BAB III
STATUS HUKUM HAK ATAS TANAH PEMBANGUNAN BANDAR UDARA SILAMBO KABUPATEN NIAS SELATAN
A. Status Kepemilikan Tanah
Status tanah adalah status kepastian hukum atas kepemilikan tanah. Di
Indonesia, terdapat ketentuan hukum yang diatur dalam pasal 23 dan 24 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang mensyaratkan adanya alat bukti tertentu yang
dapat dijadikan hak yang dapat dipergunakan bagi seseorang atau badan hukum untuk
dapat menuntut kepada Negara atas tanah yang dipegang atau dimiliki. UUPA Nomor
5 Tahun 1960 juga menjamin setiap pemegang hak atas tanah berhak untuk
memperoleh sertifikat (UUPA pasal 4 ayat 1). Terdapat banyak jenis status di
Indonesia yang diatur dalam undang-undang sesuai fungsinya seperti contohnya hak
milik, hak guna bangunan, hak pakai dan sebagainya.
Mengembalikan tanah kepada masyarakat, maka status tanah tersebut tidak
lagi menjadi tanah ulayat. Dalam hukum agraria nasional tidak terdapat ketentuan
yang mengatur pemberian hak oleh pemerintah dalam bentuk hak ulayat, tapi dalam
bentuk hak milik dan hak-hak lain yang ditentukan dalam UUPA. Pendapat senada
juga disampaikan oleh pihak perusahaan, bahwa perpanjangan HGU adalah hak
perusahaan. Perusahaan memandang konflik atas tanah yang muncul bukanlah
masalah mereka, tetapi masalah pemerintah dan hukum agraria. Perusahaan hanya
mengikuti hukum yang berlaku.199
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dimiliki seseorang atas tanah. Turun-temurun dalam hal ini, mempunyai arti bahwa hak milik tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai untuk pertama kali atas tanah tersebut, tetapi dapat dilanjutkan atau diwariskan kepada ahli waris apabila pemilik yang sebelumnya meninggal dunia.200
Di satu pihak adanya hak bersama dan di lain pihak adalah untuk kemanfaatan bersama, sehingga hak atas benda “mandelig” tersebut tidak dapat dipisahkan hak atas kepemilikan dari halaman untuk kemanfaatan dari apa yang dimaksud. Di samping itu tuntutan untuk pembagian dari benda mandelig tersebut tidak dimungkinkan dan atas benda mandelig tersebut dilaksanakan dengan biaya dari seluruh pemilik bersama yaitu biaya-biaya pemeliharaan, pembersihan dan jika perlu diperbaharuinya.201
Hak milik ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang hak milik diberikan sertifikat hak atas tanah. Tanah yang telah menjadi hak milik seseorang, maka sang pemegang hak milik boleh berbuat apa saja atas miliknya tersebut, dengan syarat tindakannya tidak bertentangan dengan undang-undang atau melanggar hak atau kepentingan orang lain. Artinya meskipun pemegang hak milik bebas memperlakukan hak miliknya akan tetapi bersifat tidak mutlak.202
Hal ini ditegaskan oleh pasal 6 UUPA yang menyatakan bahwa semua hak
atas tanah memiliki fungsi sosial. Jadi, hak milik yang dipunyai seseorang tidak boleh
dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau perseorangan, tetapi juga
199
Marcus Colcester, dkk, Tanah yang dijanjikan, Penerbit Forest People Programme, Perkumpulan sawit Watch dan The World Agroforestry Centre, England-Indonesia, 2006, hal 163.
200
Nurwidiatmo, Hak-hak Atas Tanah, Cetakan Pertama, (Jakarta : Penerbit Balas Pustaka, 1996), hal 4.
201
A.P. Parlindungan, Serba Serbi Hukum Agraria, (Bandung : Penerbit Alumni, 1984), hal 89.
202
untuk kepentingan masyarakat banyak. Hak milik harus memiliki fungsi
kemasyarakatan, yang memberikan berbagai hak bagi orang lain.203
Terjadinya hak atas tanah menurut hukum adat biasanya bersumber pada pembukaan hutan yang merupakan tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. Cara-cara tersebut kemudian akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara. Sebab, pembukaan hutan yang tidak teratur dan membabi buta tentu pada gilirannya akan menyebabkan akibat yang sangat merugikan. Sementara itu hak milik yang terjadi karena penetapan pemerintah diberikan oleh intansi yang berwenang menurut cara dan dengan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan-peraturan pemerintah. Pemberian hak atas tanah menurut penetapan pemerintah ini diberikan dari tanah yang semula berstatus tanah Negara.204
Terkuat dalam hal ini, hak milik atas tanah tidak dibatasi oleh waktu. Sampai
kapanpun hak tersebut dapat dimiliki oleh seseorang. Juga dapat dikatakan terkuat
karena hak milik atas tanah tersebut dapat dibuktikan dengan adanya tanda bukti hak,
yang sekarang ini lazim disebut dengan sertifikat tanah.205
Terpenuhnya dalam hal ini, mempunyai arti sebagai berikut :206
1. Hak milik memberikan kekuasaan penuh kepada pemiliknya untuk mempergunakan tanah sesuai dengan kehendaknya. Jadi, dalam hal ini, tanah tersebut dapat diperjual belikan, disewakan dan lain-lain tanpa ada pihak yang bisa mengunggat.
2. Sifat dari penggunaan hak milik juga sangat luas, bisa digunakan untuk usaha pertanian ataupun untuk didirikan bangunan. Dengan kata lain, diatas hak milik dapat dibebani oleh hak-hak lain atau bisa juga dikatakan bahwa hak milik adalah induk dari hak-hak yang lain.
Selain hak-hak tersebut, hak milik atas tanah juga mempunyai sifat-sifat
khusus, yaitu sebagai berikut :207
203
Ibid, hal 14.
204
Ibid, hal 16.
205
Ibid, hal 5.
206
1. Hak milik atas tanah dapat dijadikan sebagai jaminan utang. 2. Hak milik atas tanah bisa digadaikan.
3. Hak milik atas tanah bisa diperjualbelikan, dihibahkan atau diwasiatkan dan dapat pula saling dipertukarkan.
4. Hak milik dapat dilepaskan secara sukarela. 5. Hak milik dapat diwakafkan.
Selain itu oleh karena hak menguasai tanah itu hak yang tertinggi, maka Negara dapat juga mengatur kalau hak-hak yang khusus tadi semuanya berakhir, sesuai dengan ketika hak-hak terhadap semua tanah itu belum menjadi hak Negara, maka tanah itu juga kembali kepada Negara kalau hak-hak khusus itu hilang dan sebagai konsekuensi untuk menentukan dan mengatur hak-hak yang khusus tanah serta dengan sendirinya kalau ini hilang, tanahnya kembali kepada Negara, maka harus ada juga kemungkinan, selama hak-hak khusus itu masih ada, untuk mengakhirkan hak-hak khusus itu, karena hak-hak itu dapat diadakan berdasarkan kuasa hak menguasai tanah, dapat berakhir sendiri tentunya dapat juga diakhiri.208
Tanah ulayat merupakan sumber daya dan aset kabupaten Nias Selatan yang
terpenting. Tanah ulayat memiliki nilai ekonomi yang merupakan sumber kehidupan
bagi masyarakat Nias selatan, didalamnya terkandung berbagai potensi sumber daya
alam yang mulai dari kulit bumi yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertanian,
hasil hutan dan sampai kedalaman tanah dalam bentuk tanah dan bebatuan. Kulit
bumi atau tanah merupakan asset masyarakat yang selalu dijaga, dipelihara dan
dimanfaatkan secara subsistem dalam kelangsungan kehidupannya. Disamping itu
ditanah ulayat juga melekat nilai-nilai sosial sebagai ikatan, kesatuan sistem
kepemilikan dan pengelolaan bersama masyarakat adat terhadap tanah, yang diyakini
sebagai suatu titipan Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara secara baik.
Masalah kepemilikan tanah erat kaitannya dengan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi masyarakat. Dalam hal ini UUPA yang merupakan hukum
207
Ibid, hal 7.
208
dasar pertanahan, mengatur masalah pokok keagrariaan Indonesia secara garis besar.
Berkaitan dengan upaya pemberian kepastian hukum atas hak-hak tanah rakyat, yaitu
kepemilikan tanah pribadi, orang dan badan, UUPA dan PP Nomor 24/1997 tentang
pendaftaran tanah mengisyaratkan adanya jaminan kepastian dan perlindungan
hukum atas kepemilikan hak atas tanah, diantaranya:209
2. Untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (pasal 19 ayat UUPA)
3. Pemerintah menerbitkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan tanah bagi tanah yang telah didaftarkan (pasal 19 ayat 2 c UUPA)
4. Penegasan bahwa sertifikat adalah tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan tanah (pasal 32 ayat 1 PP Nomor 24/1997)
5. Kepada masyarakat yang sudah mendaftarkan tanah miliknya, diberikan sertifikat tanah, agar mereka dapat dengan mudah membuktikan diri sebagai pemegang hak, dalam rangka untuk mendapatkan jaminan kepastian dan perlindungan hukum (pasal 4 PP Nomor 24/1997).
Tanah yang telah terdaftar dan diterbitkan sertifikatnya, berhak mengajukan
gugatannya ke Pengadilan. Hak atas tanah dan sertifikat dapat dibatalkan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang berbunyi amar
putusannya menyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau yang pada
intinya sama dengan itu.210
Bagi kesatuan masyarakat hukum adat, UU Kehutanan menghadirkan ketidak
pastian hak atas wilayah adatnya. Padahal, hak kesatuan masyarakat hukum adat atas
wilayah adat merupakan hak yang bersifat turun-temurun. Hak ini bukanlah hak yang
diberikan negara kepada masyarakat adat melainkan hak bawaan, yaitu hak yang lahir
209
Jayadi Setiabudi, Op.cit, hal 63-64.
210
dari proses mereka membangun peradaban di wilayah adatnya. Sayangnya, klaim
negara atas kawasan hutan selalu dianggap lebih sahih ketimbang klaim masyarakat
adat. Padahal hak masyarakat adat atas wilayah adat yang sebagian besar diklaim
sebagai kawasan hutan oleh negara, selalu jauh lebih dahulu adanya dari hak negara.
Konflik menyangkut kawasan hutan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat akibat
pemberlakuan UU Kehutanan yang banyak terjadi di lapangan, adalah: kesatuan
masyarakat hukum adat dengan perusahaan dan kesatuan masyarakat hukum adat
dengan Pemerintah. Dua bentuk konflik menyangkut kawasan hutan tersebut
menggambarkan bahwa pengaturan tentang kawasan hutan di Indonesia tidak
memperhatikan keberadaan dan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat atas
wilayah adatnya. Padahal kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai sejarah
penguasaan tanah dan sumber dayanya sendiri yang berimbas pada perbedaan basis
klaim dengan pihak lain termasuk Pemerintah (negara) terhadap kawasan hutan.
Dalam kenyataannya, kesatuan masyarakat hukum adat belum memperoleh hak‐hak
yang kuat atas klaimnya tersebut sehingga tidak jarang mereka justru dianggap
sebagai pelaku kriminal ketika mereka mengakses kawasan hutan yang mereka akui
sebagai wilayah adat.
Secara sosiologis, kesatuan masyarakat hukum adat memiliki keterikatan yang
sangat kuat pada hutan dan telah membangun interaksi yang intensif dengan hutan. Di
berbagai tempat di Indonesia, interaksi antara masyarakat adatdengan hutan tercermin
dalam model-model pengelolaan masyarakat adat atas hutan yang pada umumnya
didasarkan pada hukum adat, yang biasanya berisi aturan mengenai tata cara
ternak, perburuan satwa dan pemungutan hasil hutan. Padahal keberadaan berbagai
praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat adat.
Para warga masyarakat hukum adat mempunyai hak membuka hutan
ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan
pribadi dan keluarganya. Jadi, tidak mungkin hak warga masyarakat hukum adat itu
ditiadakan atau dibekukan sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian
kesatuan masyarakat hukum adat seperti dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Hutan dibedakan dalam dua kelompok. Yakni, hutan negara dan hutan hak. Hutan
hak itu terdiri dari dua, yakni hutan adat (hak ulayat) dan hutan perseorangan/badan
hukum. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang tertinggi seluruhnya
dikuasai oleh negara.211
Putusan Mahkamah konstitusi menunjukkan bahwa pemahaman hukum di
Indonesia masih didominasi oleh paham yang formal legalistik, dalam menjalankan
tugasnya, Mahkamah Konstitusi tidak mendepankan penafsiran sejarah (Historische interpretatie), baik penafsiran sejarah hukum (Rechtshitorische interpretatie) yang memahami undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi dalam konteks proses
sejarah yang mendahului dan menyebabkan lahirnya undang-undang tersebut.212
Penguasaan tanah ulayat telah disepakati wilayah serta batas-batasnya oleh nenek moyang mereka. Tanah ulayat memiliki tanda batas tertentu berupa tanda-tanda alam seperti aliran sungai dan jenis tanaman tertentu. Ada juga batas-batas wilayah yang ditandai dengan nama dan cerita sebuah tempat serta cerita-cerita yang berhubungan dengan kejadian tertentu, misalnya ada nama Sungai Sei Datu Mahudum yang berarti bahwa tanah yang berada di sekitar daerah hulu hingga ke hilir sungai itu dikuasai oleh suku Datu Mahudum. Tanah dan hutan memiliki arti penting bagi kesatuan masyarakat hukum adat Kenegerian Kuntu, tidak
211
Nias Online, Op.cit.
212
hanya bernilai ekonomi tetapi juga bermakna lebih luas sehingga nama disebut pusako tinggi yaitu harta yang benilai tinggi dan bermanfaat sosial budaya untuk kemakmuran masyarakat. Sebagai pusaka tinggi maka tanah ulayat tidak bisa dijual. Pengakuan atas eksistensi dan keberadaan hak atas tanah ulayat di Kabupaten Kampar Provinsi Riau, telah secara tegas diatur dan diakui oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah, yang di dalamnya tentu saja juga berlaku atas pengakuan dan penghormatan atas keberadaan dan eksistensi Pemohon II sebagai salah satu kesatuan masyarakat hukum adat yang masih ada dan hidup di wilayah Kabupaten Kampar Provinsi Riau. dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, sebagai pilar hak konstitusional Pemohon II, hutan adat sebagai salah satu bagian dari wilayah adat merupakan sarana terpenting, untuk mengembangkan diri dan keluarganya, mempertahankan serta meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya, demi kesejahteraan diri serta keluarganya. Dalam rangka memperoleh kembali wilayah adatnya, saat ini terus melakukan berbagai upaya untuk memperkuat ekstensinya serta mendapatkan pengakuan sebagai komunitas masyarakat hukum adat. Pemerintah memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan pengujian pasal-pasal UU Kehutanan terhadap UUD 1945, serta memberi putusan sebagai berikut: menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing); menolak permohonan pengujian para Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).213 Berkenaan dengan syarat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dalam kenyataannya status dan fungsi hutan dalam masyarakat hukum adat bergantung kepada status keberadaan masyarakat hukum adat. Kemungkinan yang terjadi adalah: (1) kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya; (2) kenyataannya tidak ada tetapi diakui keberadaannya. Jika kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya, maka hal ini dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, tanah/hutan adat mereka digunakan untuk kepentingan lain tanpa seizin mereka melalui cara-cara penggusuran-penggusuran. Masyarakat hukum adat tidak lagi dapat mengambil manfaat dari hutan adat yang mereka kuasai. Sebaliknya dapat terjadi masyarakat hukum adat kenyataannya tidak ada tetapi objek hak-hak adatnya masih diakui. Artinya, berdasarkan sejarah keberadaan mereka pernah diakui oleh negara, padahal kenyataannya sesuai dengan perkembangan zaman sudah tidak terdapat lagi tanda-tanda atau sifat yang melekat pada masyarakat hukum adat. Tanda-tanda dan sifat masyarakat hukum adat yang demikian tidak boleh dihidup-hidupkan lagi keberadaannya, termasuk wewenang masyarakat atas tanah dan hutan yang pernah mereka kuasai. Hutan adat dengan demikian kembali dikelola oleh Pemerintah/Negara. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, tidak bermaksud melestarikan masyarakat hukum adat dalam keterbelakangan, tetapi sebaliknya mereka harus tetap memperoleh kemudahan
213
dalam mencapai kesejahteraan, menjamin adanya kepastian hukum yang adil baik bagi subjek maupun objek hukumnya, jika perlu memperoleh perlakuan istimewa (affirmative action).214
Mahkamah mempertimbangkan bahwa oleh karena ketentuan yang terdapat dalam pasal a quo berkaitan dengan Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan maka pertimbangan hukumterhadap dalil permohonan kedua pasal tersebut mutatis mutandis berlaku terhadap dalil permohonan mengenai Pasal 5 ayat (2) UU Kehutanan. Dengan demikian, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum. Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan sepanjang frasa “dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 B ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, karena pasal a quo sulit dipahami, sulit dilaksanakan secara adil, dan mendiskriminasi kesatuan masyarakat hukum Adat. Mahkamah mempertimbangkanbahwa oleh karena permohonan pengujian atas ketentuan Pasal 5 ayat (2) dinyatakan beralasan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan tidak relevan lagi dan harus pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun terhadap frasa “dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”, Mahkamah berpendapatbahwa frasa dimaksud sudah tepat sebagai ketentuan yang sejalan dengan ketentuan konstitusional. Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum terhadap pengujian konstitusionalitas. menurut Mahkamah, apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi maka hak pengelolaan hutan adat adalah tepat untuk dikembalikan kepada Pemerintah, dan status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara. Dengan demikian, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum. Menurut Mahkamah, keberadaan masyarakat hukum adat, fungsi dan status hutan (adat), penguasaan hutan, mensyaratkan sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, sehingga seluruh pertimbangan hukum yang telah disebutkan di atas mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum ini. Adapun tentang pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah.215
Secara umum perusahaan berpandangan bahwa akar dari klaim masyarakat
adat dimulai dengan ketidakjelasan kebijakan pemerintah. Situasi ketidakjelasan ini
214
Ibid.
215
menjadi bahan bakar konflik yang dipantik oleh kecemburuan sosial yang timbul dari
perkembangan Pendidikan masyarakat adat yang rendah, cenderung menjadikan
mereka korban dari pemberian ganti rugi yang tidak tepat sasaran, sehingga
menyebabkan perusahaan harus memberikan ganti rugi berkali-kali. Lahan yang di
klaim sebagai tanah ulayat tidak memiliki batas-batas yang jelas. Pada masyarakat
adat menuntut disebabkan karena kesepakatan tidak tercapai di internal mengenai
keberadaan Bandara Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan. Terdapat juga indikasi
kuat, beberapa tokoh-tokoh di masyarakat menggunakan dan mengelola sengketa
sedemikian rupa sehingga menjadi sumber penghasilan mereka. Ketika sengketa telah
menjadi sengketa yang manifes antara perusahaan dengan masyarakat adat dan ketika
sengketa itu diselesaikan dengan jalan negosiasi, terdapat beberapa penyebab kenapa
negosiasi tersebut mengalami hambatan. Persoalan mendasar adalah adanya
perbedaan persepsi dan sudut pandang serta harapan tentang keberadaan perusahaan
di tempat masyarakat adat berada. Sebagian besar dari masyarakat adat memulai
negosiasi dengan pikiran bahwa instansi diperlukan didaerah.
Sistem hak milik tanah di Indonesia boleh dapat dibagi dua bagian yaitu tanah
milik negara dan tanah milik persendirian/swasta. Tanah milik persendirian pada
dasarnya hanya melibatkan tanah yang telah berdaftar dengan jabatan pertanahan.
Bagi tanah yang telah didaftar di bawah jabatan pertanahan pada kebiasaannya
sertifikasi akan dikeluarkan kepada pemilik tanah tersebut. Manakala bagi tanah milik
negara boleh dikategorikan kepada dua yaitu;
2. Tanah negara (state land) pada kebiasaannya tanpa sebarang hak. Ini bermakna tidak ada tuntutan secara bermilik boleh dilakukan terhadap tanah tersebut.
Mengakhiri hak-hak khusus terhadap tanah itu tergantung kepada
keperluannya, dapat :216
1. Dengan jalan paksaan yaitu pencabutan.
2. Dengan jalan persetujuan, yang dalam kata biasa disebut pembelian, kalau terjadi
menurut kemauan Negara, tetapi kalau terjadi menurut kemauan pihak yang
mempunyai hak khusus itu, jadi sebagai keseimbangan terhadap pencabutan,
disebut pemberian.217
Dengan dilaksanakannya pendaftaran tanah atas tanah tersebut tentu ketika itu juga diberikan status hukum, berupa hak pada tanah tersebut sesuai dengan hak yang dimohon. Bila seseorang memohon hak milik, hak guna bangunan atau hak guna usaha, maka dengan pendaftaran tanah tersebut muncullah status hukum di atas tanah itu menjadi hak milik, HGB atau HGU atas nama pemohon yang disetujui. Artinya dengan didaftarkannya tanah seseorang baru ada Hak Milik atas tanah, HGU atas tanah, HGB atas tanah dan hak-hak lainnya. Kalau tidak didaftarkan maka tidak ada Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai dan lainnya. Begitu juga atas tanah yang semula sudah ada hak atasnya, bila terjadi pendaftaran balik nama tentu pula diberikan status kepemilikan baru bagi yang memohon untuk balik namanya.218
Di Indonesia, status kepemilikan tanah diatur dalam Undang-Undang
Pertanahan No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Terdapat beberapa macam hak
atas tanah yang diatur dalam UU tersebut, antara lain: Hak milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Keseluruhan hak atas tanah ini dibukukan dalam
bentuk Sertifikat yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, yakni Badan
216
Ibid.
217
Ibid.
218
Pertanahan Nasional (BPN). BPN mengeluarkan duplikat kepada pemilik properti,
dikarenakan untuk mencegah adanya risiko yang akan timbul di kemudian hari seperti
sertifikat yang hilang, terbakar, sertifikat ganda.
Berhubungan dengan kemungkinan jatuhnya milik tanah baik yang besar maupun kecil dalam tangan warga negara yang tidak asli dan mengingat suasana pada waktu ini. Sekiranya masih perlu diberi waktu dan kesempatan berkembang untuk mempertimbangkan adanya milik besar bagi warga negara Indonesia yang tidak asli. Ada kemungkinan adanya perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh perseorangan, tetapi yang modalnya bukan milik sendiri. Berhubung dengan kemungkinan ini maka investasi modal asing. Dimana diperlukan, sekiranya tidak seyogianya dengan jalan demikian, tetapi perlu diatur tersendiri.219
Pada pemberiaan status hak dengan balik nama, tentu haruslah ada perbuatan hukum di atas hak itu. Perbuatan hukum dimaksud adalah perbuatan pengalihan dari orang pertama yang telah mendaftarkan hak itu kepada orang kedua (pihak lain) yang menerima hak atas tanah yang disebut dengan pemindahan hak. Menurut ketentuan undang-undang pemindahan hak ini mungkin dilakukan dengan jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, hibah, waris, lelang, merger, dan pemasukan dalam inbering (lihat Pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997 jo Pasal 2 Peraturan Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2007). Pada tahap ini peranan PPAT sebagai pencatat perbuatan hukum untuk melakukan pembuatan akta jual beli, akta sewa menyewa atau akta PPAT lainnya harus dipenuhi. Sehingga pengalihan ini menjadi sah adanya dan dapat didaftarkan balik namanya. Dengan adanya akta PPAT inilah nanti akan kembali diberikan status baru dari permohonan balik nama yang dimohon oleh pihak yang menerima pengalihan haknya.220
Pendaftaran pertama (awali) maupun pendaftaan balik nama (pendaftaran
berkesinambungan) yang dilakukan di Kantor Pertanahan setempat adalah tetap
pekerjaan administrasi Negara dalam memberikan status hukum atas tanah dimaksud.
Sehingga dengan adanya pemberian status hukum ini di atas tanah yang di daftar. Si
219
Imam Soetiknjo, Proses Terjadinya UUPA, (Yogyakarta : Penerbit Gadjah Mada University Press, 1987), hal 61-62.
220
pemilik dengan pendaftaran ini menerima status hak yang dilindungi oleh negara
sesuai jenis haknya.221
Agrarisch Wet mengemukakan kesempatan orang-orang pribumi untuk mengubah hak atas tanahnya dari garap atau hak untuk menempati serta menguasai menjadi hak eigendom menurut hukum eropa. Yang istimewa ketentuan-ketentuan tentang pernyataan tanah-tanah kosong sebagai domein atau eigendom Negara, bukan pula kemungkinan pemerintah memberikan hak
erfpacht kepada siapa yang akan mengusahakan dengan investasi-investasi yang produktif dan bukan pula kemungkinan orang-orang pribumi untuk tetap dapat meneruskan penguasaan dan pemanfaatan atas tanah-tanah yang selama ini memang ditempati dan digarapnya (secara turun temurun sekalipun) dan bahkan dapat mengubah hak ipso facto dan/atau defacto-nya itu menjadi hak yang secara
ipso jure lalu menjadi hak eigendom, melainkan satu ketentuan yang khusus dan
de novo, ialah larangan untuk memindahkan hak ke golongan rakyat yang lain.222 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang disebut dengan Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disingkat
UUPA) mengatur hal-hal pokok mengenai penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah di Indonesia. Dualisme hukum tanah nasional telah diakhiri
dengan unifikasi hukum tanah nasional dengan menjadikan UUPA sebagai hukum
tanah nasional. Segala hak yang ada sebelum UUPA berlaku harus dan akan
dikonversi menjadi hak baru yang sesuai menurut UUPA. UUPA telah menetapkan
ketentuan-ketentuan konversi terhadap hak-hak barat (hak tanah yang ditetapkan pada
zaman penjajahan Belanda) maupun hak-hak Indonesia atas tanah sebagaimana diatur
dalam Bagian Kedua UUPA. Dalam pelaksanaan ketentuan konversi, untuk
memperoleh kepastian status pemilik tanah, UUPA menyatakan bahwa hanya
warganegara Indonesia yang dapat menyandang status pemilik tanah. Pelaksanaan
221
Ibid.
222
konversi (bekas) hak barat ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor
2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA, sedangkan konversi
bekas hak-hak Indonesia menggunakan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria
(PMPA) Nomor 2 Tahun 1962 tentang Ketentuan Mengenai Penegasan Konversi dan
Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia atas Tanah sebagai pedoman.
Dengan ketentuan hukum yang dimuat dalam perundangan ini status hak ulayat ini di satu sisi masih diakui keberadaannya, namun pada sisi lain hak ulayat tersebut harus tunduk pada kepentingan nasional yang peringkatnya lebih tinggi. Dalam pembatasan yang kabur ini Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 atau (UUPA) sering muncul perbedaan penafsiran sejauh mana hak ulayat ini bisa diperhitungkan dan dihormati dalam proses pelimpahan hak penguasaan atas tanah, khususnya yang melibatkan kepentingan negara atau kepentingan lain yang disahkan oleh negara. Negara bisa menjelaskan hak penguasaannya berdasarkan segi yuridis dengan perundangan yang ada, namun hak ulayat ini tidak memiliki ukuran keabsahan hukum yang jelas sejauh tidak bisa dibuktikan melalui fakta tertulis yang dianggap sah. Dengan demikian hak ulayat Kesultan Deli dan masyarakat hukum adatnya tetap diakui.223
Untuk mengetahui sumber persoalannya, perlu dijelaskan sistim pemilikan tanah dengan hak adat tradisional ini (hak ulayat). Sistem penguasaan tanah menurut hukum adat ini berbeda prinsipnya dengan hukum agraria nasional yang digunakan oleh negara. Menurut hukum adat, tanah sangat penting kedudukannya dalam kehidupan masyarakat baik secara sifat maupun fakta yang ada. Menurut sifatnya, tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap atau menguntungkan apabila digarap secara produktif, sehingga bisa memberikan kehidupan bagi pemiliknya. Bertolak dari sumber kehidupan ini, maka masyarakat tradisional menganggap tanah sebagai suatu kekayaan yang sakral (pusaka). Dengan demikian masyarakat tradisional memberikan sifat religio-magis pada hak penguasaan tanah ini.224
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa hak ulayat
masyarakat hukum adat, selain mengandung hak bersama dan hak perseorangan yang
meliputi aspek hukum perdata juga mengandung adanya kewajibaan mengelola,
mengatur tentang penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya yang
223
Arie Sukanti Hutagalung, Op.cit, hal 214.
224
dilakukan oleh Kesultanan Deli dan kepala adat ataupun para tertua adat yang
beraspekan hukum publik. Maka dengan demikian hukum tanah adat akan meliputi
ketentuan hukum perdata maupun administratif.225
Di samping itu disinyalir adanya kolusi antara masyarakat penggarap dengan
para konglomerat/pengusaha khususnya pengusaha, dimana para pengusaha
memanfaatkan masyarakat untuk memperjuangkan tanah garapan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada dengan tujuan agar mereka dapat membeli tanah garapan
dari masyarakat penggarap. Di satu sisi masyarakat pun bersedia untuk menjual
tanahnya kepada para pengusaha. Sedangkan disisi lain para pengusaha dapat
membeli tanah dengan harga yang relatif murah.
Seseorang dapat memperoleh hak atas tanah dengan memenuhi aspek fisik, aspek yuridis,dan aspek administrasi. Aspek fisik bidang tanah meliputi letak, luas, batas-batas, dan penggunaan/pemanfaatan tanah. Hal ini lebih menekankan aspek teknis operasional. Aspek yuridis meliputi status kepemilikan, subjek hak atas tanah, dan kepentingan pihak ketiga. Aspek ini lebih menekankan legalitas dan hak perdata pihak lain atas tanah yang bersangkutan. Sedangkan aspek administrasi meliputi permohonan hak dan data pendukung lain, seperti bukti pemilikan/penguasaan, riwayat penguasaan tanah, proses penerbitan surat keputusan hak atas tanah, sampai dengan penerbitan sertifikat.226
Tanah merupakan pemberian dari Tuhan yang mana setiap orang di dunia ini
memiliki bagian masing-masing baik dalam struktur sosial, organisasi atau dalam
kehidupan bermasyarakat. Tanah juga menyediakan makanan dan bahan lainnya
untuk bertahan hidup, dari tanah yang banyak akan menjadi salah satu tolak ukur
kekayaan yang kemudian dengan sendirinya membuat orang tersebut menjadi
terpandang. Umumnya orang yang mempunyai tanah yang luas disebut tuan tanah.
225
Ibid.
226
Status tanah yang tidak pasti adalah permasalahan status tanah yang tidak
mempunyai kekuatan badan hukum menjadi permasalahan yang sering kita dengar
akhir-akhir ini. Apalagi dalam kehidupan masyarakat Desa Botohilitano Kecamatan
Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan bukti surat akan tanah itu sendiri hanya diperoleh dari adanya kekuatan hukum lokal
diatas materai, terlebih lagi pada masyarakat yang berada jauh dari pusat
perekonomian masyarakat Nias, kepemilikan tanah makin tidak jelas karena
kepemilikan tanah masih bersifat bersama berdasarkan atas tanah ulayat. Tanah
ulayat dalam hal ini seperti perladangan baru yang dibuka, otomatis kepemilikannya
masih didasarkan atas kepercayaan bersama dengan warga yang juga sama-sama
membuka lahan disekitar tempat tersebut.
Sejak dulu hingga tahun 2007 Masyarakat Di desa tersebut selalu diurus dan
dijadikan kebun tetapi pada awal tahun 2008, Tanah Hak Milik masyarakat tersebut
di ukur oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Nias Selatan, Camat
Fanayama Kabupaten Nias Selatan dan Kepala Desa Botohilitano kemudian diratakan oleh Bupati Nias Selatan untuk dijadikan sebagai Bandara Silambo
Kabupaten Nias Selatan.
Tanah-tanah yang diperlukan dalam pembangunan Bandar Udara Silambo
Kabupaten Nias Selatan sebagian besar merupakan tanah pertanian yang merupakan
mata pencaharian dari pemilik tanah atau pemegang hak bersama atas tanah tersebut.
Untuk itu perlu adanya pendekatan yang dapat diterima dan dimengerti masyarakat.
tanah bahwa tanah mempunyai fungsi sosial seperti yang ditegaskan dalam Pasal 6
UUPA yang menyatakan “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Status hukum hak atas tanah pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten
Nias Selatan adalah tanah ulayat/tanah leluhur dan hak kepemilikan atas tanah
masyarakat di Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo
Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan. Masyarakat Desa Botohilitano
Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan pada awalnya tanah ulayat merupakan sumber kehidupan dalam rangka
pemenuhan kehidupan, tanah digunakan untuk menghasilkan pertanian namun
kemudian dengan perkembangan perdagangan daerah kemudian tanah mulai ditanami
seperti karet, kelapa dan lain-lain sehingga tanah semakin banyak dimanfaatkan oleh
kelompok masyarakat sendiri dan para pendatang termasuk para penanam modal.
Penggunaan tanah yang semakin meningkat secara ekonomi akan meningkatkan
pendapatan yang diterima oleh masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan
peningkatan produktivitas masyarakat. Namun disisi lain karena berdatangannya
orang di Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo
Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan kepemilikan dan penguna tanah setiap periode mengalami perubahan sehingga terjadi perubahan status kepemilikan
bersama ke kepemilikan pribadi, suku lain, negara dan para investor sehingga
Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan.227
Menurut warga masyarakat Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan yang tanahnya terkena pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan, dengan
melakukan musyawarah tersebut memberikan keuntungan tersendiri kepada warga
masyarakat, karena musyawarah tersebut langsung melibatkan semua warga yang
tanahnya terkena proyek dimaksud, sehingga untuk pembicaraan mengenai bentuk
dan konsensi apa yang akan ditempuh secara transparan. Apabila musyawarah
dilakukan tanpa atau hanya melibatkan beberapa orang warga saja, maka apa bentuk
kebijakan yang akan merekaterima menjadi tidak diketahui dengan jelas, dan akan
terbuka peluang terjadinya manipulasi bentuk dan tindakan yang akan diterima228.
Secara umum kepemilikan tanah bagi masyarakat Desa Botohilitano
Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan ada dua macam:
1. Secara adat (tanah ulayat/tanah leluhur): ini biasanya diperoleh dari
pembagian harta nenek moyang yang dibagikan secara turun temurun
berdasarkan garis keturunan laki-laki namun kebanyakan belum bersertifikat
secara hukum atau belum terdaftar di Kantor Pertanahan Negara.
227
Kuasa Dakhi, Wawancara, Si‟ulu mbanua (bangsawan) ketua adat Desa dan Kepala Desa Hilimaenamolo (Nisel, 16 Desember 2013).
228
2. Milik pribadi: kepemilikan tanah yang seperti ini, diperoleh dari pembelian
pribadi yang tidak dipengaruhi oleh hukum adat dan biasanya memiliki
sertifikat dari instansi pemerintah terkait sebagai bukti kepemilikan.
Secara khusus pada masyarakat Nias Selatan kepemilikan tanah dibagi atas
empat yakni :
1. Sotano yakni yang mempunyai tanah, biasanya ini masyarakat asli dari desa tempat tinggalnya
2. Nifotano yakni kepmilikan tanah berdasarkan pemberian dari masyarakat setempat dimana seseorang ingin tinggal. Jika dulu biasanya ini dikatakan
dengan adat:
- Ibe‟e famabobo lowi-lowi yakni sebuah ikatan janji bahwasanya ia akan bertanggungjawab/sepenuh hati memberikan yang terbaik terhadap desa
tempat tinggalnya, jika ada kejadian-kejadian yang mempertaruhkan nama
desa.
- Famolala bahele-hele dimana jika seseorang telah sah menjadi warga di desa tersebut dan memiliki tanah maka ia akan diterima untuk bergabung
dengan masyarakat misalnya ke sumur, acara adat dan sebagainya.
3. Nifobanua atau Sowanua yakni seseorang yang telah sah menjadi warga di desa tempat ia tinggal, contohnya etnis Dawa keturunan Aceh dan Minangkabau yang telah disahkan secara adat Fondrako Heleduna.
mereka telah mengikat dirinya dengan hukum adat dengan memenuhi syarat
dan norma tertentu.
Masyarakat Nias Selatan pada zaman dahulu jika ingin meneguhkan
kepemilikan tanahnya maka ia mengadakan suatu kegiatan adat yang disebut Fanaru o Tano. Adapun hal yang dipersiapkan dalam kegiatan tersebut yakni :
1. Mengundang Siulu/Balugu/siila dan masyarakat adat.
2. Menyiapkan sarigi firo yang merupakan mata uang dari logam pada zaman Belanda dan sekarang harganya kira-kira 700.000 ribu dan diberikan kepada
Siulu/Balugi. 3. Babi 1 (satu) ekor.
4. Mengundang pihak-pihak yang berbatasan dengan tanahnya
5. Mengundang masyarakat adat di lingkungannya.
Beberapa daerah orang membuka tanah dimulai dengan memberi tanda
“mebali” yaitu tanda akan membuka tanah. Tanda-tanda itu biasanya berupa tanda
silang atau lingkungan rotan atau bambu yang dipasang di atas pohon, atau berupa
dahan kayu yang diikat dengan rotan atau tali ijuk yang ditegakkan di tanah tegalan
(padang rumput, semak belukar) dan nampak dari kejauhan. Dengan memberi tanda
tersebut timbul hak untuk mengusahakan sebidang tanah (hak membuka tanah).229 Apabila tanah tersebut terus dibuka dan dijadikan tanah peladangan yang ditanami palawija dan lainnya, maka terjadilah hak pakai atau hak mengusahakan tanah. Apabila tanah tersebut tidak diteruskan mengerjakannya, sedangkan tanda mebali masih terpasang di atas pohon, maka yang ada adalah “hak atas pohon”. Untuk menjadikan tanah itu hak milik, maka tanah ladang itu harus dikerjakan terus menerus, tetapi jika tanah peladangan itu ditinggalkan
229
terbengkalai menjadi semak belukar atau menghutan kembali, maka hak miliknya hilang dan yang masih ada ialah “hak utama” (voorkeursrecht) untuk mengusahakannya kembali. Hak utama ini akan hilang apabila bidang tanah tersebut telah menghutan, dan tanah itu kembali menjadi “hak ulayat” desa (marga, nagari, negara). Hak milik atas tanah peladangan dapat ditingkatkan menjadi “hak milik tetap” apabila di atas tanah itu ditanami tanam tumbuhan berupa tanaman keras (pohon buah-buahan, karet, kelapa, kopi dan sebagainya) yang rapat sehingga menjadi tanah kebun. Di kalangan masyarakat adat jarang terjadi pemilikan tanah menyewakan tanahnya kepada orang lain di pedesaan, yang banyak berlaku ialah “hak numpang” atas tanah milik orang lain dengan membangun perumahan sebagai tempat kediaman, atau menumpang untuk bertanam tumbuhan palawija tanpa membayar tanah tersebut dengan palawija, perbuatan ini disebut “tumpang sari”. Hubungan antara pemilik tanah dan penumpang bersifat kekeluargaan dengan beri memberi, urus mengurus, bantu membantu.230
Keabsahan dari kepemilikan tanah pada masyarakat Desa Botohilitano
Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan juga terlihat dengan adanya kegiatan adat perkawinan dan biasanya
pengesahan secara tidak tertulis tersebut ketika diadakan pada saat pesta adat wamozi
aramba. Wamozi aramba yakni jika seorang laki-laki menikah dan disahkan secara adat di desanya maka secara otomatis dia akan memiliki hak dalam desa baik dalam
hal kepemilikan tanah warisan orangtuanya maupun hak-hak lain dalam pelaksanaan
musyawarah adat, seperti dalam penyelesaian sengketa, selain itu perkawinan juga
sebagai tanda kepemilikan lahan kepada pihak wanita Nias Selatan yang akan secara
otomatis memiliki tanah dari warisan suaminya, sehingga dalam pengerjaan lahan
ladang, sawah, atau mendirikan rumah di tanah warisan suaminya tidak akan
diganggu gugat oleh masyarakat desa. Hal inilah yang menunjukkan bahwa
perkawinan dalam adat Nias Selatan dapat memberi kemudahan dalam penyelesaian
230
sengketa tanah, karena ini akan mendorong adanya ikatan kekerabatan berupa marga
yang kelak dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi.
Hak tersebut biasanya tidak hanya digunakan untuk tanah tempat tinggal,
tetapi juga tanah untuk sawah dan kebun. Hak ini sebenarnya, serupa dengan hak
milik tanah tetapi komunitas lokal mempunyai pengaruh yang lebih besar atas cara
bagaimana tanahtersebut dapat digunakan dan dialihkan. Pada umumnya, di daerah
pedesaan hak milik adat:
1. Hanya dapat dijual bila terlebih dahulu ditawarkan kepada tetangga (dan mungkin
anggota komunitas lainnya).
2. Tidak dapat dijual kepada orang dari luar komunitas (walaupun dapat disewakan
berdasarkan persetujuan warga).
3. Tunduk pada hak untuk mendapatkan akses, yang dimiliki oleh tetangga dan
anggota komunitas lainnya.
4. Secara teori dapat diambil alih oleh komunitas untuk kepentingan komunitas.
Disebutkan dalam penelitian di lapangan, pembatasan hak tersebut lebih
sering dalam bentuk interaksi longgar antara warga dan kepala adat, dari pada sebagai
aturan tetap yang berlaku dalam setiap keadaan. Ada beberapa cara untuk
memperoleh tanah hak milik adat:
1. Warisan, hibah atau pembelian, atau
2. Membuka dan mengusahakan tanah di dalam wilayah adat.
Mekanisme adat untuk memperoleh hak milik tanah semacam ini diakui
dalam Undang-undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
tanah belum tentu sah apabila tanah yang bersangkutan didefinisikan sebagai tanah
negara. Dalam pasal 6 disebutkan :
1. Sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas
tanah menurut UU Pokok Agraria.
2. Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh
instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata
cara yang berlaku.
Adanya hak-hak lain atas tanah hak milik, maka biasanya ada orang lain atau suatu persekutuan yang mempunyai hak milik atas tanah itu, disamping hak lain tadi. Dalam hal ini, yang terwujud dan kelihatan di mata khayalak, yang merupakan hal lain itu, ialah memakai atau menggarap tanah itu, sedang hak miliknya seolah-olah terpendam, baik sama sekali maupun untuk sebagian. Artinya si pemilik harus menerima baik (dulden), bahwa orang lain itu memperlakukan tanahnya secara yang biasanya diperbuat oleh si pemilik sendiri. Tetapi, kalau hak lain tadi terhenti, maka hak milik muncul kelihatan terwujud lagi. Artinya si pemiliklah yang lantas memakai atau menggarap tanah itu atau pada umumnya memungut hasil dari tanah itu.231
Masyarakat Desa atau petani masih berorientasi pada tanah dan kompetensi
yang digambarkan adalah kepemilikan tanah. Masyarakat Desa Botohilitano
Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan terdapat bentuk-bentuk stratifikasi sosial petani yang dapat kita lihat dari
kepemilikan lahan atau tanah pertanian, status sosial, gaya hidup, bentuk rumah dan
pekerjaan.232
Pemilik/Pemegang Hak Atas Tanah di Desa Botohilitano Kecamatan
Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan
231
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda, (Jakarta : Penerbit Intermasa, Cetakan Kelima, 1986), hal 52.
232
pada awalnya ngotot tidak mau menyerahkan Hak Atas Tanahnya karena beralasan
tanah tersebut merupakan area pertanian yang digunakan sebagai mata
pencahariannya.233
Hukum adat di Indonesia tidak mengenal suatu keadaan, dimana ada orang perseorangan yang mempunyai hak milik atas tanah disamping orang lain, yang seketika itu juga mempunyai hak memakai atau hak menggarap atas tanah itu. Bilamana ada suatu keadaan, seorang mempunyai hak memakai atau hak menggarap atas sebidang tanah dan dengan terang dapat dikatakan, bahwa seorang itu bukanlah pemilik tanah itu, maka selalu yang mempunyai hak milik atas tanah itu, adalah suatu persekutuan kekeluargaan. Kalau seorang pemilik tanah membutuhkan sejumlah uang tunai untuk keperluannya, ia dapat menjual tanah itu. Atau kalau ia masih ingin mengharap akan menguasai kembali tanah tersebut dikemudian hari, ia dapat menggadaikan tanah itu kepada orang lain. Artinya ia menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan menerima sejumlah uang tunai dengan perjanjian dikemudian hari ia berhak menebus kembali tanah itu dengan membayar sejumlah uang tunai yang sama dengan uang yang ia mempergunakan tanah itu untuk keperluannya, memahami atau mendiami atau menyuruh orang lain menggarapnya dengan perjanjian makro atau mempertiga yakni setengah atau sepertiga hasil panen untuk yang menggarap tanah. Atau ia juga dapat menyewakan tanah itu kepada orang lain.235
Perbatasan terletak pada kenyataan, bahwa hak milik atas tanah itu masih
terus berada di tangan si pemilik, yang pada saatnya berhak untuk menebusnya
kembali, karena itu sudah selayak-layaknya, kalau si pemegang gadai tidak dapat
menjual tanah itu kepada orang lain.236Dengan adanya hak menebus kembali ini,
dengan sendirinya terbataslah juga hak-hak si pemegang gadai untuk menguasai
233
tanah gadaian. Segala penyerahan tanah oleh pemegang gadai kepada orang pihak
ketiga, selalu disertai dengan penegasan akan kemungkinan ditebusnya kembali tanah
itu oleh si pemilik.237
Semua terjadi, kalau si pemegang gadai masih ingin terus memegang gadai tanah itu. Kalau tidak, karena ia sendiri membutuhkan uang tunai misalnya dan tidak ingin lagi menguasai tanah itu, ia dapat berbicara dengan si pemilik, apakah si pemilik bersedia menebus kembali tanah itu. Kalau tidak, si pemegang gadai akan mencari orang lain yang dapat menolongnya dengan pemberian uang tunai. Apabila pihak ketiga itu sudah ada yang bersedia, ada dua jalan yang dapat dilalui oleh si pemegang gadai. Ia dapat menggadaikan lagi tanah itu kepada orang ketiga ini dengan menyerahkan tanah itu kepadanya dan menerima sejumlah uang tunai dengan perjanjian, ia sewaktu-waktu berhak menebus tanah itu lagi dari seorang ketiga tersebut (onderver panding). Jalan kedua, ia mengoperkan hak gadainya kepada seorang ketiga. Artinya ia menyerahkan juga tanah itu kepada orang ketiga dan ia menerima sejumlah uang tunai dari seorang itu, tetapi catatan si pemegang gadai menarik diri dari hubungan hukum terhadap tanah itu. Kalau ini terjadi, sudah selayaknya si pemilik tanah diminta turut serta dalam perjanjian ini, agar ia tahu, bahwa untuk selanjutnya ia tidak berhubungan lagi dengan si pemegang gadai yang semula itu, melainkan dengan seorang ketiga ini sebagai pemegang gadai baru.238
Alasan-alasan di belakang pengakuan terhadap hak-hak adat atas kawasan
hutan sangat beragam. Salah satu yang penting adalah meningkatnya kesadaran
bahwa tata pemerintahan yang baik dalam sektor kehutanan terkait erat dengan
keadilan sosial, perlindungan budaya dan agama-agama asli, koherensi masyarakat
dan lingkungan politik yang demokratis. Reformasi kebijakan yang dilakukan
bertujuan untuk menjamin kejelasan penguasaan melalui aturan hukum berdasarkan
konsep filosofis dan tata pemerintahan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial,
pemberdayaan dan perlindungan budaya.
Hak-hak masyarakat atas tanah merupakan inti dari keadilan sosial, alasan bagi jaminan yang lebih luas melalui kepemilikan tanah secara hukum memiliki
237
Ibid, hal 58.
238
makna melampaui landasan etika dari keadilan sosial, pelestarian nilai-nilai budaya serta tindakan-tindakan korektif dari kesalahan di masa lalu. Pengelolaan hutan oleh masyarakat terbukti efektif dalam mengelola dan melestarikan sumber daya alam secara lebih baik di berbagai wilayah di dunia. Lebih jauh hal tersebut merupakan mekanisme yang ampuh untuk pemberantasan kemiskinan serta memperbaiki efisiensi ekonomi.239
Kepemilikan atas aset tanah merupakan faktor kritis dalam pemberantasan kemiskinan. Di banyak desa-desa miskin di dunia, hutan merupakan sumber utama penghidupan mereka. Pemberdayaan masyarakat dengan hak kepemilikan secara hukum sebagai unsur penting adalah salah satu alat paling efektif untuk
mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kondisi masyarakat
perdesaan.240Kepemilikan atas tanah yang terjamin juga meningkatkan insentif bagi investasi. Semakin baiknya jaminan penguasaan dan kepemilikan atas tanah secara definitif akan mengurangi ketidakpastian dan oleh karena itu memiliki potensi untuk mengubah investasi tenaga kerja dan waktu menurut kespesifikan kegiatan seperti kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan yang mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dinikmati manfaatnya. Hak-hak kepemilikan yang lebih baik memberikan masyarakat posisi tawar dan kemampuan untuk bernegosiasi dengan pelaku lain termasuk pemerintah. Akibat ketidakpastian merupakan situasi yang paling menentukan saat ini, tampak di berbagai daerah di Indonesia, dimana persaingan untuk mendapatkan hak atas tanah semakin meningkat, dan ketika masyarakat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah atau ketika untuk alasan apapun ketidakstabilan politik, konflik etnik atau sebuahsejarah dukungan pemerintah atas hilangnya hak-hak adat rasa tidak percayatersebut akan semakin meningkat.241
Kepemilikan tanah pada masyarakat Nias Selatan, kebanyakan hanya
berpatokan pada pilar-pilar tanah sebagai batas dari kepemilikan tanahnya dan
keabsahannya hanya diketahui pihak keluarganya sendiri atau orang-orang yang
berada disekitarnya. Pembatasan tanah yang dilakukan biasanya menggunakan
berbagai macam tumbuhan seperti pohon pinang, pohon jati, karet dan sebagainya
dan cara penanamannya haruslah tegak harus sesuai dengan batas tanah yang telah
239
Arnoldo Contretan Hermosilla dan Chip Fay, Memperkokoh Pengelolahan Hutan Indonesia Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah: Permasalahan dan Kerangka Tindakan, (Bogor : Penerbit World Agroforestry Centre, 2006), hal 28.
240
Ibid, hal 29.
241
disepakti. Hal ini yang kemudian menimbulkan adanya sengketa. Sengketa terjadi
ketika penguasaan lahan produktif yang bukan hak milik, status tanah yang tidak
pasti, masalah penjualan tanah yang tidak jelas ukurannya, masyarakat Nias Selatan
yang merantau, akibat adanya pembangunan dan perolehan harta warisan dari
pihak-pihak laki-laki (suami dari si pemilik lahan).
Masyarakat di Kabupaten Nias Selatan yang menganut sistem patrilineal
memiliki hubungan kekerabatan antar sesama mado(marga) yang cukup erat. Sengketa tanah yang sering terjadi antar warga desa terkadang meruntuhkan system
kekerabatan yang telah erat dibangun selama ini. Akhir-akhir ini mulai terjadi, ketika
tanah sudah mulai berharga. Tanah yang awalnya hanya sebagai lahan pertanian
bahkan lahan yang tidak produktif menjadi perebutan antar saudara, tetangga bahkan
antar desa karena adanya pembangunan Bandar udara.
Pemerintah daerah dan instansi terkait terlebih dahulu membereskan status
kepemilikan tanah dengan para pemilik tanah di kawasan Desa Botohilitano
Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan. Jika duduk bersama masyarakat pemilik lahan dan tokoh masyarakat
untuk membicarakan ganti rugi tanah di lokasi bandara tidak dilakukan oleh
pemerintah daerah, akan terjadi persoalan seperti pembangunan Bandara Udara
Silambo Kabupaten Nias Selatan yang hingga saat ini terkatung-katung karena
masalah lahan. Pemerintah daerah tentu tidak mengharapkan kasus sengketa tanah
Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan
Maniamolo Kabupaten Nias Selatan.242
B. Pihak yang Memerlukan Tanah untuk Kepentingan Umum
Moh. Koesnoe berpendapat bahwa hukum adat adalah hukum yang lahir
langsung dari kebutuhan hukum dan perasaan hukum rakyat Indonesia serta
merupakan hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan RI. Ditawarkan oleh masyarakat Indonesia secara umum. karena adat pada
esensinya dipahami sebagai sebuah norma yang mengikat dan dipelihara dalam
masyarakat dalam rangka kepentingan mereka untuk mengatur kehidupan harian
masyarakat, maka ia dengan demikian adalah hukum itu sendiri. Efektivitas hakim
perdamaian desa melaksanakan peran fungsinya dalam menyelesaikan perkara, akan
dibahas berdasarkan pandangan Moh. Koesnoe mengenai cara menghadapi perkara
adat. Menurutnya, ada dua cara dalam menghadapi perkara adat, yaitu memberi
penyelesaian dan memberi keputusan243
Saat ini, kebutuhan tanah sebagai capital asset semakin meningkat, sebab banyaknya pembangunan dibidang fisik baik dikota maupun didesa. Dan pembangunan seperti itu membutuhkan banyak tanah. Kebutuhan akan tersedianya tanah untuk keperluan pembangunan tersebut memberi peluang terjadinya pengambilalihan tanah bagi proyek, baik untuk kepentingan negara/ kepentingan umum maupun untuk kepentingan bisnis. Keterbatasan tanah dan banyaknya pembangunan menyebabkan pergesekan. Manakala disatu sisi pembangunan sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya, sedangkan di sisi lain sebagian besar dari warga masyarakat juga memerlukan tanah sebagai tempat permukiman dan tempat mata pencariannya.244Untuk itu pemerintah perlu
242
Kuasa Dakhi, Wawancara, Si‟ulu mbanua (bangsawan) ketua adat Desa dan Kepala Desa Hilimaenamolo (Nisel, 16 Desember 2013).
243
Moh. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, (Surabaya : Penerbit Airlangga University Press, 1978), hal 37.
244
mengeluarkan kebijakan agar pembangunan tetap terpelihara, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum. Dan untuk memperoleh tanah-tanah tersebut terlaksana melalui pengadaan tanah.245
Teori kepentingan umum: intervensi regulasi terjadi di kepentingan
masyarakat luas (regulatory intervention occurs in the interest of the public at large).246Setidaknya ada dua konsep kepentingan umum : Salah satu konsep berlaku kata-kata harfiah: kepentingan umum demikian hal-hal menarik untuk masyarakat.
Namun, hal-hal yang untuk kepentingan masyarakat tidak selalu sama. Sebaliknya
kita fokus terutama dalam laporan ini pada penggunaan yang berbeda dari konsep,
ketika pemerintah, regulator dan lain-lain campur tangan dalam kepentingan umum
dalam perjalanan orang akan tentang bisnis mereka sendiri dalam kepentingan
mereka sendiri. Kebebasan untuk bertindak sesuai dengan keinginan sendiri adalah
keinginan publik kunci dan gangguan yang memerlukan justifikasi yang jelas. Hal
seperti hal-hal yang umum menemukan menarik. Kami tidak menganggap sejauh
mana suatu hal dianggap 'menarik' sebagai indikasi sesuatu menjadi masalah
kepentingan umum dan jangan terpaku pada konsep ini. (There are at least two concepts of the public interest: One concept applies the words literally: the public interest is thus anything of interest to the public. However, matters that are for the public benefit are not necessarily the same thing as matters which the public finds interesting. We do not regard the degree to which a matter is thought „interesting‟ as indicative of something being a public interest matter and do not dwell on this concept. Instead we focus primarily in this report on a different usage of the concept
245
Bernhard Limbong, Op.cit, hal.127
246
Joskov and Noll 1 dalam M. Victor M. Martins, Theory of Regulation, (Portugal :
– when governments, regulators and others intervene in the public interest in the
course of people going about their own business in their own interest. Freedom to act in accordance with one‟s own wishes is a key public want and interference with that
needs a clear justification)247.
Menurut public interest (kepentingan umum) diartikan sebagai The universal label in which political actors wrap the policies and programs that they advocate
(label yang universal di mana aktor politik membungkus kebijakan dan program yang
mereka menganjurkan). Dalam pengertian ini public interest (kepentingan umum) diartikan hanya sebagai claim (klaim) dari aktor-aktor politik terhadap kebijakan-kebijakan dan program-program yang mereka perjuangkan. Sering
kepentingan-kepentingan begini lebih mengarah kepada kepentingan-kepentingan-kepentingan-kepentingan kelompok dan
bukannya kepentingan seluruh masyarakat meskipun label yang dipakai adalah label
kepentingan publik.248
Kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama rakyat, dengan memperlihatkan segi-segi sosial, politik,
psikologis dan hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan
mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara.249 Kepentingan umum
didefinisikan sebagai kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
berfungsi melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat dimana hal-hal mengenai
247
The Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW), Acting In The Public Interest: A Framework For Analysis, England: 2012, hal 10.
248
Jay M Shafrtz & Russel. E.W. Introducing Publik Administration. (USA: Longman, 1997), hal 630.
249
fungsi, kontrol, tarif, pembagian keuntungan dan kepemilikannya diatur dengan
peraturan daerah.250
Sehubungan dengan public interest dan individual interest ini perlu diingatkan bahwa kedua kepentingan ini tidak selalu berhadap-hadapan, karena tidak selamanya
kedua kemungkinan itu tidak sejalan. Di dalam negara-negara yang sistem
demokrasinya sudah mapan, ada hal-hal yang merupakan public interest yang telah merupakan kesepakatan bersama yang tidak dapat diganggu gugat.251
Pengertian umum dari segi yuridis bahwa kepentingan umum dapat berlaku
sepanjang kepentingan tersebut tidak bertentangan dengan hukum positif maupun
hukum yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat yang penerapannya
bersifat kasuistis. Ditinjau dari segi sosiologis, kepentingan individu, masyarakat,
pengusaha dan negara yang bertujuan untuk memelihara ketertiban dan mencapai
keadilan di masyarakat yang luas dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, keamanan, pendidikan dan kesehatan.252
Teori Kepentingan umum Daniel S. Papp mengatakan bahwa dalam public interest terdapat beberapa aspek, seperti ekonomi, ideologi, kekuatan dan keamanan militer, moralitas dan legalitas. Meskipun masih terdapat beberapa perbedaan
pandangan, teori ini cukup memberi gambaran umum mengenai hal-hal yang
termasuk dalam public interest.253
250
Arie S. Hutagalung, Op.cit, hal 58.
251
Deborah Stone, Policy Paradox : The Art Of Policy Decicion Making, (New York : W.W Norton & Company, 1997), hal 18.
252
Bernhard Limbong, Op.cit, hal147.
253
Dalam penjelasan Pasal 18 UUPA menjelaskan kepentingan umum termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas
tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang
diatur undang-undang. Dimana kemudian Pasal 18 UUPA tersebut yang
melatarbelakangi lahirnya UU 20/1961. Setelah berlakunya UU 2/2012, pengertian
kepentingan umum tersebut lebih tegas sebagaimana ditegaskan lebih lanjut pada
Pasal 1 angka (6) UU Nomor 2/2012 jo. Perpres Nomor 71/2012, yaitu kepentingan
umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan
oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sehingga sebagai pemilik tanah yang tanahnya menjadi objek lokasi pembangunan
terkadang diperhadapkan kepada dilema yaitu apakah harus mengutamakan
kepentingan individu disatu sisi sebagai pemilik tanah yang sah yang dilindungi
hukum dan di sisi lain harus berkorban demi kepentingan umum. Alasan untuk
digunakan bagi kepentingan umum itu seringkali adalah alasan pembenar yang
dirasakan warga masyarakat sehingga menyerahkan tanahnya untuk digunakan bagi
pembangunan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu, kepentingan umum dapat
dikatakan sebagai kepentingan umum bila peruntukan dan manfaatnya dirasakan
benar-benar oleh masyarakat secara keseluruhan atau secara langsung, termasuk oleh
pemilik tanah sebelumnya, dimana kemudian kegiatan pembangunannya dilakukan
dan dimiliki oleh pemerintah dan tidak digunakan untuk tujuan mencari keuntungan
semata atau tidak bersifat komersil.
Kebutuhan akan tanah tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan, seperti
rakyat. Perebutan kepentingan tersebut selalu menempatkan rakyat sebagai pihak
lemah. Terbatasnya akses masyarakat dalam mempertahankan hak dan
kepentingannya dan posisi tawar (bargaining position) yang tidak seimbang merupakan contoh klasik dalam kasus-kasus konflik kepentingan tersebut. UUPA dan
kebijakan pertanahan secara de facto menempatkan masyarakat berada dalam posisi yang lemah akibatnya selalu terjadi pelanggaran hak asasi dan hak-hak keperdataan
masyarakat.
Pihak pemerintah juga mengalami kesulitan dalam melakukan pengadaan
tanah untuk kepentingan pembangunan, baik yang dilakukan oleh pemerintah sendiri
maupun yang dilakukan oleh pihak swasta. Regulasi mengenai pengadaan tanah
untuk kepentingan umum telah beberapa kali dikeluarkan pemerintah, ternyata
keberadaan semua peraturan tersebut kurang mengakomodir kepentingan masyarakat
yang terkena pengadaan tanah. Bahkan, dalam pelaksanaan peraturan tersebut banyak
menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak-pihak yang
membutuhkan tanah. Dalam prakteknya, pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum banyak menimbulkan gejolak, dimana adanya pemaksaan dari
para pihak baik pemerintah yang menetapkan harga sepihak maupun pemilik tanah
yang menuntut harga tidak wajar, sementara perangkat hukum yang ada belum
mampu mengakomodir dua kepentingan yang berbeda tersebut, sehingga dibutuhkan
adanya perangkat hukum yang setingkat undang-undang guna menjadi payung
hukum yang kuat, oleh sebab itu setelah melewati perjalanan waktu yang cukup
Persoalan pengadaan tanah dengan cara pencabutan, pembebasan dan
pelepasan hak-hak atas tanah selalu menyangkut dua dimensi yang harus ditempatkan
secara seimbang, yaitu kepentingan pemerintah dan kepentingan rakyat. Jika hal ini
tidak diindahkan, maka sengketa antara rakyat dan penguasa atau pihak yang
memerlukan tanah tidak dapat dihindarkan, akibatnya proyek pembangunan menjadi
terbengkalai, begitu juga tujuan pembangunan yaitu kemakmuran rakyat tidak
tercapai.
Masyarakat di Kabupaten Nias Selatan menganggap bahwa hukum adat
merupakan buah karya/Avore yang tidak dapat ternilai harganya. Hukum adat ini dikenal dengan sebutan Fondrako dalam masyarakat Nias Selatan. Fondrako/Avore
merupakan hukum yang mengatur segala sesuatu kehidupan masyarakat Nias Selatan
yang di dalamnya berisikan aturan-aturan dan hukum yang mengatur hubungan sosial
antar masyarakat yang dapat menjamin keamanan dan kesejahteraan lahir batin
sampai ke anak cucu. Farakaro tano (perkara tanah) tidak hanya terjadi antar warga masyarakat saja namun antar desa dalam hal batas tanah juga seringkali terjadi
bahkan ini menyebabkan adanya perang antar banua (kampung). Masyarakat di Kabupaten Nias Selatan sangat menjunjung fungsi nilai tanah sebagai sesuatu yang
sangat berharga dan merupakan titipan sementara dari Tuhan untuk diolah dan
dimanfaatkan secara baik demi keberlangsungan hidup dan sewaktu-waktu tanah bisa
menjadi masalah yang besar ketika tidak dipergunakan secara adil. Tanah bagi
masyarakat di Kabupaten Nias Selatan mengambil peranan penting dalam proses
masyarakat Nias Selatan, selain itu tanah menjadi pertanda kekuasaan seseorang serta
laju perekonomian di Kabupaten Nias Selatan.
Ketika ketersediaan lahan melimpah terkait dengan jumlah penduduk, hak-hak penguasaan secara hukum kurang dibutuhkan. Masyarakat kemungkinan akan mempraktekkan perladangan gilir balik, dengan hak-hak yang bersifat sementara yang diberikan kepada perseorangan oleh masyarakat. Situasi berubah ketika kepadatan jumlah penduduk meningkat dan perladangan gilir balik tidak lagi memadai karena siklus pembukaan lahan semakin pendek dan tingkat kesuburan terus menurun. Tanah kemudian semakin meningkat nilainya dan investasi pupuk dan pengembangan semakin menarik dan dibutuhkan. Selain itu pohon-pohonanpun harus ditanam bersama-sama jenis tanaman lain pada lahan yang sama. Hanya jika ada jaminan penguasaan atas tanah, teknik-teknik baru tersebut akan dapat membuahkan hasil yang dapat dipetik manfaatnya.254
Kepemilikan atas tanah cenderung sejalan dengan pengembangan pasar-pasar
finansial yang bersandarkan kepada tanah sebagai jaminannya. Lebih jauh
kepemilikan atas tanah yang jelas membebaskan pemilik (masyarakat adat) dari
biaya-biaya dan usaha untuk menetapkan dan menegakkan hak-hak penguasaannya.
Tanah bersertifikat juga cenderung memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Pola
kepemilikan atas tanah juga dapat mempengaruhi bagaimana investasi publik seperti
sarana transportasi dialokasikan. Seringkali investasi tersebut lebih menyukai
pemegang konsesi yang besar dan berkuasa dibandingkan masyarakat adat yang
secara politik tidak dikenal sehingga menyebabkan bias dan mendorong
ketidakadilan.
Di sisi lain kegagalan untuk memenuhi hak-hak hukum atas pemilik de facto
tanah menciptakan masalah sosial besar bahkan tidak jarang mengarah ke tindakan kekerasan, sengketa atas tanah dan berlanjut ke pengadilan ketika pelaku lain seperti pemegang konsesi pembalakkan dan pelaku lain yang lebih berkuasa memperoleh penguasaan secara hukum atas hutan. Karena hutan semakin lama semakin menyusut, konflik-konflik tersebut akan terus meningkat sementara kecenderungan masyarakat untuk melakukan investasi akan menurun.
254