• Tidak ada hasil yang ditemukan

KABUPATEN NIAS SELATAN A Karakteristik Sengketa

D. Hasil Upaya Penyelesaian Sengketa

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum pasal 40 ayat 1 dan

untuk kepastian harga ganti rugi yang seimbang dan tidak merugikan para pihak, maka perlu penetapan harga ganti rugi atas tanah di Desa Botohilitano Kecamatan

Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan. Penetapan harga ganti rugi atas tanah untuk kepentingan pembangunan Bandara Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan standar harga menurut peraturan dan ketentuan yang berlaku. Harga ganti rugi atas tanah adalah sesuai dengan mufakat bersama tanpa ada pihak yang dirugikan baik pemilik tanah maupun pihak pemerintah Kabupaten Nias Selatan yang ditetapkan. Segala biaya yang timbul akibat dikeluarkannya Keputusan ini dibebankan pada APBD Kabupaten Nias Selatan tahun anggaran 2011 pos anggaran Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah.

Pembayaran kompensasi ganti rugi tanah dan tanaman bertahap I berjumlah 33 orang di Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo

Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan. Pembayaran langsung (LS) Belanja ganti rugi tanah dan tanaman untuk kepentingan pengadaan tanah pemerintah Kabupaten Nias Selatan. Berdasarkan pelepasan hak atas tanah Nomor: 27/PH/V/2012 tanggal 21 Mei 2012 pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kabupaten Nias Selatan. Pembayaran Belanja Langsung (LS) belanja modal pengadaan tanah kantor sebesar Rp. 3.664.743.720 (tiga milyar enam ratus enam puluh empat juta ratus empat puluh tiga ribu tujuh ratus dua puluh rupiah) pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kabupaten Nias Selatan TA. 2012 dengan ini menyatakan sebenarnya bahwa jumlah Belanja langsung (LS) tesebut diatas akan dipergunakan untuk keperluan guna membiayai kegiatan yang

akan laksanakan sesuai DPA-SKPD dan jumlah Belanja Langsung (LS) tersebut akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran sesuai dengan ketentuan dan akan pertanggungjawaban sesuai dengan ketentan yang berlaku.

Pengakuan dan perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap hak Masyarakat Hukum Adat mengalami degradasi. Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan orientasi pertumbuhan ekonomi dan modernisasi menjadi salah satu faktor, terpinggirkannya hak Masyarakat Hukum adat. Masyarakat Hukum Adat dengan berbagai keterbatasannya tersingkir dari hutan dan hal ini menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan mereka serta terjadi benturan (sengketa) atas obyek tertentu atas tanah seperti hak atas tanah adat. Benturan (sengketa) tersebut dapat terjadi antara masyarakat adat dengan pemerintah, antar masyarakat adat itu sendiri atau dengan pihak swasta.430

Tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh orang-orang pribumi atau oleh kepala- kepala pribumi untuk keperluan desa tidak boleh sekalipum dialihkan haknya oleh Gubernur Jenderal, kecuali dengan pembayaran ganti rugi. Yang istimewa di antara ketentuan-ketentuan Agrarisch Wet ini dengan demikian bukanlah ketentuan tentang pernyataan tanah-tanah kosong sebagai domein atau eigendom negara, bukan pula kemungkinan Pemerintah memberikan hak erfpacht kepada siapa yang akan mengusahakan dengan investasi-investasi yang produktif, dan bukan pula kemungkinan orang-orang pribumi untuk tetap dapat meneruskan penguasaan dan pemanfaatan atas tanah-tanah yang selama ini memang ditempati dan digarapnya (secara turun temurun sakalipun), dan bahkan dapat mengubah hak ipso jure facto dan/atau de facto-nya itu menjadi hak yang secara ipso jure

lalu menjadi hak eigendom; melainkan satu ketentuan yang khusus dan de novo, ialah larangan untuk memindahkan hak ke golongan rakyat yang lain (vervreemdingsverbod).431

430

Wahiduddin Adams, Perspektif Pemerintah Atas Hak Dan Kewajiban Masyarakat Hukum Adat,Makalah disampaikan Pada Lokakarya Nasional tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, tanggal 30 Agustus 2013 di Jakarta, hal 1.

431

Soetandyo Wignjosoebroto,Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hal 92.

Pada praktiknya, menurut Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, terdapat dua bentuk pengadaan tanah, yaitu pengadaan tanah yang dilakukan untuk keperluan pembangunan kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah dan pengadaan tanah yang dilakukan bukan untuk keperluan pembangunan kepentingan umum yang dilakukan bukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, tetapi dilakukan oleh swasta.432

Pengadaan lahan proyek pembangunan Bandara Udara Silambo di Desa

Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo

Kabupaten Nias Selatan sudah 63 persen lahan telah dilakukan pelepasan hak oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Panitia sudah melakukan pemberitahuan kepada warga soal kemungkinan 33 bidang tersebut dikonsinyasi. Sosialisasi dan pengadaan lahan untuk Sekretaris Daerah Kabupaten Nias Selatan yang dilakukan secara paralel, kerja keras panitia sudah mulai terlihat hasilnya dengan sudah dilakukan pembayaran ganti rugi selama dua kali di bagi warga Desa

Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo

Kabupaten Nias Selatan, selanjutnya akan dilakukan pemberkasan untuk kemudian dibayarkan. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan, juga ditemukan fakta bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh P2T sering tidak dihadiri oleh warga terkena proyek Bandara Udara Silambo. Selama tujuh kali dilakukan sosialisasi dan musyawarah

432

Dinda Kumala dan Setyono, Tips Hukum Bisnis: Tanah & Bangunan, (Jakarta : Penerbit Raih Asa Sukses, 2009), hal 111.

bersama warga belum maksimal, karena warga banyak yang tidak hadir. Bahkan panitia sampai menyosialisasikan di Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo Kabupaten Nias Selatan.433

Telah ditetapkan nilai maksimal ganti rugi oleh surat pernyataan pelepasan hak mutlak atas bidang tanah sebelum di akta oleh warganya telah sepakat dengan nilai ganti rugi tersebut dan telah dilaksanakan penandatanganan kesepakatan nilai ganti rugi, namun dalam pelaksanaan penandatanganan belum dapat dilaksanakan oleh seluruh warga yang telah sepakat, hal ini dikarenakan kurangnya kelengkapan persyaratan pelepasan hak atas tanah tersebut. Tim Pengadaan Tanah di Desa

Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan Maniamolo

Kabupaten Nias Selatan dalam menentukan besarnya ganti rugi didasarkan pada harga pasaran dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, sedangkan pemilik tanah meminta ganti rugi yang nilainya jauh dari harga pasaran di masing-masing wilayah tersebut, sehingga susah tercapainya kesepakatan antara Tim Pengadaan Tanah di Desa Botohilitano Kecamatan Fanayama dan Desa Hilimaenamolo Kecamatan

Maniamolo Kabupaten Nias Selatan.

Warga yang belum sepakat dengan nilai ganti rugi tersebut akan dilakukan musyawarah sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) kali dalam jangka waktu yang belum dapat ditentukan. Selama musyawarah tersebut P2T akan melakukan pendekatan- pendekatan dengan warga secara terus menerus, hal ini dimaksudkan agar warga tersebut memahami betul arti dari kepentingan umum serta mengetahui maksud dan

433

Endyka Triono Dachi, Wawancara, Plt Kasubbid Pengadaan BPKKD Kabupaten Nias Selatan, (19 Desember 2013).

tujuan diadakannya pengadaan tanah ini, TPT mengharapkan kepada warga agar mau melepaskan hak atas tanahnya tersebut karena lokasi pembangunan ini sudah tidak memungkinkan untuk dipindahkan secara teknis tata ruang, dan TPT pun telah menetapkan nilai ganti rugi di atas harga pasaran yang sebenarnya, penetapan harga ini telah dilakukan dengan pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan. Apabila jangka waktu musyawarah yang ditentukan telah berakhir, maka TPT akan menyerahkan ganti rugi kepada pemilik dan dibuatkan Berita Acara Negoisasi harga/ganti rugi atas bangunan, untuk pembangunan Bandara Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan. Apabila pemilik tetap menolak penyerahan ganti rugi atau tidak menerima penawaran penyerahan ganti rugi, maka setelah jangka waktu yang ditetapkan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Nias Selatan membuat Berita Acara Penyerahan Ganti Rugi. Jika pemilik tanah tetap menolak, maka berdasarkan Berita Acara tersebut, Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Nias Selatan memerintahkan agar TPT menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah bagi pelaksanaan pembangunan Bandara Udara Silambo.

Untuk pengadaan tanah dalam rangka keperluan pembangunan kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah tersebut maka terhadap pemilik bidang tanah akan diberikan ganti kerugian dalam bentuk uang dan/atau tanah pengganti dan/atau pemukiman kembali dan atau gabungan dari ketiga bentuk ganti kerugian tersebut. Adapun dasar perhitungan untuk menentukan besarnya ganti kerugian tersebut didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan yang ditentukan oleh

Tim Penilai Harga Tanah serta Nilai Jual Bangunan dan Nilai Jual Tanaman yang dinilai oleh perangkat daerah setempat.434

Pengadaan tanah dalam rangka keperluan oleh pihak swasta maka dapat dilakukan secara jual beli, tukar menukar, atau bentuk lainnya yang disepakati oleh para pihak. Oleh karena itu, terhadap ganti rugi yang akan diberikan kepada pemilik bidang tanah (baik dalam bentuk sebagai uang pembelian) tidak hanya mempertimbangkan NJOP, nilai bangunan, atau nilai tanaman yang ada di atas bidang tanah tersebut, tetapi nilai ekonomi bidang tanah juga dipengaruhi oleh letak dari bidang tanah tersebut (hal ini yang seringkali disebut dengan harga pasar). Penentuan ganti rugi hendaknya melalui proses musyawarah dengan masyarakat yang akan tergusur. Akan tetapi, jika penentuan tersebut berlarut-larut, dapat ditunjuk tim independen untuk menilai harga ganti rugi yang layak.435

Ada tiga perbuatan hukum (rechtsfeit) perpindahan hak-hak atas tanah, yaitu: penjualan atau pertukaran, gadai, mempersewakan tanah dengan pembayaran sewa di muka. Masing-masing akan dibicarakan di bawah ini yakni:436

1. Penjualan atau Pertukaran tanah

Penjualan tanah diartikan sebagai perpindahan tanah untuk selama-lamanya (jual lepas) dengan menerima sejumlah uang (uang pembelian), yang dibayar secara tunai. Perbuatan ini dilakukan di muka para pembesar dan pada saat yang sama diserahkan surat-surat (izin pengolahan), akta pembelian, tanda pembayaran pajak tanah, dan sebagainya) kepada pembeli. Para pembesar mendapat sejumlah uang sebagai balas jasa atas bantuan mereka.

2. Penggadaian Tanah 434 Ibid. 435 Ibid. 436

Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Cetakan Pertama, (Yogyakarta Penerbit Pustaka Yustisia, , 2012), hal 60-63.

Aspek yang penting pula dalam gadai adalah uang gadai. Perlu diketahui bahwa uang yang dibonkan kepada pemberi gadai bukanlah utang. Pemegang gadai tidap dapat menagih kembali uang itu. Namun, ada jalan keluar. Tenggang waktu gadai dapat diatur yaitu bisa satu atau dua tahuan. Kedua belah pihak, yaitu pemberi dan pemegang gadai, harus sepakat terlebih dahulu bahwa setelah tenggang waktu berakhir, maka si pemberi gadai dapat memilih antara dua kemungkinan. Pertama, menebus gadai itu dengan menebus uang gadainya. Kedua, mengganti hubungan gadai itu jual lepas kepada pemegang gadai. Kemungkinan kedua itu terjadi kalau pemegang gadai membayar selisih antara harga gadai dengan penjualan yang biasanya lebih tinggi.

3. Penyewa tanah dengan pembayaran sewa di muka

Sepemilik tanah menyerahkan tanah (pihak I) kepada penyewa (pihak II) untuk waktu tertentu dengan pembayaran uang tunai. Bila waktunya berakhir, maka tanah itu kembali ke pihak I. Penyewa tanah (pihak II) dapat berbuat apa saja terhadap tanah itu. Hanya saja ada batas waktu tertentu, yaitu dia tidak boleh menjual atau menyewakan tanah itu tanpa izin pemilik (pihak I). Sebaliknya, pemilik tanah (pihak I) dapat melakukan transaksi jual lepas atau gadai tanpa mengurangi hak-hak si penyewa.

Keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan laut meliputi keanekaragaman genetik, spesies, dan ekosistem. Karena itu, agar proses pengelolaannya sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dibutuhkan upaya yang lebih serius dan terukur terhadap potensi-potensi biodiversitas. Tujuannya agar bisa dirasakan manfaatnya baik secara ekonomis, sosial, maupun budaya oleh Atas dasar itulah maka dirumuskan seperangkat undang-undang yang terus bertambah dan disempurnakan dari tahun ke tahun menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan akan regulasi. Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dipandang sebagai. Undang-undang ini mengatur semua aspek yang berkaitan dengan konservasi, baik cakupan ruang maupun sumber daya alamnya. Dalam bagian penjelasan, disebutkan bahwa undang-undang ini bertujuan untuk mengatur pelindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari SDA hayati. Selain mengatur sistem dan kekayaan sumber daya alam, undang-undang tersebut juga merumuskan kebijakan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam tersebut untuk kesejahteraan masyarakat. Pada akhirnya perangkat hukum ini ditujukan bagi peningkatan mutu kehidupan manusia. Pengertian konservasi menurut undang-undang ini adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi dilakukan melalui kegiatan perlindungan.437

437

Yaya Mulyana dan Agus Dermawan, Konservasi Kawasan Perairan Indonesia Bagi Masa Depan Dunia, Cetakan Pertama, (Jakarta : Penerbit Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut,

Seperti halnya orang asing (yang bukan anggota masyarakat hukum adat) yang akan membuka hutan maka pemerintah yang dalam rangka penyiapan tanah untuk membuka hutan (land clearing) harus mendapat izin terlebih dahulu dari penguasa adat setempat. Izin dari penguasa adat dalam rangka pelaksanaan penyiapan tanah transmigrasi ini dituangkan dalam “surat penyerahan tanah” dari seluruh masyarakat hukum adat yang diserahkan kepada pemerintah daerah setempat. Dalam surat berisi persyaratan yang dapat disamakan dengan pengisi adat yang wajib diberikan oleh seseorang dalam membuka tanah disuatu masyarakat hukum adat tertentu.438

Menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah. Sedangkan menurut Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.439

Sebagai sebuah konflik/sengketa di satu sisi telah merusak tatanan kehidupan diantara etnik, namun disisi lain telah mengokohkan keberadaan lembaga adat di daerah tersebut, yakni perannya dalam menyelesaikan konflik tersebut. Lembaga adat ini “terpakai” disamping ada legitimasi oleh pemerintah kolonial Belanda dalam mengunakan jalur adat dalam menyelesaikan konflik juga keengganan masyarakat untuk menempuh jalur pengadilan negeri baik alasan prosedurnya maupun masalah biayanya serta mereka tidak akrab dengan hal tersebut, mereka menganggap hal tersebut sebagai “dunia baru” dalam proses penyelesaian suatu masalah. Nampaknya, apa yang dikatakan oleh Benda-Beckhmann “runtuhnya tangga menuju mufakat” untuk periode, tempat dan kasus tersebut tidak terjadi, bahkan “tangga menuju mufakat” tersebut telah menegakkan mereka kearah kebaikan. Namun, di masa orde baru “tangga menuju mufakat” itu mulai runtuh bahkan “ambruk”.440

Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,dan Departemen Kelautan dan Perikanan 2008), hal 36-37.

438

Undri, Konflik Tanah Di Daerah Perbatasan, Makalah yang dipresentasikan pada Konferensi Nasional Sejarah VIII, Jakarta 14-17 November 2006. Penelitian tentang tema initerlaksana berkat bantuan dana dari Nederlands Instituut voor Oorlogdocumentatie (NIOD) bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam program “Indonesia across orders :

Reorganization of Indonesian Society 1930-1960”.dibawah advisory board Taufik Abdullah, hal 13.

439

Arie Sukanti Hutagalung, Op.cit, hal45.

440

Kategori pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilakukan dengan jual beli sebagaimana disebutkan dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tidak lagi ditemukan dalam UU Nomor 2 Tahun 2012. Tidak lagi dicantumkan, kategori pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 ada beberapa kemungkinan; Pertama, sebagai koreksi atas pengaturan pengadaan tanah sebelumnya, dimana dalam pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum terdapat pula ketentuan mengenai pengadaan tanah untuk selain kepentingan umum. Selain itu dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dimaksud tidak ada penjabaran lebih lanjut mengenai prosedur pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum. Kedua, ketentuan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum dipisahkan atau tidak lagi disebut dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 bisa jadi akan diatur dalam suatu UU tersendiri atau nantinya dimuat dalam peraturan pelaksana UU Nomor 2 Tahun 2012. Ketiga, atau perihal pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum diserahkan pada mekanisme pasar. Kemungkinan tentu berpotensi dipermasalahkan apabila yang melakukan pengadaan tanah untuk keperluan selain untuk kepentingan umum adalah instansi pemerintah.

Persoalan pengadaan tanah yang dilaksanakan pemerintah selain untuk kepentingan umum, bila nantinya diatur secara bersamaan dengan aturan pelaksanaan dari UU Nomor 2 Tahun 2012, maka haruslah dihindari pola yang dipergunakan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 yang hanya merujuk begitu saja tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum bagi pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum. Padahal secara konsep, prinsip dan asas antara

pengadaan tanah untuk kepentingan dengan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum berbeda. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan melalui pembebasan hak atas tanah dengan memberi ganti rugi, sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar dan cara lain yang disepakati para parak. Perbedaan prinsip dan asas dari kedua bentuk pengadaan tanah itu, tentu akan melahirkan pula mekanisme dan prosedur, terutama dalam menentukan besaran harga tanah antara pengadaan tanah melalui pembesan hak atas tanah dengan memberi ganti rugi dengan pengadaan tanah dengan cara jual beli berdasarkan kesepakatan para pihak. Artinya, standar harga antara pola ganti rugi dengan standar harga dalam pola jual beli jelas berbeda. Bahkan yang lebih penting lagi pembesan hak atas tanah, bisa berujung pada pencabutan hak atas tanah apabila pemilik tidak bersedia tanahnya digunakan untuk keperluan kepentingan umum dan hal itu tidak mungkin terjadi pada pengadaan tanah dibawah pola jual beli berdasarkan kesepakatan para pihak.

Persoalan yang terjadi dalam soal pengadaan tanah dibawah keberlakuan Perpres Nomor 36 tahun 2005 dan Perpres Nomor 65 Tahun 2006, adalah penggunaan prosedur dan standar pengadan tanah untuk kepentingan umum terhadap pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum. Hal itu terjadi bukan karena Perpres dimaksud, tetapi peraturan pelaksana dari Prespres Nomor 36 Tahun 2005 yang memberikan pengaturan terhadap pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum, sementara Perpresnya sendiri sebenarnya sudah jelas menyebutan pengadaan tanah untuk selain kepentingan umum dilakukan dengan jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati para pihak. Jadi tentu dengan ketentuan

demikian pengadaan tanah untuk selain kepentingan umum sebagaimana layaknya jual beli umumnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Memang jika pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum tidak bisa dilepaskan sepenuhnya pada mekanisme pasar, tetapi kalau toh mau diatur tidak bisa hanya dengan merujuk saja tata cara dan prinsip-prinsip pengadaan tanah yang terdapat dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut dengan serta merta.

Konsentrasi permasalahan pengadaan tanah (melalui pelepasan atau penyerahan hak) terletak pada besarnya ganti rugi. Di satu sisi pihak pemilik/yang menguasai tanah menginginkan besarnya ganti-rugi sesuai dengan harga pasar setempat, sementara di sisi lain masih terbatasnya dana Pemerintah yang tersedia untuk pengadaan tanah untuk pembangunan Bandara Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan. Penulis berpendapat, ganti-rugi menjadi masalah dalam pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak lebih dikarenakan oleh factor dana daripada faktor psikologis masyarakat. Ini terbukti, antara lain, bahwa selama ini yang menjadi permasalahan dalam pengadaan tanah (melalui pelepasan atau penyerahan hak) bukanlah mengenai ada tidaknya kesediaan pemilik/yang empunya tanah melepaskan atau menyerahkan hak atas tanahnya kepada instansi Pemerintah yang membutuhkan, apalagi tanah yang dibutuhkan akan digunakan untuk kepentingan umum, melainkan karena pemegang hak atas tanah menganggap bahwa ganti-rugi yang ditawarkan kepada mereka tidak sesuai dengan harga pasar setempat (umum), sehingga dinilai terlalu rendah atau tidak wajar.

Khusus dalam hal pembebasan tanah, Perpres Nomor 65/2006 terdapat 3 (tiga) alternatif yang bisa ditempuh : pertama, masyarakat menerima uang ganti rugi berdasarkan musyawarah; kedua, jika mereka memerlukan tanah lagi, maka Pemerintah bisa mencarikan tempat lain sebagai penggantinya dan jika jumlahnya banyak dan minta di-resttlement maka kemungkinan bisa saja di

resettlement; sedangkan alternatif ketiga, dana ganti rugi tanah dapat dikonversi menjadi saham proyek infrastruktur yang bersangkutan. Berkaitan dengan percepatan pembangunan proyek infrastruktur terutama adanya ketidakpastian dalam hal pengadaan tanah, diperlukan suatu mekanisme pengadaan tanah yang mendukung. Dari penjelasan di atas, Pemerintah dapat memahami bahwa masalah pengadaan tanah sangatlah kompleks. Pemerintah perlu meninjau kembali aturan-aturan pengadaan tanah sehingga menjadi lebih sederhana namun tegas. Pada satu titik di mana negosiasi mengenai harga tanah mengalami kebuntuan, Pemerintah perlu mengefektifkan instrument/prosedur terakhir yang sifatnya final untuk mengkompensasi pengalihan hak atas tanah sesuai dengan pagu harga tertinggi sesuai dengan masukan tim auditor independen. Secara hukum, prosedur ekspropriasi ini dimungkinkan.441

Menteri Dalam Negeri memberi pertimbangan dari segi agrarian dan politik, menteri Kehakiman dari segi hukumnya, Sedangkan Menteri yang bersangkutan mengenai fungsi dari pada dilakukannya pencabutan hak itu dalam masyarakat.