A. Latar Belakang
Fungsi tanah bagi kehidupan manusia adalah sebagai tempat dimana manusia tinggal, melaksanakan aktivitas sehari-hari, menanam tumbuh-tumbuhan, hingga menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi manusia. Tanah bagi kehidupan manusia memiliki arti yang sangat penting, karena sebagian besar dari kehidupannya tergantung pada tanah. Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis.1
Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Tanah juga menjadi sumber daya yang sangat vital mengingat kedudukannya sebagai
faktor produksi yang sifatnya tetap dan terbatas. Hal tersebut menyebabkan nilainya
semakin meningkat. Kondisi tersebut membuat tanah yang menyangkut hajat hidup
orang banyak dipercayakan pengelolaan dan pengaturannya kepada pemerintah
sebagai representasi dari negara. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah
dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai
seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan
haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara.2
Pentingnya tanah bagi suatu masyarakat, demikian juga masyarakat adat tidak
dapat dipungkiri lagi bahkan masyarakat adat akan siap mempertaruhkan nyawanya
apabila tanah yang merupakan tempat tinggalnya yang merupakan tumpuan
kehidupannya serta yang mempunyai nilai religius magis terusik dari kehidupannya
atau yang dikenal dalam masyarakat adat sebagai Hak Ulayat.
Menurut Maria Sumardjono untuk menentukan ukuran hak ulayat perlu ditentukan tiga ciri pokok, yaitu: (a) adanya masyarakat hukum adat yang
1
Benhard Limbong, Konflik Pertanahan, ( Jakarta : Margaretha Pustaka, 2012), hal 2. 2
Lihat penjelasan umum UUPA No.5 Tahun 1960, Bagian II.
memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat; (b) tanah/wilayah dengan batasan-batasan tertentu yang merupakan subyek hak ulayat; (c) adanya kewenangan masyarakat hukum untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang ditentukan, oleh karena itu menurut beliau pengakuan hak ulayat adalah wajar.3
Obyek yang menjadi hak ulayat tidak hanya tanah tetapi meliputi juga hutan
belakar, perairan (sungai-sungai, perairan pantai laut) dan tanaman yang tumbuh
sendiri beserta binatang yang hidup liar. Menurut ketentuan hukum adat hak ulayat
dapat berlaku ke dalam dan berlaku keluar. Berlaku kedalam berarti anggota
masyarakat dapat mengambil keuntungan dari tanah, tumbuh-tumbuhan dan binatang
yang terdapat disitu. Hak ulayat ini mempunyai hubungan yang timbal balik dengan
hak perserorangan, bila hak perorangan kuat, hak ulayatnya melemah. Sebaliknya bila
seseorang yang meninggalkan hak perorangannya, maka hak ulayat berlaku kembali.
Berlaku keluar berarti bahwa orang luar hanya boleh memungut hasil tanah dan
lain-lain dalam lingkungannya sesudah mendapat ijin dari kepala adat atau masyarakat
dan membayar uang pengakuan.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Perundang-Undangan di
bidang pertanahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria yang disebut UUPA. UUPA merupakan pedoman pokok
yang mengatur masalah pertanahan. Undang-Undang Pokok Agraria menggunakan
istilah Hak Ulayat (wilayah) untuk menunjukkan pada tanah yang merupakan wilayah
lingkungan masyarakat hukum bersangkutan. UUPA mengakui keberadaan
lingkungan masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Pengakuan terhadap hak ulayat
3
dilakukan sepanjang menurut kenyatannya masih ada, tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Berbeda dengan Undang-Undang Dasar
1945 sebelum perubahan, UUPA memperkenalkan konsep pengakuan bersyarat, yang
kemudian diikuti secara baku oleh peraturan perundangan sesudahnya.
Lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan kolonial Belanda mulai ditinggalkan. Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip domein verklaring-nya (semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik negara/milik penjajah Belanda). UUPA merupakan produk hukum pada era Orde Lama yang menghendaki adanya perubahan dan pembaharuan di bidang agraria dan pertanahan serta menghendaki terwujudnya pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan pemerintahan pada saat itu lebih diupayakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana telah digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Implementasi program land reform untuk membatasi luas pemilikan tanah ini dalam pelaksanaannya ternyata mengalami hambatan. Para tuan tanah berusaha menghindari ketentuan-ketentuan UUPA dengan berbagai cara. Hal lain yang menarik dari masalah tanah pada saat itu adalah digunakannya pelaksanaan land reform.4
Perubahan rezim, yang kemudian merubah politik agrarianya di masa Orde
Baru, memunculkan kondisi-kondisi yang relatif sama bagi petani. UUPA sebagai
peraturan pokok yang mengatur tentang Agraria meskipun tidak pernah dicabut, akan
tetapi kemudian dikeluarkan berbagai peraturan lain, yang tidak mengacu bahkan
bertentangan dengan jiwa dan semangat UUPA itu sendiri. Sejalan dengan perubahan
kebijakan rezim yang lebih menitik beratkan pada pembangunan yang berorientasi
4
pada pertumbuhan ekonomi yang cepat, maka kebijakan-kebijakan di bidang
pertanahan pun ditujukan untuk mendukung upaya-upaya tersebut. Rezim baru ini
memandang bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi jauh lebih penting
dibandingkan dengan pelaksanaan land reform, sehingga land reform yang dipandang
sebagai instrumen utama dalam mencapai keadilan sosial, tidak mendapatkan tempat
penting pada masa Orde Baru.5
Pada era pemerintahan orde baru terdapat tiga masalah pokok dalam rangka pelaksanaan UUPA. Tiga pokok permasalahan tersebut adalah pembuatan peraturan pelaksanaan, penyesuaian kembali beberapa materi peraturan perundang-undangan tertentu di bidang agraria dan pelaksanaan proses pembebasan tanah. Pada masa orde baru tuntutan pembangunan nasional semakin memperbesar kapasitas tuntutan atas tanah dan volume pengambilan tanah dari masyarakat. Hal ini menjadi masalah karena kriteria kepentingan umum sebagai alasan pencabutan hak belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang proporsional.6
Pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah tidak hanya dilakukan oleh pemerintah untuk pembangunan berbagai proyek pemerintah, namun juga diperuntukkan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum oleh pihak swasta tetapi pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk dan cara yang berbeda. Pemerintah melaksanakan pembebasan, untuk proyek pemerintah atau proyek fasilitas umum.7
Pemerintah sebagai pengelola secara tidak langsung memiliki kewenangan
untuk mengatur agraria yang dikenal dengan hak menguasai negara. Hak ini
membawa pemerintah kepada peraturan-peraturan yang ditujukan untuk
5
Ifdhal Kasim dan Endang Suhendar, Kebijakan Pertanahan Orde Baru : Mangabaikan Keadilan Demi Pertumbuhan Ekonomi, dalam Teguh Purnomo, Hukum Dan Sengketa Pertanahan: Studi Kasus Gerakan Organisasi Petani SeTAM (Serikat Tani Merdeka) dalam Proses Reklaiming di desa Desa Mulyadadi Kecamatan Cipari Kabupaten Cilacap, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2005, hal 8.
6
Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah , (Yogyakarta : Total Media , 2009) hal 175.
7
kesejahteraan rakyat. Salah satunya adalah dalam bentuk perencanaan pembangunan
infrastruktur yang mengatasnamakan kepentingan umum. Pada perkembangannya,
perencanaan pemerintah tersebut sering harus berhadapan dengan hak rakyat yang
menjadi pemilik tanah. Hal tersebut menyebabkan adanya peraturan sepihak yang
sifatnya memaksa karena proyek untuk kepentingan umum yang akan dilakukan tidak
dapat dipindahkan ke tempat lain atau yang lebih dikenal sebagai penggusuran untuk
kepentingan umum.
Kepentingan umum merupakan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan
yang memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain menyangkut perlindungan hak-hak
individu sebagai warga negara, dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan sarana
publik, dan pelayanan kepada publik.8 Kepentingan umum juga dikatakan sebagai
suatu proyek yang dilakukan pemerintah untuk masyarakat dan tidak bertujuan untuk
mencari keuntungan.9 Oleh karena itu tanah memegang peranan yang sangat penting,
bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan. Kegiatan pembangunan
yang dilaksanakan baik untuk kepentingan umum maupun swasta selalu
membutuhkan tanah sebagai wadah pembangunan. Saat ini, pembangunan terus
meningkat sedangkan persediaan tanah tidak berubah. Keadaan ini berpotensi
menimbulkan sengketa tanah karena kepentingan umum dan kepentingan perorangan
saling berbenturan. Pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwewenang
8
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, (Jakarta : Kompas 2008), hal 244.
9
mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus
menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa.
Permasalahan yang sering terjadi sengketa pertanahan masih terdapat permasalahan-permasalahan di bidang pertanahan sebagai akibat dari peninggalan zaman kolonial Belanda yaitu belum diperolehnya jaminan dan kepastian hukum hak atas tanah ulayat yang dikuasai oleh perorangan atau keluarga/kaum sebagai akibat dari tanah-tanah ulayat yang tidak mempunyai bukti tertulis, maka di dalam proses pensertifikatannya sering terjadi masalah-masalah berupa sengketa, baik dalam hal batas maupun sengketa dalam siapa-siapa yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut.10
Pada perkembangannya, kepentingan umum ini menjadi suatu permasalahan
yang besar dalam kehidupan masyarakat, yaitu sejak unifikasi dari Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria hingga muncul Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum masih membatasi konsep
kepentingan umum ke dalam suatu daftar kegiatan, tanpa menjelaskan
kegiatan-kegiatan lain yang tidak termasuk dalam daftar kegiatan-kegiatan tersebut.
Pengadaan tanah pada dasarnya dilakukan demi melakukan pelakasanaan
pembangunan, namun dalam melaksanakannya dibutuhkan tanah, sehingga proses
dalam penyediaan tanah dalam rangka pembangunan ini yang disebut proses
pengadaan tanah. Berkenaan dengan pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan kepentingan umum, Pemerintah Republik Indonesia telah
mengeluarkan beberapa peraturan penting. Diantaranya adalah lahirnya Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 yang di latar belakangi oleh ketentuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok
10
Agraria Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1 yang
berbunyi, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat”.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 merupakan sebuah langkah perbaikan,
karena peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa
keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Dengan diterbitkannya
undang-undang tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam
pengadaan tanah. Beberapa permasalahan mendasar dalam proses pengadaan tanah
selama ini antara lain: pertama, belum tersedianya aturan dasar, prinsip, prosedur dan
mekanisme pengadaan tanah; kedua, belum ditetapkannya kelembagaan pengadaan
tanah; ketiga, tidak adanya peraturan khusus pembiayaan pengadaan tanah; dan
keempat, belum jelasnya kriteria kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai
kepentingan umum. Keempat permasalahan tersebut menjadi salah satu penghambat
untuk mencapai tujuan pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam melakukan
kegiatan pengadaan tanah, maka untuk memperoleh tanah yang dibutuhkan maka
harus ada ganti kerugian kepada pihak yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Maka sehubungan
dengan itu, pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi demensi yang harus
ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang ditetapkan pada bulan Januari 2012,
merupakan undang-undang yang ditunggu-tunggu. Alasan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 karena pelaksanaan pengadaan tanah pada saat ini
masih lambat dalam mendukung pembangunan infrastruktur. Pelaksanaan pengadaan
tanah selama ini masih dilakukan secara ad hoc dan menimbulkan banyak
permasalahan serta belum menjamin kepastian waktu dalam pembebasan tanahnya.
Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang
mengatur teknis pembebasan lahan, maka pada tanggal 7 Agustus 2012 yang lalu,
Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor
71 Tahun 2012 juga diatur keharusan instansi yang memerlukan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum agar menyusun dokumen perencanaan
pengadaan tanah. Karena itu harus disebutkan tujuan rencana pembangunan,
kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), letak tanah, luas tanah
yang dibutuhkan, gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah. Lalu
selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang melingkupi wilayah dimana letak
tanah berada. Selain itu, terdapat pengaturan soal penolakan dari pihak yang berhak
untuk penggantian rugi atas lahan tersebut dan sengketa lahan di pengadilan. Terkait
maupun pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur minyak, gas, dan panas
bumi juga tidak luput diatur didalamnya.
Pengaturan hukum tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan
segala pengaturan yang terkait di Indonesia telah mengalami proses perkembangan
sejak unifikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).11 Peraturan
Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan
Pertanahan Nasional mendapatkan mandat untuk melakukan pengkajian dan
penanganan sengketa dan konflik pertanahan dan untuk itu dibentuk kedeputian
khusus untuk menangani mandat tersebut. Untuk menjalankan amanat tersebut,
Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan
Tanah. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan Umum.
Sejumlah peraturan yang tersangkut di dalam pengadaan tanah, dapat
disimpulkan bahwa cara memperoleh tanah dalam pelaksanaan pengadaan tanah,
yakni dengan memberi ganti rugi (cara yang paling utama), melepaskan hak atas
tanah, dan dengan mencabut hak atas tanah. Secara Normatif, semua hak tanah
mempunyai fungsi sosial, itu artinya hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang,
penggunaannya tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlebih lagi apabila
11
hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan
dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya sehingga bermanfaat, baik bagi
kesejahteraan pemiliknya mapun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.
Pemerintah sebagai pengelola secara tidak langsung memiliki kewenangan
untuk mengatur agraria yang dikenal dengan hak menguasai negara. Hak ini
membawa pemerintah kepada peraturan-peraturan yang ditujukan untuk
kesejahteraan rakyat. Salah satunya adalah dalam bentuk perencanaan pembangunan
infrastruktur yang mengatasnamakan kepentingan umum. Pada perkembangannya,
perencanaan pemerintah tersebut sering harus berhadapan dengan hak rakyat yang
menjadi pemilik tanah. Hal tersebut menyebabkan adanya peraturan sepihak yang
sifatnya memaksa karena proyek untuk kepentingan umum yang akan dilakukan tidak
dapat dipindahkan ke tempat lain atau yang lebih dikenal sebagai penggusuran untuk
kepentingan umum.
Perubahan menyolok dalam sengketa tanah pada masa orde baru adalah
pihak-pihak yang bersengketa. Pada periode ini konflik tidak lagi melibatkan petani kecil
atau petani penggarap dengan tuan tanah melainkan antara pihak pemilik tanah
(petani/rakyat) dengan pihak pemilik modal besar dan negara. Negara dapat bertindak
sebagai fasilitator yang memberi dukungan terhadap pemilik modal besar dan bahkan
negara itu sendiri, dengan mengatasnamakan pembangunan, merupakan pihak yang
secara langsung bersengketa dengan rakyat. Sengketa tanah pada era Orde Baru
justru muncul dalam frekuensi yang lebih banyak dengan alasan yang berbeda.
Wilayah sengketa juga semakin meluas, tidak hanya terjadi pada masyarakat
berbagai kota besar misalnya, yang digunakan untuk keperluan para pemilik modal,
pengembang perumahan-perumahan mewah, maupun sejumlah proyek milik
pemerintah.12 Sengketa tanah terjadi antara pemerintah dengan rakyat karena
kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan. Misalnya,
tidak adanya sinkronisasi antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Banyak sekali
peraturan-peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling bertabrakan dengan peraturan
lain.13 Setiap pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah, orang-orang atau pejabat
berwenang seharusnya benar-benar memahami peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagai landasan hukum dan teknis pelaksanaan tugas dengan baik, sehingga
pencapaian hasil tidak menimbulkan masalah atau sengketa baru.14
Dalam penanganan masalah pertanahan telah memberikan arahan
menyelesaikan sengketa pertanahan yang berkenaan dengan sumber daya agraria
yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi sengketa tanah di masa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas
prinsip-prinsip antara lain memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman
unifikasi hukum, mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam
12
Ririn Darini, Op.cit, hal 9-10. 13
Maria S.W. Sumardjono, Op.cit, hal 2.
penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya
agraria/sumber daya alam, melaksanakan fungsi sosial dan sebagainya.
Tanah ulayat sebenarnya bukan milik pemerintah, dan bukan pula milik orang
tertentu. Tanah ulayat ini diadakan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh
masyarakat, sehingga tiadanya kepemilikan berarti bahwa semua masyarakat boleh
memanfaatkan tanah itu untuk kepentingannya. Biasanya pengelolaan tanah ulayat ini
dimiliki oleh suatu suku atau kelompok adat tertentu, dimana tanah ulayat itu berada.
Oleh karena itu, tanah ulayat biasanya identik dengan tanah milik adat dan
pengaturannya dilakukan oleh masyarakat hukum adat. Karena adat itu berbeda-beda
antara suku yang satu dengan yang lain, maka pengaturan tanah ulayat juga
berbeda-beda, tergantung dari suku yang menguasai tanah ulayat tersebut.15 Pengadaan tanah
erat sekali hubungannya dengan pencabutan, pembebasan atau pelepasan hak atas
tanah yang diperlukan baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan
swasta, yang sering kali menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Hal ini
disebabkan karena adanya berbagai kepentingan yang saling bertentangan antara yang
satu dengan yang lainnya.
Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan oleh
pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum,
yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan bangsa dan
15
negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 dinyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”.
Memperhatikan ketentuan yang ada pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 di atas, maka sebelum Presiden mengeluarkan keputusan terhadap tanah
yang akan dicabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti dilakukan suatu
permohonan yang diajukan kepada yang berkepentingan seperti yang telah tertuang di
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.16 Dasar pokok dari
Undang-Undang No 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah itu adalah ketentuan
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang menggariskan untuk
kepentingan umum negara dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Pasal 18
UUPA tersebut selengkapnya sebagai berikut: “untuk kepentingan umum, termasuk
kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi
ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.
Pencabutan hak atas tanah adalah berupa suatu tindakan dari pihak
negara/alat-alat perlengkapannya yang dilakukan secara paksa terhadap tanah dan
benda yang ada diatasnya kepunyaan penduduk untuk diserahkan kepada pihak yang
meminta pencabutan itu, sedangkan yang bersangkutan tidak pernah melakukan suatu
pelanggaran hukum ataukah melalaikan suatu kewajiban hukum yang dibebankan
kepadanya, maka untuk itulah diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 20 tahun
1961.
Kegiatan pelaksanaan fisik dari pencabutan hak tesebut baru dapat dilakukan, apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi telah disepakati, baik mengenai jumlah uang yang akan diterima atau tempat dan lokasi tanah pengganti dan tempat permukiman kembali telah disetujui bersama, serta uang ganti rugi telah diterima dengan baik oleh warga yang terkena pembebasan. Pencabutan atau pembebasan tanah pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan tanah dan pihak masyarakat yang tanahnya dicabut atau dibebaskan. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat terwujud, sehingga pembangunan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana peruntukan berbagai fasilitas kepentingan umum. Di samping itu pihak warga masyarakat pemilik tanah dapat diberikan ganti rugi yang layak, atau dapat diberikan tanah pengganti dan permukiman kembali sehingga tingkat kehidupan sosial ekonominya dapat menjadi lebih baik atau setidak-tidaknya tidak menjadi lebih miskin dari sebelum tanah dicabut atau dibebaskan. Pada akhirnya, kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.17
Pasal 8 dari Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak
atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya menyebutkan, bahwa bilamana yang
bersangkutan tidak dapat menerima jumlah ganti rugi yang telah ditetapkan dalam
Keputusan Presiden, dia dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi yang
daerah kekuasaannya meliputi letak tempat tanah yang dicabut haknya.18
Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum
antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi
yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan
pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas
tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa
17
Ibid, hal 5. 18
yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi
kewajiban hukumnya.
Permasalahan yang terkait dengan pembebasan tanah masyarakat untuk
kepentingan umum senantiasa menimbulkan polemik. Di satu sisi, negara menjamin
kepemilikan sah individu atas tanah, disisi lain pelaksana kekuasaan negara, yakni
pemerintah berkewajiban menjalankan agenda pembangunan infrastruktur fisik yang
seringkali harus mengorbankan nilai kepentingan individu. Kepentingan umum yang
dijabarkan dari fungsi sosial tanah tidak kalah pentingnya dengan kepentingan
individu pemilik yang dijabarkan dari fungsi ekonomi tanah. Artinya pada saat
dibutuhkan demi kepentingan umum, kepentingan individu bisa dikompromikan
bahkan dikalahkan dan hak milik atas tanah harus dilepaskan.19
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 pada Pasal 4 ayat (2) diatur bahwa pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan hak guna usaha atau hak pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga hak guna usaha atau hak pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2. Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimiliki pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan barang milik negara/daerah. Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dikuasai oleh pemerintah atau dikuasai/dimiliki oleh badan usaha milik Negara/badan usaha milik daerah dilakukan berdasarkan undang-undang nomor 2 Tahun 2012. Pelepasan objek pengadaan tanah dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau pejabat yang diberi pelimpahan kewenangan untuk itu.20
19 Trie Sakti, “Permasalahan Pengadaan Tanah”, melalui http://triesakti.blogspot.com /20s11/01/permasalahan-pengadaan-tanah-di.html, diakses pada tanggal 22 Juni 2013, Pukul 10.00 WIB.
20
Masyarakat Nias Selatan merupakan masyarakat yang masih hidup dalam
lingkaran kebudayaan dan adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan
kekeluargaan. Tanah merupakan wadah untuk mencari dan mempertahankan
keberlangsungan hidupnya. Pentingnya arti tanah dalam kehidupan masyarakat Nias
Selatan menyebabkan sering terjadinya kesalahpahaman yang ujung-ujungnya terjadi
persengketaan. Kepemilikan tanah pada masyarakat adat Nias Selatan yang
didasarkan atas kepemilikan bersama berdasar marga dan kekuasaan sehingga
sekarang masih berlaku, namun karena hukum adat kepemilikan tanah berdasarkan
hak ulayat yang tertuang dalam Avore/Fondrako masih bersifat lisan tidak tertulis
menyebabkan kekuatan hukum adat itu sendiri semakin jauh dari harapan apalagi
dengan keadaan generasi sekarang yang sudah tidak mengerti dengan adat
Avore/Fondrako dan lebih mengunakan jalur hukum kepemilikan tanah menurut
Undang-undang Agraria. Akhir-akhir ini tanah memiliki peranan penting dalam
kehidupan masyarakat Nias Selatan, bahkan tanah dekat pantaipun bernilai sangat
ekonomis. Pentingnya arti tanah tersebut kemudian menimbulkan masalah pertanahan
yang akhir-akhir ini menjadi masalah yang semakin banyak kita jumpai dimana-mana
termasuk wilayah adat Nias Selatan. Sebenarnya masalah tanah telah terjadi jauh
sebelum adanya kemajuan di wilayah kabupaten Nias Selatan, misalnya saja
persengketaan antar desa dalam memperebutkan tanah kekuasaan yang hingga
sekarang masih bisa kita jumpai di daerah pelosok-pelosok Kabupaten Nias Selatan,
dan lain sebagainya.
Awal terjadinya masalah pertanahan di Nias Selatan biasanya terjadi karena
Penguasaan akan lahan produktif, ini terjadi ketika tanah yang dahulunya tidak
memiliki nilai namun setelah dikerjakan dan diolah serta menghasilkan menjadikan
tanah itu semakin bernilai. Namun, berharganya tanah tersebut kemudian
menimbulkan adanya konflik kepentingan dan pemanfaatan situasi oleh pihak-pihak
yang ingin memperoleh tanah yang bukan miliknya. Hal ini semakin bermasalah
ketika tanah tersebut hanya diukur berdasarkan tanaman atau tanpa sertifikat dan
kepemilikannya hanya diketahui oleh beberapa saksi yang menandatangani surat
tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa. Permasalahan makin rumit ketika yang
menjadi saksi telah meninggal dan hal inilah yang kemudian menjadikan pihak lain
memanfaatkan kesempatan tersebut, karena ia yakin akan menang pada saat adanya
penyelesaian sengketa. Apalagi dalam kehidupan masyarakat Nias Selatan bukti surat
akan tanah itu sendiri hanya diperoleh dari adanya kekuatan hukum lokal diatas
materai, terlebih lagi pada masyarakat yang berada jauh dari pusat perekonomian
masyarakat Nias Selatan, kepemilikan tanah makin tidak jelas karena kepemilikan
tanah masih bersifat bersama berdasarkan atas tanah ulayat. Tanah ulayat dalam hal
ini seperti perladangan baru yang dibuka, otomatis kepemilikannya masih didasarkan
atas kepercayaan bersama dengan warga yang juga sama-sama membuka lahan
disekitar tempat tersebut.
Masalah penjualan tanah yang tidak jelas ukurannya, masyarakat Nias Selatan
dahulunya dalam pembagian harta warisan bahkan dalam penjualan tanah hanya
didasarkan sejauh orangtua melemparkan bibit tanaman, misalnya jika ia
melemparkan bibit tanaman durian sejauh 50 meter maka sejauh itulah tanah yang
tersebutlah yang akan menjadi batas tanaman anak-anaknya satu sama lain. Kondisi
inilah yang akhirnya menjadikan kepemilikan tanah makin rumit, terlebih lagi jika
orangtua yang mewariskan tanah tersebut meninggal dunia, akhirnya meninggalkan
konflik berkepanjangan dalam kehidupan anak-cucunya kelak. Jika dulu sistem
tersebut sah-sah saja berlaku karena tanah di Nias cukup luas, tapi kondisi sekarang
tidaklah menunjang diberlakukannya cara demikian malah lambat laun sistem
tersebut akan punah disebabkan cucu-cucunya yang memperoleh warisan berupa
tanah tidak akan mendapat warisan.
Masyarakat Nias Selatan yang merantau, permasalahan sengketa tanah juga
terjadi karena situasi keluarga. Desakan ekonomi dan kurangnya ketrampilan dalam
mengolah lahan pertanian menjadikan anak-anak dari orangtua yang akan
mewariskan tanah orangtuanya pergi merantau. Keputusan merantau dan tanpa
mengetahui batas tanah dari orangtuanya menjadi masalah di kemudian hari, masalah
juga semakin rumit ketika orangtua si anak tersebut meninggal dunia. Permasalahan
lainnya ketika orangtuanya semasa hidupnya telah menjual beberapa bagian tanahnya
kepada orang lain karena tidak sanggup mengolah maupun karena desakan ekonomi,
hubungannya kelak dengan terjadinya sengketa ketika pihak yang membeli tanah
tersebut memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan. Akibat adanya
pembangunan sangatlah penting bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat Nias
Selatan. Terlebih di era modernisasi yang semakin canggih, pembangunan itu sendiri
mengambil peranan penting. Masalah kemudian timbul ketika terjadinya proses
pembelian tanah didasarkan kepercayaan, janji dan ketidaktahuan hukum oleh si
sementara siistri pergi merantau ke desa lain. Hal ini pun dimanfaatkan oleh beberapa
pihak yang merasa bisa mempermainkan situasi tersebut, dengan cara mengambil
secara diam-diam hasil-hasil dari lahan tersebut bahkan menggeser batas tanah agar
kelak tanah tersebut menjadi miliknya.21
Di Indonesia keberadaan hak ulayat ini ada yang masih kental, dan ada yang
sudah menipis serta ada yang sudah tidak ada sama sekali. Akan tetapi eksistensi
tanah ulayat itu sendiri masih diakui. Hal ini dapat dilihat masih adanya pengakuan
terhadap tanah ulayat Kabupaten Nias Selatan sesuai dengan peraturan UUPA.
Adapun bunyi ketentuan yang mengukuhkan eksistensi hak ulayat tersebut adalah:22
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang
lebih tinggi”.
Ketentuan Pasal 3 UUPA tersebut atas dapat diketahui bahwa secara hukum
hak ulayat ini diakui sehingga keberadaannya sah menurut hukum. Oleh karena itu,
hak ulayat masih tetap dapat dilasanakan oleh masing-masing masyarakat hukum adat
yang memilikinya termasuk bagi masyarakat hukum adat yang ada di Kabupaten Nias
Selatan.
21
Dominiria Hulu, “Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias”, melalui http://dominiriahulu.wordpress.com, diakses pada tanggal 2 Juli 2013, Pukul 09.00 WIB.
22
Pengakuan hak ulayat dalam Pasal 3 UUPA, menjadi dasar yang kuat bagi
kelompok masyarakat adat untuk menguasai, mengatur dan memanfaatkan
tanah-tanah ulayatnya. Maria23 menyebutkan “eksistensi hak ulayat adalah hal yang wajar
karena hak ulayat masyarakat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum
terbentuknya Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945”. Hal yang sama
dikemukakan oleh Daeng24 bahwa Pasal 2 ayat (4) UUPA ditentukan bahwa hal yang
menguasai atas tanah dari negara, pelaksanaanya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah swantara dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional. Hal ini berarti bahwa pemerintah tetap
menghargai hukum adat tanah suatu masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Nias Selatan memberikan fokus pada pembangunan
sejumlah infrastruktur penting di daerahnya. Salah satunya adalah melanjutkan
pembangunan Bandara Silambo yang sampai saat ini masih terkatung-katung.
Bandara tersebut merupakan salah satu target Pemerintah Kabupaten Nias Selatan
untuk beroperasi paling lambat 2013.25
Satu persoalan besar yang sedang dihadapi bangsa kita adalah dilema yang terjadi di bidang penegakan hukum. Di satu sisi kuantitas dan kualitas sengketa yang terjadi dalam masyarakat cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Sedangkan di sisi lain, pengadilan negara yang memegang kewenangan mengadili menurut undang-undang mempunyai kemampuan yang relatif terbatas. Terlebih-lebih lagi akhir-akhir ini pengadilan negara sedang dilanda krisis kepercayaan. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan terjadi berlarut-larut, karena cukup potensial memicu terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) atau peradilan massa, yang dapat menimbulkan kekacauan
23
Maria, Op.cit, hal 55. 24
Daeng, Op.cit, hal 123. 25
(chaos) dalam masyarakat. Solusinya pengembangan penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.26
Di sisi lain, para investor yang ingin berinvestasi di sektor infrastruktur tidak
berani menanamkan modalnya, karena adanya kekuatiran walaupun proyeknya sudah
disetujui untuk dibangun namun pada saat pembangunannya terhambat oleh persoalan
pembebasan tanah, akibatnya penyelesaian proyek tertunda dan bahkan kemungkinan
tidak dapat dioperasikan, sebagai contoh pembangunan Bandar Udara Silambo
Kabupaten Nias Selatan.
Bandar Silambo Kabupaten Nias Selatan yang digagas dan dimulai
pembangunannya oleh Pemkab Nisel, selain akan mengefektifkan jalur transportasi
juga sebagai terobosan menumbuhkan ekonomi masyarakat. Dengan terciptanya
Bandara sebagai pintu masuk akan merangsang keramaian sekitar Nisel dan
menumbuhkan aktifitas ekonomi bisnis sehingga membuka lapangan kerja bagi
masyarakat sekitar. Sehingga disebutkan, masyarakat dan pemerintah serta pihak lain
selayaknya bersekutu dan peduli agar pembangunan bandara yang terbengkalai saat
ini dapat diteruskan. Bappeda sendiri sebelumnya telah merampungkan sistem
perencanaan bandara dan telah disetujui kementerian perhubungan terkait strategis
wilayah bagi Kepulauan Nias, selanjutnya untuk bidang teknis menjadi tugas Pemkab
melalui Dinas PU Bina Marga. Yang menjadi kendala pembangunan saat ini
disebutkan masalah pelepasan tanah milik warga yang belum seluruhnya rampung,
oleh karena itu diminta masyarakat melihat jernih program pembangunan, yang mana
26
imbas dari kemajuan kelak akan dirasakan masyarakat sendiri. Imbas positif
keberadaan (eksistensi) bandara, disebutkan akan mempengaruhi sistem pola pikir
masyarakat, mindset yang lebih terpimpin akan tercipta dengan pembauran
masyarakat dengan warga tamu atau pendatang dengan tujuan wisata dan tujuan
lainnya. 27
Pemerintah Kabupaten Nias Selatan memberikan fokus pada pembangunan
sejumlah infrastruktur penting di daerahnya. Salah satunya adalah kelanjutan
pembangunan Bandara Silambo yang sampai saat ini masih terkatung-katung.
Bandara Silambo ditargetkan segera beroperasi karena keberadaan bandara itu akan
memberi akses yang cepat bagi pariwisata Nias Selatan dimana dunia luar dengan
mudah menjangkaunya. Meski dalam rencana pemerintah pusat bandara itu hanya
berkelas air strip, namun Pemerintah Kabupaten Nias Selatan akan
mengembangkanya menjadi bandara yang berstandar dan bisa beroperasi secara
komersil. Agar masyarakat bisa bekerjasama dalam menuntaskan pembangunan
bandara itu. Kerjasama yang dibutuhkan, di antaranya, terkait masalah tanah dan
ganti rugi.28
Pembangunan bandar udara Silambo yang diusung Pemerintah Kabupaten
Nias Selatan hingga kini tak ada kabar beritanya. Masalah pembebasan lahan
membuat rencana pembangunan bandara Silambo tersendat. Padahal, pemerintah
27 Harian SIB, Bandara Silambo Nisel Akan Dorong Pertumbuhan Ekonomi Rakyat, melalui
http://hariansib.co/view/Marsipature-Hutanabe/1470/Bandara-Silambo-Nisel-akan-Dorong-Pertumbuhan-Ekonomi-Rakyat, diakses pada tanggal 22 Juni 2013, pukul 7.00 WIB. 28
setempat pernah mencanangkan bahwa Oktober 2012 Bandara Silambo itu sudah bisa
dimanfaatkan. Persoalan pembangunan bandara Silambo disebabkan karena sengketa
tanah, sudah tidak cukup hanya dipahami sebagai persoalan sengketa tanah. Sengketa
tanah ini sudah mengandung dimensi sosial ekonomi. Pokok persoalan dalam
pembebasan tanah ini terletak belum terwujudnya musyawarah antara pemerintah
dengan pihak masyarakat adat, atau upaya pemerintah sebagai pengganti tanah ulayat
yang digunakan untuk kepentingan kelangsungan hidup masyarakat di wilayah adat
tersebut.29
Sengketa alih fungsi tanah dalam rangka pembangunan Bandar Udara
Silambo Kabupaten Nias Selatan akan berdampak luas terhadap struktur sosial dan
mobilitas masyarakat Nias Selatan. Kompleksitas dan intensitas perubahan di desa ini
akan berpengaruh pada sosial ekonomi dan perkembangan perilaku masyarakat.
Saran-saran lebih menampakkan aparat dan masyarakat agar dapat memahami akan
kepentingan masing-masing dalam skala kepentingan umum yang lebih luas.
Pemerintah pusat menjadikan Bandara Silambo tersebut sebagai salah satu dari
program pembangunan bandara untuk pulau-pulau terdepan dan daerah rawan
bencana, pembangunannya menggunakan dana APBN. Meskipun pendanaan telah
berlangsung bertahun-tahun, namun sampai saat ini, pembangunan bandara itu tidak
mengalami perkembangan signifikan.
Pembangunan tahap pertama bandara itu dimulai pada 2007 dengan panjang
landasan 1.100 meter dan akan dikembangkan hingga menjadi 1.700 meter dengan
29
lebar 300 meter. Dengan spesifikasi itu, bandara itu bisa didarati pesawat jenis
Fokker 58. Juga didesain bisa didarati pesawat jenis Hercules untuk keadaan darurat.
Pada awalnya, pembangunan tahap pertama bandara itu membutuhkan Rp. 3,7 miliar
dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Nias. Sedangkan pembangunan
tahap kedua, membutuhkan biaya sekitar Rp. 10 miliar yang diharapkan bersumber
dari dana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah/Provinsi. Namun hingga 2009,
data BRR Nias Selatan menunjukkan proyek itu sudah menyerap anggaran hingga
Rp. 27 miliar. Sedangkan pengerjaan tahap ketiga yang akan dilanjutkan oleh
Departemen Keuangan dengan pergantian dari BRR ke RRKN akan menghabiskan
anggaran Rp. 9 miliar.Namun, hingga saat ini, penyelesaian proyek baru mencakup
landasan pacu sepanjang 900 meter. Kegiatan lainnya masih terkendala belum
terbebasnya lahan warga sekitar. Letak bandara Silambo di Desa Botohilitano
Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten
Nias Selatan memberi akses mudah bagi paraturis lokal atau mancanegara untuk
menjangkau Pantai Sorake maupun Pantai Lagundri. Bandara itu juga berjarak sekitar
14 kilometer dari Desa Bawomataluo Kabupaten Nias Selatan. Bahkan, Bandara itu
terlihat jelas dari Desa Bawomataluo, sebagaimana halnya pantai Lagundri dan
Sorake.30
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis
berkeinginan untuk melakukan penelitian tentang Penyelesaian Sengketa Pembebasan
Tanah Ulayat untuk Pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan.
B.Permasalahan
Menyadari akan kompleks dan luasnya permasalahan yang bakal timbul,
karena masalah pembebasan tanah ulayat tidak saja berkaitan dengan aspek yuridis,
akan tetapi juga berkaitan dengan aspek budaya (kearifan lokal), sosiologis dan
ekonomis, untuk itu pada disertasi yang menjadi pokok permasalahan dibatasi pada :
1. Bagaimana eksistensi tanah ulayat masyarakat hukum adat Nias Selatan diatas
lahan rencana pembangunan lapangan terbang Silambo?
2. Bagaimana status hukum hak atas tanah pembangunan Bandar Udara Silambo
Kabupaten Nias Selatan?
3. Mengapa penyelesaian sengketa pembebasan tanah ulayat dalam pengadaan
tanah untuk kepentingan pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias
Selatan belum juga selesai?
C.Asumsi
Berdasarkan hasil analisis dan peninjauan sementara terhadap permasalahan
yang telah dikemukakan di atas, maka penulis dapat berasumsi sebagai berikut :
1. Eksistensi tanah ulayat di Kabupaten Nias Selatan sampai saat ini dianggap masih
eksis khususnya di lokasi pembangunan Bandar Udara Silambo tetapi masih
terdapat warga masyarakat memanfaatkan tanah ulayat tersebut. Hukum Adat
dalam masyarakat Kab. Nias Selatan pada dasarnya dikuasai oleh marga-marga
2. Status hukum hak atas tanah rencana pembangunan Bandar Udara Silambo
Kabupaten Nias Selatan, dengan Pemberian hak atas tanah tentu melihat statusnya,
sejauh manakah hak itu akan diberikan dengan melihat kegunaan dan manfaat dari
pada penerimaan hak kepemilikan tanah ulayat tersebut.
3. Penyelesaian sengketa dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan
Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan memerlukan waktu yang cukup
panjang, dikarenakan semua pihak yang berkepentingan diharapkan untuk dapat
bermusyawarah dan bermufakat untuk menemukan win-win solution.
D.Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, adapun tujuan yang
hendak dicapai dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk memahami dan mengetahui eksistensi tanah ulayat di Kabupaten Nias
Selatan.
2. Untuk memahami dan mengetahui karakteristik sengketa pembebasan tanah ulayat
dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan Lapangan Terbang
Silambo.
3. Untuk memahami dan mengimplementasikan penyelesaian sengketa pembebasan
tanah ulayat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan Bandar
Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan yang belum juga selesai.
E.Manfaat Penelitian
Berbagai hasil temuan yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan akan
sengketa pembebasan tanah ulayat untuk pembangunan Bandar Udara Silambo
Kabupaten Nias Selatan, yang pada gilirannya penelitian ini dapat memberikan
manfaat baik untuk itu secara teoritis maupun secara praktis, antara lain :
1. Secara Teori
a) Sebagai bahan informasi tentang data empiris, baik sebagai bahan dasar bagi
para akademis maupun sebagai bahan perbandingan bagi para peneliti yang
pada gilirannya dapat memberikan andil buat pengembangan Ilmu Hukum pada
umumnya.
b) Menambah khasanah kepustakaan.
2. Secara Praktis
a) Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Pemerintah
Daerah Kabupaten Nias Selatan. Dinas/Badan terkait dalam menangani
sengketa pertanahan khususnya tanah ulayat, sehingga kebijaksanaan yang
diambil tidak bertentangan dengan adat istiadat yang berlaku.
b) Memberi informasi kepada masyarakat berkenaan dengan pentingnya hadir
suatu komisi yang dapat menyelesaikan sengketa pertanahan yang lebih
integralistik dan komprehensif.
F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori
Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori sangat diperlukan dalam penelitian
ilmiah oleh karena kerangka teori merupakan “kerangka-kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin
suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Dengan kata lain, teori dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskan, dan meskipun suatu penjelasan tampaknya begitu meyakinkan, akan tetapi harus didukung oleh fakta-fakta empiris agar dapat dinyatakan benar (valid atau shahih).31
Dalam hal ini, teori berguna untuk :32
a. Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan; b. Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan pengklasifikasian
fakta-fakta yang dikumpulkan;
c. Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; dan d. Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan peneliti tentang
gejala-gejala yang telah dan sedang terjadi.
Menurut William Chambliss dan Seidman terdapat hubungan antara hukum
dan kekuasaan, di mana kekuatan sosial dan pribadi yang terdapat di masyarakat
keberadaannya menekan lembaga pembuat hukum secara langsung sebagai lembaga
yang membuat hukum dan secara tidak langsung menekan lembaga penegak hukum,
sedangkan lembaga penegak hukum juga mengalami tekanan secara langsung dari
kekuatan sosial dan pribadi. Lembaga pembuat hukum bekerja dengan membuat
peraturan yang ditujukan untuk mengatur masyarakat, demikian pula dengan lembaga
penegak hukum yang bekerja untuk melakukan law enforcement untuk ditegakkan di
masyarakat. Masyarakat adalah tujuan akhir dari bekerjanya hukum. Jadi dapat
dikatakan bahwa hukum yang dibuat oleh pembuat hukum yang sudah mengalami
tekanan dari kekuatan sosial dan pribadi di tegakkan oleh penegak hukum yang juga
31
mengalami tekanan dari kekuatan sosial dan pribadi ke masyarakat, sehingga hukum
yang sampai ke masyarakat adalah hukum yang bercorak kekuasaan.33
Realitas ini semakin nyata ketika hukum positif menjadi satu-satunya
sandaran dalam hukum modern. Dapat dikemukakan beberapa faktor tersebut yang
dapat mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat. Faktor-faktor tersebut
yaitu:34
a. Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan
perundang-undangannya);
b. Penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah).
c. Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis (menyangkut pertimbangan
ekonomis sosiologis serta kultur hukum dari role occupant).
d. Konsistensi dan harmonisasi antara politik hukum dalam konstitusi dengan
produk hukum di bawahnya. Hal ini dapat dilakukan dengan pemagaran
secara preventif melalui prinsip kehati-hatian dan kecermatan dalam “law
making” dan represif melalui Judicial Review (MA) dan Costitutional Review
(MK) apabila suatu peraturan telah diundangkan.
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumber daya alam, yang berupa tanah, air, udara dan sumber daya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumber daya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumber daya alam yang diperlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumber daya alam yang baik dan bijaksana karena lingkungan tidak hanya dimanfaatkan saat ini saja, melainkan akan menjadi tempat hunian masyarakat
33
Dani Putra, Teori Chambliss & Seidman, melalui http://www.daniputralaw.com/2012/10/teori-chambliss-seidman.html, diakses pada tanggal 1 Juli 2013 pukul 1.23 WIB.
luas selamanya. Maka peran pemerintah mutlak sangatlah besar dan sudah semestinya pemerintah memiliki konsep paradigma berpikir yang peduli lingkungan. Tidak hanya itu, regulasi yang tepat akan menjadi penyelamat korelasi antara manusia dengan lingkungan yang manfaatnya akan kembali juga pada masyarakat itu sendiri.35
Perencanaan lingkungan idealnya selaras dengan perencanaan alokasi tata ruang,
alokasi sumber daya alam, strategi pengembangan investasi dan sebagainya. Hal ini
penting dalam rangka mengintegrasikan manajemen lingkungan ke dalam manajemen
pembangunan sebagai konsep pembangunan berwawasan lingkungan. Artinya, proses
pembangunan tetap jalan terus namun di dalam setiap unit dan sektor pelaksanaan
pembangunan, perlu diadopsi wawasan ekologis yang memadai.36
Masyarakat mempercayai bahwa tanah yang dipersengketakan adalah
merupakan hak ulayat dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang hidup, serta mempunyai
kepercayaan terhadap ketentuan hukum adat, mereka patuh dan taat walaupun
normanya tidak tertulis. Sebaliknya budaya hukum yang berlaku bagi para penegak
hukum, mereka hanya meyakini norma-norma positif yang berasal dari hukum Barat.
Interaksi dalam sistem hukum mengarah kepada sengketa yang terus menerus tanpa
dapat diselesaikan secara tuntas. Dengan adanya teori dan konsep penguasaan tanah,
serta larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Berlaku di
Indonesia baik secara yuridis maupun hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law), berakibat cenderung menimbulkan konflik pertanahan dalam masyarakat,
bahkan sengketa tersebut cenderung sulit untuk diselesaikan. Kesulitan dalam
penyelesaian sengketa atas tanah ini sangat rumit.
35
Suhaidi, Perlindungan Lingkungan Laut, ( Jakarta : Pustaka Bangsa Press, 2001), hal 16. 36
Melihat faktor dalam penyelesaian sengketa diatas, William Chambliss dan
Robert B. Seidman mengajukan suatu perspektif bagi penerapan hukum dalam
mengatasi masalah. Peran kekuatan sosial bukan hanya berpengaruh pada rakyat
sebagai pemegang peran yang tunduk kepada hukum, namun juga terhadap lembaga
pembuat dan pelaksana hukum tersebut. Dengan demikian hasil akhir dari proses
pelaksanaan hukum atas masyarakat bukan hanya ditentukan oleh hukum, namun
perlu juga dipertimbangan kekuatan sosial dan pribadi yang muncul
disana.37Mekanisme penyelesaian sengketa dengan menggunakan pendekatan
konsensus dengan give a little, get a little. Sedangkan untuk penyelesaian sengketa
dengan pendekatan adverserial (pertentangan) disebut winner takes all.38
Konsep hukum yang semata-mata berdasarkan pada atribut otoritas seperti
dimaksud di atas diperkenalkan oleh Ter Haar, dikenal sebagai teori Keputusan
(Beslissingenleer/Decision Theory), yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum
didefinisikan sebagai keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus sengketa
dan peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan dengan sengketa.39
Adat dan hukum adat kemudian secara historis-filosofis dianggap sebagai perwujudan atau pencerminan kepribadian suatu bangsa dan merupakan penjelmaan jiwa bangsa (volkgeis) suatu masyarakat yang bersangkutan dari zaman ke zaman oleh karena itu setiap bangsa yang ada di dunia memiliki adat (kebiasaan) sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Dengan adanya ketidaksamaan tersebut kita dapat mengetahui bahwa adat
37
Rudy, Konflik Hukum Agraria, melalui http://rudy-fhilosshopia.blogspot.com/2012/05/konflik-hukum-agraria.html, diakses pada tanggal 1 Juli 2013 pukul 1.23 WIB.
38
William J.Chambliss & Robert B.Seidman, Law, Order, and Power, Massachustts, Addison-Wesley Publishing Company, 1971.
39
(kebiasaan) merupakan unsur yang penting dan memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan di samping bangsa lainnya yang ada di dunia.40
Kehidupan masyarakat Indonesia, adat yang dimiliki oleh suku bangsa
berbeda-beda satu sama lainnya meskipun dasar dan sifatnya adalah satu ke
Indonesiaannya. Oleh karena itu, adat (kebiasaan) bangsa Indonesia dikatakan
sebagai Bhinneka (berbeda-beda di daerah-daerah dan pada suku-suku bangsa yang
ada) akan tetapi Tunggal Ika (tetap satu juga) yaitu dasar dan sifat Indonesianya dan
adat bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika ini melainkan selalu berkembang
serta senantiasa mengikuti proses perkembangan bangsa-bangsa yang ada di dunia.
Secara umum, Ter Haar mengatakan bahwa hubungan antara hak persekutuan
dengan hak perseorangan adalah seperti „teori balon‟ (Ballon Theory). Artinya, semakin besar hak persekutuan, maka semakin kecillah hak perseorangan. Dan sebaliknya, semakin kecil hak persekutuan, maka semakin besarlah hak perseorangan. Ringkasnya, hubungan diantara keduanya bersifat kembang kempis. Hukum tanah adat dalam hal hak persekutuan atau hak pertuanan: dapat dilihat dengan jelas bahwa umat manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau mereka ada yang berdiam secara tersebar di pusat-pusat kediaman yang sama nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas, maka dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah. Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak-hak tertentu atas tanah itu, dan melakukan hak itu baik keluar maupun ke dalam persekutuan.41
Teori Balon (mengembang dan mengempis), pada waktu seorang warga
persekutuan atas izin persekutuan membuka dan mengurus terus menerus bidang
tanah tertentu, hak ulayat persekutuan menipis (tapi tetap ada) hak perorangan
menonjol. Bila tanah diterlantarkan, hak persekutuan penuh kembali.42Teori yang
dipakai dalam penulisan disertasi ini adalah teori balonnya (Ballon Theory), untuk
40
Tolib Setiady, Op.cit, hal 1. 41
Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Bandung ; Sumur Batu, 1985), hal 57. 42
menjaga kontinitas terhadap tanah-tanah adat maka salah satu cara adalah dengan
memproteksinya dan Desa Adat seharusnya membentuk suatu badan hukum yang
khusus mengelola, mengatur penguasaan dan pemanfaatan tanah-tanah adat.43
Masyarakat hukum adat terdapat sekelompok orang yang masih terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu
yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam
keadaan sehari-hari.44Adat kebiasaan yang hidup serta yang berkembang dimaksud
merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum adat kita sebagai hukum asli dari
masyarakat dan bangsa Indonesia di manapun dan sampai kapanpun.45Adat kebiasaan
istiadat secara Internasional sudah cukup populer digunakan istilah “Indegeneus
peoples” yang diterjemahkan sebagai masyarakat adat untuk menyebutkan subyek
hak atas tanah adat. Sementara itu, dalam masyarakat Indonesia dikenal pula istilah
masyarakat Hukum Adat.46
Masyarakat hukum adat yang boleh dilaksanakan dengan syarat-syarat tersebut,
adalah hak ulayat dan hak-hak yang serupa sepanjang menurut kenyataannya masih
ada. Hukum adat (hak ulayat dan lain-lain) yang pada saat diundangkan UUPA,
masih ada (masih hidup) yang mungkin kelak tidak akan diadatkan lagi. Demikian ini
disebabkan karena hukum adat itu hidup dan berkembang menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman.
43
Tolib Setiady, Op.cit, hal 57. 44
Rosnidar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah dalam Masyarakat Adat Simalungun,( Medan : Pustaka Bangsa Pers, 2008), hal 84.
45
Tolib Setiady, Op.cit, hal 2. 46
Adapun berlakunya menurut sistematika Ter haar “hak ulayat berlaku
kedalam” berarti:47
a. Masyarakat hukum/anggotanya bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup diatasnya. b. Anggota suku bangsa/masyarakat hukum, untuk keperluan sendiri berhak
untuk berburu, mengumpulkan hasil hutan (yang kemudian dimiliki dengan hak milik), bahkan berhak memiliki beberapa batang pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu di perlihara olehnya.
c. Mereka mempunyai hak untuk membuka tanah dengan pengetahuan kepala suku/masyarakat hukum. Pembukaan tanah dengan pengetahuan kepala suku/masyarakat hukum, merupakan suatu perbuatan hukum yang mendapat perlindungan dalam masyarakat hukum itu.
d. Oleh masyarakat hukum sendiri dapat ditentukan bagian-bagian wilayah yang akan digunakan untuk tempat pemukiman, tempat untuk makam, pengembalaan umum, sawah, dan lain-lain keperluan bersama.
Adapun hak ulayat berlaku keluar berarti:48
a. Anggota suku bangsa lain (juga tetangga) tidak boleh mengambil manfaat dari tanah, daerah hak ulayat, kecuali dengan izin kepala suku/masyarakat hukum dan dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) lebih dulu. Izin yang diberikan kepada kepala suku bangsa lain bersifat sementara, misalnya untuk selama satu musim panen.
b. Suku bangsa/masyarakat hukum yang mempunyai hak ulayat atas wilayahnya, bertanggungjawab atas hal-hal yang terjadi dalam wilayahnya itu.
Sebagai wujud dari peran pengatur tanah seperti yang diamanatkan UUPA
1960 itu, negara di Indonesia menempatkan dirinya sebagai agen pembebasan tanah,
sebagai agen untuk merubah status kepemilikan tanah dan peruntukkan penggunaan
tanah. Pemerintah setempat menjadi panitia yang mengorganisasikan penyerahan
tanah dari komunitas setempat kepada bisnis atau kepada negara itu sendiri.
Kemudian Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi
47
Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Cetakan keempat, (Yogyakarta : Gadjah Mada University, 1994), hal 45-46.
48
pembangunan untuk kepentingan umum49menegaskan lagi bahwa panitia pembebasan
tanah yang dibentuk pemerintahlah yang mengorganisasi pembebasan tanah milik
rakyat untuk kepentingan umum.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia pemerintahlah
yang mengalokasikan tanah untuk diberikan kepada investor sebagai akibatnya,
makin luas tanah yang telah diserahkan negara kepada pebisnis dan sebagai
konsekuensinya tentunya aktor yang paling bertanggungjawab atas akibat-akibat
negatif dari semua itu adalah negara itu sendiri. Terkait dengan mencuatnya kasus
sengketa tanah ini, pasca lahirnya UUPA, Persoalan land reform adalah persoalan
nasional yang bertujuan merombak struktur agraria di Indonesia yang bersifat
feodalisme. Land reform merupakan persoalan yang sangat kompleks menyangkut
segi-segi sosial, ekonomi dan politik kehidupan dan penghidupan petani.
Pelaksanaanya pun banyak berhadapan dengan berbagai persoalan seperti persoalan
adat, sisa-sisa kekuasaan feodal, persoalan waris dan persoalan lainnya.
Hal yang umumnya dikhawatirkan banyak pihak terkait dengan pemberian
semacam hak atas tanah pada masyarakat hukum adat adalah kemungkinan peralihan
hak tersebut kepada pihak luar. Dengan hak pengelolaan kekhawatiran akan hilang
karena hak pengelolaan sejatinya bukan hak privat atas tanah. Hak pengelolaan
adalah hak publik bukan hak privat, yang merupakan bagian dari hak menguasai
negara yang didelegasikan pelaksanaannya kepada masyarakat hukum adat. Dengan
49
demikian masyarakat hukum adat tidak akan dapat mengalihkan hak pengelolaannya
ini kepada pihak lain.50
Kedudukan Hukum Adat di kemudian hari, mengenai ini Soepomo menegaskan
sebagai berikut :51
a. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan menguasai masyarakat Indonesia.
b. Bahwa hukum pidana dari sesuatu negara wajib sesuai dengan corak dan sifat-sifat bangsanya atau masyarakatnya itu sendiri. Oleh karena itu, maka hukum adat pidana akan memberi bahan-bahan yang sangat berharga dalam pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru untuk negara kita.
c. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum (tidak) ditetapkan oleh undang-undang.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang berlaku pada era Orde Baru
tersebut memperlihatkan watak konservatif, yang dapat dicirikan dari penggunaan
asas otonomi nyata dan bertanggungjawab sebagai pengganti asas otonomi yang
seluas-luasnya. Hal ini memang tidak memperhatikan aspirasi masyarakat yang
berkembang di daerah, pemerintah senantiasa memaksakan kehendaknya demi untuk
kepentingan individu atau kelompok tertentu. Kenyataan ini sebagai gambaran bahwa
pemerintahan tidak dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tetapi
berdasarkan atas kekuasaan. Adapun ketentuan hukum mengenai Agraria pada masa
orde baru masih menggunakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA).
Namun dalam pelaksanaannya pemerintah banyak mengeluarkan peraturan yang
50
Sumarto, Kedudukan Hak Ulayat dan Implemetasinya dalam UUPA, melalui http://mas-marto.blogspot.co.id/2012/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diakses tanggal 23 Setember 2015.
51
parsial, seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 15 Tahun 1975,
yang mengatur tata cara pembebasan tanah untuk keperluan pembangunan dan dalam
rangka kepentingan umum. Inpres Nomor 9 Tahun 1973, yang berisi pedoman dan
jenis-jenis kegiatan yang dapat dikategorikan kepentingan umum. Ketentuan ini dapat
dipandang sebagai jalan pintas yang diambil pemerintah untuk memudahkan
pengambilalihan tanah dari rakyat.
Pada hakikatnya di dalam Negara Hukum Indonesia keadilan dan kebenaran
yang hendak dituju oleh hukum itu wajib merupakan kebenaran dan keadilan yang
mencerminkan oleh perasaan dan kebenaran yang hidup di dalam hati nurani rakyat.
Memperhatikan akan hal ini maka kiranya kaidah-kaidah adat istiadatlah yang
senantiasa timbul, berkembang serta hidup di dalam masyarakat seperti kehidupan
masyarakat itu sendiri yang merupakan satu-satunya sumber hukum baru yang dapat
memenuhi kebutuhan.
Penegasan dari M. Nasrun menyatakan52 “Bahwa justru adat itulah yang
menentukan sifat dan corak keIndonesiaan dari kepribadian Bangsa Indonesia. Justru
adat itulah yang merupakan salah satu penjelmaan jiwa Indonesia dari abad ke abad”.
Sesungguhnya adat merupakan salah satu petunjuk identitas bangsa. Oleh karenanya
maka bahan-bahan yang akan memberi dasar dan jiwa ke-Indonesiaan asli kepada
Negara Republik Indonesia tidak mungkin didapat selain dari bahan-bahan yang telah
dimiliki oleh Bangsa Indonesia itu sendiri adalah menjadi tanggung jawab serta
kewajiban kita untuk menyesuaikan adat itu dengan kehendak dan keadaan zaman.
52