KAJIAN KAWASAN KONSERVASI LAUT
BATAUGA, SIOMPU, LIWUTONGKIDI, DAN KADATUA (BASILIKA)
KABUPATEN BUTON SULAWESI TENGGARA
DENGAN APLIKASI MARXAN
LA ILA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian Kawasan
Konservasi Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua (Basilika) Kabupaten
Buton Sulawesi Tenggara dengan Aplikasi Marxan adalah karya saya sendiri
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Bogor, September 2010
LA ILA, The study of marine conservation area in Batauga, Siompu, Liwutongkidi
dan Kadatua (Basilika) Buton South East Sulawesi with Marxan Application.
Supervised by NIKEN T.M. PRATIWI and AGUSTINUS M. SAMOSIR.
This research was conducted to rezone Basilika of marine conservation
area. The redefine zone is using Marxan method, which applies cost minimum
approach in searching the area. The conservation and cost feature used this
research are coral reef, spawning ground, specific organism, fishing ground and
navigation route. Coral cover presentation, reef fishes, and seagrass data was
collected using Line Intercept Transect (LIT), Underwater Visual Census, and
Quadrant Transect. MARXAN software was used to make the zoning area.
Result show hard coral cover was vary from 0.7-50.7%, reef fish were 182
species belonging of 43 families, and percent coverage of seagrass ranged from
13.67-80.67%. Based on the MARXAN analysis, the third scenario was the most
appropriate one, because all marine protected areas (DPL) becomes the core
zone while Liwutongkidi area become restricted use zones (as buffers). It is
possible to develop tourism activities in restricted use zones area without
exploiting the resource.
Kadatua (Basilika) Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara dengan Aplikasi
Marxan. Dibimbing oleh NIKEN T.M. PRATIWI dan AGUSTINUS M. SAMOSIR.
Marxan adalah alat yang dapat membantu dalam mendesain kawasan
konservasi yang dijalankan dengan bantuan perangkat lunak ArcView 3.3 dan
ekstensi CLUZ. Dalam Marxan dikenal 2 jenis data yaitu data fitur konservasi dan
data fitur biaya (cost). Fitur konservasi yang mewakili keadaan ekologi seperti
terumbu karang, ikan karang, padang lamun, dan biota lain serta statusnya
sedang fitur biaya adalah data sosial ekonomi berupa pemanfaatan sumberdaya.
Penelitian Kajian Kawasan Konservasi Batauga, Siompu, Liwutongkidi
dan Kadatua (Basilika) Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara ini bertujuan untuk
mengetahui potensi dan kondisi terkini sumberdaya dan menata ulang zonasi
kawasan konservasi laut di kawasan Basilika Kabupaten Buton Sulawesi
Tenggara dengan aplikasi Marxan.
Penelitian ini berlokasi di kawasan Basilika yang terletak di bagian barat
Kabupate Buton Sulawesi Tenggara mencangkup 4 kecamatan yaitu Kecamatan
Batauga, Siompu, Siompu Barat dan Kadatua. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan April-Mei 2010. Data diperoleh langsung dari lapangan.
Pengamatan terumbu karang dengan metode
Line Intercept Transect
(LIT), pengamatan ikan karang dengan metode
Underwater Vicual Sensus
,
pengamatan lamun dengan metode transek kuadran (1X1 m) dengan jarak 10 m.
Sedang
pemanfaatan sumberdaya berdasarkan pengamatan lapangan dan
wawancara masyarakat pengguna sumberdaya. Untuk analisis zonasi kawasan
konservasi laut digunakan aplikasi Marxan.
Hasil pengamatan menunjukan bahwa ekosistem pesisir di perairan
Basilika terdiri dari ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem utama dan
ekosistem lamun. Terumbu karang dan ikan karang menyebar merata ke seluruh
wilayah pesisir. Analisis zonasi dengan aplikasi Marxan menghasilkan empat
zona kawasan konservasi laut yaitu zona inti, zona pemanfaatan terbatas, zona
pemanfaatan tradisional dan zona lainnya.
dalam penetapan kawasan konservasi. Hal ini dapat dilihat dari zonasi yang
dihasilkan. Zona inti meliputi seluruh DPL dan sebagian kecil Liwutongkidi.
Sebagian besar wilayah Liwutongkidi yang mempunyai potensi paling baik
merupakan
zona
pemanfaatan
terbatas
yang
memungkinkan
untuk
dikembangkan kegiatan yang bermanfaat dengan tidak mengambil biota
didalamnya seperti wisata bahari.
Berdasarkan skenario yang ada, zonasi yang dipilih sudah cukup untuk
menunjukan konektivitas yang tinggi. Menurut Palumbi, (2004) bahwa hampir
semua larva ikan dan invertebrata dapat bergerak sejauh 10-100km sedang
pergerakan ikan dewasa umumnya lebih pendek yaitu 1-10km. Zona inti yang
terpilih letaknya cukup berdekatan, sehingga bila ada zona inti yang terganggu,
maka akan mudah mendapat suplai dari zona inti disekitarnya.
Perbedaan hasil zonasi atara kajian yang dilakukan sebelumnya dengan
kajian ini adalah status perairan Pulau Liwutongkidi. Pada kajian sebelumnya
menetapkan perairan Pulau Liwutongkidi sebagai zona inti. Hal ini akan sulit
diimplementasikan karena saat ini kepemilikan tanah di Pulau Liwutongkidi
merupakan kebun masyarakat setempat dan juga Liwutongkidi merupakan tujuan
wisata bagi masyarakat lokal maupun yang datang dari Kota Bau-Bau. Hal ini
karena Liwutongkidi mempunyai panorama pantai dan bawah laut yang indah,
juga mudah diakses karena lokasinya cukup dekat. Pada kajian ini menetapkan
sebagian kecil perairan Liwutongkidi sebagai zona inti dan selebihnya
merupakan zona pemanfaatan terbatas. Hasil tersebut lebih diterima oleh
masyarakat karena perairan Liwutongkidi masih bisa dimanfaatkan secara tidak
langsung seperti untuk kegiatan rekreasi.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah;
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
KAJIAN KAWASAN KONSERVASI LAUT BATAUGA, SIOMPU,
LIWUTONGKIDI DAN KADATUA (BASILIKA)
KABUPATEN BUTON SULAWESI TENGGARA
DENGAN APLIKASI MARXAN
LA ILA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama Mahasiswa
: LA ILA
Nomor Pokok
: C252080354
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Sc. Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof.Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat yang diberikan
sehingga tesis yang berjudul “ Kajian Kawasan Konservasi Laut Batauga, Siompu,
Liwutongkidi dan Kadatua (Basilika) Kabupaten Buton dengan Aplikasi Marxan” ini
dapat diselesaikan. Karya tulis ini merupakan penjabaran dari hasil penelitian dalam
rangka penyusunan tesis.
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan
kepada
1. Dr. Ir. Niken TM Pratiwi, M.Si dan Ir. Agustinus M Samosir, M.Phill, selaku
komisi pembimbing, Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc., selaku penguji luar komisi,
dan Dr. Ir. Fredinand Yulianda, M.Sc., selaku penguji bidang akademik yang
telah memberikan masukan dan arahan, juga kepada Prof. Dr. Ir. Mennofatria
Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisi dan
Lautan.
2. Direktur PMO COREMAP II Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan
Perikanan beserta seluruh jajarannya atas beasiswa yang diberikan
kepada penulis
3. Ibu, Ola, Pak Dindin dan Mas Aji yang telah membantu mengurus segala
administrasi, Mas Anton dan Mas Wenda yang telah meluangkan waktu untuk
membagi ilmu tentang Marxan sehingga dapat diaplikasikan dalam
pengolahan data, serta ‘ba Nani dan Mas Samsul B atas bantuannya.
4. Ayah, ibu, istri serta anak-anakku atas segala bantuan dan doanya.
Harapan penulis kiranya bantuan, dukungan moril dan materil baik langsung
maupun tidak langsung yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi perkembangan
Kawasan Konservasi Laut Daerah di Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara.
Bogor, September 2010
Buton Sulawesi Tenggara pada tanggal 31 Desember 1970 dari pasangan ayah
Lam Bahido dan ibu Wam Bina. Penulis merupakan anak ke 4 dari 6 bersaudara.
Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri Pasarwajo. Kemudian pada
tahun 1998 menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kalautan IPB. Desember Tahun 2002 penulis diterima bekerja di Pemerintah
Daerah Kabupaten Buton dan ditempatkan pada Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Buton.
xix
Halaman
DAFTAR TABEL ...
xxi
DAFTAR GAMBAR ... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ...
xxv
1. PENDAHULUAN ...
1
1.1. Latar Belakang ...
1
1.2. Perumusan Masalah ...
2
1.3. Tujuan Penelitian ...
2
1.4. Manfaat Penelitian...
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ...
5
2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir ...
5
2.1.1. Pengertian Wilayah Pesisir ...
5
2.1.2. Sumberdaya di Wilayah Pesisir ...
6
2.2. Pengeloaan Kawasan Konservasi ...
9
2.2.1. Landasan Hukum ...
9
2.2.2. Sistem Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah ...
11
2.3. Penataan Ruang Kajian Marxan ...
13
3. METODE PENELITIAN ...
15
3.1. Waktu dan Lokasi ...
15
3.2. Pengumpulan Data ...
15
3.2.1. Fitur Konservasi ...
15
3.2.2. Fitur Biaya (
Cost)
...
18
3.3. Analisis Data ...
18
4. KONDISI UMUM KAWASAN BASILIKA ...
23
4.1. Kondisi Umum ...
23
4.1.1. Keadaan Geografis ...
23
4.1.2. Iklim ...
23
4.1.3. Topografi ...
23
4.1.4. Kondisi Fisik-Kimia Perairan ...
24
4.2. Kondisi Sosial ...
25
4.2.1. Kependudukan ...
25
4.2.2. Mata Pencaharian Penduduk ...
26
4.2.3. Aksesbilitas ...
26
5. HASIL DAN PEMBAHASAN ...
27
5.1. Karakter Kawasan Basilika ...
27
5.1.1. Fitur Konservasi ...
27
xx
5.2.3. Pengaturan Skenario ...
40
5.2.4. Peta Hasil Skenario ...
43
5.2.5. Pembahasan ...
45
6. KESIMPULAN DAN SARAN ...
51
2.1.Kesimpulan ...
51
2.2.Saran ...
51
DAFTAR PUSTAKA ...
53
xxi
Halaman
1.
Kriteria Skor Data...
20
2.
Tabel perkiraan pergerakan larva dan dewasa (Palumbi, 2004) ...
21
3.
Hasil Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Perairan ...
24
4.
Jumlah penduduk tiap kecamatan ...
25
5.
Laju Pertumbuhan Penduduk ...
26
6.
Persentase penutupan karang di lokasi pengamatan ...
28
7.
Jumlah jenis ikan karang yang ditemukan di lokasi pengamatan ...
31
8.
Fitur konservasi ...
36
9.
Fitur biaya ...
39
10.
Faktor denda dan persentase target tiap skenario pada fitur
konservasi ...
40
xxiii
Halaman
1.
Peta lokasi penelitian ...
16
2.
Alur tabulasi input file data Marxan dengan Arcview dan CLUZ ...
19
3.
Topografi di wilayah pesisir Basilika ...
24
4.
Kondisi dasar perairan yang berpasir ...
30
5.
Faktor penyebab kerusakan karang ...
30
6.
Jenis ikan yang ditemukan di lokasi penelitian ...
30
7.
Grafik persentase penutupan lamun ...
32
8.
Biota yang menarik wisatawan ...
33
9.
Peta daerah kajian ...
36
10.
Peta fitur konservasi ...
37
11.
Peta fitur cost ...
38
12.
Grafik hubungan antara luas area terhadap panjang batas pada
skenasio 1 ...
43
13.
Peta zonasi kawasan pada skenario 1 ...
44
14.
Peta zonasi kawasan pada skenario 2 ...
46
15.
Peta zonasi kawasan pada skenario 3 ...
47
xxv
Halaman
1.
Jenis pekerjaan masyarakat ...
57
2.
Kondisi terumbu karang di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan
Kadatua tahun 2006 (Napoleon, 2006) ...
58
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah
memberi landasan yang cukup kuat bagi pemerintah untuk mengambil dan
membagi tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan
lautan. Undang-undang tersebut memberikan peluang bagi pemerintah daerah
untuk
dapat
mengembangkan
potensinya
dalam
mensejahterakan
masyarakatnya. Namun di sisi lain, pemerintah daerah harus mampu secara
kreatif melakukan terobosan-terobosan, khususnya di sektor ekonomi dengan
memanfaatkan sumberdaya yang ada. Salah satu terobosan dalam pengelolaan
sumberdaya hayati tersebut adalah dengan terbentuknya KKLD Liwutongkidi
dengan ketetapan Bupati Buton di tahun 2006.
Secara umum geomorfologi Kabupaten Buton, khususnya kawasan
Basilika terdiri atas 3 pulau kecil, dan masyarakatnya hidup dengan
mengandalkan sumberdaya hayati yang ada di sekitarnya. Sebagian besar
masyarakat di kawasan ini berprofesi sebagai petani dan tidak sedikit pula yang
mencari nafkah di laut. Wilayah pesisir kawasan ini memiliki ekosistem terumbu
karang yang berperan strategis dalam menunjang kehidupan masyarakat,
sehingga upaya pelestarian serta rencana pemanfaatan dan pengelolaannya
perlu diatur sedemikian rupa agar tertata dengan baik.
Pemerintah Kabupaten Buton didukung oleh Program COREMAP Fase II
melakukan kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi kerusakan lingkungan
perairan. Salah satunya adalah dengan memfasilitasi masyarakat desa untuk
membentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) di tiap desa wilayah program. Hal
ini dilakukan agar masyarakat dapat menumbuhkembangkan rasa memiliki DPL
tersebut. Penataan ruang dan peran kawasan konservasi satu dengan yang lain
belum maksimal pengelolaannya. Oleh karena itu perlu adanya kajian yang
mengarah pada pengelolaan kawasan konservasi laut.
Proses ini dapat dilakukan secara manual, tapi akan lebih efisien bila dilakukan
dengan perangkat lunak (software). Salah satu metode yang saat ini mulai
banyak digunakan dalam penentuan kawasan konsevasi adalah dengan aplikasi
Marxan (Ball dan Possingham, 2000). Marxan adalah sebuah perangat lunak
yang dapat membantu untuk merancang sebuah kawasan konservasi dengan
skenario yang kita tetapkan dan tujuan yang dicapai berdasarkan biaya
terendah.
Dengan aplikasi ini diharapkan kawasan konservasi laut yang dibentuk dapat
dikelolah dengan baik, sehingga dapat menyumbang sebagai salah satu lahan
konservasi di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Pemerintah Kabupaten Buton melalui Surat Keputusan Bupati Buton
Nomor 1578 Tahun 2006 telah menetapkan Pulau Liwutongkidi sebagai
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Namu wilayahnya sangat kecil yaitu
hanya meliputi wilayah Pulau Liwutongkidi. Hal ini tidak sesuai dengan konsep
KKLD yang terdiri dari beberapa zona.
Pada Tahun 2008, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia kajian ulang Kawasan Konservasi Laut Daerah, dan memperluas
wilayah kajian tersebut menjadi sembilan kecamatan, yaitu Batu Atas,
Sampolawa, Batauga, Siompu, Siompu Barat, Kadatua, Mawasangka ,
Mawasangka Timur dan Talaga Raya.. Zona inti dalam kajian ini meliputi DPL
bentukan masyarakat dan seluruh wilayah Pulau Liwutongkidi. Hal ini akan
bertentangan dengan masyarakat karena Pulau Liwutongkidi merupakan kebun
milik masyarakat setempat sehingga tidak memungkinkan untuk ditutup.
Disamping itu, Pulau Liwutongkidi merupakan tujuan wisata masyarakat.
Saat ini Pemerintah Kabupaten Buton melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) merekomendasikan pemekaran sebagian wilayah KKLD menjadi
kabupaten baru yaitu Kabupaten Buton Selatan. Oleh karena itu perlu penataan
kembali zonasi KKLD tersebut.
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan antara lain :
1. Untuk mengetahui potensi dan kondisi terkini dari sumberdaya pesisir di
perairan kawasan Basilika.
2. Menata ulang zonasi kawasan konservasi laut daerah dengan aplikasi
Marxan.
1.4. Manfaat Penelitian
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir
(coastal zone)
merupakan daerah yang unik, karena pada
daerah ini hanya bisa dijumpai daerah pasang surut, hutan bakau, terumbu
karang, hempasan gelombang, perairan pantai, dan pulau-pulau penghalang
pantai. Akibat dari keberagaman dan perubahan yang sering terjadi di wilayah
pesisir, kebanyakan negara menyatakan bahwa daerah pesisir merupakan
daerah yang memerlukan perhatian khusus. Lebih jauh disebutkan pula bahwa,
sebagai daerah transisi antara daratan dan lautan, wilayah pesisir merupakan
daerah yang memiliki beberapa habitat yang produktif dan berharga dari biosfer,
seperti estuari, laguna, lahan basah pesisir, dan ekosistem terumbu karang.
Daerah ini juga merupakan daerah yang memiliki dinamika sumberdaya alam
yang besar dimana proses transfer energi alami banyak terjadi dan kelimpahan
yang besar dari organisme alami juga dapat ditemukan di wilayah ini
(Clark, 1996).
2.2. Pengertian Wilayah Pesisir
Pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu
pendekatan ekologis, pendekatan administratif, dan pendekatan perencanaan.
Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah laut mencakup wilayah
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi.
Ketchum, (1972)
in
Kay (1999) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai sabuk
daratan yang berbatasan dengan lautan dimana proses dan penggunaan lahan
di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan sebaliknya. Dilihat
dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi
pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari Kabupaten atau Kota
yang mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk
Provinsi atau 1/3 dari 12 mil untuk Kabupaten/Kota. Dilihat dari aspek
perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengelolaan dan
difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggung
jawab (Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, 2001).
laut dan Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan
2.000 km
2beserta kesatuan ekosistemnya. Sedangkan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat
dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
2.2.1. Sumberdaya di Wilayah Pesisir
Potensi sumberdaya yang terdapat di pulau kecil akan tergantung pada
proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga
secara geologis pulau-pulau tersebut memiliki formasi struktur yang berbeda,
dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut juga akan memiliki kondisi
spesifik dan spesies endemik serta keanekaragaman yang tipikal (Bengen,
2002).
Secara umum, sumberdaya alam yang terdapat di kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil terdiri atas sumberdaya dapat pulih (
renewable resources
),
sumberdaya tidak dapat pulih (
non-renewable resources
). Sumberdaya dapat
pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, plankton, benthos, moluska, mamalia laut,
rumput laut (
seaweed
), lamun (
seagrass
), mangrove, terumbu karang, krustasea
atau udang, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (
mariculture
).
Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi minyak bumi dan gas, mineral, bahan
tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah, bauksit, serta bahan tambang
lainnya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut adalah
pariwisata dan perhubungan laut.
Ekosistem Terumbu Karang
Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal
ini didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam. Perairan
karang merupakan ekosistem yang subur yang banyak dihuni oleh
beranekaragam sumberdaya hayati. Selain itu ekosistem terumbu karang
dengan keunikan dan keindahannya juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat
wisata bahari (Bengen, 2002).
coral
) dan algae berkapur (
calcareous algae
), bersama dengan biota lainnya
yang hidup di dasar. Algae yang dimaksud adalah algae koralin merah berbentuk
hamparan (encrusting), dan berperan penting dalam memelihara keutuhan
terumbu dengan cara melekatkan terus menerus berbagai potongan kalsium
karbonat (CaCO
3) menjadi satu, sehingga memperkuat kerangka kapur
(Soekarno, 1993).
Dari perkembangannya terumbu karang dapat dikelompokan dalam dua
kelompok karang yang berbeda, yaitu karang hermatipik yang dapat
menghasilkan terumbu dan karang ahermatipik yang tidak dapat menghasilkan
terumbu. Karang ahermatipik banyak ditemukan di seluruh dunia, sedangkan
karang hermatipik hanya tersebar di sekitar wilayah tropik. Perbedaan mencolok
dan kedua jenis karang ini adalah pada jaringan karang hermatipik terdapat
sel-sel tumbuhan (
zooxanthellae
) yang bersimbiosis dengan hewan karang,
sedangkan pada karang ahermatipik tidak ditemukan. Peranan
zooxanthellae
sangat penting bagi perairan di sekitar terumbu karang karena dapat
menyediakan dan menyuplai oksigen ke dalam perairan dari hasil proses
photosintesis algae monoseluler (Nybakken 1988).
Terumbu karang memiliki fungsi fisik sebagai pelindung pantai dari
hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut (Bengen, 2001).
Ekosistem terumbu karang menjadi sangat penting karena banyak terdapat
organisme yang hidup dan berasosiasi dengan karang sebagai tempat mencari
makan (
feeding gound
), reproduksi (
spawning gorund
), pembesaran (
nursery
ground
), dan sebagai tempat berlindung (
space
) dari serangan predator. Selain
itu, ekosistem terumbu karang juga memiliki nilai komersial laut (
marine
commerciaf
) dibidang pariwisata, karena terdiri dari keanekaragaman jenis,
bentuk, tipe, dan keindahan karang serta kejernihan perairan mampu
membentuk perpaduan yang harmonis, estetika sebagai tempat rekreasi bawah
laut.
Ekosistem Lamun
kawasan tersebut.
Lamun (
seagrass
) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga
(
Angiospermae
) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup
terendam di dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui
penyebaran buah (
propagule
) yang dihasilkan secara seksual (
dioecious
)
(Bengen, 2001).
Lamun umumnya membentuk hamparan yang luas di dasar laut yang
masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi
pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada
kedalaman berkisar antara 2 - 12 meter, dengan sirkulasi air yang baik (Bengen,
2001).
Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat
berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering
ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove
dan terumbu karang.
Ekosistem padang lamun bukan merupakan entitas yang terisolasi, tetapi
berinteraksi dengan ekosistem lain di sekitarnya. Interaksi terpenting ekosistem
padang lamun adalah dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang, dimana
terdapat 5 (lima) tipe interaksi antara ketiga ekosistem tersebut, yakni: fisik,
bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna, dan dampak
manusia (Bengen, 2001).
Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang
sangat berperan bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut dan sekitarnya
maupun bagi masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove berfungsi sebagai
tempat mencari makan bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan
sebagai tempat pengasuhan. Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai
penahan abrasi yang disebabkan oleh ombak dan gelombang, disamping secara
ekonomi dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, alat tangkap ikan dan bahan
pembuat rumah (Bengen, 2002).
mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.
Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal
yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan
arus pasang surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di
pantai-pantai teluk dangkal, estuari, delta dan daerah pantai yang terlindung
(Bengen, 2001).
Hutan mangrove merupakan hutan tropis yang umumnya tumbuh di
daerah pantai, merupakan jalur hijau, yang terdapat di teluk-teluk, delta-delta,
muara sungai dan sampai menjorok kearah pedalaman garis pantai. Disamping
itu hutan mangrove juga merupakan suatu tipe hutan yang dipengaruhi pasang
surut air laut. Tipe hutan ini mempunyai fungsi ekonomis dan ekologis. Fungsi
ekonomisnya adalah menghasilkan kayu dan hasil hutan ikutan, sedangkan
fungsi ekologisnya yang sangat penting adalah sebagai interface antara
ekosistem daratan dan lautan. Dengan demikian didalam ekosistem mangrove
paling sedikit terdapat lima unsur ekosistem yang saling terkait yaitu flora, fauna,
perairan daratan dan manusia (penduduk lokal) yang hidupnya tergantung pada
ekosistem mangrove (Kusmana, 1995).
2.3. Pengelolaan Kawasan Konservasi
Suatu kawasan yang dilindungi harus dijamin keberadaan dari
pemanfaatan sumberdaya secara tidak terbatas. Prinsip dasar untuk tujuan
perlindungan adalah konservasi, dimana konservasi dapat didefinisikan sebagai
pengelolaan
dari
penggunaan
manusia
terhadap
"biosphere"
untuk
mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang dengan
tetap memelihara potensinya untuk kebutuhan dan cita-cita generasi yang akan
datang (IUCN, 1980
dalam
Salm, 1984).
2.3.1. Landasan Hukum
Penetapan dan pengelolaan suatu kawasan perlu adanya peraturan yang
menguatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan agar kegiatan
tersebut mempunyai landasan hukum yang kuat. Peraturan yang menjadi
landasan hukum bagi pengelolaan kawasan konservasi antara lain :
a. Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
perairan propinsi (12 mil). Kewenangan-kewenangan dimaksud meliputi :
eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut;
pengaturan kepentingan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan
hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; bantuan penegakan
keamanan dan kedaulatan negara.
b. Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 1 menyatakan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor,
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut,
serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
c. Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Klasifikasi penataan ruang dijelaskan pada Pasal 4 bahwa penataan ruang
diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah
administratif, kegiatan kawasan,dan nilai strategis karyawan.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang dijelaskan pada
Pasal 6 ayat (1) bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
memperhatikan:
1. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan
terhadap bencana;
2. potensi sumberdaya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan
keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai satu kesatuan; dan
3. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi
d. Peraturan Pemerintah RI No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber
Daya Ikan
e. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 17 Tahun 2008 tentang
Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Kawasan konservasi yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat 8 adalah bagian
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu
sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau
dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
Kewenangan pengelolaan kawasan yang dimaksud pada Pasal 24 dapat
dilaksanakan oleh :
1. pemerintah untuk kawasan konservasi nasional;
2. pemerintah daerah provinsi untuk kawasan konservasi provinsi; dan
3. pemerintah daerah kabupaten/kota untuk kawasan konservasi kabupaten/
kota.
f. Keputusan Bupati Buton No. 1578 Tahun 2005 Tentang Penetapan Pulau
Liwutongkidi sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah.
Keputusan Bupati ini berisi antara lain :
1. Menetapkan Pulau Liwutongkidi sebagai Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD) Kabupaten Buton Berbasis Masyarakat.
2. Perlindungan dan pengelolaan Pulau Liwutongkidi sebagai Konservasi
Laut Daerah (KKLD) dilaksanakan dengan pola berbasis masyarakat.
2.3.2. Sistem Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah
Sistem zonasi kawasan konservasi laut adalah suatu bentuk rekayasa
teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai
dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis
yang berlangsung sebagai satu kesatuan ekosistem (DKP, 2007).
Sampai saat ini penataan zonasi kawasan konservasi laut belum optimal
karena kelengkapan data dan informasi dasar dari potensi sumberdaya pesisir
yang ada belum optimal. Penataan zonasi kawasan konservasi laut merupakan
pembagian kawasan atas berbagai zona yang mencerminkan adanya suatu
perlakuan tertentu di masing-masing zona tersebut. Penataan zonasi bertujuan
untuk optimalisasi fungsi dan peruntukkan potensi sumberdaya alam hayati dan
ekosistem pada setiap bagian kawasan (Sriyanto, 1998).
Aspek negatif dari suatu perencanaan zonasi yaitu kelihatan sangat kaku
dalam menyederhanakan kompleksnya masalah konservasi. Hal yang tidak
mudah dalam perencanaan zonasi adalah menentukan batas-batas di laut tetapi
hal ini dapat ditunjukkan oleh titik terluar dari setiap kegiatan yang diatur dan
dibatasi secara jelas untuk menegaskan batasnya (Laffoley, 1995).
Sedangkan sistem zonasi yang dimaksud dalam PP NO.60 Tahun
2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, terdiri dari zona inti, zona
perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya sesuai dengan
keperluan. Zonasi tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut :
1.
Zona Inti
merupakan DPL yang dibentuk oleh masyarakat dan bila
dianggap masih kecil, maka dapat ditambah jumlah dan luasnya. Zona ini
diperuntukan bagi: (a) perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, (b)
penelitian, dan (c) pendidikan.
2.
Zona Perikanan Berkelanjutan
merupakan zona yang memiliki nilai
konservasi, tetapi dapat bertoleransi dengan pemanfaatan oleh
pengguna (nelayan dan pembudidaya), dan juga zona yang mempunyai
potensi untuk berbagai pemanfaatan yang ramah lingkungan. Zona
perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi : (a) perlindungan habitat
dan populasi ikan, (b) penangkapan ikan dengan alat dan cara yang
ramah lingkungan, (c) budidaya ramah lingkungan, (d) pariwisata dan
rekreasi, (e) penelitian dan pengembangan, dan (f) pendidikan.
4.
Zona lainnya
merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya
ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain: zona perlindungan, zona
rehabilitasi dan sebagainya.
2.4. Penataan Ruang Kajian Marxan
Marxan (
Marine Reserve Design using Spatially Explicit Anealling
)
dikembangkan sebagai sebuah produk pengembangan Spexan untuk memenuhi
kebutuhan Great Barrier Reef Marine Park Authority (GBRMPA)( Ball, I. R. and
H.P. Possingham, 2000). Ide yang mendasari pengembangan MARXAN ini
adalah permasalahan perencana konservasi dalam menentukan daerah
konservasi karena daerah perencanaan yang berpotensi cukup luas sehingga
banyak kemungkinan daerah yang akan dipilih sebagai daerah konservasi.
Perangkat lunak Marxan adalah sebuah perangkat lunak yang dapat
digunakan untuk membantu merancang sebuah kawasan perlindungan laut atau
jejaring kawasan perlindungan laut. Hal ini karena Marxan dapat memberikan
bantuan dalam menentukan daerah konservasi berdasarkan data dan skenario
perencanaan yang telah disiapkan secara otomatis (Darmawan and Darmawan,
2007). Dengan perangkat lunak ini para perencana dapat mencoba berbagai
skenario perencanaan kawasan yang berbeda dan melihat hasilnya. Dari hasil
tersebut perencana dapat memilih skenario terbaik untuk perencanaan.
Penggunaan Marxan sangat mudah bagi pengguna pemula karena
prosesnya didesain secara otomatis sehingga pengguna dapat mencoba
berbagai scenario dan dapat melihat seperti apa hasilnya (Meerman, 2005).
Perangkat lunak ini menggunakan algoritma
simulated annealing
, yang memiliki
cara kerja terbagi menjadi 3 bagian, yaitu
iterative improvement, random
backward dan repetition
. Ketiga langkah algoritma tersebut berfungsi mencari
nilai
cost
yang paling rendah.
1. Software MARXAN dapat dengan mudah terintegrasi dengan program
Arcview,
dengan
tersedianya
ekstensi-ekstensi
yang memudahkan
pembuatan planning unit, file-file yang diperlukan MARXAN serta otomatisasi
pembuatan shapefile hasil perhitungannya.
2. Mempunyai skenario luas dan terbuka, berbagai skenario dapat
dikembangkan agar tercipta sebuah bentuk kawasan konservasi yang sesuai
dengan yang diinginkan.
3. Transparan, seluruh proses dilakukan secara algoritma matematis, sehingga
alurnya dapat diikuti dalam kerangka ilmiah. Selain itu juga berbagai faktor,
baik ekologi maupun sosial dapat menjadi input dalam perhitungan.
3.
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai April 2010. Data yang
diambil meliputi data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data
terumbu karang, ikan karang, lamun, daerah spesies tertentu dan wilayah
tangkapan nelayan. Data sekunder meliputi data sosial masyakat meliputi jumlah
penduduk, luas wilayah, dan mata pencaharian penduduk.
Penelitian dilaksanakan Kawasan Basilika (Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan
Kadatua) yang merupakan wilayah Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara
(Gambar 1). Secara administratif lokasi penelitian mencakup 4 (empat)
kecamatan yaitu Kecamatan Batauga, Siompu, Siompu Barat dan Kadatua.
3.2. Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan Marxan untuk menganalisa zonasi
kawasan konservasi laut. Metode ini menggunakan 2 macam input data yaitu
data fitur konservasi dan data fitur biaya (
cost
). Fitur konservasi yang mewakili
keadaan ekologi seperti terumbu karang, padang lamun, mangrove dan lain-lain
serta statusnya sedang fitur biaya adalah data sosial ekonomi dan pemanfaatan
sumberdaya.
3.2.1. Fitur Konservasi
Fitur konservasi adalah fitur yang mencakup keanekaragaman hayati
pesisir Basilika diantaranya adalah terumbu karang, ikan karang, padang lamun
dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang potensi sumberdaya tersebut,
perlu adanya data, baik berupa data primer maupun data sekunder.
a. Data Karang
Persentase penutupan karang merupakan perbandingan antara hasil
pengukuran karang hidup terhadap panjang total transek dengan persamaan
sebagai berikut (English,
et. al
, 1994):
X100%
L
L
N
ii
=
Dimana :
N
i= Persentase Penutupan karang
L
i= Panjang total lifeform jenis ke-i
L = Panjang total transek
b. Data Ikan
Data ikan karang diperoleh dengan metode pengamatan visual
(
Visual Census Method
) yang menggunakan transek garis yang sama untuk
pengamatan data karang, sehingga dapat diperoleh deskripsi rinci mengenai
kondisi komunitas karang tempat ikan tinggal. Pencatat data ikan karang
berenang di atas transek garis sepanjang 70 meter sambil mencatat seluruh
spesies ikan dan kelimpahannya yang ditemukan sejauh 2,5 m ke kiri dan
2,5 m ke kanan dari transek garis (English,
et. al
, 1994).
c. Data Lamun
Pengamatan lamun juga dilakukan dengan metode transek kuadrat.
Transek tersebut dilakukan tegaklurus dengan garis pantai yang dianggap
mewakili tiap stasiun. Pada setiap transek, data yang diambil dengan
menggunakan petak berukuran 1 X 1 m, dengan jarak antara petak 10 m.
Untuk mengetahui besarnya sumberdaya, dilakukan pengamatan
persentase penutupannya dengan formula sebagai berikut (Setyabudiandi
et
al
. 2009):
C
= (
∑C
i)/ N
Dimana:
C = Persen penutupan lamun
d. Data Pemijahan Ikan
Daerah pemijahan ikan merupakan areal yang sangat penting dalam
penentuan zonasi kawasan konservasi. Data daerah pemijahan ini
diperoleh dari wawancara dengan nelayan setempat yang mengetahui lokasi
yang sering ditemukan ikan yang matang gonad.
e. Ruaya Mamalia
Ruaya mamalia juga sangat penting dalam zonasi kawasan
konservasi. Hal ini dilakukan demi keberlanjutan hidup dari mamalia tersbut.
Informasi ruaya mamalia dapat dilakukan pengamatan langsung di lapangan
dan dari informasi masyarakat yang sering melihat mamalia tersebut.
f. Data DPL
DPL (
daerah perlindungan laut
) adalah daerah perlindungan yang
dibentuk masyarakat desa yang difasilitasi oleh Program Coremap. Tiap
desa wilayah binaan Coremap mempunyai satu DPL yang berfungsi
untuk
menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut.
Data DPL berupa titik koordinat dan luas DPL tiap desa binaan yang
diperoleh dari Unit Pengelola Program Coremap di Kabupaten Buton. Dalam
penentuan zonasi ini diharapkan masing-masing DPL dapat terakomodir
sebagai zona inti dalam KKLD.
3.2.2. Fitur Biaya (Cost)
Fitur biaya dalam
input
Marxan berupa data sosial tentang pemanfaatan
sumberdaya dan kawasan, yang meliputi pelabuhan, jalur kapal, daerah
penangkapan dan kegiatan lain. Data tersebut diperoleh dari pengamatan
langsung di lapangan dan berupa hasil wawancara dengan masyarakat
pengguna langsung sumberdaya tersebut.
3.3. Analisis Data
berbeda-beda, sehingga
Data yang tela
dengan sistem
present/a
data habitat (
habitat.sh
Adapun alur tabulasi file
Gambar 2 Alur tabul
Secara umum pr
shapefile
yaitu
Plannin
(Cost.shp) seperti yang
proses pembuatan heks
units
(Pu.shp),
Abundan
heksagon dengan wujud
Pengolahan 3 b
menghasilkan 4 buah fi
Bound.dat yang menja
Conservation Land Usin
data yang akan digunaka
Pembobotan Fitur
Penentuan bobo
konservasi dengan bo
konservasi, demikian j
Basilika, bobot nilai ber
modifikasi Workshop T
dengan mempertimbang
ga penalti faktor dendanya (
penalty factor
) juga b
elah dikelompokan dimasukkan kesatuan per
nt/absent
. Data konservasi yang sudah dimasukk
.shp
) dan data fitur biaya disebut data biaya (
ile data sebagai berikut :
bulasi input file data Marxan dengan Arcview dan C
proses penyiapan data untuk Marxan terfokus pa
ning units
(Pu.shp),
Abundance
(Habitat.shp),
g tampak pada Gambar 2. File tersebut dihasilka
ksagonal lengkap dengan proses
cropping
. File
dance
(Habitat.shp), dan
Cost
(Cost.shp) adalah
jud serupa namun berbeda fungsi dan isi tabelnya
buah
shapefile
dilakukan dengan bantuan CL
file tabular yaitu Abundance.dat, Target.dat, Un
njadi
input
Marxan. CLUZ merupakan singk
sing Zoning
adalah
tools
yang digunakan untuk m
akan sebagai
input
Marxan.
bot nilai fitur konservasi dan fitur biaya sangat
bobot tinggi diperhitungkan untuk memenu
juga dengan fitur biaya. Untuk Kawasan K
berkisar antara 1–6 (Tabel 1). Nilai tersebut be
TNC CTC (2006)
in
Darmawan and Darmaw
ngkan kepentingan dan kulitas data.
berbeda.
perencanaan
kkan disebut
a (
cost.shp
).
n CLUZ.
pada 3 buah
), dan
Cost
ilkan setelah
ile
Planning
lah
shapefile
ya.
CLUZ akan
Unit.dat dan
gkatan dari
menyiapkan
Tabel 1 Kriteria skor data
TingkatKepentingan Kualitas Data Nilai Skor
Tinggi Tinggi 6
Tinggi Rendah 5
Sedang Tinggi 4
Sedang Rendah 3
Rendah Tinggi 2
Rendah Rendah 1
Data masing-masing fitur dimasukan dalam satuan perencanaan. Data
konservasi dimasukan kedalam satuan perencanaan fitur konservasi, demikian
juga dengan fitur biaya, sehingga menghasilkan dua macam data yang bisa
dianalisa lebih lanjut.
Pengaturan BLM (Boundary length modifier)
BLM merupakan konstanta yang mengatur tingkat pengelompokan satuan
perencanaan yang terpilih dalam Marxan. Pada BLM yang rendah, satuan
perencanaan yang terpilih akan menyebar karena Marxan akan terkosentrasi
pada biaya yang rendah, sedang pada BLM tinggi, satuan perencanaan yang
terpilih akan mengelompok, karena Marxan akan berusaha untuk menurunkan
panjang batas dari satuan perencanaan tersebut (Steward dan Possingham,
2005).
Penentuan nilai BLM akan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain (J.A.
Ardron
et al
. 2003). Menurut Possingham (2005) nilai BLM dipilih bergantung
pada keseluruhan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari analisis
yang dilakukan. Nilai BLM untuk map unit UTM berkisar antara 0-1, sedang map
unit degree berkisar antara 0-10000 (Darmawan and Barnawi, 2007). Nilai
kisaran BLM tersebut sudah dapat memberikan variasi pengelompokan satuan
perencanaan yang terpilih.
Pengaturan Zonasi
Pengaturan kawasan konservasi dalam Marxan dapat dilakukan dengan
sistem zonasi yang mengacu pada PP No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan
berkelanjutan dan zona lain yang diatur sesuai kebutuhan dan kondisi setempat.
Pembagian zonasi tersebut, dalam Marxan dilakukan dengan membagi frekuensi
yang terdapat dalam file
output1_ssoln
kedalam empat kelas dengan interval
yang sama. Dalam file ini berisi frekuensi suatu daerah akan terpilih menjadi
kawasan konservasi berdasarkan 100 kali ulangan. Nilai frekuensi tersebut
berkisar antara 0-100 dan dibagi kedalam 4 kelas yaitu 76-100 sebagai zona inti,
51-75 sebagai zona pemanfaatan, 26-50 sebagai zona perikanan berkelanjutan
dan 0-25 sebagai zona lainnya.
Konektivitas
Marxan belum bisa menjelaskan secara rinci tentang konektivitas secara
ekologi, karena Marxan mengidentifikasi wilayah hanya berdasarkan biaya
terendah. Untuk mengatasi hal tersebut,ada beberapa cara yang bisa dilakukan
(Smith
et al.
2009) yaitu meningkatkan nilai BLM secara bertahap sampai daerah
yang terpilih cukup untuk menjamin tingkat konektivitas yang tinggi, menambah
zona inti diantara zona sebelumnya, membagi wilayah perencanaan terhadap
target yang ditetapkan untuk mewakili setiap spesies.
[image:39.612.149.490.590.703.2]Tingkat konektivitas dapat dinilai dengan menggunakan model biofisik
yang baik mampu memperkirakan lintasan larva dari daerah pemijahan ke
daerah pembesaran bagi beberapa spesies yang termasuk sebagai target fitur
konservasi (Van der Molen
et al
. 2007). Menurut Palumbi, (2004) bahwa
konektivitas dapat dilihat dilihat dengan mengetahui jarak lintasan yang dapat
dilalui oleh telur dan larva ikan, serta daerah jelajah biota tersebut (Tabel 2)
Tabel 2 Perkiraan pergerakan larva dan dewasa (Palumbi, 2004)
Jarak (km) Dewasa Larva
> 1000 Species migrasi besar Banyak Spesies 100-1000 Ikan pelagis besar Beberapa spesies
10-100 Hampir semua ikan dasar, ikan pelagis kecil
Hampir semua ikan, dan invertebrata
1-10 Ikan dasar kecil, beberapa invertebrata dasar
Alga, plankton, beberapa ikan
<1 Species yg menetap, spesies dgn karakteristik habitat khusus
4. KEADAAN UMUM KAWASAN BASILIKA
4.1.
Kondisi Umum
4.1.1. Keadaan Geografis
Wilayah penelitian meliputi sebagian wilayah Kabupaten Buton bagian
barat yang meliputi 4 kecamatan yaitu Kecamatan Batauga, Siompu, Siompu
Barat dan Kecamatan Kadatua dengan luas wilayah 79.145 ha, yang terdiri dari
daratan seluas 21.702.ha dan lautan seluas 57.443 ha. Secara geografis terletak
antara . 5
028-5
045' LS dan 122
023-122
043' BT. Gambaran umum wilayah dapat
dilihat pada Gambar 1.
Secara adiministratif kawasan Basilika memiliki batas wilayah sebagai
berikut :
Sebelah Utara
:
Kecatan Lakudo dan Mawasangka
Sebelah selatan
:
Laut Flores
Sebelah Barat
:
Kecamatan Talaga Raya
Sebelah Timur
:
Kecamatan Sampolawa
4.1.2. Iklim
Keadaan musim di Basilika umumnya sama dengan iklim Kabupaten
Buton yaitu musim barat dan musim timur. Musim Barat berlangsung dari bulan
Nopember sampai dengan Maret, sedang musim Timur berlangsung dari bulan
Maret sampai dengan Oktober. Untuk perairan Basilika, angin kencang biasanya
terjadi dari bulan Juli sampai Oktober. Angin biasanya bertiup dari arah Barat
Laut. Pada rentan bulan tersebut nelayan yang melaut atau masyarakat yang
melakukan perjalana harus memperhatikan keadaan cuaca.
4.1.3. Topografi
Topografi wilayah Basilika sebagian besar merupakan perbukitan dengan
kemiringan 0 – 40
0. Bagian wilayah pesisir yang merupakan tebing yang sangat
curam. Struktur pantai sebagian besar didominasi pantai berbatu dan hanya
sebagian kecil pantai berpasir (Gambar 3). Karena sebagian besar topografi
pantainya curam, maka daerah intertidalnya juga sangat sempit. Topografi dasar
perairan umumnya berkisar antara 5-30
o, namun ada juga lokasi yang
Gambar 3 Topografi di wilayah pesisir Basilika. a) Pantai berbatu dan berpasir di
Pulau Siompu. b) Pantai berbatu di Pulau Kadatua. c) Pantai berpasir
yang digunakan sebagai pemukiman penduduk di Pulau Kadatua. d)
Pantai berpasir di Pulau Liwutongkidi.
4.1.4. Kondisi Fisik-Kimia Perairan
Parameter fisik kimia yang diamati dalam penelitian ini meliputi salinitas,
suhu, kecepatan arus, kecerahan dan kedalaman. Dari hasil pengamatan
(Tabel 2) menunjukkan bahwa kondisi perairan disekitar Basilika masih dalam
kisaran normal untuk menunjang kelangsungan hidup biota diperairan tersebut.
Tabel 3 Hasil pengukuran beberapa parameter Fisik-Kimia perairan
No
Parameter Fisik
Kimia
Parameter Perairan
Batauga
Siompu
Liwutongkidi Kadatua
1
Salinitas (ppt)
31-34
32-34
32-34
32-34
2
Suhu (
0C)
.28-31
27,5 -30,3
27,8 – 30,5
27,5
-29,0
3
Kec. Arus (cm/det.)
5-50
5 - 50
10 -50
10 - 50
4
Kedalaman (m)
10
10
10
10
5
Kecerahan (%)
100
100
100
100
Dari data parameter fisik-kimia di atas, keempat lokasi tersebut tidak ada
perbedaan yang mencolok. Namun dari pengamatan secara visual di lapangan,
c d
[image:42.612.135.501.541.655.2]kondisi perairan di Batauga lebih keruh dibandingkan dengan tempat lain. Hal ini
karena Batauga merupakan bagian dari daratan yang besar (Pulau Buton)
dimana bila terjadi hujan selalu ada masa air dari daratan yang membawa lumpur
yang masuk ke perairan.
4.2. Kondisi Sosial
4.2.1. Kependudukan
Kawasan Basilika terdiri dari 4 kecamatan yaitu Kecamatan Batauga yang
terdiri dari 10 desa, Kecamatan Siompu 8 desa, Kecamatan Siompu Barat 6 desa
dan Kecamatan Kadatua 10 desa. Penyebaran penduduk di kawasan ini hanya
terdapat di Pulau Siompu, Kadatua dan Pesisir Barat Pulau Buton, sedangkan
Pulau Liwutongkidi tidak berpenghuni. Secara administrasi Pulau Liwutongkidi
sebagian masuk wilayah Desa Tongali Kecamatan Siompu dan selebihnya
masuk wilayah Desa Kapoa Kecamatan Kadatua. Jumlah penduduk penduduk di
kawasan ini berdasarkan BPS Kabupaten Buton 2009 adalah 44.832 jiwa yaitu:
Kecamatan Batauga (15.044 jiwa), Kecamatan Siompu (9.845 jiwa), Kecamatan
Simpu Barat (10.353 jiwa) dan Kecamatan Kadatua (9.590 jiwa). Secara rinci
dapat dilihat pada Tabel 3.
[image:43.612.126.507.561.672.2]Dilihat dari luas wilayah, Kacamatan Batauga mempunyai wilayah yang
paling luas yaitu 73,83 km
2dan yang paling kecil adalah wilayah Siompu Barat
yaitu 10,00 km
2. Tapi bila dilihat dari kepadatan penduduk (jumlah penduduk per
kilometer persegi), maka kecamatan Siompu Barat yang paling padat dengan
tingkat kepadatan 1.035 jiwa perkilometer persegi, sedang yang paling rendah
adalah Kecamatan Batauga dengan tingkat kepadatan 204 jiwa per kilometer
persegi.
Tabel 4 Jumlah pendudukan tiap kecamatan
No Kecamatan
Jumlah Desa/ Kelurahan
Luas Wilayah (km2)
Penduduk
Kepadatan Jumlah Persentasi
1 Batauga 10 73,83 15 044 33,56 203,77
2 Siompu 8 32,50 9 845 21,96 302,92
3 Siompu Barat 6 10,00 10 353 23,09 1 035,30
4 Kadatua 10 32,82 9 590 21,39 292,20
Pertumbuhan penduduk di Basilika cukup tinggi yaitu 4.83%. Hal ini
disebabkan banyaknya masyarakat yang migrasi dari tempat lain yang mencapai
3.50%. Secara rinci, pertumbuhan penduduk dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 5 Laju pertumbuhan penduduk
Kecamatan
2006
2007
2008
Batauga
13.858 14.465 15.044
Siompu
9.075
9.523
9.845
Siompu Barat
9.077
9.522 10.353
Kadatua
8.793
9.246
9.590
Rata pertumbuhan 4,83 % pertahun
Sumber: BPS Kabupaten Buton 2009
4.2.2. Mata Pencaharian Penduduk
Kawasan Basilika adalah daerah agraris. Hal ini dapat dilihat dari dominasi
pertanian sebagai mata pencaharian masyarakat yaitu sebesar 50,17%. Mata
pencaharian yang terbesar kedua adalah sebagai nelayan yaitu 27,55%.
Sedangkan sebagai tukang, transportasi, pedangan, industri dan PNS
masing-masing berkisar antara 2,25-6,14%. Mata pencaharian yg paling kecil adalah
TNI/POLRI dan jasa lain masing-masing 0,20% dan 0,38%. Secara rinci, mata
pencaharian masyarakat Basilika seperti pada Lampiran 1.
Berdasarkan pengamatan lapangan diperoleh informasi bahwa sebagian
besar wilayah tangkapan nelayan di Basilika diluar kawasan ini. Biasanya
mereka menangkap ikan pelagis seperti ikan tuna, cakalang dan ikan tongkol
yang wilayah tangkapannya di perairan lepas. Ada juga yang menangkap ikan
karang dalam skala besar, tapi wilayah tangkapannya diluar karang Basilika.
4.2.3. Aksesbilitas
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakter Kawasan Basilika
Kondisi pulau di kawasan Basilika merupakan pulau karang yang dengan
ketinggian mencapai 40 meter dari permukaan laut. Kondisi pantai di wilayah ini
yang tidak jauh berbeda. Untuk Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua
memiliki struktur pantai yang hampir sama yaitu didominasi dinding batu cadas
yang cukup luas, sedang pantai berpasir putih hanya sebagian kecil.
Keadaan ekosistem perairan merupakan faktor kunci dalam mendukung
kehidupan flora dan founa dalam perairan tersebut. Keadaan ekosistem ini akan
digunakan sebagai fitur konservasi dalam marxan. Sedang keadaan sosial yang
mencakup pemanfaatan sumberdaya digunakan sebagai fitur biaya.
5.1.1. Fitur Konservasi
Fitur konservasi merupakan data tentang keanekaragaman biofisik yang
akan dilindungi meliputi ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu
karang. Masing-masing ekosistem mempunyai hubungan keterkaitan satu
dengan yang lain. Untuk di kawasan Basilika, ekosistem mangrove tidak
ditemukan, hal ini karena wilayah pesisir Basilika tidak terdapat habitat yang
cocok untuk ekosistem mangrove. Ekosistem yang ada hanya ekosistem padang
lamun dan terumbu karang.
a. Ekosistem Terumbu Karang
Untuk mencapai pertumbuhan yang maksimal bagi terumbu karang, maka
diperlukan perairan yang jernih dengan suhu perairan yang hangat antara 25 –
30
0, gelombang yang besar dan arus yang mendatangkan makanan berupa
plankton (Nontji, 2002). Kecerahan perairan akan mempengaruhi pigmen
fotosintesis yang terdapat dalam alga simbion dan senyawa penyerap cahaya
yang terdapat dalam jaringan karang (Salih
et al
. 2000; Dove
et al
. 2001).
Sedangkan sedimentasi dapat mempengaruhi kepadatan simbion yang terdapat
dalam jaringan karang (Nugues and Roberts 2003) yang mempengaruhi tingkat
pertumbuhan karang.
langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat. Manfaat langsung dari
terumbu karang adalah sebagai habitat bagi sumberdaya ikan, pariwisata dan
sebagai obyek penelitian. Sedang manfaat tidak langsung sebagai penahan
abrasi, keanekaragaman hayati dan lain-lain.
Tipe terumbu karang di kawasan ini adalah terumbu karang tepi (
fringing
reef
) dengan luas 2.329,53 hektar. Ada beberapa
pinnacle
ditemukan. Namun
karena keberadaannya cukup dalam dan data sebelumnya belum ada sehingga
belum dapat diidentifikasi.
[image:46.612.127.485.352.624.2]Pengamatan terumbu karang di kawasan ini dilakukan pada 15 stasiun
yang terdiri dari Batauga 3 stasiun, Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua
masing-masing 4 stasiun. Data terumbu karang di Batauga merupakan data sekunder
diperoleh dari hasil penelitian Coremap II Buton pada tahun 2008, sedang data
Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua merupakan data primer yang diperoleh pada
saat penelitian (Tabel 5).
Tabel 6 Persentase penutupan karang di lokasi pengamatan
Lokasi/Stasiun
Tutupan Kategori Karang (%) Karang Keras Karang Lunak Biota Lain Karang
Mati Abiotik
Batauga* ST1 33,60 0 15,63 14,70 36,07
ST2 11,14 0 14,12 12,82 61,92
ST3 11,38 0 37,62 36,90 14,10
Rata2 18,71 0 15,79 18,14 37,36
Siompu ST1 42,00 2,00 2,17 18,67 35,17
ST2 18,67 7,50 5,50 55,33 13,00
ST3 0,67 0 0 0 99,33
ST4 23,05 1,40 5,00 24,95 45,60
Rata2 21,10 2,73 3,17 24,74 48,28
Liwutongkidi ST1 10,33 1,33 0 12,50 75,83
ST2 48,83 0 0 44,00 7,17
ST3 50,67 0 5,33 21,50 22,50
ST4 44,17 0 0 37,50 18,33
Rata2 38,50 0,33 1,33 28,88 30,96
Kadatua ST1 36,67 1,33 6,67 37,67 17,67
ST2 43,53 4,33 0 28,00 24,13
ST3 29,33 1,67 0 33,67 35,33
ST4 35,80 3,50 12,50 41,70 6,50
Rata2 36,33 2,71 4,79 35,26 20,91
*) Data sekunder (Coremap 2008)
Sedang persen penutupan paling kecil terdapat di Pulau Siompu yaitu pada
stasiun 3 sebesar 0,70%. Kecilnya persentase ini karena dasar perairan pada
stasiun ini adalah pasir dan mempunyai arus yang cukup kuat, sehingga planula
karang tidak dapat tumbuh dimana planula karang memerlukan dasar yang keras
untuk tumbuh (Gambar 4).
Stasiun 2 Pulau Siompu memiliki penutupan karang karas sebesar 18,7%.
Bila dibandingkan dengan stasiun lain, maka Stasiun 2 tergolong sedang. Dilihat
dari penutupan karang mati, maka stasiun ini tergolong yang paling tinggi. Hal ini
karena pada stasiun ini terjadi aktifitas penangkapan yang paling tinggi, dimana
dilokasi ditemukan banyak alat tangkap berupa bubu (Gambar 5a) disekitar
stasiun tersebut. Dilokasi juga ditemukan biota pemangsa karang (
Acanthaster
planci
) (Gambar 5b) yang cukup besar pengaruhnya terhadap karang.
Kondisi terumbu karang bila dibandingkan secara keseluruhan, maka
kondisi terumbu karang di Batauga mempunyai persen penutupan yang paling
kecil yaitu berkisar antara 11,14-33,60% dengan rata-rata 18,71%. Hal ini karena
kondisi perairan dilokasi ini mempunyai kecerahan yang paling rendah. Jenis
karang yang ditemukan di daerah ini terbatas pada karang jenis tertentu yang
tahan pada kondisi perairan dengan kecerahan rendah yaitu
non-Arcopora
dari
jenis Porites.
Secara umum kondisi terumbu karang di kawasan ini bila dibandingkan
dengan hasil penelitian Napoleon (2006) tentang kondisi terumbu karang di
Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua (Lampiran 2) relatif tidak ada
perubahan yang berarti. Hal ini dapat dilihat dari beberapa stasiun yang
kebetulan berdekatan mempunyai penutupan karang hidup yang hampir sama.
b. Ikan Karang
Ikan karang adalah salah satu biota yang hidup berasosiasi dengan
karang yang mempunyai keanekaragaman yang species yang tinggi. Tingginya
variasi habitat dalam terumbu karang merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan keanekaragaman species ikan karang (Nybakken, 1988). Untuk
memudahkan dalam pengamatan, maka ikan karang dikelompokan menurut
peranannya menjadi 3 kelompok yaitu :
Mulidae, Siganidae Labridae (Cheilinus, Himygymnus, choerodon) dan
Haemulidae (Gamabar 6a).
2. Ikan Indikator,
adalah ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat
hubunganya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari Famili
Chaetodontidae (Gambar 6b).
[image:48.612.105.506.73.722.2]3. Ikan Mayor (mayor group),
adalah ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan
banyak dijadikan ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae,
Pomacanthidae Labridae, Apogonidae dll.)
[image:48.612.141.497.224.361.2]Gambar 4 Kondisi dasar perairan yang berpasir
Gambar 5 Faktor Penyebab Kerusakan Karang. (a) Bubu. (b)
Acanthaster planci
Gambar 6 Jenis Ikan yang ditemukan dilokasi pengamatan. (a) Ikan target
(
Lutjanus kasmira
) (b) Ikan indikator (
Chaetodon trifascialis
)
a b
[image:48.612.130.493.552.682.2]Berdasarkan pengamatan diperairan kawasan BASILIKA ditemukan ikan
karang dengan terklasifikasi dalam 43 famili, 182 spesies dan 4116 individu
(Tabel 7). Secara rinci, jenis ikan yang ditemukan dikawasan ini dicantumkan
pada Lampiran 3.
Tabel 7 Jenis ikan karang yang ditemukan dilokasi pengamatan
No Lokasi Stasiun
Jumlah
Kelimpahan (indv/Ha) Individu
(350 m2) Species Famili
1 Batauga ST1 255 24 13 7.286
ST2 95 17 10 2.714
ST3 342 31 15 9.771
2 Siompu ST1 395 77 27 11.286
ST2 178 29 17 5.086
ST3 127 15 6 3.629
ST4 202 42 20 5.771
3 Liwutongkidi ST1 336 42 17 9.600
ST2 312 45 19 8.914
ST3 263 53 24 7.514
ST4 220 46 23 6.286
4 Kadatua ST1 311 58 22 8.886
ST2 416 101 33 11.886
ST3 219 53 23 6.257
ST4 265 43 20 7.571
Total 4116 182 43
c. Ekosistem Lamun
Lamun adalah ekosistem perairan dangkal yang menyebar diseluruh
dunia di daerah tropis dan subtropis (Green & Short, 2003). Keberadaan lamun di
Kawasan Basilika tidak ditemukan disemua tempat. Untuk Pulau Siompu,
Liwutongkidi dan Kadatua hanya ditemukan di beberapa tempat yang agak
terlindung dan dasar perairan yang bersedimen, karena lamun dapat
berkembang dengan baik dari arah pantai sampai kedalaman 50 meter pada
subtrat sediment (Den Hartog & Phillips, 2001; Green & Short 2003).
Dari hasil pengamatan ditemukan 3 - 5 jenis lamun. Lokasi yang paling
banyak ditemukan jenisnya adalah pesisir Batauga, untuk Pulau Siompu dan
Kadatua ditemukan 4 jenis, sedang di Pulau Liwutongkidi ditemukan 4 jenis.
Secara rinci persentase penutupan dan jenis lamun yang ditemukan dilokasi
dapat dilihat pada Lampiran 2.
[image:50.612.142.479.456.606.2]Berdasarkan dari persentase penutupan lamun, yang paling padat
ditemukan di Pulau Siompu (Gambar 7), namun umumnya keberadaan lamun
untuk di daerah kepulauan hanya ada beberapa tempat. Sedangkan yang paling
sedikit pesentase penutupannya ada di Kadatua dan Batauga. Namun
ekosistem lamun hampir merata ditemukan disemua tempat perairan dangkal di
Batauga. Hal ini karena di Batauga ditemukan beberapa sungai kecil yang
menyuplai nutrient ke perairan tersebut.
Gambar 7 Grafik Persentase Penutupan Lamun.
d. Biota Lain
Di kawasan Basilika saat ini sudah menjadi daerah tujuan wisata.
Disamping karena lokasinya dekat dengan pusat kota yang dapat dicapai dengan
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
ST1 ST2 ST3 ST1 ST2 ST1 ST2 ST3 ST1 ST2
Batauga Siompu Liwutongkidi Kadatua
mudah, juga terdapat obyek wisata yang menarik bagi wisatawan. Biota tersebut
antara lain: lumba-lumba, ikan pari, dan ikan katak (Gambar 8). Dalam analisa
untuk konservasi, biota terebut dapat merupakan parameter dalam penentuan
zonasi.
5.1.2. Fitur Biaya
Fitur biaya yang diperoleh pada penelitian ini adalah daerah penangkapan,
alur pelayaran dan pelabuhan. Kegiatan tersebut masuk ke dalam fitur biaya
sebab ketiganya memiliki dampak terhadap fitur konservasi yang ditargetkan
seperti ekosistem perairan khususnya ekosistem terumbu karang, dan padang
lamun.
a.
b.
Gambar 8 Biota yang menarik bagi wisatawan. (a) Ikan pari (
Aeotobatus
narinari
). (b) Ikan katak (
Antennarius commersonii
).
5.2.
Penetapan Zonasi Kawasan Konservasi
Menetapkan target konservasi merupakan hal yang sangat penting dalam
sistematis perencanaan konservasi, dan sejauh mana sistem konservasi akan
tergantung sangat pada titik referensi ini. Namun penentuan target konservasi
merupakan hal yang agak sulit dan kadang kurang ilmiah. Untuk itu ada
beberapa contoh yang dapat dia