• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PELATIHAN SBAR DENGAN METODE ROLE-PLAY TERHADAP SKILL KOMUNIKASI HANDOVER MAHASISWA KEBIDANAN DI BANGSAL NIFAS RS AISYIYAH MUNTILAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PELATIHAN SBAR DENGAN METODE ROLE-PLAY TERHADAP SKILL KOMUNIKASI HANDOVER MAHASISWA KEBIDANAN DI BANGSAL NIFAS RS AISYIYAH MUNTILAN"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

HANDOVER MAHASISWA KEBIDANAN

DI BANGSAL NIFAS RS AISYIYAH

MUNTILAN

Kharisah Diniyah, Elsye Masia Rosa

Program Studi Magisiter Manajemen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

INTISARI

Komunikasi efektif merupakan salah satu komponen dalam standar patien safety, dimana salah satunya diterapkan dalam kegiatan handover. Komonikasi dikatakan efektif jika informasi yang diberikan jelas dan akurat. Kompetensi ini harus dimiliki oleh seluruh petugas kesehatan yang terlibat dalam kegiatan perawatan pasien termasuk mahasiswa kebidanan yang sedang melaksanakan Praktik Klinik Kebidanan. Skill komunikasi efektif ini berisi informasi yang menggambarkan kondisi pasien, latar belakang perawatan, yang kemudian dianalisa untuk menentukan tindakan yang tepat pada pasien tersebut. Maka diperlukan standar komunikasi efektif, sehingga pelaksanaannya dapat terstandar dan terukur, salah satunya menggunakan SBAR (Situation Background Assessment Recommendation).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh role play terhadap skill komunikasi efektif pada mahasiswa kebidanan saat melakukan handover di bangsal nifas RS ‘Aisyiyah Muntilan. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian quasi experiment dengan one-group pre-post test design. Responden pada penelitian ini adalah mahasiswa kebidanan tahun ke 2 dan ke 3 yang sedang melaksanakan praktik klinik kebidanan sebanyak 29 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, dan dianalisa menggunakan uji Wilcoxon Match Pairs Test.

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil pada pre test didapatkan skill komunikasi efektif responden hanya 3,45% termasuk dalam kategori baik, dan mengalami peningkatan yang setelah mendapatkan role play komunikasi efektif metode SBAR menjadi 62,1% dan menjadi 100% setelah melakukan simulasi dengan menggunakan kasusu nyata. Role play komunikasi efektif menggunakan metode SBAR datap meningkatkan skill komunikasi secara signifikan dimana P=0.000 (P<0,05).

Kesimpulan pada penelitian ini adalah role play komunikasi efektif menggunakan metode SBAR dapat meningkatkan skill komunikasi efektif pada saat melakukan handover dan akan memberikan hasil yang lebih baik jika dilakukan dengan menggunakan kasus nyata. Sehingga penggunaan metode komunikasi SBAR dapat dijadikan salah satu standar komunikasi efektif yang dapat diterapkan pada saat melakukan handover.

(2)

HANDOVER OF MIDWIFERY STUDENS

IN POSTPARTUM WARD

RS AISYIYAH MUNTILAN

Kharisah Diniyah, Elsye Masia Rosa

Program Study Magisiter Manajemen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRACT

Effective communication is a component in patient safety standards, one of which is implemented in the handover activity. Communication said to be effective if the information provided is clear and accurate. These competencies must be owned by all health workers involved in patient care activities including midwifery students who are conducting Obstetrics Clinical Practice. Effective communication skill conveys information that describes the condition of the patient, the background of the treatment, which was then analyzed to determine the appropriate action. It requires effective communication standards, so that its implementation can be standardized and measured. One of the widely used standard is the SBAR (Situation Background Assessment Recommendation).

This study aims to determine the effect of role play on effective communication skills in handover activity of midwifery students in the postpartum ward RS 'Aisyiyah Muntilan. This study uses a quasi experiment research design with a one-group pre-post test design. Respondents in this study are 29 students from 2nd and 3rd year students of midwifery who are conducting obstetrics clinical practice. The data collection is done by observation, and analyzed using the Wilcoxon Match Pairs Test.

Results obtained in the pre-test shows only 3.45% respondents categorized as having effective communication skills. After effective communication role play with SBAR method the percentage increased to 62.1% and after performing simulation using real case it increased to to 100%. Role play using SBAR can significantly improve communication skills where P = 0.000 (P <0.05).

The conclusion of this research is the effective communication role play using the SBAR method can improve effective communication skills at the time of handover and will give better results if done using real cases. So SBAR communication methods can be used as an effective communication standard that can be applied at the time of handover.

(3)

A. LATAR BELAKANG

Keselamatan pasien merupakan komponen penting dalam peningkatkan kualitas dan mutu pelaksanaan layanan kesehatan. Di banyak penelitian diperoleh hasil bahwa kesalahan pada saat memberikan informasi tentang perawatan yang diperoleh pasien di rumah sakit berakibat meningkatnya angka kesakitan, kematian, serta meningkatkan anggaran yang harus dikeluarkan oleh rumah sakit. Penyampaian informasi tidak tepat yang dapat menimbulkan medical error sering terjadi saat pelaksanaan handover, yang dilakukan oleh dokter kepada perawat, atau sesama perawat di waktu pergantian jaga, saat dokter penanggung jawab turun jaga, atau saat pasien dipindahkan dari unit lain, maupun antar tempat pelayanan kesehatan (Manser, 2011).

Penelitian yang dilakukan Leonard, et.al (2004) dengan Joint Commission memperoleh hasil bahwa terdapat 2.455 kejadian sentinel terjadi pada rumah sakit di seluruh Amerika Serikat. Sebanyak 70% dari total kejadian sentinel terjadi karena kesalahan atau kegagalan dalam menyampaikan maupun menerima informasi, dan 75% mengakibatkan kematian. Hasil penelitian yang disampaikan oleh Sutcliffe menyebutkan bahwa kesalahan komunikasi mengakibatkan 98.000 kematian dan mengakibatkan kerugian mencapai 17 milyard dolar (Vardaman et al., 2011).

(4)

terjadinya infeksi nasokomial pada pasien semakin tinggi.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menjaga kualitas layanan melalui kementrian kesehatan dengan mengeluarkan undang-undang tentang rumah sakit, salah satunya UU no 44 tahun Rumah Sakit, Pasal 43 ayat (1) mewajibkan Rumah Sakit menerapkan standar keselamatan pasien. Standar yang berfokus pasien dalam JCI disebutkan pada Sasaran Internasional Keselamatan Pasien (SIKP) nomor 2 yaitu meningkatkan komunikasi yang efektif (Frelita et al., 2011). Sedangkan di Indonesia sendiri komunikasi efektif ini juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Pasal 7 ayat (2) salah satunya menyebutkan bahwa komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

Upaya yang dilakukan JCI untuk mengurangi dampak akibat penyampaian dan penerimaan informasi yang tidak tepat yaitu dengan memperkenalkan metode komunikasi efektif yang dapat digunakan dalam handover, dengan komunikasi terstruktur disebut SBAR (Situation Background Assessment and Recommendation). Penggunaan komunikasi dengan metode SBAR tidak hanya

meningkatkan mutu pelayanan, tetapi juga dapat meningkatkan kualitas handover yang akan menekan angka medical error (Cynthia D. & Gayle, 2009).

(5)

Seluruh tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit memiliki andil yang sama dalam memberikan pelayanan kesehatan aman dan berkualitas, termasuk para mahasiswa yang sedang melaksanakan pratik klinik kebidanan di rumah sakit. Hal ini dikarenakan mahasiswa juga harus mengikuti seluruh kegiatan perawatan pasien baik berupa tindakan langsung maupaun tidak langsung ke pasien dengan bimbingan tenaga kesehatan yang berada di lahan praktik. Kejadian medical error juga dimungkinkan dilakukan oleh mahasiswa yang sedang bertugas di suatu rumah sakit.

Seperti halnya di rumah sakit, data yang akurat tentang laporan KTD dan KNC yang dilakukan oleh mahasiswa kebidanan pada saat praktik klinik kebidanan belum ada secara terperinci. Berdasar laporan pelaksanaan praktik klinik kebidanan pada tahun 2014 yang disusun oleh dari Tim Praktik Klinik Kebidanan Podi Kebidanan Jenjang D III STIKES ‘Aisyiyah Yogykarta terdapat kejadian medical error dilakukan oleh mahasiswa saat melaksanakan praktik klinik kebidanan di RS ‘Aisyiyah Muntilan berupa salah pemberian obat oral dan injeksi, nyaris salah

memberikan bayi, salah dosis cairan infus, dan salah memberikan diet pada pasien. Kesalahan tersebut disebabkan oleh kegagalan komunikasi yang dilakukan antara mahasiswa dengan tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit.

(6)

Metode yang banyak digunakan oleh institusi pendidikan kesehatan antara lain problem base learning (PBL), karena pada metode ini mahasiswa diberikan kesempatan belajar berdasarkan pengalaman yang menggambarkan situasi kehidupan nyata. Metode PBL digunakan untuk melatih calon tenaga kesehatan dalam menyelesaikan masalah kesehatan dan menganalisa kebutuhan pasien, dengan menerapkan pengetahuan, yang kemudian dapat diterapkan saat bertemu dengan kasus nyata pada waktu bekerja nantinya. Proses pembelajaran yang tepat akan meningkatkan motivasi, kreativitas, dan pemahaman mahasiswa terahadap materi pembelajaran yang diperoleh, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan kompetensinya (Chan, 2012).

Pendekatan pembelajaran yang komprehensif, aktif, dan melibatkan semua indera, dapat meningkatkan pemikiran yang kritis pada mahasiswa. Sebagai metode pembelajaran aktif, simulasi merupakan strategi yang efektif untuk memfasilitasi dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kemudian memungkinkan mahasiswa untuk mentransfer dan menerapkan pengetahuan mereka dalam konteks klinis (Ertmer, et.al., 2010) Bentuk simulasi yang sering digunakan salah satunya menggunakan model pembelajaran berupa role-play.

(7)

Rumah Sakit ‘Aisyiyah Muntilan merupakan salah satu tempat yang digunakan untuk praktik klinik kebidanan oleh mahasiswa, dimana mahasiswa diberikan kesempatan untuk menerapkan keilmuan yang diperoleh di pendidikan, dan di rumah sakit tersebut mahasiswa belum diajarkan menggunakan komunikasi efektif secara terstandar, termasuk pada saat handover.

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana pengaruh role-play metode SBAR terhadap skill komunikasi handover oleh mahasiswa kebidanan di bangsal nifas RS ‘Aisyiyah Muntilan?

C. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh role-play metode SBAR terhadap skill komunikasi handover oleh mahasiswa kebidanan di bangsal nifas RS ‘Aisyiyah Muntilan.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui skill komunikasi handover oleh mahasiswa kebidanan sebelum diberikan role-play komuniksai dengan metode SBAR.

b. Mengetahui skill komunikasi handover oleh mahasiswa kebidanan sesudah diberikan role-play komuniksai dengan metode SBAR.

c. Mengetahui pengaruh role-play handover oleh mahasiswa kebidanan terhadap skill komuniksai metode SBAR.

D. MANFAAT

(8)

b. Memberi masukan dalam metode komunikasi efektif pada asuhan kebidanan.

2. Aspek Praktis

a. Dapat meningkatkan kemampuan komunikasi efektif pada mahasiswa dalam memberikan asuhan kebidanan.

(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TELAAH PUSTAKA

1. Role Play

a. Pengertian

Pengalaman langsung dalam proses pembelajaran dapat berupa simulasi, yaitu pengalaman belajar dengan menggunakan situasi nyata untuk memahami tentang konsep, prinsip atau ketrampilan tertentu (Anurrahman, 2010).

Sedangkan menurut Rheba dan Martha dalam Nursalam (2008) menyatakan, simulasi merupakan bentuk proses belajar yang menjadikan mahasiswa menjadi lebih aktif dengan menyajikan situasi nyata. Metode ini akan memberi dampak berupa peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan permasalahan dengan melibatkan seluruh kemampuan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap mahasiswa.

Pembelajaran dengan metode simulasi dapat disimpulkan berupa proses pembelajaran yang memberikan pengalaman nyata, sehingga diharapkan dapat memberikan respon dalam menyelesaikan masalah.

b. Tipe simulasi

Nursalam (2008) menyebutkan bahwa tipe simulasi ada dua, berupa : 1) Latihan simulasi

(10)

2) Role-playing (bermain peran)

Suatu bentuk drama dimana peserta didik secara spontan memperagakan peran-peran dalam berinteraksi yang terkait dengan suatu masalah, dan hubungan antar manusia.

c. Tahapan simulasi

Sedagkan untuk tahap simulasi Nursalam (2008) menjelaskan ada 6 langkah, yaitu :

1) Menyampaikan tujuan.

2) Menjelaskan jalannya simulasi.

3) Mengatur peserta didik dalam menjalankan peran dalam simulasi. 4) Melakukan uji coba.

5) Memberikan komentar setelah proses simulasi. 6) Melakukan diskusi untuk membahas proses simulasi.

Berdasarkan kerucut pengalaman yang dikemukakan Edgar Dale dalam Nursalam (2008) bahwa pengalaman langsung dapat memberikan kemampuan mengingat hingga 70%, sehingga dapat mendukung kemampuan untuk merubah perilaku lebih besar. Proses pembelajaran akan memberikan dampak yang signifikan pada perubahan sikap maupun perilaku. Guna memunculkan perubahan, diperlukan adanya pengaruh dari luar berupa mekanisme stimulasi – respon. Stimulasi dapat berupa hasil pengamatan maupaun pengalaman yang akan menimbulkan respon terhadap stimulasi tersebut.

(11)

Thornike dalam Annurahman (2010) menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Thornike mengemukakan tiga hukum belajar :

1) The law of exercise

Apabila hubungan antara stimulasi dengan respon dilakukan berulang-ulang dengan kondisi yang sama, maka akan meningkatkan kekuatan hubungan, sehingga tercipta transfer of treaning.

2) The law of effect

Setiap orang cenderung mengulang atau mempelajari dengan cepat sesuatu yang menimbulkan kepuasan.

3) The law of riadiness

Seseorang yang telah siap dalam melakukan tindakan, akan memberikan hasil yang memuaskan, dan apabila tidak ada penyalurannya akan menimbulkan kekecewaan.

2. Komunikasi

a. Pengertian

Komunikasi merupakan penyampaian informasi dalam sebuah interaksi tatap muka yang berisi ide, perasaan, perhatian, makna, serta pikir, yang diberikan pada penerima pesan dengan harapan si penerima pesan menggunakan informasi tersebut untuk mengubah sikap dan perilaku (Nasir, et.al., 2009).

(12)

menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka (West & Turner, 2008).

Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pikiran-pikiran atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh penyampai pikiran-pikiran atau informasi (Ali & Sidi, 2006)

b. Bentuk-bentuk komunikasi

Bentuk-bentuk komunikasi menurut Nasir et al.(2009) terbagi dalam beberapa bentuk :

1) Aggressive Communication

Komunikasi ini dapat mengurangi hak orang lain dan cenderung untuk merendahkan/ mengendalikan/ menghukum orang lain.

2) Passive Communication (Submisivve)

Komunikasi ini lawan dari komunikasi agresif, dimana bentuk komunikasi ini cenderung mengalah, dan tidak dapat mempertahankan kepentingannya sendiri, sehingga hak mereka cenderung dilanggar, dan terjadi penolakan pasif dimana mereka hanya mengomel dibelakang. 3) Assertive Communication

Merupakan komunikasi yang terbuka menghargai diri sendiri dan orang lain, serta mengedepankan pada hubungan perasaan antar manusia.

c. Tujuan Komunikasi

(13)

Sebagai mana pendapat yang disampaikan Nasir et al.(2009), tujuan komunikasi sebagai berikut :

1) Perubahan sikap (attitude change)

Pesan yang diterima oleh komunikan (penerima pesan) menimbulkan pemahanan dan akan menumbuhkan kesadaran untuk menyetujui apa yang disampaikan oleh komunikator (pemberi pesan), sehingga mempengaruhi sikap komunikan sesuai keinginan komunikator.

2) Perubahan pendapat (opinion change)

Pemahaman yang timbul dari proses komunikasi yang dimiliki komunikan dalam menerima pesan secara cermat, akan menciptakan pendapat yang berbeda-beda.

3) Perubahan perilaku (behavior change)

Pengertian dan pemahaman terhadap suatu pesan memberikan respon pada komunikan untuk merubah perilaku.

4) Perubahan sosial (social change)

Membangun dan memelihara ikatan hubungan dengan orang lain sehingga menjadi hubungan yang makin baik, dan secara tidak sengaja komunikasi efektif akan meningkatkan keeratan hubungan interpersonal.

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi

Nasir et al.(2009) mengemukakan beberapa hal yang mempengaruhi dalam proses komunikasi :

(14)

Perbedaan setatus sosial, seperti tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jabatan atau kedudukan perlu diperhatikan untuk mendapatkan komunikasi efektif, karena pergaulan kita sudah bukan pergaulan bersifat tidak pribadi lagi, selalu dinamis, dan harus menempatkan diri pada pergaulan yang rasional. Hal ini membuat seseorang harus berfikir ulang dalam bergaul, sehingga dapat menghambat komunikasi.

2) Sosial budaya

Keberagaman budaya, suku, ras, norma, bahasa, kebiasaan hidup, dan sebagainya, membuat manusia harus beradaptasi dalam pergaulan dan berkomunikasi. Hal ini dilakukan guna memahami, menyelami, dan mengkondisikan diri dalam keterlibatan berkomunikasi.

3) Status psikologis

Seorang komunikator harus mempersiapkan kondisi psikologisnya sehingga apa yang akan disampaikan sesui dengan isi pesan tersebut. Apabila komunikan menyampaikan pesan dalam kondisi marah, kecewa, cemas, iri hati, bingung, pikiran kalut, tidak dikendalikan oleh komunikan dan terutama oleh komunikator, pesan yang disampaikan akan menimbulkan pemahaman yang berbeda.

4) Prasangka

Dugaan yang belum menjamin kebenaran dan selalu menjurus pada kesimpulan yang negatif, karena pandangan yang tidak realistis.

(15)

Bahasa yang digunakan seringkali memiliki perbedaan arti dan persepsi karena adanya perbedaan budaya, sehingga akan mengganggu dalam mempersepsikan pesan yang diberikan tidak bersahabat akan menghambat dalam upaya menerjemahkan isi pesan.

6) Lingkungan

Lingkungan yang berisik dan tidak bersahabat akan menghambat upaya menerjemahkan isi pesan, karena adanya gangguan konsentrasi dalam mempersepsikan pesan.

7) Hambatan mekanis

Penggunaan media dalam berkomunikasi terkadang menimbulkan isi pesan menjadi tidak jelas karena adanya gangguan/ hambatan pada saluran komunikasi.

3. Komunikasi Efektif Untuk Keselamatan Pasien (Patient Safety)

Sasaran keselamatan pasien menurut Permenkes tahun 2011 terdapat enam sasaran, salah satunya berupa peningkatan komunikasi efektif, yang memiliki empat elemen penilaian, berupa:

a. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.

b. Perintah lengkap secara lisan dan telepon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah.

c. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan.

(16)

4. Konsep Komunikasi S-BAR

Penggunaan standar komunikasi dalam memberikan perawatan di rumah sakit sangat diperlukan, sehingga kesalahan dan kegagalan komunikasi yang dapat mengakibatkan medical error dapat diminimalisir. Michael Leonard,MD dalam Cynthia D. & Gayle (2009) memperkenalkan bentuk komunikasi efektif yang dilakukan dalam memberikan perawatan dengan kerangka yang berisi Situasi - Latar Belakang - Assessment- Rekomendasi (Situation-Background-Assessment-Recommendation/SBAR).

a. Metode komunikasi S-BAR

Tehnik komunikasi dengan metode S-BAR terdiri dari empat langkah (Elaine,et.al.,2008):

1) Situasi

Menyampaikan apa yang terjadi dengan pasien. Di mulai dengan memperkenalkan diri, mengidentifikasi pasien, dan menyatakan masalah.

2) Background

Menyampaikan apa latar belakang pada pasien ini. Sampaikan hasil pemeriksaan penunjang dan catatan perkembangan (jika situasi dan waktu memungkinkan). Antisipasi pertanyaan yang mungkin diajukan oleh komunikator (tenaga kesehatan).

3) Penilaian (Assessment)

Menyampaikan hasil pengamatan dan evaluasi dari kondisi pasien. 4) Rekomendasi

(17)

S-BAR merupakan salah satu mekanisme yang mudah digunakan dalam sebuah percakapan, terutama guna menyampaikan hal yang kritis, dan membutuhkan perhatian segera seorang dokter untuk memberikan suatu tindakan.

Alat ini dapat mempermudah dan dijadikan standar oleh tenaga kesehatan untuk menjelaskan informasi apa yang harus dikomunikasikan antara anggota tim, dan bagaimana tindakan selanjutnya. Hal ini juga dapat membantu petugas kesehatan untuk mengembangkan dan meningkatkan budaya keselamatan pasien (Elaine et al., 2008).

5. Handover

a. Pengertian

Handover merupakan pengalihan tanggung jawab profesional dan

akuntabilitas untuk beberapa atau semua aspek perawatan pasien, kepada sesama profesi atau antar profesi untuk sementara atau dalam jangka waktu yang lama (Manser, 2011).

Handover merupakan proses pelimpahan tanggung jawab dalam merawat

pasien yang dilakukan seorang tenaga kesehatan pada tenaga kesehatan lain (Criscitelli, 2013).

b. Tujuan handover

Pentingnya handover dalam memberika layanan yang berkelanjutan karena bertujuan untuk (Riesenberg, 2012) :

1) Mentransfer informasai

(18)

4) Interaksi sosial dan pengembangan solidaritas tim (menciptakan atmosfer positif dalam tim)

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi handover

Efektifitas proses handover dipengaruhi oleh lima hal (Gobel et al., 2012) : 1) Kurangnya informasi yang memadai.

2) Ketersediaan dan kesempatan melakukan kontak langsung antar petugas.

Membangun hubungan yang baik antara petugas kesehatan, akan memudahkan para petugas untuk melakukan komunikasi terutama pada proses handover akan lebih baik.

3) Feed back, pelatihan, dan standar pelaksanaan handover.

4) Teknologi informasi yang disediakan untuk membantu dalam berkomunikasi.

5) Peran dan tanggung jawab pasien.

d. Tahap handover

Pelaksanaan handover terdiri dari beberapa tahap (Riesenberg, 2012) : 1) Pra kerja/ pra handover dimana petugas kesehatan yang akan

(19)

2) Handover yang sebenarnya yaitu memberikan informasi yang telah disiapkan kepada petugas penerima handover.

3) Merespon informasi yang diterima merupakan kegiatan dapat berupa mengklarifikasi informasi yang diberikan oleh petugas pemberi handover, termasuk menanyakan tindakan yang sudah diberikan

maupun yang masih direncanakan. 4) Menerima pengalihan tanggung jawab. e. Pelaksanaan Handover

Pelaksanaan handover dilakukan berupa :

1) Handover dilaksanakan setiap pergantian shift atau operan.

2) Saat berada di ruang jaga perawat berdiskusi untuk melaksanakan handover dengan mengkaji secara komprehensif yang berkaitan tentang

masalah keperawatan klien, rencana tindakan yang sudah dan belum dilaksanakan serta hal-hal penting lainnya yang perlu dilimpahkan. 3) Hal-hal yang sifatnya khusus dan memerlukan perincian yang lengkap

sebaiknya dicatat secara khusus untuk kemudian diserahterimakan kepada perawat yang berikutnya.

Menurur Nursalam (2014) hal-hal yang perlu disampaikan pada saat handover antara lain :

1) Identitas klien dan diagnosa medis.

(20)

5) Rencana umum dan persiapan yang perlu dilakukan dalam kegiatan selanjutnya, misalnya operasi, pemeriksaan penunjang lainnya, konsultasi atau prosedur lainnya yang tidak dilaksanakan secara rutin. 6) Klarifikasi dapat dilakukan, tanya jawab dan melakukan validasi

terhadap hal-hal yang kurang jelas secara singkat dan jelas

7) Lama handover untuk setiap klien tidak lebih dari 5 menit kecuali pada kondisi khusus dan memerlukan penjelasan yang lengkap dan rinci, dituliskan secara langsung pada buku laporan ruangan.

f. Hal-hal yang disampaikan pada handover pasien nifas.

Melakukan observasi perubahan fisiologis postpartum pada ibu dan bayi merupakan salah satu manajemen kebidanan yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan khususnya bidan (Fraser dan Cooper, 2009).

Hal- hal yang harus diperhatikan pada perubahan post partum menurut Varney (2015) antara lain :

1) Tanda-tanda vital, berupa tekanan darah, nadi, suhu, dan pernafasan. 2) Observasi payudara, berupa keadaan fisiknya, pengeluarannya, serta

kemampuan menyusuinya. 3) Perubahan uterus (involusio)

4) Pengeluaran pervaginam (lochea) berupa jenisnya, banyaknya, dan baunya.

5) Perawatan perineum, dengan melakukan perawatan luka perineum, mengobservasi adanya memar, edema, hematoma, tanda-tanda inflamasi, sampai peradangan hingga terjadi pengeluaran nanah.

(21)

8) Extremitas, untuk mengamati kemungkinan terjadinya varicosities, edema.

(22)

B. PENELITIAN TERDAHULU

Tabel 1. Daftar penelitian terdahulu dan perbedaan dengan penelitian ini Nama

Pemeliti

Cemy Nur Fitria Ananta Arya Wijaya I Wayan, Sukadarma IGN Ketut, Asdiwinata I Nyoman

James M. Vardaman, Paul Cornell, Maria B. Gondo, John M. Amis, Mary Townsend-Gervis, Carol Thetford

Erel Joffe; James P. Turley, Kevin O. Hwang, Todd R. Johnson, Crag W. Johnson, Elmer V. Berstam,

Tahun 2013 2014 2011 2013

Judul Efektifitas pelatihan

komunikasi SBAR dalam meningkatkan motivasi dan psikomotor perawat di ruang medikal bedah RS PKU Muhammadiyah Surakarta

Pengaruh Edukasi Teknik SBAR Saat Handover Terhadap Penerapan Sasaran International Patient Safety Goals 2 (Ipsg 2) Di Ruang Rawat Inap Nakula Dan Sahadewa Rsud Sanjiw Ani Gianyar

Beyond communication: The role of standardized protocols in a changing

health care environment

Evaluation of a Problem-Specific SBAR Tool to Improve After-Hours Nurse-Physician Communication

(Erel et al., 2013)

Metode Quasi eksperimental dengan pendekatan pre-test dan post-test only within control group

Quasi eksperimental dengan pendekatan one-group Pre test-post test design

Penelitian kualitatif dengan desain studi kasus

(23)

Hasil Terdapat perbedaan yang bermakna pada motivasi dan psikomotor sebelum dan sesudah pelatihan komunikasi SBAR

Adanya pengaruh edukasi teknik SBAR saat handover terhadap penerapan sasaran International Patient Safety Goals 2 (IPSG 2) di ruang rawat inap Nakula dan Sahadewa RSUD Sanjiwani Gianyar

SBAR dapat digunakan dalam standar baku

komunikasi efektif, terbentuk skema pengambilan

keputusan yang cepat, pengembangan legitimasi, pengembangan model social, penguatan dominant logics.

Komunikasi efektif

menggunakan telefon antara dokter dan perawat dengan berbasis metode SBAR tidak menunjukkan hasil yang bermakna terhadap kelengkapan informasi maupun informasi utama.

Perbe-daan dengan peneliti-an ini

Variabel terikat yang diukur berupa skill komunikasi saat handover

Variabel bebas berupa pengaruh perlakuan dengan role play

Metode penelitian yang digunakan berupa Quasi eksperimental dengan pendekatan one-group Pre test-post test design

(24)

C. LANDASAN TEORI

1. Proses belajar, menurut Thorndike, merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulasi yang menimbulkan respon terhadap stimulasi tersebut.

2. Berdasarkan kerucut pengalaman yang dikemukakan Edgar Dale bahwa bentuk pembelajaran simulasi dalam bentuk role-play dengan menggunakan situasi nyata untuk memberikan pengalaman langsung, dapat meningkatkan kemampuan mengingat sampai 70%, sehingga dapat mendukung terjadinya perubahan perilaku lebih besar yang merupakan salah satu tujuan dari komunikasi (Nursalam, 2008).

3. Michael Leonard, MD memperkenalkan bentuk komunikasi efektif yang dilakukan dalam memberikan perawatan dengan kerangka yang berisi Situasi - Latar Belakang - Assessment- Rekomendasi (Situation-Background-Assessment-Recommendation/SBAR) (Cynthia D. & Gayle, 2009). SBAR merupakan salah

satu mekanisme yang mudah digunakan terutama hal yang kritis, membutuhkan perhatian segera baik (Elaine et al., 2008).

(25)

D. KERANGKA TEORI

Patent safety

belajar stimulasi respon

Role play Skill komunikasi

SBAR

Situation Background Assessment Recommendation - Komunikasi efektif

- Ketepatan identifikasi - Peningkatan keamanan obat

yang perlu diwaspadai - Kepastian tepat lokasi, tepat

prosedur, tepat pasien operasi

- Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan - Pengurangan resiko cedera

pada pasien akibat jatuh

handover

informasi

Kontak langsung Pelatihan

(26)

KERANGKA KONSEP E. F. G. H. I. J. K. L. Keterangan :

Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti :

A. HIPOTESIS

Berdasar pertanyaan penelitian, maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut : Ha : Role-play SBAR dapat mempengaruhi peningkatan skill komunikasi handover

pada mahasiswa kebidanan di bangsal nifas RS ‘Aisyiyah Muntilan. 6 sasaran patient safety :

1. Komunikasi efektif 2. Ketepatan identifikasi

Role-play Komunikasi SBAR

pada handover

Skill Komunikasi :

1. Mampu

mempersiapkan informasi yang akan disampaikan

2. Mampu

mengkomunikasikan informasi secara singkat dan tepat 3. Mampu

mengklarifikasi atau merespon informasi yang diterima 3. Peningkatan

keamanan obat yang perlu diwaspadai 4. Kepastian tepat lokasi,

tepat prosedur, tepat pasien operasi 5. Pengurangan resiko

infeksi terkait pelayanan kesehatan 6. Pengurangan resiko

cedera pada pasien akibat jatuh

1. Ketersediaan informasi 2. Kontak langsung antar

petugas.

(27)

BAB III

METODE PENILITIAN

A. Jenis dan Rencana Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan penelitian quasi eksperimen dengan times series design. Kelompok eksperimen yang digunakan hanya satu kelompok dengan melakukan observasi (pre-test) sebelum dilakukan intervensi sebagai data awal, dan kemudian diobsevasi setelah dilakukan intervensi (post-test) dan diambil sebagai data kedua, kemudian dilakukan observasi kedua satu minggu kemudian yang diambil sebagai data ketiga (Nursalam, 2008). Bentuk rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Disain Penelitian

Pre-Test Perlakuan Post-Test 1 Post-Test 2

O1 X O2 O3

Keterangan :

O1 : Skill komunikasi handover yang diukur sebelum dilakukan role-play SBAR. X : Role-play komunikasi SBAR pada handover.

O2 : Skill komunikasi handover yang diukur setelah dilakukan role-play SBAR. O3 : Skill komunikasi handover yang diukur setelah observasi ke dua

B. Subjek Penelitian

(28)

kebidanan pada ibu nifas, dan melaksanakan praktik klinik kebidanan di bangsal nifas RS ‘Aisyiyah Muntilan.

C. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober – Desember 2015 :

1. Dimulai dengan observasi tahap satu pada bulan Oktober sebelum diberikan kuliah komunikasi efektif metode SBAR pada handover.

2. Kuliah komunikasi efektif metode SBAR pada handover diberikan selama 100 menit.

3. Observasi tahap dua dilakukan setelah mendapatkan kuliah selama 60 menit yang dilakukan di skill laboratorium menggunakan studi kasus.

4. Observasi tahap tiga dilakukan satu minggu setelah observasi tahap dua, yang dilakukan di bangsal nifas RS ‘Aisyiyah Muntilan menggunakan kasus nyata.

D. Populasi dan Besar Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa kebidanan jenjang D III tahun ke 2 sebanyak 11 orang dan ke 3 sebanyak 18 orang yang telah mengikuti mata kuliah asuhan kebidanan pada ibu nifas, dan melaksanakan praktik klinik kebidanan di bangsal nifas RS ‘Aisyiyah Muntilan sejumlah 29 orang.

2. Sampel

(29)

mengikuti mata kuliah asuhan kebidanan pada ibu nifas, dan yang melaksanakan praktik klinik kebidanan di RS ‘Aisyiyah Muntilan.

E. Variabel Penelitian

1. Variabel independen (bebas) : role-play SBAR

2. Variabel dependen (terikat) : skill komunikasi handover

F. Definisi Operasional

1. Role-play merupakan bentuk pembelajaran berupa melaksanakan suatu kegiatan dengan mensimulasikan komunikasi efektif menggunakan metode SBAR berdasarkan skenario yang telah dibuat, dengan satu kali pertemuan memberikan kuliah selama 100 menit, dilanjutkan simulasi komunikasi efektif 60 menit di skill lab STIKES ‘Aisyiyah dan dipraktikkan di bangsal nifas RS ‘Aisyiyah Muntilan satu minggu setelah mendapatkan pelatihan.

2. Skill komunikasi handover menunjukkan ketrampilan melakukan tindakan yang sesuai dengan standar berupa komunikasi efektif menggunakan SBAR pada saat melakukan operan jaga. Informasi yang diberikan harus akurat, disampaikan secara singkat dan jelas. Handover dilakukan antara mahasiswa kebidanan yang sedang berjaga dengan mahaiswa kebidanan yang menggantikan jaga. Cara pengukuran menggunakan check-list observasi yang berisi delapan pernyataan pernyataan, dengan penilaian :.

Nilai 2 : apabila seluruh item dalam setiap pernyataan dilaksanakan dengan lengkap.

Nilai 1 : apabila hanya sebagian pernyataan dilakukan, atau dilakukan tidak secara sistematis.

(30)

Pengamatan dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh asisten peneliti, yang dilakukan pada tiga tahap :

Tahap I : sebelum diberikan pelatihan komunikasi efektif metode SBAR Tahap II : setelah diberikan pelatihan komunikasi efektif metode SBAR pada

hari yang sama selama 60 menit.

Tahap III : satu minggu setelah diberi pelatihan dilakukan menggunakan kasus nyata di bangsal nifas

Batas untuk menentukan kategori menggunakan nilai median, yaitu:

Dikatakan baik jika nilai X > 12,31, dan kurang baik jika niali X < 12,31, skala datanya nominal (Dahlan, 2013).

G. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil modifikasi peneliti yang diadadaptasi dari Fitria (2013). Instrumen penelitian ini menggunakan daftar pernyataan berbentuk check-list, terdiri dari delapan item penilaian dengan pernyataan yang berisi tiga alternatif jawaban yaitu nilai 2 apabila seluruh item dalam setiap pernyataan dilaksanakan seluruhnya dan secara sistematis, dan nilai 1

apabila hanya sebagian pernyataan dilakukan, dan atau tidak dilakukan secara sistematis, nilai 0 apabila pernyataan tidak dilakukan.

H. Uji Validitas dan Reliabilitas

(31)

komponen, yaitu S (Situation), B (Background), A (Assesment), R (Recommendation). Instrumen penelitian ini menggunakan daftar pernyataan berbentuk check-list, terdiri dari delapan item penilaian dengan pernyataan yang berisi tiga kriteria penilaian yaitu nilai 2 apabila seluruh item dalam setiap pernyataan dilaksanakan seluruhnya, nilai 1 apabila hanya sebagian pernyataan dilakukan, dan nilai 0 apabila pernyataan tidak dilakukan. Uji validitas dilakukan dengan menggunakan Content Validity Index (CVI) yang dilakukan oleh 3 expert reviewers, dimana setiap item dinilai berdasakan relevansi, kejelasan,

kesederhanaan, dan ambiguitas dengan skala poin empat, dan dikatakan valid jika setiap item memiliki nilai lebih dari 0.75 (Yaghmale, 2003).

Setelah dilakukan uji validitas dengan menggunakan Content Validity Index (CVI), instrument ini diuji reabilitasnya pada 20 responden menggunakan software, dan dikatakan reliable jika nilai r > dari r table yaitu 0,4227.

I. Analisis Data

1. Tahap pengolahan data meliputi editing, coding, processing dan cleaning (Notoatmodjo, 2010).

2. Analisis data yang digunakan meliputi : A. Analisis Univariat

Analisa univariat digunakan untuk menghitung distribusi frekwensi dan presentase sehingga diketahui gambaran karakteristik responden.

B. Analisis Bivariat

Penelitian ini dilakukan pada dua variabel, untuk mengukur perbedaan skill handover sebelum dan sesudah melakukan role-play komunikasi SBAR

(32)

mengukur besar perbedaan pengaruh perlakuan dilakukan analisa post hoc menggunakan Wilcoxon Match Pairs Test. Hasil dinyatakan bermakna jika P<0,05 dan tidak bermakna jika P<0,05 (Dahlan, 2013).

J. JALANNYA PENELITIAN

Observasi pelaksanaan handover sebelum menggunakan metode SBAR di skil lab

Kuliah tentang penggunaan komunikasi efektif metode SBAR (100 menit )

Role-play 1. Menyampaikan tujuan.

2. Menjelaskan jalannya role-play. 3. Mengatur peran dalam role-play. 4. Melakukan uji coba.

Menerima hand over dengan memastikan informasi dipahami dan verifikasi dokumentasi

Pelaksanaan hand over menggunakan metode komunikasi SBAR (Merespon informasi yang ada)

5. Memberikan feed back

6. Mendiskusikan proses role-play. Persiapan Hand over

(Mempersiapkan diri dan informasi)

(33)

K. Etika Penelitian

Etika penelitian merupakan hal yang sangat penting, karena tidak terlepas dari hubungan langsung dengan manusia, maka menurut Sulistyaningsih (2011) perlu diperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut.:

1. Menjamin Kerahasiaan Responden (Anonimity)

Kerahasiaan responden dijamin dengan cara tidak mencantumkan nama responden dalam pengisian instrumen penelitian maupun hasil penelitian. Nama responden diganti dengan pemberian nomor kode responden.

2. Menjamin Keamanan Responden

Kegiatan penelitian tidak membahayakan kesehatan, keselamatan responden. 3. Mendapat Persetujuan Responden

(34)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran RS ‘Aisyiyah Muntilan

RS Aisyiyah Muntilan sebagai sarana pelayanan kesehatan di wilayah kabupaten Magelang berdiri sejak 20 Agustus 1966 dengan embrio berupa klinik balai pengobatan yang kemudian beralih menjadi Rumah Bersalin dan BKIA dan kemudian mendirikan gedung baru BKIA di lokasi sekarang yaitu Jl. KH. A. Dahlan No. 24, Muntilan. Menjawab kebutuhan masyarakat akan pelayanan yang paripurna, dan meliputi semua golongan umur, maka pada tanggal 6 September 2012 telah memperoleh ijin sementara dari Bupati Magelang untuk beralih menjadi RS Umum.

Sejak tahun 2004 RS melakukan penambahan sarana prasarana guna meningkatkan jaminan mutu kepada pasien dan meningkatkan kesejahteraan karyawan sebagai asset paling utama rumah sakit meliputi adanya rawat inap persalinan dan anak-anak, rawat inap dewasa, unit gizi dan laundry. Unit pelayanan rawat inap di bangsal nifas terdiri dari 17 tempat tidur dengan tenaga kesehatan yang keseluruhannya adalah bidan berjumlah 7 orang, terdiri dari 3 shif jaga, masing-masing 2 orang.

2. Gambaran Subjek Penelitian

Responden pada penelitian ini adalah mahasiswa STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta

(35)

melaksanakan praktik klinik kebidanan di RS ‘Aisyiyah Munthilan. Pelaksanaan

praktik klinik ini merupakan bentuk pembelajaran berbasis Student Center Learning, dimana mahasiswa diberikan pengalaman nyata, sehingga diperoleh

gambaran tentang kasus yang mungkin akan dihadapi saat bekerja.

3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

Penelitian ini menggunakan intrumen yang diadaptasi dari Fitria (2013)

Efektifitas Pelatihan Komunikasi SBAR dalam Meningkatkan Motivasi dan Psikomotor Perawat di Ruang Medikal Bedah RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Instrumen tersebut terdiri dari empat komponen, yaitu S (Situation), B (Background), A (Assesment), R (Recommendation). Instrumen penelitian ini menggunakan daftar pernyataan berbentuk check-list, terdiri dari delapan item penilaian dengan pernyataan yang berisi tiga kriteria nilai yaitu nilai 2 apabila seluruh item dalam setiap pernyataan dilaksanakan seluruhnya, nilai 1 apabila hanya sebagian pernyataan dilakukan, dan nilai 0 apabila pernyataan tidak dilakukan.

(36)

4. Hasil Penelitian

a. Analisa Unvariat

[image:36.595.124.483.215.503.2]

Karakteristik responden pada penelitian ini dilihat dari usia, tahun yang sedang ditempuh, suku, pengalaman mengikuti dan melaksanakan handover.

Tabel 3. Gambaran distribusi frekwensi karakteristik responden

No Karakteristik Responden N % 1 Usia

< 20 tahun 11 37,9

≥ 20 tahun 18 63,1

Total 29 100

2 Suku Bangsa

Jawa 21 72.4

Bukan Jawa 8 27,6

Total 29 100

3 Tahun Yang Ditempuh

Tahun ke 2 11 37,9

Tahun ke 3 18 63,1

Total 29 100

4 Pengalaman Mengikuti Handover

Pernah 29 100

Belum pernah 0 0

Total 29 100

5 Pengalaman Melaksanakan Handover

Pernah 24 82,8

Belum pernah 5 17,2

Total 29 100

Sumber : data primer 2015

[image:36.595.78.486.701.775.2]

Tabel 3 menunjukkan gambaran karakteristik 29 orang responden dimana 63,1% berusia 20 tahun atau lebih, 72,4% suku jawa. Sebanyak 63,1% merupakan mahasiswa kebidanan jenjang D III yang menempuh pendidikan tahun ke 3 dan 37,9% tahun ke 2. Selama mengikuti proses pembelajaran praktik klinik kebidanan, sudah pernah mengikuti pelaksanaan handover, dan sebanyak 24 orang (82,8%) pernah melaksanakan handover.

Tabel 4. Pengalaman Melaksanakan Handover

Pernah Melaksanakan Handover

belum pernah melakukan handover

sudah pernah melakukan

handover TOTAL

N % N % N %

(37)

Ke 3 4 13.8 14 48.3 18 62.1

Total 5 17.2 24 82.8 29 100.0

Sumber: data primer 2015

[image:37.595.88.486.85.127.2]

Berdasar data pada table 3 dan 4 diketahui bahwa 5 orang mahasiswa (17.2%) yang belum pernah melaksanakaan handover, 1 orang merupakan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan tahun ke 2 dan 4 orang di tahun ke 3.

Tabel 5. Perbandingan skill komunikasi efektif sebelum-sesudah diberikan pembelajaran role play berdasar tahun pendidikan

Tahun Pendidikan

P

Ke 2 Ke 3

n % n %

Skill Komunikasi Pre Test kurang baik 10 34.48 18 62.07 0,193

Baik 1 3.45 0 0

Total 11 37.93 18 62.07

Skill Komunikasi Post Test 1 kurang baik 8 27.59 3 10.34 0.003

Baik 3 10.35 15 52.72

Total 11 37.93 18 62.07

Skill Komunikasi Post Test 2 Baik 11 37.93 18 62.07 -

Total 11 37.93 18 62.07

Sumber : data primer 2015

Kemampuan komunikasi efektif pada mahasiswa kebidanan tahun ke 2 maupun ke 3 sebesar 96.55% termasuk dalam kategori kurang baik, dan hanya 1 mahasiswa di tahun ke 2 yang termasuk dalam kategori baik. Terdapat pengaruh role play terhadap kemampuan skill komunikasi termasuk dalam kategori baik sebanyak 3 dari 8 orang (27,27%) pada mahasiswa tahun ke 2, dan pada mahasiswa tahun ke 3 sebanyak 15 dari 18 orang (83,34%).

Gambar 3. Grafik Skor Rata-Rata Komunikasi Efektif Pada Pelaksanaan

[image:37.595.81.484.252.411.2]
(38)

Sumber: data primer 2016

Observasi pelaksanaan komunikasi efektif menggunakan metode SBAR pada handover terdiri dari 8 item, terdiri dari item 1 persiapan, item 2 menjelaskan

identitas pemberi pada penerima handover, item 3 komponen Situation (S), item 4 komponen Background (B), item 5 komponen Assesment (A), item 6 komponen Recomenddation (R), item 7 konfirmasi informasi, item 8 sistematik pelaksanaan. Hasil observasi menunjukkan perubahan berupa kenaikan skor antara pre test dengan post test 1, dan kenaikan skor dari post test 1 dengan post test 2, kecuali item 2 berupa menjelaskan identitas pemberi pada penerima

handover mengalami kenaikan skor pre test 16 menjadi 47 pada post test 1,

akan tetapi mengalami penurunan pada post test 2 menjadi 42.

[image:38.595.146.483.88.279.2]
(39)

Sumber: data primer 2015

Hasil pre test skill komunikasi efektif pada mahasiswa kebidanan sebelum diberikan role-play menunjukan 96,6% termasuk dalam kategori kurang baik dan 3,4% dalam kategori baik. Setelah diberikan perlakuan berupa pemberian materi dan simulasi komunikasi efektif metode SBAR pada saat handover, tampak dari gambar 3 terdapat peningkatan skill komunikasi dimana seluruh mahasiswa memiliki kemampuan melakukan komunikasi efektif pada saat timbang terima termasuk dalam kategori baik.

Tabel 6. Perbandingan skill komunikasi efektif pada mahasiswa yang memiliki pengalaman melakukan handover pada pre-postrole-play dengan metode SBAR

Pengalaman Melaksanakan Handover

belum

pernah

sudah

pernah Total P

N % N % N %

Pre Test kurang baik 5 17.2 23 79.3 28 96.6 0.64

baik 0 0.0 1 3.4 1 3.4

Total 5 17.2 24 82.8 29 100

Post Test 1 kurang baik 1 3.4 10 34.5 11 37.9 0.36 baik 4 13.8 14 48.3 18 62.1

[image:39.595.140.483.87.275.2]
(40)

Pengalaman Melaksanakan Handover

belum

pernah

sudah

pernah Total P

N % N % N %

Post Test 2 baik 5 17.2 24 82.8 29 100.0 -

Total 5 17.2 24 82.8 29 100

Sumber : data primer 2015

Berdasarkan tabel 6 menunjukkan hasil pengamatan menggunakan lembar observasi skill komunikasi efektif, 28 (96,6%) orang terdiri dari 5 orang (17,2%) mahasiswa yang belum pernah dan 24 orang (82,8%) yang sudah pernah melakukan handover memiliki skill komunikasi efektif dalam kategori kurang baik, dan hanya 1 orang (3,4%) termasuk dalam kategori baik sebelum diberikan perlakuan berupa pembelajaran role-play komunikasi efektif dengan menggunakan metode SBAR pada saat handover. Terjadi peningkatan kemampuan komunikasi efektif setelah diberikan pembelajaran role-play komunikasi efektif dan melaksanakan simulasi pada kasus nyata baik dikelompok yang belum memiliki pengalaman melakukan handover maupun yang sudah termasuk dalam kategori baik.

b. Analisis Bivariat

1) Uji Homogenitas

Data yang ada dalam penelitian ini berjumlah kurang dari 50, sehingga uji homogenitas yang dipilih adalah menggunakan Shaphiro-Wilk.

Tabel 7. Hasil analisa uji normalitas data pada lembar observasi skill

komunikasi efektif

N p Ket

[image:40.595.90.490.87.207.2]
(41)

Berdasar table 7 diperoleh nilai P 0.002 pada pre test, 0.026 pada post test 1, dan 0.002 pada post test 2, hal ini menunjukkan bahwa nilai P hitung < 0.05 dan dapat disimpulkan bahwa distribusi data pada penelitian ini tidak normal, sehingga uji beda menggunakan uji nonparametric yaitu Wilcoxon.

Tabel 8. Hasil analisa uji Wilcoxon pada Skill Komunikasi Efektif Metode SBAR pada Handover seselum dan sesudah dilakukan Role-Play

N Median (minimum-maksimum) P Nilai Pre Test- Post Test 1 29 6 (4-13) 0.000 Nilai Pre Test- Post Test 2 29 13 (6-13) 0.000 Nilai Post Test 1- Post Test 2 29 14 (12-16) 0.001

Sumber: data primer 2015

Table 8 menunjukkan hasil nilai P 0.001 sehingga P<0.05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada skill komuniksi efektif metode SBAR saat handover sebelum dengan

sesudah diberikan pembelajaran dengan role-play.

Skill komunikasi efektif pada mahasiswa kebidanan didapati 1 orang

memiliki kemampuan kurang baik, 10 orang tidak mengalami perubahan yang terdiri dari 1 orang termasuk dalam kategori baik dan 9 orang dalam kategori kurang baik sebelum diberi perlakuan, dan 18 orang termasuk dalam kategori baik setelah mendapatkan perlakuan berupa pembelajaran role-play komunikasi efektif metode SBAR. Setelah diberikan perlakuan kedua berupa simulasi komunikasi efektif dengan menggunakan kasus nyata pada saat handover diperoleh hasil 28 orang mengalami perubahan dan 1 orang tetap memiliki skill komunikasi efektif dalam kategori baik.

B. Pembahasan

(42)

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam menciptakan kerjasama antar tim guna tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal. Selain itu komunikasi juga dapat membangun suasana dan hubungan kerja yang positif (Cynthia D. & Gayle, 2009). Ketrampilan dalam berkomunikasi selama handover merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai hasil

perawatan yang diberikan kepada pasien secara optimal, serta menurunkan medical error diakibatkan kegagalan komunikasi oleh petugas kesehatan,

didalamnya termasuk mahasiswa yang sedang menempuh stase praktik klinik. Sehingga diperlukan strategi pembelajaran tentang komunikasi efektif secara sistematis untuk meningkatkan keamanan dan perawatan berkualitas (Kasten, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan karakteristik responden pada rentang 18 – 21 tahun, dimana 63,1% berusia 20 tahun atau lebih. Usia merupakan hal yang penting karena mempengaruhi kematangan kognitif, perkembangan intelektual, kepribadian, dan emosional (Jahja, 2011).

Usia 20-an merupakan tahap awal periode dewasa. Periode ini seseorang mulai dapat mengendalikan emosi, berfikir logis, kemampuan dalam mempertimbangkan segala sesuatu secara adil lebih meningkat, lebih terbuka, sehingga lebih matang dalam berfikir dan bekerja (Jahja, 2011).

(43)

intelektual sehingga proses pembelajaran akan mudah diterima dan lebih peka terhadap stimulasi yang diberikan (Jahja, 2011).

Mahasiswa kebidanan tahun ke 2 dan ke 3 merupakan responden dalam penelitian ini yang telah mendapatkan teori komunikasi efektif dengan metode SBAR. Pengukuran kemampuan skill komunikasi efektif sebelum diberi perlakuan berupa role play menggunakan metode SBAR terdapat 28 orang dalam kategori kurang baik, terdiri dari 10 dari 11 orang (90%) mahasiswa tahun ke 2 dan 18 orang (100%) mahasiswa tahun ke 3. Setelah mendapatkan perlakuan terdapat pengaruh berupa peningkatan skill komunikasi termasuk dalam kategori baik (p 0.003), terdiri 27, 27% dari seluruh mahasiswa tahun ke 2, dan 83,34% dari seluruh mahasiswa tahun ke 3.

Sesuai hasil penelitian yang dilakukan oleh Muspita (2014) bahwa tingkat pendidikan merupakan level suatu proses yang berkaitan dalam mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, termasuk didalamnya pengetahuan, nilai, sikap dan ketrampilan. Sehingga makin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki maka semakin tinggi pula kemampuan atau ketrampilan seseorang, serta lebih terbuka menerima adanya pembaharuan dan lebih mudah menyesuaikan diri.

Sesuai hasil penelitian yang dilakukan oleh Pradono (2014) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan menjadikan seseorang menjadi berfikir lebih logis dan rasional, sehingga meningkatkan kemampuan untuk melakukan analisisi dan memecahkan masalah, serta meningkatkan kemampuan kognitif.

(44)

play komunikasi efektif, responden telah mendapatkan materi teori komunikasi efektif metode SBAR, sesuai teori pengalaman Edgar Dele bahwa melihat dan mendengar juga mempengaruhi kemampuan mengingat walaupun hanya 20%.

Hasil penelitian tentang perubahan skill komunikasi berdasarkan pengalaman melakukan handover dengan yang belum pernah melakukan handover menunjukkan adanya peningkatan walaupun tidak memberikan

pengaruh yang signifikan. Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi dalam kategori baik pada kelompok yang meliliki pengalaman handover sebanyak 14 dari 24 orang (58,33%) dan pada kelompok yang belum memiliki pengalaman melakukan handover sebanyak 4 dari 5 orang (80%).

Struktur sikap terdiri dari tiga komponen salah satunya adalah komponen konatif atau perilaku, dimana pengalaman pribadi merupakan salah satu unsur pembentuk sikap. Seseorang dalam menerima suatu pengalaman tidak terlepas dari pengalaman lain yang sudah diterima terlebih dahulu, sehingga respon terhadap pengalaman baru tidak serta merta dapat merubah perilaku. Hal ini nampak bahwa 41,78% dari kelompok yang memiliki pengalaman melakukan handover masih memiliki skill komunikasi efektif dalam kategori kurang baik setelah diberikan perlakuan berupa role play komunikasi efektif dengan metode SBAR (Azwar, 2008).

(45)

dianggap penting, diharapkan memberikan persetujuan pada setiap perbuatan, seperti orang tua, guru, orang yang memiliki status sosial lebih tinggi.

Selain itu lembaga pendidikan juga memberi peran dalam pembentukan sikap yang dapat merubah perilaku seseorang, karena lembaga pendidikan mengajarkan konsep dasar, termasuk konsep tentang komunikasi efektif (Azwar, 2008). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini dimana sebagian besar responden mengalami perubahan perilaku yang nampak pada kemampuan skill komunikasi. Perubahan tersebut terjadi setelah diberikan serangkaian proses pembelajaran berupa role play oleh dosen pada saat proses pendidikan di lahan praktik.

2. Skill komunikasi handover oleh mahasiswa kebidanan sesudah diberikan

role-play komuniksai dengan metode S-BAR

Skill komunikasi efektif mahasiswa mengalami peningkatan setelah

mendapatkan pembelajaran dengan metode role play, yaitu dari 34.5% menjadi 62,07% termasuk dalam kategori baik setelah mendapatkan perlakuan pertama berupa pemberian materi komunikasi efektif dengan metode SBAR pada handover selama 100 menit dan dilanjutkan dengan role play menggunakan kasus fiktif. Setelah dilakukan simulasi menggunakan kasus nyata, seluruh responden mengalami peningkatan skill komunikasi termasuk dalam kategori baik.

Hal ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran dengan menggunakan role play memberikan pengaruh yang signifikan pada peningkatan kemampuan

(46)

kepercayaan diri, menstimulasi kemampuan mahasiswa dalam proses pembelajaran yang lebih tinggi.

Role play merupakan salah satu metode pembelajaran berupa proses pengalihan atau transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendorong perkembangan intelektual, pembentukan watak, serta membentuk ketrampilan dan kemahiran yang dapat dilakukan melaui komunikasi yang baik dan efektif (Fitria, 2013).

Sesuai dengan teori kerucut pengalaman yang dikemukakan Edgar Dale bahwa pengalaman langsung dapat memberikan kemampuan mengingat hingga 70%, sehingga dapat mendukung kemampuan untuk merubah perilaku lebih besar. Sehingga role play merupakan salah satu proses pembelajaran yang memberikan pengalaman langsung dengan menggunakan situasi nyata untuk memahami konsep, prinsip dan ketrampilan, dan memberikan dampak pada perubahan sikap maupun perilaku (Nursalam, 2008).

Begitu juga pada penelitian yang dilakukan oleh Chan (2012) yang menyatakan bahwa role play merupakan metode dari pembelajaran Problem Base Learning (PBL) yang merupakan penjabaran dari SCL merupakan dengan

menggunakan pengalaman yang mencerminkan situasi kehidupan nyata, sehingga PBL menjadi pilihan metode pembelajaran yang banyak digunakan oleh intitusi pendidikan kesehatan, dan merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan kreatifitas, motivasi belajar, kemampuan menyelesaikan masalah, terutama dalam memahami kebutuhan pasien dan keluarga.

(47)

ketrampilan, meningkatkan motivasi dalam menerima tanggung jawab, serta kemampuan dalam bekerja sama pada mahasiswa.

Akan tetapi peningkatan skill komunikasi ini menunjukkan hasil adanya peningkatan menjadi baik pada pengukuran post test ke 2 yang dilakukan satu minggu setelah diberikan perlakuan, hal ini terjadi karena memori tentang penerapan komunikasi efektif masih segar di ingatan. Hal ini sesuai dengan teori Aus dalam Rakhmat (2003) menyatakan bahwa memori akan hilang atau memudar karena waktu, maka memori terhadap sesuatu hal akan kuat jika dilatih terus menerus.

3. Pengaruh role-play handover oleh mahasiswa kebidanan terhadap skill

komuniksai metode S-BAR.

Sebelum dilakukan pembelajaran dengan role play beberapa mahasiswa tidak mengetahui apa yang harus dilakukan pada saat handover. Sedangkan pada mahasiswa yang memiliki pengalaman melakukan handover, tidak semuanya mengetahui langkah-langkah handover, hal ini nampak bahwa pada item lembar observasi skill komunikasi efektif seluruh tahapannya dilaksanakan kurang dari 30%.

(48)

secara lengkap lebih dari 44% yang sebelumnya hanya dibawah 13,8 % yang melaksanakan secara lengkap.

Hasil ini menunjukkan bahwa metode SBAR dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam skill komunikasi efektif, sesuai pernyataan Velji (2008) bahwa SBAR dapat meningkatkan kemampuan komunikasi antar anggota tim baik pada sesame profesi maupun antar profesi, yang akan mempengaruhi perbaikan budaya keselamatan pasien.

Kemampuan skill komunikasi pada pelaksanaan handover setelah dilakukan pembelajaran role play terdapat peningkatan. Persiapan handover berupa mempersiapkan diri dan informasi yang akan disampaikan sebelum diberi role play dari 10,3% menjadi 82,8% yang melaksanakan dengan lengkap. Sedangkan untuk langkah persiapan handover berupa menjelaskan identitas pemberi handover dari 58,6% berubah menjadi 6,9% yang tidak melakukan langkah ini. Hal ini juga nampak pada pelaksanaan handover itu sendiri, dimana sebelum diberikan role play, informasi yang diberikan hanya mengenai keadaan saat ini saja tanpa menyertakan riwayat atau kondisi yang menjadi latar belakang pasien tersebut mendapat perawatan. Kondisi ini tentu saja dapat mengakibatkan tingginya medical error atau pemberian perawatan yang tidak efektif, mengakibatkan peningkatan biaya perawatan.

(49)

terjadi karena pemberi handover tidak memberikan kesempatan pada penerima handover untuk mengklarifikasi informasi yang diperoleh.

Kondisi tersebut dapat terjadi karena pemberi handover berasumsi bahwa penerima handover memiliki kemampuan dan pengetahuan yang sama, tanpa memperhatikan seberapa banyak penerima handover memahami informasi yang diterima, atau pemberi handover memberikan informasi sebanyak-banyaknya dan mendominasi proses komunikasi (egocentric heuristic) tanpa memperhatikan kesiapan si penerima handover (Riesenberg, 2012). Sedangkan dalam komunikasi efektif salah satu hal yang penting adalah mengkonfirmasi informasi yang diterima, sehingga meminimalisir adanya salah persepsi (Frelita et.al., 2011).

Setelah mendapatkan role play mahasiswa menjadi memahami tahap-tahap yang harus dilalui dalam melaksanakan handover. Persiapan berupa mengumpulkan informasi tentang perkembangan hasil perawatan pasien dan riwayat perawatan sebelumnya sudah disiapkan, sehingga pada tahap pelaksanaan handover kelengkapan informasi sudah disiapkan, termasuk antisipasi terhadap pertanyaan yang mungkin diajukan oleh penerima handover, dan pelaksanaannya menjadi lebih efektif dan efisien, hal ini terjadi karena informasi lebih fokus, waktu yang digunakan lebih sedikit.

(50)

Begitu juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Wayan (2014) bahwa edukasi dapat berupa pemberian role play dapat meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, serta menimbulkan perubahan perilaku yang lebih baik.

Informasi yang disampaikan pada saat handover menjadi lebih efektif dan efisien akan meningkatkan budaya patien safety. Dewi (2012) menyampaikan bahwa komunikasi menjadi salah satu hal penting dalam pelaksanaan pelayanan, karena keselamatan pasien tidak terlepas dari penentuan serta pelaksanaan standar dan prosedur komunikasi efektif.

Role play terhadap skill komunikasi merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan handover. Hal ini terjadi karena kemampuan mahasiswa untuk menyediakan informasi semakin baik. Selain itu juga komunikasi yang berkualitas akan membangun hubungan yang baik antara petugas kesehatan. Seperti halnya yang disampaikan oleh Dewi (2012) bahwa standard prosedur komunikasi efektif sangat mempengaruhi kualitas handover, maka SBAR merupakan salah satu metode yang sangat baik untuk digunakan sebagai stadar komunikasi efektif.

(51)

Penelitian ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran dengan menggunakan role-play merupakan salah satu metode PBL yang dianjurkan. Role play yang diberikan tidak hanya dilakukan dengan menggunakan kasus fiktif yang dilaksanakan di skill laboratorium, akan tetapi diikuti dengan praktik di lahan (layanan kesehatan), supaya mendapatkan gambaran nyata. Hal ini sejalan dengan teori kerucut pengalaman Edgar Dale bahwa pengalaman langsung dapat memberikan kemampuan mengingat hingga 70%, sehingga dapat mendukung kemampuan untuk merubah perilaku lebih besar (Nursalam, 2008).

Sejalan dengan pendapat Iyer (2010) bahwa role play dapat menjadi pilihan metode yang tepat untuk latihan komunikasi yang sangat berharga, karena pada proses komunikasi kadang muncul perasaan tidak dipahami oleh lawan bicara sehingga muncul reaksi yang tidak sama. Faktor ini kadang bisa menjadi hambatan untuk dapat mendengarkan atau berkomunikasi secara efektif.

Penggunaan standar prosedur untuk melaksanakan handover menjadikan mahasiswa lebih memahami langkah-langkah dalam melaksanakan handover. Selain itu penerapan metode komunikasi efektif dengan SBAR merupakan salah satu standar komunikasi yang baik untuk diterapkan dan diajarkan pada mahasiswa. Hal ini dikarenakan metode SBAR menjadikan mahasiswa lebih mengerti bagaimana cara mengkomunikasikan suatu kondisi pasien pada saat handover baik pada sesame profesi maupun antar profesi.

Sejalan dengan Gobel (2012) bahwa standar prosedur dan penggunaan tehnologi informasi, seperti SBAR, akan sangat mempengaruhi efektifitas handover. Penggunaan SBAR ini menjadikan mahasiswa lebih meningkatkan

(52)

pasien saat ini, serta latar belakang terhadap perawatan yang diberikan maupun riwayat kesehatan yang berkaitan, selanjutnya dilatih untuk meningkatkan kemampuan menganalisis kasus berdasarkan pengamatan, dan memberikan sarannya dari apa yang dia percaya akan menjadi tindakan yang terbaik.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Iyer (2010) bahwa SBAR adalah model yang lebih baik karena dapat diterapkan untuk setiap situasi, serta pada saat handover. SBAR memfasilitasi terbangunnya pola komunikasi dalam system,

dan melalui rekomendasi atau melalui tindakan akhir akan membangun terbentuknya kerjasama dalam kelompok.

4. Pengaruh role-playhandover oleh mahasiswa kebidanan terhadap kemampuan

melaksanakan handover

Pelaksanaan handover menurut Riesenberg (2012) terdiri dari empat tahapan. Berdasar hasil penelitian tahapan pertama berupa pra kerja (pra handover) sudah dilakukan dengan baik hal ini nampak bahwa sebelum diberi role-play skor pada lambar lembar observasi menunjukkan adanya kenaikan skor. Responden telah menyiapkan informasi yang akan diberikan pada petugas (responden yang lain) yang akan menggantikan shif jaga berikutnya. Tahap ini pula menunjukkan baik pemberi dan penerima handover telah menyiapkan diri untuk melaksanakan handover, sehingga lebih fokus pada informasi yang disampaikan maupun diterima.

(53)

penyampaian informasi yang tidak tepat, dengan hanya menyampaikan kesimpulan dari hasil pemeriksaan, bukan memberikan secara jelas hasil pemeriksaan secara langsung.

Tahap ke dua adalah handover itu sendiri, yaitu penyampaian informasi telah disiapkan kepada petugas penerima handover. Tahap ini diikuti oleh seluruh responden yang bertugas, baik yang akan digantikan, maupun yang akan menggantikan jaga. Sehingga seluruh petugas memperoleh informasi yang sama dan memiliki kesempatan untuk merespon maupun mengklarifikasi informasi yang diberikan oleh petugas pemberi handover, termasuk menanyakan tindakan yang sudah diberikan maupun yang masih direncanakan, dimana tahap ini termasuk dalam tahap ke tiga pelaksanaan handover.

Kemampuan responen untuk merespon informasi yang ada juga mengalami peningkatan, berdasal lembar observasi nampak pada item tujuh berupa konfirmasi informasi terjadi peningkatan skor sebesar 25. Kemudian dilanjutkan tahap ke empat berupa penerimaan pengalihan tanggung jawab.

Pelaksanaan handover dengan mempersiapkan informasi didukung dengan catatan dan penggunaan rekam medis akan menurunkan kejadian hilangnya informasi yang harus disampaikan. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Friesen et.al.(2008) bahwa penggunaan lembar catatan dan rekam medis kemudian disampaikan secara lisan akan meningkatkan ketepatan informasi hingga 96-100%.

(54)
(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Skil komunikasi handover oleh mahasiswa kebidanan sebelum diberikan role-play komuniksai dengan metode SBAR termasuk dalam kategori baik hanya sebesar 3,4%.

2. Skill komunikasi handover oleh mahasiswa kebidanan setelah diberikan role-play komuniksai dengan metode SBAR dengan menggunakan kasus fiktif meningkat menjadi 62,1%, dan setelah mahasiswa melakukan role play dengan meggunakan situasi nyata mengalami peningkatan menjadi 100% termasuk dalam kategori baik. 3. Role-play handover oleh mahasiswa kebidanan memberikan pengaruh pada skill

komuniksai metode SBAR, dimana nilai P< 0,000 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada skill komuniksi efektif metode SBAR saat handover sebelum dengan sesudah diberikan pembelajaran dengan role-play.

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dianjurkan saran sebagai berikut :

1. Proses pembelajaran menggunakan PBL (Problem Base Learning) dengan metode role play skill komunikasi akan meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam meningkatkan kompetensinya, dan akan memberikan hasil yang lebih baik jika diikuti dengan praktik langsung di lahan, sehingga mendapatkan gambaran yang lebih nyata.

(56)

meningkatkan kemampuan menganalisa perkembangan perawatan pasien, sehingga dapat meminimalisir medical error dan memberikan perawatan yang lebih tepat. 3. Penggunaan metode komunikasi efektif secara terus menerus akan meningkatkan

kemampuan dan ketrampilan berkomunikasi, sehingga dapat mempaerbaiki budaya patient safety.

C. KETERBATASAN

1. Penelitian ini menggunakan sampel minimal sehingga tidak menggunakan kelompok kontrol.

(57)

HANDOVER MAH

Gambar

Tabel 1. Daftar penelitian terdahulu dan perbedaan dengan penelitian ini
Tabel 2. Disain Penelitian
Tabel 3.  Gambaran distribusi frekwensi karakteristik responden
Gambar 3. Grafik Skor Rata-Rata Komunikasi Efektif Pada Pelaksanaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai pada Kantor Ditjen Kekayaan Negara Suluttengo Dan Malut Di Manado, hasil penelitian menunjukkan pelatihan

meninjau literatur terkait, pada penelitian ini mathematical power atau daya matematika didefinisikan sebagai &#34;kepercayaan individu untuk menggunakan pengetahuan

Hasil dari penelitian ini adalah : citra perusahaan, citra konsumen, citra produk dan harga memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap keputusan pembelian konsumen;

[r]

Semakin cepat logam cair memenuhi rongga cetakan maka proses pembekuan semakin cepat yang menyebabkan atom-atom akan cepat terhenti pada kondisi yang belum sempurna,

(2) Untuk pangan siap saji harus tersedia fasilitas untuk penyiapan bahan mentah dan pengolahan, air bersih, tempat pencucian peralatan dan pencucian tangan yang

Prinsip proses pemisahan dengan membran adalah pemanfaatan sifat membran, di mana dalam kondisi yang identik, jenis molekul tertentu akan berpindah dari satu fasa

2014, “Pengaruh Price to Book Value (PBV), Price Earning Ratio (PER), dan Debt to Equity Ratio (DER) terhadap Return Saham Terdaftar di Bursa Efek Idonesia Periode