• Tidak ada hasil yang ditemukan

Impeachment Presiden menurut UUD 1945 hasil amandemen dalam tinjauan ketatanegaraan Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Impeachment Presiden menurut UUD 1945 hasil amandemen dalam tinjauan ketatanegaraan Islam"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UUD 1945

HASIL AMANDEMEN DALAM TINJAUAN

KETATANEGARAAN ISLAM

OLEH: IRWANTO 103045228184

KONSENTRASI SIYASAH SYAR'IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH DAN SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UUD 1945

HASIL AMANDEMEN DALAM TINJAUAN

KETATANEGARAAN ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh:

IRWANTO NIM : 103045228184

Di Bawah Bimbingan :

Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag NIP. 150275509

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “Impeachment Presiden Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen dalam Tinjauan Ketatanegaraan Islam” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis, 12 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah.

Jakarta, 12 Desember 2008. Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M.

NIP. 150 210 422

Panitia Ujian :

1. Ketua : Asmawi, M.Ag. ( ………….…… )

NIP. 150 282 394

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag ( ……….… )

NIP. 150 282 403

3. Pembimbing : Dr.H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag ( ……….… ) NIP. 150 275 509

4. Penguji I : Dedy Nursyamsi, S.H, M.Hum ( ……….… ) NIP. 150 264 001

5. Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag ( ……….… )

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas berbagai karunia dan anugerah yang diberikan kepada segenap hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh dengan ikhlas mengharapkan ridha-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada hamba pilihan-Nya yang membawa risalah kebenaran, pemimpin bagi pembawa cahaya keridhaan-Nya yang abadi, yaitu Sayyidina Muhammad SAW, sebaik-baik makhluk dan dipenuhinya dengan akhlak yang sempurna.

Penulis bersyukur telah menyelesaikan skripsi yang diajukan sebagai salah satu syarat dalam menempuh gelar Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 HASIL AMANDEMEN DALAM TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM”.

(5)

1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA.,MM.

2. Ketua Program Studi Jinayah dan Siyasah, Asmawi, M.Ag., dan Sekretaris Program Studi Jinayah dan Siyasah, Sri Hidayati, M.Ag., beserta staff dan seluruh dosen yang telah memberi ilmu, membimbing dan mengarahkan penulis sejak masa perkuliahan hingga berakhirnya skripsi ini.

3. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag. Selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan ilmunya dan bimbingannya serta do’anya dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Pimpinan Perpustakaan, baik Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan fasilitas pada Penulis untuk mengadakan studi kepustakaan.

5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama masa kuliah.

6. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Sugiono dan Ibunda tercinta Emma. Serta keluarga yang telah mendukung penulis dengan sepenuh hati dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Syaikh kyai H. Sa’adih dan H. Syahrulloh selaku guru spiritual penulis. Dan guru-guru penulis lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan namun tidak mengurangi rasa ta’dzim dan mahabbah penulis kepada beliau-beliau.

(6)

waktunya), Ahmad Nazir Al Batawie, Qosim Al Batawie (makasih atas bimbingan belajar kitabnya sehingga saya dapat lulus ujian komprehensif), Iiz, Iswara , Abd. Nawi , Ana Prawati, dan Rory Artha (Owie) yang mau disibukkan oleh penulis meskipun sedang kerja. Yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Sang kekasih dan pujaan hati Marissa Putriana K (X), yang selalu menemani penulis saat susah ataupun senang, yang tidak lelah-lelahnya memberikan perhatian dan perhatian, juga bantuan baik materil maupun spiritual kepada penulis untuk selalu menyelesaikan skripsi penulis. Juga keluarganya yang selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikannya, agar bisa cepat-cepat kerja.

10.Teman-teman penulis lainnya yang selalu memberikan motivasi kepada penulis. Kakaku Syauqi (A.oki), terima kasih atas bimbingan dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Guruh, Dayat, Hasbih, Heru, Djamal, serta Imam, yang membantu penulis ketika kesulitan.

Semoga bantuan, bimbingan, dorongan serta perhatian yang diberikan oleh mereka mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis pribadi dan pembaca pada umumnya. Amîn.

Jakarta, 26 November 2008

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 9

D. Review Studi Terdahulu 10

E. Metode Penelitian 13

F. Sistematika Penulisan 15

BAB II IMPEACHMENT DALAM PERSPEKTIF POLITIK ISLAM

A. Impeachment Menurut Perspektif Politik Islam 16 B. Alasan-alasan Terjadinya Impeachment dalam Islam 18 C. Institusi yang Berwenang Melakukan Impeachment dalam Islam 24 D. Mekanisme Impeachment Menurut Perspektif Politik Islam 39

BAB III LEMBAGA KEPRESIDENAN NEGARA KESATUAN

REPUBLIK INDONESIA (NKRI)

(8)

B. Presiden dan Wakil Presiden 53

C. Syarat Presiden dan Wakil Presiden 59

D. Kewenangan Presiden 63

BAB IV ANALISIS PROSES IMPEACHMENT PRESIDEN

MENURUT UUD 1945 HASIL AMANDEMEN DAN DALAM

PERSPEKTIF POLITIK ISLAM

A. Mekanisme Impeachment Presiden dalam Ketentuan UUD 1945

Hasil Amandemen 65

B. Alasan-alasan Impeachment Presiden Menurut UUD 1945 Hasil

Amandemen 76

C. Proses Pembuktian di MK 86

D. Proses Impeachment di MPR 89

E. Analisis 92

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 97

B. Saran 101

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara Hukum yang mengidealkan prinsip supremasi hukum, Indonesia telah mengalami perubahan konstitusi dan juga perubahan dalam sistem ketatanegaraan, seperti perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945. Setelah diselenggarakannya pemilihan umum pada tahun 1999, dibentuklah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan komposisi keanggotaan tidak ada partai politik yang menguasai mayoritas mutlak kursi dalam MPR. Dalam sidangnya diadakan pada bulan oktober 1999 untuk pertama kali, MPR menggunakan pasal 37 UUD 1945 untuk mengubah UUD 1945. Dalam kepustakaan teori konstitusi hal itu disebut sebagai formal amandement. Ternyata, setelah tahun 1999 MPR masih melakukan perubahan terhadap UUD 1945, hal itu dilakukan berturut-turut pada bulan Agustus 2000, pada November 2001, dan selanjutnya pada Agustus 2002. Dalam perubahan Undang-Undang Dasar yang dilakukan selama empat kali berturut-turut itu telah terjadi perubahan terhadap sistem ketatanegaraannya.1

Dalam bahasa Inggris, to amend the Constitution artinya mengubah Undang Undang Dasar dan Constitutional Amandement artinya perubahan Undang-Undang Dasar mempunyai makna yang berbeda. Dengan demikian kata

1

(10)

mengubah dan perubahan yang berasal dari kata dasar “ubah” sama dengan to amend atau amandement, dan pemakaian kata yang lebih tepat adalah

amandement. Lebih lanjut kata “amandement” itu diserap atau diIndonesiakan

menjadi “amandemen”, dan kata mengubah berarti menjadikan lain atau menjadi lain dari, sedangkan kata perubahan berarti berubahnya sesuatu (dari asalnya). Dengan demikian apabila kita menyebut kata perubahan berarti sama dengan “amandemen”, tetapi dalam Bahasa Indonesia resmi yang dipergunakan adalah kata “perubahan”2

Salah satu persoalan penting setelah terjadinya empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 7A dan 7B perubahan ketiga UUD 1945.3

2

Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), Cet.4, h. 133-134.

3

(11)

Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, Perubahan ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi.

Selain itu, proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden. Adanya kemungkinan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR inilah yang secara teknis ketatanegaraan disebut dengan istilah Impeachment.

(12)

masa jabatannya pada awal reformasi 1998 yang diikuti krisis dalam berbagai sektor kehidupan terutama hukum dan moral, memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap UUD 1945.

Salah satu penyebab krisis ketatanegaraan antara lain terletak pada ketidakmampuan penyelenggara negara. Seperti penyelewengan kekuasaan eksekutif yang cenderung otoriter dan berujung pada praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu di era reformasi agenda tuntutan perubahan UUD 1945 menjadi suatu kebutuhan yang mendesak untuk dilaksanakan.4

Sesuai dengan sistem presidensial, keberadaan institusi, fungsi, tugas Presiden dalam menjalankan pemerintahan tegas diatur dalam UUD dan perundang-undangan, termasuk calon Presiden dan/ atau Wakil Presiden dipilih oleh rakyat dalam satu paket pun diatur di dalamnya. Karena kedua jabatan itu dipandang sebagai satu kesatuan institusi sehingga untuk menjatuhkan Presiden di masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan pelanggaran hukum. Satu-satunya jalan untuk membatasi agar institusi kepresidenan tidak larut dalam persoalan-persoalan pribadi atau kelompok, diperlukan pengaturan institusi kepresidenan dan sikap tindak Presiden yang diikat dengan norma-norma hukum yang tegas. Implementasi hukum membutuhkan adanya suatu kekuasaan terutama agar hukum tidak berarti hanya serangkaian aturan atau kaidah moral atau berlaku

4

(13)

sebaliknya. Kekuasaan juga membutuhkan hukum paling tidak untuk dua kondisi;5

1) Adalah guna memberikan legitimasi terhadap penyelewengannya di dalam kehidupan masyarakat. Berdasar kepada kaidah-kaidah hukum, otoritas kekuasaan ataupun kewenangan yang dianggap dan diakui sah oleh masyarakat yang dikuasainya.

2) Bahwa hukum dibutuhkan agar kekuasaan tersebut dapat menjelma dan berkembang tidak sewenang-wenang.

Sikap tindak pejabat administrasi negara dalam menjalankan kekuasaan dapat berupa sikap tindak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan sikap tindak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sikap tindak presiden yang bertentangan dengan perundang-undangan dapat berupa:

1) Sikap tindak yang melebihi kekuasaan (exess de pouvier).

2) Sikap tindak menyalahgunakan kekuasaan (deternemount depouvier). 3) Sikap tindak bertentangan dengan hukum perdata (onrecmatigedaad). 4) Sikap tindak yang bertentangan dengan hukum pidana.

5

(14)

Setelah perubahan UUD 1945 berdasarkan ketentuan pasal 7A pada prinsipnya menegaskan bahwa presiden dapat dimintai pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban presiden yang berujung dapat memberhentikan Presiden jika dalam masa jabatannya karena sikap tindak Presiden yang bertentangan dengan hukum (pidana) secara rinci diatur dalam pasal 7A UUD 1945.6

Perbuatan melanggar hukum atau bertentangan dengan hukum dapat saja dilakukan Presiden apabila Presiden melakukan pelanggaran yang telah ditetapkan dalam UUD maupun peraturan perundang-undangan lain, karena tidak jelasnya batasan-batasan kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden. Jika terjadi demikian maka Presiden dapat saja dikatakan sudah melakukan pelanggaran terhadap jiwa dan semangat UUD 1945, yang merupakan salah satu butir haluan penyelenggaraan negara yang ditentukan dalam UUD 1945.

Dalam Islam, pemimpin bukanlah penguasa yang terjaga dari kesalahan. Tapi dia adalah manusia biasa yang boleh salah dan benar, boleh adil dan pilih kasih. Menjadi hak kaum Muslimin untuk meluruskan pemimpin yang berbuat salah dan meluruskan penyimpangannya.7

6

Jimly Ashiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH. UII, 2003), h. 10

7

(15)

Menurut Al-Mawardi, yang menyebabkan rakyat wajib mentaati dan membela kepala negara adalah selama tidak berubah keadaannya. Yang dimaksud dengan berubah keadaannya adalah kepala negara yang cacat keadilannya, dan sesuatu menimpa fisiknya sehingga tidak mampu menjalankan pemerintahan.8 Ulil amri ditaati karena ia menaati Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa di antara ulil amri itu menyuruh dengan apa yang sesuai dengan yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya, wajiblah umat menaatinya. Tetapi barang siapa yang menyuruh (memerintah) dengan menyalahi apa yang dibawa oleh Rasul, perintah itu tidak boleh didengar dan ditaati. Sebab, ketentuan sunnah telah mengatur tentang batas-batas ketaatan terhadap ulil amri dan melarang rakyat untuk menaatinya, jika ulil amri menyalahi hukum yang telah diatur oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Hadits itu antara lain adalah:

! "

# $ % & '( ﻡ * # '( ﻡ +ی * % - . /0 1

ﻡ -2

9

Artinya: “Dari Ibnu’Umar ra. Dari Nabi SAW., beliau bersabda: “Seorang muslim wajib mendengar dan taat baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat maka ia tidak wajib untuk mendengar dan taat”. (H.R. Muslim)

8

Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), h. 261-262

9

(16)

Oleh karenanya, pemimpin yang tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai pemimpin kepala negara haruslah diberhentikan. Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam skripsi ini penulis merasa tertarik untuk mengangkatnya menjadi sebuah skripsi yang berjudul: “IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 HASIL AMANDEMEN

DALAM TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk memudahkan pembatasan masalah dan focus kajian skripsi ini, penulis akan membatasi masalah dan merumuskan permasalahan. Pembatasan permasalahan merupakan hal yang penting untuk menghindari dari melebar dan meluasnya obyek kajian, sedang perumusan masalah ditujukan untuk mengarahkan alur bahasa dan menjawab berbagai permasalahan sebagai suatu substansi dari skripsi ini.

Berdasarkan atas pemaparan latar belakang skripsi ini, penulis membatasi permasalahan pada mekanisme impeachment Presiden yang terdapat di UUD 1945 hasil amandemen, dan kemudian ditelaah secara komparatif menurut hukum Islam.

(17)

1. Bagaimana alasan-alasan impeachment Presiden dan mekanisme impeachment Presiden menurut UUD 1945 dan menurut tinjauan ketatanegaraan Islam?

2. Bagaimana pandangan menurut ketatanegaraan Islam terhadap alasan dan mekanisme impeachment Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945 dengan ketatanegaraan Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui apa saja alasan-alasan impeachment Presiden dan mekanisme impeachment Presiden menurut UUD 1945 dan tinjauan ketatanegaraan Islam.

2. Untuk mengetahui tentang pandangan menurut system ketatanegaraan Islam terhadap alasan dan mekanisme impeachment Presiden menurut UUD 1945 dan dalam tinjauan ketatanegaraan Islam.

(18)

Syar’iyyah khususnya, sebagai tambahan referensi tentang studi komparatif mengenai impeachment baik dalam UUD 1945 dan dalam Hukum Islam.

D. Review Studi Terdahulu

Dari literatur yang telah penulis telaah, terdapat beberapa karya tulis yang dijadikan acuan awal oleh penulis, dan untuk menjaga keaslian judul yang akan penulis ajukan dalam skripsi ini perlu kiranya penulis uraikan juga beberapa buku atau karangan yang berkaitan atau mengkaji isu seperti ini.

Skripsi dengan Judul: Implementasi Syura Pada Masa khulafa Al-Rasyidun Dan Relevansinya Pada Masa Kini. Oleh Kholik, program studi

Siyasah Syar’iyyah Jurusan Jinayah Siyasah Tahun 2006. bertolak pada substansi musyawarah yang diimplementasikan pada masa kepemimpinan dan khalifah pertama dan artikulasi yang dihadirkan melalui pemikiran dan pandangan ulama ahli hukum islam pada masa kini dan tentunya perkembangan konsep musyawarah yang diterapkan saat ini.

Skripsi dengan Judul: Al-Sultah Al-Tasyri’iyyah di Indonesia: Studi Terhadap Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD’1945. Oleh Ihdi Karim

(19)

Dalam buku Hukum dan Kuasa Konstitusi karya Arifin Firmansyah dkk, dijelaskan tentang keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan, hukum acara, kewenangannya, dan buku ini juga merupakan kumpulan dari kegiatan seminar yang diambil dari kegiatan seminar dan diskusi public tentang RUU Mahkamah Konstitusi yang diselenggarakan oleh KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional ).

Dalam buku Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, dijelaskan tentang gagasan dan pemikiran Jimly Assyiddiqie dalam konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia kontemporer, konstitusi dan konstitusionalisme, negara, demokrasi dan lembaga politik, seputar amandemen UUD 1945. Buku ini mendokumentasikan perkembangan pemikiran tentang konstitusi dan ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945 yang kemudian diharapkan dapat berkembangnya pemikiran mengenai hukum, konstitusi, dan ketatanegaraan Indonesia.

Dalam buku Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, membahas tentang hukum tata negara dan kepemimpinan agama. Imamah

(20)

Dalam buku Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, yang ditulis oleh Ridwan HR, SH., M.hum. Berisikan tentang sejarah pemerintahan Islam dari periode khilafah nubuwah dilanjutkan khilafah rasyidah, sert atentang prinsip-prisnsip siyasah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.

Dalam buku Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, yang ditulis oleh M. Hasbi Amiruddin. Bahwa buku ini berisi tentang pemikiran ataupun gagasan Fazlur Rahman mengenai konsep negara Islam

Dalam skripsi tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Menurut UU No. 23 tahun 2003 dalam Perspektif Politik Islam yang ditulis oleh Sugiyono. Skripsi ini membahas tentang bagaimana konsep PEMILU untuk memilih khalifah (Presiden) menurut UU RI No. 23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam perspektif politik Islam.

Secara umum dan komprehensif tinjauan review dan pustaka diatas telah banyak menyinggung mengenai penerapan konsep pengangkatan atau pemilihan presiden atau khalifah serta membahas lebih sedikit tentang pemberhentian presiden.

(21)

Mengenai pedoman penulisan skripsi ini, penulis menggunakan “Buku Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah & Hukum.10 Penggunaan dari berbagai macam tinjauan pustaka ini untuk menjadi acuan dalam melaksanakan penulisan agar dapat mencapai tujuannya. Dengan adanya patokan diharapkan dapat membuat penulis dapat lebih mudah dalam melaksanakan penulisan skripsi.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari buku-buku, artikel-artikel, makalah, majalah, koran serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diangkat.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan, yaitu dengan membaca buku atau literatur yang relevan dengan topik masalah dalam penelitian ini.

10

(22)

3. Sumber Data

a. Data Primer, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan penulisan antara lain UUD 1945, UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan buku-buku lain yang berkaitan dengan bahasan penulisan. b. Data Sekunder yang Penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu

artikel-artikel dan makalah-makalah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Teknik Analisis Data

[image:22.612.111.530.102.525.2]

Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas hingga menemukan jawaban yang diharapkan.

5. Teknik Penulisan

(23)

F. Sistematika Penulisan

Bab I: Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan teknik penulisan, sistematika penulisan.

Bab II: Tinjauan umum tentang pengertian impeachment dalam perspektif politik Islam, alasan-alasan terjadinya impeachment dalam Islam, institusi yang berwenang melakukan impeachment dalam Islam mekanisme impeachment menurut perspektif politik Islam.

Bab III: Lembaga Kepresidenan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terdiri dari, pemerintahan presidentil, Presiden dan Wakil Presiden, syarat-syarat Presiden dan Wakil Presiden, kewenangan Presiden.

Bab IV: Analisis proses impeachment menurut UUD 1945 hasil amandemen yang mencakup mekanisme dan alasan-alasan impeachment menurut ketentuan UUD 1945 hasil amandemen, proses pembuktian MK, dan MPR, serta analisis.

(24)

BAB II

IMPEACHMENT DALAM PERPEKTIF POLITIK ISLAM

Sebelum membahas lebih dalam tentang impeachment dalam Islam, perlu diketahui bahwa, Impeachment berasal dari kata impeach yang dalam bahasa Inggris sinonim dengan kata accuse atau charge yang berarti menuduh atau mendakwa. Impeachment merupakan sarana yang memberikan kemungkinan dilakukannya pemberhentian seorang Presiden atau Pejabat Tinggi Negara (a public official) dari jabatannya itu berakhir.11

Impeachment adalah tindakan politik dengan hukuman berhenti dari jabatan

dan kemungkinan larangan untuk memegang suatu jabatan, bukan hukuman pidana (criminal conviction) atau pengenaan ganti kerugian perdata.12

A. Impeachment Dalam Perspektif Politik Islam

Impeachment dalam Islam dapat diartikan di dalam pengertian al-khalla’

(pencopotan); adalah mencabut, memecat, menelanjangi, menyingkirkan. Ibnu Manzur mengatakan, kata mencopotnya sama pengertiannya dengan mencabut-nya; hanya saja di dalam istilah pemecatan terkandung makna “penangguhan atau

11

Achmad Roestandi., Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), Cet I, h. 168

12

(25)

proses secara perlahan”. Dengan demikian, istilah al-khalla’ (“pencopotan”) ini erat kaitannya dengan an-nakstu (“pelanggaran”). Jadi istilah pelanggaran dan pemecatan terkandung pengertian “tipu daya muslihat”. Dan di dalam syara’ atau

hukum, istilah tersebut tidak diperkenankan.13

Di dalam shahih Muslim, Abu Hurairah ra meriwayatkan sebuah hadits Bahwa Rasulullah SAW bersabda:

334

3&

35

3%

37

8

36

6

6

9:

3;

9<=

3

3ﻡ

<

3

3%

3ی9

6>

6<?

39

<9

3

3%

3@

8.

9

<9

33

6

9

33A

BC

3<

9B

3

6D

B

3

3&

3

9E

<

3ﻡ

F!

<9

3G

3&

<H

93

6(

6

3ﻡ

<

9

<

I

<

9

<J

3

3

6D

B

3

3

3

6D

K&

<

<

9

3(

F

3

9(

3L

9

3(

9'

<3

3M

3

3N

3

6

<

3%

30

3ﻡ 3A

<

37

3@

J

3

3.

3A

3

3'

IL

3

3J

3

6O

3:

3

3&

3P

9

<

3Q

<

3R

J

3

3

6D

B

3

3

<

3ﻡ

K;

3%

6ی3

6(

6

<

I%

6

6L

9ﻥ3

J

3<T

9*

3

9

3

6-<ﻡ

9

3

3<

"

J

3<

9*

39

9(

<

6

<ﻡ

9

3

3

9

<N

)

-(

14

Artinya: “Ada tiga orang yang tidak akan berjumpa dan berbicara kepada Allah di hari kiamat kelak, tidak disucikan dan bagi mereka siksa yang amat pedih, yaitu: orang yang tidak mau memberi minum orang dalam perjalanan (musafir) padahal ia kelebihan air, orang yang membai’at seorang pemimpin karena pertimbangan duniawi semata (hanya dilaksanakannya jika menguntungkan dirinya); orang yang berjual beli suatu barang sesudah Asar, lalu ia bersumpah demi Allah, sungguh barang itu telah ditawar sekian dan sekian, lalu ia dibenarkan (oleh pembeli) maka ia (pembeli) mengambil (membeli)-nya sedangkan ia (yang bersumpah) tidak di tawar senilai itu pada barangnya”. (H.R. Muslim)

13

Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Prespektif Sunnah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm.191-192

14

(26)

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, al-khalla (pencopotan) dapat dikatakan dengan pemecatan atau bisa disebut juga dengan pemakzulan, namun di dalam ketatanegaraan Indonesia lebih dikenal dengan sebutan pemberhentian.15

Yang dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia terdapat tiga Presiden (Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid) yang berhenti sebelum masa jabatannya berakhir. Soekarno dan Abdurrahman Wahid karena melanggar konstitusi, sedangkan Soeharto mundur secara sepihak, karena mendapat tekanan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia (people power).16

B. Alasan-alasan Terjadinya Impeachment dalam Perspektif Politik Islam

Jika seseorang menduduki kepemimpinan negara Islam tidak berarti bahwa ia tetap akan menjadi kepala negara tanpa ada yang boleh menggangu gugat, apapun yang terjadi, dan apapun yang ia taklukan meskipun bertentangan dengan syariah Islam.17 Khalifah secara otomatis akan diberhentikan, manakala terjadi perubahan keadaan di dalam dirinya dengan perubahan yang langsung mengeluarkan dari jabatan khilafah.

15

Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Prespektif Sunnah, h. 193

16

Iwan Permadi, Jurnal Konstiusi, h. 131

17

(27)

Khalifah juga wajib diberhentikan apabila terjadi perubahan keadaan dalam dirinya walaupun perubahan tersebut tidak langsung mengeluarkannya dari jabatan khilafah, namun menurut syara’ dia tidak boleh melanjutkan jabatannya18. Para Yuris Muslim menyebutkan bahwa integritas pribadi (al-adalah) yang rusak dan cacat fisik, merupakan alasan yang sah diberhentikannya kepala negara. Alasan lain berhentinya seorang khalifah adalah karena meninggal dunia, pengunduran diri, tertawan musuh, murtad, hilang akal karena pikun atau gila. Abdul Qadim Zallum membuat dua klasifikasi pemberhentian khalifah:

1. Perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari jabatannya, yaitu terdiri dari;

a) Kalau khalifah murtad dari Islam19: Apabila imam keluar dari agama Islam riddah (seperti jika ia secara terus terang mengeluarkan kata-kata kufur atau mengingkari salah satu prinsip agama Islam, atau mendustakan Al-Qur’an atau menafsirkan ayat Al-Qur’an menurut seleranya sendiri dan bertentangan dengan maksud yang disepakati, atau melakukan perbuatan yang jelas-jelas menunjukkan kekufuran maka dengan sendirinya keabsahan imamah-nya telah gugur.20 Karena Islam

18

Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam; doktrin sejarah dan realitas empirik; Terjemah dari Moh. Mahfud Wachid, Kitab Nidhamul Hukmi fil Islam, Cet I, (Bangil: Al-Izzah, 1996), h. 135

19

Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), h. 275

20

(28)

merupakan hal salah satu syarat pengangkatan khilafah. Bahkan ini merupakan syarat yang pertama kali dan syarat untuk bisa terus menjadi khilafah. Siapa saja yang murtad dari Islam, dan menjadi kafir, maka wajib dibunuh kalau dia tidak kembali dari kemurtadannya. Karena orang kafir itu tidak boleh menjadi penguasa atas kaum muslimin. Demikian orang kafir tidak diperbolehkan untuk memiliki jalan untuk menguasai orang-orang mukmin.

Hal sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut: Pertama, Firman Allah SWT:

! "# $% & ' ( )* +, # -./0% 1 +

23 45 6

7689

-' (

)* +,

:;< ) =)>

-:?@6 A / BCD - +

"# $%

E B % FD: G

H

 : J

KLMN O P Q.D5 8R1: # + ST./:U J H

23 45 6

V@  E B % - Y

Z ? L.[

1 ! U V WVW 2

(29)

Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.

Kedua, Firman Allah SWT:

Q\]^+_`5

' ( N %

' /? +,

' /? +, +

b F[c3 Ve_+f, +

g h!i

)* B %

' j kC l5 B 

V

, ) &

@+m83 V@e 1

&

Rb F[c3 +

1 j kN

B % / &

Y ?: +

239"!. G

.n o ;

p 3."

F#q>Cr+, +

Z + _ 

1 ! U V XY 2

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Maka kata minkum (dari kamu sekalian) bersamaan dengan kata ulil amri tersebut merupakan pernyataan yang tegas, tentang adanya syarat Islam

(30)

akan kembali menjadi khalifah kaum muslimin sehingga hukum menta’atinya menjadi tidak wajib.

b) Kalau khalifah gila total (parah) yang tidak bisa disembuhkan21/ hilang akal; apabila imam kehilangan akal atau terganggu mentalnya sehingga membuatnya gila dalam waktu pendek atau lama maka imam dalam hal ini keluar dari imamah dan berhak diberhentikan.22 Hal itu, karena memang akal merupakan salah satu syarat pengangkatan jabatan khilafah, disamping hal itu juga merupakan syarat keberlangsungan akad (syurt istimrar) hal ini berdasarkan sabda Rasullulah SAW:

Artinya: “Telah diangkat pena itu atas tiga orang: …Orang gila, hingga sembuh.” Dalam riwayat lain: “Orang gila, yang kesadarannya, hingga sembuh”.

Siapa saja yang diangkat pena atasnya, maka dia tidak sah untuk mengurusi urusannya sendiri, maka tentu dia juga tidak boleh tetap menjadi khalifah yang mengurusi urusan orang-orang. Dan hal itu merupakan sesuatu yang lebih jelas — karena mengurusi urusannya sendiri saja tidak boleh, apalagi mengurusi urusan orang lain.23

21 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275

22

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 174

23

(31)

c) Kalau khalifah ditawan musuh yang kuat24, yaitu jatuh di bawah kekuasaan dan cengkraman musuh, ia digerakkan olehnya semaunya sehingga tidak bisa mengatur lagi urusan kaum muslimin sebagaimana yang dikehendaki.25

2. Perubahan keadaan khalifah yang tidak secara otomatis mengeluarkannya dari jabatan khalifah namun dia tidak boleh mempertahankan jabatannya yaitu terdiri dari:

a) Khalifah telah kehilangan ‘adalah-nya, yaitu telah melakukan kefasikan terang-terangan. Hal itu karena memang ‘adalah merupakan salah satu syarat keberlangsungan akad pengangkatan khilafah. Karena ketika Allah SWT telah mensyaratkan ‘adalah (adil) pada saksi, maka syarat tersebut justru lebih utama bagi keberkangsungan akad pengangkatan jabatan khalifah.26

b) Khalifah berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau waria.27 Hal itu karena salah satu syarat akad pengangkatan jabatan khilafah, bahkan menjadi syarat keberlansungan akadnya adalah laki-laki. Karena adanya sabda Rasulullah SAW:

24

Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275

25

Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 139

26

Ibid, h. 137

27

(32)

Artinya: “Tidak akan pernah suatu kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita”.28

c) Khalifah menjadi gila namun tidak parah, terkadang sembuh terkadang gila.

d) Khalifah tidak lagi dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai khalifah karena suatu sebab, baik karena cacat anggota tubuhnya atau karena sakit keras yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya.

e) Adanya tekanan yang menyebabkan khalifah tidak mampu lagi menangani urusan kaum Muslimin menurut pikirannya sendiri, yang sesuai dengan hukum syara’. 29

C. Institusi Yang Berwenang Melakukan Impeachment dalam Perspektif

Politik Islam

Dalam hal ini, Islam tidak menentukan institusi mana yang berwenang melakukan impeachment (pemberhentian) Presiden. Namun menurut pendapat Abdul Rashid Moten, institusi yang berwenang melakukan impeachment Presiden ada 3:

28

Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 139

29

(33)

1. Mahkamah Mazhalim

Mahkamah Mazhalim adalah lembaga peradilan yang dimaksud untuk merealisir keadilan di tengah kehidupan masyarakat, yang fungsinya untuk menegakkan hukum di wilayah kekuasaan negara, atau sebagai media untuk mengimplementasikan ajaran Islam di bidang penegakkan dan perlindungan hukum.

Di dalam Al-Quran disebutkan beberapa ayat yang mengatur tentang keadilan dan penegakkan dan perlindungan hukum, di antaranya;

0 1

3% _ +,

' +m8 /

s5 B5 %!i V@e 1

.U 6 t+,

; 1 +

*!CD .r

E

0 0B

+,

' FD : +%

RbC^./: G

0 1

v / -K /

4w r

0 1

D/? 4 x

B 39 ) ! U V XZ 2

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.

Q\]^+_`5

' N %

(34)

9>K4-+, ++,

< : .^ o :

E 3: !i +

G 1 z

J? N {

++, B 3R1 H GV@e ++, .D\| ' S

' / n ! 

l M} ~

+,

' ^ / 

G 1 +

' 4•€ 6 

++,

' K•23 //

0

.D /6.D / 

B 3 L." 1 ! / V W[X 2

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.

< +, + Cr

A‚ B O .D

b l-+, H

Sƒ + C„ n…v 

/t t+,

/t † ? @ +

+,

]‡ B !:4 #  ˆ‰ / % b l-+, H .n:? 1 ' '  @6 A v`-+, F^ 23 H +, \"‹O9  ˆ‰ / n

\| -/;

0 1 +

B 3 Œ "# $% 0 0B K19>5 4 1 H L\ / X VY 2

(35)

Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.

Dalam ayat-ayat Al-Qur’an ini tidak ditentukan bahwa keadilan dan perlindungan hukum itu harus dilakukan dengan sistem kelembagaan atau individu yang diserahi kekuasaan tertentu. Dalam perspektif hukum Islam, sesungguhnya yang penting bukan saja bagaimana keadilan dan perlindungan hukum itu diwujudkan di tengah kehidupan masyarakat, tetapi apakah keadilan dan perlindungan hukum itu dapat direalisir dalam kehidupan manusia secara efektif dan efisien.

Mahkamah mazhalim merupakan lembaga yang bertugas memberikan penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan hukum, dan memutuskan perkara. Dalam pelaksanaannya, lembaga ini dijalankan oleh tiga pelaksana peradilan, yakni;

Hakim, 2

"

=

1, yang bertugas memberi penerangan dan pembinaan

hukum, menyelesaikan sengketa, perselisihan dan persoalan wakaf. Muhtasib, yakni pelaksana hisbah atau yang bertugas melaksanakan amar ma’ruf nahy munkar, menegakkan ketertiban, mencegah terjadinya

(36)

menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputus oleh Qadhi dan Muhtasib atau menyelesaikan perkara banding.30

Oleh karena itu, apabila kepala negara tidak memenuhi syarat sebagai kepala negara dan telah memiliki kriteria akan adanya alasan-alasan yang dapat memberhentikannya maka institusi atau lembaga yang berhak memberhentikannya adalah Mahkamah Mazhalim.

Mahkamah Mazhalimlah yang paling berhak menentukan keputusan (memvonis berhenti dan tidaknya), kalau memang keadaan khalifah telah mengalami perubahan yang bisa mengeluarkannya dari jabatan khilafah. Dia juga yang memiliki wewenang untuk memberhentikan atau memberi peringatan kepadanya.

Hal itu dilakukan kalau terjadi salah satu dari beberapa hal yang menyebabkan diberhentikannya Khalifah, sementara dalam hal ini yang berhak memberhentikannya adalah Mahkamah Mazhalim. Beberapa hal itu harus dihilangkan, dimana dia merupakan hal-hal yang harus ditetapkan, dan untuk menetapkannya harus diputuskan oleh seorang qadli.

Begitu pula wewenang qadli mazhalim untuk memberhentikan khalifah itu adalah wewenang menjatuhkan vonis untuk menghilangkan kedzaliman. Sebab kalau salah satu kondisi yang bisa menjadikan seorang khalifah diberhentikan atau kondisi yang menjadikannya wajib diberhentikan

30

(37)

itu ada, maka kalau kondisi itu tetap ada itu merupakan suatu kedzaliman. Karena Mahkamah Mazhalimlah yang bertugas memberhentikannya (agar kedzaliman itu hilang). Karena itu sesungguhnya vonis Mahkamah Mazhalim untuk memberhentikan khalifah tersebut hanyalah vonis untuk menghilangkan kedzaliman. Oleh karena itu, Mahkamah Mazhalim memiliki wewenang untuk memutuskan apapun bentuk kedzaliman itu.31

Karena Mahkamah Mazhalimlah yang berhak memutuskan hilangnya kedzaliman-kedzaliman tersebut, dimana qadhi mazhalimlah memiliki wewenang untuk menetapkan kedzaliman serta keputusan terhadapnya, maka Mahkamah Mazhalimlah yang juga berhak menentukan kalau salah satu keadaan tersebut telah terjadi atau tidak. Termasuk dialah yang berhak menentukan pemberhentian Khalifah.

Hanya saja, kalau Khalifah mengalami salah satu keadaan ini, lalu dia mengundurkan diri, maka masalahnya selesai. Sedangkan kalau kaum muslimin berpendapat, bahwa dia wajib diberhentikan karena keadaan itu telah terjadi, maka keputusannya harus dikembalikan kepada qadli.

Berdasarkan firman dari Allah:

Q\]^+_`5

' ( N %

' /? +,

' /? +, +

b F[c3 Ve_+f, +

g h!i

)* B %

' j kC l5 B 

V

31

(38)

, ) & @+m83

V@e 1 &

Rb F[c3 +

1 j kN

B % /

&

Y ?: +

239"!. G

.n o ;

p 3."

F#q>Cr+, +

Z + _ 

1 ! U V XY 2

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Maksudnya, kalau kalian berselisih dengan pemimpin kalian, di mana perselisihan tersebut merupakan perselisihan antara umat dengan pemimpin, maka mereka harus mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya itu berarti mereka harus mengembalikannya kepada qadli, yaitu mahkamah mazhalim. 32

2. Dewan Kepemimpinan

Semua kekuasaan yang dinikmati oleh peradilan madzalim diserahkan kepada dewan hukum agung dalam konstitusi Republik Islam Iran yang disetujui oleh 98,2 % mereka yang mempunyai suara dan diimplementasikan pada tahun 1979. Meskipun konstitusi tersebut memberikan kepada dewan hukum kekuasaan untuk menentukan kasus presiden yang menyimpang dari

32

(39)

ketentuan konstitusi, kekuasaan untuk menuntut impeachment presiden diserahkan diluar batas hukumnya.

Kekuasaan ini diberikan ke vilayat-e-faqih, yang terdiri dari pimpinan dewan pimpinan. Pasal 5 konstitusi Iran 1979, yang mewujudkan prinsip-prinsip pemerintahan Islam syi’ah, menegaskan bahwa;

Selama ghaibnya wali al- asr (pemimpin zaman) (semoga Tuhan mempercepat penampakannya kembali), wilayah dan kepemimpinan umat berpindah kepada faqih yang adil (a’dil) dan bertaqwa (muttaqin) yang benar-benar menyadari keadaan masanya; berani, banyak akal, dan memiliki kecakapan administratif; diakui dan diterima sebagai pemimpin oleh mayoritas masyarakat; dalam peristiwa di mana tidak ada faqih yang diakui oleh mayoritas, pimpinan/ dewan kepemimpinan.

Konstitusi tersebut memberikan terhadap vilayat al-faqih sebagaimana menurut pasal 110, kekuasaan terdiri dalam pemerintahan, menjadikan jabatan-jabatan kepresidenan terpilih dan parlemen sebagai sub-ordinasi bagi wilayat al-faqih. Berkaitan dengan kepresidenan, fungsi-fungsi dewan meliputi;

a. Menandatangani keputusan yang merumuskan pemilihan presiden republik oleh masyarakat.

(40)

atau karena satu suara. Majelis permusyawaratan nasional melihat ketidak mampuan politiknya (pasal 110 ayat 4&5).33

3. Majelis Syura’

Menurut Fazlur Rahman, kata syura’ berasal dari kata kerja syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan menyatakan atau mengajukan dan

mengambil sesuatu. Bentuk lain dari kata syawara adalah tasyawara, artinya berunding, saling bertukar pendapat; syawir, yang artinya meminta pendapat atau musyawarah. Dalam konteks budaya Indonesia, syura’ dalam bentuk institusi disebut majelis syura.

Syura’ mempunyai arti sangat penting dalam organisasi apapun atau

jama’ah manapun. Setiap negara maju memusatkan perhatian pada asas musyawarah dan mengajak rakyatnya untuk mencapai keamanan dan ketentraman, keberhasilan, dan kebahagiaan. Sebab musyawarah adalah jalan yang benar untuk mencapai pendapat dan solusi yang lebih bijaksana baik untuk kemaslahatan individu maupun kelompok serta Negara, bahkan internasional. Maka tidak mengherankan jika Islam sebagai agama Rabbani begitu besar perhatiannya pada asas musyawarah alias syura’ sehingga salah satu surat Al-Quran ada yang dinamakan surat asy-Syuura. Surat ini berbicara tentang sifat-sifat orang mukmin yang diantaranya menjadikan kehidupan

33

(41)

orang-orang mukmin berdiri diatas asas syura’, bahkan urusan mereka seluruhnya adalah musyawarah di antara mereka.

Syura (musyawarah) merupakan sebuah prinsip dalam Islam yang hampir semua umat Islam mengakui urgensitasnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara etimologi musyawarah mempunyai arti nasehat, konsultasi, perundingan, atau konsideran pemufakatan. Sedangkan secara terminologi berarti majelis yang dibentuk untuk mendengarkan saran dan ide sebagaimana mestinya dan terorganisir dalam urusan negara.34

Di zaman modern, para pemikir kontemporer seperti Rasyid Ridho dan lain lain, telah mendukung penggantian syura pemerintahan Islam awal dengan badan perwakilan (legislatif) rakyat yang dipilih melalui sistem pemungutan suara modern. As-Sayyid Al-Maududi secara aktual menegaskan bahwa legislatif adalah apa yang dalam terminologi fiqh lama dikenal dengan ahlul halli wal aqdi, mereka juga setuju mendudukkan eksekutif kepada

kebanyakan keputusan legislatif. Mereka mendapat dukungan, dalam hal ini dari para pemikir muslim modernis semisal Fathur Rahman yang berpendapat bahwa; karena pelanggaran penting terhadap kepercayaan masyarakat, kepala pemerintahan dapat dipecat setelah nilai suara legislatif yang besar menentangnya.35

34

Sugiyono, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Menurut UU No. 23 Tahun 2003 dalam Perspektif Politik Islam, (Jakarta, 2006), h. 12-13

35

(42)

Indikasi atas pentingnya musyawarah dalam ayat Al-Quran adalah bahwa asas ini dibarengi dengan kewajiban shalat, shadaqah (zakat), dan menjauhi perbuatan keji. Allah SWT berfirman:36

ی A n • =:U J <Ž`5 L

 :*s•

q ro 4: +

; 1 + %

' L97 {

/t +3 4:) . + '  .‘ =)[ \‚| 3 ' % +, + @MG @6’ /t3:%+, + l †

A‚ B O “D % +

FU5 B: .” †

K1 4B 1 ] :^ / V_ [Z -[` 2

Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan bagi orang-orang yang apabila mereka dipelakukan dengan zhalim, mereka membela diri”.

Indikasi lain bahwa Al-Qur’an telah mencatat aplikasi Syura’ agar memberi manfaat bagi kehidupan empiric, dalam mencari solusi atas masalah-masalah yang mereka alami. Allah SWT dalam hal ini berfirman:

F o o : +

"# /9• 3

“#/t.^5 ++,

< • .r

< E@6 %

' C#.D

.8 †+,

+, 0jRk

Q  q•c3

G V@  +

8 Q- Y

•, “#FU/ :”†

“#\/ )> +

36

(43)

9 +3 /Q- Y G

F `6 /

c:4 -˜ƒ 1 .U./)[+ G Sƒ c† S7/

™M o +

.t Sƒ + p8 % •r w@ G

V@  +

•† :

T š %

.n o ;

.8 †+,

5ƒ q

# 

e› 3 

v\ œ $%

†+ •  +

S

.. MNž

.D\ @6 

1 + Ÿ8 †+,

+,

' ( /9• )>@T

.^5 ++,

S .. Bž :?@6 A ; 1 !CD`6.[ 0% j k:? 

9 + O /Q- Y

' K10 +

' ( FD@6C +

0 +, M4

/6 v /  p 39 1 H = / _ _[[ 2

(44)

Nabi Muhammad sendiri disuruh oleh Al-Qur’an dalam surat Asy-Syura ayat 159 untuk memutuskan setelah berkonsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat.37

.D L nQ.DCr † "# $% & qsB FU ' + qsN ¡K

? 6 {

R6 6 1:

' †7 4-œƒ

C# %

.n .r

'

F C

\ œ 

3 4:) =)[ +

}r~

/t †+ +

V g h!i ' ; qs:%"¢  T = V@  & G 0 1 O6 J

• £ =FD:

1 * / [ WXY 2

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai rang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Musyawarah sebagai salah satu prinsip negara dan pemerintahan Islam memiliki kedudukan penting dan strategis dalam kehidupan umat manusia.38 Dalam konteks budaya Indonesia, syura’ dalam bentuk institusi disebut dengan Majelis Syura’. Nama populer untuk majelis ini yang

37

Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 290

38

(45)

digunakan oleh lembaga negara Indonesia adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat atau badan legislatif.39

Dengan melihat pada petunjuk Nabi SAW sebagai kepala negara Islam di madinah-dalam menjalankan pemerintahan dan syura; pada contoh yang dilakukan oleh al khulafa ar-Rasyidin, pada generasi terdahulu yang menjalankan pemerintahan dan syura’ dapat dikatakan batasan-batasan fungsi majelis syura’:

a. Memililih kepala negara dan mencalonkannya: Ahli syura’ dalam negara Islam melakukan pemilihan kepala negara dalam pemilihan awal, membai’atnya dengan bai’at khusus, kemudian memaparkan kepada umat untuk memperoleh bai’at umum.

b. Membantu kepala negara dalam menangani urusan negara, menyelesaikan persoalan-persoalan ummat, seperti perang, pengesahan perjanjian, membuat perundang-undangan yang bersifat ijtihad-lah dan pelaksanaan hukum-hukum syariah.

c. Mengontrol kepala negara dan para pejabat tinggi lainnya seperti gubernur dan mentri.

d. Memberhentikan kepala negara atau pejabat tinggi yang dipilih oleh majelis syura’. Karena yang memilih kepala negara adalah majelis syura’, juga membai’atnya atas dasar akad bai’at antara kedua belah pihak;

39

(46)

kepala negara dan majelis syura’ yang mewakili umat ini, maka majelis syura’ berhak memberhentikan kepala negara. Dalam akad ini terdapat

kewajiban bagi kepala negara dan juga ditetapkan hak-haknya. Apabila ia meninggalkan kewajiban maka ahli syura’ memberi nasehat. Jika nasehat ini dilaksanakan maka ia disambut baik, tetapi jika tidak, melainkan tetap melanggar kewajiban maka ahli syura’ berkewajiban untuk memecatnya dan mengumumkan pemberhentiannya itu dari jabatan kepala negara kepada umat.40

Apabila terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh seorang khalifah, para ulama dan cendikiawan Muslim berpendapat bahwa khalifah semacam itu harus diberhentikan dari jabatannya sebagai kepala negara atau pimpinan eksekutif.

Al-Ghazali mengajukan 2 macam bentuk kekuasaan khalifah yang harus diberhentikan, yaitu:

a) Khalifah Zhulm, yaitu khalifah yang menjalankan politik tirani yang bertentangan dengan keadilan dan kehendak rakyat.

b) Khalifah Ghair al-Syaukah, yaitu khalifah yang tidak mampu menjalankan kebijakan politik yang adil, yang digariskan oleh syariat dan rakyat.

40

(47)

Kedua macam penguasa ini akan merusak negara dan agama. Karena itu, ia harus diberhentikan.

Jadi wajar apabila Majelis Syura’ (lembaga legislatif) sebagai penjelmaan wakil rakyat, berhak untuk mengangkat seorang khalifah yang dianggap cakap dan memenuhi kriteria. Jika khalifah itu melakukan penyalahgunaan kekuasaan, Majelis syura’ berhak pula untuk memberhentikannya.41 Apabila Majelis Syura’ menilai khalifah telah melakukan pelanggaran terhadap syariat, konstitusi, dan perundang-undangan lainnya.

Orang yang harus menilai situasi tersebut—tentang sudah atau belum terjadinya kemurtadan pada pihak penguasa—adalah ulama yang dari kalangan ahlu-halli wal-‘aqdi (majelis syura’). Menurut al-Juwaini, merekalah yang berhak mencopot penguasa. Itulah kondisi atau syarat pertama yang memperbolehkan umat Islam menuntut pencopotan kekuasaan imam.42

Dalam hubungan ini, konferensi para ulama dan para cendikiawan muslim yang mewakili semua aliran, Sunni dan Syi’ah, yang diselenggarakan pada tanggal 21 sampai dengan 24 Januari 1951 dari Karachi, Pakistan, memberi rekomendasi sebagai berikut: Lembaga (dalam hal ini Majelis

41

Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h. 178-179

42

(48)

Syura’) yang diberi kuasa memilih kepala negara (khalifah), juga memiliki kekuasaan untuk memecatnya atas dasar suara mayoritas.43

D. Mekanisme Impeachment Menurut Perspektif Politik Islam

Mengenai mekanisme impeachment, dalam Islam tidak ditemukan penjelasannya secara eksplisit dan meyakinkan. Namun dalam kitab-kitab fiqh al-siyasah setidaknya ditemukan beberapa cara atau mekanisme pemberhentian presiden;

Pertama, sekelompok ulama Ahli Sunnah, Khawarij, Mu’tazilah,

Zaidiyah, dan para ulama murjiah berpendapat wajib mengangkat senjata untuk memberhentikannya. Cara inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan sall as-saif (menghunuskan pedang).44 Golongan Khawarij berpendapat, ’Imam yang telah berubah perilaku baiknya dan menyimpang dari kebenaran, maka ia wajib dipecat atau dibunuh’. Abu Hanifah mendukung pendapat ini. Ia mengatakan bahwa keimaman seorang zalim bukan saja batal, tetapi lebih dari itu, dibolehkan melakukan pemberontakan terhadapnya, bahkan seyogyanya hal itu dilakukan dengan syarat pemberontakan itu memiliki faktor-faktor untuk dapat berhasil dan berfaedah dengan seorang yang adil dan baik sebagai pengganti orang yang zalim dan fasik, dan bukan semata-mata memecah belah kekuatan dan menghilangkan

43

Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Prespektif Sunnah h. 191

44

(49)

nyawa. Abu Hanifah berpendapat bahwasanya memberontak terhadap pimpinan negara yang tidak sah adalah sesuatu yang dibenarkan dalam syari’at. Pendapat ini mendapat dukungan dari fuqaha lainnya seperti Sa’id bin Jubair, al-Sya’bi, Ibnu Abi Laila, dan Abdul Bukhturi. Juga para qurra berdiri di pihaknya.

Abu ya’ala juga percaya bahwa kontrak imamah tidak dapat dibubarkan selama tidak ada alasan-alasan yang sah. Kepala Negara harus meletakkan jabatannya apabila merasa telah memiliki kekurangan yang permanent, tetapi selama mampu melaksanakan tugas-tugasnya sebagai kepala Negara (Presiden), ia tidak boleh meletakkan jabatannya. Al-Juwayni beranggapan bahwa, kalau kepala Negara tidak bermoral dan menyimpang dari akhlak yang baik, maka ia boleh turun; tetapi apakah orang lain harus atau dapat memberhentikannya diperlukan ijtihad dalam kasus seperti ini. Ironisnya ia juga menganggap bahwa kepala Negara boleh meletakan jabatannyakapan saja ia mau.45

Ibnu Hazm mengemukakan bahwa sebagian besar Ahli Sunnah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Zaidiyah memandang bahwa mengangkat senjata dalam amar ma’ruf dan nahi munkar adalah wajib jika mencegah kemungkaran itu tidak ada jalan lain selain dengan senjata. Pendapat itu mengacu pada sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits panjang yang berbicara mengenai sebab-sebab Bani Israil mendapat laknat Allah SWT; “Sekali-kali tidak, demi Allah, sungguh kamu mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang

45

(50)

munkar. Kemudian sungguh-sungguh kamu mencegah perbuatan orang zalim,

menggiringnya dengan gigih pada kebenaran, dan mengajaknya pada jalan

kebenaran-tanpa memberi peluang pada jalan kesesatan-atau jika tidak demikian

niscahya Allah akan mencampur aduk hati sebagian kalian dengan sebagian

lainnya kemudian menimpakan laknat terhadap kalian seperti laknat terhadap

mereka (Bani Israil)”.46

Secara umum Ahlusunnah melihat pada dua pertimbangan: Pertama, akibat negatif menggunakan kekuatan senjata. Kedua, adalah akibat negatif dari kelanjutan imam yang fasik pada kekuasaannya. Mereka lebih condong untuk memilih akibat buruk yang lebih kecil. Apabila pemberhentian menimbulkan fitnah yang lebih besar maka tidak dibenarkan mengangkat senjata terhadapnya.

Para ulama Ahlusunnah yang berpendapat demikian diantaranya ialah Al-Aiji, ia mengemukakan bahwa umat harus memberhentikan imam bilamana terdapat alasan yang mengharuskan demikian, akan tetapi jika menimbulkan fitnah maka yang diambil adalah akibat buruk yang lebih kecil. Sedangkan Al-Kamal bin Abu Syarif mengemukakan bahwa pada dasarnya imam tidak dibenarkan diberhentikan akan tetapi berhak diberhentikan manakala kelangsungan imamah-nya menimbulkan fitnah.47 Sementara itu, Ibnu Taimiyah selaku pemikir besar dan berpandangan luas mendukung sikap ini dengan alasan

46

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem politik Islam, h. 181

47

(51)

bahwa mwnjatuhkan seorang kepala Negara akan menggangu ketentraman di dalam masyarakat dan melemahkan persatuan umat. Karena Ibnu Timiyah berpendapat, bahwa keberadaan kepala Negara, meskipun zalim, lebih baik bagi rakyat daripada kalau mereka harus hidup tanpa kepala Negara. Dia meminjam suatu ungkapan bahwa enam puluh tahun dibawah kepala Negara yang zalim lebih baik daipada satu malam tanpa kepala Negara. Bahkan ia memberi dukungan kepada absolutisme yang tiada henti-hentinya. Demi ketentraman dan menjauhkan anarki ditengah masyarakat telah menjadi alasan utama untuk tidak menjatuhkan kepala Negara yang melakukan penyimpangan.48

Hal itu karena banyaknya hadits shahih yang mewajibkan ketaatan kepada Negara, sekalipun senantiasa melaksanakan kemungkaran, bertindak zalim, dan memakan hak-hak rakyat, selama tidak memrintah berbuat maksiat dan tidak jelas-jelas kafir.49 Imam Muslim telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda:

a ﺵ c d ﻡ ﻥ T ' O 7 e ^O ﻡ ﻡf ﻡ

D g ﻡ a ﻡ % O 1 ﻡ -2

50

Artinya: “Siapa saja yang melihat sesuatu (yang tidak disetujui) dari amirnya hendaknya bersabar. Karena tidak seorangpun yang meninggalkan jama’ah sejengkal saja kemudian mati, kecuali dia mati seperti jahiliyyah”. (H.R. Muslim)

48

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), CetV, h. 89

49

Abdul Qadim Zallum, System Pemerintahan Islam, h. 129

50

(52)

Kedua, untuk memberhentikan pemimpin adalah melalui apa yang diistilahkan pada zaman modern ini dengan civil disobedience (pembangkangan sipil). Cara ini dilakukan apabila umat merasa bahwa imam ini fasiq yang tidak takut dosa melakukan maksiat atau zalim, tidak layak menjadi imam. Umat-melalui wakil-wakil mereka menghadap kepadanyauntuk memberi teguran dan nasihat akan tetapi ia menolak dan menyombongkan diri. Maka dlam keadaan demikian tidak ada jalan lain selain memboikotnya dan juga orang-orang yang menjadi kroninya. Ketika itu ia merasa bahwa dirinya tercampakkan dari umat atau rakyatnya; kembali kepada kebenaran atau meletakkan jabatan. Pengertian ini diambil dari sabda Rasulullah SAW;

<-<L3< 6-9 83h693 K 3796ﻡ 9 679<ﻡ ]if3 9 3ﻡ J

< <ﻥ93 <<3 9 < 3g9 3ی 9 3 9*<3 J

< <93=<3 9 < 3g9 3ی 9 3 9*<3 * 3 9ی<j 6N3(9 3 3R<iQ3

)

6-93 3

B<9 6ﻡ

51

( Artinya, “Barang siapa diantara kamu melihat suatu kemunkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, dan jika ia tak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tak mampu juga maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman”. (H.R. Muslim)

Sebab pengertian mengingkari dengan hati tidaklah bersifat pasif tanpa memberikan reaksi konkrit terhadap pelaku kemungkaran baik penguasa maupun bukan penguasa, melainkan bersifat aktif yang berarti menolak kemungkaran dengan hatinya lalu tidak menyukainya dan tidak menyukai pelakunya serta memboikotnya: tidak makan bersamanya, tidak berhubungan dengannya dan

51

(53)

begitu seterusnya. Apabila setiap individu umat Islam melakukan demikian terhadap imam yang zalim dan fasiq maka tidak ada jalan lain baginya selain kejatuhan yang mengenaskan.

Pengertian inilah yang terkandung dalam sebuah hadits Rasulullah SAW yang dituturkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu kekurangan yang masuk pada Bani Israil adalah bahwa orang laki-laki bertemu orang laki-laki lalu berkata: “Mengapa itu kamu lakukan? Takutlah kepada Allah, tinggalkanlah apa yang kamu lakukan itu. Yang demikian tidak halal bagimu. “Kemudian berjumpa lagi esok harinya tetapi ia masih tetap melakukan apa yang diperingatkan kemarin. Yang demikian itu tidak menghalanginya menjadi teman makan dan minum serta bersahabat dengannya. Karean orang-orang Bani Israel melakukan demikian maka Allah mencampur aduk hati sebagian mereka dengan sebagian yang lainnya-yang baik dan buruk-kemudian berfirman; “Orang-orang kafir dilaknati….hingga pada firman-Nya ‘orang-orang fasiq’. Bahkan dalam hadits riwayat At-Thabrani terdapat sabda Rasulullah SAWl; “Pada akhir zaman terdapat umara yang zalim, para menteri yang fasiq, para jaksa yang penghianat, para fuqaha pembohong. Maka diantara

kalian mengalami zaman itu, janganlah sekali-kali menjadi petugas pajak

(54)

Ketiga, adalah bahwa masa jabatan imam lebih baik dibatasi hingga

jangka waktu tertentu. Jika imam melakukan perbuatan fasiq maka umat menghindarkan diri dari keburukannya dengan tidak memilihnya pada periode lain. Ini tampaknya menjadi cara yang baik untuk menghindarkan diri dari pemimpin yang fasiq dan zalim tanpa harus menumpahkan darah selain juga dapat menjadi ajang untuk menampilkan keahlian dan pengalaman yang orang-orang yang layak menjadi pemimpin umat.52

Dapat disimpulkan, bahwa Islam menolak ketidak pedulian dan sebagai gantinya, menegaskan kewajiban umat untuk tidak mentaati dan melawan pemimpin yang tidak memenuhi hukum Tuhan. Al-Quran juga mewajibkan ketaatan kepada mereka yang berkuasa. Namun ia juga mewajibkan kepada para pemimpin memenuhi syariah dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Kegagalan dalam hal-hal ini akan membenarkan jabatan dari posisi kekuasaan legislatif atau majelis as-syura’ dalam menjalankan dalam kekuasaan menuntut pertanggungjawaban harus mencari bantuan dari pengadilan untuk menyelidiki masalah dengan cara yang tidak memihak dan adil.53

52

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 184-185

53

(55)

BAB III

LEMBAGA KEPRESIDENAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK

INDONESIA (NKRI)

Salah satu unsur penting dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan adalah pertanggungjawaban dan pengawasan. Jabatan Presiden RI adalah suatu jabatan dalam tatanan negara berdasarkan paham kerakyatan. Karena itu harus ada pertanggungjawaban dan pengawasan. Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan “Presiden yang diangkat oleh Majelis bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis”. Dalam praktek ketatanegaraan yang berlaku, pengertian bertunduk dan bertanggung jawab tersebut tidak sekedar diartikan pengawasan, tetapi termasuk juga pemberhentian Presiden dari jabatannya.54

Semenjak amandemen 1, 2, 3, 4 Undang-Undang Dasar 1945 telah beralih dari system pemerintahan campuran kepada system pemerintahan presidential. Dalam sistem ini kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala Negara diorganisasikan ke dalam satu tangan dengan sebutan lembaga kepresidenan. Kedudukan Presiden dan Wakil Presiden dalam suatu institusi tersebut mempunyai tugas dan wewenang yang diatur dalam konstitusi ataupun

54

(56)

dalam peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya.55 Dalam rangka memperkuat sistem presidensial, pengaturan terhadap kekuasaan Presiden adalah suatu keniscahyaan. Selama ini yang terjadi tidak adanya legal (aturan) yang mengaturnya. Sehingga, tidak jarang sang Presiden berlindung di balik hak prerogatifnya.56

Yang dimaksud dengan lembaga kepresidenan adalah institusi atau organisasi jabatan yang dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 berisi dari jabatan, yaitu Presiden dan Wakil Presiden.57

A. Pemerintahan Presidentil

Sebelum memasuki penjelasan dalam sistem pemerintahan presidensil, telah kita ketahui bahwa Indonesia sebelum menganut sistem presidensil menganut sistem pemerintahan parlementer. Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri atau Presiden, dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem presidensil, di mana sistem parlemen dapat memiliki seorang Presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap

55

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), h. 59

56

Indria Samego, MA, Kita Butuh Undang-Undang Lembaga Kepresidenan, Majalah figur, edisi XI, Tahun 2007

57

(57)

jalannya pemerintahan. Dalam presidensil, Presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem parlementer Presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja.

Pada mulanya, tujuan dibentuknya parlemen bikameral itu memang biasanya dihubungkan dengan bentuk negara federal yang memerlukan dua kamar untuk maksud melindungi formula federasi itu sendiri. tetapi, dalam perkembangannya bersamaan dengan terjadinya kecenderungan tuntutan kearah desentralisasi kekuasaan dalam bentuk negara kesatuan sistem bicameral juga dipraktekkan di banyak negara kesatuan. dalam sistem pemerintahan parlementer, ada dua alasan utama yang sering digunakan untuk menerapkan sistem bicameral ini, yaitu; (a) adanya kebutuhan untuk menjamin keseimbangan yang lebih stabil antara pihak eksekutif dan legis

Gambar

gambaran secara jelas hingga menemukan jawaban yang diharapkan.

Referensi

Dokumen terkait

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui melalui pemilihan umum dan diatur

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih

SENGKETA ANTAR LEMBAGA PERADILAN HAKIM AGUNG : DIUSULKAN OLEH KOMISI YUDISIAL KPD DPR DISELEKSI DPR DITETAPKAN OLEH PRESIDEN KETUA DAN WAKIL KETUA MA DIPILIH DARI DAN

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu

1) Usul -pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu

“Usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu

Pasal 7 B ayat 1 menyebutkan: “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan