• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Eksistensi Tanah Ulayat di Kabupaten Nias Selatan

1. Arti Tanah dalam Hukum Adat Pada Masyarakat Nias Selatan

Mungkin tidak ada seorangpun yanag dapat membantahnya tanah di Pulau Nias Selatan yang disebut dengan istilah Tano Niha atau tanah manusia, sangat subur ditumbuhi berbagai jenis tanaman, ironisnya justru tanah yang subur ini masih belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat Nias Selatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil produksi pertanian maupun perkebunan. Kondisi kesuburan tanah di Nias Selatan yang cocok untuk berbagai jenis tanaman di setiap lokasi lahan pertanian di Nias Selatan sehingga sangatlah wajar apabila pemerintah daerah Kabupaten Nias Selatan khususnya dinas pertanian dan tanaman pangan, perkebunan bahkan kehutanan dapat melakukan pemetaan wilayah pertanian dan perkebunan di Kabupaten Nias Selatan.

Ada beberapa alasan begitu pentingnya tanah dalam kehidupan masyarakat Nias Selatan yakni:

a. Tanah sebagai identitas

Tanah dalam bahasa daerah Nias disebut Tanő. Kabupaten Nias Selatan adalah masyarakat yang hidup dalam hukum adat dan kebudayaan yang sangat kental. Hukum adat Nias Selatan secara umum disebut Avore/fodrakő yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Jauh sebelumnya, masyarakat Nias primitif hidup dalam budaya megalitik. Hal ini terlihat dari peninggalan sejarah seperti artefak-artefak yang masih ditemukan di banyak wilayah pedalaman pulau Nias sampai sekarang ini.

Lambang Kabupaten Nias Selatan berbentuk Segi Lima Sama Sisi yang melambangkan bahwa Nias Selatan adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, didalamnya terdapat lukisan-lukisan yang mempunyai arti serta makna tersendiri : Kalabubu, Tulisan Nias Selatan, Susunan Batu (Hombo Batu) berjumlah 28 (dua puluh delapan), Tingkatan Batu (Hombo Batu) berjumlah 7 (tujuh), segitiga berantai di atas sikhöli ni‟owöli-wöli, kapas, orang yang sedang melompat batu, sikhöli ni‟owöli-wöli serta tulisan furai.

Tanah Nias tanah yang kucinta, tanah kebanggaanku… dimanapun aku berada, tidak akan terlupakan… tanah kelahiranku, berbukit dan sangat luas…tanah yang berada di tengah lautan yang sangat luas.133

Lirik lagu di atas merupakan lagu daerah masyarakat Nias yang berjudul Tanö

Niha yang selalu dinyanyikan pada acara-acara kebesaran misalnya acara peresmian, pesta Ya‟ahowu dan sebagainya. Lirik lagu tersebut juga mengisyaratkan secara nyata begitu dekatnya serta sangat berharganya nilai tanah dipandang sebagai identitas yang mempersatukan dan memberikan kekuasaan pada masyarakat Nias. Lirik lagu ini juga menandakan hubungan emosional dari masyarakat Nias untuk tetap menjaga dan mempertahankan kepemilikan tanahnya dari gangguan masyarakat luar yang belum sah secara adat menjadi penduduk di Nias. Lambang dan slogan Kabupaten Nias serta Lagu daerah masyarakat Nias telah mengungkapkan tanah sebagai identitas pada masyarakat Nias yang secara turun temurun telah diwariskan dan dipertahankan. b. Tanah sebagai kekuasaan

133

Dominiria Hulu, Arti Tanah pada Masyarakat Nias, melalui http://dominiriahulu.wordpress.com/2010/03/15/arti-tanah-pada-masyarakat-nias.html, diakses tanggal 2 Januari 2014.

Tanah sebagai kekuasaan terungkap dari sistem kekerabatan masyarakat Nias yang digariskan menurut garis keturunan laki-laki atau berdasarkan marga, selain itu tanah sebagai kekuasaan mempererat hubungan kekeluargaan atau iwa(talifuso) pada masyarakat Nias Selatan. Tanah sebagai kekuasaan terungkap dengan pendirian rumah adat dan pendirian kampung atau banua sebagai kekuasaan tanah marga Masyarakat Nias Selatan dahulunya dalam memperoleh kekuasaan atas sebidang tanah, haruslah mengadakan kegiatan pesta adat atau owasa yang bertujuan untuk meneguhkan kekuasaannya terhadap tanah tempat tinggalnya. Peneguhan tersebut akan dihadiri penetua/petinggi adat dan akan mensyahkan batas kekuasaan berupa luas tanah dari yang mendirikan rumah tersebut, biasanya yang melaksanakan kegiatan adat ini yakni orang-orang yang telah memiliki kekuasaan dan ingin memperluas daerah kekuasaanya. Setelah disahkan maka orang tersebut akan diberi julukan Siulu/Balugu. Kemudian Siulu/Balugo inilah yang akan mewariskan tanah miliknya yang sangat luas kepada anak-anaknya sebagai penerus daerah kekuasaannya.

Adapun bentuk rumah adat pada masyarakat Nias terdiri dari dua yakni: 1) Bagian utara : bentuknya oval (lonjong) dan atapnya dari rumbia

2) Bagian selatan: bentuknya persegi panjang

c. Tanah sebagai Laju Perekonomian Masyarakat Nias

Tanah sebagai lahan perekonomian terlihat jelas dari beberapa kegunaan tanah yakni sebagai lahan pertanian dan perkebunan yang produktif seperti menanam tanaman, kelapa, padi, pisang, cokelat, karet, durian dan tanaman-tanaman palawija. Selain itu tanah juga dijadikan sebagai tempat usaha, misalnya sebagai tempat

industri skala besar maupun rumah tangga, sebagai pasar tempat terjadinya transaksi penjualan hasil-hasil usaha masyarakat dibidang pertanian dan sebagainya, selain itu digunakan sebagai tempat usaha peternakan babi, kambing, kerbau, ayam dan ternak unggas lainnya.

Usaha pertokoan juga menjadi suatu cara pemanfaatan tanah tidak hanya bagi masyarakat Nias namun masyarakat lain seperti orang Tionghoa dengan usaha-usaha dibidang elektronik/bahan-bahan bangunan serta suku Minang dengan usaha rumah makan, toko pakaian dan sebagainya. Tanah juga bisa dijual sebagai modal usaha serta sebagai modal pendidikan untuk melanjutkan sekolah. Biasanya, tanah digadaikan atau dijual agar kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi.

d. Tanah Digunakan sebagai Laju Pembangunan

Perkembangan suatu daerah ditunjang dengan adanya pembangunan yang menggunakan banyak tanah, misalnya:

1) Pembangunan lokasi pariwisata atau tempat rekreasi.

Pembangunan lokasi pariwisata menggunakan tanah masyarakat menjadi prioritas pemerintah Kabupaten Nias, mengingat Nias merupakan lokasi wisata yang memiliki banyak kekayaan alam maupun wisata sejarah, contohnya; wisata alam pantai Lagundri dan Sorake di Nias Selatan, wisata alam Pantai Ladeha, wisata sejarah megalit di Desa Bawomataluo di Kecamatan Gamo dan objek wisata lainnya. Pembangunan lokasi pariwisata tentunya membawa dampak ekonomis terhadap daerah maupun masyarakat yang berada di sekitar objek wisata.

Kebutuhan tanah akan perkembangan lokasi pariwisata tentunya sebagian menggunakan tanah masyarakat, baik yang diberikan secara percuma oleh

masyarakat maupun yang diberikan berdasarkan perjanjian penggunaan. Misalnya, objek wisata megalit yang dalam penggunaanya harus dipelihara dan dirawat dengan baik.

2) Terjadinya gempa 28 Maret 2005

Gempa 28 Maret 2005 telah membawa pengaruh signifikan terhadap penggunaan tanah sebagai lokasi pembangunan yang tidak terelakkan. Tanah tersebut menjadi lahan komoditi yang diperjualbelikan kepada pihak luar untuk pembangunan dan hal ini telah membawa dampak adanya lahan kosong yang selama ini menjadi tanah yang tidak berfungsi menjadi lahan produktif, hal ini ditandai dengan adanya kegiatan-kegiatan pengembangan usaha pertanian dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat berupa program livelihood misalnya tempat peternakan, bibit cokelat, pembangunan jalan, pembangunan gedung perkantoran dan sekolah-sekolah serta program rekonstruksi pembangunan rumah pengungsi.134

Tanah pada masyarakat Nias Selatan terdiri dari tanah anak berdasarkan atas pembagian harta warisan, tanah ulayat yang merupakan tanah leluhur yang diwariskan kepada keturunan berdasarkan marga dan tanah milik pribadi yakni tanah yang dibeli dengan uang pribadi dan tidak disahkan secara hukum adat.

Kabupaten Nias Selatan adalah salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang terletak di pulau Nias. Dengan Ibukota Teluk Dalam. Kabupaten Nias Selatan memiliki andalan pariwisata tersendiri selain Rumah adat dan Tari perang yaitu Tradisi Lompat Batu atau Fahombo yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat setempat Nias dan meloncati susunan batu yang

disusun setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Lompat batu ini hanya terdapat di kecamatan Teluk Dalam saja. Konon ajang tersebut diciptakan sebagai ajang menguji fisik dan mental para remaja pria di Nias menjelang usia dewasa. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu. Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tak kurang 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki teknik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang.

Seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun sejajar dan rapat dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melewati, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para pemuda ini kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain.

Kemampuan seorang pemuda Nias yang dapat melompat batu dengan sempurna, maka ia dianggap telah dewasa dan matang secara fisik. Karena itu hak dan kewajiban sosialnya sebagai orang dewasa sudah bisa dijalankan. Misalnya: menikah, membela kampungnya atau ikut menyerbu desa musuh dan sebagainya. Salah satu cara untuk mengukur kedewasaan dan kematangan seorang lelaki adalah dengan melihat kemampuan motorik di atas batu susun setinggi 2 meter. Dahulu,

melompat batu merupakan kebutuhan dan persiapan untuk mempertahankan diri dan membela nama kampung. Banyak penyebab konflik dan perang antar kampung. Misalnya: masalah perbatasan tanah, perempuan dan sengketa lainnya. Hal ini mengundang desa yang satu menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit yang ikut dalam penyerangan, harus memiliki ketangkasan melompat untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi dahulu, ketika tradisi berburu kepala manusia masih dijalankan, peperangan antar kampung juga sangat sering terjadi. Ketika para pemburu kepala manusia dikejar atau melarikan diri, maka mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon supaya tidak terperangkap di daerah musuh.

Ketangkasan melompat dibutuhkan karena dahulu setiap desa telah dipagar atau telah membuat benteng pertahanan yang dibuat dari batu, bambu atau bahan lain yang sulit dilewati oleh musuh. Para pemuda yang kembali dengan sukses dalam misi penyerangan desa lain, akan menjadi pahlawan di desanya. Sekarang ini, sisa dari tradisi lama itu telah menjadi atraksi pariwisata yang spektakuler, tiada duanya di dunia. Berbagai aksi dan gaya para pelompat ketika sedang mengudara. Ada yang berani menarik pedang dan ada juga yang menjepit pedangnya dengan gigi.135

Tanah bagi kehidupan manusia sangat erat dan tidak dapat dipisahkan, diibaratkan bagaikan sebuah mobil dengan bensinnya. Hal ini dapat diketahui dari kehidupan manusia, seperti bertempat tinggal, tempat usaha, bahkan tanah juga dijadikan investasi untuk jangka panjang.

135

Dhimas Igo, Sejarah Lompat Hombo Batu di Nias, melalui http://www.himasgo.com/2013/09/sejarah-lompat-hombo-batu-di-nias.html, diakses tanggal 2 Januari 2014.

Oleh karena itu tanah dapat juga diperjualbelikan, dihibahkan, diwariskan, diwariskan atau diwakafkan, dengan kata lain dialihkan, kepada pihak lain. Dan yang sangat nyata dalam kehidupan manusia bahwa tanah mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi, artinya apabila manusia tidak mempunyai tanah sangatlah tidak dipandang oleh orang lain atau sesamanya, dan justru sebaliknya apabila manusia mempunyai tanah maka status sosialnya menjadi sangat tinggi, terlebih-lebih tanah yang dimilikinya sangat luas, maka orang tersebut sangat dipandang.136

Bagi para petani tanah mempunyai nilai yang sangat tinggi, karena tanah menghasilkan usaha di bidang pertanian. Biasanya manusia dalam menggunakan tanah yang dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, bahkan manusia akan hidup tenteram dan damai apabila manusia tersebut dapat menggunakan hak dan kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia tersebut dalam bermasyarakat.

Sejarah kehidupan manusia dapat diketahui bahwa proses timbulnya tanah terjadi secara evolusi yang ditandai dengan tingkat keeratan hubungan manusia dalam menggunakan tanah terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Semakin erat hubungan manusia dalam menggunakan tanah maka akan timbul hak-hak maupun kewajiban terhadap tanah.

Pengakuan, penghormatan, hak ulayat ada juga yang mengingkari hak ulayat masyarakat hukum adat. Pengingkaran tersebut dilakukan dengan cara mengingkari eksistensi tanah ulayat yang dinyatakan sebagai “tanah Negara”. Karena dengan dinyatakannya tanah ulayat sebagai tanah Negara, menyebabkan hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat tersebut, karena hak-hak itu ada di atas tanah ulayat dan juga sebagai pengingkaran terhadap hak ulayat masyarakat adat.137

Tanah dapat dijualbelikan, dihibahkan, diwariskan, diwakafkan, dengan kata lain dapat dialihkan kepada pihak lain. Apabila manusia memiliki tanah yang sangat

136

Suhanan Yosua, Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing): Dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia, (Jakarta : Penerbit Restu Agung, 2010), hal 11.

luas maka status sosialnya pun semakin meningkat, dan kalau manusia memiliki sedikit luas tanahnya, maka nilai sosialnya pun menjadi sedikit, terlebih-lebih apabila manusia tidak mempunyai tanah, maka sangatlah tidak dipandang oleh orang lain.Oleh karena itu tanah mempunyai nilai yang sangat berharga bagi manusia, bahkan tidak sedikit manusia saling membunuh hanya karena tanah.138

Selain bersifat tidak dapat dipindahtangankan (onvervreemdbaarheid), dalam hak ulayat pun dikenal adanya hak milik perseorangan. Hanya saja daya kerja hak milik itu dibatasi oleh keberadaan hak ulayat tersebut. Artinya, dalam hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat hukum adat), hak milik tersebut haruslah mengalah.

Ketentuan hukum adat yang menyatakan bahwa hak ulayat tidak dapat dilepaskan, dipindahtangankan atau diasingkan secara tetap (selamanya). Kenyataan selama ini yang terjadi adalah jika misalnya kegiatan pertambangan telah selesai atau hak guna usaha untuk suatu perkebunan telah habis masanya, tanah-tanah itu kembali pada Negara, bukan pada masyarakat hukum adat setempat. Hal inilah yang kemudian memicu dan berkembang menjadi konflik/sengketa agrarian yang tiada berkesudahan. Kondisi di atas terjadi pula pada tanah-tanah yang semula menurut asas domein verklaring pemerintah Hindia Belanda termasuk kealam domein/milik Negara. Atas tanah-tanah itu Pemerintah Hindia Belanda memberikan hak erfpacht kepada perusahaan- perusahaan perkebunan Belanda. Selanjutnya pada masa kemerdekaan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisme perusahaan-perusahaan milik Belanda, perusahaan beserta seluruh kekayaan (baik berwujud benda tetap maupun tidak tetap) beralih menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia. Ketentuan diatas menimbulkan konflik agrarian pula, karena pada saat itu umumnya tanah yang terkena pelaksanaan asas domein

verklaring itu adalah tanah masyarakat hukum adat, karena memang atas tanah- tanah tersebut tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan ketentuan hukum tanah barat. Padahal seharusnya berdasarkan ketentuan hak ulayat masyarakat hukum adat, tanah itu harus kembali pada pada masyarakat hukum adat.139

Kepemilikan tanah ulayat pada masyarakat di Kabupaten Nias dibedakan atas empat tahapan diantaranya yakni: berdasarkan keturunan/kerajaan Tetehöli Ana‟a,

138 Ibid.

139 Ida Nurlinda, Prinsi-Prinsip Pembaharuan Agraria: Perspektif Hukum, (Jakarta : Penerbit PT, Raja Grafindo Persada, 2009), hal 73.

berdasarkan Fondrakö Bonio oleh Sitölu Tua, perolehan kepemilikan tanah berdasarkan komunitas dan berdasarkan sistem kepemilikan tanah secara ideal.

Silima Börödanömö yang merupakan pusat penyebaran penduduk yang memenuhi pelosok tanö niha sampai ke Kepulauan Hinako dan Kepulauan Batu. Kerajaan

Tetehöli Ana‟a dan Silima Börödanömö merupakan anak Raja Balugu Sirao yang melaksanakan penyebaran tersebut. Keturunan dari masing-masing leluhur Silima Börödanömö memakai identitas. Mula-mula mereka memakai istilah ono atau anak atau iraono, misalnya Ono Delau, Ono Dohu, Iraono Las, Iraono Huna, dan sebagainya. Tetapi kemudian pada masa Pemerintahan Belanda sewaktu dikeluarkan Surat Pas atau kartu penduduk mulai dipergunakan istilah mado. Mado bukan hanya diambil dari leluhur pertama tetapi juga dari leluhur berikutnya yang lebih terkenal jayamenurut gelar karena pesta adat yang disebut owasa. Demikianlah hingga sekarang kita mengenal sampai ratusan nama mado atau marga pada masyarakat Nias.

Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari- hari kepala adat dan para tetua adat dalam kenyataannya, sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat, yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat adat yang bersangkutan.140

Selain diakui, pelaksanaannya dibatasi, dalam arti harus sedemikian rupa sehingga sesuai kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hak ulayat pada kenyataannya tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali, dan juga tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Dalam rangka hukum tanah nasional, tugas dan kewenangan yang merupakan unsur hak ulayat, telah menjadi tugas dan kewenangan Negara RI,

sebagai kuasa dan petugas bangsa. Dalam kenyataannya hak ulayat kecenderungannya berkurang, dengan makin menjadi kuatnya hak pribadi para warga atau anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas bagian- bagian tanah ulayat yang dikuasainya. Oleh karena itu, hak ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak memerintahkan untuk diatur, karena pengaturan hak tersebut akan berakibat melangsungkan keberadaannya141.

Menurut pasal 1 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat hukum adat, yang dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan menurut adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.

Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih ada apabila memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu:142

a. Masih ada suatu kelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu.

b. Masih adanya wilayah/tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut.

c. Masih adanya tatananhukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Hak ulayat dikenal hak milik perseorangan, maka dalam hukum agraria nasional pun dikenal hak milik yang dapat dipunyai seseorang, baik perorangan

141 Ibid.

142 Kurniawan Ghazali, Cara Mudah Mengurus Sertifikat Tanah, (Jakarta : Cetakan Pertama, Penerbit Kata Pena, 2013), hal 37.

maupun bersama orang lain atas bagian dari bumi Indonesia (yaitu bagian permukaan bumi yang disebut tanah).

Pengakuan atas hak ulayat disertai dua syarat. Syarat pertama, mengenai eksistensinya yaitu apabila menurut kenyataannya masih ada. Di daerah di mana hak itu tidak ada lagi atau memang tidak pernah ada, tidak akan dihidupkan lagi bahkan tidak akan dilahirkan hak ulayat baru. Syarat kedua, mengenai pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.143

Eksistensi hak ulayat,UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat itu. Namun, dengan mengacu pada pengertian-pengertian fundamental diatas, dapatlah dikatakan bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus dilihat pada tiga hal, yakni :

a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat,

b. Adanya tanah/wilayah dengan batas‐batas tertentu sebagai batas lebensraum (ruang hidup) yang merupakan obyek hak ulayat;

c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatan- perbuatan hukum.144

Pengaturan hak ulayat dalam UUPA terdapat dalam Pasal 3 yaitu pengakuan mengenai keberadaan (eksistensi) dan pelaksanannya. Eksistensi/keberadaan hak

143

Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I : Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990), hal 55.

144

Poepoet, Perbandingan Hukum Tanah Nasional, melalui http://bloogkumpoet.blogspot.com/2012/01/pendahuluan.html, diakses pada tanggal 1 November 2013, pukul 13.30 WIB.

ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat mendapat tempat dan pengakuan sepanjang menurut kenyataan masih ada. Pada aspek pelaksanaannya, maka implementasinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional bangsa dan negara serta peraturan perundang-undangan lainnya yang tingkatannya lebih tinggi. Dalam hal ini kepentingan sesuatu masyarakat adat harus tunduk pada kepentingan umum, bangsa dan negara yang lebih tinggi dan luas. Oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam suasana berbangsa dan bernegara sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat yang masih mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara mutlak.

Menurut sejarahnya, tanah orang Nias itu berasal dari tanah Asia, disanalah mereka dilahirkan. Bapaknya ialah Baela, dahulu raja di tanah Asia yang memiliki enam orang anak lelaki sepanjang penuturan orangtua di Pulau Nias. Anak Baela itu, yang dapat diketahui nama di tanah Asia, hanya empat orang, ialah anak sulung Hinaya, anak tengah Hinalu, anak bungsu Hinayou, anak