• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sengketa Pembebasan Tanah Ulayat untuk Pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelesaian Sengketa Pembebasan Tanah Ulayat untuk Pembangunan Bandar Udara Silambo Kabupaten Nias Selatan Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

EKSISTENSI TANAH ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT NIAS SELATAN DIATAS LAHAN RENCANA PEMBANGUNAN LAPANGAN

TERBANG SILAMBO

A. Gambaran Umum Letak dan Lokasi Wilayah Kabupaten Nias Selatan 1. Tinjauan Mengenai Letak Geografis Daerah Nias Selatan

Kepulauan Nias merupakan salah satu dari barisan pulau di barat Pulau Sumatera. Pulau-pulau itu terbentuk sebagai hasil tumbukan antara lempeng benua Eurasia dan lempeng Hindia, dengan batas tumbukan lempeng (jalur subduksi) berada di pantai barat barisan pulau tersebut. Tumbukan antara dua lempeng itu juga membentuk patahan besar (megathrust) sepanjang pantai barat yang menjalur dari

Enggano ke Mentawai, Nias, Simeulue, Andaman/Nikobar (India), Arakan Yoma

(Myanmar), dan berlanjut ke jalur megathrust Himalaya. Jalur-jalur patahan ini menjadi tempat pelepasan energi dari dalam bumi dan selanjutnya menjadi jalur gempa.

Pembentukan Pulau Nias terjadi 10.000 tahun silam. Sebelumnya, pulau ini berada di bawah permukaan laut pada kedalaman 50-200 meter. Bukti terangkatnya Pulau Nias terlihat dari adanya batu gamping terumbu, terutama di sepanjang pantai timur Nias serta di bagian utara Kecamatan Lahewa dan di Kecamatan Alasa. Pergerakan lempeng Hindia dengan kecepatan rata-rata 60 milimeter per tahun telah menggerakkan Pulau Nias secara mendatar dengan kecepatan 2-3 sentimeter per tahun serta pergerakan vertikal 8-10 sentimeter per tahun sampai saat ini. Tumbukan tersebut juga menyebabkan Pulau Nias BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF), melalui United Nations Development Programme (UNDP) (Nias : Technical Assistance to BRR Project, 2009), hal 2.

(2)

Membujur di lepas pantai barat Sumatera, Pulau Nias menjadi salah satu jajaran pulau-pulau yang menghadap Samudra Hindia yang menyimpan beberapa misteri dan keunikan. Para penghuni pulau ini menyebut dirinya sebagai Ono

Niha (Orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli tropologi dan arkeologi sebagai salah satu puak-puak berbahasa Austronesia lelulur Nusantara yang datang paling awal dari suatu tempat di daratan Asia. Sejumlah bukti peradaban tertua Orang Nias dihubungkan dengan perkembangan tradisi megalitik (batu besar) yang hingga saat ini masih dapat terlihat keberadaanya. Seiring perkembangan agama di wilayah ini, tradisi pembuatan benda-benda megalit telah hilang. Tinggalan-tinggalan para leluhur itu seperti rumah adat, lompat batu telah menjadi ikon pariwisata yang luluh lantak tertimpa dua bencana: gelombang tsunami dan gempa bumi. Sejumlah pihak menginginkan pembangunan kembali menjadi peluang revitalisasi nilai-nilai budaya Nias yang kini terancam lenyap.111

Beberapa versi mengenai siapa sebenarnya leluhur suku Nias saat ini, baik yang bersumber dari hoho (cerita lisan yang berkembang di masyarakat Nias dan diwariskan secara turun-temurun sehingga menyerupai mitos), maupun data-data ilmiah temuan para arkeolog. Hoho yang berkembang di Nias menyebutkan bahwa manusia pertama yang tinggal di Nias adalah sowanua atau ono mbela.

Menurut sebuah versi hoho yang lain, mereka kemudian menyelamatkan diri dengan mencari perlindungan di gua-gua. Mereka tidak lagi disebut sebagai ono

mbela tetapi nadaoya atau manusia yang menghuhi gua. Secara fisik keduanya

berbeda. Jika ono mbela dikenal memiliki kulit putih dan berparas cantik, maka

nadaoya dikenal memiliki kepala dan tubuh yang lebih besar dengan kulit berwarna

gelap. Besar kemungkinan keduanya sudah tergolong bangsa manusia, namun berasal dari ras yang berbeda, bukan satu keturunan. Lantaran keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penduduk Nias waktu itu, juga tata cara hidup yang

111

(3)

berbeda, asal-usul keduanya kemudian cenderung dimitoskan karena dianggap memiliki nenek moyang yang berbeda dengan manusia pendatang. Apa yang dijelaskan hoho ini didukung oleh bukti-bukti ilmiah. Berdasarkan hasil penelitian Badan Arkeologi Medan, di Nias ditemukan jejak-jejak manusia prasejarah yang meninggalkan artefak-artefak di gua-gua, salah satunya yang terkenal adalah di Gua

Tőgi Ndrawa yang terletak di Desa Lőlőwanu Niko„otanő, Kecamatan Gunungsitoli.

Jejak kehidupan tersebut dapat ditemukan melalui alat-alat tulang dan batu berupa serpih, batu pukul, dan pipisan. Selain itu, juga ditemukan sisa-sisa vertebrata yang terdiri dari ikan, ular, kura-kura, kelelawar, hewan berkuku genap (artiodactyla), dan cangkang moluska dari kelas gastropoda dan pelecypoda.

Di Nias juga berkembang hoho yang lain, tepatnya di Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Hoho ini terkait dengan nama Gomo untuk kecamatan yang dimaksud. Kata gomo, memiliki makna owo-gomo-omo, yang berarti perahu gomo rumah. Dahulu kala, terdapat rombongan manusia perahu berasal dari daratan Asia yang terombang-ambing di tengah samudra yang kemudian terdampar di Nias. Meskipun Hammerle mengakui pendapatnya ini tidak memiliki cukup bukti ilmiah, namun tafsir yang dikemukakannya cukup masuk akal. Ia menghubungkan perahu dengan sejarah asal-usul suku Nias yang datang dari seberang lautan. Mereka terdampar di pantai sekitar muara sungai, lalu membangun rumah (omo) di pinggir sungai yang sekarang dikenal dengan Sungai Gomo. Jadi, kata gomo ada hubungannya dengan owo (perahu) dan omo (rumah).112

Meskipun hoho yang berkembang di Nias tidak hanya seperti yang disebut di atas (karena hampir setiap marga memiliki hoho-nya masing-masing), namun ketiga

hoho inilah yang sampai saat ini paling diyakini sebagian besar orang Nias. Dilihat

dari rasnya, orang Nias termasuk dalam rumpun Austronesia. Bahasa sehari-hari yang digunakannya, yaitu bahasa Nias, juga semakin memperkuat pendapat tersebut.

112

(4)

Secara genealogis, bahasa Nias tergolong rumpun bahasa Austronesia. Ciri dialek bahasa Nias adalah nada yang meninggi di akhir kata dan kalimat. Menurut Wikipedia, bahasa Austronesia dituturkan secara luas, dari Indonesia Barat, Bugis, Aceh, Cham (di Vietnam dan Kamboja), Melayu, Indonesia, Iban (Etnik Dayak Iban di Kalimantan), Sunda, Jawa, Bali, Chamoru (bahasa asli penduduk Kepulauan Mariana Utara yang terletak diantara Hawaii dan Filipina dan Guam dan Palau). Secara umum, kebudayaan yang berkembang di Nias juga memiliki kesamaan dengan kawasan-kawasan Austronesia lainnya, yaitu berciri megalitik, memuja roh leluhur, dan bercocok tanam.

Nias adalah dataran rendah yang di tengahnya terdapat bukit-bukit. Mayoritas penduduknya masih tinggal di pedalaman, di kampung-kampung yang saling mengisolasi, dan berprofesi sebagai petani. Meskipun metode bertani masyarakat Nias masih bersifat sederhana, tetapi mereka tetap mampu menghasilkan beberapa komoditas unggulan, seperti kelapa, karet, cokelat, dan nilam. Beribu-ribu tahun, nyaris tidak ada kelompok etnis lain yang menjadi pesaing lani ewöna di Nias, mereka menjadi satu-satunya kelompok yang berkuasa, sehingga mereka lebih leluasa untuk mengembangkan tempat pemukiman. Orang-orang Nias mulai beranjak dari tempat tinggal para leluhurnya di sepanjang Sungai Gomo, terutama di daerah Börönadu (sekarang sebuah desa yang berada di Kecamatan Gomo). Hal ini dapat dilihat dari sejarah lisan yang berkembang di Börönadu. Tokoh adat di

Börönadu, nenek moyang orang-orang di Gunungsitoli dan Teluk Dalam berasal dari

(5)

bernama Lase, sedangkan nenek moyang orang Teluk Dalam adalah orang Börönadu

yang bernama Sadawamölö.113

Kabupaten Nias Selatan (Teluk Dalam) „Bela‟ berarti kawan atau sebutan yang menunjukkan tali persahabatan atau perkawanan. Tujuan penyebutan itu adalah untuk menjalin keakraban dan menghindari permusuhan, sedangkan di wilayah Nias yang lain Bela berarti makhluk halus yang bertempat tinggal di atas pohon.114

Kabupaten Nias Selatan mempunyai Luas wilayah 1.825,2 Km2 berada di barat Pulau Sumatera jaraknya ± 92 mil laut dari Kota Sibolga atau Kabupaten Tapanuli Tengah. Ibukota Kabupaten Nias Selatan adalah Teluk Dalam yang berkedudukan di Pulau Nias, sedangkan letak Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Nias Selatan terletak diKecamatan Pulau-Pulau Batu. Dasar Hukum penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Nias Selatan adalah SK Bupati Nias Selatan Nomor : 523/371/K/2008 yang ditetapkan pada tanggal 5 Desember 2008.115

Kecamatan Pulau-Pulau Batu Terletak antara: 0º - 15º Lintang Utara dan 90º 580 - 97º 480 Bujur Timur. Luas Wilayah 121.05 Km2. Jarak Kecamatan ke Ibukota Kabupaten yaitu 48 mil atau kira-kira 77,25 Km dengan batas-batas wilayah sebagai berikut, Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Dalam, sebelah selatan

113

Nias Selatan, Leluhur Suku Nias melalui http://niasselatanku.com/2012/09/09/leluhur-suku-nias/ diakses pada tanggal 10 Desember 2013, pukul 11.00 WIB.

114 Nuryanto, Pustaka Nias Dalam Media Warisan : Kumpulan Artikel dan Opini, Penerbit Yayasan Pustaka, Nias, 2010, hal 7.

115

(6)

berbatasan dengan kecamatan Hibala, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah.

Kabupaten Nias Selatan terletak di daerah khatulistiwa maka curah hujannya tinggi. Rata-rata curah hujan per tahun 248,60 mm dan banyaknya hari hujan dalam setahun 250 hari atau rata-rata 21 hari perbulan, akibat banyaknya curah hujan maka kondisi alamnya sangat lembab dan basah. Keadaan iklim dipengaruhi oleh Samudera Hindia. Suhu udara berkisar antara 22º - 31ºC dengan kelembaban sekitar 86 - 92 % dan kecepatan angin antara 5 -16 knot/jam. Curah hujan tinggi dan relatif turun hujan sepanjang tahun dan sering kali diikuti dengan badai besar. Musim badai laut biasanya berkisar antara bulan September sampai November, tetapi kadang terjadi badai pada bulan Agustus, jadi cuaca bisa berubah secara mendadak.116

Kawasan perairan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Nias Selatan yang termasuk di dalam Kecamatan Pulau-Pulau Batu berada di Desa Luaha

Idano Pono, Desa Hayo dan Desa Sifitu Ewali seluas 56.000 Ha yang terletak pada

98,06º E - 98,37º E dan 0,09º N - 0,15º S. Kondisi perairan terbuka dan memiliki gelombang besar serta pantai yang umumnya berpasir putih. Sedangkan di bagian Timur Pulau Tello merupakan Selat antara Pulau Lawindra dan Pulau Balogia. Rataan terumbu bagian atas umumnya landai dan mendatar antara 50 - 150 m dari pantai.117

Dasar perairan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Nias selatan dipenuhi oleh karang mati yang telah ditumbuhi oleh alga, pecahan karang

116

(7)

mati dan pasir. Pertumbuhan karang yang tumbuh pada daerah tubir jenisnya kurang bervariasi. Beberapa genus karang yang masih dapat dijumpai adalah Acropora spp,

Montipora foliosa, dan Pocillopora verrucosa. Tutupan karang hidup pada perairan

ini memiliki persentase sekitar 11,97%, yang dikategorikan 'tidak baik'.118

Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi sampling di Perairan Pulau Tello ditemukan jumlah ikan 492 ekor terdiri atas 75 jenis, 49 marga dan sebanyak 21 suku. Dari jumlah tersebut yang termasuk ke dalam ikan major sebanyak 311 ekor, ikan target sebanyak 164 ekor dan ikan indikator sebanyak 17 ekor. Ikan-ikan yang dominan ditemui dalam kategori marga pada perairan ini adalah Caesio, Chromis,

Dascyllus, Pomacentrus, Acanthurus, Halichoeres, Chrysiptera, Thalassoma,

Pterocaesio, dan Dischistodus. Ekosistem mangrove terdapat pada beberapa pulau di

sekitar Pulau Tello, Pono, Tanah Masa dan Kecamatan Hibala dengan luas mencapai 842, 27 Ha, didominasi oleh Rhizopora sp.119

Pendekatan konservasi dalam menetapkan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kab. Nias Selatan adalah berdasarkan analisa kuantitatif mengenai kondisi geografis, kondisi ekologi perairan seperti mangrove, terumbu karang, estuaria dan ikan-ikan karang. Penetapan kawasan konservasi perairan dilakukan untuk mencapai sasaran pemanfaatan sumber daya ikan, ekosistem dan lingkungan yang berkelanjutan. Sehingga dapat menjamin ketersediaan, kesinambungan dan peningkatan kualitas nilai serta keanekaragamannnya sehingga dapat meningkatkan

118 Ibid.

(8)

perekonomian dan kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan konservasi perairan.120

Pada tahun-tahun pertama zaman kemerdekaan pembagian wilayah pemerintahan di daerah Nias tidak mengalami perubahan, demikian juga struktur pemerintahan, yang berubah hanya nama wilayah dan nama pimpinannya sebagai berikut: Nias Gunsu Sibu diganti Nama Pemerintahan Nias yang dipimpin oleh Kepala Luhak.Gun diganti dengan nama Urung yang dipimpin oleh seorang Asisten Kepala Urung (Demang) Fuku Gun diganti dengan nama Urung Kecil yang dipimpin oleh Kepala Urung Kecil (Asisten Demang).

Sesuai dengan jumlah distrik dan onderdistrik pada zaman Belanda, pembagian nama tetap berlaku pada zaman Jepang, maka pada awal kemerdekaan terdapat sembilan kecamatan. Hanya saja diantara kecamatan itu terdapat tiga kecamatan yang mengalami perubahan nama dan lokasi Ibukota yaitu: Onderdistrik

Hiliguigui menjadi Kecamatan Tuhemberua dengan Ibukota Tuhemberua,

Onderdistrik Lahagu menjadi Kecamatan Mandrehe dengan Ibukota Mandrehe dan

Onderdistrik Balaekha menjadi Kecamatan Lahusa dengan Ibukota Lahusa.

Pada tahun 1946 Daerah Nias berubah dari Pemerintahan Nias menjadi Kabupaten Nias dengan dipimpin oleh seorang Bupati. Pada tahun 1945 KND dihapuskan dan dibentuk suatu lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Rakyat. Pada tahun 1953 dibentuk tiga kecamatan yaitu :

(9)

a. Kecamatan Gido yang wilayahnya sebagian diambil dari wilayah Kecamatan

Gunungsitoli dan sebagian diambil dari kecamatan Idano Gawo, dengan Ibukota

Lahemo.

b. Kecamatan Gomo yang wilayahnya sebagian diambil dari wilayah Kecamatan

Idano Gawo dan sebagian dari wilayah Kecamatan Lahusa, dengan Ibukota

Gomo.

c. Kecamatan Alasa yang wilayahnya sebagian diambil dari wilayah Kecamatan

Lahewa, sebagian dari wilayah Kecamatan Tuhemberua dan sebagian dari

wilayah Kecamatan Mandrehe dengan Ibukota Ombolata.

Pada tahun 1956 dibentuk satu kecamatan baru yaitu kecamatan Sirombu yang wilayahnya sebagian dari wilayah Kecamatan Mandrehe dan sebagian dari wilayah Kecamatan Lolowau. Kemudian berdasarkan PP Nomor 35 Tahun 1992 tanggal 13 Juli 1992 terbentuk dua Kecamatan baru yaitu Kecamatan Lolofitu Moi yang wilayahnya sebagian dari Kecamatan Gido dan Kecamatan Mandrehe, dan Kecamatan Hiliduho yang wilayahnya sebagian dari Kecamatan Gunungsitoli.

Berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 1996 tanggal 3 Januari 1996 terbentuk dua kecamatan baru yaitu :

a. Kecamatan Amandraya yang wilayahnya sebagian dari kecamatan Teluk Dalam, kecamatan Gomo, dan kecamatan Lahusa.

b. Kecamatan Lolomatua yang wilayahnya sebagian dari kecamatan Lolowa‟u

(10)

Kabupaten Nias No.6 tahun 2000 tanggal 24 Nopember 2000 tentang Pembentukan 5 (lima) Kecamatan di Kabupaten Nias. Lima Kecamatan Pembantu yang masih tersisa selama ini akhirnya ditetapkan sebagai Kecamatan yang defenitif, masing-masing : 1. Kecamatan Hibala yang wilayahnya berasal dari Kecamatan Pulau-Pulau Batu. 2. Kecamatan Bawolato yang wilayahnya berasal dari Kecamatan Idanogawo. 3. Kecamatan Namohalu Esiwa, wilayahnya sebagian dari Kecamatan Alasa dan

Kecamatan Tuhemberua.

4. Kecamatan Lotu yang wilayahnya sebagian dari Kecamatan Tuhemberua dan Kecamatan Lahewa.

5. Kecamatan Afulu yang wilayahnya sebagian dari Kecamatan Lahewa dan Kecamatan Alasa.

(11)

Perubahan-perubahan pemerintahan di Kabupaten Nias, mengikuti perubahan-perubahan tentang Pemerintahan di daerah yang berlaku secara nasional. Desa/Kelurahan sebagai tingkat pemerintahan yang paling bawah, di Kabupaten Nias terdapat sebanyak 657 buah. Desa/Kelurahan tersebut karena persekutuan masyarakat menurut hukum setempat, yang dahulunya masing-masing berdiri sendiri-sendiri tanpa ada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi yang mencakup beberapa atau keseluruhan desa/kelurahan itu. Sejak awal kemerdekaan sampai tahun 1967 terdapat satu tingkat pemerintahan lagi diantara Kecamatan dengan Desa/kelurahan yang disebut “ÖRI” yang meliputi beberapa desa. Memang ÖRI ini sejak dahulu telah ada

yang dibentuk karena perserikatan beberapa desa yang menyangkut Pesta, sedang masalah-masalah pemerintahan desa langsung diatur oleh masing-masing desa. ÖRI sebagai salah satu tingkat pemerintahan di Daerah Tingkat II Nias dihapuskan pada tahun 1965 dengan surat Keputusan Gubernur pada tanggal 26 Juli 1965 Nomor : 222/V/GSU dengan tidak menyebutkan alasan-alasan yang jelas.

(12)

terdiri dari 22 kecamatan, menjadi 14 kecamatan karena 8 kecamatan telah masuk ke wilayah Kabupaten Nias Selatan. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Daerah kabupaten Nias Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kecamatan Tugala Oyo dan Kecamatan Gunungsitoli Barat di Kabupaten Nias, Kabupaten Nias mengalami pemekaran menjadi 34 Kecamatan dengan bertambahnya 2 Kecamatan yaitu Kecamatan Tugala Oyo dan Kecamatan Gunungsitoli Barat.

Wilayah Kabupaten Nias Selatan yang berada di daratan Pulau Nias, sebagian besar dapat dijangkau dengan sarana perhubungan darat. Artinya, pasarana angkutan darat telah cukup memadai di daerah ini, baik antar kota kecamatan, antara ibukota kecamatan dengan kabupaten, dan antar ibukota kabupaten (Nisel dan Nias). Sedangkan perhubungan laut, terutama digunakan untuk wilayah Kecamatan Hibala dan Pulau-Pulau Batu dengan menggunakan sarana kapal penumpang dan kapal barang antar pulau (Kapal Perintis) menuju ibukota kecamatan, ibukota kabupaten (Teluk Dalam), Sibolga dan Padang secara reguler. Demikian halnya sarana transportasi udara, sudah ada di daerah ini, yakni Bandara Lasonde di Kecamatan Pulau-Pulau Batu.Pemanfaatan sarana perhubungan udara ini masih belum optimal, karena jadwal penerbangan hanya dua kali per minggu. Diharapkan bandara ini dapat dikembangkan, sehingga mampu berfungsi untuk pengangkutan barang (kargo) untuk produk perikanan secara cepat ke negara tetangga, sehingga Kabupaten Nias Selatan dapat dibangun berbasis sumber daya perikanan dan kelautan.

(13)

nelayan dari pulau terisolir seperti Pulau Tanah Bala di Kecamatan Hibala, Pulau

Pini di Kecamatan Pulau-Pulau Batu Timur, Pulau Simuk di Kecamatan Pulau-Pulau

Batu, menyebabkan kehidupan ekonomi mereka lambat berkembang, sehingga banyak nelayan berada dalam kemiskinan. Sebelum pemekaran pulau Nias menjadi beberapa kabupaten, daerah Kabupaten Nias Selatan dewasa ini adalah himpunan desa-desa yang ada di daerah kecamatan Teluk Dalam saat itu dan beberapa pulau yang terletak di bagian Selatan Pulau Nias. Menurut catatan yang diinformasikan oleh tim Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Nias Selatan yang turut serta dalam Pesta Kesenian Bali XXXIII pada tanggal 17 Juni 2011, leluhur orang Nias Selatan di daerah Teluk Dalam yang migrasi dari daerah Gomo saat itu ada empat orang dengan daerah pendudukan mereka masing-masing yang disebut öri, yakni:

1. Mölö, keturunannya mendiami öri Maenamölö saat ini; 2. Lalu, keturunannya mendiami öri Onolalu sekarang; 3. Zinö, keturunannya mendiami öri Mazinö dewasa ini; 4. Ene, keturunannya mendiami öri To‟ene hingga kini.

(14)

Peta Kabupaten Nias Selatan

Disebutkan beberapa di antaranya adalah lompat batu, tari perang, seni musik tradisional seperti tari moyo, faluaya, mogaele, manahö, famadaya harimao,

famadaya saembu, famadaya jahili. Diterangkan bahwa atraksi-atraksi dan seni

budaya tersebut dapat disaksikan di setiap tujuh desa tradisional di daerah Teluk Dalam seperti desa Bawömataluo, Orahili Fau, Hilisimaetanö, HilinawalöFau, Botohilitanö, Hiliamaetaniha, Mazinö, Hilisatarö melalui sanggar-sanggar budaya.

(15)

Teluk Dalam. Bahkan, sebagian besar lokasi tersebut telah ditinggalkan warga desa dan berpindah ke tempat lain. Berbagai peninggalan sejarah ini antara lain:

a. Börönadu

Börönadu merupakan suatu lokasi yang terdapat beberapa jenis batu megalit. Situs ini terletak di Desa Sifalagö, Kecamatan Gomo, 44 km dari Teluk Dalam. Börönadu ini secara umum sudah dikenal oleh wisatawan maupun budayawan, bahkan para arkeolog nasional dan internasional. Di tempat ini terdapat batu megalit berbentuk gowe atau arca. Di samping gowe terdapat sembilan buah osali nadu berupa tempat duduk yang terbuat dari batu pahat. Dalam bahasa Nias modern, istilah osali sering dimaksud sebagai gereja atau rumah ibadah umat Nasrani.

Sedangkan nadu berasal dari kata “adu” yang berarti patung. Kata-kata ini dapat memberikan keterangan bahwa sebelum agama Kristen masuk ke Nias, nenek moyang orang Nias telah memiliki sistem kepercayaan dan tempat pemujaan.

b. Tundrumbaho

Batu megalit ini juga terletak di daerah kecamatan Gomo, merupakan batu megalit yang dipahat dengan berbagai bentuk dan motif seperti ni‟ogadi, saita gari,

daro-daro, osa-osa dan behu.

c. Hililaja dan Lölö Ana‟a

(16)

ditempuh dengan kendaraan umum yang berjarak 2,5 km dari pusat ibu kota Kecamatan Lölömatua.

d. Tetegewo

Situs Tetegewo terletak di Desa Hilisao‟ötö yang berjarak 12 km dari kecamatan Lahusa. Lokasi Tetegewo masih belum terjangkau oleh kendaraan dan “harus berjalan kaki sekitar 1,5 km untuk mencapai puncak lokasi.” Diterangkan

bahwa, bentuk dan motif pahatan batu di lokasi ini antara lain: saita gari, ni‟ogadi, tempat penyimpanan tengkorak, penjara kuno, osa-osa dan behu.

Suku Nias Selatan adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias Selatan secara umum disebut

fondraköavoreyang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai

kematian. Masyarakat Nias Selatan kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias Selatan mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah Siulu"Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ratusan ekor babi selama berhari-hari.

(17)

memperebutkan Takhta Sirao. Kesembilan putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias. Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.121

1. Letak Geografi dan Pembagian Daerah Administrasi

a. Kabupaten Nias Selatan berada disebelah barat Pulau Sumatera jaraknya ± 92 mil laut dari Kota Sibolga atau Kabupaten Tapanuli Tengah.

b. Kabupaten Nias Selatan berada di sebelah Selatan Kabupaten Nias yang berjarak ± 120 km dari Gunungsitoli ke Telukdalam ( Ibukota Kabupaten Nias Selatan).

c. Kabupaten Nias Selatan terdiri dari delapan belaskecamatan yang terdiri dari Amandraya, Aramõ, Fanayama, Gomo, Hibala, Hilimegai, Lahusa, Mazinõ,

Lõlõmatua, Lõlõwa'u, Maniamõlõ, Mazõ, Pulau-pulau Batu, Pulau-pulau Batu Timur,

Susua, Teluk Dalam, Toma dan Umbunasi.

2. Luas Wilayah:

a. Kabupaten Nias Selatan mempunyai luas wilayah 1.825,2 km2. b. Terdiri dari 104 buah pulau.

3. Batas Wilayah

a. Sebelah Utara dengan Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Barat. b. Sebelah Selatan dengan Pulau-pulau Mentawai Propinsi Sumatera Barat.

121

(18)

c. Sebelah Timur dengan Kabupaten Mandailing Natal dan Pulau-pulauMursala

Kabupaten Tapanuli Tengah.

d. Sebelah Barat dengan Samudera Hindia. 4. Keadaan Topografi

Kondisi alamnya/topografi berbukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan tingginya di atas permukaan laut bervariasi antara 0-800 m, terdiri dari dataran rendah sampai bergelombang mencapai 20%, dari tanah bergelombang sampai berbukit-bukit 28,8% dan dari berbukit sampai pegunungan 51,2% dari keseluruhan luas daratan. Kondisi topografi demikian menyulitkan pembuatan jalan-jalan lurus dan lebar. Oleh karena itu, kota-kota utama terletak di tepi pantai.

5. Iklim

(19)

November, tetapi kadang terjadi badai pada bulan Juni, jadi cuaca bisa berubah secara mendadak.

Nias Selatan adalah salah satu Kabupaten yang terletak di Pulau Nias (0012′ –

1032′ Lintang Utara (LU) dan 970 – 980 Bujur Timur (BT)) Provinsi Sumatera Utara.

Sebelumnya, Nias Selatan adalah bagian dari Kabupaten Nias yang kemudian memperoleh status otonom pada pada tanggal 25 Februari 2003 dan diresmikan pada tanggal 28 Juli 2003 di Medan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden RI.

Di pedalaman Nias sekitar lembah-lembah sungai Gomo dan Susua, pada zaman dulu terdapat desa-desa yang penduduknya paling padat. Apalagi sebagian besar dari sejarah dan kebudayaan Nias bersumber di situ, yakni di Kecamatan Lahusa dan kecamatan Gomo. Umpamanya pada pinggir jurang terjal, di situ terdapat sungai Susua yang mengalir ke Baho Zusua, sebelum bermuara ke laut. Di situ terdapat satu jalan setapak dari zaman dulu yang disebut lala nitelandrawa, artinya : jalan yang dibatui oleh orang dari seberang. Pada jalan setapak itu satu jalan yang dinamai si samba lahe, jalan yang lebarnya hanya selebar telapak kaki, dan di kiri kanan jalan terdapat jurang terjal. Tidak jauh dari lokasi itu terdapat dua desa yang terkenal, lahusa idano tae dan tundrumbaho, karena desa itu memiliki jumlah megalit yang paling besar dan paling banyak.122

Memasuki desa-desa tradisional di Teluk dalam Kabupaten Nias Selatan, akan menemukan warisan tradisi Nias yang mencerminkan kearifan dan kecerdasan nenek moyang orang Nias Selatan (Niha Raya). Dari bawagoli (pintu gerbang desa) akan memasuki ewali mbanua (halaman desa) dengan lebar kira-kira 8-10 meter yang dilapisi batu-batu tersusun rapi. Kita berjalan diatas iri newali, jalan setapak dari batu yang memanjang lurus di tengah ewali mbanua, membagi dua halaman desa tersebut. Di kiri dan kanan, rumah-rumah adat berjejer rapi, berdiri anggun seolah menawarkan kedamaian pada penghuninya. Di halaman desa juga ada batu besar setinggi kira-kira dua meter. Inilah yang disebut hombo batu. Para pelompat batu (si fahombo batu)

(20)

biasanya melompati batu ini dengan menghentakkan kaki di atas, zawo-zawo yaitu sebuah batu ekcil tempat kaki si fahombo batu melontarkan tubuh keatas. Inilah tradisi yang unik di Kabupaten Nias Selatan di Teluk Dalam.

Konon di masa dulu kala, setelah amada molo pindah ke Teluk Dalam, mereka mendirikan desa di bukit-bukit dan gunung-gunung. Namun saat itu ada emali (musuh), seorang pendekar yang tak terkalahkan yang hendak membunuh mereka. Pada waktu itu, Amada Takhi masih menetap di Hili Ono Tachi di sekitar Hilimaniamolo (salah satu gunung di Hilisimaetano). Dari mana Hilimaniamolo, mungkin juga semua keturunan amada molo masih berkumpul di tempat tersebut bersama amada takhi, karena maniamolo mungkin berasal dari kata amania molo (bapaknya adalah molo).

2. Kependudukan Wilayah Kabupaten Nias Selatan

(21)

penduduk ini dengan persentase terhadap provinsi sebesar 2.23%. Jika dibandingkan dengan seluruh Kabupaten/kota di Kepulauan Nias, Kabupaten Nias Selatan merupakan jumlah penduduk terbesar. Pada sensus penduduk tahun 2011, jumlah penduduk Nias Selatan keadaan Mei 2011 adalah 289.708 jiwa. Kepadatan penduduk Nias Selatan tahun 2012 adalah 160 jiwa per km2. Laju pertumbuhan penduduk Nias Selatan selama kurun waktu tahun 2006-2011 adalah 0.87 persen per tahun. Beberapa kecamatan yang tergabung dalam Kabupaten Nias Selatan saat ini adalah:

No Kecamatan Luas

*Sumber : BPS Kabupaten Nias Selatan

(22)

km2. Masyarakat Nias telah ada sejak 5000 tahun yang lalu. Sebelum masuknya agama di Pulau Nias, masyarakat sudah memiliki aliran kepercayaan dengan adanya tradisi penghormatan terhadap leluhur Mangai Binu (tradisi memburu kepala),

Famaoso dola (pengangkatan tulang-tulang kembali para leluhur). Namun aliran

tersebut kini telah hilang dengan masuknya agama Islam dan Kristen.

Setiap pelaksanaan kegiatan pembangunan, penduduk merupakan faktor penentu dimana penduduk tidak saja berperan sebagai pelaku tetapi juga sebagai sasaran pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu, pengelolaan penduduk perlu diarahkan pada pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas serta pengarahan mobilitas sehingga mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang menunjang kegiatan pembangunan. Komposisi penduduk yang disajikan menurut umur mempunyai banyak manfaat, antara lain dapat digunakan untuk melihat struktur penduduk suatu daerah. Adapun komposisi penduduk berdasarkan umur dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Struktur penduduk muda, yaitu bila proporsi penduduk yang berusia di bawah 15 tahun di suatu wilayah sebesar 40 persen atau lebih.

2. Struktur penduduk sedang,yaitu bila proporsi penduduk usia di bawah 15 tahun di suatu wilayah sebesar 30-40 persen dan penduduk usia 65 tahun ke atas mencapai 10 persen atau lebih.

3. Struktur penduduk tua, yaitu bila proporsi penduduk usia di bawah 15 tahun di suatu wilayah kurang dari 30 persen.

(23)

Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Nias Selatan

Keterangan :

* Data masih bergabung dengan Kec. PP. Batu dan Hibala. ** Data masih bergabung dengan Kec. Teluk Dalam. *** Data masih bergabung dengan Kec. Amandraya. **** Data masih bergabung dengan Kec. Gomo. ***** Data masih bergabung dengan Kec. Lolowau.

Pulau Nias tergolong pulau kecil. Namun, organisasi adat sangat beragam. Tidak heran jika banyak sekali Öri (gabungan beberapa kampung) yang pada zaman dahulu memiliki tata aturan adat masing-masing. Sekarang, Öri sebanarnya sudah “runtuh”. Kepemimpinan adat sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Nias.

(24)

kita ketahui, ada beberapa Öri di Nias Selatan yaitu Öri Maenamolo, Öri Toeneasi,

Öri Onolalu, Öri Majino, Öri Aramo, Öri Susua.

Makna sejati böwö adalah ungkapan kasih (masi-masi), perbuatan baik (amuata sisökhi/famalua fa‟omasi), kemurahan hati, sikap saling menghormati (fasumangeta), sikap saling memuliakan (famolakhömi), pemberian penuh ikhlas hati-tanpa paksaan dan tanpa menuntut balasan (nibe‟e sifao fa‟ahele-hele dodo-tenga nifaso ba tenga siso sulö). Oleh karena itu, seseorang yang memberikan böwö dalam

bentuk babi, emas, uang dan beras semata-mata karena digerakkan oleh makna sejati

böwö tersebut. Sementara pihak penerima böwö, menerima böwö dengan penuh

kemurahan hati sehingga tidak memaksa pihak-pihak pemberi böwö tersebut.

Pulau Nias adalah sebuah Pulau yang terdapat di sebelah barat Pulau Sumatera dan di kelilingi oleh beberapa pulau yang lebih kecil, diantara 27 pulau yang mengelilinya tersebut hanya sekitar 11 pulau saja yang sudah berpenghuni termasuk Pulau Nias sebaga pulau terbesar dan memiliki populasi penduduk yang tinggi. Pulau ini memiliki keindahan alam yang menawan serta adat istiadat yang masih terjaga dengan baik yang bertahan sejak jaman batu kuno dahulu.

Banyak cerita tentang Siraso, versinya pun bervariasi. Dari Ama Waögo

Waruwu, Ama Zaro Baene, dan Ama Rozaman Mendröfa diketahui Siraso tiba di tiga

(25)

sungai Nalawö. Persis di tempat itu akhirnya didirikan desa Nalawö.123 Sedangkan di desa Hililaora-Hilidohöna, kecamatan Lahusa, Siraso mendarat di muara Susua, kemudian menelusuri sungai Susua ke hulu dan tiba muara sungai Gomo. Dari muara itu beliau menelusuri sungai Gomo, akhirnya tiba di Börönadu.124

Mengacu Alan Dundes, dalam mengkaji tradisi lisan mite, Victor Zebua menggunakan batasan unsur-unsur pokok mite Nias, khususnya mite asal-usul, yaitu: cerita lisan berbentuk hoho atau prosa tentang asal-usul, dianggap benar-benar terjadi dan suci oleh sekelompok orang Nias, telah diwariskan minimal dua generasi, pewarisan melalui praktek kebudayaan Nias misalnya:

fondrakö, acara kelahiran, pesta perkawinan, acara kematian, pesta budaya, pertunjukan budaya, dan lainnya.125

Di bumi Nias Siraso dan Silögu tetap gemar mengunjungi para petani. Doa dan berkat mereka dibutuhkan untuk bibit dan untuk panen. Setelah mereka meninggal dunia, orang-orang membuat patung Siraso (Siraha Woriwu) dan patung

Silögu (Siraha Wamasi) untuk memanggil arwah mereka pada waktu para petani

turun menabur bibit dan panen. Siraso dikenal sebagai Dewi Bibit (Samaehowu

Foriwu), Silögu dikenal sebagai Dewa Panen (Samaehowu Famasi).

Pada waktu mulai menabur bibit, masing-masing petani membawa bibit tanaman, diserahkan kepada ere (ulama agama suku) agar bibit tersebut diberkati oleh Dewi Bibit. Upacara pemberkatan ini mengorbankan babi. Ere memimpin doa pemujaan

Siraha Woriwu. Syair hoho Memuja Dewi Bibit (Fanumbo Siraha Woriwu) diawali:

123 P. Johannes Maria Hämmerle, Op.cit, hal 169. 124 Ibid, hal 59.

125

(26)

He le Siraso samo‟ölö, he le Siraso samowua; soga möi moriwu tanömö, möiga

mangayaigö töwua; mabe‟zi sarasara likhe, matanö zi sambuasambua.126

Luas Pulau Nias sekitar 5.000 km² dan terdiri dari empat kabupaten dan satu kota yakni Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli. Gunungsitoli adalah Ibukota Pulau Nias dan menjadi segala pusat kegiatan dan kebutuhan Pulau Nias. Nias memiliki sekitar 650 desa, desa-desa tersebut dipimpin oleh kepala desa yang juga memimpin dewan sesepuh. Desa-desa adat di Nias terkenal akan penataan arsitekur, lanskap maupun bangunannya yang unik mencerminkan desa setempat.

Sistem di masyarakat Nias menganut sistem hierarki yang menempatkan kaum bangsawan sebagai kasta tertinggi, yakni kaum siulubalugu. Diantara 12 kasta yang ada di Pulau Nias siulu balugu lah yang tertinggi, untuk mencapai tingkatan kasta ini seorang penduduk harus menyelengarakan sebuah pesta besar yang diselenggarakan berhari-hari lamanya menyembelih ratusan ternak terutama babi dan mengundang ribuan orang untuk datang ke pesta.

Kabupaten Nias Selatan terletak di Pulau Nias. Pulau Nias sendiri terletak di sebelah Barat Pulau Sumatera, berjarak ± 92 mil laut dari Kota Sibolga atau Kabupaten Tapanuli Tengah. Kabupaten Nias Selatan berada disebelah Selatan

126

(27)

Kabupaten Nias, yang berjarak ± 120 km dari Kota Gunungsitoli ke arah Kota Teluk Dalam (Ibukota Kabupaten Nias Selatan).127

3. Perekonomian Wilayah Nias Selatan

Kabupaten Nias Selatan terdiri atas 104 gugusan pulau besar dan kecil dengan letak yang memanjang sejajar Pulau Sumatera. Panjang pulau-pulau itu lebih kurang 120 kilometer, lebar 40 kilometer. Dari seluruh gugusan pulau itu, ada empat pulau besar, yakni Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau

Tello (18 km²), dan Pulau Pini (24,36 km²). Tidak seluruh pulau berpenghuni.

Masyarakat Nias Selatan tersebar di 21 pulau dalam delapan kecamatan. Sektor ekonomi kabupaten ini, terutama didukung oleh sektor pertanian dan pariwisata. Dari sektor pertanian, komoditas unggulan terutama dari perkebunan, yakni kelapa, karet, dan nilam. Seluruhnya merupakan perkebunan rakyat. Sentra perkebunan kelapa di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, dan Amandraya. Sedangkan di Kecamatan Lahusa,

Lolomatua, dan Lolowa‟u merupakan sentra tanaman karet serta nilam. Hasil

pertanian lain yang menjadi unggulan adalah padi dan ikan dengan sentra produksi tanaman padi berada di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, dan Amandraya. Sementara daerah tangkapan ikan di Nias Selatan terdapat di Kecamatan Pulau-pulau Batu dan Hibala. Pada umumnya komoditas pertanian daerah ini dijual dalam bentuk apa adanya, belum melalui proses pengolahan. Para pekerja menggarap komoditas andalan secara tradisional. Pada saat panen, hasil perkebunan dan perikanan dikirim ke Sibolga melalui jalur transportasi laut. Adapun padi dimanfaatkan untuk konsumsi

127

(28)

masyarakat setempat. Di bidang pariwisata, potensi wisata Kabupaten Nias Selatan terletak pada jalur yang disebut Segitiga Emas Industri Pariwisata Nias Selatan (RTRW Kabupaten Nias Selatan Tahun 2004-2014), yakni Kecamatan Lolowa‟u

-Gomo-Pulau-pulau Batu dengan porosnya adalah Omo Hada, yang merupakan rumah

tradisional di Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam. Daerah Nias Selatan terkenal dengan tradisi hombo batu-nya atau yang lebih dikenal dengan lompat batu. Selain itu, Sorake, salah satu pantai di daerah itu, akrab di telinga penggemar olahraga selancar. Turnamen selancar tingkat dunia beberapa kali diadakan di pantai itu. Objek-objek wisata alam sangat potensial di Kabupaten Nias Selatan.

(29)

Salah satu hal menarik yang tidak patut untuk di lewatkan dari Pulau Nias adalah Fahombo yakni lompat batu setinggi 2 meter yang menjadi ciri khas mayarakat Nias. Lompat batu ini sudah sangat terkenal di Indonesia dan mancanegara yang menjadi ikon penting yang layak untuk disaksikan saat berkunjung ke Pulau Nias. Konon lompat batu ini dilakukan sebagai latihan perang bagi anak muda suku Nias, sekarang pun masih lestari tradisinya sebagai ritual kedewasaan masyarakat setempat. Bawomataluo adalah salah satu tempat yang bisa disaksikan untuk melihat pertunjukan lompat batu, tidak hanya sekedar menyaksikan tetapi pengunjung juga bisa mencoba tantangan melompati batu.

Desa Bawatomataluo dan Desa Hilisimaetanö pengunjung akan melihat pertunjukan tari perang tradisional, para penarinya akan mengenakan kostum tradisional yang khas dengan bulu burung berwarna cerah serta diikat di kepala mereka. Lepas desa Desa Bawatomataluo dan Desa Hilisimaetanö pengunjung juga bisa ngunjungi Desa Hilisimaetano yang berada di Nias Selatan di tempat ini terdapat sekitar 100 rumah tradisional dengan ukiran khas Nias yang indah. Selain Budaya, Pulau Nias juga terkenal dengan wisata Pantai yang indah dan kegiatan Selancar yang menentang karena memiliki ombak salah satu yang terbaik di dunia. Pulau Bawa, Pulau Aru serta Pantai Sorake dan Lagundri adalah tempat berselancar yang bagus.

(30)

menghasilkan beberapa komoditas unggulan, seperti kelapa, karet, cokelat, dan nilam. Akhir-akhir ini, setelah dikelola lebih serius, sektor pariwisata juga merupakan tulang punggung perekonomian penduduk Nias. Di bidang pariwisata, potensi wisata Nias terletak di jalur Industri Pariwisata Nias Selatan, yaitu Kecamatan Lolowa„u-Gomo -Pulau-pulau Batu. Porosnya terletak di omo hada, rumah tradisional di Desa

Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam. Pulau yang sangat terkenal dengan budaya

megalitiknya ini juga menyimpan beberapa misteri dan keunikan. Termasuk mengenai leluhur orang Nias sekarang ini yang bisa dilihat jejak-jejaknya dalam cerita-cerita lisan atau hoho yang berkembang dalam masyarakat Nias. Para penghuni pulau ini menyebut diri mereka sebagai ono niha (orang Nias) yang diyakini oleh sebagian ahli antropologi dan arkeologi sebagai salah satu suku tertua di Nusantara.128 Untuk menuju Pulau Nias maka bisa di tempuh dengan 2 (dua) cara perjalanan yakni Fery dan Pesawat, untuk pesawat bisa ditempuh dari kota Medan maupun Padang sementara Ferry bisa ditempuh dari kota Sibolga.129

Bahasa Nias Selatan, kota Teluk Dalam juga sering disebut sebagai

Luahaziwara-wara yang artinya adalah tempat pertemuan seluruh penduduk

Kecamatan Teluk Dalam setiap hari pekan dulunya. Nenek moyang penduduk Teluk Dalam dipercaya datang dari Gomo dibagian tengah pulau Nias. Sejak dahulu dikenal ada 4 (empat) Ori/negeri yang merupakan kesatuan kecil dari beberapa kampung atau banua. Ori ini dapat dibedakan dari kedekatan wilayah, asal usul keturunan,

128

Afthonul Afif, Leluhur Orang Nias dalam Cerita-cerita Lisan Nias, (Yogyakarta : Parikesit Institute, Kontekstualita, Vol. 25, No. 1, 201).

129

(31)

persamaan marga, kesamaan lafal atau logat bahasa dan pembentukan kampung baru dari kampung asal.130

Kabupaten Nias Selatan masih banyak terdapat desa-desa adat. Yang menonjol dari desa-desa adat ini adalah penataan arsitekturnya. Dulunya setiap desa di pimpin oleh seorang raja. Desa-desa ini terletak di daerah yang sulit dijangkau seperti di perbukitan terjal atau lembah-lembah yang ada di baliknya. Tujuannya adalah untuk membentengi diri dari serangan desa lain. Pada masa lalu perang antar desa kerap kali terjadi.

Penyerbuan sebuah desa oleh desa yang lainnya kerap terjadi. Biasanya disertai dengan penculikan penduduk yang nantinya akan dijadikan budak. Maka struktur masyarakat Nias masa lalu terdiri dari kelas raja, cendikiawan dan bangsawan, rakyat biasa dan budak. Dan pola pemukiman pun terbentuk dari struktur masyarakat ini. Di mana rumah tinggal raja yang disebut, Omo Sebua, yang artinya rumah besar terletak di poros pola jalan yang berbentuk tegak lurus, tepat di tusuk satenya. Rumah raja, Omo Sebua, diapit oleh rumah-rumah adat yang lebih kecil lainnya yang disebut Omo Hada. Rumah-rumah adat atau Omo Hada ini kuat menahan gempa, pada gempa lalu banyak menyelamatkan nyawa manusia. Dari 850 lebih korban jiwa hanya satu korban yang tinggal dalam rumah adat, tepatnya di desa

130

(32)

Hilimondregeraya, Teluk Dalam. Sebagian besar yang tewas adalah yang tinggal di

rumah berkontruksi modern.131

Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan realisasi pembangunan menjadi elemen yang tidak bisa diabaikan. Dalam tataran pembangunan permukiman, telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan yaitu dari paradigma ekonomi dan sosial ke paradigma pemanusiaan (manusiawi). Paradigma pemanusiaan ini diwujudkan dengan menerapkan strategi pemberdayaaan masyarakat dalam perencanaan dan realisasinya. Masyarakat didudukkan sebagai pelaku utama pembangunan serta diberdayakan agar mampu menangani permasalahan dalam pembangunan lingkungannya. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan pembangunan, seharusnya tidak hanya berhenti pada upaya untuk menemukan solusi konseptual yang partisipatif dan „locally genuine‟. Solusi konseptual tersebut perlu dijabarkan secara

profesional dan diformalkan dalam konsep penataan ruang kawasan/wilayah terkait.

Jhumming merupakan praktek umum (menanam tanaman secara bergilir di

atas bidang-bindang tanah yang berbeda). Orang angami dan chakesang petak-petak sawah yang bertingkat (berjenjang-jenjang). Pada masyarakat Naga ditemukan tuan tanah dan juga tidak ada petani yang tidak mempunyai tanah. Pada musim tanam, laki-laki dan perempuan muda bekerja sama pada lahan satu sama lain. Pada zaman dulu, setiap kampung memproduksikan apa yang mereka butuhkan. Sekarang mereka bergantung pada paar nasional atau pasar dunia untuk menemukan kebutuhannya.132

131

M. Nursabrina, Pulau Nias Sumatera Utara, melalui http://m-nursabrina.blogspot.co.id/, diakses pada tanggal 1 November 2013, pukul 12.25 WIB.

(33)

B.Eksistensi Tanah Ulayat di Kabupaten Nias Selatan

1. Arti Tanah dalam Hukum Adat Pada Masyarakat Nias Selatan

Mungkin tidak ada seorangpun yanag dapat membantahnya tanah di Pulau Nias Selatan yang disebut dengan istilah Tano Niha atau tanah manusia, sangat subur ditumbuhi berbagai jenis tanaman, ironisnya justru tanah yang subur ini masih belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat Nias Selatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil produksi pertanian maupun perkebunan. Kondisi kesuburan tanah di Nias Selatan yang cocok untuk berbagai jenis tanaman di setiap lokasi lahan pertanian di Nias Selatan sehingga sangatlah wajar apabila pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan khususnya dinas pertanian dan tanaman pangan, perkebunan bahkan kehutanan dapat melakukan pemetaan wilayah pertanian dan perkebunan di Kabupaten Nias Selatan.

Ada beberapa alasan begitu pentingnya tanah dalam kehidupan masyarakat Nias Selatan yakni:

a. Tanah sebagai identitas

(34)

Lambang Kabupaten Nias Selatan berbentuk Segi Lima Sama Sisi yang melambangkan bahwa Nias Selatan adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, didalamnya terdapat lukisan-lukisan yang mempunyai arti serta makna tersendiri : Kalabubu, Tulisan Nias Selatan, Susunan Batu (Hombo Batu) berjumlah 28 (dua puluh delapan), Tingkatan Batu (Hombo Batu) berjumlah 7 (tujuh), segitiga berantai di atas sikhöli ni‟owöli-wöli, kapas, orang yang sedang melompat batu, sikhöli ni‟owöli-wöli serta tulisan furai.

Tanah Nias tanah yang kucinta, tanah kebanggaanku… dimanapun aku berada, tidak akan terlupakan… tanah kelahiranku, berbukit dan sangat luas…tanah

yang berada di tengah lautan yang sangat luas.133

Lirik lagu di atas merupakan lagu daerah masyarakat Nias yang berjudul Tanö

Niha yang selalu dinyanyikan pada acara-acara kebesaran misalnya acara peresmian,

pesta Ya‟ahowu dan sebagainya. Lirik lagu tersebut juga mengisyaratkan secara nyata begitu dekatnya serta sangat berharganya nilai tanah dipandang sebagai identitas yang mempersatukan dan memberikan kekuasaan pada masyarakat Nias. Lirik lagu ini juga menandakan hubungan emosional dari masyarakat Nias untuk tetap menjaga dan mempertahankan kepemilikan tanahnya dari gangguan masyarakat luar yang belum sah secara adat menjadi penduduk di Nias. Lambang dan slogan Kabupaten Nias serta Lagu daerah masyarakat Nias telah mengungkapkan tanah sebagai identitas pada masyarakat Nias yang secara turun temurun telah diwariskan dan dipertahankan. b. Tanah sebagai kekuasaan

133

(35)

Tanah sebagai kekuasaan terungkap dari sistem kekerabatan masyarakat Nias yang digariskan menurut garis keturunan laki-laki atau berdasarkan marga, selain itu tanah sebagai kekuasaan mempererat hubungan kekeluargaan atau iwa(talifuso) pada masyarakat Nias Selatan. Tanah sebagai kekuasaan terungkap dengan pendirian rumah adat dan pendirian kampung atau banua sebagai kekuasaan tanah marga Masyarakat Nias Selatan dahulunya dalam memperoleh kekuasaan atas sebidang tanah, haruslah mengadakan kegiatan pesta adat atau owasa yang bertujuan untuk meneguhkan kekuasaannya terhadap tanah tempat tinggalnya. Peneguhan tersebut akan dihadiri penetua/petinggi adat dan akan mensyahkan batas kekuasaan berupa luas tanah dari yang mendirikan rumah tersebut, biasanya yang melaksanakan kegiatan adat ini yakni orang-orang yang telah memiliki kekuasaan dan ingin memperluas daerah kekuasaanya. Setelah disahkan maka orang tersebut akan diberi julukan Siulu/Balugu. Kemudian Siulu/Balugo inilah yang akan mewariskan tanah miliknya yang sangat luas kepada anak-anaknya sebagai penerus daerah kekuasaannya.

Adapun bentuk rumah adat pada masyarakat Nias terdiri dari dua yakni: 1) Bagian utara : bentuknya oval (lonjong) dan atapnya dari rumbia

2) Bagian selatan: bentuknya persegi panjang

c. Tanah sebagai Laju Perekonomian Masyarakat Nias

(36)

industri skala besar maupun rumah tangga, sebagai pasar tempat terjadinya transaksi penjualan hasil-hasil usaha masyarakat dibidang pertanian dan sebagainya, selain itu digunakan sebagai tempat usaha peternakan babi, kambing, kerbau, ayam dan ternak unggas lainnya.

Usaha pertokoan juga menjadi suatu cara pemanfaatan tanah tidak hanya bagi masyarakat Nias namun masyarakat lain seperti orang Tionghoa dengan usaha-usaha dibidang elektronik/bahan-bahan bangunan serta suku Minang dengan usaha rumah makan, toko pakaian dan sebagainya. Tanah juga bisa dijual sebagai modal usaha serta sebagai modal pendidikan untuk melanjutkan sekolah. Biasanya, tanah digadaikan atau dijual agar kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi.

d. Tanah Digunakan sebagai Laju Pembangunan

Perkembangan suatu daerah ditunjang dengan adanya pembangunan yang menggunakan banyak tanah, misalnya:

1) Pembangunan lokasi pariwisata atau tempat rekreasi.

Pembangunan lokasi pariwisata menggunakan tanah masyarakat menjadi prioritas pemerintah Kabupaten Nias, mengingat Nias merupakan lokasi wisata yang memiliki banyak kekayaan alam maupun wisata sejarah, contohnya; wisata alam pantai Lagundri dan Sorake di Nias Selatan, wisata alam Pantai Ladeha, wisata sejarah megalit di Desa Bawomataluo di Kecamatan Gamo dan objek wisata lainnya. Pembangunan lokasi pariwisata tentunya membawa dampak ekonomis terhadap daerah maupun masyarakat yang berada di sekitar objek wisata.

(37)

masyarakat maupun yang diberikan berdasarkan perjanjian penggunaan. Misalnya, objek wisata megalit yang dalam penggunaanya harus dipelihara dan dirawat dengan baik.

2) Terjadinya gempa 28 Maret 2005

Gempa 28 Maret 2005 telah membawa pengaruh signifikan terhadap penggunaan tanah sebagai lokasi pembangunan yang tidak terelakkan. Tanah tersebut menjadi lahan komoditi yang diperjualbelikan kepada pihak luar untuk pembangunan dan hal ini telah membawa dampak adanya lahan kosong yang selama ini menjadi tanah yang tidak berfungsi menjadi lahan produktif, hal ini ditandai dengan adanya kegiatan-kegiatan pengembangan usaha pertanian dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat berupa program livelihood misalnya tempat peternakan, bibit cokelat, pembangunan jalan, pembangunan gedung perkantoran dan sekolah-sekolah serta program rekonstruksi pembangunan rumah pengungsi.134

Tanah pada masyarakat Nias Selatan terdiri dari tanah anak berdasarkan atas pembagian harta warisan, tanah ulayat yang merupakan tanah leluhur yang diwariskan kepada keturunan berdasarkan marga dan tanah milik pribadi yakni tanah yang dibeli dengan uang pribadi dan tidak disahkan secara hukum adat.

Kabupaten Nias Selatan adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang terletak di pulau Nias. Dengan Ibukota Teluk Dalam. Kabupaten Nias Selatan memiliki andalan pariwisata tersendiri selain Rumah adat dan Tari perang yaitu Tradisi Lompat Batu atau Fahombo yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat setempat Nias dan meloncati susunan batu yang

(38)

disusun setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Lompat batu ini hanya terdapat di kecamatan Teluk Dalam saja. Konon ajang tersebut diciptakan sebagai ajang menguji fisik dan mental para remaja pria di Nias menjelang usia dewasa. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu. Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tak kurang 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki teknik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang.

Seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun sejajar dan rapat dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melewati, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para pemuda ini kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain.

(39)

melompat batu merupakan kebutuhan dan persiapan untuk mempertahankan diri dan membela nama kampung. Banyak penyebab konflik dan perang antar kampung. Misalnya: masalah perbatasan tanah, perempuan dan sengketa lainnya. Hal ini mengundang desa yang satu menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit yang ikut dalam penyerangan, harus memiliki ketangkasan melompat untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi dahulu, ketika tradisi berburu kepala manusia masih dijalankan, peperangan antar kampung juga sangat sering terjadi. Ketika para pemburu kepala manusia dikejar atau melarikan diri, maka mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon supaya tidak terperangkap di daerah musuh.

Ketangkasan melompat dibutuhkan karena dahulu setiap desa telah dipagar atau telah membuat benteng pertahanan yang dibuat dari batu, bambu atau bahan lain yang sulit dilewati oleh musuh. Para pemuda yang kembali dengan sukses dalam misi penyerangan desa lain, akan menjadi pahlawan di desanya. Sekarang ini, sisa dari tradisi lama itu telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler, tiada duanya di dunia. Berbagai aksi dan gaya para pelompat ketika sedang mengudara. Ada yang berani menarik pedang dan ada juga yang menjepit pedangnya dengan gigi.135

Tanah bagi kehidupan manusia sangat erat dan tidak dapat dipisahkan, diibaratkan bagaikan sebuah mobil dengan bensinnya. Hal ini dapat diketahui dari kehidupan manusia, seperti bertempat tinggal, tempat usaha, bahkan tanah juga dijadikan investasi untuk jangka panjang.

135

(40)

Oleh karena itu tanah dapat juga diperjualbelikan, dihibahkan, diwariskan, diwariskan atau diwakafkan, dengan kata lain dialihkan, kepada pihak lain. Dan yang sangat nyata dalam kehidupan manusia bahwa tanah mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi, artinya apabila manusia tidak mempunyai tanah sangatlah tidak dipandang oleh orang lain atau sesamanya, dan justru sebaliknya apabila manusia mempunyai tanah maka status sosialnya menjadi sangat tinggi, terlebih-lebih tanah yang dimilikinya sangat luas, maka orang tersebut sangat dipandang.136

Bagi para petani tanah mempunyai nilai yang sangat tinggi, karena tanah menghasilkan usaha di bidang pertanian. Biasanya manusia dalam menggunakan tanah yang dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, bahkan manusia akan hidup tenteram dan damai apabila manusia tersebut dapat menggunakan hak dan kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia tersebut dalam bermasyarakat.

Sejarah kehidupan manusia dapat diketahui bahwa proses timbulnya tanah terjadi secara evolusi yang ditandai dengan tingkat keeratan hubungan manusia dalam menggunakan tanah terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Semakin erat hubungan manusia dalam menggunakan tanah maka akan timbul hak-hak maupun kewajiban terhadap tanah.

Pengakuan, penghormatan, hak ulayat ada juga yang mengingkari hak ulayat masyarakat hukum adat. Pengingkaran tersebut dilakukan dengan cara mengingkari eksistensi tanah ulayat yang dinyatakan sebagai “tanah Negara”. Karena dengan dinyatakannya tanah ulayat sebagai tanah Negara, menyebabkan hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat tersebut, karena hak-hak itu ada di atas tanah ulayat dan juga sebagai pengingkaran terhadap hak ulayat masyarakat adat.137

Tanah dapat dijualbelikan, dihibahkan, diwariskan, diwakafkan, dengan kata lain dapat dialihkan kepada pihak lain. Apabila manusia memiliki tanah yang sangat

136

Suhanan Yosua, Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing): Dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia, (Jakarta : Penerbit Restu Agung, 2010), hal 11.

(41)

luas maka status sosialnya pun semakin meningkat, dan kalau manusia memiliki sedikit luas tanahnya, maka nilai sosialnya pun menjadi sedikit, terlebih-lebih apabila manusia tidak mempunyai tanah, maka sangatlah tidak dipandang oleh orang lain.Oleh karena itu tanah mempunyai nilai yang sangat berharga bagi manusia, bahkan tidak sedikit manusia saling membunuh hanya karena tanah.138

Selain bersifat tidak dapat dipindahtangankan (onvervreemdbaarheid), dalam hak ulayat pun dikenal adanya hak milik perseorangan. Hanya saja daya kerja hak milik itu dibatasi oleh keberadaan hak ulayat tersebut. Artinya, dalam hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat hukum adat), hak milik tersebut haruslah mengalah.

Ketentuan hukum adat yang menyatakan bahwa hak ulayat tidak dapat dilepaskan, dipindahtangankan atau diasingkan secara tetap (selamanya). Kenyataan selama ini yang terjadi adalah jika misalnya kegiatan pertambangan telah selesai atau hak guna usaha untuk suatu perkebunan telah habis masanya, tanah-tanah itu kembali pada Negara, bukan pada masyarakat hukum adat setempat. Hal inilah yang kemudian memicu dan berkembang menjadi konflik/sengketa agrarian yang tiada berkesudahan. Kondisi di atas terjadi pula pada tanah-tanah yang semula menurut asas domein verklaring pemerintah Hindia Belanda termasuk kealam domein/milik Negara. Atas tanah-tanah itu Pemerintah Hindia Belanda memberikan hak erfpacht kepada perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda. Selanjutnya pada masa kemerdekaan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisme perusahaan-perusahaan milik Belanda, perusahaan beserta seluruh kekayaan (baik berwujud benda tetap maupun tidak tetap) beralih menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia. Ketentuan diatas menimbulkan konflik agrarian pula, karena pada saat itu umumnya tanah yang terkena pelaksanaan asas domein

verklaring itu adalah tanah masyarakat hukum adat, karena memang atas tanah-tanah tersebut tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan ketentuan hukum tanah barat. Padahal seharusnya berdasarkan ketentuan hak ulayat masyarakat hukum adat, tanah itu harus kembali pada pada masyarakat hukum adat.139

Kepemilikan tanah ulayat pada masyarakat di Kabupaten Nias dibedakan atas empat tahapan diantaranya yakni: berdasarkan keturunan/kerajaan Tetehöli Ana‟a,

138 Ibid.

(42)

berdasarkan Fondrakö Bonio oleh Sitölu Tua, perolehan kepemilikan tanah berdasarkan komunitas dan berdasarkan sistem kepemilikan tanah secara ideal.

Silima Börödanömö yang merupakan pusat penyebaran penduduk yang memenuhi

pelosok tanö niha sampai ke Kepulauan Hinako dan Kepulauan Batu. Kerajaan

Tetehöli Ana‟a dan Silima Börödanömö merupakan anak Raja Balugu Sirao yang

melaksanakan penyebaran tersebut. Keturunan dari masing-masing leluhur Silima Börödanömö memakai identitas. Mula-mula mereka memakai istilah ono atau anak

atau iraono, misalnya Ono Delau, Ono Dohu, Iraono Las, Iraono Huna, dan sebagainya. Tetapi kemudian pada masa Pemerintahan Belanda sewaktu dikeluarkan Surat Pas atau kartu penduduk mulai dipergunakan istilah mado. Mado bukan hanya diambil dari leluhur pertama tetapi juga dari leluhur berikutnya yang lebih terkenal jayamenurut gelar karena pesta adat yang disebut owasa. Demikianlah hingga sekarang kita mengenal sampai ratusan nama mado atau marga pada masyarakat Nias.

Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala adat dan para tetua adat dalam kenyataannya, sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat, yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat adat yang bersangkutan.140

Selain diakui, pelaksanaannya dibatasi, dalam arti harus sedemikian rupa sehingga sesuai kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hak ulayat pada kenyataannya tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali, dan juga tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Dalam rangka hukum tanah nasional, tugas dan kewenangan yang merupakan unsur hak ulayat, telah menjadi tugas dan kewenangan Negara RI,

(43)

sebagai kuasa dan petugas bangsa. Dalam kenyataannya hak ulayat kecenderungannya berkurang, dengan makin menjadi kuatnya hak pribadi para warga atau anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas bagian-bagian tanah ulayat yang dikuasainya. Oleh karena itu, hak ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak memerintahkan untuk diatur, karena pengaturan hak tersebut akan berakibat melangsungkan keberadaannya141.

Menurut pasal 1 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat hukum adat, yang dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan menurut adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.

Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih ada apabila memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu:142

a. Masih ada suatu kelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu.

b. Masih adanya wilayah/tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut.

c. Masih adanya tatananhukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Hak ulayat dikenal hak milik perseorangan, maka dalam hukum agraria nasional pun dikenal hak milik yang dapat dipunyai seseorang, baik perorangan

141 Ibid.

(44)

maupun bersama orang lain atas bagian dari bumi Indonesia (yaitu bagian permukaan bumi yang disebut tanah).

Pengakuan atas hak ulayat disertai dua syarat. Syarat pertama, mengenai eksistensinya yaitu apabila menurut kenyataannya masih ada. Di daerah di mana hak itu tidak ada lagi atau memang tidak pernah ada, tidak akan dihidupkan lagi bahkan tidak akan dilahirkan hak ulayat baru. Syarat kedua, mengenai pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.143

Eksistensi hak ulayat,UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat itu. Namun, dengan mengacu pada pengertian-pengertian fundamental diatas, dapatlah dikatakan bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus dilihat pada tiga hal, yakni :

a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat,

b. Adanya tanah/wilayah dengan batas‐batas tertentu sebagai batas lebensraum (ruang hidup) yang merupakan obyek hak ulayat;

c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatan-perbuatan hukum.144

Pengaturan hak ulayat dalam UUPA terdapat dalam Pasal 3 yaitu pengakuan mengenai keberadaan (eksistensi) dan pelaksanannya. Eksistensi/keberadaan hak

143

Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I : Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990), hal 55.

144

(45)

ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat mendapat tempat dan pengakuan sepanjang menurut kenyataan masih ada. Pada aspek pelaksanaannya, maka implementasinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional bangsa dan negara serta peraturan perundang-undangan lainnya yang tingkatannya lebih tinggi. Dalam hal ini kepentingan sesuatu masyarakat adat harus tunduk pada kepentingan umum, bangsa dan negara yang lebih tinggi dan luas. Oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam suasana berbangsa dan bernegara sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat yang masih mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara mutlak.

Menurut sejarahnya, tanah orang Nias itu berasal dari tanah Asia, disanalah mereka dilahirkan. Bapaknya ialah Baela, dahulu raja di tanah Asia yang memiliki enam orang anak lelaki sepanjang penuturan orangtua di Pulau Nias. Anak Baela itu, yang dapat diketahui nama di tanah Asia, hanya empat orang, ialah anak sulung Hinaya, anak tengah Hinalu, anak bungsu Hinayou, anak keempat Hinae. Nenek moyang dari asal (bibit) orang Nias itu tahu akan bahasa Melayu. Kadang-kadang ada juga sedikit yang sesuai dalam hoho (syair), tetapi tidak banyak. Dan sedikit-sedikit ada juga yang bahasa yang bercampur (sesuai) dalam bahasa melayu. Bahasanya yang tulen tiada kita ketahui dari pangkaloleh sebab berlainan dengan akhirnya. Semuanya turut ajakan mengusahakan tanah, masing-masing bekerja dengan rajinnya, baik laki-laki maupun perempuan. Semuanya tanaman ditanam yang telah dibawanya ditanam. Kelapa, Pisang, Tembakau, Sirih dan Padi semuanya ditanam semuanya.145

Tanah dalam bahasa daerah Nias Selatan disebut Tanö atau Danö hal ini semakin dipertegas dengan adanya lambang Kabupaten Nias Selatan yang bertuliskan Tanö Niha yang merupakan identitas yang tidak terlepas pada masyarakat Nias Selatan. Tanah sebagai kekuasaan terungkap dari sistem kekerabatan masyarakat Nias Selatan yang digariskan menurut garis keturunan laki-laki atau berdasarkan marga, selain itu tanah sebagai kekuasaan mempererat hubungan kekeluargaan atau

145

(46)

talifusö pada masyarakat Nias. Tanah sebagai kekuasaan terungkap dengan pendirian

rumah adat dan pendirian kampung atau banua sebagai kekuasaan tanah marga. Masyarakat Nias Selatan dahulunya dalam memperoleh kekuasaan atas sebidang tanah, haruslah mengadakan kegiatan pesta adat atau owasa yang bertujuan untuk meneguhkan kekuasaannya terhadap tanah tempat tinggalnya. Peneguhan tersebut akan dihadiri penetua/petinggi adat dan akan mensahkan batas kekuasaan berupa luas tanah dari yang mendirikan rumah tersebut, biasanya yang melaksanakan kegiatan adat ini yakni orang-orang yang telah memiliki kekuasaan dan ingin memperluas daerah kekuasaanya. Setelah disahkan maka orang tersebut akan diberi julukan Balugu. Kemudian Balugu inilah yang akan mewariskan tanah miliknya yang sangat luas kepada anak-anaknya sebagai penerus daerah kekuasaanya.

Referensi

Dokumen terkait

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menguasai bahasa Madura lisan dan tulis, reseptif Menilai penggunaan bahasa Madura pada Tingkat keilmuan yang mendukung mata

Pihak lain yang bukan Pemilik atau yang namanya tidak disebutkan dalam surat menyurat kepemilikan tanah dan bangunan sesuai dengan peraturan perundang- undangan sebagaimana

Tidak berbeda jauh dengan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tujuan perkawinanadalah membentuk keluarga(rumah

Gadai adalah sesuatu hak yang diperoleh seorang kredit atas suatu barang bergerak, yang diserahkan oleh seorang debitur atau orang lain atas namanya, dan member kekuasaan kepada

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan hubungan pekerjaan, peran PMO, pelayanan kesehatan, dukungan keluarga dan diskriminasi terhadap ketidakteraturan

Simpulan hasil penelitian yaitu: (1) Persoalan yang dihadapi oleh guru dalam proses pembelajaran yaitu guru menghadapi beberapa siswa yang masih kekanak-kanakan,

Pengetahuan tentang berbagai gejala (fisik maupun sosial) yang berlangsung di muka bumi yang direpresentasikan sebagai gejala keruangan (spatial phenomena) suatu obyek tertentu

diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain.. Sikap positif terhadap