• Tidak ada hasil yang ditemukan

The study of marine conservation area in Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua (Basilika) Buton South East Sulawesi with Marxan Application

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The study of marine conservation area in Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua (Basilika) Buton South East Sulawesi with Marxan Application"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KAWASAN KONSERVASI LAUT

BATAUGA, SIOMPU, LIWUTONGKIDI, DAN KADATUA (BASILIKA)

KABUPATEN BUTON SULAWESI TENGGARA

DENGAN APLIKASI MARXAN

LA ILA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian Kawasan

Konservasi Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua (Basilika) Kabupaten

Buton Sulawesi Tenggara dengan Aplikasi Marxan adalah karya saya sendiri

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir tesis ini.

Bogor, September 2010

(3)

LA ILA, The study of marine conservation area in Batauga, Siompu, Liwutongkidi

dan Kadatua (Basilika) Buton South East Sulawesi with Marxan Application.

Supervised by NIKEN T.M. PRATIWI and AGUSTINUS M. SAMOSIR.

This research was conducted to rezone Basilika of marine conservation

area. The redefine zone is using Marxan method, which applies cost minimum

approach in searching the area. The conservation and cost feature used this

research are coral reef, spawning ground, specific organism, fishing ground and

navigation route. Coral cover presentation, reef fishes, and seagrass data was

collected using Line Intercept Transect (LIT), Underwater Visual Census, and

Quadrant Transect. MARXAN software was used to make the zoning area.

Result show hard coral cover was vary from 0.7-50.7%, reef fish were 182

species belonging of 43 families, and percent coverage of seagrass ranged from

13.67-80.67%. Based on the MARXAN analysis, the third scenario was the most

appropriate one, because all marine protected areas (DPL) becomes the core

zone while Liwutongkidi area become restricted use zones (as buffers). It is

possible to develop tourism activities in restricted use zones area without

exploiting the resource.

(4)

Kadatua (Basilika) Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara dengan Aplikasi

Marxan. Dibimbing oleh NIKEN T.M. PRATIWI dan AGUSTINUS M. SAMOSIR.

Marxan adalah alat yang dapat membantu dalam mendesain kawasan

konservasi yang dijalankan dengan bantuan perangkat lunak ArcView 3.3 dan

ekstensi CLUZ. Dalam Marxan dikenal 2 jenis data yaitu data fitur konservasi dan

data fitur biaya (cost). Fitur konservasi yang mewakili keadaan ekologi seperti

terumbu karang, ikan karang, padang lamun, dan biota lain serta statusnya

sedang fitur biaya adalah data sosial ekonomi berupa pemanfaatan sumberdaya.

Penelitian Kajian Kawasan Konservasi Batauga, Siompu, Liwutongkidi

dan Kadatua (Basilika) Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara ini bertujuan untuk

mengetahui potensi dan kondisi terkini sumberdaya dan menata ulang zonasi

kawasan konservasi laut di kawasan Basilika Kabupaten Buton Sulawesi

Tenggara dengan aplikasi Marxan.

Penelitian ini berlokasi di kawasan Basilika yang terletak di bagian barat

Kabupate Buton Sulawesi Tenggara mencangkup 4 kecamatan yaitu Kecamatan

Batauga, Siompu, Siompu Barat dan Kadatua. Penelitian ini dilaksanakan pada

bulan April-Mei 2010. Data diperoleh langsung dari lapangan.

Pengamatan terumbu karang dengan metode

Line Intercept Transect

(LIT), pengamatan ikan karang dengan metode

Underwater Vicual Sensus

,

pengamatan lamun dengan metode transek kuadran (1X1 m) dengan jarak 10 m.

Sedang

pemanfaatan sumberdaya berdasarkan pengamatan lapangan dan

wawancara masyarakat pengguna sumberdaya. Untuk analisis zonasi kawasan

konservasi laut digunakan aplikasi Marxan.

Hasil pengamatan menunjukan bahwa ekosistem pesisir di perairan

Basilika terdiri dari ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem utama dan

ekosistem lamun. Terumbu karang dan ikan karang menyebar merata ke seluruh

wilayah pesisir. Analisis zonasi dengan aplikasi Marxan menghasilkan empat

zona kawasan konservasi laut yaitu zona inti, zona pemanfaatan terbatas, zona

pemanfaatan tradisional dan zona lainnya.

(5)

dalam penetapan kawasan konservasi. Hal ini dapat dilihat dari zonasi yang

dihasilkan. Zona inti meliputi seluruh DPL dan sebagian kecil Liwutongkidi.

Sebagian besar wilayah Liwutongkidi yang mempunyai potensi paling baik

merupakan

zona

pemanfaatan

terbatas

yang

memungkinkan

untuk

dikembangkan kegiatan yang bermanfaat dengan tidak mengambil biota

didalamnya seperti wisata bahari.

Berdasarkan skenario yang ada, zonasi yang dipilih sudah cukup untuk

menunjukan konektivitas yang tinggi. Menurut Palumbi, (2004) bahwa hampir

semua larva ikan dan invertebrata dapat bergerak sejauh 10-100km sedang

pergerakan ikan dewasa umumnya lebih pendek yaitu 1-10km. Zona inti yang

terpilih letaknya cukup berdekatan, sehingga bila ada zona inti yang terganggu,

maka akan mudah mendapat suplai dari zona inti disekitarnya.

Perbedaan hasil zonasi atara kajian yang dilakukan sebelumnya dengan

kajian ini adalah status perairan Pulau Liwutongkidi. Pada kajian sebelumnya

menetapkan perairan Pulau Liwutongkidi sebagai zona inti. Hal ini akan sulit

diimplementasikan karena saat ini kepemilikan tanah di Pulau Liwutongkidi

merupakan kebun masyarakat setempat dan juga Liwutongkidi merupakan tujuan

wisata bagi masyarakat lokal maupun yang datang dari Kota Bau-Bau. Hal ini

karena Liwutongkidi mempunyai panorama pantai dan bawah laut yang indah,

juga mudah diakses karena lokasinya cukup dekat. Pada kajian ini menetapkan

sebagian kecil perairan Liwutongkidi sebagai zona inti dan selebihnya

merupakan zona pemanfaatan terbatas. Hasil tersebut lebih diterima oleh

masyarakat karena perairan Liwutongkidi masih bisa dimanfaatkan secara tidak

langsung seperti untuk kegiatan rekreasi.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah;

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(7)

KAJIAN KAWASAN KONSERVASI LAUT BATAUGA, SIOMPU,

LIWUTONGKIDI DAN KADATUA (BASILIKA)

KABUPATEN BUTON SULAWESI TENGGARA

DENGAN APLIKASI MARXAN

LA ILA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama Mahasiswa

: LA ILA

Nomor Pokok

: C252080354

Program Studi

: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Sc. Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil

Ketua

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof.Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat yang diberikan

sehingga tesis yang berjudul “ Kajian Kawasan Konservasi Laut Batauga, Siompu,

Liwutongkidi dan Kadatua (Basilika) Kabupaten Buton dengan Aplikasi Marxan” ini

dapat diselesaikan. Karya tulis ini merupakan penjabaran dari hasil penelitian dalam

rangka penyusunan tesis.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan

kepada

1. Dr. Ir. Niken TM Pratiwi, M.Si dan Ir. Agustinus M Samosir, M.Phill, selaku

komisi pembimbing, Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc., selaku penguji luar komisi,

dan Dr. Ir. Fredinand Yulianda, M.Sc., selaku penguji bidang akademik yang

telah memberikan masukan dan arahan, juga kepada Prof. Dr. Ir. Mennofatria

Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisi dan

Lautan.

2. Direktur PMO COREMAP II Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan

Perikanan beserta seluruh jajarannya atas beasiswa yang diberikan

kepada penulis

3. Ibu, Ola, Pak Dindin dan Mas Aji yang telah membantu mengurus segala

administrasi, Mas Anton dan Mas Wenda yang telah meluangkan waktu untuk

membagi ilmu tentang Marxan sehingga dapat diaplikasikan dalam

pengolahan data, serta ‘ba Nani dan Mas Samsul B atas bantuannya.

4. Ayah, ibu, istri serta anak-anakku atas segala bantuan dan doanya.

Harapan penulis kiranya bantuan, dukungan moril dan materil baik langsung

maupun tidak langsung yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi perkembangan

Kawasan Konservasi Laut Daerah di Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara.

Bogor, September 2010

(11)

Buton Sulawesi Tenggara pada tanggal 31 Desember 1970 dari pasangan ayah

Lam Bahido dan ibu Wam Bina. Penulis merupakan anak ke 4 dari 6 bersaudara.

Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri Pasarwajo. Kemudian pada

tahun 1998 menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kalautan IPB. Desember Tahun 2002 penulis diterima bekerja di Pemerintah

Daerah Kabupaten Buton dan ditempatkan pada Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Buton.

(12)

xix

Halaman

DAFTAR TABEL ...

xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ...

xxv

1. PENDAHULUAN ...

1

1.1. Latar Belakang ...

1

1.2. Perumusan Masalah ...

2

1.3. Tujuan Penelitian ...

2

1.4. Manfaat Penelitian...

3

2. TINJAUAN PUSTAKA ...

5

2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir ...

5

2.1.1. Pengertian Wilayah Pesisir ...

5

2.1.2. Sumberdaya di Wilayah Pesisir ...

6

2.2. Pengeloaan Kawasan Konservasi ...

9

2.2.1. Landasan Hukum ...

9

2.2.2. Sistem Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah ...

11

2.3. Penataan Ruang Kajian Marxan ...

13

3. METODE PENELITIAN ...

15

3.1. Waktu dan Lokasi ...

15

3.2. Pengumpulan Data ...

15

3.2.1. Fitur Konservasi ...

15

3.2.2. Fitur Biaya (

Cost)

...

18

3.3. Analisis Data ...

18

4. KONDISI UMUM KAWASAN BASILIKA ...

23

4.1. Kondisi Umum ...

23

4.1.1. Keadaan Geografis ...

23

4.1.2. Iklim ...

23

4.1.3. Topografi ...

23

4.1.4. Kondisi Fisik-Kimia Perairan ...

24

4.2. Kondisi Sosial ...

25

4.2.1. Kependudukan ...

25

4.2.2. Mata Pencaharian Penduduk ...

26

4.2.3. Aksesbilitas ...

26

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

27

5.1. Karakter Kawasan Basilika ...

27

5.1.1. Fitur Konservasi ...

27

(13)

xx

5.2.3. Pengaturan Skenario ...

40

5.2.4. Peta Hasil Skenario ...

43

5.2.5. Pembahasan ...

45

6. KESIMPULAN DAN SARAN ...

51

2.1.Kesimpulan ...

51

2.2.Saran ...

51

DAFTAR PUSTAKA ...

53

(14)

xxi

Halaman

1.

Kriteria Skor Data...

20

2.

Tabel perkiraan pergerakan larva dan dewasa (Palumbi, 2004) ...

21

3.

Hasil Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Perairan ...

24

4.

Jumlah penduduk tiap kecamatan ...

25

5.

Laju Pertumbuhan Penduduk ...

26

6.

Persentase penutupan karang di lokasi pengamatan ...

28

7.

Jumlah jenis ikan karang yang ditemukan di lokasi pengamatan ...

31

8.

Fitur konservasi ...

36

9.

Fitur biaya ...

39

10.

Faktor denda dan persentase target tiap skenario pada fitur

konservasi ...

40

(15)
(16)

xxiii

Halaman

1.

Peta lokasi penelitian ...

16

2.

Alur tabulasi input file data Marxan dengan Arcview dan CLUZ ...

19

3.

Topografi di wilayah pesisir Basilika ...

24

4.

Kondisi dasar perairan yang berpasir ...

30

5.

Faktor penyebab kerusakan karang ...

30

6.

Jenis ikan yang ditemukan di lokasi penelitian ...

30

7.

Grafik persentase penutupan lamun ...

32

8.

Biota yang menarik wisatawan ...

33

9.

Peta daerah kajian ...

36

10.

Peta fitur konservasi ...

37

11.

Peta fitur cost ...

38

12.

Grafik hubungan antara luas area terhadap panjang batas pada

skenasio 1 ...

43

13.

Peta zonasi kawasan pada skenario 1 ...

44

14.

Peta zonasi kawasan pada skenario 2 ...

46

15.

Peta zonasi kawasan pada skenario 3 ...

47

(17)
(18)

xxv

Halaman

1.

Jenis pekerjaan masyarakat ...

57

2.

Kondisi terumbu karang di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan

Kadatua tahun 2006 (Napoleon, 2006) ...

58

(19)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah

memberi landasan yang cukup kuat bagi pemerintah untuk mengambil dan

membagi tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan

lautan. Undang-undang tersebut memberikan peluang bagi pemerintah daerah

untuk

dapat

mengembangkan

potensinya

dalam

mensejahterakan

masyarakatnya. Namun di sisi lain, pemerintah daerah harus mampu secara

kreatif melakukan terobosan-terobosan, khususnya di sektor ekonomi dengan

memanfaatkan sumberdaya yang ada. Salah satu terobosan dalam pengelolaan

sumberdaya hayati tersebut adalah dengan terbentuknya KKLD Liwutongkidi

dengan ketetapan Bupati Buton di tahun 2006.

Secara umum geomorfologi Kabupaten Buton, khususnya kawasan

Basilika terdiri atas 3 pulau kecil, dan masyarakatnya hidup dengan

mengandalkan sumberdaya hayati yang ada di sekitarnya. Sebagian besar

masyarakat di kawasan ini berprofesi sebagai petani dan tidak sedikit pula yang

mencari nafkah di laut. Wilayah pesisir kawasan ini memiliki ekosistem terumbu

karang yang berperan strategis dalam menunjang kehidupan masyarakat,

sehingga upaya pelestarian serta rencana pemanfaatan dan pengelolaannya

perlu diatur sedemikian rupa agar tertata dengan baik.

Pemerintah Kabupaten Buton didukung oleh Program COREMAP Fase II

melakukan kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi kerusakan lingkungan

perairan. Salah satunya adalah dengan memfasilitasi masyarakat desa untuk

membentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) di tiap desa wilayah program. Hal

ini dilakukan agar masyarakat dapat menumbuhkembangkan rasa memiliki DPL

tersebut. Penataan ruang dan peran kawasan konservasi satu dengan yang lain

belum maksimal pengelolaannya. Oleh karena itu perlu adanya kajian yang

mengarah pada pengelolaan kawasan konservasi laut.

(20)

Proses ini dapat dilakukan secara manual, tapi akan lebih efisien bila dilakukan

dengan perangkat lunak (software). Salah satu metode yang saat ini mulai

banyak digunakan dalam penentuan kawasan konsevasi adalah dengan aplikasi

Marxan (Ball dan Possingham, 2000). Marxan adalah sebuah perangat lunak

yang dapat membantu untuk merancang sebuah kawasan konservasi dengan

skenario yang kita tetapkan dan tujuan yang dicapai berdasarkan biaya

terendah.

Dengan aplikasi ini diharapkan kawasan konservasi laut yang dibentuk dapat

dikelolah dengan baik, sehingga dapat menyumbang sebagai salah satu lahan

konservasi di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Pemerintah Kabupaten Buton melalui Surat Keputusan Bupati Buton

Nomor 1578 Tahun 2006 telah menetapkan Pulau Liwutongkidi sebagai

Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Namu wilayahnya sangat kecil yaitu

hanya meliputi wilayah Pulau Liwutongkidi. Hal ini tidak sesuai dengan konsep

KKLD yang terdiri dari beberapa zona.

Pada Tahun 2008, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik

Indonesia kajian ulang Kawasan Konservasi Laut Daerah, dan memperluas

wilayah kajian tersebut menjadi sembilan kecamatan, yaitu Batu Atas,

Sampolawa, Batauga, Siompu, Siompu Barat, Kadatua, Mawasangka ,

Mawasangka Timur dan Talaga Raya.. Zona inti dalam kajian ini meliputi DPL

bentukan masyarakat dan seluruh wilayah Pulau Liwutongkidi. Hal ini akan

bertentangan dengan masyarakat karena Pulau Liwutongkidi merupakan kebun

milik masyarakat setempat sehingga tidak memungkinkan untuk ditutup.

Disamping itu, Pulau Liwutongkidi merupakan tujuan wisata masyarakat.

Saat ini Pemerintah Kabupaten Buton melalui Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) merekomendasikan pemekaran sebagian wilayah KKLD menjadi

kabupaten baru yaitu Kabupaten Buton Selatan. Oleh karena itu perlu penataan

kembali zonasi KKLD tersebut.

(21)

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan antara lain :

1. Untuk mengetahui potensi dan kondisi terkini dari sumberdaya pesisir di

perairan kawasan Basilika.

2. Menata ulang zonasi kawasan konservasi laut daerah dengan aplikasi

Marxan.

1.4. Manfaat Penelitian

(22)
(23)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir

(coastal zone)

merupakan daerah yang unik, karena pada

daerah ini hanya bisa dijumpai daerah pasang surut, hutan bakau, terumbu

karang, hempasan gelombang, perairan pantai, dan pulau-pulau penghalang

pantai. Akibat dari keberagaman dan perubahan yang sering terjadi di wilayah

pesisir, kebanyakan negara menyatakan bahwa daerah pesisir merupakan

daerah yang memerlukan perhatian khusus. Lebih jauh disebutkan pula bahwa,

sebagai daerah transisi antara daratan dan lautan, wilayah pesisir merupakan

daerah yang memiliki beberapa habitat yang produktif dan berharga dari biosfer,

seperti estuari, laguna, lahan basah pesisir, dan ekosistem terumbu karang.

Daerah ini juga merupakan daerah yang memiliki dinamika sumberdaya alam

yang besar dimana proses transfer energi alami banyak terjadi dan kelimpahan

yang besar dari organisme alami juga dapat ditemukan di wilayah ini

(Clark, 1996).

2.2. Pengertian Wilayah Pesisir

Pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu

pendekatan ekologis, pendekatan administratif, dan pendekatan perencanaan.

Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih

dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah laut mencakup wilayah

yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi.

Ketchum, (1972)

in

Kay (1999) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai sabuk

daratan yang berbatasan dengan lautan dimana proses dan penggunaan lahan

di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan sebaliknya. Dilihat

dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi

pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari Kabupaten atau Kota

yang mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk

Provinsi atau 1/3 dari 12 mil untuk Kabupaten/Kota. Dilihat dari aspek

perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengelolaan dan

difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggung

jawab (Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, 2001).

(24)

laut dan Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan

2.000 km

2

beserta kesatuan ekosistemnya. Sedangkan Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan,

pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat

dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

2.2.1. Sumberdaya di Wilayah Pesisir

Potensi sumberdaya yang terdapat di pulau kecil akan tergantung pada

proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga

secara geologis pulau-pulau tersebut memiliki formasi struktur yang berbeda,

dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut juga akan memiliki kondisi

spesifik dan spesies endemik serta keanekaragaman yang tipikal (Bengen,

2002).

Secara umum, sumberdaya alam yang terdapat di kawasan pesisir dan

pulau-pulau kecil terdiri atas sumberdaya dapat pulih (

renewable resources

),

sumberdaya tidak dapat pulih (

non-renewable resources

). Sumberdaya dapat

pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, plankton, benthos, moluska, mamalia laut,

rumput laut (

seaweed

), lamun (

seagrass

), mangrove, terumbu karang, krustasea

atau udang, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (

mariculture

).

Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi minyak bumi dan gas, mineral, bahan

tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah, bauksit, serta bahan tambang

lainnya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut adalah

pariwisata dan perhubungan laut.

Ekosistem Terumbu Karang

Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal

ini didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam. Perairan

karang merupakan ekosistem yang subur yang banyak dihuni oleh

beranekaragam sumberdaya hayati. Selain itu ekosistem terumbu karang

dengan keunikan dan keindahannya juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat

wisata bahari (Bengen, 2002).

(25)

coral

) dan algae berkapur (

calcareous algae

), bersama dengan biota lainnya

yang hidup di dasar. Algae yang dimaksud adalah algae koralin merah berbentuk

hamparan (encrusting), dan berperan penting dalam memelihara keutuhan

terumbu dengan cara melekatkan terus menerus berbagai potongan kalsium

karbonat (CaCO

3

) menjadi satu, sehingga memperkuat kerangka kapur

(Soekarno, 1993).

Dari perkembangannya terumbu karang dapat dikelompokan dalam dua

kelompok karang yang berbeda, yaitu karang hermatipik yang dapat

menghasilkan terumbu dan karang ahermatipik yang tidak dapat menghasilkan

terumbu. Karang ahermatipik banyak ditemukan di seluruh dunia, sedangkan

karang hermatipik hanya tersebar di sekitar wilayah tropik. Perbedaan mencolok

dan kedua jenis karang ini adalah pada jaringan karang hermatipik terdapat

sel-sel tumbuhan (

zooxanthellae

) yang bersimbiosis dengan hewan karang,

sedangkan pada karang ahermatipik tidak ditemukan. Peranan

zooxanthellae

sangat penting bagi perairan di sekitar terumbu karang karena dapat

menyediakan dan menyuplai oksigen ke dalam perairan dari hasil proses

photosintesis algae monoseluler (Nybakken 1988).

Terumbu karang memiliki fungsi fisik sebagai pelindung pantai dari

hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut (Bengen, 2001).

Ekosistem terumbu karang menjadi sangat penting karena banyak terdapat

organisme yang hidup dan berasosiasi dengan karang sebagai tempat mencari

makan (

feeding gound

), reproduksi (

spawning gorund

), pembesaran (

nursery

ground

), dan sebagai tempat berlindung (

space

) dari serangan predator. Selain

itu, ekosistem terumbu karang juga memiliki nilai komersial laut (

marine

commerciaf

) dibidang pariwisata, karena terdiri dari keanekaragaman jenis,

bentuk, tipe, dan keindahan karang serta kejernihan perairan mampu

membentuk perpaduan yang harmonis, estetika sebagai tempat rekreasi bawah

laut.

Ekosistem Lamun

(26)

kawasan tersebut.

Lamun (

seagrass

) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga

(

Angiospermae

) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup

terendam di dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui

penyebaran buah (

propagule

) yang dihasilkan secara seksual (

dioecious

)

(Bengen, 2001).

Lamun umumnya membentuk hamparan yang luas di dasar laut yang

masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi

pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada

kedalaman berkisar antara 2 - 12 meter, dengan sirkulasi air yang baik (Bengen,

2001).

Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat

berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering

ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove

dan terumbu karang.

Ekosistem padang lamun bukan merupakan entitas yang terisolasi, tetapi

berinteraksi dengan ekosistem lain di sekitarnya. Interaksi terpenting ekosistem

padang lamun adalah dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang, dimana

terdapat 5 (lima) tipe interaksi antara ketiga ekosistem tersebut, yakni: fisik,

bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna, dan dampak

manusia (Bengen, 2001).

Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang

sangat berperan bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut dan sekitarnya

maupun bagi masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove berfungsi sebagai

tempat mencari makan bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan

sebagai tempat pengasuhan. Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai

penahan abrasi yang disebabkan oleh ombak dan gelombang, disamping secara

ekonomi dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, alat tangkap ikan dan bahan

pembuat rumah (Bengen, 2002).

(27)

mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal

yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan

arus pasang surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di

pantai-pantai teluk dangkal, estuari, delta dan daerah pantai yang terlindung

(Bengen, 2001).

Hutan mangrove merupakan hutan tropis yang umumnya tumbuh di

daerah pantai, merupakan jalur hijau, yang terdapat di teluk-teluk, delta-delta,

muara sungai dan sampai menjorok kearah pedalaman garis pantai. Disamping

itu hutan mangrove juga merupakan suatu tipe hutan yang dipengaruhi pasang

surut air laut. Tipe hutan ini mempunyai fungsi ekonomis dan ekologis. Fungsi

ekonomisnya adalah menghasilkan kayu dan hasil hutan ikutan, sedangkan

fungsi ekologisnya yang sangat penting adalah sebagai interface antara

ekosistem daratan dan lautan. Dengan demikian didalam ekosistem mangrove

paling sedikit terdapat lima unsur ekosistem yang saling terkait yaitu flora, fauna,

perairan daratan dan manusia (penduduk lokal) yang hidupnya tergantung pada

ekosistem mangrove (Kusmana, 1995).

2.3. Pengelolaan Kawasan Konservasi

Suatu kawasan yang dilindungi harus dijamin keberadaan dari

pemanfaatan sumberdaya secara tidak terbatas. Prinsip dasar untuk tujuan

perlindungan adalah konservasi, dimana konservasi dapat didefinisikan sebagai

pengelolaan

dari

penggunaan

manusia

terhadap

"biosphere"

untuk

mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang dengan

tetap memelihara potensinya untuk kebutuhan dan cita-cita generasi yang akan

datang (IUCN, 1980

dalam

Salm, 1984).

2.3.1. Landasan Hukum

Penetapan dan pengelolaan suatu kawasan perlu adanya peraturan yang

menguatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan agar kegiatan

tersebut mempunyai landasan hukum yang kuat. Peraturan yang menjadi

landasan hukum bagi pengelolaan kawasan konservasi antara lain :

a. Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(28)

perairan propinsi (12 mil). Kewenangan-kewenangan dimaksud meliputi :

eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut;

pengaturan kepentingan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan

hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang

dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; bantuan penegakan

keamanan dan kedaulatan negara.

b. Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

Dan Pulau-Pulau Kecil

Pasal 1 menyatakan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan

pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor,

antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut,

serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

c. Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Klasifikasi penataan ruang dijelaskan pada Pasal 4 bahwa penataan ruang

diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah

administratif, kegiatan kawasan,dan nilai strategis karyawan.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang dijelaskan pada

Pasal 6 ayat (1) bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan

memperhatikan:

1. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan

terhadap bencana;

2. potensi sumberdaya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya

buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan

keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi

sebagai satu kesatuan; dan

3. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi

d. Peraturan Pemerintah RI No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber

Daya Ikan

(29)

e. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 17 Tahun 2008 tentang

Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Kawasan konservasi yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat 8 adalah bagian

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu

sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau

dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.

Kewenangan pengelolaan kawasan yang dimaksud pada Pasal 24 dapat

dilaksanakan oleh :

1. pemerintah untuk kawasan konservasi nasional;

2. pemerintah daerah provinsi untuk kawasan konservasi provinsi; dan

3. pemerintah daerah kabupaten/kota untuk kawasan konservasi kabupaten/

kota.

f. Keputusan Bupati Buton No. 1578 Tahun 2005 Tentang Penetapan Pulau

Liwutongkidi sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah.

Keputusan Bupati ini berisi antara lain :

1. Menetapkan Pulau Liwutongkidi sebagai Kawasan Konservasi Laut

Daerah (KKLD) Kabupaten Buton Berbasis Masyarakat.

2. Perlindungan dan pengelolaan Pulau Liwutongkidi sebagai Konservasi

Laut Daerah (KKLD) dilaksanakan dengan pola berbasis masyarakat.

2.3.2. Sistem Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah

Sistem zonasi kawasan konservasi laut adalah suatu bentuk rekayasa

teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai

dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis

yang berlangsung sebagai satu kesatuan ekosistem (DKP, 2007).

(30)

Sampai saat ini penataan zonasi kawasan konservasi laut belum optimal

karena kelengkapan data dan informasi dasar dari potensi sumberdaya pesisir

yang ada belum optimal. Penataan zonasi kawasan konservasi laut merupakan

pembagian kawasan atas berbagai zona yang mencerminkan adanya suatu

perlakuan tertentu di masing-masing zona tersebut. Penataan zonasi bertujuan

untuk optimalisasi fungsi dan peruntukkan potensi sumberdaya alam hayati dan

ekosistem pada setiap bagian kawasan (Sriyanto, 1998).

Aspek negatif dari suatu perencanaan zonasi yaitu kelihatan sangat kaku

dalam menyederhanakan kompleksnya masalah konservasi. Hal yang tidak

mudah dalam perencanaan zonasi adalah menentukan batas-batas di laut tetapi

hal ini dapat ditunjukkan oleh titik terluar dari setiap kegiatan yang diatur dan

dibatasi secara jelas untuk menegaskan batasnya (Laffoley, 1995).

Sedangkan sistem zonasi yang dimaksud dalam PP NO.60 Tahun

2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, terdiri dari zona inti, zona

perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya sesuai dengan

keperluan. Zonasi tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut :

1.

Zona Inti

merupakan DPL yang dibentuk oleh masyarakat dan bila

dianggap masih kecil, maka dapat ditambah jumlah dan luasnya. Zona ini

diperuntukan bagi: (a) perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, (b)

penelitian, dan (c) pendidikan.

2.

Zona Perikanan Berkelanjutan

merupakan zona yang memiliki nilai

konservasi, tetapi dapat bertoleransi dengan pemanfaatan oleh

pengguna (nelayan dan pembudidaya), dan juga zona yang mempunyai

potensi untuk berbagai pemanfaatan yang ramah lingkungan. Zona

perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi : (a) perlindungan habitat

dan populasi ikan, (b) penangkapan ikan dengan alat dan cara yang

ramah lingkungan, (c) budidaya ramah lingkungan, (d) pariwisata dan

rekreasi, (e) penelitian dan pengembangan, dan (f) pendidikan.

(31)

4.

Zona lainnya

merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan

berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya

ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain: zona perlindungan, zona

rehabilitasi dan sebagainya.

2.4. Penataan Ruang Kajian Marxan

Marxan (

Marine Reserve Design using Spatially Explicit Anealling

)

dikembangkan sebagai sebuah produk pengembangan Spexan untuk memenuhi

kebutuhan Great Barrier Reef Marine Park Authority (GBRMPA)( Ball, I. R. and

H.P. Possingham, 2000). Ide yang mendasari pengembangan MARXAN ini

adalah permasalahan perencana konservasi dalam menentukan daerah

konservasi karena daerah perencanaan yang berpotensi cukup luas sehingga

banyak kemungkinan daerah yang akan dipilih sebagai daerah konservasi.

Perangkat lunak Marxan adalah sebuah perangkat lunak yang dapat

digunakan untuk membantu merancang sebuah kawasan perlindungan laut atau

jejaring kawasan perlindungan laut. Hal ini karena Marxan dapat memberikan

bantuan dalam menentukan daerah konservasi berdasarkan data dan skenario

perencanaan yang telah disiapkan secara otomatis (Darmawan and Darmawan,

2007). Dengan perangkat lunak ini para perencana dapat mencoba berbagai

skenario perencanaan kawasan yang berbeda dan melihat hasilnya. Dari hasil

tersebut perencana dapat memilih skenario terbaik untuk perencanaan.

Penggunaan Marxan sangat mudah bagi pengguna pemula karena

prosesnya didesain secara otomatis sehingga pengguna dapat mencoba

berbagai scenario dan dapat melihat seperti apa hasilnya (Meerman, 2005).

Perangkat lunak ini menggunakan algoritma

simulated annealing

, yang memiliki

cara kerja terbagi menjadi 3 bagian, yaitu

iterative improvement, random

backward dan repetition

. Ketiga langkah algoritma tersebut berfungsi mencari

nilai

cost

yang paling rendah.

(32)

1. Software MARXAN dapat dengan mudah terintegrasi dengan program

Arcview,

dengan

tersedianya

ekstensi-ekstensi

yang memudahkan

pembuatan planning unit, file-file yang diperlukan MARXAN serta otomatisasi

pembuatan shapefile hasil perhitungannya.

2. Mempunyai skenario luas dan terbuka, berbagai skenario dapat

dikembangkan agar tercipta sebuah bentuk kawasan konservasi yang sesuai

dengan yang diinginkan.

3. Transparan, seluruh proses dilakukan secara algoritma matematis, sehingga

alurnya dapat diikuti dalam kerangka ilmiah. Selain itu juga berbagai faktor,

baik ekologi maupun sosial dapat menjadi input dalam perhitungan.

(33)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai April 2010. Data yang

diambil meliputi data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data

terumbu karang, ikan karang, lamun, daerah spesies tertentu dan wilayah

tangkapan nelayan. Data sekunder meliputi data sosial masyakat meliputi jumlah

penduduk, luas wilayah, dan mata pencaharian penduduk.

Penelitian dilaksanakan Kawasan Basilika (Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan

Kadatua) yang merupakan wilayah Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara

(Gambar 1). Secara administratif lokasi penelitian mencakup 4 (empat)

kecamatan yaitu Kecamatan Batauga, Siompu, Siompu Barat dan Kadatua.

3.2. Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan Marxan untuk menganalisa zonasi

kawasan konservasi laut. Metode ini menggunakan 2 macam input data yaitu

data fitur konservasi dan data fitur biaya (

cost

). Fitur konservasi yang mewakili

keadaan ekologi seperti terumbu karang, padang lamun, mangrove dan lain-lain

serta statusnya sedang fitur biaya adalah data sosial ekonomi dan pemanfaatan

sumberdaya.

3.2.1. Fitur Konservasi

Fitur konservasi adalah fitur yang mencakup keanekaragaman hayati

pesisir Basilika diantaranya adalah terumbu karang, ikan karang, padang lamun

dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang potensi sumberdaya tersebut,

perlu adanya data, baik berupa data primer maupun data sekunder.

a. Data Karang

(34)
[image:34.792.129.640.107.460.2]
(35)

Persentase penutupan karang merupakan perbandingan antara hasil

pengukuran karang hidup terhadap panjang total transek dengan persamaan

sebagai berikut (English,

et. al

, 1994):

X100%

L

L

N

i

i

=

Dimana :

N

i

= Persentase Penutupan karang

L

i

= Panjang total lifeform jenis ke-i

L = Panjang total transek

b. Data Ikan

Data ikan karang diperoleh dengan metode pengamatan visual

(

Visual Census Method

) yang menggunakan transek garis yang sama untuk

pengamatan data karang, sehingga dapat diperoleh deskripsi rinci mengenai

kondisi komunitas karang tempat ikan tinggal. Pencatat data ikan karang

berenang di atas transek garis sepanjang 70 meter sambil mencatat seluruh

spesies ikan dan kelimpahannya yang ditemukan sejauh 2,5 m ke kiri dan

2,5 m ke kanan dari transek garis (English,

et. al

, 1994).

c. Data Lamun

Pengamatan lamun juga dilakukan dengan metode transek kuadrat.

Transek tersebut dilakukan tegaklurus dengan garis pantai yang dianggap

mewakili tiap stasiun. Pada setiap transek, data yang diambil dengan

menggunakan petak berukuran 1 X 1 m, dengan jarak antara petak 10 m.

Untuk mengetahui besarnya sumberdaya, dilakukan pengamatan

persentase penutupannya dengan formula sebagai berikut (Setyabudiandi

et

al

. 2009):

C

= (

∑C

i

)/ N

Dimana:

C = Persen penutupan lamun

(36)

d. Data Pemijahan Ikan

Daerah pemijahan ikan merupakan areal yang sangat penting dalam

penentuan zonasi kawasan konservasi. Data daerah pemijahan ini

diperoleh dari wawancara dengan nelayan setempat yang mengetahui lokasi

yang sering ditemukan ikan yang matang gonad.

e. Ruaya Mamalia

Ruaya mamalia juga sangat penting dalam zonasi kawasan

konservasi. Hal ini dilakukan demi keberlanjutan hidup dari mamalia tersbut.

Informasi ruaya mamalia dapat dilakukan pengamatan langsung di lapangan

dan dari informasi masyarakat yang sering melihat mamalia tersebut.

f. Data DPL

DPL (

daerah perlindungan laut

) adalah daerah perlindungan yang

dibentuk masyarakat desa yang difasilitasi oleh Program Coremap. Tiap

desa wilayah binaan Coremap mempunyai satu DPL yang berfungsi

untuk

menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut.

Data DPL berupa titik koordinat dan luas DPL tiap desa binaan yang

diperoleh dari Unit Pengelola Program Coremap di Kabupaten Buton. Dalam

penentuan zonasi ini diharapkan masing-masing DPL dapat terakomodir

sebagai zona inti dalam KKLD.

3.2.2. Fitur Biaya (Cost)

Fitur biaya dalam

input

Marxan berupa data sosial tentang pemanfaatan

sumberdaya dan kawasan, yang meliputi pelabuhan, jalur kapal, daerah

penangkapan dan kegiatan lain. Data tersebut diperoleh dari pengamatan

langsung di lapangan dan berupa hasil wawancara dengan masyarakat

pengguna langsung sumberdaya tersebut.

3.3. Analisis Data

(37)
[image:37.612.125.501.176.300.2]

berbeda-beda, sehingga

Data yang tela

dengan sistem

present/a

data habitat (

habitat.sh

Adapun alur tabulasi file

Gambar 2 Alur tabul

Secara umum pr

shapefile

yaitu

Plannin

(Cost.shp) seperti yang

proses pembuatan heks

units

(Pu.shp),

Abundan

heksagon dengan wujud

Pengolahan 3 b

menghasilkan 4 buah fi

Bound.dat yang menja

Conservation Land Usin

data yang akan digunaka

Pembobotan Fitur

Penentuan bobo

konservasi dengan bo

konservasi, demikian j

Basilika, bobot nilai ber

modifikasi Workshop T

dengan mempertimbang

ga penalti faktor dendanya (

penalty factor

) juga b

elah dikelompokan dimasukkan kesatuan per

nt/absent

. Data konservasi yang sudah dimasukk

.shp

) dan data fitur biaya disebut data biaya (

ile data sebagai berikut :

bulasi input file data Marxan dengan Arcview dan C

proses penyiapan data untuk Marxan terfokus pa

ning units

(Pu.shp),

Abundance

(Habitat.shp),

g tampak pada Gambar 2. File tersebut dihasilka

ksagonal lengkap dengan proses

cropping

. File

dance

(Habitat.shp), dan

Cost

(Cost.shp) adalah

jud serupa namun berbeda fungsi dan isi tabelnya

buah

shapefile

dilakukan dengan bantuan CL

file tabular yaitu Abundance.dat, Target.dat, Un

njadi

input

Marxan. CLUZ merupakan singk

sing Zoning

adalah

tools

yang digunakan untuk m

akan sebagai

input

Marxan.

bot nilai fitur konservasi dan fitur biaya sangat

bobot tinggi diperhitungkan untuk memenu

juga dengan fitur biaya. Untuk Kawasan K

berkisar antara 1–6 (Tabel 1). Nilai tersebut be

TNC CTC (2006)

in

Darmawan and Darmaw

ngkan kepentingan dan kulitas data.

berbeda.

perencanaan

kkan disebut

a (

cost.shp

).

n CLUZ.

pada 3 buah

), dan

Cost

ilkan setelah

ile

Planning

lah

shapefile

ya.

CLUZ akan

Unit.dat dan

gkatan dari

menyiapkan

(38)
[image:38.612.207.429.97.187.2]

Tabel 1 Kriteria skor data

Tingkat

Kepentingan Kualitas Data Nilai Skor

Tinggi Tinggi 6

Tinggi Rendah 5

Sedang Tinggi 4

Sedang Rendah 3

Rendah Tinggi 2

Rendah Rendah 1

Data masing-masing fitur dimasukan dalam satuan perencanaan. Data

konservasi dimasukan kedalam satuan perencanaan fitur konservasi, demikian

juga dengan fitur biaya, sehingga menghasilkan dua macam data yang bisa

dianalisa lebih lanjut.

Pengaturan BLM (Boundary length modifier)

BLM merupakan konstanta yang mengatur tingkat pengelompokan satuan

perencanaan yang terpilih dalam Marxan. Pada BLM yang rendah, satuan

perencanaan yang terpilih akan menyebar karena Marxan akan terkosentrasi

pada biaya yang rendah, sedang pada BLM tinggi, satuan perencanaan yang

terpilih akan mengelompok, karena Marxan akan berusaha untuk menurunkan

panjang batas dari satuan perencanaan tersebut (Steward dan Possingham,

2005).

Penentuan nilai BLM akan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain (J.A.

Ardron

et al

. 2003). Menurut Possingham (2005) nilai BLM dipilih bergantung

pada keseluruhan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari analisis

yang dilakukan. Nilai BLM untuk map unit UTM berkisar antara 0-1, sedang map

unit degree berkisar antara 0-10000 (Darmawan and Barnawi, 2007). Nilai

kisaran BLM tersebut sudah dapat memberikan variasi pengelompokan satuan

perencanaan yang terpilih.

(39)

Pengaturan Zonasi

Pengaturan kawasan konservasi dalam Marxan dapat dilakukan dengan

sistem zonasi yang mengacu pada PP No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi

Sumberdaya Ikan yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan

berkelanjutan dan zona lain yang diatur sesuai kebutuhan dan kondisi setempat.

Pembagian zonasi tersebut, dalam Marxan dilakukan dengan membagi frekuensi

yang terdapat dalam file

output1_ssoln

kedalam empat kelas dengan interval

yang sama. Dalam file ini berisi frekuensi suatu daerah akan terpilih menjadi

kawasan konservasi berdasarkan 100 kali ulangan. Nilai frekuensi tersebut

berkisar antara 0-100 dan dibagi kedalam 4 kelas yaitu 76-100 sebagai zona inti,

51-75 sebagai zona pemanfaatan, 26-50 sebagai zona perikanan berkelanjutan

dan 0-25 sebagai zona lainnya.

Konektivitas

Marxan belum bisa menjelaskan secara rinci tentang konektivitas secara

ekologi, karena Marxan mengidentifikasi wilayah hanya berdasarkan biaya

terendah. Untuk mengatasi hal tersebut,ada beberapa cara yang bisa dilakukan

(Smith

et al.

2009) yaitu meningkatkan nilai BLM secara bertahap sampai daerah

yang terpilih cukup untuk menjamin tingkat konektivitas yang tinggi, menambah

zona inti diantara zona sebelumnya, membagi wilayah perencanaan terhadap

target yang ditetapkan untuk mewakili setiap spesies.

[image:39.612.149.490.590.703.2]

Tingkat konektivitas dapat dinilai dengan menggunakan model biofisik

yang baik mampu memperkirakan lintasan larva dari daerah pemijahan ke

daerah pembesaran bagi beberapa spesies yang termasuk sebagai target fitur

konservasi (Van der Molen

et al

. 2007). Menurut Palumbi, (2004) bahwa

konektivitas dapat dilihat dilihat dengan mengetahui jarak lintasan yang dapat

dilalui oleh telur dan larva ikan, serta daerah jelajah biota tersebut (Tabel 2)

Tabel 2 Perkiraan pergerakan larva dan dewasa (Palumbi, 2004)

Jarak (km) Dewasa Larva

> 1000 Species migrasi besar Banyak Spesies 100-1000 Ikan pelagis besar Beberapa spesies

10-100 Hampir semua ikan dasar, ikan pelagis kecil

Hampir semua ikan, dan invertebrata

1-10 Ikan dasar kecil, beberapa invertebrata dasar

Alga, plankton, beberapa ikan

<1 Species yg menetap, spesies dgn karakteristik habitat khusus

(40)
(41)

4. KEADAAN UMUM KAWASAN BASILIKA

4.1.

Kondisi Umum

4.1.1. Keadaan Geografis

Wilayah penelitian meliputi sebagian wilayah Kabupaten Buton bagian

barat yang meliputi 4 kecamatan yaitu Kecamatan Batauga, Siompu, Siompu

Barat dan Kecamatan Kadatua dengan luas wilayah 79.145 ha, yang terdiri dari

daratan seluas 21.702.ha dan lautan seluas 57.443 ha. Secara geografis terletak

antara . 5

0

28-5

0

45' LS dan 122

0

23-122

0

43' BT. Gambaran umum wilayah dapat

dilihat pada Gambar 1.

Secara adiministratif kawasan Basilika memiliki batas wilayah sebagai

berikut :

Sebelah Utara

:

Kecatan Lakudo dan Mawasangka

Sebelah selatan

:

Laut Flores

Sebelah Barat

:

Kecamatan Talaga Raya

Sebelah Timur

:

Kecamatan Sampolawa

4.1.2. Iklim

Keadaan musim di Basilika umumnya sama dengan iklim Kabupaten

Buton yaitu musim barat dan musim timur. Musim Barat berlangsung dari bulan

Nopember sampai dengan Maret, sedang musim Timur berlangsung dari bulan

Maret sampai dengan Oktober. Untuk perairan Basilika, angin kencang biasanya

terjadi dari bulan Juli sampai Oktober. Angin biasanya bertiup dari arah Barat

Laut. Pada rentan bulan tersebut nelayan yang melaut atau masyarakat yang

melakukan perjalana harus memperhatikan keadaan cuaca.

4.1.3. Topografi

Topografi wilayah Basilika sebagian besar merupakan perbukitan dengan

kemiringan 0 – 40

0

. Bagian wilayah pesisir yang merupakan tebing yang sangat

curam. Struktur pantai sebagian besar didominasi pantai berbatu dan hanya

sebagian kecil pantai berpasir (Gambar 3). Karena sebagian besar topografi

pantainya curam, maka daerah intertidalnya juga sangat sempit. Topografi dasar

perairan umumnya berkisar antara 5-30

o

, namun ada juga lokasi yang

(42)
[image:42.612.119.507.80.351.2]

Gambar 3 Topografi di wilayah pesisir Basilika. a) Pantai berbatu dan berpasir di

Pulau Siompu. b) Pantai berbatu di Pulau Kadatua. c) Pantai berpasir

yang digunakan sebagai pemukiman penduduk di Pulau Kadatua. d)

Pantai berpasir di Pulau Liwutongkidi.

4.1.4. Kondisi Fisik-Kimia Perairan

Parameter fisik kimia yang diamati dalam penelitian ini meliputi salinitas,

suhu, kecepatan arus, kecerahan dan kedalaman. Dari hasil pengamatan

(Tabel 2) menunjukkan bahwa kondisi perairan disekitar Basilika masih dalam

kisaran normal untuk menunjang kelangsungan hidup biota diperairan tersebut.

Tabel 3 Hasil pengukuran beberapa parameter Fisik-Kimia perairan

No

Parameter Fisik

Kimia

Parameter Perairan

Batauga

Siompu

Liwutongkidi Kadatua

1

Salinitas (ppt)

31-34

32-34

32-34

32-34

2

Suhu (

0

C)

.28-31

27,5 -30,3

27,8 – 30,5

27,5

-29,0

3

Kec. Arus (cm/det.)

5-50

5 - 50

10 -50

10 - 50

4

Kedalaman (m)

10

10

10

10

5

Kecerahan (%)

100

100

100

100

Dari data parameter fisik-kimia di atas, keempat lokasi tersebut tidak ada

perbedaan yang mencolok. Namun dari pengamatan secara visual di lapangan,

c d

[image:42.612.135.501.541.655.2]
(43)

kondisi perairan di Batauga lebih keruh dibandingkan dengan tempat lain. Hal ini

karena Batauga merupakan bagian dari daratan yang besar (Pulau Buton)

dimana bila terjadi hujan selalu ada masa air dari daratan yang membawa lumpur

yang masuk ke perairan.

4.2. Kondisi Sosial

4.2.1. Kependudukan

Kawasan Basilika terdiri dari 4 kecamatan yaitu Kecamatan Batauga yang

terdiri dari 10 desa, Kecamatan Siompu 8 desa, Kecamatan Siompu Barat 6 desa

dan Kecamatan Kadatua 10 desa. Penyebaran penduduk di kawasan ini hanya

terdapat di Pulau Siompu, Kadatua dan Pesisir Barat Pulau Buton, sedangkan

Pulau Liwutongkidi tidak berpenghuni. Secara administrasi Pulau Liwutongkidi

sebagian masuk wilayah Desa Tongali Kecamatan Siompu dan selebihnya

masuk wilayah Desa Kapoa Kecamatan Kadatua. Jumlah penduduk penduduk di

kawasan ini berdasarkan BPS Kabupaten Buton 2009 adalah 44.832 jiwa yaitu:

Kecamatan Batauga (15.044 jiwa), Kecamatan Siompu (9.845 jiwa), Kecamatan

Simpu Barat (10.353 jiwa) dan Kecamatan Kadatua (9.590 jiwa). Secara rinci

dapat dilihat pada Tabel 3.

[image:43.612.126.507.561.672.2]

Dilihat dari luas wilayah, Kacamatan Batauga mempunyai wilayah yang

paling luas yaitu 73,83 km

2

dan yang paling kecil adalah wilayah Siompu Barat

yaitu 10,00 km

2

. Tapi bila dilihat dari kepadatan penduduk (jumlah penduduk per

kilometer persegi), maka kecamatan Siompu Barat yang paling padat dengan

tingkat kepadatan 1.035 jiwa perkilometer persegi, sedang yang paling rendah

adalah Kecamatan Batauga dengan tingkat kepadatan 204 jiwa per kilometer

persegi.

Tabel 4 Jumlah pendudukan tiap kecamatan

No Kecamatan

Jumlah Desa/ Kelurahan

Luas Wilayah (km2)

Penduduk

Kepadatan Jumlah Persentasi

1 Batauga 10 73,83 15 044 33,56 203,77

2 Siompu 8 32,50 9 845 21,96 302,92

3 Siompu Barat 6 10,00 10 353 23,09 1 035,30

4 Kadatua 10 32,82 9 590 21,39 292,20

(44)
[image:44.612.202.436.162.266.2]

Pertumbuhan penduduk di Basilika cukup tinggi yaitu 4.83%. Hal ini

disebabkan banyaknya masyarakat yang migrasi dari tempat lain yang mencapai

3.50%. Secara rinci, pertumbuhan penduduk dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 5 Laju pertumbuhan penduduk

Kecamatan

2006

2007

2008

Batauga

13.858 14.465 15.044

Siompu

9.075

9.523

9.845

Siompu Barat

9.077

9.522 10.353

Kadatua

8.793

9.246

9.590

Rata pertumbuhan 4,83 % pertahun

Sumber: BPS Kabupaten Buton 2009

4.2.2. Mata Pencaharian Penduduk

Kawasan Basilika adalah daerah agraris. Hal ini dapat dilihat dari dominasi

pertanian sebagai mata pencaharian masyarakat yaitu sebesar 50,17%. Mata

pencaharian yang terbesar kedua adalah sebagai nelayan yaitu 27,55%.

Sedangkan sebagai tukang, transportasi, pedangan, industri dan PNS

masing-masing berkisar antara 2,25-6,14%. Mata pencaharian yg paling kecil adalah

TNI/POLRI dan jasa lain masing-masing 0,20% dan 0,38%. Secara rinci, mata

pencaharian masyarakat Basilika seperti pada Lampiran 1.

Berdasarkan pengamatan lapangan diperoleh informasi bahwa sebagian

besar wilayah tangkapan nelayan di Basilika diluar kawasan ini. Biasanya

mereka menangkap ikan pelagis seperti ikan tuna, cakalang dan ikan tongkol

yang wilayah tangkapannya di perairan lepas. Ada juga yang menangkap ikan

karang dalam skala besar, tapi wilayah tangkapannya diluar karang Basilika.

4.2.3. Aksesbilitas

(45)

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Karakter Kawasan Basilika

Kondisi pulau di kawasan Basilika merupakan pulau karang yang dengan

ketinggian mencapai 40 meter dari permukaan laut. Kondisi pantai di wilayah ini

yang tidak jauh berbeda. Untuk Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua

memiliki struktur pantai yang hampir sama yaitu didominasi dinding batu cadas

yang cukup luas, sedang pantai berpasir putih hanya sebagian kecil.

Keadaan ekosistem perairan merupakan faktor kunci dalam mendukung

kehidupan flora dan founa dalam perairan tersebut. Keadaan ekosistem ini akan

digunakan sebagai fitur konservasi dalam marxan. Sedang keadaan sosial yang

mencakup pemanfaatan sumberdaya digunakan sebagai fitur biaya.

5.1.1. Fitur Konservasi

Fitur konservasi merupakan data tentang keanekaragaman biofisik yang

akan dilindungi meliputi ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu

karang. Masing-masing ekosistem mempunyai hubungan keterkaitan satu

dengan yang lain. Untuk di kawasan Basilika, ekosistem mangrove tidak

ditemukan, hal ini karena wilayah pesisir Basilika tidak terdapat habitat yang

cocok untuk ekosistem mangrove. Ekosistem yang ada hanya ekosistem padang

lamun dan terumbu karang.

a. Ekosistem Terumbu Karang

Untuk mencapai pertumbuhan yang maksimal bagi terumbu karang, maka

diperlukan perairan yang jernih dengan suhu perairan yang hangat antara 25 –

30

0

, gelombang yang besar dan arus yang mendatangkan makanan berupa

plankton (Nontji, 2002). Kecerahan perairan akan mempengaruhi pigmen

fotosintesis yang terdapat dalam alga simbion dan senyawa penyerap cahaya

yang terdapat dalam jaringan karang (Salih

et al

. 2000; Dove

et al

. 2001).

Sedangkan sedimentasi dapat mempengaruhi kepadatan simbion yang terdapat

dalam jaringan karang (Nugues and Roberts 2003) yang mempengaruhi tingkat

pertumbuhan karang.

(46)

langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat. Manfaat langsung dari

terumbu karang adalah sebagai habitat bagi sumberdaya ikan, pariwisata dan

sebagai obyek penelitian. Sedang manfaat tidak langsung sebagai penahan

abrasi, keanekaragaman hayati dan lain-lain.

Tipe terumbu karang di kawasan ini adalah terumbu karang tepi (

fringing

reef

) dengan luas 2.329,53 hektar. Ada beberapa

pinnacle

ditemukan. Namun

karena keberadaannya cukup dalam dan data sebelumnya belum ada sehingga

belum dapat diidentifikasi.

[image:46.612.127.485.352.624.2]

Pengamatan terumbu karang di kawasan ini dilakukan pada 15 stasiun

yang terdiri dari Batauga 3 stasiun, Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua

masing-masing 4 stasiun. Data terumbu karang di Batauga merupakan data sekunder

diperoleh dari hasil penelitian Coremap II Buton pada tahun 2008, sedang data

Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua merupakan data primer yang diperoleh pada

saat penelitian (Tabel 5).

Tabel 6 Persentase penutupan karang di lokasi pengamatan

Lokasi/Stasiun

Tutupan Kategori Karang (%) Karang Keras Karang Lunak Biota Lain Karang

Mati Abiotik

Batauga* ST1 33,60 0 15,63 14,70 36,07

ST2 11,14 0 14,12 12,82 61,92

ST3 11,38 0 37,62 36,90 14,10

Rata2 18,71 0 15,79 18,14 37,36

Siompu ST1 42,00 2,00 2,17 18,67 35,17

ST2 18,67 7,50 5,50 55,33 13,00

ST3 0,67 0 0 0 99,33

ST4 23,05 1,40 5,00 24,95 45,60

Rata2 21,10 2,73 3,17 24,74 48,28

Liwutongkidi ST1 10,33 1,33 0 12,50 75,83

ST2 48,83 0 0 44,00 7,17

ST3 50,67 0 5,33 21,50 22,50

ST4 44,17 0 0 37,50 18,33

Rata2 38,50 0,33 1,33 28,88 30,96

Kadatua ST1 36,67 1,33 6,67 37,67 17,67

ST2 43,53 4,33 0 28,00 24,13

ST3 29,33 1,67 0 33,67 35,33

ST4 35,80 3,50 12,50 41,70 6,50

Rata2 36,33 2,71 4,79 35,26 20,91

*) Data sekunder (Coremap 2008)

(47)

Sedang persen penutupan paling kecil terdapat di Pulau Siompu yaitu pada

stasiun 3 sebesar 0,70%. Kecilnya persentase ini karena dasar perairan pada

stasiun ini adalah pasir dan mempunyai arus yang cukup kuat, sehingga planula

karang tidak dapat tumbuh dimana planula karang memerlukan dasar yang keras

untuk tumbuh (Gambar 4).

Stasiun 2 Pulau Siompu memiliki penutupan karang karas sebesar 18,7%.

Bila dibandingkan dengan stasiun lain, maka Stasiun 2 tergolong sedang. Dilihat

dari penutupan karang mati, maka stasiun ini tergolong yang paling tinggi. Hal ini

karena pada stasiun ini terjadi aktifitas penangkapan yang paling tinggi, dimana

dilokasi ditemukan banyak alat tangkap berupa bubu (Gambar 5a) disekitar

stasiun tersebut. Dilokasi juga ditemukan biota pemangsa karang (

Acanthaster

planci

) (Gambar 5b) yang cukup besar pengaruhnya terhadap karang.

Kondisi terumbu karang bila dibandingkan secara keseluruhan, maka

kondisi terumbu karang di Batauga mempunyai persen penutupan yang paling

kecil yaitu berkisar antara 11,14-33,60% dengan rata-rata 18,71%. Hal ini karena

kondisi perairan dilokasi ini mempunyai kecerahan yang paling rendah. Jenis

karang yang ditemukan di daerah ini terbatas pada karang jenis tertentu yang

tahan pada kondisi perairan dengan kecerahan rendah yaitu

non-Arcopora

dari

jenis Porites.

Secara umum kondisi terumbu karang di kawasan ini bila dibandingkan

dengan hasil penelitian Napoleon (2006) tentang kondisi terumbu karang di

Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua (Lampiran 2) relatif tidak ada

perubahan yang berarti. Hal ini dapat dilihat dari beberapa stasiun yang

kebetulan berdekatan mempunyai penutupan karang hidup yang hampir sama.

b. Ikan Karang

Ikan karang adalah salah satu biota yang hidup berasosiasi dengan

karang yang mempunyai keanekaragaman yang species yang tinggi. Tingginya

variasi habitat dalam terumbu karang merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan keanekaragaman species ikan karang (Nybakken, 1988). Untuk

memudahkan dalam pengamatan, maka ikan karang dikelompokan menurut

peranannya menjadi 3 kelompok yaitu :

(48)

Mulidae, Siganidae Labridae (Cheilinus, Himygymnus, choerodon) dan

Haemulidae (Gamabar 6a).

2. Ikan Indikator,

adalah ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat

hubunganya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari Famili

Chaetodontidae (Gambar 6b).

[image:48.612.105.506.73.722.2]

3. Ikan Mayor (mayor group),

adalah ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan

banyak dijadikan ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae,

Pomacanthidae Labridae, Apogonidae dll.)

[image:48.612.141.497.224.361.2]

Gambar 4 Kondisi dasar perairan yang berpasir

Gambar 5 Faktor Penyebab Kerusakan Karang. (a) Bubu. (b)

Acanthaster planci

Gambar 6 Jenis Ikan yang ditemukan dilokasi pengamatan. (a) Ikan target

(

Lutjanus kasmira

) (b) Ikan indikator (

Chaetodon trifascialis

)

a b

[image:48.612.130.493.552.682.2]
(49)
[image:49.612.150.489.191.440.2]

Berdasarkan pengamatan diperairan kawasan BASILIKA ditemukan ikan

karang dengan terklasifikasi dalam 43 famili, 182 spesies dan 4116 individu

(Tabel 7). Secara rinci, jenis ikan yang ditemukan dikawasan ini dicantumkan

pada Lampiran 3.

Tabel 7 Jenis ikan karang yang ditemukan dilokasi pengamatan

No Lokasi Stasiun

Jumlah

Kelimpahan (indv/Ha) Individu

(350 m2) Species Famili

1 Batauga ST1 255 24 13 7.286

ST2 95 17 10 2.714

ST3 342 31 15 9.771

2 Siompu ST1 395 77 27 11.286

ST2 178 29 17 5.086

ST3 127 15 6 3.629

ST4 202 42 20 5.771

3 Liwutongkidi ST1 336 42 17 9.600

ST2 312 45 19 8.914

ST3 263 53 24 7.514

ST4 220 46 23 6.286

4 Kadatua ST1 311 58 22 8.886

ST2 416 101 33 11.886

ST3 219 53 23 6.257

ST4 265 43 20 7.571

Total 4116 182 43

(50)

c. Ekosistem Lamun

Lamun adalah ekosistem perairan dangkal yang menyebar diseluruh

dunia di daerah tropis dan subtropis (Green & Short, 2003). Keberadaan lamun di

Kawasan Basilika tidak ditemukan disemua tempat. Untuk Pulau Siompu,

Liwutongkidi dan Kadatua hanya ditemukan di beberapa tempat yang agak

terlindung dan dasar perairan yang bersedimen, karena lamun dapat

berkembang dengan baik dari arah pantai sampai kedalaman 50 meter pada

subtrat sediment (Den Hartog & Phillips, 2001; Green & Short 2003).

Dari hasil pengamatan ditemukan 3 - 5 jenis lamun. Lokasi yang paling

banyak ditemukan jenisnya adalah pesisir Batauga, untuk Pulau Siompu dan

Kadatua ditemukan 4 jenis, sedang di Pulau Liwutongkidi ditemukan 4 jenis.

Secara rinci persentase penutupan dan jenis lamun yang ditemukan dilokasi

dapat dilihat pada Lampiran 2.

[image:50.612.142.479.456.606.2]

Berdasarkan dari persentase penutupan lamun, yang paling padat

ditemukan di Pulau Siompu (Gambar 7), namun umumnya keberadaan lamun

untuk di daerah kepulauan hanya ada beberapa tempat. Sedangkan yang paling

sedikit pesentase penutupannya ada di Kadatua dan Batauga. Namun

ekosistem lamun hampir merata ditemukan disemua tempat perairan dangkal di

Batauga. Hal ini karena di Batauga ditemukan beberapa sungai kecil yang

menyuplai nutrient ke perairan tersebut.

Gambar 7 Grafik Persentase Penutupan Lamun.

d. Biota Lain

Di kawasan Basilika saat ini sudah menjadi daerah tujuan wisata.

Disamping karena lokasinya dekat dengan pusat kota yang dapat dicapai dengan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

ST1 ST2 ST3 ST1 ST2 ST1 ST2 ST3 ST1 ST2

Batauga Siompu Liwutongkidi Kadatua

(51)

mudah, juga terdapat obyek wisata yang menarik bagi wisatawan. Biota tersebut

antara lain: lumba-lumba, ikan pari, dan ikan katak (Gambar 8). Dalam analisa

untuk konservasi, biota terebut dapat merupakan parameter dalam penentuan

zonasi.

5.1.2. Fitur Biaya

Fitur biaya yang diperoleh pada penelitian ini adalah daerah penangkapan,

alur pelayaran dan pelabuhan. Kegiatan tersebut masuk ke dalam fitur biaya

sebab ketiganya memiliki dampak terhadap fitur konservasi yang ditargetkan

seperti ekosistem perairan khususnya ekosistem terumbu karang, dan padang

lamun.

a.

b.

Gambar 8 Biota yang menarik bagi wisatawan. (a) Ikan pari (

Aeotobatus

narinari

). (b) Ikan katak (

Antennarius commersonii

).

5.2.

Penetapan Zonasi Kawasan Konservasi

Menetapkan target konservasi merupakan hal yang sangat penting dalam

sistematis perencanaan konservasi, dan sejauh mana sistem konservasi akan

tergantung sangat pada titik referensi ini. Namun penentuan target konservasi

merupakan hal yang agak sulit dan kadang kurang ilmiah. Untuk itu ada

beberapa contoh yang dapat dia

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Gambar 2  Alur tabulbulasi input file data Marxan dengan Arcview dan Cn CLUZ.
Tabel 1  Kriteria skor data
Tabel 2  Perkiraan pergerakan larva dan dewasa (Palumbi, 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisa dengan metode Kruskall-Wallis terhadap mouthfeel ulir ubi jalar dapat dilihat adanya perbedaan yang nyata antar sampel pada taraf 5%, dimana nilai

Sumber : Data Penelitian Tahun 2018 Berdasarkan data hasil penelitian yang telah didapatkan di lapangan dapat diketahui ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya

Sosialisasi pada ibu-ibu sekitar RPTRA dilakukan dengan sedikit penjelasan mengenai hidroponik dan dilanjutkan dengan aktivitas pembuatan media tanam, menyemai benih,

Alhamdulillah, segala puji syukur kita kehadirat Allah Swt yang telah memberi nikmat serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan, sehingga penulis

Penelitian Sebelumnya yang judul “Aplikasi AHP sebagai model sistem pendukung keputusan pemilihan tempat kuliah di Bangka Belitung” seminar nasional Aplikasi

Bahwa dengan demikian, berdasarkan keseluruhan dari uraian pendalilan yuridis dan sumber – sumber dari Kwalitas Materil (rechtgronden) Hukum Perdata Positif,

1.1 Unit kompetensi ini harus diujikan secara konsisten pada seluruh elemen kompetensi dan dilaksanakan pada situasi pekerjaan yang sebenarnya di tempat kerja

Jadi dapat disimpulkan bahwa, hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh dalam usaha sadar yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok dalam pembelajaran. Setelah