• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sengketa Pembebasan Tanah Ulayat untuk Pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelesaian Sengketa Pembebasan Tanah Ulayat untuk Pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Fungsi tanah bagi kehidupan manusia adalah sebagai tempat dimana manusia tinggal, melaksanakan aktivitas sehari-hari, menanam tumbuh-tumbuhan, hingga menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi manusia. Tanah bagi kehidupan manusia memiliki arti yang sangat penting, karena sebagian besar dari kehidupannya tergantung pada tanah. Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan. Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis.1

Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Tanah juga menjadi sumber daya yang sangat vital mengingat kedudukannya sebagai

faktor produksi yang sifatnya tetap dan terbatas. Hal tersebut menyebabkan nilainya

semakin meningkat. Kondisi tersebut membuat tanah yang menyangkut hajat hidup

orang banyak dipercayakan pengelolaan dan pengaturannya kepada pemerintah

sebagai representasi dari negara. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah

dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai

seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan

haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara.2

Pentingnya tanah bagi suatu masyarakat, demikian juga masyarakat adat tidak

dapat dipungkiri lagi bahkan masyarakat adat akan siap mempertaruhkan nyawanya

apabila tanah yang merupakan tempat tinggalnya yang merupakan tumpuan

kehidupannya serta yang mempunyai nilai religius magis terusik dari kehidupannya

atau yang dikenal dalam masyarakat adat sebagai Hak Ulayat.

Menurut Maria Sumardjono untuk menentukan ukuran hak ulayat perlu ditentukan tiga ciri pokok, yaitu: (a) adanya masyarakat hukum adat yang

1

Benhard Limbong, Konflik Pertanahan, ( Jakarta : Margaretha Pustaka, 2012), hal 2. 2

Lihat penjelasan umum UUPA No.5 Tahun 1960, Bagian II.

(2)

memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat; (b) tanah/wilayah dengan batasan-batasan tertentu yang merupakan subyek hak ulayat; (c) adanya kewenangan masyarakat hukum untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang ditentukan, oleh karena itu menurut beliau pengakuan hak ulayat adalah wajar.3

Obyek yang menjadi hak ulayat tidak hanya tanah tetapi meliputi juga hutan

belakar, perairan (sungai-sungai, perairan pantai laut) dan tanaman yang tumbuh

sendiri beserta binatang yang hidup liar. Menurut ketentuan hukum adat hak ulayat

dapat berlaku ke dalam dan berlaku keluar. Berlaku kedalam berarti anggota

masyarakat dapat mengambil keuntungan dari tanah, tumbuh-tumbuhan dan binatang

yang terdapat disitu. Hak ulayat ini mempunyai hubungan yang timbal balik dengan

hak perserorangan, bila hak perorangan kuat, hak ulayatnya melemah. Sebaliknya bila

seseorang yang meninggalkan hak perorangannya, maka hak ulayat berlaku kembali.

Berlaku keluar berarti bahwa orang luar hanya boleh memungut hasil tanah dan

lain-lain dalam lingkungannya sesudah mendapat ijin dari kepala adat atau masyarakat

dan membayar uang pengakuan.

Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Perundang-Undangan di

bidang pertanahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-pokok Agraria yang disebut UUPA. UUPA merupakan pedoman pokok

yang mengatur masalah pertanahan. Undang-Undang Pokok Agraria menggunakan

istilah Hak Ulayat (wilayah) untuk menunjukkan pada tanah yang merupakan wilayah

lingkungan masyarakat hukum bersangkutan. UUPA mengakui keberadaan

lingkungan masyarakat hukum adat dan hak ulayat. Pengakuan terhadap hak ulayat

3

(3)

dilakukan sepanjang menurut kenyatannya masih ada, tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan

peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Berbeda dengan Undang-Undang Dasar

1945 sebelum perubahan, UUPA memperkenalkan konsep pengakuan bersyarat, yang

kemudian diikuti secara baku oleh peraturan perundangan sesudahnya.

Lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan kolonial Belanda mulai ditinggalkan. Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip domein verklaring-nya (semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik negara/milik penjajah Belanda). UUPA merupakan produk hukum pada era Orde Lama yang menghendaki adanya perubahan dan pembaharuan di bidang agraria dan pertanahan serta menghendaki terwujudnya pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kebijakan pemerintahan pada saat itu lebih diupayakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana telah digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Implementasi program land reform untuk membatasi luas pemilikan tanah ini dalam pelaksanaannya ternyata mengalami hambatan. Para tuan tanah berusaha menghindari ketentuan-ketentuan UUPA dengan berbagai cara. Hal lain yang menarik dari masalah tanah pada saat itu adalah digunakannya pelaksanaan land reform.4

Perubahan rezim, yang kemudian merubah politik agrarianya di masa Orde

Baru, memunculkan kondisi-kondisi yang relatif sama bagi petani. UUPA sebagai

peraturan pokok yang mengatur tentang Agraria meskipun tidak pernah dicabut, akan

tetapi kemudian dikeluarkan berbagai peraturan lain, yang tidak mengacu bahkan

bertentangan dengan jiwa dan semangat UUPA itu sendiri. Sejalan dengan perubahan

kebijakan rezim yang lebih menitik beratkan pada pembangunan yang berorientasi

4

(4)

pada pertumbuhan ekonomi yang cepat, maka kebijakan-kebijakan di bidang

pertanahan pun ditujukan untuk mendukung upaya-upaya tersebut. Rezim baru ini

memandang bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi jauh lebih penting

dibandingkan dengan pelaksanaan land reform, sehingga land reform yang dipandang

sebagai instrumen utama dalam mencapai keadilan sosial, tidak mendapatkan tempat

penting pada masa Orde Baru.5

Pada era pemerintahan orde baru terdapat tiga masalah pokok dalam rangka pelaksanaan UUPA. Tiga pokok permasalahan tersebut adalah pembuatan peraturan pelaksanaan, penyesuaian kembali beberapa materi peraturan perundang-undangan tertentu di bidang agraria dan pelaksanaan proses pembebasan tanah. Pada masa orde baru tuntutan pembangunan nasional semakin memperbesar kapasitas tuntutan atas tanah dan volume pengambilan tanah dari masyarakat. Hal ini menjadi masalah karena kriteria kepentingan umum sebagai alasan pencabutan hak belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang proporsional.6

Pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah tidak hanya dilakukan oleh pemerintah untuk pembangunan berbagai proyek pemerintah, namun juga diperuntukkan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum oleh pihak swasta tetapi pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk dan cara yang berbeda. Pemerintah melaksanakan pembebasan, untuk proyek pemerintah atau proyek fasilitas umum.7

Pemerintah sebagai pengelola secara tidak langsung memiliki kewenangan

untuk mengatur agraria yang dikenal dengan hak menguasai negara. Hak ini

membawa pemerintah kepada peraturan-peraturan yang ditujukan untuk

5

Ifdhal Kasim dan Endang Suhendar, Kebijakan Pertanahan Orde Baru : Mangabaikan Keadilan Demi Pertumbuhan Ekonomi, dalam Teguh Purnomo, Hukum Dan Sengketa Pertanahan: Studi Kasus Gerakan Organisasi Petani SeTAM (Serikat Tani Merdeka) dalam Proses Reklaiming di desa Desa Mulyadadi Kecamatan Cipari Kabupaten Cilacap, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2005, hal 8.

6

Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah , (Yogyakarta : Total Media , 2009) hal 175.

7

(5)

kesejahteraan rakyat. Salah satunya adalah dalam bentuk perencanaan pembangunan

infrastruktur yang mengatasnamakan kepentingan umum. Pada perkembangannya,

perencanaan pemerintah tersebut sering harus berhadapan dengan hak rakyat yang

menjadi pemilik tanah. Hal tersebut menyebabkan adanya peraturan sepihak yang

sifatnya memaksa karena proyek untuk kepentingan umum yang akan dilakukan tidak

dapat dipindahkan ke tempat lain atau yang lebih dikenal sebagai penggusuran untuk

kepentingan umum.

Kepentingan umum merupakan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan

yang memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain menyangkut perlindungan hak-hak

individu sebagai warga negara, dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan sarana

publik, dan pelayanan kepada publik.8 Kepentingan umum juga dikatakan sebagai

suatu proyek yang dilakukan pemerintah untuk masyarakat dan tidak bertujuan untuk

mencari keuntungan.9 Oleh karena itu tanah memegang peranan yang sangat penting,

bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan. Kegiatan pembangunan

yang dilaksanakan baik untuk kepentingan umum maupun swasta selalu

membutuhkan tanah sebagai wadah pembangunan. Saat ini, pembangunan terus

meningkat sedangkan persediaan tanah tidak berubah. Keadaan ini berpotensi

menimbulkan sengketa tanah karena kepentingan umum dan kepentingan perorangan

saling berbenturan. Pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwewenang

8

Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, (Jakarta : Kompas 2008), hal 244.

9

(6)

mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus

menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa.

Permasalahan yang sering terjadi sengketa pertanahan masih terdapat permasalahan-permasalahan di bidang pertanahan sebagai akibat dari peninggalan zaman kolonial Belanda yaitu belum diperolehnya jaminan dan kepastian hukum hak atas tanah ulayat yang dikuasai oleh perorangan atau keluarga/kaum sebagai akibat dari tanah-tanah ulayat yang tidak mempunyai bukti tertulis, maka di dalam proses pensertifikatannya sering terjadi masalah-masalah berupa sengketa, baik dalam hal batas maupun sengketa dalam siapa-siapa yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut.10

Pada perkembangannya, kepentingan umum ini menjadi suatu permasalahan

yang besar dalam kehidupan masyarakat, yaitu sejak unifikasi dari Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria hingga muncul Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012

Tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum masih membatasi konsep

kepentingan umum ke dalam suatu daftar kegiatan, tanpa menjelaskan

kegiatan-kegiatan lain yang tidak termasuk dalam daftar kegiatan-kegiatan tersebut.

Pengadaan tanah pada dasarnya dilakukan demi melakukan pelakasanaan

pembangunan, namun dalam melaksanakannya dibutuhkan tanah, sehingga proses

dalam penyediaan tanah dalam rangka pembangunan ini yang disebut proses

pengadaan tanah. Berkenaan dengan pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan kepentingan umum, Pemerintah Republik Indonesia telah

mengeluarkan beberapa peraturan penting. Diantaranya adalah lahirnya Peraturan

Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 yang di latar belakangi oleh ketentuan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok

10

(7)

Agraria Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1 yang

berbunyi, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung

didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi

kekuasaan seluruh rakyat”.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 merupakan sebuah langkah perbaikan,

karena peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa

keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Dengan diterbitkannya

undang-undang tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam

pengadaan tanah. Beberapa permasalahan mendasar dalam proses pengadaan tanah

selama ini antara lain: pertama, belum tersedianya aturan dasar, prinsip, prosedur dan

mekanisme pengadaan tanah; kedua, belum ditetapkannya kelembagaan pengadaan

tanah; ketiga, tidak adanya peraturan khusus pembiayaan pengadaan tanah; dan

keempat, belum jelasnya kriteria kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai

kepentingan umum. Keempat permasalahan tersebut menjadi salah satu penghambat

untuk mencapai tujuan pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam melakukan

kegiatan pengadaan tanah, maka untuk memperoleh tanah yang dibutuhkan maka

harus ada ganti kerugian kepada pihak yang melepaskan atau menyerahkan tanah,

bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Maka sehubungan

dengan itu, pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi demensi yang harus

ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan

(8)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang ditetapkan pada bulan Januari 2012,

merupakan undang-undang yang ditunggu-tunggu. Alasan diterbitkannya

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 karena pelaksanaan pengadaan tanah pada saat ini

masih lambat dalam mendukung pembangunan infrastruktur. Pelaksanaan pengadaan

tanah selama ini masih dilakukan secara ad hoc dan menimbulkan banyak

permasalahan serta belum menjamin kepastian waktu dalam pembebasan tanahnya.

Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang

mengatur teknis pembebasan lahan, maka pada tanggal 7 Agustus 2012 yang lalu,

Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan

Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor

71 Tahun 2012 juga diatur keharusan instansi yang memerlukan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum agar menyusun dokumen perencanaan

pengadaan tanah. Karena itu harus disebutkan tujuan rencana pembangunan,

kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), letak tanah, luas tanah

yang dibutuhkan, gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah. Lalu

selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang melingkupi wilayah dimana letak

tanah berada. Selain itu, terdapat pengaturan soal penolakan dari pihak yang berhak

untuk penggantian rugi atas lahan tersebut dan sengketa lahan di pengadilan. Terkait

(9)

maupun pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur minyak, gas, dan panas

bumi juga tidak luput diatur didalamnya.

Pengaturan hukum tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan

segala pengaturan yang terkait di Indonesia telah mengalami proses perkembangan

sejak unifikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).11 Peraturan

Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan

Pertanahan Nasional mendapatkan mandat untuk melakukan pengkajian dan

penanganan sengketa dan konflik pertanahan dan untuk itu dibentuk kedeputian

khusus untuk menangani mandat tersebut. Untuk menjalankan amanat tersebut,

Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan

Tanah. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan Umum.

Sejumlah peraturan yang tersangkut di dalam pengadaan tanah, dapat

disimpulkan bahwa cara memperoleh tanah dalam pelaksanaan pengadaan tanah,

yakni dengan memberi ganti rugi (cara yang paling utama), melepaskan hak atas

tanah, dan dengan mencabut hak atas tanah. Secara Normatif, semua hak tanah

mempunyai fungsi sosial, itu artinya hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang,

penggunaannya tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlebih lagi apabila

11

(10)

hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan

dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya sehingga bermanfaat, baik bagi

kesejahteraan pemiliknya mapun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.

Pemerintah sebagai pengelola secara tidak langsung memiliki kewenangan

untuk mengatur agraria yang dikenal dengan hak menguasai negara. Hak ini

membawa pemerintah kepada peraturan-peraturan yang ditujukan untuk

kesejahteraan rakyat. Salah satunya adalah dalam bentuk perencanaan pembangunan

infrastruktur yang mengatasnamakan kepentingan umum. Pada perkembangannya,

perencanaan pemerintah tersebut sering harus berhadapan dengan hak rakyat yang

menjadi pemilik tanah. Hal tersebut menyebabkan adanya peraturan sepihak yang

sifatnya memaksa karena proyek untuk kepentingan umum yang akan dilakukan tidak

dapat dipindahkan ke tempat lain atau yang lebih dikenal sebagai penggusuran untuk

kepentingan umum.

Perubahan menyolok dalam sengketa tanah pada masa orde baru adalah

pihak-pihak yang bersengketa. Pada periode ini konflik tidak lagi melibatkan petani kecil

atau petani penggarap dengan tuan tanah melainkan antara pihak pemilik tanah

(petani/rakyat) dengan pihak pemilik modal besar dan negara. Negara dapat bertindak

sebagai fasilitator yang memberi dukungan terhadap pemilik modal besar dan bahkan

negara itu sendiri, dengan mengatasnamakan pembangunan, merupakan pihak yang

secara langsung bersengketa dengan rakyat. Sengketa tanah pada era Orde Baru

justru muncul dalam frekuensi yang lebih banyak dengan alasan yang berbeda.

Wilayah sengketa juga semakin meluas, tidak hanya terjadi pada masyarakat

(11)

berbagai kota besar misalnya, yang digunakan untuk keperluan para pemilik modal,

pengembang perumahan-perumahan mewah, maupun sejumlah proyek milik

pemerintah.12 Sengketa tanah terjadi antara pemerintah dengan rakyat karena

kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan. Misalnya,

tidak adanya sinkronisasi antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Banyak sekali

peraturan-peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling bertabrakan dengan peraturan

lain.13 Setiap pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah, orang-orang atau pejabat

berwenang seharusnya benar-benar memahami peraturan perundang-undangan yang

berlaku sebagai landasan hukum dan teknis pelaksanaan tugas dengan baik, sehingga

pencapaian hasil tidak menimbulkan masalah atau sengketa baru.14

Dalam penanganan masalah pertanahan telah memberikan arahan

menyelesaikan sengketa pertanahan yang berkenaan dengan sumber daya agraria

yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi sengketa tanah di masa

mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas

prinsip-prinsip antara lain memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia, menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi

manusia, menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman

unifikasi hukum, mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam

12

Ririn Darini, Op.cit, hal 9-10. 13

Maria S.W. Sumardjono, Op.cit, hal 2.

(12)

penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya

agraria/sumber daya alam, melaksanakan fungsi sosial dan sebagainya.

Tanah ulayat sebenarnya bukan milik pemerintah, dan bukan pula milik orang

tertentu. Tanah ulayat ini diadakan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh

masyarakat, sehingga tiadanya kepemilikan berarti bahwa semua masyarakat boleh

memanfaatkan tanah itu untuk kepentingannya. Biasanya pengelolaan tanah ulayat ini

dimiliki oleh suatu suku atau kelompok adat tertentu, dimana tanah ulayat itu berada.

Oleh karena itu, tanah ulayat biasanya identik dengan tanah milik adat dan

pengaturannya dilakukan oleh masyarakat hukum adat. Karena adat itu berbeda-beda

antara suku yang satu dengan yang lain, maka pengaturan tanah ulayat juga

berbeda-beda, tergantung dari suku yang menguasai tanah ulayat tersebut.15 Pengadaan tanah

erat sekali hubungannya dengan pencabutan, pembebasan atau pelepasan hak atas

tanah yang diperlukan baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan

swasta, yang sering kali menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Hal ini

disebabkan karena adanya berbagai kepentingan yang saling bertentangan antara yang

satu dengan yang lainnya.

Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan oleh

pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum,

yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan bangsa dan

15

(13)

negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20

Tahun 1961 dinyatakan bahwa:

“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta

kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”.

Memperhatikan ketentuan yang ada pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20

Tahun 1961 di atas, maka sebelum Presiden mengeluarkan keputusan terhadap tanah

yang akan dicabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti dilakukan suatu

permohonan yang diajukan kepada yang berkepentingan seperti yang telah tertuang di

dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.16 Dasar pokok dari

Undang-Undang No 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah itu adalah ketentuan

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang menggariskan untuk

kepentingan umum negara dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Pasal 18

UUPA tersebut selengkapnya sebagai berikut: “untuk kepentingan umum, termasuk

kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi

ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.

Pencabutan hak atas tanah adalah berupa suatu tindakan dari pihak

negara/alat-alat perlengkapannya yang dilakukan secara paksa terhadap tanah dan

benda yang ada diatasnya kepunyaan penduduk untuk diserahkan kepada pihak yang

meminta pencabutan itu, sedangkan yang bersangkutan tidak pernah melakukan suatu

pelanggaran hukum ataukah melalaikan suatu kewajiban hukum yang dibebankan

(14)

kepadanya, maka untuk itulah diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 20 tahun

1961.

Kegiatan pelaksanaan fisik dari pencabutan hak tesebut baru dapat dilakukan, apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi telah disepakati, baik mengenai jumlah uang yang akan diterima atau tempat dan lokasi tanah pengganti dan tempat permukiman kembali telah disetujui bersama, serta uang ganti rugi telah diterima dengan baik oleh warga yang terkena pembebasan. Pencabutan atau pembebasan tanah pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan tanah dan pihak masyarakat yang tanahnya dicabut atau dibebaskan. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat terwujud, sehingga pembangunan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana peruntukan berbagai fasilitas kepentingan umum. Di samping itu pihak warga masyarakat pemilik tanah dapat diberikan ganti rugi yang layak, atau dapat diberikan tanah pengganti dan permukiman kembali sehingga tingkat kehidupan sosial ekonominya dapat menjadi lebih baik atau setidak-tidaknya tidak menjadi lebih miskin dari sebelum tanah dicabut atau dibebaskan. Pada akhirnya, kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.17

Pasal 8 dari Undang-Undang No. 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak

atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya menyebutkan, bahwa bilamana yang

bersangkutan tidak dapat menerima jumlah ganti rugi yang telah ditetapkan dalam

Keputusan Presiden, dia dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi yang

daerah kekuasaannya meliputi letak tempat tanah yang dicabut haknya.18

Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum

antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi

yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan

pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas

tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa

17

Ibid, hal 5. 18

(15)

yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi

kewajiban hukumnya.

Permasalahan yang terkait dengan pembebasan tanah masyarakat untuk

kepentingan umum senantiasa menimbulkan polemik. Di satu sisi, negara menjamin

kepemilikan sah individu atas tanah, disisi lain pelaksana kekuasaan negara, yakni

pemerintah berkewajiban menjalankan agenda pembangunan infrastruktur fisik yang

seringkali harus mengorbankan nilai kepentingan individu. Kepentingan umum yang

dijabarkan dari fungsi sosial tanah tidak kalah pentingnya dengan kepentingan

individu pemilik yang dijabarkan dari fungsi ekonomi tanah. Artinya pada saat

dibutuhkan demi kepentingan umum, kepentingan individu bisa dikompromikan

bahkan dikalahkan dan hak milik atas tanah harus dilepaskan.19

Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 pada Pasal 4 ayat (2) diatur bahwa pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan hak guna usaha atau hak pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga hak guna usaha atau hak pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan Pasal 2. Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimiliki pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan barang milik negara/daerah. Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dikuasai oleh pemerintah atau dikuasai/dimiliki oleh badan usaha milik Negara/badan usaha milik daerah dilakukan berdasarkan undang-undang nomor 2 Tahun 2012. Pelepasan objek pengadaan tanah dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau pejabat yang diberi pelimpahan kewenangan untuk itu.20

19 Trie Sakti, “Permasalahan Pengadaan Tanah”, melalui http://triesakti.blogspot.com /20s11/01/permasalahan-pengadaan-tanah-di.html, diakses pada tanggal 22 Juni 2013, Pukul 10.00 WIB.

20

(16)

Masyarakat Nias Selatan merupakan masyarakat yang masih hidup dalam

lingkaran kebudayaan dan adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan

kekeluargaan. Tanah merupakan wadah untuk mencari dan mempertahankan

keberlangsungan hidupnya. Pentingnya arti tanah dalam kehidupan masyarakat Nias

Selatan menyebabkan sering terjadinya kesalahpahaman yang ujung-ujungnya terjadi

persengketaan. Kepemilikan tanah pada masyarakat adat Nias Selatan yang

didasarkan atas kepemilikan bersama berdasar marga dan kekuasaan sehingga

sekarang masih berlaku, namun karena hukum adat kepemilikan tanah berdasarkan

hak ulayat yang tertuang dalam Avore/Fondrako masih bersifat lisan tidak tertulis

menyebabkan kekuatan hukum adat itu sendiri semakin jauh dari harapan apalagi

dengan keadaan generasi sekarang yang sudah tidak mengerti dengan adat

Avore/Fondrako dan lebih mengunakan jalur hukum kepemilikan tanah menurut

Undang-undang Agraria. Akhir-akhir ini tanah memiliki peranan penting dalam

kehidupan masyarakat Nias Selatan, bahkan tanah dekat pantaipun bernilai sangat

ekonomis. Pentingnya arti tanah tersebut kemudian menimbulkan masalah pertanahan

yang akhir-akhir ini menjadi masalah yang semakin banyak kita jumpai dimana-mana

termasuk wilayah adat Nias Selatan. Sebenarnya masalah tanah telah terjadi jauh

sebelum adanya kemajuan di wilayah kabupaten Nias Selatan, misalnya saja

persengketaan antar desa dalam memperebutkan tanah kekuasaan yang hingga

sekarang masih bisa kita jumpai di daerah pelosok-pelosok Kabupaten Nias Selatan,

dan lain sebagainya.

Awal terjadinya masalah pertanahan di Nias Selatan biasanya terjadi karena

(17)

Penguasaan akan lahan produktif, ini terjadi ketika tanah yang dahulunya tidak

memiliki nilai namun setelah dikerjakan dan diolah serta menghasilkan menjadikan

tanah itu semakin bernilai. Namun, berharganya tanah tersebut kemudian

menimbulkan adanya konflik kepentingan dan pemanfaatan situasi oleh pihak-pihak

yang ingin memperoleh tanah yang bukan miliknya. Hal ini semakin bermasalah

ketika tanah tersebut hanya diukur berdasarkan tanaman atau tanpa sertifikat dan

kepemilikannya hanya diketahui oleh beberapa saksi yang menandatangani surat

tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa. Permasalahan makin rumit ketika yang

menjadi saksi telah meninggal dan hal inilah yang kemudian menjadikan pihak lain

memanfaatkan kesempatan tersebut, karena ia yakin akan menang pada saat adanya

penyelesaian sengketa. Apalagi dalam kehidupan masyarakat Nias Selatan bukti surat

akan tanah itu sendiri hanya diperoleh dari adanya kekuatan hukum lokal diatas

materai, terlebih lagi pada masyarakat yang berada jauh dari pusat perekonomian

masyarakat Nias Selatan, kepemilikan tanah makin tidak jelas karena kepemilikan

tanah masih bersifat bersama berdasarkan atas tanah ulayat. Tanah ulayat dalam hal

ini seperti perladangan baru yang dibuka, otomatis kepemilikannya masih didasarkan

atas kepercayaan bersama dengan warga yang juga sama-sama membuka lahan

disekitar tempat tersebut.

Masalah penjualan tanah yang tidak jelas ukurannya, masyarakat Nias Selatan

dahulunya dalam pembagian harta warisan bahkan dalam penjualan tanah hanya

didasarkan sejauh orangtua melemparkan bibit tanaman, misalnya jika ia

melemparkan bibit tanaman durian sejauh 50 meter maka sejauh itulah tanah yang

(18)

tersebutlah yang akan menjadi batas tanaman anak-anaknya satu sama lain. Kondisi

inilah yang akhirnya menjadikan kepemilikan tanah makin rumit, terlebih lagi jika

orangtua yang mewariskan tanah tersebut meninggal dunia, akhirnya meninggalkan

konflik berkepanjangan dalam kehidupan anak-cucunya kelak. Jika dulu sistem

tersebut sah-sah saja berlaku karena tanah di Nias cukup luas, tapi kondisi sekarang

tidaklah menunjang diberlakukannya cara demikian malah lambat laun sistem

tersebut akan punah disebabkan cucu-cucunya yang memperoleh warisan berupa

tanah tidak akan mendapat warisan.

Masyarakat Nias Selatan yang merantau, permasalahan sengketa tanah juga

terjadi karena situasi keluarga. Desakan ekonomi dan kurangnya ketrampilan dalam

mengolah lahan pertanian menjadikan anak-anak dari orangtua yang akan

mewariskan tanah orangtuanya pergi merantau. Keputusan merantau dan tanpa

mengetahui batas tanah dari orangtuanya menjadi masalah di kemudian hari, masalah

juga semakin rumit ketika orangtua si anak tersebut meninggal dunia. Permasalahan

lainnya ketika orangtuanya semasa hidupnya telah menjual beberapa bagian tanahnya

kepada orang lain karena tidak sanggup mengolah maupun karena desakan ekonomi,

hubungannya kelak dengan terjadinya sengketa ketika pihak yang membeli tanah

tersebut memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan. Akibat adanya

pembangunan sangatlah penting bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat Nias

Selatan. Terlebih di era modernisasi yang semakin canggih, pembangunan itu sendiri

mengambil peranan penting. Masalah kemudian timbul ketika terjadinya proses

pembelian tanah didasarkan kepercayaan, janji dan ketidaktahuan hukum oleh si

(19)

sementara siistri pergi merantau ke desa lain. Hal ini pun dimanfaatkan oleh beberapa

pihak yang merasa bisa mempermainkan situasi tersebut, dengan cara mengambil

secara diam-diam hasil-hasil dari lahan tersebut bahkan menggeser batas tanah agar

kelak tanah tersebut menjadi miliknya.21

Di Indonesia keberadaan hak ulayat ini ada yang masih kental, dan ada yang

sudah menipis serta ada yang sudah tidak ada sama sekali. Akan tetapi eksistensi

tanah ulayat itu sendiri masih diakui. Hal ini dapat dilihat masih adanya pengakuan

terhadap tanah ulayat Kabupaten Nias Selatan sesuai dengan peraturan UUPA.

Adapun bunyi ketentuan yang mengukuhkan eksistensi hak ulayat tersebut adalah:22

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat

dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang

menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan

kepentingan nasional dan negara berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang

lebih tinggi”.

Ketentuan Pasal 3 UUPA tersebut atas dapat diketahui bahwa secara hukum

hak ulayat ini diakui sehingga keberadaannya sah menurut hukum. Oleh karena itu,

hak ulayat masih tetap dapat dilasanakan oleh masing-masing masyarakat hukum adat

yang memilikinya termasuk bagi masyarakat hukum adat yang ada di Kabupaten Nias

Selatan.

21

Dominiria Hulu, “Sengketa Tanah dan Prosedur Penyelesaiannya pada Masyarakat Nias”, melalui http://dominiriahulu.wordpress.com, diakses pada tanggal 2 Juli 2013, Pukul 09.00 WIB.

22

(20)

Pengakuan hak ulayat dalam Pasal 3 UUPA, menjadi dasar yang kuat bagi

kelompok masyarakat adat untuk menguasai, mengatur dan memanfaatkan

tanah-tanah ulayatnya. Maria23 menyebutkan “eksistensi hak ulayat adalah hal yang wajar

karena hak ulayat masyarakat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum

terbentuknya Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945”. Hal yang sama

dikemukakan oleh Daeng24 bahwa Pasal 2 ayat (4) UUPA ditentukan bahwa hal yang

menguasai atas tanah dari negara, pelaksanaanya dapat dikuasakan kepada

daerah-daerah swantara dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional. Hal ini berarti bahwa pemerintah tetap

menghargai hukum adat tanah suatu masyarakat.

Pemerintah Kabupaten Nias Selatan memberikan fokus pada pembangunan

sejumlah infrastruktur penting di daerahnya. Salah satunya adalah melanjutkan

pembangunan Bandara Silambo yang sampai saat ini masih terkatung-katung.

Bandara tersebut merupakan salah satu target Pemerintah Kabupaten Nias Selatan

untuk beroperasi paling lambat 2013.25

Satu persoalan besar yang sedang dihadapi bangsa kita adalah dilema yang terjadi di bidang penegakan hukum. Di satu sisi kuantitas dan kualitas sengketa yang terjadi dalam masyarakat cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Sedangkan di sisi lain, pengadilan negara yang memegang kewenangan mengadili menurut undang-undang mempunyai kemampuan yang relatif terbatas. Terlebih-lebih lagi akhir-akhir ini pengadilan negara sedang dilanda krisis kepercayaan. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan terjadi berlarut-larut, karena cukup potensial memicu terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) atau peradilan massa, yang dapat menimbulkan kekacauan

23

Maria, Op.cit, hal 55. 24

Daeng, Op.cit, hal 123. 25

(21)

(chaos) dalam masyarakat. Solusinya pengembangan penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.26

Di sisi lain, para investor yang ingin berinvestasi di sektor infrastruktur tidak

berani menanamkan modalnya, karena adanya kekuatiran walaupun proyeknya sudah

disetujui untuk dibangun namun pada saat pembangunannya terhambat oleh persoalan

pembebasan tanah, akibatnya penyelesaian proyek tertunda dan bahkan kemungkinan

tidak dapat dioperasikan, sebagai contoh pembangunan Bandar Udara Silambo

Kabupaten Nias Selatan.

Bandar Silambo Kabupaten Nias Selatan yang digagas dan dimulai

pembangunannya oleh Pemkab Nisel, selain akan mengefektifkan jalur transportasi

juga sebagai terobosan menumbuhkan ekonomi masyarakat. Dengan terciptanya

Bandara sebagai pintu masuk akan merangsang keramaian sekitar Nisel dan

menumbuhkan aktifitas ekonomi bisnis sehingga membuka lapangan kerja bagi

masyarakat sekitar. Sehingga disebutkan, masyarakat dan pemerintah serta pihak lain

selayaknya bersekutu dan peduli agar pembangunan bandara yang terbengkalai saat

ini dapat diteruskan. Bappeda sendiri sebelumnya telah merampungkan sistem

perencanaan bandara dan telah disetujui kementerian perhubungan terkait strategis

wilayah bagi Kepulauan Nias, selanjutnya untuk bidang teknis menjadi tugas Pemkab

melalui Dinas PU Bina Marga. Yang menjadi kendala pembangunan saat ini

disebutkan masalah pelepasan tanah milik warga yang belum seluruhnya rampung,

oleh karena itu diminta masyarakat melihat jernih program pembangunan, yang mana

26

(22)

imbas dari kemajuan kelak akan dirasakan masyarakat sendiri. Imbas positif

keberadaan (eksistensi) bandara, disebutkan akan mempengaruhi sistem pola pikir

masyarakat, mindset yang lebih terpimpin akan tercipta dengan pembauran

masyarakat dengan warga tamu atau pendatang dengan tujuan wisata dan tujuan

lainnya. 27

Pemerintah Kabupaten Nias Selatan memberikan fokus pada pembangunan

sejumlah infrastruktur penting di daerahnya. Salah satunya adalah kelanjutan

pembangunan Bandara Silambo yang sampai saat ini masih terkatung-katung.

Bandara Silambo ditargetkan segera beroperasi karena keberadaan bandara itu akan

memberi akses yang cepat bagi pariwisata Nias Selatan dimana dunia luar dengan

mudah menjangkaunya. Meski dalam rencana pemerintah pusat bandara itu hanya

berkelas air strip, namun Pemerintah Kabupaten Nias Selatan akan

mengembangkanya menjadi bandara yang berstandar dan bisa beroperasi secara

komersil. Agar masyarakat bisa bekerjasama dalam menuntaskan pembangunan

bandara itu. Kerjasama yang dibutuhkan, di antaranya, terkait masalah tanah dan

ganti rugi.28

Pembangunan bandar udara Silambo yang diusung Pemerintah Kabupaten

Nias Selatan hingga kini tak ada kabar beritanya. Masalah pembebasan lahan

membuat rencana pembangunan bandara Silambo tersendat. Padahal, pemerintah

27 Harian SIB, Bandara Silambo Nisel Akan Dorong Pertumbuhan Ekonomi Rakyat, melalui

http://hariansib.co/view/Marsipature-Hutanabe/1470/Bandara-Silambo-Nisel-akan-Dorong-Pertumbuhan-Ekonomi-Rakyat, diakses pada tanggal 22 Juni 2013, pukul 7.00 WIB. 28

(23)

setempat pernah mencanangkan bahwa Oktober 2012 Bandara Silambo itu sudah bisa

dimanfaatkan. Persoalan pembangunan bandara Silambo disebabkan karena sengketa

tanah, sudah tidak cukup hanya dipahami sebagai persoalan sengketa tanah. Sengketa

tanah ini sudah mengandung dimensi sosial ekonomi. Pokok persoalan dalam

pembebasan tanah ini terletak belum terwujudnya musyawarah antara pemerintah

dengan pihak masyarakat adat, atau upaya pemerintah sebagai pengganti tanah ulayat

yang digunakan untuk kepentingan kelangsungan hidup masyarakat di wilayah adat

tersebut.29

Sengketa alih fungsi tanah dalam rangka pembangunan Bandar Udara

Silambo Kabupaten Nias Selatan akan berdampak luas terhadap struktur sosial dan

mobilitas masyarakat Nias Selatan. Kompleksitas dan intensitas perubahan di desa ini

akan berpengaruh pada sosial ekonomi dan perkembangan perilaku masyarakat.

Saran-saran lebih menampakkan aparat dan masyarakat agar dapat memahami akan

kepentingan masing-masing dalam skala kepentingan umum yang lebih luas.

Pemerintah pusat menjadikan Bandara Silambo tersebut sebagai salah satu dari

program pembangunan bandara untuk pulau-pulau terdepan dan daerah rawan

bencana, pembangunannya menggunakan dana APBN. Meskipun pendanaan telah

berlangsung bertahun-tahun, namun sampai saat ini, pembangunan bandara itu tidak

mengalami perkembangan signifikan.

Pembangunan tahap pertama bandara itu dimulai pada 2007 dengan panjang

landasan 1.100 meter dan akan dikembangkan hingga menjadi 1.700 meter dengan

29

(24)

lebar 300 meter. Dengan spesifikasi itu, bandara itu bisa didarati pesawat jenis

Fokker 58. Juga didesain bisa didarati pesawat jenis Hercules untuk keadaan darurat.

Pada awalnya, pembangunan tahap pertama bandara itu membutuhkan Rp. 3,7 miliar

dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Nias. Sedangkan pembangunan

tahap kedua, membutuhkan biaya sekitar Rp. 10 miliar yang diharapkan bersumber

dari dana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah/Provinsi. Namun hingga 2009,

data BRR Nias Selatan menunjukkan proyek itu sudah menyerap anggaran hingga

Rp. 27 miliar. Sedangkan pengerjaan tahap ketiga yang akan dilanjutkan oleh

Departemen Keuangan dengan pergantian dari BRR ke RRKN akan menghabiskan

anggaran Rp. 9 miliar.Namun, hingga saat ini, penyelesaian proyek baru mencakup

landasan pacu sepanjang 900 meter. Kegiatan lainnya masih terkendala belum

terbebasnya lahan warga sekitar. Letak bandara Silambo di Desa Botohilitano

Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten

Nias Selatan memberi akses mudah bagi paraturis lokal atau mancanegara untuk

menjangkau Pantai Sorake maupun Pantai Lagundri. Bandara itu juga berjarak sekitar

14 kilometer dari Desa Bawomataluo Kabupaten Nias Selatan. Bahkan, Bandara itu

terlihat jelas dari Desa Bawomataluo, sebagaimana halnya pantai Lagundri dan

Sorake.30

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis

berkeinginan untuk melakukan penelitian tentang Penyelesaian Sengketa Pembebasan

Tanah Ulayat untuk Pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan.

(25)

B.Permasalahan

Menyadari akan kompleks dan luasnya permasalahan yang bakal timbul,

karena masalah pembebasan tanah ulayat tidak saja berkaitan dengan aspek yuridis,

akan tetapi juga berkaitan dengan aspek budaya (kearifan lokal), sosiologis dan

ekonomis, untuk itu pada disertasi yang menjadi pokok permasalahan dibatasi pada :

1. Bagaimana eksistensi tanah ulayat masyarakat hukum adat Nias Selatan diatas

lahan rencana pembangunan lapangan terbang Silambo?

2. Bagaimana status hukum hak atas tanah pembangunan Bandar Udara Silambo

Kabupaten Nias Selatan?

3. Mengapa penyelesaian sengketa pembebasan tanah ulayat dalam pengadaan

tanah untuk kepentingan pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias

Selatan belum juga selesai?

C.Asumsi

Berdasarkan hasil analisis dan peninjauan sementara terhadap permasalahan

yang telah dikemukakan di atas, maka penulis dapat berasumsi sebagai berikut :

1. Eksistensi tanah ulayat di Kabupaten Nias Selatan sampai saat ini dianggap masih

eksis khususnya di lokasi pembangunan Bandar Udara Silambo tetapi masih

terdapat warga masyarakat memanfaatkan tanah ulayat tersebut. Hukum Adat

dalam masyarakat Kab. Nias Selatan pada dasarnya dikuasai oleh marga-marga

(26)

2. Status hukum hak atas tanah rencana pembangunan Bandar Udara Silambo

Kabupaten Nias Selatan, dengan Pemberian hak atas tanah tentu melihat statusnya,

sejauh manakah hak itu akan diberikan dengan melihat kegunaan dan manfaat dari

pada penerimaan hak kepemilikan tanah ulayat tersebut.

3. Penyelesaian sengketa dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan

Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan memerlukan waktu yang cukup

panjang, dikarenakan semua pihak yang berkepentingan diharapkan untuk dapat

bermusyawarah dan bermufakat untuk menemukan win-win solution.

D.Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, adapun tujuan yang

hendak dicapai dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memahami dan mengetahui eksistensi tanah ulayat di Kabupaten Nias

Selatan.

2. Untuk memahami dan mengetahui karakteristik sengketa pembebasan tanah ulayat

dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan Lapangan Terbang

Silambo.

3. Untuk memahami dan mengimplementasikan penyelesaian sengketa pembebasan

tanah ulayat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan Bandar

Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan yang belum juga selesai.

E.Manfaat Penelitian

Berbagai hasil temuan yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan akan

(27)

sengketa pembebasan tanah ulayat untuk pembangunan Bandar Udara Silambo

Kabupaten Nias Selatan, yang pada gilirannya penelitian ini dapat memberikan

manfaat baik untuk itu secara teoritis maupun secara praktis, antara lain :

1. Secara Teori

a) Sebagai bahan informasi tentang data empiris, baik sebagai bahan dasar bagi

para akademis maupun sebagai bahan perbandingan bagi para peneliti yang

pada gilirannya dapat memberikan andil buat pengembangan Ilmu Hukum pada

umumnya.

b) Menambah khasanah kepustakaan.

2. Secara Praktis

a) Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Pemerintah

Daerah Kabupaten Nias Selatan. Dinas/Badan terkait dalam menangani

sengketa pertanahan khususnya tanah ulayat, sehingga kebijaksanaan yang

diambil tidak bertentangan dengan adat istiadat yang berlaku.

b) Memberi informasi kepada masyarakat berkenaan dengan pentingnya hadir

suatu komisi yang dapat menyelesaikan sengketa pertanahan yang lebih

integralistik dan komprehensif.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori sangat diperlukan dalam penelitian

ilmiah oleh karena kerangka teori merupakan “kerangka-kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin

(28)

suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Dengan kata lain, teori dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskan, dan meskipun suatu penjelasan tampaknya begitu meyakinkan, akan tetapi harus didukung oleh fakta-fakta empiris agar dapat dinyatakan benar (valid atau shahih).31

Dalam hal ini, teori berguna untuk :32

a. Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan; b. Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan pengklasifikasian

fakta-fakta yang dikumpulkan;

c. Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; dan d. Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan peneliti tentang

gejala-gejala yang telah dan sedang terjadi.

Menurut William Chambliss dan Seidman terdapat hubungan antara hukum

dan kekuasaan, di mana kekuatan sosial dan pribadi yang terdapat di masyarakat

keberadaannya menekan lembaga pembuat hukum secara langsung sebagai lembaga

yang membuat hukum dan secara tidak langsung menekan lembaga penegak hukum,

sedangkan lembaga penegak hukum juga mengalami tekanan secara langsung dari

kekuatan sosial dan pribadi. Lembaga pembuat hukum bekerja dengan membuat

peraturan yang ditujukan untuk mengatur masyarakat, demikian pula dengan lembaga

penegak hukum yang bekerja untuk melakukan law enforcement untuk ditegakkan di

masyarakat. Masyarakat adalah tujuan akhir dari bekerjanya hukum. Jadi dapat

dikatakan bahwa hukum yang dibuat oleh pembuat hukum yang sudah mengalami

tekanan dari kekuatan sosial dan pribadi di tegakkan oleh penegak hukum yang juga

31

(29)

mengalami tekanan dari kekuatan sosial dan pribadi ke masyarakat, sehingga hukum

yang sampai ke masyarakat adalah hukum yang bercorak kekuasaan.33

Realitas ini semakin nyata ketika hukum positif menjadi satu-satunya

sandaran dalam hukum modern. Dapat dikemukakan beberapa faktor tersebut yang

dapat mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat. Faktor-faktor tersebut

yaitu:34

a. Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan

perundang-undangannya);

b. Penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah).

c. Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis (menyangkut pertimbangan

ekonomis sosiologis serta kultur hukum dari role occupant).

d. Konsistensi dan harmonisasi antara politik hukum dalam konstitusi dengan

produk hukum di bawahnya. Hal ini dapat dilakukan dengan pemagaran

secara preventif melalui prinsip kehati-hatian dan kecermatan dalam “law

making” dan represif melalui Judicial Review (MA) dan Costitutional Review

(MK) apabila suatu peraturan telah diundangkan.

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumber daya alam, yang berupa tanah, air, udara dan sumber daya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumber daya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumber daya alam yang diperlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumber daya alam yang baik dan bijaksana karena lingkungan tidak hanya dimanfaatkan saat ini saja, melainkan akan menjadi tempat hunian masyarakat

33

Dani Putra, Teori Chambliss & Seidman, melalui http://www.daniputralaw.com/2012/10/teori-chambliss-seidman.html, diakses pada tanggal 1 Juli 2013 pukul 1.23 WIB.

(30)

luas selamanya. Maka peran pemerintah mutlak sangatlah besar dan sudah semestinya pemerintah memiliki konsep paradigma berpikir yang peduli lingkungan. Tidak hanya itu, regulasi yang tepat akan menjadi penyelamat korelasi antara manusia dengan lingkungan yang manfaatnya akan kembali juga pada masyarakat itu sendiri.35

Perencanaan lingkungan idealnya selaras dengan perencanaan alokasi tata ruang,

alokasi sumber daya alam, strategi pengembangan investasi dan sebagainya. Hal ini

penting dalam rangka mengintegrasikan manajemen lingkungan ke dalam manajemen

pembangunan sebagai konsep pembangunan berwawasan lingkungan. Artinya, proses

pembangunan tetap jalan terus namun di dalam setiap unit dan sektor pelaksanaan

pembangunan, perlu diadopsi wawasan ekologis yang memadai.36

Masyarakat mempercayai bahwa tanah yang dipersengketakan adalah

merupakan hak ulayat dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang hidup, serta mempunyai

kepercayaan terhadap ketentuan hukum adat, mereka patuh dan taat walaupun

normanya tidak tertulis. Sebaliknya budaya hukum yang berlaku bagi para penegak

hukum, mereka hanya meyakini norma-norma positif yang berasal dari hukum Barat.

Interaksi dalam sistem hukum mengarah kepada sengketa yang terus menerus tanpa

dapat diselesaikan secara tuntas. Dengan adanya teori dan konsep penguasaan tanah,

serta larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Berlaku di

Indonesia baik secara yuridis maupun hukum yang hidup dalam masyarakat (living

law), berakibat cenderung menimbulkan konflik pertanahan dalam masyarakat,

bahkan sengketa tersebut cenderung sulit untuk diselesaikan. Kesulitan dalam

penyelesaian sengketa atas tanah ini sangat rumit.

35

Suhaidi, Perlindungan Lingkungan Laut, ( Jakarta : Pustaka Bangsa Press, 2001), hal 16. 36

(31)

Melihat faktor dalam penyelesaian sengketa diatas, William Chambliss dan

Robert B. Seidman mengajukan suatu perspektif bagi penerapan hukum dalam

mengatasi masalah. Peran kekuatan sosial bukan hanya berpengaruh pada rakyat

sebagai pemegang peran yang tunduk kepada hukum, namun juga terhadap lembaga

pembuat dan pelaksana hukum tersebut. Dengan demikian hasil akhir dari proses

pelaksanaan hukum atas masyarakat bukan hanya ditentukan oleh hukum, namun

perlu juga dipertimbangan kekuatan sosial dan pribadi yang muncul

disana.37Mekanisme penyelesaian sengketa dengan menggunakan pendekatan

konsensus dengan give a little, get a little. Sedangkan untuk penyelesaian sengketa

dengan pendekatan adverserial (pertentangan) disebut winner takes all.38

Konsep hukum yang semata-mata berdasarkan pada atribut otoritas seperti

dimaksud di atas diperkenalkan oleh Ter Haar, dikenal sebagai teori Keputusan

(Beslissingenleer/Decision Theory), yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum

didefinisikan sebagai keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus sengketa

dan peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan dengan sengketa.39

Adat dan hukum adat kemudian secara historis-filosofis dianggap sebagai perwujudan atau pencerminan kepribadian suatu bangsa dan merupakan penjelmaan jiwa bangsa (volkgeis) suatu masyarakat yang bersangkutan dari zaman ke zaman oleh karena itu setiap bangsa yang ada di dunia memiliki adat (kebiasaan) sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Dengan adanya ketidaksamaan tersebut kita dapat mengetahui bahwa adat

37

Rudy, Konflik Hukum Agraria, melalui http://rudy-fhilosshopia.blogspot.com/2012/05/konflik-hukum-agraria.html, diakses pada tanggal 1 Juli 2013 pukul 1.23 WIB.

38

William J.Chambliss & Robert B.Seidman, Law, Order, and Power, Massachustts, Addison-Wesley Publishing Company, 1971.

39

(32)

(kebiasaan) merupakan unsur yang penting dan memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan di samping bangsa lainnya yang ada di dunia.40

Kehidupan masyarakat Indonesia, adat yang dimiliki oleh suku bangsa

berbeda-beda satu sama lainnya meskipun dasar dan sifatnya adalah satu ke

Indonesiaannya. Oleh karena itu, adat (kebiasaan) bangsa Indonesia dikatakan

sebagai Bhinneka (berbeda-beda di daerah-daerah dan pada suku-suku bangsa yang

ada) akan tetapi Tunggal Ika (tetap satu juga) yaitu dasar dan sifat Indonesianya dan

adat bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika ini melainkan selalu berkembang

serta senantiasa mengikuti proses perkembangan bangsa-bangsa yang ada di dunia.

Secara umum, Ter Haar mengatakan bahwa hubungan antara hak persekutuan

dengan hak perseorangan adalah seperti „teori balon‟ (Ballon Theory). Artinya, semakin besar hak persekutuan, maka semakin kecillah hak perseorangan. Dan sebaliknya, semakin kecil hak persekutuan, maka semakin besarlah hak perseorangan. Ringkasnya, hubungan diantara keduanya bersifat kembang kempis. Hukum tanah adat dalam hal hak persekutuan atau hak pertuanan: dapat dilihat dengan jelas bahwa umat manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau mereka ada yang berdiam secara tersebar di pusat-pusat kediaman yang sama nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas, maka dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah. Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak-hak tertentu atas tanah itu, dan melakukan hak itu baik keluar maupun ke dalam persekutuan.41

Teori Balon (mengembang dan mengempis), pada waktu seorang warga

persekutuan atas izin persekutuan membuka dan mengurus terus menerus bidang

tanah tertentu, hak ulayat persekutuan menipis (tapi tetap ada) hak perorangan

menonjol. Bila tanah diterlantarkan, hak persekutuan penuh kembali.42Teori yang

dipakai dalam penulisan disertasi ini adalah teori balonnya (Ballon Theory), untuk

40

Tolib Setiady, Op.cit, hal 1. 41

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Bandung ; Sumur Batu, 1985), hal 57. 42

(33)

menjaga kontinitas terhadap tanah-tanah adat maka salah satu cara adalah dengan

memproteksinya dan Desa Adat seharusnya membentuk suatu badan hukum yang

khusus mengelola, mengatur penguasaan dan pemanfaatan tanah-tanah adat.43

Masyarakat hukum adat terdapat sekelompok orang yang masih terikat oleh

tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu

yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam

keadaan sehari-hari.44Adat kebiasaan yang hidup serta yang berkembang dimaksud

merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum adat kita sebagai hukum asli dari

masyarakat dan bangsa Indonesia di manapun dan sampai kapanpun.45Adat kebiasaan

istiadat secara Internasional sudah cukup populer digunakan istilah “Indegeneus

peoples” yang diterjemahkan sebagai masyarakat adat untuk menyebutkan subyek

hak atas tanah adat. Sementara itu, dalam masyarakat Indonesia dikenal pula istilah

masyarakat Hukum Adat.46

Masyarakat hukum adat yang boleh dilaksanakan dengan syarat-syarat tersebut,

adalah hak ulayat dan hak-hak yang serupa sepanjang menurut kenyataannya masih

ada. Hukum adat (hak ulayat dan lain-lain) yang pada saat diundangkan UUPA,

masih ada (masih hidup) yang mungkin kelak tidak akan diadatkan lagi. Demikian ini

disebabkan karena hukum adat itu hidup dan berkembang menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman.

43

Tolib Setiady, Op.cit, hal 57. 44

Rosnidar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah dalam Masyarakat Adat Simalungun,( Medan : Pustaka Bangsa Pers, 2008), hal 84.

45

Tolib Setiady, Op.cit, hal 2. 46

(34)

Adapun berlakunya menurut sistematika Ter haar “hak ulayat berlaku

kedalam” berarti:47

a. Masyarakat hukum/anggotanya bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup diatasnya. b. Anggota suku bangsa/masyarakat hukum, untuk keperluan sendiri berhak

untuk berburu, mengumpulkan hasil hutan (yang kemudian dimiliki dengan hak milik), bahkan berhak memiliki beberapa batang pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu di perlihara olehnya.

c. Mereka mempunyai hak untuk membuka tanah dengan pengetahuan kepala suku/masyarakat hukum. Pembukaan tanah dengan pengetahuan kepala suku/masyarakat hukum, merupakan suatu perbuatan hukum yang mendapat perlindungan dalam masyarakat hukum itu.

d. Oleh masyarakat hukum sendiri dapat ditentukan bagian-bagian wilayah yang akan digunakan untuk tempat pemukiman, tempat untuk makam, pengembalaan umum, sawah, dan lain-lain keperluan bersama.

Adapun hak ulayat berlaku keluar berarti:48

a. Anggota suku bangsa lain (juga tetangga) tidak boleh mengambil manfaat dari tanah, daerah hak ulayat, kecuali dengan izin kepala suku/masyarakat hukum dan dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) lebih dulu. Izin yang diberikan kepada kepala suku bangsa lain bersifat sementara, misalnya untuk selama satu musim panen.

b. Suku bangsa/masyarakat hukum yang mempunyai hak ulayat atas wilayahnya, bertanggungjawab atas hal-hal yang terjadi dalam wilayahnya itu.

Sebagai wujud dari peran pengatur tanah seperti yang diamanatkan UUPA

1960 itu, negara di Indonesia menempatkan dirinya sebagai agen pembebasan tanah,

sebagai agen untuk merubah status kepemilikan tanah dan peruntukkan penggunaan

tanah. Pemerintah setempat menjadi panitia yang mengorganisasikan penyerahan

tanah dari komunitas setempat kepada bisnis atau kepada negara itu sendiri.

Kemudian Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi

47

Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Cetakan keempat, (Yogyakarta : Gadjah Mada University, 1994), hal 45-46.

48

(35)

pembangunan untuk kepentingan umum49menegaskan lagi bahwa panitia pembebasan

tanah yang dibentuk pemerintahlah yang mengorganisasi pembebasan tanah milik

rakyat untuk kepentingan umum.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia pemerintahlah

yang mengalokasikan tanah untuk diberikan kepada investor sebagai akibatnya,

makin luas tanah yang telah diserahkan negara kepada pebisnis dan sebagai

konsekuensinya tentunya aktor yang paling bertanggungjawab atas akibat-akibat

negatif dari semua itu adalah negara itu sendiri. Terkait dengan mencuatnya kasus

sengketa tanah ini, pasca lahirnya UUPA, Persoalan land reform adalah persoalan

nasional yang bertujuan merombak struktur agraria di Indonesia yang bersifat

feodalisme. Land reform merupakan persoalan yang sangat kompleks menyangkut

segi-segi sosial, ekonomi dan politik kehidupan dan penghidupan petani.

Pelaksanaanya pun banyak berhadapan dengan berbagai persoalan seperti persoalan

adat, sisa-sisa kekuasaan feodal, persoalan waris dan persoalan lainnya.

Hal yang umumnya dikhawatirkan banyak pihak terkait dengan pemberian

semacam hak atas tanah pada masyarakat hukum adat adalah kemungkinan peralihan

hak tersebut kepada pihak luar. Dengan hak pengelolaan kekhawatiran akan hilang

karena hak pengelolaan sejatinya bukan hak privat atas tanah. Hak pengelolaan

adalah hak publik bukan hak privat, yang merupakan bagian dari hak menguasai

negara yang didelegasikan pelaksanaannya kepada masyarakat hukum adat. Dengan

49

(36)

demikian masyarakat hukum adat tidak akan dapat mengalihkan hak pengelolaannya

ini kepada pihak lain.50

Kedudukan Hukum Adat di kemudian hari, mengenai ini Soepomo menegaskan

sebagai berikut :51

a. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan menguasai masyarakat Indonesia.

b. Bahwa hukum pidana dari sesuatu negara wajib sesuai dengan corak dan sifat-sifat bangsanya atau masyarakatnya itu sendiri. Oleh karena itu, maka hukum adat pidana akan memberi bahan-bahan yang sangat berharga dalam pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru untuk negara kita.

c. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum (tidak) ditetapkan oleh undang-undang.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang berlaku pada era Orde Baru

tersebut memperlihatkan watak konservatif, yang dapat dicirikan dari penggunaan

asas otonomi nyata dan bertanggungjawab sebagai pengganti asas otonomi yang

seluas-luasnya. Hal ini memang tidak memperhatikan aspirasi masyarakat yang

berkembang di daerah, pemerintah senantiasa memaksakan kehendaknya demi untuk

kepentingan individu atau kelompok tertentu. Kenyataan ini sebagai gambaran bahwa

pemerintahan tidak dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tetapi

berdasarkan atas kekuasaan. Adapun ketentuan hukum mengenai Agraria pada masa

orde baru masih menggunakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA).

Namun dalam pelaksanaannya pemerintah banyak mengeluarkan peraturan yang

50

Sumarto, Kedudukan Hak Ulayat dan Implemetasinya dalam UUPA, melalui http://mas-marto.blogspot.co.id/2012/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diakses tanggal 23 Setember 2015.

51

(37)

parsial, seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 15 Tahun 1975,

yang mengatur tata cara pembebasan tanah untuk keperluan pembangunan dan dalam

rangka kepentingan umum. Inpres Nomor 9 Tahun 1973, yang berisi pedoman dan

jenis-jenis kegiatan yang dapat dikategorikan kepentingan umum. Ketentuan ini dapat

dipandang sebagai jalan pintas yang diambil pemerintah untuk memudahkan

pengambilalihan tanah dari rakyat.

Pada hakikatnya di dalam Negara Hukum Indonesia keadilan dan kebenaran

yang hendak dituju oleh hukum itu wajib merupakan kebenaran dan keadilan yang

mencerminkan oleh perasaan dan kebenaran yang hidup di dalam hati nurani rakyat.

Memperhatikan akan hal ini maka kiranya kaidah-kaidah adat istiadatlah yang

senantiasa timbul, berkembang serta hidup di dalam masyarakat seperti kehidupan

masyarakat itu sendiri yang merupakan satu-satunya sumber hukum baru yang dapat

memenuhi kebutuhan.

Penegasan dari M. Nasrun menyatakan52 “Bahwa justru adat itulah yang

menentukan sifat dan corak keIndonesiaan dari kepribadian Bangsa Indonesia. Justru

adat itulah yang merupakan salah satu penjelmaan jiwa Indonesia dari abad ke abad”.

Sesungguhnya adat merupakan salah satu petunjuk identitas bangsa. Oleh karenanya

maka bahan-bahan yang akan memberi dasar dan jiwa ke-Indonesiaan asli kepada

Negara Republik Indonesia tidak mungkin didapat selain dari bahan-bahan yang telah

dimiliki oleh Bangsa Indonesia itu sendiri adalah menjadi tanggung jawab serta

kewajiban kita untuk menyesuaikan adat itu dengan kehendak dan keadaan zaman.

52

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel Model Summary yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar kualitas model regresi berganda yang terbentuk dapat menerangkan kondisi yang

Jika dilihat dari responden yang tidak mengikutsertakan anaknya pada Sub PIN difteri putaran ketiga sebagian besar sudah mendapatkan informasi (92,3%) dan memiliki

Pihak lain yang bukan Pemilik atau yang namanya tidak disebutkan dalam surat menyurat kepemilikan tanah dan bangunan sesuai dengan peraturan perundang- undangan sebagaimana

Tidak berbeda jauh dengan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tujuan perkawinanadalah membentuk keluarga(rumah

Gadai adalah sesuatu hak yang diperoleh seorang kredit atas suatu barang bergerak, yang diserahkan oleh seorang debitur atau orang lain atas namanya, dan member kekuasaan kepada

Ratna Setyaningsih, M.Si, selaku Kepala Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin

Tingkat pencemaran fenol pada 16 contoh terdeteksi lebih tinggi dari nilai ambang batas yang ditetapkan oleh Pemerintah RI untuk perairan sebesar 0,002 mg/L. Tingkat pencemaran

22.Substansi suatu karya tulis ilmiah dapat mencakup berbagai hal, dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling kompleks.. Berikut ini adalah contoh-contoh subatansi