MODEL LAJU PENGERINGAN JAMUR TIRAM
(Pleurotus ostreatus var. florida) MENGGUNAKAN
PENGERING TIPE FLUIDIZED BED DRYER
SARAH DIANA YULIANTI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Model Laju Pengeringan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus var. florida) Menggunakan Pengering Tipe Fluidized Bed Dryer adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK
SARAH DIANA YULIANTI. Model Laju Pengeringan Jamur Tiram (Pleurotus
ostreatus var. florida) Menggunakan Pengering Tipe Fluidized Bed Dryer.
Dibimbing oleh TJAHJA MUHANDRI dan ELIS NINA HERLIYANA.
Jamur tiram (Pleurotus ostreatus var. florida) merupakan edible fungi yang memiliki nilai jual lebih rendah dibandingkan dengan jenis jamur lainnya. Proses pengawetan berupa pengeringan dilakukan untuk meningkatkan nilai jual dari jamur tiram dan mempermudah penanganannya baik sebagai bahan baku maupun produk. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan model persamaan laju pengeringan pada produk jamur tiram, mengetahui rasio rehidrasi produk jamur tiram, serta untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap jamur tiram baik dalam keadaan kering maupun yang telah direhidrasi. Pengeringan dilakukan dengan alat fluidized bed dryer pada suhu 60±2°C dan kecepatan udara pengering yang berada pada kisaran 0.620 m/s hingga 0.839 m/s. Jamur tiram diberikan enam pretreatment sebelum dikeringkan. Model persamaan laju pengeringan yang paling sesuai menggambarkan kondisi jamur tiram selama pengeringan adalah model Lewis dibandingkan model Page. Sampel yang mendapatkan preferensi konsumen paling baik yakni sampel yang tidak diberikan pretreatment. Berdasarkan analisis rasio rehidrasi dan analisis warna, sampel yang diberikan pretreatment berupa pencucian memiliki nilai yang paling tinggi.
ABSTRACT
SARAH DIANA YULIANTI. Oyster Mushroom (Pleurotus ostreatus var. florida) Drying Kinetic Models Using Fluidized Bed Dryer. Supervised by TJAHJA MUHANDRI and ELIS NINA HERLIYANA.
Oyster mushroom (Pleurotus ostreatus var. florida) is an edible fungi which its commercial value is relatively lower than the other species of edible fungi. A preservation process can be applied in order to increase its commercial value and to ease the maintenance, as the material or as the product itself. This research was conducted to compare two drying kinetic models of oyster mushroom, to discover the rehydration ratio of oyster mushroom, and to discover the consumer preferences of oyster mushroom in dried and rehydrated condition. Drying was conducted with fluidized bed dryer at 60±2°C and at 0.620 m/s to 0.839 m/s air drying rate. Six pretreatments were given to oyster mushroom before drying process. Lewis model was more representative compare to Page model as a model of drying kinetic equation. The most acceptable sample by consumers was the sample without pretreatment. Sample with washing pretreatment has the highest score based on rehydration ratio and color analysis results.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
MODEL LAJU PENGERINGAN JAMUR TIRAM (Pleurotus ostreatus var. florida) MENGGUNAKAN
PENGERING TIPE FLUIDIZED BED DRYER
SARAH DIANA YULIANTI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dari penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah “Model Laju Pengeringan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus var. florida) Menggunakan Pengering Tipe Fluidized Bed Dryer”.
Penulis berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penyusunan skripsi, yaitu:
1. Dr. Tjahja Muhandri MT selaku dosen pembimbing I yang telah memberi masukkan, dukungan, dan kepercayaan kepada penulis selama penulis menjadi mahasiswi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
2. Dr. Ir. Elis Nina Herliyana MSi selaku dosen pembimbing II yang telah memberi masukkan dan dukungan moril dan dana selama penelitian, 3. Bapak Deni, Bapak Junaedi, Bapak Nurwanto beserta staf Seafast, Ibu Sri
dari Laboratorium Evaluasi Sensori, dan Pak Dani dari kumbung jamur tiram yang telah membantu selama pengumpulan data,
4. Ayah dan ibu tercinta, Ridhwan dan Syifa dua adik sejiwa sepemikiran, serta seluruh keluarga, atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya, 5. Muji Budiono dan Dewi Emillia Bahry yang selalu setia menjadi sandaran
di segala keadaan,
6. Kurnia, Brahma, Randy, Puspa, Aisyah, Indri dan Abdi Manaf yang tak pernah segan membantu penulis selama penelitian,
7. Ollivia Rezki dan Muhammad Rizki, teman seperjuangan dan sebimbingan,
8. Seluruh teman-teman ITP 48 Autoclave atas kebersamaannya selama 4 tahun ini,
9. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis mengharapkan masukan untuk karya tulis ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
Model Laju Pengeringan Jamur Tiram 11
Rasio Rehidrasi 15
Warna Jamur Tiram 16
Rating Hedonik Jamur Tiram Kering 18
Rating Hedonik Jamur Tiram Rehidrasi 20
SIMPULAN DAN SARAN 24
1 Variabel perlakuan sampel 4
2 Kadar air sampel sebelum dan sesudah pengeringan 10 3 Model laju pengeringan koefisien korelasi berdasarkan model Lewis dan
model Page pada semua perlakuan 13
4 Rasio rehidrasi jamur tiram kering 15
5 Nilai kecerahan (L*), derajat putih (whiteness index [WI]), dan Total
Color Difference (∆E) sampel jamur tiram kering 17
6 Nilai kecerahan (L*), derajat putih (whiteness index [WI]), dan Total
Color Difference (∆E) sampel jamur tiram yang telah direhidrasi 17
7 Hasil uji rating hedonik jamur tiram kering 18
DAFTAR GAMBAR
9 Alur Penelitian 3
10 Jamur tiram (Pleurotus ostreatus var. florida) segar 4
11 Proses rehidrasi jamur tiram kering 6
12 Proses pengeringan jamur tiram 7
13 Kurva penurunan kadar air basis basah pada enam kondisi
pretreatment 10
14 Pemetaan data semua perlakuan menggunakan model Lewis 12 15 Kurva pengeringan semua perlakuan menggunakan model Page 14 16 Kurva laju pengeringan jamur tiram model Lewis 14
17 Rasio rehidrasi sampel selama rehidrasi 15
18 Skor hedonik jamur tiram kering atribut warna 19
19 Skor hedonik jamur tiram kering atribut kecerahan 19
20 Skor hedonik jamur tiram kering atribut aroma 20
21 Skor hedonik jamur tiram kering atribut tekstur 20 22 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut warna 21 23 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut kecerahan 22 24 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut aroma 22 25 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut tekstur 23 26 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut rasa 23
DAFTAR LAMPIRAN
27 Hasil Uji Kecepatan Udara Pengering Fluidized Bed Dryer 28 28 Hasil ANOVA Kadar Air Awal Jamur Tiram Basis Basah 30 29 Hasil ANOVA Kadar Air Awal Jamur Tiram Basis Kering 31 30 Hasil ANOVA Kadar Air Akhir Jamur Tiram Basis Basah 32 31 Hasil ANOVA Kadar Air Akhir Jamur Tiram Basis Kering 33 32 Hasil ANOVA Nilai Kecerahan Jamur Tiram Kering 34 33 Hasil ANOVA Nilai Derajat Putih Jamur Tiram Kering 35 34 Hasil ANOVA Nilai Total Color Difference (∆E) Jamur Tiram Kering 36 35 Hasil ANOVA Nilai Kecerahan Jamur Tiram Hasil Rehidrasi 37 36 Hasil ANOVA Nilai Derajat Putih Jamur Tiram Hasil Rehidrasi 38 37 Hasil ANOVA Nilai Total Color Difference (∆E) Jamur Tiram Hasil
Rehidrasi 39
38 Borang Penilaian Sensori Jamur Tiram Kering 40
39 Borang Penilaian Sensori Jamur Tiram Rehidrasi 41 40 Hasil Uji Organoleptik Sampel Jamur Tiram Kering 42 41 Hasil Uji Organoleptik Sampel Jamur Tiram yang Telah Direhidrasi 46
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jamur tiram (Pleurotus ostreatus var. florida) merupakan salah satu jenis edible fungi yang cukup digemari karena rasanya yang lezat dan teksturnya yang kenyal. Menurut penelitian yang telah dilakukan Patil et al. (2010), jamur tiram mengandung 19 jenis asam amino, selain sistein, dan cukup kaya kandungan asam amino glutamat, aspartat, dan lisin. Kandungan vitamin C dan asam folat juga ditemukan dalam jamur tiram. Kalsium dan besi merupakan jenis mineral yang terkandung cukup tinggi dalam jamur tiram. Kadar antioksidan ergothionin juga ditemukan dalam jumlah yang cukup tinggi, yakni 1.73 mg/g pada jamur tiram, lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jamur lainnya Bhattacharya et al. (2014). Alam et al. (2008) menambahkan, kandungan protein dalam jamur tiram sekitar 20-25% (bk), serat 37-48% (bk), lemak 4-5% (bk), karbohidrat 37-48% (bk), mineral 8-13% (bk), dan kadar air sebanyak 86-87.5% (bb).
Kadar air dan nutrisi yang cukup tinggi membuat jamur tiram memiliki potensi mengalami kerusakan secara biologis maupun fisik. Struktur tubuhnya saat berbuah yang rapuh dan umur simpan yang pendek karena penyimpangan fisik yang cepat terjadi setelah pemanenan, seperti berair, lunak, pencoklatan, berbau tak sedap, menjadi kendala utama pemasaran jamur tiram (Chang dan Miles 2004). Teknologi pengawetan diperlukan untuk dapat menanggulangi masalah kerusakan jamur tiram.
Penelitian terkait pengawetan jamur yang telah dilakukan diantaranya adalah pengeringan jamur tiram menggunakan microwave (Bhattacharya et al. 2014), kinetika pengeringan dan karakteristik rehidrasi jamur kancing menggunakan microwave oven (Giri dan Prasad 2007), pengaruh pengeringan beku terhadap tekstur jamur kancing (Guine dan Barroca 2011), kinetika pengeringan dan karakteristik rehidrasi jamur kancing menggunakan pengering kabinet (Doymaz 2014; Arora et al. 2011), dan pengeringan menggunakan beberapa alat pengering yaitu microwave, microwave vacuum, udara panas, dan pengering vacuum (Tian et al. 2016).
Pengeringan dipilih sebagai metode yang digunakan untuk mengawetkan jamur tiram karena prosesnya yang relatif mudah diaplikasikan pada berbagai skala industri jamur tiram. Pengeringan dapat dilakukan secara konvensional dengan bantuan sinar matahari dan dapat pula dilakukan menggunakan alat pengering. Metode pengeringan menggunakan alat fluidized bed dryer dilakukan pada penelitian ini. Pemilihan alat didasarkan pada hasil penelitian Walde et al. (2006) yang menyatakan bahwa fluidized bed dryer memiliki kelebihan dalam menurunkan waktu pengeringan dan menghasilkan kualitas produk lebih baik dibandingkan alat pengering lain, seperti vacuum dryer dan cabinet moisture dryer.
Pretreatment dilakukan sebagai usaha untuk meningkatkan efektivitas
blanching dengan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit (Walde et al. 2006), dan ultrasonifikasi (Jambrak et al. 2007).
Model persamaan laju pengeringan dibutuhkan untuk memprediksi jumlah air yang hilang dan laju kenaikan suhu selama proses pengeringan (Bonazzi et al. 2009). Model persamaan laju pengeringan yang digunakan adalah model Lewis dan model Page. Model Lewis dan model Page digunakan karena cukup sederhana untuk diterapkan. Kualitas kenampakan dan preferensi konsumen dapat diketahui melalui uji analisis warna, uji hedonik sampel jamur tiram kering, dan uji hedonik sampel jamur tiram yang telah direhidrasi.
Perumusan Masalah
Masalah yang diteliti adalah laju pengeringan jamur tiram yang terlebih dahulu diberikan kondisi pretreatment yang berbeda. Jamur tiram yang telah kering kemudian dianalisis rasio rehidrasi dan mutu sensorinya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan persamaan model laju pengeringan untuk produk jamur tiram,mengetahui rasio rehidrasi jamur tiram pada berbagai kondisi pretreatment, serta mengidentifikasi kondisi pretreatment terbaik untuk mendapatkan jamur tiram yang paling disukai konsumen, baik dalam kondisi kering maupun yang telah direhidrasi.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu memberi informasi tentang laju pengeringan jamur tiram dan rasio rehidrasi jamur tiram kering pada beberapa kondisi pretreatment, serta memberikan referensi pemilihan metode pretreatment yang menghasilkan mutu sensori terbaik.
METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jamur tiram (Pleurotus
ostreatus var. florida) dengan umur panen 3 hari (dari Laboratorium Patologi
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca digital,
fluidized bed dryer, oven pengering, saringan kawat, blancher, kain saring,
pengaduk, gelas ukur, termometer, loyang alumunium, pisau stainless steel, wadah alumunium, wadah plastik, gelas kimia, gelas ukur, hot plate, Chromameter CR-310 (Minolta Camera, Co).
Prosedur Percobaan
Secara umum, penelitian yang dilakukan dapat dibagi menjadi tiga tahap utama, yaitu tahap pretreatment, pengeringan, dan rehidrasi. Pengukuran kadar air dilakukan setelah sampel diberikan pretreatment. Analisis warna dan uji sensori dilakukan setelah pengeringan dan setelah rehidrasi sampel. Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Alur Penelitian Pretreatment
Pengeringan menggunakan pengering tipe fluidized bed dryer
Pretreatment Jamur Tiram
Proses perlakuan pendahuluan atau pretreatment yang dilakukan sebelum pengeringan diadaptasi dari metode pretreatment yang dilakukan oleh Walde et al. (2006). Sebanyak 18 tudung jamur tiram (Pleurotus ostreatus var. florida) umur panen 3 hari dengan bobot satuan 4.0-6.0 gram dibersihkan dari kotoran fisik dan dibagi menjadi enam bagian untuk diberikan perlakuan yang berbeda. Jamur tiram yang digunakan pada penelitian dipanen secara hati-hati dan dibiarkan utuh selama pretreatment dan pengeringan.
Gambar 2 Jamur tiram (Pleurotus ostreatus var. florida) segar
Sampel pertama tidak diberikan perlakukan apapun sebelum pengeringan, sampel kedua dicuci dengan cara merendam jamur tiram dalam airdengan perbandingan air sebanyak 1 liter untuk 12-18 gram jamur tiram selama 1 menit sebelum pengeringan, sampel ketiga diberi perlakuan blansir dalam air bersuhu 90°C selama 2 menit, sampel keempat diberi perlakuan blansir dalam air bersuhu 90°C selama 2 menit yang dilanjutkan dengan perendaman dalam natrium metabisulfit (Na2S2O5) 2 000 ppm selama 15 menit, sampel kelima diberi perlakuan blansir dalam larutan natrium metabisulfit 2 000 ppm selama 6 menit, sedangkan sampel terakhir diberikan perlakuan perendaman dalam natrium metabisulfit 2 000 ppm selama 15 menit dan dilanjutkan dengan blansir dalam air bersuhu 90°C selama 2 menit. Variabel perlakuan sampel dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Variabel perlakuan sampel
Kondisi Pretreatment Kode
Tanpa pretreatment JS
Pencucian tanpa blansir JC
Blansir dalam air 90°C selama 2 menit JB
Blansir dalam air 90°C selama 2 menit dilanjutkan dengan perendaman Na2S2O5 2 000 ppm selama 15 menit
JMa Blansir dengan larutan Na2S2O5 2 000 ppm selama 6 menit JMb Perendaman Na2S2O5 2 000 ppm selama 15 menit dilanjutkan
dengan blansir dalam air 90°C selama 2 menit
Blansir pada penelitian ini menggunakan air yang dipanaskan terlebih dahulu hingga mencapai suhu sekitar 90°C sebelum bahan dimasukkan. Waktu 2 menit dihitung sejak suhu air kembali mencapai suhu 90°C setelah bahan dimasukkan. Setelah diblansir, jamur tiram segera direndam dalam air bersuhu 27±2°C, lalu ditiriskan dengan kain dan disusun diatas saringan kawat untuk dikeringkan.
Pengeringan dan Pengukuran Kecepatan Udara Pengering
Metode pengeringan yang dilakukan diadaptasi dari metode yang dilakukan oleh Kotwaliwale et al. (2007). Pengeringan dilakukan menggunakan alat pengering tipe fluidized bed dryer yang dikembangkan oleh Seafast Center – IPB. Alat memiliki dimensi panjang 120 cm, lebar 92 cm, dan tinggi 150 cm, serta memiliki kapasitas sekitar 1.5-2.0 kg jamur tiram sebelum dikeringkan. Fluidized
bed dyer yang digunakan memiliki satu lapis tray dengan luasan 110 cm x 65 cm.
Alat pengering ini bekerja menggunakan panas dari kompor gas. Udara panas ditarik oleh kipas angin kemudian dihembuskan ke nampan berlubang (tray) tempat produk dikeringkan.
Penentuan laju pengeringan dilakukan dengan menghitung perubahan kadar air jamur setiap 5 menit sekali pada 30 menit pertama, 10 menit sekali pada 90 menit selanjutnya, dan 30 menit sekali hingga mencapai moisture equilibrium, yakni ketika bobot jamur tiram tidak lagi mengalami perubahan yang signifikan, atau ketika laju kehilangan kadar air dari produk seimbang dengan laju penambahan kadar air dari lingkungan sekitarnya.
Ketika kadar air bahan mencapai kondisi kesetimbangan dengan lingkungan sekitarnya disebut kadar air kesetimbangan (Hall 1980). Kadar air jamur tiram sangat rendah ketika mencapai kondisi moisture equilibrium, sehingga bisa dipatahkan. Pendekatan kadar air jamur tiram untuk bisa dipatahkan menurut Kotwaliwale et al. (2007) yakni sekitar 8-15%. Pengeringan dengan fluidized bed dryer dilakukan pada suhu 60±2°C. Rasio Kelembaban (RH) udara pengering dan volumetric flow rate udara panas tidak diukur pada penelitian ini.
Pengukuran kecepatan udara pengering dilakukan dengan menggunakan anemometer. Anemometer diletakkan diatas alas alat fluidized bed dryer selama 1 menit. Perubahan skala pada anemometer selama 1 menit diukur, kemudian konversikan menjadi kecepatan hembusan udara dalam satuan m/detik. Jamur tiram yang dikeringkan yakni sebanyak 3 tudung untuk setiap perlakuan atau total 18 tudung untuk 6 perlakuan. Diagram alir prosedur pengeringan dapat dilihat pada Gambar 3.
Rasio Rehidrasi
Gambar 3 Proses rehidrasi jamur tiram kering
Metode Analisis
Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)
Sampel bahan dari metode terpilih diukur kadar airnya. Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang (A). Sejumlah sampel (B), sekitar 1 gram, dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isi dikeringkan di dalam oven bersuhu 105°C, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang (C). Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus:
i
i k Jamur Tiram
Kering
Perendaman dalam air mendidih
Penimbangan
setiap 2 menit hingga bobot stabil
Uji Rating Hedonik
Analisis Warna Jamur Tiram yang
Gambar 4 Proses pengeringan jamur tiram
Analisis Warna
Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter CR-310 (Minolta Camera, Co). Sampel yang dianalisis adalah bahan baku jamur tiram segar, jamur tiram kering dan jamur tiram yang telah direhidrasi. Alat dikalibrasi dengan standar warna putih. Jamur tiram segar digunakan sebagai standar. Pengukuran dilakukan menggunakan skala CIELAB pada sudut observer 10°. Sampel diletakkan pada wadah yang ada, setelah menekan tombol start diperoleh nilai L*, a* dan b*. Nilai L*, a*, dan b* merupakan ciri notasi warna Hunter yang dihitung secara otomatis oleh perangkat lunak pada computer yang terintegrasi dengan alat (Andarwulan et al. 2011). Nilai total color difference (∆E), dan
Jamur tiram hasil pretreatment
(JS, JC, JB, JMa, JMb, JMc)
Pengeringan dengan Fluidized Bed Dryer 60°C
Penimbangan
setiap 5 menit pada 30 menit pertama
Penimbangan
setiap 10 menit pada 90 menit selanjutnya
Penimbangan
setiap 30 menit hingga mencapai moisture equilibrium
Jamur Tiram Kering
Uji Rating Hedonik
derajat putih (whiteness index [WI]) diukur pada penelitian ini. Secara matematis, nilai ∆E dan WI dapat dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini.
∆ √(∆ ∆ ∆ )
Nil i ∆ , ∆ , n ∆ me up k n selisih nt nil i , , n s mpel terhadap nilai L*, a*, dan b* standar (jamur tiram segar).
√[( ) ]
Uji Rating Hedonik (Meilgaard et al. 2006)
Pemilihan metode terbaik rehidrasi jamur tiram dilakukan dengan melakukan uji rating hedonik jamur tiram kering dan jamur tiram yang telah direhidrasi dengan air bersuhu 100°C. Uji ini digunakan untuk mengetahui kesukaan panelis terhadap produk jamur tiram kering dan yang telah direhidrasi. Panelis yang dilibatkan sebanyak 70 orang, dengan menggunakan skala 7 titik (skala 1 sangat tidak suka - skala 7 sangat suka). Data rating hedonik produk diolah menggunakan program SPSS dengan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan.
Pretreatment terbaik dipilih baik dari jamur tiram kering dan jamur tiram yang
telah direhidrasi dengan nilai rating hedonik yang paling tinggi.
Prosedur Analisis Data
Perbandingan model laju pengeringan metode Lewis dan metode Page
Persamaan laju pengeringan memiliki banyak model, diantaranya yakni model Lewis dan model Page. Persamaan model Lewis dan model Page dapat dibuat menggunakan data kadar air kesetimbangan (Me), kadar air awal (Mi), dan kadar air pada waktu t (Mt). Persamaan model Lewis didapatkan dengan cara memplotkan variabel waktu pada sumbu x dan variabel ln moisture ratio (ln MR) pada sumbu y. Nilai konstanta laju pengeringan dari persamaan ini diambil dari nilai slope yang dihasilkan. Persamaan model Page didapatkan dengan cara memplotkan variabel ln (t) pada sumbu x dan variabel ln(-ln MR) pada sumbu y. Nilai konstanta pengeringan dari persamaan ini diambil dari eksponensial intecept, sedangkan nilai koefisien n diambil dari nilai slope-nya.
Laju pengeringan dapat dihitung berdasarkan penurunan kadar air terhadap waktu. Perhitungan yang lebih tepat dapat dilakukan dengan membuat pendekatan persamaan model laju pengeringan. Persamaan laju pengeringan yang diaplikasikan pada penelitian ini mengikuti model Lewis dan Page (Erbay dan Icier 2010). Model Lewis mengasumsikan bahwa perubahan kadar air bahan pada periode laju menurun (falling rate) adalah berbanding lurus terhadap perbedaan antara kadar air dan kadar air kesetimbangan (moisture equilibrium).
t e
Model Page merupakan modifikasi dari model Lewis dengan tujuan untuk mendapatkan model yang lebih tepat dengan menambahkan koefisien n. Nilai MR (moisture content ratio) menggambarkan model laju pengeringan. Nilai k merupakan konstanta pengeringan.
t e
i e e p kt n
Penentuan rasio rehidrasi
Rasio rehidrasi sampel diukur dengan mengadaptasi penelitian yang dilakukan oleh Giri dan Prasad (2007). Sampel yang telah dikeringkan diukur bobot awalnya, kemudian direndam dalam air bersuhu 100°C dengan perbandingan air sebanyak 500 ml/g sampel kering. Sampel yang direndam ditimbang setiap 2 menit sekali hingga bobotnya stabil. Persamaan rasio rehidrasi (RR) diperlihatkan dalam persamaan dibawah, dengan W2 sebagai bobot sampel
Penurunan kadar air dilakukan menggunakan fluidized bed dryer pada suhu 60°C dan kecepatan udara pengering yang berada pada kisaran 0.620 m/s sampai 0.839 m/s. Pengaruh kondisi pretreatment yang berbeda terhadap penurunan kadar air ditunjukkan dalam bentuk kurva penurunan kadar air (Gambar 5). Secara umum, penurunan kadar air berlangsung dengan cepat pada 100 menit pertama, ditunjukkan dengan kurva yang curam, kemudian melambat dan kadar air cenderung konstan mulai pada menit ke- 200. Menurut Standar Codex untuk jamur kering (1981), kadar air maksimum pada jamur tiram kering yang dikeringkan dengan fluidized bed dryer adalah sebesar 12 % (bb).
Perbedaan waktu dan laju penurunan kadar air sampel yang berbeda disebabkan oleh perbedaan kadar air awal sampel, dan perubahan sifat fisik sampel saat diberikan pretreatment. Pretreatment pencucian menyebabkan peningkatan kadar air awal sampel paling tinggi dibandingkan dengan kadar air awal sampel yang tidak diberikan pretreatment. Kadar air awal dan kadar air akhir sampel jamur tiram (%bb) dapat dilihat pada Tabel 2.
Gambar 5 Kurva penurunan kadar air basis basah pada enam kondisi pretreatment Blansir merupakan proses pemanasan bahan pangan, terutama dari kelompok sayuran, dalam air atau uap bersuhu kurang dari 100°C. Blansir umumnya menggunakan suhu 80-100°C (Rahman dan Perera 2007). Proses blansir dilakukan untuk menginaktivasi enzim (Greensmith 1998), menghilangkan gas yang dapat meningkatkan tekanan selama pengalengan, membersihkan bahan, menyusutkan ukuran bahan sehingga lebih mudah untuk dikemas, dan untuk mencegah penurunan kualitas warna dan rasa (Paine dan Paine 1992).
Tabel 2 Kadar air sampel sebelum dan sesudah pengeringan
Perlakuan Kadar Air Awal
Kadar Air Kesetimbangan
Blansir yang dilakukan pada sampel jamur tiram terutama bertujuan untuk menginaktivasi enzim yang ada dalam jamur tiram, baik berupa enzim yang dapat
menyebabkan reaksi pencoklatan non enzimatis maupun enzim yang bukan penyebab reaksi pencoklatan enzimatis. Blansir dapat dilakukan dengan media air maupun dengan uap pada suhu yang sama. Blansir dengan air memiliki kelebihan dalam kemudahan pengaplikasiannya, kecepatannya dalam penyeragaman suhu, penggunaan energi yang efisien, dan biaya yang relatif lebih rendah dibandingkan blansir menggunakan uap (Fellows 2000).
Natrium metabisulfit merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang multifungsi. Natrium metabisulfit dapat digunakan sebagai pengawet pangan, pencegah terjadinya pencoklatan enzimatik dan non enzimatik, dan dapat pula sebagai bleaching agent atau agen pemutih (Belloso dan Fortuny 2010). Natrium metabisulfit digunakan dalam penelitian ini sebagai pencegah terjadinya reaksi pencoklatan enzimatik pada jamur tiram. Menurut Food and Drugs Association (FDA), batas maksimum penggunaan senyawa yang merupakan turunan dari bahan sulfida ini adalah sebanyak 3 000 ppm.
Penelitian yang dilakukan oleh Arora et al. (2011) menunjukkan bahwa perendaman dalam larutan natrium metabisulfit sebanyak 2 500 ppm selama 15 menit menghasilkan nilai optical density (OD) yang paling rendah. Nilai OD mengekspresikan nilai indeks pencoklatan. Pada produk jamur kering, semakin rendah nilai OD yang dihasilkan, mutu jamur dianggap semakin baik.
Pretreatment blansir yang diberikan pada sampel JB, JMa, JMb, dan JMc
menghasilkan data penurunan kadar air yang lebih lambat dibandingkan sampel yang hanya diberikan pretreatment pencucian dan sampel yang tidak diberikan pretreatment. Penelitian yang dilakukan Hassan dan Madany (2014) juga menghasilkan data penurunan kadar air yang lebih lambat pada sampel jamur tiram yang diberikan pretreatment blansir dibandingkan dengan jamur tiram yang tidak diblansir.
Penurunan kadar air yang lebih lambat pada empat sampel yang diberikan pretreatment blansir tersebut dapat dijelaskan dengan mekanisme penyusutan volume jamur tiram. Pelipatan lamella dan pengeluaran udara diantara lamella pada jaringan jamur terjadi selama blansir, sehingga terjadi penyusutan volumetrik. Jaringan pada jamur kemudian disalut oleh air yang menggantikan udara yang keluar, dan densitas jamur tiram meningkat (Vullioud et al. 2011).
Model Laju Pengeringan Jamur Tiram
Gambar 6 Pemetaan data semua perlakuan menggunakan model Lewis Pemetaan data semua perlakuan menggunakan model Lewis pada Gambar 6 didapatkan dengan memplotkan ln MR pada sumbu y dan waktu pada sumbu x. Nilai ln MR didapatkan dengan menambahkan logaritma natural pada kedua sisi persamaan Lewis, sehingga persamaan (1) dapat menjadi persamaan (2). Model
Pemetaan data semua perlakuan menggunakan model Page pada Gambar 7 didapatkan dengan memplotkan ln (-ln MR) pada sumbu y dan logaritma natural waktu pada sumbu x. Persamaan ln (-ln MR) didapatkan dengan menambahkan dua logaritma natural pada kedua sisi persamaan Page, sehingga persamaan (3) dapat menjadi persamaan (5). Model Page dalam bentuk persamaan (3) untuk semua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.
t- e
i- e e p(-kt
n) (3)
ln -ktn (4) ln -ln ln k n ln t (5)
Hasil pemetaan data laju pengeringan jamur tiram seluruh perlakuan pada Gambar 6 untuk model Lewis dan Gambar 7 untuk Model Page memperlihatkan bahwa kurva yang dihasilkan dari model Lewis lebih terdiferensiasi dibandingkan dengan kurva yang dihasilkan dari model Page. Perbedaan kedua model tersebut disebabkan perbedaan nilai R2 yang dihasilkan.
Tabel 3 Model laju pengeringan koefisien korelasi berdasarkan model Lewis dan model Page pada semua perlakuan
Perlakuan Waktu Me (menit) Model Lewis Model Page
Persamaan Laju Pengeringan R2 Persamaan Laju Pengeringan R2 JS 240 MR = exp (-0.0293 t – 0.0096) 0.9836 MR = exp (-0.0610 t 0.8278) 0.9778
JC 270 MR = exp (-0.0237 t + 0.0276) 0.9895 MR = exp (-36.9808 t 1.2195) 0.9807
JB 300 MR = exp (-0.0241 t + 0.1498) 0.9875 MR = exp (-0.0522 t 0.8016) 0.9584
Jma 300 MR = exp (-0.0172 t – 0.0174) 0.9949 MR = exp (-17.7077 t 0.7375) 0.9613
JMb 300 MR = exp (-0.0207 t + 0.1138) 0.9863 MR = exp (-0.0533 t 0.7673) 0.9466
JMc 300 MR = exp (-0.0194 t + 0.0869) 0.9877 MR = exp (-0.0517 t0.7641) 0.9544
Gambar 7 Kurva pengeringan semua perlakuan menggunakan model Page
Tabel 3 menunjukkan data yang lebih rinci, persamaan-persamaan pada model Lewis memiliki nilai R2 yang lebih tinggi dan lebih seragam dibandingkan nilai R2 pada persamaan-persamaan model Page yang lebih rendah dan lebih bervariasi nilainya. Nilai R2 pada persamaan-persamaan model Lewis memiliki nilai 0.99 jika dibulatkan dalam dua desimal, sedangkan nilai R2 pada model Page lebih kecil dari 0.99.
Hasil perbandingan tersebut menunjukkan bahwa model Lewis dapat menggambarkan perilaku pengeringan jamur tiram lebih baik dibandingkan model Page. Tingkat validasi yang lebih baik pada model Lewis dibandingkan model Page juga ditunjukkan pada penelitian Ghaderi et al. (2012) tentang proses pengeringan jamur kancing dan digunakan pula pada penelitian Kulshreshtha et al. (2009) tentang kualitas jamur setelah proses pengeringan.
Kurva pengeringan jamur tiram menggunakan model Lewis sebagai model yang merepresentasikan keadaan selama pengeringan dapat dilihat pada Gambar 8. Bentuk kurva menunjukkan pola yang menurun curam (falling rate) pada semua perlakuan sejak awal proses pengeringan. Periode laju pengeringan konstan (constant rate period) tidak ditemukan pada kurva. Menurut Rizvi (2005), beberapa bahan pangan memang tidak menunjukkan periode laju konstan, dan pada bahan pangan kelompok ini pergerakan air selama pengeringan terjadi melalui proses difusi.
Gambar 8 Kurva laju pengeringan jamur tiram model Lewis
Rasio Rehidrasi
Rehidrasi merupakan proses melembabkan bahan yang kering (Joardder et al. 2015). Rehidrasi merupakan proses penyerapan air kembali setelah bahan melalui proses penghilangan air. Air yang telah hilang tidak bisa dikembalikan seperti semula seperti keadaan awal, karena rehidrasi bukan proses reversibel terhadap pengeringan. Laju rehidrasi dapat digunakan sebagai indikator kualitas makanan. Makanan yang dikeringkan dengan baik akan melakukan proses rehidrasi dengan lebih cepat dan lebih sempurna (Fellows 2000).
Tabel 4 Rasio rehidrasi jamur tiram kering
Sampel Rasio rehidrasi
Kulshreshtha et al. (2009), Kaur et al.(2014), dan Akoy et al. (2014) dalam penelitiannya menjelaskan rasio rehidrasi dalam bentuk matematis sebagai perbandingan bobot sampel jamur tiram kering setelah direhidrasi terhadap bobot awal sampel jamur tiram kering.
Nilai rasio rehidrasi yang semakin besar mengindikasikan produk yang lebih baik. Rasio rehidrasi tertinggi dimiliki oleh sampel JC yang dapat mencapai 6.56, kemudian diikuti oleh sampel JS yang dapat mencapai 5.98, sedangkan sampel JMb, JMa, JB, dan JMb hanya mencapai kisaran 2.82, 3.10, dan 3.24, dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 9.
Gambar 9 Rasio rehidrasi sampel selama rehidrasi
Efek yang cukup signifikan ditemukan antara sampel jamur tiram yang diberi pretreatment blansir dengan sampel jamur tiram yang tidak diberikan
pretreatment blansir. Efek tersebut dapat terjadi karena proses blansir dapat
mengubah sifat fisik suatu bahan (Marabi dan Saguy 2009).
Perbedaan kapasitas rehidrasi dan rasio rehidrasi antara sampel JS dan JC dengan sampel JB, JMa, JMb, dan JMc disebabkan oleh perbedaan pretreatment yang dilakukan. Sampel JB, JMa, JMb, dan JMc mendapatkan perlakuan blansir saat pretreatment, sedangkan sampel JS dan JC tidak mendapatkan perlakuan blansir. Selama proses blansir, udara dalam jaringan jamur tiram dikeluarkan dan terjadi pelipatan jaringan lamella pada jamur, sehingga antar jaringan jamur tiram akan lebih rapat (Vullioud et al. 2011). Setelah bahan, yang telah diblansir, kemudian dikeringkan akan dihasilkan produk yang lebih rigid dibandingkan produk hasil pengeringan yang sebelumnya tidak diblansir.
Selama proses rehidrasi, bahan kering yang direndam dalam air atau media cair lainnya akan mengalami perubahan fisikokimia, seperti kadar air, porositas, volume, suhu, gelatinisasi dan tekstur. Rehidrasi meliputi beberapa proses yang terjadi secara paralel, termasuk penyerapan air ke dalam bahan kering, migrasi media cair melalui saluran berongga dan penyebaran melalui matriks solid, pembengkakan pada titik tertentu di matriks solid, dan pelarutan zat padat telarut oleh cairan ekternal (Marabi dan Saguy 2009).
Warna Jamur Tiram
Warna merupakan aspek penting dalam menentukan kualitas suatu produk karena merupakan atribut pertama yang dilihat oleh konsumen. Analisis warna yang dilakukan dengan alat Chromameter menghasilkan data yang direpresentasikan dalam sistem notasi Hunter. Sistem notasi warna Hunter dicirikan dengan 3 parameter warna, yaitu kecerahan (lightness) yang ditampilkan dengan notasi L*, warna kromatik (hue) dengan notasi a*, dan intensitas warna dengan notasi b* (Andarwulan et al. 2011). Ketiga parameter tersebut dapat menghasilkan data tingkat kecerahan (L*), derajat putih (whiteness index [WI]),
dan Total Color Difference (∆E) pada sampel jamur tiram kering dan jamur tiram
telah direhidrasi. Hasil analisis tingkat kecerahan (L*) dan hasil penghitungan derajat putih (whiteness index [WI]), dan Total Color Difference (∆E) dapat dilihat pada Tabel 5 untuk sampel jamur tiram kering dan pada Tabel 6 untuk sampel jamur tiram hasil rehidrasi.
Tabel 5 Nilai kecerahan (L*), derajat putih (whiteness index [WI]), dan Total
Color Difference (∆E) sampel jamur tiram kering
Sampel Jamur Tiram Kering
L* WI ∆E
Keterangan: angka dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
ny t p t f α 5
Sampel yang mengalami pretreatment blansir secara umum memiliki nilai kece h n n e j t putih y ng en h, tet pi cen e ung memiliki nil i ∆ y ng stabil bahkan cenderung berkurang, kecuali sampel JMc. Sementara itu, sampel JC dan JS yang memiliki tingkat kecerahan dan derajat putih yang lebih tinggi dalam keadaan kering mengalami penurunan pada kedua parameter tersebut setelah direhidrasi.
Tabel 6 Nilai kecerahan (L*), derajat putih (whiteness index [WI]), dan Total
Color Difference (∆E) sampel jamur tiram yang telah direhidrasi
Sampel Jamur Tiram Rehidrasi
L* WI ∆E
Keterangan: angka dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
ny t p t f α 5
Proses blansir dan penambahan natrium metabisulfit dapat mempertahankan kualitas jamur tiram dari keadaan kering hingga setelah direhidrasi, ditunjukkan oleh nilai ∆E yang lebih stabil dibandingkan nilai ∆E sampel JC dan JS. Namun, sampel JB, JMa, JMb, dan JMc belum dapat menghasilkan nilali kecerahan dan derajat putih yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel JC dan JS yang tidak diberikan pretreatment blansir.
polifenol oksidase dan komponen fenolik lainnya, bereaksi ketika jaringan terbuka karena kerusakan (Quevedo et al. 2011).
Selain itu, jamur yang digunakan adalah jamur segar yang dipanen pada hari yang sama dengan hari penelitian, sehingga belum sempat terjadi reaksi pencoklatan yang biasanya dimulai sehari setelah pemanenan (Walde et al. 2005). Penyimpanan jamur dalam refrigerator selama penyiapan alat juga menghambat proses pencoklatan. Mengacu pada pada penelitian Quevedo et al. (2016), reaksi pencoklatan enzimatis pada jamur secara kritis terjadi pada suhu 96.6°C berdasarkan metode Mean, sedangkan dengan metode Kinetik Fraktal terjadi pada suhu 40.3°C.
Rating Hedonik Jamur Tiram Kering
Metode pengeringan menentukan karakter produk yang akan mempengaruhi persepsi sensori dan penerimaan konsumen. Perbedaan proses pretreatment yang dilakukan dan perubahan sifat bahan selama pengeringan juga akan mempengaruhi penerimaan konsumen (Marabi dan Saguy 2009). Uji rating hedonik digunakan untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap sampel jamur tiram kering dari enam perlakuan pretreatment berbeda.
Hasil uji pada Tabel 7 menunjukkan bahwa sampel JC dan JS memiliki tingkat preferensi paling tinggi dan berbeda nyata terhadap sampel yang lain ditinjau dari skor tertinggi yang juga dicapai pada semua penilaian atribut, yakni atribut warna, aroma, dan tekstur. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa pretreatment blansir dapat menurunkan preferensi konsumen karena kualitas warna, aroma, dan teksturnya dinggap tidak sebaik kualitas pada jamur tiram kering tanpa pretreatment blansir oleh konsumen. Tingkat preferensi konsumen secara berturut-turut dari yang paling dapat diterima hingga yang paling kurang diterima, yaitu JC dan JS, JMa, JMb, JB, dan JMc.
Tabel 7 Hasil uji rating hedonik jamur tiram kering
Sampel Penilaian Panelis
Warna Kecerahan Aroma Tekstur
JS 5.46±0.86a 5.54±0.81a 4.63±1.40a 4.97±1.33a
JC 5.50±1.07a 5.51±1.07a 4.90±1.36a 4.99±1.46a
JB 3.51±1.34b 3.33±1.29c 3.71±1.29cd 3.46±1.43c
JMa 3.77±1.26b 3.77±1.21b 4.24±1.20b 4.19±1.55b
JMb 3.41±1.32b 3.24±1.26c 3.94±1.32 bc 3.56±1.55c
JMc 3.56±1.39b 3.37±1.34c 3.44±1.36d 3.17±1.41c
Keterangan :angka dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda
ny t p t f α 5
atribut, yakni atribut warna, aroma, tekstur, dan rasa yang selalu masuk pada subset terendah.
Gambar 10 Skor hedonik jamur tiram kering atribut warna
Gambar 11 Skor hedonik jamur tiram kering atribut kecerahan
Skor hedonik jamur tiram kering atribut warna (Gambar 10) dan kecerahan (Gambar 11) dapat dikaitkan dengan hasil analisis warna pada parameter kecerahan dan derajat putih. Konsumen paling menyukai sampel JC dan JS yang memiliki nilai kecerahan dan derajat putih paling tinggi. Sebaliknya, konsumen
paling tidak menyukai sampel JB yang ternyata juga memiliki nilai kecerahan yang rendah dan nilai derajat putih paling rendah (Tabel 5).
Gambar 12 Skor hedonik jamur tiram kering atribut aroma
Gambar 13 Skor hedonik jamur tiram kering atribut tekstur
Rating Hedonik Jamur Tiram Rehidrasi
Proses rehidrasi suatu pangan kering merupakan suatu unit operasi pokok dalam industri pangan. Proses ini juga dilakukan oleh skala konsumen, yakni ketika aspek kecepatan dan kemudahan proses sangat menjadi perhatian khusus.
Kualitas produk rehidrasi dipengaruhi oleh kondisi pengeringan dan proses rehidrasi yang dilakukan, yang tentu saja sangat mempengaruhi penerimaan konsumen (Marabi dan Saguy 2009).
Tabel 8 Hasil uji rating hedonik jamur tiram yang telah direhidrasi
Sampel Penilaian Panelis
Warna Kecerahan Aroma Tekstur Rasa JS 5.07±1.31a 4.84±1.34a 4.27±1.18a 4.94±1.49a 4.99±1.48a JC 4.64±1.36b 4.49±1.41a 4.16±1.40ab 4.57±1.61ab 4.01±1.43ab JB 3.13±1.34d 2.96±1.18c 3.80±1.29bc 3.77±1.59d 3.47±1.28b JMa 4.53±1.52b 4.59±1.41a 4.16±1.30ab 4.51±1.52ab 4.19±1.22ab JMb 4.04±1.38c 3.93±1.31b 4.16±1.12ab 4.40±1.50bc 4.01±1.30ab JMc 3.86±1.44c 3.671.50b 3.64±1.34c 3.96±1.45cd 3.75±1.29b
Keterangan :angka dalam kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyat p t f α 5
Hasil uji hedonik sampel setelah direhidrasi (Tabel 8) menunjukkan bahwa sampel JS memiliki tingkat preferensi paling tinggi. Sampel JMa dan sampel JC juga memiliki tingkat preferensi paling tinggi pada parameter kecerahan, tetapi tidak berbeda nyata terhadap sampel JMb pada parameter aroma dan rasa, dan hanya berbeda nyata terhadap sampel JMc dan JB pada parameter warna, kecerahan, aroma, dan tekstur.
Sampel JS merupakan sampel yang paling disukai ditinjau dari skor tertinggi yang juga dicapai pada semua penilaian atribut, yakni atribut warna, kecerahan, aroma, tekstur, dan rasa. Atribut warna merupakan atribut yang paling mempengaruhi pemilihan sampel JS sebagai sampel yang paling dapat diterima karena mendapatkan skala yang terbesar, yakni 5.07 dari 7.00 yang berarti konsumen agak menyukai warna sampel.
Gambar 14 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut warna
Sampel JB merupakan sampel yang paling kurang dapat diterima ditinjau dari skor sampel pada semua penilaian atribut, yakni atribut warna, kecerahan, aroma, tekstur, dan rasa yang selalu masuk pada subset terendah. Atribut kecerahan merupakan atribut yang paling mempengaruhi pemilihan sampel JB sebagai sampel yang paling kurang diterima karena mendapatkan skala yang kecil, yakni 2.96 dari 7.00 yang berarti konsumen agak tidak menyukai kecerahan sampel.
Gambar 15 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut kecerahan
Gambar 16 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut aroma
Serupa halnya seperti pada skor hedonik jamur tiram kering, skor hedonik jamur tiram yang telah direhidrasi pada atribut warna (Gambar 14) dan kecerahan (Gambar 15) juga dapat dikaitkan dengan hasil analisis warna pada parameter kecerahan dan derajat putih. Konsumen paling menyukai sampel JC, JS, dan JMa yang memiliki nilai kecerahan dan derajat putih paling tinggi. Sebaliknya, konsumen paling tidak menyukai sampel JB yang ternyata juga memiliki nilai kecerahan yang rendah dan nilai derajat putih paling rendah (Tabel 6).
Gambar 17 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut tekstur
Gambar 18 Skor hedonik jamur tiram setelah rehidrasi atribut rasa
Pengaruh natrium metabisulfit untuk mempertahankan warna dan memperbaiki tekstur terlihat pada hasil uji rating hedonik (Tabel 8), yakni pada sampel yang sama-sama diberikan pretreatment blansir, sampel yang diberikan kombinasi perendaman dalam natrium metabisulfit dan blansir dengan natrium metabisulfit memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel yang hanya diberikan pretreatment blansir saja. Penelitian yang dilakukan oleh Kotwaliwale et al. (2007) pun menunjukkan bahwa penambahan natrium metabisulfit dapat memperbaiki tekstur dan warna jamur dibandingkan dengan jamur yang hanya diblansir.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Model persamaan laju pengeringan yang paling sesuai untuk pengeringan jamur tiram adalah model Lewis karena tingkat validitasnya yang lebih tinggi secara statistik dibandingkan model Page. Waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan sampel yang tidak diberikan pretreatment dan sampel yang hanya diberikan pretreatment berupa pencucian hingga mencapai kadar air 12% sekitar 150 menit, lebih cepat dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan sampel yang lain hingga mencapai kadar air 12%, yakni sekitar 180 menit. Sampel yang mendapatkan preferensi konsumen paling baik yakni sampel yang tidak diberikan pretreatment Berdasarkan analisis rasio rehidrasi dan analisis warna, sampel yang hanya diberikan pretreatment berupa pencucian memiliki nilai yang paling tinggi.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Akoy EOM. 2014. Effect of drying temperature on some quality attribute of mango slices. Int J Innov Sci Res 4(2): 91-99.
Alam N, Amin R, Khan A, Ara I, Shim MJ, Lee MW, Lee TS. 2008. Nutritional analysis of cultivated mushroom in Bangladesh- Pleurotus ostreatus, Pleurotus
sajor-caju, Pleurotus florida and Calocybe indica. Korean Soc Mycology 36
(4): 228-232.
Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta: Dian Rakyat
AOAC [Association of Official Agricultural Chemist]. 1995. Official Method of Analysis of the Association of Official Agricultural Chemist 16th Edition. Virginia: AOAC International.
Arora S, Shivhare US, Ahmed J, Raghavan GSV. 2011. Drying kinetics of
Agaricus bisporus and Pleurotus florida mushroom. Am Soc Agr Eng Volume
46 (3): 721-724.
Belloso MB, Fortuny RS. 2010. Advances in Fresh-Cut Fruits and Vegetables Processing. Boca Raton: CRC Press.
Bhattacharya M, Srivastav PP, Mishra HN. 2014. Optimization of microwave-convective drying of oyster mushrooms (Pleurotus ostreatus) using respose-surface methodology. Int Food Res J 21 (4): 1575-1581.
Bonazzi C, Broyant B, Courtois F. 2009. Dryer modeling. Di dalam: Ratti C, editor. Advance in Food Dehydration. Boca Raton (US): CRC Press.
Chang ST, Miles PG. 2004. Mushrooms; Cultivation, Nutritional Value, Medical Effect, and Enviromental Impact 2nd Edition. Boca Raton : CRC Press.
CODEX Alimentarius Commision. 1981. Codex Standard for Dried Edible Fungi CODEX STAN 39-1981.
Doymaz I. 2014. Drying kinetics and rehydration characteristics of convective hot-air dried white button mushroom slices. J Chem Volume 2014.
Erbay Z, Icier F. 2010. A reviewof thin layer drying of foods: theory, modeling, and experimental result. Crit Rev Food Sci Nut 50:441-464.
FDA [Food and Drugs Administrations]. 2013. Annex J: Summary of Current Food Standars.
http://www.fda.gov.ph/attachments/article/71149/Annex%20J%20-%20FOOD%20STANDARDS.pdf (diakses pada 25 Februari 2016)
Fellows P. 2000. Food Processing Technology Principles and Practice 2nd Edition. Boca Raton: CRC Press
Ghaderi A, Abbasi S, Motevali A, Minaei S. 2012. Comparison of mathematical models and artificial neural networks for prediction of drying kinetics of mushroom in microwave-vacuum drier. Chem Ind Chem Eng Quar 18 (2): 283-293.
Giri SK, Prasad S. 2007. Drying kinetics and rehydration characteristics of microwave-vacuum and convective hot-air dried mushrooms. J Food Eng No. 78: 512-521.
Guiné RPF, Barocca MJ. 2011. Influence of freeze-drying treatment on the texture of mushrooms and onions. Croat J of Food Sci Tech 3(2): 26-31.
Hall, CW. 1980. Drying and Storage of Agricultural Crops. Connecticut (US): AVI Publishing Company.
Hassan FRH, Medany GM. 2014. Effect of pretreatments and drying temperatures on the quality of dried Pleurotus mushroom spp. Egypt. J Agr Res 92 (3): 1009-1023.
Jambrak AR, Mason TJ, Paniwnyk L, Lelas V. 2007. Accelerated drying of button mushroom, brusselsprouts and cauliflower by applying power ultrasound and its rehydration properties. J Food Eng 81: 99-97.
Joardder MUH, Karim A, Kumar C, Brown RJ. 2015. Porosity: Establishing the Relationship between Drying Parameters and Dried Food Quality. Heidelberg: Springer.
Kaur K, Kumar S, Alam MS. 2014. Air drying kinetics and quality characteristics of oyster mushroom (Pleurotus ostreatus) influenced by osmotic dehydration. Agr Eng Int: CIGR Journal 16 (3):214-222.
Kotwaliwale N, Bakane P, Verma A. 2007. Changes in textural and optical properties of oyster mushroom during hot air drying. J Food Eng No. 78: 1207-1211.
Kulshreshtha M, Sigh A, Deepti, Vipul. 2009. Effect of drying condition on mushroom quality. J Eng Sci Tech 4 (1):90-98.
Marabi A, Saguy IS. 2009. Rehydration and reconstitution of food. Di dalam: Ratti C, editor. Advance in Food Dehydration. Boca Raton (US): CRC Press. Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 2006. Sensory Evaluation Techniques Fourth
Edition. Boca Raton: CRC Press.
Paine FA, Paine HY. 1992. A Handbook of Food Packaging Second Edition. New York: Chapman and Hall.
Patil SS, Ahmed SA, Telang AM, Baig MMV. 2010. The nutritional value ofPleurotus ostreatus (jacq.: fr) kumm cultivated on different lignocellulostic agro-wastes. Innov Roman Food Biotech Volume 7: 66-76.
Rizvi SSH. 2005. Thermodynamic properties of foods in dehydration. Di dalam: Rao MA, Rizvi SSH, Datta AK, editor. Engineering Properties of Foods, Third Edition. Boca Raton: CRC Press.
Quevedo R, Ronceros B, Garcia K, Lopez P, Pedreschi F. 2011. Enzymatic browning in sliced and pureed avocado: a fractal kinetic study. J Food Eng 105 (2): 210-215.
Quevedo R, Pedreschi, Bastias JM, Diaz O. 2016. Correlation of the fractal enzymatic browning rate with the temperature in mushroom, pear, and apple slices. LWT – Food Sci Tech 65: 406-413.
Rahman MS, Perera CO. 2007. Handbook of Food Preservation Second Edition. Editor M Shafiur Rahman. Boca Raton: CRC Press
Sinha NK. 2011. Handbook of Vegetables and Vegetables Processing. Iowa (USA): Blackwell Publishing.
Vullioud MB, Rusalen R, De Michelis A. 2011. Blanching process of oyster mushrooms (Pleurotus ostreatus) and its effects on parameters of technological interest in Argentina. Mic Apl Int 23 (2): 47-53.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Uji Kecepatan Udara Pengering Fluidized Bed Dryer Posisi 15 Titik Pengukuran Kecepatan Udara Pengering
Hasil Uji Kecepatan Udara Pengering pada 15 TitikFluidized Bed Dryer
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kecepatan
Source Type III Sum of Squares
Df Mean
Square
F Sig.
Model 17.119a 15 1.141 87.577 .000
Posisi 17.119 15 1.141 87.577 .000
Error .391 30 .013
Total 17.510 45
a. R Squared = .978 (Adjusted R Squared = .967) 13 14 15
10 11 12
7 8 9
4 5 6
Kecepatan Duncan
Posisi Subset
1 2 3 4 5 6 7
14 3 -.6000
15 3 .0220
10 3 .3413
12 3 .3890 .3890
11 3 .4080 .4080 .4080
13 3 .5830 .5830 .5830
5 3 .5970 .5970
2 3 .6197
6 3 .6220
7 3 .6863 .6863
8 3 .7140 .7140
4 3 .7417 .7417
9 3 .7693 .7693
3 3 .7860 .7860
1 3 .8390
Sig. 1.000 1.000 .506 .057 .063 .071 .160 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .013. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = 0.05.
Keterangan:
Lampiran 2 Hasil ANOVA Kadar Air Awal Jamur Tiram Basis Basah
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Univariate Analysis of Variance
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
Lampiran 3 Hasil ANOVA Kadar Air Awal Jamur Tiram Basis Kering Model 15522244.774a 6 2587040.796 241.085 .000 Sampel 15522244.774 6 2587040.796 241.085 .000
Error 64385.000 6 10730.833
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
Lampiran 4 Hasil ANOVA Kadar Air Akhir Jamur Tiram Basis Basah
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
Lampiran 5 Hasil ANOVA Kadar Air Akhir Jamur Tiram Basis Kering
Lampiran 6 Hasil ANOVA Nilai Kecerahan Jamur Tiram Kering
Model 100216.839a 7 14316.691 449268.554 .000
L 100216.839 7 14316.691 449268.554 .000
Error .446 14 .032
Total 100217.285 21
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Univariate Analysis of Variance Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
Lampiran 7 Hasil ANOVA Nilai Derajat Putih Jamur Tiram Kering
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Univariate Analysis of Variance Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
Lampiran 8 Hasil ANOVA Nilai Total Color Difference (∆E) Jamur Tiram
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Univariate Analysis of Variance Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
Lampiran 9 Hasil ANOVA Nilai Kecerahan Jamur Tiram Hasil Rehidrasi
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Univariate Analysis of Variance Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
Lampiran 10 Hasil ANOVA Nilai Derajat Putih Jamur Tiram Hasil Rehidrasi
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Univariate Analysis of Variance
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
Lampiran 11 Hasil ANOVA Nilai Total Color Difference (∆E) Jamur Tiram Hasil
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Univariate Analysis of Variance
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
Lampiran 12 Borang Penilaian Sensori Jamur Tiram Kering
UJI RATING HEDONIK
Produk : Jamur Tiram Kering No Booth :
Nama : Tanggal :
Petunjuk :
1. Anda akan mendapat 6 sampel uji yang akan diberikan satu persatu. 2. Lakukan penilaian terhadap sampel uji (satu persatu dan tidak
dibandingkan antar sampel). Abaikan ukuran dan bentuk jamur.
3. Beri penilaian terhadap warna, kecerahan, aroma, tekstur serta jamur secara keseluruhan (overall). Penilaian terhadap tekstur dilakukan dengan cara menekan sampel.
4. Tuliskan kode sampel pada kolom kosong yang tersedia
5. Tuliskan respon anda terhadap sampel yang sedang diuji dengan cara memberi skor pada kolom di bawah kode sampel sesuai dengan status kesukaan yang anda pribadi rasakan. Skor kesukaan terdiri atas : 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (netral), 5 (agak suka), 6 (suka), 7 (sangat suka).
6. Isikan komentar anda terhadap sampel yang disajikan pada kotak komentar
Atribut Sampel
Warna Kecerahan Aroma Tekstur Overall
Lampiran 13 Borang Penilaian Sensori Jamur Tiram Rehidrasi
UJI RATING HEDONIK
Produk : Jamur Tiram Rehidrasi No Booth :
Nama : Tanggal :
Petunjuk :
1. Anda akan mendapat 6 sampel uji yang akan diberikan satu persatu.
2. Lakukan penilaian terhadap sampel uji (satu persatu dan tidak dibandingkan antar sampel). Abaikan ukuran dan bentuk jamur.
3. Beri penilaian terhadap warna, kecerahan, aroma, tekstur serta jamur secara keseluruhan (overall). Penilaian terhadap tekstur dilakukan dengan cara menggigit sampel.
4. Tuliskan kode sampel pada kolom kosong yang tersedia.
5. Tuliskan respon anda terhadap sampel yang sedang diuji dengan cara memberi skor pada kolom di bawah kode sampel sesuai dengan status kesukaan yang anda pribadi rasakan. Skor kesukaan terdiri atas : 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (netral), 5 (agak suka), 6 (suka), 7 (sangat suka).
6. Isikan komentar anda terhadap sampel yang disajikan pada kotak komentar
Atribut Sampel
Warna Kecerahan Aroma Tekstur Rasa
Overall
Lampiran 14 Hasil Uji Organoleptik Sampel Jamur Tiram Kering
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
2. Kecerahan
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
3. Aroma
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
4. Tekstur
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
Lampiran 15 Hasil Uji Organoleptik Sampel Jamur Tiram yang Telah Direhidrasi
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
2. Kecerahan
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
3. Aroma
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
4. Tekstur
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
5. Rasa
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
Lampiran 16 Dokumentasi Penelitian Fluidized Bed Dryer
1. Tampak Depan (pintu tertutup) 2. Tampak Depan (pintu terbuka)
3. Tampak Dalam
5. Saluran Pengeluaran Udara Kering Panas (Tampak atas)
Jamur Tiram
1. Jamur Tiram Setelah Pretreatment*
2. Jamur Tiram saat Pengeringan Menit ke-10*
4. Jamur Tiram saat Pengeringan Menit ke-20*
6. Jamur Tiram saat Pengeringan Menit ke-40*
8. Jamur Tiram saat Pengeringan Menit ke-90*
9. Jamur Tiram saat Pengeringan Menit ke-150*
12.Jamur Tiram setelah Direhidrasi***
Keterangan:
* dari kiri ke kanan : JS, JC, JB, JMa, JMb, JMc. ** dari atas ke bawah : JS, JC, JB, JMa, JMb, JMc