• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Keberlanjutan Perikanan Ikan Terbang di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Keberlanjutan Perikanan Ikan Terbang di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBERLANJUTAN PERIKANAN

IKAN TERBANG DI KABUPATEN TAKALAR

SULAWESI SELATAN

RIANA SRI FITRIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Keberlanjutan Perikanan Ikan Terbang di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

Riana Sri Fitrianti NRP C252114031

(4)

RINGKASAN

RIANA SRI FITRIANTI. Analisis Keberlanjutan Perikanan Ikan Terbang di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh MOH. MUKHLIS KAMAL dan RAHMAT KURNIA.

Kabupaten Takalar merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan perairan Selat Makassar dan Laut Flores, yang juga menjadi setra penghasil perikanan laut yaitu ikan terbang dan telur ikan terbang untuk Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis potensi lestari atau maximum sustainable yield (MSY) dan upaya tangkap optimum (Fopt) serta pendugaan populasi induk ikan

dari aktivitas penangkapan, (2) menganalisis kelayakan usaha penangkapan telur ikan terbang, dan (3) menilai keberlanjutan kegiatan penangkapan ikan terbang.

Hasil analisis menunjukkan bahwa hasil tangkapan lestari (MSY) ikan terbang berdasarkan model Schaefer sebesar 818 ton/tahun dengan upaya tangkap optimum (Fopt) adalah 35711 trip. Hasil analisis juga memperlihatkan besarnya

populasi induk ikan terbang yang tertangkap dengan menggunakan jaring insang hanyut selama tahun 2012 yaitu sebesar 10.418.732 ekor, dengan perkiraan jumlah butir telur yang telah dikeluarkan yaitu sekitar 73.662.936.218 butir.

Usaha penangkapan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar dan Laut Seram masih menguntungkan dan layak dijalankan, karena nilai R/C Ratio yang diperoleh pada kedua lokasi lebih besar dari 1 (R/C > 1) dan BEP kedua lokasi masih berada diatas titik impas. Keuntungan rata-rata yang diperoleh nelayan di Selat Makassar dan Laut Seram masing-masing sebesar Rp 13.597.330 dan Rp 41.506.977. Nilai Payback Period menunjukkan bahwa membutuhkan waktu sekitar 8,15 tahun untuk mengembalikan modal awal (investasi) nelayan pada penangkapan di Selat Makassar dan sekitar 2,68 tahun untuk perairan Laut Seram. Status keberlanjutan perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar dikategorikan kurang berkelanjutan karena nilai indeks yang dihasilkan hanya sebesar 30.93. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa dari total 15 atribut yang digunakan, teridentifikasi 10 atribut sensitif yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan perikanan ikan terbang yaitu: jangkauan daerah penangkapan, ukuran ikan yang tertangkap, ikan yang tertangkap sebelum dewasa, pasar utama telur, harga jual, sumber modal kerja, pemanfaatan traditional ecological knowledge, sistem ponggawa-sawi, pola kerja, dan perubahan alat tangkap bale-bale. Sedangkan 5 atribut yang tersisa dikategorikan tidak sensitif.

Dengan demikian, penyusunan dan penerapan kebijakan yang dapat memperbaiki kondisi keberlanjutan perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar dianggap perlu dilakukan. Kebijakan pengelolaan diarahkan pada pengaturan upaya, lokasi dan waktu penangkapan, penggunaan alat tangkap yang selektif, penentuan ukuran ikan terbang yang diperbolehkan untuk ditangkap dan pengembangan alat tangkap yang efisien, penyediaan modal usaha bunga rendah, pemberian pelatihan kepada nelayan, penyediaan alternatif mata pencaharian, serta peningkatan peran pemerintah daerah setempat.

(5)

SUMMARY

RIANA SRI FITRIANTI. Sustainability Analysis of Flying Fish Fisheries in Takalar, South Sulawesi. Supervised by MOH. MUKHLIS KAMAL and RAHMAT KURNIA.

This study aimed to know some aspects of the biology of flyingfish are caught by drift gillnet in Takalar (CPUE, MSY, and Parent Fish Populations), analyze the contribution of fishing effort in Makassar Strait dan Seram Sea, and determine the status of sustainable management of flying fish commodities in Takalar based on Rapid Appraisal for Fisheries Sustainability (RAPFISH) index.

The analysis has shown that the ongoing sustain catch of Flying Fish (MSY), which is based on the Schaefer model, has been resulting 8,18 tons/year as the yield of 35,711 trips in an optimum catch effort (Fopt). During 2012, the analysis result has also shown the number at 10,418,732 of Flying Fish mother population were caught by using a drift gill net, and was estimated at the rate of 73,662,936,218 eggs which have laid.

The Flying Fish eggs catch business in Strait of Makasar Waters and Seram Ocean were still profitable and feasible to run, because of the R/C ratio of the both sites was more than 1 (R/C >1) and the BEP of both sites was still above of the break even point. The marginal profit of the fisherman in the Strait of Makassar and Seram Ocean were Rp. 13,597,330 and Rp. 41,506,977 per each. The Payback Period value has shown that it would takes at least 8.15 years to return the fisherman early capital (investment) for whom in Strait of Makassar and about 2.68 years for whom in Seram Ocean.

The results of sustainability analysis show that sustainability index in Takalar is 30.93, this means that sustainability status of flying fish commodities is less sustainable. Monte Carlo analysis results proved that fisheries sustainability index is very stable. Leverage analysis results show that there were 10 sensitive attributes of 15 existing attributes. Ten sensitive attributes should be of concern to policy makers and become policy priorities in the management of flying fish fisheries commodities in Takalar.

Thus, arranging and the implimentating policy, which could improve the sustain condition of Flying Fish in Takalar Regency government, is supposed to be carried out. The managing policy is pointed to arrange the effort, location and time of catch, the using of an efficient selective catch equipments and the development of more efficient catch equipments, the availability of low interest capital, training for the fisherman, the availability of an alternative livelihood, and increasing the governments role.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

ANALISIS KEBERLANJUTAN PERIKANAN

IKAN TERBANG DI KABUPATEN TAKALAR

SULAWESI SELATAN

RIANA SRI FITRIANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Analisis Keberlanjutan Perikanan Ikan Terbang di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan

Nama : Riana Sri Fitrianti

NRP : C252114031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Moh Mukhlis Kamal, MSc

Ketua Anggota

Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan

Dr Ir Luky Adrianto, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang disusun berjudul “Analisis Keberlanjutan Perikanan Ikan Terbang di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan”. Tesis ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar dalam mengevaluasi keberlanjutan dari aktivitas perikanan, sekaligus memberikan masukan dalam perumusan kebijakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

Terima kasih Penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Moch. Mukhlis Kamal, MSc dan Bapak Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi selaku pembimbing, berkat bimbingan dan arahannya sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.

Seiring dengan selesainya penulisan tesis ini, dengan tulus hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr Ir Luky Adrianto, MSc sebagai ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.

2. Bapak Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA selaku penguji luar komisi pada ujian tesis. Terima kasih atas saran-saran dan masukan yang diberikan dalam melengkapi dan memperbaiki penulisan Tesis ini.

3. Bapak Dr Yonvitner, SPi, MSi yang telah memberi masukan dalam menyempurnakan Tesis ini.

4. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan dan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Takalar beserta stafnya masing-masing yang telah memberi dukungan fasilitas dan data dalam penyelesaian tesis ini.

5. Rekan-rekan mahasiswa SPL yang telah membantu dan mendampingi selama studi.

6. Keluarga besar yang telah memberikan doa, semangat, dukungan, pengertian dan kasih sayang selama ini.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir penulis.

Bogor, Mei 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xxi

DAFTAR GAMBAR xxii

DAFTAR LAMPIRAN xxiii

1 PENDAHULUAN ...

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Kerangka Pikir Pemecahan Masalah 3

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

2 METODE PENELITIAN ...

2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 5

2.2 Metode Pengumpulan Data 6

2.3 Metode Analisis Data 7

2.3.1 Perhitungan CPUE 7

2.3.2 Perhitungan Potensi Lestari dan Populasi Induk 7

2.3.3 Analisis Finansial Usaha Penangkapan 7

2.3.4 Analisis Keberlanjutan Perikanan 9

3 HASIL DAN PEMBAHASAN ...

3.1 Gambaran Umum Lokasi 15

3.1.1 Letak Geografis 16

3.1.2 Perikanan Tangkap di Kabupaten Takalar 17

3.2 Catch Per Unit Effort (CPUE) 20

3.3 MSY dan Populasi Induk Ikan Terbang 23

3.4 Usaha Penangkapan Telur Ikan Terbang 29

3.4.1 Usaha pada penangkapan di Selat Makassar 30

3.4.2 Usaha pada penangkapan di Laut Seram 32

3.5 Status Keberlanjutan Perikanan Ikan Terbang 35

3.6 Identifikasi Atribut Sensitif dan Implikasi Kebijakan

Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan 41

4 KESIMPULAN DAN SARAN ...

4.1 Kesimpulan 48

4.2 Saran 48

(12)

DAFTAR TABEL

2.1 Metode pengumpulan data ... 6

2.2 Jenis atribut dan kriteria skoring (nilai) ... 11

2.3 Kriteria penentuan nilai setiap atribut ... 12

2.4 Indeks keberlanjutan perikanan ... 14

3.1 Data jumlah penduduk di kecamatan galesong ... 15

3.2 Klasifikasi desa berdasarkan letaknya ... 16

3.3 Jumlah nelayan / petani ikan tiap kecamatan ... 16

3.4 Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya (F), dan jumlah tangkapan per unit upaya (CPUE) di Kabupaten Takalar tahun 2006 - 2012... 21

3.5 Effort aktual, produksi aktual, dan produksi lestari model Schaefer padapenangkapan ikan terbang di Kabupaten Takalar ... 25

3.6 Hasil perhitungan dalam menduga jumlah induk ikan terbang ... 28

3.7 Komponen biaya investasi penangkapan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar tahun 2013 ... 30

3.8 Komponen biaya produksi penangkapan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar tahun 2013 ... 30

3.9 Hasil analisis R/C Ratio, Payback Period, serta Break Even Point pada usaha penangkapan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar ... 32

3.10 Komponen biaya investasi penangkapan telur ikan terbang di perairan Laut Seram tahun 2013 ... 32

3.11 Komponen biaya produksi penangkapan telur ikan terbang di perairan Laut Seram tahun 2013 ... 33

3.12 Hasil analisis R/C Ratio, Payback Period, serta Break Even Point pada usaha penangkapan telur ikan terbang di perairan Laut Seram ... 34

3.13 Tabel nilai statistik hasil analisis RAPFISH pada keempat dimensi keberlanjutan ... 38

(13)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pikir pemecahan masalah ... 4

2.1 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan ... 5

2.2 Proses atau tahapan aplikasi metode RAPFISH dalam perikanan ... 10

3.1 Ikan terbang spesies Hyrundichthys oxycephalus ... 17

3.2 Kapal nelayan pattorani di Kabupaten Takalar... 18

3.3 Alat tangkap pakajja ... 19

3.4 Alat tangkap tradisional bale-bale ... 19

3.5 Alat tangkap jaring insang hanyut di Kabupaten Takalar ... 19

3.6 Proses penjemuran, pembersihan, dan penapihan telur ikan terbang ... 20

3.7 Hubungan antara CPUE dengan Upaya tangkap (trip) ... 21

3.8 Tren CPUE ikan terbang mulai tahun 2006 hingga tahun 2012... 22

3.9 Tren CPUE telur ikan terbang mulai tahun 2006 hingga tahun 2012... 22

3.10 CPUE Telur Ikan Terbang di Selat Makassar dan Laut Seram ... 23

3.11 Hubungan antara produksi lestari dengan effort dan produksi aktual dengan effort pada perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar berdasarkan Model Surplus Produksi Schaefer ... 24

3.12 Tingkat pemanfaatan perikanan ikan terbang berdasarkan produksi lestari Schaefer dan produksi aktual tahun 2006 - 2012 ... 25

3.13 Komposisi TKG ikan terbang yang tertangkap setiap bulan ... 27

3.14 Komposisi TKG ikan terbang yang tertangkap dalam setahun ... 27

3.15 Hasil Ordinasi RAPFISH untuk dimensi ekologi ... 35

3.16 Hasil Ordinasi RAPFISH untuk dimensi ekonomi ... 35

3.17 Hasil Ordinasi RAPFISH untuk dimensi sosial ... 36

3.18 Hasil Ordinasi RAPFISH untuk dimensi teknologi ... 36

3.19 Status keberlanjutan perikanan ikan terbang seluruh dimensi (multi-dimensi) ... 37

3.20 Diagram layang indeks keberlanjutan perikanan setiap dimensi ... 37

3.21 Kestabilan nilai ordinasi pada dimensi ekologi ... 39

3.22 Kestabilan nilai ordinasi pada dimensi ekonomi ... 39

3.23 Kestabilan nilai ordinasi pada dimensi sosial ... 40

3.24 Kestabilan nilai ordinasi pada dimensi teknologi ... 40

3.25 Kestabilan nilai ordinasi RAPFISH gabungan seluruh dimensi ... 40

(14)
(15)

3.27 Hasil Analisis Laverage ... 42 3.28 Grafik upaya tangkap ikan terbang dan telur ikan terbang ... 45

3.29 Grafik upaya tangkap dan produksi ikan terbang maupun telur ikan

terbang (DKP Provinsi Sulawesi Selatan)... 45

DAFTAR LAMPIRAN

1. Regresi statistik model Schaefer... 52 2. Hasil tangkapan dan pendapatan nelayan pada perairan Selat

Makassar ... 53

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi wilayah perairan Sulawesi Selatan cukup luas, memiliki garis pantai sekitar 2.500 Km dengan luas wilayah penangkapan 12 mil dari laut dan perairan umum sekitar 144.425 Ha. Luasnya wilayah perairan Sulawesi Selatan menjadikan aktivitas perikanan tangkap merupakan kegiatan usaha yang bernilai ekonomis penting, khususnya untuk beberapa wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah perairan tersebut, salah satunya adalah Kabupaten Takalar. Kabupaten Takalar memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan perairan Selat Makassar dan Laut Flores, dan juga merupakan daerah penting penghasil perikanan laut yaitu ikan terbang dan telur ikan terbang.

Usaha penangkapan ikan terbang maupun telur ikan terbang di perairan Selat Makassar dan Laut Flores merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat nelayan di Kabupaten Takalar. Penangkapan ikan terbang dilakukan dengan menggunakan jaring insang hanyut permukaan, sedangkan penangkapan telur ikan terbang dilakukan dengan menggunakan alat tangkap tradisional bale-bale. Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores saat ini diketahui telah melebihi dari daya dukungnya. Praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dilakukan manusia saat ini telah menyebabkan menipisnya sumberdaya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu usaha perbaikan dan pengarahan mengenai cara pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.

Menurut Alhidayat (2002), untuk melakukan pengelolaan perikanan berkelanjutan dan menciptakan praktek pemanfaatan yang efektif, diperlukan suatu upaya penilaian terhadap kondisi perikanan secara terpadu. Hal ini berarti, penilaian kondisi perikanan tidak hanya dilakukan terhadap satu aspek saja, namun dari berbagai aspek. Alder et al. (2000) menjelaskan bahwa penilaian kondisi perikanan secara terpadu meliputi 4 aspek yaitu aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi. Lebih lanjut Alder et al. (2000) menjelaskan bahwa salah satu analisis yang dapat digunakan untuk menilai perikanan secara terpadu adalah dengan pendekatan multidimensional scaling. Pendekatan multidimensional scaling bertujuan untuk melihat keragaan (performance) usaha perikanan ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengevaluasi keberlanjutan usaha penangkapan ikan.

(18)

1.2 Perumusan Masalah

Potensi perikanan ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores dimanfaatkan oleh sekitar 4.077 nelayan di 3 kecamatan di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Tercatat pada tahun 2007 hasil tangkapan telur ikan terbang di Selat Makassar sekitar 557,6 (Kg/kapal) namun mengalami penurunan hingga 345,7 (Kg/Kapal) di tahun 2010 (Fitrianti 2011). Selain itu, wilayah penangkapan yang pada mulanya berada di Perairan Selat Makassar dan Laut Flores, kini mulai berpindah ke perairan Laut Seram. Perpindahan fishing ground merupakan salah satu tanda bahwa di perairan Selat Makassar dan Laut Flores kini telah mengalami penurunan stok sumberdaya ikan terbang. Oleh sebab itu,, keberlanjutan merupakan syarat kunci agar 4.077 nelayan di Kabupaten Takalar tidak kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan, yang dikarenakan menurun bahkan hilangnya sumberdaya ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores bahkan pada perairan Laut Seram.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat dilakukan secara berkelanjutan melalui upaya pengelolaan yang dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan antar sistem lingkungan diwilayah tersebut. Upaya pengelolaan yang baik haruslah mencakup berbagai aspek. Ada empat dimensi / aspek utama dalam menilai kondisi perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi. Melalui 4 dimensi tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi perikanan ikan terbang hingga kepada perumusan strategi pengelolaan yang cocok di terapkan di Kabupaten Takalar. Pokok – pokok permasalahan yang dihadapi adalah:

1. Apakah sumberdaya ikan terbang maupun telur ikan terbang di perairan Selat Makassar masih layak untuk ditangkap ?

2. bagaimana upaya tangkap optimal dan tangkapan maksimum lestari bagi usaha penangkapan ikan terbang ?

3. Bagaimana perhitungan usaha pemanfaatan telur ikan terbang sehingga dikatakan menguntungkan bagi nelayan.

4. Bagaimana status terkini dari sumberdaya ikan terbang di Selat Makassar, khususnya pemanfaatan yang dilakukan nelayan di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

1.3 Kerangka Pikir Pemecahan Masalah

Kegiatan pemanfaatan (fishing effort) yang melebihi tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield) akan menyebabkan terjadinya pemanfaatan yang berlebihan. Kondisi menurunnya potensi perikanan dan terjadinya over fishing tidak hanya disebabkan oleh aktivitas penangkapan yang melebihi tangkapan maksimum lestari suatu sumberdaya perikanan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti akibat sosial ekonomi, termasuk akibat penerapan teknologi (Alder et al. 2002)

(19)

pengelolaan yang terkait dari setiap dimensi. Terdapat 4 dimensi yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi. Kerangka pikir pemecahan masalah dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1 Mengetahui tangkapan maksimum lestari (MSY), dan upaya optimum (Fopt)

dari kegiatan penangkapan ikan terbang, serta menduga jumlah populasi induk ikan terbang yang tertangkap selama satu tahun penangkapan.

2 Menganalisis kelayakan usaha penangkapan telur ikan terbang di Kabupaten Takalar.

3 Menganalisis status keberlanjutan perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan, maka manfaat penelitian ini adalah

1 Pemerintah Kabupaten Takalar dalam merumuskan kebijakan untuk pengelolaan sumberdaya ikan terbang yang memberikan dampak bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

(20)

Gambar 1.1 Kerangka pikir pemecahan masalah

4. Harga jual telur

(21)

2

METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahapan: tahapan pertama dilaksanakan pada bulan Februari - Maret 2013 untuk survey awal dan tahapan kedua dilaksanakan pada bulan Juli - Oktober 2013 untuk pengambilan data lapangan. Lokasi penelitian berada di Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. Lokasi penangkapan berada di perairan Selat Makassar atau disebelah barat dari lokasi penelitian (Gambar 2.1).

Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan teknik purpossive sampling pada daerah yang memungkinkan untuk melakukan studi mendalam tentang komunitas masyarakat nelayan penangkap ikan terbang dan telurnya atau lebih dikenal dengan istilah daerah nelayan pattorani. Kecamatan Galesong dipilih dengan dasar pertimbangan survey, yakni: sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan pattorani.

(22)

2.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas 4 kategori data yaitu data ekologi, data sosial, data ekonomi, dan data teknologi. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder baik yang berupa data kuantitatif maupun data kualitatif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan pengukuran langsung dilapangan, serta wawancara terstruktur dengan bantuan kusioner. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka dengan cara mengumpulkan seluruh informasi yang berkaitan dengan kajian/tujuan penelitian, baik yang berasal dari perpustakaan maupun dari berbagai instansi – instansi terkait dari tingkat desa hingga tingkat provinsi, seperti Kantor Lurah dan Kecamatan Galesong, DKP Kab, Takalar, dan DKP Provinsi Sulawesi Selatan. Jenis data dan metode pengumpulan data secara lengkap disajikan dalam Tabel 2.1

Tabel 2.1 Metode pengumpulan data

No Data Metode pengumpulan data

1 Sistem dan pola kerja Pemanfaatan TEK (traditional ecological

knowledge) Kondisi teknologi Alat tangkap

- jumlah alat tangkap - ukuran alat tangkap Armada penangkapan - jumlah kapal

- ukuran kapal

Pencatatan langsung dilapangan dan studi pustaka Wawancara dan studi pustaka

Pengamatan langsung dilapangan dan wawancara

Pencatatan langsung dilapangan dan wawancara Pencatatan langsung dilapangan

Pengamatan langsung dilapangan dan wawancara Pengamatan langsung dilapangan dan wawancara Pengamatan langsung dilapangan dan wawancara

Wawancara dan studi pustaka Wawancara dan studi pustaka

Pengamatan langsung dilapangan dan wawancara Pengamatan langsung dilapangan dan wawancara Pengamatan langsung dilapangan, wawancara, dan studi pustaka

Pencatatan langsung dilapangan, wawancara, dan studi pustaka

Pencatatan langsung dilapangan, wawancara, dan studi pustaka

(23)

yaitu apabila populasinya kecil (≤10) digunakan pendekatan sensus dan apabila populasinya besar (>10) digunakan pendekatan rule of thumbs (pendekatan aturan statistik, yaitu minimal 30 responden) (Sugiyono 2011). Penentuan banyaknya jumlah responden juga dapat dilihat dari sifat populasi, jika suatu populasi bersifat homogen maka jumlah banyaknya sampel/responden hampir tidak menjadi masalah (Margono 2004). Berdasarkan hal tersebut diatas maka ditetapkan bahwa jumlah responden dalam penelitian ini sebesar 65 orang, yang terdiri dari 55 orang nelayan pattorani (10 % dari total nelayan), 2 orang aparat pemerintah, 5 orang pedagang pengumpul, dan 3 orang pengusaha eksportir telur ikan terbang.

2.3 Analisis Data

3.3.1 Perhitungan CPUE (Hasil Tangkapan Per Unit Upaya)

Analisis CPUE atau Catch per Unit Effort dapat dihitung berdasarkan jumlah total hasil tangkapan (ton) dengan jumlah total upaya tangkap (trip) dalam satu unit. Dalam analisis ini CPUE yang dihitung adalah CPUE ikan terbang dan telur ikan terbang. Formula untuk menghitung CPUE adalah sebagai berikut: CPUE = ���� ℎ

������ ……… 1

Keterangan :

CPUE = Hasil tangkapan per satuan unit upaya (ton/trip) Catch = Hasil tangkapan alat tangkap (ton)

Effort = Upaya penangkapan (trip)

3.3.2 Perhitungan Potensi Lestari dan Pendugaan Populasi Induk

Pendugaan tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield) sumberdaya ikan terbang dilakukan dengan menggunakan pendekatan Model Surplus Produksi. Data yang akan digunakan adalah data hasil tangkap (catch) dan upaya penangkapan (effort) yang akan diolah melalui pendekatan Model Surplus Produksi Schaefer (1954). Upaya tangkap optimum (Fopt) berdasarkan

Model Surplus Produksi Schaefer, dihitung dengan menggunakan persamaan: Fopt = �

2� ……… 2

Sedangkan MSY dihitung dengan menggunakan persamaan: MSY = �2

4� ……… 3

Keterangan : a adalah intersept dan b adalah slope dalam persamaan regresi linear.

(24)

dan IV). Pendugaan populasi induk ikan terbang dihitung dengan menggunakan

PI = Persentase induk ikan yang tertangkap (%) MSY = Tangkapan maksimum lestari ikan terbang (kg) JI = Jumlah induk (ekor)

BI = Rata-rata bobot induk per individu

3.3.3 Analisis Finansial Usaha Penangkapan

Analisis finansial suatu usaha perikanan mencakup pada perhitungan penentuan biaya investasi, biaya operasional dan penerimaan, umumnya dihitung untuk periode satu tahun (satu musim) seperti pada usaha penangkapan. Menurut Umar (2009), Effendi dan Oktariza (2006), dan Sugiarto et al. (2002), beberapa metode yang bisa digunakan yaitu Revenue Cost Ratio (R/C), Payback Period (PP), dan Break Even Point (BEP). Rumus untuk perhitungan atau analisis ekonomi adalah:

3.3.3.1Revenue Cost Ratio (R/C)

Analisis R/C Rasio merupakan salah satu analisis yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu unit usaha dalam melakukan proses produksi mengalami kerugian, impas, maupun untung. Analisis R/C Rasio merupakan analisis yang membagi antara penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan. Apabila hasil yang diperoleh lebih besar dari satu maka usaha yang dijalankan mengalami keuntungan, apabila nilai R/C Rasio yang diperoleh sama dengan satu maka usaha tersebut impas atau tidak mengalami keuntungan maupun kerugian. Sedangkan apabila nilai R/C Rasio yang diperoleh kurang dari satu maka usaha tersebut mengalami kerugian. Secara matematis R/C Ratio dapat dituliskan:

� �⁄ ����� =���� ……… 6

Keterangan :

TR = total revenue (total penerimaan) TC = total cost (total pengeluaran)

3.3.3.2Payback Period (PP)

Payback Period (PP) adalah suatu periode yang diperlukan untuk menutup kembali pengeluaran investasi (initial cash investment) dengan menggunakan aliran kas (keuntungan), yang hasilnya merupakan satuan waktu (tahun atau bulan atau hari). Persamaannya adalah :

PP =Investasi Awal

���� ��� � 1 ��ℎ�� ……… 7

3.3.3.3Break Even Point (BEP)

(25)

dipertimbangkan untuk melakukan penutupan usaha (Adibrata 2012). Persamaan BEP dituliskan kedalam rumus sebagai berikut:

BEP (Rp) = Biaya Tetap 1−Biaya Variabel

Penerimaan

……… 8

3.3.4 Analisis Keberlanjutan

Keberlanjutan perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar dianalisis dengan menggunakan metode Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH). RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries) dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British Columbia di tahun 1999 dan telah digunakan oleh Kavanagh 2001; Fauzi dan Anna 2002; Hartono et al. 2005; Hermawan 2006 dalam menilai keberlanjutan pembangunan perikanan.

Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) merupakan metode penilaian keberlanjutan perikanan yang berbasiskan pendekatan multidimensional scaling. Pendekatan multidimensional scaling bertujuan untuk mempersentasikan similaritas/disimilaritas antar pasangan/variabel ke dalam jarak (distances) yang diwakili dengan ruang multidimensional (dua atau tiga dimensi). Dengan kata lain, metode RAPFISH dengan pendekatan yang berbasiskan multidimensional scaling dapat mempersentasekan teknik ordinasi secara efektif. Fauzi dan Anna (2002) menyatakan bahwa RAPFISH adalah salah satu alternatif pendekatan sederhana dalam mengevaluasi status keberlanjutan dari perikanan secara komparatif berdasarkan sejumlah atribut yang mudah diskoring. Atribut dari setiap dimensi dievaluasi untuk mempresentasikan keberlanjutan perikanan. Ordinasi dari setiap atribut menggunakan multi-dimensional scalling (MDS).

Dengan penggunaan metode RAPFISH akan memberikan gambaran status perikanan saat ini sehingga hasil analisis metode ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan untuk kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya perikanan. Penggunaan metode RAPFISH dalam menganalisis keberlanjutan perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar mengikuti prosedur Alder et al. (2000) pada Gambar 2.2.

(26)

Gambar 2.2 Proses atau tahapan aplikasi metode RAPFISH dalam perikanan (Alder et al. 2000)

1. Penentuan Atribut Keberlanjutan

Penentuan atribut keberlanjutan pengelolaan perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar merupakan atribut yang dapat merepresentasikan pengelolaan perikanan ikan terbang berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan 15 atribut dari empat dimensi, yang terbagi kedalam masing-masing dimensi yaitu 4 (empat) atribut dimensi ekologi, 4 (empat) atribut dimensi ekonomi, 4 (empat) atribut dimensi sosial, dan 3 (tiga) atribut dimensi teknologi. Penyusunan atribut dan kriteria pada keempat dimensi tersebut disusun mengacu pada modifikasi modul EAFM (Ecolocical Aproach for Fisheries Management) dari KKP, WWF dan PKSPL-IPB (2012); Ali (2012) yang kemudian disesuaikan dengan pengamatan di lokasi penelitian. Atribut dan kriteria skoring yang digunakan dalam penelitian ini secara rinci diuraikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Atribut dan Kriteria skoring (nilai)

Dimensi Atribut Kriteria Nilai

Ekologi CPUE 1. menurun tajam

2. menurun sedikit 3. meningkat

Ukuran Ikan yang 1. rata rata ukuran ikan semakin kecil;

START (Penentuan Kajian)

Review Atribut dalam beberapa kategori dan kriteria

Identifikasi dan Pendefinisian Perikanan berdasarkan kriteria

yang ditentukan

Penyusunan nilai skor dan Penentuan Titik Referensi Nilai

tengah, bad, dan good

Multidimensional Scalling Ordination untuk setiap atribut

Analisis Monte Carlo (Analisis Ketidakpastian)

Analisis Lavarage (Analisis Anomali)

(27)

tertangkap 2. rata rata ukuran ikan relatif tetap; 3. rata rata ukuran ikan semakin panjang Ikan yang tertangkap

1. Lokasi fishing ground semakin jauh 2. Relatif tetap

3. Lokasi fishing ground semakin dekat

Ekonomi Pendapatan rata rata nelayan

1. < rata-rata UMR 2. =rata-rata UMR 3. >rata-rata UMR Pasar utama telur 1. Pasar lokal

2. Pasar nasional 3. Pasar Internasional Sumber modal Kerja 1. Ponggawa

2. Koperasi/Bank 3. Modal sendiri Harga jual telur 1. < Rp. 250.000/kg

2. Rp. 250.000-350.000/kg 3. > Rp. 350.000/kg

Sosial Sistem ponggawa sawi

1. Ada dan nelayan terikat pada ponggawa 2. Ada tetapi nelayan tidak terikat pada

ponggawa 3.Tidak ada Pengalaman nelayan 1. < 2 tahun

2. 2-5 tahun

2. Ada tapi tidak efektif 3. Ada dan efektif digunakan

Pola kerja 1. Individu

2. Keluarga 3. Kelompok

Teknologi Perubahan Alat Tangkap Bale Bale

1. Hasil tangkapan meningkat >100% 2. Hasil tangkapan meningkat 26 – 50% 3. Hasil tangkapan meningkat 0– 25% Selektivitas Alat

1. Sangat tidak sesuai 2. Tidak sesuai 3. Sesuai

Sumber: modifikasi modul EAFM (Ecolocical Aproach for Fisheries Management) dari KKP, WWF dan PKSPL-IPB (2012); Ali (2012)

2. Penentuan Nilai Setiap Atribut

(28)

ditentukan seperti yang tercantum pada Tabel 2.3. Pemberian nilai terhadap setiap atribut memberikan gambaran terhadap kondisi keberlanjutan sumberdaya ikan terbang, apakah baik ataupun buruk. Mengacu pada metode RAPFISH (Pitcher et al. 1998; Pitcher & Preikshot 2001; Susilo 2003), menerangkan bahwa nilai buruk merupakan cerminan kondisi yang paling tidak menguntungkan dalam suatu pengelolaan, sedangkan nilai baik yaitu nilai yang mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan dalam pengelolaan sumberdaya. Dan diantara nilai buruk dan nilai baik terdapat satu nilai yang disebut dengan nilai antara atau nilai tengah.

Tabel 2.3 Kriteria dalam penentuan nilai setiap atribut

Dimensi dan Atribut Kriteria Nilai Baik Buruk

Dimensi Ekologi

CPUE Ukuran ikan

Ikan tertangkap sebelum dewasa Jangkauan daerah penangkapan

Sistem ponggawa sawi Pengalaman nelayan Pemanfaatan TEK Pola kerja

Dimensi Teknologi

Perubahan alat tangkap bale - bale Selektivitas alat tangkap pada TKG Kesesuaian ukuran kapal

3. Ordinasi RAPFISH(Multidimensional Scaling) untuk setiap atribut

Ordinasi RAPFISH dengan metode MDS (Multidimensional Scaling) digunakan untuk menentukan satu titik yang mencerminkan posisi relatif dari perikanan ikan terbang yang dikaji terhadap dua titik acuan utama yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Pemilihan metode MDS dilakukan mengingat metode Multi-Variate Analysis yang lain seperti factor analysis dan Multi-Attribute Utility Theory (MAUT) terbukti tidak menunjukkan hasil yang stabil (Pitcher dan Preikshot 2001). Hasil penggunaan metode MDS adalah berupa objek atau titik yang dipetakan kedalam ruang dua atau tiga dimensi dan diupayakan titik tersebut berada sedekat mungkin dengan titik asal (dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain). Sebaliknya, objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik - titik yang berjauhan.

(29)

d =�(|�1− �22|+|

1− �22|+|�1− �22|+ …)

Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik didalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (dij) dari titik i ke titik j

dengan titik asal (�ij) sebagaimana persamaan berikut (Fauzi dan Anna 2005): ��� =�+ ���� +�

Umumnya ada tiga teknik yang digunakan untuk meregresikan persamaan diatas yaitu metode last square (KRYST), metode least square bergantian yang didasarkan pada akar dari euclidian distance atau disebut metode ALSCAL, dan metode yang didasarkan Maximum Likelihood. Dari ketiga metode tersebut, metode Algoritma ALSCAL merupakan metode yang sesuai untuk RAPFISH dan mudah tersedia hampir pada setiap software statisitika (SPSS dan SAS) (Alder et al. 2000). Metode ALSCAL mengoptimasi jarak kuadrat (square distance = dijk)

terhadap kuadrat (titik asal = 0ijk), yang dalam tiga dimensi (i, j, k) ditulis dalam

formula yang disebut S-Stress sebagai berikut:

�= �1

dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot atau ditulis :

���2 = � �

�� �

�=1

(��� − ���)2

Pada setiap pengukuran yang bersifat mengukur (metric) seberapa fit (goodness of fit), jarak titik pendugaan dengan titik asal menjadi sangat penting. Goodness of fit dalam metode MDS gunanya adalah mengukur seberapa tepat konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya. Mengacu pada Fauzi dan Anna (2005), goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S diatas. Nilai stress yang rendah menunjukkan goodfit sementara nilai S yang tinggi sebaliknya. Hasil analisis metode RAPFISH yang baik akan menunjukkan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 (S < 0,25).

4. Penentuan status keberlanjutan

Penentuan status keberlanjutan pengelolaan perikanan ikan terbang berdasarkan pada indeks keberlanjutan perikanan. Indeks keberlanjutan perikanan mempunyai selang antara 0 – 100. Nilai indeks keberlanjutan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Budianto (2012) yang membagi status keberlanjutan dalam 4 kategori, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Indeks keberlanjutan perikanan

Nilai Indeks Kategori

0 – 25 Tidak berkelanjutan

26 – 50 Kurang berkelanjutan

51 – 75 Cukup berkelanjutan

(30)

5. Analisis Monte Carlo dan Analisis Laverage

Analisis Monte Carlo digunakan untuk mengetahui kestabilan hasil ordinasi RAPFISH atau kestabilan indeks keberlanjutan yang dihasilkan. Analisis Monte Carlo pada metode RAPFISH dilakukan sebanyak 25 kali ulangan. Metode analisis Monte Carlo yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode scatter plot. Kestabilan indeks keberlanjutan yang dihasilkan tercermin oleh plot yang mengumpul, sedangkan jika hasil analisis Monte Carlo menunjukkan plot menyebar dapat diartikan terdapat gangguan atau aspek ketidakpastian dalam hasil analisis.

(31)

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Lokasi Penelitian

4.1.1 Letak Geografis dan Gambaran Umum Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar

Kabupaten Takalar merupakan salah satu kabupaten yang terletak di bagian selatan Pulau Sulawesi, berada di antara 5o3’ – 5o33’ lintang selatan dan 119o22’-118o39’ bujur timur dan berjarak kurang lebih 29 km dari ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Di sebelah utara Kabupaten Takalar berbatasan langsung dengan Kota Makassar, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto, di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores dan di sebelah barat dibatasi oleh Selat Makassar.

Luas wilayah Kabupaten Takalar adalah sekitar 566,51 km2 dimana 240,88 km2 diantaranya merupakan wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 74 km. Kabupaten Takalar terdiri dari 9 wilayah kecamatan dan 83 wilayah desa/kelurahan, 3 kecamatan di antaranya yaitu kecamatan galesong utara, kecamatan galesong, dan galesong selatan merupakan penyumbang hasil perikanan terbesar dan juga merupakan basis nelayan untuk usaha penangkapan ikan terbang maupun telurnya.

Kecamatan Galesong sebagai fokus wilayah penelitian, terletak di sebelah barat Kabupaten Takalar. Kecamatan Galesong merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Galesong Utara, memiliki jumlah penduduk sebesar 37.643 jiwa terdiri dari 18.346 jiwa laki-laki dan 19.297 jiwa perempuan yang tersebar di 14 wilayah desa (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Data jumlah penduduk di kecamatan galesong

Desa Penduduk Rumah Tangga Rata-Rata

ART

Galesong Baru 2.472 618 4

Galesong Kota 2.775 694 4

Pa’La’Lakkang 3.747 937 4

Kalukuang 2.254 564 4

Pa’rasangan Beru 2.262 566 4

Parangmata 2.364 591 4

Boddia 3.778 945 4

Bontoloe 3.112 778 4

Mappakalompo 3.162 791 4

Kalenna Bontongape 2.142 536 4

Parambambe 2.223 556 4

Campagayya 2.238 560 4

Bontomangape 2.153 538 4

Pattinoang 2.961 740 4

Jumlah 37.643 9.411 4

(32)

Wilayah Kecamatan Galesong dikategorikan sebagai kecamatan pesisir karena setengah dari jumlah total wilayah desa yang dimiliki kecamatan ini terletak di sepanjang pesisir Selat Makassar (Tabel 3.2). Dengan letak wilayah yang cukup strategis membuat sektor perikanan dan kelautan di kecamatan galesong berkembang cukup pesat, khususnya pada sektor perikanan tangkap.

Tabel 3.2 Klasifikasi desa berdasarkan letaknya

Desa Letak Desa

Pantai Bukan Pantai

Galesong Baru

Galesong Kota

Pa’La’Lakkang

Kalukuang

Pa’rasangan Beru

Parangmata

Boddia

Bontoloe

Mappakalompo

Kalenna Bontongape

Parambambe

Campagayya

Bontomangape

Pattinoang

Sumber: DKP Kabupaten Takalar, 2012

Besarnya potensi dalam sektor kelautan dan perikanan juga terlihat dari pola mata pencaharian masyarakat kecamatan galesong, dimana 80% dari total jumlah penduduk pada kecamatan ini bermatapencaharian utama sebagai nelayan dan 20% lainnya sebagai petani tambak maupun pekerja buruh (Tabel 3.3). Pola mata pencaharian sebagai nelayan yang dilakukan masyarakat kecamatan galesong dikhususkan sebagai nelayan panangkap / pengumpul telur ikan terbang atau sering disebut Nelayan Pattorani.

Tabel 3.3 Jumlah nelayan / petani ikan tiap kecamatan

KECAMATAN LAUT TAMBAK JUMLAH

1 Mangarabombang 513 1031 1544

2 Mappakasunggu 641 1918 2559

3 Sanrobone 108 880 988

4 Polongbangkeng Selatan - - 0

5 Pattalassang - 28 28

6 Polongbangkeng Utara 248 - 248

7 Galesong Selatan 1328 144 1472

8 Galesong 876 27 903

9 Galesong Utara 1873 269 2142

Tahun 2012 5.587 4.297 9.884

(33)

4.1.2 Perikanan Ikan Terbang dan Telur Ikan Terbang di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan

Sistematika ikan terbang pertama kali ditulis oleh Linneaus pada tahun 1758 khususnya spesies Exocoetus volitans (Linneaus). Sampai pada pertengahan abad XIX, penelitian lebih banyak pada aspek taksonomi dan anatomi, setelah itu mulai dipelajari aspek biologi ikan terbang (Devenport 1994). Sistematika ikan terbang menurut Parin (1999) adalah sebagai berikut : Kingdom (Animalia); Phylum (Chordata); Sub Phylum (Vertebrata); Class (Oshteichtyes); Sub Class (Actinopterigii); Ordo (Benoniformes); Sub Ordo (Exocoetinae); Famili (Exocoetidae); Sub family (Exocoetinae); Genus (Hyrundicthys); Spesies (Hyrundicthys oxycephalus). Ikan terbang, seperti yang terlihat pada Gambar 3.1 secara umum memiliki bentuk tubuh yang memanjang seperti cerutu, agak gepeng, garis rusuknya terletak dibagian bawah badan, kedua rahangnya hampir sama panjang atau rahang bawah lebih menonjol terutama pada individu muda

Oxymopharus dari family Oxyphoramphydae, dan atau rahang atas lebih

menonjol daripada rahang bawahnya terutama pada jenis Cypselurus. Sirip pectoral panjang diadaptasikan untuk melayang dan terdiri dari duri lunak, dengan variasi ukuran dan jumlah ruas sirip bercabang pada masing-masing spesies. Sirip ekor bercagak dengan cagak bawah yang lebih panjang. Sisiknya sikloid berukuran relatif besar dan mudah lepas. Pada beberapa spesies Hyrundichthys, sisiknya juga tumbuh pada bagian palatin, pada Fodiator dan Parexocoetus juga tumbuh pada vormer, pterofoid, dan lidah. Ukuran-ukuran panjang kepala, tinggi, dan lebar juga tergantung pada umur (Nontji 1987 in Ali 2005; Hutomo et al 1985).

Gambar 3.1 Ikan terbang (Hyrundichthys oxycephalus)

(34)

menjadikan komoditas perikanan ini sebagai andalan penghasil devisa kedua setelah udang.

Sasaran pemanfaatan sumberdaya ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores adalah induk ikan dan telurnya. Saat ini, usaha penangkapan dan perburuan komoditas ikan terbang maupun telurnya sudah banyak dilakukan oleh nelayan di beberapa daerah di Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Barat. Untuk wilayah Sulawesi Selatan, basis terbesar nelayan penangkap ikan terbang dan telur ikan terbang berada pada kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. Kegiatan penangkapan didominasi oleh nelayan nelayan lokal dengan bantuan perahu berukuran panjang sekitar 15 m dan lebar 3 m, berbahan dasar kayu dengan design tradisional seperti jukung, perahu Sandeq, perahu motor tempel (Out Board Motor) dan perahu/kapal motor (In Board Motor) (Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Kapal nelayan pattorani di Kabupaten Takalar

Upaya penangkapan komoditas ikan terbang dan telur ikan terbang dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang berbeda. Penangkapan telur bersamaan dengan induk ikan terbang digunakan bubu hanyut atau pakajja, untuk menangkap induk ikan terbang digunakan jaring insang hanyut, sedangkan untuk mengumpulkan telur ikan terbang digunakan rumpon (fish accumulation devices) dengan nama daerah bale-bale.

(35)

1978 in Dirhamsyah 2009). Namun sayangnya, alat tangkap ini sudah tidak digunakan lagi dalam operasi penangkapan karena nelayan mengkontruksi alat tangkap baru yang dikenal dengan bale-bale.

Bale-bale merupakan alat tangkap tradisional yang digunakan nelayan khusus untuk mengumpulkan telur ikan terbang. Bale-bale juga memiliki bentuk persegi panjang namun lebih menyerupai rakit, terbuat dari bambu dengan ukuran lebar 1,5 m dan panjang 2,5 meter yang dilengkapi dengan daun kelapa disisi atasnya (Gambar 3.4).

Gambar 3.3 Alat tangkap pakajja

Gambar 3.4 Alat tangkap tradisional bale-bale

(36)

Gambar 3.5 Alat tangkap jaring insang hanyut di Kabupaten Takalar (Sudirman dan Mallawa 2004 in Yahya 2006)

Pemasaran hasil tangkapan ikan terbang maupun telur ikan terbang dilakukan dengan cara yang berbeda. Ikan terbang hasil tangkapan nelayan di jual langsung ke pedagang pengolah ikan terbang dan dipasarkan dalam bentuk ikan kering maupun ikan asap. Sedangkan telur ikan terbang hasil tangkapan nelayan

Pattorani dijual kepada pedagang pengumpul maupun eksportir telur ikan

terbang. Sebelum di ekspor, telur ikan terbang akan diolah terlebih dahulu seperti pada Gambar 3.6 berikut.

Gambar 3.6 Proses penjemuran, pembersihan, dan penapihan telur ikan terbang

(37)

Telur ikan terbang di ekspor ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, China, Jepang, Hongkong, Taiwan, Korea, Ukraina, Kanada, Thailand, Rusia, dan Vietnam. Harga jual telur ikan terbang berfluktuasi dari waktu ke waktu. Tahun 2011 harga jual per Kg telur ikan terbang mencapai Rp 250.000 – Rp 300.000, namun mengalami penurunan di tahun 2013 yang hanya berkisar Rp 165.000 per Kg.

4.2 Catch Per Unit Effort(CPUE)

Catch (hasil tangkapan), effort (upaya pengkapan) dan CPUE (hasil tangkapan per-unit upaya) adalah salah satu indikator pengelolaan perikanan keberlanjutan. Pola umum suatu perikanan yang di eksploitasi yang mengalami overfished indikatornya adalah bahwa naiknya total upaya (effort) diikuti oleh naiknya hasil tangkapan (catch) yang kemudian diikuti oleh turunnya hasil tangkapan per-satuan upaya (CPUE). Menurut Kawimbang et al. (2012) pada saat menjelang overfishing, peningkatan upaya tidak dapat lagi meningkatkan hasil tangkapan, bahkan dapat menyebabkan CPUE turun drastis. Hampir semua ahli perikanan di dunia menggunakan data hasil tangkapan per unit upaya dalam menduga stok ikan, diasumsikan ketika stok ikan mengalami penurunan, hasil tangkapan nelayan akan menurun secara bertahap.

Hasil tangkapan per unit upaya atau Catch Per Unit Effort (CPUE) merupakan angka yang menggambarkan perbandingan antara hasil tangkapan per unit upaya atau usaha. Menurut King (1995), Catch Per Unit Effort (CPUE) merupakan hasil tangkapan per unit alat tangkap pada kondisi bimassa yang maksimum. Nilai CPUE bisa digunakan untuk melihat kemampuan sumberdaya apabila dieksplotasi terus menerus. Nilai CPUE yang menurun dapat menandakan bahwa potensi sumberdaya sudah tidak mampu menghasilkan lebih banyak walaupun upaya ditingkatkan.

Perhitungan CPUE pada penelitian ini difokuskan pada sumberdaya ikan terbang dan telur ikan terbang di Kabupaten Takalar. Dalam perhitungannya digunakan data tahunan hasil tangkapan dan upaya tangkap yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar yang tertera pada Tabel 3.4. Grafik hubungan antara CPUE dengan Upaya tangkap (trip) disajikan pada Gambar 3.7.

Tabel 3.4 Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya (F), dan jumlah tangkapan per unit upaya (CPUE) ikan terbang di Kabupaten Takalar tahun 2006-2012

(38)

Gambar 3.7 Hubungan antara CPUE dengan Upaya tangkap (trip)

Berdasarkan Gambar 3.7 diatas maka dapat diketahui hubungan antara jumlah upaya tangkap (trip) dengan CPUE pada usaha penangkapan ikan terbang di Kabupaten Takalar adalah CPUE = 0.0458 - 0.00000064 trip. Selain penjelasan mengenai hubungan effort dengan CPUE, dapat pula diketahui perkembangan tren CPUE usaha penangkapan ikan terbang maupun telurnya di Kabupaten Takalar yang tertera pada Gambar 3.8 dan Gambar 3.9. Nilai CPUE yang dihasilkan baik pada penangkapan ikan terbang maupun telur ikan terbang berbeda-beda dari tahun ke tahun, tergantung pada besarnya jumlah produksi dan jumlah effort yang digunakan nelayan di Kabupaten Takalar.

Gambar 3.8 Tren CPUE ikan terbang mulai tahun 2006 hingga tahun 2012 yang diolah dari data Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Takalar

2006

0 10000 20000 30000 40000

CP

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(39)

Gambar 3.9 Tren CPUE telur ikan terbang mulai tahun 2006 hingga tahun 2012 yang diolah dari data Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Takalar

Tren CPUE ikan terbang dan telur ikan terbang yang ditampilkan pada Gambar 3.8 dan Gambar 3.9 menunjukkan pola yang berbeda tiap tahunnya. CPUE ikan terbang tertinggi mencapai 43.87 Kg/Trip di tahun 2011, dan mengalami penurunan hingga sebesar 30.31 Kg/Trip di tahun 2012. Begitupula dengan grafik yang CPUE telur ikan terbang terus mengalami penurunan di tahun 2009 hingga tahun 2012 yaitu sebesar 79.96 Kg/trip menjadi 6.16 Kg/trip. Peningkatan CPUE telur ikan terbang yang sangat signifikan terlihat pada tahun 2008 dan mengalami penurunan tahun 2009. Peningkatan nilai CPUE telur ikan terbang di tahun 2008 terjadi karena upaya penangkapan menurun dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya dengan total hasil tangkapan yang diperoleh tidak jauh berbedadari tahun sebelumnya (1030,2 ton di tahun 2007 ke 941,6 ton di tahun 2008). Sedangkan penurunan nilai CPUE telur ikan terbang di tahun 2009 dikarenakan adanya peningkatan upaya penangkapan hingga 5 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.

Indikasi penurunan nilai CPUE telur ikan terbang juga diperlihatkan dengan menurunnya hasil tangkap per unit kapal (Kg/Kapal) di wilayah penangkapan Selat Makassar dan Laut Seram (Gambar 3.10). Grafik yang tertera pada Gambar 3.9 menunjukkan perubahan hasil tangkap nelayan galesong di kedua wilayah yang merupakan fishingground telur ikan terbang. CPUE (Kg/Kapal) telur ikan terbang di Selat Makassar pada tahun 2011 dan 2013 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan yaitu hanya berkisar 1.5 – 2.5 Kg/Kapal. Rendahnya hasil tangkapan telur ikan terbang di Selat Makassar juga telah dilaporkan oleh Ali (2005) yang menyatakan bahwa rendahnya hasil tangkapan telur ikan terbang pada wilayah penangkapan Selat Makassar dianggap telah terjadi penurunan stok sehingga penambahan upaya penangkapan tidak dapat lagi meningkatkan CPUE.

Sedangkan pada wilayah penangkapan Laut Seram, hasil tangkap per unit upaya (Kg/Kapal) telur ikan terbang kisaran waktu 2011 hingga 2013 terlihat relatif stabil. Wilayah Laut Seram tergolong fishingground baru untuk penangkapan telur ikan terbang. Tingginya hasil tangkapan telur ikan terbang yang diperoleh di Laut Seram menjadi ketertarikan tersendiri nelayan galesong untuk melakukan penangkapan di wilayah ini. Namun saat ini, belum seluruhnya nelayan di Kec. Galesong Kabupaten Takalar melakukan perpindahan

0.00

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(40)

fishingground ke wilayah Laut Seram karena untuk kegiatan penangkapan di wilayah tersebut memerlukan biaya operasional sekurangnya 45 juta per kapal.

Gambar 3.10 CPUE Telur Ikan Terbang di Selat Makassar dan Laut Seram pada tahun 2011 dan 2013 yang diolah dari data primer

4.3 Potensi Maksimum Lestari (MSY) dan Pendugaan Populasi Induk

Pemanfaatan sumberdaya perikanan pada umumnya didasarkan pada konsep Maximum Sustainable Yield (MSY) yang dikembangkan oleh seorang ahli biologi bernama Schaefer pada tahun 1957. Inti dari konsep MSY adalah menjaga keseimbangan biologis dari sumberdaya ikan agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Seperti yang dikutip dari Effendi (2002), bahwa MSY merupakan salah satu usaha dalam perikanan untuk menentukan penangkapan yang seimbang tetapi maksimum. Kelebihan konsep MSY adalah hanya diperlukan data yang terbatas, sederhana dalam menganalisis, dan mudah dimengerti oleh siapa saja termasuk para penentu kebijakan.

Perhitungan potensi lestari menggunakan model surplus produksi bertujuan untuk mengetahui upaya tangkap optimum dan hasil tangkap maksimum lestari dari suatu perairan. Dalam analisisnya dibutuhkan data time series upaya tangkap dan hasil tangkap per unit upaya tangkap (CPUE) minimal lima tahun. Berdasarkan data tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) ikan terbang pada Tabel 3.4 diatas, maka dilakukan perhitungan MSY berdasarkan Model Surplus Produksi Schaefer dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel.

Berdasarkan perhitungan MSY berdasarkan Model Surplus Produksi Schaefer, diperoleh nilai intersept (a) sebesar 0.0459 dan nilai slope (b) sebesar -0.00000065 sehingga upaya tangkap optimum (Fopt) dan hasil tangkap maksimum

lestari (MSY) berdasarkan model Schaefer dapat dihitung. Persamaan produksi lestari Schaefer berdasarkan nilai intersept dan slope adalah:

Y = 0.0458f + (-0.00000065)f2

(41)

Tangkapan maksimum lestari (MSY) dan upaya tangkap optimum (Fopt)

berdasarkan model Schaefer adalah masing-masing sebesar 818 ton dan 35.711 trip. Hal ini berarti, dalam upaya memanfaatkan sumberdaya ikan terbang dengan tetap menjamin kelestariannya, ikan terbang hanya boleh ditangkap dalam satu tahun maksimal 818 ton dengan jumlah trip optimum 35.711 trip dalam satu tahun. Hubungan antara produksi lestari dengan effort dan produksi aktual dengan effort pada perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar berdasarkan Model Surplus Produksi Schaefer disajikan pada Gambar 3.11.

Gambar 3.11 Hubungan antara produksi lestari dengan effort dan produksi aktual dengan effort pada perikanan ikan terbang di Kabupaten Takalar berdasarkan Model Surplus Produksi Schaefer

Berdasarkan pada Gambar 3.11 dapat dikatakan bahwa sumberdaya ikan terbang belum sepenuhnya mengalami overfishing. Penurunan produksi ikan terbang dikarenakan upaya penangkapan yang rendah dan terus menurun dari tahun 2006 hingga tahun 2012. Rendahnya upaya penangkapan ikan terbang yang dilakukan nelayan disebabkan karena terjadinya pengalihan usaha penangkapan di Kabupaten Takalar, yang mulanya melakukan usaha penangkapan ikan beralih menjadi penangkapan telur ikan terbang. Peralihan usaha penangkapan terjadi tidak lain karena dipicu oleh nilai ekonomi telur ikan terbang yang jauh lebih tinggi dibandingkan ikan terbang itu sendiri.

Dengan menggunakan persamaan model Schaefer tersebut diatas maka dapat dilakukan pendugaan terhadap produksi lestari setiap tahunnya. Produksi lestari (MSY), produksi aktual, dan effort aktual di Kabupaten Takalar disajikan pada Tabel 3.5, serta tingkat pemanfaatan perikanan ikan terbang berdasarkan produksi lestari model Schaefer dan produksi aktual selama 7 tahun terakhir yang disajikan pada Gambar 3.12.

Tabel 3.5 Effort aktual, produksi aktual, dan produksi lestari model Schaefer penangkapanikan terbang di Kabupaten Takalar

Tahun Effort (trip) Catch (ton) TAC

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000 90000

(42)

Produksi Aktual Produksi Schaefer (ton)

Gambar 3.12 Tingkat pemanfaatan perikanan ikan terbang berdasarkan produksi lestari Schaefer dan produksi aktual tahun 2006 - 2012

Tingkat pemanfaatan perikanan ikan terbang yang tertera pada Tabel 3.5 dan Gambar 3.12 memberikan gambaran mengenai kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan terbang di Kabupaten Takalar. Pada tahun 2006 dan 2007 pemanfaatan sumberdaya ikan terbang telah melebihi jumlah tangkapan maksimum lestari yaitu masing - masing sebesar 832 ton dan 822 ton dalam setahun. Begitu pula pada tahun 2009 dan 2011 dimana aktvitas penangkapan ikan terbang di Kabupaten Takalar telah melebihi MSY. Namun, hal yang berbeda terjadi pada tahun 2010 dan 2012, dimana produksi ikan terbang di Kabupaten Takalar diketahui tidak melebihi dari MSY. Rendahnya produksi pada tahun tersebut dikarenakan penurunan jumlah trip penangkapan ikan terbang. Penurunan trip penangkapan ikan terbang di Kabupaten Takalar disebabkan karena beberapa faktor yaitu Pertama, hasil tangkapan ikan terbang di Selat Makassar telah dan Kedua, adanya perubahan pola penangkapan nelayan menjadi penangkapan telur ikan terbang.

Hal lain yang dapat diketahui dari Tabel 3.5 adalah Nilai TAC atau lebih dikenal dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan yaitu jumlahnya 80 % dari MSY ikan terbang yaitu 654,4 ton per tahun. Berdasarkan hal ini maka dikatakan bahwa produksi aktual ikan terbang di Kabupaten Takalar mulai tahun 2006 hingga tahun 2012 seluruhnya berada diatas titik atau nilai TAC yang ditentukan. Besarnya produksi aktual yang berada diatas nilai TAC jelas akan berdampak buruk bagi kelestarian sumberdaya ikan terbang. Menurut Nikijuluw (2002) in Supardan (2006), pengaturan penangkapan melalui penetapan Jumlah Tangkapan

0

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(43)

ikan yang diperbolehkan (JTB) merupakan salah satu pendekatan untuk mengatasi kondisi tangkap lebih yang terjadi pada suatu perairan.

Pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan MSY memang dinilai masih memiliki beberapa kelemahan. Mengacu pada Ghofar (2003), kelemahan yang dimiliki dari konsep pengelolaan dengan pendekatan MSY antara lain adalah (I) tidak bersifat stabil karena perkiraan stok yang tidak tepat dapat mengarah ke pengurasan stok, (II) tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tdk dipanen, dan (III) sulit diterapkan pada kondisi perikanan yang memiliki ciri ragam jenis.

Analisis lain yang dilakukan dalam mengkaji aspek ekologi ikan terbang adalah pendugaan populasi induk. Pendugaan populasi ikan terbang dilakukan untuk mengetahui seberapa besarkah jumlah induk ikan terbang yang ikut tertangkap dalam aktivitas penangkapan nelayan selama satu tahun. Data yang digunakan berupa data panjang dan berat ikan, serta tingkat kematangan gonad dari ikan yang ditangkap nelayan selama satu musim penangkapan yaitu pada bulan maret – september tahun 2012. Berdasarkan data tersebut maka diketahui persentase ikan terbang yang tertangkap dalam setahun berdasarkan kategori Tingkat Kematangan Gonad ikan terbang (TKG). Informasi mengenai tingkat kematangan gonad ikan terbang juga telah dilaporkan Nessa et al. (1977) dan Ali (1981). Nessa et al. (1977) dalam penelitiannya menggunakan klasifikasi tingkat kematangan gonad dalam tujuh tahapan perkembangan gonad pada tiga spesies ikan terbang dari Selat Makassar. Ali (1981) dalam penelitiannya di Laut Flores memakai lima tahapan perkembangan gonad dan tidak menemukan ikan yang belum matang (tingkat kematangan I, II, dan III). Selain itu, Nessa et al. (1977) dan Ali (1981) juga menjelaskan bahwa rasio jenis kelamin jantan dan betina H.oxycephalus tidak berbeda secara signifikan setiap bulan, baik di perairan selat Makassar maupun di perairan Laut Flores. Komposisi TKG ikan terbang yang tertangkap satuan bulan dan tahun disajikan pada Gambar 3.13 dan 3.14.

Gambar 3.13 Komposisi TKG ikan terbang yang tertangkap setiap bulan pada tahun 2012

Komposisi TKG ikan terbang yang tersaji pada Gambar 3.13 menjelaskan bahwa dalam aktivitasnya, nelayan menangkap ikan - ikan dengan berbagai fase mulai dari ikan muda hingga ikan yang siap mijah. Pada bulan maret hingga agustus, ikan terbang yang tertangkap pada saat aktivitas penangkapan dimulai

0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0% 60.0% 70.0% 80.0%

Maret - Mei Juni - Agustus Sept - Nov

TKG IV

TKG III

TKG II

(44)

yaitu didominasi oleh ikan-ikan dengan tingkat kematangan gonad III dan IV. Ikan dengan TKG III dan IV mempersentasekan ikan-ikan yang telah matang gonadnya dan siap memijah. Sedangkan pada bulan september hingga november, ikan terbang yang matang gonad yang tertangkap telah mengalami penurunan, dan mulai didominasi oleh ikan-ikan muda. Hal ini seiring dengan berakhirnya waktu pemijahan ikan terbang yaitu dimulai dari bulan mei hingga agustus setiap tahunnya.

Gambar 3.14 Komposisi TKG ikan terbang yang tertangkap dalam setahun pada tahun 2012

Perkiraan persentase induk ikan terbang yang tersaji pada Gambar 3.14 menjelaskan bahwa induk ikan yang tertangkap kurang lebih sekitar 80% dari jumlah total ikan yang tertangkap dalam setahun. Pada Gambar 3.14 dapat diketahui komposisi TKG ikan terbang selama setahun upaya penangkapan, dimana persentase (%) terkecil ikan yang tertangkap merupakan ikan-ikan muda (TKG I) sebesar 6 % dan persentase (%) terbesar ikan yang tertangkap merujuk pada ikan yang siap mijah atau TKG IV sebesar 50%. Hal yang sama telah dijelaskan sebelumnya oleh Ali (2005a) bahwa persentase tertinggi dijumpai pada ikan terbang dengan tingkat kematangan gonad IV mulai Maret (10.34%) hingga Juni (82.99%) dan mengalami penurunan pada bulan Juli (67.65%). Selanjutnya, Ali (2005a) melaporkan bahwa dalam penelitiannya, ikan terbang yang ditangkap mulai bulan Juni - September hanya terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok ikan matang (tingkat IV) dan kelompok ikan mijah (tingkat V). Frekuensi kelompok ikan sudah mijah (tingkat V) lebih besar daripada kelompok ikan matang (tingkat IV). Lebih lanjut Ali (2005a) menjelaskan bahwa tingkat kematangan gonad ikan yang tertangkap pada bulan Maret – Juli tahun 2004 di Laut Flores terdiri dari TKG I atau ikan muda 2.78%, TKG II atau mulai matang 10.66%, TKG III atau matang 13.60%, TKG IV atau mijah 58.87% dan TKG V atau salin 14.08%. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa distribusi tingkat kematangan gonad ikan terbang yang tertangkap dengan menggunakan jaring insang hanyut adalah sebagian besar ikan yang matang gonad atau sedang memijah dan hanya sebagian kecil ikan muda.

Berdasarkan distribusi persentase tingkat kematangan gonad ikan terbang diatas maka dilakukan perhitungan perkiraan jumlah induk ikan terbang. Hasil perhitungan dalam menduga jumlah induk ikan terbang yang tertangkap disajikan pada Tabel 3.6.

TKG I 6%

TKG II 14,44%

TKG III 29.73% TKG IV

(45)

Tabel 3.6 Hasil perhitungan dalam menduga jumlah induk ikan terbang

No Deskripsi Jumlah

1 Persentase induk (%) 80

2 MSY ikan terbang (kg/tahun) 818000

3 Berat total induk (kg/tahun) 654400

4 5

Rata-rata bobot induk individu (kg) Rata-rata bobot ikan individu (kg)

0.063 0.060 6 Rata-rata fekunditas ikan terbang (butir) menurut Ali (1981) 7077 7 Perkiraan jumlah induk ikan terbang tahun 2012 (ekor) 10418723

Hasil perhitungan dalam menduga jumlah induk ikan terbang pada Tabel 3.6 menunjukkan bahwa perkiraan jumlah induk yang tertangkap dengan menggunakan jaring insang hanyut dalam pada tahun 2012 adalah sebesar 10418732 ekor. Besarnya jumlah induk ikan terbang yang ikut tertangkap dapat menyebabkan degradasi sumberdaya ikan ini. Seperti yang diketahui bahwa ikan terbang merupakan spesies ikan dengan umur pendek (kurang lebih hanya 1 tahun dengan 1 kali pemijahan). Oleh sebab itu,, penangkapan ikan terbang khususnya induk ikan yang dilakukan sebelum waktu pemijahan akan menyebabkan putusnya siklus regenerasi dari sumberdaya ikan terbang.

Dengan diketahuinya jumlah induk ikan terbang (ekor) maka dapat dilakukan perkiraan jumlah butir telur (fekunditas) yang mungkin dikeluarkan pada waktu pemijahan. Menurut Nikolsky (1969) in Ali (2005), Fekunditas adalah jumlah telur matang yang akan dikeluarkan oleh induk betina atau jumlah telur yang akan dikeluarkan pada waktu pemijahan. Menurut Ali (2005a), Rata-rata fekunditas total yang dimiliki ikan terbang adalah 22668 yang terdiri dari telur – telur matang dan telur belum matang. Telur matang terdapat 9485 butir dengan rata – rata diameter 1,2092±0.009 mm sebagai fekunditas total. Hasil penelitian lain mengenai fekunditas ikan terbang di Selat Makassar juga dilaporkan oleh Nessa et al. (1977) dan Ali (1981). Menurut Nessa et al. (1977) telur matang rata – rata 4793 butir sedangkan Ali (1981) rata – rata 7077 butir dengan diameter 1.49 – 1.79 mm. Berdasarkan informasi ini maka diperkirakan 73.662.936.218 butir telur yang mungkin telah dikeluarkan dari sekitar 10418732 ekor induk ikan terbang. Perkiraan jumlah butiran telur yang dikeluarkan pada tahun tersebut didasarkan pada asumsi bahwa setiap ekor (individu) ikan terbang memiliki fekunditas minimal sekitar 7077 butir seperti yang telah dilaporkan Ali (1981).

(46)

dan telur matang dengan diameter telur yang lebih besar yang siap dipijahkan (sekitar 1.04 – 1.75 mm sebanyak 64%). TKG V (salin) diameter telurnya berkisar 0.07 – 1.26 mm yang terdiri dari telur muda (diamater 0.07 – 0.41 mm sebesar 52.50%), telur mulai berkembang (diamater telurnya 0.50 – 0.92 mm sebesar 43.5%), dan telur matang sebagai telur sisa (sekitar 1.01 – 1.26 mm sebanyak 4%). Namun sayangnya, analisis lebih dalam mengenai fekunditas ikan terbang tidak dapat dilakukan karena terbatasnya informasi mengenai aspek ini termasuk didalamnya informasi mengenai berat dan jumlah butiran telur dalam setiap kilogram (kg).

Besarnya jumlah populasi induk ikan terbang yang tertangkap dalam aktivitas penangkapan nelayan mencerminkan kurangnya pengaturan dalam kegiatan perikanan yang ada di Kabupaten Takalar. Informasi mengenai jumlah induk ikan terbang jelas sangat diperlukan dalam upaya mengelola aktivitas pemanafaatan sumberdaya perikanan khususnya komoditas ikan terbang agar tetap lestari untuk masa yang akan datang.

4.4 Usaha Penangkapan Telur Ikan Terbang

Analisis finansial dalam usaha penangkapan telur ikan terbang di Kabupaten Takalar dilakukan untuk mengetahui keberhasilan dan keuntungan dari kegiatan usaha yang sedang dijalankan. Komponen analisis finansial usaha penangkapan meliputi biaya investasi, biaya produksi serta penerimaan per tahun dari hasil penjualan telur ikan terbang, dimana pemilik kapal terikat dengan pemilik modal (ponggawa). Analisis finansial usaha penangkapan difokuskan pada 2 (dua) lokasi yaitu di Selat Makassar dan Laut Seram yang merupakan fishingground telur ikan terbang. Secara garis besar, komponen biaya investasi dan biaya produksi yang dikeluarkan dalam satu tahun (musim) di perairan Laut Seram lebih besar dibandingkan dengan Selat Makassar. Namun, penerimaan total maupun keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan telur ikan terbang yang berasal dari Selat Makassar jauh lebih kecil dibandingkan yang berasal dari Laut Seram.

.

4.4.1 Usaha Penangkapan di Selat Makassar

Komponen pembiayaan usaha penangkapan nelayan di perairan Selat Makassar terdiri dari biaya investasi dan biaya produksi. Rincian komponen biaya investasi dari usaha penangkapan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar dapat dilihat pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Komponen biaya investasi penangkapan telur ikan terbang di Selat Makassar tahun 2013

Komponen Umur teknis Biaya

Kapal ukuran 15 x 3 x 1,5 m 11 tahun Rp 85.000.000

Mesin 12 pk (Rp 11,550.000 x 2 bh) 9 tahun Rp 23.100.000 Alat tangkap bale-bale (Rp 50.000 x 45 unit) 1 tahun Rp 2.250.000

Surat izin penangkapan non fisik Rp 500.000

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka pikir pemecahan masalah
Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan
Tabel 2.1 Metode pengumpulan data
Gambar 2.2 Proses atau tahapan aplikasi metode RAPFISH dalam perikanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

diusahakan secara intensif dengan menggunakan Pakknja d m Bale-bale. Menggunakan Pakkaja hanya sekitar 1 % dari total penangkapan telur ikan terbang. Pemijahan ikan

Atribut-atribut yang memberikan kontribusi terbesar pada setiap dimensi adalah atribut yang perlu ditangani dengan. baik untuk keberhasilan pengelolaan

Nilai shortening pada bagian atas lebih besar dibandingkan pada bagian bawah agar ukuran alat tangkap pada bagian bawah menjadi lebih panjang dibanding bagian atas, dengan tujuan

Atribut yang paling sensitif memengaruhi keberlanjutan sistem usaha tani padi yaitu (a) dimensi ekologi, yaitu integrasi tanaman dengan ternak, kearifan lokal, dan penambahan

Pengetahuan nelayan tentang puncak musim dan kelimpahan ikan terbang umumnya berpedoman pada pengalaman dan kebiasaan turun temurun sehingga tidak selalu

Hasil tersebut menunjukkan bahwa atribut yang paling sensitif pada dimensi sosial budaya terhadap pengelolaan pesisir yaitu: tingkat pengetahuan masyarakat terhadap

Atribut-atribut yang sentitif atau berpengaruh terhadap keberlanjutan perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik dari masing-masing dimensi adalah sebagai berikut: (a) dimensi

Terdapat atribut sensitif terhadap keberlanjutan PLTMH pada setiap dimensi yaitu: Atribut pengungkit pada dimensi ekologi yaitu; perlidungan terhadap sumber air dan sungai di sekitar