• Tidak ada hasil yang ditemukan

KABUPATEN NIAS SELATAN A Karakteristik Sengketa

B. Bentuk Penyelesaian Sengketa dalam Masyarakat Adat Nias

Seiring dengan meningkatknya pembangunan fisik dalam masa orde baru, disatu pihak dan berkurangnya tanah negara yang tersedia dilain pihak, fenomena sengketa tanah muncul ke permukaan yang sebagian besar merupakan akibat dari pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, perumahan, pertanian maupun perkebunan skala besar. Sengketa tanah sebagian besar terjadi antara masyarakat hukum adat yang mempertahankan hak adat atas tanah dengan

357 Badan Petanahan Nasional, “Penanganan Kasus Pertanahan”, melalui

http://www.bpn.go.id/Program/Penanganan-Kasus-Pertanahan.html, diakses pada tanggal 28 Desember 2013, pukul 11.00 WIB.

358

Elza Syarief, Op.cit, hal 217.

359Rama Dhana, “Perbedaan Antara Sengketa Internasional dan Sengketa Nasional”, melalui

pemilik modal besar yang mendapat konsesi pengusahaan hutan, perkebunan, pertambangan termasuk pertambangan minyak dan gas bumi. Praktek-praktek pengadaan tanah untuk proyek pembangunan tersebut dengan dalil untuk kepentingan umum di lokasi tanah masyarakat hukum adat dilakukan secara tidak bijaksana, sehingga menimbulkan sengketa tanah tersebut yang sampai saat ini belum terselesaikan.360

Kepemilikan lahan adat melibatkan array kompleks dan rinci hak kepemilikan yang sering sulit untuk mendamaikan dengan sistem barat kepemilikan lahan. Sengketa tanah yang timbul dari kepemilikan tanah adat yang mahal, memakan waktu dan sering menghambat pengoperasian pemerintah, administrator tanah, pengembang, investor, pemilik dan pengguna lahan. Perselisihan ini mungkin merupakan hasil dari sistem adat atau hasil dari ketegangan sistem kepemilikan ganda.361

Terkait dengan banyaknya masalah yang berkaitan dengan masyarakat adat, maka pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tanah ulayat adalah sebidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan (ayat 3).

360

Arie S. Hutagalung, Op.cit, hal 119.

361

Keresi R. Fonmanu, Lisa Ting and Ian P. Williamson, Dispute Resolution For Customary Lands: Some Lessons From Fiji, hal 1.

Untuk menentukan ada ada tidaknya hak ulayat di suatu daerah harus dilakukan penelitian oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam (Pasal 5 ayat 1).

Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah (Pasal 5 ayat 2).362

Besarnya ganti rugi harus ditentukan dengan cara musyawarah/mufakat antara Pimpinan Proyek dengan pemilik/pemegang hak atas tanah yang memperhatikan/berpedoman kepada harga dasar yang berlaku. Apabila tercapai kesepakatan, maka Camat mengesahkan pelepasan hak atas tanahnya atau selaku PPAT membuat Akte Jual-Belinya sepanjang Proyek/Badan Pemerintah yang memerlukan tanah tersebut memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak atas tanah tersebut.363

Sengketa tanah hak ulayat/adat pada prinsipnya dapat diselesaikan melalui cara non litigasi atau penyelesaian sengketa alternatif. Proses penyelesaian sengketa tanah melalui cara non litigasi atau alternatif secara umum dibagi dalam 3 (tiga) tahap yaitu:

1. Tahap musyawarah.

Pada tahap ini di dalamnya terdapat tiga proses yang harus dilalui oleh para pihak yang terlibat. Prosesnya antara lain:

362

Badriyah Harun, Op.cit, hal 57.

363

Rusmadi Murad, Administrasi Pertanahan : Perlaksanaan Hukum Pertanahan dalam Praktek, Edisi Revisi, ( Bandung : Penerbit CV. Mandar Maju, 2013), hal 626.

a. Proses pertama adalah persiapan yang mana pada proses ini akan ditentukan siapa yang akan menjadi juru penengah atau mediatornya, mediator atau juru penengah melakukan pemahaman terhadap sengketa yang terjadi, penentuan tempat penyelesaian, waktu dan pihak-pihak lain yang akan dilibatkan, serta hal-hal yang diperlukan untuk mendukung musyawarah.

b. Proses kedua adalah pembukaan yang mana dalam proses ini akan diperoleh keterangan-keterangan dari pihak pemohon/pengunggat dan pihak termohon/tergugat berkaitan dengan sengketa serta mendengar keterangan dari para saksi-saksi yang berasal dari penggugat atau tergugat.

c. Proses ketiga yaitu penutup yang meliputi penyimpulan pembicaraan, pembuatan surat pernyataan perdamaian, penandatanganan kesepakatan oleh pihak yang bersengketa (bila sudah disepakati), saksi dan penutupan musyawarah.

2. Tahap pelaksanaan hasil musyawarah.

Pada tahap ini maka para pihak akan melaksanakan kesepakatan yang telah dicapai dalam musyawarah cara sukarela, sehingga pelaksanaan relatif murah.

3. Tahap penutupan musyawarah.

Setelah kesepakatan dicapai, maka musyawarah akan ditutup oleh pihak yang berkompeten untuk melakukannya dan biasanya dilakukan oleh pemimpin musyawarah.364

Memahami dampak negatif mendekatan fabanuasa (senasib dan sepenanggungan) dalam penyelesaian konflik/masalah antar desa di Nias secara umum dan di Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan secara khusus, maka yang seharusnya dilakukan antara lain:365

1. Jika ada kesalahan pribadi/individu, tidak boleh melibatkan nama kampung atau warga kampungnya secara keseluruhan. Akar permasalahan harus dirumuskan dan difokuskan sehingga tidak menyebar.

2. Jika seseorang yang telah bersalah, maka tidak boleh dibalas dengan melakukannya kepada pribadi lain yang tidak tahu menahu dan tidak ada kaitannya dengan suatu kasus, sekalipun itu saudara kandung atau keluarga dari pelaku sendiri.

364

Bernhard Limbong, Op.cit, hal 364.

365

Johannes M. Hammerle, Pusaka Nias Dalam Media Warisan (Kumpulan Artikel dan Opini), (Nias : Penerbit Yayasan Pusaka, 2010), hal 118-119.

3. Sampaikan dan percayakanlah penyelesaian masalah tersebut melalui aparat penegak hukum atau lembaga-lembaga adat yang masih hidup misalnya melalui para si‟ila mbanua.

4. Warga desa yang salah satu tidak perlu dilindungi atau ditutupi-tutupi kesalahannya. Yang salah harus ditindak, karena itulah yang menurunkan wibawa desa. Tetapi jika mau membantunya lakukanlah dengan cara bijaksana.

5. Tidak boleh melindungi atau menutup-nutupi kesalahan warga sesama desa dengan cara mengintimasi atau mengancam warga desa lain yang telah dilanggar haknya.

6. Setiap desa harus sepakat untuk menghukum warganya yang turur membela, mempertahankan, melindungi warga desa yang telah melakukan kesalahan (perbuatan tidak terpuji) terhadap warga desa lain.

7. Setiap desa harus sepakat untuk menghukum warganya yang melakukan kekerasan kepada desa lain yang tidak ada hubungannya dengan masalah tertentu.

8. Siapapun yang salah harus diserahkan kepada penegakan hukum dan ditindak sesuai hukum yang berlaku serta tidak boleh melakukan pengadilan rakyat yang menyulut kerusuhan antar desa.

9. Kepala desa tidak boleh dipilih dari kalangan preman yang memiliki pengaruh melalui jotos, teror-meneros dan ancam-mengancam.

Kepentingan-kepentingan yang perlu diperhatikan yang pelaksanaannya tidak mudah karena menghadapi kepentingan yang berbeda bahkan kepentingan- kepentingan tersebut saling bertentangan atau bertolak belakang. Dalam hal tidak diperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi, Pimpinan Proyek dapat mengambil langkah menggunakan lembaga penawaran diikuti dengan konsinyasi uang ganti rugi pada pengadilan negeri setempat.

Biaya pembuatan akte pelepasan hak/jual-beli tersebut oleh Camat dipungut biaya ¼ % dari harga tanah sekurang-kurangnya Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah) atau setinggi-tingginya Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) di bebankan kepada Pimpinan Proyek yang bersangkutan. Sebaliknya apabila tidak tercapai kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi Pimpinan Proyek harus segera mencari tanah yang lain yang memenuhi syarat dan memberitahukan kepada Camat selambat-lambatnya 3 (tiga)

hari.366Besarnya penggantian tanah ditentukan berdasarkan nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti lokasi tanah, jenis hak, status, peruntukan dan lain sebagainya dengan mengupayakan agar ganti rugi tersebut tidak mengubah pola hidup msyarakat serta kemungkinan mengalihkan pemukiman ke lokasi lain.

Kegiatan pengadaan tanah terdiri dari kegiatan-kegiatan Penjelasan/Penyuluhan mengenai rencana dan tujuan pengadaan Tanah, penelitian dan inventarisasi atas tanah serta benda lain yang akan dilepaskan/diserahkan, status hukum, mengumumkan hasil inventarisasi di Kantor desa/Kelurahan yang bersangkutan, menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi, melakukan musyawarah dengan pemegang hak atas tanah untuk menetapkan bentuk/besarnya ganti rugi, menyusun daftar nominatif dan surat pelepasan hak, menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi dan membuat berita acara pelepasan/pengalihan hak atas tanah.367

Sesuai dengan perkembangan masyarakat dewasa ini dengan banyak sudah diberlakukannya hukum modern, nampaknya tidak sedikit yang dapat mempertahankan eksistensinyaa sebagai masyarakat hukum adat. Apalagi akibat dari masa penjajakan yang sekian lama, dalam mempertahankan kehidupan mereka, terpaksa “melepas” hak-hak atas tanah ulayatnya, walaupun dalam arti hanya berbentuk sewa/erfpacht selama jangka waktu yang panjang (75 tahun). Peristiwa seperti itulah yang saat ini muncul sebagai permasalahan, tidak saja permasalahan hukum tetapi juga sengketa vertikal. Tanah yang semula berstatus tanah adat, ketika para penjajah meninggalkan negara tercinta ini, tanah-tanah tersebut praktis tidak diketahui siapa pemiliknya. Dan pemerintah yang sah mengklaim sebagai tanah negara. Penguasaan tanah-tanah tersebut, saat-saat ini menjadi kerikil tajam bagi penyelenggaraan pemerintahan.368

Pertengahan tahun 2012 pemerintah melalui dinas perhubungan ditambah asisten I dan II kabupaten Nias Selatan melakukan pendekatan dengan masyarakat Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan

Maniamolo pemilik hak ulayat guna mensosialisasikan pembangunan bandara udara 366 Ibid, hal 627. 367 Ibid, hal 631. 368

Lies Sugondo, Masyarakat Hukum AdatDalam Kerangka Hukum Nasional, (Jakarta : Makalah: Hak-hak Masyarakat Adat( Indigenous Peoples' Rights), 2007), hal 2.

Silambo Kabupaten Nias Selatan. Masih dalam tahapan-tahapan sosialisasi dan negosiasi antara pemerintah dengan masyarakat Desa Botohilitano Kecamatan

Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan pemilik hak ulayat dan belum lahirnya kesepakatan bersama. Secara diam-diam tanpa sepengetahuan dan kesepakatan masyarakat. Pemerintah menurunkan exsefator, doser dan mesin-mesin yang lainnya diturunkan di Desa Botohilitano Kecamatan

Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan. Hal ini mengakibatkan masyarakat menjadi kaget dan panik karna belum adanya kesepakatan bersama yang akan menjamin hidup mereka jika nantinya kebun mereka/ tanaman mereka di gusur.369

Masyarakat menjadi kecewa dan marah terhadap pemerintah karena merasa tidak di hargai dan adanya kesengajaan oleh pemerintah dalam melakukan tahapan- tahapan sosialisai dan negosiasi, dimana pemerintah didak melakukan sosialisasi tentang analisa dampak lingkungan hidup (AMDAL), sosialisasi tentang master plan

pembangunan bandara, kejelasan tentang harga ganti rugi terhadap tanaman/tanah. Negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah hanya melalui orang-orang tertentu. Walaupun belum ada kesepakatan bersama antara masyarakat dan pemerintah dalam bentuk perjanjian secara tertulis pembangunan Bandara Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan tetap dilaksanakan dan sampai saat ini proses pembangunan Bandara Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan telah sampai pada tahap penimbunan dan pengerasan badan bandara. Pada saat sebelum pembangunan bandara udara Silambo

369

Endyka Triono Dachi, Wawancara, Plt Kasubbid Pengadaan BPKKD Kabupaten Nias Selatan, (19 Desember 2013).

Kabupaten Nias Selatan dimulai masyarakat tiga puluh dua warga bersama 4 (empat) ketua marga dan tokoh-tokoh adat telah menyatakat sikap penolakan pembangunan bandara kepada pemerintah melalui satu pernyataan sikap bersama yang di tandatangani oleh tiga puluh dua warga dan tokoh-tokoh adat.

Pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan terus melakukan pembangunan Bandara Udara Silambo salah satunya dengan membebaskan tanah adat menjadi aset pemda sehingga pengelolaan bandara nanti dapat berjalan dengan baik sehingga tidak ada yang dirugikan baik dari pihak masyarakat dan adat. Bupati sudah menjadi tugas pemda untuk membebaskan tanah adat jika tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat, oleh sebab itu masyarakat harus mendukung semua kebijakan pembangunan Bandar Udara Silambo di Kabupaten Nias Selatan ini, karena yang dilakukan pemerintah juga untuk masyarakat, contohnya tanah yang dibebaskan inikan untuk lapangan terbang dan hasilnya juga nanti pasti masyarakat yang nikmati, karena masyarakat dapat membawa hasil pertanian untuk di jual atau dipromosikan ke daerah lain.

Masyarakat-masyarakat adat dalam kehidupan yang terpuruk saat ini, seperti orang yang baru bangun terhenyak mengambil alih tanah-tanah mereka yang tanpa disadari bahwa semula sejak penjajah pergi dari bumi pertiwi, telah dikuasai oleh pemerintah. Bahkan ada kalanya penguasaan oleh pemerintah ini telah jatuh ke tangan swasta berdasar perjanjian-perjanjian yang dibuat tanpa mengikutsertakan masyarakat itu sendiri.

Dalam perkembangannya, melalui UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi UU Nomor 22/1999, maka urusan di bidang pelayanan pertanahan merupakan Tugas Perbantuan. Hal ini kemudian diatur

dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Terdapat 9 (sembilan) urusan pemerintahan di bidang pertanahan yang dibagi bersama antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Di samping itu, UUPA juga mengakomodasi adanya pluralisme hukum dalam bidang hukum agraria (Pasal3 dan 5). UUPA mengakui eksistensi dan pelaksanaan hak ulayat MHA dan hak-hak yang serupa itu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada (Pasal 3). Pengakuan tersebut sejalan dengan sikap UUPA yang memosisikan hukum adat sebagai hukum yang berlaku (hukum positif ) dalam hukum agraria (Pasal 5).370

Eksistensi hukum adat dan masyarat adat itu sendiri dalam persaingan global, maka keberadaan hukum adat sebagai bagian dari pluralisme hukum yang ada di Indonesia, setelah melalui kajian sosiologis-empiris, kajian-kajian sejarah hukum dan dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat adat maka hukum rakyat atau hukum adat sebagai bagian hukum hidup haruslah ada dan hidup berdampingan dengan hukum nasional yang ada. Dengan demikian pemberdayaan potensi masyarakat adat dapat tetap terbina dan hidup sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya pengembangan hukum nasional yang ada, termasuk kedudukan hukum masyarakat adat beserta hukum adatnya yang hidup dalam berbagai upaya penyelesaian sengketa yang terjadi yang melibatkan masyarakat adat yang masuk ke jalur pengadilan khususnya MK.371

Pengelolaan sumber daya alam/sumber daya agrarian dalam UUPA dilakukan secara terkoordinasi dan terintergrasi (Pasal 1, 4, 8). UUPA mendorong pengaturan sumber daya alam/sumber dayaa graria yang meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dilakukan secara integral, bukan sektoral. Walaupun pengaturan tersebut akan dilakukan melalui beberapa peraturan perundang-undangan namun satu sama lain harus sinkron dan harmonis, baik secara vertikal maupun horisontal.372

370

Maria S. Sumardjono, Nurhasan Ismail, Ernan Rustiadi & Abdullah Aman Damai, Final Report: Kajian Kritis Undang-UndangTerkaitPenataan Ruang & Sumberdaya Alam, Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bekerjasama dengan ESP2 – DANIDA, 2009, hal 25.

371

Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Legal Standing : Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta : Penerbit Salemba Humanika, 2010), hal 47-48.

372

Menurut UUPA, atas dasar hak menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang,baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Hak atas tanah memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanahnya. Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud di atas ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa (Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3)). Sejalan dengan itu, Pasal 8 UUPA juga menyatakan, bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara pula diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa. Dengan demikian, seluruh UU yang mengatur pengambilan kekayaan alam seperti hutan, tambang, ikan dan lain-lain (UU sektoral) seharusnya mengacu kepada UUPA ini. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya agraria menurut UUPA harus dilakukan secara integral, dan bukan sektoral karena menurut UUPA, seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia, dan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional (Pasal 1 ayat (1) dan (2)).373

Kedudukan Hak Ulayat dalam masyarakat hukum adat masih dianggap ada bila memenuhi dua kriteria yaitu terkait eksistensi dan cara pelaksanaannya. Bila hak ulayat sudah tidak ada atu tidak diakui dalam suatu daerah, maka hak ulayat tersebut tidak dapat ditumbuhkan lagi, dan pada dasarnya hak yang berhubungan dengan tanah ulayat adalah hak untuk menguasai bukan untuk memiliki. Belum adanya pengaturan terkait pengelolaan atas tanah ulayat menyebabkan beberapa permasalahan pengelolaannya atas masyarakat hukum adat.374

Keprihatinan dan perhatian terhadap aspek-aspek sumber daya sebagai daya dukung lingkungan hidup dalam pembangunan ekonomi ini tidak hanya berkembang di Indonesia saja, tetapi dapat dikatakan merata di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama karena kemerosotan keadaan dan mutu lingkungan secara global dan kedua, kesadaran mengenai keterkaitan antara lingkungan dan pembangunan sehingga mau tidak mau lingkungan hidup harus mendapat perhatian cukup. Dalam konteks ini tampak ada penonjolan dimensi

373

Ibid.

374

ekonomi dalam penguasaan sumber daya alam, yang perlu mendapat perhatian adalah aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan bukan hanya berada dalam dimensi ekonomi belaka tetapi juga dalam dimensi kehidupan manusia termasuk dimensi sosial budaya, kesejahteraan sosial pada dasarnya juga harus menonjolkan aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan. Pengelolaan lingkungan dari masing-masing permasalahan pembangunan juga berbeda. Konsep pembangunan yang berkelanjutan merupakan pengembangan dari konsep pembangunan yang sebelumnya. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.375

Langkah strategis yang harus ditempuh untuk memperkuat eksistensi masyarakat adat adalah dengan memberikan penguatan kepada masyarakat adat dalam memainkan peran kolaboratif bersama negara. Langkah ini mengharuskan agar peran-peran yang dimainkan oleh masyarakat adat dalam penguasaan dan pengelolaan tanah dan berbagai sumber daya alam lainnya seimbang dengan peran yang dimainkan oleh Negara yang berarti masyarakat adat juga harus diberi ruang yang luas ikut serta bersama-sama negara dalam memaksimalkan fungsi tanah dan sumber daya alam lainnya sebagai sarana vital untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.376

Menyelesaikan secara tuntas permasalahan di bidang pertanahan yang meningkat berhubung dengan meningkatnya kebutuhan, penguasaan, dan penggusuran tanah terutama untuk kepentingan pembangunan, dipandang perlu meninjau kembali kedudukan, tugas, dan fungsi Direktoral Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri dan meningkatkannya menjadi suatu lembaga yang menangani bidang pertanahan secara maksimal.377

Pasal 32 UUPLH menyatakan, bahwa dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil

375

Yudhi Utomo, Sugeng Utaya, dkk, Pendidikan lingkungan hidup, Jilid 3, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang Kerjasama Dengan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur,Malang, 2009, hal 9.

376

Ari Arifin, M.Fatkhurozi, et.al, Uo Vadis Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat, Makalah, (Yogyakarta : Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Syari‟ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2013).

377

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh, Cetakan Kelima belas, (Yogyakarta : Penerbit Gadjah Mada University Press, 1999), hal 187.

keputusan yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.378

Apapun yang terjadi untuk penetapan batas-batas antara satu hak dengan hak lainnya, maka para pemilik disempadan hak yang sedang diukur tersebut haruslah dengan kesepakatan dari mereka yang dituangkan dalam veldwerk dari petugas pengukuran dan pemetaan tersebut. Kesepakatan ini merupakan dasar untuk diterbitkan surat ukur dan sertifikat hak atas tanahnya. Jika mereka tidak sepakat maka pengukuran tersebut tidak dapat dilanjutkan dan penerbitan sertifikat hak atas tanah tertunda. Pihak-pihak yang bersengketa baik atas pengukuran dan penerbitan sertifikatnya menyelesaikannya melalui pengadilan Negeri setempat.379

Perkembangan sifat dan substansi sengketa tanah di Sumatera Utara tidak hanya persoalan administrasi yang harus diselesaikan melalui hukum administrasi, akan tetapi telah merambah keranah politik, sosial, ekonomi, budaya dan lainnya, oleh karena itu dalam penyelesaiannya menjadi tanggungjawab bersama untuk menangani secara komprehensif, cepat, tepat dan tidak menimbulkan akses negatif.Adapun kekuasaan negara yang dimaksud itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, baik sudah yang dihakki oleh seseorang maupun tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara. Dengan demikian pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwenang mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa.

378

Ibid, hal 378.