Parameter yang paling berpengaruh akan mendapatkan nilai bobot yang paling besar dan parameter dengan pengaruh kecil akan diberi nilai bobot yang rendah.

Permodelan peta dengan bobot berbeda untuk curah hujan tahunan menghasilkan dua kelas rawan kekeringan, yaitu kelas cukup rawan 77,24%, dan kelas rawan 22,76%, sedangkan untuk curah hujan musim kering menghasilkan tiga kelas rawan yaitu, kelas tidak rawan 0,74%, kelas cukup rawan 85,20%, dan kelas rawan 14,06%. Peta dengan bobot parameter sama untuk curah hujan tahunan menghasilkan empat kelas yaitu kelas tidak rawan 0,07%, kelas cukup rawan 76,26% dan kelas rawan 23,56% dan kelas sangat rawan 0,11%. Untuk curah hujan musim kering juga menghasilkan empat kelas rawan yaitu kelas tidak rawan 0,47%, kelas cukup rawan 84,12%, dan kelas rawan 15,28%, dan kelas sangat rawan 0,12%. Kecamatan yang berpotensi rawan kekeringan untuk kedua permodelan adalah Kecamatan Gantar dan Kecamatan Trisi.

Kata kunci : Kekeringan, SIG, Parameter Kekeringan .

(3)

SUMMARY

MIRANTI ANISA TEJANINGRUM. Identification of Drought Vulnerable on Agricultural Land by Using Geographic Information System (Case Study Indramayu, West Java Province). Under supervision of MUHAMMAD ARDIANSYAH and WIDIATMAKA.

Drought is an event where rainfall is very low for long time period.

Drought is a common natural phenomenon in Indonesia. It affects a wide variety of events, one of which is crop failure.

This study aims to determine the drought prone of an area in Indramayu using GIS methods based on several bio-physic parameters, to determine the distribution and characteristics of drought prone area in Indramayu district, and to see the difference in the distribution of drought prone area by using different or the equal weights of parameter in annual rainfall or monthly rainfall (dry season).

The study consists of several phases namely preparation, collection of base maps and create thematic map, satellite imagery interpretation, analysis and making drought-vulnerable, and presentation of research results.

The bio-physic parameters used in this study were rainfall, landforms, land cover, drainage, slope, and stream buffers. All parameters are combined in a GIS analysis using different weighting and equal weighting with annual rainfall and dry season rainfall. The most influential parameter will get the highest value of weight and parameters with small influence will be given a low weight value.

Modeling bio-physic parameter with different weights to the annual rainfall resulted in two vulnerable classes, less vulnerable 77.24%, and vulnerable 22.76%, while for the dry season rainfall resulted three classes including not vulnerable 0.74%, less vulnerable 85.20%, and vulnerable 14.06%. Maps with the equal weighting parameters for the annual rainfall resulted in four classes including not vulnerable 0.07%, less vulnerable 76.26%, vulnerable 23.56% and very vulnerable 0.11%. For the dry season rainfall also resulted in four classes:

not vulnerable 0.47%, less vulnerable 84.12%, and vulnerable 15.28%, and the very vulnerable classes 0.12%. The subdistrict that potentially effected by drought prone area are Trisi subdistrict and Gantar subdistrict.

Keywords: Drought, GIS, Parameter Drought

(4)

ii

IDENTIFIKASI LAHAN PERTANIAN RAWAN KEKERINGAN

DENGAN METODE SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat)

MIRANTI ANISA TEJANINGRUM A14063027

Skripsi

sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

MAYOR MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(5)

Judul Skripsi : Identifikasi Lahan Pertanian Rawan Kekeringan dengan Menggunakan Metode Sistem Informasi Geografis

(Studi Kasus Indramayu, Provinsi Jawa Barat) Nama Mahasiswa : Miranti Anisa Tejaningrum

Nomor Pokok : A14063027

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Dr. Ir. Widiatmaka, DAA NIP: 19630604 198811 1 001 NIP: 19621201 198703 002

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.

NIP. 19621113 198703 1 003

Tanggal Lulus :

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 03 September 1988 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Muhammad Yusuf dan Jumirah.

Pendidikan formal yang ditempuh oleh penulis berawal dari SD YKIA Pontianak (1994-1995) penulis bersekolah di SD tersebut hanya satu tahun, selanjutnya penulis melanjutkan ke MINT Bawamai Pontianak (1995 - 2000). Selepas Sekolah Dasar, penulis melanjutkan pendidikan ke MTsN 1 Pontianak (2000 - 2003) lalu SMA Negeri 1 Pontianak (2003 - 2006). Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumbedaya Lahan. Penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, dan Geomorfologi dan Analisis Lanskap.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian ini berjudul “Identifikasi Lahan Pertanian Rawan Kekeringan dengan Metode Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat)”. Penelitian ini dilakukan di Daerah Indramayu dan pengolahan data dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah selaku pembimbing I yang senantiasa sabar dan meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi.

2. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku pembimbing II yang memberikan motivasi dan masukan bagi penulis dalam kegiatan penelitian dan penulisan skripsi.

3. Dr. Ir. Khursatul Munibah, M.Sc. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi.

4. Orang tua tercinta Ibu dan Bapak, serta Abang dan Adik yang senantiasa memberikan do’a, restu, kasih sayang, kepercayaan, dan dukungan moral dan spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

5. Kak Linda, Mba Reni, Mba Agi, Mba Nurul, dan Atha terimakasih atas bantuan yang diberikan.

6. Luluk, Poppy, Puti, Annisa, dan Ivong terimakasih atas semangat, kebersamanan, dukungan dan bantuan yang telah diberikan.

7. Kak Beng-beng, teman-teman Lab PPJ dan teman-teman Soil 43 lainnya terima kasih atas bantuan yang telah diberikan.

(8)

ii

8. Debo, Izzah, Dede, Resti serta teman-teman di Wisma Putri Malea terimakasih atas semangat, kebersamanan, dukungan dan bantuan yang telah diberikan.

9. Semua pihak yang turut membantu kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan pada skripsi ini. Namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2011

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Kekeringan ... 3

2.2 Penginderaan Jauh ... 5

2.2.1 Data Penginderaan Jauh Digital ... 5

2.2.2 Citra Landsat ... 6

2.3 SIG ... 8

2.4 Pemetaan Rawan Kekeringan... 8

III. METODOLOGI ... 11

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 11

3.2 Bahan dan Alat Penelitian ... 11

3.3 Metode Penelitian ... 11

3.3.1 Persiapan ... 11

3.3.2 Pengumpulan Peta Dasar dan Pembuatan Peta Tematik ... 12

3.3.3 Interpretasi Citra Landsat ... 13

3.3.4 Analisis dan Pembuatan Peta Parameter Rawan Kekeringan ... 13

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 19

4.1 Letak Geografis Kabupaten Indramayu ... 19

4.2 Kondisi Fisik ... 19

4.2.1 Topografi ... 20

4.2.2 Drainase Tanah ... 21

4.2.3 Sungai ... 21

4.2.4 Bentuk Lahan (Landform) ... 22

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

5.1 Penutupan/Penggunaan Lahan daerah Indramayu... 24

(10)

iv

5.2 Pemetaan Daerah Rawan Kekeringan ... 25

5.2.1 Pemetaan Daerah Rawan Kekeringan untuk Curah Hujan Rata-rata Tahunan ... 25

5.2.2 Pemetaan Daerah Rawan Kekeringan untuk Curah Hujan Rata-rata Musim Kering ... 31

5.3 Perbedaan Antara Peta dengan Bobot Parameter Beda dan Bobot Parameter Sama untuk Curah hujan Tahunan dan Curah Hujan Musim Kering ... 36

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

6.1 KESIMPULAN ... 41

6.2 SARAN ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

LAMPIRAN ... 44

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pembobotan Parameter Kekeringan... 9

2. Kisaran nilai dan Tingkat Kerentanan Kekeringan ... 10

3 Skor Parameter Pemicu Rawan Kekeringan ... 14

4. Bobot Parameter Penyebab Rawan Kekeringan ... 17

5. Tingkat Rawan Kekeringan ... 18

6. Luas Kemiringan Lereng di Kabupaten Indramayu ... 20

7. Luas Kelas Dainase Tanah Kabupaten Indramayu ... 21

8. Luas Kelas Bentuk Lahan Kabupaten Indramayu ... 22

9. Luas Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Indramayu ... 25

10. Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan yang Berpotensi Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Beda ... 27

11. Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan yang Berpotensi Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Sama ... 30

12. Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan yang Berpotensi Rawan Kekeringan dengan Bobot parameter Beda untuk Curah Hujan Musim Kering ... 33

13. Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan yang Berpotensi Rawan Kekeringan dengan Bobot parameter Sama ... 35

14. Kecamatan yang Mengalami Kejadian Kekeringan Berdasar Data Lapang .. 38

15. Lima Kecamatan Terluas yang Berpotensi Mengalami Rawan Kekeringan Pada Bobot Parameter Beda untuk Curah Hujan Rata-Rata Tahunan. ... 39

16. Lima Kecamatan Terluas yang Berpotensi Mengalami Rawan Kekeringan Pada Bobot Parameter Sama untuk Curah Hujan Rata-Rata Tahunan ... 39

17. Lima Kecamatan Terluas yang Berpotensi Mengalami Rawan Kekeringan Pada Bobot Parameter Beda untuk Curah Hujan Rata-Rata Musim Kering .. 40 18. Lima Kecamatan Terluas yang Berpotensi Mengalami Rawan Kekeringan

Pada Bobot Parameter Sama untuk Curah Hujan Rata-Rata Musim Kering . 40

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Diagram Tahapan Metode Penelitian... 15

2. Peta Lokasi Penelitian ... 19

3. Peta Kelas Lereng Kabupaten Indramayu ... 20

4. Peta Kelas Drainase Tanah Kabupaten Indramayu ... 21

5. Peta Buffer Sungai Kabupaten Indramayu ... 22

6. Peta Kelas Bentuk Lahan Kabupaten Indramayu ... 23

7. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Indramayu ... 24

8. Peta Curah Hujan Rata-Rata Tahunan ... 26

9. Peta Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Beda untuk Curah Hujan Tahunan ... 28

10. Peta Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Sama untuk Curah Hujan Tahunan…. ... 30

11. Peta Curah Hujan Rata-Rata Musim kering ... 31

12. Peta Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Beda untuk Curah Hujan Musim Kering ... 33

13. Peta Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Sama untuk Curah Hujan Musim Kering ... 36

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Skor Parameter Pemicu Kekeringan ... 45 2. Skor Parameter dan Bobot Pemicu Kekeringan ... 46 3. Luas Daerah yang Berpotensi Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter

Beda Untuk Curah Hujan Tahunan ... 47 4. Luas Daerah yang Berpotensi Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter

Sama Untuk Curah Hujan Tahunan ... 48 5. Luas Daerah yang Berpotensi Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter

Beda Untuk Curah Hujan Musim Kering... 49 6. Luas Daerah yang Berpotensi Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter

Sama Untuk Curah Hujan Musim Kering ... 50

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kekeringan secara umum didefinisikan sebagai pengurangan persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu khusus. Kekeringan dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan dimana terjadi kekurangan air, dalam hal ini biasanya dikonotasikan dengan kekurangan air hujan (Raharjo, 2010). Kekeringan dapat berdampak pada berbagai macam kejadian salah satunya gagal panen.

Indramayu merupakan daerah yang berada pada wilayah pesisir pantai utara Jawa Barat yang tiap musim kemarau terdapat beberapa wilayah pertanian yang mengalami kekeringan. Penggunaan lahan berupa lahan pertanian di Kabupaten Indramayu mencakup lebih dari 50% dari total penggunaan lahannya.

Pada tahun 2009, areal pertanian di salah satu kecamatan di Kabupaten Indramayu sekitar 670 ha mengalami kekeringan, hal ini disebabkan berkurangnya pasokan air irigasi Perum Jasa Tirta (PJT) II karena kemarau yang berkepanjangan.1

Salah satu upaya untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan akibat bencana kekeringan yaitu dengan tersedianya peta rawan kekeringan, yang dapat digunakan untuk perencanaan pengendalian dini. Pemetaan rawan kekeringan dapat dilakukan dengan menggunakan metode Sistem Infromasi Geografis (SIG). Wilayah yang berpotensi terhadap kekeringan dapat diidentifikasi dengan mengaitkan berbagai parameter yang memicu terjadinya kekeringan tersebut.

Pemetaan daerah rawan kekeringan dengan menggunakan metode SIG telah banyak dilakukan sebelumnya, salah satu penelitian yang dilakukan oleh PUSLITTANAK adalah melakukan identifikasi melalui analisis kondisi biofisik lingkungan dengan indikator seperti curah hujan, ketersediaan air tanah, sifat tanah, ketersediaan air irigasi, dan topografi. Semua indikator tersebut disajikan dalam bentuk peta-peta tematik.

1http://tribunjabar.co.id/index.php/read/artikel/9676

(15)

Untuk mengetahui penutup/penggunaan lahan saat ini dilakukan analisis citra satelit Landsat 7 ETM+ berdasarkan kenampakan objek pada citra. Melalui aplikasi SIG, yaitu dengan teknik tumpang tindih (overlay) peta-peta tematik dari kondisi biofisik dapat ditentukan tingkat kerawanan lahan pertanian suatu wilayah.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

a. Menentukan daerah rawan kekeringan di daerah Indramayu dengan menggunakan metode SIG (Sistem Informasi Geografis).

b. Mengetahui penyebaran dan karakteristik wilayah rawan kekeringan di Kabupaten Indramayu.

c. Melihat perbedaan sebaran daerah rawan kekeringan dengan menggunakan bobot parameter berbeda dan bobot parameter sama pada parameter curah hujan tahunan dan curah hujan musim kering.

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kekeringan

Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu khusus.

Kekeringan dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan dimana terjadi kekurangan air, dalam hal ini biasanya dikonotasikan dengan kekurangan air hujan. Pengertian lain adalah kekurangan sejumlah air yang diperlukan, dimana keperluan air ini ditentukan oleh kegiatan ekonomi masyarakat maupun tingkat sosial ekonominya.

Dengan demikian kekeringan adalah interaksi antara dua fenomena yaitu kondisi sosial ekonomi dan kondisi alam. Karena kekeringan terjadi hampir di semua daerah dunia dan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, definisi yang berlaku harus secara regional bersifat khusus dan terfokus pada dampak- dampaknya (Utomo et al., 2009).

Dampak dari kekeringan muncul sebagai akibat dari kurangnya air, atau perbedaan antara permintaan dan persediaan air. Kekeringan paling sering dihubungkan dengan curah hujan yang rendah atau iklim semi kering, sementara kekeringan juga terjadi pada daerah-daerah dengan jumlah curah hujan yang biasanya besar. Manusia cenderung mematok aktivitas-aktivitas mereka di sekitar keadaan kelembaban yang sudah biasa. Dengan demikian, setelah bertahun-tahun hidup dengan curah hujan di atas rata-rata, manusia bisa menganggap tahun pertama sewaktu curah hujan rata-rata kering terjadi kekeringan. Lebih jauh lagi, tingkat curah hujan yang bisa memenuhi kebutuhan seorang peladang mungkin merupakan kekeringan yang serius bagi seorang petani yang menanam jagung.

Untuk mendefinisikan kekeringan di suatu daerah, perlu dipahami dengan baik karakteristik meteorologi dan juga persepsi manusia tentang kondisi-kondisi kekeringan. Pada dasarnya kekeringan adalah kondisi kekurangan air pada daerah yang biasanya tidak mengalami kekurangan air, sedangkan daerah yang kering adalah daerah yang memang mempunyai curah hujan yang kecil atau bulan keringnya dalam setahun lebih besar atau sama dengan delapan bulan. Sebenarnya kekeringan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yaitu (a) kekeringan

(17)

meteorologis, (b) kekeringan hidrologis, (c) kekeringan pertanian (Utomo et al., 2009).

Menurut BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) kekeringan diklasifikasikan menjadi kekeringan meteorologis, kekeringan hidrologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan sosial ekonomi. Kekeringan Meteorologis merupakan kekeringan yang berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim, sedangkan Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah, sedangkan Kekeringan Pertanian berhubungan dengan kekurangan kandungan air di dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian.

Kekeringan pada lahan pertanian biasanya merupakan suatu keadaan berkurangnya kelembaban tanah dan berakibat pada kegagalan panen karena tidak ada sumber air permukaan. Berkurangnya kelembaban tanah tergantung dari beberapa faktor yang juga dipengaruhi oleh kekeringan meteorologi dan kekeringan hidrologi disertai dengan perbedaan evapotranspirasi aktual dan evapotranspirasi potensial. Kebutuhan air tanaman tergantung dari kondisi cuaca secara umum, karakteristik biologi dari tanaman dan tempatnya tumbuh, dan kondisi tanah secara fisik dan biologi. Beberapa indeks kekeringan, berdasarkan kombinasi dari penyerapan, temperatur dan kelembaban tanah, digunakan untuk mempelajari kekeringan pertanian (Ashok and Vijay, 2010).

Handoko et al. (1995) dalam PUSLITTANAK (1999), mengajukan dua pendekatan, yaitu pendekatan strategis dan pendekatan taktis. Pendekatan strategis lebih bertitik tolak pada identifikasi biofisik dalam keadaan normal yang mengindikasikan sifat dan tingkat resiko kekeringan suatu wilayah, baik dari faktor iklim maupun tanah, sedangkan pendekatan taktis lebih bersifat temporal melalui pendugaan atau peramalan jangka pendek dan menengah yang dilakukan dengan langkah operasional dengan menetapkan pola/system dan teknologi budidaya yang tepat. Identifikasi wilayah menurut status, tingkat dan intensitas

(18)

5

kekeringan berdasarkan ketersediaan air merupakan pendekatan strategis dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan kebijaksanaan

2.2 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa adanya suatu kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Pada berbagai hal, penginderaan jauh dapat diartikan sebagai suatu proses membaca. Dengan menggunakan berbagai sensor kita mengumpulkan data dari jarak jauh yang dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang obyek, daerah atau fenomena yang diteliti. Pengumpulan data dari jarak jauh dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk variasi agihan daya, agihan gelombang bunyi, atau agihan energi elektromagnetik (Lillesand and Kiefer, 1997).

2.2.1 Data Penginderaan Jauh Digital

Data Penginderaan Jauh Digital (citra digital) direkam dengan menggunakan sensor non-kamera, antara lain scanner, radiometer, spectrometer.

Detektor yang digunakan dalam sensor penginderaan jauh adalah detektor elektronik dengan menggunakan tenaga elektromagnetik yang luas, yaitu spektrum tampak, ultraviolet, inframerah dekat, inframerah termal, dan gelombang mikro. Citra digital dibentuk dari elemen-elemen Gambar atau pixel (picture element) yang menyatakan tingkat keabuan pada gambar. Informasi yang terkandung dalam pixel tersebut bersifat diskrit yaitu mempunyai ukuran presisi tertentu (Purwadhi, 2001).

Setiap citra digital penginderaan jauh satelit yang dihasilkan oleh setiap sensor mempunyai sifat khas datanya. Sifat khas data tersebut dipengaruhi oleh sifat orbit satelit, sifat dan kepekaan sensor penginderaan jauh terhadap panjang gelombang elektromagnetik, jalur transmisi yang digunakan, sifat sasaran (objek), dan sifat sumber tenaga radiasinya. Sifat orbit satelit dan cara operasi sistem sensornya dapat mempengaruhi resolusi dan ukuran pixel datanya. Sistem perekaman data penginderaan jauh dengan menggunakan sensor satelit dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu sistem pasif dan sistem aktif. Kedua sistem

(19)

tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem, prosedur, dan metode pengolaan datanya. Komponen dasar pengambilan data penginderaan jauh sistem pasif meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan objek si permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data. Sumber tenaga diambil dari matahari atau sumber lain. Salah satu data penginderaan jauh sistem pasif adalah data satelit (Landsat) (Purwadhi, 2001).

2.2.2 Citra Landsat

Landsat merupakan Satelit Sumberdaya Bumi yang pada awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) yang diluncurkan pertama kali tanggal 23 Juli 1972 yang mengorbit hingga 6 januari 1978. Satelit ini mengorbit mengelilingi bumi selaras matahari (sunsynchronous). Tepat sebelum peluncuran ERTS B tanggal 22 Juli 1975, NASA (National Aeronautic and Space Administration) secara resmi mengganti program ERTS menjadi program Landsat (untuk membedakan dengan program satelit oseanografi “Seasat” yang telah direncanakan) sehingga ERTS-1 dan ERTS-b menjadi Landsat-1 dan Landsat-2.

Peluncuran Landsat-3 pada tanggal 5 Maret 1978. Landsat 1 dan 2 membawa dua sensor, yaitu RBV (Return Beam Vidicon) dan MSS (Multispectral Scanner).

Landsat 3 terdapat dua perubahan besar pada rancang bangunannya, yaitu tambahan saluran termal (10.4-12.6) mm pada sensor MSS dan resolusi spasial sistem RBV ditingkatkan dengan menggunakan sistem dua kamera lebar (bukan multispektral) (Purwadhi, 2001).

Landsat 4 dan 5 merupakan pengembangan sensor pada sistem Landsat 1, 2, dan 3 dengan peningkatan resolusi spasial, kepekaan radiometrike, laju pengiriman datanya lebih cepat, dan fokus penginderaan informasi yang berkaitan dengan vegetasi. Pada Landsat 4 dan 5 terdapat empat sensor MSS ditambah sensor TM (Thematic Mapper), dan ETM (Enhance Thematic Mapper) untuk Landsat 6 dengan menambahkan saluran termal (10.4-12.6) µm. Citra Landsat TM hasil rekaman sensor Thematic Mapper, yang dipasang pada satelit Landsat 4 dan Landsat 5. Sistem TM meliput lebar sapuan (scanning) sebesar 185 km, direkam dengan menggunakan tujuh saluran panjang gelombang, yaitu tiga saluran panjang gelombang tampak, tiga saluran panjang gelombang inframerah

(20)

7

dekat, dan satu saluran panjang gelombang inframerah termal. Panjang gelombang yang digunakan pada setiap saluran Landsat TM adalah:

- Saluran 1 gelombang biru (0.45-0.52) µm - Saluran 2 gelombang hijau (0.52-0.60) µm - Saluran 3 gelombang merah (0.63-0.69) µm

- Saluran 4 gelombang inframerah dekat (0.76-0.90) µm - Saluran 5 gelombang inframerah pendek (1.55-1.75) µm - Saluran 6 gelombang inframerah termal (10.40-12.50) µm

- Saluran 7 gelombang inframerah pendek (2.08-2.35) µm (Purwadhi, 2001) Saluran-saluran tersebut mempunyai fungsinya masing-masing, yaitu:

Saluran 1 : untuk dapat menembus air dengan lebih baik dan dapat memberikan analisis karakteristik tanah dan air.

Saluran 2 : untuk dapat mendapatkan pandangan yang lebih baik terhadap puncak pantulan vegetasi di antara dua band absorpsi klorofi.

Saluran 3 : untuk dapat membedakan dengan lebih baik tipe-tipe vegetasi dan antara daerah-daerah yang tak bervegetasi. Band ini berada dalam salah satu band absorpsi klorofil.

Saluran 4 : untuk menekan perbedaan antara tanah-tanaman pertanian dan antara lahan-air serta sebagai pembantu di dalam identifikasi tanaman pertanian.

Saluran 5 : untuk identifikasi dengan lebih baik tipe tanaman pertanian, kandungan air tanaman dan kelembaban tanah

Saluran 6 : untuk mengidentifikassi formasi batuan dengan lebih baik.

Saluran 7 : untuk mengidentifikasi dengan lebih baik tipe-tipe vegetasi, tekanan vegetasi, kelembaban tanah dan kondisi-kondisi termal lainnya.

(Paine, 1992)

Teknik penginderaan jauh biasanya menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diintrepertasi guna menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan dan bidang-bidang lainnya. Tujuan utama penginderaan jauh adalah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan (Lo, 1996).

(21)

2.3 SIG

SIG adalah suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat essensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial.

Secara umum, terdapat dua jenis data yang dapat digunakan untuk merepresentasikan atau memodelkan fenomena-fenomena yang terdapat di dunia nyata. Data pertama adalah jenis data yang merepresentasikan aspek-aspek keruangan dari fenomena yang bersangkutan. Jenis data ini sering disebut sebagai data posisi, koordinat, ruang atau spasial, sedangkan yang kedua adalah jenis data yang merepresentasikan aspek-aspek deskriptif dari fenomena yang memodelkannya. Aspek deskriptif ini mencakup items atau properties dari fenomena yang bersangkutan hingga dimensi waktunya. Jenis data ini sering disebut sebagai data atribut atau data non-spasial (Prahasta, 2002).

Menurut Star dan Estes (1990) dalam Barus dan Wiradisastra (2000), SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bakerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem database dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non spasial.

SIG berdasarkan operasinya, dapat dibagi dalam (1) cara manual, yang beroperasi memanfaatkan peta cetak (kertas/transparan), bersifat data analog, (2) cara terkomputer atau lebih sering disebut cara otomatis, yang prinsip kerjanya menggunakan komputer sehingga datanya merupakan data digital. SIG manual biasanya terdiri dari beberapa unsur data termasuk peta-peta lembar material transparasi untuk tumpang-tindih. Foto udara dan foto lapangan, laporan-laporan statistik dan laporan-laporan survei lapangan (Barus dan Wiradisastra, 2000).

2.4 Pemetaan Rawan Kekeringan

Contoh aplikasi SIG untuk pemetaan kekeringan adalah pemodelan spasial dari data Penginderaan Jauh dan peta-peta digital dari kondisi biofisik dalam suatu sistem SIG untuk mengidentifikasi potensi daerah rawan kekeringan.

(22)

9

Transformasi citra satelit Landsat untuk mendapatkan indeks kecerahan, indeks kebasahan, dan indeks vegetasi digunakan untuk mengetahui kondisi permukaan dalam hubungannya dengan kekeringan. Indeks kecerahan dan indeks kebasahan diperoleh dari modifikasi tasseled cap, sedangkan indeks vegetasi diperoleh dari nilai normalized difference vegetation index (NDVI). Parameter lain seperti kondisi akuifer, curah hujan serta jenis penggunaan lahan pertanian kering merupakan faktor dalam mengidentifikasi kekeringan. Data-data tersebut dilakukan sesuai dengan deskripsi zona wilayahnya guna mendapatkan kajian wilayah dalam hubungannya dengan kekeringan (Raharjo, 2010).

Contoh selanjutnya adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Atri Wiujianna pada tahun 2005, yaitu penentuan daerah rawan kekeringan di Indramayu dengan penerapan teknik SIG, dalam penentuannya peneliti menggunakan beberapa parameter penentu yaitu, deret hari kering, sumber air, area irigasi, dan drainase tanah. Metode yang dilakukan adalah perharkatan dan pembobotan. Parameter serta skor yang digunakan dalam penelitian tersebut disajikan dalam Lampiran 1, sedangkan Tabel pembobotan ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pembobotan Parameter Kekeringan

Parameter Bobot (%)

Deret Hari Kering 70

Area irigasi 10

Sumber air 10

Drainase tanah 10

Nilai penentuan kerentanan suatu daerah terhadap kekeringan ditentukan oleh total penjumlahan skor masing-masing parameter kekeringan. Nilai kerentanan maksimum yang didapat setelah melakukan analisis adalah 4 dan nilai kerentanan minimum 1. Tingkat kerentanan kekeringan berdasarkan nilai kerentanan penjumlahan skor masing-masing parameter kekeringan ditunjukkan pada Tabel 2.

Penelitian lainnya yaitu tentang pemetaan bencana di DIY, salah satunya adalah pemetaan bencana kekeringan. Parameter penyusun kekeringan terdiri dari bentuk lahan, data curah hujan, kedalaman air tanah dan tekstur tanah.

(23)

Tabel 2. Kisaran nilai dan Tingkat Kerentanan Kekeringan

Nilai Kerentanan Tingkat Kerentanan

0 < TK ≤ 1 Tidak rentan

1 < TK ≤ 2 Cukup Rentan

2 < TK ≤ 3 Rentan

3 < TK ≤ 4 Sangat Rentan

Kedalaman air tanah merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kekeringan karena kedalaman air tanah mencerminkan kapasitas akuifer untuk menyimpan air tanah. Jika air tanah cukup dalam, maka kapasitas akuifernya relatif kecil, sehingga daerah tersebut akan mudah mengalami kekeringan, demikian pula sebaliknya. Sistematika pemetaan dapat diperhatikan pada Lampiran 2. Sistem penilaian untuk bencana kekeringan adalah skor setiap entitas pada setiap parameter dikalikan dengan bobot kemudian semua parameter ditumpangtindihkan dan dijumlah total skornya, kemudian diklasifikasi secara aritmatik menjadi tiga kelas potensi, yaitu, rendah, sedang, dan tinggi (BAPEDA, 2008).

Beberapa penelitian, menggambarkan bahwa parameter yang digunakan untuk menentukan kekeringan dapat berbeda-beda. Perbedaan ini juga terjadi pada pengharkatan dan pembobotan dapat berbeda.

(24)

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011.

Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.

Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

3.2 Bahan dan Alat Penelitian a. Bahan:

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain citra Landsat 7 ETM + daerah Indramayu akuisi tahun 2003 dan 2009, Peta RBI 1:250.000, data DEM SRTM daerah Jawa Barat, Peta Administrasi Jawa Barat, Peta Satuan Lahan tahun 1990 skala 1:250.000, data curah hujan bulanan tahun 1979 hingga 1989 dan tahun 1993 hingga 2001 dari 19 stasiun yang ada di Indramayu, dan Peta Landsystem.

b. Alat :

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras yang digunakan meliputi seperangkat komputer, scanner,dan printer, sementara perangkat lunak yang digunakan meliputi program SIG ArcView 3.3, program pengolahan Gambar Erdas Imagine 9.1, dan Microsoft Excell.

3.3 Metode Penelitian

Analisis rawan kekeringan dilakukan dengan menggunakan SIG yang dibagi ke dalam beberapa tahap. Tahapan tersebut antara lain persiapan, pengumpulan peta dasar dan pembuatan peta tematik; interpertasi citra Landsat;

analisis dan pembuatan peta parameter rawan kekeringan; dan penyajian hasil penelitian.

3.3.1 Persiapan

Kegiatan ini diawali dengan pengumpulan data dan peta-peta pendukung, studi pustaka, dan penelaahan data sekunder terutama berkaitan dengan bencana

(25)

kekeringan. Pencarian dan pengumpulan data dan informasi terkait bencana kekeringan dilakukan dengan mendatangi instansi yang terkait dan penelusuran melalui internet.

3.3.2 Pengumpulan Peta Dasar dan Pembuatan Peta Tematik

Peta dasar (digital) disiapkan untuk menyajikan peta-peta tematik dari parameter penentu tingkat kerawanan kekeringan seperti, peta kelas lereng, peta drainase, peta bentuk lahan, peta penggunaan lahan, dan peta buffer sungai.

a. Peta Kelas Lereng

Peta kelas lereng diturun dari DEM SRTM menggunakan software ArcView 3.3 dengan extensions Spatial Analysis atau Model Buider, yang format datanya dikonversi terlebih dahulu ke Raster Grid.

b. Peta drainase tanah

Peta drainase dibuat dari peta tanah berdasarkan karakteristik jenis tanah yang diperoleh dari peta Satuan Lahan.

c. Peta Bentuk Lahan

Peta bentuk lahan didapat dari informasi landform yang ada Peta Land sistem RePPProT.

d. Peta Buffer Sungai

Peta buffer sungai diturunkan dari peta jaringan sungai peta RBI skala 1:25.000 berdasarkan zona buffer sungai, yang dihasilkan dari pengkelasan tingkat kerawanan kekeringan suatu wilayah berdasarkan jarak dengan sungai.

e. Peta Penggunaan Lahan

Peta penggunaan lahan dibuat dari interpretasi manual dari citra Landsat 7 ETM+.

f. Peta curah hujan

Peta curah hujan didapat dengan menggunakan metode interpolasi titik berbasis Kriging. Pembuatan poligon ini dilakukan dengan menggunakan software Arcview yang sudah dilengkapi dengan extensions Kriging Interpolation.

Interpolasi titik merupakan prosedur untuk menduga nilai-nilai yang tidak diketahui dengan menggunakan nilai yang diketahui pada lokasi yang berdekatan.

Terdapat dua peta curah hujan yang digunakan yaitu, (1) peta yang diturunkan

(26)

13

dari data curah hujan rata-rata tahunan, dan (2) peta yang diturunkan dari data curah hujan rata-rata per tiga bulan kering (Juli – September).

3.3.3 Interpretasi Citra Landsat

Interpretasi citra Landsat diawali dengan pengisian gap yang terdapat pada citra tahun 2009 dengan menggunakan citra tahun 2003. Setelah proses pengisian gap dilanjutkan dengan tahapan layer stack dan mosaicing. Layer stack dilakukan untuk menggabungkan layer-layer band yang terpisah menjadi satu layer citra.

Mosaicing adalah tahapan yang dilakukan untuk menggabungkan dua citra yang bertampalan, tahapan ini dilakukan karena Indramayu diliput dalam dua scene yang berbeda. Tahapan layer stack dan mosaicing dilakukan dengan menggunakan software Erdas Imagine 9.1.

Interpretassi citra Landsat dilakukan secara visual dengan menggunakan paduan dari “Petunjuk Teknis Penafsiran Citra Resolusi Sedang” yang dikeluarkan oleh Direktorat IPSDH (Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan). Hasil Interpretasi citra Landsat menghasilkan Peta penutupan lahan daerah Indramayu.

3.3.4 Analisis dan Pembuatan Peta Parameter Rawan Kekeringan

Tahap analisis dan pembuatan peta-peta parameter dari rawan kekeringan diturunkan dari data spasial dan atribut biofisik wilayah melalui pengelolaan dan pengolahan data atribut serta analisis SIG lainnya. Peta parameter rawan kekeringan meliputi peta lereng, drainase, bentuk lahan, penggunaan lahan, buffer sungai, dan peta curah hujan. Masing-masing peta tematik tersebut dilakukan pengharkatan, kemudian dilakukan tumpang tindih dan selanjutnya adalah pembobotan untuk masing-masing parameter. Parameter dan skor yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Tabel 3. Diagram tahapan metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

(27)

Tabel 3. Skor Parameter Pemicu Rawan Kekeringan

Parameter Kelas Nilai Harkat

(skor) Curah Hujan

Tahunan (mm/tahun)

a. 2001 - 2500 2

b. 1500 - 2000 3

c. <1500 4

Curah Hjan Musim Kering (mm/bln)

a. >40 1

b. 31 – 40 2

c. 21 – 30 3

d. <20 4

Bentuk Lahan

a. Dataran Aluvial, Pantai, Dataran,

Rawa Pasang surut 1

b. Lembah Aluvial 2

c. Bukit 3

Penggunaan Lahan

a. Tubuh Air 0

b. Hutan, Kebun Campuran, Perkebunan,

Tambak 1

c. Permukiman, Semak 2

d. Pertanian Lahan Kering, Tegalan,

Sawah 3

e. Tanah Terbuka, Lahan Terbangun 4

Kemiringan Lereng

a. Datar (0 - 3 %) 1

b. Berombak (3 - 8 %) 2

c. Bergelombang (8 - 15 %) 3

d. Berbukit Kecil (15 - 30 %) 4

Drainase

a. Sangat Buruk 1

b. Buruk 2

c. Sedang 3

d. Baik 4

Buffer Sungai

a. 0 (nol) - 100 m 1

b. >100m - 00 m 2

c. >300 m - 500m 3

d. >500m 4

(28)

15

Gambar 1. Diagram Tahapan Metode Penelitian a. Pengharkatan

Pengharkatan dimaksudkan sebagai pemberian skor terhadap masing- masing kelas dalam setiap parameter. Pemberian skor ini didasarkan pada seberapa besar pengaruh kelas tersebut terhadap kekeringan. Semakin tinggi pengaruhnya terhadap kekeringan maka skor yang diberikan akan semakin tinggi.

Analisis Tingkat Rawan Kekeringan Pengharkatan

Overlay

Pembobotan Interpretasi

citra

Peta Penutup Lahan Koreksi geometrik

Pengisian gap oleh citra tahun 2003yang telah dikoreksi

Citra Landsat 7 ETM+

tahun 2009

Peta RBI

Peta Jaringan

Sungai

Buffer Sungai DEM

Peta Kontur

Peta Lereng Data Curah

Hujan

Interpolasi titik berbasis

Kriging

Peta Curah Hujan Klasifikasi

data atribut Peta Satuan

Lahan

Peta Drainase Klasifikasi

data atribut Peta Landsystem

Peta Bentuk Lahan

(29)

Pemberian skor terhadap parameter-parameter ini dilakukan secara linier terhadap kelas-kelas dalam suatu parameter kekeringan dengan skor 1 - 4. Skor satu diberikan untuk kelas yang tidak terlalu berpengaruh atau mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kekeringan, sedangkan skor empat diberikan untuk kelas yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap kekeringan.

Pengharkatan nilai curah hujan didasarkan dari jumlah curah hujannya.

Daerah dengan jumlah curah hujan paling kecil dapat dikatakan bahwa daerah itu akan lebih berpengaruh terhadap kejadian kekeringan. Oleh karena itu, untuk daerah yang mempunyai nilai curah hujan rendah akan diberi nilai skor yang lebih tinggi daripada daerah dengan curah hujan tinggi. Pada penelitian ini digunakan dua jenis curah hujan yaitu, curah hujan rata-rata tahunan dan curah hujan rata- rata musim kering. Curah hujan musim kering (Juli – September) diturunkan dari tiga bulan curah hujan yang paling kecil jumlahnya.

Pada Tabel 3 hanya terdapat tiga kelas untuk curah hujan rata-rata tahunan, ini dikarenakan nilai curah hujan yang terdapat pada daerah penelitian berada pada selang antara 1000 - 2100 mm/tahun. Sementara pada curah hujan musim kering berkisar antara 15 – 40 mm/bln. Penggunaan dua jenis curah hujan ini dilakukan untuk melihat jenis curah hujan mana yang lebih mendekati kejadian nyata di lapang.

Pengharkatan untuk kelas bentuk lahan adalah untuk daerah yang mempunyai bentuk lahan datar dan landai akan lebih kecil peluang terjadinya kekeringan, karena bentuk lahan datar kemungkinan air akan hilang mengalir lebih kecil dibandingkan dibanding dengan daerah dengan bentuk berlereng, sehingga daerah dengan bentuk lahan datar diberi nilai skor paling rendah.

Penentuan skor untuk penggunaan lahan didasarkan pada kemampuan lahan dalam menampung air ataupun melimpaskannya. Penggunaan lahan akan berperan pada besarnya air limpasan dari hujan yang telah melebihi laju infiltrasi.

Daerah yang ditumbuhi banyak pepohonan akan membantu dalam penyerapan air sehingga air akan mudah ditampung dan limpasan air akan kecil sekali terjadi. Hal ini disebabkan besarnya kapasitas serapan air oleh pepohonan dan lambatnya air limpasan mengalir akibat tertahan oleh akar dan batang pohon. Nilai skor rendah diberikan pada daerah dengan tutupan lahan didominasi oleh pepohonan,

(30)

17

sedangkan nilai skor tinggi untuk daerah dengan penutupan lahan minim pepohonan atau tanpa pepohonan. Pemberian nilai nol pada tubuh air dikarenakan tubuh air dianggap tidak pernah mengalami kekeringan.

Pemberian skor terhadap kelas kemiringan lereng didasarkan pada lahan yang mempunyai tingkat kemiringan lereng yang tinggi akan memudahkan aliran air yang turun dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Jika suatu lahan semakin miring, maka air yang diteruskan semakin cepat dibanding lahan yang mempunyai kemiringan rendah, sehingga air sangat sedikit mengisi pori-pori tanah pada lahan dengan kemiringan tinggi.

Penentuan tingkat kekeringan untuk buffer sungai berdasarkan jarak lokasi terhadap sumber air dengan asumsi semakin jauh suatu wilayah dari sumber air maka semakin sulit mendapatkan air. Daerah yang berada dekat dengan sungai maka daerah tersebut mempunyai air yang berkecukupan dibanding dengan daerah yang berada jauh dari sungai, sehingga daerah yang jauh dengan sungai dapat dikatakan rentan terjadi kekeringan.

b. Pembobotan

Pembobotan adalah penentuan bobot pada setiap peta digital dari parameter yang berpengaruh terhadap kekeringan. Penentuan bobot didasarkan pada pertimbangan seberapa besar masing-masing parameter kekeringan berpengaruh terhadap kekeringan. Terdapat dua metode pembobotan, yaitu pembobotan parameter dengan nilai bobot sama, dan pembobotan parameter dengan nilai bobot berbeda. Hal ini dilakukan untuk melihat perbedaan dan pengaruhnya terhadap kejadian nyata. Bobot masing-masing parameter disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Bobot Parameter Penyebab Rawan Kekeringan

Parameter Bobot Beda Bobot Sama

Curah Hujan 0.3 0.167

Bentuk Lahan 0.2 0.167

Drainase Tanah 0.2 0.167

Tutupan Lahan 0.1 0.167

Kemiringan 0.1 0.167

Buffer Sungai 0.1 0.167

(31)

c. Analisis Keruangan

Analisis keruangan yang dilakukan adalah:

1. Tumpang tindih, merupakan interaksi atau gabungan dari beberapa peta biofisik pemicu rawan kekeringan. Tumpang tindih beberapa peta menghasilkan suatu informasi baru dalam bentuk luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan beberapa poligon dari peta-peta tersebut. Peta yang ditumpang tindih merupakan peta-peta yang sebelumnya telah diberi skor pada setiap kelas dari masing-masing parameter biofisik sehingga menghasilkan peta zonasi kekeringan.

2. Analisis Tingkat Kerawanan Kekeringan, dilakukan dengan menjumlahkan perkalian setiap parameter biofisik dengan bobotnya seperti ditunjukkan pada persamaan dibawah ini,

X = ∑ ( ) Dimana: X = Nilai kerawanan

Wi = Bobot untuk parameter ke- i Xi = Skor kelas pada parameter ke-i

Nilai tingkat kerawanan dari hasil penjumlahan perkalian ini dapat dikelompokkan kedalam kelas kerawanan berdasarkan Tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5. Tingkat Rawan Kekeringan

Kelas Rawan Kekeringan Skor

Tidak Rawan 0 – 1,5

Cukup Rawan >1,5 – 2,5

Rawan >2,5 – 3,5

Sangat Rawan >3,5

(32)

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Letak Geografis Kabupaten Indramayu

Secara geografi Kabupaten Indramayu terletak pada posisi 107°52’ – 108°36’ BT dan 6°15’ – 6°40’ LS, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Subang, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Laut Jawa, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, Sumedang dan Kabupaten Cirebon. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 4.2 Kondisi Fisik

Kondisi fisik daerah Indramayu meliputi keadaan topografi, drainase tanah, jarak dari sumber air dan bentuk lahan. Kondisi umum tersebut akan disajikan pada paragraf-paragraf dibawah ini.

(33)

4.2.1 Topografi

Berdasarkan topografinya sebagian besar wilayah Kabupaten lndramayu merupakan dataran atau daerah landai dengan kemiringan tanah rata-rata 0 - 3%.

Keadaan ini berpengaruh terhadap drainase, bila curah hujan tinggi maka daerah- daerah tertentu akan terjadi genangan air. Berdasarkan Peta Kelas Lereng (Gambar 3), dapat diketahui bahwa permukaan lahan di Kabupaten lndramayu sebagian besar berupa dataran dengan kemiringan 0 - 3% dengan luas 169.825 ha (81,12%) dari seluruh luas wilayah Kabupaten lndramayu. Luas masing-masing kelas kemiringan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6.

Gambar 3. Peta Kelas Lereng Kabupaten Indramayu Tabel 6. Luas Kemiringan Lereng di Kabupaten Indramayu

Kelas Lereng Luas (ha) Luas (%)

0 - 3 % 169.825 81,12

3 - 8 % 381.078 18,20

8 - 15 % 798 0,38

15 - 30 % 617 0,29

Total 209.349 100

(34)

21

4.2.2 Drainase Tanah

Drainase merupakan kecepatan perpindahan air dari suatu bidang lahan, baik berupa run off maupun peresapan air ke dalam tanah. Drainase sebagai suatu sifat tanah dapat pula diartikan sebagai frekuensi dan lamanya tanah bebas dari kejenuhan air (Darmawijaya,1997). Gambar 4 menyajikan peta kelas drainase tanah, sedangkan luas kelas drainase tanah disajikan pada Tabel 7.

Gambar 4. Peta Kelas Drainase Tanah Kabupaten Indramayu Tabel 7. Luas Kelas Dainase Tanah Kabupaten Indramayu

Kelas Drainase Luas (ha) Luas (%)

Baik 60.736 29,01

Sedang 8.506 4,06

Buruk 70.038 33,46

Sangat Buruk 70.068 33,47

Total 209.349 100

4.2.3 Sungai

Sungai mempunyai peranan yang sangat penting dalam fungsinya sebagai tempat mengalirkan air. Semakin dekat dengan sumber air maka daerah tersebut kecil kemungkinan mengalami kejadian kekeringan. Gambar 5 merupakan peta

(35)

buffer sungai. Peta tersebut menunjukkan suatu daerah yang mempunyai lebar tertentu yang digambarkan di sekeliling sungai dengan jarak tertentu.

Gambar 5. Peta Buffer Sungai Kabupaten Indramayu 4.2.4 Bentuk Lahan (Landform)

Berdasarkan peta Landsystem skala 1 : 250.000 diperoleh peta bentuk lahan Kabupaten Indramayu (Gambar 6). Dari Peta tersebut dapat dilihat bahwa daerah tersebut secara umum terdiri dari beberapa bentuk lahan (Landform), yaitu Dataran aluvial, dataran, pantai, rawa pasang surut, lembah aluvial, dan bukit.

Luas masing-masing bentuk lahan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Luas Kelas Bentuk Lahan Kabupaten Indramayu

Bentuk Lahan Luas (ha) Luas (%)

Dataran Aluvial 152.963 73,07

Lembah Aluvial 43 0,02

Pantai 2.862 1,37

Bukit 1.442 0,69

Dataran 39.150 18,70

Rawa Pasang Surut 12.887 6,16

Total 209.349 100

(36)

23

Gambar 6. Peta Kelas Bentuk Lahan Kabupaten Indramayu

(37)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan/Penggunaan Lahan daerah Indramayu

Kabupaten Indramayu berdasarkan hasil intrepertasi citra Landsat 7 ETM+

Juni 2009, mempunyai 13 penggunaan lahan yaitu, hutan, kebun campuran, lahan terbangun, perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering, sawah, semak, tambak, tanah terbuka, tegalan, tubuh air, dan perkebunan. Peta hasil interpretasi citra dapat dilihat pada Gambar 7. Penggunaan lahan yang terluas adalah sawah (117.451 ha) kemudian diikuti oleh kebun campuran (24.814 ha), permukiman (21.317 ha), perkebunan (15.361 ha) dan tambak (14.609 ha). Luas masing- masing jenis penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 9.

Gambar 7. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Indramayu

(38)

25

Tabel 9. Luas Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Indramayu

Penutupan/Penggunaan Lahan Luas (ha) Luas (%)

Hutan 7.513 3,59

Kebun Campuran 24.814 11,85

Lahan Terbangun 816 0,39

Perkebunan 15.361 7,34

Permukiman 21.317 10,18

Pertanian Lahan Kering 11 0,01

Sawah 117.451 56,10

Semak 1.516 0,72

Tambak 14.609 6,98

Tanah Terbuka 1.611 0,77

Tegalan 1.192 0,57

Tubuh Air 2.581 1,23

Perkebunan 553 0,26

Total 209.349 100

5.2 Pemetaan Daerah Rawan Kekeringan

Wilayah rawan kekeringan dapat diartikan sebagai daerah yang peluang terjadinya kekeringan cukup tinggi karena curah hujan rendah dan sumber air tanah terbatas, atau daerah yang mempunyai faktor fisik lahan/tanah yang dapat mempercepat timbulnya kekeringan. Dalam penelitian ini parameter curah hujan yang digunakan dibedakan dalam (i) curah hujan rata-rata tahunan dan (ii) curah hujan rata-rata musim kering, sementara pembobotan parameter biofisik dibedakan dalam (i) bobot berbeda dengan parameter curah hujan paling tinggi, dan (ii) bobot sama, sehingga dihasilkan empat peta rawan kekeringan..

5.2.1 Pemetaan Daerah Rawan Kekeringan untuk Curah Hujan Rata-rata Tahunan

Curah hujan rata-rata tahunan dari 19 titik stasiun di Kabupaten Indramayu adalah 1.471 mm/tahun. Curah hujan tertinggi adalah 1.948 mm, sedangkan curah hujan terendah ± 971 mm. Peta curah hujan rata-rata tahunan dapat dilihat pada Gambar 8. Curah hujan yang dominan turun di daerah Indramayu adalah <1500 mm/tahun, sehingga dapat diasumsikan bahwa daerah Indramayu berpotensi terjadi kekeringan bila dilihat dari parameter curah hujannya. Penyebaran kelas curah hujan <1500 mm/tahun berada di sebelah utara peta yaitu yang berbatasan dengan laut jawa, dan berada di sebelah tenggara yang berbatasan dengan Kabupaten Cirebon.

(39)

Gambar 8. Peta Curah Hujan Rata-Rata Tahunan

a Peta Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Beda untuk Curah Hujan Tahunan

Gambar 9 menunjukkan Peta rawan kekeringan dengan menggunakan bobot parameter berbeda dan curah hujan tahunan. Pemodelan ini menghasilkan dua kelas kekeringan, yaitu, kelas cukup rawan dan kelas rawan. Kecamatan yang berpotensi kekeringan untuk kelas cukup rawan hampir merata keseluruh wilayah dari Kabupaten Indramayu (Lampiran 3).

1. Kelas Cukup Rawan

Daerah cukup rawan ini mempunyai luasan 159.502 ha (77,24%). Curah hujan yang ada pada kelas ini berkisar antara 1501 - 2000 mm/tahun dan <1500 mm/tahun. Bentuk lahan yang banyak dijumpai dikelas ini adalah dataran Aluvial dan dataran, dengan penggunaan lahan berpotensi rawan kekeringan adalah sawah, kebun campuran, tambak, permukiman, dan perkebunan. Kemiringan lereng kelas ini berada pada kisaran 0 - 8%, drainase yang dimiliki kelas ini sangat buruk sampai buruk, dan berada pada buffer sungai >500 m.

(40)

27

2. Kelas Rawan

Kelas rawan mempunyai luasan sebesar 46.992 ha (22,76%) dengan curah hujan berada pada kisaran 1501 – 2000 mm/tahun dan <1500 mm/tahun. Kelas ini didominasi oleh bentuk lahan dataran Aluvial dengan kemiringan lereng 0 - 8%

dan mempunyai drainase buruk sampai baik. Penggunaan lahan yang banyak dijumpai di kelas ini adalah sawah, permukiman, kebun campuran, perkebunan, dan tanah terbuka. Daerah yang berpotensi rawan kekeringan berada pada buffer sungai >500m.

Adapun luas dari masing-masing tipe penggunaan lahan menurut kelas rawan kekeringan disajikan pada Tabel 10.

Kecamatan terluas yang berpotensi rawan kekeringan untuk kelas cukup rawan sampai rawan adalah Kecamatan Gantar, Kecamatan Trisi, Kecamatan Cikedung, Kecamatan Losarang, Kecamatan Pasekan, Kecamatan Anjatan, dan Kecamatan Gabuswetan. Dari kecamatan-kecamatan ini penggunaan lahan yang akan mendapat dampak paling besar terhadap kekeringan adalah sawah, karena penggunaan lahan ini paling luas ditemukan pada tujuh kecamatan tersebut.

Karakteristik utama dari kecamatan-kecamatan tersebut adalah bentuk lahan dataran aluvial, kemiringan lereng 0 - 3%, dengan drainase sangat buruk sampai baik, curah hujan <2000 mm/tahun dan berada pada buffer sungai >500m.

Tabel 10. Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan yang Berpotensi Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Beda

Penggunaan lahan

Kelas (ha)

Cukup rawan Rawan

Hutan 7.064 448

Kebun Campuran 21.047 3.767

Lahan Terbangun 592 223

Perkebunan 13.703 2.207

Permukiman 14.185 7.127

Pertanian Lahan Kering 10 0,5

Sawah 86.288 31.16

Semak 1.076 440

Tambak 14.442 166

Tanah Terbuka 222 1.388

Tegalan 868 63,1

Total 159.502 46.992,6

(41)

Gambar 9. Peta Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Beda untuk Curah Hujan Tahunan

b. Peta Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Sama untuk Curah Hujan Tahunan

Gambar 10 menunjukkan peta rawan kekeringan dengan bobot parameter sama dengan empat kelas kekeringan, yaitu kelas tidak rawan, kelas cukup rawan, kelas rawan, dan kelas sangat rawan. Hampir semua kecamatan mengalami kelas cukup rawan dan rawan kekeringan, sedangkan yang mengalami kelas tidak rawan hanya tersebar di beberapa kecamatan saja (Lampiran 4).

1. Kelas Tidak Rawan

Daerah dengan kelas kekeringan tidak rawan mempunyai luasan paling kecil yaitu 144 ha (0,07%) dari total luasan daerah penelitian. Daerah ini mempunyai curah hujan 1501 - 2000 mm/tahun. Penggunaaan lahan yang dominan dalam kelas ini adalah tambak, perkebunan, dan kebun campuran, dengan kemiringan lereng 0 - 3%. Kelas ini mempunyai bentuk lahan dataran Aluvial dengan drainase sangat buruk dan berada pada buffer sungai 0 - 100 m.

(42)

29

2. Kelas Cukup Rawan

Daerah cukup rawan ini memiiliki luasan yang paling besar yaitu 157.476 ha (76,26%). Curah hujan yang dominan di kelas ini adalah <1500mm/tahun dan 1500 - 2000mm/tahun. Penggunaan lahan yang banyak dijumpai adalah sawah, kebun campuran, tambak, perkebunan, dan permukiman. Kemiringan lereng kelas ini berkisar antara 0 - 8%. Bentuk lahan adalah dataran Aluvial, mempunyai drainase sangat buruk sampai buruk, dan berada pada buffer sungai >500 m.

3. Kelas Rawan

Kelas rawan mempunyai luasan sebesar 48.651 ha (23,56%) dengan curah hujan yang dominan adalah <1500mm/tahun dan 1500 - 2000 mm/tahun.

Penggunaan lahan yang banyak mengalami rawan kekeringan adalah sawah, permukiman, kebun campuran, perkebunan, dan tanah terbuka. kemiringan lereng 0 - 8 % dan mempunyai drainase baik sampai buruk. Kelas ini didominasi oleh bentuk lahan dataran Aluvial dan berada pada buffer sungai >500m.

4. Kelas Sangat Rawan

Kelas sangat rawan mempunyai luasan sebesar 223 ha (0,11%) dari total luasan. Curah hujan pada kelas ini berada pada kisaran 2001 – 2500mm/tahun dengan penggunaan lahan yang berada pada keadaan sangat rawan adalah tanah terbuka. Kemiringan lereng pada kelas sangat rawan adalah 8 – 15% dengan bentuk lahan perbukitan dan berada pada buffer sungai >500m.

Luas dari masing-masing tipe penggunaan lahan menurut kelas rawan kekeringan disajikan pada Tabel 11, dimana penggunaan lahan yang dominan berpotensi kekeringan adalah penggunaan lahan sawah.

Secara umum karakteristik wilayah dari kelas cukup rawan sampai sangat rawan kekeringan untuk bobot parameter sama dan curah hujan tahunan adalah curah hujan <1500mm/tahun dan 1500 - 2000 mm/tahun, bentuk lahan dataran aluvial, penggunaan lahan sawah, kelas kemiringan 0 – 15%, berdrainase sangat buruk sampai baik dan berada pada buffer >500m. Kecamatan terluas yang berpotensi kekeringan untuk kelas cukup rawan sampai sangat rawan adalah Kecamatan Trisi, Kecamatan Gantar, Kecamatan Losarang, Kecamatan Cikedung, Kecamatan Kroya, Kecamatan Anjatan, Kecamatan Tukdana, Kecamatan Sukra,

(43)

Kecamatan Haurgeulis dengan penggunaan lahan sawah yang paling besar yang akan mendapat dampak dari kekeringan.

Gambar 10. Peta Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Sama untuk Curah Hujan Tahunan

Tabel 11. Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan yang Berpotensi Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Sama

Penggunaan lahan

Kelas (ha)

Tidak Rawan Cukup rawan Rawan Sangat Rawan

Hutan 7.064 448

Kebun Campuran 21.302 3.512

Lahan Terbangun 384 431

Perkebunan 94 14.178 1.638

Permukiman 13.280 8.032

Pertanian Lahan Kering 9 2

Sawah 84.967 32.481

Semak 874 641

Tambak 49 14.424 134

Tanah Terbuka 121 1.265 223

Tegalan 868 63

Total (Ha) 143 157.476 48.651 223

(44)

31

5.2.2 Pemetaan Daerah Rawan Kekeringan untuk Curah Hujan Rata-rata Musim Kering

Sebaran curah hujan rata-rata per bulan dari tiga bulan terkering (Juli – September) dapat dilihat pada Gambar 11. Peta tersebut menunjukkan bahwa wilayah dari Kabupaten Indramayu didominasi oleh curah hujan pada musim kering dengan besaran 30-40 mm/bulan. Curah hujan rata-rata musim kering sebesar 25 mm/bulan dengan curah hujan terendah adalah 13 mm/bulan dan tertingginya sebesar 51 mm/bulan.

Gambar 11. Peta Curah Hujan Rata-Rata Musim kering

a. Peta Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Beda untuk Curah Hujan Musim Kering

Pada peta rawan kekeringan dengan bobot berbeda hanya terdapat tiga kelas, yaitu kelas tidak rawan, cukup rawan dan rawan. Hampir semua kecamatan pada peta yang berbobot beda berpotensi rawan kekeringan dengan kelas cukup rawan dan rawan, sedangkan untuk kelas tidak rawan hanya dialami oleh sedikit wilayah kecamatan (Lampiran 5). Bentuk peta dengan bobot parameter beda untuk curah hujan musim kering ditunjukkan pada Gambar 12.

(45)

1. Kelas Tidak Rawan

Daerah dengan kelas kekeringan tidak rawan mempunyai luasan paling kecil yaitu 1.523 ha (0,74%) dari total luasan daerah penelitian. Daerah ini mempunyai curah hujan <20mm/bln dan 21 - 30mm/bulan. Penggunaaan lahan yang dominan dalam kelas ini adalah sawah, kebun campuran, perkebunan, dan permukiman dengan kemiringan lereng 0 - 3%. Kelas ini mempunyai bentuk lahan dataran Aluvial dengan drainase buruk dan berada pada buffer sungai 0 - 300 m.

2. Kelas Cukup Rawan

Daerah cukup rawan ini memiiliki luasan yang paling besar yaitu 175.938 ha (85,20%). Curah hujan yang dominan di daerah ini adalah <20 dan 21 - 30mm/bulan. Penggunaan lahan yang banyak dijumpai dalam kelas ini adalah sawah, kebun campuran, permukiman, perkebunan, dan tambak dengan kemiringan lereng 0 - 8%. Bentuk lahan adalah dataran Aluvial, mempunyai drainase buruk sampai dengan sangat buruk, dan berada pada buffer sungai >500 m.

3. Kelas Rawan

Kelas rawan mempunyai luasan sebesar 29.033 ha (14,06%) dengan curah hujan yang dominan adalah <20mm/bln dan 21 - 30 mm/bulan. Penggunaan lahan yang berpotensi rawan kekeringan adalah sawah, permukiman, tanah terbuka, perkebunan, dan semak. Kemiringan lereng untuk kelas ini adalah 0 - 8% dan mempunyai drainase baik sampai buruk. Kelas ini didominasi oleh bentuk lahan dataran Aluvial dan berada pada buffer sungai >500m.

Adapun luas dari masing-masing tipe penggunaan lahan menurut kelas rawan kekeringan disajikan pada Tabel 12.

Kecamatan terluas yang berpotensi rawan kekeringan untuk kelas cukup rawan sampai rawan adalah Kecamatan Gantar, Kecamatan Trisi, Kecamatan Cikedung, Kecamatan Kroya, Kecamatan Losarang, Kecamatan Anjatan, Kecamatan Tukdana, dan Kecamatan Sukra. Dari kecamatan-kecamatan ini penggunaan lahan yang akan mendapat dampak paling besar terhadap kekeringan adalah sawah. Karakteristik utama yang ditemukan pada kecamatan-kecamatan

(46)

33

tersebut adalah bentuk lahan dataran aluvial, kemiringan lereng 0 - 3%, curah hujan 30 - 40mm/bulan, drainase sangat buruk untuk kelas cukup rawan dan drainase baik untuk kelas rawan, dan buffer >500m.

Gambar 12. Peta Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Beda untuk Curah Hujan Musim Kering

Tabel 12. Penggunaan Lahan/Penutupan Lahan yang Berpotensi Rawan

Kekeringan dengan Bobot parameter Beda untuk Curah Hujan Musim Kering

Penggunaan lahan

Kelas (ha)

Tidak rawan Cukup rawan Rawan

Hutan 7.091 421

Kebun Campuran 23.893 623 297

Lahan Terbangun 677 138

Perkebunan 14.861 916 132

Permukiman 16.274 4.945 92

Pertanian Lahan Kering 10

Sawah 96.580 19.869 1

Semak 829 687

Tambak 14.596 12

Tanah Terbuka 222 1.388

Tegalan 901 30

Total 175.938 29.033 1.523

(47)

b. Peta Rawan Kekeringan dengan Bobot Parameter Sama untuk Curah Hujan Musim Kering

Gambar 13 menunjukkan peta rawan kekeringan dengan bobot parameter sama dan dimana terdapat empat kelas kekeringan, yaitu kelas tidak rawan, kelas cukup rawan, kelas rawan, dan sangat rawan. Sebagian besar kecamatan termasuk ke dalam kelas cukup rawan dan rawan kekeringan, sedangkan kelas tidak rawan dan sangat rawan hanya terjadi di beberapa kecamatan saja (Lampiran 6).

1. Kelas Tidak Rawan

Daerah tidak rawan ini memiiliki luasan 979 ha (0,47%) dengan curah hujan 20 - 40 mm/bln. Bentuk lahan yang banyak dijumpai dikelas ini adalah dataran Aluvial bentuk lahan lain yang berada pada kondisi tidak rawan adalah daerah pantai, rawa pasang surut dan dataran. Penggunaan lahan yang tidak berpotensi kekeringan tambak, kebun campuran dan perkebunan. Kemiringan lereng kelas ini 0 - 3%, mempunyai drainase buruk sampai dengan sangat buruk, dan berada pada buffer sungai 0 - 100 m.

2. Kelas Cukup Rawan

Kelas cukup rawan mempunyai luasan sebesar 173.711 ha (84,12%) dengan curah hujan berkisar antara 30 - 40mm/bln. Kelas ini didominasi oleh bentuk lahan dataran Aluvial dan dataran dengan kemiringan lereng 0 - 8% dan mempunyai drainase buruk sampai dengan sangat buruk. Penggunaan lahan yang banyak berpotensi cukup rawan kekeringan adalah sawah, kebun campuran, permukiman, perkebunan, dan tambak dengan berada pada buffer sungai >500m.

3. Kelas Rawan

Kelas rawan mempunyai luasan sebesar 31.559 ha (15,28%) dengan curah hujan berkisar antara 20 - 40mm/bln. Kelas ini didominasi oleh bentuk lahan dataran Aluvial dengan kemiringan lereng 0 - 8% dan mempunyai drainase buruk sampai baik. Penggunaan lahan yang berpotensi adalah sawah, permukiman, tanah terbuka, perkebunan, dan semak dengan berada pada buffer sungai >500m.

4. Kelas Sangat Rawan

Luasan wilayah yang berpotensi kekeringan pada kelas sangat rawan adalah 244 ha (0,47%) dengan kisaran curah hujan 20 - 30mm/bln. Kelas ini

Gambar

Tabel  3. Skor Parameter Pemicu Rawan Kekeringan
Gambar  1. Diagram Tahapan Metode Penelitian  a.  Pengharkatan
Gambar  2. Peta Lokasi Penelitian  4.2 Kondisi Fisik
Gambar  3. Peta Kelas Lereng Kabupaten Indramayu Tabel   6. Luas Kemiringan Lereng di Kabupaten Indramayu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji statistik chi square dengan nilai P-value sebesar 0,041 menunjukan bahwa pemberian Asi dini terdapat hubungan yang signifikan dengan involusio uterus

Ataukah sebaiknya aku terus-terang pada Rani bahwa Husen adalah pilihanku?” tanya Rahma dalam hati suatu kali.. Aku tak ingin

Judul Karya Tulis : Faktualitas Berita Dalam Laporan Utama Di Majalah Berita Mingguan “TEMPO” (Studi Majalah Berita Mingguan TEMPO Periode 1 Mei- 31 Juli

Kepada Peserta Pelelangan yang merasa keberatan atas Penetapan Pemenang ini diberikan kesempatan untuk mengajukan sanggahan secara online melalui aplikasi SPSE

INTERIM FINANCIAL REPORT

Untuk minggu ke IV terjadi kematian karang uji (bleaching) pada suhu 28 0 C hal tersebut terjadi karena karang uji mengalami stress dalam waktu yang lama sehingga tidak

commit to user ¨ ·· ÜßÚÌßÎ ×Í× ØßÔßÓßÒ ÖËÜËÔ

Berdasarkan deskripsi pada latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka masalah pokok yang akan dikaji dalam Fokus Penelitian ini adalah Budaya Belajar