TESIS
Oleh
ADRIAL FALAHI
127024020/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Program Studi Magister
Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Oleh :
ADRIAL FALAHI
127024020/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
GURU DI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Adrial Falahi
Nomor Pokok : 127024020
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Subhilhar, MA, Ph.D) (Husni Thamrin, S.Sos., MSP) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof. Subhilhar, MA, Ph.D Anggota : Husni Thamrin, S.Sos., MSP
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU
DI KOTA MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 23 Juli 2014
Penulis,
ABSTRAK
Sertifikasi Guru merupakan program penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Implementasi merupakan kunci sukses sebuah program. Kegagalan dalam melaksanakan program berarti kegagalan dalam mencapai tujuan dari program tersebut. Sementara fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru di Kota Medan dengan menggunakan isu-isu interaktif yang digagas oleh George C. Edward III berupa komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi yang berperan dalam pelaksanaan kebijakan. Keberperanan empat isu ini sangat bermakna bagi implementasi kebijakan dan penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui analisis deskriptif dan objek penelitiannya adalah panitia sertifikasi guru di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Medan, guru yang telah mengikuti sertifikasi guru dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013, panitia sertifikasi guru di LPMP Sumatera Utara dan panitia sertifikasi guru di LPTK. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan sertifikasi guru di Kota Medan telah memenuhi empat isu Implementasi Kebijakan Publik model Edward III walaupun belum sempurna. Komunikasi adalah unsur yang paling lemah dalam pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru. Penyampaian informasi terganggu oleh kurangnya sosialisasi yang dilakukan baik dari segi waktu dan materinya serta model penyampaian informasi yang juga kurang tepat sehingga menyebabkan informasi yang tidak jelas dan tidak sampai ke guru. Kelemahan dari sudut konsistensi peraturan kebijakan itu sendiri telah menciptakan image yang tidak baik dalam masyarakat. Peraturan yang berubah-ubah telah membuat masyarakat khususnya guru menjadi bingung. Keberpihakan kebijakan khususnya terhadap guru (sebagai sasaran) hendaknya bisa diciptakan sehingga program ini bisa mencapai target dan sasaran secara maksimal.
ABSTRACT
Teacher Certification is an important program to improve the quality of National Education. The implementation of the program is the keys to success. Failure to implement the program means failure to achieve the goal. The focus of this research is to identify and analyze the implementation of teacher certification policies in Medan by using interactive issues initiated by George C. Edward III is communications, resources, disposition and bureaucratic structures that play a role in policy implementation. The fourth role is a very significant issue for policy implementation.This study uses qualitative descriptive analysis. Is a research subject in the teacher certification committee Medan City Department of Education, teachers who have been following the certification of teachers from 2007 to 2013, the committee LPMP teacher certification in North Sumatra and teacher certification in LPTK committee. The results of this study indicate that teacher certification policy implementation in Medan has met four issues of Public Policy Implementation model of Edward III, although not perfect. Communication is the weakest element in the implementation of teacher certification policy. Submission of information is interrupted by the lack of socialization in terms of both time and material and information delivery models are also causing less precise information is not clear and not up to the teacher. Weak regulation from the point of consistency has created a policy that is not a good image in the society. Regulatory change has been made public, especially teachers become confused. Alignments policy especially towards the target (teacher) should be created so that the program can reach targets and objectives to the maximum.
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya saya dapat meyelesaikan tesis ini dengan Judul :
“Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru di Kota Medan”. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) pada program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatara Utara.
Penulis sudah merasa melakukan penelitian dengan kemampuan maksimal, namun tentunya tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih terdapat banyak kekurangan. Hal ini tentunya disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan waktu yang dimiliki oleh penulis.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.)
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU)
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A selaku Ketua Program Magister Studi
Pembangunan Universitas Sumatera Utara dan dosen pembanding.
4. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si selaku Sekretaris Program Studi
Magister Studi Pembangunan dan dosen pembanding.
5. Prof. Subhilhar, MA, Ph.D, sebagai dosen pembimbing I saya yang telah
memberikan waktu, semangat dan saran-saran yang membangun guna
mendukung pengerjaan tesis ini menjadi sempurna dan dapat
dipertanggungjawabkan.
6. Bapak Husni Thamrin, S.Sos., MSP, sebagai dosen pembimbing II yang telah
banyak meluangkan waktu dalam membimbing, memberikan pengarahan, pengetahuan dan dukungan.
7. Bapak Drs. Humaizi, MA selaku dosen pembanding yang telah memberikan
banyak masukan di dalam proses penulisan tesis saya
8. Seluruh Dosen Program Studi Magister Studi Pembangunan yang telah banyak
Dina, Bang Iwan dan Ibu Nisa, yang telah banyak membantu saya dalam proses penyusunan administrasi dan memberikan semangat.
10.Bapak Irwansyah, S.Pd, selaku Panitia/Staff pengelola Sertifikasi Guru Kota Medan yang telah memberikan waktu dan kesempatan bagi saya untuk melakukan penelitian di Dinas Pendidikan Kota Medan.
11.Bapak Drs. H. Ridwanto, M.Si, selaku Ketua Panitia Sertifikasi Guru Rayon 132 Universitas Muslim Nusantara (UMN) Al-Washliyah yang telah banyak bekerjasama dalam rangka mensukseskan dan menyelenggarakan Sertifikasi Guru dan memberikan kesempatan untuk diwawancarai.
12.Seluruh mahasiswa program Magister Studi Pembangunan FISIP USU Tahun
2012 Angkatan XXV. Terima kasih untuk setiap kebersamaannya dalam proses menggali ilmu pengetahun untuk mencapai gelar magister. Semoga kita dapat mengaplikasikan ilmu yang sudah kita pelajari di lingkungan masyarakat secara bertanggung jawab.
13.Ayahanda Abdul Kadir Hasry (Alm) dan Ibunda Yarnis Syarif, Abang, Uni,
Abang/Kakak Ipar serta ponakan penulis, atas do’a restu serta dorongan
semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.
14.Devi Silvia Rahmi, S.Pd, Istriku tercinta dan anak-anakku tersayang Fadhil
Roghdan Falahi dan Lu’lu’ Al Faqihah Falahi yang selama ini mendampingi
dengan penuh pengorbanan dan kesabaran serta pengertian kepada penulis.
15.Segenap pihak yang belum disebutkan di atas dan juga telah memberikan
bantuan kepada penulis baik langsung maupun tidak langsung.
Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan dan dicatat sebagai amal shalih dari Allah SWT.
Besar harapan saya semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pembaca terutama pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan sertifikasi guru untuk dapat dipergunakan sebagai sumbang saran pemikiran.
Medan, Juli 2014
Peneliti,
Penulis yang memiliki nama lengkap Adrial Falahi merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Abdul Kadir Hasry (Alm) dan Ibu Yarnis Syarif, BA. ini lahir di Kota Padang, pada tanggal 30 November 1973. Pendidikan Sekolah Dasar penulis, ditempuh SD Negeri 1980 dan lulus pada tahun 1986. Selanjutnya penulis menjalani pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Patumbak dan lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1992 penulis lulus dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Medan. Pada tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri yaitu di Jurusan Ilmu Administrasi Negara (IAN) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, dan dinyatakan lulus pada bulan Februari. Pada tahun 2012, penulis kembali melanjutkan pendidikan pada program studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan lulus pada bulan Juli 2014.
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
1. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1
1.2.Rumusan Masalah ... 8
1.3.Tujuan Penelitian ... 8
1.4.Manfaat Penelitian ... 9
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Kebijakan ... 10
2.2.Pengertian Kebijakan Publik ... 11
2.3.Pengertian Implementasi Kebijakan Publik ... 14
2.4.Model Implementasi Kebijakan Publik ... 17
2.5.Sertifikasi ... 23
2.5.1. Latar Belakang Sertifikasi ... 23
2.5.2. Pengertian Sertifikasi ... 26
2.7.Kerangka Pemikiran ... 31
3. BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Jenis Penelitian ... 32
3.2.Lokasi Penelitian ... 32
3.3.Informan Penelitian ... 33
3.4.Teknik Pengumpulan Data ... 34
3.5.Teknik Analisa Data ... 35
4. BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA PENELITIAN 4.1.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 37
4.1.1. Gambaran Umum Kota Medan ... 37
4.1.2. Geografi ... 39
4.1.3. Demografi ... 41
4.1.4. Kondisi Pendidikan Kota Medan ... 42
4.1.5. Visi dan Misi serta Tujuan Dinas Pendidikan Kota Medan ... 45
4.2.Gambaran Umum Sertifikasi Guru ... 50
4.2.1. Pengertian, Tujuan, Manfaat dan Dasar Hukum Sertifikasi Guru ... 50
4.2.2. Pola Pelaksanaan Sertifikasi Guru ... 52
4.2.3. Mekanisme, Alur Kerja dan Aktivitas Institusi ... 57
4.3.Hasil Temuan Penelitian ... 73
4.3.3. Sumberdaya ... 83
4.3.4. Disposisi ... 90
4.3.5. Struktur Birokrasi ... 94
4.3.6. Kendala Pelaksanaan Sertifikasi Guru ... 97
5. BAB VI PENUTUP 5.1.Kesimpulan ... 105
5.2.Saran ... 108
No. Judul Halaman
4.1. Rangkuman Hasil Wawancara ... 102
No. Judul Halaman
2.1. Bagan Model George C. Edward III ... 22
2.2. Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn ... 23
4.1. Peta Kecamatan Kota Medan ... 39
4.2. Struktur Organisasi Dinas Pendidikan Kota Medan ... 49
4.3. Alur Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan ... 55
4.4. Mekanisme Sertifikasi Guru Tahun 2013 ... 58
No. Judul Halaman
1. Pedoman Wawancara Terhadap Panitia Sertifikasi Guru di Dinas
Pendidikan Kota Medan ... 113
2. Pedoman Wawancara Terhadap Guru Tersertifikasi (Tahun 2007,
2008, 2009, 2010, 2011, 2012 dan 2013) ... 115
3. Pedoman Wawancara Terhadap Panitian Sertifikasi Guru di LPMP
Sumatera Utara ... 117
4. Pedoman Wawancara Terhadap Panitian Sertifikasi Guru di LPTK
ABSTRAK
Sertifikasi Guru merupakan program penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Implementasi merupakan kunci sukses sebuah program. Kegagalan dalam melaksanakan program berarti kegagalan dalam mencapai tujuan dari program tersebut. Sementara fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru di Kota Medan dengan menggunakan isu-isu interaktif yang digagas oleh George C. Edward III berupa komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi yang berperan dalam pelaksanaan kebijakan. Keberperanan empat isu ini sangat bermakna bagi implementasi kebijakan dan penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui analisis deskriptif dan objek penelitiannya adalah panitia sertifikasi guru di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Medan, guru yang telah mengikuti sertifikasi guru dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013, panitia sertifikasi guru di LPMP Sumatera Utara dan panitia sertifikasi guru di LPTK. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan sertifikasi guru di Kota Medan telah memenuhi empat isu Implementasi Kebijakan Publik model Edward III walaupun belum sempurna. Komunikasi adalah unsur yang paling lemah dalam pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru. Penyampaian informasi terganggu oleh kurangnya sosialisasi yang dilakukan baik dari segi waktu dan materinya serta model penyampaian informasi yang juga kurang tepat sehingga menyebabkan informasi yang tidak jelas dan tidak sampai ke guru. Kelemahan dari sudut konsistensi peraturan kebijakan itu sendiri telah menciptakan image yang tidak baik dalam masyarakat. Peraturan yang berubah-ubah telah membuat masyarakat khususnya guru menjadi bingung. Keberpihakan kebijakan khususnya terhadap guru (sebagai sasaran) hendaknya bisa diciptakan sehingga program ini bisa mencapai target dan sasaran secara maksimal.
ABSTRACT
Teacher Certification is an important program to improve the quality of National Education. The implementation of the program is the keys to success. Failure to implement the program means failure to achieve the goal. The focus of this research is to identify and analyze the implementation of teacher certification policies in Medan by using interactive issues initiated by George C. Edward III is communications, resources, disposition and bureaucratic structures that play a role in policy implementation. The fourth role is a very significant issue for policy implementation.This study uses qualitative descriptive analysis. Is a research subject in the teacher certification committee Medan City Department of Education, teachers who have been following the certification of teachers from 2007 to 2013, the committee LPMP teacher certification in North Sumatra and teacher certification in LPTK committee. The results of this study indicate that teacher certification policy implementation in Medan has met four issues of Public Policy Implementation model of Edward III, although not perfect. Communication is the weakest element in the implementation of teacher certification policy. Submission of information is interrupted by the lack of socialization in terms of both time and material and information delivery models are also causing less precise information is not clear and not up to the teacher. Weak regulation from the point of consistency has created a policy that is not a good image in the society. Regulatory change has been made public, especially teachers become confused. Alignments policy especially towards the target (teacher) should be created so that the program can reach targets and objectives to the maximum.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu aspek sosial dari program pembangunan
nasional yang harus diperhatikan dan menjadi sesuatu yang sangat penting karena
berhubungan dengan aset, modal, potensi kemajuan suatu bangsa dan juga
merupakan agen perubahan (agent of change).
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan
Pemerintah RI untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan juga mengamanatkan untuk mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang bertujuan meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat. Untuk mengemban amanat tersebut ditetapkanlah
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
untuk manjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan
relevansi pendidikan serta efisiensi menajeman pendidikan dalam rangka
menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.
Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan tersebut maka lahirlah
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2006 tentang Standar Nasional
Pendidikan yang menetapkan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan yang
menjadi acuan dalam penyelenggaraan serta keberhasilan pendidikan nasional.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut berkenaan dengan standar pendidik dan
tenaga kependidikan dinyatakan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi
akademik dan kompetensi. Kualifikasi akademik dan kompetensi yang
dimaksudkan oleh Peraturan Pemerintah tersebut melahirkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional RI Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi
guru ini lah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan program sertifikasi guru yang
melahirkan Peraturan Manteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Tentang
Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan yang dimulai dari permendiknas Nomor 18
Tahun 2007, Nomor 11 Tahun 2008, Nomor 10 Tahun 2009, Nomor 11 Tahun
2011 serta Nomor 5 Tahun 2012.
Peraturan Manteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia tentang
Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan ini menjadi landasan dalam pelaksanaan
Sertifikasi Guru di Indonesia dan Permendiknas ini hampir setiap tahun
mengalami perubahan dan penambahan isi yang selalu disesuaikan dengan kondisi
dan perkembangan serta pelaksanaan sertifikasi guru di Indonesia.
(http://umk.ac.id/index.php/problem-di-sekitar-sertifikasi-guru, diakses 10
Oktober 2013)
Meskipun Permendiknas tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan ini
hampir setiap tahun mengalami perubahan, namun dalam pelaksanaannya tentu
saja masih terdapat beberapa kendala yang menyebabkan pelaksanaan sertifikasi
tidak berjalan mulus sesuai dengan yang diharapkan.
guru berhak mengikuti sertifikasi adalah guru yang diangkat menjadi guru
sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan
dosen pada tanggal 30 Desember 2005. Kondisi ini menyatakan bahwa guru yang
diangkat setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 belum
berhak mengikuti sertifikasi guru. Pernyataan ini menimbulkan aksi negatif dan
tindakan yang menghalalkan segala cara oleh para guru untuk mendapatkan SK
pengangkatan sebagai guru tahun 2005 bekerjasama dengan kepala sekolah dan
yayasan.
Pelaksanaan sertifikasi guru dapat ditempuh oleh guru dalam 4 jalur yaitu
jalur dokumen portofolio, Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG),
Pemberian Sertifikat Pendidik secara Langsung (PSPL) dan Pendidikan Profesi
Guru (PPG). Khusus jalur portofolio para peserta diberikan kesempatan untuk
mengumpulkan dokumen portofolio berupa bukti fisik yang meliputi beberapa
komponen. Salah satu komponen yang seringkali menjadi masalah adalah point
keikutsertaan dalam forum ilmiah yang dibuktikan dengan adanya sertifikat. Cara
dalam perolehan sertifikat ini juga menjadi masalah karena sertifikat seringkali
didapatkan dengan cara hanya membeli sertifikat tanpa harus mengikuti forum
ilmiah tersebut.
Setiap peserta yang akan mengikuti sertifikasi guru tahun 2012 dan tahun
selanjutnya, terlebih dahulu diwajibkan mengikuti Uji Kompetensi Awal (UKA).
Ujian ini dilaksanakan berdasarkan bidang studi yang diampu oleh peserta. Pada
tahap awal, sosialisasi terhadap UKA ini juga tidak merata di setiap kacamatan
dan kabupaten/kota. Ada daerah yang melakukan sosialisasi namun ada juga yang
guru harus dimulai dengan pelaksanaan UKA yang sebelumnya harus
disosialisasikan terlebih dahulu kepada guru. Pada tahap pelaksanaannya, UKA
juga mengalami masalah diantaranya soal-soal yang diajukan ternyata ada yang
tidak relevan dengan bidang studi yang diampu dan ditambah lagi dengan sarana
yang tidak memadai. Hal ini banyak menimbulkan protes dari peserta (guru) yang
berakibat tidak mampunya peserta dalam menjawab soal.
Dalam penelitian sebelumnya oleh Andhi Suhada (2012) yang berjudul
“Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru pada Sekolah Menengah Atas Negeri di
Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu” dijelaskan bahwa dari segi
komunikasi berupa sosialisasi di Indramayu sudah berjalan dengan baik, kondisi
sumberdaya yang dimiliki juga menguasai IT dan komunikasi serta memiliki
komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugas. Namun demikian ada beberapa
saran yang harus diperhatikan seperti singkatnya waktu yang diberikan dalam
proses sosialisasi membuat materi sosialisasi menjadi kurang efektif. Dari segi
sumberdaya disarankan agar jumlah personil panitia sertifikasi guru di Indramayu
ditambah, disebabkan oleh banyaknya guru yang harus dilayani dan
membutuhkan waktu penanganan yang cepat.
Winarsih (2008) dalam penelitian berjudul “Implementasi kebijakan
sertifikasi guru sekolah dasar (studi kasus di Kabupaten Semarang)” dijelaskan
bahwa : Implementasi sertifikasi guru SD di Kabupaten Semarang secara umum
sudah berjalan dengan baik. Pada faktor komunikasi dan konsistensi informasi
juga baik, namun dari kejelasan informasi antara lain mengenai persyaratan masa
dianggap kurang. Dari segi sarana dan prasarana maupun anggaran khusus
peleksanaan sertifikasi di Kabupaten Semarang tidak ada.
Dari beberapa hasil penelitian di atas memang diakui bahwa masa transisi
dari tahun 2010 ke tahun 2011 terdapat perobahan dalam penetapan kriteria
penentuan peserta sertifikasi guru (kuota) yang mengikuti sertifikasi guru. Tahun
2010 kriteria pertama adalah peserta yang memiliki masa mengajar paling lama,
kriteria kedua jumlah usia serta pangkat dn golongan . Tahun 2011 dan seterusnya
ketentuan tersebut menjadi terbalik, kriteria utama terletak pada usia kemudian
disusul oleh masa mengajar yang paling lama. Perobahan ketentuan seperti ini
juga akan membuat peserta akan menjadi bingung.
Akhirnya pelaksanaan sertifikasi guru akan bermuara kepada peningkatan
kompetensi guru dan pemberian tunjangan profesi guru untuk guru yang telah
dinyatakan lulus dan mendapatkan sertifikat pendidik. Tunjangan profesi guru ini
seharusnya di berikan kepada guru setiap bulannya. Namun pada kenyataannya
pemberian tunjangan profesi guru ini mengalami hambatan terbukti dengan tidak
lancarnya tunjangan tersebut sampai ke guru. Ternyata ada guru yang
mendapatkannya per tiga bulan, ada juga yang per enam bulan dan bahkan ada
juga yang per satu tahun dan yang menyedihkan ternyata masih ada guru yang
sama sekali belum memperoleh tunjangan profesi guru meskipun sudah lebih dari
satu tahun lulus sertifikasi guru.
(http://www.suriansyah.com/2012/11/sertifikasi-guru-antara-tuntutan-kesejahteraan-dan-profesioanlisme.htm, diakses 06
November 2013)
Berkenaan dengan standar kualifikasi akademik, maka kondisi guru di
total jumlah guru di Indonesia (dari TK sampai SLTA, termasuk madrasah, swasta
maupun negeri) yang berjumlah 2.777.802 guru, baru 34,49% atau sekitar
958.056 guru yang memiliki kualifikasi S-1. Dengan perincian sebagai berikut,
guru SLTP yang berjumlah 686.402, baru 53,47% yang sudah memiliki
kualifikasi S-1. Guru SLTA dengan jumlah 312.616 guru yang terdiri dari SMA
dan MA, baru 68,78% sudah berkualifikasi S-1. Di SMK dari 168.031 guru,
64,70% juga sudah berkualifikasi S-1. Guru SD dan MI, baik negeri maupun
swasta merupakan kelompok guru dengan jumlah paling banyak yang belum
berkualifikasi S-1, yaitu dari 1.452.809 guru, baru 9,01% yang berkualifikasi S-1,
sekitar 130.898 guru. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri dalam mendongkrak
mutu pendidikan di Indonesia (data Balitbang dan Dirjen PMPTK Depdiknas,
2004).
Pencapaian standar kualifikasi akademik dan penguasaan kompetensi guru
dibuktikan melalui sertifikat pendidik yang diperoleh melalui program sertifikasi.
Jika seorang guru yang telah memiliki kedua persyaratan ini maka diharapkan
guru tersebut menjadi guru yang profesional yang akan mampu mewujudkan
pendidikan nasional yang bermutu. Kebijakan pemerintah mengenai pelaksanaan
sertifikasi guru muncul dari tuntutan penciptaan sosok guru yang profesional.
Profesionalitas seorang guru di atas kertas dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Dengan dimilikinya sertifikat pendidik tersebut maka ada beberapa harapan dan
konsekuensi yang diemban oleh guru yang profesional tersebut antara lain, (1)
menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik
kesejahteraan guru, (4) meningkatkan martabat guru, dalam rangka mewujudkan
pendidikan nasional yang bermutu.
Dari keempat konsekuensi pelaksanaan sertifikasi guru tersebut ada satu
tujuan yang sebenarnya hanya sebagai instrumen dari pelaksanan sertifikasi guru
tapi kemudian dijadikan sebagai tujuan utama oleh sebagian guru. Instrumen
peningkatan kesejahteraan guru inilah yang menjadi polemik dan masalah dalam
motivasi seorang guru untuk mengikuti program sertifikasi guru yang seharusnya
berbuntut kepada penciptaan profesionalisme guru.
Kalaulah instrumen peningkatan kesejahteraan guru yang diikuti dengan
tunjangan profesi guru, ini menjadi tujuan utama dari sebagian guru untuk
mengikuti program sertifikasi guru maka bisa dipastikan bahwa profesionalisme
tidak akan terwujud. Tunjangan profesi guru hanyalah sebagai instrumen untuk
meningkatkan kinerja guru agar berdampak kepada peningkatan mutu pendidikan
nasional (http://sumsel.kemengag.go.id/file/dokumen/sertifikasi.pdf, diakses 10
Oktober 2013)
Disamping itu ada beberapa faktor yang seharusnya diperhatikan oleh
pemerintah dalam hal implementasi suatu kebijakan khususnya kebijakan program
sertifikasi guru. Indikator tersebut adalah komunikasi dan sosialisasi, ketersediaan
sumberdaya, sikap pelaksana serta prosedur kebijakan dan koordinasi antar pihak
yang terlibat.
Keempat faktor ini menjadi tolak ukur keberhasilan pelaksanaan sertifikasi
guru di Indonesia umumnya dan Medan pada khususnya yang akan dibahas dalam
bab selanjutnya. Dari keempat faktor ini kita akan bisa menilai apakah
Pelaksanaan sertifikasi guru yang mengacu kepada Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan
dilakukan secara bertahap sesuai dengan ketersediaan dana, baik dana untuk
pelaksanaan sertifikasi maupun dana untuk tunjangan profesi pendidik bagi guru
yang lulus sertifikasi. Dalam awal pelaksanaannya yang dimulai dari tahun 2007
sampai dengan 2012 tentunya banyak kendala yang dihadapi baik dari segi
peraturan yang tidak konsisten maupun dari segi teknis pelaksanaannya di
lapangan yang tentunya melibatkan banyak pihak mulai dari peserta/guru, kepala
sekolah, dinas pendidikan kab./kota, LPMP, LPTK dan BSDMP dan PMP.
Penelitian ini akan membahas secara lebih mendalam tentang
implementasi kebijakan serta faktor-faktor apa saja yang mungkin menjadi
kendala dalam pelaksanaan Sertifikasi Guru khususnya di Kota Medan.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana Implementasi kebijakan sertifikasi guru di Kota Medan.
b. Kendala apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan sertifikasi guru.
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
2. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dialami dalam proses
pelaksanaan sertifikasi guru yang sudah berlangsung selama ini yang dapat
dijadikan sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi pembuat
kebijakan.
1.4.Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat kepada beberapa pihak, baik
secara teoritis maupun secara praktis, manfaat tersebut adalah :
1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan memberikan
gambaran objektif serta mendalami permasalahan pelaksanaan sertifikasi
guru yang ditinjau dari segi implementasinya yang meliputi proses
pelaksanaan, hasil yang diperoleh serta sasaran kebijakan.
2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan guru-guru dan
lembaga penyelenggara sertifikasi seperti Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Pendidikan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan,
(BPSDMPK dan PMP), Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota,
LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan) SUMUT, Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) agar lebih mengetahui dan
memahami peranannya dalam mengaktualisasikan kebijakan pemerintah
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Kebijakan
Seringkali Istilah kebijakan atau kebijaksanaan disamakan pengertiannya
dengan istilah policy. Hal ini disebabkan oleh belum diketahui dan belum
dijumpainya terjemahan yang tepat sampai saat ini untuk istilah policy ke dalam
Bahasa Indonesia.
Pengertian Policy atau kebijakan, Donovan dan Jackson dalam Keban
(2004: 55) menjelaskan bahwa policy dapat dilihat secara filosofis, sebagai suatu
produk, sebagai suatu proses dan sebagai kerangka kerja. Sebagai suatu konsep
filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan;
sebagai suatu produk, kebijakan dipandang sebagai serangkaian kesimpulan atau
rekomendasi; sebagai suatu proses, kebijakan dipandang sebagai suatu cara
dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang
diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya dan
sebagai kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar dan
negoisasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya.
Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk
mengarahkan keputusan. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada masalah
(problem-oriented) dan juga berorientasi kepada tindakan (action-oriented),
sehingga dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat
Sementara James E. Anderson dalam Wahab (2008:2), memberikan
rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok,
instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
Pendapat yang lain adalah dari Carl Friedrich dalam Wahab (2008:2) yang
menyatakan bahwa kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan
yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan
tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari
peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang
diinginkan.
Dari beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh
para ahli tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi
tentang policy (kebijakan) mencakup pertanyaan : what, why, who, where, dan
how. Semua pertanyaan itu menyangkut tentang masalah yang dihadapi
lembaga-lembaga yang mengambil keputusan yang menyangkut; isi, cara atau prosedur
yang ditentukan, strategi, waktu keputusan itu diambil dan dilaksanakan.
2.2. Pengertian Kebijakan Publik
Defenisi kebijakan publik menurut Nugroho (Nugroho R, 2003) adalah
suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku
mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai deng
bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan di depan masyarakat
oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi. Sedangkan menurut
Thomas Dye (Dye, 1992) kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan
dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang
holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya
dan berdampak kecil dan sebaliknya tidak menimbulkan persoalan yang
merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang
dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu
kebijakan.
Kebijakan publik/pemerintah merupakan rangkaian pilihan yang kurang
lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak)
yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah (Dunn, 2003).
Kebijakan publik/pemerintah merupakan keputusan politik yang
dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Kebijakan tersebut dirumuskan
oleh “otoritas” dalam sistem politik yaitu para senior, kepala tertinggi, eksekutif,
legislatif, para hakim, administrator, penasehat raja, dan sebagainya (Easton 1965
dalamAgustino, 2008).
Dalam buku III SANKRI oleh Lembaga Administrasi Negara Republik
Indonesia (2004:193), yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah keputusan
atau seperangkat keputusan-keputusan untuk menghadapi situasi atau
permasalahan, yang mengandung nilai-nilai tertentu, memuat ketentuan tentang
tujuan, cara dan sarana serta kegiatan untuk mencapainya. Kebijakan publik
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Pemerintah yang berwenang
menyelenggarakan pemerintahan negara dan pembangunan negara. Dari sudut
penyelenggara pemerintahan negara, kebijakan publik berlangsung pada seluruh
Sementara itu, Carl I. Friedrich dalam Budi Winarno (2002:16)
menjelaskan bahwa kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang
diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu,
dengan ancaman dan peluang yang ada, dimana kebijakan yang diusulkan tersebut
ditujukan untuk memanfaatkan potensi dan sekaligus mengatasi hambatan yang
ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Definisi yang diberikan oleh Carl
Friedrich menyangkut dimensi yang luas karena tidak hanya dipahami sebagai
tindakan yang dilaukan oleh pemerintah , tetapi juga oleh kelompok maupun oleh
individu.
Seorang analis kebijakan R.S Parker (1975) menyatakan bahwa kebijakan
publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian asas tertentu atau tindakan
yang dilaksanakan pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan
suatu obyek atau sebagai respon terhadap suatu keadaan yang krisis (Wahab,
2008). Sebagai suatu peraturan, kebijakan publik mempunyai karakteristik yang
satu dengan lainnya saling mendukung. Karakteristik dimaksud adalah:
a. Kebijakan bersifat ganda (berantai), tidak berdiri sendiri secara
tunggal.
b. Kebijakan yang satu terkait dengan kebijakan yang lain yang
merupakan mata rantai berkesinambungan.
c. Kebijakan harus didukung oleh suatu sistem. Kegagalan suatu sistem
politik akan berpengaruh terhadap suatu kebijakan pemerintah.
d. Kebijakan harus dapat mengubah atau mempengaruhi suatu keadaan
yang almost possible menjadi possible. Kebijakan harus dapat
e. Kebijakan yang baik harus didukung dengan informasi yang lengkap
dan akurat. Informasi yang tidak lengkap dan akurat akan
mengakibatkan salah pandang dan salah penafsiran dalam
mengaplikasikan suatu kebijakan.
Dari beberapa pendapat yang disampaikan oleh berbagai pakar maka
peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah sebuah
kebijakan yang diambil oleh pengambil keputusan (dalam hal ini adalah pejabat
negara atau pejabat pemerintahan) dalam kaitannya dengan mengatasi problem
yang ada di tengah-tengah masyarakat yang tentunya dengan menggunakan
tahapan, matode dan cara-cara tertentu.
Berhubungan dengan pelaksanaan sertifikasi guru maka kebijakan publik
tentunya diambil dalam mengatasi atau membenahi keberadaan guru yang tidak
lain tujuannya adalah peningkatan kualitas dan mutu guru agar dapat menjadi pilar
dalam pembangunan khususnya pembangunan di bidang pendidikan dan sumber
daya manusia.
2.3. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Pengertian implementasi disampaikan oleh Charles O. Jones (1994) yang
menyatakan bahwa implementasi sebagai “getting the job done” dan “doing it”.
Secara umum Jones menyatakan bahwa implementasi adalah sebuah pekerjaan
yang mudah dan sederhana, namun dibalik semuanya itu ada beberapa faktor
pendukung yang juga sangat berpengaruh antara lain ; adanya implementator,
Implementasi adalah sebuah proses interaksi antara penentuan tujuan dan
tindakan untuk mencapai tujuan. Ini pada dasarnya adalah kemampuan untuk
membangun hubungan dalam mata rantai sebab akibat agar kebijakan bisa
berdampak (Parsons, 2006;466).
Semantara itu Ripley dan Franklin berpendapat bahwa Implementasi
adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan
otoritas program, kebijakan, keuntungan, atau suatu jenis keluaran yang nyata
(tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang
mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil yang
diinginkan oleh para pejabat pemerintah (Ripley dan Franklin, 1982:4).
Implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, di mana
pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada
akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran
kebijakan (Agustino, 2008). Ada tiga hal penting dari pengertian implementasi
kebijakan, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas
atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan.
Implementasi kebijakan paling sedikit mengandung tiga makna, yaitu : (a)
implementasi sebagai suatu proses atau pelaksanaan kebijakan, (b) implementasi
sebagai suatu keadaan akhir atau pencapaian sutau kebijakan, dan (c)
implementasi sebagai proses pelaksanaan dan pencapaian tujuan sebuah
kebijakan. Implementasi sebagai proses pelaksanaan, dilihat dari segi arti kata
(lexicographic), implementasi itu berasal dari kata dalam bahasa Inggeris “to
implement” berarti carry an undertaking, agreemant, pomise into effect, tanpa
Konsep kedua lebih melihat implementasi sebagai fungsi antara tujuan yang
ditetapkan dengan hasil yang ingin dicapai (output dan outcome), sedangkan
konsep ketiga melihat implementasi sebagai perpaduan antara dua konsep
sebelumnya, yang menyatakan bahwa implementasi kebijakan sebagai fungsi
antara kebijakan, pengambil kebijakan, pelaksana, waktu pelaksanaan dan hasil
yang ingin dicapai.
Implementasi kebijakan adalah proses bagaimana mentranformasikan
input (tujuan dan isi kebijakan) ke dalam bentuk rangkaian tindakan operasional
guna mewujudkan hasil yang diinginkan oleh kebijakan tersebut (outputs dan
outcomes). Outputs adalah hasil langsung dari pengimplementasian kebijakan,
sedangkan outcomes adalah dampak perubahan yang terjadi setelah kebijakan
dilaksanakan.
Pada prinsipnya ketika kebijakan diluncurkan, maka kebijakan tersebut
harus dapat memberikan dampak yang positif terhadap kondisi semula. Oleh
karena itu perlu adanya ukuran efektifitas dari kebijakan itu. Yang diperlukan
dalam pengukuran efektifitas suatu kebijakan adalah:
a. Efesien, artinya kebijakan harus dapat meningkatkan efesiensi kondisi
sekarang dibanding kondisi yang lalu.
b. Fair, artinya adil yaitu bahwa kebijakan harus dapat ditempatkan
secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
c. Insentif, artinya bahwa kebijakan yang diambil harus dapat
memberikan rangsangan bagi masyarakat untuk dapat melakukan
d. Enforceability, artinya mempunyai kekuatan untuk menegakkan
hukum. Kebijakan tidak akan berjalan efektif apabila kondisi
penegakan hukum yang lemah (poor law enforcement).
e. Public acceptability, artinya dapat diterima oleh masyarakat.
f. Moral, artinya bahwa kebijakan harus dilandasi dengan etika.
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas,
merupakan tahap dari kebijakan segera setelah penetapan undang-undang. Ini
mempunyai makna bahwa implementasi adalah pelaksanaan undang-undang
dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama untuk
menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau
program-program. Implementasi di sisi yang lain merupakan fenomena yang
kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran
(output) maupun sebagai suatu dampak (Lester dan Stewart, 2000).
Implementasi kebijakan adalah fase yang sangat menentukan di dalam
proses kebijakan, bisa jadi fase ini menjadi tahap yang sangat krusial karena
menyangkut dinamika, masalah atau problematika yang dihadapi sehingga akan
berimbas pada dampak dan tujuan dari kebijakan publik. Oleh karena itu
dibutuhkan proses implementasi yang efektif, tanpa adanya implementasi yang
efektif keputusan-keputusan yang dibuat oleh pengambil keputusan tidak akan
berhasil dan sukses.
2.4. Model Implementasi Kebijakan Publik
Sejumlah teori tentang implementasi kebijakan menegaskan bahwa
kebijakan publik. Dalam studi implementasi kebijakan, faktor-faktor yang
mempengarui keberhasilan implementasi kebijakan seperti yang diteoritisasi oleh
para ahli terbagi dalam banyak model.
Model implementasi kebijakan dari George C. Edward III menyatakan
bahwa Implementasi sebuah program atau kebijakan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yakni :
a. Komunikasi
Komunikasi sangat diperlukan bagi terselenggaranya sebuah kebijakan.
Kebijakan tidak akan bisa dipahami oleh pelaksana kebijakan tanpa
adanya penjelasan apa dan bagaimana kebijakan tersebut akan
direalisasikan. Sosialisasi merupakan salah satu sarana yang bisa dipakai
untuk melakukan proses komunikasi. Terdapat 3 unsur yang harus
diperhatikan dalam melakukan proses komunikasi, yaitu :
1. Transmisi atau cara penyampaian informasi ; Transmisi ini mengacu
kepada cara penyampaian informasi yang efektif, yang dapat dipahami
oleh para pelkksana kebijakan. Kesesuaian tujuan antara konsep dan
pelaksanaan merupakan tujuan dari penyampaian informasi.
2. Kejelasan (clarity) ; Kejelasan ini mengandung makna bahwa informasi
yang disampaikan harus memiliki kejelasan dalam tujuan, sasaran dan
aplikasinya supaya pelaksana kebijakan memiliki pandangan yang sama
akan konsep kebijakan tersebut.
3. Konsistensi ; Konsistensi berarti tetap, tidak berubah-ubah sehingga
kebijakan merupakan hal yang penting untuk dilakukan supaya tepat
sasaran. Hal ini juga diperlukan untuk mencegah terjadinya resistensi.
b. Sumberdaya
Sebuah kebijakan yang terstruktur, terencana dan memiliki konsep yang
jelas tentunya merupakan syarat sebuah kebijakan yang baik. Namun
ketika kebijakan tersebut hendak dilaksanakan tapi sumber daya atau
pelaksana kebijakan tidak memadai dari segi jumlah dan kualitas maka ini
merupakan sesuatu yang agak sia-sia. Sebaik apapun kebijakan
dirumuskan jika pelaksana (sumberdaya manusianya) tidak memadai maka
kebijakan tersebut juga tidak akan optimal. Semberdaya yang dimaksud
oleh Edward III adalah :
4. Staf ; Kecukupan jumlah (kuantitas) dan kemampuan (kualitas) staf
dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan merupakan kunci
pokok keberhasilan sebuah kebijakan.
5. Informasi ; Ada dua hal yang berhubungan dengan informasi.
Pertama, apakah ada petunjuk atas pelaksanaan kebijakan yang
dimaksud. Hal ini sangat diperlukan supaya pelaksana kebijakan tahu
apa yang harus dikerjakan. Kedua, apakah kebijakan tersebut memiliki
landasan hukum sebagai dasar legitimasi kebijakan tersebut.
6. Kewenangan ; Harus menjadi perhatian bagi pembuat kebijakan
apakah pelaksana kebijakan memiliki wewenang dalam melaksanakan
pekerjaannya, sebatas apakah otoritas yang dimilikinya dalam
7. Fasilitas ; Fasilitas yang memadai sangat menunjang dalam
pelaksanaan sebuah kebijakan. Bayangkan jika sebuah pekerjaan yang
dilakukan tanpa adanya fasilitas berupa sarana dan prasarana.
c. Disposisi
Pengertian disposisi dalam hal ini diartikan sebagai sebuah sikap dan
komitmen. Sikap dan komitmen terbentuk dari pengetahuan/pengalaman
terhadap sesuatu (kebijakan). Jika pengetahuan /pengalaman terhadap
sesuatu tersebut buruk maka akan berakibat apatis dan buruk tapi jika
sebaliknya maka akan terjadi sikap simpati yang akan berakibat kepada
dukungan (positif). Disposisi ini terdiri dari :
1. Efek disposisi ; Efek disposisi ini merupakan sikap negatif yang
dimiliki oleh pelaksana kebijakan. Efek negatif timbul oleh adanya
sikap yang apatis, tidak senang, tidak mendukung terhadap sebuah
kebijakan. Efek apatis ini sangat fatal akibatnya karena sikap ini bukan
saja hanya tidak memaksimalkan hasil sebuah kebijakan tetapi juga
bisa berakibat fatal kepada pengalihan tujuan kebijakan.
2. Penempatan staf ; Penempatan staf yang tepat akan mendukung
terlaksananya sebuah kebijakan. Sikap pelaksana sangat
mempengaruhi berjalannya sebuah kebijakan. Sikap pelaksana yang
tidak mengimplementasikan kebijakan susuai dengan keinginan atasn
akan menjadi penghalang bagi implementasi. Pemindahan dan
penggantian staf sangat dimungkinkan dalam hal ini demi suksesnya
3. Insentif ; Salah satu cara untuk menghadapi sikap pelaksana kebijakan
yang memiliki sikap/etos kerja yang kurang baik adalah dengan
pemberian insentif. Dengan pemberian insentif ini diharapkan mereka
dapat bekerja lebih baik.
d. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi sangat menunjang bagi sebuah implementasi kebijakan.
Hal ini memungkinkan berjalannya implementasi di atas roda kepastian
dan ketentuan. Struktur birokrasi membuat segalanya akan menjadi lebih
sistematis dengan aturan yang jelas. Struktur biraokrasi oleh Edward III
adalah mekanisme kerja yang dibentuk untuk mengelola pelaksanaan
sebuah kebijakan. Ia menekankan perlu adanya Standar Operasional
Prosedur (SOP) yang mengatur tata aliran pekerjaan diantara para
pelaksana, terlebih jika pelaksanaan program melibatkan lebih dari satu
institusi. Diharapkan struktur birokrasi yang ada dibuat sesederhana
mungkin, hal ini sangat berguna dalam efektifitas dan prosedur pekerjaan.
Struktur birokrasi terdiri dari :
1. Prosedur pelaksanaan ; Prosedur pelaksanaan atau yang lebih dikenal
dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan acuan bagi
pelaksana kebijakan dalam melaksanakan tugasnya.
2. Pembagian tanggungjawab ; Sebaiknya pemegang sebuah
tanggungjawab dipegang oleh sedikit orang. Semakin banyak
pemegang tanggungjawab maka akan semakin kecil kemungkinan
tindihnya tugas dan tanggung jawab akan memperparah kondisi
pelaksanaan sebuah kebijakan.
Jadi dengan berdasar pada penjelasan di atas, maka faktor komunikasi,
sumber daya, disposisi/ kecenderungan implementor, dan struktur birokrasi
mempengaruhi derajat keberhasilan implementasi kebijakan. Masing-masing
faktor tersebut saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lainnya, yang
pada akhirnya mempengaruhi implementasi kebijakan.
Berikut ini kita dapat melihat bagan model implementasi kebijakan yang
dibuat oleh George C. Edward III.
(Sumber : Edward III, 1980:148)
Gambar 2.1. Bagan Model George C. Edward III
Model Implementas Donald Van Meter dan Horn menggambarkan bahwa
implementasi kebijakan berjalan secara beralur lurus yang dimulai dari kebijakan
publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Menurut Meter dan Horn ada
Communication
Bueraucratic Structure
Resources
Disposition
a. Standar dan sasaran kebiijakan;
b. Sumberdaya;
c. Aktivitas implementasi dan komunikasi organisasi;
d. Karakteristik agen pelaksana/implementor;
e. Kondisi ekonomi, sosial dan politik;
f. Kecenderungan (desposition) pelaksana/implementor.
Sumber : Riant Nugroho, 2008:628
Gambar 2.2. : Bagan Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn
2.5. Sertifikasi
a. Latar Belakang Sertifikasi
Pendidik (guru) adalah tenaga profesional sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 39 ayat 2, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 2 ayat 1, UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
dan Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Mengacu pada landasan yuridis dan kebijakan tersebut, secara
tegas menunjukkan adanya keseriusan dan komitmen yang tinggi pihak
Pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme dan penghargaan
kepada guru yang muara akhirnya pada peningkatan kualitas pendidikan
nasional.
Sesuai dengan arah kebijakan di atas, Pasal 42 UU RI No. 20 Tahun
2003 mempersyaratkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum
dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani,
serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan; dan Pasal 8 UU RI No 14, 2005 yang
mengamanatkan bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal
S1/DIV dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, yang meliputi
kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial. Kompetensi guru
sebagai agen pembelajaran secara formal dibuktikan dengan sertifikat
pendidik. Kualifikasi akademik minimum diperoleh melalui pendidikan tinggi
dan sertifikat kompetensi pendidik diperoleh setelah lulus ujian sertifikasi.
Pengertian sertifikasi secara umum mengacu pada National
Commision on Educational Services (NCES) disebutkan“Certification is a
procedure whereby the state evaluates and reviews a teacher candidate’s
credentials and provides him or her a license to teach”. Dalam kaitan ini, di
(AACTE). Badan independen ini yang berwenang menilai dan menentukan
apakah ijazah yang dimiliki oleh calon pendidik layak atau tidak layak untuk
diberikan lisensi pendidik. Persyaratan kualifikasi akademik minimal dan
sertifikasi bagi pendidik juga telah diterapkan ole beberapa negara di Asia. Di
Jepang, telah memiliki undang-undang tentang guru sejak tahun 1974, dan
undang-undang sertifikasi sejak tahun 1949. China sendir telah memiliki
undang-undang guru tahun 1993 dan peraturan pemerintah yang mengatur
kualifikasi guru diberlakukan sejak tahun 2001. Begitu juga di Philipina dan
Malaysia belakangan ini telah mempersyaratkan kualifikasi akademik
minimun dan standar kompetensi bagi guru.
Di Indonesia, menurut UU RI No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi
persyaratan kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran.
Sertifikat pendidik diberikan kepada seseorang yang telah menyelesaikan
program pendidikan profesi pendidik dan lulus uji sertifikasi pendidik. Dalam
hal ini, ujian sertifikasi pendidik dimaksudkan sebagai kontrol mutu hasil
pendidikan, sehingga seseorang yang dinyatakan lulus dalam ujian sertifikasi
pendidik diyakini mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih,
membimbing, dan menilai hasil belajar peserta didik. Namun saat ini,
mengacu pada Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi
Guru dalam Jabatan disebutkan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan
dilaksanakan melalui uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio alias
b. Pengertian Sertifikasi
Carol Seefeldt (1988:241), mengatakan sertifikasi guru adalah
suatu metode yang digunakan untuk meningkatkan kualitas dan status
profesi mengajar. Dalam hal ini sertifikasi guru diartikan sebagai
prosedur untuk meningkatkan kualitas guru sehingga memenuhi
persyaratan profesi sebagai pengajar.
Disamping itu Nata Atmajaya dalam E. Mulyasa (2009:34)
menyatakan bahwa sertifikasi adalah prosedur yang digunakan oleh pihak
ketiga untuk memberikan jaminan tertulis bahwa sesuatu produk, proses
atau jasa telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Dalam pengertian
ini dinyatakan bahwa sertifikat adalah sebagai syarat atau jaminan untuk
menyatakan bahwa guru layak untuk melaksanakan profesinya sebagai
guru.
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk
guru yang telah memenuhi standar kompetensi guru. Sertifikasi guru
bertujuan untuk: (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan
tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, (2) meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, (3)
meningkatkan martabat guru, (4) meningkatkan profesionalitas guru.
c. Prinsip Sertifikasi
1) Dilaksanakan secara objektif, transparan dan akuntabel
Objektif yaitu mengacu kepada proses perolehan sertifikat pendidik
memberikan peluang kepada para pemangku kepentingan pendidikan
untuk memperoleh akses informasi tentang pengelolaan pendidikan,
yang sebagai suatu sistem meliputi masukan, proses, dan hasil
sertifikasi. Akuntabel merupakan proses sertifikasi yang
dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan pendidikan
secara administratif, finansial, dan akademik.
2) Berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional melalui
peningkatan mutu guru dan kesejahteraan guru
Sertifikasi guru merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan
mutu guru yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru.
Guru yang telah lulus uji sertifikasi guru akan diberi tunjangan profesi
sebesar satu kali gaji pokok sebagai bentuk upaya Pemerintah dalam
meningkatkan kesejahteraan guru. Tunjangan tersebut berlaku, baik
bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun bagi guru
yang berstatus non-pegawai negeri sipil (non PNS/swasta). Dengan
peningkatan mutu dan kesejahteraan guru maka diharapkan dapat
meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia
secara berkelanjutan.
3) Dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan
Program sertifikasi pendidik dilaksanakan dalam rangka memenuhi
amanat Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Republik
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
4) Dilaksanakan secara terencana dan sistematis
Agar pelaksanaan program sertifikasi dapat berjalan dengan efektif dan
efesien harus direncanakan secara matang dan sistematis. Sertifikasi
mengacu pada kompetensi guru dan standar kompetensi guru.
Kompetensi guru mencakup empat kompetensi pokok yaitu kompetensi
pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial, sedangkan standar
kompetensi guru mencakup kompetensi inti guru yang kemudian
dikembangkan menjadi kompetensi guru TK/RA, guru kelas SD/MI,
dan guru mata pelajaran.
5) Menghargai pengalaman kerja guru
Pengalaman kerja guru disamping lamanya guru mengajar juga
termasuk pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti, karya yang
pernah dihasilkan baik dalam bentuk tulisan maupun media
pembelajaran, serta aktifitas lain yang menunjang profesionalitas guru.
Hal ini diyakini bahwa pengalaman kerja guru dapat memberikan
tambahan kompetensi guru dalam mengajar.
6) Jumlah peserta sertifikasi guru ditetapkan oleh pemerintah
Untuk alasan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan sertifikasi guru serta
penjaminan kualitas hasil sertifikasi, jumlah peserta pendidikan profesi
dan uji kompetensi setiap tahunnya ditetapkan oleh pemerintah.
dan Kabupaten/Kota. Penyusunan dan penetapan kuota tersebut
didasarkan atas jumlah data individu guru per Kabupaten/ Kota yang
masuk di pusat data Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan. (Depdiknas, 2010:10)
2.6. Defenisi Konsep
1. Implementasi adalah aktivitas-aktivitas yang terjadi setelah penerbitan
perintah dari otoritas pemangku kebijakan publik termasuk
usaha-usaha baik dari aspek pelaksana dan dampak substantifnya terhadap
rakyat
2. Implementasi kebijakan adalah arah tujuan yang ditetapkan serta
dapat direalisasikan sebagai kebijakan pemerintah. Kebijakan yang
telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah
jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam
implementasinya. Implementasi dari suatu program melibatkan
upaya-upaya policy mekers untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana
agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kolompok
sasaran.
3. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan
dosen. (Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen)
4. Sertifikat Pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang
diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
5. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
emngajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
(Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen)
6. Sertifikasi Guru adalah program pemerintah yang bertujuan untuk
menjamin, menciptakan keberadaan guru yang profesional demi
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Program sertifikasi ini
berharap banyak akan munculnya guru-guru yang memiliki kualifikasi
dan kompetensi yang akan mengacu kepada profesionalitas guru.
7. Profesional adalah perkerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang
memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
(Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen)
8. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan
prilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen
dalam melaksanakan tugas keprofesinalan. (Undang Undang RI
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen)
9. Tunjangan Profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru dan
dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas
profesionalitasnya. (Peraturan Pemerintah RI No. 41/2009, Tentang
2.7. Kerangka Pemikiran
Berpedoman kepada teori yang dikemukakan oleh George C. Edward,
maka implementasi kebijakan dipengaruhi oleh lima faktor yaitu ; sumber daya,
komunikasi, sikap para pelaksana serta struktur birokrasi. Dengan adanya empat
faktor tersebut maka penulis akan menggunakannya sebagai bahan atau alat untuk
mengetahui bagaimana implementasi kebijakan sertifikasi guru di Kota Medan.
Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran dapat dilihat dari bagan berikut ini :
Gambar 2.3. Bagan Alur Krangka Pemikiran Penelitian
Sumber Daya Komunikasi
Disposisi Implementor
Temuan-Temuan
Kerangka Teoritik
Latar Belakang, Rumuasan Masalah,
Tujuan Penelitian
Observasi, Wawancara, Dokumentasi
Struktur Birokrasi
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Format
penelitian kualitatif yang dipilih untuk meneliti implementasi kebijakan adalah
format kualitatif deskriptif, yaitu ; sebuah format yang bertujuan untuk
menggambarkan dan menjelaskan bagaimana implementasi kebijakan Sertifikasi
Guru di Kota Medan yang seharusnya dan idealnya berpatokan kepada Prosedur
Operasional Standar dalam Sertifikasi Guru untuk kemudian membandingkan
dengan fakta yang terjadi di lapangan dan sekaligus mencari dan menemukan
kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Sertifikasi Guru tersebut.
Penelitian ini juga akan menjelaskan dengan rinci berbagai kondisi dan
situasi serta fenomena realitas sosial di masyarakat tentang pelaksanaan Sertifikasi
Guru.
3.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kota Medan. Kota Medan ini dipilih
dengan beberapa alasan, antara lain :
1. Dari segi jumlah, guru yang sudah tersertifikasi di Kota Medan menduduki
peringkat pertama sejak dimulainya pelaksanaan sertifikasi hingga tahun
2012 yaitu sejumah 24.697 guru, kemudian diikuti peringkat kedua dan
2. Dari hasil pelaksanaan Uji Kompetensi Awal (UKA) tahun 2013 maka
Kota Medan memiliki hasil nilai rata-rata tertinggi untuk Sumatera Utara
bersamaan dengan dua kota lainnya yaitu Kota Pematang Siantar dan Kota
Binjai dengan nilai rata-rata 42, kemudian disusul oleh Kota Tebing
Tinggi, Kota Tanjung Balai dan Kab. Nias dengan jumlah rata-rata 41.
3.3. Informan Penelitian
Untuk memperdalam analisis data yang berkaitan dengan implementasi
sertifikasi guru di Kota Medan maka akan dilakukan wawancara secara mendalam
dengan Informan kunci :
a. Guru yang sudah tersertifikasi tahun 2007 sampai dengan tahun 2013
sebanyak 7 orang guru dengan rincian :
1. Guru tersertifikasi tahun 2007, inisial RS
2. Guru tersertifikasi tahun 2008, inisial FW
3. Guru tersertifikasi tahun 2009, inisial YH
4. Guru tersertifikasi tahun 2010, inisial RF
5. Guru tersertifikasi tahun 2011, inisial ZD
6. Guru tersertifikasi tahun 2012, inisial MS
7. Guru tersertifikasi tahun 2013, inisial SK
b. Panitia/Staf Pengelola Sertifikasi Guru di Dinas Pendidikan Kota
Medan, Irwansyah, S.Pd.
c. Panitia Sertifikasi Guru (PSG) di LPTK UMN Al-Washliyah, Drs. H.
Ridwanto, M.Si
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang
diperoleh langsung dari pihak yang memberikan informasi sedangkan sumber data
sekunder adalah sumber yang secara tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data. Yang dimaksud dengan data primer dalam penelitian ini adalah
key person (purposive sampling) yang menjadi objek wawancara penelitian
sedangkan dara sekunder adalah data yang berasal dari dokumen yang diperoleh
dari buku, bahan laporan dari instansi terkait, bahan dari internet, artikel atau
opini media massa. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan teknik-teknik sebagai berikut :
a. Observasi ; dilaksanakan dengan melakukan pengamatan secara langsung
terhadap obyek penelitian, dengan maksud memperoleh gambaran nyata
pada hasil temuan. Observasi ini dilakukan terhadap proses pelaksanaan
sertifikasi guru yang dimulai dari sosialisasi program sertifikasi guru di
tingkat Dinas Pendidikan Kota Medan, LPMP (Lembaga Penjaminan
Mutu Pendidikan), serta pelaksanaan sertifikasi guru berupa PLPG di
LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan)
b. Wawancara ; dilakukan terhadap respon yang telah ditentukan untuk
mendapatkan informasi yang lebih jelas dan mendalam dari beberapa
informan tentang berbagai hal yang diperlukan, yang berhubungan dengan
masalah penelitian.