• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Islam Terhadap Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hukum Islam Terhadap Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI HAK ANAK

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: ABD MUKTADIR

107043202961

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Abd Muktadir. NIM 107043202961. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI HAK ANAK. Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2014 M. 78 halaman.

Masalah utama dalam skripsi ini adalah kesesuaian hak-hak anak yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak dengan hukum Islam.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang menjelaskan hak-hak anak dalam Keputusan Presiden nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak baik itu secara garis besar maupun secara terperinci berdasarkan isi kandungan yang kemudian ditinjau dengan analisis berdasarkan perspektif hukum Islam.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pengaturan perlindungan hak-hak anak dalam Keptusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 memiliki banyak kesesuaian dengan hukum Islam baik itu secara general maupun secara terperinci berdasarkan pokok-pokok pembahasan diantaranya; seperti hak pendidikan, hak perlindungan tindak kekerasan, dan hak perlindungan keluarga.

Kata kunci : Landasan Hukum, Konvensi, Hak-Hak Anak, Hukum Islam Pembimbing : Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M.A.

(6)

KATA PENGANTAR





Alhamdulillahi Rabbi al-‘Alamin, penulis ucapkan rasa syukur yang tiada

terkira kepada Allah SWT, yang telah menerangi, menuntun, dan membukakan hati serta pikiran dalam menyelesaikan setiap tahapan proses penyusunan skripsi ini.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Semoga kita mendapatkan syafa’at-nya kelak. Amin.

Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir dari penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Bapak Dr. H. JM Muslimin, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Khamami Zada, MA. dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., MA. selaku Ketua dan Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

3. Bapak Dr. A. Sudirman Abbas, MA. selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan hingga selesainya skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu, pengalaman dan mencurahkan tenaga serta pikirannya untuk mendidik kami. Sehingga menjadi insan yang bermanfaat.

5. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.

(7)

bimbingan serta motivasinya hingga penulis berhasil menyelesaikan studi di perkuliahan ini dari awal hingga akhir.

7. Buat kakak tercinta Nurul Inayah dan adik-adik yang selalu penulis banggakan, yaitu; Syamsul Mubarak, Nur Fahriani, Nur Sabriani, Nasrullah, Mansur Fahmi, Husnul Khatimah, dan Nurkhalisa Kurnia .

8. Buat para senior yang telah banyak mengajari bagaimana cara menghargai sebuah proses dan bimbingan mental sebagai anak rantau diantaranya; Taufiq Nur el Bugisi, Evan Prayudha, Abdullah, Alamsyah, Fadli, Burhanunddin Thomme, Rusydi Anwar, Andi Muslimin Alwi, Firmansyah, M. Nur, Sofyan MS, Ahmad Qomaeni, Tajuddin Kabbah, Zulkarnai Patunrangi, Rusmin Nuriadin, Faisal Muhclis, Nurhabibie Rifai, Ari, Fikri Syahril, Ust Syamsu, Azikin Nurdin, Ardiansyah Arsyad, Ardiansyah H. Manggawe, Shadikin Brek, Deni Arditya, Nandar CI, Bung Irwan, Ichsan, Yasir, Rio halide, bung Firmansyah,

9. Buat teman-teman yang banyak membantu penulis; M. Mashud Ali, Muhammad Hanafi, Muchibi, M. Novel, Hilman Shopi, Islah Farid, Ahmad Faqih, M. Helmi Fahkrazi, Rizki DP, Alfiah, Ade Yani, Miranda, Harun Mulawarman, A. Masnur, Munawir, Kahfi Solle, Ashari Alang Pabua, Darwis EB, A. Syafri, Abd Muaz. 10.Buat teman-teman IKAMI Sul-Sel, IAPIM, FriFor 206, Kelas PH 2007, KKN 80

Tahun 2010, Keluarga Besar Mahasiswa PMH, dan semua teman yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT sebagai bentuk amal kebaikan. Amin.

Jakarta, 30 Desember 2014 M 8 Rabiul Awwal 1436 H

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... LEMBAR PENGESAHAN ………. LEMBAR PERNYATAAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI ... .

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Studi Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ANAK A. Pengertian Hak-Hak Anak ... 14

B. Jenis-jenis Anak dan Hak-Haknya ... 18

C. Penyebab Tidak Terpenuhinya Hak-Hak Anak ... 40

D. Bentuk Kekerasan Terhadap Anak………. 45

(9)

BAB III KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN

1990 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI HAK ANAK A. Latar Belakang Lahirnya Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun

1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak ... 51 B. Isi Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan

Konvensi Hak Anak ... 56

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEPUTUSAN

PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG

PENGESAHAN KONVENSI HAK ANAK

A. Hak Pendidikan bagi Anak ... 59 B. Hak Perlindungan Anak dari Tindak Kekerasan ... 63 C. Hak Perlindungan Anak Dalam Keluarga ... 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 73 B. Saran ... 74

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dalam hukum Islam, secara naluriah setiap makhluk yang hidup di alam ini selalu berusaha untuk mendidik, membesarkan, dan melindungi anak-anaknya dengan rasa kasih sayang dan menerima anak sebagaimana mestinya. Karena setiap anak yang dilahirkan kedunia ini merupakan buah hati yang sangat dinantikan dan dirindukan oleh kedua orang tuanya, khususnya suami dan istri akan sebuah rumah tangga dan keluarga, tentunya harus melalui proses pernikahan yang sah menurut hukum yang berlaku.1

Setiap anak yang dilahirkan oleh seorang ibu merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus. Hal ini memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, selaras, dan seimbang.2 Oleh karena itu terhadap anak perlu dilakukan pendidikan, pembinaan, dan upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya agar pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan

1

Muhammad Fuad abdul Baqi, Al-Lu’lu’ wa al-Marjan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1996), Juz II, 1010.

2

(11)

2

sosial anak dapat terjaga dari kemungkinan-kemungkinan yang akan membahayakan mereka.

Hukum mengenai perlindungan anak sebagai suatu kajian di Indonesia adalah relatif baru, sekalipun kelahiran perlindungan anak itu sendiri telah lahir bersama lahirnya hak-hak anak secara Universal yang diakui dalam Sidang Umum PBB tanggal 20 November 1959 (Declaration of The Right of The Child) yang di dalam mukadimahnya tersirat kewajiban memberikan perlindungan yang terbaik bagi anak, dan dalam era pembangunan hukum yang mempunyai kaitan dengan kehidupan anak atau remaja, demi mencapai kesejahteraan bagi mereka.3 Dan berbicara mengenai perlindungan anak pada dasarnya tidak berarti baru ada setelah lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), sebelum lahirnya undang-undang ini, masalah perlindungan anak sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik secara umum atau secara khusus telah mengatur masalah anak.

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajiban secara seimbang dan manusiawi.4 Lebih jauh dari itu, setiap anak yang terlahir kedunia ini adalah terlahirkan dalam keadaan fitrah (suci), bahkan didalam segi ideologi atau paham kehidupannya semua akan terlindungi dengan jelas oleh orang tuanya.

3

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h. 5.

4

(12)

3

Masalah anak perlu mendapatkan perhatian serius baik oleh masyarakat luas maupun masyarakat ilmiah agar mereka mendapat perlindungan hukum yang layak. Memang harus diakui bahwa perlindungan hukum terhadap anak masih kurang jika dibandingkan dengan orang dewasa. Pemerintah Indonesia untuk itu telah memberikan perhatian yang serius terhadap hak-hak anak, terbukti dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kesejahteraan anak dan ditandatanganinya Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention of The Right of The Child) sebagai hasil Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan telah disahkan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa “Semua anak tanpa pengecualian apapun memiliki hak yang tercantum dalam deklarasi tanpa perbedaan atau diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, paham politik atau paham lainnya, asal kebangsaan atau asal sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lainnya dan dirinya atau dari keluarganya. Disamping itu semua anak berhak dalam perlindungan khusus, kesempatan, dan fasilitas yang diperlukan bagi pertumbuhannya dengan cara yang sehat dan dalam suasana yang bebas dan terhormat”. Perlindungan anak adalah hasil interaksi karena adanya interaksi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi.5

5

(13)

4

Dalam Islam, seorang anak mempunyai hak yang harus diakui, hak yang harus diterima oleh anak dari orang tua, masyarakat, bangsa, dan negara. Kemudian dari pada itu, berhubung Indonesia yang merupakan mayoritas muslim, maka hak-hak anak yang tertuang di dalam Keputusan Presiden Repulik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak perlu mendapatkan pengkajian dan analisis menurut pandangan hukum Islam.

Sebagaimana yang diketahui, bahwa anak merupakan individu yang berada dalam satu rentan perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia bermain atau oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berada antara satu dengan yang lain mengingat latar belakang anak yang berbeda. Pada anak terdapat rentang pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat.

(14)

5

Demikian juga pola koping yang dimiliki anak hampir sama dengan konsep diri yang dimiliki anak. Bahwa pola koping juga sudah terbentuk mulai bayi, hal ini dapat kita lihat saat anak bayi menangis. Salah satu pola koping yang dimiliki anak adalah menangis seperti bagaimana anak lapar, tidak sesuai dengan keinginannya, dan lain sebagainya. Kemudian perilaku sosial pada anak juga mengalami perkembangan mulai bayi. Pada masa bayi perilaku sosial pada anak sudah dapat dilihat seperti bagaimana anak tersebut mau diajak orang lain, dengan orang banyak dengan menunjukkan keceriaan. Hal tersebut sudah mulai menunjukkan terbentuknya perilaku sosial yang seiring dengan perkembangan usia. Perubahan perilaku sosial juga dapat berubah sesuai dengan lingkungan yang ada, seperti sebagaimana anak sudah mau bermain dengan kelompoknya yaitu anak-anak.

Anak adalah individu yang rentan karena perkembangan kompleks yang terjadi disetiap tahap masa kanak-kanak dan masa remaja. Lebih jauh, anak juga secara fisiologis lebih rentan dibandingkan dengan orang dewasa, dan memiliki pengalaman yang terbatas, yang mempengaruhi pemahaman dan persepsi mereka mengenai dunia.

(15)

6

Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi

Hak Anak”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Guna memudahkan pembahasan didalam penulisan skripsi ini agar tidak keluar dari koridor objek yang telah ditetapkan, maka penulis memberikan batasan masalah sebagai berikut:

1. Keputusan Presiden dalam skripsi ini dibatasi pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak.

2. Hak anak dalam skripsi ini dibatasi pada hak pendidikan, hak perlindungan tindak kekerasan, dan hak perlindungan keluarga menurut hukum Islam.

Dari pembatasan masalah di atas, secara lebih terperinci perumusan masalah dalam skripsi ini lebih memfokuskan pada beberapa pembahasan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk konsep Perlindungan hukum terhadap hak anak berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak ?

(16)

7

3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisa dan mendeskripsikan bagaimanakah bentuk konsep Perlindungan hukum terhadap hak anak berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak.

2. Menganalisa dan mendeskripsikan hak-hak anak yang dijamin didalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak.

3. Menganalisa dan mendeskripsikan bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak.

(17)

8

Secara akademis, skripsi ini dapat bermanfaat bagi para akademisi Fakultas Syariah dan Hukum pada umumnya dan bagi Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum pada khususnya, sebagai tambahan referensi tentang studi analisis terhadap Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak dengan hukum Islam.

4. Review Studi Terdahulu

Sejauh ini penelitian mengenai topik yang membahas masalah perlindungan hak-hak anak yang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 baik mengenai konsep, ketentuan-ketentuan, status maupun masalah lain yang berkaitan dengan hak-hak anak tersebut, baik yang mengkaji secara spesifik masalah tersebut maupun yang menyinggung secara umum. Penulis juga melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul proposal, di antaranya sebagai berikut:

(18)

9

2. Skripsi yang ditulis oleh Najjar Bani (ASS 2007) dengan judul “Perlindungan atas Tindak Kekerasan Terhadap Anak dalam Perspektif Konvensi Hak-Hak Anak dan Hukum Islam: Studi Komparatif“. Pada Sripsinya penulis menjelaskan bagaimana konsep perlindungan atas tindak kekerasan terhadap anak agar dapat mendapat perhatian hukum yang lebih pasti dan bersifat kuat secara hukum, baik itu hukum Islam maupun hukum positif.

3. Studi review selanjutnya yaitu skripsi yang ditulis oleh Deni Kurniawan (PMH 2006) dengan judul “Hukum Perlindungan Anak Terhadap Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif”. Pada skripsinya penulis membahas tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga, konsep perlindungan hukum bagi anak, dan bagaimana perlindungan hukum anak terhadap kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam dan hukum positif.

(19)

10

serta persamaan hukum Islam dan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang pengesahan Konvensi Hak Anak.

5. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan data-data yang berasal dari berbagai macam literatur buku, artikel, makalah, majalah, koran serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diangkat.

2. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan, yaitu dengan membaca berbagai macam literatur yang relevan dengan topik masalah dalam penelitian ini yang meliputi semua referensi yang terdapat dalam bentuk buku dan sejenisnya yaitu karangan, laporan penelitian, mata pelajaran, majalah, brosur, surat kabar dll.6

3. Sumber Data

6

(20)

11

a. Sumber data primer, sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data.7 Dan yang menjadi sumber data primer dalam penulisan skripsi ini yaitu buku-buku yang berkaitan dengan bahan penelitian antara lain Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1990 tentang konvensi hak anak dan buku-buku lain yang berkaitan dengan pembahasan penulisan.

b. Sumber data sekunder, sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data.8 Dan sumber data sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu arikel-artikel dan makalah-makalah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Teknik Analisis Data

Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode dengan menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas hingga menemukan jawaban yang diharapkan.

7

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), Cet. Ke-2, hlm. 225

8

(21)

12

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dah Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

6. Sistematika Penulisan

Agar lebih mendapatkan gambaran yang menyeluruh, skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan. alasan-alasan sub-sub bab tersebut diletakkan pada bab 1. adalah untuk lebih mengetahui alasan pokok mengapa penulisan ini dilakukan dan untuk lebih mengetahui batasan dan metode yang dilakukan sehingga maksud dari penulisan ini dapat dipahami.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ANAK

(22)

13

BAB III : KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI HAK ANAK

Membahas mengenai tinjauan terhadap Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak, yang dibagi dalam dua sub bab: latar belakang lahirnya Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak, isi penetapan Keputusan presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak.

BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG HAK-HAK ANAK

Membahas mengenai hukum Islam dan hukum positif yang terkandung di dalam Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Hak-Hak Anak, yang dibagi kedalam tiga sub, yakni: hak pendidikan anak, hak perlindungan tindak kekerasan anak, dan hak perlindungan keluarga. BAB V : PENUTUP

(23)

14 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ANAK A. Pengertian Hak-Hak Anak

Kata “hak” secara bahasa adalah lawan dari kebatilan bentuk jamaknya adalah “hauqud” atau “hiqaq”, jika dikatakan “benarnya sesuatu dengan sebenar-benarnya” berarti tetap dan terjadinya sesuatu tampa keraguan di dalamnya. Kata “hak” juga berarti kebenaran atau ketetapan atau keadilan atau hakikat atau suatu hakikat yang sudah ditentukan. Lawan kata “hak” dari segi makna adalah kebathilan yakni kesalahan. Selanjutnya kata “batil” juga bermakna ketidakbenaran, ketidakadilan, atau bertentangan dengan kenyataan.1

Kata “hak” secara terminologi merupakan ungkapan kebalikan dari kewajiban. Artinya sesuatu yang dianggap sebagai hak bagi sesorang maka merupakan kewajiban bagi orang lain. Misalnya hak rakyat adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah dan hak orang yang berhutang merupakan kewajiban bagi orang yang berpiutang.2

Hak anak adalah bagian (hak) anak yang telah ditentukan untuknya dan segala sesuatu yang terkandung dalam syariat Islam berupa kebutuhan-kebutuhan pokok yang menjamin persamaan hak asasinya dan kebahagiaan hidupnya dalam kedamaian diantara masyarakat Islam lainnya.3

1

Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Yogyakarta; Pustaka Progresif, 1997), Jilid II, h. 942 2

Rafat Farid Swilam, Al- Islam wa Huquq Al- Thifli, (Kairo; Dar Mahasyin, 2002), h. 19 3

(24)

15

Dengan demikian hak anak dapat dipahami sebagai milik atau kewenangan yang mutlak dimiliki oleh seorang anak yang harus diberikan secara adil dalam rangka memenuhi segala kebutuhannya agar ia dapat tumbuh dan berkembang secara normal dalam kehidupannya.4

Secara umum peraturan perundang-undangan di berbagai negara terutama pada pendekatan usia tidak ada keseragaman perumusan tentang anak. Kaitannya dengan itu maka Suryana Hamid (2004:21) menguraikan bahwa di Amerika, batas umur anak delapan sampai delapan belas tahun. Di Australia disebut anak apabila berumur minimal 8 tahun dan maksimal 16 tahun, di Inggris batas umur anak 12 tahun dan maksimal 16 tahun sedangkan di Belanda yang disebut anak adalah apabila umur antara 12 sampai 18 tahun, demikian juga di Srilangka, Jepang, Korea, Filipina, Malaysia dan Singapura.

Selanjutnya Task Force on Juvenile Delinquency Prevention menentukan bahwa batas umur anak yang bisa dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana adalah berumur 10 sampai 18 tahun. Resolusi PBB Nomor 40/33 tentang Standard Minimum Rule for the Administration of Juvenile Justice, menentukan

batas umur anak 7 sampai 18 tahun.

Sedangkan bila bertitik tolak dari laporan penelitian Katayen H Cama (Lilik Mulyadi, 2005:16-17) batas umur minimal bervariasi dari umur 7 – 15 tahun. Hal ini dipertegas dengan redaksional sebagai berikut:

4

(25)

16

Bahwa dalam tahun 1953 berdasarkan laporan Katayen H. Cama, Hakim Pengadilan Anak Bombay, India yang mengadakan research untuk Departemen Sosial dari Perserikatan Bangsa-bangsa atas permintaan Social Commison dari Economic and Social Council menyatakan, bahwa:

1. Di Bima, Ceylon dan Pakistan, seorang anak di bawah usia 7 tahun dianggap tidak melakukan kejahatan;

2. Di Jepang, tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak kurang dari 14 tahun tidak dapat dihukum;

3. Di Filipina, anak-anak di bawah 9 tahun, dan di Muangthai anak-anak di bawah 7 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara kriminal;

4. Di Bima, Ceylon dan Pakistan, seorang anak di antara umur 7 tahun dan di bawah 12 tahun dan Filipina seorang anak di antara umur 9 tahun dan di bawah 15 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, apabila ia pada waktu melakukannya belum dapat menghayati bahwa apa yang dilakukannya adalah salah.

(26)

17

20 November 1989 dan di Indonesia disahkan dengan Keputusan Presiden RI Nomor: 36 Tahun 1990 (LNRI Tahun 1990 Nomor 57) tanggal 25 Agustus 1990.

Berbagai batas umur seperti diuraikan di atas, nampak ada kesamaan antara negara-negara yakni disebut anak apabila batas minimal berumur 7 tahun dan batas maksimal 18 tahun, walaupun demikian ada juga negara yang mematok usia anak terendah 6 tahun dan tertinggi 20 tahun, seperti Iran dan Srilangka. Perbedaan ini dapat saja terjadi karena adanya perbedaan pandangan yang disebabkan oleh kondisi sosial budaya masyarakat dari negara tersebut.

Di Indonesia ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak, misalnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan berbagai peraturan lain yang berkaitan dengan masalah anak.

Menurut Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:

(27)

18

Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut:

Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirumuskan sebagai berikut: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Dengan demikian apabila ditinjau dari berbagai pengertian di atas, anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang belum berusia 18 tahun dan belum menikah termasuk yang masih dalam kandungan.

B. Jenis-Jenis Anak dan Hak-Haknya 1. Jenis-jenis anak

(28)

19

yang luas yakni dipakai untuk anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri dan lainnya.5

Masing-masing anak ini mendapat perhatian khas dalam Islam yang menetukan statusnya baik didalam keturunan, kewarisan, maupun dalam pandangan masyarakat. Adapun penjelasan dari masing-masing jenis anak tersebut adalah sebagai berikut:

a. Anak Kandung

Anak kandung berarti anak sendiri yakni anak yang dilahirkan dari seorang ibu dari suaminya yang sah berdasarakan perkawinan yang mempunyai syarat.6

Anak kandung mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarga, orang tua yang berkewajiban atas nafkah hidup, pendidikan, pengawasan dalam ibadah dan budi pekerti anak dalam kehidupan sampai dewasa, anak harus dapat bediri sendiri. Sekiranya masih sekolah lagi, maka ia dibiayai oleh ibu bapaknya sampai selesai pendidikannya. Disamping itu sang anak mendapatkan warisan dari ibu bapaknya.

b. Anak Susu

Anak susu berarti sesorang anak yang menetek dari seorang wanita tertentu.7 Hal ini sudah menjadi satu kebiasaan yang dilakukan, bahkan Rasulullah SAW sendiri disusui oleh ibu susu.

5

Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Islam: Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991), Cet. II, hlm. 24-26.

6

(29)

20

c. Anak Angkat

Anak angkat ialah seorang anak dari seorang ibu dan bapak yang diambiloleh manusia lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri.8

d. Anak Pungut

Anak pungut adalah anak yng didapatkan dimanapun dan dipelihara untuk menjauhkannya dari kesengsaraan dan kehancuran pribadinya.9 Kebanyakan mereka berkeliaran dijalan raya, dikolong jembatan dan tempat-tempat yang menjadi sarang penyakit moral. Kebanyakan anak-anak ini tidak mengetahui ibu bapaknya mereka dan dari mana asal mereka.

Anak pungut sebenarnya adalah cabang dari anak angkat. Anak angkat mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi daripada anak pungut. Anak pungut tidak mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan anak angkat, ia hanya dapat pemeliharaan dari orang yang memungutnya.

Kata “dipungut” sudah merupakan perbedaan, “dipungut” berarti sesuatu yang tidak berarti atau yang kurang artinya. Sedangkan “diangkat” berarti ditinggikan dari keadaan dimana ia berada.

e. Anak Tiri

7

Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Islam, hlm. 59. 8

Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Islam, hlm. 47. 9

(30)

21

Anak tiri adalah anak suami atau istri dari perkawinan dengan orang lain. Anak yang dibawa serta dalam perkawinan baru, maka ia menjadi anak tiri bagi sang suami atau sang istri.

f. Anak Zina

Anak zina adalah anak yang dilahirkan oleh ibunya dari hubungan yang tidak sah.10 Maka “zina” itu berarti bergaul antara pria dan wanita tidak menurut ajaran Islam.Kalau anak zina yang timbul dari perkawinan yang tidak sah antara pria adan wanita, hal ini berarti bahwa pergaulan itu tidak dapat terjadi antara siapa saja baik antara adik-kakak, ayah-anak, ibu-anak maupun dengan yang lain. Anak ini adalah manusia biasa dan normal serta ia memiliki hak hidupnya yang sama dengan manusia lain, hanya ia kehilangan hak lainnya seperti hak warisan, sebab ia tidak mempunyai bapak yang sah.

Dalam Islam juga dibedakan antara anak yang masih kecil (ghairu baligh) dan anak yang sudah baligh. Anak yang masih kecil ada yang

mumayiz dan ada yang belum mumayiz (belum bisa membedakan yang hak dan batil).11

Adapun tanda-tanda kebalighan seseorang dapat ditentukan dengan umur dan tanda-tanda tertentu seperti telah keluar mani, haid, dan

10

Fathurrahman Djamil, "Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya", dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hnkum Islam Komtemporer, Buku Pertama, (Jakarta: Firdaus, 2002), hlm. 129.

11

(31)

22

lain.Mengenai masalah umur seseorang dapat dikatakan baligh, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah mengatakan seseorang anak belum bisa dikatakan baligh kalau belum berumur 18 tahun bagi laki-laki dan umur 17 tahun bagi perempuan, karena perempuan pertumbuhannya lebih cepat daripada laki-laki. Imam Syafi’i dan Hambali serta jumhur ulama berpendapat bahwa anak disebut baligh baik laki-laki maupun perempuan adalah berumur 15 tahun.12

Ada 3 (tiga) fase yang dilalui manusia sejak lahir sampai usia dewasa, yaitu sebagai berikut:13

1) Fase tidak adanya kemampuan berpikir

Sesuai dengan kesepakatan fuqaha, fase ini dimulai sejak manusia dilahirkan dan berakhir sampai usia 7 tahun. Pada fase ini seseorang anak dianggap tidak mempunyai kekuatan berpikir, ia pun disebut anak yang belum mumayiz. Anak dapat dianggap belum mumayiz usianya belum sampai 7 tahun meskipun ada anak dibawah 7 tahun lebih cepat untuk dapat membedakan yang baik dan buruk dari pada anak lain seusianya. 2) Fase kemampuan berfikir lemah

Fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia 7 tahun sampai ia mencapai usia baligh. Mayoritas fuqaha membatasinya sampai usia 15

12

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2005), Cet. III, Jil. I, hlm. 394.

13

(32)

23

tahun. Apabila seseorang anak telah mencapai usia tersebut, ia dianggap telah dewasa secara hukum meskipun ia belum dewasa dalam arti sebenarnya. Imam Abu Hanifah membatasi kedewasaan pada usia 18 tahun.

3) Fase kekuatan berfikir penuh (sempurna)

Menurut pendapat mayoritas fuqaha, fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia 15 tahun, atau 18 tahun menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Mazhab Maliki.

2. Hak Anak Menurut Hukum Islam

Dalam sistem seseorang anak mempunyai hak yang harus diakui, hak yang harus diterima oleh anak dari orang tua, masyarakat, bangsa dan negara. Hak-hak anak yang mutlak dalam pandangan kehidupan agama Islam terdiri dari:

a. Hak nasab (keturunan)

(33)

24

Agama Islam memelihara keturunan agar jangan didustakan dan jangan dipalsukan. Islam menetapkan bahwa ketentuan keturunan itu menjadi hak anak, anak dapat menangkis penghinaan atau musibah terlantar yang mungkin menimpa dirinya. Setiap ibu bertugas menolak hal-hal yang menghinakan dari tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap anaknya. Demikian juga setiap ayah bertugas memelihara keturunannya dan keturunan cucu-cucunya agar jangan sampai tersia-sia atau dihubung-hubungkan dengan orang lain.14

b. Hak anak untuk tetap hidup

Allah SWT berfirman didalam Al-Qur’an:

                         

Artinya:”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”(QS.Al-Isra/17:31)

c. Hak anak untuk mendapat perlindungan dari ketika masih dalam kandungan

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

                                     14

(34)

25                                           

Artinya:”Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS.Al-Ahqaaf/46:15)

d. Hak anak untuk disusui selama 2 (dua) tahun

Setiap bayi berhak menyusu semata-mata dengan kelahirannya agar ia bertambah besar, tumbuh dan makan makanan yang wajar yaitu air susu ibunya. Ibu wajib menyusui anaknya, kalau memang ia ditentukan untuk itu; maksudnya tidak ada wanita lain yang akan mengambil alih tugas itu darinya atau bayi itu tidak mau menyusu kecuali kepada ibunya saja.15 dan perintah penyusuan itu tercantum dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 233;

                                                                   15

(35)

26                                                      

Artinya:”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah/2: 233)

Mengenai keterangan diatas sudah jelas bahwa menyusukan anak itu adalah kewajiban menurut agama, bukan menurut agama, bukan menurut peradilan kecuali kalau si ibu itu satu-satunya yang akan menyusukan. Dalam Mazhab Hanafi maka dipihak lain kita tetapkan juga bahwa menyusukan itu adalah hak dari ibu, wajib diberikan kalau dimintanya dan selamanya ibu kandung lebih berhak dari wanita lain untuk menyusukan anaknya.

(36)

27

Setiap anak membutuhkan orang lain yang akan menjaga dan memeliharanya serta mendidik dan mengajarinya bermacam-macam urusan yang berhubungan dengan jasmani dan pembentukan kepribadiannya. Anak juga membutuhkan orang yang akan mengawasi urusan hak miliknya, supaya dipelihara dan dikembangkan.

Anak berhak diasuh oleh ibunya; mendidik dan memelihara anak termasuk mengurus makanan, minuman, pakaian dan kebersihannya dalam periode umurnya yang pertama. Dalam hal ini ibu kandunglah yang berhak mengasuh anaknya daripada keluarga ibu atau laki-laki. Wanita lebih mampu daripada laki-laki untuk mengurus untuk mengurus anak kecil dan memeliharanya dalam usia sekian itu dan juga lebih lembut dan lebih sabar, lebih tekun dan banyak waktu.16

                                                         

Artinya:”Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Mujadilah/58: 11)

16

(37)

28

f. Hak anak untuk mendapatkan nafkah dari kedua orang tuanya

Ahli fuqaha menetapkan bahwa hubungan kekeluargaan yang menyebabkan wajib nafkah itu ialah keluarga dekan yang membutuhkan bantuan. Imam malik berpendapat bahwa nafkah wajib diberikan oleh ayah kepada anak kemudian anak kepada ayah dan ibunya dan terbatas hanya disitu saja. Imam Syafi’i berpendapat bahwa nafkah itu wajib diberikan kepada semua keluarga yang mempunyai hubungan vertikal keatas atau ke bawah tanpa membatasinya dengan anggota-anggota tertentu, seorang ayah wajib memberikah nafkah kepada anak dan cucunya sampai kebawah. Jadi, lingkungan wajib nafkah lebih luas dari pada pendapat Imam Malik. Menurut Imam Hanafi kewajiban memberi nafkah itu berlaku kepada semua anggota kaum keluarga yang muhrim dengan dia, dengan demikian lingkungan wajib nafkah bertambah luas lagi.

Kewajiban ayah memberi nafkah tercantum dalam firman Allah SWT dalamsurat Al-Baqarahayat 233;

(38)

29                                  

Artinya:” Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”(QS. Al-Baqarah/2: 233)

g. Hak perwalian terhadap diri dan harta

Perwalian berlaku pada setiap anak. Anak yang lahir kedunia ini pasti membutuhkan orang lain yang akan memeliharanya, baik dirinya maupun harta benda, hak miliknya; karena dia membutuhkan orang lain yang akan mengawasi penyusunan dan pengusahaannya, dalam periode kehidupannya yang pertama itu.

(39)

30

terhadap hak milik anak mencakup transaksi dan ‘aqad yang berhubungan dengan hak anak yang diwalikan diantaranya menjual, membeli, mempersewakan, meminjamkan dan sebagainya; urusan itu semuanya dilaksanakan oleh wali karena anak belum sanggup mengurus hak miliknya itu sendiri.17

3. Status Anak Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Positif

Dalam hukum positif terdapat beberapa pengertian tentang anak. Pengertian anak dalam bidang keperdataan berhubungan erat dengan kedewasaan bagi anak tersebut. Terdapat perbedaan-perbedaan antara batas seorang anak yang belum dewasa dan yang sudah dewasa, terutama dalam segi pembatasan usia.

a. Menurut kitab undang-undang hukum perdata (BW) pasal 330 berbunyi: “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”.

b. Dalam undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, terdapat pasal-pasal khusus mengenai ketentuan seorang digolongkan sebagai anak, tetapi tidak tersurat secara tegas namun tersirat dalam beberapa pasal yang mengisyaratkan batas-batas dimana seseorang dinyatakan belum dewasa atau sudah dewasa.

Pasal 7 ayat (1), memuat batasan minimal ketentuan kawin bagi pria adalah 19 tahun dan bagi wanita adalah 16 tahun.

17

(40)

31

Pasal 47 ayat (1), memuat ketentuan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya.

c. Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin (pasal 1 ayat (2) Undang-undang kesejahteraan anak). d. Anak adalah orang yang dalam perkara anak telah mencapai usia 8 tahun

tetapi belum mencapai usia 18 tahun (undang-undang Peradilan Anak). e. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan(pasal 1 Bab 1 undang-undang perlindungan Anak).

Dari berbagai pengertian tentang anak, ada yang menyatakan batas umur kedewasaan seseorang anak adalah 18 tahun atau 21 tahun. Walaupun demikian jika berpatokan dengan batasan umur tersebut dalam hal-hal tertentu masih mengandung permasalah. Tetapi untuk hal perlindungan anak, hak anak dan kesejahteraannya sudah cukup jelas dan nyata mengenai kedewasaan anak, yaitu sesuai dan sebagaimana tertera dalam undang-undang perlindungan anak.

(41)

32

hal ini digunakan sepanajang memiliki keterkaitan dengan anak secara umum, kecuali untuk kepentingan tertentu.18

Ada 3 (tiga) proses perkembangan anak menurut Wagianti Soetedjo, yaitu:

1. Fase pertama adalah dimulai pada usia 0 sampai 7 tahun yang biasa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh.

2. Fase kedua adalah dimulai dari 7 sampai 14 tahun disebut sebagai masa kanak-kanak, dimana dapat digolongkan kedalam periode:

a. Masa anak sekolah dasar dimulai dari 7 sampai 12 tahun adalah periode intelektual, yaitu masa belajar awal dimulai dengan memasuki masyarakat diluar keluarga

b. Masa remaja atau pra pubertas atau pubertas awal. Pada periode ini, terdapat kematangan fungsi jasmaniah ditandai dengan berkembangnya tanda fisik yang melimpah-limpah yang menyebabkan tingkah laku anak menajadi kasar, brandal, kurang sopan, dan lain-lain

3. Fase ketiga adalah 14 sampai 21 tahun dinamakan masa remaja dalam arti sebenarnya yaitu masa pubertas dan adolescent, di mana terdapat masa penghubung dan peralihan dari anak menjadi orang dewasa.

18

(42)

33

Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.19

Untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas harus dipersiapkan sedini mungkin, bahkan semenjak masih berada didalam kandungan. Mereka sudah membutuhkan perlindungan agar dpat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosialnya, sehingga kelak menjadi pewaris masa depan yang berkualitas. Hal ini dapat terwujud apabila anak mendapatkan jaminan perlindungan dan kesejahteraan yang memadai terutama terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya.

Setiap manusia berhak atas perlindungan hak asai manusia dan kebebasan dasar manusia tampa diskriminasi. Maka dari itu, upaya penyelanggaraan hukum bagi anak harus selalu ditegakkan dan dilaksanakan dengan seksama demi terwujudnya sebuah keadilan terhadap anak. Dalam Bab IX Undang-undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan hukum bagi anak meliputi: Agama, Kesehatan, Pendidikan, dan Sosial.

1. Agama

(43)

34

Dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 Bab XI Pasal 29 ayat (2) secara tegas Negara menjamin seseorang untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Termasuk seseorang anak pun diberi kebebasan untuk memilih agama sesuai dengan keinginananya.

Namun kebebasan yang diberikan tersebut bukan berarti memberikan kebebasan yang penuh sehingga anak memeluk agama yang dapat menyesatkan dirinya. Dalam hal ini Negara, pemerintah, masyarkat dan orang tua pada khususnya wajib memberikan perlindungan bagi anak. Perlindungan yang dimaksud disini adalah upaya orang tua untuk memberikan pembinaan dan bimbingan sesuai dengan keinginan anak. Bahkan hal ini juga sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadaha menurut agamanya. (Pasal 42 ayat (1)).

Dalam pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya, sebagaimana yang dimaksud dengan perlindungan anak dalam memeluk agamanya meliputi, pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.

(44)

35                                                 Artinya:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);

Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/ 2:256)

2. Kesehatan

Dalam upaya membentuk anak Indonesia yang berkuaitas, sehat, berakhlak mulia, dan sejahtera maka penyelenggaraan perlindungan bagi anak dalam hal kesehatan sangat diperlukan, bukan saja menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga tetapi juga kepada pemerintah dan negara. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pun sudah diatur mengenai perlindungan kesehatan bagi anak.

Permerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komperhensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan (pasal 44 ayat (1)).

(45)

36

Upaya kesehatan tersebut meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan dasar kesehatan maupun rujukan (pasal 44 ayat (3)).

Dan diselenggarakan secara Cuma-Cuma bagi keluarga yang tidak mampu (pasal 44 ayat (4)).

Orang tua dan keluarga bertanggungjawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan (pasal 45 ayat (1)).

Tetapi ketika orang tua dan keluarga tidak memenuhinya maka pemerintah wajib memenuhinya (pasal 45 ayat (2)).

Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan. (pasal 46).

Penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan menimbulkan kecacatan misalnya HIV/AIDS, TBC, kusta, polio.Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain seperti: (pasal 47 ayat (1) dan (2)) a. Pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa

memperhatikan kesehatan anak;

b. Jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan

(46)

37

3. Pendidikan

Orang tua wajib memberikan pendidkan yang layak bagi anak-anaknya, tetapi pendidkan yang diberikan orang tua kepada anak bukan saja sekedar kewajiban menyerahkan anak kepada lembaga pendidikan (sekolah) tetapi lebih jauh dari itu. Orang tua harus bisa menjadi guru yang paling utama untuk anak. Orang tua tidak hanya memberikan pengetahuan-pengetahuan yang mereka tahu kepada anak atau sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anak, tetapi orang tua harus menjadi suri teladan yang baik untuk anak-anaknya.

Melalui keteladanan dan kebiasaan orang tua, anak-anak bisa meniru dan menarik pelajaran berharga sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.

Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. (pasal 48)

Negara, pemeritah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. (pasal 49)

Pendidikan sebagaimana dimaksud diatas diarahkan pada: (pasal 50)

(47)

38

b. Pengembangan pernghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;

c. Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa, dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;

d. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggungjawaban; dan e. Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.

Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksebilitas untuk memperolehpendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. (pasal 51)

Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksebilitas untuk memperoleh pendidikan khusus. (Pasal 52)

Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan Cuma-Cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil. (pasal 53 ayat (1))

Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya. (pasal 54)

(48)

39

Penyelenggaraan perlindungan anak dalam masalah sosial termuat dalam pasal 55-56 Undang-Undang Perlindungan Anak.

Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga. (pasal 55 ayat (1))

Penyelenggaraan pemeliharaan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat. (pasal 55 ayat (2))

Untuk menyelenggarakan hal tersebut, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat dapat mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait. (pasal 55 ayat (3))

Dalam hal penyelenggaraan dan perawatan tersebut pengawasannya dilakukan oleh menteri sosial. (pasal 55 ayat (4))

Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat: (pasal 56 ayat (1))

a. Berpartisipasi;

b. Bebas menyatakan pendapat dan berfikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;

c. Bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak;

(49)

40

e. Bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan

f. Memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.

Upaya yang dimaksud di atas dikembangkan dan disesuaikan dengan usia, tingkat kemampuan anak, dan lingkungan agar tidak menghambat dan mengganggu perkembangan anak. (pasal 56 ayat (2). C. Penyebab Tidak Terpenuhinya Hak-Hak Anak

Salah satu aspek tidak terpenuhinya hak-hak anak dikarenakan sering terjadi kekerasan yang menyebabkan perubahan secara fisik maupun mental.

Pengertian kekerasan adalah suatu penggunaan fisik terhadap orang lain. Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:

1. Perihal yang bersifat, berciri keras

2. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain 3. Paksaan

Sedangkan dalam Kamus Oxford kata kekerasan dipahami tidak hanya berkaitan dengan penggunaan fisik saja tetapi juga terkait dengan tekanan emosional psikis, seperti ulasan berikut ini, Violence is:

(50)

41

Melihat penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kekerasan disini tidak hanya menggunakan fisik tetapi juga kekerasan dengan verbal.

Kemudian yang lebih jauh dari kekerasan psikis, karena selama ini orang lebih tertarik bahkan mengatakan bahwa yang disebut kekerasan itu adalah yang menggunakan fisik, sementara permasalahan psikis dapat dilihat dalam Pasal 7 "'Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga: "Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang."

Penjelasan Pasal 7 tersebut tidak memberikan penjelasan lebih jauh mengenai disi seseorang yang mengalami kekerasan psikis berat. Sementara didalam usul perbaikanatas Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh Badan Legislatif DPR tanggal 6 Mei 2003, penjelasan Pasal 4b tentang psikis berat adalah: "Kondisi yang menunjuk kepada terhambatnya kemampuan untuk menikmati hidup, mengembangkan konsepsi positif tentang diri orang lain, kegagalan menjalankan fungsi-fungsi manusiawi, sampai pada dihayatinya masalah-masalah psikis serius, misalnya depresi, gangguan trauma, destruksi diri, bahkan hilangnya kontak dengan realitas."

(51)

42

terobosan dengan cara mengajukan visum psikiatrium yang dilakukan oleh yang ahli di bidangnya.

Kemudian pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Domestic Violence) adalah: "Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan (dalam hal ini adalah anak), yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk lakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga."

Sedangkan ruang lingkup domestic/rumah tangga dalam Undang-Undang ini adalah: (Pasal 2)

a. Suami, isteri, dan anak:

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana yang dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Adapun ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga yang dimaksudkan dalam Undang-Undang ini adalah setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 5) dengan cara:

(52)

43

c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga.

Berdasarkan beberapa rumusan pengertian tentang kekerasan diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang dapat berakibat terjadinya kerusakan pada orang lain yang tidak saja berupa hal-hal yang fisik, tetapi juga menyangkut psikis, ekonomi, seksual, dan sebagainya. Kekerasan tidak hanya terjadi pada ruang lingkup rumah tangga (keluarga) saja tetapi kekerasan juga dapat terjadi pada relasi personal dan relasi kerja, Dengan demikian dapat diketahui bahwa Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bertujuan untuk: (Pasal4)

a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,

d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Kekerasan terhadap anak merupakan segala bentuk perbuatan dan tindakan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan psikis.

(53)

44

KOMNAS Perlindungan Anak sebagai lembaga yang didukung oleh masyarakat setiap tahun telah menerima pengaduan dan mencatat berbagai ragam kekerasan terhadap anak yang terjadi sekitar kita. Jumlah anak korban kekerasan yang dilaporkan dan ditangani KOMNAS Perlindungan Anak sepanjang tahun 2009 sebanyak 1.998 kasus.Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2008 yakni 1.736 kasus. 62,7% dari jumlah tersebut adalah kekerasan seksual dalam bentuk sodomi, perkosaan, pencabulan serta etnis atau ras.

Pada jurnal kecil fakta dan data pelanggaran hak anak hasil laporan masyarakat kepada komisi nasional perlindungan anak periode Januari-Juni 2010 tercatat 1.649 kasus kekerasan yang diantaranya 453 kasus (27,47%) berupakekerasan fisik, 646 kasus (39,18%) berupa kekerasan seksual, dan 550 kasus(33,35%) berupa kekerasan psikis.

Angka tersebut dihitung pada saat pertengahan tahun 2010 tetapi alangkah mencengangkan pada akhir tahun 2010 (21 Desember 2010) kasus kekerasan terhadap anak meningkat menjadi 2.335 kasus, Hal ini yang membuat tahun 2010 bisa jadi dinobatkan sebagai tahun kekerasan terhadap anak di Indonesia yang tertinggi. Kenaikannya sekitar 17% dibandingkan tahun laiu (tahun 2009)

(54)

45

satu tahun, namun pada tahun 2010 Komnas Perlindungan Anak menemukan sejumlah kasus kekerasan pada anak yang masih berusia dibawah satu tahun. Angka ini adalah hasil laporan dan aduan, kemungkinan besar jumlah kekerasan anak sesungguhnya lebih besar dari pada ini karena banyak yang .tidak dilaporkan mengingat kebanyakan kasus yang terjadi dilingkungan keluarga (wilayah privat).

D. Bentuk Kekerasan Terhadap Anak

Untuk mengenali bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak sesungguhnya tidaklah jauh dari sekitar kita. Realitas kekerasan yang dialami anak-anak sampai saat ini masih menjadi masalah yang cukup besar di Indonesia. Lihat saja pemberitaan pada media masa seperti media cetak dan elektronik mengenai kekerasan terhadap anak dapat dijumpai setiap hari. Bentuk dan modusnya pun cukup beragam.

Menurut Siti Musdah MuIia, dkk, membagi kekerasan dalam beberapa bentuk liputi:

1. Kekerasan fisik

Bentuknya; memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ketubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong, atau alat, atau senjata, membunuh.

2. Kekerasan psikologis

(55)

46

rasa takut (termasuk diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, teman terdekat, dan lain-lain).

3. Kekerasan seksual

Melakukan tindakan yang mengarah kepada ajakan atau desakan seksual, seperti menyentuh,meraba, mencium, dan/atau melakukan tindakan lain yang tidak dikehendaki korban,memaksakorbanmenonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendakikorban, ucapan-ucapan yang merendahkandan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin atau seks korban, memaksa hubungan seks tanpa persetujuan korban dengan kekerasan fisik ataupun tidak, pornografi.

4. Kekerasan finansial

Mengambiluang korban, menahan atau tidak membcrikanpemenuhan kebutuhanfinansial korban, mengendalikan dan mengawasipengeluaranuang sampai sekecil-kecilnya dengan maksud untuk dapat mengendalikantindakan korban.

5. Kekerasan spiritual

Merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya,memaksa korban mempraktikanritual dan keyakinan tertentu.

Bentuk-bentuk kekerasan juga diatur dalam Undang-undang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu:

(56)

47

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang ditujukan terhadap fisik seseorang yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.

2. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang tidak ditujukan kepada fisik seseorang, namun mengakibatkan ketakutan, hilangnya percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

3. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berkaitan dengan masalah seksual yang bersifat pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar, dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil, dan/atau tujuan tertentu.

(57)

48

masyarakat kita, anak selalu ditempatkan bukan sebagai nomor satu, maksudnya, anak dapat diperlakukan apa saja oleh orang tuanya sendiri.

Pandangan ini sesungguhnya adalah keliru. Sebab sesuai dengan pandangan theologis anak merupakan titipan dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, daIam ketentuan Konvensi Hak Anak (KHA) maupun ketentuan umum Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 menetapkan bahwa anak adalah seseorang berusia dibawah 18 tahun termasuk anak dalam kandungan, oleh karenanya setiap orang tua, masyarakat, pemerintah dan Negara mempunyai kewajiban melindungi anak agar terhindar dari segala bentuk kekerasan dan penyiksaan, Namun ironisnya, meskipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA pada tahun 1990 dan secara yuridis dan politis terikat dalam konvensi internasional tersebut, pada hakekatnya Negara kita belum mampu mencegah dan melindungi anak dari segala bentuk kejahatan, penyiksaan, diskriminasi, penelantaran dan eksploitasi.

E. Dampak-Dampak Tidak Terpenuhinya Hak-Hak Anak

(58)

49

Adapun penyebabkekerasandalam rumah tangga biasanyadapat diidentifikasikarena adanya faktor gender dan patriaki, relasi kuasa yang timpang, dan role modeling (perilaku hasil meniru).

Sebagai korban kekerasan fisik, seksual, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual komersiI, secara psikologis dan sosial anak mengalami masalah yang sangat kompleks, serta membutuhkan perhatian dan perlindungan khusus yang berkesinambungan, Untuk itu, pendamping perlu mengetahui apa-apa saja yang dialami oleh si anak, khususnya anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual, karena secara fisik anak perempuan akan mengalami kehilangan virginitas dan dapat mengalami kehamilan dini.

Secara umum anak yang mengalami kekerasan akan mengalami trauma dan stress, mengalami mimpi-mimpi buruk, merasa terasing dari lingkungannya, murung dan putus asa, tidak bisa konsentrasi, tidak bisa tidur, bahkan bunuh diri.

Dampak kejahatan terhadap anak secara fisik, seksual, dan psikis dapat diklasifikasikan sebagai berikut;

1. Kejahatan seksual dapat menyebabkan kehilangan virginitas, kehamilan dini, pembengkakan dan pendarahan pada alat kelamin, memar pada payudara, infeksi pada alat kelamin, sakit perut dan kepala, hilangnya gairah seks, takut, rasa bersalah, kebingungan, mengalami stress berat, bahkan kematian. 2. Kekerasan secara fisik mengakibatkan rasa sakit, memar, lebam, luka berat,

(59)

50

3. Kekerasan psikis mengakibatkan perasaan tertekan, shock, trauma, rasa takut, emosi, kuper, dan depresi mendalam.

(60)

51 BAB III

KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 1990 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI HAK ANAK

A. Latar Belakang Lahirnya Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak

Sebagai perjanjian multilateral yang mengatur kepentingan umum (masyarakat internasional) dan bersifat terbuka, telah disahkan pada sidang Umum PBB tanggal 20 November 1989 Convention on the Rights of the Child guna mengatur secara khusus hak-hak anak yang bersifat asasi. Konvensi yang berisikan 54 pasal tentang hak-hak anak ,diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990 dan dinyatakan berlaku sejak 5 Oktober 1990.1

Secara fil

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal tersebut maka anak hasil Nikah Wisata tersebut kedudukannya adalah anak luar perkawinan dan menurut Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa keturunan yang sah adalah keturunan yang berasal dari perkawinan yang sah, dan

Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah menjatuhkan Putusan Nomor 937/Pdt.G/2005/PA.JS tanggal 1 Pebruari 2006 M bertepatan dengan tanggal 2