• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Partisipatif Pemanfaatan Taman Wisata Alam Buluhcina, (Kasus di Desa BuIuhcina, Kecamatan Siak BuIu Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan Partisipatif Pemanfaatan Taman Wisata Alam Buluhcina, (Kasus di Desa BuIuhcina, Kecamatan Siak BuIu Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN PARTISIPATIF

PEMANFAATAN TAMAN WISATA ALAM BULUH CINA

(Kasus di Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)

NOVIA MUSTIKASARI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Partisiparif Pemanfaatan Taman Wisata Alam Buluh Cina (Kasus di Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

NOVIA MUSTIKASARI. Perencanaan Partisipatif Pemanfaatan Taman Wisata Alam Buluh Cina (Kasus di Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau). Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan ARIEF RAHMAN.

Taman Wisata Alam (TWA) Buluh Cina yang terletak di Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau awalnya merupakan Hutan Adat Rimbo Tujuh Danau yang memiliki luas sekitar 2.500 ha. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Riau tahun 2007, sebagian areal kawasan hutan dijadikan sebagai kawasan Taman Wisata Alam seluas 1000 ha. Taman Wisata Alam (TWA) Buluh Cina belum dikelola sepenuhnya namun lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi kehidupanya sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk pemanfaatan hutan dan peta lokasi pemanfaatan, mendeskripsikan kesesuaian praktik pemanfaatan hutan dengan peraturan perundangan, serta menyusun rencana pemanfaatan secara partisipatif. Penelitian ini menggunakan data yang diperoleh melalui beberapa metode penggalian data, yakni review data sekunder, observasi langsung, wawancara, Focus Group Discussion (FGD) dan pemetaan kawasan. Hasil perencanaan partisipatif merekomendasikan perlunya bentuk pemanfaatan yang tidak eksploitatif namun masyarakat memiliki akses yang lebih besar dalam mengelola hutan.

Kata kunci: Pemanfaatan hutan, Perencanaan partisipatif, TWA Buluh Cina,

ABSTRACT

NOVIA MUSTIKASARI. Participatory Planning of Utilization Buluh Cina Natural Park: Case in Buluh Cina Village, Siak Hulu Sub-District, Kampar District, Riau Province. Supervised by ERNAN RUSTIADI and ARIEF RAHMAN.

Buluh Cina Natural Park in Kampar District, Riau Province was initially Indigenous Forest (Hutan Adat) of Rimbo Tujuh Danau which has an area about 2.500 ha. Later, based on Governor Decree of Riau Province in 2007, most of the forest area used as a Natural Park area about 1,000 ha. Buluh Cina Natural Park have not been managed yet completely, but commonly it utilized by the communities to fulfill their daily needs. This study aims to determine the uses of forests and map the location of the utilization, furthermore describing the suitability of forest use practices with laws and regulations, as well as the use of participatory plan. This study, using data that obtained through multiple methods of data collection, which are review of secondary data, direct observation, interviews, focus group discussions (FGD) and mapping of areas. The results of this research show that Buluh Cina Natural Park utilization does not match with the provisions of existing law. The results of participatory planning which lead to the type of utilization that does not exploitative but the public has greater accessibility to forest management.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

PERENCANAAN PARTISIPATIF

PEMANFAATAN TAMAN WISATA ALAM BULUH CINA

(Kasus di Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)

NOVIA MUSTIKASARI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah perencanaan partisipasi, dengan judul Perencanaan Partisipatif Pemanfaatan Taman Wisata Alam Buluh Cina, (Kasus di Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau). Dalam proses penyelesaian penelitian ini banyak pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr dan Arief Rahman, MSi selaku pembimbing atas segala nasehat, bimbingan, arahan, motivasi, kesabaran, waktu, pikiran dan keikhlasan yang telah diberikan selama proses penyelesaian karya ilmiah ini. 2. Kedua orang tua tercinta, Bapak, Ibu dan adik-adik tercinta serta seluruh

keluarga yang telah memberikan doa, motivasi, perhatian, pengorbanan, cinta, dan kasih sayang.

3. Bappeda Kampar dan Pemerintah Desa Buluh Cina serta masyarakat Desa Buluh Cina atas bantuan, penerimaan dan kerjasamanya dengan baik.

4. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah memberikan ilmu, nasehat, dan kerjasamanya. Terutama kepada Mbak Esti dan Mbak Dian atas semangat dan bantuannya.

5. Seluruh Sahabat Soil Science ’46 terutama Swaesti, Eka, Azrizal, Anggiat, serta Rudy, yang telah memberikan doa, semangat, kebersamaan, dan kasih sayang selama ini.

6. Sahabat seperjuangan Lab. Bangwil (Teguh, Karina, Wida, Ian, Wilona, Rani), atas doa, motivasi, kebersamaan, dan kasih sayangnya.

7. Temen-teman COMDEV P4W IPB Mas Widy, Mas Ridha, Mas Arifin, Mbak Uty, Kak Rita, Kak Ika, Kak Rika dan Teh Evi atas ilmu, nasehat, semangat, dan motivasinya

8. Sahabat-sahabat baik Aci, Najmi, Jesica, Desrina, Rissa, Dinar, Denisa dan Mutya atas semangat dan kebersamaannya.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan dan Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Hutan dan Kawasan Hutan 3

Pemanfaatan Hutan 4

Hutan Adat dan Masyarakat Hutan Adat di Indonesia 4

Taman Wisata Alam 5

Perencanaan dan Perencanaan Partisipatif 6

RRA (Rapid Rural Apprasial) dan PRA (Participatory Rural Appraisal)

sebagai Metode Partisipatif 7

METODE 9

Waktu dan Lokasi Penelitian 9

Jenis, Data, dan Alat Penelitian 10

Metode Penelitian 11

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 16

Letak Geografis dan Administrasi 16

Demografi 17

Sarana dan Prasarana 18

Sejarah Hutan Adat Buluh Cina 19

Struktur Masyarakat Adat di Kenegerian Enam Tanjung 20

Taman Wisata Alam Buluh Cina 21

Status Kawasan TWA Buluh Cina 21

HASIL DAN PEMBAHASAN 23

Bentuk-bentuk Aktivitas dan Peta Pemanfaatan Hutan 23 Kesesuaian Praktik Pemanfaatan Hutan dengan Ketentuan Peraturan

Perundangan yang berlaku di Kawasan Hutan Buluh Cina 25

Rencana Pengelolaan TWA Buluh Cina 26

(10)

Simpulan 29

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 30

LAMPIRAN 32

(11)

DAFTAR TABEL

1. Luas hutan menurut fungsi tahun 2011 6

2. Hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, teknik analisis data, dan

output yan diharapakan 11

3. Pemanfaatan hutan berdasarkan asal desa pemanfaat 14 4. Pemanfataaan berdasarkan bulan pemanfaatannya 14 5. Penyajian data kesesuaian peraturan perudangan dengan praktik

pemanfaatan hutan 15

6. Diskusi kelompok keberlanjutan hutan 16

7. Sebaran jumlah penduduk berdasarkan dusun 17

8. Sebaran kepala keluarga berdasarkan mata pencahariaannya 18 9. Sebaran jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikannya 18

10. Sejarah Hutan Buluh Cina 20

11. Penghulu adat Desa Buluh Cina, Kenegerian Enam Tanjung 21 12. Tabulasi bentuk aktivitas pemanfaatan menurut dusun asal masyarakat

pemanfaat. 23

13. Tabulasi bentuk aktivitas pemanfaatan dalam satu tahun 24 14. Peraturan perundangan dan praktik pemanfaatan hutan 26

DAFTAR GAMBAR

1. Lokasi Desa Buluh Cina 10

2. Peta Hutan Adat Buluh Cina 17

3. Peta Pola Ruang Desa Buluh Cina 22

4. Peta Status Kawasan Hutan Desa Buluh Cina 22

5. Peta dusun asal pemanfaat hutan 24

6. Peta lokasi aktivitas pemanfaatan hutan 25

DAFTAR LAMPIRAN

1. Dokumentasi Penelitian 32

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai nilai sosial-ekonomi yang tinggi dan memberikan manfaat bagi manusia, baik berupa manfaat benda (tangible) maupun manfaat jasa (intangible). Alokasi hutan untuk berbagai kepentingan atau fungsi (hutan produksi, hutan suaka alam, hutan wisata dan hutan lindung) serta alokasi dan pembangunannya sangat ditentukan oleh nilai manfaat relatif masing-masing pemanfaatan tersebut. Sampai saat ini alokasi sumberdaya hutan untuk berbagai pemanfaatan tersebut belum optimal. Tingginya perhatian terhadap pengelolaan hutan produksi dan rendahnya perhatian terhadap pengelolaan fungsi hutan lainnya menunjukkan ketimpangan alokasi sumberdaya tersebut yang cenderung lebih mengutamakan manfaat tangible daripada manfaat intangible. Salah satu contoh hutan yang memiliki manfaat intangible adalah Hutan Wisata atau Taman Wisata Alam (TWA). Adapun manfaat intangible dari TWA yang dimaksud adalah manfaat rekreasi dan keindahan alam. Hutan Wisata atau Taman Wisata Alam (TWA) secara khusus dibina dan dikelola untuk memberikan manfaat intangible (Darusman 1989).

Dasar hukum pengembangan pariwisata alam yang sesuai dengan prinsip kelestarian adalah Undang-Undang (UU) No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hutan dan Ekosistemnya serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menjadi dasar Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, di mana kegiatan pemanfaatan kawasan hutan tersebut diarahkan bukan pada kegiatan eksploitasi melainkan lebih kepada pengembangan pemenuhan jasa pariwisata alam. Potensi wisata alam di kawasan hutan dengan daya tariknya yang tinggi merupakan potensi yang bernilai jual tinggi sebagai obyek wisata, sehingga pariwisata alam di kawasan hutan layak untuk dikembangkan.

Salah satu contoh TWA yang berada di Provinsi Riau adalah TWA Buluh Cina. Pada awalnya kawasan Hutan Buluh Cina yang terletak di Desa Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau adalah berupa Hutan Adat Rimbo Tujuh Danau yang memiliki luas sekitar 2.500 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor 468/IX/2006 tahun 2006, sebagian areal kawasan Hutan Adat Rimbo Tujuh Danau dijadikan sebagai kawasan Taman Wisata Alam seluas 1.000 ha.

(14)

2

Konflik tersebut menyiratkan bahwa Taman Wisata Alam (TWA) Buluh Cina belum sebagaimana mestinya sepenuhnya namun lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi kehidupanya sehari-hari. Oleh karena itu, perlu dibutuhkan adanya kajian mengenai TWA Buluh Cina dalam rangka mencari bentuk tata kelola hutan yang lebih baik di masa datang yang sesuai dengan harapan masyarakat setempat dan sesuai dengan peraturan perundangan.

Berdasarkan UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, terdapat lima proses perencanaan, yaitu perencanaan politik, perencanaan teknokratif, perencanaan partisipatif, perencanaan top-down, dan perencanaan bottom-up. Pada penelitian ini, kajian mengenai TWA Buluh Cina dilakukan dengan menggunakan perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif merupakan proses yang biasanya dirancang untuk mengatasi masalah yang spesifik, melalui upaya kolaboratif dari stakeholders utama. Hal ini menuntut gambaran yang sangat spesifik mengenai apa yang dilakukan, dalam konteks apa, oleh siapa dan untuk tujuan apa (Fisher 2001).

Menurut Rustiadi et al. (2011), perencanaan partisipatif adalah suatu perencanaan yang pada dasarnya dapat dipenuhi dengan membangun partisipasi seluruh stakeholders agar memperoleh informasi yang lengkap dan dapat dipahami bersama guna membangun keputusan yang terbaik. Perumusan masalah pada penelitian didasarkan dari Hutan Buluh Cina yang semakin rusak akibat dari perilaku masyarakat desa. Sehingga dibutuhkan pengelolaan yang lebih menjamin kelestarian dan keberlanjutan hutan. Oleh karena itu pengelolaannya harus disusun berbasis masyarakat. Di sisi lain kelembagaan adat perlu diberdayakan mengingat status hutan sebelum menjadi TWA adalah hutan adat. Berdasarkan hal tersebut, pendekatan partisipatif dinilai cukup efektif untuk menyusun arahan perencanaan Hutan Buluh Cina. Hal ini dilakukan agar masyarakat Buluh Cina dapat diikutsertakan dalam proses perencanaan serta pelaksanaan dan juga memikul tanggung jawab atas keberlanjutannya.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan dan Kawasan Hutan

Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari; meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai, meningkatkan kemampuan untuk mengembangan kapasitas dan keberadaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan akibat perubahan eksternal serta menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem yang dibentuk atau disusun oleh banyak komponen yang masing-masing komponen tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan saling mempengaruhi dan saling bergantung (Indriyanto 2005). Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Jadi pengertian hutan dan kawasan hutan berbeda satu sama lainnya. Kawasan hutan bisa saja tidak termasuk di dalam kriteria hutan sedangkan hutan belum tentu ditetapkan menjadi kawasan hutan.

Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar memiliki arti dan peran penting dalam menyangga sistem kehidupan. Berbagai manfaat besar dapat diperoleh dari keberadaan hutan melalui fungsinya baik sebagai penyedia sumberdaya air bagi manusia dan lingkungan, kemampuan penyerapan karbon, pemasok oksigen di udara, penyedia jasa wisata dan mengatur iklim global. Sehingga pengelolaan hutan, sudah saatnya didorong untuk mempertimbangkan manfaat, fungsi dan untung-rugi apabila akan dilakukan kegiatan eksploitasi hutan. Berapa banyak nilai dari fungsi yang hilang akibat kegiatan penebangan hutan pada kawasan-kawasan yang memiliki nilai strategis seperti pada kawasan hutan di daerah hulu DAS (Daerah Aliran Sungai), sehingga pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan hutan di Indonesia (Suryatmojo 2005).

(16)

4

Pemanfaatan Hutan

Menurut Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007, pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya.

Hutan merupakan sumberdaya alam yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Manfaat-manfaat tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu manfaat nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible). Manfaat nyata adalah manfaat hutan yang berbentuk material atau dapat diraba yang berupa kayu, rotan, getah, dan lain-lain. Sedangkan manfaat tidak nyata adalah manfaat yang diperoleh dari hutan yang tidak dapat dinilai oleh sistem pasar secara langsung atau berbentuk inmaterial/tidak dapat diraba, seperti keindahan alam, iklim mikro, hidrologis, dan lain-lain (Karisma 2010).

Hutan Adat dan Masyarakat Hutan Adat di Indonesia

Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Penghancuran pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan adat secara sistematis lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa tidak sepenuhnya berhasil. Banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat (Nababan 2008).

(17)

5 Mangandar (2000) menjelaskan bahwa keterkaitan (interaksi) antara masyarakat dengan hutan cukup lama karena hutan memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Keberadaan hutan juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bekerja terutama dalam hal pembukaan lahan, penebangan kayu, pembersihan lahan, sehingga memperoleh upah (pendapatan). Selain itu, bagi masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumber-sumber dasar yang terdapat di hutan seperti kayu bakar dan hasil hutan lainnya akan memberikan nilai tambah terutama bagi masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan.

Darusman (1992) menjelaskan bahwa hubungan antara masyarakat desa sekitar hutan dengan kawasan hutan di sekitarnya merupakan hubungan yang sangat erat, khususnya aspek ekonomi, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kesehatan. Hutan telah memberikan berbagai keperluan rumah tangga, baik sumber energi, vitamin, mineral, dan kalori bagi keperluan hidup sehari-hari. Secara ekologis, hutan merupakan lingkungan hidup bagi masyarakat sekitarnya. Secara ekonomi, hutan mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan dan menjual hasil hutan non kayu. Ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan terhadap keberadaan sumberdaya hutan terlihat dari banyaknya masyarakat yang menjadikan hutan sebagai sumber pekerjaan dan pendapatan.

Taman Wisata Alam

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 1998 dan PP No. 28 Tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Taman Wisata Alam adalah Kawasan Pelestarian Alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Pengolahan taman wisata ditujukan pada upaya terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan masyarakat dan mutu kehidupan (Ngadiono 2004). Menurut PP No. 28 Tahun 2011, kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam meliputi: a. mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau bentang alam, gejala alam serta formasi geologi yang unik; b. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik alam untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; dan c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.

Kawasan Taman Wisata Alam dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Suatu kawasan Taman Wisata Alam dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya. Rencana pengelolaan Taman Wisata Alam sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan kawasan.

(18)

6

kawasan, (2) melakukan kegiatan usaha yang menimbulkan pencemaran kawasan, (3) melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang. Kegiatan yang dianjurkan diatur dalam PP 28 Tahun 2011 (Pasal 37), dimana Taman wisata alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan: (1) penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam; (2) penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; (3) pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; (4) pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya; (5) pembinaan populasi dalam rangka penetasan telur dan/atau pembesaran anakan yang diambil dari alam; dan (6) pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011 Provinsi Riau, hutan kawasan konservasi di Provinsi Riau memiliki memiliki luas 628.636 ha. Hutan produksi terbatas mendominasi luasan hutan di Provinsi Riau. Tabel 1 menampilkan luas hutan berdasarkan fungsinya.

Tabel 1 Luas hutan menurut fungsi tahun 2011

Fungsi Luas (ha) Presentase (%)

Hutan Lindung 208.910,00 2,31

Hutan Suaka alam dan Hutan Wisata 628.636,00 6,96

Hutan Produksi Tetap 1.638.519,00 18,13

Hutan Produksi terbatas 2.952.179,00 32,67

Non Kawasan Hutan 3.489.331,00 38,60

Hutan Mangrove/Bakau 119.260,00 1,32

Total 9.036.835,00 100

Sumber : BPS 2011

Perencanaan dan Perencanaan Partisipatif

Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya (Rustiadi et al. 2011). Sedangkan menurut Benveniste dalam Fisher (2001), perencanaan merupakan suatu proses yang berkaitan dengan evaluasi berdasarkan keputusan dan kebijakan yang dilakukan sebelum melakukan tindakan. Dari berbagai pendapat dan definisi maka terlihat secara umum hampir selalu terdapat dua unsur penting dalam perencanaan, yakni (1)

unsur “hal yang ingin dicapai” dan (2) unsur “cara untuk mencapainya”. Dalam

penjabarannya di dalam proses perencanaan dikenal berbagai nomenklatur-nomenklatur seperti visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, program, proyek, aktivitas dan lain-lain (Rustiadi et al. 2011).

Partisipasi adalah proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, yang melibatkan individu dan kelompok yang mewakili beragam kepentingan, keahlian dan sudut pandang dan yang bertindak untuk kebaikan semua orang terpengaruh oleh keputusan yang mereka buat dan tindakan yang mengikuti (Fisher 2001).

(19)

7 manipulasi dan (2) terapi (penentraman), dimana dari kedua poin anak tangga tersebut menggambarkan tingkat "tidak ada partisipasi". Kemudian pada anak tangga selanjutnya (3) menginformasikan dan (4) konsultasi, Arnstein menggambarkan bahwa kegiatan partisipasi hanya sebagai (tokenism). Contohnya pertemuan-pertemuan di mana masyarakat diberi informasi dari beberapa tindakan yang secara langsung akan mempengaruhi gaya hidup atau lingkungan mereka. Pada anak tangga (5) ditetapkan sebagai placation, yang memiliki tingkatan sedikit lebih tinggi dari tokenisme dalam taksonomi Arnstein tentang mendaki skema. Pada tingkatan ini seringkali kaum miskin diberikan kesempatan yang lebih besar untuk menasihati, namun masih terdapat tidak adanya kekuatan untuk mendukung keahlian mereka. Anak tangga partisipasi yang terakhir adalah (6) kemitraan, (7) delegasi kekuasaan, dan (8) pengawasan oleh masyarakat, dimana dari ketiga poin anak tangga tersebut menggambarkan tingkat untuk berbagi kekuasaan.

Dalam perencanaan pembangunan menurut UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, terdapat lima proses perencanaan yaitu perencannan politik, perencanaan teknokratik, perencanaan partisipatif, perencanaan top-down dan perencanaan bottom-up. Pembangunan masyarakat dan pengembangan wilayah pedesaan melibatkan berbagai faktor-faktor sosial, ekonomi, budidaya dan teknologi, yang satu sama lain saling berinteraksi dalam proses pembangunan. Setiap pembangunan menawarkan perubahan yang dampaknya terhadap suatu wilayah dengan wilayah lainnya boleh jadi akan berlainan.

Menurut Rustiadi et al. (2011) Perencanaan partisipatif adalah suatu perencanaan yang pada dasarnya dapat dipenuhi dengan membangun partisipasi seluruh stakeholders agar memperoleh informasi yang lengkap dan dapat dipahami bersama guna membangun keputusan yang terbaik.

Menurut Fisher (2001), perencanaan melibatkan penempatan rencana aksi bersama yang realistis dan dapat dengan cepat diimplementasikan. Rencana tidak dibuat dalam ruang hampa, selain itu terdapat suatu keyakinan mendasar bahwa perencanaan adalah pengambilan keputusan dan bahwa keputusan dicapai melalui proses perencanaan partisipatif yang "dimiliki" oleh orang-orang yang membantu membuat perencanaan. Dengan kata lain, proses partisipatif meningkatkan kemungkinan implementasi. Perencanaan partisipatif merupakan proses yang biasanya dirancang untuk mengatasi masalah yang spesifik, melalui upaya kolaboratif dari stakeholders utama. Hal ini menuntut gambaran yang sangat spesifik mengenai apa yang dilakukan, dalam konteks apa, oleh siapa dan untuk tujuan apa.

RRA (Rapid Rural Apprasial) dan PRA (Participatory Rural Appraisal) sebagai Metode Partisipatif

(20)

8

kehidupan. Ketiganya terus dipraktikkan dalam berbagai cara yang saling melengkapi.

RRA

RRA, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Pengkajian Pedesaan dalam Waktu Singkat merupakan suatu metode yang termasuk baru. Metode ini berkembang dari akhir dekade 70-an. Beberapa ahli mendeskripsikan metodologi sebagi berikut.

“RRA adalah studi mengambil sistem perspektif, menggunakan triangulasi untuk mengumpulkan informasi, yang literatif dan eksploratif dalam menganalisis informasi, selesai dalam jangka waktu yang terbatas, dan fleksibel. Dilakukan oleh tim multidisiplin dan menggabungkan informasi yang dikumpulkan sebelumnya, observasi langsung, dan wawancara semi-terstruktur”.

Sebagai metode baru, RRA dirancang terutama untuk tim yang berbeda multidisiplin ilmu, guna dipakai untuk menggumpulkan dan menganalisis informasi atau data dalam jangka waktu yang singkat. Dengan metode ini, tim dapat menganalsis dan menarik kesimpulan lebih komprehensif. Metode RRA lebih diarahkan pada pemahaman peramasalahan suatu tempat atau desa secara menyeluruh, sedangkan pada studi kasus, kita hanya meneliti sebagian dari apa yang ada dan terjadi pada lokasi tersebut, lagipula dalam studi kasus, lokasi lebih luas, sedangkan dalam RRA tidak. Dalam pelaksanaannya, metode RRA juga sekaligus melakukan konfrimasi data (secara segitiga) data sekunder dan pendalaman melalui wawancara semistruktural dengan pengambil kebijakan. (Daniel et al. 2005)

Menurut Chambers (2008), dari makalah dan diskusi sejauh ini terdapat sepuluh teknik dasar RRA. Kesepuluh teknik ini masihlah belum lengkap, tetapi cukup memberikan gambaran. Kesepuluh teknik tersebut yaitu; (1) gunakan informasi yang telah tersedia, (2) belajar dari pengetahuan lokal yang dikuasai masyarakat setempat, (3) gunakan indikator-indikator kunci, (4) adaptasi dari pernyataan Hildebrand mengenai pendekatatan multi-disipliner, (5) libatkan masyarakat setempat atau orang lokal bagian dari tim peneliti, (6) lakukan observasi langsung (7) kenali dan gali informasi dari informan-informan kunci, (8) lakukan wawancara kelompok (9) wawancara semi-terstruktur dan (10) pemeriksaan berdsarkan survey pengamatan.

PRA

(21)

9 PRA (Participatoty Rural Appraisal) merupakan suatu teknik untuk menyusun dan mengembangkan program yang operasional dalam pembangunan tingkat desa. Metode ini ditempuh dengan memobilisasikan sumberdaya manusia atau alam setempat, lembaga lokal guna mempercepat peningkatan produktivitas, menstabilkan dan meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mampu melestarikan sumberdaya setempat.

Pada pelaksanaannya, metode ini lebih menekankan pada diskusi kelompok dibandingkan dengan diskusi individu. Peneliti berperan sebagai fasilitator dan sekaligus katalisator, sedangkan masyarakat setempat lebih banyak berperan dalam menggali, menganalisis, merencanakan dan melaksanakan. Seperti halnya RRA, alat analisis yang digunakan dalam PRA berasal dari berbagai disiplin ilmu seperti antropologi, sosial, analisi agroekosistem, sistem usaha tani, dan lain sebagainnya.

Tujuan utama dari PRA adalah untuk menjaring rencana atau program pembangunan pedesaan yang memenuhi persyaratan, yaitu diterima oleh masyarakat setempat, secara ekonomi menguntungkan, sesuai dengan kondisi desa dan lingkungan serta berdampak positif dan lingkungan sekitarnya. Metode PRA dapat membantu dalam menggerakan sumberdaya alam dan manusia untuk memahami masalah, mempertimbangkan program yang telah sukses, menganalisis kapasitas kelembagan lokal, menilai kelembagaan modern yang telah diintrodusir dan membuat rencana atau program spesifik yang operasional secara sistematis (Daniel et al. 2005).

Hubungan RRA dan PRA

Pengertian RRA sebagai bentuk pengumpulan data oleh orang luar yang kemudian mengambil dan menganalisisnya dan PRA sebagai bentuk yang lebih partisipatif, artinya orang luar lebih berperan sebagai orang yang mengadakan pertemuan, katalis dan fasilitator yang memungkinkan masyarakat melakukan dan membagi penyelidikan dan analisis tentang mereka sendiri. RRA di maksudkan sebagai pemahaman orang luar, sedangkan PRA dimaksudkan untuk memungkinkan masyarakat setempat melaksanakan analisis tentang mereka sendiri, dan sering juga merencanakan dan mengambil tindakan.

Dalam praktiknya, terdapat kesinambungan antara RRA dan PRA. Hal ini dapat dipahami melalui penjelasan metode. Beberapa metode, seperti pengamatan langsung. Dan wawancara semi-terstrukur, telah ditekankan dalam RRA tetapi dapat juga menjadi bagian penting PRA yang baik. Metode lain, seperti pemetaan partisipatif, dimana masyarakat setempat membuat peta-peta mereka sendiri dan pembuatan diagram partisipatif, ditekankan dalam PRA tetapi juga dapat juga digunkan dalam RRA (Chambers 1996).

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

(22)

10

ini dimulai pada bulan Maret 2013. Pengelolaan data dilakukan di Studio Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (DITSL) Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB.

Gambar 1 Lokasi Desa Buluh Cina Jenis, Data, dan Alat Penelitian

(23)

11 Tabel 2 Hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, teknik analisis data, dan

output yang diharapkan

No. Tujuan Metode Data dan sumberdata Output yang

diharapkan

Overlay peta Data Primer: Peta aktivitas dengan masyarakat, titik

Penelitian ini menggunakan empat metode yaitu (1) pengkajian data sekunder, (2) teknik RRA, (3) teknik PRA dan (4) pemetaan kawasan. Berikut ini diuraikan rincian metode analisis menjawab tujuan penelitian dengan menggunakan jenis alat data dan metode yang telah disebutkan.

Analisis Bentuk-bentuk Pemanfaatan Hutan

(24)

12

desa seperti RPJM Desa Buluh Cina (2011-2015) dan Profil Desa Buluh Cina. Pengkajian data sekunder atau review data sekunder merupakan cara mengumpulkan sumber-sumber informasi yang telah diterbitkan maupun yang belum disebarkan. Tujuan dari usaha ini adalah untuk mengetahui data manakah yang telah ada sehingga tidak perlu lagi dikumpulkan. Hal ini akan membantu untuk mendapatkan gambaran mengenai suatu wilayah tertentu seperti misalnya karakteristik penduduk berdasarkan mata pencahariannya, jumlah seluruh penduduk dan penggolongannya. Adanya data sekunder juga berguna untuk mengetahui kebutuhan informasi khusus dan rinci yang perlu digali di lapangan, serta sebagai data pembanding terhadap informasi yang diperoleh langsung dari masyarakat. Data sekunder merupakan data yang didapat sebagai hasil atau buah karya pihak ketiga, meliputi dokumen-dokumen resmi dari berbagai instansi pemerintah, majalah, buletin, publikasi dari berbagai organisasi, hasil-hasil studi dan survei (Tim Editorial 1994).

Kemudian dilakukan observasi langsung terhadap aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat di dalam hutan. Wawancara semi-terstruktur bertujuan untuk mengetahui lebih jauh aktivitas masyarakat secara personal dan lebih mendalam. Kedua metode tersebut termasuk ke dalam teknik RRA. Berikut adalah penjelasan mengenai metode tersebut;

1) Observasi Langsung

Pengamatan, meliputi pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan seluruh alat indra. Sebenarnya, mengamati adalah bagian dari aktivitas keseharian. Pembeda antara observasi sebagai aktivitas sehari-hari dengan observasi sebagai teknik penelitian adalah:

 ada tujuan pengamatan, dan tujuan itu diformulasikan sedari awal,  direncanakan dengan sistematis,

 hasil pengamatan senantiasa tercatat atau direkam setiap waktu, dan  teruji validitas dan reliabilitasnya.

Jadi observasi merupakan suatu penyelidikan yang dilakukan secara sistematik dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat indra terutama mata terhadap kejadian yang berlangsung dan dapat dianalisis pada waktu kejadian itu terjadi. Dibandingkan metode survei, metode observasi memiliki keunggulan dari sisi tidak adanya bias responden dan tidak diperlukannya kesediaan atau kerjasama responden.

Tujuan pengamatan adalah praktik-praktik pengelolaan hutan adat dan kondisi eksisting sumberdaya meliputi sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, sumberdaya alam, dan sumberdaya sosial. Perekaman hasil pengamatan dilakukan melalui pengambilan gambar oleh peneliti. Observasi yang dilakukan selama satu minggu penelitian.

Observasi dilakukan tanpa disembunyikan (observasi partisipan), bukan observasi sembunyi (disguised observation). Hal ini membuat peneliti menjadi bagian dari kelompok yang diamati dalam rangka membangun kepercayaan (trust building) antara peneliti dan masyarakat di lokasi penelitian (P4W 2013).

2) Wawancara Semi Terstruktur

(25)

13 terstruktur dicirikan dengan fleksibilitas, pada saat wawancara pertanyaan dapat dikembangkan. Selain itu, tidak ada urutan yang pasti tentang pengajuan pertanyaan. Peneliti pun memiliki kebebasan dalam mengembangkan pertanyaan.

Tujuan dari wawancara terstruktur adalah menggali berbagai informasi tentang keadaan sosial dan keadaan di wilayah desa tersebut serta mengidentifikasi jenis-jenis masalah yang terjadi. Wawancara semi terstruktur dipilih karena yang hendak didapatkan adalah kedalaman informasi (eksploratif) agar didapatkan pemahaman yang menyeluruh (comprehensive understandings) (P4W 2013)

Untuk dapat mengetahui persepsi dan aspirasi masyarakat dalam pemanfaatan terhadap hutan maka perlu adanya FGD. FGD termasuk kedalam proses PRA yang menjadi dasar perbedaan proses RRA dan PRA, berikut merupakan uraian mengenai FGD.

Teknik diskusi kelompok terfokus atau Focus Group Discussion (FGD) berupa diskusi antara beberapa orang untuk membicarakan hal-hal bersifat khusus secara mendalam. Tujuannya untuk memperoleh gambaran terhadap suatu masalah tertentu dengan lebih rinci. FGD merupakan satu metode yang cukup efektif dan seringkali digunakan dalam membangun konsensus (consensus building) melalui proses menggali dan mempertemukan pendapat-pendapat dari kalangan yang berbeda. Melalui FGD, maka perspektif akan suatu isu (yang menjadi bahan diskusi) akan menjadi lebih lengkap karena partisipan FGD dari beragam kalangan menyuarakan pendapatnya, dan berbekal perspektif yang lebih lengkap itu akan dihasilkan keputusan (dalam bentuk konsensus) yang lebih berkualitas. Konsensus tersebut dibangun dengan diperantarai fasilitator yang netral yang memandu jalannya diskusi.

Melalui kedua fokus ini, maka FGD dapat dijalankan dan menghasilkan secara optimal karena isu yang tepat didiskusikan oleh orang yang tepat. Sebagai sebuah metode, maka FGD memiliki pola sebagai berikut (P4W 2013):

1. Dilakukan dalam satu kelompok kecil (dengan jumlah partisipan paling banyak sepuluh orang), jika partisipan jumlahnya banyak, maka akan dipecah ke dalam kelompok-kelompok kecil FGD,

2. Dipandu oleh fasilitator yang netral dan tidak turut “membentuk” hasil diskusi,

3. menjunjung prinsip kesetaraan antar partisipan sehingga setiap partisipan memiliki hak yang sama untuk menyuarakan pendapatnya tanpa dibeda-bedakan atas dasar jabatan atau lainnya,

4. Berawal dari keragaman pendapat, dan berujung pada konsensus bersama antar partisipan.

Alur proses FGD yang dilakukan dengan beberapa masyarakat:

1. Presentasi hasil sementara mengenai hal-hal yang ditemui di lapangan dan pemanfaatan. Kemudian dibuka forum diskusi terhadap hasil presentasi. 2. Diskusi kelompok dibagi menjadi dua kali pengisian tabel-tabel untuk

(26)

14

Tabel 3 Pemanfaatan hutan berdasarkan asal desa pemanfaat

Jenis Pemanfaatan

Dusun 1 Dusun 2 Dusun 3 Dusun 4 Warga Luar

Ada/ Tidak

Tingkat Ada/tidak Tingkat Ada/tidak Tingkat Ada/tidak Tingkat Ada/tidak Tingkat

3. Tabel yang kedua berisikan tentang intesitas pemanfaatan hutan pada setiap bulan dalam satu tahun, sebagimana tabel 4 berikut ini.

Tabel 4 Pemanfataaan berdasarkan bulan pemanfaatannya

Bulan 1 2 3 4 5 6 .... 12

Analisis data yang digunakan dalam pengolahan data adalah dengan analisis deskriptif melalui tabulasi (penyajian data dalam bentuk tabel). Bentuk-bentuk aktivitas pemanfaatan ditabulasikan yang dibagi menjadi dua kategori. Pertama, dilakukan mengisikan asal dusun pemanfaat hutan dengan mengunakan kriteria sebagai berikut: a) banyak (>30-20 orang), b) sedang (10-20 orang), c) (<10 orang) dan tidak ada (0 orang) masing-masing diberi angka 3 untuk banyak, 2 sedang, 1 sedikit dan 0 tidak ada. Kedua, untuk mengisikan intensitas masyarakat desa memanfaatkan hutan menggunakan kriteria sebagai berikut: a) sering (setiap hari), b) sedang (3 kali seminggu) dan c) jarang (1 kali seminggu) dan 0 (tidak ada) masing-masing diberi angka 3 untuk sering, 2 sedang,1 jarang dan 0 tidak ada.

Pemetaan yang dilakukan adalah pemetaan kawasan yang sering digunakan masyarakat dalam memanfaatkan Hutan Buluh Cina. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan kertas Flip-chart dan spidol. Pada metode ini juga di gunakan GPS (Global Positioning System) untuk menandai wilayah yang menjadi titik-titik pemanfaatan. Kemudian di kedua hasil tersebut di-overlay untuk menghasilkan Peta Lokasi Pemanfaatan Kawasan Hutan.

Analisis Kesesuaian Praktik Pemanfaatan Hutan

(27)

15 Praktik pemanfaatan diketahui melalui metode observasi langsung dan wawancara semi-terstruktur. Observasi langsung dilakukan pada tujuan ini untuk untuk melihat berbagai macam bentuk pemanfaatan yang sesuai dengan peraturan perundangan atau yang melanggar peraturan perundangan. Wawancara semi-terstruktur bertujuan untuk mengetahui lebih jauh aktivitas masyarakat secara personal dan lebih mendalam. Analisis data yang digunakan dalam pengolahan data adalah dengan analisis deskriptif melalui tabulasi (Tabel 5). Tujuan ini menggunakan metode RRA yang telah diuraikan pada tujuan pertama.

Tabel 5 Penyajian data kesesuaian peraturan perundangan dengan praktik pemanfaatan hutan

Peraturan Perundangan Praktik Pemanfaatan Hutan

Fungsi Utama

Kegiatan yang melanggar Kegiatan yang dianjurkan

Penyusunan Rencana Pemanfaatan Kawasan Hutan Buluh Cina

Rencana pemanfaatan Kawasan Hutan Buluh Cina disusun menggunakan data yang diperoleh melalui empat metode penggalian data, yakni review data sekunder, observasi lapang, wawancara semi-terstuktur terhadap stakeholder yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan Hutan Buluh Cina, dan FGD yang dilakukan untuk menggali persepsi dan aspirasi masyarakat dalam pengelolaan Hutan Buluh Cina. Perumusan rencana pemanfaatan hutan ini terdiri visi, misi dan strategi pemanfaatan sumberdaya hutan.

Visi dan misi merupakan bagian dari perencanaan. Visi mengandung arti sebagai kondisi ideal yang ingin dicapai di masa datang, sedangakan misi memiliki arti cara yang harus dilakukan untuk mencapai visi. Visi dan misi merupakan komponen atau statement dalam tatanan yang paling tinggi, normatif, bersifat umum dan mendasari statement-statement yang lebih operasional yakni sasaran dan tujuan. Penyusunan rencana pemanfaatan ini dibantu oleh tim Masterplan Hutan Larangan Adat Kenegrian Rumbio dan Hutan adat Buluh Cina Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Tim tersebut adalah sebuat tim yang dibentuk dari kerja sama antara P4W-LPPM IPB dengan Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Kabupaten Kampar.

Alur proses FGD dilakukan di anjungan “M.Yunus” yaitu:

1. Presentasi hasil sementara mengenai hal-hal yang ditemui di lapangan dan isu-isu strategis yang didapat. Kemudian dibuka forum diskusi terhadap hasil presentasi.

2. Perumusan visi hutan larangan adat. Setiap partisipan diberikan alat diskusi (metacard dan spidol) untuk berpartisipasi menuliskan pendapatnya mengenai visi yang sesuai dalam bentuk kalimat.

3. Fasilitator merangkum setiap kalimat yang tertulis di metacard, kemudian didiskusikan bersama seluruh partisipan sehingga terbentuk satu visi hutan larangan adat.

4. Diskusi kelompok dibagi menjadi 3 kelompok kecil yaitu kelompok sumberdaya alam, sumberdaya buatan/ sumberdaya finansial dan sumberdaya manusia.

(28)

16

Tabel 6 Diskusi kelompok keberlanjutan hutan

Apa yang

dikerjakan

Siapa yang

mengerjakan

Kapan dikerjakan

Siapa yang

diajak kerjasama

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis dan Administrasi

Desa Buluh Cina merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Gambar 2). Desa ini terletak pada

posisi 101’ 27’Bujur Timur sampai 101’34” Bujur Timur dan 0’17’ Lintang Utara sampai 0’23’’ Lintang Utara. Desa ini terdiri dari daerah pemukiman, perkebunan, danau, sungai, hutan dan rawa. Wilayah Desa Buluh Cina berbatasan dengan beberapa desa dengan Kecamatan yang sama yaitu Kecamatan Siak Hulu. Secara lengkap wilayah ini mempunyai batas-batas sebagai berikut :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Baru

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Buluh napis c. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tajung Balam d. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pangkalan Baru

(29)

17

Gambar 2 Peta Hutan Adat Buluh Cina

Demografi

Data RPJMdes 2011 menunjukkann bahwa jumlah penduduk Buluh Cina 1.481 jiwa, dengan 391 KK,terdiri atas 781 orang laki-laki dan 700 orang perempuan, berdomisili di desa dengan luas wilayah 6.500 ha. Jumlah penduduk tersebut terbagi ke dalam empat dusun. Dusun Satu memiliki jumlah penduduk terbanyak sedangkan Dusun Empat memiliki jumlah penduduk paling sedikit. Tabel 7 mununjukkan jumlah penduduk berdasarkan dusun. Adapun suku yang terdapat di desa ini hanya ada 2 (dua) suku, yaitu suku Melayu dan suku Domo yang merupakan bagian dari Rumpun Melayu.

Tabel 7 Sebaran jumlah penduduk berdasarkan dusun

Dusun Jumlah

Penduduk (orang)

%

1 361 24,4

2 347 23,4

3 327 22,1

4 320 21,6

Jumlah 1.481 100,0

(30)

18

sebagai PNS dan TNI/POLRI. Tabel 8 menunjukkan jumlah kepala keluarga berdasakan mata pencaharian.

Tabel 8 Sebaran kepala keluarga berdasarkan mata pencahariaannya Mata

Tingkat pendidikan di Desa Buluh Cina masih tergolong rendah. Sebagian besar penduduknya 1.080 orang atau 79,1% tidak tamat SD. Sedangkan 200 orang atau 14,7% lainnya mengenyam pendidikan hingga tamat SD. Hanya 10 orang atau 0,7% yang mampu melanjutkan pendidikan hingga sarjana. Tingkat pendidikan yang ditempuh penduduk desa Buluh Cina ditunjukan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikannya

Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang tersedia di Desa Buluh Cina terdiri sarana pemerintahan desa, sarana trasportasi desa, sarana pendidikan, tempat peribadatan, sarana kesehatan, sarana adat dan sarana umum.

Sarana pemerintah desa terdiri dari kantor desa, balai desa dan Anjungan M. Yunus. Anjungan M.Yunus adalah gedung serba guna yang biasanya digunakan untuk pertemuan atau rapat tertentu. Sarana transportasi desa meliputi kapal penyeberangan menuju dusun 1 dan 2. Selain itu, terdapat juga jalan poros atau utama yang menghubungkan Desa Buluh Cina dengan Desa Baru dan Desa Tanjung Balam. Sedangkan untuk jalan desa hanya terdiri dari beberapa ruas jalan kecil. Sarana pendidikan yang terdapat di desa Buluh Cina meliputi satu Taman Kanak-kanak yaitu TK Bunga Tanjung, satu SD Negeri yaitu SDN Buluh Cina, satu madrasah Aliyah setingkat SD dan satu perpustakaan Anak Negeri sebagai taman bacaan bagi masyarakat Buluh Cina. Sarana peribadatan terdiri dari dua mesjid dan empat mushola. Sarana kesehatan terdiri dari satu Puskesmas

(31)

19 pembantu dan satu posyandu. Sarana adat meliputi Balai adat dan selasar bunga laju (tempat pertemuan adat yang biasanya digunakan untuk berkumpul warga). Sarana umum yang terdapat di desa Buluh Cina meliputi pemakaman umum, taman berkumpul, serta sarana olahraga seperti empat lapangan voli dan satu lapangan bola.

Sejarah Hutan Adat Buluh Cina

Buluh Cina adalah desa adat di mana masyarakat masih teguh memegang tradisi dan nilai-nilai adat yang dipelihara turun-temurun sejak nenek moyangnya. Sebagai desa adat Desa Buluh Cina semula memilki tanah atau hutan ulayat yang luasnya sebesar 30.000 ha. Namun karena pemekaran desa, Hutan Ulayat Buluh Cina hanya tersisa 1.500 ha. Sampai 1997 desa ini masih terisolir, tertinggal dan miskin serta tidak memiliki akses jalan dari jalan kecamatan. Hutan Ulayat Buluh Cina sejak tahun 1970 dieksplotasi secara besar-besaran dengan melakukan penebangan liar yang disusul dengan penjualan tanah ulayat. Semua warga bebas menebang kayu dihutan, baik untuk membangun rumah maupun dijual. Tidak ada kewajiban apapun, bagi penjual hutan atau tanah ulayat, misalnya memberi sumbangan apapun. Pada tahun 1997 belasan ribu hektar tanah ulayat Buluh Cina nyaris punah terjual, hanya tersisa seluas 2.500 ha. Hutan hanya bersisa 1.000 ha yang masih utuh sedangkan sisa 1.500 sudah dirambah untuk keperluan Perkebunan Kelapa Sawit. Tahun yang sama juga masyarakat Buluh Cina membentuk Lembaga Musyawarah Besar (LMB) yang berperan sebagai jembatan antara desa dengan pemerintah kabupaten dan provinsi serta lembaga-lembaga lainnya.

Pada tahun 2000 masyarakat yang awalnya patuh terhadap peraturan yang dibuat oleh ninik mamak mulai merambah kembali hutan dan mulai mengganggu kawasan hutan larangan. Pada tanggal 24 Maret 2004 di hadapan 200 warga desa, ketua LMB, ninik mamak, kepala desa secara simbolis menyerahkan 1.000 ha hutan yang diwakili oleh ketua LMB (Bapak Makmur Hendrik) diberi nama Rimbo Tujuh Danau kepada Pemerintah Provinsi Riau diterima langsung oleh Gubernur Riau Rusli Zainal yang khusus datang ke desa tersebut. Kunjungan Dinas kehutanan dan DPRD Provinsi Riau ke hutan tersebut, menghasilkan turunnya Surat Keputusan Gubenur Riau No. 468/IX/2006 tanggal 6 September, Wisata Alam (TWA) Rimbo Tujuh Danau Provisni Riau. Bulan November dibentuklah Satuan Tugas Penyelamatan Hutan Ulayat (Satgas-PHU) untuk menjaga serta mengawasi hutan wisata tersebut.

(32)

20

Tabel 10 Sejarah Hutan Buluh Cina

Tahun Kejadian

Sebelum 1945

Masyarakat dikenalkan sistem kebun oleh pemerintah kolonial dan masyarakat menanamkan Karet

1970 Pembalakan liar dimulai di hutan-hutan sekitar Kenegerian Buluh Cina. Menebang dan menjual kayu mejadi mata pencaharian masyarakat

1997 Hutan hanya tersisa 2.500 ha dan yang utuh hutannya hanya 1000 ha. dan dibentuknya LMB

2000 Masyarakat melakukan pembalakan hutan dan mulai mengganggu kawasan hutan larangan

2004 Penyerahan hutan ulayat 1.000 ha kepada pemerintah Provinsi Riau dan 1.500 dijadikan sebagai kebun kelapa sawit atau kebun karet. 2006 Penetapan Surat Keputusan Gubernur Riau hutan ulayat menjadi

Hutan Taman Wisata Alam Buluh Cina. Dibentuknya satgas PHU. Mendapatkan bantuan sumbangan dari PT Caltex

2009 Mendapatkan Kalpataru dan dicabut tahun yang sama

2011 Hutan adat TWA Buluh Cina mulai dirambah oleh masyarakat

2012 Pembukaan kebun di wilayah TWA Buluh Cina di zona inti wisata, Danau Pinang Luar dan Danau Pinang Dalam

2013 Hutan TWA semakin rusak karena pemanfaatan tidak sesuai fungsinya

Struktur Masyarakat Adat di Kenegerian Enam Tanjung

Kenegerian Enam Tanjung merupakan sebuah perkampungan atau negeri tua di Kecamatan Siak Hulu, Provinsi Riau yang sarat akan sejarah, baik agama, adat istiadat maupun perannya sebelum dan sesudah kemerdekaan. Pada tahun 1800 kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di daerah sepanjang Sungai Kampar yang berawal dari Muara Kuala Kampar Negeri Sokap dalam wilayah Negeri Kerajaan Pelalawan sampai hulunya Muara Sako Air Bersimpang Tiga Sungai Kampar Kiri dalam wilayah kenegerian Kerajaan Gunung Sahilan dan sungai Kampar Kanan dalam wilayah Negeri Pekanbaru Kerajaan Siak. Kenegerian tumbuh dan berkembang secara turun-temurun selama seabad-abad sepanjang sejarah telah memberikan sumbangan yang cukup berharga bagi perjuangan kemerdekaan dan kelangsungan di segala aspek pusaka di antaranya Tanah Ulayat yang turun temurun dipelihara keutuhannya dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan warganya yang merata. Kenegrian Enam Tanjung dibagi ke dalam beberapa daerah Desa yaitu, Desa Buluh Cina (desa tertua) Desa Watas Hutan, Desa Pangkalan Baru, Desa Baru, Desa Pandau Jaya dan Desa Tanah Merah (Arsip Desa 2009).

(33)

21 Kenegerian Enam Tanjung. Dalam kelembagaan adat pucuk adalah bertindak sebagai pemimpin di desa atau di kenegrian. Sedangkan dubalang berperan sebagai penjaga atau panglima yang memiliki tugas menjaga keamanan dan keselamatan warga.

Tabel 11 Penghulu adat Desa Buluh Cina, Kenegerian Enam Tanjung

Suku Melayu Suku Domo

Pucuk Dubalang Pucuk Dubalang

Taman Wisata Alam Buluh Cina

Taman Wisata Alam Buluh Cina merupakan salah satu kawasan taman wisata alam yang terletak di Kecamatan Siak Hulu. Taman wisata tersebut telah berdiri sejak tahun 2006 dengan adanya Keputusan Gubernur Riau Nomor 468/IX/2006. Taman Wisata Alam Buluh Cina sebelumnya merupakan hutan ulayat yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat Buluh Cina. Perubahan fungsi tersebut didasarkan oleh motivasi masyarakat untuk melestarikan hutan tersebut meskipun dengan keputusan tersebut akan mengurangi hak-hak masyarakat untuk dapat memanfaatkan secara langsung dari potensi hutan.

Taman Wisata Alam Buluh Cina sering juga disebut dengan Rimbo Tujuh Danau Negeri Enam Tanjung. Istilah tersebut diambil karena hutan tersebut memiliki tujuh danau di dalamnya. Danau tersebut diantaranya adalah Danau Tuatoanga, Danau Tanjung Putus, Danau Baru, Danau Pinang Dalam, Danau Pinang Luar, Danau Tanjung Balam, dan Danau Buntu. Hutan yang memilki luas sekitar 1.000 ha merupakan hutan alam dengan kondisi struktur vegetasi yang masih relatif baik dengan jumlah jenis tumbuhan lebih dari 47 jenis pohon dan tumbuhan bawah lebih dari 58 jenis. Jenis satwa liar yang ada di hutan ini terdiri dari jenis mamalia, reptilia amphibia dan jenis burung tidak kurang dari 48 jenis burung dapat dijumpai di hutan ini (Fakultas Kehutanan 2007).

Status Kawasan TWA Buluh Cina

(34)

22

Gambar 3 Peta Pola Ruang Desa Buluh Cina

(35)

23

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk-bentuk Aktivitas dan Peta Pemanfaatan Hutan

Menurut Pola Ruang Kabupaten Kampar tahun 2013 Hutan Buluh Cina termasuk ke dalam kawasan hutan konservasi atau taman wisata alam. Hutan Buluh Cina sampai saat ini memenuhi 70% kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat desa (P4W 2013). Berdasarkan hasil wawancara semi-terstruktur dengan masyarakat dan hasil observasi di lapangan, dapat dikatakan bahwa jenis-jenis pemanfaatan yang dilakukan masyarakat desa bersifat tangible.

Tabel 12 menunjukkan aktivitas pemanfaatan terbesar adalah mencari ikan, hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk yang bermukim di Desa Buluh Cina bermata pencaharian sebagai nelayan. Lokasi mencari ikan yang dimaksudkan diatas adalah danau yang terdapat di dalam hutan. Danau-danau tersebut merupakan danau tapal kuda atau Oxbow lake yang merupakan danau yang dihasilkan bila sungai yang berkelok-kelok atau sungai meander melintasi daratan mengambil jalan pintas dan meninggalkan potongan-potongan yang akhirnya membentuk danau tapal kuda. Oxbow lake terbentuk dari waktu ke waktu sebagai akibat dari erosi dan sedimentasi dari tanah di sekitar sungai meander.

Pemanfaatan terbesar kedua adalah mencari kayu bakar, kegiatan ini sebagian besar dilakukan oleh kaum wanita. Kayu bakar diambil dari ranting, pohon mati, atau pohon yang tumbang di dalam hutan ulayat Buluh Cina. Sebagian masyarakat Desa Buluh Cina memanfaatkan kayu bakar untuk bahan bakar, baik yang menjadi bahan bakar utama, maupun sebagai bahan bakar sampingan atau alternatif pengganti minyak tanah.

Tabel 12 mengambarkan bahwa setiap dusun memiliki intensitas berbeda dalam memanfaatkan hutan. Penduduk yang berasal dari Dusun Dua paling banyak yang memanfaatkan hutan. Hal tersebut dikarenakan Dusun Dua terletak lebih dekat dengan hutan dibandingkan dengan dusun lainnya (Gambar 5).

(36)

24

Gambar 5 Peta dusun asal pemanfaat hutan

Tabel 13 menunjukkan semua bentuk aktivitas pemanfaatan hutan juga terjadi sepanjang tahun oleh Masyarakat Desa Buluh Cina. Aktivitas mencari ikan menjadi aktivitas yang sering dilakukan oleh masyarakat desa. Hal tersebut dikarenakan ikan yang terdapat di danau tersedia sepanjang tahun, terkecuali pada musim penghujan, hutan akan mengalami banjir dan ikan akan sulit ditemukan. Bulan Agustus merupakan bulan yang paling sering dilakukan aktivitas pemanfaatan.

Tabel 13 Tabulasi bentuk aktivitas pemanfaatan dalam satu tahun

Bentuk Pemanfaatan Bulan

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okto Nop Des Jumlah

Mencari Ikan 2 2 2 3 3 3 3 3 3 1 1 1 27

Mencari Kayu Bakar 2 2 2 2 3 1 1 3 3 2 1 1 23

Mengambil Pakis 3 1 1 1 1 1 1 2 2 3 3 3 22

Memburu Hewan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12

Menebang Pohon 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 24

Mengambil Rotan 1 1 1 1 2 2 2 2 1 1 1 1 16

Berladang 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 24

Jumlah 13 11 11 12 14 12 12 15 14 12 11 11

Ket : 3 = Sering (setiap hari) *sumber : FGD dan wawancara 2 = Sedang (3 kali seminggu)

1 = Jarang (1 kali seminggu) 0 = Tidak Pernah

(37)

25 bangunan (Hidayat et al. 2005). Selain itu fungsi peta aktivitas pemanfaatan hutan (Gambar 6) berguna sebagai petunjuk lokasi pemanfaatan aktivitas warga desa.

Gambar 6 Peta lokasi aktivitas pemanfaatan hutan

Kesesuaian Praktik Pemanfaatan Hutan dengan Ketentuan Peraturan Perundangan yang berlaku di Kawasan Hutan Buluh Cina

Kawasan Taman Wisata Alam sudah diatur sejak tahun 1990 melalui UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya. Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa TWA adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah. Kegiatan pemanfaatan tersebut diatur kembali melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 1998 dan PP No. 28 Tahun 2011. Tabel 14 menjelaskan perbandingan penggunaan saat ini dengan peraturan perundangan yang berlaku.

(38)

26

hutan boleh ditebang sesuai dengan izin dan persetujuan seluruh ninik mamak untuk kebutuhan adat, infrastruktur desa, atau untuk kebutuhan masjid dan jika ada kebutuhan orang miskin (keluarga baru tidak mampu) yang akan membuat rumah.

Tabel 14 Peraturan perundangan dan praktik pemanfaatan hutan

Peraturan Perundangan Praktik Pemanfaatan Hutan(*)

Fungsi utama:

UU No. 5 Tahun 1990 (Pasal 1) Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.

Hutan Buluh Cina sampai saat ini dimanfaatkan untuk memenuhi 70% kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat desa.

Kegiatan-kegiatan pemanfaatan yang dilarang : Peraturan Pemerintah 68 Tahun 1998 (Pasal 46) Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi Kawasan Taman Wisata Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) adalah:

a.berburu, menebang pohon, mengangkut kayu dan satwa atau bagian-bagiannya di dalam dan keluar kawasan, serta memusnahkan sumberdaya alam di dalam kawasan;

b.melakukan kegiatan usaha yang menimbulkan pencemaran kawasan;

c.melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana

d.pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang.

(1)Berburu: Akvitas berburu biasanya dilakukan di malam hari, hewan yang biasanya menjadi pemburuan adalah anjing, babi dan burung.

(2)Menebang pohon: hasil aktivitas penebangan pohon liar di kawasan TWA biasanya dijual ke luar Desa Buluh Cina.

(3)Berladang: Aktivitas berladang dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan lahan dikarenakan pembukaan lahannya menggunakan cara membakar hutan.

Kegiatan-kegiatan pemanfaatan yang dianjurkan : Peraturan Pemerintah 28 Tahun 2011 (Pasal 37)

Taman wisata alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:

a.penyimpanan penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam; b.penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; c.pendidikan dan peningkatan kesadartahuan

konservasi alam;

d. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya;

e.pembinaan populasi;

f.pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.

(1)Kecenderungan pemanfaatan di TWA Buluh Cina lebih ke arah pemanfaatan yang bersifat tangible: menebang pohon, berburu hewan, berladang, mencari ikan, dan mengambil pakis (2)Kegiatan berdasarkan PP tersebut

dilakukan oleh masyarakat luar Desa Buluh Cina.

*sumber : wawancara dan observasi langsung

Rencana Pengelolaan TWA Buluh Cina

(39)

27 Unsur perencanaan tersebut terdiri dari visi, misi dan rencana program pengelolaan TWA yang dirumuskan menggunakan data yang diperoleh melalui tiga metode penggalian data, yakni observasi langsung, wawancara terhadap informan kunci dari stakeholders yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan Hutan Buluh Cina, dan FGD yang dilakukan untuk menggali persepsi dan aspirasi masyarakat dalam pengelolaan Hutan Buluh Cina. Metode ini berguna agar masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materil.

Dalam proses FGD yang menghadirkan para stakeholders yang terkait dalam pengelolaan hutan larangan adat dihasilkan rumusan bersama mengenai: (1) visi dan misi bersama terhadap pengelolaan Hutan Buluh Cina serta (2) rencana program pengelolaan.

Rumusan visi Hutan Buluh Cina adalah “Hutan Adat yang memberikan maanfaat ekonomi bagi Masyarakat Buluh Cina melalui Konservasi dan

Pengelolaan Taman Wisata Alam Rimbo Tujuh Danau”. Di dalam rumusan visi

tersebut terkandung arti sebagai berikut :

1. Pernyataan Hutan Adat menggambarkan bahwa pengelolaan hutan ke depannya akan tetap mempertahankan kearifan lokal dan nilai-nilai yang berlaku di kehidupan masyarakat Desa Buluh Cina. Hutan TWA dikelola dengan kerja sama masyarakat dan pemerintah.

2. Pernyataan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat Buluh Cina berarti bahwa harus ada manfaat ekonomi yang dapat diambil masyarakat adat dari TWA tersebut dengan tidak merusak fungsi ekologisnya. Manfaat ekonomi ini juga harus dipergunakan dalam pengawasan dan pengelolaan hutan

3. Pernyataan melalui konservasi dan pengeloaan TWA Rimba Tujuh Danau pada visi tersebut menggambarkan semua pemanfaatan hutan yang dilakukan masyarakat untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari harus berdasarkan prinsip-prinsip konservasi hutan. Sehingga manfaat ekonomi yang diperoleh dari hutan tersebut tidak merusak fungsi ekolgis hutan. Manfaat ekonomi di TWA Buluh Cina dapat diperoleh dari aktivitas pengeloaan TWA Buluh Cina

Sedangkan untuk misi Hutan Bulucina adalah sebagai berikut;

1. Peninjauan kembali status hutan adat Buluh Cina dari Taman Wisata alam yang dikelola pemerintah daerah menjadi hutan adat/ulayat.

2. Peningkatan kapasitas kelembagaan adat Kenegerian Enam Tanjung dalam pengelolaan ekowisata TWA Buluh Cina.

3. Peningkatan kapasitas pengelolaan kawasan ekowisata TWA Buluh Cina guna peningkatan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat Desa Buluh Cina. 4. Menjaga dan menyelamatkan kembali Hutan Adat Kenegerian enam

Tanjung sebagai kawasan ekowisata TWA Buluh Cina.

(40)

28

pengelolaan kawasan TWA. Berikut merupakan rencana program yang dibagi sesuai dengan misi;

1. Peninjauan kembali status hutan adat Buluh Cina dari Taman Wisata alam yang dikelola pemerintah daerah menjadi hutan adat/ulayat. Penyerahan Hutan Bulucina seluas 1.000 ha dari masyarakat kepada pemerintah, mengakibatkan konflik antar masyarakat dan hutan tidak berfungsi sesuai dengan kehendak masyarakat. Oleh karena itu pengembalian status kawasan hutan Buluh Cina menjadi hutan adat masih menjadi wacana yang perlu dipertimbangkan. Dalam UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 1, hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Akan tetapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 berubah menjadi hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Maka dari itu rencana program pengelolaan sebagai berikut;

a. Penyusunan Peraturan tentang pengukuhan keberadaan Masyarakat Hukum Adat Kenegrian Enam Tanjung.

b. Penyusunan kembali dan pengesahan status pengelolaan TWA Buluh Cina.

2. Peningkatan kapasitas kelembagaan adat Kenegrian Enam Tanjung dalam pengelolaan ekowisata TWA Buluh Cina.

Bekurangnya peran kelembagaan adat Kenegrian Enam Tanjung dalam mengelola hutan dikarenakan hak pengelolaan yang berpindah dari masyarakat kepada Pemerintah Provinsi Riau. Kelembagaan adat Kenegrian Enam Tanjung menjadi ragu melakukan tindakan untuk mengelola dan melindungi Hutan Buluh Cina. Adapun yang menjadi program untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan adat dalam pengelolaan ekowisata TWA sebagai berikut;

a. Penghidupkan kembali satgas PHU dengan seleksi anggota yang diperketat, menfasilitasi dengan tranportasi darat dan sungai, pemenuhan hak satgas PHU, adanya kontrol dari dinas kehutanan terkait dengan pembentukan satgas PHU.

b. Pelindungan sumberdaya alam seperti (kayu dan hewan) sesuai dengan peraturan uang dibuat oleh pemerintah desa dan ninik mamak.

c. Perlu dibentuknya organisasi pemuda desa sebagai organisasi pemandu wisata.

3. Peningkatan kapasitas pengelolaan kawasan ekowisata TWA Buluh Cina guna peningkatan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat Desa Buluh Cina.

(41)

29 wisata alam belum mampu memenuhi kebutuhan ekomoni masyrakat sekitar desa, maka diperlukan peningkatan kapasitas pengeloaan guna meningkatkan kesejahteraan dan ekomomi masyarakat. Berikut adalah rencana program peningkatan kapasitas pengelolaan kawasan ekowisata TWA guna meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat;

a. Pengembangan usaha-usaha kerajinan yang berasal dari hasil hutan bukan kayu. Misalnya kerajinan rotan dan getah damar.

b. Membentuk koperasi untuk mewadahi hasil kreativitas ibu-ibu. c. Pendampingan dalam pemasaran hasil kerajinan.

d. Peningkatan kerjasama dengan pihak luar dan pendanaan sumberdaya guna pengembangan kawasan TWA.

e. Pemanfaatan danau didalam hutan sebagai tempat pemancingan dengan sistem lelang.

4. Menjaga dan menyelamatkan kembali Hutan Adat Kenegerian enam Tanjung sebagai kawasan ekowisata TWA Buluh Cina.

Kelembagaan adat, yang terdiri atas berbagai stakeholder yang berkepentingan terhadap hutan. Perlu adanya pengembangan pengelolaan kawasan TWA Buluh Cina ini secara terpadu agar dapat menyelamatkan kawasan hutan dan menjaganya dari kegiatan yang dapat merusak hutan. Berikut merupakan rencana program penyelamatan;

a. Pembuatan pos jaga diperuntukan satgas PHU untuk menjaga hutan. b. Pendampingan dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam usaha jasa

pariwisata.

c. Melestarikan fauna yang terdapat di hutan serta dibuatkan aturan hukum oleh pemerintah desa dan ninik mamak.

d. Pengembangan wisata penelitian sumberdaya alam hutan seperti rotan dan kayu (rengas dan kapas).

e. Perbaikan infrastruktur-insfrastruktur yang telah ada didalam hutan untuk medukung keberlanjutan wisata seperti; perbaikan jalan atau semenisasi, perbaikan shelter dan toilet.

f. Pembangunan rumah singgah sebagai tempat istirahat atau menginap wisatawan.

g. Penyediaan transportasi air seperti sepeda gayung agar wisatawan dapat menikmati hutan dari sungai kampar.

h. Memaksimalkan manfaat dari fasilitas umum yang sudah ada seperti toilet dan musolah guna mendukung kegiatan ekowisata.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Gambar

Gambar 1  Lokasi Desa Buluh Cina
Tabel 2  Hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, teknik analisis data, dan output yang diharapkan
Gambar 2  Peta Hutan Adat Buluh Cina
Tabel 11  Penghulu adat Desa Buluh Cina, Kenegerian Enam Tanjung
+5

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan workshop tentang Teknik Berhitung dengan Jarimatika dilaksanakan di SDN Neonbat Kefamenanu selama dua (2) hari.. Dalam perkalian dengan menggunakan jarimatika,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada siswa kelas VII C SMP Negeri 1 Samalantan, peneliti ingin memberikan beberapa saran sebagai berikut: (1)

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah ada pengaruh dan perbedaan yang efektif terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi terhadap kemampuan

Berdasarkan latar belakang tersebut maka pada penelitian ini akan dibuat briket arang dari tempurung kawista menggunakan variasi jenis perekat yaitu tepung beras, tepung ketan,

NTB atas dasar harga berlaku yang didapat dari selisih output dengan biaya antara yang dinilai masing- masing atas dasar harga berlaku adalah menggambarkan perubahan volume

Puji Syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh

Diharapkan dari kombinasi persentase penambahan air jeruk nipis dan lama fermentasi yang tepat dapat diperoleh perlakuan terbaik untuk hasil produk yang maksimal, mulai dari

Analisis MDS yang dilakukan terhadap frekuensi kehadiran setiap jenis karang keras yang dihasilkan dengan berbagai metode (BT, LIT dan UPT C_Area) yang dihitung menggunakan