• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori sangat diperlukan dalam penelitian

ilmiah oleh karena kerangka teori merupakan “kerangka-kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin

disetujui atau pun yang tidak disetujui”. Sedangkan teori itu sendiri adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik, tetapi merupakan

suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Dengan kata lain, teori dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskan, dan meskipun suatu penjelasan tampaknya begitu meyakinkan, akan tetapi harus didukung oleh fakta-fakta empiris agar dapat dinyatakan benar (valid atau shahih).31

Dalam hal ini, teori berguna untuk :32

a. Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan; b. Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan pengklasifikasian

fakta-fakta yang dikumpulkan;

c. Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; dan d. Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan peneliti tentang

gejala-gejala yang telah dan sedang terjadi.

Menurut William Chambliss dan Seidman terdapat hubungan antara hukum dan kekuasaan, di mana kekuatan sosial dan pribadi yang terdapat di masyarakat keberadaannya menekan lembaga pembuat hukum secara langsung sebagai lembaga yang membuat hukum dan secara tidak langsung menekan lembaga penegak hukum, sedangkan lembaga penegak hukum juga mengalami tekanan secara langsung dari kekuatan sosial dan pribadi. Lembaga pembuat hukum bekerja dengan membuat peraturan yang ditujukan untuk mengatur masyarakat, demikian pula dengan lembaga penegak hukum yang bekerja untuk melakukan law enforcement untuk ditegakkan di masyarakat. Masyarakat adalah tujuan akhir dari bekerjanya hukum. Jadi dapat dikatakan bahwa hukum yang dibuat oleh pembuat hukum yang sudah mengalami tekanan dari kekuatan sosial dan pribadi di tegakkan oleh penegak hukum yang juga

31

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 27 dan 80. 32 Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, “Beberapa Azas Metodologi Ilmiah”, dalam

Koentjaraningrat (ed), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, ( Jakarta : PT. Gramedia, 1993), hal 10.

mengalami tekanan dari kekuatan sosial dan pribadi ke masyarakat, sehingga hukum yang sampai ke masyarakat adalah hukum yang bercorak kekuasaan.33

Realitas ini semakin nyata ketika hukum positif menjadi satu-satunya sandaran dalam hukum modern. Dapat dikemukakan beberapa faktor tersebut yang dapat mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat. Faktor-faktor tersebut yaitu:34

a. Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan perundang-undangannya);

b. Penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah).

c. Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis (menyangkut pertimbangan ekonomis sosiologis serta kultur hukum dari role occupant).

d. Konsistensi dan harmonisasi antara politik hukum dalam konstitusi dengan produk hukum di bawahnya. Hal ini dapat dilakukan dengan pemagaran secara preventif melalui prinsip kehati-hatian dan kecermatan dalam “law making” dan represif melalui Judicial Review (MA) dan Costitutional Review (MK) apabila suatu peraturan telah diundangkan.

Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumber daya alam, yang berupa tanah, air, udara dan sumber daya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumber daya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumber daya alam yang diperlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumber daya alam yang baik dan bijaksana karena lingkungan tidak hanya dimanfaatkan saat ini saja, melainkan akan menjadi tempat hunian masyarakat

33

Dani Putra, Teori Chambliss & Seidman, melalui http://www.daniputralaw.com/2012/10/teori-chambliss-seidman.html, diakses pada tanggal 1 Juli 2013 pukul 1.23 WIB.

34 Ibid.

luas selamanya. Maka peran pemerintah mutlak sangatlah besar dan sudah semestinya pemerintah memiliki konsep paradigma berpikir yang peduli lingkungan. Tidak hanya itu, regulasi yang tepat akan menjadi penyelamat korelasi antara manusia dengan lingkungan yang manfaatnya akan kembali juga pada masyarakat itu sendiri.35

Perencanaan lingkungan idealnya selaras dengan perencanaan alokasi tata ruang, alokasi sumber daya alam, strategi pengembangan investasi dan sebagainya. Hal ini penting dalam rangka mengintegrasikan manajemen lingkungan ke dalam manajemen pembangunan sebagai konsep pembangunan berwawasan lingkungan. Artinya, proses pembangunan tetap jalan terus namun di dalam setiap unit dan sektor pelaksanaan pembangunan, perlu diadopsi wawasan ekologis yang memadai.36

Masyarakat mempercayai bahwa tanah yang dipersengketakan adalah merupakan hak ulayat dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang hidup, serta mempunyai kepercayaan terhadap ketentuan hukum adat, mereka patuh dan taat walaupun normanya tidak tertulis. Sebaliknya budaya hukum yang berlaku bagi para penegak hukum, mereka hanya meyakini norma-norma positif yang berasal dari hukum Barat. Interaksi dalam sistem hukum mengarah kepada sengketa yang terus menerus tanpa dapat diselesaikan secara tuntas. Dengan adanya teori dan konsep penguasaan tanah, serta larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Berlaku di Indonesia baik secara yuridis maupun hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), berakibat cenderung menimbulkan konflik pertanahan dalam masyarakat, bahkan sengketa tersebut cenderung sulit untuk diselesaikan. Kesulitan dalam penyelesaian sengketa atas tanah ini sangat rumit.

35

Suhaidi, Perlindungan Lingkungan Laut, ( Jakarta : Pustaka Bangsa Press, 2001), hal 16. 36

Melihat faktor dalam penyelesaian sengketa diatas, William Chambliss dan Robert B. Seidman mengajukan suatu perspektif bagi penerapan hukum dalam mengatasi masalah. Peran kekuatan sosial bukan hanya berpengaruh pada rakyat sebagai pemegang peran yang tunduk kepada hukum, namun juga terhadap lembaga pembuat dan pelaksana hukum tersebut. Dengan demikian hasil akhir dari proses pelaksanaan hukum atas masyarakat bukan hanya ditentukan oleh hukum, namun perlu juga dipertimbangan kekuatan sosial dan pribadi yang muncul disana.37Mekanisme penyelesaian sengketa dengan menggunakan pendekatan konsensus dengan give a little, get a little. Sedangkan untuk penyelesaian sengketa dengan pendekatan adverserial (pertentangan) disebut winner takes all.38

Konsep hukum yang semata-mata berdasarkan pada atribut otoritas seperti dimaksud di atas diperkenalkan oleh Ter Haar, dikenal sebagai teori Keputusan (Beslissingenleer/Decision Theory), yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum didefinisikan sebagai keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus sengketa dan peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan dengan sengketa.39

Adat dan hukum adat kemudian secara historis-filosofis dianggap sebagai perwujudan atau pencerminan kepribadian suatu bangsa dan merupakan penjelmaan jiwa bangsa (volkgeis) suatu masyarakat yang bersangkutan dari zaman ke zaman oleh karena itu setiap bangsa yang ada di dunia memiliki adat (kebiasaan) sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Dengan adanya ketidaksamaan tersebut kita dapat mengetahui bahwa adat

37

Rudy, Konflik Hukum Agraria, melalui http://rudy-fhilosshopia.blogspot.com/2012/05/konflik-hukum-agraria.html, diakses pada tanggal 1 Juli 2013 pukul 1.23 WIB.

38

William J.Chambliss & Robert B.Seidman, Law, Order, and Power, Massachustts, Addison-Wesley Publishing Company, 1971.

39

I Nyoman Nurjaya, Perkembangan pemikiran konseppluralisme hukum, Fakultas Hukum dan ketua program studi ilmu hukum program Pascasarjana Universitas Brawijaya, diakses http://www.huma.or.id, pada tanggal 5 Mei 2013 pukul 14.23 WIB.

(kebiasaan) merupakan unsur yang penting dan memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan di samping bangsa lainnya yang ada di dunia.40

Kehidupan masyarakat Indonesia, adat yang dimiliki oleh suku bangsa berbeda-beda satu sama lainnya meskipun dasar dan sifatnya adalah satu ke Indonesiaannya. Oleh karena itu, adat (kebiasaan) bangsa Indonesia dikatakan sebagai Bhinneka (berbeda-beda di daerah-daerah dan pada suku-suku bangsa yang ada) akan tetapi Tunggal Ika (tetap satu juga) yaitu dasar dan sifat Indonesianya dan adat bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika ini melainkan selalu berkembang serta senantiasa mengikuti proses perkembangan bangsa-bangsa yang ada di dunia.

Secara umum, Ter Haar mengatakan bahwa hubungan antara hak persekutuan

dengan hak perseorangan adalah seperti „teori balon‟ (Ballon Theory). Artinya, semakin besar hak persekutuan, maka semakin kecillah hak perseorangan. Dan sebaliknya, semakin kecil hak persekutuan, maka semakin besarlah hak perseorangan. Ringkasnya, hubungan diantara keduanya bersifat kembang kempis. Hukum tanah adat dalam hal hak persekutuan atau hak pertuanan: dapat dilihat dengan jelas bahwa umat manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau mereka ada yang berdiam secara tersebar di pusat-pusat kediaman yang sama nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas, maka dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah. Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak-hak tertentu atas tanah itu, dan melakukan hak itu baik keluar maupun ke dalam persekutuan.41

Teori Balon (mengembang dan mengempis), pada waktu seorang warga persekutuan atas izin persekutuan membuka dan mengurus terus menerus bidang tanah tertentu, hak ulayat persekutuan menipis (tapi tetap ada) hak perorangan menonjol. Bila tanah diterlantarkan, hak persekutuan penuh kembali.42Teori yang dipakai dalam penulisan disertasi ini adalah teori balonnya (Ballon Theory), untuk

40

Tolib Setiady, Op.cit, hal 1. 41

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Bandung ; Sumur Batu, 1985), hal 57. 42

menjaga kontinitas terhadap tanah-tanah adat maka salah satu cara adalah dengan memproteksinya dan Desa Adat seharusnya membentuk suatu badan hukum yang khusus mengelola, mengatur penguasaan dan pemanfaatan tanah-tanah adat.43

Masyarakat hukum adat terdapat sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam keadaan sehari-hari.44Adat kebiasaan yang hidup serta yang berkembang dimaksud merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum adat kita sebagai hukum asli dari masyarakat dan bangsa Indonesia di manapun dan sampai kapanpun.45Adat kebiasaan

istiadat secara Internasional sudah cukup populer digunakan istilah “Indegeneus

peoples” yang diterjemahkan sebagai masyarakat adat untuk menyebutkan subyek hak atas tanah adat. Sementara itu, dalam masyarakat Indonesia dikenal pula istilah masyarakat Hukum Adat.46

Masyarakat hukum adat yang boleh dilaksanakan dengan syarat-syarat tersebut, adalah hak ulayat dan hak-hak yang serupa sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Hukum adat (hak ulayat dan lain-lain) yang pada saat diundangkan UUPA, masih ada (masih hidup) yang mungkin kelak tidak akan diadatkan lagi. Demikian ini disebabkan karena hukum adat itu hidup dan berkembang menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

43

Tolib Setiady, Op.cit, hal 57. 44

Rosnidar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah dalam Masyarakat Adat Simalungun,( Medan : Pustaka Bangsa Pers, 2008), hal 84.

45

Tolib Setiady, Op.cit, hal 2. 46

Adapun berlakunya menurut sistematika Ter haar “hak ulayat berlaku

kedalam” berarti:47

a. Masyarakat hukum/anggotanya bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup diatasnya. b. Anggota suku bangsa/masyarakat hukum, untuk keperluan sendiri berhak

untuk berburu, mengumpulkan hasil hutan (yang kemudian dimiliki dengan hak milik), bahkan berhak memiliki beberapa batang pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu di perlihara olehnya.

c. Mereka mempunyai hak untuk membuka tanah dengan pengetahuan kepala suku/masyarakat hukum. Pembukaan tanah dengan pengetahuan kepala suku/masyarakat hukum, merupakan suatu perbuatan hukum yang mendapat perlindungan dalam masyarakat hukum itu.

d. Oleh masyarakat hukum sendiri dapat ditentukan bagian-bagian wilayah yang akan digunakan untuk tempat pemukiman, tempat untuk makam, pengembalaan umum, sawah, dan lain-lain keperluan bersama.

Adapun hak ulayat berlaku keluar berarti:48

a. Anggota suku bangsa lain (juga tetangga) tidak boleh mengambil manfaat dari tanah, daerah hak ulayat, kecuali dengan izin kepala suku/masyarakat hukum dan dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) lebih dulu. Izin yang diberikan kepada kepala suku bangsa lain bersifat sementara, misalnya untuk selama satu musim panen.

b. Suku bangsa/masyarakat hukum yang mempunyai hak ulayat atas wilayahnya, bertanggungjawab atas hal-hal yang terjadi dalam wilayahnya itu.

Sebagai wujud dari peran pengatur tanah seperti yang diamanatkan UUPA 1960 itu, negara di Indonesia menempatkan dirinya sebagai agen pembebasan tanah, sebagai agen untuk merubah status kepemilikan tanah dan peruntukkan penggunaan tanah. Pemerintah setempat menjadi panitia yang mengorganisasikan penyerahan tanah dari komunitas setempat kepada bisnis atau kepada negara itu sendiri. Kemudian Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi

47

Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Cetakan keempat, (Yogyakarta : Gadjah Mada University, 1994), hal 45-46.

48

pembangunan untuk kepentingan umum49menegaskan lagi bahwa panitia pembebasan tanah yang dibentuk pemerintahlah yang mengorganisasi pembebasan tanah milik rakyat untuk kepentingan umum.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia pemerintahlah yang mengalokasikan tanah untuk diberikan kepada investor sebagai akibatnya, makin luas tanah yang telah diserahkan negara kepada pebisnis dan sebagai konsekuensinya tentunya aktor yang paling bertanggungjawab atas akibat-akibat negatif dari semua itu adalah negara itu sendiri. Terkait dengan mencuatnya kasus sengketa tanah ini, pasca lahirnya UUPA, Persoalan land reform adalah persoalan nasional yang bertujuan merombak struktur agraria di Indonesia yang bersifat feodalisme. Land reform merupakan persoalan yang sangat kompleks menyangkut segi-segi sosial, ekonomi dan politik kehidupan dan penghidupan petani. Pelaksanaanya pun banyak berhadapan dengan berbagai persoalan seperti persoalan adat, sisa-sisa kekuasaan feodal, persoalan waris dan persoalan lainnya.

Hal yang umumnya dikhawatirkan banyak pihak terkait dengan pemberian semacam hak atas tanah pada masyarakat hukum adat adalah kemungkinan peralihan hak tersebut kepada pihak luar. Dengan hak pengelolaan kekhawatiran akan hilang karena hak pengelolaan sejatinya bukan hak privat atas tanah. Hak pengelolaan adalah hak publik bukan hak privat, yang merupakan bagian dari hak menguasai negara yang didelegasikan pelaksanaannya kepada masyarakat hukum adat. Dengan

49

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta : Penerbit Kencana, 2008), hal 60.

demikian masyarakat hukum adat tidak akan dapat mengalihkan hak pengelolaannya ini kepada pihak lain.50

Kedudukan Hukum Adat di kemudian hari, mengenai ini Soepomo menegaskan sebagai berikut :51

a. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan menguasai masyarakat Indonesia.

b. Bahwa hukum pidana dari sesuatu negara wajib sesuai dengan corak dan sifat-sifat bangsanya atau masyarakatnya itu sendiri. Oleh karena itu, maka hukum adat pidana akan memberi bahan-bahan yang sangat berharga dalam pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru untuk negara kita.

c. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum (tidak) ditetapkan oleh undang-undang.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang berlaku pada era Orde Baru tersebut memperlihatkan watak konservatif, yang dapat dicirikan dari penggunaan asas otonomi nyata dan bertanggungjawab sebagai pengganti asas otonomi yang seluas-luasnya. Hal ini memang tidak memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah, pemerintah senantiasa memaksakan kehendaknya demi untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Kenyataan ini sebagai gambaran bahwa pemerintahan tidak dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tetapi berdasarkan atas kekuasaan. Adapun ketentuan hukum mengenai Agraria pada masa orde baru masih menggunakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). Namun dalam pelaksanaannya pemerintah banyak mengeluarkan peraturan yang

50

Sumarto, Kedudukan Hak Ulayat dan Implemetasinya dalam UUPA, melalui http://mas-marto.blogspot.co.id/2012/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html, diakses tanggal 23 Setember 2015.

51

Soepomo di dalam Dies Natalis Ungama Yogyakarta pada tanggal 17 Maret 1947 dalam Tolib Setiady, Op.cit, hal 72.

parsial, seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) Nomor 15 Tahun 1975, yang mengatur tata cara pembebasan tanah untuk keperluan pembangunan dan dalam rangka kepentingan umum. Inpres Nomor 9 Tahun 1973, yang berisi pedoman dan jenis-jenis kegiatan yang dapat dikategorikan kepentingan umum. Ketentuan ini dapat dipandang sebagai jalan pintas yang diambil pemerintah untuk memudahkan pengambilalihan tanah dari rakyat.

Pada hakikatnya di dalam Negara Hukum Indonesia keadilan dan kebenaran yang hendak dituju oleh hukum itu wajib merupakan kebenaran dan keadilan yang mencerminkan oleh perasaan dan kebenaran yang hidup di dalam hati nurani rakyat. Memperhatikan akan hal ini maka kiranya kaidah-kaidah adat istiadatlah yang senantiasa timbul, berkembang serta hidup di dalam masyarakat seperti kehidupan masyarakat itu sendiri yang merupakan satu-satunya sumber hukum baru yang dapat memenuhi kebutuhan.

Penegasan dari M. Nasrun menyatakan52 “Bahwa justru adat itulah yang

menentukan sifat dan corak keIndonesiaan dari kepribadian Bangsa Indonesia. Justru

adat itulah yang merupakan salah satu penjelmaan jiwa Indonesia dari abad ke abad”.

Sesungguhnya adat merupakan salah satu petunjuk identitas bangsa. Oleh karenanya maka bahan-bahan yang akan memberi dasar dan jiwa ke-Indonesiaan asli kepada Negara Republik Indonesia tidak mungkin didapat selain dari bahan-bahan yang telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia itu sendiri adalah menjadi tanggung jawab serta kewajiban kita untuk menyesuaikan adat itu dengan kehendak dan keadaan zaman.

52

Penatagunaan tanah ini diwujudkan dalam suatu rencana tata ruang. Penataan ruang di atur dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam tindakan penataan ruang sesuai dengan rencana tata ruang akan menimbulkan akibat-akibat hukum sesuai dengan hak atas tanah. Ruang sebagai satu sumber daya alam tidak mengenal batas wilayah. Namun ruang dikaitkan dengan pengaturan, maka harus jelas batas, fungsi dan sistemnya dalam satu kesatuan. Istilah tanah dan agraria tidak selalu dipakai dalam arti dan pemahaman yang sama. Hal demikian, pada akhirnya membawa konsekuensi dan permasalahan tersendiri pada pengaturan dan kedudukannya dalam sistem hukum Indonesia.53

Sebagai sumber agraria yang paling penting, tanah merupakan sumber produksi yang sangat dibutuhkan sehingga ada banyak kepentingan yang membutuhkannya. Perkembangan penduduk dan kebutuhan yang menyertainya semakin tidak sebanding dengan luasan tanah yang tidak pernah bertambah. Karena itulah, tanah dan segala sumber daya alam yang terkandung di dalamnya selalu menjadi “ajang perebutan” berbagai kepentingan yang senantiasa menyertai

kehidupan manusia. Tidak heran jika sejak zaman dahulu tanah selalu menjadi obyek yang diperebutkan sehingga memunculkan adanya sengketa dan konflik yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya yang dikandungnya. Disamping itu Adanya ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya menyebabkan terjadinya konflik pertanahan. Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu ada dimana-mana. Sengketa dan konflik pertanahan adalah bentuk permasalahan yang sifatnya kompleks dan multi dimensi. Oleh karena itu usaha pencegahan, penanganan dan penyelesaiannya harus memperhitungkan berbagai aspek baik

53

Ida Nurlida, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria : Perspektif Hukum, (Jakarta : Penerbit Rajawali Pers), 2009, hal 35.

hukum maupun non hukum. Seringkali penanganan dan penyelesaian terhadap sengketa dan konflik pertanahan dihadapkan pada dilema-dilema antara berbagai kepentingan yang sama-sama penting. Mencari keseimbangan atau win-win solution atas konflik yang sudah terjadi jelas membutuhkan upaya yang tidak mudah. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik, faktor pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan solusinya. Dengan usaha-usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan sengketa dan konflik pertanahan dapat ditekan semaksimal mungkin, sekaligus menciptakan suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan keadilan agraria yang mensejahterakan.54

Mengenai pengertian substansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup) dan bukan hanya aturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang. Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Sebagaimana dijelaskan Friedman dalam Elza Syarief adalah budaya hukum, sistem, kepercayaan mereka, nilai-nilai, ide-ide dan penghargaan. Maka budaya hukum mengacu kepada budaya umum, adat, pendapat, cara-cara bertindak dan berpikir yang membelokkan kekuatan sosial ke arahyang sejalan dengan hukum dan dengan cara-cara tertentu.55

Menurut Lawrence M. Friedman perilaku hukum lebih dari soal patuh atau tidak patuh, tetapi perilaku perilaku hukum lebih pada soal menggunakan atau tidak menggunakan daripada soal mematuhi dan tidak mematuhi. Ini bukan berarti bahwa patuh dan tidak patuh itu tidak penting. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap

54

Sumarto, Penanganan dan Penyelesaian Konflik Pertanahan dengan Prinsip Win-Win Solution oleh BPN RI, melalui http://mas-marto.blogspot.co.id/2012/10/penanganan-dan-penyelesaian-konflik.html, diakses tanggal 23 Setember 2015.

55

Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, Cetakan Pertama, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), hal 114.

orang tidak mematuhi undang-undang dalam hal ini jika dikaitkan dengan

Dokumen terkait